neoliberalisme dan implikasinya bagi struktur dan perilaku lembaga

advertisement
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT
NEOLIBERALISME DAN IMPLIKASINYA BAGI
STRUKTUR DAN PERILAKU LEMBAGA
KEUANGAN PERBANKAN DI INDONESIA
Analisis Atas Deregulasi Perbankan Periode Tahun 1983 - 1993
Studi Analisis-Deskriptif
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Ekonomi Program Studi Manajemen
Oleh :
SIGIT KARYADI BUDIONO
NIM : O32214077
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2011
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
NEOLIBERALISME DAN IMPLIKASINYA BAGI
STRUKTUR DAN PERILAKU LEMBAGA
KEUANGAN PERBANKAN DI INDONESIA
Analisis Deregulasi Perbankan Periode Tahun 1983 - 1993
Studi Analisis Deskriptif
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Ekonomi Program Studi Manajemen
Oleh :
SIGIT KARYADI BUDIONO
NIM : O32214077
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2011
i PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
ii PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
iii PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
MOTTO
Segui il tuo corso, e lascia dir le genti!
(Jalan terus, biarkan mereka menggerutu !!!!)
(Dante Alighieri, Komedi Tuhan, Bagian Api Neraka, Nyanyian V)
Change does not roll in on the wheels of inevitability, but comes
through continuous struggle. And so we must straighten our backs and
work for our freedom. A man can't ride you unless your back is bent.
(Martin Luther King, Jr., "I See the Promised Land", Memphis,
Tennessee, April 3, 1968)
iv PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
PERSEMBAHAN
Untukmu…agar kau tahu bahwa ku cinta padamu…
v PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
vi PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
vii PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terima kasih penulis sampaikan kepada Allah SWT atas
karunia dan Rahmad-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “NEOLIBERALISME DAN IMPLIKASINYA BAGI STRUKTUR DAN
PERILAKU LEMBAGA KEUANGAN PERBANKAN DI INDONESIA Analisis
Atas Deregulasi Perbankan Periode Tahun 1983 - 1993 Studi Analisis Deskriptif”
dengan baik. Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Program Studi Manajemen Fakultas
Ekonomi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan baik berkat bantuan berbagai
pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. Y.P. Supardiyono, M.Si., Akt., QIA., selaku Dekan Fakultas
Ekonomi Universitas Sanata Dharma.
2. Bapak V. Mardi Widyadmono, S.E., M.B.A., selaku Ketua Program Studi
Manajemen Universitas Sanata Dharma.
3. Bapak T. Handono Eko Prabowo, MBA., Ph.D., selaku dosen pembimbing
I, yang telah mengarahkan dan membimbing penulis dengan kesungguhan
hati.
4. Bapak Antonius Budisusila, S.E., M.Sc. Soc., selaku dosen pembimbing
II, yang telah mengarahkan dan membimbing penulis sehingga skripsi ini
menjadi lebih baik.
viii PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
5. Bapak Drs. Laurentius Bambang Harnoto M.Si. selaku anggota tim
penguji yang telah memberi masukan yang sangat berguna.
6. Kedua orang tua tercinta yang selalu memberikan do’a, dukungan,
nasehat, serta kesabaran hati untuk menunggu penulis menjalani masa
“bermainnya” sebagai bekal dikemudian hari, juga saudara-saudara
penulis yang selalu memberikan support kepada penulis.
7. Kawan-kawan Pimpinan Nasional, Pimpinan Kota Front Perjuangan
Pemuda Indonesia Yogyakarta, serta Tadjam Sanata Dharma, terima kasih
telah mengajarkan banyak hal, maaf belum bisa berbuat banyak hal.
8. Konco-konco gojek kere, “Super Bondox”, “Gus Adit”, “Lepek”, “Babi”,
“Kembar sial”, “si Gendut Mian”, “Ketjor”, “Lik bas”, Renggo “Darsono”.
Kak Dayah terima kasih sudah berbaik hati mengajak keliling UI dan
bertemu “adek-adek” bersenyum cerah dan renyah. Kumpulan gambirgombyok Solo, “Nangnak”, “SX”, “Aero”, “Gogon”, “Tahu”, mas Mamad.
9. Kawan-kawan Asrama Bantaeng SulSel, Sopyan, Zaldy, Suthan, Ayu’,
Wandi n Fandi, Ima, Anchu’, Musda, Habibi, “Pak Ketua”, terima kasih
telah menerima “penumpang gelap” yang sering pinjam leptop juga.
Kapan kita ke Bantaeng lagi? : )
10. UKM Bal-balan Sadhar, tim bal-balan Ekonomi Sadhar, club kampung
Adidas n PuMa, terima kasih telah membuat riang dan sehat.
11. Pegawai perpustakaan Sadhar dan Kota, terima kasih banyak. Tingkatkan
kewaspadaan terhadap aksi-aksi petualangan “pendekar berwatak jahat”.
ix PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
12. Nama-nama lain yang tidak dapat penulis sebut satu-persatu karena
keterbatasan ruang formal ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran dari
para pembaca guna menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat dan dapat menjadi bahan masukan bagi semua pihak yang
membutuhkan.
Yogyakarta, 8Agustus 2011
Penulis\
Sigit Karyadi Budiono
NIM 032214077
x PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL……………………………………………………...
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………..
ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………….
iii
HALAMAN MOTTO……………………………………………………..
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………...
v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS…………….
vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH…………………………………...……..
vii
HALAMAN KATA PENGANTAR…………………………………...…
viii
HALAMAN DAFTAR ISI………………………………………………...
xi
HALAMAN DAFTAR TABEL…………………………………………...
xiv
HALAMAN DAFTAR GAMBAR………………………………………..
xv
HALAMAN DAFTAR LAMPIRAN……………………………………...
xvi
HALAMAN ABSTRAK…………………………………………………..
xvii
HALAMAN ABSTRACT…………………………………………………
xviii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………
1
A. Latar Belakang Penelitian…………………………………….
1
B. Pembatasan Masalah………………………………………….
5
C. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup……………………..
1. Rumusan Masalah………………………………………..
xi 6
6
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
2. Ruang Lingkup…………………………………………...
7
D. Tujuan Penelitian……………………………………………..
7
E. Manfaat Penelitian……………………………………………
8
F. Sistematika Penulisan………………………………………...
8
BAB II KAJIAN PUSTAKA……………………………………………..
11
A. Landasan Teori……………………………………………….
11
1. Neoliberalisme……………………………………………
11
2. Structural Adjustment Programs (SAPs)………………...
12
3. Kebijakan Deregulasi Sektor Perbankan………………...
14
4. Lembaga Keuangan Perbankan………………………….
16
B. Kerangka Pemikiran…………………………………………..
17
C. Penelitian Sebelumnya………………………………………..
20
BAB III METODE PENELITIAN………………………………………...
23
A. Jenis Penelitian………………………………………………..
23
B. Objek Penelitian……………………………………………....
24
C. Waktu dan Lokasi…………………………………………….
24
D. Konsep-konsep………………………………………………..
24
E. Metode Pengumpulan Data……………………………………
26
F. Rekonstruksi atau Penulisan…………………………………..
28
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN……………………………...
29
A. Negara Pasca Kolonial dan Kebangkitan Neoliberalisme…….
29
1. Dekolonialisasi dan Kuatnya Pengaruh Negara dalam
Tradisi Negara Pasca Kolonial…………………………….
xii 32
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
2. Intervensi Negara dan Wacana Pembangunan Negara
Pasca Kolonial……………………………………………..
40
3. Stagflasi 1970 dan Pengaruh Kebijakan
Thatcherism – Reaganomics………………………………
44
4. Bangkitnya Intelektual Kanan Baru………………………
56
B. STRUCTURAL ADJUSTMENT PROGRAMS SEBAGAI
PROGRAM EKONOMI – POLITIK NEOLIBERALISME…..
60
1. Hutang dan Kemunculan Structural Adjustment Programs
62
2. Pengalaman Penyesuaian Struktural di Negara
Berkembang……………………………………………….
3. Proses Penyesuaian Struktural di Indonesia……………...
74
79
C. Structural Adjustment Programs dan Implikasinya Bagi
Dunia Perbankan………………………………………………
91
1. Program Deregulasi dan Deregulasi Perbankan…………..
92
2. Struktur Perbankan Pasca Perbankan……………………..
102
3. Perilaku Perbankan Pasca Deregulasi……………………..
112
BAB V PENUTUP…………………………………………………………
123
A. KESIMPULAN…………………………………..…………….
123
B. SARAN………………………………………………….……..
125
C. KETERBATASAN……………………………………….…....
126
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...
129
LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………....
135
xiii PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR TABEL
Tabel Judul
IV.1
Halaman
Daftar Negara-Negara Pasca Kolonial Setelah Perang
Dunia II (1945-1965)…………………………………………………….33
IV.11 Kalkulasi Utang Pada Pemerintahan Soekarno…………………………..80
IV.12 Rata-Rata Bunga Nominal dan Riil Deposito Berjangka
pada Bank-Bank Pemerintah……………………………………………..98
IV.13 Perkembangan Jumlah Bank Sebelum dan Sesudah Pakto 88………….106
IV.14 Posisi Penghimpunan Dana dalam Rp & Valas Menurut
Kelompok Bank (miliar Rp)…..………………………………………..109
IV.15 Posisi Kredit Perbankan dalam Rupiah dan Valas Menurut
Kelompok Bank (miliar Rp)…………………………………………….111
IV.16 Perkembangan Aktiva dan Pasiva Perbankan Indonesia
Pasca Deregulasi 1988 (dalam Miliar Rupiah)…………………………112
IV.17 Kredit Macet Perbankan Tahun 1994-1996 (dalam Miliar Rupiah)……115
IV.18 Kredit Bank-bank Besar kepada Kelompok Perusahaan……………….117
IV.19 Rasio Penyaluran Kredit kepada Group dengan Modal
di Sejumlah Bank, 1995………………………………………………...119
xiv PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Judul
Halaman
II.1
Alur Kerangka Pemikiran………………………………………..20
IV.2
Krisis Ekonomi Tahun 1970an: Inflasi dan
Pengangguran di A.S. dan Eropa, 1960-1987……………………45
IV.3
Pergerakan Tingkat Suku Bunga Riil di A.S.dan
Perancis tahun 1960-2001, Sebagai Implikasi
Terapi Kejut Volcker……………………………...……………...50
IV.4
Rata-rata Pengangguran di Amerika Serikat tahun
1979-1982………………………………………………………..53
IV.5
Pendalaman Sektor Finansial Global (Persentase
Nilai Aset Saham dari GDP Dunia tahun 1980-2007)…………..54
IV.6
Tingkat Keuntungan Bagi Korporasi Finansial dan
Non-finansial di A.S. 1960-2001………………………………...55
IV.7
Rata-rata Pertumbuhan PDB Per Kapita dan Total
PDB Negara Berkembang, 1960-1987…………………………..67
IV.8
Persentase Pertumbuhan Utang Luar Negeri Negara
Berkembang, 1966-1982…………………………………………68
IV.9
Suku bunga Nominal dan riil, 1972-1988………………………..71
IV.10
Pembayaran Utang Luar Negeri Dikurangi Nilai Pinjaman……..72
V.1
Bagan Kesimpulan……………………………………………...127
xv PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR LAMPIRAN
Nomer
Lampiran
Judul
Halaman
Lampiran 1
Pokok-Pokok Paket Dergulasi 27 Oktober 1988……………….135
Lampiran 2
Ketentuan Lanjutan Paket 27 Oktober 1988…………………....138
Lampiran 3
Pokok-Pokok Ketentuan Lanjutan Paket 27
Oktober 1988……………………………………………………140
Lampiran 4
Penjelasan Gubernur BI tentang Pakto 27 dan
Ketentuan Lanjutan Pakto 27…………………………………...146
xvi PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
ABSTRAK
NEOLIBERALISME DAN IMPLIKASINYA BAGI STRUKTUR DAN
PERILAKU LEMBAGA KEUANGAN PERBANKAN DI INDONESIA
Analisis Deregulasi Perbankan Periode Tahun 1983 - 1993
Studi Analisis Deskriptif
Sigit Karyadi Budiono
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2011
Dalam banyak literatur yang membahas tentang pengambilan kebijakan
deregulasi sektor perbankan di Indonesia, disebutkan bahwa dasar dari
pengambilan kebijakan tersebut adalah berakhirnya era booming minyak pada
tahun 1980-an. Seolah-olah hanya ada satu variabel saja yang mempengaruhi
keluarnya kebijakan tersebut. Studi ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada
variabel lain yang mempengaruhi kebijakan tersebut. Selain itu, penelitian ini juga
bertujuan untuk melihat implikasi dari kebijakan deregulasi tersebut terhadap
sektor perbankan itu sendiri.
Studi ini dilakukan selama bulan Oktober 2010 sampai bulan Juli 2011 di
sejumlah perpustakaan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggali sumbersumber seperti buku-buku, surat-surat kabar, jurnal ilmiah, maupun artikel-artikel
lain dari internet yang sesuai dengan topik studi ini. Metode yang digunakan
dalam penelitian adalah metode analisis-deskriptif yakni dengan melihat pengaruh
satu variabel dengan variabel lain dan kemudian mengungkapkannya menjadi
suatu rangkaian penjelasan yang terperinci.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gelombang neoliberalisme yang
ramai diadopsi di negara berkembang melalui program penyesuaian struktural
menjadi penentu keluarnya kebijakan deregulasi. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa capaian deregulasi untuk meliberalisasi perbankan demi
tumbuhnya iklim perbankan yang sehat tidak selalu seperti yang diharapkan.
Menjamurnya bank-bank baru yang membuat terjadinya persaingan yang ketat
dalam dunia perbankan, semakin bergantungnya bank pada dana jangka pendek,
ditambah dengan perilaku konglomerasi para pemilik modal menjadikan tingkat
kesehatan perbankan menjadi buruk.
Kata kunci: neoliberalisme, program penyesuian struktural, deregulasi perbankan,
struktur industri perbankan, konglomerasi, kesehatan perbankan.
xvii PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
ABSTRACT
NEOLIBERALISM AND IMPLICATIONS TO THE STRUCTURE AND
BEHAVIOR OF BANKING INSTITUTIONS IN INDONESIA
Analysis on Banking Deregulation Period of 1983 - 1993
Descriptive Analysis Study
Sigit Karyadi Budiono
Sanata Dharma University
Yogyakarta
2011
In many literatures discussing about the policy making of deregulation of
the banking sector in Indonesia, it was stated that the basis of policy making is the
end of the oil boom era in the 1980s, as if there is only one variable that affects
the release of the policy. This study attempts to investigate whether there are other
variables that influence the policy. Besides, this study also attempts to look at the
implications of the deregulation policy to the banking sector itself.
This study was conducted from October 2010 to July 2011 in a number of
libraries. The data were collected by studying the sources such as books,
newspapers, scientific journals, and other articles from the internet in accordance
with the topic of this study. The method used in research was a method of
descriptive analysis by looking at the effect of one variable to another variable
and then express it in to a series of detailed explanation.
The results of this study indicated that the wave of neo-liberalism bustling
adopted in developing countries through the structural adjustment programs also
determined the release of the deregulation policy. The results of the research also
showed that the achievements of the banking deregulation to liberalize the climate
for the growth of a healthy banking was not always as expected. The growing
number of new banks made the competition in the banking sector fierce, banks
were increasingly dependent on short-term funds, and more over the soundness of
banking was getting worse because of the conglomeration behavior of the capital
owners.
Key words: neo liberalism, structural adjustment programs, deregulation of
banking, industrial banking structure, conglomeration, banking soundness.
xviii PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Penghujung tahun 1970-an dan awal 1980-an akan selalu diingat sebagai
dekade perubahan fundamental ekonomi dan politik global. Hal ini disebabkan
karena serangkaian peristiwa ekonomi dan politik di tataran global. Rentetan
peristiwa mulai dari krisis minyak, inflasi yang tinggi, hingga pergantian sejumlah
pemimpin di sejumlah negara mampu menjadi motor reformasi di berbagai
belahan dunia (Harvey, 2009). Pada dekade tersebut sejumlah perubahan menerpa
berbagai negara-negara di hampir seluruh penjuru dunia secara serempak.
Secara umum perubahan yang terjadi pada dekade 1980-an adalah
bergesernya kebijakan ekonomi, sosial, hingga politik, di berbagai negara menjadi
berorientasi pasar. Kecenderungan kebijakan yang diambil oleh pemerintahan di
berbagai negara menggeser orientasi kebijakan pada masa sebelumnya yang
kental dengan tradisi intervensionisme negara. Hampir di seluruh belahan dunia
mengadopsi gagasan-gagasan yang dikembangkan oleh sejumlah kalangan, yang
dikemudian hari dikenal sebagai neoliberalisme. Kegiatan seperti meliberalisasi
perdagangan, investasi, serta menswastakan perusahaan-perusahaan milik negara
menjadi semacam tren umum secara global.
Neoliberalisme sendiri merupakan gagasan yang melihat bahwa seluruh
aktivitas dan hubungan antar manusia yang ada dalam masyarakat dilandasi oleh
kepentingan transaksional (Priyono, 2003: 54). Sehingga dengan lain perkataan,
1
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
seluruh tindakan dan hubungan manusia hanya merupakan artikulasi dari
kepentingan untung-rugi dalam transaksi ekonomi. Oleh karena itu sistem pasar
merupakan satu-satunya model sistem bermasyarakat yang paling cocok
diterapkan dalam masyarakat. Tugas pemerintah dengan demikian harus
mengupayakan bekerjanya sistem tersebut. Bahkan prinsip-prinsip ekonomi dan
kinerja pasar akan menjadi tolok ukur berhasil tidaknya semua kebijakan
pemerintah.
Dimulai dari sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris,
yang merestrukturisasi watak serta peran dari negara dalam perekonomian,
kegiatan tersebut kemudian menyebar dengan cepat ke berbagai negara. Melalui
peran yang dimainkan oleh institusi-institusi multilateral seperti IMF dan Bank
Dunia
serta
para
intelektual
pendukungnya,
gagasan
tersebut
mampu
ditransformasikan menjadi semacam resep ekonomi yang berlaku universal untuk
menggantikan manajemen ekonomi Keynesian (Sugiono, 1999). Melalui berbagai
perangkat yang dibuat, wacana kebajikan pasar mampu menjadi wacana dominan
serta menjadi rujukan mekanisme pengambilan kebijakan ekonomi, sosial hingga
politik.
Negara-negara berkembang, yang pada umumnya adalah negara bekas
jajahan dari negara-negara Eropa serta Amerika Serikat, tak luput dari ”serangan”
wacana neoliberalisme. Reformasi kebijakan ekonomi yang sebelumnya kental
dengan tradisi intervensionisme negara, secara dramatis mampu digantikan oleh
kebijakan yang mengandalkan pada hubungan tarik-menarik permintaan dan
penawaran. Manajemen ekonomi yang sebelumnya seringkali dilandasi oleh rasa
2
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
nasionalisme harus digantikan oleh sistem perekonomian yang mengakomodasi
kepentingan-kepentingan usaha masyarakat itu sendiri.
Berbagai perangkat pendukung harus ditanamkan sebagai infrastruktur
kegiatan
reformasi
yang
dijalankan
oleh
pemerintahan
negara-negara
berkembang. Diawali dari fenomena krisis keuangan dan hutang besar yang
menimpa negara-negara tersebut sejumlah perjanjian dan saran kebijakan banyak
diupayakan oleh lembaga multilateral sebagai proses mendorong neoliberalisme.
Maka serangkaian penyesuaian struktural harus dijalankan oleh pemerintah
sebagai resep mengatasi krisis.
Indonesia sebagai bagian dari negara berkembang tak luput dari
mekanisme-mekanisme yang dijalankan oleh negara-negara berkembang lain baik
di
benua
Asia,
Afrika,
Amerika
Selatan
(lihat
misalnya
Setiawan,
www.globaljust.org, Diakses 18 Maret 2010). Seperti halnya negara berkembang
lainnya, Indonesia harus menerima resep reformasi yang disarankan oleh IMF dan
Bank Dunia untuk mengatasi krisis pasca booming minyak. Melalui serangkaian
paket deregulasi sebagai bagian dari program penyesuaian struktural, pemerintah
mulai mengurangi perannya dalam bidang ekonomi. Dimulai dari paket deregulasi
keuangan, paket-paket deregulasi di sektor lain mulai menyusul dan menjadi
bagian dari reformasi itu sendiri.
Pada beberapa penelitian dan tulisan tentang deregulasi, khususnya
deregulasi sektor keuangan yang diawali dari kebijakan Paket deregulasi Juni
1983, menyebutkan bahwa landasannya adalah kebutuhan pragmatis. Hal ini
seperti hendak menegaskan penolakan terhadap pandangan bahwa kebijakan
3
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
deregulasi juga merupakan hasil desakan kekuatan internasional. Seperti dalam
penelitian Nasution (1991) yang menyatakan tentang alasan keluarnya kebijakan
paket deregulasi 27 Oktober 1988 (Pakto 27) dan 20 Desember 1988 (Pakdes 20)
adalah murni kebutuhan mobilisasi dana domestik paska oil boom tahun 1970-an.
Binhadi (Binhadi, 2005) juga menuliskan bahwa kebijakan deregulasi sejak tahun
1983 merupakan kebijakan yang diambil atas dasar pertimbangan praktis saja
yaitu kebutuhan mobilisasi dana untuk pembangunan sebagai konsekuensi logis
atas resesi dunia di awal tahun 1980-an serta berakhirnya era oil boom.
Penulis berpandangan bahwa kebijakan deregulasi sektor keuangan, yang
dalam penelitian ini difokuskan pada deregulasi sektor perbankan, tidak begitu
saja diambil dari pertimbangan internal saja. Neoliberalisme menurut penulis
menjadi dasar yang kuat dilangsungkanya kebijakan tersebut. Maka tentu menarik
untuk membuktikan apakah memang dinamika internasional yang berkembang
yakni
masifikasi
penyebaran
neoliberalisme
mempengaruhi
pengambilan
kebijakan deregulasi sektor perbankan ataukah memang faktor internal saja yang
menjadi dasar pengambilan kebijakan tersebut.
Kebijakan deregulasi perbankan umumnya juga dilihat sebagai upaya
untuk membebaskan dari represi finansial. Sehingga dengan demikian sektor
perbankan mampu dinamis dan menjalankan peran intermediasinya. Persoalan
lain yang dengan demikian bagi penulis perlu dilihat adalah bagaimana implikasi
dari deregulasi sektor perbankan pada struktur serta perilaku perbankan. Hal ini
untuk membuktikan apakah kegiatan deregulasi tersebut sesuai dengan harapan
dari dilangsungkannya kegiatan deregulasi tersebut.
4
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
B. Pembatasan Masalah
Berdasarkan
pada
realitas
semakin
kuatnya
diskursus
tentang
neoliberalisme sebagai suatu fenomena global, maka bagi penulis menjadi
menarik untuk menjadikannya sebagai bidang kajian studi manajemen. Sehingga
dalam penelitian ini, menarik untuk melihat bagaimana pengaruh neoliberalisme
pada manajemen pengambilan kebijakan pada suatu negara. Selain itu penelitian
ini juga dimaksudkan untuk melihat implikasi dari kebijakan-kebijakan neoliberal
terhadap sektor-sektor yang terkait langsung dengan kebijakan tersebut.
Pembahasan pertama meliputi atas kemunculan neoliberalisme, yang
didapat melalui penggalian latar belakang situasi global yang mampu
mengkondisikan hadirnya neoliberalisme. Bagian-bagian yang coba diajukan
meliputi beberapa gejolak serta peristiwa ekonomi-politik internasional yang
berkembang pasca perang dunia kedua hingga akhir tahun 1970-an. Pembahasan
di dalamnya tidak akan mengajukan semua peristiwa yang berkembang pada masa
tersebut, akan tetapi hanya beberapa kejadian yang mempengaruhi perubahan
radikal orientasi kebijakan di beberapa negara. Sehingga dengan demikian akan
terlihat secara jelas runutan latar belakang proses perubahan orientasi kebijakan
ekonomi nasional maupun internasional yang terjadi di sejumlah negara.
Perubahan orientasi kebijakan ekonomi yang dimaksud adalah bergesernya peran
negara yang sebelumnya kental mempengaruhi perekonomian menjadi semakin
berkurang.
5
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Pada bagian selanjutnya akan coba dikaji tentang proses masuknya
neoliberalisme di negara berkembang pada umumnya serta di Indonesia pada
khususnya. Bagian-bagian yang dipaparkan adalah mengenai latar situasi hadirnya
perangkat-perangkat reformasi ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah negara
berkembang. Pengalaman penerapan reformasi ekonomi di sejumlah negara
berkembang serta proses masuknya agenda reformasi ekonomi di Indonesia pada
tahun 1980-an juga dibahas pada bagian ini.
Pada bagian akhir, pembahasan akan difokuskan pada bentuk-bentuk
kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia sebagai konsekuensi menjalankan
reformasi ekonomi. Bentuk-bentuk kebijakan yang akan dilihat adalah pada
kebijakan deregulasi sektor keuangan atau secara khusus adalah kebijakan
deregulasi sektor perbankan pada dekade 1983 - 1993. Kebijakan deregulasi
tersebut bagi penulis merupakan bagian penting dari reformasi ekonomi yang
dijalankan oleh pemerintah dalam kaitanya dengan masuknya neoliberalisme di
Indonesia. Pada bagian ini juga dibahas implikasi dari kebijakan deregulasi
perbankan pada struktur dan perilaku industri perbankan itu sendiri.
C. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang yang telah dipaparkan maka
penulis mengajukan pokok-pokok rumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana awal proses berkembangnya neoliberalisme pada tataran
global?
6
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
b. Bagaimana
lembaga-lembaga
internasional
menerapkan
perangkat-
perangkat liberalisasi guna mempraktekkan neoliberalisme di Indonesia?
c. Bagaimana pula implikasi kebijakan neoliberalisme di dunia perbankan
khususnya pada struktur dan perilaku lembaga keuangan perbankan
Indonesia?
2. Ruang Lingkup
Studi ini akan mengulas praktek-praktek penerapan neoliberalisme,
maupun pada beberapa implikasi yang dihasilkan di lapangan secara langsung.
Sehingga akan dikaji mengenai kebijakan-kebijakan dari lembaga-lembaga
keuangan internasional, terutama IMF dan World Bank, guna mendorong
neoliberalisme. Sejumlah perjanjian dan kesepakatan antara lembaga-lembaga
tersebut dengan pemerintah Indonesia akan dibahas dalam kaitannya dengan
proses penerapan neoliberalisme. Selain itu juga akan dikaji bagaimana implikasi
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah paska dikembangkannya
praktek-praktek neoliberalisme di Indonesia, dalam penelitian ini khususnya akan
dibahas implikasinya pada kebijakan sektor perbankan nasional.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mendeskripsikan dan
menganalisis perkembangan teori serta kebijakan yang diambil. Secara lebih
khusus penelitian bertujuan untuk:
7
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
a. Menjelaskan bagaimana awal proses berkembangnya neoliberalisme pada
tataran global.
b. Menjelaskan proses penerapan perangkat-perangkat liberalisasi lembagalembaga internasional guna mempraktekkan neoliberalisme di Indonesia.
c. Menjelaskan dampak kebijakan neoliberalisme pada struktur dan perilaku
lembaga perbankan Indonesia.
E. Manfaat Penelitian
Sehingga hasil studi ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
a. Pengembangan kemampuan penulis dalam melakukan suatu penelitian.
Sehingga penulis menjadi terlatih untuk mengembangkan gagasan serta
mendeskripsikan suatu permasalahan dalam alur logika yang sistematis.
b. Menambah kajian pustaka bagi yang berminat mendalami bidang
neoliberalisme dan implikasinya bagi perkembangan sektor perbankan di
Indonesia.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan hasil penelitian ini akan di bagi dalam menjadi lima bab. Tiap
bab memuat beberapa sub bab. Adapun pembagiannya adalah bab I berisikan
pendahuluan, bab II merupakan rangkaian kajian pustaka dan landasan teori yang
digunakan, bab III meliputi metodologi penelitian yang digunakan, bab IV
merupakan bab pembahasan masalah, dan bab V berisikan penutup. Sedangkan
rincian per bab adalah sebagai berikut:
8
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
1. Bab I : Pendahuluan
Bab ini akan mengemukakan, latar belakang, identifikasi dan
batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, kajian pustaka, landasan teori dan kerangka berpikir,
metodologi penelitian, serta sistematika penulisan.
2. Bab II : Kajian Pustaka dan Telaah Teoritis.
Bab ini mengemukakan tentang beberapa kajian penelitian yang
berhubungan dengan penelitian yang hendak penulis lakukan.
Sehingga penulis bisa menambal beberapa kekurangan dan
mengembangkan pada penelitan terdahulu. Selain itu pada bab ini
juga memuat teori-teori yang mampu mendukung penelitian yang
akan dilakukan sehingga penelitian memiliki dasar yang ilmiah.
3. Bab III : Metodologi Penelitian
Bab metodologi penelitian meliputi teknik yang digunakan oleh
penulis, termasuk di dalamnya jenis penelitian, variabel penelitian
teknik pengumpulan data, teknik analisis data, serta hal-hal lain
yang bersifat teknis dalam penelitian ini.
4. Bab IV: Analisis Data
Pada bab ini penulis melakukan analisis pada data-data variabel
yang telah diperoleh pada penelitian sebelumnya untuk menjawab
permasalahan yang telah diajukan.
9
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
5. Bab V: Penutup
Seluruh rangkaian tulisan ini akan ditutup dengan menguraikan
kesimpulan dari pembahasan masalah serta sumbang saran dari
penulis.
10
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Landasan Teori
1. Neoliberalisme
Terminologi Neoliberalisme telah menjadi salah satu hal yang paling
sering dibicarakan dalam kajian ekonomi-politik pada menjelang berakhirnya
abad ke 20. Istilah tersebut pada awalnya tidak merujuk pada suatu penjelasan
tentang ekonomi, akan tetapi berangkat dari suatu filsafat politik tentang
pengaturan hubungan manusia dan masyarakat. Pada perkembangannya kemudian
filsafat politik tersebut berubah menjadi menjadi suatu ideologi dalam pemikiran
dan praktik ekonomi (Priyono, 2009).
Filsafat politik ini berusaha menjelaskan bahwa hubungan manusia dan
masyarakat dalam kaitanya dengan kebebasan yang ekstrim disegala bidang
kehidupan. Kegiatan pengaturan selalu mengandung risiko pembatasan kebebasan
setiap masyarakat bahkan dapat justru memunculkan perbudakan jika dilakukan
melalui otoritas seperti pemerintah. Von Hayek, salah satu penggagas awal
Neoliberalisme, mengusulkan tatanan yang tidak dibentuk melalui rencana atau
otoritas apa pun, tetapi terbentuk secara alamiah sebagai perimbangan tindakan
bebas setiap orang dalam mengejar kepentingan dirinya. Sehingga terbentuklah
konsep pengurangan intervensi atau peraturan pemerintah dalam bidang-bidang
kehidupan.
11
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Penjelmaan gagasan tersebut menjadi term-term ekonomi ketika disadari
bahwa ada persoalan tentang bagaimana mengoperasionalisasikan ide kebebasan
mengejar kepentingan sendiri dengan terbentuknya suatu tatanan dalam
masyarakat. Maka gagasan liberalisme klasik tentang mekanisme ekonomi pasar,
atau kegiatan ekonomi yang digerakkan oleh terbentuknya harga dari adanya
tawar menawar antara penawaran dan permintaan, didorong untuk mengatur
seluruh kegiatan dalam masyarakat. Implikasinya adalah masyarakat diperlakukan
sebagai makhluk ekonomi dalam bidang ekonomi, politik, budaya, sosial, dan lain
sebagainya. Pada titik inilah tercetus adanya tambahan “Neo” yang kemudian
membedakannya dengan pengertian liberalisme klasik. Sehingga liberalisasi,
privatisasi, hingga komersialisasi merupakan tujuan akhir dan bukan sarana
sementara demi menerapkan dasar atau dogma yaitu mengejar kepentingan
sendiri.
2. Structural Adjustment Programs (SAPs)
Perangkat untuk menciptakan suatu tatanan ekonomi yang sesuai dengan
cita-cita neoliberalisme diusahakan melalui beberapa kesepakatan. Salah satu
diantaranya adalah Structural Adjustment Programs (SAPs). Secara historis SAPs
pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang diterapkan oleh Bank Dunia dan
IMF sejak tahun 1980an. Sebagaimana dinyatakan Zawalinska (2004: 4-5);
The term ‘structural adjustment’ comes from the World Bank
lending policy created in early 1980s which offered quick financial help
for countries in need for solving problems with their balance of payments.
The help was conditioned to satisfying certain economic criteria leading to
‘structural adjustment’ of an economy (O’Hara, 1999). In similar fashion,
the term was used by IMF, which in March 1986 established the first
12
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Structural Adjustment Facility (SAF) to provide assistance on confessional
terms to low-income developing countries (IMF, 2003).
Sehingga jelas bahwa Structural Adjustment Programs adalah bagian integral,
bahkan merupakan pra-syarat, dari proses peminjaman hutang kepada negaranegara berkembang.
Kebijakan Structural Adjustment Programs sendiri adalah arahan
kebijakan dari lembaga-lembaga donor internasional untuk mendorong institusi
dan kebijakan pada sistem ekonomi berorientasi pasar. Artinya institusi-institusi
politik semakin melepaskan intervensi kebijakanya dari sistem ekonomi, termasuk
juga memprioritaskan ulang kebijakan belanja publik dari negara peminjam.
Longhofer (www.allacademic.com, diakses 1 juli 2010) menuliskan bahwa:
Structural adjustment itself is a loose term, referring primarily to
the lending conditions set by international financial institutions requiring
borrowing countries to roll back the state and allow markets to work
freely. Milward (2000) outlines a number of reforms encompassed by
structural adjustment lending, including reducing state budgets, ending
subsides, devaluing national currencies, rolling back price controls,
deregulating exchange rates, and divesting state resources and cutting
state bureaucracy through the private sector.
Program kebijakan Structural Adjustment Loan atau Enhanced Structural
Adjustment Facility oleh IMF diterapkan kepada negara-negara berkembang
berdasar atas perkembangan kebijakan politik negara-negara berkembang pada
dekade-dekade sebelumnya (Hanief, 2001). Negara-negara berkembang yang
sebelumnya kental diwarnai oleh mazhab dependensi dalam pandangan politiknya
serta menerapkan pandangan-pandangan Rostow dalam kebijakan pembangunan
telah menempatkan negara dalam posisi dominan. Sehingga Structural Adjustment
13
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
bertujuan untuk menggeser kekuatan politik dari negara dalam sistem ekonomi
dengan kekuatan swasta.
Pelaksanaan kebijakan tersebut sebelumnya melalui serangkaian tahapan
(Hanief, 2001). Tahapan tersebut meliputi Policy Dialogue atau pembicaraan
antara lembaga donor dengan para anggotanya yang kemudian dilanjutkan dengan
Policy Advise. Selanjutnya adalah pemberian saran pada proyek yang hendak
dibiayai yang baru kemudian dilanjutkan dengan arahan Structural adjustment
pada konteks makro ekonominya. Pada tahap berikutnya negara kemudian
menerbitkan beberapa kebijakan deregulasi dalam bentuk undang-undang,
instruksi presiden, peraturan pemerintah, peraturan menteri, serta keputusan
bersama menteri yang berkaitan dengan kebijakan penyesuaian struktural.
3. Kebijakan Deregulasi Sektor Perbankan
Kebijakan-kebijakan negara untuk mengendalikan suatu perekonomian
pada dasarnya diimplementasikan pada beberapa sektor. Kebijakan-kebijakan
tersebut diantaranya meliputi Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter, Kebijakan
Perdagangan, Kebijakan Investasi, hingga Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah (Subiyantoro & Riphat edit, 2004).
Sekian pengambilan kebijakan
tersebut didasarkan pada pembacaan situasi eksternal hingga pemenuhan
kepentingan dalam negeri.
Deregulasi
merupakan
salah
satu
instrumen
pemerintah
dalam
pengambilan kebijakan, termasuk dalam kebijakan-kebijakan sektor ekonomi.
Deregulasi pada mulanya berhubungan dan merupakan premis ketatanegaraan,
14
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
tetapi pada kenyataannya telah berkembang sedemikian rupa menjadi wacana
kebijakan ekonomi. Walaupun pada awalnya tidak dimaksudkan untuk sematamata pengambilan kebijakan sektor ekonomi, akan tetapi terminologi tersebut
telah berkembang menjadi istilah teknis ekonomi dan populer karena alasan
ekonomi (www.kompas.com, diakses 9 Mei 2010).
Deregulasi sendiri mempunyai dasar pengertian pemindahan atau
memperluas locus otoritas regulasi, yaitu dari state-regulation ke self-regulation.
Kata “Self’ merupakan pengertian dari individu, badan-badan usaha atau bisnis,
ataupun pemerintahan lokal yang otonom. Pengertian tersebut merujuk dari dasar
self-determination dalam kebebasan dan kedaulatan pilihan individual. Sehingga
pemerintah menjadi berperan sebagai penjaga legalitas tanpa sepenuhnya mampu
menjadi regulator.
Sehingga jika disimpulkan deregulasi bukan penghapusan regulasi, tetapi
re-regulasi menurut selera pribadi dalam artian kekuatan-regulatif penentu corak
kehidupan publik bukan lagi hanya daya-regulatif pemerintah, tetapi juga dayaregulatif kebebasan selera atau pilihan individual. Dalam konteks ekonomi berarti
usaha mengurangi atau meniadakan aturan administratif yang mengekang
kebebasan gerak modal, barang, dan jasa. Maka dengan kebebasan gerak
produksi, distribusi, dan konsumsi modal, barang, serta jasa itu, volume kegiatan
bisnis swasta diharapkan melonjak.
Kebijakan sektor perbankan di Indonesia sejak tahun 1983 terus
mendorong deregulasi sebagai lanskap kebijakannya. Pengertian kebijakan
deregulasi perbankan merujuk dari uraian di atas adalah usaha memindah atau
15
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
memperluas locus otoritas regulasi, yaitu dari state-regulation ke self-regulation
pada sektor perbankan. Sehingga diharapkan terjadi kelancaran arus keuangan
dengan pengurangan aturan administratif yang mengekang kebebasan gerak
modal. Implikasi yang diharapkan adalah volume kegiatan sektor perbankan
menjadi meningkat oleh aktivitas yang dilakukan pihak swasta dalam sektor
perbankan.
4. Lembaga Keuangan Perbankan
Sektor keuangan dalam kenyataanya memiliki banyak sub sektor kajian.
Salah satu kajian penting adalah dalam sektor keuangan adalah perbankan. Hal ini
dikarenakan perbankan memiliki posisi sentral dalam perekonomian suatu negara.
Sentralnya posisi dari bank adalah sebagai lembaga yang mengalokasikan modal
dalam sistem ekonomi.
Bank sebagai lembaga sentral dalam sistem perekonomian tentu memiliki
fungsi dan peran. Sebelum membahas fungsi dan peran bank, apa yang dimaksud
dengan bank itu sendiri? Freixas & Rochet (2008: 1) memberikan definisi
operasional dari bank adalah sebagai berikut: “a bank is an institution whose
current operations consist in granting loans and receiving deposits from the
public”.
Bank secara umum memiliki fungsi sebagai intermediasi keuangan atau
Financial Intermediaries (FIs). Definisi dari Financial Intermediaries (FIs) adalah
…an economic agent who specializes in the activities of buying and
selling (at the same time) financial claims.... Roughly speaking, banks can
be seen as retailers of financial securities: they buy the securities issued
16
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
by borrowers (i.e., they grant loans), and they sell them to lenders (i.e.,
they collect deposits) (Freixas & Rochet, 2008: 15).
Perbankan di Indonesia pada dasarnya diorientasikan sebagai salah satu
penunjang utama pembangunan nasional. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan
dalam ikhtisar perbankan (www.bi.go.id, diakses 13 Juli 2010) “Perbankan di
Indonesia bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam
rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan
ekonomi dan stabilitas nasional, kearah peningkatan taraf hidup rakyat
banyak”. Sehingga perbankan di Indonesia berfungsi untuk intermediasi dengan
kebutuhan riil ekonomi rakyat.
B.
Kerangka Pemikiran
Seperti yang sudah diketahui oleh khalayak umum, bahwa kajian kritis
tentang neoliberalisme telah banyak diulas. Dalam berbagai kajian tersebut, telah
diungkapkan sekian banyak implikasi yang telah dihasilkan dari penerapan
neoliberalisasi yang melanda berbagai belahan dunia. Rata-rata dari kajian
tersebut, terungkap bahwa negara-negara yang telah menerapkan Neoliberalisme
telah mengurangi bahkan meniadakan campur tanganya dari berbagai kegiatan
ekonomi. Maka hal ini tentu merupakan perubahan drastis dari model
proteksionisme-intervensionisme yang telah menjadi menjadi sandaran banyak
negara sebelum munculnya periode masifikasi gelombang neoliberalisme itu
sendiri.
Secara tegas, Stiglitz (2006) yang pernah menjabat sebagai Dewan
Penasehat Ekonomi Amerika dan Bank Dunia menyatakan bahwa neoliberalisasi
17
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
tidak lain merupakan modus baru dari proses dominasi ekonomi-politik
internasional dari kekuatan perusahaan-perusahaan transnasional. Proses dominasi
tersebut berjalan melalui serangkaian kebijakan-kebijakan internasional yang
dihasilkan oleh lembaga-lembaga internasional. Kebijakan ekonomi politik
internasional seperti larangan proteksi hingga pencabutan subsidi sektor publik
adalah upaya untuk melancarkan laju investasi dan akumulasi modal.
Pada konteks negara-negara berkembang berlaku apa yang disebut dengan
Structural
Adjustment
Programs
sebagai
praktek
kesepakatan
untuk
mengorientasikan negara-negara tersebut pada sistem ekonomi yang semakin
terbuka. Kesepakatan tersebut terjadi sebagai pra-syarat dikucurkannya hutang
dari lembaga-lembaga donor internasional kepada negara-negara penerima hutang
yang mengalami defisit transaksi berjalan ataupun bahkan krisis ekonomi.
Structural Adjustment Programs berisi serangkaian “nasehat” dari
lembaga donor kepada elit politik nasional untuk semakin melepaskan diri atau
mengurangi peran mereka dari sistem ekonomi nasional. Sehingga seluruh sektor
dalam sistem ekonomi nasional semakin diserahkan kepada dinamika permintaan
dan penawaran dalam pasar. Sehingga dalam kesepakatan tersebut salah butir
kepakatan penting adalah adanya deregulasi, yakni mekanisme pengurangan
aturan dalam kegiatan ekonomi.
Indonesia sebagai salah satu negara yang mengalami kesulitan modal
pembangunan pasca berakhirnya bonansa minyak pada tahun 80-an, menerima
program penyesuaian struktural dan menerapkan kebijakan deregulasi. Kebijakan
deregulasi tersebut diterapkan pada hampir seluruh sektor dalam sistem ekonomi
18
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
nasional termasuk dalam sektor keuangan. Periode awal deregulasi di Indonesia
diawali di sektor keuangan. Kebijakan Paket 1 Juni 1983, atau biasa disingkat
menjadi Pakjun ’83, menjadi penanda serangkaian paket deregulasi yang lain.
Kebijakan deregulasi bertujuan untuk mendorong semakin minimnya peran
negara dalam menentukan aturan serta memperluas peran-peran diluar
pemerintah, yakni sektor swasta. Sehingga dalam konteks sektor keuangan, peran
sektor-sektor non pemerintah menjadi lebih berkembang. Maka dinamika dalam
sektor-sektor keuangan akan lebih banyak ditentukan oleh swasta, baik dalam
negeri maupun luar negeri. Selain itu juga diharapkan sektor-sektor keuangan
tidak lagi terikat aturan-aturan ketat yang dibuat oleh pemerintah.
Deregulasi sektor keuangan membawa sekian implikasi pada sub-sub
sektor di dalamnya. Salah satu hal yang paling menonjol dari implikasi tersebut
adalah terjadinya perubahan struktur industri sektor keuangan salah satunya sektor
perbankan. Perubahan yang dimaksud meliputi struktur industri perbankan,
struktur persaingan, hingga struktur dana perbankan. Perubahan kelembagaan
perbankan nasional tersebut tentu mempengaruhi kinerja dan output yang
dihasilkan dari bank.
Selain itu berubahnya struktur perbankan, deregulasi pada akhirnya juga
mempengaruhi perilaku perbankan itu sendiri. Asumsi bahwa perbankan akan
menjalankan
fungsi
sebagai
lembaga
intermediasi
keuangan
dengan
mengumpulkan dan menyalurkan dana bagi seluruh lapisan masyarakat ternyata
tidak berjalan dengan baik. Seringkali bank-bank yang ada hanya memberikan
pelayanan yang baik bagi sekelompok orang saja.
19
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Untuk lebih jelas lihat bagan berikut:
Implikasinya
Diterapkan Melalui
PerjanjianPerjanjian
(SAPs, Ratifikasi
dll)
Neoliberalisasi
Kebijakan
Deregulasi Sektor
Keuangan
Berimplikasi
pada
Perubahan Struktur
Perbankan
Serta Pada
Perilaku Perbankan
Bagan II.1 Alur Kerangka Pemikiran
C. Penelitian Sebelumnya
Ada beberapa penelitian yang hendak penulis angkat dalam kajian pustaka
ini. Penelitian-penelitian tersebut memang sebagian berupa buku-buku yang
sengaja ditulis ataupun berupa skripsi yang kemudian dibukukan. Walaupun tidak
ke semua pustaka bermuara pada fokus kajian tema yang hendak penulis angkat.
Adapun tulisan yang mendekati dari tema yang coba penulis angkat adalah
sebagai berikut:
20
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Penelitian yang pertama adalah Disertasi dari M. Furqon I. Hanief dengan
judul Penyesuaian Struktural ekonomi dan Pemusatan Kekuasaan Politik pada
Dasawarsa Deregulasi di Indonesia 1983-1993. Disertasi pasca sarjana UI ini
berusaha meneliti proses liberalisasi yang berjalan pada tahun 1983-1993 pada
saat terjadi juga proses pemusatan kekuasaan pada rezim yang berkuasa.
Walaupun sebenarnya penelitian tersebut sebenarnya masuk dalam kategori
penelitian bidang politik, akan tetapi penelitian tersebut penting dan berguna
untuk menjelaskan muatan politik dalam pengambilan kebijakan deregulasi itu
sendiri. Liberalisasi pada dasawarsa tersebut berlangsung karena terjadinya
tekanan internasional untuk menderegulasi sistem ekonomi Indonesia. Bentuk
tekanan eksternal ini adalah dipaksakannya penyesuaian struktural kepada elit-elit
politik yang sedang berkuasa. Sehingga kebijakan deregulasi yang dijalankan
sejak tahun 1983 merupakan kebijakan yang sarat dengan muatan kepentingan
kekuatan modal internasional.
Selanjutnya adalah paper penelitian Anwar Nasution (1996) yang berjudul
The Bangking System and Monetary Aggregates Folowing Financial Sector
Reforms. Penelitian tersebut mengangkat proses, permasalahan, serta dampak dari
reformasi sektor keuangan di Indonesia, terutama sejak akhir 1980-an. Nasution
menyatakan adjustment programs yang diadopsi oleh Indonesia sejak awal 1980an telah mendorong manajemen ekonomi Indonesia kepada sistem yang
didasarkan pada pasar. Sehingga sistem ekonomi lebih banyak ditentukan oleh
kebijakan dan dinamika ekonomi internasional. Hal ini secara fundamental
mempengaruhi struktur dari sistem keuangan, aliran modal, hingga suku bunga.
21
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Penelitian tersebut menyatakan bahwa reformasi keuangan telah
mendorong gelombang pemasukan modal di sektor swasta yang melengkapi
tingginya tabungan dalam negeri untuk investasi keuangan dan pengeluaran
konsumsi serta memacu pertumbuhan ekonomi pada tahun 1990-an. Gelombang
pemasukan modal ini telah memperumit manajemen ekonomi makro karena telah
menyebabkan tekanan pada apresiasi tingkat pertukaran riil dan overheating
economy.
Berdasar pada pembacaan terhadap beberapa penelitian dan penulisan
sebelumnya, maka penulis berusaha mencoba untuk mengambil space yang
ditinggalkan oleh para penulis tersebut yakni pada implikasi neoliberalisasi pada
kebijakan sektor keuangan atau pada industri perbankan khususnya.
22
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan pilihan cara-cara sistematik yang akan
ditempuh untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dikemukakan dalam
penelitian (Tim Penyusun Pedoman Penulisan Tugas Akhir, 2008).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Tambunan
(2009) penelitian kualitatif adalah proses pencarian data untuk memahami
masalah sosial yang didasari pada penelitian yang menyeluruh (holistic), dibentuk
oleh kata-kata, angka, dan diperoleh dari situasi yang alamiah. Dengan demikian
penelitian ini mencoba menghubungkan antara teori-teori dan konsep-konsep
dengan temuan data empirik melalui sarana penggalian interpretasi dari peneliti.
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian analisisdeskriptif. Penelitian analisis-deskriptif yang dimaksud adalah proses penelitian
yang berusaha menggabungkan antara penelitian analisis dengan penelitian
deskriptif. Sehingga metode yang digunakan adalah perpaduan metode analisis
dengan metode deskriptif yaitu dengan menghubungkan antara satu variabel
dengan variabel lain, atau melihat pengaruh satu variabel dengan variabel lain dan
kemudian mengungkapkannya menjadi suatu rangkaian penjelasan yang terperinci
(Program Studi Hubungan Internasional Universitas Budi Luhur, 2008: 6).
23
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
B. Objek Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian yaitu perkembangan
neoliberalisasi dan dampaknya bagi pengambilan kebijakan pada sektor
perbankan di Indonesia (periode deregulasi tahun 1983-1993).
C. Waktu dan Lokasi
1. Waktu
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 - Juli 2011.
2. Lokasi
Penelitian ini dilakukan di Perpustakaan Universitas Sanata Dharma,
Perpustakaan Daerah dan beberapa perpustakaan lain.
D. Konsep - Konsep
1. Latar belakang kemunculan Neoliberalisme merupakan proses
ekonomi-politik yang terjadi pada tataran internasional, untuk
mewujudkan tatanan neoliberal itu sendiri. Proses tersebut baik
berupa pembentukan lembaga-lembaga internasional penopang
globalisasi maupun serangkaian kesepakatan internasional yang
mengarahkan pada proses neoliberalisasi.
2. Neoliberalisme
merupakan
suatu
gagasan
yang
massif
berkembang pada akhir tahun 1970-an. Gagasan tersebut pada
dasarnya melihat bahwa setiap individu merupakan makhluk
ekonomi dalam bidang ekonomi, politik, hukum, budaya, dan
24
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
sebagainya. Sehingga seluruh kegiatan-kegiatan individu dalam
bidang sosial, ekonomi, maupun politik di dalam masyarakat
merupakan ekspresi mengejar kepentingannya sendiri. Maka
bentuk tatanan yang paling sempurna adalah tatanan yang tidak
dibentuk dari seluruh proses perencanaan dan pengaturan,
tetapi tatanan yang dibiarkan terbentuk secara alamiah
sebagai hasil perimbangan tindakan bebas setiap orang dalam
mengejar kepentingan dirinya. Negara dengan sendirinya
kemudian dituntut untuk menjauhkan seluruh campur tanganya
dari kegiatan di dalam masyarakat.
3. Program Penyesuaian Struktural merupakan serangkaian aturan
yang diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional
kepada Negara peminjam hutang untuk menyesuaikan struktur
ekonomi dan politik negara tersebut dengan resep-resep
ekonomi dan politik yang diberikan.
4. Kebijakan
Deregulasi
Sektor
Perbankan
adalah
usaha
memindah atau memperluas lokus otoritas regulasi, yaitu dari
state-regulation ke self-regulation pada sektor perbankan.
Sehingga diharapkan terjadi kelancaran arus keuangan dengan
pengurangan aturan administratif yang mengekang kebebasan
gerak modal.
5. Liberalisasi
Keuangan
merupakan
kegiatan
untuk
membebaskan proses dan kegiatan atau transaksi pada sektor
25
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
keuangan nasional sesuai dengan mekanisme pasar tanpa
campur tangan negara secara ketat.
6. Organisasi
Keuangan
Internasional
adalah
organisasi-
organisasi donor internasional yang didirikan menjelang dan
paska perang dunia ke dua untuk membiayai pembangunan
paska
perang.
Organisasi-organisasi
tersebut
kemudian
berperan tidak saja meminjamkan bantuan keuangan, akan
tetapi secara aktif memberikan formula penyelesaian masalah
ekonomi yang mungkin dihadapi oleh negara-negara yang
masuk menjadi anggotanya.
7.
Perubahan struktur dan perilaku perbankan adalah terjadinya
perubahan
pada
struktur
industri
perbankan
serta
kecenderungan perubahan perilaku yang diperlihatkan oleh
dunia perbankan nasional. Perubahan tersebut terjadi karena
adanya aktivitas di luar dunia perbankan itu sendiri. Aktivitas
yang dimaksud adalah aktivitas politik, yakni adanya perjanjian
atau kesepakatan antara lembaga-lembaga donor internasional
dengan negara Indonesia untuk mengadakan penyesuaian
struktural .
E. Metode Pengumpulan Data
1. Pengumpulan Sumber-sumber
26
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Sumber-sumber yang digunakan untuk menganalisis masalah
penelitian adalah sumber tertulis baik cetak maupun elektronik.
Pengumpulan sumber-sumber meliputi sumber primer (primary
sources), berupa tulisan-tulisan baik dalam bentuk buku-buku,
arsip, dokumen dan artikel-artikel lain, dan sumber sekunder
(secondary sources), berupa buku-buku maupun tulisan-tulisan lain
sebagai pelengkap. Sumber-sumber tertulis tersebut diperoleh dari
perpustakaan pribadi, perpustakaan universitas, perpustakaan
daerah dan perpustakaan lain yang bisa diakses oleh penulis. Selain
itu juga sumber diperoleh dari situs-situs internet.
2. Kritik Sumber
Kritik sumber merupakan bentuk pengujian terhadap sumbersumber yang berhasil dikumpulkan. Langkah ini bertujuan untuk
mengetahui tingkat keaslian serta kredibilitas terhadap sumbersumber yang ada sehingga dapat dicapai validitas tertinggi. Dalam
penelitian ini, kritik sumber dilakukan dengan membandingkan
antara satu bacaan dengan bacaan-bacaan lain yang sejenis.
3. Seleksi Sumber
Seleksi sumber adalah proses dimana sumber-sumber diseleksi
untuk
memudahkan
pengkategorisasian
penyusunan hasil penelitian.
4. Interpretasi
27
dan
mempermudah
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Interpretasi merupakan proses mencermati dan mengelola data
untuk sejauh mungkin menghindari subyektifitas.
F. Rekonstruksi atau Penulisan
Tahap ini merupakan tahap terakhir berupa penyajian dan penulisan hasilhasil penelitian.
28
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Negara Pasca kolonial dan Kebangkitan Neoliberalisme
Situasi menjelang berakhirnya perang serta aktivitas pasca Perang Dunia
Kedua sesungguhnya telah menandai arah suatu perubahan penting pada tata
ekonomi politik dunia. Pada konteks global terjadi, sesuai dengan bahasa Sugiono
(1999: 61), apa yang dinamakan dengan re-organisasi kekuasaan pada tingkat
antar-negara. Term tersebut membingkai pengertian bahwa, terjadi perubahan
pada struktur dan kultur kekuasaan pada tingkat global setelah era dominasi
penguasaan dunia oleh Negara-negara Eropa pada masa kolonialisme. Hal ini
terjadi karena Amerika Serikat (A.S.), selaku negara dengan kondisi ekonomi,
hingga militer yang masih utuh, berupaya merubah tatanan dunia sesuai dan
sejalan dengan ”kepentingan nasionalnya”. Sehingga yang terjadi sebenarnya
adalah upaya pengambil-alihan hegemoni dunia oleh A.S. (Pax Americana).
Pax Americana atau hegemoni A.S. dibangun di antaranya melalui sekian
rentetan peristiwa penting yang menentukan bagi konstelasi ekonomi-politik
global. Setidaknya ada tiga hal penting yang dilakukan oleh A.S., yakni;
Pertama, konsolidasi negara-negara industri Eropa untuk mengadakan pertemuan
di Bretton Woods pada tahun 1944, guna membahas masalah perdagangan dan
sistem moneter dunia. Konferensi tersebut di antaranya menghasilkan kesepakatan
untuk membentuk lembaga-lembaga keuangan internasional serta sejumlah
kesepakatan dagang bagi para anggotanya. Kedua, mendorong isu dekolonialisasi
29
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
paska Perang Dunia Kedua, yang telah memicu tumbuh-kembangnya kemunculan
Negara-negara Baru Merdeka. Negara-negara tersebut kemudian lazim dikenal
dengan Negara Dunia Ketiga, Negara Belum Berkembang, Negara Pasca Kolonial
ataupun sebutan-sebutan yang melekat lainnya. Ketiga, mengorganisasikan
intelektual-intelektual atau teoritisi ilmu sosial untuk mengembangkan gagasan
tentang dunia ketiga, keterbelakangan, dan developmentalisme. Hal ini bahkan
tercermin dari pernyataan resmi dari Presiden Truman dalam pidato pelantikannya
tanggal 20 Januari 1949 (Arif, 2000).
Sugiono (1999) menjelaskan bahwa; sistem Bretton Woods digunakan
bagi terciptanya kerangka institusional tatanan ekonomi dunia yang liberal sesuai
dengan kebutuhan kepentingan A.S. yaitu maksimisasi perdagangan dan stabilitas
mata uang. Pada sisi yang lain isu dekolonialisasi dan developmentalisme
merupakan implikasi dari dua hal, yakni; kepentingan ekonomi A.S. serta
perluasan hegemoni A.S. setelah mampu mengkosolidasikan Negara-negara
Eropa Barat. Kepentingan ekonomi tesebut adalah akses atas pasar dan sumber
bahan mentah yang menjadi bertentangan jika masih ada pengaruh kuat dari
kolonialisme. Sedangkan kebutuhan perluasan hegemoni adalah membendung
pengaruh dari kekuatan blok komunis, yang dikomandoi Uni Soviet dan
merupakan lawan ideologis sistem liberalis internasional. Sehingga secara khusus
developmentalisme, merupakan sarana bagi A.S. untuk turut terlibat secara aktif
lewat bantuan-bantuan program kepada Negara Dunia Ketiga.
Pada ranah teoritik, berkembang mainstream ekonomi Keynesian yang
mengedepankan peran negara, karena adanya persoalan disequilibrium yang
30
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
melekat dalam ekonomi, dalam bentuk kebijakan pengeluaran agregatif dan
pengendalian permintaan efektif. Hal ini berkaitan dengan pengalaman masa lalu
tentang depresi besar yang melanda dunia pada tahun 1930-an serta proses
rekonstruksi pasca perang. Maka tidak heran jika intervensi negara dalam
perekonomian menjadi populer setelah masa-masa kejayaan liberalisme di tahuntahun sebelumnya. Negara-negara Pasca Kolonial sendiri mengalami masa-masa
kejayaan peran negara yang kuat, selain dari pengaruh dari nasionalisme bangsabangsa baru merdeka tersebut, karena program developmentalisme yang disokong
kuat oleh A.S.
Perubahan besar-besaran dalam tatanan internasional kemudian terjadi
pada tahun-tahun 1970-an hingga 1980-an yang terutama dipelopori oleh Inggris
dan A.S. Tahun-tahun tersebut menandai awal dari kebangkitan kalangan “kanan
baru”, yang berusaha mendekonstruksi tatanan internasional dengan mainstream
Keynesian. Pengaruh dari kaum kanan baru ini memulai usaha untuk mendorong
tatanan dunia yang mengedepankan pasar sebagai pelaku utama dalam
perekonomian. Akibatnya terjadi perubahan kondisi ekonomi-sosial-politik besarbesaran di berbagai belahan dunia.
Pada sub bab berikut akan dipaparkan bagaimana latar belakang kondisi
ekonomi-politik dunia yang mendasari terjadinya perubahan mainstream strategi
state led-development menjadi market driven-development. Pembahasan akan
dimulai dari serangkaian aktivitas internasional pasca perang dunia. Salah satunya
adalah hadirnya gerakan dekolonialisasi yang mendasari hadirnya Negara-negara
Pasca Kolonial dengan peran sentral dari negara yang kemudian mendasari negara
31
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
turut aktif dalam kegiatan masyarakat termasuk ekonomi. Pada bagian
selanjutnya, akan dipaparkan terjadinya krisis internasional di tahun 1970-an yang
berjalin kelindan dengan usaha sejumlah intelektual yang mendorong perubahan
orientasi kebijakan-kebijakan pemerintah baik domestik maupun luar negeri untuk
semakin mengurangi peran negara dalam setiap aktivitas masyarakat termasuk
dalam kegiatan ekonomi.
1. Dekolonialisasi dan Kuatnya Pengaruh Negara dalam Tradisi Negara
Pasca Kolonial
Rekonstruksi tatanan ekonomi-politik internasional merupakan tema dari
aktivitas kegiatan utama dunia yang dilakukan pasca Perang Dunia Kedua.
Kegiatan rekonstruksi tersebut secara fundamental meliputi tiga agenda besar,
yaitu; pembentukan sistem Bretton Woods, perencanaan pemulihan Eropa dari
kehancuran pasca perang, serta perluasan dekolonialisasi. Sehingga dengan
kombinasi ketiga agenda tersebut, harapan atas terbentuknya tatanan baru atas
dunia dapat terwujud.
A.S. selaku negara dengan kondisi ekonomi, politik, sosial, hingga militer
yang paling sedikit terkena dampak kerusakan dari perang dunia, merupakan
negara yang paling dominan dalam rangkaian usaha rekonstruksi pasca perang
(Sugiono, 1999). Pendapatan Domestik Bruto A.S. yang naik hampir dua kali lipat
pada tahun 1945 dibandingkan dengan tahun 1940, yakni $ 1.559 miliar dari yang
sebelumnya hanya $ 832 milyar, membuat mereka leluasa untuk terlibat dalam
serangkaian kegiatan internasional. A.S. terlibat rekonstruksi pasca perang
32
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
diantaranya dengan menyediakan serangkaian program bantuan keuangan dan
saran kebijakan bagi Negara-negara Eropa dan pasca kolonial. Program-program
tersebut bagi Negara Eropa biasa dikenal dengan “Marshall Plan”, sedangkan bagi
Negara-negara Dunia Ketiga dikenal dengan program “developmentalisme”.
Salah satu usaha keras A.S. dalam proses rekonstruksi pasca perang adalah
terbentuknya gerakan dekolonialisasi yang kemudian mendorong kemunculan
negara-negara baru di Asia dan Afrika (lihat tabel 4.1). Walaupun kemudian,
dekolonialisasi sering diidentifikasi sebagai hasil usaha Negara-negara Pasca
Kolonial sendiri yang terinspirasi dari masifnya persebaran gagasan sosialismekomunisme, akan tetapi harus diakui dekolonialisasi mendapat dukungan kuat dari
A.S. Bukti dukungan kuat dari A.S. atas dekolonialisasi terlihat dari berbagai
kebijakan dan politik luar negari yang dikembangkan oleh A.S. (lihat Bradley dan
Lubis, 1991). Kebijakan dan politik luar negeri tersebut dilakukan dalam konteks
memperluas cakupan wilayah hegemoni. Sehingga sesuai dengan tatanan
ekonomi-politik internasional atau visi ekonomi dunia liberal yang lebih dahulu
diterima oleh sekutu-sekutunya di Eropa Barat.
Tabel IV.1 Daftar Negara-Negara Pasca Kolonial Setelah Perang Dunia II (19451965).
NO
1
TAHUN
NAMA NEGARA
MERDEKA
1945
Indonesia
NEGARA YANG
MENGKOLONIALISASI
Belanda dan Jepang
2
3
1946
1948
Inggris
*Inggris
**Jepang
4
1951
India, Pakistan
*Burma, SriLanka, Israel
** Korea Selatan, Korea
Utara
Libia
33
Italia, sejak 1945 mandat
dari PBB
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
5
1954
6
1956
7
8
9
1957
1958
1960
10
1961
11
1962
12
14
15
1963
1964
1965
Vietnam Selatan, Vietnam
Utara, Laos, Kamboja
*Maroko,Tunisia
** Sudan
Ghana, Malaysia
Guinea
*Kamerun, Senegal, Togo,
Madagaskar, Benin, Niger,
Burkina Faso, Pantai Gading,
Chad,
Afrika
Tengah,
Republik Kongo, Gabon,
Mali, Mauritania
** Nigeria,
Somalia, Zypern
*** Republik Demokratik
Kongo
Sierra Leone, Kuwait,
Jamaika, Tanganyika
*Aljazair
** Burundi, Ruanda
*** Uganda, Trinidad &
Tobago
**** Samoa Barat
Kenya, Tanzibar, Singapura
Malawi, Zambia, Malta
Gambia, Maladewa
Perancis
*Perancis
**Inggris
Inggris
Perancis
*Perancis
**Inggris
***Belgia
Inggris
*Perancis
**belgia
***Inggris
****Selandia, Baru mandat
dari PBB.
Inggris
Inggris
Inggris
Sumber: diolah dari berbagai sumber oleh penulis.
Dekolonialisasi dan gerakan anti-kolonial oleh karenanya juga merupakan
indikasi perubahan orientasi dan proyeksi model kekuasaan ekonomi-politik pada
tingkat global. Pengertian ini merujuk dari situasi di mana dominasi Negaranegara Eropa atas ekonomi politik dunia semakin berkurang. Dominasi Eropa
yang dimaksud adalah era bercokolnya kolonialisme atau penguasaan dan
perluasan wilayah ekonomi, politik, dan sosial yang ditopang dengan kekuatan
bersenjata. Dominasi kolonialisme tersebut kemudian coba digantikan oleh ide
rekonstruksi tatanan dunia yang lebih liberal.
34
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Pada sisi yang lain, ide-ide rekonstruksi tatanan internasional yang
liberalis-kapitalis sebenarnya tidak populer di kalangan Negara-negara Pasca
Kolonial. Pengalaman historis kolektif negara-negara tersebut berhadapan dengan
kapitalisme dalam sejarah kolonialisme, telah mendorong proses mengidentifikasi
diri sebagai bangsa yang tidak ingin terjebak lagi dalam sistem kapitalisme.
Sehingga berkembanglah gagasan tentang nasionalisme, yang berbeda dengan
nasionalisme yang berkembang di Eropa, sebagai perwujudan perlawanan
terhadap sistem kapitalisme serta gagasan liberalisme. Maka Negara Pasca
Kolonial dalam banyak hal tampak seperti alergi terhadap kapitalisme maupun
gagasan tentang free fight liberalism (Arif, 2000: 83-84).
Perkembangan gagasan nasionalisme Negara-negara Pasca Kolonial pada
pergulirannya menempatkan negara dalam posisi yang sentral. Negara
diproyeksikan menjadi agen utama dari usaha mengikis kapitalisme dan
liberalisme yang mungkin tertinggal dan tumbuh dari proses kolonialisme dimasa
lalu. Negara kemudian harus mampu menjalankan tugas sebagai pengontrol penuh
proses ekonomi, politik, sosial serta budaya yang berkembang di tingkatan
masyarakat sehingga mampu lepas dari anasir-anasir kapitalisme dan liberalisme.
Hal ini menyebabkan negara mendapat legitimasi yang kuat untuk tampil sebagai
institusi yang kuat dan berpengaruh untuk memastikan proses kontrol tersebut
dapat berjalan.
Nasionalisme Negara Pasca Kolonial kemudian tidak saja berkembang
dalam gagasan politik saja, melainkan juga dalam ekonomi maupun dalam bidang
yang lain. Maka tidak heran jika kemudian berkembang gagasan tentang
35
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
nasionalisme ekonomi. Implikasinya kemudian nasionalisme ekonomi maupun
manajemen ekonomi yang sentralistis dengan demikian kental dalam tradisi
Negara Pasca Kolonial termasuk di Indonesia. Usaha Indonesia sendiri dalam
membangun nasionalisme ekonomi tampak jelas terlihat dalam butir-butir
konstitusi. Mubyarto (2000: 19-20) seakan menegaskan hal tersebut, dengan
menuliskan kembali bahwa :
....”perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan”. Negara menguasai bumi, air, dan
segala kekayaan alam sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat, dan
cabang produksi yang penting serta menguasai hajat hidup orang
banyak, dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ekonomi rakyat adalah landasan ekonomi nasional yang harus
dilindungi dan dikembangkan menuju ketahanan ekonomi nasional
yang andal dan tangguh.
Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal 33, secara jelas
mengamanatkan bahwa sistem ekonomi harus merupakan sistem yang berkeadilan
dan negara harus berperan dalam membangun sistem ekonomi tersebut.
Pemerintahan Soekarno yang menerbitkan berbagai kebijakan populis seperti
Undang-undang, perpres, hingga keputusan menteri, merupakan bentuk usaha
negara dalam mendorong nasionalisme dalam bidang ekonomi. Selain itu juga
dibentuk sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan menasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing yang bercokol di Indonesia. Tercatat mulai dari
sektor pertambangan, perkebunan, industri pengolahan, hingga sektor perbankan
merupakan hasil dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.
Perkembangannya negara yang menjadi mesin pendorong utama dari
kegiatan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam kegiatan ekonomi, seakanakan juga mendapat legitimasi dari perkembangan gagasan negara kuat.
36
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Terminologi negara kuat merujuk dari perkembangan negara yang menjadi pelaku
aktif dari kegiatan-kegiatan di dalam masyarakat, termasuk dalam kegiatan
ekonomi. Hal ini bertentangan dengan berbagai teori liberal yang mengandaikan
negara hanya berperan sebagai ”penjaga malam” atau menangani masalah
keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Krisis Malaise 1930-an dan upaya
penanganannya melihat bahwa negara diperlukan untuk berperan aktif dalam
kegiatan masyarakat termasuk ekonomi. Keynes dan kalangan Keynesian, dan
tentunya kalangan Marxis, telah membawa kembali keraguan terhadap hipotesis
”tangan tak terlihat”. Kalangan tersebut mempertanyakan kembali kebenaran
fakta tentang ekonomi kapitalis yang akan selalu mampu memanfaatkan seluruh
sumber daya dan memenuhi kebutuhan yang ada. Intervensi negara dalam
mekanisme pasar menjadi formulasi yang dibutuhkan dalam mengatasi depresi
ekonomi melalui kebijaksanaan fiskal. Sehingga wacana intervensi negara dalam
ekonomi kemudian menjadi mengemuka dan menjadi referensi utama dalam
banyak negara.
Teori dan pendekatan Keynesian memulai pemikiranya dari kritik terhadap
konsep pasar yang meregulasi dirinya sendiri yang banyak digunakan oleh para
pemikir klasik maupun neoklasik sebelumnya (Caporaso dan Levine, 2008: 236).
Pasar yang meregulasi diri sendiri adalah andaian tentang sistem pasar akan
mempertemukan orang yang memiliki permintaan dengan orang yang memiliki
pasokan. Andaian ini dengan demikian juga memproyeksiksan kebutuhan semua
orang akan terpenuhi sesuai dengan produksi dan sumber daya yang ada.
Pertanyaan yang mungkin yang diajukan oleh kalangan Keynesian kemudian
37
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
adalah, jika pasar dengan sendirinya mampu mempertemukan para pembeli dan
penjual, para produsen dan konsumen, mengapa pada banyak kasus seringkali
terjadi para produsen gagal menjual semua hasil produksi yang mampu mereka
hasilkan?
Pendekatan Keynesian memfokuskan pembahasanya pada kegagalan atau
ketidakstabilan proses reproduksi dan pertumbuhan dalam sistem perekonomian
kapitalisme serta bagaimana mengatasinya. Keynes melihat bahwa perekonomian
kapitalis yang hanya mengandalkan diri pada konsep pasar yang meregulasi diri
sendiri akan berakibat pada munculnya ketimpangan. Hal ini terjadi karena
tindakan-tindakan tidak terkoordinasi swasta yang didorong oleh spekulasi serta
perubahan-perubahan pikiran. Pemikiran ini seakan-akan hendak menegasikan
pandangan dasar mazhab neoklasik bahwa manusia dalam perilaku sehari-hari
dituntun oleh rasionalitas. Sehingga ketimpangan permintaan dan penawaran
hingga meluasnya pengangguran merupakan persoalan endemik, dan bukan sifat
tidak sempurna jangka pendek ekonomi kapitalis individualistik seperti yang
diyakini para ekonom neoklasik (Sugiono 1999: 97). Oleh karenanya intervensi
negara diperlukan untuk menjamin adanya stabilitas dari proses produksi dan
adanya penyerapan tenaga kerja secara memadai. Intervensi tersebut bekerja
melalui
kebijakan
belanja
publik
atau
kebijakan
fiskal
yakni
upaya
mengintervensi ekonomi lewat pendapatan dan pengeluaran atau belanja negara.
Menurut Caporaso dan Levine (2008: 287) negara mempunyai tiga instrumen
dalam kebijakan fiskal, yakni;
38
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
1. Pengeluaran pemerintah. Pemerintah menggunakan pendapatanaya
untuk membeli barang dari sektor swasta, menyerap tenaga kerja,
memberikan pendapatan bagi konsumen dan terhadap lembaga tanpa
memperhitungkan apa kegiatan ekonomi yang dilakukan individu dan
lembaga ini serta tanpa memperhitungkan apakah individu ini dapat
memberikan barang dan jasa lain sebagai imbalanya.
2. Pinjaman pemerintah. Salah satu sumber pendapatan negara yang
digunakan untuk melakukan pengeluran pemerintah adalah dengan
meminjam dari sektor swasta. Pemerintah dapat mengeluarkan surat
hutang negara (goverment bond) yang dapat dibeli oleh individu atau
perusahaan.
3. Pajak. Negara juga dapat mendanai kegiatan-kegiatanya tanpa harus
meminjam yaitu dengan cara mencetak uang atau lewat pajak.
Kajian yang mengulas tentang dasar teori dan inti pemikiran keynesian,
tentunya sudah teramat banyak, oleh karenanya penulis tidak hendak panjang
lebar mengulas teori tersebut. Kiranya yang hendak diungkap disini bahwa teori
Keynesian mendukung serta melegitimasi adanya peran negara atau intervensi
negara dalam proses ekonomi. Sehingga tradisi negara kuat dalam negara pasca
kolonial secara tidak langsung sesuai dengan perspektif Keynesian yang juga
mendominasi gagasan politik dan ekonomi pasca perang dunia dunia. Maka
secara langsung maupun tidak langsung juga teori Keynesian, terutama juga
dikarenakan usaha A.S. mengintrodusirnya sebagai satu kesatuan dengan program
bantuan atau Marshall Plan di Eropa dan developmentalisme di Negara Pasca
39
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Kolonial, turut membingkai proses rekonstruksi pasca perang. Dinamika tersebut
sesuai dengan pandangan Sugiono (1999: 94) bahwa;
....dominasi manajemen makroekonomi Keynesian dalam
politik produktivitas dan kompleks negara-masyarakat di Amerika
Serikat menyebabkan munculnya wacana pembangunan wacana
statis, yaitu diterimanya legitimasi dan keharusan peran signifikan
negara dalam pembangunan ekonomi bersama tatanan dunia liberal
yang, secara paradoks, menekankan pentingnya peran pasar dan,
dengan demikian, membatasi peran negara.
2. Intervensi Negara dan Wacana Pembangunan Negara Pasca Kolonial
Seperti sudah dibahas sebelumnya, proses rekonstruksi tatanan dunia
pasca perang yang diorientasikan menurut garis liberal atau liberalisme
internasional ternyata berjalan bersamaan justru dengan peran signifikan negara.
Kombinasi antara liberalisme internasional dengan intervensionisme Keynesian
ini seringkali juga diistilahkan dengan embedded liberalism atau ”liberalisme
yang tertanam”. Harvey (2009: 20) membahasakan embedded liberalism sebagai
mekanisme-mekanisme pasar dan aktivitas-aktivitas enterpreneur dan korporasi
dilingkupi oleh suatu jejaring rintangan sosial dan politik dan oleh lingkungan
regulasi yang kadang kala membatasi namun kadangkala mendorong kemajuan
strategi ekonomi dan industri. Sehingga sepanjang tahun 1950-an hingga 1960-an
embedded liberalism ini kemudian telah mendorong terciptanya tingkat
pertumbuhan yang tinggi di negara-negara maju. Pernyataan Galbraith yang
dengan berani telah mengumumkan bahwa kelangkaan yang telah coba ditelusuri
dan diusahakan solusinya oleh para ahli ekonomi telah berakhir, bahkan negaranegara maju telah mencapai tahap ”berkelebihan” atau affluent society. Sebagai
40
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
contoh, di A.S., setelah Perang Dunia tingkat pendapatan keluarga mencapai US$
5.820 bahkan meningkat pada tahun 1962 hingga mencapai US$ 7.640
bandingkan misalnya ketika terjadi masa depresesi tahun 1929 sebesar US$ 4.460
atau tahun 1935-1936 yang hanya sebesar US$ 3.940 (Rahardjo, 1983: 10).
Meningkatnya pendapatan keluarga yang juga berarti peningkatan pendapatan
negara lewat pajak kemudian memungkinkan juga bagi negara untuk untuk
meningkatkan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di
Inggris, misalnya, antara tahun 1945 sampai dengan pertengahan 1970-an,
proporsi GDP yang dibelanjakan untuk peningkatan kesejahteraan umum
meningkat dari hanya 5% menjadi sekitar 20%. Pengeluaran Nasional Health
Service meningkat dari £500 juta pada tahun 1951 menjadi £5.596 juta pada tahun
1975 (Heertz, 2003: 17)
Masa euphoria pertumbuhan yang tinggi tahun 1950-an hingga 1960-an
pada akhirnya juga membawa implikasi bagi semakin maraknya “perhatian”
terhadap negara-negara pasca kolonial. Dipelopori oleh A.S. beragam bantuan
“ditawarkan” kepada Negara-negara Pasca Kolonial, mulai dari bantuan
keuangan, hingga bantuan perencanaan kebijakan. Beberapa argumen mencoba
menganalisis dan menginterpretasi tentang latar belakang kegiatan tersebut.
Dalam argumen kalangan Marxis misalnya, struktur akumulasi fordisme
menjadikan negara-negara baru merdeka semakin penting kedudukannya dalam
proses akumulasi kapitalis pada tingkat global. Argumen lain menyatakan bahwa
bantuan tersebut merupakan bagian dari benteng untuk membendung meluasnya
gerakan komunisme di Negara-negara Pasca Kolonial. Ada juga yang menilai
41
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
bahwa kegiatan tersebut merupakan usaha untuk menguniversalkan ide-ide
liberal, terutama dari A.S., demi menopang tatanan internasional pasca perang.
Teori pembangunan (developmentalism) merupakan salah satu bantuan
yang dikembangkan serta banyak diadopsi oleh negara-negara baru merdeka.
Teori pembangunan merupakan beragam pemikiran, yang dikembangkan oleh
para teoritisi sosial hingga para perencana kebijakan dari negara maju yang
berusaha mengatasi “keterbelakangan” pada Negara-negara Pasca Kolonial
(Hettne, 1985: 10). Beragam pemikiran tersebut menjanjikan adanya transformasi
masyarakat pasca kolonial yang identik dengan “keterbelakangan” menuju
masyarakat industrial seperti layaknya pada Negara-negara Kapitalis Maju. Janji
transformasi masyarakat menuju kesejahteraannya, yang diasumsikan berlangsung
secara mudah, kemudian membuat banyak negara-negara tersebut berupaya untuk
menerapkannya.
Sugiono (1999: 100) dalam tesisnya menyatakan bahwa teori Keynesian
juga menjadi dasar dikembangkannya teori pembangunan di Negara-negara Pasca
Kolonial. Kondisi perekonomian Negara-negara Pasca Kolonial yang berbeda
dengan negara-negara maju tidak memungkinkan diterapkannya teori - teori
neoklasik yang menggunakan model kompetitif statistik secara langsung.
Sehingga coba diadaptasikan teori Keynesian, dalam bentuk ilmu pembangunan,
pada Negara-negara Pasca Kolonial untuk mengatasi persoalan tersebut.
Manajemen makro ekonomi ala Keynesian yang mendukung adanya intervensi
negara secara aktif melalui mekanisme belanja defisit untuk mengatasi defisiensi
permintaan agregat, dianggap tepat untuk diterapkan bagi kondisi ekonomi di
42
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Negara Pasca Kolonial. Dengan demikian ilmu pembangunan dikembangkan
dalam rangka menjembatani adanya jurang pemisah antara teori pertumbuhan
dalam tradisi neoklasik dengan kondisi ekonomi pada Negara-negara Pasca
Kolonial.
Ilmu pembangunan, yang dikembangkan dengan perspektif Keynesian,
dengan sendirinya juga menekankan pentingnya peran negara dalam proses
pembangunan ekonomi negara-negara tersebut. Model tahap perkembangan
Rostow misalnya memberi arti penting bagi intervensi dari negara terhadap proses
pembangunan (Hanief, 2001: 33). Model pembangunan ini menjadikan negara
berperan sebagai agent of development. Sehingga negara menentukan tahap
perkembangan ekonomi mulai dari pembentukan modal, proses industrialisasi,
bahkan
hingga
penentuan
waktu
yang
diperlukan
dalam
tahap-tahap
perkembangan tersebut. Alexander Greschenkron (Sugiono, 1999: 110) melihat
bahwa adanya faktor-faktor seperti kurangnya kelas pengusaha dan modal
investasi maupun ketrampilan yang diperlukan membuat peran negara untuk
merencanakan, mendanai dan mengelola industrialisasi menjadi esensial dalam
pembangunan.
Indonesia dalam usahanya untuk mengadopsi ilmu pembangunan berusaha
meniru model pembangunan Rostow tersebut. Hal ini terlihat dari munculnya
program REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun) di masa Pemerintah
Orde Baru. Negara menjadi begitu dominan dalam proses industrialisasi. Proses
perencanaan pembangunan, pembentukan modal, penciptaan kelas pengusaha,
43
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
hingga tahap-tahap pembentukan diambil alih oleh negara dan disesuaikan dengan
teori-teori Rostow.
3. Stagflasi 1970 dan Pengaruh Kebijakan Thatcherism - Reaganomics
Akhir tahun 1970-an merupakan masa-masa suram bagi sistem serta
mampu mengguncang embedded liberalism yang telah memberi tingkat
pertumbuhan yang mengesankan bagi dunia. Boughton (2001: 11) bahkan
menggambarkan secara dramatis bahwa;
The 1970s will long be remembered as a decade of poor
economic performance and poor economics. Poor performance is the
easier of the two to document: high inflation around the world,
sagging productivity growth, rising unemployment, and wide domestic
and international imbalances. That combination of ills even brought a
new word, “stagflation,” into the language.
Meluasnya pengangguran dan semakin tingginya inflasi pada tingkat global telah
berpadu dan menjadikan tatanan dunia menjadi berada dalam keadaan krisis (lihat
grafik 4.2).
Bagi sebagian kalangan (lihat, Heertz, 2003: 19, Harvey, 2009: 22),
Perang Arab - Israel turut memacu terjadinya krisis tersebut. Perang yang terjadi
pada tahun 1973 ini memicu melambungnya harga minyak yang notabene
merupakan bahan bakar utama dalam lingkungan industri Negara-negara Maju.
Penyebabnya adalah Negara-negara Arab, yang tergabung dalam Organization of
the Petroleum Exporting Countries (OPEC), menyatakan menaikkan harga
minyak mentah yang kemudian diikuti dengan melakukan pengurangan produksi
serta embargo minyak kepada A.S. dan Eropa. Akibatnya adalah terjadi naiknya
harga-harga barang dan upah yang kemudian terakumulasi menjadi krisis
44
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
ekonomi dunia. Rangkaian krisis yang menjadi salah satu penyebab runtuhnya
embedded liberalism berujung pada terjadi perubahan tatanan dunia secara
dramatis yang terjadi pada periode tahun 1970-an – 1980-an.
Grafik IV.2 Krisis Ekonomi Tahun 1970an: Inflasi dan Pengangguran di A.S. dan
Eropa, 1960-1987.
Sumber : Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis, Harvey, 2009 hlm: 25.
45
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Serangkaian perubahan paradigma dan tindakan-tindakan politik-ekonomi
di berbagai belahan dunia yang terjadi tahun-tahun 1970-an – 1980-an seakanakan menjadi kebalikan dari ide-ide dan kebijakan yang dihadirkan pada periode
1950-an hingga 1960-an. Sebuah ironi yang terjadi adalah kebijakan Keynesian
yang menjadi pedoman penyelamatan ekonomi pasca Krisis Malaise, seakan-akan
menjadi tidak berdaya berhadapan dengan situasi krisis dunia. Pasalnya
manajemen ekonomi Keynesian yang bertumpu pada ekspansi fiskal justru
semakin mengakumulasi defisit publik besar-besaran di sepanjang tahun 1970-an
(Sugiono 1999: 125). Sehingga kebijakan full employment dilihat justru semakin
meningkatkan inflasi. Pendek kata, kebijakan Keynesian kehilangan legitimasi
untuk memberi solusi atas krisis yang terjadi.
Solusi yang coba dihadirkan adalah dengan memperkuat kontrol dan
regulasi negara terhadap wilayah ekonomi lewat strategi-strategi korporatis (jika
perlu dengan membatasi aspirasi-aspirasi buruh dan gerakan-gerakan rakyat lewat
cara-cara yang tegas, lewat kebijakan-kebijakan pendapatan, dan lewat
pengendalian atas tingkat upah dan harga barang serta jasa) (Harvey, 2009: 22).
Alternatif ini dilontarkan oleh Rezim-rezim Sosialis dan Komunis di Negaranegara Eropa. Sehingga negara-negara tersebut mengembangkan berbagai
program negara kesejahteraan misalnya seperti yang terjadi di Skandinavia
dengan tradisi sosial – demokratiknya, atau sosialisme pasar di Italia dan Spanyol.
Sementara di A.S. sendiri Partai Demokratik mendorong adanya regulasi yang
mengatur perlindungan keamanan dan kesehatan kerja, hak-hak sipil, serta
perlindungan konsumen.
46
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Persoalan yang muncul kemudian adalah solusi sosial – demokratik dan
korporatisme tidak mencukupi bagi kebutuhan akan akumulasi kapital di medio
1970-an. Maka yang terjadi pertentangan dan polarisasi pendapat tak dapat
dihindarkan antara kelompok yang mendukung sosial - demokratik serta
perencanaan terpusat dengan kalangan yang berusaha mengunggulkan kebebasan
pasar. Kalangan yang terakhir tampaknya memenangkan pertentangan pendapat
tersebut dan memulai proyek-proyek, yang kemudian hari disebut, neoliberal.
Mereka memandang bahwa regulasi ketat dan pajak yang tinggi dianggap tidak
lagi kondusif bagi ekspansi bisnis. Sehingga, solusi bagi perekonomian agar bisa
bangkit kembali adalah dengan mendorong pemerintah untuk memangkas
pelayanan sosial dan meminimalkan regulasi bagi dunia usaha.
Penghujung tahun 1970 seakan menjadi momentum konsolidasi bagi
gerakan neoliberal. Tepatnya di bulan Mei 1979 berlangsungnya pengangkatan
Margaret Thatcher sebagai perdana menteri menjadi pertanda dimulainya era
ekonomi - politik pasar bebas. Bersama dengan Ronald Reagan, yang terpilih
menjadi presiden A.S. tahun 1980, keduanya memulai era “Thatcherism” dan
“Reaganomics”, keduanya kemudian identik dengan kedua istilah tersebut,
sebagai terjemahan dari kebijakan-kebijakan ekonomi dan politiknya. Kedua
pemimpin negara tersebut mengusahakan intervensi yang minimal dari negara di
hampir semua bidang.
Thatcher terpilih disaat stagflasi mendera Inggris begitu kuat dan membuat
pemerintah tidak mampu berbuat banyak. Inflasi yang mencapai 26 persen serta
meningkatnya pengangguran hingga mencapai 1 juta orang pada tahun 1975,
47
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
membuat masyarakat menderita (Harvey, 2009: 96). Krisis neraca keuangan
seiring dengan defisit anggaran memaksa pemerintah Inggris untuk mengajukan
permohonan bantuan kepada IMF. Permohonan bantuan tersebut kemudian
disetujui oleh IMF dengan disertai sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh
pemerintah. Pemerintahan buruh kala itu kemudian dihadapkan pada pilihan
antara harus memenuhi tuntutan pembatasan dan penghematan anggaran untuk
pengeluaran publik serta kontrol ketat atas inflasi seperti yang diajukan oleh IMF
atau menyatakan bangkrut dan mengorbankan integritas poundsterling. Pilihan
pemerintahan Thatcher kemudian jatuh kepada prasyarat yang diajukan oleh
badan keuangan internasional tersebut.
Tidak hanya selesai dengan pembatasan pengeluaran publik, kebijakan
privatisasi juga dijalankan oleh Thatcher sebagai solusi yang mampu menolong
penanganan krisis ekonomi. Akibat dari kebijakan tersebut kemudian membuat
sejumlah aset sektor publik beralih menjadi milik swasta. Alasan efisiensi serta
kemungkinan mendapat dana segar dalam jumlah besar dikemukakan sebagai
imbalan dari kebijakan privatisasi tersebut. Penjualan tersebut memang kemudian
membuat pemerintah Inggris memperoleh £67 juta atau tepatnya £67.104 juta
antara tahun 1979 hingga 1997 (Heertz, 2003: 23). Akan tetapi kebijakan tersebut
juga telah mengakibatkan perusahaan-perusahaan telekomunikasi, batu bara, gas,
baja, listrik, penerbangan, listrik, air serta saham yang cukup besar di bisnis
minyak perbankan hingga perkapalan, yang pada tahun 1979 masih dikuasai oleh
pemerintah Inggris, telah mengakibatkan hampir semua perusahaan dibisnis
tersebut berada di tangan pengusaha swasta pada tahun 1997.
48
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Pemerintahan Thatcher juga memberlakukan berbagai kebijakan yang
memberi kenyamanan bagi swasta untuk semakin giat melakukan investasi.
Kebijakan tersebut antara lain; pengurangan tarif pajak bagi perorangan maupun
perusahaan, penghapusan kontrol kurs mata uang asing, serta menghapus
pembatasan kredit bank. Tidak berhenti sampai di situ, pemerintahan Thatcher
juga membatasi kekuatan serikat buruh, dengan melakukan beberapa keputusan
seperti menutup pertambangan batu bara atau membuka kesempatan bagi
perusahaan asing untuk investasi pada industri baja serta otomotif. Kegiatan
tersebut praktis membuat para buruh harus patuh agar mendapat lapangan kerja
yang semakin berat didapatkan di era krisis tersebut.
Perubahan besar-besaran juga terjadi pada kebijakan fiskal dan moneter di
A.S. dalam upaya mengatasi stagflasi di A.S. pada tahun 1970-an. Perubahan
orientasi kebijakan tampak begitu kental mewarnai ekonomi domestik. Kebijakan
moneter dan fiskal tidak lagi mengedepankan terciptanya kesempatan kerja penuh
(full employment) sesuai dengan konsep new deal yang telah menjadi pedoman
dimasa sebelumnya. Kebijakan telah berubah dan dirancang menjadi usaha
mengatasi inflasi tanpa mempedulikan konsekuensi seperti tidak tersedianya
lapangan pekerjaan.
Tahun 1979 menjadi awal dari periode perubahan kebijakan-kebijakan
ekonomi A.S. Berawal dari bulan Oktober 1979, U.S Federal Reserve (Bank
Sentral A.S.) mengadopsi prosedur operasi baru yang di desain untuk mengontrol
secara ketat pertumbuhan moneter (Boughton, 2001: 52). Paul Volcker, kepala
Bank Sentral AS, telah memulai serangkaian kebijakan untuk mengatasi inflasi.
49
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Kebijakan-kebijakan tersebut, atau dikenal sebagai the Volcker’s shock,
diantaranya adalah menaikkan suku bunga secara drastis hingga mencapai dua
digit (lihat grafik 4.3). Kebijakan tersebut dipertahankan sampai tiga tahun, yakni
mulai dari bulan Oktober 1979 hingga Agustus 1982 (Engdahl, 2008).
Grafik IV.3 Pergerakan Tingkat Suku Bunga Riil di A.S. dan Perancis tahun
1960-2001, Sebagai Implikasi Terapi Kejut Volcker.
Sumber : Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis, Harvey, 2009 hlm: 39.
Usai terpilih sebagai presiden A.S. menggantikan Carter, Reagan terus
memulai langkah-langkah peralihan ke arah neoliberalisme di A.S. Hal ini
ditunjukkannya dengan terus mendukung kebijakan Volcker dan memutuskan
memilihnya kembali sebagai kepala U.S Federal Reserve dalam masa
kepemimpinanya. Selain itu juga meneruskan agenda-agenda politik deregulasi
yang telah dimulai pada era kepemimpinan Carter. Berbagai kebijakan seperti;
mencabut kontrol atas harga minyak, melonggarkan pembatasan bidang
50
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
transportasi kereta api, penyiaran, industri minyak dan gas alam, dan enggan
menegakkan perundangan anti-trust. Reagan juga seolah mengikuti jejak Thatcher
dengan menurunkan tarif pajak sehingga membuat tarif marginal pajak
pendapatan tertinggi di AS turun dari 70% menjadi 28% (Heertz, 2003: 25).
Selain merubah orientasi kebijakan domestik, pada tingkat global
pemerintahan Thatcher dan Reagan dengan gencar juga melakukan serangkaian
kegiatan guna mendorong proses neoliberalisasi di berbagai negara termasuk
Negara Pasca Kolonial. Kedua pemimpin negara dalam tahun 1980-an secara
intens untuk “mengeskpor” gagasan tentang kehebatan pasar. Reagan misalnya,
secara khusus hadir dan memanfaatkan Dialog Utara-Selatan di Cancun, Meksiko,
tahun 1981 untuk memberikan “kuliah” mengenai kebajikan sistem pasar dan
keburukan sistem yang terlalu banyak intervensi negara (Sugiono, 1999: 159).
Usaha “mengekspor” gagasan tersebut pun kemudian menunjukkan hasil
yang luar biasa. Gagasan tersebut menyebar dengan cepat dan merambah di
berbagai belahan dunia. Mulai dari Amerika Latin hingga Asia Timur, India dan
hampir seluruh negara-negara di benua Afrika, bahkan negara-negara yang dahulu
dikenal sebagai penganjur ekonomi komunis pun mulai mempraktekkan model
kapitalisme pasar bebas Anglo-American (lihat, Heertz, 2003: 26-27).
Namun,
Heertz
(2003:
32-33)
juga
mencatat
bahwa
sejumlah
pemerintahan dibeberapa wilayah enggan untuk sepenuhnya menganut formulasi
reformasi kebijakan tersebut. Beberapa wilayah di Asia dan Eropa Daratan tetap
saja menginginkan pemerintahannya untuk campur tangan dalam hal ekonomi
maupun dalam bidang-bidang kesejahteraan. Sepanjang tahun 1990-an beberapa
51
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
pemerintahan di Asia masih saja campur tangan dalam bidang ekonomi. Sedang di
Eropa Daratan, sebagian besar politisinya tidak setuju dengan model reformasi
tersebut. Politisi-politisi tersebut masih ingin tetap menjaga prinsip-prinsip
solidaritas dengan menciptakan sistem kesejahteraan melalui pengelolaan
ekonomi demi masyarakat umum.
Pada akhirnya masa pemerintahan Thatcher dan Reagan beserta penerapan
kebijakan-kebijakan
neoliberalnya,
meninggalkan
sekian
implikasi
yang
menandai perubahan ekonomi-sosial-politik baik pada tingkat domestik maupun
pada tingkat global. Sebagai contoh Harvey (2009: 149) menyatakan bahwa pada
tingkat domestik implikasi dari kebijakan-kebijakan yang diterapkan justru
mendorong tingginya tingkat pengangguran pada kedua negara itu sendiri.
Kebijakan untuk menurunkan tingkat inflasi serta menciptakan tingkat suku bunga
yang rendah, harus dibayar dengan adanya pengorbanan tingginya tingkat
pengangguran. Di A.S. selama pemerintahan Reagan, rata-rata pengangguran
mencapai 7,5% sedangkan di Inggris selama pemerintahan Thatcher, rata-rata
pengangguran bahkan mencapai lebih dari 10%.
52
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Grafik IV.4 Rata-rata Pengangguran di Amerika Serikat tahun 1979-1982.
Sumber: The Financial Tsunami: the Financial Foundation of the American
Century, Engdahl, 2008.
Reorientasi kebijakan ekonomi dunia dengan penerapan kebijakan
neoliberalisme oleh Thatcher dan Reagan, yang diikuti oleh berbagai negara baik
karena kesadaran sendiri maupun melalui tekanan, tentu menghasilkan sejumlah
perubahan yang spektakuler. Setidaknya ada tiga implikasi dari proses tumbuh
kembangnya neoliberalisme yang dimotori oleh A.S dan Inggris. Pertama, adalah
semakin meningkatnya mobilitas arus modal. Hal ini ditandai dengan pesatnya
pertumbuhan investasi langsung maupun investasi portofolio. Dari data yang
diajukan oleh Spillane (2003: 178) terungkap bahwa pada tahun 1997 Foreign
Direct Investment (FDI) meningkat 7 kali lipat dibandingkan dengan tahun 1970.
Nilai tambah oleh perusahaan-perusahaan multinasional (MNC) meningkat dari
53
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
5% pada tahun 1980 menjadi sebesar 7% pada tahun 1997, sementara pangsa
pasar ekspor dunia meningkat menjadi 33% pada tahun 1997 dari yang
sebelumnya hanya sebesar 25% pada tahun 1980. Aktivitas pertumbuhan sektor
keuangan serta jasa-jasa keuangan juga meningkat secara signifikan yang sejalan
dengan aktivitas investasi bisnis keuangan. Data Caldentey dan Vernengo (2010:
74) menunjukkan bahwa pada 1980, nilai saham aset-aset finansial termasuk
kontrak-kontrak derivatif, sedikit diatas GDP (129% dari GDP termasuk aset-aset
derivatif). Pada tahun 1990, nilai saham aset-aset finansial meningkat 2 kali lipat
dari GDP (253% termasuk aset-aset derivatif). Tahun 2001, nilai saham aset-aset
finansial global kira-kira 6 kali dari GDP dunia dan bahkan tahun 2007
menunjukkan naik 13 kali dari nilai GDP dunia (lebih lengkap lihat grafik 4.4).
Grafik IV.5 Pendalaman Sektor Finansial Global (Persentase Nilai Aset Saham
dari GDP Dunia tahun 1980-2007).
Sumber: Modern finance, methodology and the global crisis, Caldentey &
Vernengo, 2010: 74.
54
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Implikasinya adalah peningkatan yang luar biasa pada keuntungan korporasikorporasi keuangan (lihat grafik 4.6). Sebagaimana di tulis Harvey (2009: 271)
Turnover harian dari transaksi-transaksi keuangan di pasar-pasar
internasional yang pada tahun 1983 sebesar $ 2,3 milyar, meningkat
menjadi sebesar $ 130 milyar pada tahun 2001. Turnover tahunan pada
tahun 2001 sebesar $ 40 trilyun jika dibandingkan dengan angka
perkiraan sebesar $ 800 milyar yang dibutuhkan untuk mendukung arus
investasi perdagangan dan produksi internasional.
Persoalan yang muncul adalah pertumbuhan sektor keuangan ternyata tidak
dibarengi dengan pertumbuhan sektor riil secara signifikan juga. Hal ini
disebabkan karena bisnis keuangan hanya mengejar keuntungan-keuntungan
spekulatif semata tanpa mempedulikan fungsi untuk menggerakkan sektor lain.
Grafik IV.6 Tingkat Keuntungan Bagi Korporasi Finansial dan Non-finansial di
A.S. 1960-2001.
Sumber : Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis, Harvey, 2009 hlm: 266.
55
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Implikasi yang kedua adalah penyebaran neoliberalisme di seluruh dunia
dengan basis teoritik ortodoksi monetaris menjadi semakin kuat di tahun 1980-an1990-an. Gabungan kekuatan lembaga keuangan internasional (W.B. dan IMF),
Departemen Keuangan A.S. serta Wall Street semakin mampu untuk
mendesakkan kepentingan membangun iklim bisnis yang sesuai dengan garis
neoliberal. Sehingga semakin banyak negara berusaha mengadopsi reformasi
neoliberal. Negara-negara Pasca Kolonial pun juga tak luput dari serangan
kekuatan tersebut yakni dengan dioperasikannya program penyesuaian struktural
(SAPs).
4. Bangkitnya Intelektual Kanan Baru
Salah satu aspek penting dalam perkembangan neoliberalisme adalah
kebangkitan intelektual-intelektual kanan baru. Kalangan tersebut muncul dengan
gagasan yang melegitimasi secara teoritis diusungnya mekanisme pasar sebagai
satu-satunya cara dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mereka bertugas mensupport penuh realisasi setiap aksi bagi terwujudnya tatanan
sosial, ekonomi, dan politik yang berorientasi liberal dengan masuk ke pusat
kekuasaan dan membangun lembaga-lembaga pemikir (think-tank) (Harvey, 2009:
36).
Perubahan mainstream gagasan dari intervensionis negara ala Keynesian
menjadi berorientasi liberal seperti yang digagas oleh kaum neoliberal, bukan
merupakan fenomena yang terjadi secara tiba-tiba seiring munculnya stagflasi
1970-an. Sebuah konferensi tertutup tahun 1947, oleh Friedrich von Hayek
56
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
berhasil dijadikan ruang konsolidasi bagi sejumlah pemikir sosial untuk
mewujudkan kesepakatan mereka tentang hubungan sosial yang diatur oleh pasar.
Pertemuan yang dihadiri antara lain; Milton Friedman, George Stigler, Karl
Popper, Ludwig von Misses, dan lain sebagainya, kemudian menghasilkan
komunitas dengan nama The Mont Pélérin Society dan mampu menghasilkan
perluasan jaringan yang massif selama periode 1970-an hingga 1980-an (Priyono,
2003: 51-52). Gagasan mereka secara rutin berusaha disebarkan melalui
universitas-universitas maupun lembaga-lembaga kajian yang banyak berkembang
di AS dan Inggris. Sehingga universitas seperti Chicago University, London
School
of
Economics,
serta
Institut
Universitaire
de
Hautes
Etudes
Internasionales (IUHEI) di Jenewa ataupun lembaga seperti The Institute of
Economic Affairs (IEA) dan Centre for Policy Studies (CPS) menjadi penyuplai
berbagai kajian dan saran kebijakan bagi pemerintah.
Sugiono (1999: 144) melihat bahwa mengemukanya intelektual kanan
baru terkait sangat erat dengan transformasi struktur produksi dalam
perekonomian global di mana proses produksi maupun modal semakin
terinternasionalisasi. Transformasi struktur produksi yang dimaksud adalah pada
tataran global terjadi masifikasi gelombang pergerakan modal, yang juga secara
bersamaan terjadi “revolusi” teknologi informasi dan komunikasi yang
memudahkan terjadinya investasi dan kesepakatan bisnis. Maka kebangkitan
kalangan kanan baru tidak saja merupakan respon atas situasi krisis yang terjadi
melainkan juga bentuk reaksi atas kebutuhan modal internasional terhadap
ekonomi politik global.
57
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Inti pemikiran kaum intelektual neoliberal bersandar atas pandangan
bahwa pasar dan hubungan transaksional adalah dasar dari seluruh hubungan
sosial antar manusia. Liberalisme klasik juga melihat bahwa hubungan
transaksional adalah dasar bagi hubungan sosial akan tetapi hanya di dalam
kehidupan ekonomi. Negara masih diperlukan dalam mengatur dan menyediakan
prasarana publik dalam bidang-bidang kehidupan lain. Berbeda dengan yang coba
dihadirkan oleh neoliberalisme. Neoliberalisme secara ekstrim melihat bahwa
seluruh kegiatan di dalam masyarakat harus disediakan oleh pasar. Negara tidak
mendapat tempat kecuali berperan sebagai sistem yang dapat memastikan
mekanisme pasar dapat berlaku. Hal ini tidak berarti negara kemudian
mengintervensi mekanisme pasar, negara justru harus menjauh dari pasar. Negara
tidak punya alasan apapun juga untuk mencampuri dan mengawasi ‘pasar’, karena
pasarlah yang justru merupakan prinsip yang mendasari negara dan masyarakat
(Priyono, 2003: 57). Sehingga negara berusaha meneruskan tradisi menjadi
“penjaga malam” tanpa harus merasa bertanggung jawab kepada masyarakat itu
sendiri.
Kaum neoliberal dengan demikian tidak percaya terhadap segala bentuk
pengaturan, bahkan terhadap masalah yang timbul di dalam sistem pasar. Sebagai
contoh, menurut penganut paham pasar bebas, negara tidak boleh mengintervensi
masalah monopoli yang sering kali terjadi dalam pasar bebas (lihat Sirait, 2006:
21). Hal ini merupakan salah satu yang memicu “pembelahan” kalangan
akademisi universitas-universitas di A.S. menjadi dua kubu, yakni kubu
“Saltwater” dan “Freshwater”. Kubu Saltwater merupakan kelompok universitas-
58
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
universitas yang lokasinya berada di dekat pantai, seperti: Harvard, MIT, Yale,
Princeton, sedangkan kubu Freshwater adalah universitas-universitas yang lebih
dekat
ke Great
Lakes,
seperti:
Chicago,
Minnesota,
Wisconsin,
Rochester. Kalangan Chicago School misalnya, berpandangan bahwa monopoli
tidak akan berlangsung lama karena pasar akan segera menyesuaikan kembali
mekanismenya. Bertentangan dengan pandang tersebut, Harvard School misalnya,
monopoli dapat berlangsung lama dan tidak mudah untuk berubah dengan
sendirinya. Implikasinya adalah solusi yang ditawarkan pun berbeda antara kubu
yang satu dengan yang lain. Harvard School melihat bahwa pada kondisi tersebut,
peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk memperbaiki sistem pasar maupun
untuk menindak para pelaku monopoli. Sebaliknya, Chicago school menyarankan
untuk membiarkan saja misalnya jika terjadi monopoli karena pasar akan segera
merespon dan memperbaiki dengan sendirinya. Begitu pula dengan pelaku
monopoli seharusnya dibiarkan saja atau tidak dihukum, karena merupakan hasil
kemampuan dan kebebasan mereka.
Dasar filosofi tentang masyarakat yang membuat kaum kanan baru
menjadi berpandangan seperti itu. Bagi kanan baru, terjemahan dari masyarakat
adalah kumpulan individu-individu yang otonom. Akan tetapi patut diketahui
bahwa yang dimaksud indvidu bukanlah individu yang abstrak tanpa makna,
melainkan individu-individu wirausahawan atau wirausahawati bebas. Individu
wirausahawan atau wirausahawati tersebut bertanggung jawab memenuhi
kebutuhannya sendiri dan tidak bergantung pada perusahaan tempat mereka
bekerja atau negara untuk menyediakan jaminan sosial. Pengertian tersebut
59
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
memiliki konsekuensi pergeseran makna di mana hal-hal yang selama ini
dianggap mnjadi masalah-masalah sosial menjadi masalah-masalah individuindividu sendiri. Sebagai contoh adalah masalah kemiskinan; persoalan
kemiskinan tidak lagi diletakkan menjadi persoalan sosial, masyarakat atau
negara-bangsa, akan tetapi sudah menjadi persoalan pribadi. Kemiskinan bukan
lagi menjadi persoalan yang timbul karena struktur, ekonomi, sosial, maupun
politik, dalam masyarakat “tidak mengijinkan” antara satu orang dengan yang lain
menjadi sejahtera. Persoalan seorang individu yang dianggap malas, bodoh, tidak
bekerja keras dan lain sebagainya dikedepankan menjadi alasan terjadinya
kemiskinan. Maka yang diperlukan bukan suatu bentuk welfare system akan tetapi
kemampuan Individual self-care.
Pandangan tentang individu yang otonom dengan demikian juga
menggeser bentuk social regulation menjadi self-regulation. Pengertianya adalah
pelimpahan otoritas regulatif dari tangan negara yang mengatur kegiatan dan
hubungan sosial kepada kekuatan dan kebebasan individu menurut selera dan
pilihan individualnya. Hal ini berlaku pada berbagai bidang sosial, bidang politik,
hingga bidang ekonomi, mulai dari kesehatan, pendidikan, perdagangan barang
dan jasa, hingga investasi finansial.
B. Structural Adjustment Programs sebagai Program Ekonomi - Politik
Neoliberalisme
Pada sub bab sebelumnya sudah diungkapkan bahwa mulai dari periode
1970-an akhir, kaum kanan baru secara pasti mampu merubah orientasi domestik
60
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
dan internasional yang dilandasi pandangan Keynesian. Legitimasi intervensi
negara pada sistem ekonomi berhasil dimentahkan dengan jitu oleh kalangan
tersebut. Intervensi negara hanya akan mengacaukan sistem pasar, yang bagi
kalangan tersebut berlaku universal. Negara pasca kolonial yang kental dengan
tradisi intervensi negara pun tak luput dari “serangan” kalangan Neoliberal. Oleh
karenanya ilmu pembangunan sebagai disiplin khusus mengatasi keterbelakangan
negara pasca kolonial, yang melegitimasi peran negara secara besar, juga ditolak
oleh kalangan Neoliberal. Kondisi ekonomi spesifik negara pasca kolonial yang
membutuhkan intervensi negara, menurut kaum Neoliberal hanyalah justifikasi
kosong dan tidak ada alasan apapun yang memadai mengenainya. Bahkan krisis
ekonomi pada tahun 1980-an dan 1990-an yang menimpa banyak negara pasca
kolonial menjadi legitimasi bagi Neoliberalisme melakukan kritik atas ilmu
pembangunan yang terlalu mengakomodasi intervensi negara.
Perubahan situasi ekonomi-politik yang terjadi secara global tersebut pada
gilirannya juga turut mempengaruhi perubahan orientasi kebijakan sosial,
ekonomi, dan politik di negara pasca kolonial, termasuk di negara Indonesia.
Demam Neoliberalisme juga turut menyebar dan mempengaruhi negara-negara
pasca kolonial pada dekade 1980-an yang kala itu bersamaan dengan terjadinya
krisis ekonomi di sejumlah negara tersebut. Bahkan krisis tersebut menjadi pintu
masuk bagi agen-agen Neoliberal untuk mempengaruhi negara-negara tersebut
dalam merubah kebijakan-kebijakannya.
Namun satu hal yang perlu dicatat disini adalah kebijakan Neoliberal di
negara pasca kolonial tidak saja diadopsi berdasar teori Neoliberal melalui jalur-
61
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
jalur yang dialogis serta rasional. Importasi ide-ide kanan baru berlangsung
melalui kombinasi berbagai media, mulai dari jalur akademik hingga tekanan
ekonomi-politik. Bahkan ditengarai bentuk-bentuk koersi merupakan jalur yang
lebih dominan bagi negara-negara pasca kolonial dalam menerapkan deregulasi,
privatisasi, hingga liberalisasi dalam kebijakan domestiknya maupun dalam
hubungannya dengan luar negeri.
Sub bab berikut berpretensi untuk menelusuri model koersi yang
diterapkan kalangan kanan baru khususnya lembaga-lembaga internasional seperti
Dana Moneter Internasional (IMF) maupun Bank Dunia (WB). Model koersi yang
diterapkan adalah diterimanya Program Penyesuaian Struktural (SAPs) yang
mulai diterapkan pada tahun 1980-an. Dengan demikian mampu untuk
menjelaskan latar belakang diadopsinya kebijakan-kebijakan Neoliberal serta
pengalaman penerapan penyesuaian struktural di negara negara berkembang serta
khususnya yang terjadi di Indonesia.
1. Hutang dan Kemunculan Structural Adjustment Programs
Neoliberalisme hadir dan berkembang di negara-negara pasca kolonial
serta negara berkembang lainnya secara berbeda dibandingkan dengan yang
terjadi di Eropa barat ataupun A.S. Kekuatan-kekuatan korporasi-korporasi besar,
intelektual, hingga politisi dalam negeri merupakan faktor yang lebih banyak
menjadi penentu berkembangnya Neoliberalisme di negara-negara seperti Inggris
maupun A.S. Negara-negara pasca kolonial mengadopsi Neoliberalisme lebih
62
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
banyak disebabkan adanya suatu paksaan oleh kekuatan-kekuatan internasional.
Seperti diungkapkan oleh Sugiono (1999: 158-159):
…perlu dicatat bahwa memandang importasi ideologi pasar
semata-mata sebagai proses “sukarela” seperti termanifestasi dalam
transnasionalisasi pengetahuan bisa menyesatkan. Sejenis koersi oleh
kekuatan dunia maupun lembaga-lembaga internasional yang kuat,
IMF dan Bank Dunia, juga berperan serta dalam proses formasi blok
historis baru hyper-liberalisme tersebut.
Sejumlah kegiatan telah dilakukan oleh negara-negara maju, utamanya oleh A.S,
maupun oleh lembaga-lembaga keuangan internasional untuk meyakinkan dan
memastikan pemerintah negara-negara pasca kolonial menerapkan ide-ide kanan
baru. Sejumlah kalangan mencatat (Harvey, 2009: 66 dan Sugiono, 1999: 159161) bahwa kegiatan-kegiatan seperti melakukan lobi politik, tekanan finansial,
bahkan konspirasi politik yang berujung kudeta militer di sejumlah negara
berkembang, pernah dilakukan oleh kekuatan internasional untuk memaksakan
diadopsinya neoliberalisme di negara-negara tersebut.
Salah satu usaha mengadopsi kebijakan neoliberal di negara pasca kolonial
adalah munculnya Structural Adjustment Programs (SAPs) atau Program
Penyesuaian Struktural. Seperti dirujuk oleh Hanief (2001: 41) :
Besarnya dorongan ke arah liberalisasi di wilayah Asia
Tenggara, antara lain dipengaruhi oleh program Structural
Adjustment atau program penyesuaian struktural yang banyak
diterima oleh negara-negara di kawasan tersebut. Sehingga
penyesuaian struktural pada hakikatnya merupakan proses
liberalisasi ekonomi di negara berkembang.
Kemunculan program penyesuaian tersebut di negara pasca kolonial serta negara
berkembang lainnya berlangsung sejak tahun 1980-an. Pada tahun-tahun tersebut
sedang berlangsung krisis ekonomi yang memukul sebagian besar negara pasca
63
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
kolonial dan negara berkembang lainnya. Penyesuaian struktural kemudian
dianjurkan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional, baik oleh IMF maupun
World Bank, sebagai solusi mengatasi permasalahan krisis yang timbul. Solusi
tersebut berupa serangkaian ide tentang pengendoran restriksi perdagangan serta
upaya menjauhkan intervensi pemerintah dari sistem perekonomian.
Persoalan yang muncul kemudian, sebagai suatu saran kebijakan ekonomi,
penyesuaian struktural menjadi begitu mengikat bagi negara-negara tersebut untuk
melaksanakan saran-saran dari IMF dan World Bank itu. Penyesuaian struktural
telah menjadi prasyarat peminjaman ataupun penjadwalan utang luar negeri
negara-negara berkembang, suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya
dalam mekanisme pengucuran utang. Saran kebijakan ekonomi tersebut telah
berubah menjadi suatu bentuk paksaan penerapan kebijakan. Hal ini menyebabkan
negara-negara berkembang tidak lagi memiliki keleluasaan dalam menentukan
orientasi kebijakan domestik dan luar negerinya.
Seperti sudah dibahas di awal sub bab sebelumnya lembaga-lembaga
keuangan internasional, IMF dan World Bank, merupakan produk dari pertemuan
rekonstruksi pasca perang. Pertemuan yang dipelopori oleh Amerika Serikat dan
Inggris yang rombonganya diketuai oleh J.M. Keynes kemudian menghasilkan
beberapa kesepakatan yang diantaranya adalah membentuk lembaga-lembaga
ekonomi multilateral. Lembaga-lembaga yang dimaksud diantaranya sekarang
dikenal dengan nama International Monetary Fund dan World Bank. Kedua
Institusi tersebut juga lazim disebut dengan institusi bersaudara, karena disepakati
berdiri secara bersamaan walaupun dengan tugas yang berbeda. IMF terbentuk
64
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
atas prakarsa AS dengan dana sebesar US$ 58,8 milyar, dengan posisi sebagai
penyumbang terbesar yakni sekitar 25 % (Petras dan Veltmeyer, 2002: 199).
Berdiri pada bulan Juli 1944 di Bretton Woods, New Hampshire, A.S, bertugas
pengatur sistem keuangan internasional. Salah satu tugas pokok IMF adalah
membantu negara-negara anggota yang dilanda krisis neraca pembayaran yakni
dengan
memberi
bantuan
pinjaman
keuangan
jangka
pendek
untuk
menyeimbangkan anggarannya. Sedangkan Bank Dunia yang secara resmi disebut
sebagai International Bank for Reconstruction and Development bertugas
memberikan bantuan pinjaman keuangan untuk pembangunan dan pemulihan
ekonomi pasca perang. Bank Dunia berperan memberikan bantuan lunak (soft
loan) atau bahkan hibah (grant) dalam bentuk paket-paket proyek dan program
pembangunan infrastruktur, pendidikan, pemberantasan kemiskinan (poverty
alleviation), menjaga lingkungan dan lain sebagainya (Prasetiantono, 2003:115).
Akan tetapi tahun 1980-an terjadi peningkatan peran dari lembagalembaga keuangan internasional. IMF dan Bank Dunia tidak lagi hanya berperan
sebagai institusi yang bertugas mengkoordinasikan sistem moneter internasional
serta mengalokasikan dana untuk membantu negara anggota. Keduanya telah
berkembang menjadi penentu sejumlah perubahan orientasi kebijakan ekonomi
negara-negara berkembang. Hal ini terbukti dari kuatnya pengaruh kedua institusi
tersebut untuk memaksakan penyesuaian struktural sistem ekonomi negara
berkembang.
Penyesuaian struktural sendiri bermula dari persoalan krisis utang yang
melanda negara berkembang pada tahun 1980-an. Negara berkembang pada saat
65
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
itu mengalami suatu keadaan dimana mereka mengalami gagal bayar karena utang
telah melebihi devisa negara-negara tersebut. Utang luar negeri yang semula
merupakan pinjaman modal pembangunan telah berubah menjadi beban yang
justru menggerogoti surplus hasil pembangunan itu sendiri. Akibatnya adalah
proses rekapitalisasi untuk proses pembangunan selanjutnya tidak terjadi.
Konsep utang pembangunan secara teoritis didasari dari teori “two gap”
yang merupakan perluasan dari teori Harrod-Domar. Teori “two gap” yakni teori
mengasumsikan bahwa negara berkembang selalu mengalami dua kesenjangan
dalam pembangunan. Kesenjangan yang pertama; negara berkembang tidak
mempunyai kemampuan untuk menabung yang merupakan hal dasar sebagai
modal pembangunan. Masyarakat negara berkembang yang hanya menghasilkan
pendapatan subsisten tidak memungkinkan untuk menabung. Kesenjangan yang
kedua; negara berkembang mengalami selalu kesenjangan nilai tukar mata uang
asing. Kesenjangan nilai mata uang asing kemudian membuat perbandingan
antara ekspor dan impor selalu defisit. Karena nilai ekspor selalu lebih rendah
daripada nilai impor karena kesenjangan nilai tukar tersebut. Logika dari “dua
kenjangan” tersebut mempunyai implikasi teoritis bahwa tingkat investasi
domestik tidak memadai untuk melakukan pembangunan. Utang luar negeri oleh
karenanya diperlukan sebagai sarana kecukupan modal pembangunan tersebut.
Utang luar negeri kemudian juga seakan mendapat legitimasi dari fakta
bahwa dari proses pembangunan yang mengandalkan utang luar negeri, memang
mampu menampilkan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan di negara
berkembang. Data dari Komisi Selatan (1992: 45), menyajikan bahwa pada tahun
66
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
1960 - 1970 negara berkembang mampu mendongkrak tingkat pertumbuhan total
Produk Domestik Brutonya (PDB) pada tingkat yang mengesankan yakni sebesar
6 %. Bahkan negara-negara tersebut mampu mempertahankan pertumbuhan total
PDB pada sebesar 5 % pada tahun 1970 – 1980 (lihat grafik 4.7).
Grafik IV.7 Rata-rata Pertumbuhan PDB Per Kapita dan Total PDB Negara
Berkembang, 1960-1987.
Sumber: Tantangan yang Menghadang Selatan, 1992: 45.
Persoalan yang muncul kemudian, pada sisi lain terjadi juga peningkatan
yang pesat pada utang luar negeri negara-negara tersebut (lihat grafik 4.8).
Persentase utang luar negeri cenderung naik dari tahun ke tahun. Paruh kedua
tahun 1970-an, persentase hutang tersebut bahkan mencapai kisaran diatas 30%.
Pada tahun 1974-1975 misalnya, persentase utang naik hingga mencapai 33%.
67
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Walaupun terjadi penurunan pada tahun 1976, utang tersebut kembali naik hingga
mencapai puncaknya pada tahun 1977-1978 yang hampir mencapai 35%. Hal ini
Grafik IV.8 Persentase Pertumbuhan Utang Luar Negeri Negara
Berkembang, 1966-1982.
Sumber: Financial Flows to Developing Countries:Recent Trends and Near Term
Prospects, Suttle, 2003: 8.
berarti bahwa pembangunan dengan orientasi pertumbuhan yang tinggi ternyata
dibayar dengan laju pertumbuhan utang yang tinggi juga.
Laju pertumbuhan utang pembangunan yang pesat tersebut terjadi ketika
pada tahun 1960-an gelontoran utang dalam jumlah besar semakin gencar
dilaksanakan. Adanya program-program internasional dari Bank Dunia serta IMF
menambah alasan bagi masifnya pemberian pengucuran utang bagi negara-negara
tersebut. Seperti yang tertulis dalam laporan Komisi Selatan (1992: 41), bahwa;
68
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
…Bank
Dunia
membentuk
Asosiasi
Pembangunan
Internasional (IDA) pada tahun 1960, dengan tugas untuk
memberikan pinjaman atas syarat-syarat yang ringan kepada negaranegara sedang berkembang yang paling miskin. Dana Moneter
Internasional (IMF) membentuk kompensasi bantuan keuangan
(Compensatory Financing Facility, CFF) pada tahun 1963, dengan
sasaran mendukung usaha negara-negara sedang berkembang untuk
menangani krisis perdagangan luar negeri yang disebabkan oleh
amblegnya pendapatan dari ekspor komoditas primer atas sebabsebab yang berada di luar kemampuan penanganan mereka.
Pinjaman kemudian tidak hanya dikucurkan oleh negara-negara maju maupun
oleh lembaga keuangan multilateral (IMF dan Bank Dunia), akan tetapi bankbank komersial internasional juga mulai memberikan kredit bagi negara-negara
Amerika Selatan, Afrika dan Asia. Bahkan bank-bank komersial internasional
mulai mendominasi kucuran utang luar negeri bagi negara-negara tersebut di
tahun 1970-an. Penerimaan total luar negeri negara-negara berkembang dari
bantuan resmi pembangunan menurun dari 58 % menjadi 30 % pada tahun 19601978, sedangkan pinjaman dari bank-bank swasta meningkat dari 2 % menjadi
sekitar 33 % (Hossein-zadeh, http://faculty.cbpa.drake.edu, diakses 4 Februari
2011).
Ada beberapa alasan yang mendasari peningkatan aktivitas utang luar
negeri tersebut. Pada tingkat internasonal terjadi likuiditas yang amat besar dalam
sistem bank internasional. Dari data yang dihimpun Neves (2009) tahun 1960-an
hingga tahun 1970-an, jumlah uang di bank-bank swasta meningkat sebelas kali
lipat; dari 10 milliar USD menjadi 110 milliar USD. Menurut laporan komisi
selatan (1992: 75), hal ini disebabkan adanya implikasi dari “oil price shock”.
Terjadi suatu trend untuk menggunakan surplus finansial dari negara-negara
eksportir minyak dalam kegiatan investasi. Selain itu juga adanya ekspansi pasar
69
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
uang Eropa serta resesi ekonomi di negara-negara industri. Sehingga tumbuh
keinginan untuk memberikan kredit kepada negara-negara berkembang yang
sedang mengalami pertumbuhan yang pesat.
Kasus meksiko merupakan contoh nyata proses ekspansi luar biasa dalam
konteks utang luar negeri. Harvey (2009: 166) memaparkan bahwa utang luar
negeri dimulai dari tidak adanya modal pembiayaan perusahaan-perusahaan
negara. Bank-bank investasi New York kemudian menggunakan Petrodollar yang
dimiliki sebagai kredit bagi Meksiko memutar roda perekonomian. Pinjaman
tersebut bahkan disertai dengan suku bunga yang menarik sehingga membuat
Meksiko kecanduan untuk terus meningkatkan jumlah utangnya. Hasilnya adalah
meningkatnya utang luar negeri dari $ 6,8 milyar pada tahun 1972 menjadi $ 58
milyar pada tahun 1982.
Persoalan besar kemudian muncul ketika pada tahun 1980-an, stagflasi
yang memukul negara-negara industri maju kemudian juga membawa sejumlah
implikasi bagi negara-negara berkembang. Hadirnya kebijakan A.S. dan Eropa
untuk menaikkan suku bunga sebagai upaya menangani stagflasi, ternyata berubah
menjadi suatu beban baru yang harus dipikul oleh negara berkembang. Naiknya
suku bunga internasional juga membuat suku bunga pinjaman luar negeri negara
berkembang juga meningkat (lihat grafik 4.9). Akibatnya adalah beban utang luar
negeri menjadi lebih tinggi. Cicilan pembayaran atas utang pokok dan bunganya
melampaui nilai pinjaman yang sebenarnya. Sehingga yang terjadi adalah
pengurasan ekonomi negara-negara berkembang sejak tahun 1984. Jumlah
transfer bersih pada tahun 1984-1988 bahkan mencapai $ 163 milyar (lihat grafik
70
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
4.10). Membengkaknya pinjaman luar negeri tersebut memunculkan episode
krisis utang atau yang sering disebut dengan “the lost decade”.
Grafik IV.9 Suku bunga Nominal dan riil, 1972-1988
Keterangan:
•
•
Suku bunga nominal: laju inter-bank Eurodolar enam bulanan.
Suku bunga riil: Suku bunga nominal dikurangi dengan perubahan
dalam unit nilai ekspor negara-negara berkembang.
Sumber: Tantangan yang Menghadang Selatan, 1992: 78.
Selain berimplikasi pada membengkaknya hutang luar negeri, naiknya
suku bunga internasional juga mempengaruhi pada jatuhnya harga komoditas
ekspor negara-negara berkembang. Sebagai contohnya, harga daging sapi dari
Argentina jatuh dari 2.25/kg pada tahun 1980 ke 1.60 pada akhir 1981; harga gula
dari Brazil dan negara-negara Karibian jatuh dari 79 cent/kg ke 27 cent/kg pada
71
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
tahun 1982 (Neves, 2009). Hal ini semakin memukul perekonomian negaranegara tersebut.
Grafik IV.10 Pembayaran Utang Luar Negeri Dikurangi Nilai Pinjaman.
Sumber: Tantangan yang Menghadang Selatan, 1992: 79.
Tahun 1980-an dengan demikian menandai suatu babak baru bagi negara
berkembang. Dimulai dengan adanya krisis utang dan semakin menurunya
penerimaan negara dari ekspor kemudian berakumulasi menjadi jalan masuk bagi
asistensi negara-negara tesebut oleh lembaga-lembaga keuangan multilateral.
Asistensi tersebut berupa pengarahan kebijakan ekonomi yang disandarkan dari
analisa serta perencanaan ekonomi oleh para pejabat lembaga tersebut.
Pemerintah negara berkembang kemudian bertugas mengikuti saran pencanaan
kebijakan tersebut untuk mengatasi persoalan krisis ekonomi yang muncul.
IMF dan Bank Dunia dalam proses melakukan asistensi arahan kebijakan
mengatasi krisis tahun 1980-an yang melanda negara berkembang telah
72
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
menginisiasi suatu kebijakan baru. Persoalan krisis utang maupun defisit neraca
pembayaran ditanggapi dengan saran stabilisasi dan restrukturisasi ekonomi
sebagai pra-syarat penjadwalan kembali pembayaran utang yang telah jatuh
tempo. Awalnya kebijakan tersebut hanya diperuntukkan bagi negara-negara yang
paling parah terkena dampak krisis, akan tetapi kebijakan tersebut berkembang
sebagai suatu panduan umum bagi seluruh negara yang mengalami goncangan
ekonomi. Kebijakan tersebut kemudan dikenal dengan paket “Program
Penyesuaian Struktural”.
Hadirnya Program Penyesuaian Struktural menurut Harvey (2009: 48)
merupakan hasil dari proses pembersihan lembaga internasional seperti IMF dan
Bank Dunia dari semua pengaruh Keynesian pada tahun 1982. Intelektual
Keynesian yang mengembangkan kebijakan berorientasi pasar yang terkendali
coba disingkirkan dari seluruh ranah kebijakan IMF dan Bank Dunia. Pendukung
kebijakan ekonomi-politik Neoliberal kemudian menduduki jabatan penting di
Lembaga-lembaga multilateral tersebut. Implikasinya kemudian kedua institusi
Bretton Woods tersebut yang pada dasarnya dibangun sebagai badan koordinasi
internasional untuk menghindari kejutan-kejutan spekulasi pasar coba dirubah
sedemikian rupa sehingga semakin mengakomodasi terciptanya kebijakankebijakan Neoliberal.
Penyesuaian struktural menurut Sugiono (1999: 164-167) setidaknya
memuat empat komponen pokok dalam merestrukturisasi sistem ekonomi sesuai
dengan ide pasar. Komponen pertama adalah devaluasi mata uang dan
penyesuaian nilai tukar. Devaluasi dianggap sebagai langkah untuk menyesuaikan
73
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
current account dan neraca perdagangan ketika nilai tukar yang overvalued
mengakibatkan bias ekspor. Sehingga dengan mendevaluasi mata uang mampu
membuat ekspor bisa lebih kompetitif. Penyesuaian nilai tukar adalah strategi
yang diharapkan sama efeknya dalam peningkatan ekspor, akan tetapi dengan
proyeksi jangka panjang. Komponen yang kedua adalah tindakan-tindakan
manajemen demand. Komponen ini dapat juga disebut dengan usaha untuk
mengontrol dan mengurangi inflasi yang tinggi. Maka kegiatan yang dilakukan
adalah mengontrol pertumbuhan suplai uang atau mendorong kebijakan uang
ketat. Sehingga dalam kebijakan tersebut diusahakan untuk mereduksi upah,
mereduksi pengeluaran publik dan pelayanan publik. Komponen ketiga yaitu
restorasi mekanisme pasar. Komponen ini mengisyaratkan untuk menyingkirkan
seluruh hambatan-hambatan dalam bekerjanya mekanisme pasar. Sehingga yang
dibutuhkan adalah kebijakan liberalisasi dan deregulasi. Sedangkan komponen
terakhir rekomendasi privatisasi. Komponen ini bermaksud sebagai dorongan
bagi proses disinvestasi atau penjualan bagian-bagian sektor publik dan sub
kontrak aktivitas sektor publik kepada sektor swasta.
2. Pengalaman Penyesuaian Struktural di Negara Berkembang
Program penyesuaian struktural sebagai mana telah dibahas sebelumnya,
pada awalnya dimaksudkan sebagai paket reformasi untuk menangani krisis
ekonomi yang menimpa negara berkembang. Sejak akhir tahun 1970-an, seiring
dengan timbulnya krisis, berbagai negara di Afrika, Amerika Selatan, serta Asia
mulai menerima paket tersebut. Berbagai paket reformasi di bidang sosial dan
74
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
ekonomi mulai diterapkan secara intensif selama dekade 1980-an hingga 1990-an,
oleh pemerintahan negara-negara tersebut dengan ekspektasi yang tinggi beban
krisis akan mampu dikurangi.
Negara-negara Afrika dalam pengalamannya melakukan penyesuaian
struktural, seperti diungkapkan Olukoshi (2000), telah dimulai sejak akhir tahun
1970-an. Pemerintahan negara-negara tersebut menerima dan menerapkan
penyesuaian struktural sebagai bagian dari saran manajemen penanggulangan
krisis ekonomi. Melalui kebijakan-kebijakan di bidang sosial hingga ekonomi
program-program penyesuaian struktural diadopsikan dengan mengikuti panduan
dari IMF dan Bank Dunia.
Selama dua dekade implementasi program penyesuaian struktural di benua
Afrika, sejumlah implikasi telah dihasilkan. Secara umum implikasi yang
dihasilkan adalah mekanisme pasar semakin menguasai sektor-sektor ekonomi
dan sosial masyarakat. Sektor-sektor perdagangan, keuangan, pertanian,
kesehatan, pendidikan dsb. secara jelas mulai dikoordinasikan melalui mekanisme
pasar yang menggantikan peran negara yang dominan diperiode sebelumnya.
Keadaan yang tidak jauh berbeda juga menimpa sebagian besar negaranegara Amerika Selatan serta negara-negara di Asia. Berkembang pada tahun
1980-an, penyesuaian struktural telah menjadi bagian integral dari mekanisme
pengambilan kebijakan di negara berkembang. Liberalisasi di berbagai bidang
terus menjadi agenda utama dari proses reformasi yang dijalankan oleh
pemerintah. Selain itu deregulasi serta privatisasi juga terus digalakkan guna
75
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
mendukung proses investasi dan perdagangan di seluruh sektor-sektor sosial dan
ekonomi masyarakat.
Sejumlah pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, apa akibatnya bagi
sektor-sektor terkait yang masuk dalam agenda reformasi? Bagaimana
implikasinya bagi kinerja ekonomi nasional? sejauh mana kemudian kegiatan
reformasi tersebut dapat mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat? Serta sejumlah
pertanyaan lain terus berdengung serta mengiringi proses reformasi yang
dijalankan oleh negara-negara berkembang tersebut.
Bagi sebagian pengamat, (lihat misalnya, Yustika, 2004 atau SAPRI dan
CASA, 2002), secara umum proses penyesuaian struktural yang berlangsung lebih
banyak mendatangkan hasil yang negatif dibandingkan hasil positifnya. Menurut
Yustika (2004: 5), kasus di banyak negara berkembang yang menerapkan proses
reformasi ekonomi yang mengedepankan meminimalitas intervensi negara tidak
menjamin dicapainya kinerja ekonomi secara lebih baik. Sebagai contoh, 48
negara berkembang yang menerima saran reformasi tersebut tidak menjadi lebih
maju dibantingkan dengan periode sebelum menjalankan reformasi. Bahkan 32
dari 48 negara tersebut berubah menjadi lebih miskin.
SAPRI (the Structural Adjustment Participatory Review Initiative) dan
CASA (the Citizens’ Assessment of Structural Adjustment) (2002) telah
melakukan penelitian terhadap sejumlah negara, seperti Ekuador, Filipina,
Bangladesh, Zimbabwe, serta beberapa negara lain. Dalam penelitianya terhadap
negara-negara yang telah melaksanakan penyesuaian struktural, memaparkan
sejumlah data yang senada dengan pernyataan Yustika tersebut. Dalam hal
76
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
liberalisasi perdagangan misalnya, walaupun terjadi peningkatan perdagangan
export namun kegiatan import jauh lebih tinggi bahkan mengakibatkan defisit
neraca perdagangan. Sebagai contoh, perbandingan antara rata-rata pertumbuhan
import dengan rata-rata pertumbuhan export pertahun Ekuador adalah sebesar
15% berbanding 5.6%. Nilai import Ekuador memang tumbuh dengan impresif,
yakni dari 1,6 miliar dollas AS pada tahun 1990 menjadi 5,1 miliar dollar AS pada
tahun 1998.
Dalam penelitian tersebut, juga dipaparkan bahwa reformasi ekonomi
dengan berorientasi pasar justru telah membuat pasar tenaga kerja menjadi
menyusut. Zimbabwe yang sejak 1991 menerapkan reformasi ekonomi,
menunjukkan fakta bahwa penyerapan tenaga kerja pada sektor formal terusmenerus menyusut. Sehingga dari fakta tersebut dapat diartikan bahwa,
penyesuaian struktural telah menyebabkan informalisasi ekonomi menjadi
meningkat. Laurell (2000) juga menegaskan kenyataan ini dalam tulisannya
tentang implikasi penyesuaian struktural di amerika latin. Deregulasi hubungan
kerja telah memfasiltasi perubahan atau menggantikan lapangan kerja sektorsektor formal menjadi informal, bahkan menurut ILO 84% pekerjaan yang
tumbuh pada tahun 1990 adalah sektor informal (Laurell, 2000: 311).
Ketimpangan pendapatan juga menjadi salah satu persoalan dasar yang
diakibatkan adanya penyesuaian struktural. Ketimpangan pendapatan per kapita
antara kelompok masyarakat paling miskin dengan yang paling kaya terus
meningkat dari tahun ke tahun. Ketimpangan pendapatan yang terjadi Hungaria
meningkat dari 4-4,5 kali sebelum tahun 1990 menjadi 8-9 kali pada tahun 1999,
77
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
sehingga pertumbuhan pendapatan yang tinggi yang didapat oleh kalangan paling
kaya harus berjalan beriringan dengan pemiskinan yang tragis di kalangan
berpendapatan rendah (SAPRI dan CASA, 2002: 54).
Reformasi sektor keuangan di negara berkembang juga menunjukkan
suatu persoalan tersendiri. Penelitian SAPRI dan CASA (2002: 67-68)
menunjukkan beberapa indikasi bahwa:
1. Liberalisasi tidak meningkatkan level efisiensi ekonomi pada umumnya
dan sektor finansial pada khususnya.
2. Liberalisasi sektor finansial secara langsung maupun tidak langsung telah
ikut meningkatkan kegiatan spekulasi di pasar finansial serta investasi
pada sektor non produktif.
3. Melemahnya negara dengan segala aturan-aturanya telah membuat
perekonomian justru berada pada bingkai oligopoli atau bahkan monopoli
suatu kelompok.
4. Reformasi
keuangan
telah
membuat
aset-aset
finansial
semakin
terkonsentrasi pada beberapa pengusaha swasta saja, dibandingkan dengan
membantu mengembangkan investasi produktif yang akan menstimulasi
perekonomian secara nasional.
5. Sektor-sektor penting dalam ekonomi dan kelompokkelompok masyarakat
menjadi tidak bisa mengakses kredit secara mudah. Perusahaan-perusahan
kecil dan menengah, produsen-produsen lokal dan pedesaan serta
perempuan hanya mempunyai akses yang sangat terbatas pada sistem
finansial formal dikarenakan adanya suku bunga yang tinggi sebagai hasil
78
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
dari liberalisasi dan hambatan-hambatan seperti persyaratan-persyaratan
kelayakan untuk peminjaman.
Hasil dari penelitian tersebut tentunya menjadi suatu ironi. Sebab mengacu dari
ide atau gagasan yang digembar-gemborkan oleh para penganjur reformasi
ekonomi bahwa liberalisasi sektor keuangan adalah untuk menghidupkan dunia
usaha. Dengan demikian, fakta tersebut seolah-olah membantah dengan
sendirinya bahwa cita-citanya kegiatan seperti deregulasi perbankan dan pasar
finansial adalah untuk mendorong kegiatan dunia usaha menjadi lebih maju.
3. Proses Penyesuaian Struktural di Indonesia
Alasan yang banyak dikemukakan (lihat misalnya Wardhana, 2005;
Nitisastro, 2010; Prawiro, 1998) dalam melihat latar belakang Indonesia
mengadopsi penyesuaian struktural diantaranya adalah persoalan utang serta
berakhirnya era bonansa minyak. Persoalan utang yang besar ditambah
menurunnya harga minyak dunia sejak tahun 1982 telah memaksa pemerintah
untuk melakukan serangkaian pengelolaan penyelesaian utang dan penerapan
reformasi ekonomi serta penyesuaian struktural. Pemerintah mulai melaksanakan
devaluasi, penghematan anggaran publik, deregulasi sektor perdagangan dan
sektor keuangan dan sejumlah respon kebijakan lain.
Persoalan utang luar negeri, sama halnya dengan negara berkembang lain,
bermula dari bantuan pembangunan yang kemudian berubah menjadi pemicu
suatu masalah yang besar bagi Indonesia. Persoalan utang tersebut mengemuka
ketika sejak medio tahun 1960-an Indonesia menunggak pembayaran utang yang
79
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
sudah jatuh tempo pembayaran. Selain itu juga besaran utang tidak lagi rasional
dengan
kemampuan
negara
dalam menghasilkan
devisa.
Seperti
yang
diungkapkan oleh Prawiro (1998: 80);
Pada waktu konsep krisis utang negara dunia ketiga belum
ada, Indonesia sudah menjadi korban masalah yang dua dekade
kemudian akan mengancam kestabilan ekonomi dunia. Indonesia
telah menjadi penerima utang yang tidak bisa dibayarnya. Selama
dekade lima puluhan dan enampuluhan, banyak negara yang memberi
pinjaman kepada Indonesia berlagak sebagai pahlawan penyelamat
namun tidak memperhatikan dampak dari utang tersebut terhadap
kesehatan ekonomi negara. Baru pada saat utang jatuh tempo terkuak
implikasi dari ketidakmampuan membayar.
Kalkulasi total utang Indonesia menurut Herman J. Abs (Prawiro, 1998: 85-86)
sebesar 3,133 miliar dollar AS (lihat rincian tabel 4.11). Dengan kalkulasi tersebut
Tabel IV.11 Kalkulasi Utang Pada Pemerintahan Soekarno.
Kreditor
I.
Jumlah dalam juta $ AS
Negara-negara IGGI
1.557,7
• AS
564,6
• Jepang
II.
• Jerman Barat
372,6
• Italia
149,9
• Perancis
142,0
Negara-negara Blok Timur
(termasuk RRC)
• Uni Soviet
1.172,5
864,1
• Polandia
16,7
• Cekoslovakia
74,3
62,1
• Jerman Timur
III.
Negara-negara lain
157,1
IV.
Utang-utang lain
245,7
80
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
V
Total
3.133,0
Jatuh tempo pada tahun:
Jumlah
1969-1973
948,5
1974-1978
1.082,7
1979-1983
664,7
1984-1988
164,6
1989 dan sesudahnya
272,5
Total
3.133,0
Catatan: Jumlah yang tertulis dalam sub total tidak sama dengan jumlah angka
dalam perinciannya. Menurut perkiraan Prawiro (1998: 86) tidak semua negaranegara kreditor tercatat dalam kalkulasi utang yang dituliskan dalam laporan
Herman J. Abs tersebut.
Sumber: Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, 1998: 85-86
maka sebenarnya Indonesia telah berada pada posisi yang sama dengan negaranegara dengan hutang terberat (Highly Indebted Developing Countries).
Beberapa negosiasi yang dilakukan pemerintah sejak tahun 1966 hingga
1969 belum menghasilkan suatu penyelesaian persoalan utang secara signifikan.
Negosiasi yang dilakukan baru membuat penundaan-penundaan atau penjadwalan
ulang pembayaran utang kepada para kreditor-kreditornya. Serangkaian
pertemuan delegasi Indonesia dengan para kreditornya secara satu persatu
maupun dalam suatu pertemuan besar baik dalam London Club, Paris Club,
maupun dengan negara-negara blok timur baru menghasilkan masa tenggang
tahun per tahun.
Tahun 1970 menjadi titik awal penyelesaian krisis utang Indonesia secara
signifikan, walaupun belum menghilangkan secara keseluruhan beban atas utang
yang besar. Dalam pertemuan dengan Paris Club, kerumitan yang terus dihadapi
81
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
dalam penyelesaian persoalan akhirnya mendorong kedua pihak untuk meminta
bantuan dari pihak ketiga. Dari pihak ketiga tersebut, Indonesia memperoleh
dukungan bagi pengelolaan utang dalam jangka panjang. Herman J. Abs, sebagai
bankir dan pakar keuangan dari Deutsche Bank Jerman, yang ditunjuk menjadi
konsultan persoalan utang memberikan analisis posisi utang dan sejumlah
rekomendasi yang menguntungkan posisi Indonesia. Herman J. Abs yang dibantu
kelompok kerja dari Bank Dunia dan IMF menilai bahwa dengan asumsi yang
paling optimis sekalipun tentang neraca pembayaran dan perkembangan anggaran
negara, utang tidak akan bisa dibayar dalam jangka pendek dan tanpa keringankeringan baru (Prawiro, 1998: 94-95). Sejumlah rekomendasi (Nitisastro, 2010:
426) yang kemudian diberikan olehnya, adalah;
1. Indonesia harus membayar penuh seluruh total utang dalam waktu 30
tahun dengan cicilan yang sama setiap tahun, tanpa ada masa tenggang.
2. Bunga atas utang lama dab bunga yang disepakati dalam negosiasinegosiasi sebelumnya harus dibatalkan.
3. Utang baru harus bebas bunga.
4. Tidak ada perbedaan perlakuan baik terkait dengan kreditor yang berbeda baik kreditor Paris Club maupun kreditor non Paris Club – maupun terkait
dengan tujuan pemberian utang – baik yang dijamin maupun yang tidak
dijamin, baik untuk tujuan militer maupun non militer.
Rekomendasi tersebut kemudian berubah menjadi kesepakatan dengan sejumlah
amandemen yang disetujui kedua belah pihak (Widjojo, 2010: 427), yaitu;
82
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
1. Pembayaran utang pokok dilakukan dengan mencicil selama 30 tahun dari
1970 sampai 1999.
2. Pembayaran atas utang yang sudah disepakati dilakukan selama 15 tahun
dari 1985 sampai 1999.
3. Utang yang dijadwalkan kembali tersebut bebas bunga.
4. Indonesia mempunyai pilihan untuk menunda sebagian dari utang yang
jatuh tempo pada delapan tahun pertama ke delapan tahun terakhir, yakni
1992-1999, dengan bunga sebesar empat persen per tahun.
Utang-utang pada kreditor lain juga mulai menemui jalan keluar pada
negosiasi diawal tahun 1970-an. Utang pada para kreditor negara-negara blok
timur diselesaikan dengan model kesepakatan Paris. Negara-negara Uni Soviet,
Jerman Barat, Cekoslovakia, Polandia, dan Rumania mencapai persetujuan
dengan persyaratan yang serupa dengan usulan Abs pada tahun 1971. Sedangkan
utang-utang komersil dengan pihak swasta diselesaikan melalui pendekatan
program Debt for Investment Conversion Scheme (DICS). Pendekatan program
DICS mengajukan penyelesaian dengan mekanisme dimana utang dibayar dengan
rupiah, akan tetapi hasil pembayaran tersebut digunakan sebagai investasi. Pihak
Swasta Internasional kemudian menggunakan investasi tersebut sebagai sarana
untuk mengolah melimpahnya sumber daya alam Indonesia.
Selama tahun 1970-an selain menjadi awal berhasilnya proses perundingan
pengelolaan krisis utang luar negeri, dasawarsa tersebut juga menjadi masa
berkelimpahan devisa bagi Indonesia. Periode tersebut menunjukkan bahwa
pendapatan negara terus mengalami peningkatan secara signifikan. Hal ini
83
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
membuat negara mudah untuk mengalokasikan pendapatan bagi pembangunan.
Cicilan pembayaran utang pun dilaksanakan secara penuh dan tepat waktu
dijalankan oleh pemerintah tanpa keinginan untuk menegosiasikan ulang atas
syarat dan ketentuan atas utang-utangnya (Nitisastro, 2010: 193).
Booming minyak menjadikan Indonesia bergelimangan uang minyak pada
tahun 1970-an hingga awal 1980-an. Lonjakan minyak dunia secara signifikan
selama tahun 1970-an membuat harga minyak Indonesia melejit hingga 17 kali
lipat (Prawiro, 1998: 135). Nitisastro (2010: 241) mencatat bahwa harga minyak
minas meningkat harganya dari 1,67 dollar AS per barel pada bulan Januari 1969
menjadi 13,90 dollar AS pada bulan Januari 1979, bahkan terus meningkat pada
Januari 1980 menjadi 27,50 dollar AS dan mencapai puncaknya pada Januari
1981 menjadi 35 dollar AS per barel. Pendapatan negara meningkat secara tidak
terduga dari kenaikan harga minyak tersebut. Penerimaan devisa dari hasil ekspor
migas Indonesia pun meningkat dari 1,6 miliar AS menjadi 5,2 miliar AS antara
tahun 1973 dan 1974 (Prawiro, 1998: 152) dan mencapai puncaknya pada tahun
anggaran 1981/1982 sebesar 18,8 miliar dollar AS (Nitisastro, 2010: 241).
Setidaknya ada dua implikasi dari meningkatnya pendapatan negara dari
fenomena booming minyak. Implikasi tersebut adalah, pertama; perekonomian
Indonesia mencapai pertumbuhan yang stabil selama periode tersebut. Nitisastro
(2010: 223) mencatat bahwa pertumbuhan riil produk domestik bruto mencapai 7
% per tahun sejak 1974 sampai 1978, sedangkan antara 1979 sampai 1981 ratarata pertumbuhan mencapai 6,5 % per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa
naiknya pendapatan negara memampukan pemerintah untuk menjaga tingkat
84
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
pertumbuhan yang stabil diatas 6 %. Implikasi yang kedua adalah; melimpahnya
uang minyak menjadikan kecenderungan negara untuk lebih intervensionis serta
protektif dalam membangun perekonomiannya. Seperti yang diakui oleh (Prawiro,
1998: 410), selaku mantan menteri di beberapa departemen pada masa orde baru,
sejak tahun 1973 sistem ekonomi menjadi semakin nasionalistis dan
proteksionistis.
Perubahan terjadi ketika pada tahun 1980-an berbagai peristiwa
internasional berpengaruh besar pada situasi ekonomi dan politik Indonesia.
Peristiwa yang pertama adalah penurunan pada harga minyak dunia. Sejak tahun
1983, harga minyak dunia terus mengalami penurunan hingga mencapai titik
terendah pada tahun 1986. Harga minyak yang mencapai kisaran tertinggi 35
dollar AS per barel, terus bergerak turun hingga di bawah 10 dollar AS per barel.
Hal ini tentu berpengaruh secara signifikan pada menurunnya pendapatan negara,
yang disebabkan karena tak kurang dari 70 % penghasilan pemerintah didapat dari
hasil industri minyak (Prawiro, 1998: 139). Sedangkan peristiwa kedua adalah
terdepresiasinya mata uang dollar AS terhadap yen Jepang. Implikasinya adalah
utang Indonesia ikut melonjak seiring depresiasi dollar AS tersebut. Menurut
Nitisastro (2010: 190-191) telah terjadi peningkatan tajam pada total utang beserta
cicilan pembayaran per tahun pada pertengahan tahun 1980-an, yakni antara tahun
1985-1987. Total utang luar negeri mengalami peningkatan sebesar 60 %, yakni
dari 31,2 miliar dollar AS menjadi 50,2 miliar dollar AS, sehingga terjadi
pembengkakan sebesar 19 milyar dollar AS. Pada cicilan pembayaran terjadi
lonjakan sebesar 64 %, yakni dari 4,2 miliar dollar AS menjadi 6,9 miliar dollar
85
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
AS, sehingga terjadi penambahan sebesar 2,7 miliar dollar AS. Hal ini disebabkan
karena sebagian besar utang tersebut tercatat dalam yen dan mata uang lain selain
dollar AS, sedangkan pada sisi lain alat pembayaran internasional dinyatakan
dalam dollar AS. Kedua peristiwa tersebut berjalin kelindan menjadi semacam
pukulan ganda bagi Indonesia di era 1980-an.
Sejumlah langkah yang ditempuh pemerintah dalam menghadapi
persoalan tersebut, diantaranya adalah meminjam utang kepada bank swasta
maupun juga kepada IMF dan Bank Dunia, memotong pengeluaran pemerintah
atau melakukan reformasi fiskal, serta melaksanakan program penyesuaian
struktural. Hal ini menimbulkan beberapa implikasi dari kebijakan pemerintah
tersebut. Implikasi tersebut diantaranya adalah beban utang yang harus dibayar
menjadi semakin bertambah, bahkan lebih dari 50 % anggaran belanja negara
harus dialokasikan untuk membayar utang-utang luar negeri (Wardhana, 2005:
56). Selain itu langkah Indonesia untuk melaksanakan penyesuaian struktural
membuat sistem perekonomian menjadi lebih berorientasi pasar. Hal ini sesuai
dengan penjelasan Wardhana (2005: 57) tentang paparannya mengenai
penyesuaian struktural di Indonesia, bahwa;
Structural Adjustment is a broad concept covering many
aspects of economic management. To give some focus to the
Indonesian experience, allow me to simplify a bit and suggest that ther
are three basic components to structural adjustment as the term is
generally used in Indonesia. These are getting prices right, letting
markets works, and reforming public institutions.
Sehingga dalam pelaksanaannya sejak tahun 1983, usaha tersebut berusaha
memberikan peran yang lebih besar pada sektor swasta serta mengurangi peran
pemerintah.
86
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Sejumlah kalangan melihat secara positif bahwa penyesuaian struktural
merupakan respon kebijakan pemerintah dalam menanggulangi persoalan
membengkaknya utang dan menurunnya harga minyak. Prawiro (1998: 358)
bahkan melihat bahwa :
…Untung saja perekonomian Indonesia tidak turut ambruk
bersama dengan harga minyak. Hal ini disebabkan karena
pemerintah berhasil mengalihkan mesin pertumbuhan negara, pada
saat keretanya sedang melaju dengan kecepatan penuh. Perubahan
ini mencerminkan pergeseran paradigma yang sangat jarang terjadi
dalam proses pembangunan ekonomi sebuah negara. Pemerintah
mengatur peralihan ini secara progresif, melalui serangkaian paket
reformasi, yang masing-masing membuktikan kembali kebenaran
fundamentalisme deregulasi dan kebijakan perekonomian pasar.
Penyesuaian struktural bagi pengambil kebijakan ekonomi nasional serta kalangan
yang sepakat dengan kebijakan tersebut merupakan langkah yang revolusioner
serta progresif. Sebab bagi mereka kebijakan penyesuaian struktural tidak saja
merupakan bentuk respon atas berakhirnya era oil boom namun telah membawa
perubahan paradigma dasar pembuatan kebijakan ekonomi nasional.
Bagi para pendukungnya, hadirnya kebijakan penyesuaian struktural
secara lebih jauh telah menjadi suatu kebutuhan, tidak saja atas perubahan kondisi
ekonomi tetapi juga atas perubahan kondisi politik (Prawiro, 1998: 360). Berbagai
gejolak yang terjadi pada dekade sebelumnya secara berangsur-angsur mulai
“stabil”. Terlepas dari apa usaha pemerintah untuk menciptakan kondisi tersebut,
namun memang stabilitas mulai terjaga sejak tahun 1980-an. Hal ini kemudian
menjadi dasar pengambilan kebijakan penyesuaian struktural untuk meningkatkan
performa ekonomi nasional. Hasilnya memang terlihat telah terjadi peningkatan
87
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
pertumbuhan ekonomi nasional dari 2,5% pada tahun 1985, kemudian naik
menjadi 3,5 hingga 4% pada tahun 1986 sampai 1988 (Wardhana, 2005: 66).
Hanief (2001) dalam desertasinya melihat secara berbeda tentang proses
berjalannya penyesuaian struktural di Indonesia. Penyesuaian struktural di
Indonesia menurutnya kental sekali dengan kepentingan dari negara-negara maju.
Resesi ekonomi dunia di tahun 1970-an hingga awal 1980-an menciptakan
kebutuhan untuk memperluas kegiatan bisnis di luar negeri setelah terjadi
kelesuan bisnis di tingkat domestik. Pada saat yang bersamaan berlangsung
kebijakan ekonomi yang proteksionis dan intervensionis di Indonesia dan negara
berkembang lainnya. Penyesuaian struktural yang berorientasi memberi peran
swasta yang lebih besar pada perekonomian menjadi pintu masuk bagi proses
investasi modal dari negara-negara maju. Bahkan bantuan-bantuan yang
dikucurkan dari negara maju maupun lembaga keuangan multilateral kepada
Indonesia pasca turunnya harga minyak dunia menjadi alat penekan untuk
mendesakkan diadopsinya penyesuaian struktural oleh pemerintah. Sebagai
contoh, pengucuran bantuan keuangan oleh IMF kepada Indonesia pada tahun
1983 sebesar 360 juta dollar AS dan 462 juta dollar AS pada tahun 1987 menjadi
sarana bagi IMF untuk turut memberikan bmbingan menyusun kebjakan
penyesuaian struktural Indonesia (Hanief, 2001: 85). Selain itu, demi melegitimasi
kebijakan tersebut, sejumlah ahli ekonomi neoliberal menerbitkan penelitian,
artikel, maupun tulisan-tulisan lain, untuk memberikan pembenaran akademis
bagi pentingnya mekanisme pasar dan perlunya mengurangi intervensi pemerintah
dalam perekonomian.
88
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Proses penyesuaian struktural menurut Wardhana (2005: 54) didahului
oleh pra kondisi untuk reformasi ekonomi atau biasa disebut dengan tahap
stabilisasi ekonomi. Proses stabilisasi ekonomi tersebut dipandu oleh IMF yang
kemudian sering dibedakan dengan penyesuaian struktural yang dipandu oleh
Bank Dunia, akan tetapi keduanya merupakan satu kesatuan dalam bingkai
reformasi ekonomi. Stabilisasi ekonomi diantaranya bertujuan untuk meredam
inflasi, menciptakan anggaran negara yang berimbang, mensejajarkan nilai tukar,
dan menyesuaikan suku bunga.
Penyampaian laporan dari pihak donor mengenai kondisi dan kebijakan
pemerintah dalam perekonomian mengawali pelaksanaan penyesuaian struktural
di Indonesia. Menurut bank dunia, ekonomi Indonesia pada dasawarsa 1970-an
terlalu protektif, berbiaya tinggi, dan terlalu mengandalkan pendapatan dari
minyak dan gas, sehingga pada laporan Bank Dunia 1981, Indonesia dianjurkan
untuk membenahi sektor perdagangan luar negeri, iklim investasi, mobilisasi
sumber-sumber domestik, dan mekanisme harga serta subsidi (Hanief, 2001: 88
dan 91). Adapun penjelasan kegiatan pembenahan masing-masing sektor adalah;
Pertama, menyangkut perdagangan adalah, pengurangan sistem proteksi
menyangkut ekspor-impor yang dikembangkan pemerintah baik berupa tarif
maupun non-tarif. Kedua, menyangkut investasi dan iklim bisnis, pemerintah
sejauh mungkin mengusahakan penyederhanaan proses perijinan investasi serta
tidak membeda-bedakan pemberian fasilitas pada jenis-jenis investasi tertentu.
Ketiga, mengenai mobilisasi sumber-sumber domestik, pemerintah dianjurkan
untuk mendorong kebijakan yang mampu memobilisasi potensi keuangan
89
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
domestik dalam bentuk simpanan masyarakat yang ditampung dalam bank-bank.
Selain itu memberikan kesempatan yang luas kepada pihak swasta dan BUMN
untuk memperoleh modal dari pasar uang dalam negeri maupun luar negeri.
Keempat, menyangkut subsidi dan mekanisme harga, pemerintah harus
menempatkan harga domestik pada mekanisme biaya ekonomi, dengan demikian
mekanisme yang mampu mendistorsi seperti kebijakan subsidi harga harus
dihapuskan.
Berbagai anjuran penyesuaian struktural tersebut harus dilaksanakan
secara cepat dan sesuai dengan saran yang diberikan. Sebagai contoh, pada
laporan Bank Dunia tahun 1983, terlihat institusi memaksa pemerintah Indonesia
utnuk menerima usulan serangkaian kebijakan dan harus selesai pelaksanaannya
dalam 2 hingga 3 tahun (Hanief, 2001: 96). Hal ini berarti anjuran-anjuran
tersebut telah berubah menjadi bentuk tekanan lembaga multilateral untuk
mendorong pelaksanaan penyesuaian struktural.
Implikasi yang dihasilkan dari pelaksanaan reformasi ekonomi selama satu
dasawarsa sejak 1983 hingga 1993 (Hanief, 2001: 97) adalah;
•
penghematan hingga seperempat pengeluaran anggaran negara dalam lima
tahun, yang sedianya digunakan untuk subsidi publik dan penundaan
proyek-proyek investasi.
•
Selanjutnya adalah devaluasi rupiah yang mengakbatkan kenaikan hargaharga barang konsumsi.
90
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
•
Merebaknya
industri
perbankan
swasta
yang
ternyata
hanya
menguntungkan kelompoknya sendiri pada satu sisi, sedangkan pada sisi
lain adalah makin tingginya suku bunga kredit dan usaha.
•
Kebijakan perdagangan dan industri semakin memudahkan swasta untuk
melakukan investasi.
Sebagai bagian dari penyesuaian struktural, program privatisasi juga mulai
terlaksana pada dasawarsa 1980-an hingga 1990-an. Sebagai contoh, usaha untuk
memprivatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), walaupun berjalan dengan
lamban, terlihat berjalan dengan mantap. Hal ini terlihat dari jumlah BUMN yang
terus berkurang. Data menunjukkan bahwa pada tahun 1986 tercatat sejumlah
BUMN sebanyak 215, dengan keinginan pemerintah untuk memprivatisasi hingga
52 BUMN, pada awal 1997 tercatat hanya tinggal 187 BUMN yang masih ada.
C. Stuctural Adjustment Programs dan Implikasinya Bagi Dunia Perbankan
Indonesia
Penyesuaian struktural sebagaimana telah dibahas dalam bagian
sebelumnya, berisi serangkaian program reformasi ekonomi yang telah ditetapkan
oleh lembaga keuangan multilateral untuk dilaksanakan oleh suatu negara
tertentu. Serangkaian program tersebut diantaranya adalah program deregulasi
yang dimaksudkan untuk mengurangi sejumlah restriksi yang ada pada sistem
perekonomian suatu negara sebagai hasil dari kebijakan periode sebelumnya.
Deregulasi yang berjalan di Indonesia sejak dasawarsa 80-an juga dimaksudkan
untuk merubah sistem perekonomian nasional dari berbagai aturan-aturan ketat
91
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
yang menurut lembaga multilateral tersebut merupakan restriksi yang dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Bagian berikut hendak menelusuri proses deregulasi di Indonesia,
khususnya deregulasi sektor perbankan, yang berjalan pada rentang tahun 1983
hingga tahun 1993. Pada beberapa kajian tentang deregulasi sektor perbankan
(lihat Nasution, 1991; Prawiro, 1998), dikemukakan bahwa kebijakan tersebut
dilandasi oleh persoalan terkendalanya proses pembangunan akibat tidak adanya
modal pasca era bonansa minyak pada tahun 1970-an. Sehingga kebijakan
deregulasi adalah kebijakan ekonomis-pragmatis semata. Sementara dari desertasi
yang diajukan oleh Hanief (2001), kebijakan deregulasi banyak diwarnai oleh
muatan-muatan politik dari internasional, yakni merupakan bagian dari
penyesuaian struktural yang dianjurkan oleh negara-negara maju.
Namun, diluar apakah murni kebutuhan pragmatis ataukah merupakan
bagian dari kepentingan internasional, deregulasi perbankan telah menimbulkan
sejumlah implikasi pada industri perbankan nasional. Implikasi tersebut terwujud
pada struktur dan perilaku perbankan nasional. Masyarakat dan perekonomian
secara keseluruhan pun turut merasakan dari implikasi tersebut. Sehingga pada
bagian berikut juga akan ditelusuri implikasi dari deregulasi perbankan pada
struktur industri dan perilaku perbankan nasional yang juga berimbas pada
masyarakat secara umum.
1. Program Deregulasi dan Deregulasi Perbankan
92
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Deregulasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1983 dan mulai
secara intens dilaksanakan tahun 1986 telah menjadi bagian penting dari proses
penyesuaian struktural. Berbagai paket deregulasi mulai dari perdagangan,
investasi, hingga keuangan telah diluncurkan oleh pemerintah guna memantapkan
proses reformasi ekonomi pasca booming minyak. Implikasinya pun telah terlihat
dimana kegiatan deregulasi tersebut mampu menciptakan serangkaian perubahan
dalam sistem ekonomi nasional.
Deregulasi sendiri di Indonesia telah diartikan secara berbeda-beda. Hal itu
tergantung dari maksud atau tujuan yang hendak dicapai ataupun latar belakang
pengetahuan dari seseorang yang mengartikanya. Secara filosofis Priyono
(www.kompas.com, diakses 9 Mei 2010) menjelaskan deregulasi adalah
pemindahan atau memperluas locus otoritas regulasi, yaitu dari state-regulation ke
self-regulation, atau re-regulasi menurut selera pribadi dalam artian kekuatanregulatif penentu corak kehidupan publik bukan lagi hanya daya-regulatif
pemerintah, tetapi juga daya-regulatif kebebasan selera atau pilihan individual
sebagai konsekuensi dari adanya self-determination dalam kebebasan dan
kedaulatan pilihan individual. Dalam konteks ini, untuk kebutuhan praktis, maka
digunakan definisi Waterson (Nasution, 1991: 1) sebagai usaha untuk mengurangi
aturan maupun kendala yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mempengaruhi
kegiatan dunia usaha.
Pada dasarnya tujuan deregulasi memang seperti yang dipaparkan oleh
Waterson yakni mengurangi aturan dan kendala yang mampu mempengaruh
kegiatan usaha, akan tetapi secara lebih jauh deregulasi di Indonesia bertujuan
93
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
untuk menerapkan prinsip-prinsip neo-klasik. Hal tersebut diakui oleh Prawiro
(1998: 404-405) bahwa gerakan deregulasi Indonesia merupakan kesadaran dan
tekad yang lebih besar untuk mempertahankan prinsip-prinsip perekonomian neoklasik diatas kebijakan perekonomian yang lebih intervensionis dan berorientasi
ke dalam. Perekonomian neo-klasik yang menekankan pentingnya harga dan pasar
dianggap telah terdistorsikan oleh pengaruh intervensi dari pemerintah, sehingga
gerakan deregulasi bertujuan menghilangkan distorsi akibat dari adanya
intervensi. Djiwandono (Rachbini, 1994: xix-xx) pun mencatat tiga hal substansial
tentang proses deregulasi di Indonesia yang senada dengan pemaparan Prawiro,
yaitu; pertama, deregulasi adalah pengakuan akan bekerjanya mekanisme pasar
dalam penentuan keputusan dunia usaha. Kedua, deregulasi merupakan sarana
untuk melakukan koreksi terhadap keadaan-keadaan seperti banyaknya campur
tangan dan unsur-unsur yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, keadaan tidak
efisien dan lemahnya daya saing. Ketiga, seluruh usaha aktivitas deregulasi harus
berorientasi untuk menyediakan sarana peningkatan kegiatan investasi, produksi
dan ekspor.
Proses perumusan deregulasi di Indonesia menurut Simandjuntak
(Prawiro, 1998: 418) terlihat berbeda dengan negara-negara lain, misalnya negaranegara ASEAN lain seperti Singapura. Seperti diungkapkan olehnya, bahwa:
Berbeda dengan di Singapura, “arahan-arahan baru”
dibicarakan secara intensif sebelum diumumkan, di Indonesia, proses
deregulasi dan privatisasi dilaksanakan oleh pemerintah dengan
discretionary power pada tingkat sangat tinggi. Kriteria untuk
reformasi tidak pernah dijelaskan satu per satu… Pendekatan ad hoc
terhadap deregulasi dan privatisasi ini, diakui mempunyai
keuntungan karena memungkinkan pemerintah untuk memulai sebuah
94
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
perubahan kebijakan setiap saat bila diinginkan. Akan tetapi,
mungkin kebalikannya juga benar.
Deregulasi tidak dilakukan tanpa mendorong terlebih dahulu adanya diskursus
secara luas di tingkatan masyarakat, intelektual, maupun para pelaku ekonomi itu
sendiri. Kebijakan deregulasi terkesan dirahasiakan dan dilakukan dengan tingkat
pengambilan keputusan yang sangat tertutup dan berujung dengan sosialisasi
kebijakan saja.
Tidak heran kemudian bagi sebagian kalangan (lihat misalnya Setiawan,
www.globaljust.org), melihat bahwa kebijakan tersebut hanyalah merupakan
kebijakan pesanan yang harus dilaksanakan, tanpa perencanaan yang mendalam
tentang implikasinya bagi sistem ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.
Pernyataan Djiwandono (Rachbini, 1994: xx), yang mengutip dari laporan Bank
Dunia, bahwa seluruh intervensi kebijakan harus diarahkan sesuai dengan
pengamatan dan panduan dari Bank Dunia terkesan semakin menegaskan
kebenaran anggapan tersebut.
Praktek deregulasi secara teoritis harus berdasarkan urutan dan strategi
yang tepat agar tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari. Kaum
neoliberalis sekalipun menyadari bahwa deregulasi harus dilaksanakan secara
bertahap agar kegiatan dan pelaku-pelaku sektor ekonomi nasional dapat
menyesuaikan dengan tepat dalam sistem ekonomi yang baru. Para teoritikus
menyarankan deregulasi dimulai dari sektor riil kemudian diikuti dengan sektor
keuangan (Prawiro, 1998: 408). Hal ini untuk menciptakan kondisi dimana sektor
riil lebih dulu dapat tumbuh dan menyesuaikan diri. Urutan tersebut juga sebagai
95
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
antisipasi jika timbul persoalan dalam perekonomian maka tidak terjadi capital
flight yang dapat membuat pukulan ganda bagi perekonomian nasional.
Jika mengikuti teori yang disarankan maka sebenarnya praktek deregulasi
di Indonesia berjalan secara berlawanan. Deregulasi pertama pada tahun 1983 di
sektor perbankan untuk membebaskan pagu kredit telah menempatkan proses
deregulasi pada arah yang berbeda. Proses deregulasi sektor keuangan mendahului
deregulasi pada sektor riil. Deregulasi sektor riil yakni pada perdagangan dan
industri mulai gencar dilaksanakan pada tahun 1986 ketika harga minyak mulai
terus turun.
Deregulasi Perbankan sebagai bagian dari deregulasi sektor keuangan di
Indonesia, dalam kajian literatur sering juga disebut financial reforms atau
financial liberalization. Financial Repression disebut-sebut sebagai alasan dari
usaha untuk menjalankan kegiatan reformasi finansial. Dalam memahami represi
finansial, Mudrajat Kuntjoro (Hardianto, 1998: 18) menyatakan bahwa dalam
sistem finansial terjadi suatu kondisi dimana:
…pasar finansialnya masih terbelakang dan harga-harga
kekayaan finansialnya mengalami distorsi. Yang terakhir ini, umunya
ditandai dengan penetapan pagu suku bunga oleh pemerintah
dibawah tingkat keseimbangan yang berlaku di pasar keuangan.
Dalam kondisi tertindas – tertekan tersebut, dua karakter mencuat ke
permukaan yaitu pertama, bunga deposito riil seringkali negatif dan
sulit diprediksi bila inflasi tinggi dan tidak stabil, dan kedua adalah
kurs valuta asing menjadi penuh ketidakpastian. Akibatnya, tabungan
terhambat meskipun peluang investasi cukup bagus, pendangkalan
keuangan (fianacial shallowing) biasanya terjadi, dan pada giliranya
pertumbuhan ekonomi juga akan terhambat.
Reformasi finansial kemudian diasumsikan sebagai sarana untuk membebaskan
sistem keuangan, khususnya sektor perbankan, dari pengaruh represi tersebut.
96
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Situasi yang berkembang pada masa sejak kemerdekaan hingga pada tahun
1980-an awal, bagi sebagian kalangan (lihat misalnya, Permono dan Kuncoro,
1990, Hardianto, 1988) adalah masa represi finansial bagi Indonesia. Campur
tangan pemerintah pada masa tersebut memang terjadi secara luas pada sektor
keuangan nasional atau dalam hal ini pada sistem perbankan. Nasionalisasi bankbank asing seperti de Javasche Bank, Nationale Handelsbank, serta Escomtobank,
hingga sentralisasi sistem perbankan dengan nama “Bank Negara Indonesia”
untuk menggantikan sejumlah bank dilihat sebagai bentuk represi keuangan
(Permono dan Kuncoro, 1990: 26). Selain itu, periode sebelum deregulasi
menurut Sritua Arief (Hardianto, 1998: 17-18) juga menunjukkan suatu kondisi
sistem perbankan dimana, pertama, ada restriksi mengenai tingkat bunga nominal
yang dibayarkan kepada deposito, yang dimasukkan ke dalam suatu sistem
perbankan sehingga mengakibatkan tingkat suku bunga kredit menjadi terlalu
rendah. Bahkan tingkat bunga kredit lebih rendah dari tingkat inflasi sehingga
secara keseluruhan tingkat bunga riil menjadi negatif. Secara lebih jelas lihat tabel
4.12. Sedangkan situasi kedua, adanya distribusi kredit perbankan yang sangat
tidak sempurna, dimana ada sektor ekonomi yang memperoleh kredit dengan
bunga rendah sedangkan di sektor lain dikenakan suku bunga kredit tinggi karena
bukan prioritas.
97
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Tabel IV.12 Rata-Rata Bunga Nominal dan Riil Deposito Berjangka pada BankBank Pemerintah.
Sumber: Represi, Liberalisasi dan Reformasi Moneter, 1998: 18
Dalam banyak literatur (lihat misalnya Brata, 2007; Prawiro, 1998;
Soesastro et al, 2005 dll.), deregulasi tahun 1983 dan tahun 1988 merupakan
kebijakan yang paling mempengaruhi dan memberikan implikasi yang luas pada
industri perbankan nasional. Kebijakan tersebut merupakan usaha merombak
aturan-aturan kebijakan sebelumnya. Menurut Prawiro (1998: 316) ada 4 hal
esensial yang tercakup dalam kebijakan deregulasi pertama yaitu Paket Deregulasi
2 Juni 1983 atau biasa disebut dengan Pakjun 83, yaitu;
•
Batas atas pemberian kredit dihapus untuk semua bank.
•
Semua bank diberi otoritas untuk menentukan sendiri suku bunga
simpanan dan pinjaman.
98
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
•
Pajak bunga, dividen, royalti untuk deposit valuta asing di semua bank
pemerintah dihapus.
•
Sistem pembedaan suku bunga yang mengatur suku bunga tergantung dari
sektor yang diberi pinjaman dihapus.
Sehingga jika disimpulkan pada dasarnya deregulasi tersebut berupaya
menghapus pembatasan pada tingkat suku bunga maupun alokasi kredit pada bank
pemerintah. Kebijakan tersebut muncul salah satunya disebabkan karena sejak
April 1974, Bank Indonesia menentukan pagu atau batas pertambahan kredit
dalam negeri sistem perbankan dan pinjaman luar negeri perusahaan dan
perseorangan di dalam negeri (Nasution, 2005: 280). Selain itu, sejak April 1974,
kredit dikucurkan secara selektif dengan suku bunga yang ditentukan oleh Bank
Indonesia selaku bank sentral. Hal ini terkait dengan program pembangunan
nasional sehingga pengucuran kredit hanya diperuntukkan bagi proyek-proyek
investasi menjadi prioritas bagi pemerintah.
Sedangkan deregulasi perbankan paket 27 Oktober 1988 (Pakto 88)
merupakan penyempurnaan dari Pakjun 83. Secara fundamental kebijakan
bertujuan untuk menghilangkan hambatan masuk ke dalam industri perbankan
nasional. Prawiro (1998: 342-343) secara pokok melihat tiga poin penting dari
kebijakan tersebut, yaitu:
1. Bank-bank Asing
Bank asing diperbolehkan untuk membuka kantor cabang di luar
Jakarta dengan persyaratan 50% portofolio pinjaman mereka
disediakan untuk kepentingan ekspor. Selain itu, bank-bank asing
99
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
dijinkan untuk mendirkan usaha patungan dengan bank-bank
Indonesia.
2. Perbankan Domestik
a. Persyaratan untuk mendirikan bank atau membuka cabang
diperlunak. Persyaratan cadangan bagi aktivitas bank diturunkan dari
15% menjadi 2%.
b. BUMN dibebaskan dari kewajiban untuk mendepositokan semua
dana pada satu bank pemerintah. BUMN hanya diwajibkan untuk
menaruh 50% dana mereka pada satu bank pemerintah dan maksimal
20% dana dapat didepositokan pada bank komersial.
c. Bank Indonesia memperpanjang jangka waktu swap valuta 6 bulan
menjadi 3 tahun.
3. Pajak atas penghasilan bunga
Pajak atas bunga tabungan dan deposito berjangka ditetapkan sebesar
15%.
Dalam satu dasawarsa perjalanan deregulasi perbankan, sebenarnya ada
beberapa kebijakan deregulasi lain di luar Pakjun 83 dan Pakto 88. Kebijakan
tersebut diantaranya :
•
Paket Kebijaksanaan 25 Maret 1989
¾ Memuat peleburan usaha (merger) & penggabungan usaha bank umum
swasta nasional, bank pembangunan, BPR, penyempurnaan ketentuan
pendirian & usaha BPR, pemilikan modal campuran, penggunaan
tenaga kerja professional WNA.
100
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
•
Paket Kebijaksanaan 19 Januari 1990
¾ Peningkatan efisiensi dalam alokasi dana masyarakat kearah kegiatan
produktif & peningkatan pengerahan dana masyarakat.
¾ Mengurangi ketergantungan kepada KLBI . Paket ini meliputi kredit
kepada KOPERASI, kredit pengadaan pangan & gula, kredit investasi,
kredit umum, KUK.
¾ Kewajiban bagi bank untuk menyalurkan 25% dananya ke bidang
pengembangan usaha kecil & perorangan.
•
Paket Kebijaksanaan 20 Pebruari 1991
¾ Kelanjutan Pakto 27 1988
¾ Berkaitan dengan ketentuan pengaturan perbankan dengan prinsip
prudential.
¾ Pengawasan & pembinaan kredit dilakukan dalam rangka mewujudkan
sistem perbankan yang sehat & efisien.
¾ Pemisahan antara pemilikan bank & manajemen bank secara
professional.
•
Paket Kebijaksanaan 29 Mei 1993.
¾ Memperlancar kredit perbankan bagi dunia usaha.
¾ Mendorong perluasan kredit dengan tetap berpedoman pada azas-azas
perkreditan yang sehat, mendorong perbankan untuk menangani
masalah kredit macet, mengendalikan pertumbuhan jumlah uang
beredar & kredit perbankan dalam batas-batas aman bagi stabilitas
ekonomi.
101
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
¾ Pencanangan akan konsep kehati-hatian dalam pengelolaan bank yang
lebih menekankan kepada kualitas dalam pemberian kredit melalui
penilaian kembali terhadap aktiva produktif bank-bank.
Akan tetapi kebijakan-kebijakan tersebut hanya merupakan penyempurnaan dari
dari pakjun 83 serta pakto 88 yang menekankan tentang aspek kehati-hatian.
dorongan perluasan kredit, serta aturan teknis lain.
2. Struktur Perbankan Pasca Deregulasi
Struktur industri perbankan nasional secara umum merupakan gabungan
dari berbagai tipe dan jenis bank. Seperti yang dicatat oleh Nasution (1991: 36);
Industri perbankan Indonesia terdiri dari satu bank sentral, 7 bank milik Negara (5
bank komersial dan masing-masing satu bank tabungan dan satu bank
pembangunan), 27 Bank Pembangunan daerah, 10 kantor cabang asing, dan 68
bank swasta nasional. Struktur perbankan tersebut terus berkembang hingga
pertengahan tahun 1980-an.
Bagi sebagian kalangan, ada suatu persoalan yang muncul dalam struktur
industri perbankan nasional tersebut. Bank milik negara masih terlalu
mendominasi aktivitas serta aset kekayaan perbankan nasional. Sebagaimana data
yang disajikan oleh Kompas (29 September 1984), nilai kekayaan 7 bank negara
mencapai lebih dari 3/4 dari total nilai kekayaan seluruh bank yang ada. Secara
detil disebutkan bahwa nilai kekayaan bank-bank tersebut sebesar 23.170.291 juta
dari total nilai kekayaan seluruh bank yakni sejumlah 29.659.130 juta.
Bandingkan dengan jumlah kekayaan seluruh bank swasta nasional yang
102
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
berjumlah 3.773.754 juta serta bank swasta asing yang berjumlah 1.924.062 juta,
ataupun dengan nilai kekayaan bank pembangunan daerah yang berjumlah
791.023 juta. Kegiatan seperti penyaluran kredit pun masih didominasi oleh bank
negara. Buletin berita perbanas (Kompas, 29 September 1984) mencatat, total
pinjaman yang dikucurkan oleh bank-bank tersebut per 30 juni 1984 mencapai
15.327.201 juta, bandingkan dengan nilai pinjaman bank-bank swasta nasional,
asing hingga pembangunan daerah yang masing-masing hanya sejumlah
2.504.143 juta, 1.114.169 juta, serta 450.819 juta. Dominasi bank-bank tertentu,
terutama bank milik negara, dalam suatu sistem ekonomi yang diorientasikan
menuju pada semakin bekerjanya pasar tentu menjadi persoalan. Maka dibutuhkan
suatu kebijakan yang berfungsi untuk merubah kondisi perbankan tersebut.
Paket kebijakan deregulasi perbankan sejak tahun 80-an bagi sebagian
kalangan merupakan usaha untuk merombak kondisi perbankan tersebut.
Kebijakan-kebijakan tersebut pada perjalanannya memang mampu memberikan
sekian implikasi yang fundamental. Salah satu implikasi fundamental tersebut
adalah adanya perubahan struktur industri perbankan nasional. Perubahan struktur
tersebut meliputi struktur kelembagaan, struktur persaingan, hingga struktur dana
perbankan.
Goeltom (2005: 320) melihat reformasi perbankan tahun 1988 telah
mendorong sejumlah perubahan radikal dalam struktur perbankan nasional.
Dalam pemaparannya disebutkan bahwa;
Dengan Pakto 88 tersebut hanya ada dua tipe bank, yaitu bank
komersial dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Jenis-jenis lembaga
keuangan lain seperti bank pembangunan dan bank tabungan secara
otomatis berubah menjadi bank komersial, sedangkan lembaga keuangan
103
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
bukan bank (LKBB) diberikan pilihan untuk berubah menjadi bank
komersial atau menjadi perusahaan sekuritas, dengan diberi tenggang
waktu satu tahun (mulai Desember 1991) untuk melakukan perubahan.
Akhirnya antara bulan Januari sampai Maret 1993, seluruh LKBB yang
berjumlah 12 perusahaan tersebut merubah bentuknya menjadi bank
campuran (joint venture comercial banks).
Perubahan tersebut merupakan usaha untuk menyederhanakan struktur perbankan
nasional.
Penyederhanaan
tersebut
dimaksudkan
sebagai
sarana
untuk
memudahkan koordinasi dan pengawasan oleh bank sentral.
Pakto 27, selain menyederhanakan tipe-tipe bank yang ada, telah menjadi
awal dimana perbankan nasional secara kuantitatif memang tumbuh secara pesat.
Pakto 27 telah menyebabkan ijin menjadi teramat mudah bagi seseorang maupun
kelompok untuk mendirikan suatu bank. Sehingga setiap bulan hampir dipastikan
selalu ada peresmian bank baru dengan ekspektasi untuk satu atau dua tahun
kedepan setelah diresmikan (Kompas, 13 Februari 1996). Pertumbuhan jumlah
bank serta kantor-kantor cabang meningkat secara signifikan.
Sebagaimana diungkapkan dalam data yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia (Hardianto, 1998: 20) secara umum jumlah bank dan kantor bank
meningkat secara signifikan. Bank umum tumbuh dari 111 bank pada tahun 1988
menjadi 239 bank pada akhir tahun 1996. Pada tahun-tahun yang sama, terjadi
peningkatan jumlah kantor bank umum dari 1863 menjadi 7314 kantor bank.
Sedangkan pada kelompok bank BPR juga terjadi peningkatan jumlah bank yang
signifikan pula. BPR, termasuk di dalamnya Lembaga Keuangan Lain, terjadi
peningkatan jumlah dari 8.041 pada tahun 1988 menjadi 9.314 pada tahun 1996.
Secara lebih detil lihat tabel 4.13.
104
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Kesempatan yang luas bagi investasi dalam industri perbankan pun tidak
hanya dinikmati oleh para pengusaha domestik saja, para investor luar negeri pun
turut menikmati kesempatan yang sama. Setelah terbitnya Pakto 27, undangundang perbankan No 7/1992, seakan-akan menjadi penegas proses liberalisasi
perbankan. Undang-undang tersebut menawarkan kesempatan bagi pihak asing
untuk menguasai hingga 99 % saham bank di Indonesia. Kedua kebijakan tersebut
menjadi legitimasi bagi bank-bank asing untuk membuka kantor cabang serta
mendirikan bank campuran dengan bank-bank domestik.
Implikasi dari kebijakan-kebijakan tersebut adalah terjadi fenomena
berkembangnya jumlah kantor bank-bank komersial asing. Data Bank Indonesia
(Hardianto, 1998: 20) menunjukkan bahwa, walaupun jumlah bank asing masih
tetap seperti pada periode sebelum deregulasi yakni sejumlah 10 bank, jumlah
kantor cabang meningkat hingga 2 kali lipat. Jumlah kantor cabang bank asing
meningkat dari 21 pada Oktober 1988 menjadi 39 pada Desember 1996, dan
menjadi 41 pada Juli 1997. Peningkatan pada bank-bank campuran juga lebih luar
biasa lagi. Bank campuran pada Oktober 1988 hanya berjumlah 1 buah dengan 1
kantor cabang. Pada Desember 1996 tercatat terjadi peningkatan hingga menjadi
31 dengan 55 kantor cabang dan terus berkembang pada Juli 1997 menjadi 34
bank dengan 58 kantor bank.
105
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Tabel IV.13 Perkembangan Jumlah Bank Sebelum dan Sesudah Pakto 88.
Sumber: Represi, Liberalisasi dan Reformasi Moneter, 1998: 20
Peningkatan pesat jumlah bank pasca keluarnya serangkaian paket
deregulasi tersebut telah mengubah struktur persaingan pada industri perbankan
nasional. Serangkaian paket deregulasi secara perlahan-lahan telah merubah
kondisi hubungan dan posisi bank-bank yang ada. Hak-hak istimewa yang
dimiliki oleh bank-bank negara perlahan-lahn mulai dihilangkan. Hal ini
kemudian menempatkan bank-bank negara dan bank-bank swasta pada posisi
yang mulai sama. Hal ini kemudian mempengaruhi persaingan dalam
memperebutkan pangsa pasar dalam industri perbankan. Bank-bank berlomba
106
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
secara ketat dalam memperebutkan pasar kredit, diluar kredit program dan kredit
yang dijamin pemerintah, serta penghimpunan dana.
Persaingan yang ketat dalam memperebutkan pangsa pasar industri
perbankan Indonesia tesebut menghasilkan beberapa implikasi penting pada dunia
perbankan. Implikasi pertama adalah pada hadirnya sejumlah inovasi produkproduk perbankan. Jika sebelumnya kita hanya mengenal Tabanas, Taska dan
Tapelpram yang dikoordinir oleh bank negara, bank swasta nasional kemudian
mulai menawarkan beragam jenis tabungan dengan berbagai iming-iming, seperti
Tahapan, Tabungan Kesra, Tabungan Bunga Harian, Tabungan Primadana, dan
lain sebagainya (Permono dan Kuncoro, 1990: 30). Implikasi berikutnya adalah
pergeseran pangsa pasar penghimpunan dana. Dominasi bank pemerintah dalam
penghimpunan dana secara perlahan-lahan mulai diambil alih oleh bank-bank
swasta. Dari data yang disajikan oleh Bank Indonesia, sebagaimana dikutip oleh
Supraptono (1995: 55), hingga tahun 1990 bank pemerintah menguasai pasar
penghimpunan dana, namun tahun-tahun berikutnya bank swasta nasional mulai
menggeser bank-bank pemerintah. Tercatat secara berturut-turut dari tahun 1986
hingga 1990 perbandingan pangsa pasar penghimpunan dana adalah sebagai
berikut; tahun 1986 bank pemerintah 64,62% dan bank swasta 23,12%, tahun
1987 bank pemerintah 61,74% dan bank swasta 27,41%, tahun 1988 bank
pemerintah 60,06% dan bank swasta 29,77%, tahun 1989 bank pemerintah
54,68% dan bank swasta 36,15%, tahun 1990 bank pemerintah 48,87% dan bank
swasta 40,83%. Sedangkan pergeseran pangsa pasar antara bank pemerintah dan
bank swasta sejak 1991 hingga 1995 tercatat sebagai berikut; tahun 1991 bank
107
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
pemerintah 43,96% dan bank swasta 45,36%, tahun 1992 bank pemerintah
45,36% dan bank swasta 45,02%, tahun 1993 bank pemerintah 43,5% dan bank
swasta 47,5%, tahun 1994 bank pemerintah 38,0% dan bank swasta 52,4%, tahun
1995 bank pemerintah 36,9% dan bank swasta 53,8%. Penurunan tahun 1992 pada
bank swasta lebih disebabkan karena ambruknya beberapa bank swasta yang
membuat terjadinya penurunan kepercayaan masyarakat.
Dalam kegiatan penghimpunan dana, bank-bank diluar bank pemerintah
dan bank swasta nasional relatif tidak banyak lonjakan yang berarti. Bank
pembangunan daerah relatif berada pada posisi yang tetap. Dimana bank
pembangunan daerah rata-rata dalam penghimpunan dana berada pada kisaran
3,4% dari seluruh kegiatan penghimpunan dana nasional. Begitu pula dengan
bank asing campuran, pangsa pasarnya relatif tetap. Pangsa pasar bank asing
campuran berada pada kisaran 5,7%.
108
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Tabel IV.14 Posisi Penghimpunan Dana dalam Rp & Valas Menurut kelompok
Bank (miliar Rp)
Sumber: Pergeseran Pangsa Pasar Penghimpunan Dana dan Kredit antara Bank
Pemerintah dan Bank Swasta di Indonesia 1988 – 1995, 1995: 55.
Pangsa pasar pada kredit perbankan sendiri secara umum masih
didominasi oleh bank pemerintah. Peran dari bank pemerintah masih terlalu kuat
untuk ditandingi oleh bank-bank umum swasta nasional (BUSN) maupun asing.
Namun kinerja bank swasta terus menunjukkan peningkatan dalam merebut
pangsa kredit. Hasilnya adalah pada tahun 1994 hingga 1995 bank swasta
nasional, disertai dengan terus meningkatnya performa bank swasta asing, mulai
mampu menggeser dominasi bank pemerintah. Secara berturut-turut tahun 1986
hingga 1995, perbandingan kredit antara bank pemerintah dengan bank swasta
nasional dengan dan bank asing adalah sebagai berikut; tahun 1986, bank
109
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
pemerintah 70,42%, BUSN 21,80% dan bank asing 4,77%. Tahun 1987, bank
pemerintah 68,80%, BUSN 23,69% dan bank asing 4,46%. Tahun 1988, bank
pemerintah 67,44%, BUSN 25,24% dan bank asing 4,51%. Tahun 1989, bank
pemerintah 62,91% , BUSN 29,55% dan bank asing 4,95%. Tahun 1990, bank
pemerintah 55,19%, BUSN 36,06% dan bank asing 6,37%. Tahun 1991, bank
pemerintah 53,06%, BUSN 37,08% dan bank asing 7,54%. Tahun 1992, bank
pemerintah 55,51%, BUSN 34,44% dan bank asing 7,59%. Tahun 1993, bank
pemerintah 48,80%, BUSN 41,00% dan bank asing 7,88%. Tahun 1994, bank
pemerintah 42,80%, BUSN 47,30% dan bank asing 7,70%%. Tahun 1995, bank
pemerintah 41,9%, BUSN 47,8% dan bank asing 8,1%.
Pada bank-bank lain seperti bank pembangunan daerah sejak tahun 1986
hingga tahun 1995 relatif tidak banyak terjadi perubahan yang berarti. Kegiatan
pengucuran kredit rata-rata tidak mengalami peningkatan. Bahkan cenderung
dalam tren yang terus menurun.
110
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Tabel IV.15 Posisi Kredit Perbankan dalam Rupiah dan Valas Menurut kelompok
Bank (miliar Rp)
Sumber: Pergeseran Pangsa Pasar Penghimpunan Dana dan Kredit antara Bank
Pemerintah dan Bank Swasta di Indonesia 1988 – 1995, 1995: 56.
Perubahan fundamental lain pasca periode deregulasi adalah perubahan
pada struktur dana perbankan. Nasution (1991: 157) menjelaskan bahwa, sejak
deregulasi 1 Juni 1983, struktur dana perbankan semakin tergantung pada dana
jangka pendek. Secara umum perbankan nasional mulai mengandalkan sumber
dana yang pengendapannya lebih tidak pasti. Hal ini disebabkan karena bankbank yang ada tergantung pada deposito yang hanya berjangka waktu kurang dari
satu tahun. Selain itu ketidakpastian sumber dana juga disebabkan karena adanya
kegiatan dari masyarakat yang cenderung memindah-mindah dananya kedalam
mata uang yang berbeda-beda. Hal ini dipicu karena adanya kebijakan sistem kurs
111
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
mengambang, sehingga masyarakat cenderung untuk memanfaatkan perubahan
dan selisih dari nilai kurs.
Tabel IV.16 Perkembangan Aktiva dan Pasiva Perbankan Indonesia Pasca
Deregulasi 1988 (dalam Miliar Rupiah)
Sumber: Represi, Liberalisasi dan Reformasi Moneter, 1998: 22.
3. Perilaku Perbankan Pasca Deregulasi
Periode deregulasi perbankan tahun 1983-1993 telah menghasilkan
kecenderungan perilaku perbankan yang cenderung mengabaikan prinsip-prinsip
kehatian-hatian (prudential banking principle). Manajemen bank tidak berusaha
memenuhi komitmen untuk berhati-hati dalam pengelolaan bisnis perbankan
nasional. Berbagai kebijakan seperti paket Maret 1989, paket Februari 1991,
ataupun paket Mei 1993 yang berisi tentang ketentuan pemenuhan CAR (Capital
112
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Adequacy Ratio / rasio modal sendiri dengan aset) serta 3L (Legal Lending Limit
/ Batas Maksimum Pemberian Kredit), LDR (Loan to Deposit Ratio /
perbandingan antara dana yang berhasil dikumpulkan perbankan dari masyarakat
dengan kredit yang disalurkan) hingga pembentukan cadangan untuk menutupi
resiko, seringkali tidak dipenuhi oleh para pengelola industri perbankan.
Kecenderungan untuk mengabaikan prinsip kehati-hatian perbankan salah
satunya tercermin dalam kegiatan penyaluran kredit. Ketentuan-ketentuan seperti
besaran kredit yang bisa diberikan perorangan atau kelompok, serta kelayakan
penerimaan kredit seringkali diabaikan dalam analisis terhadap calon penerima
kredit. Pada akhirnya hal tersebut dapat memicu penyaluran kredit secara besarbesaran kepada para pengusaha. Pada satu sisi memang kegiatan tersebut dapat
dipandang dapat menimbulkan hasil yang positif dimana usaha-usaha baru
mendapat kemudahan untuk mendapatkan modal. Namun, pada sisi lain, kegiatan
ekspansi kredit tersebut melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (Legal
Lending Limit) yang dapat mengakibatkan timbulnya persoalan lain.
Pada perkembanganya memang terjadi penyaluran kredit secara besarbesaran. Hal ini terlihat dari kucuran kredit yang mencapai 235 triliun rupiah pada
tahun 1995, bandingkan dengan tahun 1985 dimana perbankan hanya
mengucurkan kredit sebesar 21 triliun rupiah (Goeltom, 2005: 324). Goeltom
(2005: 326) bahkan juga mencatat bahwa ekspansi kredit yang berlebihan pada
tahun 1991 dan 1992 telah mengakibatkan terjadinya overheating dan membuat
pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tight monetary policy.
113
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Ada beberapa implikasi yang mungkin terjadi dari ekspansi kredit secara
besar-besaran yang dilakukan oleh perbankan nasional. Implikasi pertama adalah
kemungkinan terjadinya kredit bermasalah bahkan timbulnya kredit macet.
Ekspansi kredit yang dilakukan bahkan dengan melanggar ketentuan kehati-hatian
sangat berpotensi menimbulkan kredit bermasalah bahkan macet. Berbagai
kalangan mulai dari pengamat ekonomi serta otoritas moneter seperti BI
sebenarnya juga telah menyadari hal tersebut sebelumnya. Kwik Kian Gie
(Kompas, 4 Juni 1993) misalnya, telah mengingatkan tentang bahaya ekspansi
kredit dalam jumlah besar oleh perbankan yang membuat peluang terjadinya
kredit macet. Namun kegiatan tersebut terus saja berlangsung.
Apa yang dikhawatirkan oleh banyak pihak ada akhirnya memang terjadi.
Bahkan kredit bermasalah berada pada tren yang terus meningkat dari tahun ke
tahun. Kompas (13 Oktober 1998) mencatat pada tahun 1993 jumlah kredit
bermasalah adalah sebesar 25,2 triliun rupiah. Jumlah tersebut terus meningkat
secara berturut, yaitu; 26,2 triliun (1994), 27,9 triliun (1995), 30,6 triliun (1996),
dan 34,8 triliun (1997). Data yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (Kompas, 2
Juli 1996) menyebutkan posisi kredit macet pada April 1996 berada pada jumlah
yang besar, dengan rincian sebagai berikut:
Bank Pembangunan Daerah
:
549 ( 6,08%)
Bank Asing dan Campuran
:
539 ( 5,97%)
Bank Persero
: 6. 382 (70,7% )
Bank Umum Swasta Nasional
: 1. 558 (17,25%)
114
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Data tersebut menunjukkan bahwa posisi kredit macet bank Persero paling tinggi
yakni sebesar 6 triliun 382 miliar atau 70,7 % dari keseluruhan total kredit macet.
BUSN menempati posisi kredit macet terbesar kedua yakni 17,25 % dengan total
nilai sebesar 1 triliun 558 miliar rupiah. Selanjutnya berturut-turut BPD serta
Bank Asing dan Campuran menempati posisi bank dengan kredit macet sebesar
549 miliar dan 539 miliar atau 6,08 % dan 5,97 % dari persentase secara nasional.
Tabel IV.17 Kredit Macet Perbankan Tahun 1994-1996 (dalam Miliar Rupiah)
Sumber: Represi, Liberalisasi dan Reformasi Moneter, 1998: 23.
Persoalan kredit bermasalah serta kredit macet tersebut pada dasarnya juga
sudah ditengarai sejak tahun 1992. Tingginya suku bunga kredit pada tahun
tersebut merupakan indikasi adanya persoalan dalam kegiatan kredit serta
pengembaliannya. Sjahrir (Kompas, 27 Oktober 1992) menyatakan bahwa jika
pada tiga bank pemerintah terjerat kredit macet hingga 3 triliun, maka jumlahnya
akan menjadi sangat besar jika digabung dengan dengan keseluruhan kredit macet
yang ada pada bank-bank swasta. Perkiraan total kredit macet tersebut tentu tidak
sebanding dengan laba yang diterima oleh perbankan nasional yang hanya sebesar
1, 034 triliun rupiah. Akhirnya persoalan kredit bermasalah hingga kredit macet
115
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
memaksa bank untuk enggan mengucurkan kredit dikarenakan terbatasnya
pasokan dana. Maka para pengelola perbankan menyikapinya dengan cara
menahan suku bunga kredit pada posisi yang tinggi. Suku bunga kredit kala itu
cukup tinggi hingga mencapai 22 - 23 %, bahkan malah ada yang mencapai 27 –
28 % (Kompas, 14 Agustus 1992).
Berbagai upaya kemudian dilakukan oleh BI untuk menurunkan suku
bunga kredit tersebut. Salah satu upaya adalah dengan menurunkan suku bunga
Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Suku bunga SBI diturunkan sebesar 1 %
sehingga suku bunga SBI menjadi 14 -16, 5 % (Kompas 14 Agustus 1992) dengan
harapan bank-bank mau menarik kembali dana mereka yang “diparkir” di SBI.
Namun, kenyataannya justru tidak sesuai denga apa yang diharapkan. Lonjakan
transaksi SBI malah naik hingga mencapai 500 miliar rupiah (Kompas 14 Agustus
1992). Usaha mempersuasi pihak perbankan, misalnya dengan mengadakan dialog
dengan para pengelola bank, juga tetap tidak membuat suku bunga kredit turun
seperti pada awal tahun 1990.
Selain mengakibatkan suku bunga yang tinggi, lebih lanjut kredit
bermasalah dan macet dapat mengakibatkan rusaknya permodalan pada perbankan
nasional. Implikasinya kemudian adalah ambruknya industri perbankan.
Kejatuhan bank Summa ataupun Sampoerna menjadi contoh bahwa begitu
merusaknya implikasi yang diakibatkan oleh kredit macet tersebut. Pada kasus
bank Summa pemegang saham Astra terpaksa harus memompakan jutaan dollar
untuk memenuhi kecukupan modal, walaupun pada akhirnya bank tersebut tetap
gagal untuk diselamatkan.
116
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Salah satu dugaan yang digunakan dalam melihat ekspansi kredit secara
besar-besaran adalah adanya pengarus utamaan kepentingan kelompok. Sjahrir
(Kompas, 21 November 1992) menengarai bahwa sejumlah kelompok usaha besar
berniat mendirikan bank dan menyalurkan kreditnya sesuai dengan kebutuhan
usaha kelompok itu sendiri. Penyaluran kredit bagi individu dan kelompok
tersebut bahkan menyalahi aturan legal lending limit yang sudah ditetapkan.
Sesuai dengan keterangan Kompas (14 September 1993), bahwa;
Dalam paket Februri 1991, Bank Indonesia mengatakan
bahwa pemberian kredit kepada individu tidak boleh melebihi 20
persen dari modal sendiri suatu bank....Sementara itu, maksimum
pemberian kredit kepada group atau sekelompok usaha, tidak boleh
melebihi 50 persen dari modal sendiri bank.
Namun demikian, dalam Pakmei 1993 lalu, ada perbaikan soal
persentase pemberian kredit kepada grup, yakni maksimum
pemberian kredit kepada grup atau sekelompok usaha, tidak boleh
melebihi 20 persen dari modal sendiri bank. Dengan kata lain BMPK
untuk grup sama dengan BMPK pada individu.
Kegiatan yang sering disebut dengan konglomerasi tersebut jelas merugikan
banyak pihak. Adanya prioritas penyaluran kredit kepada orang atau kelompok
tertentu jelas membuat pihak lain yang hendak mengakses modal tentu terhalang
oleh perilaku bank tersebut. Selanjutnya jika terjadi kredit bermasalah atau
bahkan kredit macet maka pihak ketiga yang menabung pada bank tersebut
dananya menjadi tertahan. Lebih jauh yang dirugikan adalah seluruh masyarakat
karena sektor keuangan dan pada konteks ini saling terkait dengan sektor-sektor
ekonomi lain.
Tabel IV.18 Kredit Bank-bank Besar kepada Kelompok Perusahaan
Nama Bank
Kredit Kelompok
1995
Kredit kelompok / Modal Bank
1994
117
1995
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
(Rp juta)
(Persen)
Bank Jaya
213. 531
88, 87
195, 71
Bank Universal
366. 076
360, 75
174, 20
Bank Harapan Santosa
223. 236
552, 80
121. 98
Bank Pacific
126. 995
64, 14
81, 52
BII
601. 849
112, 68
62, 78
Bank Dharmala
105. 569
152, 49
56, 39
Bank Utama
92. 885
49, 51
51, 67
Bank Uppindo
55. 322
38, 76
45, 36
Sejahtera Bank Umum
43. 701
16, 57
43, 50
Tamara Bank
53. 146
40, 37
38, 34
Bank Umum Nasional
162. 869
36, 31
37, 25
BDNI
307. 958
18, 54
28, 63
BCA
390. 025
23, 92
28, 28
Citibank
91. 451
40, 29
28, 17
Hongkong Bank
15. 869
17, 71
21, 64
Bank Exim
399. 895
14, 18
20, 66
Bank Rakyat Indonesia
455. 092
0, 69
19, 92
Bank PDFCI
37. 831
34, 77
17, 98
Bank Jabar
10. 473
9, 38
13, 51
Bank Modern
21. 756
12, 35
12, 53
Bank Papan
15. 646
2, 32
10, 74
6. 081
8, 87
10, 30
15. 452
4, 21
10, 20
207. 182
20, 24
8, 68
Bank Tiara
19. 660
15, 60
8, 64
Bank Niaga
33. 949
7, 64
8, 47
Bank Buana Indonesia
14. 329
11, 29
8, 05
Panin Bank
32. 018
14, 04
7, 96
Bank Bali
31. 483
7, 02
7, 90
Bank BNI
144. 351
8, 32
7, 45
Bank of Tokyo
Bank Bira
Bank Dagang Negara
118
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Bank Danamon
72. 457
4, 42
6, 74
5. 520
6, 50
6, 57
Bank Duta
20. 544
10, 65
5, 15
Bank Aspac
2. 838
2, 24
3, 46
Bank Bukopin
7. 170
4, 46
2, 54
Bank Bumi Daya
34. 257
2, 30
1, 80
ABN-Amro Bank
1. 380
174, 08
1, 36
Bank Tabungan Negara
7. 216
0, 90
0, 50
Bank Jateng
Sumber: Kompas, 13 Februari 1996
Tabel IV.19 Rasio Penyaluran Kredit kepada Group dengan Modal di Sejumlah
Bank, 1995
Nama Bank
(%)
Anrico Bank
1. 925, 08
Bank Delta
596, 60
Bank Aken
475, 15
Bank Pinasean
283, 88
Bank HS 1906
222, 84
Bank Surya
203, 50
Astria Bank
195, 86
Jayabank
195, 71
Bank Universal
174, 20
Bank Kredit Asia (TMS)
158, 46
Bank Budi Internasional
155, 55
Nusabank
144, 37
Bank Ina Perdana
134, 82
Andromeda Bank
129, 02
Bank Namura Indonesia
127, 28
Supreme Bank
123, 44
Bank Harapan Santosa
121, 98
119
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Bank Danuhutama
120, 73
Bank Berlian
118, 66
Bank Mataram Dhanarta
113, 48
Bank Surya Nusantara
106, 72
Bank Gunung Kencana
102, 56
Intan Bank
101, 04
Bank Dagang Bali
97, 62
Alfa Bank
91, 61
Asiatic Bank
85, 76
Bank Surya Kencana
85, 31
Bank Pasific
81, 52
Bank Risjad Salim Int
76, 92
Bank Nasional
74, 94
Utama Intersional Bank
72, 49
Akita Bank
71, 84
Fuji Bank Int’l Indonesia
68, 90
Deka Bank
64, 47
Bank Mitranaga
64, 45
Hastin Bank
64, 14
Bank Nusantara Parahyangan
63, 77
BII
62, 78
Bank Dharmala
56, 39
Centris Bank
53, 31
Bank Windu Kentjana
52, 75
Bank Utama
51, 67
Bank Uppindo
45, 36
Sejahtera Bank Umum
43, 50
Unibank
39, 81
Bank Bintang Manunggal
39, 19
Tamara Bank
38, 34
Bank Umum Nasional
37, 25
120
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Bank Central Dagang
36, 94
Bank Bahari
36, 85
Synergy Bank
35, 22
Bank Sumbar
34, 55
Tokai Lippo Bank
34, 39
Hagabank
34, 17
Indotrade Bank
31, 65
Bank CIC
30, 38
Bank Artha Graha
28, 81
Bank PSP
28, 80
BDNI
28, 63
Fama Bank
28, 58
Bank Central Asia
28, 28
Citibank
28, 17
Bank Patriot
27, 04
Sewu Bank
26, 13
Hokindo Bank
24, 74
Hongkong Bank
21, 64
Bank Exim
20, 66
Bank Dwipa
20, 48
Arthamedia Bank
20, 27
ANZ Panin Bank
19, 95
Sumber: Kompas, 13 Februari 1996
Perilaku perbankan pasca deregulasi juga menunjukkan kecenderungan
bahwa masih ada bentuk-bentuk pengabaian terhadap pengusaha lemah atau biasa
disebut usaha kecil dan menengah (UKM). Perbankan nasional yang
diorientasikan sebagai bagian dari agent of development yang bertugas untuk
mendorong kegiatan usaha, khususnya usaha ekonomi rakyat sebagai bagian
terbesar dari perekonomian Indonesia, ternyata pada kenyataanya tidak mampu
121
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
menjalankan perannya tersebut secara maksimal. Hal ini terlihat dari fakta bahwa
aturan yang dibuat untuk mengucurkan kredit bagi sektor UKM terkesan
mengada-ada. Sebaga contoh, keluarnya Paket Januari 1990 (Pakjan 90), bankbank umum wajib mengalokasikan 20 persen dari total kreditnya, kepada
pengusaha lemah seharusnya bisa disambut gembira oleh para pelaku usaha kecil.
Sebab kredit maksimal yang dapat diberikan kepada pengusaha lemah adalah
sebesar Rp 200 juta. Namun, dalam Pakjan 90 ini yang masuk kategori usaha
lemah adalah usaha yang beraset maksimal Rp 600 juta (Tempo, Edisi 19/02 10/Jul/97). Tentu hal ini menjadi catatan bersama serta menegaskan bahwa
kegiatan perbankan hanya menguntungkan bagi sebagian orang saja, atau lebih
jelas, yaitu orang-orang kaya.
122
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada beberapa rumusan kesimpulan yang diajukan pada bab berikut untuk
menjawab rumusan masalah yang diajukan pada bab sebelumnya. Pertama,
neoliberalisme awalnya merupakan filsafat tentang tatanan sosial yang
mengandaikan masyarakat tidak dibatasi oleh segala bentuk aturan apapun.
Seluruh dinamika sosial, politik, hukum, hingga ekonomi yang tidak terikat aturan
atau otoritas apapun diandaikan akan mampu menciptakan kesejahteraan bagi
setiap individu maupun bagi seluruh tatanan sosial itu sendiri. Pemikiran ini
berkembang secara pesat pasca stagflasi 1970-an. Perkembangan pesat tersebut
tak lepas dari peran para intelektual sosial hingga politikus yang sependapat
dengan gagasan tersebut menerapkan dan menyebarluaskan gagasan tersebut
hingga tingkat global.
Pengadopsian ide-ide reformasi ekonomi berorientasi terwujudnya sistem
pasar oleh sebagian besar negara berkembang, pada tahun-tahun akhir 1970-an
hingga tahun 1980-an, awalnya seolah-olah menjadi pembenar akan keampuhan
akan ide-ide hyper-liberal. Penerapan program-program penyesuaian struktural
menjadi langkah yang biasa ditempuh oleh negara-negara berkembang untuk
mengejar cita-cita kesejahteraan nasional seperti yang telah dinikmati oleh
negara-negara maju. Dengan berbekal panduan dari intelektual-intelektual kanan
baru pemerintahan negara-negara tersebut mengambil kebijakan ekonomi sesuai
123
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
dengan saran dari mereka. Seakan-akan slogan yang seringkali diutarakan oleh
Thatcher yakni “There Is No Alternative”, untuk menyebut kemustahilan
membuat sistem lain selain sistem pasar, adalah benar adanya.
Ironis terjadi kemudian ketika berbagai rentetan krisis justru sering
menerpa
negara-negara
berkembang
pasca
penerapan
program-program
penyesuaian struktural. Data-data dari negara-negara Afrika, Amerika Latin,
hingga di berbagai negara-negara Asia menunjukkan bahwa diadopsinya
reformasi ekonomi berorientasi pasar tidak serta merta menjamin tercapainya
kinerja ekonomi secara lebih baik. Begitu pula dengan tingkat kesejahteraan
rakyat, terutama rakyat miskin, juga tidak serta merta menjadi lebih baik.
Kedua, praktek neoliberalisme yang dilaksanakan di Indonesia juga
menempuh jalur yang hampir sama dengan negara berkembang lainnya.
Reformasi ekonomi, yang bermakna liberalisasi, dilaksanakan pemerintah
Indonesia pada tahun 1980-an. Reformasi ekonomi yang berasal dari kesepakatan
penerapan program-program penyesuaian struktural dijalankan oleh pemerintah
dengan anjuran dari lembaga-lembaga multilateral. Paket-paket kebijakan seperti
deregulasi diperkenalkan sebagai bagian dari instrumen reformasi.
Salah satu bagian dari proses reformasi adalah liberalisasi sektor keuangan
Indonesia yang dimulai sejak tahun 1983. Proses liberalisasi sektor keuangan
tersebut berjalan seiring dengan fenomena global pada waktu itu. Sejak tahun
1980-an, di seluruh dunia terjadi gejala besar yang bernama liberalisasi sektor
finansial di tingkat global dan deregulasi di tingkat nasional (Prasetyantoko, 2008:
39). Indonesia menerapkan deregulasi pada tingkat nasional dengan memulainya
124
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
pada sektor perbankan, yakni dengan keluarnya paket deregulasi pada bulan Juni
1983, atau biasa disingkat menjadi pakjun 83. Kebijakan tersebut kemudian
disusul Pakto 88 dengan berbagai paket deregulasi lain.
Paket deregulasi perbankan secara umum menyangkut tiga dimensi yang
saling terkait. Ketiga dimensi tersebut adalah deregulasi harga (khususnya suku
bunga deposito), deregulasi produk (ragam jasa yang ditawarkan), dan deregulasi
spasial (seperti kelonggaran pendirian bank baru ataupun keleluasaan pembukaan
cabang).
Ketiga, ada beberapa implikasi yang dihasilkan dari deregulasi perbankan
tersebut. Implikasi pertama adalah penyederhanaan berbagai tipe dan jenis bank
yang ada. Kedua, yaitu merebaknya industri perbankan, hal ini ditandai dengan
adanya pertumbuhan jumlah bank-bank yang berjalan dengan cukup pesat.
Ketiga, karena pertumbuhan jumlah bank yang cukup pesat tersebut
mengakibatkan persaingan yang cukup ketat di kalangan industri perbankan.
Persaingan tersebut berlaku baik pada penghimpunan dana maupun pada
penyaluran kredit. Keempat, adalah ketergantungan bank-bank pada dana-dana
jangka pendek. Kelima, adalah pergeseran dominasi industri perbankan yang
sebelumnya dikuasai oleh bank-bank milik pemerintah, kemudian mulai
digantikan perannya oleh bank-bank swasta.
Satu hal yang perlu juga dicatat adalah, deregulasi perbankan membuat
perubahan pada perilaku pengelola perbankan. Perilaku pengelola perbankan
menunjukkan kecenderungan mengabaikan prinsip-prinsip kehati-hatian yang
seharusnya dipegang teguh oleh para pengelola bank. Contoh perilaku yang
125
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
mengabaikan prinsip kehati-hatian adalah mudahnya pihak bank untuk
memberikan kredit secara besar-besaran, yang melebihi batas maksimum
pemberian kredit, kepada seseorang atau suatu kelompok tertentu. Hal inilah yang
kemudian disebut sebagai usaha konglomerasi, dimana bank-bank dimanfaatkan
untuk memperbesar usaha kelompok-kelompok tertentu. Hal ini berbeda sekali
dengan perlakuan bank terhadap kelompok usaha kecil yang ingin mengajukan
kredit. Sejumlah syarat yang berat harus dipenuhi oleh kelompok usaha kecil
untuk mengakses kredit dari bank-bank swasta khususnya.
126
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Bagan V.1 Kesimpulan
• Filsafat
hyper-liberal
atas
seluruh dinamika masyarakat.
• Berkembang
pesat
pasca
terjadi stagflasi 1970-an.
• Dikembangkan oleh intelektual
kanan baru dan didukung oleh
para politikus yang sepaham
dengan
gagasan-gagasan
tersebut.
• Hutang
internasional
menjadi
pintu
masuk
intervensi kebijakan oleh
pihak donor.
• Program
penyesuaian
struktural sebagai media
liberalisasi.
Neoliberalisme
Diterapkan
Melalui
Kesepakatan
dengan pihak
donor
internasional
Implikasinya
antara lain:
• Paket 2 Juni 1983.
• Paket 27 Oktober 1988.
• Paket 25 Maret 1989.
• Paket 19 Januari 1990.
• Paket 20 Pebruari 1991.
• Paket 29 Mei 1993.
Kebijakan
Deregulasi
Sektor
Keuangan
(Perbankan)
Berimplikasi
pada
Perilaku Perbankan
• Perilaku
pengelola
perbankan menunjukkan
kecenderungan
mengabaikan
prinsipprinsip kehati-hatian.
• Konglomerasi
• Diskriminasi
terhadap
kelompok usaha kecil
Serta
Pada
Perubahan Struktur Perbankan
• penyederhanaan berbagai tipe dan
jenis bank yang ada.
• Pertumbuhan industri perbankan
• persaingan yang cukup ketat di
industri perbankan.
• ketergantungan bank-bank pada danadana jangka pendek.
• pergeseran
dominasi
industri
perbankan dari bank-bank milik
pemerintah oleh bank-bank swasta.
127
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
B. Saran
Kontrol atas sektor keuangan adalah hal yang fundamental dalam
manajemen ekonomi makro. Stiglitz bahkan melihat bahwa China dan India yang
mengontrol secara ketat sektor keuangannya, menjadikan kedua negara tersebut
sanggup melewati berbagai hadangan krisis ekonomi (Yustika, 2007). Hal
tersebutlah yang seharusnya bahan refleksi bagi para pengambil kebijakan
ekonomi nasional. Sebab kebijakan liberalisasi sektor keuangan pula yang
membuat Indonesia terperangkap dalam lubang krisis 1998 yang begitu dalam.
C. Keterbatasan
Penelitian ini masih sangat jauh dari apa yang diharapkan oleh penulis.
Hal ini dikarenakan akses atas sumber-sumber referensi masih sangat terbatas.
Bahan-bahan pembanding bacaan maupun data-data tentang situasi perbankan
pada tahun-tahun 1980-an dan 1990-an yang penulis dapatkan tidak begitu
lengkap. Hal ini membuat beberapa rekomendasi tambahan dari pembimbing
tidak bisa penulis penuhi secara lengkap.
128
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Saiful. 2000. Menolak Pembangunanisme. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Binhadi. 2005. “Financial Deregulation and The Role of The Central
Bank in Indonesia,” dalam ed. Soesastro, Hadi., et al. Pemikiran
dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad
Terakhir, Buku IV (1982-1997) Deregulasi dan Liberalisasi
Ekonomi. Jakarta: ISEI.
Boughton, James M. 2001. The Silent Revolution: the International
Monetary Fund 1979-1989. Washington: International Monetary
Fund.
Bradley, William L. dan Lubis, Mochtar. 1991. (terj. Maimoen, S).
Dokumen-Dokumen Pilihan Tentang Politik Luar Negeri
Amerika Serikat dan Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Brata, A. Gunadi. 2007. Liberalisasi Perbankan di Indonesia.
Surakarta: The Business Watch Indonesia.
Caporaso, James A. dan Levine, David P. 2008. (terj Suraji). TeoriTeori Ekonomi Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Freixas, Xavier dan Rochet, Jean-Charles. 2008. Microeconomics of
Banking, Second Edition. London: The MIT Press.
Goeltom, Miranda S. 2005. “Perubahan Struktural Sektor Keuangan di
Indonesia,” dalam ed. Soesastro, Hadi., et al. Pemikiran dan
Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad
Terakhir, Buku IV (1982-1997) Deregulasi dan Liberalisasi
Ekonomi, Jakarta: ISEI.
Hamada, Miki. 2003. “Transformation of The Financial Sector in
Indonesia,” IDE Research Paper No. 6, September 2003, 4.
Hanief, M. Furqon I. 2001. Penyesuaian Struktural ekonomi dan
Pemusatan Kekuasaan Politik pada Dasawarsa Deregulasi di
Indonesia 1983-1993. Disertasi. Jakarta: Fisip UI.
Harvey, David. 2009. Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis.
Yogyakarta: Resist Book.
Heertz, Norena. 2003. “Hidup di Dunia Material: Munculnya
gelombang Neoliberalisme,” dalam Neoliberalisme, ed. Wibowo,
129
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
I. dan Wahono, Francis. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat
Cerdas.
Hettne, Björn. 1985. (terj. Martoyo, Ismu). Ironi Pembangunan di
Negara Berkembang. Jakarta: Sinar Harapan.
Hirst, Paul dan Thompson, Grahame. 1996. Globalization in Question.
Cambridge: Blackwell Publisher Ltd.
Komisi Selatan. 1992. (terj. Brata, Suwandi S.). Tantangan yang
Menghadang Selatan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mubyarto. 2000. Membangun Sistem Ekonomi. Yogyakarta: BPFE.
Nasution, Anwar. 1996. The Bangking System and Monetary
Aggregates Folowing Financial Sector Reforms. Helsinski: UNU
World Institute for Development Economics Research
(UNU/WIDER).
. 1991. Tinjauan Ekonomi Atas Dampak Paket
Deregulasi Tahun 1988 Pada Sistem Keuangan Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
. 2005. “Neraca Ekonomi Indonesia,” dalam ed.
Soesastro, Hadi., et al. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di
Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir, Buku IV (1982-1997)
Deregulasi dan Liberalisasi Ekonomi, Jakarta: ISEI.
Nitisastro,
Widjojo. 2010. Pengalaman Pembangunan Indonesia:
Kumpulan Tulisan dan Uraian. Jakarta: Kompas.
Petras, James. dan Veltmeyer, Henry. 2002. Imperialisme Abad 21.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Prasetiantono, A. Tony. 2003. “IMF (International Monetary Fund),”
dalam Neoliberalisme, ed. Wibowo, I. dan Wahono, Francis.
Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Prasetyantoko, A. 2008. Bencana Finansial: Stabilitas Sebagai Barang
Publik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Prawiro, Radius. 1998. Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi:
Pragmatisme dalam Aksi. Jakarta: Elex Media Komputindo.
130
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Priyono, B. Herry. 2003. “Dalam Pusaran Neoliberalisme,” dalam
Neoliberalisme, ed. Wibowo, I. dan Wahono, Francis.
Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Program Studi Hubungan Internasional Universitas Budi Luhur. 2008.
Panduan Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Budi Luhur.
Rachbini, Didik J. 1994. Politik Deregulasi dan Agenda Kebijakan
Ekonomi. Jakarta: InfoBank.
Rahardjo, M. Dawam. 1983. Esai-Esai Ekonomi Politik. Jakarta:
LP3ES.
Spillane, James J. 2003. “Industri Ringan Kaki: Neoliberalisme dan
Investasi Global,” dalam Neoliberalisme, ed. Wibowo, I. dan
Wahono, Francis. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat
Cerdas.
Stiglitz, Joseph E. 2006. (terj. Aan Suhaeni). Dekade Keserakahan:
Era ‘90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi. Serpong: Marjin
Kiri.
Subiyantoro, Heru. dan Riphat, Singgih ed. 2004. Kebijakan Fiskal:
Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. Jakarta: Buku Kompas.
Sugiono, Muhadi. 1999. (terj. Cholish). Kritik Antonio Gramsci
Terhadap Pembangunan Negara Dunia Ketiga. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Suttle, Philip. 2003. ”Financial Flows to Developing Countries: Recent
Trends and Near Term Prospects,” in Global Development
Finance, Vol. I, ed. Kennedy, Steven. Washington: The World
Bank.
Tim Penyusun Pedoman Penulisan Tugas Akhir. 2008. Pedoman
Penulisan Tugas Akhir: Proposal Penelitian, Skripsi, serta
Kententuan tentang Ujian Skripsi. Yogyakarta: Program Studi
Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Sanata Dharma.
Wardhana, Ali. 2005. “Structural Adjustment in Indonesia: Export and
the ‘High-Cost’,” dalam ed. Soesastro, Hadi., et al. Pemikiran
dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad
Terakhir, Buku IV (1982-1997) Deregulasi dan Liberalisasi
Ekonomi. Jakarta: ISEI.
131
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Paper atau Jurnal Ilmiah
Hardianto, FL. Nugro. 1998. “Represi, Liberalisasi, dan Reformasi
Ekonomi,” Jurnal Pangsa, Vol 3 (Februari), 17-26.
Laurell, Asa Cristina. 2000. “Structural Adjustment and the
Globalization of Social Policy in Latin America,” Journal of
International Sociology, Vol. 15 (June), 306-325.
Permono, Iswardono S. dan Kuncoro, Mudrajad. 1990. “Kebijaksanaan
Moneter: Dari "Financial Repression" Hingga Bahaya "Financial
Crash",” Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 5.
SAPRI dan CASA. 2002. “The Policy of Economic Crisis and Poverty:
A Multy-Country Participatory Assessment of Stuctural
Adjustment,” Journal of the Structural Adjustment Participatory
Review International Network, Vol. I (April),1-27.
Sirait, Ningrum Natasya. 2006. “Indonesia dalam Menghadapi
Persaingan Internasional,” Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Tetap Universitas Sumatera Utara, 2 September.
Supraptono. 1995. “Pergeseran Pangsa Pasar Penghimpunan Dana dan
Kredit antara Bank Pemerintah dan Bank Swasta di Indonesia
1985-1995,” Jurnal Gema Stikubank, (Agustus), 52-62.
Yustika, Ahmad Erani. 2004. “Reformasi Ekonomi, Konsensus
Washington, dan Rintangan Politik,” Jurnal Manajemen dan
Kewirausahaan, Vol. 6 (Maret), 1-14.
Majalah atau Surat Kabar
Yustika, Ahmad Erani. 2007. “Restriksi Sektor Finansial,” Kompas, 2
Oktober.
Gie,
Kwik Kian. 1993. “Sebuah
Kekhawatiran,” Kompas, 4 Juni.
Kompas, 29 September 1984.
, 14 Agustus 1992.
132
Kebijaksanaan,
Sebuah
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
, 27 Oktober 1992.
, 14 September 1993.
, 13 Februari 1996.
, 2 Juli 1996.
, 2 Oktober 2007.
Neves, Husi Guteriano. 2009. “Terjerumusnya Negara-Negara
Berkembang ke dalam Utang Luar Negeri,” Timor Post, 4
Desember.
Pradjoto. 1998. “Bank Menggali Kubur Sendiri,” Kompas, 13 Oktober.
Priyono, B. Herry. 2009. “Sesat Neoliberalisme,” Kompas, 28 Mei.
Syahrir. 1992. “Dipertanyakan, Maksud Kelompok Usaha Besar
dirikan Bank,” Kompas, 21 November.
Tempo, Edisi 19 Februari – 10 Juli 1997
Internet
Bank Indonesia. ”Ikhtisar Perbankan”. www.bi.go.id. Diakses 13 Juli
2010.
Caldentey, Esteban Pérez dan Vernengo, Matías. 2010. “Modern
finance, methodology and the global crisis,” real-world
economics review, issue no. 52, 69-81, www.paecon.net. Diakses
4 Februari 2011.
Engdahl, F. William. 2008. “The Financial Tsunami: the Financial
Foundation of the American Century”. www.globalresearch.ca.
Diakses 4 Februari 2011.
Hossein-zadeh, Ismael. “THE CRISIS OF THIRD WORLD DEBT--Is
There a Way Out?”. http://faculty.cbpa.drake.edu. Diakses 4
Februari 2011.
Longhofer, Wesley. “The Effects of Structural Adjustment on
Associational Activity, 1970-2000”. www.allacademic.com.
Diakses 1 Juli 2010.
133
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
Olukoshi, Adebayo. 2000. “Structural Adjustment and Social Policies
in Africa: Some Notes”. http://gaspp.stakes.fi/. Diakses 9 Mei
2010.
Priyono, B. Herry. “Filsafat Deregulasi”. www.kompas.com. Diakses 9
Mei 2010.
Setiawan, Bonnie. “Neo-Liberal dan Kejahatan
www.globaljust.org. Diakses 18 Maret 2010.
Multilateral”.
Tambunan, Raymond. "Kualitatif”. www.rumahbelajarpsikologi.com.
Diakses tanggal 11 November 2009.
Zawalinska, Katarzyna. 2004. “What has been an economic impact of
Structural Adjustment Programs on households in Transition
countries?”. lnweb90.worldbank.org. Diakses 1 Juli 2010.
134
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
LAMPIRAN 1
Pokok-Pokok Paket Dergulasi 27 Oktober 1988
135
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
136
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
137
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
LAMPIRAN 2
Ketentuan Lanjutan Paket 27 Oktober 1988
138
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
139
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
LAMPIRAN 3
Pokok-Pokok Ketentuan Lanjutan Paket 27 Oktober 1988
140
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
141
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
142
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
143
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
144
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
145
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
LAMPIRAN 4
Penjelasan Gubernur BI tentang Pakto 27 dan Ketentuan Lanjutan Pakto 27
146
PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
147
Download