Bila Cinta Menyapa

advertisement
Bila Cinta Menyapa
Ditulis oleh Henry Sujaya Lie
Jumat, 17 April 2009 17:28
Ada satu saat saya tidur sampai malam bahkan subuh. Bukan, bukan, bukan
karena
ronda malam. Atau bukan karena belajar mau ujian. Bukan juga karena
kerja lembur.
Tapi karena lagi main SMS-SMS-an dengan penulis kondang yang
nulis rubrik 'Relung
Renung', Ayub Yahya.
Lalu-lintas SMS Jogja-Jakarta ini mulai gara-gara Ayub nanyain kenapa
ngga bi
sa ngakses website glorianet dari rumah. Padahal dari warnet
bisa, katanya. Wah,
kayak begini sih susah diselesaikan lewat SMS. Saya cuma
bisa bikin jawaban kira-kira
saja.
Seterusnya Ayub nanyain lagi apakah masih punya SMS yang isinya 'sadday,
moanday...' gituan, yang sempat beredar waktu hari Valentine kemarin.
H: "Wah sori brt, baru aja lima menit yang lalu aku hapus"
A: "Wah tolongin d hen, aku perlu bgt buat bhn presentasi bsk"
H: "Ok ini aku ingat sebagian tapi ngga ada hari selasa ama rabu."
A: "wah kok ga ada selasa-rabu-nya?"
H: "Ok..ok..aku coba cariin ke temen d. kalau ada reply ya.."
Sekian menit berlalu
A: "Beneran ya, hen..ni aku bth bgt"
Sekian menit berlalu. Tiba-tiba SMS saya berbunyi. Ada reply dari
'someone'.
H: "Without LOVE-dayz are "sadday, moanday, tearsday, wasteday, thirstday,
fightday, shatterday" so BE in LOVE everyday...."
A: "terpujilah engkau di antara para wanita, hen...sekarang seperti simeon...aku dapat menutup
mata dengan tenang..."
Apa maksudnya, lagiiiiii...??? Dan setelah berbagai blok-blok SMS lainnya
terpaksa disensor percakapan pun berlanjut ke....
yang
A: ".....mungkin cinta itu jodohmu atau.....deritamu?"
H: "Pabila cinta memanggilmu ikutilah dia, walau di balik sayapnya tersembunyi
pedang."
Dengan gagah berani saya mengutip Kahlil Gibran tentang cinta.
A: "anakku, mencintai itu bukan hanya pake rasa tapi juga logika, kalau udah
ada pedang ngapain diikutin?"
lagi...
A: "spt tio sam hong berkata pd tio boe ki. tutuplah mata dan telingamu dan
dengarlah bisikan hatimu."
1/3
Bila Cinta Menyapa
Ditulis oleh Henry Sujaya Lie
Jumat, 17 April 2009 17:28
Aha...sang suhu mulai memainkan jurus Bu Tong Pay.
H: "udah, ni...kututup mata dan telinga, malah mau kesrempet bajaj. "
****
Cinta buat saya yang sudah setua (udah ngerasa tambah tua sih sejak Februari
ini) ini, ternyata masih misteri. Uh! Tak saya sangka saya masih belum dapat
memecahkan misterinya yang paling sederhana. Satu topik yang suka ditanyain
anak-anak remaja, "Apakah jodoh itu lingkaran (circle) atau titik (dot)?".
Jadi kalau
lingkaran berarti Allah tidak 'menjodohkan' kita dengan seseorang
tetapi membebaskan
kita untuk memilih asalkan dalam batas lingkarannya yaitu seiman. Atau kalau teori
'dot' berarti Allah telah menentukan satu
titik - yaitu seseorang - untuk menjadi jodoh
kita. Marriage made in heaven,
kata orang Amrik.
Demikian juga soal cinta. Apakah cinta itu murni pilihan dan ciptaan kedua
belah pihak atau ada unsur-unsur ajaib seperti 'Invisible Hand'? Kalau dalam
dunia
filsafat akhirnya terjebak dalam dua arus besar, filsafat naturalisme
dan filsafat
eksistensialisme. Bahkan dalam dunia teologi juga, teologi
naturalisme dan
eksistensialisme.
Kahlil Gibran pernah menulis, "Cinta tak akan muncul dari lamanya hubungan
atau persahabatan. Sekiranya dia tak bertunas pada pertemuan pertama, dia
tak akan
pernah muncul sekalipun sampai bergenerasi-generasi." (Uh, yang
jelas Gibran bukan
orang Jawa - yang bilang 'witing tresno jalaran seko
kulino').
Lalu dia mengatakan pula, "If you love someone, set her free. If she is
she will come back to you."
yours,
Yah, bagaimanapun interpretasinya, yang jelas Gibran berusaha menggambarkan
adanya suatu misteri terciptanya cinta yang di luar kuasa kita. Ya, di luar
kuasa kita.
Karena katakanlah kita bisa memaksa menciptakan cinta dalam diri
kita, kita toh tidak
dapat menciptakan cinta dalam diri orang lain, kan?
Jadi yah cinta tercipta dalam misteri
- orang boleh menamainya chemistry
atau jodoh, atau apa saja - yang jelas sesuatu
yang tak dapat engkau rengkuh
dalam telapak tanganmu. Kalau memang jodoh tentu
deh, dia akan datang
padamu....kalau kagak....yah...mending bobok aja deh....
Nah, itu Gibran yang mungkin mewakili The Naturalist. Selanjutnya
tokoh
eksistensialis yang mewakili kita adalah Soren Abye Kierkegaard.
Dialah Bapak Teolog
sekaligus Filsafat Eksistensialisme, karena pengaruhnya
bukan hanya bagi dunia
teologi Kekristenan tetapi juga bagi filsafat
sekuler. Jarang terdengar memang di dunia
teologi kita yang didominasi
teologi naturalisme Calvinisme, terutama di Indonesia.
Sebut saja beberapa
orang yang saya kenal yang menghargai teolog ini cuma
beberapa, seperti
dekan saya di SBC dan Joas Adiprasetya, dosen STTJ. Tak urung dia
salah satu
pemikir favorit saya, walau saya tak mampu memahaminya sepenuhnya.
2/3
Bila Cinta Menyapa
Ditulis oleh Henry Sujaya Lie
Jumat, 17 April 2009 17:28
Bagi Kierkegaard hidup ini benar-benar pilihan dan setiap pilihan menanggung
konsekuensinya. Kierkegaard belajar untuk mengendalikan situasi dan membuat pilihan sejak
masih SD ketika ayahnya menugaskan dia, bahwa dia harus menjadi juara 2 di kelasnya.
Kierkegaard adalah seorang jenius, menjadi juara 1 adalah soal sepele bagi dia. Namun untuk
menjadi juara 2 dia harus menganalisa situasi dan mengendalikannya, karena dia harus tahu
siapa kira-kira yang berada di belakang dan depannya, supaya dia bisa pas menjadi juara ke 2.
Demikian juga cinta pertamanya pada Regina. Kierkegaard mempelajari dan menganalisa
Regina sedemikian rupa sejak Regina masih remaja! Jadi dia telah memilih Regina dan dengan
kemampuan analisanya yang hebat dia mampu menciptakan suatu keadaan sehingga Regina yang adalah putri bangsawan - bersedia menerimanya sebagai tunangannya. (Sayang
pertunangan mereka kemudian gagal, karena Kierkegaard memutuskan Regina, dengan
pertimbangan dirinya tidak cukup baik bagi Regina).
****
Saya bertanya-tanya apakah fatwa Gibran dapat ditawar? Jika cinta itu tak
pernah bertunas pada pertemuan pertama di satu pihak, bolehkah di pihak yang
bertunas mati-matian menabur benih? Namun saya juga tidak akan pernah
sanggup
untuk menggunakan strategi Kierkegaard, karena bagi saya cinta itu
juga adalah
kejujuran, apa-ada-nya, persahabatan dan ketulusan. Walaupun
apa-ada-nya kita, kita
tahu bukan yang akan membuat seseorang tertarik. Saya
tidak dapat memalsukan
pemikiran, penampilan, sikap dan hobi untuk 1-2 kali
pertemuan pertama, walau kalau
perlu saya rela menggunakan seluruh sisa
hidup saya untuk mengubahnya menjadi
yang sesungguhnya. Kalau sudah begini,
mungkin cuma bisa menghibur diri dengan
fatwa Gibran, "If she is yours, she
will come back..."
Kierkegaard toh akhirnya berani membuat keputusan untuk melepas Regina
karena pada saat itu dia percaya bahwa dia bisa mencelakakan Regina (suatu
dugaan
yang salah). Dia berkorban dengan menciptakan situasi seolah-olah itu
terjadi karena
dia sendiri adalah seorang bajingan, demi melindungi nama
baik Regina. Hanya catatan
hariannya yang mengerti pedihnya depresinya.
Cinta harus melepas juga, kalau kita
percaya itu yang terbaik bagi yang
dicintai....
Baik Gibran dan Kierkegaard adalah sama-sama melankolik berat, mati muda dan
akhirnya tidak pernah menikah.
Mungkin makanya solusinya perlu saya tanyain ke suhu saya dari Bu Tong Pay,
yang sudah beranak tiga.
****
Djakarta, 24 Feb 2004
3/3
Download