BAB X. MIKROBIOLOGI DALAM PENAMBAHAN ZAT PENGAWET PADA BAHAN PANGAN Berdasarkan kemampuannya membunuh mikrobia, maka dapat dikelompokkan sebagai germisida (membunuh semua jenis mikrobia), fungisida (membunuh jamur-kapang), bakterisida (membunuh bakteri), sporisida (membunuh spora), dan virisida (membunuh virus). Sedangkan yang menghambat atau menunda pertumbuhan mikrobia dikelompokkan sebagai fungistatik atau bakteriostatik. Bahan anti mikrobia ini tidak dapat membunuh secara sempurna seluruh mikrobia atau mencegah pertumbuhan mikrobia dalam waktu lama selama penyimpanan. Ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mengevaluasi kecocokan agen anti mikrobia sebagai bahan pengawet makanan, di antaranya sifat anti mikrobia, kecocokan untuk diterapkan pada bahan pangan dan kemampuan untuk memenuhi persyaratan peraturan yang berlaku. Untuk sifat anti mikrobia, senyawa yang bersifat membunuh, (sidal) lebih dipilih daripada yang mengendalikan pertumbuhan (statik). Demikian halnya, suatu senyawa yang memiliki spektrum anti mikrobia yang luas akan dapat efektif melawan berbagai tipe mikrobia yang ada di dalam bahan (kapang, khamir, bakteri, dan virus). Senyawa yang efektif tidak hanya melawan sel vegetatif tetapi juga melawan spora juga akan dipilih. Agar sesuai untuk aplikasi di dalam bahan pangan, bahan pengawet tidak hanya memiliki sifat anti mikrobia yang diinginkan, tetapi juga tidak mempengaruhi kualitas dari bahan pangan tersebut (tekstur, flavour, atau warna). Bahan tersebut juga tidak berinteraksi dengan komponen pangan yang menjadikannya inaktif. Bahan tersebut juga diharapkan memiliki sifat anti mikrobia yang tinggi pada pH, Aw, Eh, dan suhu penyimpanan bahan pangan. Senyawa tersebut dituntut stabil selama penyimpanan bahan pangan, ekonomis, dan tersedia di pasaran. Bahan pangan dapat mengandung senyawa anti mikrobia melalui tiga cara, yaitu secara alamiah terdapat pada bahan pangan terbentukselama proses atau fermentasi, atau ditambahkan sebagai ingredient. Bahan pangan yang ditambahkan harus mendapatkan persetujuan dari badan yang berwenang, dan memenuhi Generally Recognized As Safe (GRAS/bahan pengawet yang aman dikonsumsi), contoH asam sorbat. Beberapa bahan pengawet yang diakui aman ialah asam propionat, asam sorbat, asam benzoat, paraben, SO2/Sulfit, etilena/propilena oksida, natrium diasetat, asam dehidroasetat, natrium nitrit, asam kaprila, dan etil format. Beberapa bahan pengawet makanan, batas toleransi maksimum dan jenis mikrobia yang dipengaruhi serta contoh bahan pangannya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 10.1. Bahan Pengawet Makanan yang Aman (GRAS) Bahan pengawet Toleransi maksimum Mikrobia dipengaruhi yang Bahan pangan Asam propionat/propionat 0,32% Asam sorbat/sorbat 0,2% Asam benzoat/benzoat 0,1% Kapang Kapang Kapang, khamir Paraben 0,1% Kapang SO2/Sulfit 200-300 ppm Insekta, mikrobia Etilena/Propilena oksida 700 ppm Kapang, khamir Sodium diasetate Asam dehydroasetate 0,32% 65 ppm Natrium nitrit Ethyl Format 120 ppm 15-200 ppm Jamur/kapang Insecta Clostridia Khamir dan kapang Roti/cake, keju Keju, sirup, jeli, cake Margarin, pikel, soft drink, apple cyder Pikel, soft drink, salad dressing, produk bakery Tetes, buah yang dikeringkan, wine, jus lemon Fumigan untuk rempahrempah/bumbu, kacangkacangan Roti Pestisida pada stroberi, squash Daging curing Buah-buahan yang dikeringkan, dan kacangkacangan A. Nitrit (NaNO2 dan KNO2) Natrium nitrat (NaNO3) dan Natrium nitrit (NaNO2) digunakan dalam curing daging karena dapat menstabilkan warna daging merah, menghambat beberapa mikrobia perusak dan penyebab keracunan, serta mengembangkan flavor. Agen curing yang mengandung nitrit, dan bersama NaCl, gula, bumbu, askorbat, dan eritorbat diijinkan untuk digunakan pada olahan ikan, ternak, daging yang diproses dengan pemanasan untuk mengendalikan pertumbuhan dan produksi toksin oleh C. botulinum. Nitrat dan nitrit juga digunakan pada keju di negara-negara Eropa untuk mencegah penggelembungan gas oleh C. butyricum dan C. tyrobutyricum. Aksi nitrit sebagai antimikrobia dimungkinkan karena kemampuannya bereaksi dengan beberapa enzim sel vegetatif dan germinasi spora, pembatasan penggunaan zat besi pada bakteri, terlibat dalam permeabilitas membran yang membatasi transpor nutrien. Nitrit pada kadar 200 ppm dapat menghambat S. aureus, Pseudomonas, dan Enterobacter spp., meskipun pada konsentrasi tersebut Lactobacillus dan Salmonella spp. masih tahan. Efek antibakteri dari NO2 dapat ditingkatkan pada pH lebih rendah (5-6), adanya agen peruduksi (askorbat, erithorbat, sistein) dan sorbat. Batas penggunaan NO2 di USA sebesar 156 ppm. Efek NO2 juga dapat ditingkatkan dengan penurunan Aw dan Eh yang rendah. Pada produk daging yang curing, NO2 bereaksi dengan mioglobin untuk membentuk warna pink yang stabil (nitrosil hemochrom) selama pemanasan. Pada bacon (daging babi yang diasinkan dan dikering) , nitrit dapat menyebabkan pembentukan senyawa karsinogenik (nitrosoamin). Karena itu, terdapat kecenderungan menurun penggunaannya atau menggunakan pengawet lainnya untul mengkontrol C. botulinum pada produk daging yang dipanaskan suhu rendah. B. Sulfur Dioksida (SO2) Dan Sulfit (SO3) Sulfur dioksida, Natrium sulfit (NaSO3), natrium bisulfit (NaH SO3), dan Natrium metabisulfit (Na2S2O5) digunakan untuk mengendalikan mikrobia (dan insekta) pada soft fruit, jus buah, jus lemon, minuman, wine, sosis, pickle, sari buah anggur, soft drink, udang, dan udang segar. Akhir-akhir ini, senyawa tersebut tidak diijinkan untuk ditambahkan pada daging di USA karena merusak vitamin B1. Zat ini efektif melawan kapang dan khamir daripada bakteri dan di antara bakteri, bakteri Gram negatif berbentuk batang pendek, dan aerob bersifat paling peka. Aksi antimikrobianya ditunjukkan oleh asam sulfur yang tak terdisosiasi yang secara cepat masuk ke dalam sel dan bereaksi dengan gugus tiol pada protein struktural, enzim-enzim dan kofaktor, dan komponen seluler lainnya. SO2 bereaksi dengan atau merusak struktur protein enzim, lemak, asam nukleat, vitamin dan sebagainya, sehingga kematian cel merupakan akibat kombinasi kerusakan komponen sel tersebut. Pada pH rendah (≤ 4,5) dan Aw rendah , efek fungisidalnya sangat kuat. Pada bakteri, zat ini efektif pada pH tinggi (≥ 5) tetapi mungkin bersifat bakteriostatik pada konsentrasi lebih rendah dan bakteriosidal pada konsentrasi lebih tinggi. Konsentrasi yang digunakan pada pangan bervariasi di beberapa negara, di USA diijinkan penggunaannya pada konsentrasi 200-300 ppm. Sulfur oksida dan sulfit juga digunakan sebagai antioksidan pada sayuran dan buah-buahan segar dan dikeringkan untuk mencegah pencoklatan (browning). Mengingat sifatnya yang dapat menggangu pernafasan dan menimbulkan alergi, maka produk pangan yang menggunakan senyawa tersebut perlu dicantumkan pada kemasan. Gas SO2 dapat diberikan dalam bentuk garam sulfit, bisulfit atau metabisulfit. Campuran garam tersebut dengan air akan sangat tergantung pada pH, dan sangat penting pengaruhnya terhadap sifat antimikrobianya. Pengaruh SO2 terhadap mikrobia sangat tergantung dari bentuk molekul dan dengan senyawa lain. SO2 dapat memikat senyawa organik : aldehid, keton, gula, enzim, vitamin,dan lemak. Hasil dari pengamatan diketahui pada pH < 4, SO2 lebih efektif 1000 kali terhadap E.coli dan 500 kali lebih aktif terhadap khamir dibandingkan dalam bentuk sulfit atau bisulfit. % Total SO2 - = HSO3 SO2 SO3 SO2 - HSO3 = 2 4 6 8 SO3 pH SO2 Bisulfit (HSO3) pH asam Sulfit (SO3) pH basa C. H2O2 Beberapa bakteri asam laktat (BAL) menghasilkan H2O2 pada kondisi aerob pada pertumbuhannya, karena kekurangan katalase, pseudokatalase, atau peroksidase. Beberapa strain BAL dapat memproduksi cukup banyak sampai dapat bertindak sebagai bakteriostatik (6-8 µm/ml), tetapi jarang sebagai bakterisidal (30-40 µm/ml). H2O2 merupakan agen pengoksidasi yang kuat dan dapat sebagai antimikrobia terhadap bakteri, fungi, dan virus. Larutan H2O2 (0,05-0,1%) direkomendasikan sebagai agen antimikrobia pada susu mentah yang digunakan pada proses pembuatan keju, telur cair untuk memudahkan destruksi Salmonella dengan pasturisasi suhu rendah, bahan pengemas yang dipakai dalam pengepakan aseptik makanan, dan peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan makanan. Penggunaan H2O2 diijinkan pada telur cair dan susu mentah refrigerasi (sekitar 25 ppm) untuk mengontrol bakteri perusak dan patogen. Sebelum pasteurisasi bahan tersebut, enzim katalase (0,1-0,5 / 1000 lb) ditambahkan untuk menghilangkan residu H2O2. H2O2 beraksi sebagai agen pengoksidasi yang kuat dan merusak komponen sel, terutama membran. Katalase akan menghidrolisis H2O2 menjadi air dan oksigen. Sifat pengoksidasinya yang kuat tersebut, dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan dalam pengolahan pangan, misalnya terjadi discolorisasi pada daging yang diolah. Oleh karenanya dibatasi penggunaannya. H2O2 telah digunakan untuk memodifikasi tepung serat tanaman dari jerami untuk makanan rendah kalori, serta untuk pemutih dan pewarna pada biji-bijian, cokelat, teh instan, ikan, bungkus sosis, dan untuk mengurangi sulfit pada wine. Di masa mendatang, penggunaan H2O2 pada bahan pangan diperkirakan terus meningkat. D. Epoksida (Etilena Oksida dan Propilena Oksida) Etilena oksida dan propilena oksida digunakan sebagai fumigan untuk membunuh mikrobia, (dan serangga) pada biji-bijian, bubuk cokelat, gum, kacang-kacangan, buahbuahan yang dikeringkan, dan bahan pengemas. Bahan tersebut bersifat germisidal dan efektif melawan sel, spora, dan virus. Etilena oksida bersifat lebih efektif. Bahan tersebut merupakan agen alkylating dan dapat bereaksi dengan berbagai gugus (-SH, -NH2, dan – OH) di dalam makromolekul seluler, khususnya protein struktural dan enzim, dan berakibat merugikan dari fungsinya. Zat tersebut juga dapat bereaksi dengan beberapa komponen makanan, seperti klorida, dan membentuk senyawa racun yang menjadi residu pada bahan makanan. Epoksida bersifat toksik pada konsentrasi tinggi tinggi (sebagai residu), khususnya pada orang yang sensitif. Etilena oksida pada kadar > 100 ppm dapat membahayakan manusia. Senyawa ini bersifat mengiritasi mata dan merusak kulit, mudah terbakar. Efektivitasnya dipengaruhi oleh kadar gas, suhu, RH, dan sifat bahan pangannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kematian Salmonella senftenberg, E.coli dan C. botulinum karena terjadi perusakan guanin dan adenin pada komponen DNA sel. Kelemahan penggunaan etilena oksida ialah adanya hidrolisa residu etilena oksida ialah etilena glicol dan etillena khlorohidrin yang bersifat toksik (batas residu dalam BM tidak lebih dari 50 ppm), dan dapat merusak vitamin dan asam amino essensial. Terdapat 3 kelompok mikrobia berdasarkan sensifivitasnya terhadap etilena oksida, yaitu : 1. Kapang dan khamir bersifat tidak tahan 2. Bakteri tidak membentuk spora/sel vegetatif memiliki 2 kali lebih tahan daripada kapang dan khamir 3. Spora bakteri memiliki 10 kali lebih tahan daripada sel vegetatif Propilena oksida, sebagaimana etilena oksida, tetapi kurang aktif dan kurang volatil. Zat ini dapat digunakan sebagai sterilisasi dan efektif apabila dipakai kadar 800 – 2000 ppm. Kematian mikrobia akibat propilena oksida mirip dengan pada etilena oksida. Keunggulannya ialah hasil degradasi propilen oksida berupa propilen glikol yang bersifat tidak toksik, dan dapat digunakan sebagai humektan. Senyawa ini lazim digunakan pada pati, biji-bijian, dan coklat, serta residu maksimal yang diizinkan sebesar 300 ppm. Tabel 11.6. Nilai D value mikrobia pangan dari 4 sterilan kimia Da Kadar Hidrogen peroksida C. botulinum 169 B 0.03 35% B. coagulans 1.8 26% B. stearothermophilus 1.5 26% B. subtilis ATCC 95244 1.5 20% B. subtilis A 7.3 26% Ethylene oxide C. botulinum 62A 11.5 700 mg/L C. botulinum 62A 7.4 700 mg/L C. sporagenes ATCC 7955 3.25 500 mg/L B. coagulans 7.0 700 mg/L B. coagulans 3.07 700 mg/L B. stearothermophilus ATCC 7953 2.63 500 mg/L L. brevis 5.88 700 mg/L M. radiodurans 3.00 700 mg/L Sodium hypochlorite A. Niger conidiospores 0.61 20 ppmc A. Niger conidiospores 1.04 20 ppmc A. Niger conidiospores 0.31 20 ppmc Iodine A. Niger conidiospores 0.86 20 ppmc A. Niger conidiospores 1.15 20 ppmc A. Niger conidiospores 2.04 20 ppmc Organisme SuhuoC Kondisi 88 25 25 25 25 40 RH 47% 40 RH 23% 54.4 40% RH 40 33% RH 60 33% RH 54.4 40% RH 30 33% RH 54.4 40% RH 20 20 20 pH 3.0 pH 5.0 pH 7.0 20 20 20 pH 3.0 pH 5.0 pH 7.0 E. CO2 Gas CO2 biasanya ditambahkan atau digunakan pada modified Atmosphere Packaging (MAP). Metode ini diterapkan untuk mengontrol atau mengurangi pertumbuhan mikrobia yang tidak dinginkan pada bahan pangan. Teknik ini juga membantu menunda aktivitas enzim dan respirasi pada bahan segar. Pertumbuhan mikrobia aerob (kapang, khamir, dan bakteri aerob) dicegah pada produk pangan yang dikemas vakum (vacuum packaged) atau dihembus (flushed) dengan 100% CO2, 100% N2 atau campurannya. Meskipun demikian, bakteri anaerob dan fakultatif anaerob, dapat tumbuh, kecuali teknik lain digunakan untuk mengontrol pertumbuhannya. Aksi antimibrobia pada MAP pangan ditunjukkan adanya perubahan potensial redoks (Eh) dan konsentrasi CO2. Mikrobia fakultatif anaerob tumbuh pada kisar Eh yang lebar. Pengemasan vakum dan penghembusan gas, terutama CO2, N2, atau campurannya, tanpa O2, tidak mendukung pertumbuahan mikrobia aerob, tapi dapat mendukung pertumbuhan fakultati anaerob dan anaerob. Gas flushing dengan CO2 dan N2 digunakan dan beberapa kasus pada daging segar bersama dengan gas oksigen digunakan gas campuran. Gas Nitrogen sebagai pengisi inert, sedangkan oksigen memberikan warna oksimiogloblin merah pada daging dan CO2 sebagai antimikrobia. Kadar serendah 20% CO2 diketahui mengendalikan pertumbuhan bakteri anaerob; Pseudomonas, Aerobacter, dan Moraxella, meskipun umumnya digunkan pada kadar 40-60%, bahkan beberapa kasus digunakan 100% CO2. CO2 digunakan sebagai pengawet karena bersifat tidak toksik pada manusia sampai kadar < 20%, umumnya disimpan dalam silinder bertekanan : 50 kg/cm2 atau dry ice, dan telah banyak digunakan dalam jenis minuman, sayuran dan buah-buahan. Sensitivitas mikrobia bervariasi bergantung dari jenisnya, Bacillus, Enterobacteri, Flavobacterium,dan Micrococcus tahan hidup 100% CO2, selama 4 hari pada suhu kamar, sedangkan Proteus, Lactobacillus, C. perfringens tidak tahan. Pada konsentrasi 5 -50% CO2, jamur dan khamir terhambat, sedangkan pada 10% CO2 pada umumnya terjadi penurunan 50% jumlah mikrobia. Penghambatan oleh CO2 akan meningkat dengan penurunan suhu simpan, sehingga umur simpan produk dapat lebih lama. Pengaruh suhu penyimpanan dan kadar CO2 terhadap laju pertumbuhan bakteri psikrofil Kecepatan pertumbuhan dapat dilihat pada gambar berikut. o o 10 C 20 C o 5C Kadar CO 2 Beberapa usulan yang menjelaskan mekanisme penghambatan CO2 terhadap mikrobia ialah karena terdesaknya O2 oleh penggunaan CO2, adanya CO2 pada bahan akan mengakibatkan bentuk H2CO3 (asam karbonat) dan merubah pH produk, metabolisme suksinat terhambat pada konsentrasi ≥ 20% CO2 pada P.aerogenosa dan R. nigrificans, CO2 merusak membran sel mikrobia dan menginaktivasi enzim dekarboksilase. Penggunaan CO2 sebagai bahan pengawet bahan pangan ditambahkan pada vacum packaged meat dengan kadar 10 -30 % CO2 di dalam kantong plastik dan disimpadan pada 5oC ternyata dapat mengawetkannya. Bakteri yang masih tahan pada kondisi tersebut ialah bakteri laktat, tapi tidak membentuk “off odor” pada penyimpanan 0-5 0C. Controlled atmosphere storage (CA) diterapkan pada transportasi daging, sayuran dan buah segar dengan 5 – 20% CO2 dapat menghambat Acinetobacter dan Moraxella, juga proses fisiologi (respirasi, pematangan / maturasi). Carbonated beverages pada soft drink dengan tekanan CO2 sebesar 3 – 5 atm mematikan pertumbuhan mikrobia perusak dan patogen. Kecepatan kematian sel tergantung dengan tekanan CO2 dan kadar gula pada soft drink. Pada kadar gula tinggi bersifat protektif terhadap sel. F. Ozon (O3) Industri pangan, kini memerlukan teknologi pengolahan yang inovatif agar memenuhi permintaan konsomen akan produk yang siap makan (ready-to-eat) lebih segar dan aman. Disamping pengolahan dengan tekanan tinggi dan medan listrik bergetar, penggunaan ozon merupakan alternatif yang telah banyak digunakan oleh industri pangan. Food and Drug Administration USA telah menyetujui ozon sebagai tambahan makanan langsung untuk perlakuan, penyimpanan, dan pengolahan pangan, baik dalam bentuk gas maupun cair. Ozon merupakan sanitizer yang potensial karena kelebihannya akan mengalami auto-dekomposisi secera cepat dan menghasilkan oksigen, sehingga tidak meninggalkan residu pada bahan pangan. Ozon (O3) hasil dari penyusunan atom-atom apabila molekul oksigen diperlakukan pada listrik bertegangan tinggi. Produknya berupa gas berbau menyengat dan memliki sifat sebagai pengoksidasi yang kuat. Ozon secara relatif tidak stabil pada larutan cair (aqueous). Ozon terdekomposisi secara terus menerus, tetapi lambat, menjadi oksigen dengan laju reaksi pseudo order pertama. Waktu paruh ozon di dalam air distilasi pada 20oC umumnya 20-30 menit. Meskipun peneliti lain mengemukakan 165 menit, bahkan ada yang hanya 2-4 menit pada pH 7 dan suhu 25oC. Stabilitas ozon pada larutan tertinggi pada pH 5, dan menurun apabila pH dinaikkan, dan tidak terdeteksi apabila pada pH 9 larutan buffer. Dekomposisi ozon ketika mengikuti kinetika order pertama dapat ditulis sebagai berikut: -d[O3]/dt = k [O3] [OH-] Menurut Staehelin dan Hoigne (1985), dekomposisi ozon mencakup tiga reaksi, yaitu inisiasi, promosi, dan inhibisi (Gambar...). 1. Inisiasi merupakan tahap pembatas lajur reaksi yang menyebabkan pembentukan radikal bebas, yakni ion radikal super oksida (O2-) dan bentuk terhidrogenasinya yaitu radikal hidroperoksida (HO2.). Pembentukan radikal tersebut akan menyebabkan generasi radikal hidroksil (.OH) yang sangat reaktif. Ion radikal ozonida (.O3-) terbentuk sebagai produk reaksi antara. Faktor-faktor yang meningkatkan tingkat dekomposisi ozon (inisiator) ialah ion hidroksil, beberapa kation seperti Fe2+, senyawa organik seperti asam glioksilat dan radiasi ultarviolet pada 253,7 nm. O3 + OH- HO.2 + .O2- . O2- + H+ 2. Reaksi promosi kembali menghasilkan hidroperoksida dan radikal superoksida. Promotor pada tahap ini ialah asam format, asam glioksilat terutama alkohol dan grup aril. O3 + OH . O2- + H+ HO.4 HO2- + O2 3. Penghambatan/inhibisi menunjukkan reaksi yang menyebabkan konsumsi radikal hidroksil tanpa regenerasi radikal superoksida. Inhibitornya dapat berupa bikarbonat, karbonat, alkohol tersier, dan grup alkil. OH- + HCO3- OH- + HCO3- Molekul ozon dan produk dekomposisinya (radikal hidroksil, hidrogen peroksida, radikal superoksida) akan menginaktifasi mikrobia secara cepat melalui reaksinya dengan enzim intraseluler, bahan genetik, dan komponen dinding sel, pembungkus spora atau kapsid virus. Kombinasi ozon dengan inisiator yang cocok seperti ultraviolet atau hidrogen peroksida akan menyebabkan proses oksidasi lebih lanjut (AOP) yang sangat efektif melawan kebanyakan mikrobia yang resistan. Ketika ozon diaplikasikan pada bahan pangan, zat tersebut akan digenerasi on-site dan mengalami dekomposisi secara cepat, tanpa meningalkan residu. Ozon cocok untuk mengurangi kontaminasi pada produk pangan, peralatan permukaan yang kontak dengan bahan pangan, dan lingkungan pengolahan. Gas ozon dapat digunakan untuk disenfeksi persediaan air. Penambahan 100-200 ppm dalam limbah cair selama 30 menit dapat menginaktivikasi Clostridium botulium dan juga mikrobia perusak bahan makanan yang lain. Spora bakteri sangat tahan terhadap ozon sedangkan umumnya bakteri lebih peka terhadap ozon dibanding yeast dan jamur. Sensitivitas mikrobia terhadap ozon di dalam air tegantung dari spesies mikrobianya. B. cereus lebih sensitif dibanding E. coli dan B. megaterium. Penghambatan aktivitas mikrobia oleh ozon diduga akibat inaktivasi enzim dehidrogenase serta penghambatan respirasi dan rusaknya membran dan dindin sel. G. BHA (Butylated Hydroxyanisol), BHT (Butylated Hydroxytoluene), dan TBHQ (tButyl Hydroquinone). BHA, BHT, dan TBHQ biasanya digunakan pada kadar 200 ppm atau kurang sebagai antioksidan untuk menunda oksidasi lemak tak jenuh. BHA, BHT, dan TBHQ mempunyai sifat antimikrobia sehingga dapat sebagai antimikrobia tidak langsung. Pada konsentrasi sekitar 50-400 ppm, BHA menghambat bakteri Gram-positif dan Gramnegatif, meskipun beberapa spesies dapat menjadi hambatan. BHA, BHT, dan TBHQ juga mencegah baik pertumbuhan maupun produksi racun oleh kapang dan pertumbuhan khamir, tetapi BHA nampaknya lebih efektif. Aksi antimikrobianya merusak fungsi membran sel dan enzim. Keefektifan antimikrobia BHA, BHT, dan TBHQ akan meningkat bila adanya sorbat, tetapi akan menurun pada makanan dengan lipida tinggi dan pada suhu rendah. H. Pengasapan Pangan Asap mengandung beberapa senyawa organik yang dapat membantu proses pengawetan bahan makanan, yaitu fenol, cresol, teer, formaldehida, dan oksida nitrogen. Efektivitas asap sangat tinggi terhadap bakteri Gram negatif berbentuk batang, Micrococus, Leunostoc, dan Streptococcus. Produk olahan daging dan ikan banyak yang diproses dengan pengasapan, yang mana asap dihasilkan dari pembakaran kayu keras, seperti oak, walnut, maple, turi, dan lainnya. Sebagai alternatif, juga dapat digunakan asap cair (liquid smoke), yang diperoleh dari distilasi asap kayu keras, yang diaplikasikan sebagai ingredien pada bahan pangan. Alasan utama dilakukan pengasapan terhadap daging, ikan dan keju ialah dapat mengembangkan flavor, tekstur, dan warna produk yang diinginkan. Pengasapan menyebabkan senyawa asap terdeposit pada permukaan bahan. Tergantung dari suhu dan lama pemanasan, derajat kekeringan permukaan (Aw) dan konsentrasi zat asap yang menempel, pengasapan dapat bertindak baik sebagai bakterisostatik, maupun baktrisidal, meskipun bersifat antifungal yang lemah. Asap cair, pada kondisi yang sama, kurang efektif sebagai antimikrobia dibanding asam kayu. Asap juga mengandung beberapa bahan kimia yang bersifat karsinogenik, yaitu benzopyrene and dibenzanthracene. Salah asatu rekomendasi untuk menurunkan kanker colon dianjurkan mengurangi konsumsi makanan yang diasap. I. Antibiotik Penggunaan antibiotik tertentu boleh ditambahkan pada bahan makanan. Namun demikian, apabila diinjeksikan pada hewan ternak atau diberikan lewat pakan, ada kekhawatiran tertinggalnya residu antibiotik dalam produk bahan makanan yang dapat menyebabkan kekebalan terhadap mikrobia. Adanya residu antibiotik tersebut, misalnya pada susu, dan daging, apabila diproses lebih lanjut, terutama proses fermentasi, dapat menghanbat pertumbuhan biakan atau inokolum. Beberapa antibiotik klasik, tidak termasuk bakteriosin dari bakteri Gram positif (nisin, pediosin, sakasin, dan subtalin) telah dipelajari sebagai bahan pengawet. Tetracyckin (sekitar 10 ppm) disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) digunakan untuk memperpanjang umur simpan sefood dan produk perunggasan yang didinginkan pada tahun 1950-an. Karena munculnya resistensi bakteri terhadap antibiotik, jenis antibiotik tersebut akhirnya dilarang. Hingga kini, USA tidak mengiijinkan penggunaan antibiotik sebagai bahan pengawet makanan, sementara di beberapa negara menyetujui 2 jenis antibiotik, yaitu nisin dan natamisin, sedangkan 3 lainnya (tetrasiklin, subtilin, dan tilosin) telah dipelajri dan menunjukkan efektif palikasinya pada bahan pangan. Antibiotik subtilin, tilosin dan nisin telah diteliti pada makanan kaleng, sedangkan nisin banyak diteliti penggunaanya pada keju. Penggunaan antibiotik pada bahan pangan harus mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Antibiotik harus membunuh mikrobia, tidak hanya menghambat mikrobia, dan idealnya terdekomposisi kedalam produk atau rusak selama pemasakan produk tersebut. 2. Antibiotik tidak terinaktivasi oleh komponen bahan pangan atau produk dari metabolisme mikrobia. 3. Antibiotik tidak segera menstimulasi munculnya resistensi suatu mikrobia. 4. Antibiotik tidak digunakan pada bahan pangan jika digunakan pengobatan atau sebagai tambahan pakan ternak. Nisin memiliki struktur mirip subtilin, tetapi tidak mempunyai gugus tritofan ( Gambar ). Pertama kali dilaporkan, penggunaan nisin dapat menghambat C. butiricum pada keju. Alasan aplikasi antibiotik ini ialah (1) tidak toksik, (2) diproduksi oleh Streptomyces lactis, (3) stabil terhadap panas dan penyimpanan, (4) terdekomposisi oleh enzim pencernaan. Tidak mengasilkan produk yang 0ff-odor atau off-flavor, (6) memiliki spektrum yang sempit dari aktivitas antimikrobianya. Nisin efektif melawan bakteri Gram positif, bakteri pembentuk spora, tetapi inefektif terhadap bakteri Gram negatif. Streptococcus faecalis, salah satu bakteri Gram positif yang tahan nisin. Antibiotik ini merupakan senyawa polipeptida yang dapat dicerna oleh enzim proteolitik pada pH 8. Natamisin, antibiotik yang dihasilkan oleh Streptococcus natalensis, berfungsi untuk antijamur/antikapang dan kapang, tetapi tidak efektif terhadap bakteri. Antibiotik ini diaplikasikan pada keju, sosis, dan kacang mentah. Dosis yang biasa digunakannya 500 ppm, dinyatakan aman. Dilaporkan pada dosis 1000 ppm mencegah pertumbuhan jamur, dan pada 500 ppm menghambat pertumbuhan jamur pada keju. Kelemahannya, adanya strain A.flavus mampu memproduksi enzim yang dapat mengaktivasi natamisin. FAO/WHO Expert Committee menerima natamisin sebgai pengawet makanan karena : (1) tidak mempengaruhi bakteri, (2) menstimulasi pada level rendah (unusually) dari resistensi diantara kelompok kapang, (3) jarang terlibat pada resistensi silang (crossresistance di antara poliena yang lain (4) transfer DNA antara fungi tidak terjadi. Efektivitas natamisin relatif lebih tinggi dibanding asam sorbat dan beberapa antifungi lainnya. Asam sorbat memerlukan 100 – 1000 ppm dan natamisin 1-25 ppm untuk menghambat fungi pada media yang sama. Gambar . Sruktur kimia nisin (A), subtilin (B), natamisin (C), dan tetrasiklin (D) Tetrasiklin (CTC) dan oksitetrasiklin (OTC) disetujui FDA berturut-turut pada tahun 1955 dan 1956, pada level 7 ppm untuk mengontrol bakteri perusak pada produk unggas yang direfrigerasi dan tidak dimasak, tetapi selanjutnya dibatalkan. CTC dan OTC diketaui menunda kerusakan oleh baakteri, bukan hanya pada ikan dan seafood, tetapi juga produk unggas, daging merah, sayuran, susu segar, dan lainnya. Umumnya CTT lebih efektif daripada OTC. Tetrasiklin peka terhadap panas dan labil selama penyimpanan bahan pangan. Subtilin, antibiotik yang dihasilkan oleh B. subtilis. Seperti nisin, efektif melawan bakteri Gram positif, stabil pada suasana asam, dan tahan terhadap pemanasan pada suhu 1210C selama 30 – 60 menit. Subtilin efektif digunakan pada makanan kaleng pada kadar 5-20 ppm untuk mencegahgerminasi spora, yang sisi aksinya sama dengan pada nisin. Tylosin, antibiotik antibakterisidal, bekerjanya menghambat sintesis protein, efektif melawan bakteri Gram positif daripada bakteri Gram negatif, juga mengambat germinasi endospora. Efek penghambatannya lebih tinggi daripada nisi atau subtilin. Karenanya sifatnya yang tahan panas, antibiotik ini efektif ditambahkan (1 ppm) produk yang dikalengkan – berasam rendah.