Jomblo Seribu Tahun Ditulis oleh Henry Sujaya Lie Jumat, 17 April 2009 17:29 "Aku kan menunggu walaupun seribu tahun lagi..." Sepenggal lirik lagu ini sempat populer beberapa tahun belakang, yang dinyanyikan penyanyi negeri jiran yang manis, Siti Nurhaliza. Syukurlah Siti cuma main-main dengan ancamannya, jika tidak tentu akan banyak yang kecewa kalau Siti yang manis itu harus terus menjomblo selama seribu tahun, atau notabene seumur hidupnya. Ada banyak alasan kenapa orang tetap menjomblo. Dari sekian ribu alasan ada sebuah alasan melankolik bin sentimental, yaitu karena tetap menanti si dia. Karena sekali jatuh cinta, cintanya abadi terikat pada si dia, walau cinta itu tidak atau belum dapat bersatu, entah karena bertepuk sebelah tangan atau karena takdir yang tragis memisahkan. Kedengarannya konyol. Tetapi ada banyak kisah nyata tentang ini. Ada seorang bapak yang baru menikah di usia senja karena yang dicintainya keburu menikah dengan orang lain, dan dia benar-benar menunggu sampai si wanita akhirnya jadi janda. Atau ah, mungkin mestinya bukan budaya yang aneh buat kita, kan slogan ini bisa kita temukan di pantat truk-truk di seantero Nusantara - "Kutunggu Jandamu...!". Jadi bolehlah kita mengajukan tesis bahwa kultur orang Indonesia adalah sangat romantis dan setia...hehe :) Apakah menanti adalah alasan yang sah bagi seseorang untuk tetap menjomblo? Tentu jawabannya bukan, bagi orangtua yang biasanya kebelet kalau melihat anak daranya belum juga menikah, sementara dengungan tetangga mulai kedengaran. Mungkin juga bukan bagi para high-flier yang memandang pernikahan sebagai sesuatu yang praktis dan saling menguntungkan. Seperti halnya bisnis, jika satu deal ngga goal, tinggal besarin sales pipe-line dan cari prospek yang lain. Atau apakah benar ada suatu kesejatian cinta dan takdir seperti yang pernah diliris oleh Kahlil Gibran, "If you love someone set her free, if she is yours she will come back to you"? [Maksudnya bukan hanya "her" tapi "him" juga, ya.]. Apakah fatwa Gibran masih berlaku? Berikut adalah tanggapan dari sekitar masyarakat yang mudah-mudahan jawabannya cukup jujur, paling tidak kalau dibandingin jujurnya para jurkam. Adji (30-an, pedagang Glodok) : "Pede amat sih. Kaya ngga ada cowok dunia ini!" lain di Sahala (netter milis): "Hiks mengharukan sekali" Nadya Effendi (20-an, ibu rumah tangga): "Buat gue hanya orang-orang yang kalah aja yang menghilang ketika orang yang dicintai ´terbang´ atau ´diterbangkan´. Orang-orang ini termasuk orang-orang yang patut dikasihani dan dibuat benjol sampe sadar!!!" 1/4 Jomblo Seribu Tahun Ditulis oleh Henry Sujaya Lie Jumat, 17 April 2009 17:29 Grace (21, penulis dan mahasiswi Sastra): "Lha kalau si cewek juga you love someone set him free, terus kapan ketemunya?" bilang if Mbak Suti (23, pramuwisma di Bandung, asal dari Klaten): "Wah, mas...saya 'ndak ngerti lah. Sing penting ya dapet suami sing baik hatinya, 'ndak judi, 'ndak mabok-mabokan, n'dak maen perempuan, yo wis." Mang Solihin (52, pedagang nasi goreng gerobak di Kelapa Gading): "Mamang mah dulu dijodokeun. Yah, alhamdulillah akur-akur aja, neng. Yang penting mah hirup dijalanin ajah, ulah loba dipikiran wae, naon wae nu aya...." Angel (3, murid kursus komputer Computrain): "Apaan cih cinta? Hik Henli lagi cakit yah?' Sasono (49, Vice President Director perusahaan konglomerat) : "Mbok, itu ya jangan milih-milih" hik..ko kamu Melida (27, dokter): "Aaaah, pokoknya saya ngga mau mikirin!" Ayub Yahya (30-an, pendeta dan penulis): "Yang paling baik hidup ini sajalah, berjalanlah dengan iman..." [dalam bukunya "Atas Nama Cinta"]. mengalir **** Cinta, ah, semua orang dari Mbak Suti sampai Kahlil Gibran harus setuju bahwa itu merupakan sepotong misteri. Sepotong teka-teki yang diwariskan kepada anak manusia untuk bermain-main. Jatuh cinta adalah letupan perasaan. Seperti sifat letupan, demikian itu merupakan suatu perasaan sesaat. Setiap orang yang sedang dibara jatuh cinta dapat dengan mudah dan (rasanya) jujur untuk berjanji untuk menanti sampai seribu tahun. Namun cinta dan jatuh cinta adalah dua hal yang berbeda walaupun terkait. Cinta adalah keputusan, pilihan dan komitmen. Jatuh cinta adalah seperti emosi yang meluap seperti ketika seorang anak kecil pertama kali mencicipi es krim. Namun demikian fenomena jatuh cinta itu sendiri adalah suatu misteri dan tidak melulu negatif tapi merupakan bagian yang integral dari sebuah cinta sejati. Jadi apakah sah alasan menjomblo karena alasan seribu tahun? Jawabannya perlu kita tanyakan dengan jujur kepada diri sendiri? Apa yang mendorong kita untuk mengambil keputusan itu? Mengapa kita rela menanti 1000 tahun dan tidak sanggup berpisah dengannya? Apakah karena kita merasakan suatu ketergantungan yang mendalam kepada dia dan merasa seolah-olah hidup ini hampa, bahkan tidak dapat hidup tanpa dia. Jika karena ini, sayang sekali. Seseorang yang mencintai adalah seseorang yang dewasa yang sanggup untuk hidup secara mandiri untuk dirinya, dan juga untuk membangun orang lain. Itulah sebabnya ketika dia mencintai 2/4 Jomblo Seribu Tahun Ditulis oleh Henry Sujaya Lie Jumat, 17 April 2009 17:29 seseorang berarti dia harus mampu membangun dan dibangun kekasihnya. Seringkali kerapuhan pribadi disamarkan atas nama kesetiaan cinta. Karena tidak bisa bersatu dengan yang dicintai lalu merasa tidak ada gunanya lagi untuk hidup, padahal sesungguhnya untuk mencintai seseorang harus kuat untuk hidup mandiri dan menopang paling tidak dirinya sendiri. Jika tidak, bagaimana hendak menopang yang dicintai? Mungkin juga penantian 1000 tahun adalah perwujudan dari pelarian diri dari kenyataan. Alami sekali, kalau setiap manusia sebetulnya enggan menghadapi kenyataan yang pahit. Ketika cinta tak berbalas, kita merasa lho kok, hidup ini skenarionya tidak sama dengan cerita tentang putri dan pahlawan di Castle in the Sky. Lalu kita menolak kenyataan dan lebih suka hidup dalam dunia fantasi kita sendiri, yang lebih indah daripada Akademi Fantasi. Dan pertanyaan yang paling mendasar yang perlu ditanyakan sebetulnya, kenapa kita rela menungggu seribu tahun? Apakah karena kitalah yang sebetulnya sangat membutuhkan dia? Apakah kalimat "aku mencintaimu" sebetulnya adalah tidak lain sebetulnya demi diri sendiri, supaya kita bisa diuntungkan dan berbahagia kalau "jadian" dengan si doi. Padahal esensi cinta adalah sebetulnya tidak menginginkan apapun kecuali kepenuhan cinta itu sendiri. Kalau yang beginian maka akan bahaya sekali kalau masuk ke pernikahan. Banyak orang menganggap pernikahan adalah akhir dari tujuan, yaitu tadi, akhir dari tujuan mengejar-ngejar dan menanti selama "seribu tahun". Padahal itu baru awal dari sebuah perjalanan baru yang panjaaaaaang. Ketika saya remaja, saya suka cerita "Sam Pek Eng Tay" dimana dengan mengharukan sepasang sejoli akhirnya mati dan cuma bisa bersatu di dalam makam. Ayah saya cuma nyeletuk, "Ah, sebetulnya kalau mereka sampai jadian menikah pasti kisahnya tidak akan seromantis seperti cerita itu..." Waktu itu saya jengkel mendengarnya, namun kini memahami maksudnya. Pernikahan bukan selalu gambaran yang indah dimana sang pangeran akan menjemput sang putri dengan kuda putihnya, lalu mereka berdua pergi berkuda selama-lamanya dengan romantis. Dalam hidup nyata, sang pangeran harus menghadapi masalah bagaimana mengongkosi perjalanan mereka, bagaimana ketika sang putri ngambek karena bosan naik kuda, dst...dst.... Kalau penantian cinta hanya sekedar proyeksi dari "I love myself", sayang sekali. **** Jadi apakah benar menjadi jomblo seribu tahun demi cinta. Jawaban yang benar tentu hanya Tuhan dan yang mengalami yang tahu. Asalkan kita jujur pada diri sendiri, dan mengerti kalau cinta adalah sebuah pilihan dan keputusan. Bukan sekedar luapan emosi, bukan sekedar pelarian, bukan sekedar khayalan keindahan dunia fantasi. Dan seperti Gibran bisikkan, "Manusia tidak dapat menuai cinta sampai dia merasakan perpisahan yang menyedihkan dan yang mampu membuka pikirannya, merasakan kesabaran yang pahit dan kesulitan yang menyedihkan." Dan -terakhir seperti kata Ayub Yahya, di mana pun kita hinggap ada misi yang Tuhan embankan buat kita. 3/4 Jomblo Seribu Tahun Ditulis oleh Henry Sujaya Lie Jumat, 17 April 2009 17:29 **** Jakarta, 07 April 2004 Untuk Senopati Cinta, Ayub Yahya. Dan untuk my buddy. 4/4