Pupuk Organik - Litbang Pertanian

advertisement
Pupuk Organik “In Situ”
Oleh : Abdurachman Adimihardja
Pemerintah akan memberikan subsidi pupuk organik sekitar Rp 250 M pada
tahun 2008. Bagaimana bila dana itu digunakan untuk mendirikan petani agar
bisa membuat pupuk organik ‘ in situ ‘ dengan menggunakan potensi yang ada
?
Ibarat pisau, bisnis pupuk organik, sepertinya mulai diasah pemerintah.
Salahsatu caranya dengan ‘menabur’ subsidi pupuk organik. Karena pasarnya
ada? Atau karena lahan petani memang membutuhkan pupuk organik? Belum
bisa juga dipastikan.
Namun yang pasti, pengelolaan subsidi pupuk organik tidaklah sesederhana
mengelola pupuk anorganik yang telah dilengkapi dengan Standar Nasional
Indonesia (SNI). Sebab, kualitas pupuk organik sangat bervariasi tergantung
bahan dasar, kadar air, dan cara pembuatannya.
Tidak mengherankan apabila nanti ada petani yang membeli terlalu mahal
untuk pupuk organik karena ternyata kurang bermanfaat, karena ketidakjelasan kualitas. Belum lagi soal volume penggunaannya perhektar lahan yang
besar, yaitu lebih dari 1 ton/ha pupuk organik. Kondisi itu akan menimbulkan
masalah pengangkutan dari pabrik ke desa, dan dari pinggir jalan ke lahan
petani, serta kebutuhan tenaga kerja yang banyak untuk mencampurkannya
secara merata di permukaan tanah. Permasalahan tersebut akan berujung pada
kesulitan modal kerja, dan bisa-bisa berakhir pada keengganan petani
menggunakan pupuk organik.
Sedangkan upaya penambahan unsur hara (N, P, K) dengan mencampurkan
pupuk pabrik dalam proses pembuatan pupuk organik, yang dilakukan oleh
perusahaan untuk menarik pembeli, berisiko meningkatkan keracunan kualitas.
Selain itu, manfaat pupuk organik bukanlah penambahan hara tanah, kecuali
beberapa jenis hara mikro, tetapi yang utama adalah memperbaiki kesuburan
fisika dan biologi tanah.
Demikian juga penambahan mikrobia tanah pada pupuk organik, akan bisa
menimbulkan masalah. Secara teoritis, hal ini akan memperkaya tanah dengan
mikrobia yang bermanfaat, namun perlu diwaspadai: (a) apakah proses
pembuatan, waktu penyimpanan dan pengangkutan pupuk organik tersebut
tidak akan berpengaruh negatif terhadap efektifitas mikrobia? (b) bagaimana
mendeteksi kualitas dan kuantitas mikrobia tersebut dalam rangka uji mutu? (c)
apa yang akan terjadi ketika mikrobia tambahan tersebut bercampur dengan
mikrobia lokal?
Hal lain yang juga perlu diwaspadai adalah kandungan B3 (Bahan Beracun
Berbahaya, terutama logam berat) manakala pupuk organik dibuat dari sampah
pasar, limbah perkotaan, limbah industri, atau limbah pertambangan. Apabila
racun-racun tersebut tercampur dengan tanah, kemudian diserap tanaman, dan
terikutkan dalam bahan pangan nabati atau hewani, maka risikonya adalah
gangguan berat terhadap kesehatan dan kehidupan manusia.
Pupuk ‘ in situ ‘
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika memberikan subsidi pupuk
organik, antara lain: pupuk organik macam apa yang akan disubsidi, siapa yang
akan menerima subsidi langsung, bagaimana mekanismenya, bagaimana
menjaga agar pupuk bersubsidi benar-benar diterima oleh petani kecil dengan
harga yang wajar, dsb. Hal-hal tersebut tidak mudah dijawab dengan
pelaksanaan di lapangan, sehingga risiko terjadi bias atau kekeliruan cukup
besar.
Perlu dipertimbangkan, apakah subsidi harga pupuk organik tersebut
bermanfaat dalam jangka panjang? Sudah dimaklumi bahwa di pedesaan
terdapat potensi yang bernilai tinggi, berupa SDM (petani), SDAlam (lahan,
vegetasi alamiah, bahan organik), dan kearifan lokal (keterampilan bertani
turun temurun), yang perlu dikembangkan. Petani perlu disadarkan dan dilatih
untuk membuat pupuk organik sendiri, agar tidak tergantung pada pihak lain.
Pupuk organik yang dibuat ‘ in situ ‘ oleh petani sendiri dengan menggunakan
bahan dasar lokal, berupa sisa panen, pupuk kandang, pupuk hijau, dsb, jelas
merupakan alternatif yang perlu dipetimbangkan.
Perbandingan antara memberi pupuk organik bersubsidi dengan memandirikan
petani agar mampu membuat sendiri, sejalan dengan ungkapan kuno;
“memberi ikan membuat perut kenyang hari ini, memberi kail membuat perut
kenyang seumur hidup”. Kiranya dalam zaman reformasi pun, ungkapan
tersebut masih berlaku. Petani tidak perlu disuapi terus-menerus dengan ikan,
dalam hal ini subsidi, yang belum tentu menyehatkan, bahkan cenderung
memanjakan. Lebih bermartabat membantu mereka dengan alat pancing,
sekalian dengan ilmu memancingnya yang sederhana namun efektif. Petani
akan mampu membantu diri sendiri, tidak perlu subsidi, bahkan petani-petani
yang terampil dan memiliki semagat bisnis, berpeluang menjadi pengusaha
pupuk organik di daerahnya.
Dana pemerintah sebesar seperempat triliun rupiah, yang dianggarkan untuk
subsidi pupuk organik, kiranya cukup memadai untuk mendanai program
pelatihan petani agar mampu membuat dan menggunakan pupuk organik
sendiri. Hal ini memiliki arti yang besar dan berkelanjutan, yaitu memandirikan
petani untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi yang telah tersedia di
desa mereka sendiri. Teknologi pembuatan pupuk organik sudah banyak, dan
kapasitas penyuluh untuk melatih mereka juga sudah cukup besar. Namun
sudah tentu, keputusan akhir terpulang kepada kebijakan pemerintah untuk
menentukan pilihan terbaik bagi masyarakat tani.
Abdurachman Adimihardja
Penulis adalah Peneliti Balai Penelitian Tanah,
BBSDLP Badan Litbang Pertanian
Dimuat dalam Tabloid Sinar Tani, 9 Januari 2008
Download