PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI PLAGIAT NEOLIBERALISME DAN IMPLIKASINYA BAGI STRUKTUR DAN PERILAKU LEMBAGA KEUANGAN PERBANKAN DI INDONESIA Analisis Atas Deregulasi Perbankan Periode Tahun 1983 - 1993 Studi Analisis-Deskriptif Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Program Studi Manajemen Oleh : SIGIT KARYADI BUDIONO NIM : O32214077 PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2011 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI NEOLIBERALISME DAN IMPLIKASINYA BAGI STRUKTUR DAN PERILAKU LEMBAGA KEUANGAN PERBANKAN DI INDONESIA Analisis Deregulasi Perbankan Periode Tahun 1983 - 1993 Studi Analisis Deskriptif Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Program Studi Manajemen Oleh : SIGIT KARYADI BUDIONO NIM : O32214077 PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2011 i PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI ii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI iii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI MOTTO Segui il tuo corso, e lascia dir le genti! (Jalan terus, biarkan mereka menggerutu !!!!) (Dante Alighieri, Komedi Tuhan, Bagian Api Neraka, Nyanyian V) Change does not roll in on the wheels of inevitability, but comes through continuous struggle. And so we must straighten our backs and work for our freedom. A man can't ride you unless your back is bent. (Martin Luther King, Jr., "I See the Promised Land", Memphis, Tennessee, April 3, 1968) iv PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI PERSEMBAHAN Untukmu…agar kau tahu bahwa ku cinta padamu… v PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI vi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI vii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI KATA PENGANTAR Puji syukur dan terima kasih penulis sampaikan kepada Allah SWT atas karunia dan Rahmad-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “NEOLIBERALISME DAN IMPLIKASINYA BAGI STRUKTUR DAN PERILAKU LEMBAGA KEUANGAN PERBANKAN DI INDONESIA Analisis Atas Deregulasi Perbankan Periode Tahun 1983 - 1993 Studi Analisis Deskriptif” dengan baik. Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan baik berkat bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Drs. Y.P. Supardiyono, M.Si., Akt., QIA., selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma. 2. Bapak V. Mardi Widyadmono, S.E., M.B.A., selaku Ketua Program Studi Manajemen Universitas Sanata Dharma. 3. Bapak T. Handono Eko Prabowo, MBA., Ph.D., selaku dosen pembimbing I, yang telah mengarahkan dan membimbing penulis dengan kesungguhan hati. 4. Bapak Antonius Budisusila, S.E., M.Sc. Soc., selaku dosen pembimbing II, yang telah mengarahkan dan membimbing penulis sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. viii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 5. Bapak Drs. Laurentius Bambang Harnoto M.Si. selaku anggota tim penguji yang telah memberi masukan yang sangat berguna. 6. Kedua orang tua tercinta yang selalu memberikan do’a, dukungan, nasehat, serta kesabaran hati untuk menunggu penulis menjalani masa “bermainnya” sebagai bekal dikemudian hari, juga saudara-saudara penulis yang selalu memberikan support kepada penulis. 7. Kawan-kawan Pimpinan Nasional, Pimpinan Kota Front Perjuangan Pemuda Indonesia Yogyakarta, serta Tadjam Sanata Dharma, terima kasih telah mengajarkan banyak hal, maaf belum bisa berbuat banyak hal. 8. Konco-konco gojek kere, “Super Bondox”, “Gus Adit”, “Lepek”, “Babi”, “Kembar sial”, “si Gendut Mian”, “Ketjor”, “Lik bas”, Renggo “Darsono”. Kak Dayah terima kasih sudah berbaik hati mengajak keliling UI dan bertemu “adek-adek” bersenyum cerah dan renyah. Kumpulan gambirgombyok Solo, “Nangnak”, “SX”, “Aero”, “Gogon”, “Tahu”, mas Mamad. 9. Kawan-kawan Asrama Bantaeng SulSel, Sopyan, Zaldy, Suthan, Ayu’, Wandi n Fandi, Ima, Anchu’, Musda, Habibi, “Pak Ketua”, terima kasih telah menerima “penumpang gelap” yang sering pinjam leptop juga. Kapan kita ke Bantaeng lagi? : ) 10. UKM Bal-balan Sadhar, tim bal-balan Ekonomi Sadhar, club kampung Adidas n PuMa, terima kasih telah membuat riang dan sehat. 11. Pegawai perpustakaan Sadhar dan Kota, terima kasih banyak. Tingkatkan kewaspadaan terhadap aksi-aksi petualangan “pendekar berwatak jahat”. ix PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 12. Nama-nama lain yang tidak dapat penulis sebut satu-persatu karena keterbatasan ruang formal ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca guna menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat menjadi bahan masukan bagi semua pihak yang membutuhkan. Yogyakarta, 8Agustus 2011 Penulis\ Sigit Karyadi Budiono NIM 032214077 x PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL……………………………………………………... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………….. ii HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………. iii HALAMAN MOTTO…………………………………………………….. iv HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………... v HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS……………. vi HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…………………………………...…….. vii HALAMAN KATA PENGANTAR…………………………………...… viii HALAMAN DAFTAR ISI………………………………………………... xi HALAMAN DAFTAR TABEL…………………………………………... xiv HALAMAN DAFTAR GAMBAR……………………………………….. xv HALAMAN DAFTAR LAMPIRAN……………………………………... xvi HALAMAN ABSTRAK………………………………………………….. xvii HALAMAN ABSTRACT………………………………………………… xviii BAB I PENDAHULUAN………………………………………………… 1 A. Latar Belakang Penelitian……………………………………. 1 B. Pembatasan Masalah…………………………………………. 5 C. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup…………………….. 1. Rumusan Masalah……………………………………….. xi 6 6 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 2. Ruang Lingkup…………………………………………... 7 D. Tujuan Penelitian…………………………………………….. 7 E. Manfaat Penelitian…………………………………………… 8 F. Sistematika Penulisan………………………………………... 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA…………………………………………….. 11 A. Landasan Teori………………………………………………. 11 1. Neoliberalisme…………………………………………… 11 2. Structural Adjustment Programs (SAPs)………………... 12 3. Kebijakan Deregulasi Sektor Perbankan………………... 14 4. Lembaga Keuangan Perbankan…………………………. 16 B. Kerangka Pemikiran………………………………………….. 17 C. Penelitian Sebelumnya……………………………………….. 20 BAB III METODE PENELITIAN………………………………………... 23 A. Jenis Penelitian……………………………………………….. 23 B. Objek Penelitian…………………………………………….... 24 C. Waktu dan Lokasi……………………………………………. 24 D. Konsep-konsep……………………………………………….. 24 E. Metode Pengumpulan Data…………………………………… 26 F. Rekonstruksi atau Penulisan………………………………….. 28 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN……………………………... 29 A. Negara Pasca Kolonial dan Kebangkitan Neoliberalisme……. 29 1. Dekolonialisasi dan Kuatnya Pengaruh Negara dalam Tradisi Negara Pasca Kolonial……………………………. xii 32 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 2. Intervensi Negara dan Wacana Pembangunan Negara Pasca Kolonial…………………………………………….. 40 3. Stagflasi 1970 dan Pengaruh Kebijakan Thatcherism – Reaganomics……………………………… 44 4. Bangkitnya Intelektual Kanan Baru……………………… 56 B. STRUCTURAL ADJUSTMENT PROGRAMS SEBAGAI PROGRAM EKONOMI – POLITIK NEOLIBERALISME….. 60 1. Hutang dan Kemunculan Structural Adjustment Programs 62 2. Pengalaman Penyesuaian Struktural di Negara Berkembang………………………………………………. 3. Proses Penyesuaian Struktural di Indonesia……………... 74 79 C. Structural Adjustment Programs dan Implikasinya Bagi Dunia Perbankan……………………………………………… 91 1. Program Deregulasi dan Deregulasi Perbankan………….. 92 2. Struktur Perbankan Pasca Perbankan…………………….. 102 3. Perilaku Perbankan Pasca Deregulasi…………………….. 112 BAB V PENUTUP………………………………………………………… 123 A. KESIMPULAN…………………………………..……………. 123 B. SARAN………………………………………………….…….. 125 C. KETERBATASAN……………………………………….….... 126 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………... 129 LAMPIRAN-LAMPIRAN……………………………………………….... 135 xiii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR TABEL Tabel Judul IV.1 Halaman Daftar Negara-Negara Pasca Kolonial Setelah Perang Dunia II (1945-1965)…………………………………………………….33 IV.11 Kalkulasi Utang Pada Pemerintahan Soekarno…………………………..80 IV.12 Rata-Rata Bunga Nominal dan Riil Deposito Berjangka pada Bank-Bank Pemerintah……………………………………………..98 IV.13 Perkembangan Jumlah Bank Sebelum dan Sesudah Pakto 88………….106 IV.14 Posisi Penghimpunan Dana dalam Rp & Valas Menurut Kelompok Bank (miliar Rp)…..………………………………………..109 IV.15 Posisi Kredit Perbankan dalam Rupiah dan Valas Menurut Kelompok Bank (miliar Rp)…………………………………………….111 IV.16 Perkembangan Aktiva dan Pasiva Perbankan Indonesia Pasca Deregulasi 1988 (dalam Miliar Rupiah)…………………………112 IV.17 Kredit Macet Perbankan Tahun 1994-1996 (dalam Miliar Rupiah)……115 IV.18 Kredit Bank-bank Besar kepada Kelompok Perusahaan……………….117 IV.19 Rasio Penyaluran Kredit kepada Group dengan Modal di Sejumlah Bank, 1995………………………………………………...119 xiv PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR GAMBAR Gambar Judul Halaman II.1 Alur Kerangka Pemikiran………………………………………..20 IV.2 Krisis Ekonomi Tahun 1970an: Inflasi dan Pengangguran di A.S. dan Eropa, 1960-1987……………………45 IV.3 Pergerakan Tingkat Suku Bunga Riil di A.S.dan Perancis tahun 1960-2001, Sebagai Implikasi Terapi Kejut Volcker……………………………...……………...50 IV.4 Rata-rata Pengangguran di Amerika Serikat tahun 1979-1982………………………………………………………..53 IV.5 Pendalaman Sektor Finansial Global (Persentase Nilai Aset Saham dari GDP Dunia tahun 1980-2007)…………..54 IV.6 Tingkat Keuntungan Bagi Korporasi Finansial dan Non-finansial di A.S. 1960-2001………………………………...55 IV.7 Rata-rata Pertumbuhan PDB Per Kapita dan Total PDB Negara Berkembang, 1960-1987…………………………..67 IV.8 Persentase Pertumbuhan Utang Luar Negeri Negara Berkembang, 1966-1982…………………………………………68 IV.9 Suku bunga Nominal dan riil, 1972-1988………………………..71 IV.10 Pembayaran Utang Luar Negeri Dikurangi Nilai Pinjaman……..72 V.1 Bagan Kesimpulan……………………………………………...127 xv PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR LAMPIRAN Nomer Lampiran Judul Halaman Lampiran 1 Pokok-Pokok Paket Dergulasi 27 Oktober 1988……………….135 Lampiran 2 Ketentuan Lanjutan Paket 27 Oktober 1988…………………....138 Lampiran 3 Pokok-Pokok Ketentuan Lanjutan Paket 27 Oktober 1988……………………………………………………140 Lampiran 4 Penjelasan Gubernur BI tentang Pakto 27 dan Ketentuan Lanjutan Pakto 27…………………………………...146 xvi PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI ABSTRAK NEOLIBERALISME DAN IMPLIKASINYA BAGI STRUKTUR DAN PERILAKU LEMBAGA KEUANGAN PERBANKAN DI INDONESIA Analisis Deregulasi Perbankan Periode Tahun 1983 - 1993 Studi Analisis Deskriptif Sigit Karyadi Budiono Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2011 Dalam banyak literatur yang membahas tentang pengambilan kebijakan deregulasi sektor perbankan di Indonesia, disebutkan bahwa dasar dari pengambilan kebijakan tersebut adalah berakhirnya era booming minyak pada tahun 1980-an. Seolah-olah hanya ada satu variabel saja yang mempengaruhi keluarnya kebijakan tersebut. Studi ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada variabel lain yang mempengaruhi kebijakan tersebut. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat implikasi dari kebijakan deregulasi tersebut terhadap sektor perbankan itu sendiri. Studi ini dilakukan selama bulan Oktober 2010 sampai bulan Juli 2011 di sejumlah perpustakaan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggali sumbersumber seperti buku-buku, surat-surat kabar, jurnal ilmiah, maupun artikel-artikel lain dari internet yang sesuai dengan topik studi ini. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode analisis-deskriptif yakni dengan melihat pengaruh satu variabel dengan variabel lain dan kemudian mengungkapkannya menjadi suatu rangkaian penjelasan yang terperinci. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gelombang neoliberalisme yang ramai diadopsi di negara berkembang melalui program penyesuaian struktural menjadi penentu keluarnya kebijakan deregulasi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa capaian deregulasi untuk meliberalisasi perbankan demi tumbuhnya iklim perbankan yang sehat tidak selalu seperti yang diharapkan. Menjamurnya bank-bank baru yang membuat terjadinya persaingan yang ketat dalam dunia perbankan, semakin bergantungnya bank pada dana jangka pendek, ditambah dengan perilaku konglomerasi para pemilik modal menjadikan tingkat kesehatan perbankan menjadi buruk. Kata kunci: neoliberalisme, program penyesuian struktural, deregulasi perbankan, struktur industri perbankan, konglomerasi, kesehatan perbankan. xvii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI ABSTRACT NEOLIBERALISM AND IMPLICATIONS TO THE STRUCTURE AND BEHAVIOR OF BANKING INSTITUTIONS IN INDONESIA Analysis on Banking Deregulation Period of 1983 - 1993 Descriptive Analysis Study Sigit Karyadi Budiono Sanata Dharma University Yogyakarta 2011 In many literatures discussing about the policy making of deregulation of the banking sector in Indonesia, it was stated that the basis of policy making is the end of the oil boom era in the 1980s, as if there is only one variable that affects the release of the policy. This study attempts to investigate whether there are other variables that influence the policy. Besides, this study also attempts to look at the implications of the deregulation policy to the banking sector itself. This study was conducted from October 2010 to July 2011 in a number of libraries. The data were collected by studying the sources such as books, newspapers, scientific journals, and other articles from the internet in accordance with the topic of this study. The method used in research was a method of descriptive analysis by looking at the effect of one variable to another variable and then express it in to a series of detailed explanation. The results of this study indicated that the wave of neo-liberalism bustling adopted in developing countries through the structural adjustment programs also determined the release of the deregulation policy. The results of the research also showed that the achievements of the banking deregulation to liberalize the climate for the growth of a healthy banking was not always as expected. The growing number of new banks made the competition in the banking sector fierce, banks were increasingly dependent on short-term funds, and more over the soundness of banking was getting worse because of the conglomeration behavior of the capital owners. Key words: neo liberalism, structural adjustment programs, deregulation of banking, industrial banking structure, conglomeration, banking soundness. xviii PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penghujung tahun 1970-an dan awal 1980-an akan selalu diingat sebagai dekade perubahan fundamental ekonomi dan politik global. Hal ini disebabkan karena serangkaian peristiwa ekonomi dan politik di tataran global. Rentetan peristiwa mulai dari krisis minyak, inflasi yang tinggi, hingga pergantian sejumlah pemimpin di sejumlah negara mampu menjadi motor reformasi di berbagai belahan dunia (Harvey, 2009). Pada dekade tersebut sejumlah perubahan menerpa berbagai negara-negara di hampir seluruh penjuru dunia secara serempak. Secara umum perubahan yang terjadi pada dekade 1980-an adalah bergesernya kebijakan ekonomi, sosial, hingga politik, di berbagai negara menjadi berorientasi pasar. Kecenderungan kebijakan yang diambil oleh pemerintahan di berbagai negara menggeser orientasi kebijakan pada masa sebelumnya yang kental dengan tradisi intervensionisme negara. Hampir di seluruh belahan dunia mengadopsi gagasan-gagasan yang dikembangkan oleh sejumlah kalangan, yang dikemudian hari dikenal sebagai neoliberalisme. Kegiatan seperti meliberalisasi perdagangan, investasi, serta menswastakan perusahaan-perusahaan milik negara menjadi semacam tren umum secara global. Neoliberalisme sendiri merupakan gagasan yang melihat bahwa seluruh aktivitas dan hubungan antar manusia yang ada dalam masyarakat dilandasi oleh kepentingan transaksional (Priyono, 2003: 54). Sehingga dengan lain perkataan, 1 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI seluruh tindakan dan hubungan manusia hanya merupakan artikulasi dari kepentingan untung-rugi dalam transaksi ekonomi. Oleh karena itu sistem pasar merupakan satu-satunya model sistem bermasyarakat yang paling cocok diterapkan dalam masyarakat. Tugas pemerintah dengan demikian harus mengupayakan bekerjanya sistem tersebut. Bahkan prinsip-prinsip ekonomi dan kinerja pasar akan menjadi tolok ukur berhasil tidaknya semua kebijakan pemerintah. Dimulai dari sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang merestrukturisasi watak serta peran dari negara dalam perekonomian, kegiatan tersebut kemudian menyebar dengan cepat ke berbagai negara. Melalui peran yang dimainkan oleh institusi-institusi multilateral seperti IMF dan Bank Dunia serta para intelektual pendukungnya, gagasan tersebut mampu ditransformasikan menjadi semacam resep ekonomi yang berlaku universal untuk menggantikan manajemen ekonomi Keynesian (Sugiono, 1999). Melalui berbagai perangkat yang dibuat, wacana kebajikan pasar mampu menjadi wacana dominan serta menjadi rujukan mekanisme pengambilan kebijakan ekonomi, sosial hingga politik. Negara-negara berkembang, yang pada umumnya adalah negara bekas jajahan dari negara-negara Eropa serta Amerika Serikat, tak luput dari ”serangan” wacana neoliberalisme. Reformasi kebijakan ekonomi yang sebelumnya kental dengan tradisi intervensionisme negara, secara dramatis mampu digantikan oleh kebijakan yang mengandalkan pada hubungan tarik-menarik permintaan dan penawaran. Manajemen ekonomi yang sebelumnya seringkali dilandasi oleh rasa 2 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI nasionalisme harus digantikan oleh sistem perekonomian yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan usaha masyarakat itu sendiri. Berbagai perangkat pendukung harus ditanamkan sebagai infrastruktur kegiatan reformasi yang dijalankan oleh pemerintahan negara-negara berkembang. Diawali dari fenomena krisis keuangan dan hutang besar yang menimpa negara-negara tersebut sejumlah perjanjian dan saran kebijakan banyak diupayakan oleh lembaga multilateral sebagai proses mendorong neoliberalisme. Maka serangkaian penyesuaian struktural harus dijalankan oleh pemerintah sebagai resep mengatasi krisis. Indonesia sebagai bagian dari negara berkembang tak luput dari mekanisme-mekanisme yang dijalankan oleh negara-negara berkembang lain baik di benua Asia, Afrika, Amerika Selatan (lihat misalnya Setiawan, www.globaljust.org, Diakses 18 Maret 2010). Seperti halnya negara berkembang lainnya, Indonesia harus menerima resep reformasi yang disarankan oleh IMF dan Bank Dunia untuk mengatasi krisis pasca booming minyak. Melalui serangkaian paket deregulasi sebagai bagian dari program penyesuaian struktural, pemerintah mulai mengurangi perannya dalam bidang ekonomi. Dimulai dari paket deregulasi keuangan, paket-paket deregulasi di sektor lain mulai menyusul dan menjadi bagian dari reformasi itu sendiri. Pada beberapa penelitian dan tulisan tentang deregulasi, khususnya deregulasi sektor keuangan yang diawali dari kebijakan Paket deregulasi Juni 1983, menyebutkan bahwa landasannya adalah kebutuhan pragmatis. Hal ini seperti hendak menegaskan penolakan terhadap pandangan bahwa kebijakan 3 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI deregulasi juga merupakan hasil desakan kekuatan internasional. Seperti dalam penelitian Nasution (1991) yang menyatakan tentang alasan keluarnya kebijakan paket deregulasi 27 Oktober 1988 (Pakto 27) dan 20 Desember 1988 (Pakdes 20) adalah murni kebutuhan mobilisasi dana domestik paska oil boom tahun 1970-an. Binhadi (Binhadi, 2005) juga menuliskan bahwa kebijakan deregulasi sejak tahun 1983 merupakan kebijakan yang diambil atas dasar pertimbangan praktis saja yaitu kebutuhan mobilisasi dana untuk pembangunan sebagai konsekuensi logis atas resesi dunia di awal tahun 1980-an serta berakhirnya era oil boom. Penulis berpandangan bahwa kebijakan deregulasi sektor keuangan, yang dalam penelitian ini difokuskan pada deregulasi sektor perbankan, tidak begitu saja diambil dari pertimbangan internal saja. Neoliberalisme menurut penulis menjadi dasar yang kuat dilangsungkanya kebijakan tersebut. Maka tentu menarik untuk membuktikan apakah memang dinamika internasional yang berkembang yakni masifikasi penyebaran neoliberalisme mempengaruhi pengambilan kebijakan deregulasi sektor perbankan ataukah memang faktor internal saja yang menjadi dasar pengambilan kebijakan tersebut. Kebijakan deregulasi perbankan umumnya juga dilihat sebagai upaya untuk membebaskan dari represi finansial. Sehingga dengan demikian sektor perbankan mampu dinamis dan menjalankan peran intermediasinya. Persoalan lain yang dengan demikian bagi penulis perlu dilihat adalah bagaimana implikasi dari deregulasi sektor perbankan pada struktur serta perilaku perbankan. Hal ini untuk membuktikan apakah kegiatan deregulasi tersebut sesuai dengan harapan dari dilangsungkannya kegiatan deregulasi tersebut. 4 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI B. Pembatasan Masalah Berdasarkan pada realitas semakin kuatnya diskursus tentang neoliberalisme sebagai suatu fenomena global, maka bagi penulis menjadi menarik untuk menjadikannya sebagai bidang kajian studi manajemen. Sehingga dalam penelitian ini, menarik untuk melihat bagaimana pengaruh neoliberalisme pada manajemen pengambilan kebijakan pada suatu negara. Selain itu penelitian ini juga dimaksudkan untuk melihat implikasi dari kebijakan-kebijakan neoliberal terhadap sektor-sektor yang terkait langsung dengan kebijakan tersebut. Pembahasan pertama meliputi atas kemunculan neoliberalisme, yang didapat melalui penggalian latar belakang situasi global yang mampu mengkondisikan hadirnya neoliberalisme. Bagian-bagian yang coba diajukan meliputi beberapa gejolak serta peristiwa ekonomi-politik internasional yang berkembang pasca perang dunia kedua hingga akhir tahun 1970-an. Pembahasan di dalamnya tidak akan mengajukan semua peristiwa yang berkembang pada masa tersebut, akan tetapi hanya beberapa kejadian yang mempengaruhi perubahan radikal orientasi kebijakan di beberapa negara. Sehingga dengan demikian akan terlihat secara jelas runutan latar belakang proses perubahan orientasi kebijakan ekonomi nasional maupun internasional yang terjadi di sejumlah negara. Perubahan orientasi kebijakan ekonomi yang dimaksud adalah bergesernya peran negara yang sebelumnya kental mempengaruhi perekonomian menjadi semakin berkurang. 5 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Pada bagian selanjutnya akan coba dikaji tentang proses masuknya neoliberalisme di negara berkembang pada umumnya serta di Indonesia pada khususnya. Bagian-bagian yang dipaparkan adalah mengenai latar situasi hadirnya perangkat-perangkat reformasi ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah negara berkembang. Pengalaman penerapan reformasi ekonomi di sejumlah negara berkembang serta proses masuknya agenda reformasi ekonomi di Indonesia pada tahun 1980-an juga dibahas pada bagian ini. Pada bagian akhir, pembahasan akan difokuskan pada bentuk-bentuk kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia sebagai konsekuensi menjalankan reformasi ekonomi. Bentuk-bentuk kebijakan yang akan dilihat adalah pada kebijakan deregulasi sektor keuangan atau secara khusus adalah kebijakan deregulasi sektor perbankan pada dekade 1983 - 1993. Kebijakan deregulasi tersebut bagi penulis merupakan bagian penting dari reformasi ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah dalam kaitanya dengan masuknya neoliberalisme di Indonesia. Pada bagian ini juga dibahas implikasi dari kebijakan deregulasi perbankan pada struktur dan perilaku industri perbankan itu sendiri. C. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup 1. Rumusan Masalah Berdasarkan pada uraian latar belakang yang telah dipaparkan maka penulis mengajukan pokok-pokok rumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana awal proses berkembangnya neoliberalisme pada tataran global? 6 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI b. Bagaimana lembaga-lembaga internasional menerapkan perangkat- perangkat liberalisasi guna mempraktekkan neoliberalisme di Indonesia? c. Bagaimana pula implikasi kebijakan neoliberalisme di dunia perbankan khususnya pada struktur dan perilaku lembaga keuangan perbankan Indonesia? 2. Ruang Lingkup Studi ini akan mengulas praktek-praktek penerapan neoliberalisme, maupun pada beberapa implikasi yang dihasilkan di lapangan secara langsung. Sehingga akan dikaji mengenai kebijakan-kebijakan dari lembaga-lembaga keuangan internasional, terutama IMF dan World Bank, guna mendorong neoliberalisme. Sejumlah perjanjian dan kesepakatan antara lembaga-lembaga tersebut dengan pemerintah Indonesia akan dibahas dalam kaitannya dengan proses penerapan neoliberalisme. Selain itu juga akan dikaji bagaimana implikasi kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah paska dikembangkannya praktek-praktek neoliberalisme di Indonesia, dalam penelitian ini khususnya akan dibahas implikasinya pada kebijakan sektor perbankan nasional. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis perkembangan teori serta kebijakan yang diambil. Secara lebih khusus penelitian bertujuan untuk: 7 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI a. Menjelaskan bagaimana awal proses berkembangnya neoliberalisme pada tataran global. b. Menjelaskan proses penerapan perangkat-perangkat liberalisasi lembagalembaga internasional guna mempraktekkan neoliberalisme di Indonesia. c. Menjelaskan dampak kebijakan neoliberalisme pada struktur dan perilaku lembaga perbankan Indonesia. E. Manfaat Penelitian Sehingga hasil studi ini diharapkan dapat bermanfaat untuk : a. Pengembangan kemampuan penulis dalam melakukan suatu penelitian. Sehingga penulis menjadi terlatih untuk mengembangkan gagasan serta mendeskripsikan suatu permasalahan dalam alur logika yang sistematis. b. Menambah kajian pustaka bagi yang berminat mendalami bidang neoliberalisme dan implikasinya bagi perkembangan sektor perbankan di Indonesia. F. Sistematika Penulisan Penulisan hasil penelitian ini akan di bagi dalam menjadi lima bab. Tiap bab memuat beberapa sub bab. Adapun pembagiannya adalah bab I berisikan pendahuluan, bab II merupakan rangkaian kajian pustaka dan landasan teori yang digunakan, bab III meliputi metodologi penelitian yang digunakan, bab IV merupakan bab pembahasan masalah, dan bab V berisikan penutup. Sedangkan rincian per bab adalah sebagai berikut: 8 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 1. Bab I : Pendahuluan Bab ini akan mengemukakan, latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, landasan teori dan kerangka berpikir, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan. 2. Bab II : Kajian Pustaka dan Telaah Teoritis. Bab ini mengemukakan tentang beberapa kajian penelitian yang berhubungan dengan penelitian yang hendak penulis lakukan. Sehingga penulis bisa menambal beberapa kekurangan dan mengembangkan pada penelitan terdahulu. Selain itu pada bab ini juga memuat teori-teori yang mampu mendukung penelitian yang akan dilakukan sehingga penelitian memiliki dasar yang ilmiah. 3. Bab III : Metodologi Penelitian Bab metodologi penelitian meliputi teknik yang digunakan oleh penulis, termasuk di dalamnya jenis penelitian, variabel penelitian teknik pengumpulan data, teknik analisis data, serta hal-hal lain yang bersifat teknis dalam penelitian ini. 4. Bab IV: Analisis Data Pada bab ini penulis melakukan analisis pada data-data variabel yang telah diperoleh pada penelitian sebelumnya untuk menjawab permasalahan yang telah diajukan. 9 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 5. Bab V: Penutup Seluruh rangkaian tulisan ini akan ditutup dengan menguraikan kesimpulan dari pembahasan masalah serta sumbang saran dari penulis. 10 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Neoliberalisme Terminologi Neoliberalisme telah menjadi salah satu hal yang paling sering dibicarakan dalam kajian ekonomi-politik pada menjelang berakhirnya abad ke 20. Istilah tersebut pada awalnya tidak merujuk pada suatu penjelasan tentang ekonomi, akan tetapi berangkat dari suatu filsafat politik tentang pengaturan hubungan manusia dan masyarakat. Pada perkembangannya kemudian filsafat politik tersebut berubah menjadi menjadi suatu ideologi dalam pemikiran dan praktik ekonomi (Priyono, 2009). Filsafat politik ini berusaha menjelaskan bahwa hubungan manusia dan masyarakat dalam kaitanya dengan kebebasan yang ekstrim disegala bidang kehidupan. Kegiatan pengaturan selalu mengandung risiko pembatasan kebebasan setiap masyarakat bahkan dapat justru memunculkan perbudakan jika dilakukan melalui otoritas seperti pemerintah. Von Hayek, salah satu penggagas awal Neoliberalisme, mengusulkan tatanan yang tidak dibentuk melalui rencana atau otoritas apa pun, tetapi terbentuk secara alamiah sebagai perimbangan tindakan bebas setiap orang dalam mengejar kepentingan dirinya. Sehingga terbentuklah konsep pengurangan intervensi atau peraturan pemerintah dalam bidang-bidang kehidupan. 11 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Penjelmaan gagasan tersebut menjadi term-term ekonomi ketika disadari bahwa ada persoalan tentang bagaimana mengoperasionalisasikan ide kebebasan mengejar kepentingan sendiri dengan terbentuknya suatu tatanan dalam masyarakat. Maka gagasan liberalisme klasik tentang mekanisme ekonomi pasar, atau kegiatan ekonomi yang digerakkan oleh terbentuknya harga dari adanya tawar menawar antara penawaran dan permintaan, didorong untuk mengatur seluruh kegiatan dalam masyarakat. Implikasinya adalah masyarakat diperlakukan sebagai makhluk ekonomi dalam bidang ekonomi, politik, budaya, sosial, dan lain sebagainya. Pada titik inilah tercetus adanya tambahan “Neo” yang kemudian membedakannya dengan pengertian liberalisme klasik. Sehingga liberalisasi, privatisasi, hingga komersialisasi merupakan tujuan akhir dan bukan sarana sementara demi menerapkan dasar atau dogma yaitu mengejar kepentingan sendiri. 2. Structural Adjustment Programs (SAPs) Perangkat untuk menciptakan suatu tatanan ekonomi yang sesuai dengan cita-cita neoliberalisme diusahakan melalui beberapa kesepakatan. Salah satu diantaranya adalah Structural Adjustment Programs (SAPs). Secara historis SAPs pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang diterapkan oleh Bank Dunia dan IMF sejak tahun 1980an. Sebagaimana dinyatakan Zawalinska (2004: 4-5); The term ‘structural adjustment’ comes from the World Bank lending policy created in early 1980s which offered quick financial help for countries in need for solving problems with their balance of payments. The help was conditioned to satisfying certain economic criteria leading to ‘structural adjustment’ of an economy (O’Hara, 1999). In similar fashion, the term was used by IMF, which in March 1986 established the first 12 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Structural Adjustment Facility (SAF) to provide assistance on confessional terms to low-income developing countries (IMF, 2003). Sehingga jelas bahwa Structural Adjustment Programs adalah bagian integral, bahkan merupakan pra-syarat, dari proses peminjaman hutang kepada negaranegara berkembang. Kebijakan Structural Adjustment Programs sendiri adalah arahan kebijakan dari lembaga-lembaga donor internasional untuk mendorong institusi dan kebijakan pada sistem ekonomi berorientasi pasar. Artinya institusi-institusi politik semakin melepaskan intervensi kebijakanya dari sistem ekonomi, termasuk juga memprioritaskan ulang kebijakan belanja publik dari negara peminjam. Longhofer (www.allacademic.com, diakses 1 juli 2010) menuliskan bahwa: Structural adjustment itself is a loose term, referring primarily to the lending conditions set by international financial institutions requiring borrowing countries to roll back the state and allow markets to work freely. Milward (2000) outlines a number of reforms encompassed by structural adjustment lending, including reducing state budgets, ending subsides, devaluing national currencies, rolling back price controls, deregulating exchange rates, and divesting state resources and cutting state bureaucracy through the private sector. Program kebijakan Structural Adjustment Loan atau Enhanced Structural Adjustment Facility oleh IMF diterapkan kepada negara-negara berkembang berdasar atas perkembangan kebijakan politik negara-negara berkembang pada dekade-dekade sebelumnya (Hanief, 2001). Negara-negara berkembang yang sebelumnya kental diwarnai oleh mazhab dependensi dalam pandangan politiknya serta menerapkan pandangan-pandangan Rostow dalam kebijakan pembangunan telah menempatkan negara dalam posisi dominan. Sehingga Structural Adjustment 13 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI bertujuan untuk menggeser kekuatan politik dari negara dalam sistem ekonomi dengan kekuatan swasta. Pelaksanaan kebijakan tersebut sebelumnya melalui serangkaian tahapan (Hanief, 2001). Tahapan tersebut meliputi Policy Dialogue atau pembicaraan antara lembaga donor dengan para anggotanya yang kemudian dilanjutkan dengan Policy Advise. Selanjutnya adalah pemberian saran pada proyek yang hendak dibiayai yang baru kemudian dilanjutkan dengan arahan Structural adjustment pada konteks makro ekonominya. Pada tahap berikutnya negara kemudian menerbitkan beberapa kebijakan deregulasi dalam bentuk undang-undang, instruksi presiden, peraturan pemerintah, peraturan menteri, serta keputusan bersama menteri yang berkaitan dengan kebijakan penyesuaian struktural. 3. Kebijakan Deregulasi Sektor Perbankan Kebijakan-kebijakan negara untuk mengendalikan suatu perekonomian pada dasarnya diimplementasikan pada beberapa sektor. Kebijakan-kebijakan tersebut diantaranya meliputi Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter, Kebijakan Perdagangan, Kebijakan Investasi, hingga Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (Subiyantoro & Riphat edit, 2004). Sekian pengambilan kebijakan tersebut didasarkan pada pembacaan situasi eksternal hingga pemenuhan kepentingan dalam negeri. Deregulasi merupakan salah satu instrumen pemerintah dalam pengambilan kebijakan, termasuk dalam kebijakan-kebijakan sektor ekonomi. Deregulasi pada mulanya berhubungan dan merupakan premis ketatanegaraan, 14 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI tetapi pada kenyataannya telah berkembang sedemikian rupa menjadi wacana kebijakan ekonomi. Walaupun pada awalnya tidak dimaksudkan untuk sematamata pengambilan kebijakan sektor ekonomi, akan tetapi terminologi tersebut telah berkembang menjadi istilah teknis ekonomi dan populer karena alasan ekonomi (www.kompas.com, diakses 9 Mei 2010). Deregulasi sendiri mempunyai dasar pengertian pemindahan atau memperluas locus otoritas regulasi, yaitu dari state-regulation ke self-regulation. Kata “Self’ merupakan pengertian dari individu, badan-badan usaha atau bisnis, ataupun pemerintahan lokal yang otonom. Pengertian tersebut merujuk dari dasar self-determination dalam kebebasan dan kedaulatan pilihan individual. Sehingga pemerintah menjadi berperan sebagai penjaga legalitas tanpa sepenuhnya mampu menjadi regulator. Sehingga jika disimpulkan deregulasi bukan penghapusan regulasi, tetapi re-regulasi menurut selera pribadi dalam artian kekuatan-regulatif penentu corak kehidupan publik bukan lagi hanya daya-regulatif pemerintah, tetapi juga dayaregulatif kebebasan selera atau pilihan individual. Dalam konteks ekonomi berarti usaha mengurangi atau meniadakan aturan administratif yang mengekang kebebasan gerak modal, barang, dan jasa. Maka dengan kebebasan gerak produksi, distribusi, dan konsumsi modal, barang, serta jasa itu, volume kegiatan bisnis swasta diharapkan melonjak. Kebijakan sektor perbankan di Indonesia sejak tahun 1983 terus mendorong deregulasi sebagai lanskap kebijakannya. Pengertian kebijakan deregulasi perbankan merujuk dari uraian di atas adalah usaha memindah atau 15 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI memperluas locus otoritas regulasi, yaitu dari state-regulation ke self-regulation pada sektor perbankan. Sehingga diharapkan terjadi kelancaran arus keuangan dengan pengurangan aturan administratif yang mengekang kebebasan gerak modal. Implikasi yang diharapkan adalah volume kegiatan sektor perbankan menjadi meningkat oleh aktivitas yang dilakukan pihak swasta dalam sektor perbankan. 4. Lembaga Keuangan Perbankan Sektor keuangan dalam kenyataanya memiliki banyak sub sektor kajian. Salah satu kajian penting adalah dalam sektor keuangan adalah perbankan. Hal ini dikarenakan perbankan memiliki posisi sentral dalam perekonomian suatu negara. Sentralnya posisi dari bank adalah sebagai lembaga yang mengalokasikan modal dalam sistem ekonomi. Bank sebagai lembaga sentral dalam sistem perekonomian tentu memiliki fungsi dan peran. Sebelum membahas fungsi dan peran bank, apa yang dimaksud dengan bank itu sendiri? Freixas & Rochet (2008: 1) memberikan definisi operasional dari bank adalah sebagai berikut: “a bank is an institution whose current operations consist in granting loans and receiving deposits from the public”. Bank secara umum memiliki fungsi sebagai intermediasi keuangan atau Financial Intermediaries (FIs). Definisi dari Financial Intermediaries (FIs) adalah …an economic agent who specializes in the activities of buying and selling (at the same time) financial claims.... Roughly speaking, banks can be seen as retailers of financial securities: they buy the securities issued 16 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI by borrowers (i.e., they grant loans), and they sell them to lenders (i.e., they collect deposits) (Freixas & Rochet, 2008: 15). Perbankan di Indonesia pada dasarnya diorientasikan sebagai salah satu penunjang utama pembangunan nasional. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan dalam ikhtisar perbankan (www.bi.go.id, diakses 13 Juli 2010) “Perbankan di Indonesia bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak”. Sehingga perbankan di Indonesia berfungsi untuk intermediasi dengan kebutuhan riil ekonomi rakyat. B. Kerangka Pemikiran Seperti yang sudah diketahui oleh khalayak umum, bahwa kajian kritis tentang neoliberalisme telah banyak diulas. Dalam berbagai kajian tersebut, telah diungkapkan sekian banyak implikasi yang telah dihasilkan dari penerapan neoliberalisasi yang melanda berbagai belahan dunia. Rata-rata dari kajian tersebut, terungkap bahwa negara-negara yang telah menerapkan Neoliberalisme telah mengurangi bahkan meniadakan campur tanganya dari berbagai kegiatan ekonomi. Maka hal ini tentu merupakan perubahan drastis dari model proteksionisme-intervensionisme yang telah menjadi menjadi sandaran banyak negara sebelum munculnya periode masifikasi gelombang neoliberalisme itu sendiri. Secara tegas, Stiglitz (2006) yang pernah menjabat sebagai Dewan Penasehat Ekonomi Amerika dan Bank Dunia menyatakan bahwa neoliberalisasi 17 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI tidak lain merupakan modus baru dari proses dominasi ekonomi-politik internasional dari kekuatan perusahaan-perusahaan transnasional. Proses dominasi tersebut berjalan melalui serangkaian kebijakan-kebijakan internasional yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga internasional. Kebijakan ekonomi politik internasional seperti larangan proteksi hingga pencabutan subsidi sektor publik adalah upaya untuk melancarkan laju investasi dan akumulasi modal. Pada konteks negara-negara berkembang berlaku apa yang disebut dengan Structural Adjustment Programs sebagai praktek kesepakatan untuk mengorientasikan negara-negara tersebut pada sistem ekonomi yang semakin terbuka. Kesepakatan tersebut terjadi sebagai pra-syarat dikucurkannya hutang dari lembaga-lembaga donor internasional kepada negara-negara penerima hutang yang mengalami defisit transaksi berjalan ataupun bahkan krisis ekonomi. Structural Adjustment Programs berisi serangkaian “nasehat” dari lembaga donor kepada elit politik nasional untuk semakin melepaskan diri atau mengurangi peran mereka dari sistem ekonomi nasional. Sehingga seluruh sektor dalam sistem ekonomi nasional semakin diserahkan kepada dinamika permintaan dan penawaran dalam pasar. Sehingga dalam kesepakatan tersebut salah butir kepakatan penting adalah adanya deregulasi, yakni mekanisme pengurangan aturan dalam kegiatan ekonomi. Indonesia sebagai salah satu negara yang mengalami kesulitan modal pembangunan pasca berakhirnya bonansa minyak pada tahun 80-an, menerima program penyesuaian struktural dan menerapkan kebijakan deregulasi. Kebijakan deregulasi tersebut diterapkan pada hampir seluruh sektor dalam sistem ekonomi 18 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI nasional termasuk dalam sektor keuangan. Periode awal deregulasi di Indonesia diawali di sektor keuangan. Kebijakan Paket 1 Juni 1983, atau biasa disingkat menjadi Pakjun ’83, menjadi penanda serangkaian paket deregulasi yang lain. Kebijakan deregulasi bertujuan untuk mendorong semakin minimnya peran negara dalam menentukan aturan serta memperluas peran-peran diluar pemerintah, yakni sektor swasta. Sehingga dalam konteks sektor keuangan, peran sektor-sektor non pemerintah menjadi lebih berkembang. Maka dinamika dalam sektor-sektor keuangan akan lebih banyak ditentukan oleh swasta, baik dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu juga diharapkan sektor-sektor keuangan tidak lagi terikat aturan-aturan ketat yang dibuat oleh pemerintah. Deregulasi sektor keuangan membawa sekian implikasi pada sub-sub sektor di dalamnya. Salah satu hal yang paling menonjol dari implikasi tersebut adalah terjadinya perubahan struktur industri sektor keuangan salah satunya sektor perbankan. Perubahan yang dimaksud meliputi struktur industri perbankan, struktur persaingan, hingga struktur dana perbankan. Perubahan kelembagaan perbankan nasional tersebut tentu mempengaruhi kinerja dan output yang dihasilkan dari bank. Selain itu berubahnya struktur perbankan, deregulasi pada akhirnya juga mempengaruhi perilaku perbankan itu sendiri. Asumsi bahwa perbankan akan menjalankan fungsi sebagai lembaga intermediasi keuangan dengan mengumpulkan dan menyalurkan dana bagi seluruh lapisan masyarakat ternyata tidak berjalan dengan baik. Seringkali bank-bank yang ada hanya memberikan pelayanan yang baik bagi sekelompok orang saja. 19 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Untuk lebih jelas lihat bagan berikut: Implikasinya Diterapkan Melalui PerjanjianPerjanjian (SAPs, Ratifikasi dll) Neoliberalisasi Kebijakan Deregulasi Sektor Keuangan Berimplikasi pada Perubahan Struktur Perbankan Serta Pada Perilaku Perbankan Bagan II.1 Alur Kerangka Pemikiran C. Penelitian Sebelumnya Ada beberapa penelitian yang hendak penulis angkat dalam kajian pustaka ini. Penelitian-penelitian tersebut memang sebagian berupa buku-buku yang sengaja ditulis ataupun berupa skripsi yang kemudian dibukukan. Walaupun tidak ke semua pustaka bermuara pada fokus kajian tema yang hendak penulis angkat. Adapun tulisan yang mendekati dari tema yang coba penulis angkat adalah sebagai berikut: 20 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Penelitian yang pertama adalah Disertasi dari M. Furqon I. Hanief dengan judul Penyesuaian Struktural ekonomi dan Pemusatan Kekuasaan Politik pada Dasawarsa Deregulasi di Indonesia 1983-1993. Disertasi pasca sarjana UI ini berusaha meneliti proses liberalisasi yang berjalan pada tahun 1983-1993 pada saat terjadi juga proses pemusatan kekuasaan pada rezim yang berkuasa. Walaupun sebenarnya penelitian tersebut sebenarnya masuk dalam kategori penelitian bidang politik, akan tetapi penelitian tersebut penting dan berguna untuk menjelaskan muatan politik dalam pengambilan kebijakan deregulasi itu sendiri. Liberalisasi pada dasawarsa tersebut berlangsung karena terjadinya tekanan internasional untuk menderegulasi sistem ekonomi Indonesia. Bentuk tekanan eksternal ini adalah dipaksakannya penyesuaian struktural kepada elit-elit politik yang sedang berkuasa. Sehingga kebijakan deregulasi yang dijalankan sejak tahun 1983 merupakan kebijakan yang sarat dengan muatan kepentingan kekuatan modal internasional. Selanjutnya adalah paper penelitian Anwar Nasution (1996) yang berjudul The Bangking System and Monetary Aggregates Folowing Financial Sector Reforms. Penelitian tersebut mengangkat proses, permasalahan, serta dampak dari reformasi sektor keuangan di Indonesia, terutama sejak akhir 1980-an. Nasution menyatakan adjustment programs yang diadopsi oleh Indonesia sejak awal 1980an telah mendorong manajemen ekonomi Indonesia kepada sistem yang didasarkan pada pasar. Sehingga sistem ekonomi lebih banyak ditentukan oleh kebijakan dan dinamika ekonomi internasional. Hal ini secara fundamental mempengaruhi struktur dari sistem keuangan, aliran modal, hingga suku bunga. 21 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Penelitian tersebut menyatakan bahwa reformasi keuangan telah mendorong gelombang pemasukan modal di sektor swasta yang melengkapi tingginya tabungan dalam negeri untuk investasi keuangan dan pengeluaran konsumsi serta memacu pertumbuhan ekonomi pada tahun 1990-an. Gelombang pemasukan modal ini telah memperumit manajemen ekonomi makro karena telah menyebabkan tekanan pada apresiasi tingkat pertukaran riil dan overheating economy. Berdasar pada pembacaan terhadap beberapa penelitian dan penulisan sebelumnya, maka penulis berusaha mencoba untuk mengambil space yang ditinggalkan oleh para penulis tersebut yakni pada implikasi neoliberalisasi pada kebijakan sektor keuangan atau pada industri perbankan khususnya. 22 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan pilihan cara-cara sistematik yang akan ditempuh untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian (Tim Penyusun Pedoman Penulisan Tugas Akhir, 2008). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Tambunan (2009) penelitian kualitatif adalah proses pencarian data untuk memahami masalah sosial yang didasari pada penelitian yang menyeluruh (holistic), dibentuk oleh kata-kata, angka, dan diperoleh dari situasi yang alamiah. Dengan demikian penelitian ini mencoba menghubungkan antara teori-teori dan konsep-konsep dengan temuan data empirik melalui sarana penggalian interpretasi dari peneliti. A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian analisisdeskriptif. Penelitian analisis-deskriptif yang dimaksud adalah proses penelitian yang berusaha menggabungkan antara penelitian analisis dengan penelitian deskriptif. Sehingga metode yang digunakan adalah perpaduan metode analisis dengan metode deskriptif yaitu dengan menghubungkan antara satu variabel dengan variabel lain, atau melihat pengaruh satu variabel dengan variabel lain dan kemudian mengungkapkannya menjadi suatu rangkaian penjelasan yang terperinci (Program Studi Hubungan Internasional Universitas Budi Luhur, 2008: 6). 23 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI B. Objek Penelitian Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian yaitu perkembangan neoliberalisasi dan dampaknya bagi pengambilan kebijakan pada sektor perbankan di Indonesia (periode deregulasi tahun 1983-1993). C. Waktu dan Lokasi 1. Waktu Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 - Juli 2011. 2. Lokasi Penelitian ini dilakukan di Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Perpustakaan Daerah dan beberapa perpustakaan lain. D. Konsep - Konsep 1. Latar belakang kemunculan Neoliberalisme merupakan proses ekonomi-politik yang terjadi pada tataran internasional, untuk mewujudkan tatanan neoliberal itu sendiri. Proses tersebut baik berupa pembentukan lembaga-lembaga internasional penopang globalisasi maupun serangkaian kesepakatan internasional yang mengarahkan pada proses neoliberalisasi. 2. Neoliberalisme merupakan suatu gagasan yang massif berkembang pada akhir tahun 1970-an. Gagasan tersebut pada dasarnya melihat bahwa setiap individu merupakan makhluk ekonomi dalam bidang ekonomi, politik, hukum, budaya, dan 24 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI sebagainya. Sehingga seluruh kegiatan-kegiatan individu dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik di dalam masyarakat merupakan ekspresi mengejar kepentingannya sendiri. Maka bentuk tatanan yang paling sempurna adalah tatanan yang tidak dibentuk dari seluruh proses perencanaan dan pengaturan, tetapi tatanan yang dibiarkan terbentuk secara alamiah sebagai hasil perimbangan tindakan bebas setiap orang dalam mengejar kepentingan dirinya. Negara dengan sendirinya kemudian dituntut untuk menjauhkan seluruh campur tanganya dari kegiatan di dalam masyarakat. 3. Program Penyesuaian Struktural merupakan serangkaian aturan yang diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional kepada Negara peminjam hutang untuk menyesuaikan struktur ekonomi dan politik negara tersebut dengan resep-resep ekonomi dan politik yang diberikan. 4. Kebijakan Deregulasi Sektor Perbankan adalah usaha memindah atau memperluas lokus otoritas regulasi, yaitu dari state-regulation ke self-regulation pada sektor perbankan. Sehingga diharapkan terjadi kelancaran arus keuangan dengan pengurangan aturan administratif yang mengekang kebebasan gerak modal. 5. Liberalisasi Keuangan merupakan kegiatan untuk membebaskan proses dan kegiatan atau transaksi pada sektor 25 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI keuangan nasional sesuai dengan mekanisme pasar tanpa campur tangan negara secara ketat. 6. Organisasi Keuangan Internasional adalah organisasi- organisasi donor internasional yang didirikan menjelang dan paska perang dunia ke dua untuk membiayai pembangunan paska perang. Organisasi-organisasi tersebut kemudian berperan tidak saja meminjamkan bantuan keuangan, akan tetapi secara aktif memberikan formula penyelesaian masalah ekonomi yang mungkin dihadapi oleh negara-negara yang masuk menjadi anggotanya. 7. Perubahan struktur dan perilaku perbankan adalah terjadinya perubahan pada struktur industri perbankan serta kecenderungan perubahan perilaku yang diperlihatkan oleh dunia perbankan nasional. Perubahan tersebut terjadi karena adanya aktivitas di luar dunia perbankan itu sendiri. Aktivitas yang dimaksud adalah aktivitas politik, yakni adanya perjanjian atau kesepakatan antara lembaga-lembaga donor internasional dengan negara Indonesia untuk mengadakan penyesuaian struktural . E. Metode Pengumpulan Data 1. Pengumpulan Sumber-sumber 26 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Sumber-sumber yang digunakan untuk menganalisis masalah penelitian adalah sumber tertulis baik cetak maupun elektronik. Pengumpulan sumber-sumber meliputi sumber primer (primary sources), berupa tulisan-tulisan baik dalam bentuk buku-buku, arsip, dokumen dan artikel-artikel lain, dan sumber sekunder (secondary sources), berupa buku-buku maupun tulisan-tulisan lain sebagai pelengkap. Sumber-sumber tertulis tersebut diperoleh dari perpustakaan pribadi, perpustakaan universitas, perpustakaan daerah dan perpustakaan lain yang bisa diakses oleh penulis. Selain itu juga sumber diperoleh dari situs-situs internet. 2. Kritik Sumber Kritik sumber merupakan bentuk pengujian terhadap sumbersumber yang berhasil dikumpulkan. Langkah ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keaslian serta kredibilitas terhadap sumbersumber yang ada sehingga dapat dicapai validitas tertinggi. Dalam penelitian ini, kritik sumber dilakukan dengan membandingkan antara satu bacaan dengan bacaan-bacaan lain yang sejenis. 3. Seleksi Sumber Seleksi sumber adalah proses dimana sumber-sumber diseleksi untuk memudahkan pengkategorisasian penyusunan hasil penelitian. 4. Interpretasi 27 dan mempermudah PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Interpretasi merupakan proses mencermati dan mengelola data untuk sejauh mungkin menghindari subyektifitas. F. Rekonstruksi atau Penulisan Tahap ini merupakan tahap terakhir berupa penyajian dan penulisan hasilhasil penelitian. 28 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Negara Pasca kolonial dan Kebangkitan Neoliberalisme Situasi menjelang berakhirnya perang serta aktivitas pasca Perang Dunia Kedua sesungguhnya telah menandai arah suatu perubahan penting pada tata ekonomi politik dunia. Pada konteks global terjadi, sesuai dengan bahasa Sugiono (1999: 61), apa yang dinamakan dengan re-organisasi kekuasaan pada tingkat antar-negara. Term tersebut membingkai pengertian bahwa, terjadi perubahan pada struktur dan kultur kekuasaan pada tingkat global setelah era dominasi penguasaan dunia oleh Negara-negara Eropa pada masa kolonialisme. Hal ini terjadi karena Amerika Serikat (A.S.), selaku negara dengan kondisi ekonomi, hingga militer yang masih utuh, berupaya merubah tatanan dunia sesuai dan sejalan dengan ”kepentingan nasionalnya”. Sehingga yang terjadi sebenarnya adalah upaya pengambil-alihan hegemoni dunia oleh A.S. (Pax Americana). Pax Americana atau hegemoni A.S. dibangun di antaranya melalui sekian rentetan peristiwa penting yang menentukan bagi konstelasi ekonomi-politik global. Setidaknya ada tiga hal penting yang dilakukan oleh A.S., yakni; Pertama, konsolidasi negara-negara industri Eropa untuk mengadakan pertemuan di Bretton Woods pada tahun 1944, guna membahas masalah perdagangan dan sistem moneter dunia. Konferensi tersebut di antaranya menghasilkan kesepakatan untuk membentuk lembaga-lembaga keuangan internasional serta sejumlah kesepakatan dagang bagi para anggotanya. Kedua, mendorong isu dekolonialisasi 29 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI paska Perang Dunia Kedua, yang telah memicu tumbuh-kembangnya kemunculan Negara-negara Baru Merdeka. Negara-negara tersebut kemudian lazim dikenal dengan Negara Dunia Ketiga, Negara Belum Berkembang, Negara Pasca Kolonial ataupun sebutan-sebutan yang melekat lainnya. Ketiga, mengorganisasikan intelektual-intelektual atau teoritisi ilmu sosial untuk mengembangkan gagasan tentang dunia ketiga, keterbelakangan, dan developmentalisme. Hal ini bahkan tercermin dari pernyataan resmi dari Presiden Truman dalam pidato pelantikannya tanggal 20 Januari 1949 (Arif, 2000). Sugiono (1999) menjelaskan bahwa; sistem Bretton Woods digunakan bagi terciptanya kerangka institusional tatanan ekonomi dunia yang liberal sesuai dengan kebutuhan kepentingan A.S. yaitu maksimisasi perdagangan dan stabilitas mata uang. Pada sisi yang lain isu dekolonialisasi dan developmentalisme merupakan implikasi dari dua hal, yakni; kepentingan ekonomi A.S. serta perluasan hegemoni A.S. setelah mampu mengkosolidasikan Negara-negara Eropa Barat. Kepentingan ekonomi tesebut adalah akses atas pasar dan sumber bahan mentah yang menjadi bertentangan jika masih ada pengaruh kuat dari kolonialisme. Sedangkan kebutuhan perluasan hegemoni adalah membendung pengaruh dari kekuatan blok komunis, yang dikomandoi Uni Soviet dan merupakan lawan ideologis sistem liberalis internasional. Sehingga secara khusus developmentalisme, merupakan sarana bagi A.S. untuk turut terlibat secara aktif lewat bantuan-bantuan program kepada Negara Dunia Ketiga. Pada ranah teoritik, berkembang mainstream ekonomi Keynesian yang mengedepankan peran negara, karena adanya persoalan disequilibrium yang 30 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI melekat dalam ekonomi, dalam bentuk kebijakan pengeluaran agregatif dan pengendalian permintaan efektif. Hal ini berkaitan dengan pengalaman masa lalu tentang depresi besar yang melanda dunia pada tahun 1930-an serta proses rekonstruksi pasca perang. Maka tidak heran jika intervensi negara dalam perekonomian menjadi populer setelah masa-masa kejayaan liberalisme di tahuntahun sebelumnya. Negara-negara Pasca Kolonial sendiri mengalami masa-masa kejayaan peran negara yang kuat, selain dari pengaruh dari nasionalisme bangsabangsa baru merdeka tersebut, karena program developmentalisme yang disokong kuat oleh A.S. Perubahan besar-besaran dalam tatanan internasional kemudian terjadi pada tahun-tahun 1970-an hingga 1980-an yang terutama dipelopori oleh Inggris dan A.S. Tahun-tahun tersebut menandai awal dari kebangkitan kalangan “kanan baru”, yang berusaha mendekonstruksi tatanan internasional dengan mainstream Keynesian. Pengaruh dari kaum kanan baru ini memulai usaha untuk mendorong tatanan dunia yang mengedepankan pasar sebagai pelaku utama dalam perekonomian. Akibatnya terjadi perubahan kondisi ekonomi-sosial-politik besarbesaran di berbagai belahan dunia. Pada sub bab berikut akan dipaparkan bagaimana latar belakang kondisi ekonomi-politik dunia yang mendasari terjadinya perubahan mainstream strategi state led-development menjadi market driven-development. Pembahasan akan dimulai dari serangkaian aktivitas internasional pasca perang dunia. Salah satunya adalah hadirnya gerakan dekolonialisasi yang mendasari hadirnya Negara-negara Pasca Kolonial dengan peran sentral dari negara yang kemudian mendasari negara 31 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI turut aktif dalam kegiatan masyarakat termasuk ekonomi. Pada bagian selanjutnya, akan dipaparkan terjadinya krisis internasional di tahun 1970-an yang berjalin kelindan dengan usaha sejumlah intelektual yang mendorong perubahan orientasi kebijakan-kebijakan pemerintah baik domestik maupun luar negeri untuk semakin mengurangi peran negara dalam setiap aktivitas masyarakat termasuk dalam kegiatan ekonomi. 1. Dekolonialisasi dan Kuatnya Pengaruh Negara dalam Tradisi Negara Pasca Kolonial Rekonstruksi tatanan ekonomi-politik internasional merupakan tema dari aktivitas kegiatan utama dunia yang dilakukan pasca Perang Dunia Kedua. Kegiatan rekonstruksi tersebut secara fundamental meliputi tiga agenda besar, yaitu; pembentukan sistem Bretton Woods, perencanaan pemulihan Eropa dari kehancuran pasca perang, serta perluasan dekolonialisasi. Sehingga dengan kombinasi ketiga agenda tersebut, harapan atas terbentuknya tatanan baru atas dunia dapat terwujud. A.S. selaku negara dengan kondisi ekonomi, politik, sosial, hingga militer yang paling sedikit terkena dampak kerusakan dari perang dunia, merupakan negara yang paling dominan dalam rangkaian usaha rekonstruksi pasca perang (Sugiono, 1999). Pendapatan Domestik Bruto A.S. yang naik hampir dua kali lipat pada tahun 1945 dibandingkan dengan tahun 1940, yakni $ 1.559 miliar dari yang sebelumnya hanya $ 832 milyar, membuat mereka leluasa untuk terlibat dalam serangkaian kegiatan internasional. A.S. terlibat rekonstruksi pasca perang 32 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI diantaranya dengan menyediakan serangkaian program bantuan keuangan dan saran kebijakan bagi Negara-negara Eropa dan pasca kolonial. Program-program tersebut bagi Negara Eropa biasa dikenal dengan “Marshall Plan”, sedangkan bagi Negara-negara Dunia Ketiga dikenal dengan program “developmentalisme”. Salah satu usaha keras A.S. dalam proses rekonstruksi pasca perang adalah terbentuknya gerakan dekolonialisasi yang kemudian mendorong kemunculan negara-negara baru di Asia dan Afrika (lihat tabel 4.1). Walaupun kemudian, dekolonialisasi sering diidentifikasi sebagai hasil usaha Negara-negara Pasca Kolonial sendiri yang terinspirasi dari masifnya persebaran gagasan sosialismekomunisme, akan tetapi harus diakui dekolonialisasi mendapat dukungan kuat dari A.S. Bukti dukungan kuat dari A.S. atas dekolonialisasi terlihat dari berbagai kebijakan dan politik luar negari yang dikembangkan oleh A.S. (lihat Bradley dan Lubis, 1991). Kebijakan dan politik luar negeri tersebut dilakukan dalam konteks memperluas cakupan wilayah hegemoni. Sehingga sesuai dengan tatanan ekonomi-politik internasional atau visi ekonomi dunia liberal yang lebih dahulu diterima oleh sekutu-sekutunya di Eropa Barat. Tabel IV.1 Daftar Negara-Negara Pasca Kolonial Setelah Perang Dunia II (19451965). NO 1 TAHUN NAMA NEGARA MERDEKA 1945 Indonesia NEGARA YANG MENGKOLONIALISASI Belanda dan Jepang 2 3 1946 1948 Inggris *Inggris **Jepang 4 1951 India, Pakistan *Burma, SriLanka, Israel ** Korea Selatan, Korea Utara Libia 33 Italia, sejak 1945 mandat dari PBB PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 5 1954 6 1956 7 8 9 1957 1958 1960 10 1961 11 1962 12 14 15 1963 1964 1965 Vietnam Selatan, Vietnam Utara, Laos, Kamboja *Maroko,Tunisia ** Sudan Ghana, Malaysia Guinea *Kamerun, Senegal, Togo, Madagaskar, Benin, Niger, Burkina Faso, Pantai Gading, Chad, Afrika Tengah, Republik Kongo, Gabon, Mali, Mauritania ** Nigeria, Somalia, Zypern *** Republik Demokratik Kongo Sierra Leone, Kuwait, Jamaika, Tanganyika *Aljazair ** Burundi, Ruanda *** Uganda, Trinidad & Tobago **** Samoa Barat Kenya, Tanzibar, Singapura Malawi, Zambia, Malta Gambia, Maladewa Perancis *Perancis **Inggris Inggris Perancis *Perancis **Inggris ***Belgia Inggris *Perancis **belgia ***Inggris ****Selandia, Baru mandat dari PBB. Inggris Inggris Inggris Sumber: diolah dari berbagai sumber oleh penulis. Dekolonialisasi dan gerakan anti-kolonial oleh karenanya juga merupakan indikasi perubahan orientasi dan proyeksi model kekuasaan ekonomi-politik pada tingkat global. Pengertian ini merujuk dari situasi di mana dominasi Negaranegara Eropa atas ekonomi politik dunia semakin berkurang. Dominasi Eropa yang dimaksud adalah era bercokolnya kolonialisme atau penguasaan dan perluasan wilayah ekonomi, politik, dan sosial yang ditopang dengan kekuatan bersenjata. Dominasi kolonialisme tersebut kemudian coba digantikan oleh ide rekonstruksi tatanan dunia yang lebih liberal. 34 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Pada sisi yang lain, ide-ide rekonstruksi tatanan internasional yang liberalis-kapitalis sebenarnya tidak populer di kalangan Negara-negara Pasca Kolonial. Pengalaman historis kolektif negara-negara tersebut berhadapan dengan kapitalisme dalam sejarah kolonialisme, telah mendorong proses mengidentifikasi diri sebagai bangsa yang tidak ingin terjebak lagi dalam sistem kapitalisme. Sehingga berkembanglah gagasan tentang nasionalisme, yang berbeda dengan nasionalisme yang berkembang di Eropa, sebagai perwujudan perlawanan terhadap sistem kapitalisme serta gagasan liberalisme. Maka Negara Pasca Kolonial dalam banyak hal tampak seperti alergi terhadap kapitalisme maupun gagasan tentang free fight liberalism (Arif, 2000: 83-84). Perkembangan gagasan nasionalisme Negara-negara Pasca Kolonial pada pergulirannya menempatkan negara dalam posisi yang sentral. Negara diproyeksikan menjadi agen utama dari usaha mengikis kapitalisme dan liberalisme yang mungkin tertinggal dan tumbuh dari proses kolonialisme dimasa lalu. Negara kemudian harus mampu menjalankan tugas sebagai pengontrol penuh proses ekonomi, politik, sosial serta budaya yang berkembang di tingkatan masyarakat sehingga mampu lepas dari anasir-anasir kapitalisme dan liberalisme. Hal ini menyebabkan negara mendapat legitimasi yang kuat untuk tampil sebagai institusi yang kuat dan berpengaruh untuk memastikan proses kontrol tersebut dapat berjalan. Nasionalisme Negara Pasca Kolonial kemudian tidak saja berkembang dalam gagasan politik saja, melainkan juga dalam ekonomi maupun dalam bidang yang lain. Maka tidak heran jika kemudian berkembang gagasan tentang 35 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI nasionalisme ekonomi. Implikasinya kemudian nasionalisme ekonomi maupun manajemen ekonomi yang sentralistis dengan demikian kental dalam tradisi Negara Pasca Kolonial termasuk di Indonesia. Usaha Indonesia sendiri dalam membangun nasionalisme ekonomi tampak jelas terlihat dalam butir-butir konstitusi. Mubyarto (2000: 19-20) seakan menegaskan hal tersebut, dengan menuliskan kembali bahwa : ....”perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Negara menguasai bumi, air, dan segala kekayaan alam sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat, dan cabang produksi yang penting serta menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ekonomi rakyat adalah landasan ekonomi nasional yang harus dilindungi dan dikembangkan menuju ketahanan ekonomi nasional yang andal dan tangguh. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal 33, secara jelas mengamanatkan bahwa sistem ekonomi harus merupakan sistem yang berkeadilan dan negara harus berperan dalam membangun sistem ekonomi tersebut. Pemerintahan Soekarno yang menerbitkan berbagai kebijakan populis seperti Undang-undang, perpres, hingga keputusan menteri, merupakan bentuk usaha negara dalam mendorong nasionalisme dalam bidang ekonomi. Selain itu juga dibentuk sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang bercokol di Indonesia. Tercatat mulai dari sektor pertambangan, perkebunan, industri pengolahan, hingga sektor perbankan merupakan hasil dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Perkembangannya negara yang menjadi mesin pendorong utama dari kegiatan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam kegiatan ekonomi, seakanakan juga mendapat legitimasi dari perkembangan gagasan negara kuat. 36 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Terminologi negara kuat merujuk dari perkembangan negara yang menjadi pelaku aktif dari kegiatan-kegiatan di dalam masyarakat, termasuk dalam kegiatan ekonomi. Hal ini bertentangan dengan berbagai teori liberal yang mengandaikan negara hanya berperan sebagai ”penjaga malam” atau menangani masalah keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Krisis Malaise 1930-an dan upaya penanganannya melihat bahwa negara diperlukan untuk berperan aktif dalam kegiatan masyarakat termasuk ekonomi. Keynes dan kalangan Keynesian, dan tentunya kalangan Marxis, telah membawa kembali keraguan terhadap hipotesis ”tangan tak terlihat”. Kalangan tersebut mempertanyakan kembali kebenaran fakta tentang ekonomi kapitalis yang akan selalu mampu memanfaatkan seluruh sumber daya dan memenuhi kebutuhan yang ada. Intervensi negara dalam mekanisme pasar menjadi formulasi yang dibutuhkan dalam mengatasi depresi ekonomi melalui kebijaksanaan fiskal. Sehingga wacana intervensi negara dalam ekonomi kemudian menjadi mengemuka dan menjadi referensi utama dalam banyak negara. Teori dan pendekatan Keynesian memulai pemikiranya dari kritik terhadap konsep pasar yang meregulasi dirinya sendiri yang banyak digunakan oleh para pemikir klasik maupun neoklasik sebelumnya (Caporaso dan Levine, 2008: 236). Pasar yang meregulasi diri sendiri adalah andaian tentang sistem pasar akan mempertemukan orang yang memiliki permintaan dengan orang yang memiliki pasokan. Andaian ini dengan demikian juga memproyeksiksan kebutuhan semua orang akan terpenuhi sesuai dengan produksi dan sumber daya yang ada. Pertanyaan yang mungkin yang diajukan oleh kalangan Keynesian kemudian 37 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI adalah, jika pasar dengan sendirinya mampu mempertemukan para pembeli dan penjual, para produsen dan konsumen, mengapa pada banyak kasus seringkali terjadi para produsen gagal menjual semua hasil produksi yang mampu mereka hasilkan? Pendekatan Keynesian memfokuskan pembahasanya pada kegagalan atau ketidakstabilan proses reproduksi dan pertumbuhan dalam sistem perekonomian kapitalisme serta bagaimana mengatasinya. Keynes melihat bahwa perekonomian kapitalis yang hanya mengandalkan diri pada konsep pasar yang meregulasi diri sendiri akan berakibat pada munculnya ketimpangan. Hal ini terjadi karena tindakan-tindakan tidak terkoordinasi swasta yang didorong oleh spekulasi serta perubahan-perubahan pikiran. Pemikiran ini seakan-akan hendak menegasikan pandangan dasar mazhab neoklasik bahwa manusia dalam perilaku sehari-hari dituntun oleh rasionalitas. Sehingga ketimpangan permintaan dan penawaran hingga meluasnya pengangguran merupakan persoalan endemik, dan bukan sifat tidak sempurna jangka pendek ekonomi kapitalis individualistik seperti yang diyakini para ekonom neoklasik (Sugiono 1999: 97). Oleh karenanya intervensi negara diperlukan untuk menjamin adanya stabilitas dari proses produksi dan adanya penyerapan tenaga kerja secara memadai. Intervensi tersebut bekerja melalui kebijakan belanja publik atau kebijakan fiskal yakni upaya mengintervensi ekonomi lewat pendapatan dan pengeluaran atau belanja negara. Menurut Caporaso dan Levine (2008: 287) negara mempunyai tiga instrumen dalam kebijakan fiskal, yakni; 38 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 1. Pengeluaran pemerintah. Pemerintah menggunakan pendapatanaya untuk membeli barang dari sektor swasta, menyerap tenaga kerja, memberikan pendapatan bagi konsumen dan terhadap lembaga tanpa memperhitungkan apa kegiatan ekonomi yang dilakukan individu dan lembaga ini serta tanpa memperhitungkan apakah individu ini dapat memberikan barang dan jasa lain sebagai imbalanya. 2. Pinjaman pemerintah. Salah satu sumber pendapatan negara yang digunakan untuk melakukan pengeluran pemerintah adalah dengan meminjam dari sektor swasta. Pemerintah dapat mengeluarkan surat hutang negara (goverment bond) yang dapat dibeli oleh individu atau perusahaan. 3. Pajak. Negara juga dapat mendanai kegiatan-kegiatanya tanpa harus meminjam yaitu dengan cara mencetak uang atau lewat pajak. Kajian yang mengulas tentang dasar teori dan inti pemikiran keynesian, tentunya sudah teramat banyak, oleh karenanya penulis tidak hendak panjang lebar mengulas teori tersebut. Kiranya yang hendak diungkap disini bahwa teori Keynesian mendukung serta melegitimasi adanya peran negara atau intervensi negara dalam proses ekonomi. Sehingga tradisi negara kuat dalam negara pasca kolonial secara tidak langsung sesuai dengan perspektif Keynesian yang juga mendominasi gagasan politik dan ekonomi pasca perang dunia dunia. Maka secara langsung maupun tidak langsung juga teori Keynesian, terutama juga dikarenakan usaha A.S. mengintrodusirnya sebagai satu kesatuan dengan program bantuan atau Marshall Plan di Eropa dan developmentalisme di Negara Pasca 39 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Kolonial, turut membingkai proses rekonstruksi pasca perang. Dinamika tersebut sesuai dengan pandangan Sugiono (1999: 94) bahwa; ....dominasi manajemen makroekonomi Keynesian dalam politik produktivitas dan kompleks negara-masyarakat di Amerika Serikat menyebabkan munculnya wacana pembangunan wacana statis, yaitu diterimanya legitimasi dan keharusan peran signifikan negara dalam pembangunan ekonomi bersama tatanan dunia liberal yang, secara paradoks, menekankan pentingnya peran pasar dan, dengan demikian, membatasi peran negara. 2. Intervensi Negara dan Wacana Pembangunan Negara Pasca Kolonial Seperti sudah dibahas sebelumnya, proses rekonstruksi tatanan dunia pasca perang yang diorientasikan menurut garis liberal atau liberalisme internasional ternyata berjalan bersamaan justru dengan peran signifikan negara. Kombinasi antara liberalisme internasional dengan intervensionisme Keynesian ini seringkali juga diistilahkan dengan embedded liberalism atau ”liberalisme yang tertanam”. Harvey (2009: 20) membahasakan embedded liberalism sebagai mekanisme-mekanisme pasar dan aktivitas-aktivitas enterpreneur dan korporasi dilingkupi oleh suatu jejaring rintangan sosial dan politik dan oleh lingkungan regulasi yang kadang kala membatasi namun kadangkala mendorong kemajuan strategi ekonomi dan industri. Sehingga sepanjang tahun 1950-an hingga 1960-an embedded liberalism ini kemudian telah mendorong terciptanya tingkat pertumbuhan yang tinggi di negara-negara maju. Pernyataan Galbraith yang dengan berani telah mengumumkan bahwa kelangkaan yang telah coba ditelusuri dan diusahakan solusinya oleh para ahli ekonomi telah berakhir, bahkan negaranegara maju telah mencapai tahap ”berkelebihan” atau affluent society. Sebagai 40 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI contoh, di A.S., setelah Perang Dunia tingkat pendapatan keluarga mencapai US$ 5.820 bahkan meningkat pada tahun 1962 hingga mencapai US$ 7.640 bandingkan misalnya ketika terjadi masa depresesi tahun 1929 sebesar US$ 4.460 atau tahun 1935-1936 yang hanya sebesar US$ 3.940 (Rahardjo, 1983: 10). Meningkatnya pendapatan keluarga yang juga berarti peningkatan pendapatan negara lewat pajak kemudian memungkinkan juga bagi negara untuk untuk meningkatkan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di Inggris, misalnya, antara tahun 1945 sampai dengan pertengahan 1970-an, proporsi GDP yang dibelanjakan untuk peningkatan kesejahteraan umum meningkat dari hanya 5% menjadi sekitar 20%. Pengeluaran Nasional Health Service meningkat dari £500 juta pada tahun 1951 menjadi £5.596 juta pada tahun 1975 (Heertz, 2003: 17) Masa euphoria pertumbuhan yang tinggi tahun 1950-an hingga 1960-an pada akhirnya juga membawa implikasi bagi semakin maraknya “perhatian” terhadap negara-negara pasca kolonial. Dipelopori oleh A.S. beragam bantuan “ditawarkan” kepada Negara-negara Pasca Kolonial, mulai dari bantuan keuangan, hingga bantuan perencanaan kebijakan. Beberapa argumen mencoba menganalisis dan menginterpretasi tentang latar belakang kegiatan tersebut. Dalam argumen kalangan Marxis misalnya, struktur akumulasi fordisme menjadikan negara-negara baru merdeka semakin penting kedudukannya dalam proses akumulasi kapitalis pada tingkat global. Argumen lain menyatakan bahwa bantuan tersebut merupakan bagian dari benteng untuk membendung meluasnya gerakan komunisme di Negara-negara Pasca Kolonial. Ada juga yang menilai 41 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI bahwa kegiatan tersebut merupakan usaha untuk menguniversalkan ide-ide liberal, terutama dari A.S., demi menopang tatanan internasional pasca perang. Teori pembangunan (developmentalism) merupakan salah satu bantuan yang dikembangkan serta banyak diadopsi oleh negara-negara baru merdeka. Teori pembangunan merupakan beragam pemikiran, yang dikembangkan oleh para teoritisi sosial hingga para perencana kebijakan dari negara maju yang berusaha mengatasi “keterbelakangan” pada Negara-negara Pasca Kolonial (Hettne, 1985: 10). Beragam pemikiran tersebut menjanjikan adanya transformasi masyarakat pasca kolonial yang identik dengan “keterbelakangan” menuju masyarakat industrial seperti layaknya pada Negara-negara Kapitalis Maju. Janji transformasi masyarakat menuju kesejahteraannya, yang diasumsikan berlangsung secara mudah, kemudian membuat banyak negara-negara tersebut berupaya untuk menerapkannya. Sugiono (1999: 100) dalam tesisnya menyatakan bahwa teori Keynesian juga menjadi dasar dikembangkannya teori pembangunan di Negara-negara Pasca Kolonial. Kondisi perekonomian Negara-negara Pasca Kolonial yang berbeda dengan negara-negara maju tidak memungkinkan diterapkannya teori - teori neoklasik yang menggunakan model kompetitif statistik secara langsung. Sehingga coba diadaptasikan teori Keynesian, dalam bentuk ilmu pembangunan, pada Negara-negara Pasca Kolonial untuk mengatasi persoalan tersebut. Manajemen makro ekonomi ala Keynesian yang mendukung adanya intervensi negara secara aktif melalui mekanisme belanja defisit untuk mengatasi defisiensi permintaan agregat, dianggap tepat untuk diterapkan bagi kondisi ekonomi di 42 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Negara Pasca Kolonial. Dengan demikian ilmu pembangunan dikembangkan dalam rangka menjembatani adanya jurang pemisah antara teori pertumbuhan dalam tradisi neoklasik dengan kondisi ekonomi pada Negara-negara Pasca Kolonial. Ilmu pembangunan, yang dikembangkan dengan perspektif Keynesian, dengan sendirinya juga menekankan pentingnya peran negara dalam proses pembangunan ekonomi negara-negara tersebut. Model tahap perkembangan Rostow misalnya memberi arti penting bagi intervensi dari negara terhadap proses pembangunan (Hanief, 2001: 33). Model pembangunan ini menjadikan negara berperan sebagai agent of development. Sehingga negara menentukan tahap perkembangan ekonomi mulai dari pembentukan modal, proses industrialisasi, bahkan hingga penentuan waktu yang diperlukan dalam tahap-tahap perkembangan tersebut. Alexander Greschenkron (Sugiono, 1999: 110) melihat bahwa adanya faktor-faktor seperti kurangnya kelas pengusaha dan modal investasi maupun ketrampilan yang diperlukan membuat peran negara untuk merencanakan, mendanai dan mengelola industrialisasi menjadi esensial dalam pembangunan. Indonesia dalam usahanya untuk mengadopsi ilmu pembangunan berusaha meniru model pembangunan Rostow tersebut. Hal ini terlihat dari munculnya program REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun) di masa Pemerintah Orde Baru. Negara menjadi begitu dominan dalam proses industrialisasi. Proses perencanaan pembangunan, pembentukan modal, penciptaan kelas pengusaha, 43 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI hingga tahap-tahap pembentukan diambil alih oleh negara dan disesuaikan dengan teori-teori Rostow. 3. Stagflasi 1970 dan Pengaruh Kebijakan Thatcherism - Reaganomics Akhir tahun 1970-an merupakan masa-masa suram bagi sistem serta mampu mengguncang embedded liberalism yang telah memberi tingkat pertumbuhan yang mengesankan bagi dunia. Boughton (2001: 11) bahkan menggambarkan secara dramatis bahwa; The 1970s will long be remembered as a decade of poor economic performance and poor economics. Poor performance is the easier of the two to document: high inflation around the world, sagging productivity growth, rising unemployment, and wide domestic and international imbalances. That combination of ills even brought a new word, “stagflation,” into the language. Meluasnya pengangguran dan semakin tingginya inflasi pada tingkat global telah berpadu dan menjadikan tatanan dunia menjadi berada dalam keadaan krisis (lihat grafik 4.2). Bagi sebagian kalangan (lihat, Heertz, 2003: 19, Harvey, 2009: 22), Perang Arab - Israel turut memacu terjadinya krisis tersebut. Perang yang terjadi pada tahun 1973 ini memicu melambungnya harga minyak yang notabene merupakan bahan bakar utama dalam lingkungan industri Negara-negara Maju. Penyebabnya adalah Negara-negara Arab, yang tergabung dalam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC), menyatakan menaikkan harga minyak mentah yang kemudian diikuti dengan melakukan pengurangan produksi serta embargo minyak kepada A.S. dan Eropa. Akibatnya adalah terjadi naiknya harga-harga barang dan upah yang kemudian terakumulasi menjadi krisis 44 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI ekonomi dunia. Rangkaian krisis yang menjadi salah satu penyebab runtuhnya embedded liberalism berujung pada terjadi perubahan tatanan dunia secara dramatis yang terjadi pada periode tahun 1970-an – 1980-an. Grafik IV.2 Krisis Ekonomi Tahun 1970an: Inflasi dan Pengangguran di A.S. dan Eropa, 1960-1987. Sumber : Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis, Harvey, 2009 hlm: 25. 45 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Serangkaian perubahan paradigma dan tindakan-tindakan politik-ekonomi di berbagai belahan dunia yang terjadi tahun-tahun 1970-an – 1980-an seakanakan menjadi kebalikan dari ide-ide dan kebijakan yang dihadirkan pada periode 1950-an hingga 1960-an. Sebuah ironi yang terjadi adalah kebijakan Keynesian yang menjadi pedoman penyelamatan ekonomi pasca Krisis Malaise, seakan-akan menjadi tidak berdaya berhadapan dengan situasi krisis dunia. Pasalnya manajemen ekonomi Keynesian yang bertumpu pada ekspansi fiskal justru semakin mengakumulasi defisit publik besar-besaran di sepanjang tahun 1970-an (Sugiono 1999: 125). Sehingga kebijakan full employment dilihat justru semakin meningkatkan inflasi. Pendek kata, kebijakan Keynesian kehilangan legitimasi untuk memberi solusi atas krisis yang terjadi. Solusi yang coba dihadirkan adalah dengan memperkuat kontrol dan regulasi negara terhadap wilayah ekonomi lewat strategi-strategi korporatis (jika perlu dengan membatasi aspirasi-aspirasi buruh dan gerakan-gerakan rakyat lewat cara-cara yang tegas, lewat kebijakan-kebijakan pendapatan, dan lewat pengendalian atas tingkat upah dan harga barang serta jasa) (Harvey, 2009: 22). Alternatif ini dilontarkan oleh Rezim-rezim Sosialis dan Komunis di Negaranegara Eropa. Sehingga negara-negara tersebut mengembangkan berbagai program negara kesejahteraan misalnya seperti yang terjadi di Skandinavia dengan tradisi sosial – demokratiknya, atau sosialisme pasar di Italia dan Spanyol. Sementara di A.S. sendiri Partai Demokratik mendorong adanya regulasi yang mengatur perlindungan keamanan dan kesehatan kerja, hak-hak sipil, serta perlindungan konsumen. 46 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Persoalan yang muncul kemudian adalah solusi sosial – demokratik dan korporatisme tidak mencukupi bagi kebutuhan akan akumulasi kapital di medio 1970-an. Maka yang terjadi pertentangan dan polarisasi pendapat tak dapat dihindarkan antara kelompok yang mendukung sosial - demokratik serta perencanaan terpusat dengan kalangan yang berusaha mengunggulkan kebebasan pasar. Kalangan yang terakhir tampaknya memenangkan pertentangan pendapat tersebut dan memulai proyek-proyek, yang kemudian hari disebut, neoliberal. Mereka memandang bahwa regulasi ketat dan pajak yang tinggi dianggap tidak lagi kondusif bagi ekspansi bisnis. Sehingga, solusi bagi perekonomian agar bisa bangkit kembali adalah dengan mendorong pemerintah untuk memangkas pelayanan sosial dan meminimalkan regulasi bagi dunia usaha. Penghujung tahun 1970 seakan menjadi momentum konsolidasi bagi gerakan neoliberal. Tepatnya di bulan Mei 1979 berlangsungnya pengangkatan Margaret Thatcher sebagai perdana menteri menjadi pertanda dimulainya era ekonomi - politik pasar bebas. Bersama dengan Ronald Reagan, yang terpilih menjadi presiden A.S. tahun 1980, keduanya memulai era “Thatcherism” dan “Reaganomics”, keduanya kemudian identik dengan kedua istilah tersebut, sebagai terjemahan dari kebijakan-kebijakan ekonomi dan politiknya. Kedua pemimpin negara tersebut mengusahakan intervensi yang minimal dari negara di hampir semua bidang. Thatcher terpilih disaat stagflasi mendera Inggris begitu kuat dan membuat pemerintah tidak mampu berbuat banyak. Inflasi yang mencapai 26 persen serta meningkatnya pengangguran hingga mencapai 1 juta orang pada tahun 1975, 47 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI membuat masyarakat menderita (Harvey, 2009: 96). Krisis neraca keuangan seiring dengan defisit anggaran memaksa pemerintah Inggris untuk mengajukan permohonan bantuan kepada IMF. Permohonan bantuan tersebut kemudian disetujui oleh IMF dengan disertai sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Pemerintahan buruh kala itu kemudian dihadapkan pada pilihan antara harus memenuhi tuntutan pembatasan dan penghematan anggaran untuk pengeluaran publik serta kontrol ketat atas inflasi seperti yang diajukan oleh IMF atau menyatakan bangkrut dan mengorbankan integritas poundsterling. Pilihan pemerintahan Thatcher kemudian jatuh kepada prasyarat yang diajukan oleh badan keuangan internasional tersebut. Tidak hanya selesai dengan pembatasan pengeluaran publik, kebijakan privatisasi juga dijalankan oleh Thatcher sebagai solusi yang mampu menolong penanganan krisis ekonomi. Akibat dari kebijakan tersebut kemudian membuat sejumlah aset sektor publik beralih menjadi milik swasta. Alasan efisiensi serta kemungkinan mendapat dana segar dalam jumlah besar dikemukakan sebagai imbalan dari kebijakan privatisasi tersebut. Penjualan tersebut memang kemudian membuat pemerintah Inggris memperoleh £67 juta atau tepatnya £67.104 juta antara tahun 1979 hingga 1997 (Heertz, 2003: 23). Akan tetapi kebijakan tersebut juga telah mengakibatkan perusahaan-perusahaan telekomunikasi, batu bara, gas, baja, listrik, penerbangan, listrik, air serta saham yang cukup besar di bisnis minyak perbankan hingga perkapalan, yang pada tahun 1979 masih dikuasai oleh pemerintah Inggris, telah mengakibatkan hampir semua perusahaan dibisnis tersebut berada di tangan pengusaha swasta pada tahun 1997. 48 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Pemerintahan Thatcher juga memberlakukan berbagai kebijakan yang memberi kenyamanan bagi swasta untuk semakin giat melakukan investasi. Kebijakan tersebut antara lain; pengurangan tarif pajak bagi perorangan maupun perusahaan, penghapusan kontrol kurs mata uang asing, serta menghapus pembatasan kredit bank. Tidak berhenti sampai di situ, pemerintahan Thatcher juga membatasi kekuatan serikat buruh, dengan melakukan beberapa keputusan seperti menutup pertambangan batu bara atau membuka kesempatan bagi perusahaan asing untuk investasi pada industri baja serta otomotif. Kegiatan tersebut praktis membuat para buruh harus patuh agar mendapat lapangan kerja yang semakin berat didapatkan di era krisis tersebut. Perubahan besar-besaran juga terjadi pada kebijakan fiskal dan moneter di A.S. dalam upaya mengatasi stagflasi di A.S. pada tahun 1970-an. Perubahan orientasi kebijakan tampak begitu kental mewarnai ekonomi domestik. Kebijakan moneter dan fiskal tidak lagi mengedepankan terciptanya kesempatan kerja penuh (full employment) sesuai dengan konsep new deal yang telah menjadi pedoman dimasa sebelumnya. Kebijakan telah berubah dan dirancang menjadi usaha mengatasi inflasi tanpa mempedulikan konsekuensi seperti tidak tersedianya lapangan pekerjaan. Tahun 1979 menjadi awal dari periode perubahan kebijakan-kebijakan ekonomi A.S. Berawal dari bulan Oktober 1979, U.S Federal Reserve (Bank Sentral A.S.) mengadopsi prosedur operasi baru yang di desain untuk mengontrol secara ketat pertumbuhan moneter (Boughton, 2001: 52). Paul Volcker, kepala Bank Sentral AS, telah memulai serangkaian kebijakan untuk mengatasi inflasi. 49 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Kebijakan-kebijakan tersebut, atau dikenal sebagai the Volcker’s shock, diantaranya adalah menaikkan suku bunga secara drastis hingga mencapai dua digit (lihat grafik 4.3). Kebijakan tersebut dipertahankan sampai tiga tahun, yakni mulai dari bulan Oktober 1979 hingga Agustus 1982 (Engdahl, 2008). Grafik IV.3 Pergerakan Tingkat Suku Bunga Riil di A.S. dan Perancis tahun 1960-2001, Sebagai Implikasi Terapi Kejut Volcker. Sumber : Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis, Harvey, 2009 hlm: 39. Usai terpilih sebagai presiden A.S. menggantikan Carter, Reagan terus memulai langkah-langkah peralihan ke arah neoliberalisme di A.S. Hal ini ditunjukkannya dengan terus mendukung kebijakan Volcker dan memutuskan memilihnya kembali sebagai kepala U.S Federal Reserve dalam masa kepemimpinanya. Selain itu juga meneruskan agenda-agenda politik deregulasi yang telah dimulai pada era kepemimpinan Carter. Berbagai kebijakan seperti; mencabut kontrol atas harga minyak, melonggarkan pembatasan bidang 50 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI transportasi kereta api, penyiaran, industri minyak dan gas alam, dan enggan menegakkan perundangan anti-trust. Reagan juga seolah mengikuti jejak Thatcher dengan menurunkan tarif pajak sehingga membuat tarif marginal pajak pendapatan tertinggi di AS turun dari 70% menjadi 28% (Heertz, 2003: 25). Selain merubah orientasi kebijakan domestik, pada tingkat global pemerintahan Thatcher dan Reagan dengan gencar juga melakukan serangkaian kegiatan guna mendorong proses neoliberalisasi di berbagai negara termasuk Negara Pasca Kolonial. Kedua pemimpin negara dalam tahun 1980-an secara intens untuk “mengeskpor” gagasan tentang kehebatan pasar. Reagan misalnya, secara khusus hadir dan memanfaatkan Dialog Utara-Selatan di Cancun, Meksiko, tahun 1981 untuk memberikan “kuliah” mengenai kebajikan sistem pasar dan keburukan sistem yang terlalu banyak intervensi negara (Sugiono, 1999: 159). Usaha “mengekspor” gagasan tersebut pun kemudian menunjukkan hasil yang luar biasa. Gagasan tersebut menyebar dengan cepat dan merambah di berbagai belahan dunia. Mulai dari Amerika Latin hingga Asia Timur, India dan hampir seluruh negara-negara di benua Afrika, bahkan negara-negara yang dahulu dikenal sebagai penganjur ekonomi komunis pun mulai mempraktekkan model kapitalisme pasar bebas Anglo-American (lihat, Heertz, 2003: 26-27). Namun, Heertz (2003: 32-33) juga mencatat bahwa sejumlah pemerintahan dibeberapa wilayah enggan untuk sepenuhnya menganut formulasi reformasi kebijakan tersebut. Beberapa wilayah di Asia dan Eropa Daratan tetap saja menginginkan pemerintahannya untuk campur tangan dalam hal ekonomi maupun dalam bidang-bidang kesejahteraan. Sepanjang tahun 1990-an beberapa 51 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI pemerintahan di Asia masih saja campur tangan dalam bidang ekonomi. Sedang di Eropa Daratan, sebagian besar politisinya tidak setuju dengan model reformasi tersebut. Politisi-politisi tersebut masih ingin tetap menjaga prinsip-prinsip solidaritas dengan menciptakan sistem kesejahteraan melalui pengelolaan ekonomi demi masyarakat umum. Pada akhirnya masa pemerintahan Thatcher dan Reagan beserta penerapan kebijakan-kebijakan neoliberalnya, meninggalkan sekian implikasi yang menandai perubahan ekonomi-sosial-politik baik pada tingkat domestik maupun pada tingkat global. Sebagai contoh Harvey (2009: 149) menyatakan bahwa pada tingkat domestik implikasi dari kebijakan-kebijakan yang diterapkan justru mendorong tingginya tingkat pengangguran pada kedua negara itu sendiri. Kebijakan untuk menurunkan tingkat inflasi serta menciptakan tingkat suku bunga yang rendah, harus dibayar dengan adanya pengorbanan tingginya tingkat pengangguran. Di A.S. selama pemerintahan Reagan, rata-rata pengangguran mencapai 7,5% sedangkan di Inggris selama pemerintahan Thatcher, rata-rata pengangguran bahkan mencapai lebih dari 10%. 52 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Grafik IV.4 Rata-rata Pengangguran di Amerika Serikat tahun 1979-1982. Sumber: The Financial Tsunami: the Financial Foundation of the American Century, Engdahl, 2008. Reorientasi kebijakan ekonomi dunia dengan penerapan kebijakan neoliberalisme oleh Thatcher dan Reagan, yang diikuti oleh berbagai negara baik karena kesadaran sendiri maupun melalui tekanan, tentu menghasilkan sejumlah perubahan yang spektakuler. Setidaknya ada tiga implikasi dari proses tumbuh kembangnya neoliberalisme yang dimotori oleh A.S dan Inggris. Pertama, adalah semakin meningkatnya mobilitas arus modal. Hal ini ditandai dengan pesatnya pertumbuhan investasi langsung maupun investasi portofolio. Dari data yang diajukan oleh Spillane (2003: 178) terungkap bahwa pada tahun 1997 Foreign Direct Investment (FDI) meningkat 7 kali lipat dibandingkan dengan tahun 1970. Nilai tambah oleh perusahaan-perusahaan multinasional (MNC) meningkat dari 53 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 5% pada tahun 1980 menjadi sebesar 7% pada tahun 1997, sementara pangsa pasar ekspor dunia meningkat menjadi 33% pada tahun 1997 dari yang sebelumnya hanya sebesar 25% pada tahun 1980. Aktivitas pertumbuhan sektor keuangan serta jasa-jasa keuangan juga meningkat secara signifikan yang sejalan dengan aktivitas investasi bisnis keuangan. Data Caldentey dan Vernengo (2010: 74) menunjukkan bahwa pada 1980, nilai saham aset-aset finansial termasuk kontrak-kontrak derivatif, sedikit diatas GDP (129% dari GDP termasuk aset-aset derivatif). Pada tahun 1990, nilai saham aset-aset finansial meningkat 2 kali lipat dari GDP (253% termasuk aset-aset derivatif). Tahun 2001, nilai saham aset-aset finansial global kira-kira 6 kali dari GDP dunia dan bahkan tahun 2007 menunjukkan naik 13 kali dari nilai GDP dunia (lebih lengkap lihat grafik 4.4). Grafik IV.5 Pendalaman Sektor Finansial Global (Persentase Nilai Aset Saham dari GDP Dunia tahun 1980-2007). Sumber: Modern finance, methodology and the global crisis, Caldentey & Vernengo, 2010: 74. 54 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Implikasinya adalah peningkatan yang luar biasa pada keuntungan korporasikorporasi keuangan (lihat grafik 4.6). Sebagaimana di tulis Harvey (2009: 271) Turnover harian dari transaksi-transaksi keuangan di pasar-pasar internasional yang pada tahun 1983 sebesar $ 2,3 milyar, meningkat menjadi sebesar $ 130 milyar pada tahun 2001. Turnover tahunan pada tahun 2001 sebesar $ 40 trilyun jika dibandingkan dengan angka perkiraan sebesar $ 800 milyar yang dibutuhkan untuk mendukung arus investasi perdagangan dan produksi internasional. Persoalan yang muncul adalah pertumbuhan sektor keuangan ternyata tidak dibarengi dengan pertumbuhan sektor riil secara signifikan juga. Hal ini disebabkan karena bisnis keuangan hanya mengejar keuntungan-keuntungan spekulatif semata tanpa mempedulikan fungsi untuk menggerakkan sektor lain. Grafik IV.6 Tingkat Keuntungan Bagi Korporasi Finansial dan Non-finansial di A.S. 1960-2001. Sumber : Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis, Harvey, 2009 hlm: 266. 55 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Implikasi yang kedua adalah penyebaran neoliberalisme di seluruh dunia dengan basis teoritik ortodoksi monetaris menjadi semakin kuat di tahun 1980-an1990-an. Gabungan kekuatan lembaga keuangan internasional (W.B. dan IMF), Departemen Keuangan A.S. serta Wall Street semakin mampu untuk mendesakkan kepentingan membangun iklim bisnis yang sesuai dengan garis neoliberal. Sehingga semakin banyak negara berusaha mengadopsi reformasi neoliberal. Negara-negara Pasca Kolonial pun juga tak luput dari serangan kekuatan tersebut yakni dengan dioperasikannya program penyesuaian struktural (SAPs). 4. Bangkitnya Intelektual Kanan Baru Salah satu aspek penting dalam perkembangan neoliberalisme adalah kebangkitan intelektual-intelektual kanan baru. Kalangan tersebut muncul dengan gagasan yang melegitimasi secara teoritis diusungnya mekanisme pasar sebagai satu-satunya cara dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka bertugas mensupport penuh realisasi setiap aksi bagi terwujudnya tatanan sosial, ekonomi, dan politik yang berorientasi liberal dengan masuk ke pusat kekuasaan dan membangun lembaga-lembaga pemikir (think-tank) (Harvey, 2009: 36). Perubahan mainstream gagasan dari intervensionis negara ala Keynesian menjadi berorientasi liberal seperti yang digagas oleh kaum neoliberal, bukan merupakan fenomena yang terjadi secara tiba-tiba seiring munculnya stagflasi 1970-an. Sebuah konferensi tertutup tahun 1947, oleh Friedrich von Hayek 56 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI berhasil dijadikan ruang konsolidasi bagi sejumlah pemikir sosial untuk mewujudkan kesepakatan mereka tentang hubungan sosial yang diatur oleh pasar. Pertemuan yang dihadiri antara lain; Milton Friedman, George Stigler, Karl Popper, Ludwig von Misses, dan lain sebagainya, kemudian menghasilkan komunitas dengan nama The Mont Pélérin Society dan mampu menghasilkan perluasan jaringan yang massif selama periode 1970-an hingga 1980-an (Priyono, 2003: 51-52). Gagasan mereka secara rutin berusaha disebarkan melalui universitas-universitas maupun lembaga-lembaga kajian yang banyak berkembang di AS dan Inggris. Sehingga universitas seperti Chicago University, London School of Economics, serta Institut Universitaire de Hautes Etudes Internasionales (IUHEI) di Jenewa ataupun lembaga seperti The Institute of Economic Affairs (IEA) dan Centre for Policy Studies (CPS) menjadi penyuplai berbagai kajian dan saran kebijakan bagi pemerintah. Sugiono (1999: 144) melihat bahwa mengemukanya intelektual kanan baru terkait sangat erat dengan transformasi struktur produksi dalam perekonomian global di mana proses produksi maupun modal semakin terinternasionalisasi. Transformasi struktur produksi yang dimaksud adalah pada tataran global terjadi masifikasi gelombang pergerakan modal, yang juga secara bersamaan terjadi “revolusi” teknologi informasi dan komunikasi yang memudahkan terjadinya investasi dan kesepakatan bisnis. Maka kebangkitan kalangan kanan baru tidak saja merupakan respon atas situasi krisis yang terjadi melainkan juga bentuk reaksi atas kebutuhan modal internasional terhadap ekonomi politik global. 57 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Inti pemikiran kaum intelektual neoliberal bersandar atas pandangan bahwa pasar dan hubungan transaksional adalah dasar dari seluruh hubungan sosial antar manusia. Liberalisme klasik juga melihat bahwa hubungan transaksional adalah dasar bagi hubungan sosial akan tetapi hanya di dalam kehidupan ekonomi. Negara masih diperlukan dalam mengatur dan menyediakan prasarana publik dalam bidang-bidang kehidupan lain. Berbeda dengan yang coba dihadirkan oleh neoliberalisme. Neoliberalisme secara ekstrim melihat bahwa seluruh kegiatan di dalam masyarakat harus disediakan oleh pasar. Negara tidak mendapat tempat kecuali berperan sebagai sistem yang dapat memastikan mekanisme pasar dapat berlaku. Hal ini tidak berarti negara kemudian mengintervensi mekanisme pasar, negara justru harus menjauh dari pasar. Negara tidak punya alasan apapun juga untuk mencampuri dan mengawasi ‘pasar’, karena pasarlah yang justru merupakan prinsip yang mendasari negara dan masyarakat (Priyono, 2003: 57). Sehingga negara berusaha meneruskan tradisi menjadi “penjaga malam” tanpa harus merasa bertanggung jawab kepada masyarakat itu sendiri. Kaum neoliberal dengan demikian tidak percaya terhadap segala bentuk pengaturan, bahkan terhadap masalah yang timbul di dalam sistem pasar. Sebagai contoh, menurut penganut paham pasar bebas, negara tidak boleh mengintervensi masalah monopoli yang sering kali terjadi dalam pasar bebas (lihat Sirait, 2006: 21). Hal ini merupakan salah satu yang memicu “pembelahan” kalangan akademisi universitas-universitas di A.S. menjadi dua kubu, yakni kubu “Saltwater” dan “Freshwater”. Kubu Saltwater merupakan kelompok universitas- 58 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI universitas yang lokasinya berada di dekat pantai, seperti: Harvard, MIT, Yale, Princeton, sedangkan kubu Freshwater adalah universitas-universitas yang lebih dekat ke Great Lakes, seperti: Chicago, Minnesota, Wisconsin, Rochester. Kalangan Chicago School misalnya, berpandangan bahwa monopoli tidak akan berlangsung lama karena pasar akan segera menyesuaikan kembali mekanismenya. Bertentangan dengan pandang tersebut, Harvard School misalnya, monopoli dapat berlangsung lama dan tidak mudah untuk berubah dengan sendirinya. Implikasinya adalah solusi yang ditawarkan pun berbeda antara kubu yang satu dengan yang lain. Harvard School melihat bahwa pada kondisi tersebut, peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk memperbaiki sistem pasar maupun untuk menindak para pelaku monopoli. Sebaliknya, Chicago school menyarankan untuk membiarkan saja misalnya jika terjadi monopoli karena pasar akan segera merespon dan memperbaiki dengan sendirinya. Begitu pula dengan pelaku monopoli seharusnya dibiarkan saja atau tidak dihukum, karena merupakan hasil kemampuan dan kebebasan mereka. Dasar filosofi tentang masyarakat yang membuat kaum kanan baru menjadi berpandangan seperti itu. Bagi kanan baru, terjemahan dari masyarakat adalah kumpulan individu-individu yang otonom. Akan tetapi patut diketahui bahwa yang dimaksud indvidu bukanlah individu yang abstrak tanpa makna, melainkan individu-individu wirausahawan atau wirausahawati bebas. Individu wirausahawan atau wirausahawati tersebut bertanggung jawab memenuhi kebutuhannya sendiri dan tidak bergantung pada perusahaan tempat mereka bekerja atau negara untuk menyediakan jaminan sosial. Pengertian tersebut 59 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI memiliki konsekuensi pergeseran makna di mana hal-hal yang selama ini dianggap mnjadi masalah-masalah sosial menjadi masalah-masalah individuindividu sendiri. Sebagai contoh adalah masalah kemiskinan; persoalan kemiskinan tidak lagi diletakkan menjadi persoalan sosial, masyarakat atau negara-bangsa, akan tetapi sudah menjadi persoalan pribadi. Kemiskinan bukan lagi menjadi persoalan yang timbul karena struktur, ekonomi, sosial, maupun politik, dalam masyarakat “tidak mengijinkan” antara satu orang dengan yang lain menjadi sejahtera. Persoalan seorang individu yang dianggap malas, bodoh, tidak bekerja keras dan lain sebagainya dikedepankan menjadi alasan terjadinya kemiskinan. Maka yang diperlukan bukan suatu bentuk welfare system akan tetapi kemampuan Individual self-care. Pandangan tentang individu yang otonom dengan demikian juga menggeser bentuk social regulation menjadi self-regulation. Pengertianya adalah pelimpahan otoritas regulatif dari tangan negara yang mengatur kegiatan dan hubungan sosial kepada kekuatan dan kebebasan individu menurut selera dan pilihan individualnya. Hal ini berlaku pada berbagai bidang sosial, bidang politik, hingga bidang ekonomi, mulai dari kesehatan, pendidikan, perdagangan barang dan jasa, hingga investasi finansial. B. Structural Adjustment Programs sebagai Program Ekonomi - Politik Neoliberalisme Pada sub bab sebelumnya sudah diungkapkan bahwa mulai dari periode 1970-an akhir, kaum kanan baru secara pasti mampu merubah orientasi domestik 60 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI dan internasional yang dilandasi pandangan Keynesian. Legitimasi intervensi negara pada sistem ekonomi berhasil dimentahkan dengan jitu oleh kalangan tersebut. Intervensi negara hanya akan mengacaukan sistem pasar, yang bagi kalangan tersebut berlaku universal. Negara pasca kolonial yang kental dengan tradisi intervensi negara pun tak luput dari “serangan” kalangan Neoliberal. Oleh karenanya ilmu pembangunan sebagai disiplin khusus mengatasi keterbelakangan negara pasca kolonial, yang melegitimasi peran negara secara besar, juga ditolak oleh kalangan Neoliberal. Kondisi ekonomi spesifik negara pasca kolonial yang membutuhkan intervensi negara, menurut kaum Neoliberal hanyalah justifikasi kosong dan tidak ada alasan apapun yang memadai mengenainya. Bahkan krisis ekonomi pada tahun 1980-an dan 1990-an yang menimpa banyak negara pasca kolonial menjadi legitimasi bagi Neoliberalisme melakukan kritik atas ilmu pembangunan yang terlalu mengakomodasi intervensi negara. Perubahan situasi ekonomi-politik yang terjadi secara global tersebut pada gilirannya juga turut mempengaruhi perubahan orientasi kebijakan sosial, ekonomi, dan politik di negara pasca kolonial, termasuk di negara Indonesia. Demam Neoliberalisme juga turut menyebar dan mempengaruhi negara-negara pasca kolonial pada dekade 1980-an yang kala itu bersamaan dengan terjadinya krisis ekonomi di sejumlah negara tersebut. Bahkan krisis tersebut menjadi pintu masuk bagi agen-agen Neoliberal untuk mempengaruhi negara-negara tersebut dalam merubah kebijakan-kebijakannya. Namun satu hal yang perlu dicatat disini adalah kebijakan Neoliberal di negara pasca kolonial tidak saja diadopsi berdasar teori Neoliberal melalui jalur- 61 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI jalur yang dialogis serta rasional. Importasi ide-ide kanan baru berlangsung melalui kombinasi berbagai media, mulai dari jalur akademik hingga tekanan ekonomi-politik. Bahkan ditengarai bentuk-bentuk koersi merupakan jalur yang lebih dominan bagi negara-negara pasca kolonial dalam menerapkan deregulasi, privatisasi, hingga liberalisasi dalam kebijakan domestiknya maupun dalam hubungannya dengan luar negeri. Sub bab berikut berpretensi untuk menelusuri model koersi yang diterapkan kalangan kanan baru khususnya lembaga-lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) maupun Bank Dunia (WB). Model koersi yang diterapkan adalah diterimanya Program Penyesuaian Struktural (SAPs) yang mulai diterapkan pada tahun 1980-an. Dengan demikian mampu untuk menjelaskan latar belakang diadopsinya kebijakan-kebijakan Neoliberal serta pengalaman penerapan penyesuaian struktural di negara negara berkembang serta khususnya yang terjadi di Indonesia. 1. Hutang dan Kemunculan Structural Adjustment Programs Neoliberalisme hadir dan berkembang di negara-negara pasca kolonial serta negara berkembang lainnya secara berbeda dibandingkan dengan yang terjadi di Eropa barat ataupun A.S. Kekuatan-kekuatan korporasi-korporasi besar, intelektual, hingga politisi dalam negeri merupakan faktor yang lebih banyak menjadi penentu berkembangnya Neoliberalisme di negara-negara seperti Inggris maupun A.S. Negara-negara pasca kolonial mengadopsi Neoliberalisme lebih 62 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI banyak disebabkan adanya suatu paksaan oleh kekuatan-kekuatan internasional. Seperti diungkapkan oleh Sugiono (1999: 158-159): …perlu dicatat bahwa memandang importasi ideologi pasar semata-mata sebagai proses “sukarela” seperti termanifestasi dalam transnasionalisasi pengetahuan bisa menyesatkan. Sejenis koersi oleh kekuatan dunia maupun lembaga-lembaga internasional yang kuat, IMF dan Bank Dunia, juga berperan serta dalam proses formasi blok historis baru hyper-liberalisme tersebut. Sejumlah kegiatan telah dilakukan oleh negara-negara maju, utamanya oleh A.S, maupun oleh lembaga-lembaga keuangan internasional untuk meyakinkan dan memastikan pemerintah negara-negara pasca kolonial menerapkan ide-ide kanan baru. Sejumlah kalangan mencatat (Harvey, 2009: 66 dan Sugiono, 1999: 159161) bahwa kegiatan-kegiatan seperti melakukan lobi politik, tekanan finansial, bahkan konspirasi politik yang berujung kudeta militer di sejumlah negara berkembang, pernah dilakukan oleh kekuatan internasional untuk memaksakan diadopsinya neoliberalisme di negara-negara tersebut. Salah satu usaha mengadopsi kebijakan neoliberal di negara pasca kolonial adalah munculnya Structural Adjustment Programs (SAPs) atau Program Penyesuaian Struktural. Seperti dirujuk oleh Hanief (2001: 41) : Besarnya dorongan ke arah liberalisasi di wilayah Asia Tenggara, antara lain dipengaruhi oleh program Structural Adjustment atau program penyesuaian struktural yang banyak diterima oleh negara-negara di kawasan tersebut. Sehingga penyesuaian struktural pada hakikatnya merupakan proses liberalisasi ekonomi di negara berkembang. Kemunculan program penyesuaian tersebut di negara pasca kolonial serta negara berkembang lainnya berlangsung sejak tahun 1980-an. Pada tahun-tahun tersebut sedang berlangsung krisis ekonomi yang memukul sebagian besar negara pasca 63 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI kolonial dan negara berkembang lainnya. Penyesuaian struktural kemudian dianjurkan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional, baik oleh IMF maupun World Bank, sebagai solusi mengatasi permasalahan krisis yang timbul. Solusi tersebut berupa serangkaian ide tentang pengendoran restriksi perdagangan serta upaya menjauhkan intervensi pemerintah dari sistem perekonomian. Persoalan yang muncul kemudian, sebagai suatu saran kebijakan ekonomi, penyesuaian struktural menjadi begitu mengikat bagi negara-negara tersebut untuk melaksanakan saran-saran dari IMF dan World Bank itu. Penyesuaian struktural telah menjadi prasyarat peminjaman ataupun penjadwalan utang luar negeri negara-negara berkembang, suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam mekanisme pengucuran utang. Saran kebijakan ekonomi tersebut telah berubah menjadi suatu bentuk paksaan penerapan kebijakan. Hal ini menyebabkan negara-negara berkembang tidak lagi memiliki keleluasaan dalam menentukan orientasi kebijakan domestik dan luar negerinya. Seperti sudah dibahas di awal sub bab sebelumnya lembaga-lembaga keuangan internasional, IMF dan World Bank, merupakan produk dari pertemuan rekonstruksi pasca perang. Pertemuan yang dipelopori oleh Amerika Serikat dan Inggris yang rombonganya diketuai oleh J.M. Keynes kemudian menghasilkan beberapa kesepakatan yang diantaranya adalah membentuk lembaga-lembaga ekonomi multilateral. Lembaga-lembaga yang dimaksud diantaranya sekarang dikenal dengan nama International Monetary Fund dan World Bank. Kedua Institusi tersebut juga lazim disebut dengan institusi bersaudara, karena disepakati berdiri secara bersamaan walaupun dengan tugas yang berbeda. IMF terbentuk 64 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI atas prakarsa AS dengan dana sebesar US$ 58,8 milyar, dengan posisi sebagai penyumbang terbesar yakni sekitar 25 % (Petras dan Veltmeyer, 2002: 199). Berdiri pada bulan Juli 1944 di Bretton Woods, New Hampshire, A.S, bertugas pengatur sistem keuangan internasional. Salah satu tugas pokok IMF adalah membantu negara-negara anggota yang dilanda krisis neraca pembayaran yakni dengan memberi bantuan pinjaman keuangan jangka pendek untuk menyeimbangkan anggarannya. Sedangkan Bank Dunia yang secara resmi disebut sebagai International Bank for Reconstruction and Development bertugas memberikan bantuan pinjaman keuangan untuk pembangunan dan pemulihan ekonomi pasca perang. Bank Dunia berperan memberikan bantuan lunak (soft loan) atau bahkan hibah (grant) dalam bentuk paket-paket proyek dan program pembangunan infrastruktur, pendidikan, pemberantasan kemiskinan (poverty alleviation), menjaga lingkungan dan lain sebagainya (Prasetiantono, 2003:115). Akan tetapi tahun 1980-an terjadi peningkatan peran dari lembagalembaga keuangan internasional. IMF dan Bank Dunia tidak lagi hanya berperan sebagai institusi yang bertugas mengkoordinasikan sistem moneter internasional serta mengalokasikan dana untuk membantu negara anggota. Keduanya telah berkembang menjadi penentu sejumlah perubahan orientasi kebijakan ekonomi negara-negara berkembang. Hal ini terbukti dari kuatnya pengaruh kedua institusi tersebut untuk memaksakan penyesuaian struktural sistem ekonomi negara berkembang. Penyesuaian struktural sendiri bermula dari persoalan krisis utang yang melanda negara berkembang pada tahun 1980-an. Negara berkembang pada saat 65 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI itu mengalami suatu keadaan dimana mereka mengalami gagal bayar karena utang telah melebihi devisa negara-negara tersebut. Utang luar negeri yang semula merupakan pinjaman modal pembangunan telah berubah menjadi beban yang justru menggerogoti surplus hasil pembangunan itu sendiri. Akibatnya adalah proses rekapitalisasi untuk proses pembangunan selanjutnya tidak terjadi. Konsep utang pembangunan secara teoritis didasari dari teori “two gap” yang merupakan perluasan dari teori Harrod-Domar. Teori “two gap” yakni teori mengasumsikan bahwa negara berkembang selalu mengalami dua kesenjangan dalam pembangunan. Kesenjangan yang pertama; negara berkembang tidak mempunyai kemampuan untuk menabung yang merupakan hal dasar sebagai modal pembangunan. Masyarakat negara berkembang yang hanya menghasilkan pendapatan subsisten tidak memungkinkan untuk menabung. Kesenjangan yang kedua; negara berkembang mengalami selalu kesenjangan nilai tukar mata uang asing. Kesenjangan nilai mata uang asing kemudian membuat perbandingan antara ekspor dan impor selalu defisit. Karena nilai ekspor selalu lebih rendah daripada nilai impor karena kesenjangan nilai tukar tersebut. Logika dari “dua kenjangan” tersebut mempunyai implikasi teoritis bahwa tingkat investasi domestik tidak memadai untuk melakukan pembangunan. Utang luar negeri oleh karenanya diperlukan sebagai sarana kecukupan modal pembangunan tersebut. Utang luar negeri kemudian juga seakan mendapat legitimasi dari fakta bahwa dari proses pembangunan yang mengandalkan utang luar negeri, memang mampu menampilkan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan di negara berkembang. Data dari Komisi Selatan (1992: 45), menyajikan bahwa pada tahun 66 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 1960 - 1970 negara berkembang mampu mendongkrak tingkat pertumbuhan total Produk Domestik Brutonya (PDB) pada tingkat yang mengesankan yakni sebesar 6 %. Bahkan negara-negara tersebut mampu mempertahankan pertumbuhan total PDB pada sebesar 5 % pada tahun 1970 – 1980 (lihat grafik 4.7). Grafik IV.7 Rata-rata Pertumbuhan PDB Per Kapita dan Total PDB Negara Berkembang, 1960-1987. Sumber: Tantangan yang Menghadang Selatan, 1992: 45. Persoalan yang muncul kemudian, pada sisi lain terjadi juga peningkatan yang pesat pada utang luar negeri negara-negara tersebut (lihat grafik 4.8). Persentase utang luar negeri cenderung naik dari tahun ke tahun. Paruh kedua tahun 1970-an, persentase hutang tersebut bahkan mencapai kisaran diatas 30%. Pada tahun 1974-1975 misalnya, persentase utang naik hingga mencapai 33%. 67 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Walaupun terjadi penurunan pada tahun 1976, utang tersebut kembali naik hingga mencapai puncaknya pada tahun 1977-1978 yang hampir mencapai 35%. Hal ini Grafik IV.8 Persentase Pertumbuhan Utang Luar Negeri Negara Berkembang, 1966-1982. Sumber: Financial Flows to Developing Countries:Recent Trends and Near Term Prospects, Suttle, 2003: 8. berarti bahwa pembangunan dengan orientasi pertumbuhan yang tinggi ternyata dibayar dengan laju pertumbuhan utang yang tinggi juga. Laju pertumbuhan utang pembangunan yang pesat tersebut terjadi ketika pada tahun 1960-an gelontoran utang dalam jumlah besar semakin gencar dilaksanakan. Adanya program-program internasional dari Bank Dunia serta IMF menambah alasan bagi masifnya pemberian pengucuran utang bagi negara-negara tersebut. Seperti yang tertulis dalam laporan Komisi Selatan (1992: 41), bahwa; 68 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI …Bank Dunia membentuk Asosiasi Pembangunan Internasional (IDA) pada tahun 1960, dengan tugas untuk memberikan pinjaman atas syarat-syarat yang ringan kepada negaranegara sedang berkembang yang paling miskin. Dana Moneter Internasional (IMF) membentuk kompensasi bantuan keuangan (Compensatory Financing Facility, CFF) pada tahun 1963, dengan sasaran mendukung usaha negara-negara sedang berkembang untuk menangani krisis perdagangan luar negeri yang disebabkan oleh amblegnya pendapatan dari ekspor komoditas primer atas sebabsebab yang berada di luar kemampuan penanganan mereka. Pinjaman kemudian tidak hanya dikucurkan oleh negara-negara maju maupun oleh lembaga keuangan multilateral (IMF dan Bank Dunia), akan tetapi bankbank komersial internasional juga mulai memberikan kredit bagi negara-negara Amerika Selatan, Afrika dan Asia. Bahkan bank-bank komersial internasional mulai mendominasi kucuran utang luar negeri bagi negara-negara tersebut di tahun 1970-an. Penerimaan total luar negeri negara-negara berkembang dari bantuan resmi pembangunan menurun dari 58 % menjadi 30 % pada tahun 19601978, sedangkan pinjaman dari bank-bank swasta meningkat dari 2 % menjadi sekitar 33 % (Hossein-zadeh, http://faculty.cbpa.drake.edu, diakses 4 Februari 2011). Ada beberapa alasan yang mendasari peningkatan aktivitas utang luar negeri tersebut. Pada tingkat internasonal terjadi likuiditas yang amat besar dalam sistem bank internasional. Dari data yang dihimpun Neves (2009) tahun 1960-an hingga tahun 1970-an, jumlah uang di bank-bank swasta meningkat sebelas kali lipat; dari 10 milliar USD menjadi 110 milliar USD. Menurut laporan komisi selatan (1992: 75), hal ini disebabkan adanya implikasi dari “oil price shock”. Terjadi suatu trend untuk menggunakan surplus finansial dari negara-negara eksportir minyak dalam kegiatan investasi. Selain itu juga adanya ekspansi pasar 69 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI uang Eropa serta resesi ekonomi di negara-negara industri. Sehingga tumbuh keinginan untuk memberikan kredit kepada negara-negara berkembang yang sedang mengalami pertumbuhan yang pesat. Kasus meksiko merupakan contoh nyata proses ekspansi luar biasa dalam konteks utang luar negeri. Harvey (2009: 166) memaparkan bahwa utang luar negeri dimulai dari tidak adanya modal pembiayaan perusahaan-perusahaan negara. Bank-bank investasi New York kemudian menggunakan Petrodollar yang dimiliki sebagai kredit bagi Meksiko memutar roda perekonomian. Pinjaman tersebut bahkan disertai dengan suku bunga yang menarik sehingga membuat Meksiko kecanduan untuk terus meningkatkan jumlah utangnya. Hasilnya adalah meningkatnya utang luar negeri dari $ 6,8 milyar pada tahun 1972 menjadi $ 58 milyar pada tahun 1982. Persoalan besar kemudian muncul ketika pada tahun 1980-an, stagflasi yang memukul negara-negara industri maju kemudian juga membawa sejumlah implikasi bagi negara-negara berkembang. Hadirnya kebijakan A.S. dan Eropa untuk menaikkan suku bunga sebagai upaya menangani stagflasi, ternyata berubah menjadi suatu beban baru yang harus dipikul oleh negara berkembang. Naiknya suku bunga internasional juga membuat suku bunga pinjaman luar negeri negara berkembang juga meningkat (lihat grafik 4.9). Akibatnya adalah beban utang luar negeri menjadi lebih tinggi. Cicilan pembayaran atas utang pokok dan bunganya melampaui nilai pinjaman yang sebenarnya. Sehingga yang terjadi adalah pengurasan ekonomi negara-negara berkembang sejak tahun 1984. Jumlah transfer bersih pada tahun 1984-1988 bahkan mencapai $ 163 milyar (lihat grafik 70 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 4.10). Membengkaknya pinjaman luar negeri tersebut memunculkan episode krisis utang atau yang sering disebut dengan “the lost decade”. Grafik IV.9 Suku bunga Nominal dan riil, 1972-1988 Keterangan: • • Suku bunga nominal: laju inter-bank Eurodolar enam bulanan. Suku bunga riil: Suku bunga nominal dikurangi dengan perubahan dalam unit nilai ekspor negara-negara berkembang. Sumber: Tantangan yang Menghadang Selatan, 1992: 78. Selain berimplikasi pada membengkaknya hutang luar negeri, naiknya suku bunga internasional juga mempengaruhi pada jatuhnya harga komoditas ekspor negara-negara berkembang. Sebagai contohnya, harga daging sapi dari Argentina jatuh dari 2.25/kg pada tahun 1980 ke 1.60 pada akhir 1981; harga gula dari Brazil dan negara-negara Karibian jatuh dari 79 cent/kg ke 27 cent/kg pada 71 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI tahun 1982 (Neves, 2009). Hal ini semakin memukul perekonomian negaranegara tersebut. Grafik IV.10 Pembayaran Utang Luar Negeri Dikurangi Nilai Pinjaman. Sumber: Tantangan yang Menghadang Selatan, 1992: 79. Tahun 1980-an dengan demikian menandai suatu babak baru bagi negara berkembang. Dimulai dengan adanya krisis utang dan semakin menurunya penerimaan negara dari ekspor kemudian berakumulasi menjadi jalan masuk bagi asistensi negara-negara tesebut oleh lembaga-lembaga keuangan multilateral. Asistensi tersebut berupa pengarahan kebijakan ekonomi yang disandarkan dari analisa serta perencanaan ekonomi oleh para pejabat lembaga tersebut. Pemerintah negara berkembang kemudian bertugas mengikuti saran pencanaan kebijakan tersebut untuk mengatasi persoalan krisis ekonomi yang muncul. IMF dan Bank Dunia dalam proses melakukan asistensi arahan kebijakan mengatasi krisis tahun 1980-an yang melanda negara berkembang telah 72 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI menginisiasi suatu kebijakan baru. Persoalan krisis utang maupun defisit neraca pembayaran ditanggapi dengan saran stabilisasi dan restrukturisasi ekonomi sebagai pra-syarat penjadwalan kembali pembayaran utang yang telah jatuh tempo. Awalnya kebijakan tersebut hanya diperuntukkan bagi negara-negara yang paling parah terkena dampak krisis, akan tetapi kebijakan tersebut berkembang sebagai suatu panduan umum bagi seluruh negara yang mengalami goncangan ekonomi. Kebijakan tersebut kemudan dikenal dengan paket “Program Penyesuaian Struktural”. Hadirnya Program Penyesuaian Struktural menurut Harvey (2009: 48) merupakan hasil dari proses pembersihan lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia dari semua pengaruh Keynesian pada tahun 1982. Intelektual Keynesian yang mengembangkan kebijakan berorientasi pasar yang terkendali coba disingkirkan dari seluruh ranah kebijakan IMF dan Bank Dunia. Pendukung kebijakan ekonomi-politik Neoliberal kemudian menduduki jabatan penting di Lembaga-lembaga multilateral tersebut. Implikasinya kemudian kedua institusi Bretton Woods tersebut yang pada dasarnya dibangun sebagai badan koordinasi internasional untuk menghindari kejutan-kejutan spekulasi pasar coba dirubah sedemikian rupa sehingga semakin mengakomodasi terciptanya kebijakankebijakan Neoliberal. Penyesuaian struktural menurut Sugiono (1999: 164-167) setidaknya memuat empat komponen pokok dalam merestrukturisasi sistem ekonomi sesuai dengan ide pasar. Komponen pertama adalah devaluasi mata uang dan penyesuaian nilai tukar. Devaluasi dianggap sebagai langkah untuk menyesuaikan 73 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI current account dan neraca perdagangan ketika nilai tukar yang overvalued mengakibatkan bias ekspor. Sehingga dengan mendevaluasi mata uang mampu membuat ekspor bisa lebih kompetitif. Penyesuaian nilai tukar adalah strategi yang diharapkan sama efeknya dalam peningkatan ekspor, akan tetapi dengan proyeksi jangka panjang. Komponen yang kedua adalah tindakan-tindakan manajemen demand. Komponen ini dapat juga disebut dengan usaha untuk mengontrol dan mengurangi inflasi yang tinggi. Maka kegiatan yang dilakukan adalah mengontrol pertumbuhan suplai uang atau mendorong kebijakan uang ketat. Sehingga dalam kebijakan tersebut diusahakan untuk mereduksi upah, mereduksi pengeluaran publik dan pelayanan publik. Komponen ketiga yaitu restorasi mekanisme pasar. Komponen ini mengisyaratkan untuk menyingkirkan seluruh hambatan-hambatan dalam bekerjanya mekanisme pasar. Sehingga yang dibutuhkan adalah kebijakan liberalisasi dan deregulasi. Sedangkan komponen terakhir rekomendasi privatisasi. Komponen ini bermaksud sebagai dorongan bagi proses disinvestasi atau penjualan bagian-bagian sektor publik dan sub kontrak aktivitas sektor publik kepada sektor swasta. 2. Pengalaman Penyesuaian Struktural di Negara Berkembang Program penyesuaian struktural sebagai mana telah dibahas sebelumnya, pada awalnya dimaksudkan sebagai paket reformasi untuk menangani krisis ekonomi yang menimpa negara berkembang. Sejak akhir tahun 1970-an, seiring dengan timbulnya krisis, berbagai negara di Afrika, Amerika Selatan, serta Asia mulai menerima paket tersebut. Berbagai paket reformasi di bidang sosial dan 74 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI ekonomi mulai diterapkan secara intensif selama dekade 1980-an hingga 1990-an, oleh pemerintahan negara-negara tersebut dengan ekspektasi yang tinggi beban krisis akan mampu dikurangi. Negara-negara Afrika dalam pengalamannya melakukan penyesuaian struktural, seperti diungkapkan Olukoshi (2000), telah dimulai sejak akhir tahun 1970-an. Pemerintahan negara-negara tersebut menerima dan menerapkan penyesuaian struktural sebagai bagian dari saran manajemen penanggulangan krisis ekonomi. Melalui kebijakan-kebijakan di bidang sosial hingga ekonomi program-program penyesuaian struktural diadopsikan dengan mengikuti panduan dari IMF dan Bank Dunia. Selama dua dekade implementasi program penyesuaian struktural di benua Afrika, sejumlah implikasi telah dihasilkan. Secara umum implikasi yang dihasilkan adalah mekanisme pasar semakin menguasai sektor-sektor ekonomi dan sosial masyarakat. Sektor-sektor perdagangan, keuangan, pertanian, kesehatan, pendidikan dsb. secara jelas mulai dikoordinasikan melalui mekanisme pasar yang menggantikan peran negara yang dominan diperiode sebelumnya. Keadaan yang tidak jauh berbeda juga menimpa sebagian besar negaranegara Amerika Selatan serta negara-negara di Asia. Berkembang pada tahun 1980-an, penyesuaian struktural telah menjadi bagian integral dari mekanisme pengambilan kebijakan di negara berkembang. Liberalisasi di berbagai bidang terus menjadi agenda utama dari proses reformasi yang dijalankan oleh pemerintah. Selain itu deregulasi serta privatisasi juga terus digalakkan guna 75 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI mendukung proses investasi dan perdagangan di seluruh sektor-sektor sosial dan ekonomi masyarakat. Sejumlah pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, apa akibatnya bagi sektor-sektor terkait yang masuk dalam agenda reformasi? Bagaimana implikasinya bagi kinerja ekonomi nasional? sejauh mana kemudian kegiatan reformasi tersebut dapat mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat? Serta sejumlah pertanyaan lain terus berdengung serta mengiringi proses reformasi yang dijalankan oleh negara-negara berkembang tersebut. Bagi sebagian pengamat, (lihat misalnya, Yustika, 2004 atau SAPRI dan CASA, 2002), secara umum proses penyesuaian struktural yang berlangsung lebih banyak mendatangkan hasil yang negatif dibandingkan hasil positifnya. Menurut Yustika (2004: 5), kasus di banyak negara berkembang yang menerapkan proses reformasi ekonomi yang mengedepankan meminimalitas intervensi negara tidak menjamin dicapainya kinerja ekonomi secara lebih baik. Sebagai contoh, 48 negara berkembang yang menerima saran reformasi tersebut tidak menjadi lebih maju dibantingkan dengan periode sebelum menjalankan reformasi. Bahkan 32 dari 48 negara tersebut berubah menjadi lebih miskin. SAPRI (the Structural Adjustment Participatory Review Initiative) dan CASA (the Citizens’ Assessment of Structural Adjustment) (2002) telah melakukan penelitian terhadap sejumlah negara, seperti Ekuador, Filipina, Bangladesh, Zimbabwe, serta beberapa negara lain. Dalam penelitianya terhadap negara-negara yang telah melaksanakan penyesuaian struktural, memaparkan sejumlah data yang senada dengan pernyataan Yustika tersebut. Dalam hal 76 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI liberalisasi perdagangan misalnya, walaupun terjadi peningkatan perdagangan export namun kegiatan import jauh lebih tinggi bahkan mengakibatkan defisit neraca perdagangan. Sebagai contoh, perbandingan antara rata-rata pertumbuhan import dengan rata-rata pertumbuhan export pertahun Ekuador adalah sebesar 15% berbanding 5.6%. Nilai import Ekuador memang tumbuh dengan impresif, yakni dari 1,6 miliar dollas AS pada tahun 1990 menjadi 5,1 miliar dollar AS pada tahun 1998. Dalam penelitian tersebut, juga dipaparkan bahwa reformasi ekonomi dengan berorientasi pasar justru telah membuat pasar tenaga kerja menjadi menyusut. Zimbabwe yang sejak 1991 menerapkan reformasi ekonomi, menunjukkan fakta bahwa penyerapan tenaga kerja pada sektor formal terusmenerus menyusut. Sehingga dari fakta tersebut dapat diartikan bahwa, penyesuaian struktural telah menyebabkan informalisasi ekonomi menjadi meningkat. Laurell (2000) juga menegaskan kenyataan ini dalam tulisannya tentang implikasi penyesuaian struktural di amerika latin. Deregulasi hubungan kerja telah memfasiltasi perubahan atau menggantikan lapangan kerja sektorsektor formal menjadi informal, bahkan menurut ILO 84% pekerjaan yang tumbuh pada tahun 1990 adalah sektor informal (Laurell, 2000: 311). Ketimpangan pendapatan juga menjadi salah satu persoalan dasar yang diakibatkan adanya penyesuaian struktural. Ketimpangan pendapatan per kapita antara kelompok masyarakat paling miskin dengan yang paling kaya terus meningkat dari tahun ke tahun. Ketimpangan pendapatan yang terjadi Hungaria meningkat dari 4-4,5 kali sebelum tahun 1990 menjadi 8-9 kali pada tahun 1999, 77 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI sehingga pertumbuhan pendapatan yang tinggi yang didapat oleh kalangan paling kaya harus berjalan beriringan dengan pemiskinan yang tragis di kalangan berpendapatan rendah (SAPRI dan CASA, 2002: 54). Reformasi sektor keuangan di negara berkembang juga menunjukkan suatu persoalan tersendiri. Penelitian SAPRI dan CASA (2002: 67-68) menunjukkan beberapa indikasi bahwa: 1. Liberalisasi tidak meningkatkan level efisiensi ekonomi pada umumnya dan sektor finansial pada khususnya. 2. Liberalisasi sektor finansial secara langsung maupun tidak langsung telah ikut meningkatkan kegiatan spekulasi di pasar finansial serta investasi pada sektor non produktif. 3. Melemahnya negara dengan segala aturan-aturanya telah membuat perekonomian justru berada pada bingkai oligopoli atau bahkan monopoli suatu kelompok. 4. Reformasi keuangan telah membuat aset-aset finansial semakin terkonsentrasi pada beberapa pengusaha swasta saja, dibandingkan dengan membantu mengembangkan investasi produktif yang akan menstimulasi perekonomian secara nasional. 5. Sektor-sektor penting dalam ekonomi dan kelompokkelompok masyarakat menjadi tidak bisa mengakses kredit secara mudah. Perusahaan-perusahan kecil dan menengah, produsen-produsen lokal dan pedesaan serta perempuan hanya mempunyai akses yang sangat terbatas pada sistem finansial formal dikarenakan adanya suku bunga yang tinggi sebagai hasil 78 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI dari liberalisasi dan hambatan-hambatan seperti persyaratan-persyaratan kelayakan untuk peminjaman. Hasil dari penelitian tersebut tentunya menjadi suatu ironi. Sebab mengacu dari ide atau gagasan yang digembar-gemborkan oleh para penganjur reformasi ekonomi bahwa liberalisasi sektor keuangan adalah untuk menghidupkan dunia usaha. Dengan demikian, fakta tersebut seolah-olah membantah dengan sendirinya bahwa cita-citanya kegiatan seperti deregulasi perbankan dan pasar finansial adalah untuk mendorong kegiatan dunia usaha menjadi lebih maju. 3. Proses Penyesuaian Struktural di Indonesia Alasan yang banyak dikemukakan (lihat misalnya Wardhana, 2005; Nitisastro, 2010; Prawiro, 1998) dalam melihat latar belakang Indonesia mengadopsi penyesuaian struktural diantaranya adalah persoalan utang serta berakhirnya era bonansa minyak. Persoalan utang yang besar ditambah menurunnya harga minyak dunia sejak tahun 1982 telah memaksa pemerintah untuk melakukan serangkaian pengelolaan penyelesaian utang dan penerapan reformasi ekonomi serta penyesuaian struktural. Pemerintah mulai melaksanakan devaluasi, penghematan anggaran publik, deregulasi sektor perdagangan dan sektor keuangan dan sejumlah respon kebijakan lain. Persoalan utang luar negeri, sama halnya dengan negara berkembang lain, bermula dari bantuan pembangunan yang kemudian berubah menjadi pemicu suatu masalah yang besar bagi Indonesia. Persoalan utang tersebut mengemuka ketika sejak medio tahun 1960-an Indonesia menunggak pembayaran utang yang 79 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI sudah jatuh tempo pembayaran. Selain itu juga besaran utang tidak lagi rasional dengan kemampuan negara dalam menghasilkan devisa. Seperti yang diungkapkan oleh Prawiro (1998: 80); Pada waktu konsep krisis utang negara dunia ketiga belum ada, Indonesia sudah menjadi korban masalah yang dua dekade kemudian akan mengancam kestabilan ekonomi dunia. Indonesia telah menjadi penerima utang yang tidak bisa dibayarnya. Selama dekade lima puluhan dan enampuluhan, banyak negara yang memberi pinjaman kepada Indonesia berlagak sebagai pahlawan penyelamat namun tidak memperhatikan dampak dari utang tersebut terhadap kesehatan ekonomi negara. Baru pada saat utang jatuh tempo terkuak implikasi dari ketidakmampuan membayar. Kalkulasi total utang Indonesia menurut Herman J. Abs (Prawiro, 1998: 85-86) sebesar 3,133 miliar dollar AS (lihat rincian tabel 4.11). Dengan kalkulasi tersebut Tabel IV.11 Kalkulasi Utang Pada Pemerintahan Soekarno. Kreditor I. Jumlah dalam juta $ AS Negara-negara IGGI 1.557,7 • AS 564,6 • Jepang II. • Jerman Barat 372,6 • Italia 149,9 • Perancis 142,0 Negara-negara Blok Timur (termasuk RRC) • Uni Soviet 1.172,5 864,1 • Polandia 16,7 • Cekoslovakia 74,3 62,1 • Jerman Timur III. Negara-negara lain 157,1 IV. Utang-utang lain 245,7 80 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI V Total 3.133,0 Jatuh tempo pada tahun: Jumlah 1969-1973 948,5 1974-1978 1.082,7 1979-1983 664,7 1984-1988 164,6 1989 dan sesudahnya 272,5 Total 3.133,0 Catatan: Jumlah yang tertulis dalam sub total tidak sama dengan jumlah angka dalam perinciannya. Menurut perkiraan Prawiro (1998: 86) tidak semua negaranegara kreditor tercatat dalam kalkulasi utang yang dituliskan dalam laporan Herman J. Abs tersebut. Sumber: Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, 1998: 85-86 maka sebenarnya Indonesia telah berada pada posisi yang sama dengan negaranegara dengan hutang terberat (Highly Indebted Developing Countries). Beberapa negosiasi yang dilakukan pemerintah sejak tahun 1966 hingga 1969 belum menghasilkan suatu penyelesaian persoalan utang secara signifikan. Negosiasi yang dilakukan baru membuat penundaan-penundaan atau penjadwalan ulang pembayaran utang kepada para kreditor-kreditornya. Serangkaian pertemuan delegasi Indonesia dengan para kreditornya secara satu persatu maupun dalam suatu pertemuan besar baik dalam London Club, Paris Club, maupun dengan negara-negara blok timur baru menghasilkan masa tenggang tahun per tahun. Tahun 1970 menjadi titik awal penyelesaian krisis utang Indonesia secara signifikan, walaupun belum menghilangkan secara keseluruhan beban atas utang yang besar. Dalam pertemuan dengan Paris Club, kerumitan yang terus dihadapi 81 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI dalam penyelesaian persoalan akhirnya mendorong kedua pihak untuk meminta bantuan dari pihak ketiga. Dari pihak ketiga tersebut, Indonesia memperoleh dukungan bagi pengelolaan utang dalam jangka panjang. Herman J. Abs, sebagai bankir dan pakar keuangan dari Deutsche Bank Jerman, yang ditunjuk menjadi konsultan persoalan utang memberikan analisis posisi utang dan sejumlah rekomendasi yang menguntungkan posisi Indonesia. Herman J. Abs yang dibantu kelompok kerja dari Bank Dunia dan IMF menilai bahwa dengan asumsi yang paling optimis sekalipun tentang neraca pembayaran dan perkembangan anggaran negara, utang tidak akan bisa dibayar dalam jangka pendek dan tanpa keringankeringan baru (Prawiro, 1998: 94-95). Sejumlah rekomendasi (Nitisastro, 2010: 426) yang kemudian diberikan olehnya, adalah; 1. Indonesia harus membayar penuh seluruh total utang dalam waktu 30 tahun dengan cicilan yang sama setiap tahun, tanpa ada masa tenggang. 2. Bunga atas utang lama dab bunga yang disepakati dalam negosiasinegosiasi sebelumnya harus dibatalkan. 3. Utang baru harus bebas bunga. 4. Tidak ada perbedaan perlakuan baik terkait dengan kreditor yang berbeda baik kreditor Paris Club maupun kreditor non Paris Club – maupun terkait dengan tujuan pemberian utang – baik yang dijamin maupun yang tidak dijamin, baik untuk tujuan militer maupun non militer. Rekomendasi tersebut kemudian berubah menjadi kesepakatan dengan sejumlah amandemen yang disetujui kedua belah pihak (Widjojo, 2010: 427), yaitu; 82 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 1. Pembayaran utang pokok dilakukan dengan mencicil selama 30 tahun dari 1970 sampai 1999. 2. Pembayaran atas utang yang sudah disepakati dilakukan selama 15 tahun dari 1985 sampai 1999. 3. Utang yang dijadwalkan kembali tersebut bebas bunga. 4. Indonesia mempunyai pilihan untuk menunda sebagian dari utang yang jatuh tempo pada delapan tahun pertama ke delapan tahun terakhir, yakni 1992-1999, dengan bunga sebesar empat persen per tahun. Utang-utang pada kreditor lain juga mulai menemui jalan keluar pada negosiasi diawal tahun 1970-an. Utang pada para kreditor negara-negara blok timur diselesaikan dengan model kesepakatan Paris. Negara-negara Uni Soviet, Jerman Barat, Cekoslovakia, Polandia, dan Rumania mencapai persetujuan dengan persyaratan yang serupa dengan usulan Abs pada tahun 1971. Sedangkan utang-utang komersil dengan pihak swasta diselesaikan melalui pendekatan program Debt for Investment Conversion Scheme (DICS). Pendekatan program DICS mengajukan penyelesaian dengan mekanisme dimana utang dibayar dengan rupiah, akan tetapi hasil pembayaran tersebut digunakan sebagai investasi. Pihak Swasta Internasional kemudian menggunakan investasi tersebut sebagai sarana untuk mengolah melimpahnya sumber daya alam Indonesia. Selama tahun 1970-an selain menjadi awal berhasilnya proses perundingan pengelolaan krisis utang luar negeri, dasawarsa tersebut juga menjadi masa berkelimpahan devisa bagi Indonesia. Periode tersebut menunjukkan bahwa pendapatan negara terus mengalami peningkatan secara signifikan. Hal ini 83 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI membuat negara mudah untuk mengalokasikan pendapatan bagi pembangunan. Cicilan pembayaran utang pun dilaksanakan secara penuh dan tepat waktu dijalankan oleh pemerintah tanpa keinginan untuk menegosiasikan ulang atas syarat dan ketentuan atas utang-utangnya (Nitisastro, 2010: 193). Booming minyak menjadikan Indonesia bergelimangan uang minyak pada tahun 1970-an hingga awal 1980-an. Lonjakan minyak dunia secara signifikan selama tahun 1970-an membuat harga minyak Indonesia melejit hingga 17 kali lipat (Prawiro, 1998: 135). Nitisastro (2010: 241) mencatat bahwa harga minyak minas meningkat harganya dari 1,67 dollar AS per barel pada bulan Januari 1969 menjadi 13,90 dollar AS pada bulan Januari 1979, bahkan terus meningkat pada Januari 1980 menjadi 27,50 dollar AS dan mencapai puncaknya pada Januari 1981 menjadi 35 dollar AS per barel. Pendapatan negara meningkat secara tidak terduga dari kenaikan harga minyak tersebut. Penerimaan devisa dari hasil ekspor migas Indonesia pun meningkat dari 1,6 miliar AS menjadi 5,2 miliar AS antara tahun 1973 dan 1974 (Prawiro, 1998: 152) dan mencapai puncaknya pada tahun anggaran 1981/1982 sebesar 18,8 miliar dollar AS (Nitisastro, 2010: 241). Setidaknya ada dua implikasi dari meningkatnya pendapatan negara dari fenomena booming minyak. Implikasi tersebut adalah, pertama; perekonomian Indonesia mencapai pertumbuhan yang stabil selama periode tersebut. Nitisastro (2010: 223) mencatat bahwa pertumbuhan riil produk domestik bruto mencapai 7 % per tahun sejak 1974 sampai 1978, sedangkan antara 1979 sampai 1981 ratarata pertumbuhan mencapai 6,5 % per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa naiknya pendapatan negara memampukan pemerintah untuk menjaga tingkat 84 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI pertumbuhan yang stabil diatas 6 %. Implikasi yang kedua adalah; melimpahnya uang minyak menjadikan kecenderungan negara untuk lebih intervensionis serta protektif dalam membangun perekonomiannya. Seperti yang diakui oleh (Prawiro, 1998: 410), selaku mantan menteri di beberapa departemen pada masa orde baru, sejak tahun 1973 sistem ekonomi menjadi semakin nasionalistis dan proteksionistis. Perubahan terjadi ketika pada tahun 1980-an berbagai peristiwa internasional berpengaruh besar pada situasi ekonomi dan politik Indonesia. Peristiwa yang pertama adalah penurunan pada harga minyak dunia. Sejak tahun 1983, harga minyak dunia terus mengalami penurunan hingga mencapai titik terendah pada tahun 1986. Harga minyak yang mencapai kisaran tertinggi 35 dollar AS per barel, terus bergerak turun hingga di bawah 10 dollar AS per barel. Hal ini tentu berpengaruh secara signifikan pada menurunnya pendapatan negara, yang disebabkan karena tak kurang dari 70 % penghasilan pemerintah didapat dari hasil industri minyak (Prawiro, 1998: 139). Sedangkan peristiwa kedua adalah terdepresiasinya mata uang dollar AS terhadap yen Jepang. Implikasinya adalah utang Indonesia ikut melonjak seiring depresiasi dollar AS tersebut. Menurut Nitisastro (2010: 190-191) telah terjadi peningkatan tajam pada total utang beserta cicilan pembayaran per tahun pada pertengahan tahun 1980-an, yakni antara tahun 1985-1987. Total utang luar negeri mengalami peningkatan sebesar 60 %, yakni dari 31,2 miliar dollar AS menjadi 50,2 miliar dollar AS, sehingga terjadi pembengkakan sebesar 19 milyar dollar AS. Pada cicilan pembayaran terjadi lonjakan sebesar 64 %, yakni dari 4,2 miliar dollar AS menjadi 6,9 miliar dollar 85 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI AS, sehingga terjadi penambahan sebesar 2,7 miliar dollar AS. Hal ini disebabkan karena sebagian besar utang tersebut tercatat dalam yen dan mata uang lain selain dollar AS, sedangkan pada sisi lain alat pembayaran internasional dinyatakan dalam dollar AS. Kedua peristiwa tersebut berjalin kelindan menjadi semacam pukulan ganda bagi Indonesia di era 1980-an. Sejumlah langkah yang ditempuh pemerintah dalam menghadapi persoalan tersebut, diantaranya adalah meminjam utang kepada bank swasta maupun juga kepada IMF dan Bank Dunia, memotong pengeluaran pemerintah atau melakukan reformasi fiskal, serta melaksanakan program penyesuaian struktural. Hal ini menimbulkan beberapa implikasi dari kebijakan pemerintah tersebut. Implikasi tersebut diantaranya adalah beban utang yang harus dibayar menjadi semakin bertambah, bahkan lebih dari 50 % anggaran belanja negara harus dialokasikan untuk membayar utang-utang luar negeri (Wardhana, 2005: 56). Selain itu langkah Indonesia untuk melaksanakan penyesuaian struktural membuat sistem perekonomian menjadi lebih berorientasi pasar. Hal ini sesuai dengan penjelasan Wardhana (2005: 57) tentang paparannya mengenai penyesuaian struktural di Indonesia, bahwa; Structural Adjustment is a broad concept covering many aspects of economic management. To give some focus to the Indonesian experience, allow me to simplify a bit and suggest that ther are three basic components to structural adjustment as the term is generally used in Indonesia. These are getting prices right, letting markets works, and reforming public institutions. Sehingga dalam pelaksanaannya sejak tahun 1983, usaha tersebut berusaha memberikan peran yang lebih besar pada sektor swasta serta mengurangi peran pemerintah. 86 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Sejumlah kalangan melihat secara positif bahwa penyesuaian struktural merupakan respon kebijakan pemerintah dalam menanggulangi persoalan membengkaknya utang dan menurunnya harga minyak. Prawiro (1998: 358) bahkan melihat bahwa : …Untung saja perekonomian Indonesia tidak turut ambruk bersama dengan harga minyak. Hal ini disebabkan karena pemerintah berhasil mengalihkan mesin pertumbuhan negara, pada saat keretanya sedang melaju dengan kecepatan penuh. Perubahan ini mencerminkan pergeseran paradigma yang sangat jarang terjadi dalam proses pembangunan ekonomi sebuah negara. Pemerintah mengatur peralihan ini secara progresif, melalui serangkaian paket reformasi, yang masing-masing membuktikan kembali kebenaran fundamentalisme deregulasi dan kebijakan perekonomian pasar. Penyesuaian struktural bagi pengambil kebijakan ekonomi nasional serta kalangan yang sepakat dengan kebijakan tersebut merupakan langkah yang revolusioner serta progresif. Sebab bagi mereka kebijakan penyesuaian struktural tidak saja merupakan bentuk respon atas berakhirnya era oil boom namun telah membawa perubahan paradigma dasar pembuatan kebijakan ekonomi nasional. Bagi para pendukungnya, hadirnya kebijakan penyesuaian struktural secara lebih jauh telah menjadi suatu kebutuhan, tidak saja atas perubahan kondisi ekonomi tetapi juga atas perubahan kondisi politik (Prawiro, 1998: 360). Berbagai gejolak yang terjadi pada dekade sebelumnya secara berangsur-angsur mulai “stabil”. Terlepas dari apa usaha pemerintah untuk menciptakan kondisi tersebut, namun memang stabilitas mulai terjaga sejak tahun 1980-an. Hal ini kemudian menjadi dasar pengambilan kebijakan penyesuaian struktural untuk meningkatkan performa ekonomi nasional. Hasilnya memang terlihat telah terjadi peningkatan 87 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI pertumbuhan ekonomi nasional dari 2,5% pada tahun 1985, kemudian naik menjadi 3,5 hingga 4% pada tahun 1986 sampai 1988 (Wardhana, 2005: 66). Hanief (2001) dalam desertasinya melihat secara berbeda tentang proses berjalannya penyesuaian struktural di Indonesia. Penyesuaian struktural di Indonesia menurutnya kental sekali dengan kepentingan dari negara-negara maju. Resesi ekonomi dunia di tahun 1970-an hingga awal 1980-an menciptakan kebutuhan untuk memperluas kegiatan bisnis di luar negeri setelah terjadi kelesuan bisnis di tingkat domestik. Pada saat yang bersamaan berlangsung kebijakan ekonomi yang proteksionis dan intervensionis di Indonesia dan negara berkembang lainnya. Penyesuaian struktural yang berorientasi memberi peran swasta yang lebih besar pada perekonomian menjadi pintu masuk bagi proses investasi modal dari negara-negara maju. Bahkan bantuan-bantuan yang dikucurkan dari negara maju maupun lembaga keuangan multilateral kepada Indonesia pasca turunnya harga minyak dunia menjadi alat penekan untuk mendesakkan diadopsinya penyesuaian struktural oleh pemerintah. Sebagai contoh, pengucuran bantuan keuangan oleh IMF kepada Indonesia pada tahun 1983 sebesar 360 juta dollar AS dan 462 juta dollar AS pada tahun 1987 menjadi sarana bagi IMF untuk turut memberikan bmbingan menyusun kebjakan penyesuaian struktural Indonesia (Hanief, 2001: 85). Selain itu, demi melegitimasi kebijakan tersebut, sejumlah ahli ekonomi neoliberal menerbitkan penelitian, artikel, maupun tulisan-tulisan lain, untuk memberikan pembenaran akademis bagi pentingnya mekanisme pasar dan perlunya mengurangi intervensi pemerintah dalam perekonomian. 88 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Proses penyesuaian struktural menurut Wardhana (2005: 54) didahului oleh pra kondisi untuk reformasi ekonomi atau biasa disebut dengan tahap stabilisasi ekonomi. Proses stabilisasi ekonomi tersebut dipandu oleh IMF yang kemudian sering dibedakan dengan penyesuaian struktural yang dipandu oleh Bank Dunia, akan tetapi keduanya merupakan satu kesatuan dalam bingkai reformasi ekonomi. Stabilisasi ekonomi diantaranya bertujuan untuk meredam inflasi, menciptakan anggaran negara yang berimbang, mensejajarkan nilai tukar, dan menyesuaikan suku bunga. Penyampaian laporan dari pihak donor mengenai kondisi dan kebijakan pemerintah dalam perekonomian mengawali pelaksanaan penyesuaian struktural di Indonesia. Menurut bank dunia, ekonomi Indonesia pada dasawarsa 1970-an terlalu protektif, berbiaya tinggi, dan terlalu mengandalkan pendapatan dari minyak dan gas, sehingga pada laporan Bank Dunia 1981, Indonesia dianjurkan untuk membenahi sektor perdagangan luar negeri, iklim investasi, mobilisasi sumber-sumber domestik, dan mekanisme harga serta subsidi (Hanief, 2001: 88 dan 91). Adapun penjelasan kegiatan pembenahan masing-masing sektor adalah; Pertama, menyangkut perdagangan adalah, pengurangan sistem proteksi menyangkut ekspor-impor yang dikembangkan pemerintah baik berupa tarif maupun non-tarif. Kedua, menyangkut investasi dan iklim bisnis, pemerintah sejauh mungkin mengusahakan penyederhanaan proses perijinan investasi serta tidak membeda-bedakan pemberian fasilitas pada jenis-jenis investasi tertentu. Ketiga, mengenai mobilisasi sumber-sumber domestik, pemerintah dianjurkan untuk mendorong kebijakan yang mampu memobilisasi potensi keuangan 89 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI domestik dalam bentuk simpanan masyarakat yang ditampung dalam bank-bank. Selain itu memberikan kesempatan yang luas kepada pihak swasta dan BUMN untuk memperoleh modal dari pasar uang dalam negeri maupun luar negeri. Keempat, menyangkut subsidi dan mekanisme harga, pemerintah harus menempatkan harga domestik pada mekanisme biaya ekonomi, dengan demikian mekanisme yang mampu mendistorsi seperti kebijakan subsidi harga harus dihapuskan. Berbagai anjuran penyesuaian struktural tersebut harus dilaksanakan secara cepat dan sesuai dengan saran yang diberikan. Sebagai contoh, pada laporan Bank Dunia tahun 1983, terlihat institusi memaksa pemerintah Indonesia utnuk menerima usulan serangkaian kebijakan dan harus selesai pelaksanaannya dalam 2 hingga 3 tahun (Hanief, 2001: 96). Hal ini berarti anjuran-anjuran tersebut telah berubah menjadi bentuk tekanan lembaga multilateral untuk mendorong pelaksanaan penyesuaian struktural. Implikasi yang dihasilkan dari pelaksanaan reformasi ekonomi selama satu dasawarsa sejak 1983 hingga 1993 (Hanief, 2001: 97) adalah; • penghematan hingga seperempat pengeluaran anggaran negara dalam lima tahun, yang sedianya digunakan untuk subsidi publik dan penundaan proyek-proyek investasi. • Selanjutnya adalah devaluasi rupiah yang mengakbatkan kenaikan hargaharga barang konsumsi. 90 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI • Merebaknya industri perbankan swasta yang ternyata hanya menguntungkan kelompoknya sendiri pada satu sisi, sedangkan pada sisi lain adalah makin tingginya suku bunga kredit dan usaha. • Kebijakan perdagangan dan industri semakin memudahkan swasta untuk melakukan investasi. Sebagai bagian dari penyesuaian struktural, program privatisasi juga mulai terlaksana pada dasawarsa 1980-an hingga 1990-an. Sebagai contoh, usaha untuk memprivatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), walaupun berjalan dengan lamban, terlihat berjalan dengan mantap. Hal ini terlihat dari jumlah BUMN yang terus berkurang. Data menunjukkan bahwa pada tahun 1986 tercatat sejumlah BUMN sebanyak 215, dengan keinginan pemerintah untuk memprivatisasi hingga 52 BUMN, pada awal 1997 tercatat hanya tinggal 187 BUMN yang masih ada. C. Stuctural Adjustment Programs dan Implikasinya Bagi Dunia Perbankan Indonesia Penyesuaian struktural sebagaimana telah dibahas dalam bagian sebelumnya, berisi serangkaian program reformasi ekonomi yang telah ditetapkan oleh lembaga keuangan multilateral untuk dilaksanakan oleh suatu negara tertentu. Serangkaian program tersebut diantaranya adalah program deregulasi yang dimaksudkan untuk mengurangi sejumlah restriksi yang ada pada sistem perekonomian suatu negara sebagai hasil dari kebijakan periode sebelumnya. Deregulasi yang berjalan di Indonesia sejak dasawarsa 80-an juga dimaksudkan untuk merubah sistem perekonomian nasional dari berbagai aturan-aturan ketat 91 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI yang menurut lembaga multilateral tersebut merupakan restriksi yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bagian berikut hendak menelusuri proses deregulasi di Indonesia, khususnya deregulasi sektor perbankan, yang berjalan pada rentang tahun 1983 hingga tahun 1993. Pada beberapa kajian tentang deregulasi sektor perbankan (lihat Nasution, 1991; Prawiro, 1998), dikemukakan bahwa kebijakan tersebut dilandasi oleh persoalan terkendalanya proses pembangunan akibat tidak adanya modal pasca era bonansa minyak pada tahun 1970-an. Sehingga kebijakan deregulasi adalah kebijakan ekonomis-pragmatis semata. Sementara dari desertasi yang diajukan oleh Hanief (2001), kebijakan deregulasi banyak diwarnai oleh muatan-muatan politik dari internasional, yakni merupakan bagian dari penyesuaian struktural yang dianjurkan oleh negara-negara maju. Namun, diluar apakah murni kebutuhan pragmatis ataukah merupakan bagian dari kepentingan internasional, deregulasi perbankan telah menimbulkan sejumlah implikasi pada industri perbankan nasional. Implikasi tersebut terwujud pada struktur dan perilaku perbankan nasional. Masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan pun turut merasakan dari implikasi tersebut. Sehingga pada bagian berikut juga akan ditelusuri implikasi dari deregulasi perbankan pada struktur industri dan perilaku perbankan nasional yang juga berimbas pada masyarakat secara umum. 1. Program Deregulasi dan Deregulasi Perbankan 92 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Deregulasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1983 dan mulai secara intens dilaksanakan tahun 1986 telah menjadi bagian penting dari proses penyesuaian struktural. Berbagai paket deregulasi mulai dari perdagangan, investasi, hingga keuangan telah diluncurkan oleh pemerintah guna memantapkan proses reformasi ekonomi pasca booming minyak. Implikasinya pun telah terlihat dimana kegiatan deregulasi tersebut mampu menciptakan serangkaian perubahan dalam sistem ekonomi nasional. Deregulasi sendiri di Indonesia telah diartikan secara berbeda-beda. Hal itu tergantung dari maksud atau tujuan yang hendak dicapai ataupun latar belakang pengetahuan dari seseorang yang mengartikanya. Secara filosofis Priyono (www.kompas.com, diakses 9 Mei 2010) menjelaskan deregulasi adalah pemindahan atau memperluas locus otoritas regulasi, yaitu dari state-regulation ke self-regulation, atau re-regulasi menurut selera pribadi dalam artian kekuatanregulatif penentu corak kehidupan publik bukan lagi hanya daya-regulatif pemerintah, tetapi juga daya-regulatif kebebasan selera atau pilihan individual sebagai konsekuensi dari adanya self-determination dalam kebebasan dan kedaulatan pilihan individual. Dalam konteks ini, untuk kebutuhan praktis, maka digunakan definisi Waterson (Nasution, 1991: 1) sebagai usaha untuk mengurangi aturan maupun kendala yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mempengaruhi kegiatan dunia usaha. Pada dasarnya tujuan deregulasi memang seperti yang dipaparkan oleh Waterson yakni mengurangi aturan dan kendala yang mampu mempengaruh kegiatan usaha, akan tetapi secara lebih jauh deregulasi di Indonesia bertujuan 93 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI untuk menerapkan prinsip-prinsip neo-klasik. Hal tersebut diakui oleh Prawiro (1998: 404-405) bahwa gerakan deregulasi Indonesia merupakan kesadaran dan tekad yang lebih besar untuk mempertahankan prinsip-prinsip perekonomian neoklasik diatas kebijakan perekonomian yang lebih intervensionis dan berorientasi ke dalam. Perekonomian neo-klasik yang menekankan pentingnya harga dan pasar dianggap telah terdistorsikan oleh pengaruh intervensi dari pemerintah, sehingga gerakan deregulasi bertujuan menghilangkan distorsi akibat dari adanya intervensi. Djiwandono (Rachbini, 1994: xix-xx) pun mencatat tiga hal substansial tentang proses deregulasi di Indonesia yang senada dengan pemaparan Prawiro, yaitu; pertama, deregulasi adalah pengakuan akan bekerjanya mekanisme pasar dalam penentuan keputusan dunia usaha. Kedua, deregulasi merupakan sarana untuk melakukan koreksi terhadap keadaan-keadaan seperti banyaknya campur tangan dan unsur-unsur yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, keadaan tidak efisien dan lemahnya daya saing. Ketiga, seluruh usaha aktivitas deregulasi harus berorientasi untuk menyediakan sarana peningkatan kegiatan investasi, produksi dan ekspor. Proses perumusan deregulasi di Indonesia menurut Simandjuntak (Prawiro, 1998: 418) terlihat berbeda dengan negara-negara lain, misalnya negaranegara ASEAN lain seperti Singapura. Seperti diungkapkan olehnya, bahwa: Berbeda dengan di Singapura, “arahan-arahan baru” dibicarakan secara intensif sebelum diumumkan, di Indonesia, proses deregulasi dan privatisasi dilaksanakan oleh pemerintah dengan discretionary power pada tingkat sangat tinggi. Kriteria untuk reformasi tidak pernah dijelaskan satu per satu… Pendekatan ad hoc terhadap deregulasi dan privatisasi ini, diakui mempunyai keuntungan karena memungkinkan pemerintah untuk memulai sebuah 94 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI perubahan kebijakan setiap saat bila diinginkan. Akan tetapi, mungkin kebalikannya juga benar. Deregulasi tidak dilakukan tanpa mendorong terlebih dahulu adanya diskursus secara luas di tingkatan masyarakat, intelektual, maupun para pelaku ekonomi itu sendiri. Kebijakan deregulasi terkesan dirahasiakan dan dilakukan dengan tingkat pengambilan keputusan yang sangat tertutup dan berujung dengan sosialisasi kebijakan saja. Tidak heran kemudian bagi sebagian kalangan (lihat misalnya Setiawan, www.globaljust.org), melihat bahwa kebijakan tersebut hanyalah merupakan kebijakan pesanan yang harus dilaksanakan, tanpa perencanaan yang mendalam tentang implikasinya bagi sistem ekonomi Indonesia dalam jangka panjang. Pernyataan Djiwandono (Rachbini, 1994: xx), yang mengutip dari laporan Bank Dunia, bahwa seluruh intervensi kebijakan harus diarahkan sesuai dengan pengamatan dan panduan dari Bank Dunia terkesan semakin menegaskan kebenaran anggapan tersebut. Praktek deregulasi secara teoritis harus berdasarkan urutan dan strategi yang tepat agar tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari. Kaum neoliberalis sekalipun menyadari bahwa deregulasi harus dilaksanakan secara bertahap agar kegiatan dan pelaku-pelaku sektor ekonomi nasional dapat menyesuaikan dengan tepat dalam sistem ekonomi yang baru. Para teoritikus menyarankan deregulasi dimulai dari sektor riil kemudian diikuti dengan sektor keuangan (Prawiro, 1998: 408). Hal ini untuk menciptakan kondisi dimana sektor riil lebih dulu dapat tumbuh dan menyesuaikan diri. Urutan tersebut juga sebagai 95 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI antisipasi jika timbul persoalan dalam perekonomian maka tidak terjadi capital flight yang dapat membuat pukulan ganda bagi perekonomian nasional. Jika mengikuti teori yang disarankan maka sebenarnya praktek deregulasi di Indonesia berjalan secara berlawanan. Deregulasi pertama pada tahun 1983 di sektor perbankan untuk membebaskan pagu kredit telah menempatkan proses deregulasi pada arah yang berbeda. Proses deregulasi sektor keuangan mendahului deregulasi pada sektor riil. Deregulasi sektor riil yakni pada perdagangan dan industri mulai gencar dilaksanakan pada tahun 1986 ketika harga minyak mulai terus turun. Deregulasi Perbankan sebagai bagian dari deregulasi sektor keuangan di Indonesia, dalam kajian literatur sering juga disebut financial reforms atau financial liberalization. Financial Repression disebut-sebut sebagai alasan dari usaha untuk menjalankan kegiatan reformasi finansial. Dalam memahami represi finansial, Mudrajat Kuntjoro (Hardianto, 1998: 18) menyatakan bahwa dalam sistem finansial terjadi suatu kondisi dimana: …pasar finansialnya masih terbelakang dan harga-harga kekayaan finansialnya mengalami distorsi. Yang terakhir ini, umunya ditandai dengan penetapan pagu suku bunga oleh pemerintah dibawah tingkat keseimbangan yang berlaku di pasar keuangan. Dalam kondisi tertindas – tertekan tersebut, dua karakter mencuat ke permukaan yaitu pertama, bunga deposito riil seringkali negatif dan sulit diprediksi bila inflasi tinggi dan tidak stabil, dan kedua adalah kurs valuta asing menjadi penuh ketidakpastian. Akibatnya, tabungan terhambat meskipun peluang investasi cukup bagus, pendangkalan keuangan (fianacial shallowing) biasanya terjadi, dan pada giliranya pertumbuhan ekonomi juga akan terhambat. Reformasi finansial kemudian diasumsikan sebagai sarana untuk membebaskan sistem keuangan, khususnya sektor perbankan, dari pengaruh represi tersebut. 96 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Situasi yang berkembang pada masa sejak kemerdekaan hingga pada tahun 1980-an awal, bagi sebagian kalangan (lihat misalnya, Permono dan Kuncoro, 1990, Hardianto, 1988) adalah masa represi finansial bagi Indonesia. Campur tangan pemerintah pada masa tersebut memang terjadi secara luas pada sektor keuangan nasional atau dalam hal ini pada sistem perbankan. Nasionalisasi bankbank asing seperti de Javasche Bank, Nationale Handelsbank, serta Escomtobank, hingga sentralisasi sistem perbankan dengan nama “Bank Negara Indonesia” untuk menggantikan sejumlah bank dilihat sebagai bentuk represi keuangan (Permono dan Kuncoro, 1990: 26). Selain itu, periode sebelum deregulasi menurut Sritua Arief (Hardianto, 1998: 17-18) juga menunjukkan suatu kondisi sistem perbankan dimana, pertama, ada restriksi mengenai tingkat bunga nominal yang dibayarkan kepada deposito, yang dimasukkan ke dalam suatu sistem perbankan sehingga mengakibatkan tingkat suku bunga kredit menjadi terlalu rendah. Bahkan tingkat bunga kredit lebih rendah dari tingkat inflasi sehingga secara keseluruhan tingkat bunga riil menjadi negatif. Secara lebih jelas lihat tabel 4.12. Sedangkan situasi kedua, adanya distribusi kredit perbankan yang sangat tidak sempurna, dimana ada sektor ekonomi yang memperoleh kredit dengan bunga rendah sedangkan di sektor lain dikenakan suku bunga kredit tinggi karena bukan prioritas. 97 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Tabel IV.12 Rata-Rata Bunga Nominal dan Riil Deposito Berjangka pada BankBank Pemerintah. Sumber: Represi, Liberalisasi dan Reformasi Moneter, 1998: 18 Dalam banyak literatur (lihat misalnya Brata, 2007; Prawiro, 1998; Soesastro et al, 2005 dll.), deregulasi tahun 1983 dan tahun 1988 merupakan kebijakan yang paling mempengaruhi dan memberikan implikasi yang luas pada industri perbankan nasional. Kebijakan tersebut merupakan usaha merombak aturan-aturan kebijakan sebelumnya. Menurut Prawiro (1998: 316) ada 4 hal esensial yang tercakup dalam kebijakan deregulasi pertama yaitu Paket Deregulasi 2 Juni 1983 atau biasa disebut dengan Pakjun 83, yaitu; • Batas atas pemberian kredit dihapus untuk semua bank. • Semua bank diberi otoritas untuk menentukan sendiri suku bunga simpanan dan pinjaman. 98 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI • Pajak bunga, dividen, royalti untuk deposit valuta asing di semua bank pemerintah dihapus. • Sistem pembedaan suku bunga yang mengatur suku bunga tergantung dari sektor yang diberi pinjaman dihapus. Sehingga jika disimpulkan pada dasarnya deregulasi tersebut berupaya menghapus pembatasan pada tingkat suku bunga maupun alokasi kredit pada bank pemerintah. Kebijakan tersebut muncul salah satunya disebabkan karena sejak April 1974, Bank Indonesia menentukan pagu atau batas pertambahan kredit dalam negeri sistem perbankan dan pinjaman luar negeri perusahaan dan perseorangan di dalam negeri (Nasution, 2005: 280). Selain itu, sejak April 1974, kredit dikucurkan secara selektif dengan suku bunga yang ditentukan oleh Bank Indonesia selaku bank sentral. Hal ini terkait dengan program pembangunan nasional sehingga pengucuran kredit hanya diperuntukkan bagi proyek-proyek investasi menjadi prioritas bagi pemerintah. Sedangkan deregulasi perbankan paket 27 Oktober 1988 (Pakto 88) merupakan penyempurnaan dari Pakjun 83. Secara fundamental kebijakan bertujuan untuk menghilangkan hambatan masuk ke dalam industri perbankan nasional. Prawiro (1998: 342-343) secara pokok melihat tiga poin penting dari kebijakan tersebut, yaitu: 1. Bank-bank Asing Bank asing diperbolehkan untuk membuka kantor cabang di luar Jakarta dengan persyaratan 50% portofolio pinjaman mereka disediakan untuk kepentingan ekspor. Selain itu, bank-bank asing 99 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI dijinkan untuk mendirkan usaha patungan dengan bank-bank Indonesia. 2. Perbankan Domestik a. Persyaratan untuk mendirikan bank atau membuka cabang diperlunak. Persyaratan cadangan bagi aktivitas bank diturunkan dari 15% menjadi 2%. b. BUMN dibebaskan dari kewajiban untuk mendepositokan semua dana pada satu bank pemerintah. BUMN hanya diwajibkan untuk menaruh 50% dana mereka pada satu bank pemerintah dan maksimal 20% dana dapat didepositokan pada bank komersial. c. Bank Indonesia memperpanjang jangka waktu swap valuta 6 bulan menjadi 3 tahun. 3. Pajak atas penghasilan bunga Pajak atas bunga tabungan dan deposito berjangka ditetapkan sebesar 15%. Dalam satu dasawarsa perjalanan deregulasi perbankan, sebenarnya ada beberapa kebijakan deregulasi lain di luar Pakjun 83 dan Pakto 88. Kebijakan tersebut diantaranya : • Paket Kebijaksanaan 25 Maret 1989 ¾ Memuat peleburan usaha (merger) & penggabungan usaha bank umum swasta nasional, bank pembangunan, BPR, penyempurnaan ketentuan pendirian & usaha BPR, pemilikan modal campuran, penggunaan tenaga kerja professional WNA. 100 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI • Paket Kebijaksanaan 19 Januari 1990 ¾ Peningkatan efisiensi dalam alokasi dana masyarakat kearah kegiatan produktif & peningkatan pengerahan dana masyarakat. ¾ Mengurangi ketergantungan kepada KLBI . Paket ini meliputi kredit kepada KOPERASI, kredit pengadaan pangan & gula, kredit investasi, kredit umum, KUK. ¾ Kewajiban bagi bank untuk menyalurkan 25% dananya ke bidang pengembangan usaha kecil & perorangan. • Paket Kebijaksanaan 20 Pebruari 1991 ¾ Kelanjutan Pakto 27 1988 ¾ Berkaitan dengan ketentuan pengaturan perbankan dengan prinsip prudential. ¾ Pengawasan & pembinaan kredit dilakukan dalam rangka mewujudkan sistem perbankan yang sehat & efisien. ¾ Pemisahan antara pemilikan bank & manajemen bank secara professional. • Paket Kebijaksanaan 29 Mei 1993. ¾ Memperlancar kredit perbankan bagi dunia usaha. ¾ Mendorong perluasan kredit dengan tetap berpedoman pada azas-azas perkreditan yang sehat, mendorong perbankan untuk menangani masalah kredit macet, mengendalikan pertumbuhan jumlah uang beredar & kredit perbankan dalam batas-batas aman bagi stabilitas ekonomi. 101 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI ¾ Pencanangan akan konsep kehati-hatian dalam pengelolaan bank yang lebih menekankan kepada kualitas dalam pemberian kredit melalui penilaian kembali terhadap aktiva produktif bank-bank. Akan tetapi kebijakan-kebijakan tersebut hanya merupakan penyempurnaan dari dari pakjun 83 serta pakto 88 yang menekankan tentang aspek kehati-hatian. dorongan perluasan kredit, serta aturan teknis lain. 2. Struktur Perbankan Pasca Deregulasi Struktur industri perbankan nasional secara umum merupakan gabungan dari berbagai tipe dan jenis bank. Seperti yang dicatat oleh Nasution (1991: 36); Industri perbankan Indonesia terdiri dari satu bank sentral, 7 bank milik Negara (5 bank komersial dan masing-masing satu bank tabungan dan satu bank pembangunan), 27 Bank Pembangunan daerah, 10 kantor cabang asing, dan 68 bank swasta nasional. Struktur perbankan tersebut terus berkembang hingga pertengahan tahun 1980-an. Bagi sebagian kalangan, ada suatu persoalan yang muncul dalam struktur industri perbankan nasional tersebut. Bank milik negara masih terlalu mendominasi aktivitas serta aset kekayaan perbankan nasional. Sebagaimana data yang disajikan oleh Kompas (29 September 1984), nilai kekayaan 7 bank negara mencapai lebih dari 3/4 dari total nilai kekayaan seluruh bank yang ada. Secara detil disebutkan bahwa nilai kekayaan bank-bank tersebut sebesar 23.170.291 juta dari total nilai kekayaan seluruh bank yakni sejumlah 29.659.130 juta. Bandingkan dengan jumlah kekayaan seluruh bank swasta nasional yang 102 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI berjumlah 3.773.754 juta serta bank swasta asing yang berjumlah 1.924.062 juta, ataupun dengan nilai kekayaan bank pembangunan daerah yang berjumlah 791.023 juta. Kegiatan seperti penyaluran kredit pun masih didominasi oleh bank negara. Buletin berita perbanas (Kompas, 29 September 1984) mencatat, total pinjaman yang dikucurkan oleh bank-bank tersebut per 30 juni 1984 mencapai 15.327.201 juta, bandingkan dengan nilai pinjaman bank-bank swasta nasional, asing hingga pembangunan daerah yang masing-masing hanya sejumlah 2.504.143 juta, 1.114.169 juta, serta 450.819 juta. Dominasi bank-bank tertentu, terutama bank milik negara, dalam suatu sistem ekonomi yang diorientasikan menuju pada semakin bekerjanya pasar tentu menjadi persoalan. Maka dibutuhkan suatu kebijakan yang berfungsi untuk merubah kondisi perbankan tersebut. Paket kebijakan deregulasi perbankan sejak tahun 80-an bagi sebagian kalangan merupakan usaha untuk merombak kondisi perbankan tersebut. Kebijakan-kebijakan tersebut pada perjalanannya memang mampu memberikan sekian implikasi yang fundamental. Salah satu implikasi fundamental tersebut adalah adanya perubahan struktur industri perbankan nasional. Perubahan struktur tersebut meliputi struktur kelembagaan, struktur persaingan, hingga struktur dana perbankan. Goeltom (2005: 320) melihat reformasi perbankan tahun 1988 telah mendorong sejumlah perubahan radikal dalam struktur perbankan nasional. Dalam pemaparannya disebutkan bahwa; Dengan Pakto 88 tersebut hanya ada dua tipe bank, yaitu bank komersial dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Jenis-jenis lembaga keuangan lain seperti bank pembangunan dan bank tabungan secara otomatis berubah menjadi bank komersial, sedangkan lembaga keuangan 103 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI bukan bank (LKBB) diberikan pilihan untuk berubah menjadi bank komersial atau menjadi perusahaan sekuritas, dengan diberi tenggang waktu satu tahun (mulai Desember 1991) untuk melakukan perubahan. Akhirnya antara bulan Januari sampai Maret 1993, seluruh LKBB yang berjumlah 12 perusahaan tersebut merubah bentuknya menjadi bank campuran (joint venture comercial banks). Perubahan tersebut merupakan usaha untuk menyederhanakan struktur perbankan nasional. Penyederhanaan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk memudahkan koordinasi dan pengawasan oleh bank sentral. Pakto 27, selain menyederhanakan tipe-tipe bank yang ada, telah menjadi awal dimana perbankan nasional secara kuantitatif memang tumbuh secara pesat. Pakto 27 telah menyebabkan ijin menjadi teramat mudah bagi seseorang maupun kelompok untuk mendirikan suatu bank. Sehingga setiap bulan hampir dipastikan selalu ada peresmian bank baru dengan ekspektasi untuk satu atau dua tahun kedepan setelah diresmikan (Kompas, 13 Februari 1996). Pertumbuhan jumlah bank serta kantor-kantor cabang meningkat secara signifikan. Sebagaimana diungkapkan dalam data yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (Hardianto, 1998: 20) secara umum jumlah bank dan kantor bank meningkat secara signifikan. Bank umum tumbuh dari 111 bank pada tahun 1988 menjadi 239 bank pada akhir tahun 1996. Pada tahun-tahun yang sama, terjadi peningkatan jumlah kantor bank umum dari 1863 menjadi 7314 kantor bank. Sedangkan pada kelompok bank BPR juga terjadi peningkatan jumlah bank yang signifikan pula. BPR, termasuk di dalamnya Lembaga Keuangan Lain, terjadi peningkatan jumlah dari 8.041 pada tahun 1988 menjadi 9.314 pada tahun 1996. Secara lebih detil lihat tabel 4.13. 104 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Kesempatan yang luas bagi investasi dalam industri perbankan pun tidak hanya dinikmati oleh para pengusaha domestik saja, para investor luar negeri pun turut menikmati kesempatan yang sama. Setelah terbitnya Pakto 27, undangundang perbankan No 7/1992, seakan-akan menjadi penegas proses liberalisasi perbankan. Undang-undang tersebut menawarkan kesempatan bagi pihak asing untuk menguasai hingga 99 % saham bank di Indonesia. Kedua kebijakan tersebut menjadi legitimasi bagi bank-bank asing untuk membuka kantor cabang serta mendirikan bank campuran dengan bank-bank domestik. Implikasi dari kebijakan-kebijakan tersebut adalah terjadi fenomena berkembangnya jumlah kantor bank-bank komersial asing. Data Bank Indonesia (Hardianto, 1998: 20) menunjukkan bahwa, walaupun jumlah bank asing masih tetap seperti pada periode sebelum deregulasi yakni sejumlah 10 bank, jumlah kantor cabang meningkat hingga 2 kali lipat. Jumlah kantor cabang bank asing meningkat dari 21 pada Oktober 1988 menjadi 39 pada Desember 1996, dan menjadi 41 pada Juli 1997. Peningkatan pada bank-bank campuran juga lebih luar biasa lagi. Bank campuran pada Oktober 1988 hanya berjumlah 1 buah dengan 1 kantor cabang. Pada Desember 1996 tercatat terjadi peningkatan hingga menjadi 31 dengan 55 kantor cabang dan terus berkembang pada Juli 1997 menjadi 34 bank dengan 58 kantor bank. 105 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Tabel IV.13 Perkembangan Jumlah Bank Sebelum dan Sesudah Pakto 88. Sumber: Represi, Liberalisasi dan Reformasi Moneter, 1998: 20 Peningkatan pesat jumlah bank pasca keluarnya serangkaian paket deregulasi tersebut telah mengubah struktur persaingan pada industri perbankan nasional. Serangkaian paket deregulasi secara perlahan-lahan telah merubah kondisi hubungan dan posisi bank-bank yang ada. Hak-hak istimewa yang dimiliki oleh bank-bank negara perlahan-lahn mulai dihilangkan. Hal ini kemudian menempatkan bank-bank negara dan bank-bank swasta pada posisi yang mulai sama. Hal ini kemudian mempengaruhi persaingan dalam memperebutkan pangsa pasar dalam industri perbankan. Bank-bank berlomba 106 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI secara ketat dalam memperebutkan pasar kredit, diluar kredit program dan kredit yang dijamin pemerintah, serta penghimpunan dana. Persaingan yang ketat dalam memperebutkan pangsa pasar industri perbankan Indonesia tesebut menghasilkan beberapa implikasi penting pada dunia perbankan. Implikasi pertama adalah pada hadirnya sejumlah inovasi produkproduk perbankan. Jika sebelumnya kita hanya mengenal Tabanas, Taska dan Tapelpram yang dikoordinir oleh bank negara, bank swasta nasional kemudian mulai menawarkan beragam jenis tabungan dengan berbagai iming-iming, seperti Tahapan, Tabungan Kesra, Tabungan Bunga Harian, Tabungan Primadana, dan lain sebagainya (Permono dan Kuncoro, 1990: 30). Implikasi berikutnya adalah pergeseran pangsa pasar penghimpunan dana. Dominasi bank pemerintah dalam penghimpunan dana secara perlahan-lahan mulai diambil alih oleh bank-bank swasta. Dari data yang disajikan oleh Bank Indonesia, sebagaimana dikutip oleh Supraptono (1995: 55), hingga tahun 1990 bank pemerintah menguasai pasar penghimpunan dana, namun tahun-tahun berikutnya bank swasta nasional mulai menggeser bank-bank pemerintah. Tercatat secara berturut-turut dari tahun 1986 hingga 1990 perbandingan pangsa pasar penghimpunan dana adalah sebagai berikut; tahun 1986 bank pemerintah 64,62% dan bank swasta 23,12%, tahun 1987 bank pemerintah 61,74% dan bank swasta 27,41%, tahun 1988 bank pemerintah 60,06% dan bank swasta 29,77%, tahun 1989 bank pemerintah 54,68% dan bank swasta 36,15%, tahun 1990 bank pemerintah 48,87% dan bank swasta 40,83%. Sedangkan pergeseran pangsa pasar antara bank pemerintah dan bank swasta sejak 1991 hingga 1995 tercatat sebagai berikut; tahun 1991 bank 107 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI pemerintah 43,96% dan bank swasta 45,36%, tahun 1992 bank pemerintah 45,36% dan bank swasta 45,02%, tahun 1993 bank pemerintah 43,5% dan bank swasta 47,5%, tahun 1994 bank pemerintah 38,0% dan bank swasta 52,4%, tahun 1995 bank pemerintah 36,9% dan bank swasta 53,8%. Penurunan tahun 1992 pada bank swasta lebih disebabkan karena ambruknya beberapa bank swasta yang membuat terjadinya penurunan kepercayaan masyarakat. Dalam kegiatan penghimpunan dana, bank-bank diluar bank pemerintah dan bank swasta nasional relatif tidak banyak lonjakan yang berarti. Bank pembangunan daerah relatif berada pada posisi yang tetap. Dimana bank pembangunan daerah rata-rata dalam penghimpunan dana berada pada kisaran 3,4% dari seluruh kegiatan penghimpunan dana nasional. Begitu pula dengan bank asing campuran, pangsa pasarnya relatif tetap. Pangsa pasar bank asing campuran berada pada kisaran 5,7%. 108 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Tabel IV.14 Posisi Penghimpunan Dana dalam Rp & Valas Menurut kelompok Bank (miliar Rp) Sumber: Pergeseran Pangsa Pasar Penghimpunan Dana dan Kredit antara Bank Pemerintah dan Bank Swasta di Indonesia 1988 – 1995, 1995: 55. Pangsa pasar pada kredit perbankan sendiri secara umum masih didominasi oleh bank pemerintah. Peran dari bank pemerintah masih terlalu kuat untuk ditandingi oleh bank-bank umum swasta nasional (BUSN) maupun asing. Namun kinerja bank swasta terus menunjukkan peningkatan dalam merebut pangsa kredit. Hasilnya adalah pada tahun 1994 hingga 1995 bank swasta nasional, disertai dengan terus meningkatnya performa bank swasta asing, mulai mampu menggeser dominasi bank pemerintah. Secara berturut-turut tahun 1986 hingga 1995, perbandingan kredit antara bank pemerintah dengan bank swasta nasional dengan dan bank asing adalah sebagai berikut; tahun 1986, bank 109 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI pemerintah 70,42%, BUSN 21,80% dan bank asing 4,77%. Tahun 1987, bank pemerintah 68,80%, BUSN 23,69% dan bank asing 4,46%. Tahun 1988, bank pemerintah 67,44%, BUSN 25,24% dan bank asing 4,51%. Tahun 1989, bank pemerintah 62,91% , BUSN 29,55% dan bank asing 4,95%. Tahun 1990, bank pemerintah 55,19%, BUSN 36,06% dan bank asing 6,37%. Tahun 1991, bank pemerintah 53,06%, BUSN 37,08% dan bank asing 7,54%. Tahun 1992, bank pemerintah 55,51%, BUSN 34,44% dan bank asing 7,59%. Tahun 1993, bank pemerintah 48,80%, BUSN 41,00% dan bank asing 7,88%. Tahun 1994, bank pemerintah 42,80%, BUSN 47,30% dan bank asing 7,70%%. Tahun 1995, bank pemerintah 41,9%, BUSN 47,8% dan bank asing 8,1%. Pada bank-bank lain seperti bank pembangunan daerah sejak tahun 1986 hingga tahun 1995 relatif tidak banyak terjadi perubahan yang berarti. Kegiatan pengucuran kredit rata-rata tidak mengalami peningkatan. Bahkan cenderung dalam tren yang terus menurun. 110 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Tabel IV.15 Posisi Kredit Perbankan dalam Rupiah dan Valas Menurut kelompok Bank (miliar Rp) Sumber: Pergeseran Pangsa Pasar Penghimpunan Dana dan Kredit antara Bank Pemerintah dan Bank Swasta di Indonesia 1988 – 1995, 1995: 56. Perubahan fundamental lain pasca periode deregulasi adalah perubahan pada struktur dana perbankan. Nasution (1991: 157) menjelaskan bahwa, sejak deregulasi 1 Juni 1983, struktur dana perbankan semakin tergantung pada dana jangka pendek. Secara umum perbankan nasional mulai mengandalkan sumber dana yang pengendapannya lebih tidak pasti. Hal ini disebabkan karena bankbank yang ada tergantung pada deposito yang hanya berjangka waktu kurang dari satu tahun. Selain itu ketidakpastian sumber dana juga disebabkan karena adanya kegiatan dari masyarakat yang cenderung memindah-mindah dananya kedalam mata uang yang berbeda-beda. Hal ini dipicu karena adanya kebijakan sistem kurs 111 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI mengambang, sehingga masyarakat cenderung untuk memanfaatkan perubahan dan selisih dari nilai kurs. Tabel IV.16 Perkembangan Aktiva dan Pasiva Perbankan Indonesia Pasca Deregulasi 1988 (dalam Miliar Rupiah) Sumber: Represi, Liberalisasi dan Reformasi Moneter, 1998: 22. 3. Perilaku Perbankan Pasca Deregulasi Periode deregulasi perbankan tahun 1983-1993 telah menghasilkan kecenderungan perilaku perbankan yang cenderung mengabaikan prinsip-prinsip kehatian-hatian (prudential banking principle). Manajemen bank tidak berusaha memenuhi komitmen untuk berhati-hati dalam pengelolaan bisnis perbankan nasional. Berbagai kebijakan seperti paket Maret 1989, paket Februari 1991, ataupun paket Mei 1993 yang berisi tentang ketentuan pemenuhan CAR (Capital 112 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Adequacy Ratio / rasio modal sendiri dengan aset) serta 3L (Legal Lending Limit / Batas Maksimum Pemberian Kredit), LDR (Loan to Deposit Ratio / perbandingan antara dana yang berhasil dikumpulkan perbankan dari masyarakat dengan kredit yang disalurkan) hingga pembentukan cadangan untuk menutupi resiko, seringkali tidak dipenuhi oleh para pengelola industri perbankan. Kecenderungan untuk mengabaikan prinsip kehati-hatian perbankan salah satunya tercermin dalam kegiatan penyaluran kredit. Ketentuan-ketentuan seperti besaran kredit yang bisa diberikan perorangan atau kelompok, serta kelayakan penerimaan kredit seringkali diabaikan dalam analisis terhadap calon penerima kredit. Pada akhirnya hal tersebut dapat memicu penyaluran kredit secara besarbesaran kepada para pengusaha. Pada satu sisi memang kegiatan tersebut dapat dipandang dapat menimbulkan hasil yang positif dimana usaha-usaha baru mendapat kemudahan untuk mendapatkan modal. Namun, pada sisi lain, kegiatan ekspansi kredit tersebut melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (Legal Lending Limit) yang dapat mengakibatkan timbulnya persoalan lain. Pada perkembanganya memang terjadi penyaluran kredit secara besarbesaran. Hal ini terlihat dari kucuran kredit yang mencapai 235 triliun rupiah pada tahun 1995, bandingkan dengan tahun 1985 dimana perbankan hanya mengucurkan kredit sebesar 21 triliun rupiah (Goeltom, 2005: 324). Goeltom (2005: 326) bahkan juga mencatat bahwa ekspansi kredit yang berlebihan pada tahun 1991 dan 1992 telah mengakibatkan terjadinya overheating dan membuat pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tight monetary policy. 113 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Ada beberapa implikasi yang mungkin terjadi dari ekspansi kredit secara besar-besaran yang dilakukan oleh perbankan nasional. Implikasi pertama adalah kemungkinan terjadinya kredit bermasalah bahkan timbulnya kredit macet. Ekspansi kredit yang dilakukan bahkan dengan melanggar ketentuan kehati-hatian sangat berpotensi menimbulkan kredit bermasalah bahkan macet. Berbagai kalangan mulai dari pengamat ekonomi serta otoritas moneter seperti BI sebenarnya juga telah menyadari hal tersebut sebelumnya. Kwik Kian Gie (Kompas, 4 Juni 1993) misalnya, telah mengingatkan tentang bahaya ekspansi kredit dalam jumlah besar oleh perbankan yang membuat peluang terjadinya kredit macet. Namun kegiatan tersebut terus saja berlangsung. Apa yang dikhawatirkan oleh banyak pihak ada akhirnya memang terjadi. Bahkan kredit bermasalah berada pada tren yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Kompas (13 Oktober 1998) mencatat pada tahun 1993 jumlah kredit bermasalah adalah sebesar 25,2 triliun rupiah. Jumlah tersebut terus meningkat secara berturut, yaitu; 26,2 triliun (1994), 27,9 triliun (1995), 30,6 triliun (1996), dan 34,8 triliun (1997). Data yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (Kompas, 2 Juli 1996) menyebutkan posisi kredit macet pada April 1996 berada pada jumlah yang besar, dengan rincian sebagai berikut: Bank Pembangunan Daerah : 549 ( 6,08%) Bank Asing dan Campuran : 539 ( 5,97%) Bank Persero : 6. 382 (70,7% ) Bank Umum Swasta Nasional : 1. 558 (17,25%) 114 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Data tersebut menunjukkan bahwa posisi kredit macet bank Persero paling tinggi yakni sebesar 6 triliun 382 miliar atau 70,7 % dari keseluruhan total kredit macet. BUSN menempati posisi kredit macet terbesar kedua yakni 17,25 % dengan total nilai sebesar 1 triliun 558 miliar rupiah. Selanjutnya berturut-turut BPD serta Bank Asing dan Campuran menempati posisi bank dengan kredit macet sebesar 549 miliar dan 539 miliar atau 6,08 % dan 5,97 % dari persentase secara nasional. Tabel IV.17 Kredit Macet Perbankan Tahun 1994-1996 (dalam Miliar Rupiah) Sumber: Represi, Liberalisasi dan Reformasi Moneter, 1998: 23. Persoalan kredit bermasalah serta kredit macet tersebut pada dasarnya juga sudah ditengarai sejak tahun 1992. Tingginya suku bunga kredit pada tahun tersebut merupakan indikasi adanya persoalan dalam kegiatan kredit serta pengembaliannya. Sjahrir (Kompas, 27 Oktober 1992) menyatakan bahwa jika pada tiga bank pemerintah terjerat kredit macet hingga 3 triliun, maka jumlahnya akan menjadi sangat besar jika digabung dengan dengan keseluruhan kredit macet yang ada pada bank-bank swasta. Perkiraan total kredit macet tersebut tentu tidak sebanding dengan laba yang diterima oleh perbankan nasional yang hanya sebesar 1, 034 triliun rupiah. Akhirnya persoalan kredit bermasalah hingga kredit macet 115 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI memaksa bank untuk enggan mengucurkan kredit dikarenakan terbatasnya pasokan dana. Maka para pengelola perbankan menyikapinya dengan cara menahan suku bunga kredit pada posisi yang tinggi. Suku bunga kredit kala itu cukup tinggi hingga mencapai 22 - 23 %, bahkan malah ada yang mencapai 27 – 28 % (Kompas, 14 Agustus 1992). Berbagai upaya kemudian dilakukan oleh BI untuk menurunkan suku bunga kredit tersebut. Salah satu upaya adalah dengan menurunkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Suku bunga SBI diturunkan sebesar 1 % sehingga suku bunga SBI menjadi 14 -16, 5 % (Kompas 14 Agustus 1992) dengan harapan bank-bank mau menarik kembali dana mereka yang “diparkir” di SBI. Namun, kenyataannya justru tidak sesuai denga apa yang diharapkan. Lonjakan transaksi SBI malah naik hingga mencapai 500 miliar rupiah (Kompas 14 Agustus 1992). Usaha mempersuasi pihak perbankan, misalnya dengan mengadakan dialog dengan para pengelola bank, juga tetap tidak membuat suku bunga kredit turun seperti pada awal tahun 1990. Selain mengakibatkan suku bunga yang tinggi, lebih lanjut kredit bermasalah dan macet dapat mengakibatkan rusaknya permodalan pada perbankan nasional. Implikasinya kemudian adalah ambruknya industri perbankan. Kejatuhan bank Summa ataupun Sampoerna menjadi contoh bahwa begitu merusaknya implikasi yang diakibatkan oleh kredit macet tersebut. Pada kasus bank Summa pemegang saham Astra terpaksa harus memompakan jutaan dollar untuk memenuhi kecukupan modal, walaupun pada akhirnya bank tersebut tetap gagal untuk diselamatkan. 116 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Salah satu dugaan yang digunakan dalam melihat ekspansi kredit secara besar-besaran adalah adanya pengarus utamaan kepentingan kelompok. Sjahrir (Kompas, 21 November 1992) menengarai bahwa sejumlah kelompok usaha besar berniat mendirikan bank dan menyalurkan kreditnya sesuai dengan kebutuhan usaha kelompok itu sendiri. Penyaluran kredit bagi individu dan kelompok tersebut bahkan menyalahi aturan legal lending limit yang sudah ditetapkan. Sesuai dengan keterangan Kompas (14 September 1993), bahwa; Dalam paket Februri 1991, Bank Indonesia mengatakan bahwa pemberian kredit kepada individu tidak boleh melebihi 20 persen dari modal sendiri suatu bank....Sementara itu, maksimum pemberian kredit kepada group atau sekelompok usaha, tidak boleh melebihi 50 persen dari modal sendiri bank. Namun demikian, dalam Pakmei 1993 lalu, ada perbaikan soal persentase pemberian kredit kepada grup, yakni maksimum pemberian kredit kepada grup atau sekelompok usaha, tidak boleh melebihi 20 persen dari modal sendiri bank. Dengan kata lain BMPK untuk grup sama dengan BMPK pada individu. Kegiatan yang sering disebut dengan konglomerasi tersebut jelas merugikan banyak pihak. Adanya prioritas penyaluran kredit kepada orang atau kelompok tertentu jelas membuat pihak lain yang hendak mengakses modal tentu terhalang oleh perilaku bank tersebut. Selanjutnya jika terjadi kredit bermasalah atau bahkan kredit macet maka pihak ketiga yang menabung pada bank tersebut dananya menjadi tertahan. Lebih jauh yang dirugikan adalah seluruh masyarakat karena sektor keuangan dan pada konteks ini saling terkait dengan sektor-sektor ekonomi lain. Tabel IV.18 Kredit Bank-bank Besar kepada Kelompok Perusahaan Nama Bank Kredit Kelompok 1995 Kredit kelompok / Modal Bank 1994 117 1995 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI (Rp juta) (Persen) Bank Jaya 213. 531 88, 87 195, 71 Bank Universal 366. 076 360, 75 174, 20 Bank Harapan Santosa 223. 236 552, 80 121. 98 Bank Pacific 126. 995 64, 14 81, 52 BII 601. 849 112, 68 62, 78 Bank Dharmala 105. 569 152, 49 56, 39 Bank Utama 92. 885 49, 51 51, 67 Bank Uppindo 55. 322 38, 76 45, 36 Sejahtera Bank Umum 43. 701 16, 57 43, 50 Tamara Bank 53. 146 40, 37 38, 34 Bank Umum Nasional 162. 869 36, 31 37, 25 BDNI 307. 958 18, 54 28, 63 BCA 390. 025 23, 92 28, 28 Citibank 91. 451 40, 29 28, 17 Hongkong Bank 15. 869 17, 71 21, 64 Bank Exim 399. 895 14, 18 20, 66 Bank Rakyat Indonesia 455. 092 0, 69 19, 92 Bank PDFCI 37. 831 34, 77 17, 98 Bank Jabar 10. 473 9, 38 13, 51 Bank Modern 21. 756 12, 35 12, 53 Bank Papan 15. 646 2, 32 10, 74 6. 081 8, 87 10, 30 15. 452 4, 21 10, 20 207. 182 20, 24 8, 68 Bank Tiara 19. 660 15, 60 8, 64 Bank Niaga 33. 949 7, 64 8, 47 Bank Buana Indonesia 14. 329 11, 29 8, 05 Panin Bank 32. 018 14, 04 7, 96 Bank Bali 31. 483 7, 02 7, 90 Bank BNI 144. 351 8, 32 7, 45 Bank of Tokyo Bank Bira Bank Dagang Negara 118 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Bank Danamon 72. 457 4, 42 6, 74 5. 520 6, 50 6, 57 Bank Duta 20. 544 10, 65 5, 15 Bank Aspac 2. 838 2, 24 3, 46 Bank Bukopin 7. 170 4, 46 2, 54 Bank Bumi Daya 34. 257 2, 30 1, 80 ABN-Amro Bank 1. 380 174, 08 1, 36 Bank Tabungan Negara 7. 216 0, 90 0, 50 Bank Jateng Sumber: Kompas, 13 Februari 1996 Tabel IV.19 Rasio Penyaluran Kredit kepada Group dengan Modal di Sejumlah Bank, 1995 Nama Bank (%) Anrico Bank 1. 925, 08 Bank Delta 596, 60 Bank Aken 475, 15 Bank Pinasean 283, 88 Bank HS 1906 222, 84 Bank Surya 203, 50 Astria Bank 195, 86 Jayabank 195, 71 Bank Universal 174, 20 Bank Kredit Asia (TMS) 158, 46 Bank Budi Internasional 155, 55 Nusabank 144, 37 Bank Ina Perdana 134, 82 Andromeda Bank 129, 02 Bank Namura Indonesia 127, 28 Supreme Bank 123, 44 Bank Harapan Santosa 121, 98 119 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Bank Danuhutama 120, 73 Bank Berlian 118, 66 Bank Mataram Dhanarta 113, 48 Bank Surya Nusantara 106, 72 Bank Gunung Kencana 102, 56 Intan Bank 101, 04 Bank Dagang Bali 97, 62 Alfa Bank 91, 61 Asiatic Bank 85, 76 Bank Surya Kencana 85, 31 Bank Pasific 81, 52 Bank Risjad Salim Int 76, 92 Bank Nasional 74, 94 Utama Intersional Bank 72, 49 Akita Bank 71, 84 Fuji Bank Int’l Indonesia 68, 90 Deka Bank 64, 47 Bank Mitranaga 64, 45 Hastin Bank 64, 14 Bank Nusantara Parahyangan 63, 77 BII 62, 78 Bank Dharmala 56, 39 Centris Bank 53, 31 Bank Windu Kentjana 52, 75 Bank Utama 51, 67 Bank Uppindo 45, 36 Sejahtera Bank Umum 43, 50 Unibank 39, 81 Bank Bintang Manunggal 39, 19 Tamara Bank 38, 34 Bank Umum Nasional 37, 25 120 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Bank Central Dagang 36, 94 Bank Bahari 36, 85 Synergy Bank 35, 22 Bank Sumbar 34, 55 Tokai Lippo Bank 34, 39 Hagabank 34, 17 Indotrade Bank 31, 65 Bank CIC 30, 38 Bank Artha Graha 28, 81 Bank PSP 28, 80 BDNI 28, 63 Fama Bank 28, 58 Bank Central Asia 28, 28 Citibank 28, 17 Bank Patriot 27, 04 Sewu Bank 26, 13 Hokindo Bank 24, 74 Hongkong Bank 21, 64 Bank Exim 20, 66 Bank Dwipa 20, 48 Arthamedia Bank 20, 27 ANZ Panin Bank 19, 95 Sumber: Kompas, 13 Februari 1996 Perilaku perbankan pasca deregulasi juga menunjukkan kecenderungan bahwa masih ada bentuk-bentuk pengabaian terhadap pengusaha lemah atau biasa disebut usaha kecil dan menengah (UKM). Perbankan nasional yang diorientasikan sebagai bagian dari agent of development yang bertugas untuk mendorong kegiatan usaha, khususnya usaha ekonomi rakyat sebagai bagian terbesar dari perekonomian Indonesia, ternyata pada kenyataanya tidak mampu 121 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI menjalankan perannya tersebut secara maksimal. Hal ini terlihat dari fakta bahwa aturan yang dibuat untuk mengucurkan kredit bagi sektor UKM terkesan mengada-ada. Sebaga contoh, keluarnya Paket Januari 1990 (Pakjan 90), bankbank umum wajib mengalokasikan 20 persen dari total kreditnya, kepada pengusaha lemah seharusnya bisa disambut gembira oleh para pelaku usaha kecil. Sebab kredit maksimal yang dapat diberikan kepada pengusaha lemah adalah sebesar Rp 200 juta. Namun, dalam Pakjan 90 ini yang masuk kategori usaha lemah adalah usaha yang beraset maksimal Rp 600 juta (Tempo, Edisi 19/02 10/Jul/97). Tentu hal ini menjadi catatan bersama serta menegaskan bahwa kegiatan perbankan hanya menguntungkan bagi sebagian orang saja, atau lebih jelas, yaitu orang-orang kaya. 122 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Ada beberapa rumusan kesimpulan yang diajukan pada bab berikut untuk menjawab rumusan masalah yang diajukan pada bab sebelumnya. Pertama, neoliberalisme awalnya merupakan filsafat tentang tatanan sosial yang mengandaikan masyarakat tidak dibatasi oleh segala bentuk aturan apapun. Seluruh dinamika sosial, politik, hukum, hingga ekonomi yang tidak terikat aturan atau otoritas apapun diandaikan akan mampu menciptakan kesejahteraan bagi setiap individu maupun bagi seluruh tatanan sosial itu sendiri. Pemikiran ini berkembang secara pesat pasca stagflasi 1970-an. Perkembangan pesat tersebut tak lepas dari peran para intelektual sosial hingga politikus yang sependapat dengan gagasan tersebut menerapkan dan menyebarluaskan gagasan tersebut hingga tingkat global. Pengadopsian ide-ide reformasi ekonomi berorientasi terwujudnya sistem pasar oleh sebagian besar negara berkembang, pada tahun-tahun akhir 1970-an hingga tahun 1980-an, awalnya seolah-olah menjadi pembenar akan keampuhan akan ide-ide hyper-liberal. Penerapan program-program penyesuaian struktural menjadi langkah yang biasa ditempuh oleh negara-negara berkembang untuk mengejar cita-cita kesejahteraan nasional seperti yang telah dinikmati oleh negara-negara maju. Dengan berbekal panduan dari intelektual-intelektual kanan baru pemerintahan negara-negara tersebut mengambil kebijakan ekonomi sesuai 123 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI dengan saran dari mereka. Seakan-akan slogan yang seringkali diutarakan oleh Thatcher yakni “There Is No Alternative”, untuk menyebut kemustahilan membuat sistem lain selain sistem pasar, adalah benar adanya. Ironis terjadi kemudian ketika berbagai rentetan krisis justru sering menerpa negara-negara berkembang pasca penerapan program-program penyesuaian struktural. Data-data dari negara-negara Afrika, Amerika Latin, hingga di berbagai negara-negara Asia menunjukkan bahwa diadopsinya reformasi ekonomi berorientasi pasar tidak serta merta menjamin tercapainya kinerja ekonomi secara lebih baik. Begitu pula dengan tingkat kesejahteraan rakyat, terutama rakyat miskin, juga tidak serta merta menjadi lebih baik. Kedua, praktek neoliberalisme yang dilaksanakan di Indonesia juga menempuh jalur yang hampir sama dengan negara berkembang lainnya. Reformasi ekonomi, yang bermakna liberalisasi, dilaksanakan pemerintah Indonesia pada tahun 1980-an. Reformasi ekonomi yang berasal dari kesepakatan penerapan program-program penyesuaian struktural dijalankan oleh pemerintah dengan anjuran dari lembaga-lembaga multilateral. Paket-paket kebijakan seperti deregulasi diperkenalkan sebagai bagian dari instrumen reformasi. Salah satu bagian dari proses reformasi adalah liberalisasi sektor keuangan Indonesia yang dimulai sejak tahun 1983. Proses liberalisasi sektor keuangan tersebut berjalan seiring dengan fenomena global pada waktu itu. Sejak tahun 1980-an, di seluruh dunia terjadi gejala besar yang bernama liberalisasi sektor finansial di tingkat global dan deregulasi di tingkat nasional (Prasetyantoko, 2008: 39). Indonesia menerapkan deregulasi pada tingkat nasional dengan memulainya 124 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI pada sektor perbankan, yakni dengan keluarnya paket deregulasi pada bulan Juni 1983, atau biasa disingkat menjadi pakjun 83. Kebijakan tersebut kemudian disusul Pakto 88 dengan berbagai paket deregulasi lain. Paket deregulasi perbankan secara umum menyangkut tiga dimensi yang saling terkait. Ketiga dimensi tersebut adalah deregulasi harga (khususnya suku bunga deposito), deregulasi produk (ragam jasa yang ditawarkan), dan deregulasi spasial (seperti kelonggaran pendirian bank baru ataupun keleluasaan pembukaan cabang). Ketiga, ada beberapa implikasi yang dihasilkan dari deregulasi perbankan tersebut. Implikasi pertama adalah penyederhanaan berbagai tipe dan jenis bank yang ada. Kedua, yaitu merebaknya industri perbankan, hal ini ditandai dengan adanya pertumbuhan jumlah bank-bank yang berjalan dengan cukup pesat. Ketiga, karena pertumbuhan jumlah bank yang cukup pesat tersebut mengakibatkan persaingan yang cukup ketat di kalangan industri perbankan. Persaingan tersebut berlaku baik pada penghimpunan dana maupun pada penyaluran kredit. Keempat, adalah ketergantungan bank-bank pada dana-dana jangka pendek. Kelima, adalah pergeseran dominasi industri perbankan yang sebelumnya dikuasai oleh bank-bank milik pemerintah, kemudian mulai digantikan perannya oleh bank-bank swasta. Satu hal yang perlu juga dicatat adalah, deregulasi perbankan membuat perubahan pada perilaku pengelola perbankan. Perilaku pengelola perbankan menunjukkan kecenderungan mengabaikan prinsip-prinsip kehati-hatian yang seharusnya dipegang teguh oleh para pengelola bank. Contoh perilaku yang 125 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI mengabaikan prinsip kehati-hatian adalah mudahnya pihak bank untuk memberikan kredit secara besar-besaran, yang melebihi batas maksimum pemberian kredit, kepada seseorang atau suatu kelompok tertentu. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai usaha konglomerasi, dimana bank-bank dimanfaatkan untuk memperbesar usaha kelompok-kelompok tertentu. Hal ini berbeda sekali dengan perlakuan bank terhadap kelompok usaha kecil yang ingin mengajukan kredit. Sejumlah syarat yang berat harus dipenuhi oleh kelompok usaha kecil untuk mengakses kredit dari bank-bank swasta khususnya. 126 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Bagan V.1 Kesimpulan • Filsafat hyper-liberal atas seluruh dinamika masyarakat. • Berkembang pesat pasca terjadi stagflasi 1970-an. • Dikembangkan oleh intelektual kanan baru dan didukung oleh para politikus yang sepaham dengan gagasan-gagasan tersebut. • Hutang internasional menjadi pintu masuk intervensi kebijakan oleh pihak donor. • Program penyesuaian struktural sebagai media liberalisasi. Neoliberalisme Diterapkan Melalui Kesepakatan dengan pihak donor internasional Implikasinya antara lain: • Paket 2 Juni 1983. • Paket 27 Oktober 1988. • Paket 25 Maret 1989. • Paket 19 Januari 1990. • Paket 20 Pebruari 1991. • Paket 29 Mei 1993. Kebijakan Deregulasi Sektor Keuangan (Perbankan) Berimplikasi pada Perilaku Perbankan • Perilaku pengelola perbankan menunjukkan kecenderungan mengabaikan prinsipprinsip kehati-hatian. • Konglomerasi • Diskriminasi terhadap kelompok usaha kecil Serta Pada Perubahan Struktur Perbankan • penyederhanaan berbagai tipe dan jenis bank yang ada. • Pertumbuhan industri perbankan • persaingan yang cukup ketat di industri perbankan. • ketergantungan bank-bank pada danadana jangka pendek. • pergeseran dominasi industri perbankan dari bank-bank milik pemerintah oleh bank-bank swasta. 127 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI B. Saran Kontrol atas sektor keuangan adalah hal yang fundamental dalam manajemen ekonomi makro. Stiglitz bahkan melihat bahwa China dan India yang mengontrol secara ketat sektor keuangannya, menjadikan kedua negara tersebut sanggup melewati berbagai hadangan krisis ekonomi (Yustika, 2007). Hal tersebutlah yang seharusnya bahan refleksi bagi para pengambil kebijakan ekonomi nasional. Sebab kebijakan liberalisasi sektor keuangan pula yang membuat Indonesia terperangkap dalam lubang krisis 1998 yang begitu dalam. C. Keterbatasan Penelitian ini masih sangat jauh dari apa yang diharapkan oleh penulis. Hal ini dikarenakan akses atas sumber-sumber referensi masih sangat terbatas. Bahan-bahan pembanding bacaan maupun data-data tentang situasi perbankan pada tahun-tahun 1980-an dan 1990-an yang penulis dapatkan tidak begitu lengkap. Hal ini membuat beberapa rekomendasi tambahan dari pembimbing tidak bisa penulis penuhi secara lengkap. 128 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI DAFTAR PUSTAKA Arif, Saiful. 2000. Menolak Pembangunanisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Binhadi. 2005. “Financial Deregulation and The Role of The Central Bank in Indonesia,” dalam ed. Soesastro, Hadi., et al. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir, Buku IV (1982-1997) Deregulasi dan Liberalisasi Ekonomi. Jakarta: ISEI. Boughton, James M. 2001. The Silent Revolution: the International Monetary Fund 1979-1989. Washington: International Monetary Fund. Bradley, William L. dan Lubis, Mochtar. 1991. (terj. Maimoen, S). Dokumen-Dokumen Pilihan Tentang Politik Luar Negeri Amerika Serikat dan Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Brata, A. Gunadi. 2007. Liberalisasi Perbankan di Indonesia. Surakarta: The Business Watch Indonesia. Caporaso, James A. dan Levine, David P. 2008. (terj Suraji). TeoriTeori Ekonomi Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Freixas, Xavier dan Rochet, Jean-Charles. 2008. Microeconomics of Banking, Second Edition. London: The MIT Press. Goeltom, Miranda S. 2005. “Perubahan Struktural Sektor Keuangan di Indonesia,” dalam ed. Soesastro, Hadi., et al. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir, Buku IV (1982-1997) Deregulasi dan Liberalisasi Ekonomi, Jakarta: ISEI. Hamada, Miki. 2003. “Transformation of The Financial Sector in Indonesia,” IDE Research Paper No. 6, September 2003, 4. Hanief, M. Furqon I. 2001. Penyesuaian Struktural ekonomi dan Pemusatan Kekuasaan Politik pada Dasawarsa Deregulasi di Indonesia 1983-1993. Disertasi. Jakarta: Fisip UI. Harvey, David. 2009. Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis. Yogyakarta: Resist Book. Heertz, Norena. 2003. “Hidup di Dunia Material: Munculnya gelombang Neoliberalisme,” dalam Neoliberalisme, ed. Wibowo, 129 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI I. dan Wahono, Francis. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Hettne, Björn. 1985. (terj. Martoyo, Ismu). Ironi Pembangunan di Negara Berkembang. Jakarta: Sinar Harapan. Hirst, Paul dan Thompson, Grahame. 1996. Globalization in Question. Cambridge: Blackwell Publisher Ltd. Komisi Selatan. 1992. (terj. Brata, Suwandi S.). Tantangan yang Menghadang Selatan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mubyarto. 2000. Membangun Sistem Ekonomi. Yogyakarta: BPFE. Nasution, Anwar. 1996. The Bangking System and Monetary Aggregates Folowing Financial Sector Reforms. Helsinski: UNU World Institute for Development Economics Research (UNU/WIDER). . 1991. Tinjauan Ekonomi Atas Dampak Paket Deregulasi Tahun 1988 Pada Sistem Keuangan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. . 2005. “Neraca Ekonomi Indonesia,” dalam ed. Soesastro, Hadi., et al. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir, Buku IV (1982-1997) Deregulasi dan Liberalisasi Ekonomi, Jakarta: ISEI. Nitisastro, Widjojo. 2010. Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan Tulisan dan Uraian. Jakarta: Kompas. Petras, James. dan Veltmeyer, Henry. 2002. Imperialisme Abad 21. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Prasetiantono, A. Tony. 2003. “IMF (International Monetary Fund),” dalam Neoliberalisme, ed. Wibowo, I. dan Wahono, Francis. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Prasetyantoko, A. 2008. Bencana Finansial: Stabilitas Sebagai Barang Publik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Prawiro, Radius. 1998. Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi: Pragmatisme dalam Aksi. Jakarta: Elex Media Komputindo. 130 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Priyono, B. Herry. 2003. “Dalam Pusaran Neoliberalisme,” dalam Neoliberalisme, ed. Wibowo, I. dan Wahono, Francis. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Program Studi Hubungan Internasional Universitas Budi Luhur. 2008. Panduan Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Budi Luhur. Rachbini, Didik J. 1994. Politik Deregulasi dan Agenda Kebijakan Ekonomi. Jakarta: InfoBank. Rahardjo, M. Dawam. 1983. Esai-Esai Ekonomi Politik. Jakarta: LP3ES. Spillane, James J. 2003. “Industri Ringan Kaki: Neoliberalisme dan Investasi Global,” dalam Neoliberalisme, ed. Wibowo, I. dan Wahono, Francis. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Stiglitz, Joseph E. 2006. (terj. Aan Suhaeni). Dekade Keserakahan: Era ‘90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi. Serpong: Marjin Kiri. Subiyantoro, Heru. dan Riphat, Singgih ed. 2004. Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. Jakarta: Buku Kompas. Sugiono, Muhadi. 1999. (terj. Cholish). Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Negara Dunia Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suttle, Philip. 2003. ”Financial Flows to Developing Countries: Recent Trends and Near Term Prospects,” in Global Development Finance, Vol. I, ed. Kennedy, Steven. Washington: The World Bank. Tim Penyusun Pedoman Penulisan Tugas Akhir. 2008. Pedoman Penulisan Tugas Akhir: Proposal Penelitian, Skripsi, serta Kententuan tentang Ujian Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Sanata Dharma. Wardhana, Ali. 2005. “Structural Adjustment in Indonesia: Export and the ‘High-Cost’,” dalam ed. Soesastro, Hadi., et al. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir, Buku IV (1982-1997) Deregulasi dan Liberalisasi Ekonomi. Jakarta: ISEI. 131 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Paper atau Jurnal Ilmiah Hardianto, FL. Nugro. 1998. “Represi, Liberalisasi, dan Reformasi Ekonomi,” Jurnal Pangsa, Vol 3 (Februari), 17-26. Laurell, Asa Cristina. 2000. “Structural Adjustment and the Globalization of Social Policy in Latin America,” Journal of International Sociology, Vol. 15 (June), 306-325. Permono, Iswardono S. dan Kuncoro, Mudrajad. 1990. “Kebijaksanaan Moneter: Dari "Financial Repression" Hingga Bahaya "Financial Crash",” Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 5. SAPRI dan CASA. 2002. “The Policy of Economic Crisis and Poverty: A Multy-Country Participatory Assessment of Stuctural Adjustment,” Journal of the Structural Adjustment Participatory Review International Network, Vol. I (April),1-27. Sirait, Ningrum Natasya. 2006. “Indonesia dalam Menghadapi Persaingan Internasional,” Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara, 2 September. Supraptono. 1995. “Pergeseran Pangsa Pasar Penghimpunan Dana dan Kredit antara Bank Pemerintah dan Bank Swasta di Indonesia 1985-1995,” Jurnal Gema Stikubank, (Agustus), 52-62. Yustika, Ahmad Erani. 2004. “Reformasi Ekonomi, Konsensus Washington, dan Rintangan Politik,” Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 6 (Maret), 1-14. Majalah atau Surat Kabar Yustika, Ahmad Erani. 2007. “Restriksi Sektor Finansial,” Kompas, 2 Oktober. Gie, Kwik Kian. 1993. “Sebuah Kekhawatiran,” Kompas, 4 Juni. Kompas, 29 September 1984. , 14 Agustus 1992. 132 Kebijaksanaan, Sebuah PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI , 27 Oktober 1992. , 14 September 1993. , 13 Februari 1996. , 2 Juli 1996. , 2 Oktober 2007. Neves, Husi Guteriano. 2009. “Terjerumusnya Negara-Negara Berkembang ke dalam Utang Luar Negeri,” Timor Post, 4 Desember. Pradjoto. 1998. “Bank Menggali Kubur Sendiri,” Kompas, 13 Oktober. Priyono, B. Herry. 2009. “Sesat Neoliberalisme,” Kompas, 28 Mei. Syahrir. 1992. “Dipertanyakan, Maksud Kelompok Usaha Besar dirikan Bank,” Kompas, 21 November. Tempo, Edisi 19 Februari – 10 Juli 1997 Internet Bank Indonesia. ”Ikhtisar Perbankan”. www.bi.go.id. Diakses 13 Juli 2010. Caldentey, Esteban Pérez dan Vernengo, Matías. 2010. “Modern finance, methodology and the global crisis,” real-world economics review, issue no. 52, 69-81, www.paecon.net. Diakses 4 Februari 2011. Engdahl, F. William. 2008. “The Financial Tsunami: the Financial Foundation of the American Century”. www.globalresearch.ca. Diakses 4 Februari 2011. Hossein-zadeh, Ismael. “THE CRISIS OF THIRD WORLD DEBT--Is There a Way Out?”. http://faculty.cbpa.drake.edu. Diakses 4 Februari 2011. Longhofer, Wesley. “The Effects of Structural Adjustment on Associational Activity, 1970-2000”. www.allacademic.com. Diakses 1 Juli 2010. 133 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI Olukoshi, Adebayo. 2000. “Structural Adjustment and Social Policies in Africa: Some Notes”. http://gaspp.stakes.fi/. Diakses 9 Mei 2010. Priyono, B. Herry. “Filsafat Deregulasi”. www.kompas.com. Diakses 9 Mei 2010. Setiawan, Bonnie. “Neo-Liberal dan Kejahatan www.globaljust.org. Diakses 18 Maret 2010. Multilateral”. Tambunan, Raymond. "Kualitatif”. www.rumahbelajarpsikologi.com. Diakses tanggal 11 November 2009. Zawalinska, Katarzyna. 2004. “What has been an economic impact of Structural Adjustment Programs on households in Transition countries?”. lnweb90.worldbank.org. Diakses 1 Juli 2010. 134 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI LAMPIRAN 1 Pokok-Pokok Paket Dergulasi 27 Oktober 1988 135 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 136 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 137 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI LAMPIRAN 2 Ketentuan Lanjutan Paket 27 Oktober 1988 138 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 139 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI LAMPIRAN 3 Pokok-Pokok Ketentuan Lanjutan Paket 27 Oktober 1988 140 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 141 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 142 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 143 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 144 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 145 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI LAMPIRAN 4 Penjelasan Gubernur BI tentang Pakto 27 dan Ketentuan Lanjutan Pakto 27 146 PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 147