Upaya meningkatkan kemampuan apresiasi cerita pendek melalui

advertisement
Upaya meningkatkan kemampuan apresiasi cerita pendek melalui
penerapan metode pembelajaran COOPERATIVE INTEGRATED
READING AND COMPOSITION (circ) pada siswa kelas V SD Negeri Iv
Pulutan Wetan Wuryantoro Wonogiri tahun ajaran 2009/2010
SKRIPSI
Oleh:
Miranti Sudarmaji
K.1206033
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN APRESIASI CERITA
PENDEK MELALUI PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN
COOPERATIVE INTEGRATED READING AND COMPOSITION (CIRC)
PADA SISWA KELAS V SD NEGERI IV PULUTAN WETAN
WURYANTORO WONOGIRI TAHUN AJARAN 2009/2010
Oleh:
MIRANTI SUDARMAJI
K1206033
Skripsi
Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar
Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Persetujuan Pembimbing,
Pembimbing I
Dr. Nugraheni Eko W., S.S, M. Hum.
NIP 19700716 200212 2 001
Pembimbing II
Dr. Muh. Rohmadi, M. Hum.
NIP 19761013 200212 1 005
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan
diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada hari
:……………...
Tanggal
:……………...
Tim Penguji Skripsi:
Nama Terang
Tanda Tangan
Ketua
: Drs. Slamet Mulyono, M. Pd.
Sekretaris
: Kundharu Saddhono, S. S, M. Hum.
Anggota I
: Dr. Nugraheni Eko W., S.S, M. Hum.
Anggota II
: Dr. Muh. Rohmadi, S.S, M. Hum.
Disahkan oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan,
Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd.
NIP 19600727 198702 1 001
………………
…………….
………………
…………….
ABSTRAK
Miranti Sudarmaji. UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN APRESIASI
CERITA
PENDEK
MELALUI
PENERAPAN
METODE
PEMBELAJARAN COOPERATIVE INTEGRATED READING AND
COMPOSITION (CIRC) PADA SISWA KELAS V SD NEGERI IV
PULUTAN WETAN WURYANTORO WONOGIRI TAHUN AJARAN
2009/2010, Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sebelas Maret, April. 2010.
Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas
proses dan kualitas hasil pembelajaran apresiasi cerita pendek dengan menerapkan
metode CIRC pada siswa kelas V SD Negeri IV Pulutan Wetan. Subjek penelitian
adalah guru dan siswa kelas V SD Negeri IV Pulutan Wetan. Objek penelitian
adalah penggunaan metode Cooperative Integrated Reading and Composition
(CIRC) dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sebagai upaya untuk
meningkatkan kemampuan apresiasi cerita pendek pada siswa. Sumber data
meliputi: (1) peristiwa pembelajaran; (2) informan; dan (3) dokumen. Teknik
pengumpulan data melalui: (1) observasi; (2) wawancara; (3) angket; dan (4) tes.
Uji validitas data menggunakan teknik triangulasi yang meliputi: (1) triangulasi
metode; (2) triangulasi sumber; dan (3) review informan. Teknik analisis data
dengan teknik diskriptif komparatif dan teknik analisis kritis. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penerapan metode Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC) mampu meningkatkan kualitas proses pembelajaran
apresiasi cerita pendek ditandai meningkatnya: (1) kedisiplinan siswa; (2) minat
siswa; (3) keaktifan siswa; (4) kerja sama siswa; dan (5) kesungguhan siswa.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa dengan menerapkan metode Cooperative
Integrated Reading and Composition
(CIRC) dapat meningkatkan hasil
pembelajaran apresiasi cerita pendek pada siswa kelas V SD Negeri IV Pulutan
Wetan. Hal ini dapat dilihat dari hasil pretes dan postes yang dilakukan selama
tiga siklus. Pada uji pratindakan jumlah siswa yang memperoleh nilai di atas
KKM (65) empat siswa (22%), siklus I meningkat menjadi 10 siswa (55%), siklus
II meningkat sebanyak 16 siswa (88%), siklus III meningkat sebanyak 18 siswa
atau 100%.
MOTTO
“Tolong menolonglah kamu di dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan
jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Ma’idah: 2)
Segala tindakan yang diawali dengan keikhlasan dan kesabaran akan memperoleh
keberhasilan yang mengagumkan. (Penulis)
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada:
1. Bapak dan Ibuku tercinta;
2. Idam
Juari
Sudarmaji
(adikku
tersayang);
3. SEMPRE (Idut (adek), Liut (bose), Risut
(kakak),
Dius
(bunda),
dan
Dinut
(Budhe)); dan
4. Mbak Win yang selalu menemaniku
berjuang.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt, atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Skripsi ini
disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sebelas Maret.
Penelitian dan Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan atas bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, peneliti
menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak
yang telah turut membantu, terutama kepada:
1. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., selaku Dekan FKIP UNS yang
telah memberikan persetujuan skripsi ini;
2. Drs. Soeparno, M. Pd., Ketua Jurusan PBS yang telah memberikan izin untuk
penulisan skripsi ini;
3. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd., Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan dan motivasi serta izin
untuk menyusun skripsi ini;
4. Dr. Nugraheni Eko W., S.S, M. Hum., selaku pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan dan arahan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan
dengan lancar;
5. Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum., selaku pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu memberikan bimbingan dan arahan sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan tepat waktu;
6. Dr. Budhi Setyawan, M. Pd., selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan arahan dan motivasi kepada penulis dalam menyusun skripsi ini;
7. Ibu Sri Gunanti, S. Pd., selaku Kepala SD Negeri IV Pulutan Wetan yang
telah memberikan izin kepada peneliti untuk melaksanakan PTK di SD Negeri
IV Pulutan Wetan;
8. Ibu Maryati, A.Ma. Pd., selaku guru kelas V SD Negeri IV Pulutan Wetan
yang telah banyak membantu dan berpartisipasi aktif dalam proses penelitian
ini;
9. Siswa-siswi kelas V SD Negeri IV Pulutan Wetan yang telah berpartisipasi
aktif sebagai subjek penelitian dan membantu pelaksanaan penelitian ini;
10. Bapak, Ibu, Adik, dan seluruh keluarga besar yang telah memberikan doa
restu dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini;
11. Mahasiswa BASTIND ’06 yang telah memberikan semangat dalam proses
penelitian ini; dan
12. semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak
membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat peneliti harapkan. Akhirnya,
semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya.
Surakarta, April 2010
Peneliti
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL………………………………………………………………....
i
PENGAJUAN SKRIPSI……………………………………………….
ii
PERSETUJUAN……………………………………………………….
iii
PENGESAHAN………………………………………………………..
iv
ABSTRAK……………………………………………………………..
v
MOTTO………………………………………………………………...
vi
PERSEMBAHAN……………………………………………………...
vii
KATA PENGANTAR………………………………………………….
viii
DAFTAR ISI…………………………………………………………...
x
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………..
xii
DAFTAR TABEL……………………………………………………..
xiii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………..
xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………
1
B. Perumusan Masalah……………………………………………..
6
C. Tujuan Penelitian………………………………………………..
7
D. Manfaat Penelitian………………………………………………
7
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN
PENELITIAN YANG RELEVAN
A. Kajian Pustaka………………………………………………….
9
1. Hakikat Cerita Pendek dalam Pembelajaran….…………….
9
2. Hakikat Pembelajaran Apresiasi Cerita pendek ……………
23
3. Hakikat Model Pembelajaran Kooperatif……...……………
34
4. Hakikat Metode Pembelajaran Cooperative Integrated
Reading and Composition (CIRC)………………….........…
39
5. Relevansi Metode Pembelajaran Cooperative Integrated
Reading and Composition (CIRC) dengan Pembelajaran
Apresiasi Cerita Pendek ....…………………….…………..
47
B. Penelitian yang Relevan ……………………………………….
48
C. Kerangka Berpikir ……………………………………………..
50
D. Hipotesis Tindakan……………………………………………..
53
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian…………………………………..
54
B. Pendekatan Penelitian…………………………………………..
54
C. Subjek Penelitian………………………………………………..
56
D. Teknik Pengumpulan Data ………..……………………………
56
E. Sumber Data …………………….……………………………...
57
F. Uji Validitas Data ……………………………………….……...
58
G. Teknik Analisis Data…………………………………………….
58
H. Indikator Ketercapaian Tujuan Belajar …….…………………...
59
I. Prosedur Penelitian………………………………………………
60
BAB IV HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Kondisi Awal………………………………………….
64
B. Pelaksanaan Tindakan dan Hasil Penelitian……………………..
72
C. Pembahasan Hasil Penelitian…………………………………….
108
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan…………………………………………………………. 118
B. Implikasi…………………………………………………………. 120
C. Saran……………………………………………………………... 121
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 123
LAMPIRAN…………………………………………………………….
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Alur Kerangka Berpikir………………………………………….…
52
2. Prosedur Penelitian Tindakan Kelas……………………….............
55
3. Grafik Tabulasi Peningkatan Kualitas Proses Pembelajaran
Apresiasi Cerita Pendek …………………………………………..
115
4. Grafik Tabulasi Nilai Apresiasi Cerita Pendek……………………
117
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Instrumen Penilaian Proses Pembelajaran…………….………
32
2. Rubrik Penilaian Menceritakan kembali Isi Cerita Pendek…..
33
3. Rangkuman Pelaksanaan CIRC………………………………
46
4. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian………..……….
54
5. Indikator Ketercapaian ……….………………………………
60
6. Nilai Hasil Apresiasi Cerita Pendek Pratindakan….…….……
70
7. Lembar Observasi Kemampuan Guru dalam Menjelaskan……
79
8. Lembar Observasi Kemampuan Guru dalam Mengelola Kelas
80
9. Lembar Penilaian Proses Belajar………………………………
81
10. Daftar Nilai Menceritakan Kembali Isi Cerita Pendek di
Depan Kelas Siklus I………………………………………….
11. Daftar Nilai Apresiasi cerita Pendek Siklus I………………..
84
84
12. Rekapitulasi Hasil Penilaian Proses Pembelajaran Apresiasi
Cerita Pendek dalam Pelaksanaan Tindakan Siklus I, II,
dan III….. …………………………………………………..
114
13. Tabel Rekapitulasi Kemampuan Apresiasi Cerita Pendek…
117
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Pratindakan………………………………………………….
125
2. Siklus I………………………………………………............
168
3. Siklus II……………………………………………………...
212
4. Siklus III…………………………………………………….
255
5. Lain-lain
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak diberlakukan Kurikulum 1975 sampai Kurikulum 2006 atau
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), mata pelajaran bahasa Indonesia
adalah salah satu mata pelajaran yang memiliki peranan penting dalam dunia
pendidikan. Dalam pengajaran bahasa Indonesia terdapat dua materi pokok yang
diajarkan, yakni materi kebahasaan dan materi kesastraan. Keduanya telah
direncanakan mendapat porsi yang seimbang, sehingga tidak ada yang
dianakemaskan maupun dianaktirikan.
Namun, kenyataan di sekolah pengajaran Mata Pelajaran bahasa
Indonesia kurang sesuai dengan apa yang direncanakan. Para guru lebih
memprioritaskan materi kebahasaan daripada materi kesastraan. Hal itu
disebabkan adanya anggapan bahwa materi kebahasaan lebih penting daripada
materi kesastraan. Hal ini sesuai dengan pendapat Yudiono (2000: 47) yang
menyatakan bahwa meskipun tidak dinyatakan secara terang-terangan, banyak
orang yang masih menyepelekan pelajaran sastra.
Pendapat para guru seperti di atas tidaklah tepat karena sastra
sebenarnya bisa menjadi media untuk mengasah dan mengembangkan
keterampilan berbahasa siswa. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Kinayati
(2006: 743) menurutnya sastra perlu diperkenalkan kepada siswa supaya mereka
sadar akan adanya sastra sebagai bagian dari keterampilan berbahasa. Selain itu
apresiasi sastra juga mampu memperkaya pengalaman, pandangan hidup, dan
kepribadian siswa. Pendapat tersebut sesuai dengan pendapat Rahmanto (1988:15)
yang menyatakan bahwa sastra itu mempunyai relevansi dengan masalah-masalah
dunia nyata, maka pengajaran sastra harus dipandang sebagai sesuatu yang
penting yang patut menduduki tempat yang selayaknya.
Salah satu karya sastra yang dimasukkan dalam pembelajaran sastra
adalah cerita pendek. Kegiatan pembelajaran ini sudah diberikan kepada siswa
mulai mereka berada di sekolah dasar. Dengan pembelajaran cerita pendek sejak
dini, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam cerita pendek dapat tertanam kuat
dalam diri anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Toha dan Sarumpaet (2002: 16)
yang menyatakan bahwa minat dan apresiasi pembaca hendaknya mulai
dibangkitkan dan ditumbuhkan sejak dini, yaitu ketika pembaca masih berusia
sekolah. Mutu dan tingkat pemahaman apresiasi sastra yang telah dilalui oleh
siswa di sekolah akan menjadi modal bagi perkembangan lebih lanjut pada saat
mereka nanti terjun sebagai anggota masyarakat.
Pendapat Toha dan Sarumpaet tersebut sejalan dengan apa yang
dinyatakan oleh Musfiroh (2008: 19) yang menyatakan bahwa cerita dapat
digunakan oleh orang tua dan guru sebagai sarana mendidik dan membentuk
kepribadian anak melalui pendekatan transmisi budaya atau cultural transmission
approach. Dalam cerita, nilai-nilai luhur ditanamkan pada diri anak melalui
penghayatan terhadap makna dan maksud cerita (meaning and intention of story).
Oleh
karena
itu,
Pusat
Kurikulum
Departemen
Pendidikan
Nasional
mencantumkan materi cerita pendek sebagai salah satu materi bahasa Indonesia
yang diajarkan di SD kelas V. Dengan pembelajaran cerita pendek sejak SD,
diharapkan mereka mampu mengambil nilai-nilai positif materi ini.
Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita pendek dapat diperoleh
dengan mengapresiasikannya. Apresiasi ini dapat dilakukan dengan cara
membaca, mengidentifikasi unsur-unsur intrinsiknya, hingga menceritakan
kembali isi cerita. Secara singkat, pembelajaran apresiasi cerita pendek dapat
mengantarkan mereka memperoleh kemampuan berbahasa secara terpadu.
Namun, kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan. Pembelajaran apresiasi sastra sampai saat ini masih menjadi masalah
secara umum karena kemampuan apresiasi sastra di tingkat SD masih rendah. Hal
ini dapat dilihat dari proses maupun hasil pembelajaran. Ketidaksesuaian ini dapat
diindikatori oleh: siswa belum mampu menentukan unsur intrinsik cerita pendek,
siswa belum mampu mengungkapkan makna dan nilai-nilai, serta siswa belum
mampu menceritakan kembali isi cerita pendek. Berdasarkan wawancara dengan
guru, diketahui bahwa kemampuan apresiasi sastra pada siswa kelas V SD Negeri
IV Pulutan Wetan selama ini masih rendah. Hasil tes kemampuan apresiasi cerita
pendek hanya sekitar 22% siswa yang berhasil mendapat nilai yang baik dan
memenuhi kriteria kelulusan minimal dengan nilai 65 ke atas pada pembelajaran
apresiasi sastra.
Berdasarkan kegiatan wawancara dengan guru dan siswa dapat
diketahui bahwa pembelajaran apresiasi cerita pendek masih rendah. Rendahnya
kemampuan apresiasi cerita pendek siswa diindikatori oleh: (1) siswa belum
mampu menentukan tema cerita pendek, (2) siswa belum mampu menceritakan
kembali isi cerita pendek, dan (3) siswa belum mampu mengungkapkan makna
dan nilai-nilai dalam cerita pendek. Dari hasil wawancara mendalam dengan guru
dan siswa dapat disimpulkan bahwa bagian yang paling sulit adalah bagian
menceritakan kembali isi cerita pendek. Pada bagian ini, masih banyak hasil kerja
siswa yang mencantumkan alur yang melompat-lompat, cerita kurang lengkap,
bahasa yang berbelit-belit, dan kurangnya kemampuan menentukan ide pokok.
Bertolak dari kegiatan wawancara yang dilakukan pada guru dan
siswa, diketahui bahwa pembelajaran cerita pendek kelas V menggunakan metode
ceramah dengan penyampaian teori cerita pendek yang lebih banyak daripada
kegiatan
apresiasinya.
Langkah-langkah
pembelajarannya
adalah
guru
memberikan materi cerita pendek, kemudian siswa diberi tugas di rumah untuk
mengapresiasikan cerita pendek. Dari langkah pembelajaran yang diterapkan,
guru terkesan mendominasi proses pembelajaran dan metodenya juga kurang
inovatif. Selain itu, banyak siswa yang masih bingung mengenai cara apresiasi
cerita pendek.
Kegiatan pembelajaran yang demikian membuat siswa kurang tertarik
untuk mengikuti pembelajaran apresiasi cerita pendek. Mereka merasa bosan
dalam belajar karena merasa bahwa sistem pembelajaran selalu sama.
Menurut wawancara dengan siswa diperoleh informasi bahwa siswa
sering merasa bosan pada saat pembelajaran cerita pendek. Hal ini dikarenakan
guru selalu berceramah yang membuat mereka mengantuk. Cerita pendek yang
digunakan juga kurang menarik karena hanya bersumber dari buku pelajaran.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di SD Negeri IV Pulutan
Wetan, peneliti mencoba mengidentifikasikan permasalahan. Permasalahan yang
ada adalah dalam pembelajaran apresiasi cerita pendek yang selama ini
berlangsung di SD Negeri IV Pulutan Wetan, (1) masih bersifat individual belum
memanfaatkan potensi interaksi dan kerja sama antarsiswa dan (2) minimnya
umpan balik dari guru maupun sesama teman belajar. Selain itu, diperoleh data
bahwa kemampuan siswa dalam mengapresiasi cerita pendek masih kurang. Hal
ini diketahui dari data berupa hasil siswa. Berdasarkan hasil wawancara dengan
siswa juga didapatkan informasi bahwa sebenarnya siswa menyukai pelajaran
tentang cerita pendek, tetapi kurang tertarik karena sumber cerita pendek kurang
variatif dan cara penyampaian guru yang terkesan membosankan. Keadaan ini
dapat diketahui ketika siswa disuruh oleh guru untuk menceritakan kembali di
depan kelas, tidak ada siswa yang berani. Keadaan ini dapat disebabkan oleh
siswa itu sendiri yang belum mempunyai keberanian untuk tampil di depan kelas,
dapat juga karena siswa enggan.
Masalah-masalah yang muncul dalam proses pembelajaran apresiasi
cerita pendek membutuhkan penerapan metode pembelajaran yang baru oleh guru
untuk memperbaiki kualitas pembelajaran. Berkaitan dengan hal tersebut, guru
Bahasa dan Sastra Indonesia harus mampu membuat pembelajaran yang menarik
dan sesuai dengan usia siswa. Salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan
menerapkan metode pembelajaran yang sesuai dengan materi dan usia serta
menarik dan juga mempermudah pemahaman yang pada akhirnya bermuara pada
peningkatan kualitas pembelajaran. Hal ini diperkuat dengan pendapat Rahmanto
(1988: 15) menyatakan bahwa jika pembelajaran sastra dilakukan dengan cara
yang tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar
untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di
dalam masyarakat.
Berdasarkan diskusi dengan guru pengampu kelas V SD Negeri IV
Pulutan Wetan disepakati masalah pembelajaran tersebut diperbaiki dengan
penerapan model kooperatif. Strategi pembelajaran kooperatif diambil karena
pembelajaran ini memiliki berberapa kelebihan. Heri, Sugiyanto, dan Sukamto
(2003: 73) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif mempunyai jangkauan
tidak hanya membantu siswa belajar isi akademik dan keterampilan semata,
namun juga melatih siswa dalam meraih tujuan-tujuan hubungan sosial dan
kemanusiaan.
Mengingat banyaknya jenis metode kooperatif yang ada saat ini, maka
peneliti dan guru sepakat untuk mengerucutkan model kooperatif yang ada.
Berdasarkan hasil diskusi yang mendalam disepakati pembelajaran apresiasi cerita
pendek menggunakan metode pembelajaran Cooperative Integrated Reading and
Composition
(CIRC). Metode ini digunakan karena sesuai dengan jenjang
pendidikan siswa dan materi cerita pendek yang diajarkan. Hal ini sesuai dengan
apa yang dikemukakan Slavin (2005: 11) bahwa pembelajaran dengan metode
Cooperative Integrated Reading and Composition (Mengarang dan Membaca
Terintegratif yang Kooperatif) (CIRC) digunakan untuk pelajaran membaca pada
kelas 2-8. Dalam pembelajaran CIRC siswa ditugaskan untuk berpasangan dalam
tim mereka untuk belajar dalam serangkaian kegiatan yang bersifat kognitif,
termasuk membacakan cerita satu sama lain, membuat prediksi bagaimana akhir
dari sebuah cerita naratif, saling merangkum cerita satu sama lain, menulis
tanggapan terhadap cerita, dan melatih pengucapan, penerimaan, dan kosakata
(2005: 16-17). Dalam pembelajaran ini siswa diajak berapresiasi langsung. Hal
inilah yang menjadi dasar metode pembelajaran ini tepat untuk pembelajaran
apresiasi cerita pendek.
Dalam metode ini, siswa ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan
empat atau lima orang yang merupakan campuran menurut tingkat prestasi, jenis
kelamin, dan suku. Guru menyajikan pelajaran, dan siswa bekerja dalam tim
mereka. Untuk memastikan seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran
tersebut, seluruh siswa dikenai kuis tentang materi yang telah dipelajari. Saat
berkelompok siswa saling membantu menuntaskan materi yang dipelajari. Setiap
anggota kelompok memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap setiap
permasalahan yang akan dibahas dalam forum diskusi. Dengan demikian anggota
kelompok akan dapat memahami setiap permasalahan yang ada, sehingga saat
kuis individu siswa mampu mengerjakan dengan baik. Guru memantau dan
mengelilingi tiap kelompok untuk melihat adanya kemungkinan siswa yang
memerlukan bantuan. Metode ini pun dibantu oleh metode pelatihan, penugasan,
dan tanya jawab sesuai satuan pelajaran, sehingga ketuntasan materi akan
terwujud.
Penelitian tentang penerapan metode Cooperative Integrated Reading
and Composition
(CIRC) untuk meningkatkan kemampuan apresiasi cerita
pendek belum pernah dilakukan di SD Negeri IV Pulutan Wetan. Penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan penelitian tindakan kelas. Hal ini dipilih karena
kelas merupakan unit terkecil dalam sistem pembelajaran, sehingga guru perlu
mendalami dan berperilaku kritis terhadap apa yang sebenarnya dilakukan siswa
maupun guru. Dengan demikian, guru dapat mengubah sendiri strategi
pembelajaran untuk memecahkan permasalahan yang ada sekaligus mengubah
proses pembelajaran yang lebih efektif.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka peneliti memilih tema upaya
meningkatkan kemampuan apresiasi cerita pendek menggunakan metode
Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) pada siswa kelas V SD
Negeri IV Pulutan Wetan Wuryantoro Wonogiri berbentuk penelitian tindakan
kelas (PTK). Diharapkan dengan menerapkan metode ini dapat meningkatkan
pemahaman siswa dan mengurangi kebosanan siswa, sehingga dapat membangun
motivasi siswa untuk meningkatkan kemampuan mengapresiasi cerita pendek. Hal
ini dikarenakan pembelajaran sastra adalah dunia yang mengandalkan
kemampuan intuitif, imajinatif, dan daya kreatif.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat diungkapkan berdasarkan latar belakang
masalah yang ada sebagai berikut.
1. Apakah penerapan metode pembelajaran Cooperative Integrated Reading and
Composition
(CIRC) dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran
apresiasi cerita pendek pada siswa kelas V SD Negeri IV Pulutan Wetan?
2. Apakah penerapan metode pembelajaran Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC) dapat meningkatkan kemampuan apresiasi cerita pendek
pada siswa kelas V SD Negeri IV Pulutan Wetan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan:
1. kualitas proses pembelajaran apresiasi cerita pendek pada siswa kelas V SD
Negeri IV Pulutan Wetan; dan
2. kemampuan apresiasi cerita pendek pada siswa kelas V SD Negeri IV Pulutan
Wetan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat dalam kegiatan belajar mengajar Bidang Studi Bahasa Indonesia,
yaitu
dalam
pembelajaran
apresiasi
cerita
pendek,
sehingga
dapat
memperkaya dan melengkapi penelitian-penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya.
2. Manfaat Praktis
a. Sekolah
1) Sebagai
gambaran
penerapan
kegiatan
pembelajaran
tentang
problematika pembelajaran cerita pendek dan cara penyelesaiannya.
2) Digunakan sebagai alternatif model pembelajaran cerita pendek.
3) Memberikan pengalaman pada sekolah berkaitan dengan penelitian
tindakan kelas.
b. Guru
1) Memberikan solusi pada kesulitan pelaksanaan pembelajaran cerita
pendek.
2) Sebagai salah satu pilihan untuk menerapkan metode pembelajaran yang
tepat untuk meningkatkan proses pembelajaran cerita pendek.
c. Siswa
1) Sebagai sarana meningkatkan kemampuan apresiasi cerita pendek.
2) Sebagai sarana untuk meningkatkan motivasi belajar terutama dalam
pembelajaran apresiasi cerita pendek.
d. Peneliti yang lain
Sebagai landasan untuk melakukan kajian-kajian lebih lanjut
mengenai suatu rancangan pembelajaran apresiasi cerita pendek dengan
metode pembelajaran yang sesuai dengan kondisi sekolah.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN
HIPOTESIS TINDAKAN
A. Kajian Pustaka
1. Hakikat Cerita Pendek dalam Pembelajaran
Cerita pendek termasuk salah satu sastra jenis prosa fiksi. Cerita
pendek adalah salah satu jenis karya sastra yang cukup digemari oleh masyarakat.
Hal ini disebabkan apa yang diceritakan dalam cerita pendek merupakan hal yang
terjadi di lingkungan sekitar pembaca. Dalam lingkungan sekolah, sebagian besar
siswa menyukai cerita, termasuk cerita pendek.
Cerita pendek sebagai salah satu genre sastra fiksi sangat menarik
untuk dibaca dan dipelajari. Cerita pendek tergolong dalam cerita rekaan.
Nurgiyantoro (2005: 2) menyatakan bahwa cerita pendek dikatakan sebagai suatu
karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang
tidak terjadi sungguh-sungguh sehingga ia tak perlu dicari kebenarannya di dunia
nyata. Berikut ini akan dibahas lebih lanjut mengenai cerita pendek.
a. Pengertian Cerita Pendek
Cerita pendek merupakan salah satu genre karya sastra yang menarik
untuk dibaca dan dipelajari. Kesederhanaan dan kebulatan ide yang dimiliki
cerita pendek membuat jenis prosa ini mudah untuk dipahami. Rosidi (dalam
Tarigan, 1993: 177) mengemukakan bahwa cerita pendek adalah cerita yang
pendek dan merupakan kebulatan ide. Semua bagian cerita harus terikat pada
kesatuan jiwa, pendek, padat, dan lengkap.
Sedgwick (dalam Tarigan, 1993: 176) mengatakan bahwa cerita
pendek adalah penyajian suatu keadaan tersendiri atau suatu kelompok keadaan
yang memberikan kesan tunggal pada jiwa pembaca. Kesan tunggal ini berarti
bahwa cerita dalam cerita pendek hanya dipusatkan pada satu tokoh atau
sekelompok tokoh dalam situasi dan waktu tertentu. Cerita pendek juga tidak
boleh dipenuhi dengan hal-hal yang tidak perlu.
Salah satu hal yang membedakan antara cerita pendek dengan cerita
lain terdapat pada kuantitas cerita. Sejumlah ahli memberikan definisi cerita
pendek dengan membatasi kuantitas cerita. Berdasarkan segi kuantitas, cerita
pendek dapat dilihat dari segi jumlah kata dan jumlah halaman. Notosusanto
(dalam Tarigan, 1993: 176) mengungkapkan bahwa cerita pendek adalah cerita
yang panjangnya sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi
rangkap yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri. Selain dari segi jumlah
kata maupun halaman, kuantitas cerita pendek dapat dilihat dari pembatasan plot
yang terdapat dalam cerita pendek. Arsyat, Ridwan, dan Mad’ei (1986: 4.13)
menyatakan bahwa cerita pendek itu bisa disebut cerita kalau pada cerita itu kita
temui adanya satu kesatuan. Artinya, cerita itu merupakan sesuatu yang utuh.
Jadi, pendeknya bukan karena dipenggal-penggal melainkan karena memang
pemenggalan plotnya terbatas.
Definisi cerita pendek juga dikemukakan oleh Hudson (dalam
Waluyo, 2006: 4-5) sebagai berikut.
a short story is a prose narrative “requiring form half to one or two hours in
its perusal”. Putting the same idea in to different phraseology, we may say
that a short story is a story that can be easily read at single sitting. Yet while
the brevity thus specified is the most obvious characteristic of the kind of
narrative in question, the evolution of the story in to a definite types has been
accompanied by the development also of some failly well-marked
characteristics of organism. A true short story is not merely a novel on a
reduced scale, or a digest in thorty pages of matter which would have been
quite as effectively, or even more effectively handled in three hundred.
Hudson ( dalam Waluyo, 2006: 5) juga menyatakan bahwa a short
story must contain one and only one informing idea, and that this idea must be
worked out to its logical conclusion with absolute singleness of aim and
directness of method.
Berdasarkan pendapat Hudson tersebut dapat diartikan bahwa cerita
pendek adalah sebuah prosa narasi yang dalam proses membacanya memerlukan
setengah jam sampai satu atau dua jam. Penempatan beberapa ide dalam setiap
tahap berbeda. Cerita pendek dapat dibaca dengan mudah dalam sekali duduk.
Kecepatan waktu pembacaannya merupakan kekhususan cerita pendek karena
itu merupakan sebagian besar karakteristik cerita pendek. Di sini Hudson
menekankan bahwa cerita pendek harus dapat dibaca dalam waktu singkat
dalam sekali duduk.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa cerita pendek adalah karya sastra hasil interpretasi pengarang yang
pendek, singkat, dan padu sehingga memberikan kesan tunggal bagi pembaca.
Cerita pendek menampilkan satu kebulatan ide. Cerita pendek merupakan cerita
yang habis dibaca dalam sekali duduk.
b. Ciri-ciri Cerita Pendek
Pengertian cerita pendek telah mengungkapkan secara implisit
maupun eksplisit bahwa cerita pendek mempunyai ciri-ciri tersendiri. Tarigan
memberikan penjelasan tentang ciri-ciri cerita pendek, yakni: (1) singkat, padu,
intensif (brevity, unity, intensity); (2) bahasanya tajam, sugestif, dan menarik
perhatian (incisive, suggestive, alert); (3) mengandung interpretasi pengarang
tentang konsepsinya mengenai kehidupan; (4) memiliki unsur utama berupa
adegan, tokoh, dan gerak (scene, character, and action); (5) menimbulkan satu
efek dalam pikiran pembaca; (6) mengandung insiden yang terpilih; memiliki
pelaku utama yang menonjol; (8) menyajikan kebulatan efek dan kesatuan
emosi; dan (9) jumlah kata dalam di bawah 10.000 kata (1993: 177-178).
Sifat umum cerita pendek ialah pemusatan perhatian pada satu
tokoh saja yang ditempatkan pada suatu situasi sehari-hari, tetapi yang
ternyata yang menentukan (perubahan dalam perspektif, kesadaran baru,
keputusan yang menentukan). Tamatnya seringkali tiba-tiba dan bersifat
terbuka (open ending). Dialog, impian, flash-back, dsb, sering digunakan
(pengaruh dari film). Bahasanya sederhana tetapi sugestif (Hartoko dan
Rahmanto, 1986: 132).
Pendapat Hartoko dan Rahmanto di atas menitikberatkan pada
pemusatan satu tokoh. Cerita pendek hanya memusatkan pada perubahan nasib
tokoh utama, sehingga biasanya alur yang digunakan hanya satu alur lurus.
Variasi yang terdapat dalam cerita pendek, seperti dialog, impian, dan flashback merupakan pengaruh dari film.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan
mengenai ciri-ciri cerita pendek antara lain: (1) singkat, padu, dan ringkas; (2)
memiliki unsur utama berupa adegan, tokoh, dan gerakan; (3) bahasanya tajam,
sugestif, dan menarik perhatian; (4) mengandung impresi pengarang tentang
konsepsi kehidupan; (5) menimbulkan efek tunggal pada pikiran pembaca; (6)
mengandung detil dan insiden yang betul-betul terpilih; (7) ada pelaku utama
yang benar-benar menonjol dalam cerita; dan (8) menyatakan kebulatan efek
dan kesatuan emosi.
c. Klasifikasi Cerita Pendek
Berdasarkan ciri-ciri cerita pendek yang sebagian besar mengacu
pada kuantitas maupun kualitas cerita, klasifikasi cerita pendek juga
dititikberatkan pada kedua hal tersebut. Tarigan (1993: 178) mengemukakan
bahwa klasifikasi cerita pendek dapat dilakukan dari berbagai sudut pandangan
yang umum, yakni berdasarkan jumlah kata dan berdasarkan nilai.
Berdasarkan jumlah kata yang terkandung oleh cerita pendek maka
dapat dibedakan dua jenis cerita pendek, yaitu cerpen yang pendek (short short
story) dan cerita pendek yang panjang (long short story). Cerpen yang pendek
Short short story adalah cerpen yang jumlah kata-katanya pada umumnya di
bawah 5000 kata maksimum 5000 kata, atau kira-kira 16 halaman kuarto spasi
rangkap, yang dapat dibaca dalam waktu kira-kira seperempat jam. Cerpen yang
panjang (long short story) adalah cerita pendek yang jumlah kata-katanya di
antara 5000 sampai 10.000 kata, minimal 5000 kata dan maksimal 10.000 kata,
atau kira-kira 33 halaman kuarto spasi rangkap, yang dapat dibaca kira-kira
setengah jam.
Berdasarkan nilai yang terkandung oleh cerita pendek maka dapat
dibedakan dua jenis cerita pendek, yaitu cerita sastra dan cerita hiburan. Cerpen
sastra adalah cerpen didasarkan pada pertimbangan cerpen tersebut benar-benar
bernilai sastra yaitu memenuhi norma-norma yang dituntut oleh seni sastra.
Cerpen hiburan adalah cerpen yang dianggap tidak bernilai sastra, tetapi lebih
ditunjukkan untuk menghibur saja.
d. Unsur-unsur Pembangun Cerita Pendek
Unsur-unsur pembangun cerita pendek biasanya disebut dengan
unsur intrinsik cerita pendek. Unsur pembangun cerita pendek sama dengan
unsur pembangun prosa fiksi yang lain seperti unsur pembangun novelette,
novel, atau pun roman. Unsur-unsur pembangun cerita pendek terdiri dari
tema cerita, plot atau alur cerita, penokohan atau perwatakan, setting atau latar
cerita, point of view atau sudut pandang pengarang, gaya bahasa, dan amanat.
Berikut ini dikupas satu per satu mengenai unsur-unsur pembangun tersebut.
1) Tema cerita atau pokok pikiran
Setiap prosa fiksi mengandung pokok pikiran atau tema
termasuk cerita pendek. Tema cerita pendek biasanya dapat diketahui
oleh pembaca melalui judul atau petunjuk setelah judul, maupun melalui
proses membaca cerita pendek yang perlu dilakukan beberapa kali.
Penemuan tema biasanya belum cukup dilakukan dengan sekali baca.
Sayuti (1997: 120) menyatakan tema adalah makna yang dilepaskan oleh
suatu cerita atau makna yang ditemukan oleh dan dalam suatu cerita. Ia
merupakan implikasi yang penting bagi suatu cerita secara keseluruhan,
bukan sebagian dari suatu cerita yang dapat dipisahkan.
Tema cerita adalah perwujudan dari pokok cerita yang ingin
disampaikan pengarang. Tema merupakan dasar awal terbentuknya cerita.
Hal ini sesuai dengan pendapat Hartoko dan Rahmanto (1986: 142)
mengemukakan bahwa tema adalah gagasan dasar umum yang menopang
sebuah karya sastra dan terkandung dalam teks sebagai struktur semantik
yang menyangkut persamaan dan perbedaan. Pendapat tersebut didukung
oleh pendapar Sudjiman (1988: 50) menyatakan gagasan, ide, atau pilihan
utama yang mendasar suatu karya sastra disebut tema.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tema adalah suatu
pokok cerita yang mendasari terbentuknya sebuah karya sastra yang dapat
disebut sebagai makna yang terkandung dalam cerita. Tema terkadang
disampaikan secara jelas (eksplisit) namun tidak jarang disampaikan
secara implisit. Dengan demikian, dalam menentukan tema sebuah cerita
rekaan haruslah dipahami dari keseluruhan unsur cerita itu.
Tema yang terdapat dalam setiap cerita tidaklah sama
tergantung dari pengarang untuk mengangkat tema apa dalam tulisannya.
Tema-tema yang diangkat oleh pengarang dapat digolongkan menjadi
beberapa golongan. Nurgiyantoro (2005: 77-84) menggolongkan tema
berdasarkan pada tiga sudut pandang, yaitu penggolongan dikhotomis
yang bersifat tradisional dan nontradisional, penggolongan dilihat dari
tingkatan pengalaman jiwa menurut Shipley, dan penggolangan dari
tingkat keutamaannya.
a) Tema tradisonal dan nontradisional
Tema tradisional merupakan tema yang menunjuk pada halhal yang “itu-itu” saja dalam arti ia telah lama dipergunakan dalam
berbagai cerita, termasuk cerita lama. Tema ini merupakan tema yang
banyak digemari orang dengan sosial apapun, dimanapun, dan
kapanpun. Tema jenis tersebut bersifat universal.
Tema nontradisional adalah tema yang mengangkat sesuatu
yang tidak lazim. Tema jenis ini mungkin tidak sesuai dengan harapan
pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi
mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif yang lain.
b) Tingkatan tema menurut Shipley
Shipley (dalam Nurgiyantoro, 2005: 80) membedakan tema
karya sastra menjadi tingkatan-tingkatan. Semuanya ada lima
tingkatan yang berdasarkan pada tingkatan jiwa, yang disusun dari
tingkatan paling sederhana, tingkat tumbuhan dan makhluk hidup ke
tingkatan yang paling tinggi yang hanya dapat dicapai manusia.
Kelima tingkatan tema yang dimaksud, yakni: (1) tema
physical (jasmaniah), merupakan tema yang cenderung berkaitan
dengan keadaan jasmani seorang manusia; (2) tema organic,
diterjemahkan sebagai tema moral karena kelompok ini mencakup
hal-hal yang berhubungan dengan moral manusia; (3) tema sosial,
tema yang meliputi hal-hal yang berada di luar pribadi; (4) tema egoik
atau reaksi individual, berkaitan dengan proses pribadi kepada
ketidakadilan, kekuasaan yang berlebihan, dan pertentangan individu;
dan (5) tema divine (Ketuhanan), menyangkut renungan yang bersifat
religius berhubungan manusia dengan Sang Khalik.
c) Tema utama dan tema tambahan
Makna utama cerita disebut juga makna mayor artinya
makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum
karya itu. Makna utama tersirat pada sebagian besar cerita. Sedangkan
makna tambahan disebut juga makna minor, yaitu makna yang hanya
terdapat pada bagian-bagian tertentu saja.
Menurut Waluyo (2006: 10) terdapat cara penafsiran tema prosa
fiksi termasuk cerita pendek, yaitu dengan kisi-kisi: (1) jangan sampai
bertentangan dengan setiap rincian cerita; (2) harus dapat dibuktikan secara
langsung dalam teks prosa fiksi itu; (3) penafsiran tema tidak hanya
berdasarkan pada perkiraan; dan (4) tema cerita berkaitan dengan rincian
yang ditonjolkan (mungkin malahan disebutkan sebagai bagian dari judul).
2) Plot atau alur cerita
Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit
orang yang menganggapnya sebagai unsur yang terpenting di antara
berbagai unsur fiksi yang lain. Alur atau plot sering juga disebut dengan
kerangka cerita. Waluyo (2006: 11) mengemukakan bahwa alur atau plot
sering juga disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam
urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan akibat dan memiliki
kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang.
Sebutan alur cerita sebagai kerangka cerita memang beralasan karena
secara sederhana alur cerita berarti rangkaian peristiwa dalam cerita.
Semi (1993: 43) dalam bukunya mengungkapkan alur sebagai
berikut.
Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang
disusun sebagai sebuah intralasi fungsional yang sekaligus
menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan isi. Dengan
demikian, alur itu merupakan perpaduan unsur-unsur yang
membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita.
Pendapat Semi di atas memberikan pengertian bahwa alur
sebenarnya bukan hanya rangkaian peristiwa namun merupakan hasil
perpaduan antara unsur-unsur cerita. Dengan demikian, alur sebenarnya
tidak hanya menyebutkan nama peristiwa tetapi juga menyebutkan hal-hal
yang mendukung peristiwa itu terjadi. Sayuti (1997: 19) menyatakan plot
atau alur fiksi hendaknya diartikan tidak hanya sebagai peristiwa-peristiwa
yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu,
tetapi lebih merupakan penyusunan yang dilakukan oleh penulisnya tentang
peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan hubungan-hubungan kausalitas.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
alur atau plot adalah kerangka utama cerita yang terdiri dari rangkaian
peristiwa dalam cerita. Alur merupakan hubungan sebab akibat dan
menjelaskan mengapa sesuatu terjadi.
Berdasar pada pengertian plot yang telah disebutkan dapat
dipahami bahwa betapa pentingnya plot dalam sebuah cerita. Menarik
tidaknya sebuah cerita ditentukan dengan kelihaian pengarang dalam
merangkai peristiwa menjadi sebuah plot. Plot suatu cerita merupakan
unsur cerita yang kompleks. Untuk memenuhi kekomplekan tersebut,
dalam menyusun plot seorang pengarang seharusnya memerhatikan kaidahkaidah pemplotan. Kenney (dalam Nurgiyantoro, 2005: 130) menyatakan
bahwa terdapat kaidah-kaidah pemplotan yang meliputi plausibilitas
(plausibility), adanya unsur kejutan (surprise), rasa ingin tahu (suspense),
dan kepaduan (unity).
Plausibilitas
disebut
juga
kebolehjadian.
Artinya
bahwa
rangkaian cerita itu bukanlah khayalan semata, namun mungkin terjadi di
dunia nyata ini. Meskipun fiksi atau khayalan, namun rangkaian cerita itu
seperti betul-betul hidup dan hadir di hadapan pembaca.
Kejutan (surprise) artinya bahwa pembaca tidak bisa mengirairakan bagaimana rangkaian cerita itu terjadi. Para pembaca harus
mendapat kejutan dari cerita yang dibacanya, sehingga mereka akan
senantiasa ingin mengikuti bagaimana jalannya cerita berikutnya.
Cerita yang baik pasti memiliki kadar suspense yang tinggi dan
terjaga. Lebih tepatnya mampu membangkitkan rasa ingin tahu pembaca.
Jika rasa ingin tahu pembaca mampu dibangkitkan dan terus terjaga dalam
sebuah cerita, dan hal itu berarti cerita tersebut menarik perhatiannya, ia
pasti terdorong kemauannya untuk membaca terus cerita yang dihadapinya
sampai selesai.
Kepaduan menyaran pada pengertian bahwa berbagai unsur yang
ditampilkan, khususnya peristiwa-peristiwa fungsional, kaitan, dan acuan
yang mengandung konflik, atau seluruh pengalaman hidup yang hendak
dikomunikasikan, memiliki keterkaitan data dengan yang lain. Scholes
(dalam Waluyo, 2006: 12) mengemukakan unsur-unsur cerita dinyatakan
sebagai unsur dinamik. Rangkaian kejadian yang menyusun plot meliputi:
(1) eksposisi; (2) inciting moment; (3) rising action; (4) complication; (5)
climax; (6) falling action; dan (7) denouement. Sementara itu, Kenney
(dalam Waluyo, 2006:12) menyebutkan tiga tahap plot, yaitu: (1) beginning
atau exposition; (2) the middle atau konflik, komplikasi, dan klimaks; dan
(3) the end atau denouemen.
Eksposisi
artinya
paparan
awal
cerita.
Pengarang
memperkenalkan awal cerita, wataknya, tempat kejadiannya, dan hal-hal
yang melatarbelakangi tokoh itu, sehingga akan mempermudah pembaca
mengetahui jalinan cerita sesudahnya. Inciting moment artinya mulainya
problem cerita itu muncul. Tahap ini disebut juga “the element of
instability” yang menyebabkan adanya konflik dan menyebabkan konflik
itu meningkat terus sampai ke klimaks cerita.
Rising action artinya konflik terus meningkat. Complication
menunjukkan konflik yang semakin ruwet. Climax atau puncak cerita, atau
puncak penggawatan. Climax adalah puncak dari kejadian-kejadian dan
merupakan jawaban dari semua problem atau konflik yang tidak mungkin
dapat meningkat atau dapat lebih ruwet lagi. Falling action atau
denouenment adalah akhir dari sebuah cerita.
Nurgiyantoro (2005: 153-163) membedakan plot menjadi
beberapa bagian, yaitu: (1) perbedaan plot berdasarkan kriteria urutan
waktu, terdiri dari plot lurus dan plot sorot balik; (2) perbedaan plot
berdasarkan jumlah, terdiri dari plot tunggal dan sub-sub plot; (3)
pembedaan plot berdasarkan kriteria kepadatan, terdiri dari plot padat dan
plot longgar; dan (4) pembedaan plot berdasarkan kriteria isi, terdiri dari
plot peruntungan, plot tokohan, dan plot pemikiran.
3) Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan merupakan hal yang penting dalam cerita.
Sistem tokoh dan penokohan biasanya menjadi daya tarik sebuah cerita.
Tokoh dan penokohan merupakan dua unsur cerita yang berbeda. Tokoh
cerita disebut juga dengan pelaku cerita. Penokohan sering disebut dengan
perwatakan. Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan
sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk
pada kualitas pribadi tokoh (Nurgiyantoro, 2005: 165). Suroto (1990: 92)
menyatakan bahwa penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkan
tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut.
Sujiman (1988: 16) menyatakan yang dimaksud tokoh ialah
individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai
peristiwa dalam cerita. Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku
cerita (Nurgiyantoro, 2005: 165). Dari uraian di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa tokoh adalah pelaku atau orang yang ada dalam sebuah
cerita. Penokohan adalah cara seorang pengarang untuk menampilkan
tokoh-tokoh dalam karangannya.
Dalam sebuah cerita biasanya terdiri dari beberapa tokoh yang
berbeda. Sudjiman (1988: 17-21) membagi tokoh menjadi empat jenis,
yakni tokoh sentral, tokoh bawahan, tokoh datar, dan tokoh bulat. Tokoh
sentral adalah tokoh yang memegang peran pimpinan atau disebut juga
protagonis. Tokoh bawahan adalah tokoh yang membantu tokoh sentral
(tokoh protagonis). Tokoh datar adalah tokoh yang dilihat dari satu
wataknya saja. Tokoh bulat adalah tokoh itu dilihat dari berbagai sisi
sehingga tidak menimbulkan kesan “hitam-putih”.
Penggambaran watak dalam tokoh cerita berbeda-beda sesuai
dengan keinginan pengarang. Suroto (1990: 93) dalam bukunya
menyatakan penggambaran watak pada tokoh dalam cerita dikenal dengan
tiga macam cara, yaitu: (1) Secara analitik, pengarang menjelaskan atau
menceritakan secara rinci watak tokoh-tokohnya; (2) Secara dramatik,
pengarang tidak secara langsung menggambarkan tokoh-tokohnya tetapi
melalui lingkungan tokoh, menampilkan dialog tokoh, dan reaksi tokoh lain
terhadap seorang tokoh; dan (3) Gabungan cara analitik dan dramatik,
antara penjelasan dan drama saling menjelaskan.
4) Setting atau latar
Sebagian orang mengartikan latar cerita sebagai tempat kejadian
cerita. Waluyo (2006: 28) mengungkapkan setting adalah tempat kejadian
cerita. Tempat kejadian cerita dapat berkaitan dengan aspek fisik, aspek
sosiologis, dan aspek psikis. Akan tetapi, sebenarnya setting merupakan
gabungan antara tempat dan waktu kejadian. Sayuti (1996: 76) menyatakan
bahwa elemen fiksi yang menunjukkan kepada kita dii mana dan kapan
kejadian-kejadian dalam cerita berlangsung disebut setting ‘latar’. Semi
(1993:46) mendefinisikan latar cerita atau landas tumpu (setting) adalah
lingkungan tempat peristiwa terjadi.
Hartoko dan Rahmanto (1986: 78) mengemukakan bahwa istilah
latar sama dengan setting. Penempatan dalam ruang dan waktu seperti yang
terjadi dengan karya naratif atau dramatis. Penting untuk menciptakan
suasana dalam karya atau adegan serta untuk menyusun pertentangan
tematis.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar adalah suatu
unsur cerita yang menyatakan tempat dan waktu terjadinya peristiwa dalam
cerita itu dan mampu menumbuhkan suasana cerita. Jadi, latar tidak hanya
menyaran pada tempat tetapi mencakup tempat, waktu, dan suasana cerita.
Dalam sebuah cerita setiap unsur memiliki peranannya masingmasing begitu pula dengan setting/latar cerita. Waluyo (2006: 28)
menyatakan fungsi setting untuk: (1) mempertegas watak pelaku; (2)
memberikan tekanan pada tema cerita; (3) memperjelas tema yang
disampaikan; (4) metafora bagi situasi psikis pelaku; (5) sebagai pemberi
atmosfer (kesan); dan (6) memperkuat posisi plot. Nurgiyantoro (2205:
227) menyatakan bahwa unsur latar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu
tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan satu sama
lain.
Pertama, latar tempat menunjuk pada tempat atau lokasi
terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah fiksi. Penggunaan latar
tempat dengan nama-nama tertentu harus mencerminkan sifat dan keadaan
geografis tempat yang bersangkutan.
Kedua, latar waktu berhubungan
masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi. Latar waktu dapat menjadi dominan dan fungsional jika
digarap dengan teliti, terutama jika berhubungan dengan peristiwa sejarah.
Ketiga, latar sosial merujuk pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan
dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup
masalah kehidupan yang cukup kompleks.
5) Point of View atau sudut pandang pengarang
Sudut pandang secara sederhana sering diartikan sebagai peran
pengarang dalam cerita. Sayuti (1996: 100) menyatakan bahwa sudut
pandang pada dasarnya adalah visi pengarang, dalam arti bahwa ia
merupakan sudut pandangan yang diambil oleh pengarang untuk melihat
peristiwa dan kejadian dalam cerita. Sudut pandang pada hakikatnya
merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang
mengemukakan gagasan dan ceritanya. Waluyo (2006:30) menyatakan
point of view merupakan sudut pandang pengarang, teknik yang digunakan
pengarang untuk berperan dalam cerita itu. Apakah ia sebagai orang
pertama (juru cerita) atau sebagai orang ketiga (menyebut pelaku sebagai
dia). Yang pertama dinyatakan sebagai gaya akuan dan yang kedua sebagai
gaya diaan. Sementara itu, Semi (1993:56) menyebut point of view atau
sudut pandang dengan pusat pengisahan, yakni posisi dan penempatan diri
pengarang dalam ceritanya, atau darimana ia melihat peristiwa-peristiwa
yang terdapat dalam ceritanya itu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa point of view adalah
teknik yang digunakan oleh pengarang untuk berperan dalam cerita. Teknik
ini terdiri dari teknik akuan atau diaan. Teknik akuan merupakan orang
pertama pelaku utama, sedangkan teknik diaan merupakan orang ketiga
pelaku utama.
6) Dialog atau percakapan
Dialog merupakan unsur yang dapat memperjelas kejadian dalam
cerita. Dialog dapat mengantarkan kepada pembaca bagaimana suasana
cerita sebenarnya. Suroto (1990: 94) mengungkapkan dialog atau
percakapan adalah ujaran-ujaran yang dilakukan oleh para tokoh dalam
suatu cerita. Dialog dapat menunjang penggambaran latar, plot,
perwatakan, dan pesan. Semua cerita fiksi termasuk cerita pendek
menggunakan dialog untuk memperkuat watak tokoh-tokoh.
Nurgiyantoro (2005: 311) menyatakan dua jenis fungsi dialog,
yaitu:
(1) memperkonkret
watak
dan
karakter pelaku;
dan
(2)
memperhidupkan pelaku. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan dialog
adalah
ujaran
yang
digunakan
pengarang
untuk
mendukung
memperkonkret tokoh, plot, latar, perwatakan, dan pesan suatu cerita.
7) Gaya bercerita
Setiap pengarang mempunyai sifat dan selera masing-masing.
Keadaan inilah yang membuat setiap pengarang mempunyai gaya bercerita
yang berbeda dalam setiap karangan. Nurgiyantoro (2005: 277)
mengemukakan bahwa pada hakikatnya gaya merupakan teknik pemilihan
ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang
diungkapkan. Sayuti (1986: 110) mengungkapkan bahwa gaya merupakan
cara khas pengungkapan seorang pengarang. Gaya ditandai oleh diksi,
struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi, dan
sebagainya.
Dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah suatu cara
pengungkapan bahasa yang digunakan pengarang untuk mewakili sesuatu
yang dirasakan. Gaya bahasa biasanya sesuai dengan tipikal karangan
seseorang, sehingga antara satu cerita dengan cerita yang lain memiliki
gaya bahasa masing-masing.
8) Amanat
Cerita dikatakan bermutu atau tidak bisa dilihat dari amanat yang
ingin disampaikan dalam cerita itu. Semakin baik (berkualitas) dan semakin
banyak amanat yang disampaikan maka semakin tinggi nilai cerita tersebut.
Amanat dalam bahasa Inggris “message” sama dengan pesan. Pesan yang
ingin disampaikan pengarang lewat karyanya (cerpen atau novel) kepada
pembaca atau pendengar (Haryoko dan Rahmanto, 1986: 10).
Suroto
(1990:89) mengungkapkan
bahwa amanat
adalah
pandangan pengarang tentang bagaimana sikap kita kalau kita mengghadapi
suatu persoalan yang disampaikan dalam suatu cerita. Dapat disimpulkan
bahwa amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang lewat
karyanya agar pembaca mampu mengambil hikmahnya.
e. Cerita pendek dalam Pembelajaran
Sastra berfungsi menghibur dan sekaligus juga mendidik, sehingga
unsur-unsur paling sedikit ada dua nilai yang diperoleh dari sastra, yaitu
memahami kebutuhan akan kepuasan pribadi dan pengembangan kemampuan
berbahasa yang disebut sebagai nilai pendidikan pada karya sastra (Rofi’uddin
dan Zuhdi, 2001: 62). Hasil penelitian di Selandia Baru menunjukkan bahwa
cerita yang berikan ibu-ibu pada anak-anak mereka memberikan kontribusi
yang berarti dalam keberhasilan pendidikan (Musfiroh, 2008: 82).
Dalam kurikulum 2006 terdapat dua tujuan yang berkenaan dengan
karya sastra, yakni: (1) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk
memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan berbahasa; (2) menghargai dan membanggakan
sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Menilik fungsi cerita pendek sebagai sarana pendidikan dan tujuan
kurikulum sekarang, maka dapat disimpulkan bahwa secara langsung maupun
tidak cerita pendek dapat digunakan sebagai media pembelajaran. Cerita
pendek dapat digunakan untuk menyampaikan amanat tentang norma-norma
kehidupan. Selain itu, cerita pendek juga dapat dijadikan sarana untuk
meningkatkan kemampuan kebahasaan siswa. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Rofi’uddin dan Zuhdi (2001: 62) banyak sekali hasil pendidikan
yang menunjukkan keefektifan karya sastra dalam mengembangkan
kemahiran berbahasa.
Melalui penggunaan media cerita pendek, siswa dapat mengambil
amanat yang terkandung serta memahami cerita pendek. Cerita pendek dapat
merangsang siswa untuk rajin membaca dan meningkatkan kemampuan
memahami bacaan. Selain itu melalui pengembangan media cerita pendek
juga
mampu
meningkatkan
kemampuan
menulis
anak
dengan
mengungkapkan kembali isi cerita pendek. Selain itu, juga dapat
meningkatkan partisipasi belajar siswa mengingat berbagai variasi cerita yang
ada dalam berbagai cerita pendek yang bisa disampaikan dalam pembelajaran.
2. Hakikat Pembelajaran Apresiasi Cerita Pendek
Pembelajaran apresiasi sastra dalam hal ini termasuk apresiasi
cerita pendek telah diterapkan pada kurikulum pendidikan mulai dari tingkat
sekolah dasar sampai sekolah menengah atas bahkan perguruan tinggi. Apresiasi
merupakan kegiatan terlengkap dalam pembelajaran sastra di sekolah. Untuk
memahami lebih lanjut mengenai pembelajaran apresiasi cerita pendek, berikut
uraiannya.
a. Pengertian Apresiasi Cerita Pendek
Dalam dunia karya sastra kata apresiasi tidaklah asing. Kata
apresiasi dalam bahasa Indonesia berpedoman dengan kata Inggris
appreciation yang dalam kamus Inggris diberi makna ‘penghargaan’ (Arsyad,
Ridwan, dan Mad’ie, 1986: 4.2). Hartoko (1986: 17) menyebut bahwa
apresiasi sebagai penghargaan. Apresiasi sastra adalah penghargaan karya
sastra. Dalam karya sastra, seseorang langsung “menukiki” karya sastra,
berusaha menerima karya sastra sebagai seni yang mengandung nilai-nilai
sastra sebagai sesuatu yang benar. Untuk mengerti karya sastra, diperlukan
analisis terhadap bagian-bagian struktur.
Apresiasi sastra merupakan rangkaian kegiatan seseorang saat
melakukan kontak dengan suatu karya sastra. Kegiatan apresiasi terdiri dari
kegiatan menikmati karya sastra mulai dari pemahaman, merespon karya
tersebut, hingga memberikan penilaian. Arsyad, Ridwan, dan Mad’ie (1986:
4.2) menyatakan apresiasi terhadap sebuah karya sastra tidak terbatas pada
pemberian penghargaan terhadap mutu atau nilai karya sastra itu saja tetapi
mencakup juga pada kegiatan menikmati keindahan karya sastra itu serta
mengerti dan memberi keterangan mengapa karya sastra itu indah.
Sayuti (1996: 2) menjelaskan bahwa apresiasi sastra adalah upaya
memahami karya sastra, yaitu upaya bagaimanakah caranya untuk dapat
mengerti sebuah karya sastra yang kita baca, baik fiksi maupun puisi,
mengerti maknanya, baik yang intensional maupun yang aktual, dan mengerti
seluk-beluk strukturnya. Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat
disimpulkan bahwa apresiasi cerita pendek adalah upaya memahami, menilai,
dan menceritakan kembali isi cerita pendek. Semakin baik kemampuan
seorang pembaca untuk memahami cerita pendek, tentulah pembaca akan
mampu memperoleh manfaat cerita pendek.
b. Pembelajaran Apresiasi Cerita Pendek
Pembelajaran apresiasi cerita pendek di sekolah dasar merupakan
pembelajaran apresiasi prosa dasar. Di sekolah dasar inilah landasan apresiasi
sastra ditanamkan pada peserta didik yang nantinya akan menjadi titik tolak
pembelajaran apresiasi sastra di jenjang pendidikan berikutnya. Oleh karena
itu, pembelajaran apresiasi prosa terutama cerita pendek haruslah menarik
perhatian siswa dan efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Dalam kurikulum sekolah dinyatakan bahwa pembelajaran sastra
ditunjukkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam
mengapresiasi karya sastra. Sejalan dengan hal itu maka dalam konteks
kegiatan belajar mengajar sastra tugas utama guru adalah membuahkan
pengalaman belajar untuk menjadikan murid memahami, menikmati,
menghayati, dan memiliki sikap positif terhadap karya sastra (Baruadi,
2005: 270-271).
Dengan demikian mengajar adalah seni dalam arti bahwa kegiatan
guru tidak didominasi oleh aturan-aturan atau hal-hal rutin, tetapi dipengaruhi
oleh kualitas dan kemungkinan-kemungkinan yang tidak bisa diperkirakan
sebelumnya. Guru hendaknya berfungsi dalam pembaharuan untuk mengatasi
kemungkinan-kemungkinan tersebut. Untuk mengatakan bahwa aturan adalah
hal-hal rutin tidak mendominasi kegiatan guru, tentu saja tidak dengan
mengatakan bahwa mereka tidak berpartisipasi dalam pembelajaran.
Dalam mewujudkan pembelajaran apresiasi cerita pendek yang
menarik dan efektif, guru perlu mempertimbangkan cerita pendek yang akan
diajarkan sebagai bahan pembelajaran. Selain itu guru juga harus menentukan
teknik pembelajaran yang akan diterapkan, serta membuat rencana
pembelajaran yang
akan dilakukan. Untuk lebih rincinya, berikut akan
dijelaskan mengenai hal-hal yang harus disiapkan dalam pembelajaran
apresiasi cerita pendek.
1) Kriteria pemilihan cerita pendek sebagai bahan ajar
Supriyadi (1992: 351-358) menjelaskan kriteria bahan ajar
apresiasi cerita pendek ada dua, yakni kriteria tingkat keterbacaan dan
kriteria kesesuaian. Berikut uraian mengenai kedua kriteria tersebut.
a) Tingkat keterbacaan
Tingkat keterbacaan adalah mudah tidaknya suatu bahan
bacaan (cerita pendek) untuk dicerna, dihayati, dipahami, dan dinikmati
oleh siswa. Ada beberapa syarat prosa yang memiliki tingkat keterbacaan
yang baik, yakni: (1) kejelasan bahasa, (2) kejelasan tema, (3)
kesederhanaan plot, (4) kejelasan watak, (5) kesederhanaan latar, dan (6)
kejelasan pusat pengisahan.
b) Tingkat kesesuaian
Tingkat kesesuaian adalah cocok tidaknya materi apresiasi
cerita pendek sebagai materi pembelajaran di sekolah dasar. Meteri ini
disesuaikan dengan perkembangan psikologi siswa dan kandungan moral
cerita. Psikologi siswa pada umumnya berbanding lurus dengan usianya.
Anak usia 6-9 tahun, mereka lebih menyukai cerita yang
sederhana dari perikehidupan sehari-hari sampai dengan dongeng-dongeng
hewan. Mereka juga menyukai cerita-cerita lucu. Anak usia 9-12 tahun,
perhatian mereka lebih tertarik pada ceria-cerita yang menggambarkan
pahit-manisnya hidup kekeluargaan yang dilukiskan dengan cara yang
lebih realistis. Di samping itu mereka juga menyukai cerita–cerita fantastis
dan cerita kepetualangan.
Selain kedua hal di atas, Rahmanto (1988: 27-33) mengemukakan
agar dapat memilih bahan pengajaran yang tepat, beberapa aspek perlu
dipertimbangkan, yaitu dari sudut bahasa, aspek kematangan jiwa
(psikologi), dan latar belakang kebudayaan para siswa. Lebih jelasnya akan
diuraikan sebagai berikut.
a) Bahasa
Agar pengajaran sastra dapat lebih berhasil, guru kiranya perlu
mengembangkan keterampilan khusus untuk memilih bahan pengajaran
sastra yang bahasanya sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa
siswanya.
Dalam
pembelajaran
sastra
guru
hendaknya
mempertimbangkan jumlah kosakata, tata bahasa, situasi, pengertian isi
wacana, cara menuangkan ide-idenya, dan hubungan antarkalimat. Hal ini
membuat siswa mampu memahami karya sastra dengan mudah.
b) Psikologi
Dalam pemilihan cerita pendek yang akan disajikan dalam
pembelajaran, guru hendaknya memperhatikan tingkat perkembangan
psikologi siswa. Hal ini diharapkan agar guru tidak salah pilih cerita
pendek
yang
disajikan,
sehingga
siswa
lebih
tertarik
untuk
mempelajarinya. Psikologi siswa pada sekolah dasar dibagi menjadi dua
tahap, yakni tahap menghayal (8-9 tahun) dan masa romantik (10-12
tahun).
Tahap penghayal (8-9 tahun) adalah imajinasi anak yang belum
banyak diisi dengan hal-hal nyata tetapi masih penuh dengan berbagai
macam fantasi kekanakan. Masa romantik (10-12 tahun) adalah masa
anak mulai meninggalkan fantasi-fantasi dan mengarah ke realitas. Meski
tahapan dunia ini masih sangat sederhana, tapi pada tahap ini anak telah
menyenangi cerita-cerita kepahlawanan, petualangan, dan bahkan
kejahatan.
c) Latar belakang budaya
Karya sastra yang diambil dalam pembelajaran hendaknya erat
hubungannya dengan kehidupan siswa untuk menarik minat siswa karena
siswa tidak perlu berimajinasi terlalu jauh dari jangkauannya.
2) Teknik-teknik pengajaran apresiasi cerita pendek
Teknik-teknik pengajaran apresiasi prosa dalam hal ini termasuk
cerita pendek menurut Supriyadi (1992: 362-368) terbagi menjadi lima,
yakni: (1) Mendengarkan cerita, teknik ini dapat dilakukan dengan cara
mendengarkan cerita dari kaset dan mendengarkan cerita yang dibacakan
guru; (2) murid membaca cerita; (3) mengikhtisarkan cerita; (4) murid
bertukar pengalaman; dan (5) murid mengalisis cerita.
3) Rancangan pembelajaran apresiasi cerita pendek
Tahap-tahap rancangan pembelajaran apresiasi prosa dalam hal
ini cerita pendek oleh Supriyadi dibagi menjadi lima, yakni: (1) memilih dan
mempelajari cerita pendek yang akan diajarkan, (2) menentukan kegiatan
kegitan yang akan dilakukan, (3) memberikan pengantar pelajaran,
(4) menyajikan bahan pengajaran, dan (5) memperdalam pengalaman.
Sementara itu, Rahmanto (1988: 43) memberikan pendapat
mengenai tata cara penyajian yang perlu dipertimbangkan oleh setiap guru
dalam memberikan pengajaran sastra termasuk apresiasi cerita pendek,
antara lain: (1) pelacakan pendahuluan, (2) penentuan sikap praktis, (3)
introduksi, (4) penyajian, (5) diskusi, dan (6) pengukuhan (tes).
Selain strategi pembelajaran di atas, Nurgiyantoro (2001:323)
mengungkapkan bahwa pemilihan bahan yang akan diujikan dalam kegiatan
yang harus dikerjakan oleh siswa tentu saja hendaknya disesuaikan dengan
tingkat perkembangan dan kejiwaan kognitif siswa. Puisi, fiksi, atau drama
yang yang diteskan untuk anak SD harus yang berada pada jangkauan
kognitif mereka. Untuk anak SD, membaca sastra masih ada kaitannya
secara integral dengan pengajaran bahasa Indonesia. Anak SD belum perlu
ditugasi untuk menganalisis bacaan sastra seperti menentukan tema atau
analisis bentuk.
c. Manfaat Pembelajaran Apresiasi Cerita Pendek
Setiap aktivitas pembelajaran yang diterapkan dalam sebuah
kurikulum pasti memiliki manfaat yang positif yang dapat diperoleh para
pembelajarnya, begitu juga dalam pembelajaran apresiasi cerita pendek.
Rahmanto
(1988:
16-25)
menjelaskan
pembelajaran
sastra
termasuk
pembelajaran apresiasi cerita pendek dapat memberikan empat manfaat, yakni:
(1) membantu keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan kemampuan budaya;
(3) mengembangkan cipta dan rasa; dan (4) menunjang pembentukan watak.
Keterampilan berbahasa siswa dapat dilihat kemampuan mereka
dalam menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Mengikutsertakan
pembelajaran apresiasi cerita pendek dalam kurikulum berarti melatih siswa
dalam keterampilan membaca, menyimak, wicara, dan menulis yang masingmasing erat hubungannya. Dalam pengajaran sastra, siswa dapat melatih
keterampilan menyimak dengan mendengarkan cerita pendek yang dibacakan
guru, teman, maupun melalui pita suara. Siswa dapat melatih keterampilan
wicara dengan aktvitas menceritakan kembali di depan kelas isi cerita pendek.
Siswa dapat melatih keterampilan membaca dengan membacakan prosa cerita.
Karena
pembelajaran
apresiasi
cerita
pendek
menarik,
siswa
dapat
mendiskusikannya dan kemudian menuliskan hasil diskusinya sebagai latihan
keterampilan menulis.
Karya sastra merupakan wujud dari kebudayaan masyarakat. Dengan
demikian, karya sastra yang merupakan implementasi dari sebuah budaya
pastilah mempuyai nilai-nilai kebudayaan yang ingin disampaikan. Setiap karya
sastra termasuk cerita pendek selalu menghadirkan ‘sesuatu’ dan kerap
menyajikan banyak hal apabila dihayati benar-benar akan semakin menambah
pengetahuan orang yang menghayatinya. Pengajaran sastra, jika dilakukan
dengan bijaksana, dapat mengantar para siswa berkenalan pribadi-pribadi dan
pemikir-pemikir besar di dunia serta pemikiran-pemikiran utama dari zaman ke
zaman.
Dalam pengajaran sastra terdapat beberapa kecakapan yang
dikembangkan yaitu kecakapan yang bersifat indra, penalaran, afektif, sosial,
dan religius. Selanjutnya berikut sedikit penjelasan mengenai kelima kecakapan
ini.
1. Indra
Pengajaran sastra dapat digunakan untk memperluas pengungkapan
apa yang diterima oleh panca indra seperti, indra penglihatan, indra
pengecapan, indra pendengaran, dan indra peraba. Hal ini dikarenakan
adanya tafsiran serta ungkapan makna kata-kata yang diungkapkan oleh
pengarang.
2. Penalaran
Pembelajaran sastra jika diarahkan dengan tepat akan sangat
membantu siswa melatih pemecahkan masalah-masalah berpikir logis seperti
dugaan, kebisaan, tradisi, dorongan dan sebagainya.
3. Perasaan
Sastra dengan jelas dapat menghadirkan berbagai problem situasi
yang merangsang tanggapan perasaan atau tanggapan emosional. Situasi dan
problem itu oleh sastrawan diungkapkan denga cara-cara memungkinkan kita
tergerak untuk menjelajahi dan mengembangkan perasaan kita sesuai dengan
kodrat kemanusiaan kita.
4. Kesadaran sosial
Seorang pengarang biasanya mampu mengatarkan imajinasi
pembaca untuk menerobos suatu masalah sosial kemudian memahami
intinya.
5. Rasa religius
Dalam karya sastra terdapat nilai-nilai religius yang bisa dipelajari.
Hal ini dapat mengantarkan pembaca untuk menerima apa yang mereka
yakini.
Rahmanto di atas telah menyatakan bahwa pembelajaran sastra dapat
menunjang pembentukan watak. Pembelajaran sastra diharapkan dapat membina
perasaan yang lebih tajam dan mampu memberikan bantuan dalam
mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang antara lain meliputi:
ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan.
Selain manfaat pembelajaran sastra yang diungkapkan di atas, upaya
mengajarkan sastra ke arah apresiasi sastra sebagai tuntunan akhir menurut
Baruadi (2005 : 272) terdapat tiga fungsi pembelajaran. Tiga fungsi tersebut
adalah fungsi idiologis, fungsi kultural, dan fungsi praktis. Ketiga fungsi
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Fungsi idiologis merupakan perwujudan dari tujuan pendidikan
nasional yang berdasarkan pancasila dapat dilakukan melalui pemilihan
bahan ajar sastra, sehingga siswa akan mampu meningkatkan ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, budi pekerti,
kepribadian, dan semangat kebangsaan. Fungsi kultural berkaitan dengan
usaha untuk meneruskan budaya yang berdasarkan wawasan nusantara
dapat dilaksanakan melalui pengajaran apresiasi sastra. Melalui pemilihan
materi ajar siswa diperkenalkan dengan karya sastra yang padat dengan
ide-ide budaya nasional dan daerah. Fungsi praktis, berdasarkan fungsi ini
siswa dibekali dengan bahan-bahan yang mungkin berguna baginya di
dalam masyarakat. Oleh karena itu, pemilihan bahan ajar sastra hendaklah
disesuaikan dengan perkembangan zaman, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi terutama yang berhubungan langsung dengan
kebutuhan masyarakat.
Beberapa pendapat di atas jika disimpulkan akan kita pahami bahwa
pada dasarnya pembelajaran sastra memiliki peranan penting dalam
pembentukan watak dan kepribadian kita. Hal ini tampak dari manfaat maupun
fungsi pembelajaran sastra mencakup berbagai sendi kehidupan mulai dari segi
intelektual, sosial, budaya, hingga spiritual. Dengan demikian, pembelajaran
sastra merupakan salah satu jalan yang dapat digunakan oleh pendidik untuk
memperbaiki moral bangsa yang sudah mulai menurun akhir-akhir ini.
d. Penilaian Pembelajaran Apresiasi Cerita Pendek
Penilaian adalah suatu proses untuk mengetahui apakah proses dan
hasil dari suatu proses kegiatan telah sesuai dengan tujuan atau kriteria yang
telah ditetapkan (Suwandi, 2008: 15). Hal ini berarti bahwa cara kita untuk
mengetahui keberhasilan dalam suatu pembelajaran diperlukan suatu kegiatan
yang dinamakan penilaian. Penilaian yang digunakan harus mencakup aspek
kualitatif maupun kuantitatif proses dan hasil pembelajaran.
Nurgiantoro (2001: 331) menyatakan bahwa tes kesastraan (termasuk
cerita pendek) mencakup tes kognitif, tes afektif, dan tes psikomotorik. Tes
kognitif berhubungan dengan kemampuan berpikir. Ranah afektif berhubungan
dengan sikap, pandangan, dan nilai-nilai yang diyakini seseorang. Tes
psikomotorik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas otot,
fisik atau gerakan anggota badan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tes-tes tersebut
hendaklah disesuaikan dengan tujuan pengajaran kebahasaan dan kesusastraan
yang hendak dicapai. Pembobotan penilaian tidaklah bersifat mutlak. Tiap guru
dapat memilih atau membuat model yang dianggapnya paling sesuai
(Nurgiantoro, 2001: 208). Dengan demikian, dalam menetukan bobot nilai guru
hendaknya juga memperhatikan kriteria penilaian yang digunakan sehingga
dapat mengukur keberhasilan tujuan pembelajaran baik proses maupun hasil.
1) Penilaian proses pembelajaran
Penialian proses dapat dilihat dari sikap siswa ketika mengikuti
pembelajaran. Sikap bermula dari suka atau tidak suka yang terkait dengan
kecenderungan seseorang dalam merespon sesuatu/objek. Sikap juga
merupakan ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki oleh
seseorang.
Kriteria yang digunakan dalam menilai proses belajar-mengajar
antara lain ialah konsistensi kegiatan belajar-mengajar dengan
kurikulum, keterlaksanaannya oleh guru, keterlaksanaannya oleh
siswa, motivasi belajar siswa, keaktifan siswa, interaksi guru-siswa,
kemampuan atau keterampilan guru, kualitas hasil belajar siswa
Sujana (2005: 65).
Berdasarkan pendapat di atas menjelaskan bahwa penilaian proses
belajar mengajar mencakup pada penilaian keterlaksanaan proses belajarmengajar. Hal ini berarti bahwa menilai keberhasilan proses suatu
pembelajaran dilihat dari kinerja guru dan kualitas belajar siswa. Aspek
penilaian proses belajar siswa dapat nilai dari motivasi, keaktifan, dan proses
interaksi guru dan siswa.
Adapun penilaian proses yang digunakan dalam pembelajaran
apresiasi cerita pendek adalah sebadai berikut.
Tabel 1. Instrumen Penilaian Proses Pembelajaran
No
1
Nama Siswa
I
II
III
IV
V
Presentase
(Diadopsi dari Sarwiji Suwandi, 2008: 92)
Keterangan:
Aspek:
Skor:
Penilaian:
I : Kedisiplinan
4 : Sangat Baik
20 – 16 : Baik
II : Minat
3 : Baik
15 – 11 : Cukup Baik
III : Keaktifan
2 : Kurang Baik
10 – 5 : Kurang Baik
IV : Kerja sama
1 : Tidak Baik
V : Kesungguhan
2) Penilaian hasil pembelajaran
Penilaian
hasil
pembelajaran
yang
digunakan
hendaknya
disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Dengan
demikian, penilaian dalam pembelajaran apresiasi cerita pendek disesuaikan
dengan KD yang ingin dicapai. Penilaian hasil pembelajaran apresiasi cerita
pendek di kelas V SD Negeri IV Pulutan Wetan dilakukan dengan
menggabungkan antara tes perbuatan dan tes tertulis. Tes perbuatan
dilaksanakan dengan menyuruh siswa untuk menceritakan kembali isi cerita
pendek yang dibaca secara ringkas di depan kelas. Tes tertulis dilaksanakan
dengan memberikan soal tertulis kepada siswa yang berjumlah 25 soal. Soal
tersebut berisi tentang pemahaman unsur intrinsik cerita pendek yang dibaca
dan menceritakan kembali isi cerita pendek. Berikut ini bentuk instrumen
penilaian tes tertulis yang dilaksanakan.
a) Pilihan ganda, skor: setiap jawaban benar diberi nilai 1
b) Isian, skor: setiap jawaban benar diberi nilai 2
c) uraian, setiap jawaban benar mendapatkan nilai 3
Nilai =
X 100
(Diadopsi dari Sarwiji Suwandi, 2008: 75-76)
Berikut ini instrumen penilaian kemampuan siswa menceritakan
kembali isi cerita pendek di depan kelas.
Tabel 2. Rubrik Penilaian Menceritakan Kembali Isi Cerita Pendek
No
Aspek yang dinilai
1 kelengkapan isi
a. lengkap
b. kurang lengkap
c. tidak lengkap
2 alur
a. runtut
b. kurang runtut
c. tidak runtut
3 penggunaan bahasa, meliputi:
a. pelafalan
1) tepat
2) kurang tepat
3) tidak tepat
a. pilihan kata
1) tepat
2) kurang tepat
3) tidak tepat
4 Sikap saat bercerita, meliputi:
a. kelancaran berbicara
1) lancar
2) kurang lancar
3) tidak lancar
b. pandangan mata kepada audien
1) selalu
2) kadang-kadang
3) tidak pernah
Total skor
Skor
Skor maks
3
2
1
3
3
3
2
1
3
3
2
1
3
3
2
1
3
2
1
3
3
3
2
1
(Diadopsi dari Sarwiji Suwandi, 2008: 85)
Nilai =
X 100
3. Hakikat Model Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif telah diteliti para ahli sejak tahun 70-an.
Model ini merupakan upaya para ahli untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Berikut akan diuraikan mengenai model pembelajaran tersebut.
a. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif
Sebelum membicarakan pengertian model pembelajaran kooperatif,
sebaiknya kita memahami dahulu makna dari model pembelajaran. Suprijono
(2009:45) menyatakan bahwa model pembelajaran merupakan interpretasi
terhadap hasil observasi dan pengukuran yang diperoleh dari beberapa sistem.
Model pembelajaran dapat diartikan sebagai pola yang digunakan untuk
penyusunan kurikulum, mengatur materi, dan memberi petunjuk kepada guru di
kelas. Sumantri dan Perlana (2001: 37)
menyatakan model pengajaran
merupakan suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk
kurikulum, merancang bahan-bahan pengajaran, dan membimbing pengejaran di
kelas atau yang lain. Beberapa pendapat di atas secara singkat menjelaskan
bahwa model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang digunakan
sebagai pedoman untuk melaksanakan pembelajaran secara sistematis guna
mencapai tujuan pembelajaran.
Dalam dunia pembelajaran saat ini berkembang berbagai jenis model
pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang sedang berkembang saat ini
adalah model pebelajaran kooperatif. Solehatin (2008: 4) mengemukakan bahwa
pembelajaran kooperatif mengandung pengertian sebagai suatu sikap atau
perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur
kerja sama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih
dimana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap
anggota kelompok itu sendiri.
Kessler (1992: 8) mengungkapkan cooperative learning is group
learning activity organized so that learning is dependent on the sosially
structured exchange or information between learners in groups and in which
each learner is held accountable for his or her own learning and in motivated to
increase to learning of others.
Kessler di atas kurang lebih mengungkapkan bahwa pembelajaran
kooperatif adalah aktivitas belajar kelompok yang mandiri secara struktur
bertukar informasi di antara pembelajar dalam kelompok itu yang mana setiap
pembelajar bertanggung jawab pada pembelajarannya sendiri dan memotivasi
yang lain untuk meningkatkan kemampuan pembelajaran.
Heri (2003; 75) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif
(cooperative
learning)
adalah
sistem
pembelajaran
yang
memberikan
kesempatan secara luas untuk bekerja sama dalam belajar untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota
kelompok saling bekerja sama dan membantu untuk memahami atau menguasai
suatu bahan pembelajaran. Slavin (2008: 4) berpendapat bahwa pembelajaran
kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran dimana para siswa
bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk membantu satu sama lainnya
dalam materi pelajaran.
Pembelajaran kooperatif bukan hanya belajar secara bersama dalam
sebuah kelompok. Pembelajaran kooperatif memerlukan kerja sama antar
anggota kelompok untuk memahami bahan ajar maupun menyelesaikan
pekerjaan kelompok. Dengan demikian, dalam pembelajaran kooperatif semua
siswa harus terlibat aktif tidak ada yang mendominaasi satu sama lain. Dalam
pembelajaran kooperatif yang ada hanyalah saling membantu antara siswa satu
dengan siswa yang lain. Chalderon (1997: 2) menyatakan Cooperative learning
routinely provides opportunities for students to work together to construct
meaning and share understanding. Chalderon kurang lebih mengungkapkan
bahwa pembelajaran kooperatif secara teratur memberi kesempatan kepada
siswa kerja kelompok menyusun dan berbagi pengetahuan.
Cooperative learning refers to work done by student teams producing a
product of some sort (such as a set of problem solutions, a laboratory or
project report, or the design of a product or a process), under conditions
that satisfy five criteria: (1) positive interdependence, (2) individual
accountability, (3) face-to-face interaction for at least part of the work, (4)
appropriate use of interpersonal skills, and (5) regular self-assessment of
team functioni (Felder dan Brent, 2007: 11).
Felder dan Brent di atas kurang lebih mengungkapkan bahwa
pembelajaran kooperatif adalah tugas yang dikerjakan oleh kelompok siswa
untuk menyusun beberapa jenis tugas (seperti pemecahan masalah, laporan
penelitian atau praktikum, atau desain produksi atau desain proses). Pengerjaan
tugas tersebut berada pada kondisi yang memuaskan berdasarkan lima kriteria:
(1) interdependensi positif; (2) akuntabilitas individual; (3) interaksi hadaphadapan untuk menjadi bagian terkecil dari bagian tugas; (4) penggunaan
kemampuan interpersonal yang tepat; dan (5) penilaian pribadi yang teratur atas
fungsi tim.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang membagi kelas dalam
kelompok kecil yang anggotanya ditentukan berdasarkan pertimbangan tertentu.
Tujuan pembelajaran kooperatif untuk memahami materi pembelajaran. Jadi,
pembelajaran kooperatif bukan hanya belajar secara kelompok tetapi merupakan
belajar kelompok yang terkonsep.
b. Keunggulan pembelajaran kooperatif
Setiap model pembelajaran yang dikembangkan dalam dunia
pendidikan pastilah memiliki keunggulan walaupun terkadang memang masih
ada beberapa kekurangan. Akan tetapi, kekurangan yang terjadi dalam sebuah
model pembelajaran adalah wajar. Berdasarkan beberapa penelitian mengenai
pembelajaran kooperatif Solehatin (2007: 13) menyimpulkan keunggulan
pembelajaran kooperatif antara lain: (1) mendorong tumbuhnya tanggung jawab
sosial dan individu pada diri siswa; (2) berkembangnya sikap ketergantungan
yang positif; (3) mendorong peningkatan dan kegairahan belajar siswa; (4)
pengembangan ketercapaian kurikulum; (5) sikap dan perilaku siswa
berkembang ke arah suasana demokratis dalam kelas; dan (6) mendorong
peningkatan prestasi pada siswa.
Slavin (2008: 3) sebagai ahli yang bergelut pada model pembelajaran
kooperatif mengemukakan bahwa metode kooperatif memiliki kelebihankelebihan dibanding metode lain, yaitu: (1) meningkatkan kemampuan siswa;
(2) meningkatkan rasa percaya diri; (3); menumbuhkan keinginan untuk
menggunakan pengetahuan dan keahlian; dan (4) memperbaiki hubungan
antarkelompok.
Heri
(2003:
75-76)
mengungkapkan
bahwa
setiap
strategi
pembelajaran memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan pembelajan
kooperatif, yakni: (1) menumbuhkan sikap kooperatif pada siswa; (2)
menumbuhkan jiwa kompetitif siswa; (3) menumbuhkan motivasi belajar siswa;
(3) memupuk sikap gotong royong, toleransi, kepekaan sosial, sikap demokratis,
saling menghargai, dan memupuk keterampilan mengadakan interaksi sosial;
dan (4) menumbuhkan rasa tanggung jawab dan keberanian dalam proses
pembelajaran. Kelemahan strategi pembelajaran kooperatif, yakni: (1) kesulitan
dalam memahami kemampuan individual yang sebenarnya; (2) munculnya
siswa yang bergantung pada teman yang lain; dan (3) siswa yang
kemampuannya rendah mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan beberapa pedapat di atas dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran kooperatif memiliki beberapa kelebihan, yakni: (1) meningkatkan
tanggung jawab siswa; (2) meningkatkan rasa percaya diri; (3) meningkatkan
sikap gotong royong antarsiswa; (4) meningkatkan kemampuan siswa; (5)
mengembangkan kompetensi yang dimiliki siswa; dan (6) menumbuhkan
keberanian siswa. Adapun kekurangan model pembelajaran kooperatif adalah
kesulitan memahami kemampuan individu, munculnya sikap ketergantungan
pada siswa, dan siswa yang rendah sulit mengikuti pembelajaran.
c. Metode-metode Pembelajaran Kooperatif
Banyak para peneliti mempelajari aplikasi praktis dari prinsip-prinsip
pembelajaran kooperatif dan banyak metode pembelajaran kooperatif sudah
ditemukan. Slavin (2008: 9-34) mengungkapkan bahwa terdapat dua kelompok
besar jenis metode kooperatif yang telah dikembangkan luas oleh para ahli.
Metode itu dijelaskan sebagai berikut.
1) Pembelajaran tim siswa
Pembelajaran ini terdiri dari lima prinsip metode pembelajaran.
Tiga di antaranya adalah metode pembelajaran kooperatif yang dapat
diadaptasikan pada sebagian besar mata pelajaran dan tingkat kelas, yakni
Student Team-Achievment Division (STAD), Team Games Tournament
(TGT), dan JigsawII. Dua yang lain adalah kurikulum komprehensif yang
dirancang untuk digunakan dalam mata pelajaran khusus pada tingkat kelas
tertentu, yaitu Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC)
digunakan untuk pelajaran membaca pada kelas 2-8 dan Team Accelerated
Intruction (TAI) untuk mata pelajaran matematika kelas 3-6
2) Metode pembelajaran kooperatif yang lain
Metode pembelajaran kooperatif yang lain terdiri dari beberapa
jenis, yakni Group Investigation, learning Together, Complex Intrution,
Structure Dyadic Methods, Co-op Co-op, Thing-Pair-, Numbered Heads
Together, Listening Team, Two Stay Two Stray, Make a Match, InsideOutside Circle, Bamboo Dancing, Point-Counter-Point, dan The Power of
Two .
Dari metode-metode di atas, masing-masing memiliki ciri khusus
dalam pelaksanaannya, yaitu: (1) tujuan kelompok; (2) tanggung jawab
individu; (3) kesempatan yang sama untuk sukses; (4) kompetisi antarkelompok;
(5) tugas khusus; dan (6) menyesuaikan diri dengan kebutuhan.
d. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
Setiap metode pembelajaran yang diterapkan dalam proses belajar
mengajar memerlukan langkah-langkah yang sesuai. Begitu pula dalam
pembelajaran kooperatif. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tidaklah
identik dengan pembelajaran kelompok secara umum. Pembelajaran kooperatif
memiliki prosedur tersendiri dalam pelaksanaannya. Langkah-langkah ini secara
rinci dijelaskan oleh para ahli sebagai berikut.
Langkah-langkah pembelajaran kooperatif adalah: (a) menjelaskan
prosedur pembelajaran, (b) memberikan masalah kepada siswa baik
bentuknya pertanyaan maupun pernyataan, (c) siswa menganalisis dan
memberikan penilaian masalah tersebut dalam bentuk pendapat atau
kesimpulan, (d) mengambil kesimpulan, (e) evaluasi (Heri, 2003:75).
Selain langkah-langkah di atas, Suprayekti (2006:91) mengemukakan
prosedur model pembelajaran kooperatif yang dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu
persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi. Pada tahap persiapan guru merencanakan
keseluruhan kegiatan pembelajaran yang dipersiapkan dalam bentuk rencana
pelaksanaan pembelajaran mencakup komponen materi pelajaran, teknik dan
media pembelajaran yang akan digunakan, latar pembelajaran, mekanisme
kontrol terhadap kegiatan pembelajaran, alat evaluasi yang akan digunakan, dan
alokasi waktu. Rencana pelaksanaan pembelajaran disesuaikan dengan tingkat
satuan pendidikan.
Tahap pelaksanaan terdiri dari tiga kegiatan yakni kegiatan
pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Pada kegiatan pendahuluan,
guru memberikan gambaran ringkas tentang keseluruhan isi bahan pelajaran
yang akan dipelajari, tujuan pembelajaran yang akan dicapai (kompetensi dasar
dan indikator), dan mekanisme pelaksanaan pembelajaran.
Evaluasi dilakukan secara berkala pada setiap pergantian pokok
bahasan. Pada tahap ini dilakukan evaluasi secara menyeluruh baik terhadap
proses maupun hasil yang dicapai. Bobot evaluasi hendaknya diberikan lebih
besar kepada aktivitas kelompok. Dengan kata lain, evaluasi dilakukan
berdasarkan kinerja kelompok secara keseluruhan, bukan berdasarkan kinerja
siswa secara individual. Meskipun pada akhirnya tes akan diberikan secara
individual dalam bentuk ujian akhir dan nilai siswa itu bersifat individual,
namun bobot tes untuk kelompok.
Tahap-tahap yang dikemukakan para ahli di atas dapat disimpulkan
terdiri dari: (1) tahap persiapan, yang meliputi persiapan rencana pembelajaran
dan prosedur pembelajaran; (2) tahap pelaksanaan, meliputi penjelasan prosedur
pembelajaran, pembagian masalah, menganalisis masalah, dan menyimpulkan
masalah; (3) tahap evalusi.
4. Hakikat Metode Pembelajaran Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC)
Salah satu metode pembelajaran koopereatif yang berkembang luas
saat ini adalah metode pembelajaran Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC). Metode ini dirancang khusus untuk diterapkan dalam
pembelajaran bahasa khususnya pembelajaran membaca dan menulis. Penelitian
dan pengembangan dalam pembelajaran kooperatif dimulai dari John Hopkin
University Centar, yaitu organisasi penelitian sekolah pada tahun 1970. CIRC
telah dikembangkan dalam pembelajaran sekolah sebelum tahun 1986. Pada tahun
itu metode CIRC hanya digunakan dalam pembelajaran sekolah dasar namun
sekarang CIRC telah digunakan dalam berbagai tingkatan kelas, dikembangan
dari materi dan proses yang berkesinambungan didasarkan pada program yang
dikembangkan pada sekolah. Orang yang terus mengembangkan metode ini
adalah Robert E. Slavin, Robert Steven, Nancy Maden, dan Marie Farnish. Lebih
jelasnya, berikut uraian mengenai model pembelajaran ini.
a. Pengertian Metode Pembelajaran Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC)
CIRC merupakan suatu program pembelajaran kooperatif yang
komprehensif untuk pembelajaran membaca dan menulis di tingkat-tingkat atas
di sekolah dasar. Komposisi kelompoknya pun hampir sama dengan
pembelajaran kooperatif lain, hanya bentuk penugasannya disesuaikan dengan
tugas khas pelajaran bahasa. Pengembangan model CIRC dilaksanakan untuk
mengatasi permasalahan membaca, menulis, dan pembelajaran sastra tradisional
(Suprayekti, 2006: 88).
Metode CIRC merupakan salah satu metode pembelajaran kooperatif
yang diperuntukkan siswa sekolah dasar hingga menengah pertama (kelas 2-8).
Slavin (2008: 16) menjelaskan Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC) merupakan program pembelajaran komprehensif untuk
mengajarkan membaca dan menulis pada siswa kelas dasar pada tingkat yang
lebih tinggi dan juga pada sekolah menengah. Slavin (2008: 11) menyatakan
bahwa metode pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition
(CIRC) merupakan kurikulum komprehensif yang dirancang untuk digunakan
dalam pelajaran membaca pada kelas 2-8.
In CIRC, students are assigned to fourmember heterogeneous learning
teams. Following a lesson, students work in their teams on a variety of
cooperative activities including partner reading, identification of main
story elements, vocabulary and summarization activities, practice of
reading comprehension strategies, and creative writing using a process
writing approach. Research on CIRC in monolingual English reading
classes, grades 2-8, has found consisten positive effects of the program
on student reading achievement, especially on measures of reading
comprehension and metacognitive awareness. (Calderón, HertzLazarowitz, Ivory, dan Slavin, 1997: 2)
Calderón, Hertz-Lazarowitz, Ivory, dan Slavin di atas kurang lebih
mengungkapkan dalam CIRC, siswa diarahkan untuk membentuk kelompok
belajar yang heterogen. Saat mengikuti pelajaran, siswa bekerja secara
kelompok dalam berbagai kegiatan kooperatif yang meliputi membaca
berpasangan, identifikasi elemen cerita secara garis-garis, kegiatan meringkas
dan menemukan kosakata, praktik strategi membaca pemahaman dan penulisan
kreatif menggunakan pendekatan proses menulis. Penelitian dalam CIRC pada
kelas Bahasa Inggris kelas 2 – 8, menemukan efek positif yang terus menerus
dari kegiatan membaca pemahaman dan kesadaran metakognitif.
CIRC are currently in use, a common method involves forming
“learning teams” made up of students (usually four) who are at varying
levels of reading proficiency. These students work on different
cooperative activities, including creative writing, peer reading,
identification of major elements in a story, summarizing of stories and
story retelling, and activities geared toward practice of basic reading
skills (e.g., spelling, decoding, and vocabulary). (Canadian Council on
Learning, 2009: 4)
Canadian Council on Learning di atas menyatakan bahwa CIRC
yang akhir-akhir ini digunakan merupakan metode umum yang meliputi
pembentukan tim belajar tersusun atas empat siswa pada level kemampuan
membaca yang berbeda-beda. Siswa-siswa tersebut bekerja dalam aktivitas
penulisan kreatif, membaca dalam kelompok, pengidentifikasian elemen utama
dalam cerita, dan penceritaan kembali isi cerita dan aktivitas yang diarahkan
menuju praktik kemampuan membaca yang paling dasar (meliputi pelafalan,
penerimaan, dan kosakata).
Kessler (1992: 24) menyatakan bahwa model CIRC merupakan
gabungan program membaca dan menulis dengan menggunakan pembelajaran
baru dalam pemahaman bacaan dengan menulis. Keberhasilan dalam
menerapkan CIRC tergantung pada keaktifan siswa.
Mereka harus bekerja
dalam kelompok yang mempunyai kemampuan heterogen. Apabila kegiatan
kelompok dapat berjalan dengan baik, maka tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Cooperative
Integrated Reading and Composition (CIRC) adalah salah satu jenis metode
pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk pembelajaran membaca dan
menulis secara komprehensif diterapkan pada kelas 2-8.
b. Ciri-ciri Metode Pembelajaran Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC)
Untuk membedakan metode kooperatif yang lain, metode CIRC
memiliki ciri-ciri khusus. Ciri-ciri metode pembelajaran CIRC menurut Kessler
(1992: 184) adalah: (1) suatu tujuan kelompok; (2) ada tanggung jawab tiap
individu; (3) dalam satu kelompok memiliki kesempatan yang sama untuk
sukses; (4) tidak ada tugas khusus; dan (5) penyesuaian diri dengan kebutuhan
menjadi kewajiban tiap individu. Secara ringkas ciri-ciri CIRC adalah adanya
tanggung jawab individu, tujuan kelompok, tidak ada tugas khusus, dan adanya
penyesuaian diri tiap anggota kelompok.
c. Fokus utama Metode Pembelajaran Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC)
Menurut Slavin (2008:201) satu fokos utama dari kegiatan-kegiatan
CIRC sebagai cerita dasar adalah membuat penggunaan waktu tindak lanjut
menjadi lebih efektif. Para siswa bekerja di dalam tim-tim kooperatif dari
kegiatan-kegiatan ini, yang dikoordinasikan dengan pengajaran kelompok
membaca, supaya dapat memenuhi tujuan-tujuan dalam bidang-bidang lain
seperti pemahaman membaca, kosakata, pembacaan pesan dan ejaan.
d. Unsur-unsur program Metode Pembelajaran Cooperative Integrated
Reading and Composition (CIRC)
Slavin (2008: 204) mengemukakan bahwa CIRC terdiri dari tiga
unsur penting: kegiatan-kegiatan dasar terkait, pengajaran langsung pelajaran
memahami
bacaan,
dan
seni
berbahasa
dan
menulis
terpadu.
Slavin (2008: 205-209) juga mengemukakan unsur utama dari CIRC terdiri dari:
kelompok membaca, tim, kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan cerita,
pemeriksaaan oleh pasangan, dan tes.
Kelompok membaca. Jika menggunakan kelompok membaca, para
siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok yang terdiri dari dua atau tiga orang
berdasarkan tingkat kemampuan membaca mereka, yang ditentukan oleh guru
mereka. Jika tidak, diberikan pengajaran kepada seluruh kelas.
Tim. Para siswa dibagi ke dalam pasangan (atau trio) dalam
kelompok membaca mereka, dan selanjutnya pasangan-pasangan tersebut di
bagi ke dalam tim yang terdiri dari dua kelompok membaca. Kegiatan-kegiatan
yang berhubungan dengan cerita. Tahap-tahap kegiatannya, yakni: membaca
berpasangan, menulis cerita yang bersangkutan dan tata bahasa cerita,
mengucapkan kata-kata dengan keras, makna kata, menceritakan kembali cerita,
dan ejaan.
Pemeriksaan oleh pasangan. Jika siswa sudah menyelesaikan semua
kegiatan,
pasangan
mereka
memberikan
formulir
tugas
siswa
yang
mengindikasikan bahwa mereka telah menyelesaikan dan/atau memenuhi
kriteria terhadap tugas tersebut.
Tes. Pada akhir periode kelas, para siswa diberikan tes pemahaman
terhadap cerita, diminta untuk menuliskan kalimat-kalimat bermakna untuk
setiap kosakata, dan diminta untuk membaca kata-kata dengan keras kepada
guru.
e. Tahap-Tahap Metode Pembelajaran Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC)
Sebagai salah satu jenis metode pembelajaran, CIRC dalam
pelaksanaannya memiliki langkah-langkah pembelajaran. Langkah-langkah
pembelajaran dilakukan untuk mewujudkan tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai. Langkah-langkah metode pembelajaran Cooperative Integrated
Reading and Composition (CIRC) dipaparkan oleh Suprijono (2009: 130),
terdiri dari: (1) membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara
heterogen; (2) guru memberikan wacana/kliping sesuai dengan topik
pembelajaran; (3) siswa bekerja sama saling membacakan dan menemukan ide
pokok dan memberi tanggapan terhadap wacana/kliping dan ditulis pada lembar
kertas; (4) mempresentasikan atau membacakan hasil kelompok; (5) guru
membuat kesimpulan bersama; dan (6) penutup.
Cruickshank
mengemukakan
prosedur
atau
langkah-langkah
mengenai pembelajaran dengan menggunakan metode CIRC. Adapun langkahlangkahnya dijelaskan sebagai berikut.
In the typical CIRC procedure, the teacher sets a lesson in some specific
area of reading or composition, for exemple, identifying the main
character and ideas in a piece of literature such as “romeo and Juliet”.
Student teams are than asked ti read the story and to note the main
characters and ideas. Team members, who may work in pairs, interact to
check aech other and gain consensus. They than may check their
understanding with another pain on their team or against an answer sheet.
While these paired and team activities are going on, the teacher convenes
members for each team who are at a comparable profeciancy or skill level
in order to teach a new reading skill, and the cycle continoues. As with
other form of cooperative learning, poins are given to teams based on
individual members’ performance on the activities and/or test
(Cruickshank, Bainer, dan Metcalf, 1999: 208).
Berdasarkan pendapat Cruickshank di atas dapat dipahami bahwa
dalam tipikal prosedur CIRC, guru dan pelajar sedemikian rupa dalam area
khusus dalam pembelajaran membaca dan menulis, contohnya, mengidentifikasi
karakter utama dan ide dalam karya sastra seperti Romeo and Juliet. Kelompok
murid kemudian diminta untuk membaca cerita dan untuk mengidentifikasi
karakter utama dan gagasan pokok. Anggota tim yang bekerja secara
berpasangan, saling berinteraksi dengan menghasilkan kesepakatan. Kemudian
mereka dapat mengecek atau mengukur kepahaman dengan pasangan lain dalam
satu tim atau menjawab lembar jawab. Diskusi kelompok berada dalam tingkat
kepahaman yang sama dengan tujuan untuk mengantar mereka pada
kemampuan membaca yang baru. Poin-poin yang diberikan kepada tim
penampilan individu setiap anggota dalam aktivitas atau tes.
Rangkuman pelaksanaan metode pembelajaran CIRC seperti pada
tabel 3. CIRC adalah suatu pembelajaran yang komprehensif dalam pemahaman
membaca dan menulis serta kemampuan bahasa. Dalam CIRC siswa dibagi
menjadi beberapa kelompok secara acak. Pembagian kelompok ini disesuaikan
dengan kemampuan untuk bekerja sama dengan berbagai aktivitas kognitif yang
menarik, di antaranya adalah kelompok teman membaca, membuat prediksi,
identifikasi karakter, latar belakang masalah, pemecahan masalah, meringkas,
merangkum, bermain kosakata, memahami bacaan dan menulis berdasarkan
sumber bacaan yang dapat mendukung proses belajar.
Dalam pembelajaran CIRC siswa harus melampaui beberapa tahapan
perintah dari guru seperti: kerja kelompok, penilaian kelompok, dan kuis. Murid
atau siswa tidak diizinkan mengikuti kuis sebelum semua anggota kelompoknya
telah siap. Evaluasi kelompok dilakukan dengan mengadakan penilaian terhadap
cacatan yang dibuat, presentasi, rangkuman, dan pembahasan artikel oleh
masing-masing kelompok. Evaluasi individu dilakukan terhadap hasil
pembahasan LKS, kuis, dan tes kognitif yang dilakukan pada akhir materi.
Adapun ringkasan pelaksanaan metode CIRC pada pembelajaran apresiasi cerita
pendek dapat dijelaskan dalam tabel rangkuman pelaksanaan CIRC berikut ini.
Tabel 3. Rangkuman Pelaksanaan CIRC
Kegiatan
Guru
Persiapan 1. Guru
Siswa
menyiapkan
cerita 1. Siswa menyiapkan meteri yang akan
pendek
dipelajari
2. Guru memberikan motivasi
2. Siswa mendengarkan motivasi yang
disampaikan
guru
dan
berusaha
melaksanakannya
3. Guru membagi siswa dalam 3. Siswa membentuk kelompok
kelompok heterogen yang
terdiri dari 4-5 orang
4. Guru
menjelaskan 4. Siswa
mekanisme kelompok
mendengarkan
penjelasan
mendengarkan
penjelasan
guru
Kegiatan 1. Guru menjelaskan meteri
1. Siswa
guru
Inti
2. Guru membagikan cerita 2. Siswa menerima cerita pendek
pendek
3. Guru
menyuruh
membaca
cerita
siswa 3. Siswa membaca cerita pendek secara
pendek
berpasangan
secara berpasangan
4. Guru
menyuruh
menganalisis
siswa 4. Siswa menganalisis unsur intrinsik
unsur
cerita pendek
intrinsik cerita pendek
5. Guru
menyuruh
siswa 5. Siswa menceritakan
menceritakan kembali isi
kembali isi
cerita pendek yang dibaca
cerita pendek
6. Guru memberikan kuis
6. Siswa mengerjakan kuis dari guru
Penutup 1. Guru mengulas materi dan 1. Siswa
membuat
kesimpulan
membuat
bersama-sama guru
kesimpulan
bersama-sama siswa
2. Guru memberikan postest
2. Siswa mengerjakan postest dari guru
CIRC telah diseleksi sebagai salah satu metode mengajar yang baik
dengan berbagai alasan, yaitu:
1)
CIRC melibatkan kemampuan pengembangan berbahasa secara lisan,
membaca dan menulis secara menyeluruh dalam berbagai fase yang
diperintahkan;
2)
CIRC mengembangkan kemampuan berpikir kritis serta mengembangkan
kemampuan sosial siswa;
3)
mengembangkan rasa penghargaan diri dan rasa percaya diri;
4)
menolong siswa dalam mengapresiasikan dan menjadi mahir dalam bahasa
nasional; dan
5)
menyediakan suatu pembelajaran yang memungkinkan lingkungan belajar
yang berbeda, dimana bahan atau materi yang dipelajari lebih beraneka
ragam yang memerintahkan kemampuan berpidato dan berpikir lebih
berkembang.
5. Relevansi Metode Pembelajaran Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC) dengan Pembelajaran Apresiasi Cerita
Pendek
Untuk mampu mencapai tujuan pembelajaran, diperlukan kerja keras
guru dalam proses pembelajaran. Guru diharapkan mampu menciptakan kegiatan
pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan. Apa yang diharapkan pada
diri guru dalam pembelajaran dapat diwujudkan dengan usaha guru untuk
mempersiapkan proses pembelajaran. Persiapan ini dilakukan dengan pendalaman
materi, menggunakan media yang sesuai, serta menggunakan metode yang
relevan. Dengan demikian, proses pembelajaran akan berjalan dengan baik dan
mendapatkan hasil yang diinginkan.
Pembelajaran apresiasi cerita pendek merupakan pembelajaran yang
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mengapresiasi cerita
pendek. Dalam pembelajaran ini tidak hanya dibahas mengenai teori-teori cerita
pendek tetapi yang paling utama adalah bagaimana seorang siswa mampu
memahami, menikmati, mempelajari, dan mengambil hal-hal yang ada dalam
cerita pendek.
Siswa akan mampu mengapresiasikan cerita pendek apabila dia
mampu membaca cerita pendek dengan efektif. Setelah itu, siswa harus mampu
memahami dengan baik. Pemahaman ini dapat diwujudkan dengan menceritakan
kembali apa yang telah mereka baca dan menganalisisnya.
Proses ini dapat diwujudkan dengan metode pembelajaran Cooperative
Integrated Reading and Composition (CIRC). Metode ini mengajarkan kepada
siswa untuk mampu membaca dengan intensif kemudian digabungkan dengan
menyusun menulis apa yang mereka baca. Dengan demikian, metode
pembelajaran ini relevan dengan pembelajaran apresiasi cerita pendek. Hal ini
dikarenakan tututan sistem pembelajaran apresiasi cerita pendek
yang
menghendaki adanya kegiatan membaca yang intensif yang dilanjutkan dengan
menceritakan
kembali
isinya
sesuai
dengan
langkah-langkah
metode
pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC).
B. Penelitian yang Relevan
Ada beberapa penelitian yang dipandang relevan dengan penelitian ini,
antara lain:
Penelitian Eny Haryaningsih tahun 2005 dengan judul “Peningkatan
Kemampuan Apresiasi Cerita Pendek dalam Pembelajaran Sastra dengan
Pendekatan Apresiasi Sastra (Sebuah Penelitian Tindakan Kelas pada Siswa SMP
Negeri 3 Nguter Sukoharjo)”. Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas ini
ditemukakan tiga kesimpulan: (1) untuk pembelajaran cerita pendek di SMP 3
Nguter perlu diterapkan pendekatan apresiasi; (2) penerapan pendekatan apresiasi
dapat meningkatkan kemampuan apresiasi cerita pendek siswa; dan (3) motivasi
belajar dan minat siswa terhadap cerita pendek meningkat setelah pendekatan
apresiasi digunakan dalam pembelajaran.
Persamaan penelitian Eny Haryaningsih dengan penelitian ini adalah
sama pada objek penelitiannya. Kedua penelitian sama-sama menggunakan objek
apresiasi cerita pendek. Perbedaan antara kedua penelitian terletak pada subjek
penelitian
dan
metode
yang
digunakan.
Penelitian
Eny
Haryaningsih
menggunakan subjek siswa SMP, sedangkan skripsi ini menggunakan subjek
siswa kelas V SD. Metode pembelajaran yang digunakan juga berbeda. Penelitian
Eny Haryaningsih menggunakan pendekatan apresiasi sastra, sedangkan skripsi
ini menggunakan metode Cooperative Integrated reading and Composition
(CIRC).
Penelitian Suwarto tahun 2009 yang berjudul “Upaya Peningkatan
Kemampuan Membaca dan Menulis Siswa dengan Metode Kooperatif Integrasi
dan Komposisi (CIRC) Penelitian Tindakan Kelas pada Siswa Kelas I SD Negeri I
Eromoko Kecamatan Eromoko Kabupaten Wonogiri”. Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa: 1) penerapan metode Kooperatif Integrasi Membaca dan
Komposisi dapat meningkatkan kemampuan membaca dan menulis permulaan
pada siswa kelas I; 2) penerapan metode Kooperatif Integrasi Membaca dan
Komposisi dapat meningkatkan proses
pembelajaran membaca menulis
permulaan, baik pada siswa maupun guru.
Persamaan penelitian Suwarto dengan penelitian pada skripsi ini
terdapat pada subjek dan metode pembelajaran yang digunakan. Kedua penelitian
ini sama-sama menggunakan siswa SD sebagai subjek penelitian. Selain itu,
kedua penelitian ini juga sama-sama menggunakan metode Cooperative
Integrated Reading and Composition (CIRC) untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran. Perbedaan pada kedua penelitian ini adalah pada objek
penelitiannya. Objek penelitian Suwarto adalah kemampuan membaca dan
menulis, sedangkan objek penelitian skripsi ini adalah kemampuan apresiasi cerita
pendek.
Mengacu pada penelitian di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal
yang berhubungan dengan pembelajaran cerita pendek dan metode Cooperative
Integrated Reading and Composition (CIRC). Berdasarkan penelitian Eny
Haryaningsih pembelajaran cerita pendek merupakan salah satu hal yang menarik
untuk diteliti karena dalam proses pembelajarannya berlangsung secara baik dan
pada akhirnya kualitas hasil pembelajaran meningkat. Berdasarkan penelitian ini
juga disimpulkan bahwa kemampuan apresiasi cerita pendek pada siswa masih
perlu ditingkatkan.
Bertolak pada penelitian Suwarto bahwa metode belajaran merupakan
salah satu unsur pembelajaran yang dapat mempermudah menyampaikan pesanpesan pendidikan kepada siswa. Perbedaan gaya belajar, minat, intelegensi,
keterbatasan indra, dan lain-lain dapat dibantu dengan metode pembelajaran. Oleh
karena itu, kehadiran metode dalam pembelajaran harus diperhatikan. Seperti apa
yang telah dilakukan oleh Suwarto yang menggunakan metode Cooperative
Integrated Reading and Composition (CIRC) untuk meningkatkan pembelajaran
menulis dan membaca pada siswa.
Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan di atas dapat dijadikan
sebagai tolok ukur dan perbandingan dengan penelitian yang akan dilakukan. Jika
pada penelitian Eni Haryaningsih menyebutkan bahwa apresiasi cerita pendek
mampu
ditingkatkan
dengan
pendekatan
apresiasi,
peneliti
berusaha
meningkatkan kemampuan apresisasi cerita dengan metode lain. Apabila
penelitian Suwarto memanfaatkan metode Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC) untuk meningkatkan kemampuan menulis dan membaca
pada siswa, maka peneliti berusaha untuk menerapkan metode ini pada
pembelajaran materi lain yakni pada materi apresiasi cerita pendek. Berdasar pada
pertimbangan di atas peneliti berusaha meneliti tentang upaya meningkatan
apresiasi cerita pendek menggunakan metode Cooperative Integrated Reading
and Composition (CIRC) pada siswa kelas V SD Negeri IV Pulutan Wetan
Wuryantoro Wonogiri.
C. Kerangka Berpikir
Pembelajaran
sastra
dalam
pelajaran
bahasa
Indonesia
sering
dikesampingkan oleh guru termasuk pembelajaran apresiasi cerita pendek. Guru
lebih mementingkan pembelajaran bahasa dibanding pembelajaran sastra.
Berdasarkan dari hasil wawancara guru dan siswa serta observasi kelas
pada saat pembelajaran berlangsung yang dilakukan peneliti, kemampuan
apresiasi cerita pendek siswa kelas V SD Negeri IV Pulutan Wetan tergolong
rendah. Hal ini dapat dilihat dari nilai siswa dalam apresiasi cerita pendek hanya
22% siswa yang mendapatkan nilai di atas KKM (≥ 65). Dalam proses
pembelajaran apresiasi cerita pendek juga terlihat bahwa kulaitas pembelajaran
apresiasi cerita pendek rendah baik segi keaktifan, kesungguhan, maupun kerja
sama siswa.
Faktor penyebab dari rendahnya kemampuan apresiasi cerita pendek
maupun kualitas proses pembelajaran apresiasi cerita pendek, sebagai berikut:
1. siswa tidak mendukung kelancaran proses pembelajaran apresiasi cerita
pendek baik dari segi kedisiplinan, minat, keaktifan, kerja sama, maupun
kesungguhan.
2. guru mengalami kesulitan dalam menemukan metode yang tepat untuk
diterapkan pada pembelajaran apresiasi cerita pendek. Pembelajaran
terpusat pada guru dengan menerapkan metode ceramah dan pemberian
tugas.
3. lingkungan sekolah yang kurang mendukung dari segi sarana dan
prasarana. Media pembelajaran apresiasi cerita pendek yang kurang.
Koleksi buku perpustakaan kurang memadai.
Masalah tersebut melatarbelakangi alasan peneliti menggunakan metode
Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) pada pembelajaran
apresiasi cerita pendek. Metode ini memang disipkan khusus untuk pembelajaran
bahasa khususnya pembelajaran membaca dan menulis. Metode ini cocok
diterapkan pada siswa kelas 2-8. Secara garis besar, penerapan metode
pembelajaran CIRC, sebagai berikut:
1. Siswa berkelompok secara heterogen
2. Siswa secara kelompok membaca nyaring secara berpasangan dan memahami
isi cerita
3. Siswa menentukan unsur intrinsik cerita pendek
4. Siswa menceritakan kembali isi cerita pendek
Adapun alur kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada
gambar berikut ini:
Kondisi Awal
1. Kualitas pembelajaran cerita pendek rendah (keaktifan, kesungguhan, serta
kerja sama siswa kurang dan pengelolaan kelas berupa pembelajaran yang
berpusat pada guru)
2. Kemampuan siswa dalam apresiasi cerita pendek rendah
Guru
Siswa
Lingkungan
Kesulitan
menentukan
metode pembelajaran yang
tepat dalam pembelajaran
apresiasi cerita pendek.
Kedisiplinan,
minat,
keaktifan, kerja sama,
dan kesungguhan siswa
rendah.
Tidak tersedianya bukubuku yang mendukung
pembelajaran
apresiasi
cerita
pendek
di
Penerapan metode CIRC dalam pembelajaran
apresiasi cerita pendek
(Penelitian Tindakan Kelas)
Kualitas proses
pembelajaran apresiasi
cerita pendek meningkat
Kualitas hasil pembelajaran
apresiasi cerita pendek
meningkat
Gambar 1. Alur Kerangka Berpikir
D. Hipotesis Tindakan
Penerapan metode pembelajaran Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC) meningkatkan pembelajaran bahasa Indonesia berhubungan
dengan apresiasiasi cerita pendek. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat
dirumuskan hipotesis sebagai berikut.
1. Penggunaan
metode pembelajaran Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC) dapat meningkatkan kemampuan apresiasi cerita pendek
pada siswa.
2. Penggunaan metode pembelajaran Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC) dapat meningkatkan kualitas pembelajaran apresiasi
cerita pendek.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah kelas V SD Negeri IV
Pulutan Wetan beralamat di Dusun Suru, Pulutan Wetan, Wuryantoro, Wonogiri.
Kelas ini mengalami permasalahan dalam pembelajaran apresiasi cerita pendek.
Sekolah ini dipimpin oleh Ibu Sri Gunanti, S.Pd. Sarana pembelajaran apresiasi
cerita pendek yang terdapat dalam kelas ini adalah dua papan tulis terbuat dari
triplek berukuran 200 X 100 cm, Buku Sekolah Elektronik Bahasa Indonesia
untuk kelas V, Lembar Kerja Evaluasi “Sukses”, dan cerita pendek.
Tahap persiapan hingga tahap pelaporan, penelitian ini membutuhkan
waktu kurang lebih lima bulan. Waktu terhitung sejak akhir Desember 2009
hingga April 2010. Berikut rincian jadwal kegiatan penelitian.
Tabel. 4. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian
No
1
2
3
4
5
Kegiatan
Bulan
Des
Jan
Feb
Mar
April
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Persiapan
proposal dan
Instrumen
Perizinan
Pelaksanaan
penelitian
Analisis data
Penyusunan
laporan
B. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini berbentuk penelitian tindakan kelas (classroom action
research). Penelitian tindakan kelas merupakan penelitian yang didasarkan
adanya masalah yang dihadapi oleh guru dan siswa pada proses pembelajaran.
Pada penelitian ini diterapkan solusi yang berusaha untuk memecahkan
permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini melibatkan partisipasi aktif peneliti, guru, dan siswa.
Prosedur penelitian tindakan kelas mencakup langkah-langkah: (1)
persiapan, (2) studi/survei awal, (3) pelaksanaan siklus, dan (4) penyusunan
laporan. Banyaknya pelaksanaan siklus pada penelitian ini adalah tiga siklus. Hal
ini dikarenakan syarat siklus minimal adalah dua siklus. Melihat situasi dan
kondisi yang ada di lapangan, penerapan tiga siklus pada penelitian ini dianggap
sudah cukup untuk mengatasi permasalahan yang terjadi. Prosedur penelitian
tindakan kelas secara rinci dapat dilihat pada gambar berikut:
Permasalahan
Perencanaan
tindakan I
Refleksi I
siklus I
Permasalahan
baru hasil refleksi
siklus II
Apabila
permasalahan
belum
terselesaikan
Perencanaan
tindakan II
Refleksi II
Pelaksanaan
tindakan I
Pengamatan/
mengumpulkan data I
pelaksanaan
tindakan II
Pengamatan/
mengumpulkan data II
Dilanjutkan ke siklus
berikutnya
Gambar 2. Prosedur Penelitian Tindakan Kelas
(Suharsimi Arikunto, Suhardjono, dan Supardi, 2007: 74)
C. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SD Negeri
IV Pulutan Wetan tahun ajaran 2009/2010. Siswa kelas ini berjumlah 18 orang
yang terdiri dari 8 putri dan 10 putra. Selain siswa, subjek penelitian ini adalah
guru pengampu kelas V Ibu Maryati, A.Ma. Pd.
D. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini menerapkan teknik pengumpulan data sebagai
berikut:
1. Observasi
Observasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan
pembelajaran cerita pendek. Observasi dilakukan di dalam kelas tanpa
mempengaruhi kegiatan pembelajaran. Observasi ini dilakukan dengan
melakukan pengamatan terhadap guru, kelas, dan siswa.
Dalam observasi ini, peneliti melakukan partisipasi pasif dengan
duduk di tempat duduk paling belakang. Peneliti menggunakan alat bantu
observasi berupa cacatan lapangan, draf observasi, dan kamera.
Segala hasil observasi yang diperoleh peneliti didiskusikan dengan
guru pengampu. Hal ini ditujukan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan
dalam pembelajaran cerita pendek dan kemudian dicari solusinya.
Observasi terhadap guru difokuskan dalam kemampuan guru
mengelola kelas dan kemampuan memahamkan siswa dalam menyerap materi.
Observasi terhadap siswa difokuskan pada kedisiplinan, minat, keaktifan, kerja
sama, dan kesungguhan siswa dalam mengikuti pembelajaran apresiasi cerita
pendek.
2. Teknik wawancara
Teknik wawancara ini digunakan untuk mengetahui permasalahan
yang dihadapi guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran apresiasi cerita
pendek. Wawancara ditujukan kepada guru pengampu maupun beberapa siswa
untuk menggali kesulitan dalam pembelajaran apresiasi cerita pendek dan faktor
penyebabnya. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara dengan siswa
untuk mengetahui tanggapan mereka terhadap metode pembelajaran CIRC yang
diterapkan dalam pembelajaran cerita pendek. Wawancara juga dilakukan
kepada kepala sekolah dan orang tua untuk mengetahui sarana sekolah dan
sistem pembelajaran siswa.
3. Angket
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara meminta siswa
menjawab beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan pelaksanaan
penelitian. Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data dari informan yang
jumlahnya banyak dan tidak memungkinkan untuk diwawancarai satu per satu.
Angket dalam penelitian ini diterapkan pada siswa kelas V yang berjumlah 18
siswa.
4. Teknik tes
Teknik tes ini dilakukan untuk mengetahui perubahan hasil belajar
siswa setelah diadakan pembelajaran apresiasi cerita pendek dengan
menggunakan metode pembelajaran Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC). Langkah-langkah yang ditempuh peneliti dalam
pengambilan data menggunakan tes adalah dengan menyiapkan instrumen tes,
menilainya, dan mengolah data yang diperoleh. Tes dilakukan dua kali yakni,
pretes untuk mengetahui kemampuan awal siswa dan posttes untuk mengetahui
kemampuan siswa yang telah mengalami perlakuan. Bentuk tes yang diberikan
berupa tes tertulis dan tes perbuatan. Tes tertulis yang diberikan berupa soal
pilihan ganda, isian, dan jawaban singkat. Tes perbuatan berupa tes kemampuan
siswa menceritakan kembali isi cerita pendek yang dibaca.
E. Sumber data
Sumber data penelitian ini adalah:
1. peristiwa proses pembelajaran cerita pendek yang berlangsung di kelas V SD
Negeri IV Pulutan wetan;
2. informan penelitian ini adalah guru pengampu kelas V dan beberapa siswa
kelas V SD Negeri IV Pulutan Wetan; dan
3. dokumen
Data yang dikumpulkan, antara lain: silabus, rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP), foto kegiatan pembelajaran cerita pendek, hasil tes siswa,
catatan lapangan, angket, daftar nilai, serta catatan lapangan hasil wawancara
dengan guru pengampu kelas V dan siswa kelas V.
F. Uji Validitas Data
Uji validitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan triagulasi metode dan triangulasi sumber. Triangulasi metode
dilakukan dengan mengecek data yang telah diperoleh melalui sumber yang sama
dengan teknik yang berbeda yakni dicek dengan wawancara, observasi, dan
dokumentasi. Triangulasi sumber adalah uji validitas data dengan mengecek data
dari berbagai sumber, yaitu guru, siswa, dan dokumen. Selain itu, juga
menggunakan review informan yakni menanyakan kembali kepada informan
apakah data yang telah diperoleh sudah valid atau belum.
G. Teknik Analisis Data
Data yang berupa hasil pengamatan atau observasi dan wawancara
diklasifikasikan sebagai data kualitatif. Data ini diinterpretasikan kemudian
dihubungkan dengan data kuantitatif (tes) sebagai dasar untuk mendeskripsikan
keberhasilan pelaksanaan pembelajaran. Data kualitaif dianalisis dengan Teknik
analisis kritis. Teknik analisis kritis mencakup kegiatan untuk mengetahui hasil
dari tindakan tiap siklus dengan indikator ketercapaian yang telah ditetapkan
sekaligus mengungkap kelemahan dan kelebihan kinerja guru dan siswa dalam
proses belajar mengajar.
Data yang berupa tes diklasifikasikan sebagai data kuantitatif. Data
tersebut dianalisis secara deskriptif komparatif, yakni membandingkan nilai tes
antarsiklus dengan indikator pencapaian. Analisis dilakukan terhadap nilai yang
diperoleh pada tiga siklus yang telah dilakukan. Data yang berupa nilai tes
antarsiklus tersebut dibandingkan, sehingga hasilnya dapat mencapai batas
ketercapaian yang telah ditetapkan.
H. Indikator Ketercapaian Tujuan Pembelajaran
Indikator yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah meningkatnya
kualitas proses dan hasil pembelajaran apresiasi cerita pendek. Mulyasa (2006:
101-102) berpendapat bahwa kualitas pembelajaran dapat dilihat dari segi proses
dan segi hasil. Proses pembelajaran dikatakan berhasil jika seluruh atau setidaktidaknya sebagian besar (75%) peserta didik terlibat secara aktif, baik fisik,
mental, sosial selama proses pembelajaran. Dilihat dari segi hasil, pembelajaran
dikatakan berhasil jika sebagian besar (75%) siswa mengalami perubahan positif
dan output yang bermutu tinggi serta mendapatkan ketuntasan sesuai dengan
kriteria yang telah ditentukan.
Selain pertimbangan pendapat Mulyasa di atas, indikator ketercapaian
pembelajaran penelitian ini di tentukan berdasarkan diskusi guru dengan peneliti.
Keputusan diskusi diputuskan dengan mempertimbangkan keadaan awal siswa
sebelum tindakan.
Kualitas proses yang diukur dalam penelitian ini meliputi kedisiplinan,
minat, keaktifan, kerja sama, dan kesungguhan siswa. Kualitas hasil penilaian dari
kemampuan siswa dalam menceritakan kembali isi cerita pendek dan kualitas
siswa dalam mengapresiasi cerita pendek. Siswa dikatakan berhasil dalam
menceritakan kembali isi cerita pendek dan apresiasi cerita pendek jika
mendapatkan nilai ≥ 65 dan siswa yang mendapatkan nilai di bawah 65
dinyatakan belum lulus (KKM yang ditetapkan adalah ≥ 65). Adapun indikator
ketercapaian tujuan pembelajaran dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.
Table 5. Deskripsi Indikator Ketercapaian
No
Indikator
Persentase
Keterangan
1
Kedisiplinan
siswa
75%
Diamati ketika proses belajar mengajar
sedang berlangsung dengan lembar
observasi dihitung dari jumlah siswa tertib
dalam mengikuti pembelajaran
2
Minat siswa
75%
Diamati ketika proses belajar mengajar
sedang berlangsung dengan lembar
observasi dihitung dari jumlah siswa yang
tertarik dan antusias mengikuti pebelajaran
3
Keaktifan siswa
75%
Diamati ketika proses belajar mengajar
sedang berlangsung dengan lembar
observasi dihitung dari jumlah siswa aktif
dalam proses pembelajaran
4
Kerja
sama
siswa
dalam
kelompok
75%
Diamati ketika proses diskusi kelompok
sedang berlangsung dengan lembar
observasi dihitung dari jumlah siswa aktif
diskusi kelompok
5
Kesungguhan
siswa
dalam
mengerjakan
tugas
75%
Diamati pada saat kegiatan inti pada proses
belajar mengajar sedang berlangsung
dihitung dari jumlah siswa yang terlihat
fokus pada saat mengerjakan tugas
6
Kemampuan
apresiasi cerita
pendek
75%
Dihitung dari jumlah siswa yang mampu
mendapatkan nilai 65 ke atas
I. Prosedur Penelitian
Untuk memperoleh hasil penelitian yang diharapkan, maka peneliti
menggunakan prosedur penelitian sebagai berikut.
1. Persiapan
Pada tahap ini peneliti berkunjung ke SD Negeri IV Pulutan Wetan
dan menemui kepala sekolah. Peneliti meminta izin kepada kepala sekolah
untuk mengadakan penelitian di sekolah yang beliau pimpin. Peneliti meminta
izin dengan disertai surat izin penelitian dari Dekan FKIP UNS yang dilampiri
proposal penelitian. Pada tahap ini peneliti juga menemui guru pengampu kelas
V untuk mempersiapkan kegiatan survei awal.
2. Studi/Survei Awal
Pada tahap ini peneliti melakukan survei awal pada siswa kelas V
untuk mengenal kemampuan siswa dalam proses pembelajaran apresiasi cerita
pendek. Survei ini dilakukan dengan mengamati proses pembelajaran apresiasi
cerita pendek dan memeriksa hasil pretes yang dilakukan guru.
3. Pelaksanaan Siklus
Pelaksanaan penelitian ini, diwujudkan dalam bentuk siklus
(direncanakan tiga siklus), yang setiap siklus mencakup empat kegiatan, yaitu
(1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) observasi dan interpretasi, dan (4) analisis
dan refleksi. Adapun secara rinci empat tahap pelaksanaan diuraikan sebagai
berikut.
a. Rancangan Siklus I
1) Tahap perencanaan tindakan
Pada tahap perencanaan tindakan ini, peneliti dan guru
menyusun rencana penerapan metode CIRC dalam pembelajaran sastra
khususnya pada apresiasi cerita pendek yang terdiri dari kegiatankegiatan berikut ini:
a) peneliti dan guru menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
bahasa Indonesia sesuai dengan silabus yang telah disusun oleh guru;
b) peneliti bersama guru merancang sknario pembelajaran apresiasi cerita
pendek dengan menerapkan metode CIRC, yakni dengan langkahlangkah: (1) guru membuka pelajaran dan melakukan apersepsi kepada
siswa dengan menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan cerita
pendek; (2) guru kemudian menjelaskan meteri mengenai unsur-unsur
intrinsik
cerita
pendek,
jenis-jenis
cerita
pendek,
dan
cara
menceritakan kembali isi cerita pendek yang dibaca; (3) guru
membagikan kutipan cerita pendek untuk dianalisis bersama-sama; (4)
guru menjelaskan sistem pembelajaran apresiasi cerita pendek dengan
metode Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC)
kepada siswa; (5) guru membagi siswa menjadi empat kelompok,
masing-masing terdiri dari 4 sampai 5 orang; (6) guru membagikan
cerita pendek kepada masing-masing siswa; (7) siswa membaca cerita
pendek dengan berpasangan; (8) siswa mendiskusikan soal yaang
dibagikan guru menganai cerita pendek; (9) guru memberikan soal
tertulis secara individu kepada siswa; dan (10) setelah selesai, guru
meminta anak untuk menceritakan kembali isi cerita pendek ke depan
kelas secara bergantian
c) peneliti bersama guru menyusun sistem penilaian yang meliputi
penilaian proses dan hasil. Penilaian proses dengan menggunakan
lembar penilaian sikap (afektif) yang terdiri dari aspek: (1)
kedisiplinan; (2) minat; (3) keaktifan; (4) kerja sama; dan (5)
kesungguhan. Penilaian hasil menggunakan dua bentuk tes, yaitu tes
tertulis dan tes perbuatan. Tes tertulis berisi tentang soal yang menguji
kemampuan siswa memahami cerita pendek yang dibaca. Tes
perbuatan berisi tentang kemampuan siswa untuk menceritakan
kembali isi cerita pendek di depan kelas, meliputi aspek: (1)
kelengkapan isi; (2) keruntutan alur; (3) kemampuan kebahasaan; dan
(4) sikap saat berbicara.
2) Tahap pelaksanaan tindakan
Pada tahap pelaksanaan tindakan ini, guru melaksanakan
pembelajaran sastra sesuai dengan RPP yang telah disusun bersama
peneliti dengan menerapkan metode CIRC untuk meningkatkan
kemampuan apresiasi cerita pendek.
3) Tahap observasi
Tahap observasi dilakukan dengan mengamati proses
pembelajaran (aktivitas guru dan siswa). Kegiatan ini diarahkan
pada pokok-pokok penting yang telah ditetapkan pada pedoman
observasi. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara dengan guru
dan siswa agar data lebih lengkap dan akurat.
4) Refleksi
Refleksi dilakukan oleh peneliti dan guru dengan cara
menganalisis hasil observasi, hasil pekerjaan siswa, serta hasil
wawancara. Dengan demikian, analisis dilakukan terhadap proses dan
hasil pembelajaran yang dilakukan. Berdasarkan hasil analisis tersebut
akan didapatkan kekurangan-kekurangan yang masih terjadi dalam
pembelajaran apresiasi cerita pendek. Hasil analisis ini digunakan sebagai
dasar penerapan siklus berikutnya agar mengalami perbaikan. Dengan
analisis ini, peneliti juga tahu apakah tindakan yang diberikan berhasil
atau tidak.
b. Rancangan Siklus II
Pada siklus II perencanaan tindakan dilakukan dengan bercermin
pada hasil yang telah dicapai pada tindakan siklus I sebagai upaya perbaikan
dari upaya siklus tersebut.
c. Rancangan Siklus III
Pada siklus III perencanaan tindakan dilakukan dengan
bercermin pada hasil yang telah dicapai pada tindakan siklus II sebagai
upaya perbaikan dari upaya siklus tersebut.
4. Tahap Pengamatan
Pada tahap ini peneliti melakukan pengamatan pada proses
pembelajaran di setiap siklus yang diterapkan oleh guru. Peneliti mengamati
perilaku guru dan siswa saat pembelajaran apresiasi cerita pendek berlangsung.
5. Tahap Pelaporan
Pada tahap ini peneliti menyusun laporan dari semua kegiatan yang
telah dilakukan selama penelitan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Uraian mengenai hasil penelitian sebagai jawaban atas rumusan
masalah yang diungkapkan Bab I akan disajikan dalam Bab IV ini. Sebelum hasil
penelitian dipaparkan, pada bab ini diuraikan terlebih dahulu mengenai kondisi
awal (pratindakan) pembelajaran apresiasi cerita pendek siswa kelas V SD negeri
IV Pulutan Wetan. Dengan demikian, pada bab ini akan dikemukakan tentang: (1)
kondisi awal pembelajaran serta kemampuan apresiasi cerita pendek siswa kelas
V SD Negeri IV Pulutan Wetan, (2) pelaksanaan tindakan dan hasil penelitian,
dan (3) pembahasan hasil penelitian. Penelitian tindakan kelas dilakukan dalam
tiga siklus dengan empat tahap dalam setiap siklusnya, yaitu tahap perencanaan,
pelaksanaan tindakan, observasi, serta evaluasi dan refleksi.
A. Deskripsi Kondisi Awal
Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti melakukan survei awal.
Survei awal ini dimaksud untuk mengetahui kondisi awal pembelajaran apresiasi
cerita pendek serta kemampuan siswa dalam mengepresiasi cerita pendek. Kondisi
awal ini menjadi acuan untuk menentukan tindakan apa saja yang akan dilakukan
pada pembelajaran dalam siklus selanjutnya. Survei awal dilakukan pada hari
Selasa tanggal 13 Januari 2010 dan dilanjutkan pada hari Rabu tanggal 14 Januari
2010. Pada hari Selasa tanggal 13 Januari 2010 diadakan wawancara dengan guru
dan siswa serta observasi kelas. Sementara itu, pada hari Rabu tanggal 14 Januari
2010 diadakan tes pratindakan.
Kegiatan pratindakan merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk
mengawali penelitian tindakan kelas ini. Kegiatan pratindakan meliputi: (a)
pembahasan tentang permasalahan dalam proses pembelajaran apresiasi cerita
pendek, (b) pelaksanaan uji pratindakan, dan (c) pembahasan tentang upaya
peningkatan kualitas proses pembelajaran khususnya pada apresiasi cerita pendek.
1. Pembahasan tentang permasalahan dalam proses pembelajaran apresiasi
cerita pendek
Sebelum proses penelitian dilaksanakan, peneliti melakukan survei
awal. Survei awal ini bertujuan untuk mengetahui kondisi awal pembelajaran
cerita pendek dan mengetahui kemampuan awal siswa dalam memahami unsur
intrinsik cerita pendek. Kondisi awal ini menjadi acuan untuk menentukan
tindakan perbaikan. Survei awal hari pertama dilaksanakan pada hari Selasa, 13
Januari 2010 pukul 07.30 – 10.00. Survei awal pada hari pertama diawali
dengan observasi proses pembelajaran apresiasi cerita pendek di kelas V SD
Negeri IV Pulutan Wetan. Kemudian, dilanjutkan dengan wawancara pada
guru pengampu dan siswa kelas V SD Negeri IV Pulutan Wetan.
Observasi dilakukan pada saat pelajaran bahasa Indonesia terutama
pembelajaran apresiasi cerita pendek. Dalam observasi, peneliti berada di
dalam kelas dengan mengambil posisi tempat duduk paling belakang. Peneliti
mengambil tempat paling belakang agar tidak mengganggu proses belajar
pembelajaran di kelas tersebut. Peneliti melakukan kegiatan pengamatan
selama proses belajar-mengajar berlangsung. Segala kejadian yang berlangsung
pada jam pelajaran itu peneliti amati dan mencatatnya dalam lembar observasi.
Selanjutnya, peneliti melakukan wawancara kepada guru kelas dan wawancara
kepada siswa-siswa untuk mengetahui sejauh mana respon siswa terhadap
pembelajaran cerita pendek yang telah berlangsung.
Adapun hasil observasi yang dilakukan peneliti menunjukkan
keadaan sebagai berikut.
a. Kedisiplinan dan kesiapan siswa mengikuti pembelajaran apresiasi cerita
pendek
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti selama proses
pembelajaran berlangsung, terungkap bahwa kedisiplinan dan kesiapan
siswa kurang terhadap pelajaran. Hal ini terlihat dari adanya siswa yang
masih bercanda dengan teman sebangkunya saat proses pembelajaran
berlangsung. Ketidaksiapan siswa sangat terlihat pada waktu guru memulai
pelajaran bahasa Indonesia di jam pertama, ada siswa yang belum
menyiapkan buku dan ada beberapa siswa yang mengeluarkan buku mata
pelajaran lain.
b. Minat siswa dalam mengikuti pembelajaran apresiasi cerita pendek
Selama proses pembelajaran berlangsung, siswa kurang berminat
terhadap pelajaran apresiasi cerita pendek. Hal tersebut terindikasi dari
sikap siswa selama mengikuti pelajaran, yaitu perhatian siswa banyak yang
tidak fokus pada pelajaran, ada siswa yang sibuk dengan kegiatannya
melipat kertas, ada yang berbicara dengan temannya, ada yang melamun,
menunduk, menoleh-noleh, dan mengantuk.
Lemahnya minat siswa terhadap apresiasi cerita pendek juga dapat
dilihat dari hasil pengisian angket oleh siswa. Berdasarkan hasil angket
tersebut, diketahui bahwa
siswa yang menyukai atau berminat pada
apresiasi cerita pendek hanya mencapai 33 % atau sejumlah 6 dari 18
siswa.
c. Keaktifan siswa selama mengikuti pembelajaran apresiasi cerita pendek
Pada
waktu
proses
pembelajaran
berlangsung,
peneliti
menyimpulkan bahwa siswa kurang aktif dalam mengikuti proses
pembelajaran apresiasi cerita pendek. Hal ini terlihat dari sedikitnya siswa
yang berani bertanya atau menyampaikan pendapat/sikap secara individu
kepada guru. Mereka hanya bisa mengeluh secara bersama-sama.
Kekurangaktifan siswa juga terlihat saat mendapatkan pertanyaan dari guru
tidak ada satu pun siswa yang angkat tangan untuk menjawab. Mereka
hanya bergumam kepada teman sebangku.
d. Perhatian dan kesungguhan siswa dalam mengikuti pembelajaran apresiasi
cerita pendek
Perhatian dan kesungguhan siswa terhadap guru kurang selama
proses pembelajaran berlangsung. Banyak siswa yang sibuk dengan
kegiatan pribadinya, seperti bergurau dengan teman, tidak mendengarkan
penjelasan guru, melihat keluar kelas saat dijelaskan materi, dan bermain
kertas. Siswa juga tidak merespon stimulus yang diberikan guru. Mereka
nampak bosan dengan proses pembelajaran yang berlangsung secara
monoton ini. Ada beberapa siswa yang mengantuk.
e. Penggunaan media dalam Pembelajaran apresiasi cerita pendek
Berdasarkan hasil observasi pratindakan guru hanya menggunakan
cerita pendek yang terdapat dalam buku paket siswa. Dengan kata lain,
guru hanya mengandalkan materi yang terdapat dalam buku paket atau
buku pegangan untuk menentukan materi cerita pendek bagi siswa. Hal ini
akan menimbulkan kurangnya referensi bagi siswa untuk memahami cerita
pendek yang diajarkan.
f. Penggunaan metode dalam pembelajaran apresiasi cerita pendek
Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti diketahui bahwa
pembelajaran yang digunakan guru masih bersifat konvensional. Guru
menggunakan metode ceramah yang merupakan sistem pembelajaran
berpusat pada guru (teacher centered). Interaksi yang dilakukan guru
dengan siswa masih minim walaupun guru berusaha menghidupkan proses
pembelajaran dengan memberikan pertanyaan pada siswa. Intensitas tanya
jawab yang dilakukan dengan guru masih rendah, itu pun tidak ditanggapi
siswa dengan antusias.
g. Penguasaan kelas
Posisi guru saat mengajar hanya di depan kelas. Guru tidak
berkeliling kelas atau memantau siswa yang duduk di belakang sehingga
banyak siswa yang duduk di belakang tidak memperhatikan pelajaran.
Mereka dapat leluasa melakukan kegiatan pribadi, seperti bercanda dengan
teman, bermain kertas, dan melamun. Guru berkeliling hanya pada saat
siswa mencatat materi pembelajaran.
Dari wawancara dengan guru juga dikemukakan bahwa masih
banyak siswa yang belum tuntas dalam pembelajaran apresiasi cerita pendek.
Dari sejumlah kegiatan yang dilakukan dalam apresiasi cerita pendek, hampir
semua siswa merasa kesulitan dalam menceritakan kembali isi cerita pendek.
Dari hasil wawancara tidak terstruktur yang dilakukan kepada siswa
diketahui
bahwa
pembelajaran
apresiasi
cerita
pendek
cenderung
membosankan.
Guru
selalu
menggunakan
metode
ceramah
untuk
menyampaikan materi. Di akhir pembelajaran, guru selalu memberikan tugas
sebagai evaluasi. Selain menimbulkan kejenuhan, metode tersebut juga
menyulitkan siswa dalam memahami materi cerita pendek meskipun materi
tersebut sudah diberikan secara berulang-ulang oleh guru.
Dari wawancara dengan siswa juga diketahui bahwa pembelajaran
apresiasi cerita pendek merupakan materi yang sulit. Mereka merasa kesulitan
dalam menceritakan kembali cerita yang dibaca. Hal ini membuat mereka
merasa terpaksa dalam menyelesaikan tugas menceritakan kembali cerita
pendek.
Berdasarkan angket yang diisi oleh siswa dapat diketahui bahwa
mereka lebih suka pembelajaran bahasa Indonesia yang menyajikan materi
kebahasaan dari pada materi sastra. Angket ini juga menunjukkan sebenarnya
anak suka dengan pembelajaran apresiasi cerita pendek, mereka merasa
pembelajaran apresiasi
cerita pendek perlu diberikan tetapi mereka
menganggap bahwa pembelajaran apresiasi cerita pendek cukup sulit.
Kesulitan yang mereka hadapi dalam pembelajaran cerita pendek adalah
mengenai menceritakan kembali isi cerita dan mengidentifikasi unsur intrinsik
cerita pendek. Hasil angket juga menunjukkan mereka merasa acuh jika diberi
tugas untuk menceritakan kembali isi cerita. Selain itu, hasil angket juga
menjelaskan bahwa guru hanya menggunakan metode ceramah dan penugasan
dalam pembelajaran apresiasi cerita pendek, sehingga membuat anak merasa
bosan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang
dihadapi guru dalam pembelajaran apresiasi cerita pendek adalah metode
pembelajaran yang digunakan kurang variatif. Hal ini mengakibatkan
pembelajaran membosankan dan sulit untuk dipahami oleh siswa.
2. Pelaksanaan uji pratindakan
Pelaksanaan uji pratindakan bertujuan untuk mengetahui kondisi
awal terhadap 18 siswa kelas V di SD Negeri IV Pulutan Wetan tahun
pelajaran 2009/2010. Uji coba dilaksanakan pada hari Rabu, 14 Januari 2010.
Materi uji pratindakan adalah cerita pendek “Darma dan Zainal”. Dalam uji
pratindakan ini, siswa diberikan soal sebanyak 25 soal yang terdiri dari sepuluh
soal pilihan ganda, lima soal isian, dan lima soal jawaban singkat yang
berkaitan dengan
unsur intrinsik cerita pendek dan tugas menceritakan
kembali. Dari hasil uji pratindakan, hanya 7 siswa (38%) yang memperoleh
nilai di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 65, sedangkan 11 siswa
(62%) yang lain memperoleh nilai di bawah KKM. Nilai rata-rata yang dicapai
juga rendah, yaitu 64,78 masih di bawah KKM yang ditetapkan di sekolah.
Selain tes tertulis, tes pratindakan juga dilakukan dengan tes
menceritakan kembali cerita pendek yang dibaca di depan kelas. Pada tes ini,
kemampuan siswa belum maksimal. Nilai yang diperoleh jauh di bawah KKM.
Dari hasil uji pratindakan, hanya 1 siswa (5%) yang memperoleh nilai di atas
Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 65, sedangkan 17 siswa (95%) yang
lain memperoleh nilai di bawah KKM. Nilai rata-rata yang dicapai masih jauh
di bawah KKM, yaitu 40,33.
Hasil tes tertulis dan tes perbuatan dalam uji pratindakan
digabungkan dan menjadi nilai akhir tes kemampuan apresiasi cerita pendek.
Berdasarkan hasil tes pratindakan, diketahui bahwa hanya ada 4 siswa (22%)
yang mendapatkan nilai 65 ke atas, sedangkan 14 siswa (88%) siswa yang lain
mendapatkan nilai di bawah KKM. Nilai rata-rata yang diperoleh juga masih
rendah yaitu 56.
Berdasarkan tes yang dilakukan tersebut diketahui kemampuan
apresiasi cerita pendek siswa masih rendah. Siswa masih merasa kesulitan
dalam mengidentifikasi unsur intrinsik cerita pendek dan menceritakan kembali
cerita pendek yang mereka baca. Saat siswa diminta guru menceritakan
kembali cerita pendek di depan kelas, banyak yang bingung dan menceritakan
cerita pendek dengan alur yang meloncat-loncat. Untuk mengetahui secara rinci
hasil tes pratindakan siswa, dapat dilihat pada tabel nilai apresiasi cerita pendek
di bawah ini.
Tabel 6. Nilai Apresiasi Cerita Pendek Pratindakan
Nama
Nilai
Nilai
Nilai
Perbuatan Tertulis
Akhir
1 Arif Wahyu Setiawan
39
60
50
2 Risky Kurniawan
39
65
52
3 Riski Agustin
39
45
42
4 Sofyan Arif Nur Prasetyo
33
38
36
5 Adimas Pangestu
39
63
51
6 Alfin Febrianti
39
63
51
7 Aminah Permata Sari
44
85
65
8 Dina Rahmawati
67
90
80
9 Ela Fitriyani
44
85
65
10 Fandi Irawan Ridwan
33
45
39
11 Heni Rahayuyani
39
63
51
12 Irfan Fauzi
39
60
50
13 Ika Ayu Nur Kholifatul
44
63
54
14 Oktavianto Stiadi Pramono
33
65
49
15 Ria Novita Rahmawati
56
85
71
16 Rahmatulloh
33
65
49
17 Rahmad Nur Fauzi
33
63
48
18 Sandhi Nugroho Erha
33
63
48
Rata-rata
40,33
64,78
56
Jumlah ketuntasan (nilai ≥65)
1
7
4
Presentase ketuntasan (nilai ≥65)
5%
38%
22%
3. Pembahasan tentang upaya peningkatan proses pembelajaran
No
Keterangan
Tidak Lulus
Tidak Lulus
Tidak Lulus
Tidak Lulus
Tidak Lulus
Tidak Lulus
Lulus
Lulus
Lulus
Tidak Lulus
Tidak Lulus
Tidak Lulus
Tidak Lulus
Tidak Lulus
Lulus
Tidak Lulus
Tidak Lulus
Tidak Lulus
apresiasi
cerita pendek
Dari hasil kegiatan observasi, wawancara, dan uji pratindakan yang
dilakukan pada survei awal, diketahui bahwa kemampuan siswa mengapresiasi
cerita pendek masih rendah terutama dalam memahami unsur intrinsik dan
menceritakan kembali cerita pendek. Adapun penyebab rendahnya kemampuan
apresiasi cerita pendek diantaranya adalah dalam proses pembelajaran yang
berlangsung sebagai berikut:
a. masih bersifat individual belum memanfaatkan potensi interaksi dan kerja
sama antarsiswa;
b. minimnya umpan balik dari guru maupun sesama teman belajar; dan
c. metode pembelajaran yang dilakukan oleh guru maih didominasi dengan
metode ceramah.
Dari pretes yang dilakukan pada survei awal diketahui bahwa
kemampuan apresiasi cerita pendek siswa kelas V SD Negeri IV Pulutan
Wetan masih tergolong rendah. Rendahnya kemampuan apresiasi cerita pendek
tersebut tampak pada indikator berikut ini.
a. Siswa belum mampu menemukan unsur-unsur intrinsik dari cerita pendek
yang dipelajari.
b. Siswa belum mampu menyusun urutan peristiwa dari cerita pendek yang
dipelajari.
c. Siswa belum mempunyai keberanian untuk menceritakan kembali cerita
pendek yang sudah dipelajari.
Dari hasil uji pratindakan di atas, perlu segera diambil solusi
sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan peningkatan
kemampuan apresiasi cerita pendek. Peneliti berasumsi bahwa tindakan perlu
dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Pada saat diskusi dengan guru,
peneliti
menawarkan
metode
Cooperative
Integreated
Reading
and
Composition (CIRC). Alasan pemilihan metode ini karena diperkirakan mampu
mengatasi permasalahan di atas. Metode ini termasuk ke dalam metode diskusi
kelompok berbasis pembelajaran kooperatif dengan menempatkan siswa dalam
kelompok campuran berdasarkan prestasi, jenis kelamin, agama, dan suku. Hal
ini sangat memungkinkan siswa untuk belajar mengapresiasi cerita pendek
secara berkelompok dengan memanfaatkan potensi interaksi dan kerja sama
antarsiswa.
Dalam metode ini, siswa ditempatkan dalam kelompok belajar
beranggotakan empat atau lima orang yang merupakan campuran menurut
tingkat prestasi, jenis kelamin, agama, dan suku. Guru menyajikan pelajaran
dan siswa bekerja dalam kelompok untuk memastikan seluruh anggota
kelompok telah mengusai pelajaran tersebut. Seluruh siswa dikenai kuis
tentang materi itu. Saat belajar berkelompok, siswa saling membantu untuk
menuntaskan materi yang dipelajari. Sebelum menjawab pertanyaan, siswa
membaca berpasangan cerita pendek yang mereka pelajari agar memahami
isinya.
Kompetensi yang dimiliki siswa lebih ditekankan pada kompetensi
individu meskipun dilakukan dalam bentuk diskusi kelompok. Pembacaan
secara berpasangan antar anggota kelompok agar mereka memahami isi cerita
pendek secara keseluruhan. Membaca berpasangan ini juga menerapkan
membaca nyaring dan berulang-ulang. Setiap anggota kelompok memiliki rasa
tanggung jawab yang tinggi terhadap setiap permasalahan yang dihadapi.
Dengan demikian, mereka selalu berkontribusi dalam kelompoknya terutama
pada saat kegiatan ‘mencari harta karun’. Guru memantau dan mengelilingi
tiap kelompok untuk melihat adanya kemungkinan siswa yang memerlukan
bantuan guru. Metode ini pun dibantu dengan metode ceramah, pelatihan,
penugasan, dan
tanya jawab sesuai satuan pelajaran, sehingga ketuntasan
materi dapat terwujud.
B. Pelaksanaan Tindakan dan Hasil Penelitian
Pelaksanaan tindakan kelas yang dilakukan melalui tiga siklus yang
berkelanjutan dari siklus pertama, kedua, dan ketiga. Setiap siklus terdiri dari
empat tahap: (a) tahap perencanaan (planning), (b) tahap implementasi
tindakan (acting), (c) tahap observasi (observing), dan (d) tahap refleksi
(reflecting).
1. Siklus I
a. Perencanaan tindakan
Berdasar pada survei awal yang dilakukan dari kegiatan
pratindakan, diketahui bahwa ada dua permasalahan utama dalam
pembelajaran apresiasi cerita pendek, yaitu proses pembelajaran yang
masih
menggunakan
metode
konvensional
dan
masih
rendahnya
kemampuan siswa dalam mengapresiasi cerita pendek. Sesuai dengan
penawaran peneliti tentang pemilihan metode CIRC untuk meningkatkan
kemampuan apresiasi cerita pendek yang sudah disepakati oleh guru, maka
dirancang Penelitian Tindakan Kelas, pada siklus I tahap perencanaan.
Kegiatan ini dilaksanakan oleh guru dan peneliti pada Jumat, 5
Februari 2010, bertempat di kantor guru. Pada kesempatan ini peneliti
berdiskusi dengan guru. Hal-hal yang didiskusikan antara lain:
1)
peneliti menyamakan persepsi dengan guru mengenai penelitian yang
dilakukan;
2)
sesuai dengan usul peneliti pada pertemuan sebelumnya, bahwa akan
diterapkan metode Cooperative Integrated Reading and Composition
(CIRC) dalam pembelajaran apresiasi cerita pendek serta menjelaskan
cara melaksanakannya;
3)
peneliti dan guru sama-sama menyusun RPP untuk siklus I;
4)
peneliti dan guru bersama-sama merumuskan indikator pencapaian
tujuan;
5)
guru dan peneliti memilih cerpen yang akan dijadikan media
pembelajaran pada siklus I. Guru dan peneliti memilih cerpen berjudul
“Kado untuk Emak”. Judul ini dipilih karena latar ceritanya sesuai
dengan kehidupan siswa yang berada di lingkungan pedesaan, bahasa
yang digunakan juga sesuai dengan usia anak sehingga mudah di
cerna. Selain itu, tema dalam cerpen ini juga sesuai dengan psikologi
anak kelas V SD yang menyukai tema kekeluargaan;
6)
guru dan peneliti bersama-sama membuat lembar penilaian siswa,
yaitu instrumen tes dan nontes. Instrumen tes berupa lembar kegiatan
siswa (LKS) yang berisi butir-butir soal digunakan untuk menilai
kemampuan apresiasi cerita pendek. Lembar kegiatan siswa (LKS)
berupa soal kelompok, soal individu, dan soal perbuatan. Instrumen
nontes digunakan untuk menilai sikap siswa dalam pembelajaran
apresiasi cerita pendek. Instrumen nontes berbentuk lembar obseravasi
dengan kriteria penilaian yang sudah ditentukan; dan
7)
menentukan jadwal pelaksanaan tindakan.
Adapun urutan tindakan yang sudah direncanakan dan akan
diterapkan dalam siklus I sebagai berikut:
a) guru mengondisikan kelas dengan mengabsen siswa siapa yang
tidak masuk, kemudian melakukan apersepsi dengan tanya jawab
ringan dengan siswa tentang cerita pendek;
b) guru menjelaskan makna cerita pendek, unsur intrinsik cerita
pendek, dan cara menyimpulkan cerita pendek;
c) guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok yang sudah
ditentukan berdasarkan prestasi, jenis kelamin, dan keaktifan
siswa. Masing-masing kelompok terdiri dari 4 – 5 siswa. Pemilihan
ini dilakukan guru berdasarkan pengamatan guru mengajar selama
ini;
d) guru memberi bacaan cerita pendek yang berjudul “Kado Untuk
Emak” beserta dengan LKS berupa soal kelompok;
e) guru menyuruh siswa untuk mencari pasangan membaca masingmasing. Siswa yang tidak mendapat pasangan dalam kelompoknya
untuk sementara bergabung dengan kelompok lain;
f) guru menyuruh siswa untuk mendiskusikan soal kelompok yang
telah dibagikan;
g) guru membahas pertanyaan-pertanyaan yang ada di LKS yang
sudah didiskusikan oleh siswa;
h) guru mengumpulkan LKS yang diberikan kepada siswa;
i) guru melakukan tes pascatindakan dilakukan dengan memberikan
soal secara individu kepada setiap siswa. Soal berisi mengenai
unsur-unsur intrinsik cerita pendek dan menceritakan kembali isi
cerita pendek;
j) guru menyuruh siswa untuk mengumpulkan hasil tes mereka;
k) guru menyuruh siswa maju satu per satu menceritakan isi cerita
pendek;
l) guru dan siswa melakukan refleksi; dan
m) guru menutup pembelajaran dengan memberitahukan bahwa
kegiatan pada pertemuan kali ini akan ditindaklanjuti pada
pertemuan berikutnya.
Dari kegiatan diskusi tersebut disepakati pula bahwa
tindakan dalam siklus I dilaksanakan dalam dua kali pertemuan, yaitu
pada hari Jumat, 12 Februari 2010 dan hari Sabtu, 13 Februari 2010.
b. Pelaksanaan Tindakan Siklus I
1) Pertemuan Pertama
Sesuai dengan perencanaan, tindakan siklus I pertemuan
pertama dilaksanakan pada hari Jumat, 12 Februari 2010 selama
2 X 35 menit, yaitu pada jam pelajaran pertama dan kedua. Pada
pertumuan pertama ini, guru akan menerapkan metode CIRC dalam
pembelajaran apresiasi cerita pendek.
Pada pertemuan ini guru akan mengajak siswa untuk
mengapresiasi
cerita
pendek
“Kado
untuk
Emak”.
Guru
menyampaikan kompetensi dasar yang harus dicapai oleh siswa
melalui beberapa indikator. Guru menjelaskan kepada siswa bahwa
metode yang akan diterapkan adalah CIRC. Agar siswa tertarik dengan
metode pembelajaran tersebut guru menyampaikan manfaat dari
penerapan metode ini, yaitu dapat memupuk kerja sama antarsiswa,
menanamkan nilai gotong royong, menanamkan keyakinan bahwa di
dunia ini tidak ada kesuksesan tanpa adanya kerja sama yang baik
dengan orang lain, dan metode ini dapat mempermudah dalam
memahami cerita pendek.
Langkah-langkah yang dilakukan guru dalam pembelajaran
cerita pendek pada tindakan siklus I pertemuan pertama ini adalah
sebagai berikut:
a) guru membuka pelajaran dengan mengucap salam;
b) guru mengabsen siswa;
c) guru mengondisikan kelas;
d) guru melakukan tanya jawab ringan berhubungan dengan cerita
pendek;
e) guru menjelaskan arti cerita pendek, unsur-unsur intrinsik cerita
pendek, dan cara menyimpulkan isi cerita pendek;
f) guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok yang telah
ditentukan berdasarkan prestasi, jenis kelamin, dan keaktifan
siswa. Masing-masing kelompok terdiri dari 4 – 5 siswa. Setiap
kelompok terdiri dari dua pasangan membaca;
g) guru memberikan bacaan cerita pendek beserta dengan LKS
kepada masing-masing kelompok;
h) guru menyuruh siswa untuk membaca cerita pendek dengan
berulang-ulang secara berpasangan;
i) guru menugaskan siswa untuk menganalisis unsur intrinsik cerita
pendek dan pertanyaan-pertanyaan dalam LKS secara berdiskusi,
saling membantu dalam menemukan jawaban, dan saling
menjelaskan dengan anggota kelompoknya; dan
j) setelah semua siswa selesai mendiskusikan soal LKS, hasil
pekerjaan siswa dikumpulkan. Guru dan siswa secara bersamasama membahas unsur intrinsik cerita pendek dan cara
menceritakan kembali cerita pendek yang sudah dibaca.
Sampai pada langkah ini, bel berbunyi menunjukkan bahwa
waktu
pelajaran telah
selesai. Guru
menyuruh siswa untuk
mempelajari hasil analisis mereka dan berlatih menceritakan kembali
cerita pendek yang sudah dibaca. Kemudian guru menutup pelajaran
dengan menginformasikan bahwa besok akan diadakan tes mengenai
pembelajaran hari ini. Pembelajaran dilanjutkan pertemuan selanjutnya
pada hari Sabtu, 13 Februari 2010 jam pertama dan kedua.
2) Pertemuan Kedua
Langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan guru pada
pertemuan kedua dalam pelaksanaan siklus I adalah:
a) guru membuka pelajaran dengan mengucap salam;
b) guru mengabsen siswa dan menanyakan siapa yang tidak masuk;
c) guru mengkondisikan kelas dengan menanyakan apakah sudah siap
menjalankan tes hari ini;
d) guru memberikan motivasi kepada siswa;
e) guru membagikan LKS kepada masing-masing siswa;
f) guru menyuruh siswa mengerjakan LKS yang telah dibagikan;
g) guru menyuruh siswa untuk mengumpulkan LKS yang telah selesai
dikerjakan siswa;
h) siswa maju satu per satu sesuai nomor absen untuk menceritakan
kembali isi cerita pendek yang sudah dibaca di depan kelas;
i) guru dan siswa melakukan refleksi dengan mempersilahkan kepada
siswa untuk menanyakan hal-hal yang sulit; dan
j) guru menutup pelajaran.
Guru dapat menyelesaikan semua langkah tersebut sesuai
dengan waktu yang tersedia. Bergitu bel tanda pergantian pelajaran
berbunyi, guru sudah pada tahap pergantian pelajaran. Dalam tahap ini,
guru bertindak sebagai pemimpin jalannya kegiatan pembelajaran
apresiasi cerita pendek di kelas, sedangkan peneliti hanya bertindak
sebagai partisipan pasif.
c. Observasi pada Siklus I
Observasi dilaksanakan saat pembelajaran apresiasi cerita
pendek dengan metode CIRC berlangsung pada hari Jumat, 12 Februari
2010 pukul 07.30 – 08.40 (jam pertama dan kedua) dan hari Sabtu, 13
Februari 2010 pulul 07.30 – 08.40 (jam pertama dan kedua). Observasi
terfokus
pada
situasi
pelaksanaan
pembelajaran,
kegiatan
yang
dilaksanakan guru serta aktivitas siswa dalam pembelajaran apresiasi cerita
pendek dengan menerapkan metode CIRC. Dalam observasi ini, peneliti
menggunakan pedoman observasi (terlampir pada lampiran). Pada saat
observasi, peneliti bertindak sebagai partisipan pasif dan duduk di bangku
paling belakang.
1) Pengamatan terhadap guru
Guru berusaha melaksanakan pembelajaran sesuai dengan
perencanaan yang telah disusun bersama peneliti. Setelah guru membagi
siswa dalam kelompok kecil sesuai dengan kelompok yang telah
ditetapkan berdasarkan tingkat kecerdasan siswa, guru mengontrol
jalannya diskusi kelompok. Guru memberi kesempatan kepada siswa
yang ingin bertanya mengenai permasalahan kelompok yang mereka
hadapi selama diskusi. Pada pertemuan pertama siklus I ini, guru masih
terlihat belum dapat mengontrol dengan baik jalannya kerja kelompok.
Masih didapatinya siswa yang bermain sendiri, atau siswa yang
membaca buku pelajaran lain. Kegiatan guru pada proses pembelajaran
belum berjalan dengan maksimal. Suasana sangat gaduh ketika siswa
sibuk mencari anggota kelompoknya dan menata tempat duduk.
Pada pertemuan pertama siklus I ini, peneliti menggunakan
lembar penilaian kinerja guru yang menilai tentang kemampuan guru
dalam kemampuan menjelaskan pelajaran dan mengusai kelas. Indikator
kedua kinerja tersebut sebagai berikut.
a) Kemampuan menjelaskan materi, meliputi:
(1) menjelaskan materi dengan kalimat yang tidak berbelit-belit dan
menghidari
penggunaan
kata
yang
berlebihan
dan
membingungkan;
(2) penggunaan contoh yang relevan dengan isi penjelasan dan
sesuai dengan kemampuan anak;
(3) pengorganisasian dengan menggunakan peta konsep dan ikhtisar
butir-butir penting;
(4) penekanan pada yang penting dengan mengulangi, mimik,
gerakan, dan kejelasan artikulasi; dan
(5) balikan dengan memberi pertanyaan dan menggunakan balikan
untuk
menyesuaikan
penjelasan.
ketepatan
atau
mengubah
maksud
Tabel 7. Lembar Observasi Kemampuan Guru dalam Menjelaskan
No
1
Aspek Yang Diamati
4
3
2
1
Total
Keterangan : 4= sangat baik
3= baik
2= cukup
1= tidak baik
Penilaian : Skor 48 – 37 = baik
Skor 36 – 25 = cukup
Skor 24 – 12 =kurang
Berdasarkan lembar pengamatan dan penilaian, diperoleh
hasil bahwa kinerja guru siklus I mencapai skor 24. Skor tersebut
mengindikasikan bahwa kemampuan menjelaskan guru masih pada
posisi “kurang”. Dari indikator yang telah ditentukan diketahui bahwa
guru masih pada posisi jawaban “cukup” dalam proses pembelajaran.
Hal ini wajar karena guru kurang referensi tentang pembelajaran
apresiasi cerita pendek menggunakan metode CIRC.
b) Kemampuan guru dalam mengelola kelas, meliput:
(1) bersikap tanggap dengan memandang secara seksama, mendekati,
memberi teguran, dan tepat waktu;
(2) membagi perhatian dengan visual dan verbal;
(3) memusatkan
perhatian
kelompok
dengan
menyiapkan
dan
mengarahkan perhatian;
(4) menuntut tanggung jawab dengan menyuruh siswa mengawasi
temannya dan menunjukkan pekerjaan;
(5) petunjuk yang jelas kepada seluruh siswa dan kepada siswa secara
individual;
(6) memberikan teguran dengan penekanan tingkah laku, memberikan
alternatif tingkah laku, teguran, menggunakan mimik, dan
menetapkan harapan-harapan; dan
(7) memberikan penguatan dengan mimik, gerak, sentuhan, tanda, dan
benda.
Tabel 8. Lembar Observasi Kemampuan Guru dalam Mengelola
Kelas
Aspek Yang Diamati
4 3 2 1
No
1
Total
Keterangan : 4= sangat baik
Penilaian : Skor 80 – 61 = baik
3= baik
Skor 60 – 41 = cukup
2= cukup
Skor 40 – 20 =kurang
1= tidak baik
Berdasarkan lembar pengamatan dan penilaian yang telah
diisi peneliti diperoleh skor 44. Hal ini berarti bahwa kemampuan
guru masih dalam kondisi cukup. Dari indikator yang ditentukan
diketahui bahwa guru pada posisi jawaban “cukup” dan “baik”.
Keadaan ini merupakan hal yang wajar karena guru belum terbiasa
untuk menggunakan metode CIRC. Guru belum memahami secara
utuh penggunaan metode ini di kelas.
Pada pertemuan kedua siklus I guru sudah berusaha
melakukan perannya dengan baik. Sebelum membagikan soal kepada
siswa, guru memberikan motivasi untuk mendorong siswa agar percaya
diri dalam mengikuti tes. Pada saat siswa melakukan kegiatan
menceritakan kembali isi cerita pendek yang dibaca di depan kelas, guru
belum mampu mengontrol siswa dengan baik. Perhatian guru hanya
terfokus pada siswa yang maju, sedangkan siswa yang lain dibiarkan
saja. Hal ini membuat siswa yang di belakang melakukan aktivitasnya
sendiri, seperti keluar masuk kelas tanpa izin, bercanda, dan bermain
sendiri.
2) Pengamatan terhadap siswa
Pada pertemuan pertama siklus I yang dilaksanakan pada
hari Jumat, 12 Februari 2010, siswa tampak belum aktif dan masih
bingung apa yang harus dikerjakan. Hal ini karena baik guru atau siswa
belum terbiasa dengan pembelajaran menggunakan metode CIRC. Siswa
sangat gaduh ketika mencari anggota kelompoknya dan ketika menata
tempat duduk kelompoknya. Didapati siswa masih suka bermain, diam,
dan kurang memperhatikan tugasnya. Saat guru menyuruh siswa untuk
membaca berpasangan banyak siswa yang tidak serius, asyik
berbincang-bincang, membaca dengan tertawa-tawa, bercanda, bahkan
ada satu pasang siswa yang tidak melaksanakan tugasnya.
Aktivitas siswa saat diskusi membuat suasana kelas sangat
ramai. Guru masih belum dapat mengendalikan situasi tersebut. Ada
beberapa siswa yang tidak melakukan diskusi. Mereka banyak yang
bercanda, sibuk dengan buku pelajaran lain, bertopang dagu, dan
berkomentar mengenai soal yang diberikan guru.
Berdasarkan hasil angket yang diberikan kepada siswa
tentang kinerja anggota kelompok yang diberikan setelah pembelajaran
dengan metode CIRC siklus I diketahui bahwa dalam kerja kelompok
CIRC, partisipasi siswa sebagai peserta diskusi masih rendah. Mereka
belum dapat melakukan kerja sama dengan baik dan kerja kelompok
masih didominasi anggota kelompok tertentu. Penilaian proses individu
berdasarkan lembar penilaian proses yang disediakan sebagai berikut.
Tabel 9. Lembar Penilaian Proses Pembelajaran
No
1
Nama
1
II
III
IV
V
Presentase
Keterangan:
Aspek:
Skor:
Penilaian:
I : Kedisiplinan
4 : Sangat Baik
20 – 16 : Baik
II : Minat
3 : Baik
15 – 11 : Cukup Baik
III : Keaktifan
2 : Kurang Baik
10 – 5 : Kurang Baik
IV : Kerja sama
1 : Tidak Baik
V : Kesungguhan
Berdasarkan penilaian proses pembelajaran yang dilakukan
pada siklus I diperoleh data sebagai berikut. Siswa dianggap disiplin,
berminat, aktif, bekerja sama, dan sungguh-sungguh apabila berada pada
rating scale 3 dan 4 ( baik dan sangat baik) (Penilaian lengkap terlampir
pada lampiran 2.14 Siklus I).
a) Kedisiplinan
Siswa yang menunjukkan kedisiplinan dalam mengikuti pembelajaran
apresiasi cerita pendek dengan dengan metode CIRC sebanyak 14
siswa atau sekitar 77%. Hal ini diperoleh dari penilaian sikap siswa
yang sudah menunjukkan kedisiplinan di kelas, seperti kedisiplinan
dalam kesiapan pelajaran dan menepati waktu dalam melakukan
langkah.
b) Minat
Siswa terlihat lebih antusias terhadap pembelajaran apresiasi cerita
pendek
dengan
metode
CIRC
dibandingkan
dengan
metode
konvensional. Minat siswa peneliti nilai dari antusias siswa untuk
mengikuti setiap aturan main dalam pembelajaran apresiasi cerita
pendek. Siswa juga terlihat lebih tekun mengerjakan tugas yang
diberikan guru. Siswa yang menunjukkan minat terhadap pembelajaran
apresiasi cerita pendek dengan metode CIRC sebanyak 61% atau
sejumlah 11 siswa. Hal ini juga didasarkan pada hasil wawancara
terstruktur yang dilakukan setiap akhir siklus. Sebanyak 11 siswa
menyatakan
bahwa
mereka
senang
mengikuti
pembelajaran
menggunakan metode CIRC.
c) Keaktifan
Keaktifan siswa pada waktu proses pembelajaran apresiasi cerita
pendek
dilihat
mendiskusikan
dari
kemampuan
masalah,
bertanya
siswa
pada
untuk
guru,
terlibat
dan
aktif
menjawab
pertanyaan guru secara lisan. Siswa yang sudah menunjukkan
keaktifan dengan cara mengungkapkan pendapat bertanya, menjawab
pertanyaan, dan aktif dalam kegiatan diskusi sebanyak 8 siswa.
Persentase keaktifan siswa yang peneliti simpulkan dari rubrik
penilaian proses pembelajaran apresiasi cerita pendek adalah 44%.
d) Kerja sama
Siswa yang sudah menunjukkan sikap bekerja sama dengan anggota
kelompoknya sebanyak 11 siswa. Persentase kerja sama siswa
sebanyak 61%. Hal ini peneliti simpulkan dari hasil pengamatan
selama pembelajaran apresiasi cerita pendek. Siswa bekerja sama
dalam kelompok dan saling membantu dalam menyelesaikan masalah.
Kemampuan kerja sama siswa juga dapat dilihat dari hasil angket
kinerja kelompok. Pada siklus I ini angket kinerja kelopok
menunjukkan bahwa 44% siswa menyatakan hasil kinerja anggota
kelompoknya bagus sedangkan 42% menyatakan dalam kondisi cukup.
e) Kesungguhan
Kesungguhan siswa yang peneliti nilai adalah dari perhatian terhadap
penjelasan guru dan kemampuan menyelesaikan masalah. Siswa
terlihat serius dalam memperhatikan penjelasan guru. Siswa nampak
bersungguh-sungguh dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Siswa yang menunjukkan kesungguhannya dalam pembelajaran
apresiasi cerita pendek sejumlah 11 siswa atau 61%.
Penilaian kemampuan apresiasi cerita pendek dengan
instrumen tes tertulis dan perbuatan. Dalam tes tertulis siswa diberikan
pertanyaan sebanyak 25 soal yang terdiri dari soal pilihan ganda, isian,
dan jawaban singkat. Soal-soal tersebut mencakup kemampuan
menganalisis unsur intrinsik dan menceritakan kembali cerita pendek
yang dibaca. Tes perbuatan dilakukan dengan menyuruh siswa maju satu
per satu untuk menceritakan kembali isi cerita pendek yang dibaca
dengan aspek penilaian: (1) kelengkapan isi, (2) keruntutan alur, (3)
kemampuan penggunaan bahasa, meliputi pelafalan dan pemilihan
kosakata, dan (4) sikap dalam berbicara yang terdiri dari kelancaran dan
pandangan mata kepada audiens.
No
1
Tabel 10. Daftar Nilai Menceritakan Kembali Isi Cerita Pendek di
Depan Kelas Siklus I
Nama
1 2 3a 3b 4a 4b Total Nilai
Rata-rata
Persentase ketuntasan
Keterangan:
1
= kelengkapan isi
2
= alur
3 a = pelafalan
3 b = pilihan kata
4 a = kelancaran berbicara
4 b = pandangan mata kepada audiens
Berdasarkan lembar penilaian kemampuan apresiasi cerita
pendek pada siklus I diperoleh nilai rata-rata 53,72 dengan nilai yang
tertinggi 67 dan nilai terendah 44 (terlampir dilampiran 2.15 siklus I).
Kemampuan apresiasi cerita pendek merupakan gabungan
antara tes tertulis dan perbuatan. Dari kedua tes diperoleh hasil sebagai
berikut.
Tabel 11. Daftar Nilai Apresiasi Cerita Pendek Siklus I
No
Nama
Nilai
Perbuatan
Nilai
Tertulis
Nilai
Akhir
Keterangan
1
Rata-rata
Jumlah ketuntasan
(nilai ≥65)
Presentase ketuntasan
(nilai ≥65)
Berdasarkan lembar penilaian kemampuan apresiasi cerita
pendek pada siklus I diperoleh nilai rata-rata kelas 62,11 dengan nilai
tertinggi 74 dan nilai terendah 44 (terlampir di lampiran 2.16 siklus I).
Siswa yang mampu memperoleh nilai di atas kriteria ketuntasan minimal
(KKM) sebanyak 10 siswa atau 55% dari jumlah seluruh siswa kelas V
SD Negeri Pulutan Wetan IV.
d. Analisis dan Refleksi pada Siklus I
Berdasarkan hasil pengamatan penelitian pada siklus I, dapat
dikatakan bahwa kualitas pembelajaran apresiasi cerita pendek belum
mengalami peningkatan yang cukup berarti. Hal ini ditandai oleh beberapa
hal berikut.
1) Masih sedikit siswa yang mampu memperoleh nilai di atas batas
ketuntasan minimal (KKM), yaitu baru 10 siswa atau 55%.
2) Keaktifan siswa dalam pembelajaran yang berlangsung dalam kerja
kelompok maupun individu belum maksimal. Partisipasi seluruh anggota
kelompok, tukar pendapat, bertanya dan saling membantu antar anggota
kelompok, serta partisipasi dalam pembelajaran masih rendah. Mereka
masih terlihat pasif dan pembelajaran antar anggota kelompok masih
didominasi oleh seseorang.
3) Siswa kurang serius dan kurang berkonsentrasi, sehingga mereka juga
kurang dalam kedisiplinan, minat, keaktifan, kerja sama, dan
kesungguhan. Ketika guru menjelaskan materi pelajaran, berdiskusi,
maupun kegiatan menceritakan isi cerita pendek di depan kelas, masih
saja ada siswa yang berbincang-bincang sendiri.
4) Siswa masih belum mampu menceritakan isi cerita pendek dengan baik
di depan kelas. Hal ini dikarenakan guru belum menjelaskan secara rinci
bagaimana sikap siswa saat menceritakan kembali isi cerita pendek di
depan kelas. Siswa yang mampu mencapai kriteria ketuntasan minimal
(KKM) baru 4 siswa atau 22%.
5) Guru belum mampu mengelola kelas melalui penerapan metode CIRC
dengan baik. Guru belum menjelaskan dengan rinci penerapan metode
CIRC,
seperti
guru
belum
menjelaskan
pentingnya
membaca
berpasangan dalam metode ini. Guru belum mampu menciptakan
suasana
pembelajaran
yang
mendukung
siswa
untuk
aktif,
berkonsentrasi, serta berkonsentrasi untuk belajar. Kontrol atau
pengawasan guru dalam kelompok masih kurang.
Berdasarkan analisis hasil tersebut, maka tujuan yang ingin
dicapai dari kegiatan pembelajaran belum terpenuhi. Suasana pembelajaran
melalui penerapan pembelajarn kooperatif metode CIRC belum dapat
berjalan
dengan
baik.
Berdasarkan
analisis
tersebut,
berikut
ini
dikemukakan refleksi dari kekurangan yang telah ditemukan.
1) Guru diharapkan lebih aktif dalam melakukan pengawasan atau kontrol
pada kinerja masing-masing kelompok. Selain itu, guru juga harus
menguasai prosedur dalam pembelajaran dengan metode CIRC dan cara
penilaiannya. Guru juga harus menjelaskan kepada siswa bagaimana
cara menceritakan isi cerita pendek di depan kelas dengan baik. Guru
harus sering memberikan motivasi maupun penghargaan kepada
kelompok dan individu yang dapat melakukan tugas dengan baik.
2) Siswa diharapkan lebih aktif dalam proses pembelajaran yang
berlangsung, dengan aktif bertanya, menjawab pertanyaan guru, dan
menyumbangkan pemikirannya dalam kerja kelompok. Siswa yang
begitu mendominasi kerja kelompok seharusnya disadarkan agar ia juga
memberi kesempatan kepada temannya.
3) Siswa yang masih kurang serius dalam pembelajaran diingatkan dengan
menyebut nama siswa atau diberi pertanyaan yang berhubungan dengan
apresiasi cerita pendek yang dipelajarinya.
Berdasarkan hasil analisis dan refleksi di atas, tindakan pada
siklus I dikatakan belum berhasil karena belum mencapai hasil maksimal.
Peningkatan memang terjadi pada beberapa indikator yang telah ditentukan
pada survei awal. Akan tetapi, nilai rata-rata apresiasi cerita pendek siswa
masih jauh dari batas minimal ketuntasan hasil belajar (KKM=65). Oleh
karena itu, siklus II sebagai perbaikan proses pembelajaran pada siklus I
perlu dilaksanakan. Pelaksanaan siklus II ini disetujui oleh guru setelah
peneliti berdiskusi dan mengajukan hasil analisis dan refleksi siklus I pada
hari Senin, 15 Februari 2010.
2. Siklus II
a. Perencanaan Tindakan Siklus II
Berdasarkan hasil refleksi pada siklus I, disepakati bahwa
siklus II perlu dilakukan. Perencanaan dan persiapan tindakan dilakukan
pada hari Senin, 15 Februari 2010 di ruang guru SD Negeri IV Pulutan
Wetan. Peneliti menyampaikan kembali isi observasi dan refleksi
terhadap pembelajaran apresiasi cerita pendek dengan menerapkan
metode CIRC yang dilakukan pada siklus I. Peneliti menyampaikan
segala kelebihan dan kekurangan proses pembelajaran apresiasi cerita
pendek yang telah dilakukan kepada guru yang bersangkutan.
Untuk mengatasi hal tersebut, akhirnya disepakati hal-hal
yang sebaiknya dilakukan oleh guru sebagai upaya perbaikan pada siklus
I. Dalam diskusi kelompok, siswa belum melaksanakan dengan optimal.
Masih ada anggota kelompok yang belum berpartisipasi aktif, sehingga
terkesan
mengikuti
teman-teman
dalam
kelompok
atau
bahkan
mengganggu jalannya diskusi. Juga masih ada kelompok yang masih
didominasi oleh teman yang pandai berbicara, sehingga diskusi masih
terkesan kaku dan kurang hidup. Setiap pertanyaan dan jawaban siswa
masih jarang terjadi dalam proses pembelajaran. Kemampuan siswa untuk
menceritakan kembali isi cerita pendek di depan kelas masih rendah.
Banyak siswa belum mampu menguasai audiens saat berbicara di depan
dan terkesan menghafal. Hal-hal tersebut akan diperbaiki pada siklus II.
Pada perencanan tindakan ini, guru dan peneliti menyusun
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) pembelajaran apresiasi cerita
pendek dengan menerapkan metode CIRC. Dalam diskusi antara guru dan
peneliti disepakati bahwa cerita pendek yang akan dipelajari adalah “Kena
Batunya”. Alasan pemilihan cerpen ini, yaitu: latar cerpen sesuia dengan
kondisi siswa berupa kehidupan di sekolah dasar, bahasa yang digunakan
juga sesuai dengan kemampuan siswa sehingga mudah untuk dimengerti,
serta tema yang digunakan sesuai dengan psikologis siswa yang menyukai
cerita lucu dan persahabatan.
Pada siklus II, proses penilaian masih ditekankan pada
penilaian proses dan hasil. Penilaian proses pembelajaran dengan
menggunakan lembar penilaian sikap (afektif) yang terdiri dari aspek: (1)
disiplin; (2) minat; (3) keaktifan; (4) kerja sama; dan (5) kesungguhan.
Penilaian hasil apresiasi cerita pendek terdiri dari dua hal, yaitu tes
perbuatan dan tes tertulis. Penilaian tes perbuatan meliputi aspek: (1)
kelengkapan; (2) keruntutan alur; (3) kemampuan bahasa; dan (4) sikap saat
berbicara di depan kelas. Dalam tes tertulis disajikan berupa soal yang
berisi tentang kemampuan menganalisis unsur intrinsik cerita pendek dan
kemampuan menuliskan kembali isi cerita pendek yang dipelajari. Lembar
penilaian yang digunakan sama dengan yang digunakan pada siklus I.
Lembar penilaian tersebut akan dipegang peneliti dan guru.
Selain lembar penilaian, untuk mengatasi kekurangan dari sisi siswa dan
untuk membangkitkan minat siswa, minat kompetisi antarkelompok, maka
disepakati adanya pemberian hadiah. Hadiah yang direncanakan berupa:
nilai kepada kelompok atau siswa yang aktif, ungkapan-ungkapan pujian
seperti bagus sekali, baik, tepat sekali, dan sebagainya, dan berupa barang
seperti pulpen, buku, dan penghapus yang akan diberikan kepada kelompok
dengan point tertinggi dan juga kepada siswa yang memperoleh nilai paling
tinggi.
Disepakati bahwa siklus II dilaksanakan dalam dua kali
pertemuan, yaitu pada hari Jumat, 19 Februari 2010 dan Sabtu, 20 Februari
2010 di ruang kelas V SD Negeri IV Pulutan Wetan. Adapun urutan
tindakan yang sudah direncanakan dan akan diterapkan dalam siklus II
sebagai berikut.
1) Guru mengondisikan kelas dengan mengucapkan salam kemudian
mengabsen siswa siapa yang tidak masuk;
2) Guru melakukan apersepsi dengan menanyakan tentang pembelajaran
sebelumnya dan membahas sekilas cerpen yang lalu. Guru juga
memberikan informasi tentang kekurangan pembelajaran pada siklus I;
3) Guru menjelaskan tentang sikap yang baik dalam menceritakan kembali
isi cerita pendek di depan kelas. Dalam hal ini guru menjadi model
menceritakan isi cerita pendek yang sudah dibaca;
4) Guru memberikan motivasi kepada siswa dan sekali lagi menjelaskan
proses pembelajaran dengan metode CIRC;
5) Guru membagi kelompok-kelompok seperti pada siklus I. Variasi
anggota kelompok masih sama dengan siklus sebelumnya karena
dianggap penyebaran anggota kelompok sudah merata berdasarkan
keaktifan, jenis kelamin, dan kemampuan siswa.
6) Guru memberikan bacaan cerita pendek yang berjudul “Kena Batunya”
beserta dengan LKS;
7) Guru menyuruh siswa untuk membaca berpasangan;
8) Guru menugaskan siswa untuk menganalisis unsur intrinsik cerita
pendek “Kena Batunya” dan menceritakan kembali isi cerita pendek
secara berdiskusi dengan anggota kelompoknya;
9) Guru membahas pertanyaan-pertanyaan pada lembar kerja siswa berupa
soal kelompok yang sudah dikerjakan oleh siswa secara bersama-sama
dengan siswa;
10) Siswa mengumpulkan tugas kelompok;
11) Guru
menyimpulkan
pembelajaran,
siswa
yang
belum
jelas
dipersilahkan bertanya;
12) Guru membagikan soal tes apresiasi cerita pendek secara individu
kepada siswa;
13) Siswa mengerjakan tes secara individu;
14) Setelah siswa menyelesaikan tes tertulis, semua siswa maju satu per
satu di depan kelas untuk menceritakan isi cerita pendek yang dibaca;
15) Guru dan siswa melakukan refleksi; dan
16) Guru menutup pelajaran.
b. Pelaksanaan Tindakan Siklus II
1) Pertemuan Pertama
Sesuai yang direncanakan, maka tahap tindakan siklus II
dilaksanakan dalam dua kali pertemuan yaitu Jumat, 19 Februari 2010
dan Sabtu, 20 Februari 2010 di ruang kelas SD Negeri IV Pulutan
Wetan. Pada pertemuan pertama siklus II dilaksanakan pada hari Jumat,
19 Februari 2010 mulai pukul 07.30 WIB – 08.40 WIB (jam pertama
dan
kedua).
Langkah-langkah
yang
dilaksanakan
guru
dalam
pembelajaran aparesiasi cerita pendek pada tindakan siklus II ini
sebagai berikut:
a) guru membuka pelajaran dengan mengucapkan salam;
b) guru mengondisikan kelas dengan melakukan presensi, guru
memberikan motivasi siswa dengan memaparkan hal-hal yang bisa
diambil pelajaran dari membaca cerita pendek dan manfaat metode
CIRC;
c) guru mengulas sejenak mengenai pembelajaran yang telah
dilakukan pada siklus I;
d) guru menjelaskan cara menceritakan isi cerita pendek yang dibaca
di depan kelas. Guru menjadi model dengan menceritakan isi cerita
pendek pada pembelajaran sebelumnya yang berjudul “Kado untuk
Emak”. Guru menjadi model dalam hal intonasi, jeda, dan kontak
mata kepada audiens;
e) guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok seperti siklus I;
f) guru memberi bacaan cerita pendek yang berjudul “Kena Batunya”
beserta dengan LKS (soal kelompok);
g) guru menyuruh siswa membaca berpasangan. Dalam kegiatan ini
siswa bebas memilih tempat yang paling nyaman di setiap sisi ruang
kelas;
h) guru menugaskan siswa untuk menganalisis unsur intrinsik cerita
pendek “Kena Batunya” dan menuliskan kembali isi cerita pendek
yang dibaca secara berdiskusi dengan anggota kelompoknya. Guru
menekankan keaktifan dari masing-masing anggota kelompok
dengan menjelaskan bahwa aspek yang dinilai dalam proses
pembelajaran adalah: (1) kedisiplinan; (2) minat; (3) keaktifan; (4)
kerja sama; dan (5) kesungguhan. Kelompok yang seluruh
anggotanya menunjukkan kinerja sesuai dengan indikator tersebut
dengan
baik
akan
mendapatkan point
yang bagus.
Guru
menekankan kepada siswa bahwa mereka memiliki tanggung jawab
untuk memastikan bahwa teman satu kelompok mereka telah
mempelajari materinya. Sewaktu siswa mengerjakan tugas dalam
kelompok, guru berkeliling kelas, memberikan pujian kepada
kelompok yang bekerja dengan baik, menegur siswa yang tidak
melaksanakan tugasnya, dan menjawab pertanyaan dari siswa yang
belum paham;
i) guru membahas pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam LKS
bersama-sama dengan siswa; dan
j) siswa mengumpulkan hasil pekerjaan kelompoknya.
Sampai pada langkah ini, bel berbunyi menunjukkan bahwa
waktu pelajaran telah selesai. Guru menyuruh siswa untuk mempelajari
pelajaran yang telah dilakukan pada pertemuan ini karena esok hari
akan diadakan tes untuk mengetahui kemampuan apresiasi cerita
pendek siswa dalam pembelajaran siklus II. Kemudian guru menutup
pelajaran. Pembelajaran dilakukan pada pertemuan selanjutnya pada
hari Sabtu, 20 Februari 2010 jam pertama dan kedua.
2) Pertemuan Kedua
Sesuai kesepakatan dengan guru, maka pertemuan kedua pada
siklus II ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 20 Februari 2010 jam
pertama dan kedua. Langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan
guru pada pertemuan kedua dalam pelaksanaan tindakkan siklus II
sebagai berikut:
a) guru membuka pelajaran dengan mengucapkan salam;
b) guru mengondisikan kelas dengan melakukan presensi dan
memberikan motivasi kepada siswa untuk melakukan yang terbaik
dalam tes kali ini;
c) guru membagikan soal individu kepada setiap siswa;
d) siswa mengerjakan soal yang telah diberikan guru mengenai analisis
unsur intrinsik dan menuliskan kembali isi cerita pendek “Kena
Batunya”;
e) setelah siswa selesai mengerjakan, mereka mengumpulkan hasil
pekerjaan kepada guru;
f) guru meyuruh siswa maju satu per satu ke depan kelas untuk
menceritakan kembali isi cerita pendek “Kena Batunya”. Siswa
maju satu per satu dengan kesadaran sendiri-sendiri tanpa harus
disuruh guru;
g) guru dan siswa melakukan refleksi; dan
h) guru menutup pelajaran.
Guru dapat menyelesaikan semua langkah tersebut sesuai
dengan waktu yang tersedia. Begitu bel tanda pergantian berbunyi, guru
sudah pada tahap menutup pelajaran. Dalam tahap ini, guru bertindak
sebagai pemimpin jalannya pembelajaran apresiasi cerita pendek di
dalam kelas, sedangkan peneliti hanya bertindak sebagai partisipan
pasif.
c. Observasi dalam Siklus II
Observasi dilaksanakan saat pembelajaran apresiasi cerita
pendek dengan metode CIRC berlangsung pada hari Jumat, 19 Februari
2010 pukul 07.30 WIB – 08.40 (jam pertama dan kedua) dan hari
Sabtu, 20 Februari 2010 (jam pertama dan kedua). Observasi
difokuskan pada situasi pelaksanaan pembelajaran apresiasi cerita
pendek dengan menerapkan metode CIRC, kegiatan yang dilaksanakan
guru serta aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung. Pada saat
observasi, peneliti bertindak sebagai partisipan pasif dan duduk di
bangku paling belakang.
1) Pengamatan terhadap guru
Pengamatan
kepada
guru
dilakukan
dengan
menggunakan lembar penilaian dan observasi kinerja guru yang
sama seperti pada siklus I. Observasi kinerja guru dibagi menjadi dua
yaitu kemampuan menjelaskan dan kemampuan mengelola kelas.
Dari hasil penilaian kemampuan menjelaskan mendapatkan skor 32
ini berarti bahwa kemampuan menjelaskan guru pada siklus IIs
termasuk dalam kriteria “cukup baik” dengan sebagaian besar
kegiatan “baik” dilakukan. Hasil penilaian kemampuan mengelola
kelas yang dilakukan guru, mendapatkan skor 56 menunjukkan
bahwa kemampuan guru dalam mengelola kelas”cukup baik” dengan
kualitas kegiatan “baik”.
Guru berusaha melakukan kegiatan pembelajaran yang
telah direncanakan bersama dengan peneliti. Setelah guru membagi
siswa ke dalam kelompok yang sudah ditentukan, guru mengontrol
jalannya diskusi kelompok. Guru sudah mulai mampu menciptakan
suasana pembelajaran yang kondusif dan kooperatif. Akan tetapi,
memang masih ada beberapa siswa yang belum tertib. Guru telah
berusaha membangkitkan minat, keaktifan, dan kesungguhan siswa
walaupun belum maksimal. Guru terlihat berusaha untuk memantau
kinerja setiap kelompok walaupun intensitasnya tidak sering. Guru
menekankan kepada siswa bahwa mereka harus mempunyai rasa
tanggung jawab untuk memastikan teman satu kelompok mereka
telah mempelajari materinya. Sewaktu para siswa sedang belajar
kelompok, sesekali guru berkeliling kelas, memantau jalannya
diskusi, memberi pujian terhadap kelompok yang sudah bekerja
dengan baik, dan kadang guru menjawab pertanyaan siswa yang
belum jelas. Pada akhir pelajaran guru menyimpulkan pelajaran
dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya. Guru
sudah mulai mampu menguasai penerapan metode CIRC dengan
baik.
2) Pengamatan terhadap Siswa
Pada pertemuan pertama siklus II yang dilaksanakan
pada hari Jumat, 19 Februari 2010, siswa tampak lebih aktif daripada
pelaksanaan tindakan pada siklus I. Namun, siswa masih sangat
gaduh ketika mencari anggota kelompok dan saat menata tempat
duduk kelompoknya. Didapati pada awal pelajaran siswa masih
kurang memperhatikan tugasnya. Meskipun demikian, setelah
berjalan beberapa waktu siswa mampu megikuti pembelajaran dan
berdiskusi dengan temannya.
Observasi terhadap siswa pada siklus II hampir sama
dengan siklus I. Pada siklus II ini siswa juga diamati dari segi proses
dan hasil. Demikian pula dengan instrumen penilaiannya juga sama
dengan siklus I.
Berdasarkan
penilaian
proses
pembelajaran
yang
dilakukan pada siklus II diperoleh data sebagai berikut. (Penilaian
lengkap terlampir pada lampiran 3.13 Siklus II)
a) Kedisiplinan
Siswa
yang
menunjukkan
kedisiplinan
dalam
mengikuti
pembelajaran apresiasi cerita pendek dengan dengan metode
CIRC sebanyak 15 siswa atau sekitar 83%. Jumlah tersebut sudah
lebih baik jika dibandingkan dengan siklus I. Penilaian
kedisiplinan masih tetap sama dengan siklus I diperoleh dari
penilaian sikap siswa yang sudah menunjukkan kedisiplinan di
kelas, seperti kedisiplinan dalam kesiapan pelajaran dan menepati
waktu dalam melakukan langkah.
b) Minat
Pada siklus II ini siswa terlihat lebih antusias terhadap
pembelajaran apresiasi cerita pendek dengan metode CIRC
dibandingkan dengan siklus I. Minat siswa peneliti nilai dari
antusias siswa untuk mengikuti setiap aturan main dalam
pembelajaran apresiasi cerita pendek. Siswa juga terlihat lebih
tekun mengerjakan tugas yang diberikan guru. Berdasarkan hasil
wawancara tidak terstruktur yang diberikan pada siswa seteah
siklus II sebanyak 14 siswa menyatakan mereka tertarik untuk
mempelajari apresiasi cerita pendek menggunakan metode CIRC.
Siswa yang menunjukkan minat terhadap pembelajaran apresiasi
cerita pendek dengan metode CIRC sebanyak 77% atau sejumlah
14 siswa. Keadaan ini menunjukkan minat siswa pada siklus II
lebih baik daripada siklus sebelumnya.
c) Keaktifan
Keaktifan siswa pada waktu proses pembelajaran apresiasi cerita
pendek dilihat dari kemampuan siswa untuk terlibat aktif
mendiskusikan masalah, bertanya pada guru, dan menjawab
pertanyaan guru secara lisan. Siswa yang sudah menunjukkan
keaktifan dengan cara mengungkapkan pendapat, bertanya,
menjawab pertanyaan, dan aktif dalam kegiatan diskusi sebanyak
11 siswa. Persentase keaktifan siswa yang peneliti simpulkan dari
rubrik penilaian proses pembelajaran apresiasi cerita pendek
adalah 61%.
Keaktifan pada siklus II ini menunjukkan
peningkatan cukup berarti yakni 17% atau 3 siswa dibandingkan
dengan siklus I.
d) Kerja sama
Siswa yang sudah menunjukkan sikap bekerja sama dengan
anggota kelompoknya sebanyak 14 siswa. Persentase kerja sama
siswa sebanyak 77%. Hal ini peneliti simpulkan dari hasil
pengamatan selama pembelajaran apresiasi cerita pendek. Siswa
bekerja sama dalam kelompok dan saling membantu dalam
menyelesaikan masalah. Siswa mulai antusias untuk menjadi
kelompok yang terbaik, sehingga kemampuan kerja sama siswa
meningkat. Berdasarkan angket kinerja kelompok 54% siswa
menyatakan kinerja kelopok mereka baik sedangkan 45%
menyatakan
kinerja
kelompok
mereka
cukup,
selebihnya
menyatakan kinerja kelompok mereka kurang.
e) Kesungguhan
Kesungguhan siswa yang peneliti nilai adalah dari perhatian
terhadap penjelasan guru dan kemampuan menyelesaikan
masalah. Siswa terlihat lebih serius dalam memperhatikan
penjelasan guru. Siswa nampak bersungguh-sungguh dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Siswa yang menunjukkan
kesungguhannya dalam pembelajaran apresiasi cerita pendek
sejumlah 15 siswa atau 83%.
Penilaian kemampuan apresiasi cerita pendek dengan
sistem penilaian yang sama dengan siklus I, yaitu menggunakan
instrumen tes tertulis dan perbuatan. Dalam tes tertulis siswa
diberikan pertanyaan sebanyak 25 soal yang terdiri dari soal pilihan
ganda, isian, dan jawaban singkat. Soal-soal tersebut mencakup
kemampuan menganalisis unsur intrinsik dan menceritakan kembali
cerita pendek yang dibaca.
Tes perbuatan dilakukan dengan menyuruh siswa maju
satu per satu untuk menceritakan kembali isi cerita pendek yang
dibaca dengan aspek penilaian yang sama dengan siklus I, yaitu (1)
kelengkapan isi, (2) keruntutan alur, (3) kemampuan penggunaan
bahasa, meliputi pelafalan dan pemilihan kosa kata, dan (4) sikap
dalam berbicara yang terdiri dari kelancaran dan pandangan mata
kepada
audiens.Berdasarkan
lembar
penilaian
kemampuan
menceritakan kembali isi cerita pendek pada siklus II diperoleh nilai
rata-rata 66,06 (sudah mencapai KKM) dengan nilai yang tertinggi
89 dan nilai terendah 44 (terlampir dilampiran 3.14 siklus II).
Kemampuan
apresiasi
cerita
pendek
merupakan
gabungan antara tes tertulis dan perbuatan. Berdasarkan lembar
penilaian kemampuan apresiasi cerita pendek pada siklus II
diperoleh nilai rata-rata kelas 73,59 (sudah berada di atas KKM)
dengan nilai tertinggi 89 dan nilai terendah 41 (terlampir di lampiran
3.16 siklus II). Siswa yang mampu memperoleh nilai di atas kriteria
ketuntasan minimal (KKM) sebanyak 16 siswa atau 88% dari jumlah
seluruh siswa kelas V SD Negeri Pulutan Wetan IV.
d. Analisis dan refleksi pada siklus II
Berdasarkan hasil pengamatan penelitian pada siklus II, dapat
dikemukakan bahwa kualitas pembelajaran apresiasi cerita pendek sudah
mengalami peningkatan yang cukup berarti, tetapi belum sesuai yang
diharapkan. Hal ini ditandai dengan beberapa hal berikut.
1) Dalam kegiatan menceritakan kembali di depan kelas, siswa yang
memperoleh batas ketuntasan minimal (KKM) belum mencapai 75%
dari ketuntasan kelas, yaitu baru 50% atau 9 siswa.
2) Nilai terendah kemampuan apresiasi cerita pendek siswa turun dari
44 menjadi 41.
3) Keaktifan siswa dalam pembelajaran yang berlangsung dalam
kelompok kerja sudah mengalami peningkatan tetapi belum
maksimal. Siswa yang aktif dalam pembelajaran belum mencapai
75% ketuntasan kelas. Siswa yang aktif baru 61% atau 11 siswa.
4) Keseriusan
dan
konsentrasi
masih
belum
maksimal
dalam
kedisiplinan, minat, kerja sama, dan kesungguhan.
5) Dari angket kinerja yang diisi siswa, masih ada siswa yang belum
berpartisipasi dalam kegiatan kelompok yakni sebanyak 4 siswa.
6) Kemampuan guru mengelola kelas meningkat. Guru telah mampu
mengelola kelas dengan menggunakan metode CIRC dengan cukup
baik. Meskipun demikian, guru masih belum maksimal dalam
mengelola
kelas.
Guru
telah
berusaha
menciptakan
situasi
pembelajaran yang mendukung siswa untuk aktif, berkonsentrasi,
serta termotivasi untuk belajar. Kontrol dan pengawasan guru cukup
baik, guru sudah berkeliling di setiap kelompok, dan memberi
pengarahan kepada kelompok yang mengalami kesulitan. Akan
tetapi, intensitas guru dalam keliling kelompok belum sering.
Berdasarkan analisis tersebut, dapat diungkapkan bahwa
kualitas pembelajaran sudah cukup baik. Kekurangan ditemui pada sikap
siswa yang masih kurang berkonsentrasi dan serius, terkadang mereka
beraktivitas (bercakap-cakap) dengan siswa lain. Siswa yang nilainya
masih belum mencapai KKM pada kegiatan menceritakan kembali isi
cerita pendek masih ada 9 siswa atau 50%. Siswa yang belum tuntas
dalam pembelajaran apresiasi cerita pendek ada 2 siswa atau 12%.
Keaktifan, tanggung jawab, kerja sama, dan kesungguhan siswa masih
perlu
ditingkatkan.
Suasana
pembelajaran
dengan
menerapkan
pembelajaran kooperatif melalui metode CIRC belum dapat berjalan
dengan baik. Berdasarkan analisis di atas, berikut ini dikemukakan
refleksi dari kekurangan yang ada.
1)
Guru harus menekankan kembali cara menceritakan isi cerita
pendek di depan kelas kepada siswa, sehingga mereka mampu
melaksanakannya dengan baik.
2)
Setiap kelompok harus memastikan kepada seluruh anggotanya
telah memahami semua materi yang didiskusikan.
3)
Guru lebih menekankan siswa agar lebih berkonsentrasi, disiplin,
dan sungguh-sungguh dalam melaksanakan proses pembelajaran.
Selain itu, siswa harus aktif baik dalam kegiatan kelompok maupun
individu.
4)
Guru
lebih
meningkatkan
intensitasnya
dalam
mengontrol
kelompok dan memberikan pengarahan.
Berdasarkan hasil analisis dan refleksi di tersebut, tindakan
siklus II dikatakan berhasil tetapi belum mencapai hasil yang maksimal.
Peningkatan terjadi di beberapa indikator dibandingkan siklus I, tetapi
masih banyak kekurangan seperti yang disebutkan di atas. Oleh karena
itu, siklus III sebagai proses perbaikan pembelajaran pada siklus II perlu
dilaksanakan. Pelaksanaan siklus III ini disetujui oleh guru setelah
peneliti mengajukan hasil analisis dan refleksi siklus II pada Senin, 23
Februari 2010.
3. Siklus III
a. Perencanaan Tindakan Siklus III
Berdasarkan hasil refleksi siklus II, disepakati bahwa siklus III
perlu dilaksanakan. Persiapan dan perencanaan tindakan dilakukan pada
hari Senin, 23 Februari 2010 di ruang guru SD Negeri IV Pulutan Wetan,
setelah peneliti menyampaikan hasil observasi dan refleksi terhadap
pembelajaran yang dilakukan pada siklus II. Peneliti menyampaikan
kelebihan dan kekurangan proses pembelajaran apresiasi cerita pendek
yang telah dilakukan.
Pada perencanaan tindakan ini, guru dan peneliti menyusun
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) apresiasi cerita pendek dengan
menerapkan metode CIRC. Dalam diskusi antara guru dan peneliti
disepakati bahwa cerita pendek yang akan dipelajari adalah cerita pendek
berjudul “Asyiknya Berbagi”. Cerpen ini dipilih karena temanya sesuai
dengan keadaan kesukaan siswa yakni konflik keluarga. Selain itu, cerpen
ini juga menggunakan latar yang menggambarkan kesederhanaan sebuah
keluarga yang hampir sama dengan kondisi siswa di rumah.
Pada siklus III, proses penilaian tetap ditekankan pada penilaian
proses dan penilaian hasil. Lembar penilaian yang digunakan pada siklus
III, masih sama dengan lembar penilaian pada siklus-siklus sebelumnya.
Indikator penilaian proses dengan menggunakan lembar penilaian sikap
(afektif) yang terdiri dari aspek: (1) kedisiplinan; (2) minat; (3) keaktifan;
(4) kerja sama; dan (5) kesungguhan.
Penilaian hasil apresiasi cerita pendek digunakan untuk
mengetahui kompetensi siswa dalam mengapresiasi cerita pendek.
Penilaian apresiasi cerita pendek masih sama dengan siklus I dan siklus II.
Penilaian dilakukan dengan penilaian perbuatan dan penilaian tertulis.
Penilaian perbuatan dilakukan dengan menilai kemampuan siswa
menceritakan isi cerita pendek dengan lengkap, runtut, penggunaan bahasa
yang tepat, dan sikap yang baik saat berbicara. Penilaian tertulis dilakukan
dengan memberi soal berjumlah 25 butir soal yang terdiri dari soal pilihan
ganda, isian, dan jawaban singkat.
Lembar penilaian tersebut dipegang oleh peneliti dan guru.
Selain lembar penilaian, untuk mengatasi kekurangan dari siswa dan untuk
membangkitkan minat dan kompetisi antarkelompok, maka disepakati
adanya hadiah. Hadiah yang direncanakan berupa: nilai kelompok yang
aktif, ungkapan-ungkapan pujian seperti: bagus, baik sekali, baik, tepat
sekali, dan sebagainya, dan berupa barang seperti buku tulis, bolpoin yang
diberikan kepada kelompok yang paling baik.
Disepakati bahwa tindakan siklus III tetap diaksanakan dalam
dua kali pertemuan yaitu Sabtu, 27 Februari 2010 dan Senin 1 Maret 2010
di ruang kelas V SD Negeri IV Pulutan Wetan. Adapun urutan tindakan
hampir sama dengan siklus-siklus sebelumnya. Secara runtut, tindakan
yang dilakukan sebagai berikut.
1) Guru membuka pembelajaran dengan salam.
2) Guru mengondisikan kelas dengan melakukan presensi pada siswa yang
tidak masuk hari ini.
3) Guru melakukan apersepsi dengan mengulas pembelajaran cerpen
sebelumnya.
4) Guru menjelaskan sekilas mengenai kekurangan-kekurangan pada
siklus sebelumnya. Guru menekankan pada keaktifan dan kerja sama
siswa.
5) Guru
membagi siswa menjadi empat kelompok sesuai dengan
kelompok siklus sebelumnya.
6) Guru membagikan cerita pendek berjudul “Asyiknya Berbagi” beserta
LKS yang dibagikan secara kelompok.
7) Siswa membaca secara berpasangan.
8) Siswa mendiskusikan soal LKS yang dibagikan guru.
9) Siswa mengumpulkan hasil diskusinya kepada guru.
10) Guru membagikan soal kuis kepada setiap siswa.
11) Setelah siswa selesai mengerjakan, siswa mengumpulkan hasil
pekerjaannya kepada guru.
12) Siswa maju satu per satu menceritakan isi cerita pendek yang dibaca.
13) Siswa mengisi angket tentang tindakan pembelajaran menggunakan
metode CIRC.
14) Guru dan siswa melakukan refleksi.
15) Guru menutup pelajaran.
b. Pelaksanaan Tindakan Siklus III
1) Pertemuan Pertama
Sesuai yang telah direncanakan, maka tahap tindakan siklus III
dilaksanakan dalam dua kali pertemuan yaitu Sabtu, 27 Februari 2010
dan Senin, 1 Maret 2010 di ruang kelas V SD Negeri IV Pulutan Wetan.
Pada pertemuan pertama siklus III dilaksanakan pada Sabtu, 27
Februari 2010 mulai pukul 07.30-08.40 (jam pertama sampai kedua).
Langkah-langkah yang dilaksanakan guru dalam pembelajaran apresiasi
cerita pendek pada siklus III sebagai berikut:
a) guru membuka pelajaran dengan mengucap salam;
b) guru mengondisikan kelas dengan melakukan presensi siswa;
c) guru menjelaskan dalam kegiatan pembelajaran, seharusnya siswa
aktif dan bekerja sama. Guru mengulas sekilas mengenai kegiatan
apresiasi cerita pendek;
d) guru mengelompokkan siswa ke dalam empat kelompok seperti
siklus sebelumnya;
e) guru membagikan cerita pendek berjudul “Asyiknya Berbagi”
sekaligus memberikan LKS yang harus dikerjakan setiap kelompok;
f) siswa membaca cerita secara berpasangan. Kemudian, siswa
mendiskusikan soal yang diberikan kepada kelompok mereka; dan
g) setelah siswa selesai mendiskusikan, mereka mengumpulkan hasil
pekerjaan kepada guru.
Sampai pada langkah ini, bel berbunyi menunjukkan bahwa
waktu pelajaran telah usai. Guru menyuruh siswa untuk mempersiapkan
diri untuk tes pada hari Senin. Pembelajaran dilanjutkan pada hari
Senin, 1 Maret 2010 jam pertama dan kedua.
2) Pertemuan Kedua
Sesuai dengan kesepakatan dengan guru, maka pertemuan
kedua siklus III dilaksanakan pada hari Senin, 1 Maret 2010. Langkahlangkah pembelajaran yang dilakukan oleh guru pada pertemuan kedua
siklus III ini sebagai berikut:
a) guru membuka pelajaran dengan salam;
b) guru melakukan presensi dan memberikan motivasi siswa untuk
mengerjakan tes dengan semaksimal mungkin;
c) guru memastikan semua siswa siap mengikuti tes pembelajaran
apresiasi cerita pendek;
d) guru membagikan soal kepada setiap siswa dan siswa sibuk
mengerjakan;
e) setelah siswa selesai mengerjakan, mereka mengumpulkan hasil
pekerjannya;
f) siswa kemudian maju satu per satu untuk menceritakan kembali isi
cerita pendek yang dibaca;
g) guru kemudian membagikan angket kepada siswa mengenai kesan
mereka terhadap pembelajaran apresiasi cerita pendek dengan
menggunakan metode CIRC;
h) guru dan siswa melakukan refleksi; dan
i) guru menutup pelajaran.
Guru dapat menyelesaikan semua langkah sesuai dengan
waktu yang tersedia. Begitu bel tanda pergantian jam berbunyi, guru
sudah pada tahap menutup pelajaran. Dalam tahap ini guru bertindak
sebagai pemimpin jalannya kegiatan pembelajaran apresiasi cerita
pendek di dalam kelas, sedangkan peneliti hanya bertindak sebagai
pertisipan pasif.
c. Observasi Siklus III
Observasi dilaksanakan saat pembelajaran apresiasi cerita
pendek dengan menggunakan metode CIRC berlangsung pada hari Sabtu,
27 Februari 2010 pukul 07.30 - 08.40 (jam pertama dan kedua) dan hari
Senin, 1 Maret 2010 (jam pertama dan kedua). Seperti pada siklus II,
observasi difokuskan pada situasi pelaksanaan pembelajaran apresiasi
cerita pendek dengan menerapkan metode CIRC, kegiatan yang
dilaksanakan guru, serta aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran
berlangsung. Dalam observasi ini, peneliti menggunakan pedoman
observasi (terlampir pada lampiran) serta ikut melakukan penilaian
dengan memegang lembar penilaian proses kegiatan anggota kelompok
dan lembar penilaian apresiasi cerita pendek. Pada saat observasi, peneliti
bertindak sebagai partisipan pasif dan duduk di bangku paling belakang.
1) Pengamatan terhadap Guru
Guru sudah melaksanakan pembelajaran sesuai dengan
pelaksanaan yang telah disusun bersama peneliti. Guru sudah
menciptakan pembelajaran yang kondusif dan kooperatif. Guru telah
mampu membangkitkan minat, keaktifan, dan kesungguhan siswa.
Guru terlihat lebih aktif dalam memantau kinerja setiap kelompok.
Guru menekankan kepada siswa bahwa mereka memiliki tanggung
jawab untuk memastikan bahwa teman satu kelompok mereka telah
mempelajari materinya.
Sewaktu para siswa sedang bekerja secara kelompok, guru
berkeliling kelas, memberi pujian, dan kadang guru duduk di tiap
kelompok untuk mendengarkan bagaimana anggota kelompok bekerja.
Setelah
siswa
selesai
diskusi,
guru
menyuruh
siswa
untuk
mengumpulkan hasil pekerjaan mereka. Guru dan siswa kemudian
membahas soal yang didiskusikan.
Pada
pertemuan
berikutnya
guru
memberikan
tes
pascatindakan kepada siswa. Setelah siswa menyelesaikan soal, mereka
maju satu per satu untuk menceritakan isi cerita pendek yang dibaca.
Langkah selanjutnya, guru menugaskan siswa untuk mengisi angket
yang dipersiapkan peneliti. Angket tersebut digunakan peneliti untuk
mengetahui sikap serta minat mereka terhadap pembelajaran apresiasi
cerita pendek pascatindakan berupa penerapan metode CIRC. Pada
kesempatan tersebut, peneliti mengucapkan terima kasih kepada siswa
serta guru yang telah membantu penelitian. Dalam tahap ini guru
bertindak sebagai partisipan aktif.
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa guru telah mampu
menjelaskan materi dengan baik. Hal ini dapat diketahui dengan melihat
skor yang diperoleh guru mencapai 37. Ini artinya bahwa kemampuan
guru dalam menjelaskan terdapat pada taraf “baik”. Kemampuan guru
dalam mengelola kelas juga sudah meningkat, terlihat dari skor yang
diperoleh mancapai 63. Skor ini menunjukkan bahwa kemampuan guru
mengelola kelas pada tingkat kemampuan yang “baik”.
2) Pengamatan terhadap Siswa
Pada pertemuan pertama siklus III yang dilaksanakan pada
hari Sabtu, 27 Februari 2010, siswa tampak lebih aktif daripada
pelaksanaan tindakan siklus II. Proses pembelajaran pada siklus III ini
situasi kelas jadi lebih kondusif. Pada saat guru mengawali
pembelajaran menanyakan tentang pemberian tugas dan pengerjaan soal
pelatihan melalui metode CIRC, siswa menjawab bahwa pembelajaran
lebih menyenangkan sehingga pembelajaran lebih mudah. Siswa dapat
menikmati proses pembelajaran dengan keterlibatan siswa secara
langsung dalam mengapresiasi cerita pendek.
Observasi terhadap siswa pada siklus III hampir sama dengan
siklus sebelumnya. Pada siklus III ini siswa juga diamati dari segi
proses dan hasil. Demikian pula dengan instrumen penilaiannya juga
sama dengan siklus I dan siklus II.
Berdasarkan penilaian proses pembelajaran yang dilakukan
pada siklus III diperoleh data sebagai berikut. (Penilaian lengkap
terlampir pada lampiran 4.13 Siklus III)
a) Kedisiplinan
Siswa
yang
menunjukkan
kedisiplinan
dalam
mengikuti
pembelajaran apresiasi cerita pendek dengan metode CIRC sebanyak
16 siswa atau sekitar 88%. Jumlah tersebut sudah lebih baik jika
dibandingkan dengan siklus II walaupun hanya mengalami kenaikan
1 siswa. Penilaian kedisiplinan masih tetap sama dengan siklus II
diperoleh dari penilaian sikap siswa yang sudah menunjukkan
kedisiplinan di kelas, seperti kedisiplinan dalam kesiapan pelajaran
dan menepati waktu dalam melakukan langkah.
b) Minat
Pada siklus III ini siswa terlihat lebih antusias terhadap pembelajaran
apresiasi cerita pendek dengan metode CIRC dibandingkan dengan
siklus sebelumnya. Minat siswa, peneliti nilai dari antusias siswa
untuk mengikuti setiap aturan main dalam pembelajaran apresiasi
cerita pendek. Siswa juga terlihat lebih tekun mengerjakan tugas
yang diberikan guru. Siswa yang menunjukkan minat terhadap
pembelajaran apresiasi cerita pendek dengan metode CIRC sebanyak
88% atau sejumlah 16 siswa. Keadaan ini menunjukkan minat siswa
pada siklus III lebih baik daripada siklus sebelumnya. Minat siswa
juga diperhatikan dari hasil wawancara 16 siswa yang menyatakan
mereka suka dengan pembelajaran apresiasi cerita pendek dengan
menggunakan metode CIRC.
c) Keaktifan
Keaktifan siswa pada waktu proses pembelajaran apresiasi cerita
pendek dilihat dari kemampuan siswa untuk terlibat aktif
mendiskusikan masalah, bertanya pada guru, dan menjawab
pertanyaan guru secara lisan. Siswa yang sudah menunjukkan
keaktifan dengan cara mengungkapkan pendapat bertanya, menjawab
pertanyaan, dan aktif dalam kegiatan diskusi sebanyak 14 siswa.
Persentase keaktifan siswa yang peneliti simpulkan dari rubrik
penilaian proses pembelajaran apresiasi cerita pendek adalah 77%.
Keaktifan pada siklus III ini menunjukkan peningkatan yang cukup
signifikan sebanyak 16% atau 3 siswa dibandingkan dengan siklus II.
d) Kerja sama
Siswa yang sudah menunjukkan sikap bekerja sama dengan anggota
kelompoknya sebanyak 16 siswa. Persentase kerja sama siswa
sebanyak 88%. Hal ini peneliti simpulkan dari hasil pengamatan
selama pembelajaran apresiasi cerita pendek. Siswa bekerja sama
dalam kelompok dan saling membantu dalam menyelesaikan
masalah. Siswa mulai antusias untuk menjadi kelompok yang
terbaik, sehingga kemampuan kerja sama siswa meningkat. Selain
itu, berdasarkan angket kinerja kelompok diketahui bahwa semua
anggota kelompok sudah melakukan tugasnya dengan baik. Hal ini
nampak dari hasil angket yang menunjukkan 0% siswa menyatakan
tidak pernah, 43% siswa menyatakan kadang-kadang, dan 57% siswa
menjawab sering (rekap angket terlampir pada lampiran 4.7 siklus
III).
e) Kesungguhan
Kesungguhan siswa yang peneliti nilai adalah dari perhatian terhadap
penjelasan guru dan kemampuan menyelesaikan masalah. Siswa
terlihat lebih serius dalam memperhatikan penjelasan guru. Siswa
nampak bersungguh-sungguh dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi.
Siswa
yang
menunjukkan
kesungguhannya
dalam
pembelajaran apresiasi cerita pendek sejumlah 17 siswa atau 94%.
Penilaian kemampuan apresiasi cerita pendek dengan sistem
penilaian yang sama dengan siklus II, yaitu menggunakan instrumen tes
tertulis dan perbuatan. Dalam tes tertulis siswa diberikan pertanyaan
sebanyak 25 soal yang terdiri dari soal pilihan ganda, isian, dan jawaban
singkat. Soal-soal tersebut mencakup kemampuan menganalisis unsur
intrinsik dan menceritakan kembali cerita pendek yang dibaca. Tes
perbuatan dilakukan dengan menyuruh siswa maju satu per satu untuk
menceritakan kembali isi cerita pendek yang dibaca dengan aspek
penilaian yang sama dengan siklus II, yaitu (1) kelengkapan isi, (2)
keruntutan alur, (3) kemampuan penggunaan bahasa, meliputi pelafalan
dan pemilihan kosakata, dan (4) sikap dalam berbicara yang terdiri dari
kelancaran dan pandangan mata kepada audiens.
Berdasarkan lembar penilaian kemampuan menceritakan
kembali isi cerita pendek pada siklus III diperoleh nilai rata-rata 78,72
(sudah mencapai KKM) dengan nilai yang tertinggi 89 dan nilai
terendah 61 (terlampir dilampiran 4.14 siklus III).
Kemampuan apresiasi cerita pendek merupakan gabungan
antara tes tertulis dan perbuatan. Berdasarkan lembar penilaian
kemampuan apresiasi cerita pendek pada siklus III diperoleh nilai ratarata kelas 84,11 (sudah berada di atas KKM) dengan nilai tertinggi 94
dan nilai terendah 66 (terlampir di lampiran 4.15 siklus III). Siswa yang
mampu memperoleh nilai di atas kriteria ketuntasan minimal (KKM)
sebanyak 18 siswa atau 100% dari jumlah seluruh siswa kelas V SD
Negeri IV Pulutan Wetan.
d. Analisis Refleksi Siklus III
Berdasarkan hasil pengamatan penelitian pada siklus III, dapat
dikemukakan bahwa pembelajaran apresiasi cerita pendek dengan
menerapkan metode CIRC sudah mengalami peningkatan yang baik.
Proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar, bahkan lebih baik
jika dibandingkan dengan pembelajaran siklus sebelumnya, baik siklus I
maupun siklus II. Hal ini ditandai dengan beberapa hal berikut.
1) Siswa yang memperoleh nilai di atas ketuntasan minimal (KKM)
sudah mencapai 100% atau 18 siswa, dengan nilai rata-rata 84,11.
2) Siswa sudah mampu menceritakan isi cerita pendek dengan baik
dengan ditunjukkan nilai yang diperoleh siswa yang mencapai
ketuntasan minimal (KKM) sebanyak 15 siswa atau 83%, dengan
nilai rata-rata 78,72.
3) Keaktifan siswa dalam pembelajaran yang berlangsung dalam kerja
kelompok sudah mengalami peningkatan. Partisipasi seluruh anggota
kelompok, tukar pendapat, bertanya, dan saling membantu antar
anggota kelompok sudah cukup bagus, hal ini dilihat dari pengamatan
peneliti juga dari angket yang diisi oleh siswa.
4) Keseriusan dan konsentrasi siswa meningkat, walaupun memang
masih saja ada siswa yang berbincang-bincang sendiri. Kedisiplinan,
kerja sama, keaktifan, dan kesungguhan siswa dalam mengikuti
pembelajaran sudah semakin meningkat.
5) Keterampilan guru dalam mengelola kelas dan menjelaskan meteri
dengan menerapkan metode CIRC sudah baik. Guru telah mampu
menciptakan situasi pembelajaran yang mendukung siswa untuk aktif,
berkonsentrasi, serta termotivasi untuk belajar. Control atau
pengawasan guru dalam kelompok cukup baik, bahkan guru
berkeliling ke tiap-tiap kelompok dan kadang duduk untuk
mendengarkan pembicaraan siswa dalam berdiskusi dengan anggota
kelompoknya.
Berdasarkan hasil analisis di atas, tindakan pada siklus III
dikatakan berhasil. Peningkatan terjadi pada beberapa indikator
dibandingkan siklus sebelumnya. Nilai rata-rata kelas sudah mencapai
batas ketuntasan. Dengan demikian, penelitian pembelajaran apresiasi
cerita pendek menggunakan metode CIRC dipandang sudah berhasil
diterapkan di kelas V SD Negeri IV Pulutan wetan.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan tindakan yang dilakukan oleh peneliti,
maka dapat disimpulkan bahwa penerapan metode CIRC dapat meningkatkan
kualitas proses maupun hasil pembelajaran apresiasi cerita pendek pada siklus I,
siklus II, dan siklus III. Secara garis besar penelitian ini telah berhasil menjawab
rumusan masalah yang telah dikemukakan peneliti pada bab I, yaitu apakah
penerapan metode CIRC dapat meningkatkan kualitas proses dan kualitas hasil
pembelajaran apresiasi cerita pendek siswa kelas V SD Negeri IV Pulutan Wetan
tahun ajaran 2009/2010?
Adapun jawaban untuk perumusan masalah di atas adalah: Penelitian
tindakan kelas pada siswa kelas V SD Negeri IV Pulutan Wetan dapat
meningkatkan kemampuan apresiasi cerita pendek. Data ini dapat dinilai dari
peningkatan kualitas proses dan hasil.
Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga siklus, dengan uraian kegiatan
sebagai berikut: peneliti mengadakan survei awal sebelum mengadakan siklus I.
Survei awal ini dilakukan oleh peneliti dalam rangka untuk mengetahui
permasalahan yang terjadi di lapangan. Berdasarkan survei awal tersebut, peneliti
mengetahui ada masalah dalam pembelajaran bahasa Indonesia kelas V SD Negeri
IV Pulutan Wetan. Rendahnya kualitas proses dan hasil pada pembelajaran
kemampuan cerita pendek adalah masalah yang paling menonjol di antara
masalah lainnya. Oleh karena itu, peneliti dan guru berkolaborasi untuk
menemukan solusi, yakni dengan menerapkan metode CIRC dalam pembelajaran
apresiasi cerita pendek.
Setelah itu, peneliti dan guru menyusun rencana pembelajaran guna
melaksanakan siklus I. Pada siklus I ini, guru dan peneliti menerapkan metode
CIRC sebagai metode pembelajaran dalam pembelajaran apresiasi cerita pendek
dengan berdasar pada kompetensi dasar yang disesuaikan dengan silabus, yaitu
“Menyimpulkan isi cerita anak dalam beberapa kalimat”. Judul cerita pendek
yang disepakati dalam siklus ini adalah ”Kado untuk Emak”. Judul ini dipilih
karena latar ceritanya sesuai dengan kehidupan siswa yang berada di lingkungan
pedesaan, bahasa yang digunakan juga sesuai dengan usia anak sehingga mudah
di cerna. Selain itu, tema dalam cerpen ini juga sesuai dengan psikologi anak
kelas V SD yang menyukai tema kekeluargaan. Adapun tugas yang harus
dikerjakan siswa adalah siswa menjawab soal-soal berisi tentang unsur-unsur
intrinsik cerita pendek dan menceritakan kembali isi cerita pendek yang dibaca,
selain itu, siswa maju satu per satu untuk menceritan isi cerita pendek secara lisan
di depan kelas.
Deskripsi hasil pembelajaran yang menyatakan bahwa masih terdapat
beberapa
kekurangan
atau
kelemahan
di
dalam
pelaksanaan
tindakan
pembelajaran apresiasi cerita pendek dengan menerapkan metode CIRC diperoleh
dari pelaksanaan siklus I. Kelemahan tersebut berasal dari guru, maupun siswa.
Kelemahan yang ditemukan dari guru, yaitu: (1) guru kurang menguasai kelas; (2)
guru belum mampu menerapkan metode CIRC dengan baik; (3) guru belum
mampu mengontrol siswa dalam kelompok; dan (4) guru belum mampu
mendukung siswa untuk aktif dalam kelas maupun kelompok.
Kelemahan yang ditemukan dari siswa, yaitu: (1) siswa kurang disiplin
pada waktu mengikuti pelajaran apresiasi cerita pendek; (2) masih banyak siswa
yang tidak aktif dalam kelompok maupun dalam pembelajaran; (3) pada waktu
ada siswa yang maju, banyak siswa yang tidak mendengarkan (perhatian siswa
kurang); (4) ada beberapa siswa yang tidak sunggguh-sungguh mengerjakan tugas
seperti tidak melakukan kegiatan membaca berpasangan; (5) saat guru melakukan
tanya jawab dengan siswa pada waktu pembelajaran, hanya beberapa siswa yang
aktif memberikan pertanyaan dan menanggapinya; dan (6) saat siswa
menceritakan kembali isi cerita pendek di depan kelas, masih banyak yang
menunduk dan terlihat menghafal.
Kelemahan dari penerapan metode CIRC, yaitu: (1) guru belum
memahami cara menerapkan metode CIRC, sehingga belum jelas saat
menjelaskan kepada siswa membuat para siswa kebingungan dan mengeluh; dan
(2) siswa belum begitu memahami tentang cara menceritakan isi cerita pendek di
depan kelas.
Siklus II dilaksanakan untuk mengatasi kekurangan atau kelemahan yang
terjadi selama proses pembelajaran siklus I. Pada siklus II ini, guru masih
menerapkan metode CIRC. Cerita pendek yang diberikan kepada siswa berbeda
dengan cerita pendek pada siklus I. Cerita pendek yang diberikan pada siklus II
berjudul “Kena Batunya”. Alasan pemilihan cerpen ini, yaitu: latar cerpen sesuia
dengan kondisi siswa berupa kehidupan di sekolah dasar, bahasa yang digunakan
juga sesuai dengan kemampuan siswa sehingga mudah untuk dimengerti, serta
tema yang digunakan sesuai dengan psikologis siswa yang menyukai cerita lucu
dan persahabatan. Rancangan pembelajaran yang dibuat oleh guru dan peneliti
berdasarkan kompetensi dasar yang sama dengan siklus I, yaitu “Menyimpulkan
isi cerita anak dalam beberapa kalimat”. Tugas yang diberikan kepada siswa
masih sama dengan siklus I, yaitu menjawab soal dan menceritakan isi cerita
pendek di depan kelas.
Berdasarkan hasil deskripsi tindakan masih terdapat beberapa kekurangan
dalam pelaksanaan siklus II. Kekurangan yang ada pada siklus II berasal dari guru
maupun siswa. Kekurangan guru adalah guru belum sering melakukan kontrol
terhadap kelompok siswa, sehingga kedisiplinan dan kerja sama siswa dalam
kelompok kurang. Dalam siklus II ini siswa mempunyai beberapa kekurangan
antara lain: (1) siswa kurang aktif dalam pelaksanaan pembelajaran; (2) masih ada
siswa yang belum disiplin saat pembelajaran berlangsung; dan (3) siswa belum
mempraktikkan cara menceritakan kembali isi cerita pendek dengan baik di depan
kelas.
Siklus III dilaksanakan untuk mengatasi kelemahan siklus II. Pada siklus
ini masih diajarkan mengenai kompetensi dasar “Menyimpulkan isi cerita anak
dalam beberapa kalimat”. Guru memberikan cerita pendek berjudul ”Asyiknya
Berbagi”. Cerpen ini dipilih karena temanya sesuai dengan keadaan kesukaan
siswa yakni konflik keluarga. Selain itu, cerpen ini juga menggunakan latar yang
menggambarkan kesederhanaan sebuah keluarga yang hampir sama dengan
kondisi siswa di rumah.Tugas yang diberikan juga sama dengan tugas yang
diberikan pada siklus sebelumnya. Pada siklus ini dapat dikatakan sudah berhasil
mencapai target yang diinginkan. Hal ini terlihat dari kemampuan guru yang
sudah berhasil mengelola kelas baik secara individual maupun kelompok. Siswa
juga sudah aktif, disiplin, dan bekerja sama dengan baik. Selain itu, siswa sudah
mampu mempraktikkan bagaimana menceritakan kembali isi cerita pendek
dengan baik di depan kelas.
Berdasarkan tindakan-tindakan yang telah dilakukan, guru dapat dikatakan
telah berhasil melaksanakan pembelajaran apresiasi cerita pendek dengan
menerapkan metode CIRC, sehingga mampu menarik minat siswa yang membuat
meningkatnya hasil kemampuan apresiasi cerita pendek siswa. Dengan metode
CIRC siswa lebih mudah melakukan apresiasi cerita pendek terutama dalam
menganalisis unsur intrinsik dan menceritakan kembali isi cerita pendek yang
dibaca. Keberhasilan penerapan metode CIRC dalam meningkatakan kualitas
proses dan hasil pembelajaran apresiasi cerita pendek dapat dilihat dari indikatorindikator sebagai berikut.
1. Peningkatan Kualitas Proses dalam Pembelajaran Apresiasi Cerita
Pendek
a. Meningkatnya kedisiplinan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran
apresiasi cerita pendek
Pada waktu survei awal atau pada waktu tindakan belum dilakukan, siswa
kurang disiplin dalam mengikuti pembelajaran. Hal ini nampak pada
ketidaksiapan siswa mengikuti pembelajaran. Setelah pelaksanaan
tindakan, maka diperoleh kesimpulan bahwa kesiapan atau kedisiplinan
siswa dalam mengikuti setiap prosedur pembelajaran meningkat.
Persentase kedisiplinan diperoleh 77% (pada siklus I), menjadi 83% (pada
siklus II), dan 88% (pada siklus III).
b. Meningkatnya minat siswa dalam mengikuti proses pembelajaran apresiasi
cerita pendek.
Pada waktu survei awal, banyak siswa yang mengantuk, kurang
bersemangat, dan terlihat gelisah waktu guru menjelaskan materi apresiasi
cerita pendek. Siswa juga mengeluh pada waktu guru menyuruh maju
untuk menceritakan isi cerita pendek yang dibaca. Ada yang mengeluh
bingung karena terlalu banyak isi cerita yang harus dibicarakan, ada juga
yang lupa dengan kelanjutan pembicaraan. Siswa juga mengeluh saat
disuruh menganalisis unsur intrinsik cerita pendek. Setelah dilakukan
tindakan, siswa terlihat lebih antusias dalam proses pembelajaran di kelas.
Rasa antusias siswa terlihat pada waktu siswa dibagikan cerita pendek.
Mereka penasaran cerita apa yang akan dibagikan guru pada pertemuan
berikutnya. Peningkatan minat siswa dapat dilihat dari perbandingan
persentase minat siswa antarsiklus, yaitu 61% (pada siklus I), 77% (pada
siklus II), dan 88% (pada siklus III).
c. Meningkatnya keaktifan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran
apresiasi cerita pendek
Keaktifan siswa di setiap siklus semakin menunjukkan adanya
peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari perbandingan persentase
keaktifan siswa antarsiklus, yaitu 44% (pada siklus I) menjadi 61% (pada
siklus II), dan 77% (pada siklus III).
Pada waktu survei awal, tidak ada siswa yang tunjuk jari untuk menjawab
setiap pertanyaan guru. Mereka harus ditunjuk oleh guru untuk menjawab.
Setelah dilakukan tindakan, siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran
keterampilan apresiasi cerita pendek. Hal ini dapat dibuktikan dari
meningkatnya jumlah siswa yang bertanya dan mengeluarkan pendapat
serta meningkatnya siswa yang maju untuk berbicara di depan kelas
dengan kesadaran sendiri. Metode CIRC dapat mendorong siswa untuk
selalu aktif dalam proses pembelajaran.
d. Meningkatnya kerja sama siswa dalam mengikuti proses pembelajaran
apresiasi cerita pendek.
Kerja sama siswa pada pembelajaran apresiasi cerita pendek dengan
menggunakan metode CIRC sudah tercipta dengan baik. Pada waktu
survei awal, kerja sama siswa belum tercipta. Mereka masih bekerja secara
individu, sehingga siswa yang tidak bisa tetap saja tidak mampu
menyelesaikan tugasnya sedangkan siswa yang pintar semakin pintar.
Setelah dilakukan tindakan, kerja sama antarsiswa terjalin dengan baik.
Peningkatan ini dapat dilihat dari persentase di siklus I sebesar 61%
menjadi 77% di siklus II kemudian menjadi 88% di siklus III.
e. Meningkatnya kesungguhan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran
apresiasi cerita pendek.
Kesungguhan siswa juga meningkat dalam hal mengikuti pembelajaran
apresiasi
cerita
pendek.
Mereka
nampak
lebih
serius
dalam
memperhatikan materi yang disajikan guru dan mengerjakan tugas yang
diberikan oleh guru. Hal ini dipicu dengan adanya tantangan untuk
mendapatkan nilai yang terbaik agar mendapatkan hadiah baik berupa
pujian maupun barang. Kesungguhan siswa meningkat dari 61% di siklus I
menjadi 83% di siklus II, dan 94% di siklus III.
Adapun peningkatan kualitas proses pembelajaran apresiasi cerita
pendek dalam pelaksanan tindakan siklus I, siklus II, dan siklus III dapat
digambarkan pada rekapitulasi data dalam bentuk tabel dan grafik berikut ini.
Tabel 12. Rekapitulasi Hasil Peningkatan Kualitas Proses Pembelajaran
Apresiasi Cerita Pendek dalam Pelaksanaan Tindakan Siklus I, II,
dan III
No
Indikator
Persentase
Siklus I
1
Kedisiplinan
siswa
dalam
mengikuti 77%
Siklus II
Siklus III
83%
88%
77%
88%
61%
77%
77%
88%
83%
94%
pembelajaran apresiasi cerita pendek
2
Minat
siswa
dalam
mengikuti 61%
pembelajaran apresiasi cerita pendek
3
Keaktifan
siswa
dalam
mengikuti 44%
pembelajaran apresiasi cerita pendek
4
Kerja sama
siswa
dalam mengikuti 61%
pembelajaran apresiasi cerita pendek
5
Kesungguhan siswa dalam mengikuti 61%
pembelajaran apresiasi cerita pendek
100%
%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
minat
kedisiplinan
keaktifan
Kerja sama
kesungguhan
Keterangan:
Siklus I
:
Siklus II
:
Siklusi III :
Gambar 3. Grafik Tabulasi Peningkatan Kualitas Proses Pembelajaran
Apresiasi Cerita pendek
2. Peningkatan Kualitas Hasil dalam Pembelajaran Apresiasi Cerita Pendek
Peningkatan kualitas hasil dalam pembelajaran apresiasi cerita
pendek ini dinilai dari penilaian perbuatan dan penilaian apresiasi cerita
pendek (gabungan antara penilaian perbuatan dan tes tertulis). Sebelum
diadakan tindakan kemampuan siswa dalam menceritakan kembali isi cerita
pendek di depan kelas masih sangat kurang. Siswa mengaku masih malu
bercerita ke depan. Selain itu, mereka juga bingung mau bercerita di bagian
mana karena merasa terlalu banyak yang harus diceritakan. Hal ini membuat
hasil cerita mereka tidak runtut, tidak lengkap, dan menggunakan bahasa yang
kurang tepat. Berdasarkan hasil tes pratindakan, kemampuan siswa dalam
menceritakan kembali isi cerita pendek di depan kelas hanya 1 siswa atau 5%
yang mendapat nilai ≥ 65, sedangkan 17 siswa yang lain mendapat nilai < 65.
Setelah dilakukan tindakan, kemampuan siswa dalam menceritakan
kembali isi cerita pendek di depan kelas meningkat. Pada siklus I siswa yang
mendapatkan nilai ≥ 65 sebanyak 4 siswa atau 22%. Tindakan siklus II
mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam menceritakan kembali isi
cerita pendek di depan kelas yakni siswa yang mendapat nilai ≥ 65 sebanyak 9
siswa atau 50% dari jumlah siswa kelas V SD Negeri IV Pulutan Wetan. Pada
siklus III kemampuan siswa dalam menceritakan kembali isi cerita pendek di
depan kelas yang mencapai nilai ≥ 65 meningkat menjadi 15 siswa atau 83%.
Kemampuan siswa dalam menjawab pertanyaan soal tertulis yang
berisi tentang analisis unsur intrinsik dan menceritakan isi cerita pendek
dengan ringkas pada tes pratindakan masih rendah. Siswa yang mendapatkan
nilai di atas KKM hanya mencapai 38% dari jumlah siswa. Setelah diadakan
tindakan, kemampuan siswa menjawab soal tertulis meningkat. Pada siklus I
terdapat 77% siswa yang mendapat nilai di atas KKM. Pada siklus II
kemampuan siswa dalam menjawab pertanyaan soal tertulis meningkat
menjadi 88% siswa yang mendapat nilai di atas KKM. Pada siklus III semua
(100%) siswa mendapatkan nilai di atas KKM dalam menjawab pertanyaan
soal tertulis mengenai apresiasi cerita pendek.
Sesuai dengan apa yang disampaikan sebelumnya, bahwa
kemampuan apresiasia cerita pendek pada siswa kelas V SD Negeri IV
Pulutan Wetan merupakan gabungan dari nilai perbuatan (menceritakan
kembali isi cerita pendek di depan kelas) dengan kemampuan siswa dalam
menjawab soal tertulis yang diberikan guru. Sebelum dilakukan tindakan,
kemampuan siswa dalam apresiasi cerita pendek tergolong rendah. Siswa yang
mendapatkan nilai ≥ 65 hanya 4 siswa atau 22% dari 18 siswa kelas V SD Negeri IV
Pulutan Wetan. Setelah dilakukan tindakan siklus I jumlah siswa yang mendapat nilai
≥ 65 meningkat menjadi 10 siswa (55%). Pada siklus II kemampuan siswa
mengalami peningkatan yang cukup berarti menjadi 16 siswa (88%). Pada siklus III
semua siswa (100%) sudah mencapai nilai ≥ 65. Secara ringkas, kenaikan
kemampuan nilai apresiasi cerita pendek pada siswa kelas V SD Negeri IV Pulutan
Wetan dapat dilihat dari tabel dan grafik berikut ini.
Tabel 14. Tabel Rekapitulasi Peningkatan Kemampuan Apresiasi Cerita
Pendek
No
1
Indikator
Kemampuan
menceritakan
siswa
Presentase
Pratindakan
Siklus I
Siklus II
Siklus III
5%
22%
50%
83%
38%
77%
88%
100%
22%
55%
88%
100%
dalam
kembali
isi
cerita pendek di depan kelas
2
Kemampuan siswa menjawab
soal secara tertulis
3
Kemampuan
siswa
dalam
mengapresiasi cerita pendek
(nilai akhir)
100%
100%
88%
%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
55%
22%
Pratindakan
Siklus I
Silus II
Siklus III
Gambar 5. Grafik Tabulasi Nilai Apresiasi Cerita Pendek
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan kajian teori, hasil penelitian, dan pembahasan yang telah
dilakukan dapat ditarik simpulan sebagai berikut.
1. Penerapan metode CIRC dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran
apresiasi cerita pendek pada siswa kelas V SD Negeri IV Pulutan Wetan
terbukti dengan adanya peningkatan proses pembelajaran sebagai berikut:
a. Meningkatnya kedisiplinan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran
apresiasi cerita pendek.
Pernyataan di atas terbukti dengan meningkatnya kedisiplinan siswa
selama mengikuti kegiatan proses pembelajaran apresiasi cerita pendek
pada siklus I, siklus II, dan siklus III. Persentase kedisiplinan diperoleh
antarsiklus, yaitu 77% (pada siklus I), menjadi 83% (pada siklus II), dan
88% (pada siklus III).
b. Meningkatnya minat siswa dalam mengikuti proses pembelajaran apresiasi
cerita pendek.
Pernyataan di atas terbukti dengan meningkatnya minat siswa selama
mengikuti kegiatan proses pembelajaran apresiasi cerita pendek pada
siklus I, siklus II, dan siklus III. Peningkatan minat siswa dapat dilihat dari
perbandingan persentase minat siswa antarsiklus, yaitu 61% (pada siklus
I), 77% (pada siklus II), dan 88% (pada siklus III).
c. Meningkatnya keaktifan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran
apresiasi cerita pendek.
Pernyataan di atas terbukti dengan meningkatnya keaktifan siswa selama
mengikuti kegiatan proses pembelajaran apresiasi cerita pendek pada
siklus I, siklus II, dan siklus III. Perbandingan persentase keaktifan siswa
antarsiklus, yaitu 44% (pada siklus I) menjadi 61% (pada siklus II), dan
77% (pada siklus III).
d. Meningkatnya kerja sama siswa dalam mengikuti proses pembelajaran
apresiasi cerita pendek.
Pernyataan di atas terbukti dengan meningkatnya kerja sama siswa selama
mengikuti kegiatan proses pembelajaran apresiasi cerita pendek pada
siklus I dan siklus II. Peningkatan ini dapat dilihat dari persentase di siklus
I sebesar 61% menjadi 77% di siklus II kemudian menjadi 88% di siklus
III.
e. Meningkatnya kesungguhan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran
apresiasi cerita pendek.
Pernyataan di atas terbukti dengan meningkatnya kesungguhan siswa
selama mengikuti kegiatan proses pembelajaran apresiasi cerita pendek.
Kesungguhan siswa meningkat dari 61% di siklus I menjadi 83% di silklus
II, dan 94% di siklus III.
2. Penerapan metode CIRC dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam
mengapresiasi cerita pendek. Hal ini ditandai dengan nilai rata-rata siswa yang
mengalami peningkatan pada tiap siklusnya. Pada siklus I jumlah siswa yang
mencapai KKM masih belum mencapai 75%. Namun ada peningkatan dari
survei awal, yaitu 4 siswa (22%) yang mencapai nilai di atas Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) meningkat menjadi 10 siswa (55%). Kenaikan
sebesar 33%. Nilai rata-rata kelas sebesar 62,11 juga belum mencapai KKM.
Pada siklus II meningkat sebanyak 16 siswa (88%) sudah mencapai KKM atau
peningkatan sebesar 33% dari siklus I. Peningkatan ini sudah mencapai 75%
nilai ketuntasan klasikal, walaupun demikian masih perlu dilanjutkan dengan
siklus III untuk meningkatkan kualitas hasil dan proses yang maksimal.
Setelah dilakukan uji kompetensi siklus III semua siswa telah mampu
mencapai KKM. Pada siklus III ini ketuntasan maksilmal mencapai 100%
dengan nilai rata-rata 84,11.
B. Implikasi
Penelitian ini mampu memberikan gambaran tentang keberhasilan
kualitas hasil dan kualitas proses pembelajaran. Keberhasilan tersebut tidak
terlepas dari pengaruh guru, siswa, media pembelajaran, metode pembelajaran,
dan sumber belajar. Metode pembelajaran yang tepat akan menghasilkan proses
dan hasil pembelajaran yang baik, begitu juga dengan faktor yang saling
mempengaruhi satu sama lain. Kemampuan guru untuk menciptakan suasana
pembelajaran yang menyenangkan dan sumber belajar yang tepat juga akan
memudahkan siswa menyerap pelajaran sehingga lebih termotivasi untuk
mengikuti pembelajaran. Selain itu persiapan pembelajaran yang tepat juga akan
berdampak pada kualitas proses pembelajaran yang baik.
Kualitas hasil dan proses akan meningkat dengan metode dan media
yang tepat. Guru memang harus pandai memilih metode dan media yang akan
digunakan sebelum mengajar agar menghasilkan proses dan hasil yang baik.
Metode dan media yang digunakan harus disesuaikan dengan materi yang akan
disampaikan dalam pelajaran.
Penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas hasil dan kualitas proses
pembelajaran apresiasi cerita pendek dapat ditingkatkan dengan menggunakan
metode pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC).
Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) dapat membantu siswa
dalam memahami cerita pendek yang dibaca siswa. Cooperative Integrated
Reading and Composition (CIRC) dapat membantu siswa mempermudah dalam
menganalisis unsur-unsur intrinsik cerita pendek. Metode ini juga mampu
menuntun siswa untuk menemukan ide pokok pada setiap paragraf dan
menyusunnya dalam ringkasan cerita yang runtut. Siswa menunjukkan minat yang
tinggi ketika belajar dengan Cooperative Integrated Reading and Composition
(CIRC). Siswa juga dilatih untuk bekerja sama menyelesaikan masalah. Penelitian
ini dapat dijadikan masukan untuk guru dalam memberikan alternatif metode
pembelajaran dalam merangsang minat, keaktifan, dan kesungguhan siswa
sehingga siswa dapat mengembangkan potensi mereka masing-masing.
Penelitian ini juga memberikan penjelasan bahwa pembelajaran
apresiasi cerita pendek bukan hanya bertujuan untuk mentransformasikan
pengetahuan saja, tetapi juga membutuhkan peran aktif siswa dalam kegiatan
apresiasi cerita pendek. Interaksi aktif ini diperlukan untuk mewujudkan
komunikasi yang efektif dalam proses pembelajaran. Di sisi lain, keaktifan tidak
akan terwujud secara maksimal jika tidak ada minat atau rasa tertarik terhadap
pembelajaran. Oleh karena itu, hasil penelitian ini memberikan rujukan bahwa
dengan memperhatikan sesuatu yang dapat menarik perhatian, maka perilaku
siswa dalam proses pembelajaran dapat berubah ke arah yang lebih baik. Metode
Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) merupakan metode
yang merangsang siswa untuk berperan aktif dalam pembelajaran dan
membimbing mereka proses pembelajaran apresiasi cerita pendek.
C. Saran
Berdasarkan simpulan dan implikasi hasil penelitian di atas perlu
diperhatikan beberapa hal untuk perbaikan dan pengembangan pembelajaran
apresiasi cerita pendek di tingkat SD/MI. Penulis menyarankan sebagai berikut.
1. Bagi Guru
a. Guru dapat mengenalkan metode Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC) terhadap rekan sejawatnya, sehingga guru yang lain
juga dapat mempraktikkan metode ini dalam pembelajaran apresiasi cerita
pendek.
b. Guru sebaiknya memilih media, metode dan sumber belajar yang tepat
sesuai dengan materi yang akan diajarkan untuk mendapatkan hasil yang
maksimal.
c. Guru seharusnya cepat dalam beradaptasi dengan metode pembelajaran
yang baru, sehingga memperlancar proses pembelajaran.
d. Guru dapat mencari metode pembelajaran lain yang lebih inovatif dan
kreatif untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran serta
agar siswa tidak mengalami kejenuhan.
2. Bagi Siswa
a. Siswa sebaiknya lebih kritis dan terbuka terhadap hal-hal baru yang
mereka peroleh sehingga mampu menunjang proses dan hasil belajar
mereka di sekolah.
b. Siswa seharusnya mematuhi perintah guru selama perintah itu mampu
meningkatkan kemampuan mereka, sehingga proses pembelajaran dapat
berjalan dengan baik.
c. Siswa sebaiknya lebih aktif dan bersungguh-sungguh selama proses
pembelajaran berlangsung.
3. Bagi Sekolah
a. Pihak sekolah sebaiknya menyediakan media dan sumber pembelajaran
bahasa terutama buku-buku cerita pendek di perpustakaan agar dapat
meningkatkan pengetahuan siswa tentang materi ini.
b. Pihak sekolah sebaiknya semakin giat memberikan motivasi kepada guru
untuk terus mengembangkan diri dengan melakukan banyak penelitian.
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas guru dan keterampilan
mengajar guru.
c. Sekolah hendaknya memberikan kesempatan dan dukungan kepada
pendidik untuk menggunakan metode pembelajaran yang lebih bervariasi.
4. Bagi peneliti lain
a. Peneliti yang lain hendaknya mampu meningkatkan kualitas pembelajaran
dengan metode CIRC dengan mengembangkan strategi pembelajaran yang
berbeda, dan dapat berkolaborasi dengan guru secara optimal.
b. Peneliti lain diharapkan mampu menciptakan metode pembelajaran baru
yang lebih efektif dan efisien untuk meningkatkan kemampuan apresiasi
cerita pendek siswa.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi, Suhardjono, dan Supardi. 2006. Penelitian Tindakan Kelas.
Jakarta: Bumi Aksara
Arsyat, Maidar G., dkk. 1986. Kesusastraan II. Jakarta: Karunika
Baruadi, Moh. Karmin. 2005. “Profil Pengajaran Sastra: Wacana Pengajaran
Sastra Berbasis Kawasan”. Jurnal Pendidikan, Tahun Ke-1, No.053,
Maret 2005
Calderón, M., Hertz-Lazarowitz, R., Ivory, G., dan Slavin, R. E. 1997. Effects of
Bilingual Cooperative Integrated Reading and Composition on Students
Transitioning from Spanish to English Reading. United States of
America: The Center for Research on the Education of Students Placed
at Risk (CRESPAR)
Canadian Council on Learning. 2009. “Lesson in Learning”. Dalam
http://www.ccl-cca.ca/pdfs/LessonsInLearning/09_23_09EN.pdf.
diakses pada tanggal 31 Maret 2010
Cruickshank, Donald R, Bainer, Deboraf L, dan Metcalf, Kim K. 1999. The Act of
Teaching. United States of America: The Mcgraw-Hill Companies
Felder, Richard M dan Brent, Rebecca. 2007. “Cooperative Learning”. Dalam
http://www4.ncsu.edu/unity/lockers/users/f/felder/public/Papers/CLChap
ter.pdf. diakses pada tanggal 31 Maret 2010
Harnanto, Dick dan Rahmanto, B. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:
Kanisius
Haryaningsih, Eny. 2005. “Peningkatan Kemampuan Apresiasi Cerita Pendek
dalam Pembelajaran Sastra dengan Pendekatan Apresiasi Sastra (Sebuah
Penelitian Tindakan Kelas pada Siswa SMP Negeri 3 Nguter
Sukoharjo)”. Thesis. Surakarta: Program Pascasarjana UNS
(tidak diterbitkan).
Heri, Dwi Admojo, Sugianto, dan Sukamto. 2003. “Strategi Pembelajaran
Kooperatif dan Motivasi Belajar Siswa dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia”. Teknodika, Vol 1 No. 1, Maret 2003
Kessler, Carolyn. 1992. Cooperative Language Learning.: A Teacher Resource
Book. United States of America: Prentice Hall Regents
Kinayati. 2006. “Pesona Karya Sastra dalam Pendidikan dan Pengajaran”. Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, No.063, Tahun Ke-12, November 2006
Mulyasa, Enco. 2006. Kurikulum yang Disempurnakan: Pengembangan Standar
Kompetensi dan Kompetensi dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya
Musfiroh, Tadkirotun. 2008. Memilih, Menyusun dan Menyajikan Cerita untuk
Anak Usia Dini. Yogyakarta: Tiara Wacana
Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra.
Yogyakarta: PT. BPFE
--------------------------. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius
Roi’uddin, Ahmad dan Zuhdi, Darmiati. 2001. Pendidikan Bahasa Dan Sastra
Indonesia Di Kelas Tinggi. Malang: Universitas Negeri Malang
Sayuti, Suminto A. 1996. Apresiasi Prosa Fiksi. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan
Semi, M. Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya
Slavin, Robert E. 2008. Cooperative Learning: Teori, Riset dan Praktik.
Bandung: Nusa Media
Solihatin, Etin dan Raharjo. 2007. Cooperatif Learning: Analisis Model
Pembelajaran IPS. Jakarta: Bumi Aksara
Sudjana, Nana. 2005. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya
Sumantri, Mulyani dan Permana, Johar. 2001. Strategi Belajar Mengajar.
Bandung: Maulana
Suprayekti. 2006. “Stategi Penyampaian Pembelajaran Kooperatif”. Jurnal
Pendidikan Penabur, Tahun ke-V, No. 07, Desember 2006
Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning: Teori & Aplikasi PAIKEM.
Surabaya: Pustaka Pelajar
Supriyadi, dkk. 1992. Pendidikan Bahasa Indonesia 2: Buku II Modul 7-12.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Suroto. 1990. Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra untuk SMTA. Jakarta:
Erlangga
Suwandi, Sarwiji. 2008. Model Asesmen dalam Pembelajaran. Surakarta: Panitia
Sertifikasi Guru Rayon 13
Suwarto. 2009. “Upaya Peningkatan Kemampuan Membaca dan Menulis Siswa
dengan Metode Kooperatif Integrasi dan Komposisi (CIRC): Penelitian
Tindakan Kelas pada Siswa Kelas I SD Negeri I Eromoko Kecamatan
Eromoko Kabupaten Wonogiri”. Thesis. Surakarta: Program
Pascasarjana UNS (tidak diterbitkan)
Tarigan, Herny Guntur. 1993. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa
Toha, Riris K. dan Sarumpaet. 2002. Sastra Masuk Sekolah. Magelang: Indonesia
Tera
Waluyo, Herman J. 2006. Puisi Prosa Fiksi dan Drama: Bagian II. Surakarta:
Sebelas Maret Unuversity Press
Yudiono KS. 2000. Ilmu Sastra: Ruwet, Rumit, dan Resah. Semarang: Mimbar
Download