Histiositosis Sel Langerhans - Journal | Unair

advertisement
Histiositosis Sel Langerhans
(Langerhans Cell Histiocytosis)
Dhelya Widasmara, Hans Lumintang
Departemen/Staf Medik Fungsional Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo
Surabaya
ABSTRAK
Latar Belakang: Histiositosis Sel Langerhans (HSL) merupakan penyakit yang ditandai dengan infiltrasi sel Langerhans ke
berbagai organ tubuh, sangat jarang didapat dengan insidensi tahunan diperkirakan 2,0–4,5 per sejuta di seluruh dunia. Tujuan:
Laporan kasus ini diharapkan mampu memberikan wacana tentang bermacam manifestasi klinis serta manajemen penatalaksanaan
HSL. Kasus: Bayi perempuan dengan penyakit berat ditandai lesi erosi dan krusta konfluen serta ekstensif, hepatosplenomegali
serta Limfadenopati prominen servikalis dan retroaurikularis. Diagnosis HSL multisistem ditegakkan secara klinis, laboratoris
dan histopatologis. Penatalaksanaan: Prednison 10 mg/oral 2× sehari diikuti vinblastine 5 mg intravena memberikan perbaikan
pada lesi kulit. Manifestasi klinis HSL sangat bervariasi dan hampir semua organ tubuh dapat terkena. Prognosis dan terapi
tergantung dari keterlibatan sistem organ. HSL multisistem atau ekstensif seperti pada kasus ini dapat diberikan kemoterapi
meskipun penatalaksanaannya masih kontroversial. Kesimpulan: Penatalaksanaan HSL multisistem masih kontrofersial dan
memiliki prognosis buruk dengan angka mortalitas berkisar 70–75%. Terapi sesuai protokol HSL menggunakan prednison dan
vinblastin, mampu memberikan angka survival rate mencapai 100% dan 65–80% bebas rekurensi HSL, jika pasien menunjukkan
respons baik terhadap pemberian terapi.
Kata kunci: Histiositosis Sel Langerhans
ABSTRACT
Background: Langerhans Cell Histiocytosis (LCH) a disorder characterized by infiltration of Langerhans cells into various
organ of the body, is very rare and estimated at 2.0–4.5/100 million worldwide. Purpose: To give awareness regarding various
clinical manifestation and management therapy of Langerhans Cell Histiocytosis (LCH). Case: A one day old female baby
presented wit a severe desease with extensive confluent erosive and crusted lesion, hepatosplenomegali, prominent cervical
and retroauricular lymphadenopathy. Diagnosis of multisystem or extensive LCH was established by clinical apperiance,
laboratory and histopatology examination. Case management: Prednison 10 mg orally twice a day followed by vinblastine
5 mg intravenously made improvement on patients cutaneus lesion. The clinical presentation of LCH highly variabel. Almost
every organ of the body can be affected. Prognosis and treatment depend on the number of organ system involved. Multi system
disease or extensive LCH as in this case may require chemoteraphy although the management is still controversial. Conclusion:
Management of multi system LCH as in this case is still controfersial and has a bad prognosis with mortality rate approximately
70–75%. LCH treatment protocol using prednison and vinblastine increases survival rate approximately 100% and 65–80% free
of disease recurance if patient showed good response to theraphy.
Key words: Langerhans Cell Histiocytosis
Alamat korespondensi: Dhelya Widasmara, e-mail: [email protected]
PENDAHULUAN
Histiositosis Sel Langerhans (HSL) merupakan
proliferasi nonmaligna sel-sel Langerhans yang
termasuk dalam anggota sel dendritik dari sumsum
tulang dan memiliki karakteristik berupa akumulasi
abnormal sel dendritik, limfosit, makrofag serta
eosinofil di berbagai sistem organ.1 Etiologi dan
patogenesis HSL masih belum diketahui secara
jelas. Beberapa hipotesis melibatkan mutasi somatik,
instabilitas kromosom, infeksi virus (HHV 6),
Pengarang Utama 2 SKP. Pengarang Pembantu 1 SKP
(SK PB IDI No. 318/PB/A.7/06/1990)
216
disregulasi sitokin dan apoptosis.2,3 Epidemiologi HSL
di dunia diketahui cukup bervariasi, diperkirakan
sebesar 2,0–5,4 kasus/100 juta populasi di seluruh
dunia. HSL dapat timbul pada semua kelompok umur,
namun sekitar 50% kasus HSL terdiagnosis pada usia
1–15 tahun serta ditemukan angka kejadian tertinggi
pada kelompok umur 1–3 tahun.2,4
Tampilan klinis HSL dapat melibatkan bermacam
sistem organ dengan keterlibatan tersering pada area
kulit dan tulang. Pemeriksaan histopatologi diperlukan
Laporan Kasus
Histiositosis Sel Langerhans
sebagai pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosis HSL.5,6 Terapi HSL dilaksanakan berdasar
perjalanan penyakit dan keterlibatan sistem organ.
Pasien dengan lesi kulit terlokalisir mungkin tidak
memerlukan terapi khusus karena dilaporkan adanya
penyembuhan spontan pada beberapa kasus.5,7 Terapi
sistemik diberikan pada pasien HSL multi sistem
atau ekstensif, dengan regimen tersering berupa
prednison atau metilprednisolon dan vinblastin pada
fase induksi selama 6 minggu.5,7 Prognosis pasien
HSL didapatkan cukup bervariasi.5
Kasus HSL sangat jarang didapatkan sehingga
perlu ketelitian dalam mendiagnosis dan diharapkan
dengan adanya laporan kasus ini mampu memberikan
wacana tentang bermacam manifestasi klinis serta
manajemen penatalaksanaan HSL.
Status dermatologis menunjukkan ptechie dan
papule berwarna kuning kecoklatan yang tertutup
oleh krusta tebal (gambar 1). Papule tersebut konfluen
membentuk sebuah erupsi eritematus menyerupai
dermatitis seboroik. Papule ini tersebar di seluruh
bagian tubuh (gambar 2).
KASUS
Gambar 1. Tampak ptechie dan papule berwarna
kuning kecoklatan yang tertutup krusta
tebal.
Bayi A, umur 1 hari dibawa ke Instalasi Rawat
Darurat RSUD Dr. Soetomo pada 19 September
2008 dengan keluhan bercak-bercak merah pada
sebagian besar kulit tubuh. Bercak-bercak merah
muncul disertai dengan panas tubuh. Bercak-bercak
merah muncul satu hari sebelum masuk rumah sakit.
Awalnya pada punggung, pantat, perut, kedua telapak
tangan dan telapak kaki. Didapatkan pula keluhan
perut bayi membesar. Terdapat pembesaran kelenjar
getah bening di belakang telinga dan leher. Buang
air besar dan kencing pasien dalam batas normal.
Tidak ada perdarahan gusi maupun epistaksis. Tidak
didapatkan penyakit yang sama yang diderita oleh
keluarga pasien. Riwayat persalinan lahir spontan,
cukup bulan dan berat badan lahir 3000 gram.
Pemeriksaan fisik pada hari pertama saat masuk
rumah sakit ditemukan berat badan 3000 gram, nadi
180×/menit, temperatur badan 37,5° C, pernapasan
28×/menit. Ditemukan konjungtiva anemis, sklera
tidak ikterus, dan tidak terdapat tanda-tanda distres
napas. Didapatkan lesi ulseratif putih di rongga
mulut. Terdapat pembesaran kelenjar getah bening
retroaurikular dan servikal, konsistensi kenyal, batas
tegas. Jantung dan paru-paru dalam batas normal.
Hepar teraba 2×2×2 cm di bawah arkus kosta kanan,
batas tegas, tepi tajam, konsistensi padat kenyal,
permukaan licin serta tidak didapatkan massa. Lien
teraba Schuffner IV, batas tegas, tepi tajam, konsistensi
padat kenyal, permukaan licin serta tidak didapatkan
massa. Pada palpasi kedua ekstrimitas ditemukan
akral hangat, kering, pucat dan tidak didapatkan
sianosis dan edema.
Gambar 2. Ptechie dan papule berkonfluen membentuk
erupsi eritematus yang tersebar di seluruh
tubuh.
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan
konsentrasi hemoglobin 11,4 g/dl, sel darah putih
4000/mm,3 trombosit 151.000/mm,3 eritrosit 4.360.000/
mm.3 Hitung jenis dalam batas normal. Pemeriksaan
urine rutin dalam batas normal. Tes fungsi liver dan
ginjal mengalami peningkatan (SGOT 23 µ/l; SGPT
22 µ/l; BUN 96 mg/dl; serum kreatinin 1,0 mg/dl),
albumin: 2,6 g/dl, globulin 2,6 g/dl, bilirubin direk
2,8 g/dl dan bilirubin indirek 5,7 g/dl). Pemeriksaan
feses tidak didapatkan leukosit, eritrosit, cacing askaris
dan sisteamuba, namun tes amilum positif.
217
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin
Pada pemeriksaan penunjang dilakukan
pemeriksaan histopatologi dengan hasil: hapusan
hiperseluler terdiri atas sebaran sel-sel anaplasi
(gambar 3) dengan inti besar bulat, beberapa tampak
pleiomorfik, convulated, sitoplasma luas pucat
(gambar 4). Banyak didapatkan mitosis serta
tampak beberapa eosinofil (gambar 5). Kesimpulan:
histiositosis.
Pemeriksaan penunjang lain adalah foto kepala
(skull) dan dada (thoraks). Pemeriksaan skull dan
thoraks dalam batas normal. Diagnosis banding pada
kasus ini adalah dermatitis seboroik. Berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan
histipatologi, menunjang diagnosis Langerhans Cell
Histiocytosis (LCH).
Gambar 3. Tampak hapusan hiperseluler dengan
sebaran sel anaplasi pada pemeriksaan
histopatologi.
Vol. 22 No. 3 Desember 2010
Sel inti besar, bulat,
oleomorfi, convulated, sitoplasma
luas pucat
Gambar 4. Tampak sel inti besar, bulat, pleimorfik,
convulated dengan sitoplasma luas pucat
yang menunjukkan sel Langerhans.
Gambar 5. Tampak eosinofil dan banyak mitosis.
Gambar 6. Perkembangan kondisi penderita selama perawatan. Tampak erupsi papulonodular di kedua
telapak tangan dan kaki.
218
Laporan Kasus
Penatalaksanaan pertama yang diberikan pada
penderita adalah pemasangan IV line dengan cairan
infus D5 1/4S, klaksasiklin 3 × 150 mg intravena
dan diet TKTP. Pemberian prednison per oral 10
mg sehari dua kali dan vinblastin 5 mg intravena.
Pemberian terapi memberikan perbaikan lesi kulit
dengan gambaran berupa erupsi makula eritema di
kedua telapak tangan dan kaki (gambar 6).
PEMBAHASAN
HSL merupakan proliferasi non maligna sel-sel
Langerhans yang termasuk dalam anggota sel dendritik
dari sumsum tulang.1 Etiologi dan patogenesis HSL
masih belum diketahui secara jelas. Sistem klasifikasi
awalnya dibuat berdasarkan keterlibatan sistem
organ. Granuloma eosinifilik memberikan tampilan
lesi tulang terlokalisir, keterlibatan kelenjar getah
bening dan paru-paru sebagai target utama. Penyakit
Hand-Schuller-Christian menunjukkan tampilan lesi
multifokal pada tulang (kepala), eksopthalmus dan
diabetes insipidus, sedangkan penyakit Letterer-Siwe
yang merupakan bentuk histiositosis diseminata akut
maupun sub-akut.2 Penderita ini termasuk HSL
golongan Letterer-Siwe karena menyerang beberapa
organ.
Gejala-gejala sistemik HSL termasuk panas,
nyeri tulang, penurunan berat badan, telinga berair,
gigi tanggal, lesi oral yang nyeri, diare, takipnea,
diabetes insipidus atau endokrinopati.6 Pasien di atas
menunjukkan gejala sistemik berupa panas badan
yang diikuti dengan timbulnya bercak-bercak merah
dan lesi di rongga mulut.
Pada bayi sering kali tampak bercak menyerupai
dermatitis seboroik luas pada kepala, papula
kemerahan pada badan, abdomen dan lipatan paha
menyerupai kandidiasis diaper atau lesi ulseratif pada
daerah lipatan paha.8 Pasien ini juga memperlihatkan
gejala berupa timbulnya ptechie dan papule berwarna
kuning kecoklatan yang tertutup oleh krusta tebal dan
konfluen membentuk erupsi eritematus menyerupai
dermatitis seboroik. Papula-papula ini tersebar di
seluruh tubuh. Lesi ulseratif juga didapatkan di daerah
lipatan telapak tangan dan telapak kaki.
Kelenjar getah bening servikalis, aksila dan
inguinal merupakan area yang paling sering mengalami
pembesaran, namun bisa didapatkan pula pembesaran
kelenjar getah bening mediastinal yang menimbulkan
gejala klinis berupa wheezing dan kelemahan sistem
pernapasan.6 Pada pasien ini ditemukan pembesaran
kelenjar getah bening retroaurikular dan servikal,
Histiositosis Sel Langerhans
namun kelenjar getah bening mediastinum tidak
ditemukan pembesaran (hasil foto thoraks dalam
batas normal). Pada anak sering kali tampak proses
osteolitik pada tulang kepala, diikuti tulang panjang
pada ekstremitas atas dan bawah, tulang iga dan
tulang belakang. Meskipun jarang didapatkan pada
HSL diseminata, namun dapat dijumpai keterlibatan
mastoid dengan gambaran klinis otitis media berupa
telinga berair dan oedema retroaurikularis atau proses
osteolitik pada gambaran radiologis.8 Namun pada
pasien ini tidak ditemukan lesi osteolitik dari foto
polos kepala maupun keluhan otitis media.
Pada pemeriksaan palpasi abdomen pasien teraba
pembesaran hepar dan lien. Keadaan ini merupakan
bukti terjadinya organomegali masif akibat infiltrasi
pada hepar dan lien yang menyebabkan disfungsi
hepar akibat kerusakan hepatosit.8 Keluhan pasien
berupa kencing seperti teh dan kuning pada mata
yang merupakan tanda klinis ikterus.
Pemeriksaan histopatologi merupakan
pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis
HSL. Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan
hapusan hiperseluler terdiri dari sebaran sel-sel
anaplasi dengan inti besar bulat, beberapa tampak
pleiomorfik, convulated, sitoplasma luas pucat. Banyak
didapatkan mitosis serta tampak beberapa eosinofil
dengan kesimpulan suatu histiositosis. Spesimen
pemeriksaan histopatologi HSL diperoleh dari jaringan
organ yang terkena, di mana kulit merupakan jaringan
yang paling mudah diperoleh sebagai spesimen
pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan histopatologi
rutin menunjukkan gambaran infiltrat sel Langerhans
tipikal, sedangkan diagnosis definitif HSL dibuat
berdasarkan pemeriksaan elektron mikroskop yang
memberikan gambaran granula Birbeck serta melalui
pengecatan imunohistokimia positif terhadap S-100
dan antigen CD1a.5,6
Apabila telah ditegakkan diagnosis HSL maka
perlu dipertimbangkan apakah pasien tersebut
termasuk pada kelompok risiko rendah atau tinggi.
Pembagian kelompok berdasarkan risiko ini bertujuan
dalam pemberian terapi. Terapi kelompok risiko
rendah berbeda dengan kelompok risiko tinggi.
Kelompok risiko rendah adalah penderita HSL dengan
manifestasi pada kulit, lesi pada tulang, melibatkan
kelenjar getah bening dan pituitari mempunyai
prognosis lebih baik setelah pengobatan kombinasi
kemoterapi vinblastin dan prednison selama
6–12 bulan, dengan angka survival rate mencapai
100% dan 65–80% bebas dari rekurensi HSL.5,8,9 Pada
kelompok risiko tinggi dengan keterlibatan hati, lien,
219
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin
paru dan sumsum tulang sebaiknya dipertimbangkan
kemungkinan risiko lebih besar tidak memberikan
respons terhadap pengobatan yang diberikan. Bila
dalam 12 minggu pengobatan tidak ada kemajuan
maka angka survival rate didapatkan < 20%.8 Pasien
di atas termasuk dalam kelompok risiko tinggi karena
didapatkan pembesaran hati dan lien.
Tujuan pengobatan HSL adalah mengurangi
proliferasi histiositosis, limfosit dan makrofag yang
berperan dalam timbulnya penyakit ini. Pengobatan
diharapkan dapat menghentikan proliferasi atau
memodifikasi ekspresi sitokin yang mengendalikan
proliferasi sel Langerhans, makrofag dan limfosit.
Dengan menghentikan proliferasi dari sel-sel tersebut,
lesi tulang biasanya akan sembuh sempurna dan
pembesaran organ akan menyusut. Lama pengobatan
bervariasi dari 6 bulan hingga 1 tahun dengan protokol
pengobatan yang tersering digunakan merujuk pada
protokol terapi HSL.5,8
Pada pasien ini yang merupakan pasien dengan
risiko tinggi maka protokol pengobatan merujuk pada
protokol terapi HSL dengan terapi fase awal berupa
prednison per oral 0,05–2 mg/kgBB/hari diberikan
selama 4 minggu diikuti tappering off dalam waktu
2 minggu serta diberikan vinblastin 0,1–5 mg/kgBB
intravena 1 kali per minggu selama 6 minggu. Evaluasi
terapi fase awal dilakukan setelah 6 minggu terapi
dan jika tidak ditemukan perjalanan klinis aktif,
maka dilanjutkan pemberian terapi fase lanjutan
berupa prednison per oral 0,05–2 mg/kgBB/hari setiap
3 minggu sekali; hari pertama sampai dengan kelima
selama 6–12 bulan sejak pemberian terapi awal. Pada
fase lanjutan, vinblastin 0,1–5 mg/kgBB intravena juga
diberikan 3 minggu sekali selama 6–12 bulan sejak
pemberian terapi awal. Jika didapatkan respons kurang
baik terhadap pemberian terapi awal, dapat diberikan
terapi tambahan sebelum menuju fase lanjutan
berupa prednison per oral 3 kali sehari, 3 hari dalam
seminggu selama 5 minggu serta vinblastin intravena
1 kali seminggu selama 6 minggu.9,10 Pada pasien
ini diberikan prednison per oral 10 mg 2 kali sehari
dan direncanakan pemberian vinblastin intravena.
Pemberian terapi prednison per oral memberikan
perbaikan lesi kulit pada pasien.
220
Vol. 22 No. 3 Desember 2010
HSL merupakan suatu penyakit yang sangat
jarang dijumpai dengan keterlibatan berbagai sistem
organ. HSL multisistem seperti pada kasus ini dapat
diberikan kemoterapi meskipun penatalaksanaannya
masih kontroversial dan memiliki prognosis buruk
dengan angka mortalitas berkisar antara 70–75%., tetapi
juga dipengaruhi oleh keterlibatan organ, usia saat
penegakan diagnosis dan respons terhadap pemberian
terapi. Terapi sesuai protokol HSL menggunakan
prednison dan vinblastine, mampu memberikan
angka survival rate mencapai 100% dan 65–80% bebas
dari rekurensi HSL, jika pasien menunjukkan respos
baik terhadap pemberian terapi.
KEPUSTAKAAN
1. Mcclain KL. Histiocytic disorders. In: Charles M
Haskell, editor. Cancer Treatment. 5th ed. Orlando
FL: WB Saunders Company; 2001. p. 1236–44.
2. Glotzbecker MP, Carpentieri DF, Dormans JP. Clinical
Presentation, Pathogenesis and Treatment from the
LCH Etiology Research Group at The Children’s
Hospital of Philadelphia. The University of Pensylvania
Orthop J 2004; 15: 67–73.
3. Weitzman S, R. Maarten Egeler. Langerhans cell
histiocytosis: Update for the pediatrician. Current
Opinion in Pediatrics 2008; 20: 23–9.
4. Wollina U. Cutaneus Langerhans cell histiocytosis
with subsequent development of haematological
malignancies: Report of two cases. Acta Dermatoven
APA 2006; 15(2).
5. Satter EK, Whitney A. Langerhans Cell Histiocytosis:
A Review of the Current Recommendations of the
Histiocyte Society. Ped Dermatol 2008; 25(3): 291–5.
6. Bansal D. Langerhans’ Cell Histiocytosis: Experience
from a Single Center. Indian Pediatrics 2008; 45.
7. Stebut EV. Successfull Treatmentof Adult Multisystemic
Langerhans Cell Histiocytosis with Psoralen-UV-A,
Prednisolone, Mercaptopurine and Vinblastine. Arch
Dermatol 2008; 144(5): 649–53.
8. Ashley Publication. Expert opin. Pharmacother 2005;
6: 2435–41.
9. H-9926-LCH III: Treatment Protocol of the Third
International Study for Langerhans Cell Histiocytosis.
http://www.clinicaltrials.gov/NCT00488605. Diakses
tanggal 13 Juni 2009.
10. Selim MA, Christopher R. Shea. Langerhans Cell
Histiocytosis. http://emedicine.medscape.com/
article/1100579-treatment. Diakses tanggal 13 Juni
2009.
Download