bab iii bidang ekonomi

advertisement
BAB III
BIDANG EKONOMI
3.1.
Kondisi Umum
Perkembangan ekonomi Indonesia tidak terlepas dari kondisi dunia. Proses
pemulihan ekonomi dunia masih terus berlangsung dengan negara-negara di kawasan Asia
seperti Cina yang menjadi penyokong utama pulihnya ekonomi dunia. Kondisi
perekonomian dunia tersebut memberi dampak terhadap perekonomian negara-negara
lainnya di dunia terutama Indonesia.
Perekonomian Indonesia menunjukkan pemulihan sejak awal tahun 2010 dimana
dalam keseluruhan tahun 2010 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 6,1 persen (y-oy), jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2009 (4,6 persen). Pada sisi pengeluaran,
pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh penerimaan ekspor barang dan jasa serta
investasi berupa Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang tumbuh masing-masing
sebesar 14,9 persen dan 8,5 persen. Sejalan dengan peningkatan investasi tersebut,
pengeluaran impor barang dan jasa tumbuh 17,3 persen. Sedangkan dengan stabilitas
ekonomi dan daya beli masyarakat yang masih terjaga, konsumsi masyarakat tumbuh
sebesar 4,6 persen dan konsumsi pemerintah tumbuh sebesar 0,3 persen. Dari sisi
produksi, pertumbuhan ekonomi terutama didukung oleh industri pengolahan nonmigas
yang tumbuh sebesar 5,1 persen dan sektor tersier terutama pengangkutan dan
komunikasi; perdagangan, hotel dan restoran; serta bangunan yang masing-masing
tumbuh sebesar 13,5 persen; 8,7 persen, dan 7,0 persen. Adapun sektor pertanian serta
pertambangan dan penggalian tumbuh sebesar 2,9 persen dan 3,5 persen.
Pada triwulan I/2011, perekonomian tumbuh sebesar 6,5 persen (y-o-y). Di sisi
produksi pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh sektor pengangkutan dan
komunikasi; perdagangan, hotel, dan restauran; dan industri pengolahan yang masingmasing tumbuh sebesar 13,8 persen, 7,9 persen, dan 5,0 persen. Sedangkan di sisi
pengeluaran, pertumbuhan ekonomi pada triwulan I/2011 terutama didorong oleh ekspor
barang dan jasa serta pengeluaran konsumsi rumah tangga yang masing-masing tumbuh
sebesar 12,3 persen dan 4,5 persen. Adapun investasi pembentukan modal tetap bruto
(PMTB) dan pengeluaran pemerintah tumbuh masing-masing sebesar 7,3 persen dan 3,0
persen. Sejalan dengan peningkatan investasi, impor barang dan jasa meningkat sebesar
15,6 persen.
Secara keseluruhan tahun 2011, tekanan eksternal berupa tingginya harga minyak
mentah dunia, lambatnya pemulihan ekonomi AS, berlanjutnya krisis fiskal di Eropa serta
perubahan iklim diperkirakan akan mempengaruhi perekonomian Indonesia. Pemulihan
ekonomi diupayakan dengan dukungan peningkatan investasi dan ekspor barang dan jasa.
Konsumsi masyarakat diupayakan meningkat dengan terjaganya stabilitas ekonomi dan
daya beli masyarakat. Sedangkan konsumsi pemerintah diupayakan lebih efektif. Secara
keseluruhan tahun 2011, pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4 persen diperkirakan dapat
tercapai.
RKP 2012
II.3-1
Tabel 3.1
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
(persen)
URAIAN
2011
2008
2009
2010
Konsumsi Rumah tangga
5,3
4,9
4,6
4,5
Konsumsi Pemerintah
10,4
15,7
0,3
3,0
Investasi (PMTB)
11,9
3,3
8,5
7,3
Ekspor barang dan jasa
9,5
-9,7
14,9
12,3
Impor barang dan jasa
10,0
-15,0
17,3
15,6
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
4,8
4,0
2,9
3,4
Pertambangan dan penggalian
0,7
4,4
3,5
4,6
Industri pengolahan
3,7
2,2
4,5
5,0
Industri Migas
-0,3
-2,2
-2,3
-3,8
Industri Non Migas
4,0
2,6
5,1
5,8
Listrik, gas dan air bersih
10,9
14,3
5,3
4,2
Konstruksi
7,6
7,1
7,0
5,3
Perdagangan, hotel & restoran
6,9
1,3
8,7
7,9
Pengangkutan dan komunikasi
16,6
15,5
13,5
13,8
Keuangan, real estat dan jasa perusahaan
8,2
5,1
5,7
7,3
Jasa-jasa
6,2
6,4
6,0
7,0
Produk Domestik Bruto (y-o-y)
6,0
4,6
6,1
6,5
(Tw I)
SISI PENGELUARAN
SISI PRODUKSI
Sumber: BPS
3.1.1. Investasi
Pulihnya perekonomian dunia dari krisis ekonomi global turut mempercepat
meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2010. Sejalan dengan
meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, Pembentukan Modal Tetap Domestik
Bruto (PMTB) pada tahun 2010 tumbuh dan mencapai mencapai 8,5 persen, jauh
melampaui pertumbuhan tahun 2009 yang besarnya 3,3 persen. Tingginya kenaikan PMTB
ditunjukkan dengan besarnya realisasi penanaman modal pada kegiatan Penanaman Modal
Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) sektor non migas yang masingmasing mencapai Rp 60,6 triliun dan USD 16,2 miliar, sementara pada tahun 2009 masingmasing hanya sebesar Rp 37,8 triliun dan USD 10,8 miliar (Tabel 3.2). Realisasi PMDN dan
PMA tahun 2010 melampaui target RKP 2010 yang telah ditetapkan masing-masing sekitar
Rp 37,4 triliun dan USD 13,1 miliar.
II.3-2
RKP 2012
TABEL 3.2
REALISASI PENANAMAN MODAL SEKTOR NON MIGAS
2004-2010
TAHUN
PMDN
(Rp Miliar)
15.409,4
30.724,2
20.649,0
34.878,7
20.363,4
37.799,8
60.626,3
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010*
PMA
(USD juta)
4.571,9
8.911,0
5.991,7
10.341,4
14.871,4
10.815,2
16.214,8
Sumber: BKPM
Catatan : *) Perubahan pencatatan realisasi penanaman modal dari Ijin Usaha Tetap (IUT) ke laporan
kegiatan penanaman modal (LKPM).
Sampai dengan posisi tahun 2010, realisasi penyebaran investasi khususnya sektor
nonmigas masih terkonsentrasi di Pulau Jawa terutama di Propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Timur, dan Banten. Di luar propinsi-propinsi tersebut, Propinsi Kalimantan Timur
menjadi tujuan investor berikutnya.
TABEL 3.3
REALISASI PENANAMAN MODAL SEKTOR NON MIGAS
BERDASARKAN LOKASI
PMDN
PROPINSI
Jawa Barat
Jawa Timur
Kalimantan
Timur
Banten
DKI Jakarta
Propinsi lain
TOTAL
Rp
(miliar)
15.799,8
8.084,1
7.881,3
Prosentase
terhadap
total
26,1
13,3
13,0
5.852,5
4.598,5
9,7
7,6
18.410,1
60.626,3
30,4
100,0
PMA
PROPINSI
USD
(juta)
DKI Jakarta
Jawa Timur
Jawa Barat
6.429,3
1.769,2
1.692,0
Prosentase
terhadap
total
39,7
10,9
10,4
Banten
Kalimantan
Timur
Propinsi lain
1.544,2
1.092,2
9,5
6,7
3.687,9
16.214,8
22,7
100,0
Sumber: BKPM (diolah: Bappenas)
Peningkatan investasi diantaranya didorong oleh membaiknya iklim investasi. Salah
satu indikator membaiknya iklim investasi dan prospek ekonomi Indonesia, ditunjukkan
dengan meningkatnya peringkat Indonesia pada tahun 2010 dari berbagai lembaga
pemeringkat seperti Fitch, Moody’s, Standard & Poor’s, R & I, dan Japan Credit Rating
Agency. Bahkan oleh Moody’s peringkat sovereign Indonesia kembali meningkat pada awal
tahun 2011 dari Ba2 ke Ba1 yang berada satu tingkat di bawah investment grade. Selang
sebulan kemudian, Fitch juga menaikkan outlook sovereign Indonesia menjadi setingkat di
bawah investment grade, yaitu dari stabil ke positif pada peringkat BB+.
Hal ini ditandai dengan membaiknya kondisi investasi yang menjadi daya tarik
masuknya FDI ke Indonesia, sehingga terjadi peningkatan FDI pada tahun 2010 dalam
RKP 2012
II.3-3
bentuk surplus aliran direct investment (net FDI inflow) sebesar USD 9,8 miliar atau
meningkat 274,2 persen dibandingkan tahun 2009 yang hanya sebesar USD 2,6 miliar. Arus
masuk FDI tahun 2010 mencapai USD 12,7 miliar atau naik 161 persen dibandingkan tahun
2009 sebesar 4,9 miliar (Gambar 3.1). Besarnya aliran masuk FDI tahun 2010 terutama
berasal dari equity capital & reinvested earnings yang mencapai USD 1,2 miliar meningkat
134,1 persen dari tahun 2009.
GAMBAR 3.1
KINERJA ALIRAN INVESTASI LANGSUNG (FDI) DI INDONESIA
Sumber: Bank Indonesia (diolah:Bappenas)
Pada tahun 2011 PMTB diharapkan dapat tumbuh sebesar 10,5 persen dengan
dukungan investasi PMDN non-migas (Rp.67,2 triliun) dan PMA sebesar USD 19,20 miliar.
Perkembangan situasi politik di kawasan Timur Tengah (Middle East) dan Afrika Utara
(North African Region) diperkirakan akan berpengaruh terhadap keputusan yang diambil
oleh para investor, terutama dalam menentukan fokus dan lokus investasi mereka.
3.1.2. Ekspor
Sejalan dengan pemulihan ekonomi global di tahun 2010, nilai ekspor Indonesia pun
mengalami pemulihan secara berarti karena adanya peningkatan volume ekspor akibat
naiknya permintaan yang kemudian mendorong peningkatan harga komoditas dan produk
ekspor di pasar internasional. Di tahun 2010, pertumbuhan total ekspor Indonesia
mencapai 35,4 persen dengan nilai ekspor secara kumulatif mencapai USD 157,7 miliar;
dimana nilai ini telah melampaui nilai ekspor tahun 2008 yang merupakan periode
sebelum krisis. Nilai ekspor tahun 2010 tersebut, disumbang oleh ekspor nonmigas
sebesar USD 129,7 miliar dan ekspor migas sebesar USD 28,1 miliar; sehingga besar
sumbangan masing-masing terhadap ekspor total adalah sebesar 82,2 dan 17,8 persen.
Pertumbuhan ekspor Indonesia tahun 2010 merupakan yang tertinggi selama 10
tahun terakhir. Proses pemulihan ekspor paska krisis tahun 2009 terlihat relatif sangat
II.3-4
RKP 2012
baik, karena didukung oleh pulihnya permintaan di pasar tujuan ekspor utama (seperti:
China, India, Amerika, Uni Eropa, dan negara-negara ASEAN), baik yang berupa permintaan
terhadap bahan baku industri maupun barang konsumsi.
TABEL 3.4
NILAI DAN PERTUMBUHAN EKSPOR (2008-2010)
NILAI EKSPOR (Juta USD)
Komoditas
Total Ekspor
Ekspor Migas
Ekspor Non
Migas
2008
2009
2010
Pertumbuhan (%)
2008
137,010.5 116,510.0 157,732.6 20.1%
29,126.3
107,884.2
Pertanian
19,018.3
2010
-15.0%
35.4%
-34.7%
47.5%
17.3%
-9.6%
33.0%
28,052.7 31.9%
97,491.7 129,679.9
2009
4,584.6
4,352.7
5,001.3
25.3%
-5.1%
14.9%
Industri
88,393.4
73,435.9
98,013.2
15.6%
-16.9%
33.5%
Pertambangan
14,906.2
19,703.1
26,665.4
25.4%
32.2%
35.3%
Sumber: BPS (diolah)
Di tahun 2011, ekspor nonmigas diperkirakan akan tetap tumbuh di atas 10 persen
seiring dengan meningkatnya volume perdagangan global tahun 2011 yang diperkirakan
tumbuh sebesar 8,2 persen. Namun, kondisi global juga masih dipengaruhi beberapa risiko
seperti gejolak harga minyak, ketersediaan stok pangan, dan dampak pasca bencana
tsunami yang terjadi di Jepang. Ke depan, perlu diwaspadai pula penguatan Rupiah yang
jika terjadi dalam jangka waktu cukup lama akan berdampak terhadap kinerja ekspor non
migas Indonesia. Untuk itu, laju pertumbuhan ekspor Indonesia tahun 2011 diperkirakan
akan melambat dibandingkan dengan tahun 2010, dengan target pertumbuhan 12 persen.
3.1.3. Pariwisata
Keberhasilan pembangunan kepariwisataan diindikasikan oleh meningkatnya
kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) pada tahun 2010 yang mencapai 7,00 juta
orang, atau meningkat sebesar 7,88 persen dibandingkan kunjungan wisman tahun 2009
yang mencapai 6,32 juta orang. Rata-rata lama tinggal wisman pada tahun 2010 meningkat
menjadi 8,04 hari, dari tahun 2009 yang sebesar 7,69 hari. Sementara itu, rata-rata
pengeluaran perkunjungan juga meningkat sekitar 9,02 persen. Perkiraan penerimaan
devisa dari kunjungan wisman pada tahun 2010 mencapai USD 7,6 milyar, meningkat
sebesar 20,63 persen dari tahun 2009 yang sebesar USD 6,3 milyar. Sementara itu,
pergerakan wisatawan nusantara (wisnus) juga mengalami peningkatan dari 229,73 juta
pergerakan pada tahun 2009 menjadi 234,38 juta pergerakan pada tahun 2010. Hal ini
berdampak pada meningkatnya total pengeluaran wisnus dari Rp. 137,91 trilliun menjadi
Rp. 150,49 trilliun.
RKP 2012
II.3-5
TABEL 3.5
PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN
TAHUN 2009-2010
URAIAN
Wisatawan Mancanegara (wisman)
- Jumlah (juta orang)
- Rata-rata pengeluran per kunjungan (US
$)
- Rata-rata lama tinggal (hari)
- Rata-rata pengeluaran per hari (US $)
- Perkiraan penerimaan devisa (miliar US
$)
Wisatawan Nusantara (wisnus)
- Jumlah pergerakan (juta pergerakan)
- Total pengeluaran (triliun rp)
2009
2010
6,32
995,93
7,00
1.085,75
7,69
129,57
6,3
8,04
135,01
7,6
229,73
137,91
234,38
150,49
Sumber: BPS
Keberhasilan pembangunan pariwisata tidak terlepas dari dukungan pengelolaan
destinasi pariwisata antara lain pelaksanaan kegiatan sadar wisata pada 950 orang
masyarakat dan 217 kelompok; pengembangan standardisasi pariwisata melalui pelatihan
pada 140 orang master asesor dan asesor dan penyelenggaraan fasilitasi sertifikasi
kompetensi di daerah pada 3.700 orang; pengembangan usaha, industri dan investasi
pariwisata melalui penyusunan 8 buah pola perjalanan (travel pattern); berkembangnya
115 daya tarik wisata di desa, 50 usaha masyarakat desa berbasis kreatif pariwisata, serta
50 desa pendukung usaha pariwisata dalam kerangka PNPM Mandiri Bidang Pariwisata;
dan dikembangkannya 1 buah destination management organisation (DMO) dan dukungan
pada 1 amenitas pariwisata.
Dalam pelaksanaan promosi dan pemasaran, telah dilaksanakan promosi pariwisata
di luar negeri melalui partisipasi pada 36 bursa pariwisata internasional, pelaksanaan 9
misi penjualan (sales mission) di fokus pasar wisatawan, penyelenggaraan 8 event festival
Indonesia di luar negeri, dan penyelenggaraan Indonesia tourism promotion representative
officers di 12 negara; penyelenggaraan promosi pariwisata dalam negeri melalui 10
promosi langsung (direct promotion), 27 event pariwisata berskala nasional dan
internasional; penyediaan sarana dan prasarana promosi pariwisata mencakup pencetakan
743 ribu eksemplar bahan promosi, publikasi pada 51 media, diseminasi 436 ribu
eksemplar bahan promosi cetak, diseminasi 56 ribu bahan promosi elektronik, dan
dikembangkannya kelengkapan data dan informasi di 60 destinasi; penyediaan informasi
pasar pariwisata dengan tersusunnya 14 naskah hasil analisis pasar dalam dan luar negeri,
penyebaran 427 eksemplar informasi produk pariwisata Indonesia, penyelenggaraan
famillirization trip/fam trip yang melibatkan 254 orang peserta; dan penyelenggaraan 42
event internasional dan promosi 8 event MICE.
Selain itu, dalam pengembangan sumber daya pariwisata, telah dilaksanakan
pelatihan SDM pada 800 orang aparatur/swasta/masyarakat, terselesaikannya 6 hasil
penelitian dan pengembangan (litbang) kepariwisataan, dengan 6 naskah litbang yang
dipublikasikan, dan tersusunnya 4 naskah kerja sama litbang kepariwisataan; dan
II.3-6
RKP 2012
penyelenggaraan pendidikan tinggi bidang pariwisata dengan 1.100 kelulusan di 4 lembaga
pendidikan tinggi pariwisata.
Berkaitan dengan pelaksanaan Inpres 1 Tahun 2010, pembangunan pariwisata telah
berhasil meningkatkan integrasi PNPM penguatan, dan peningkatan promosi pariwisata di
luar negeri melalui pelaksanaan 63 event luar negeri dan pelaksanaan 44 event dalam
negeri yang berdampak pada peningkatan jumlah wisatawan mancanegara dan jumlah
pergerakan wisatawan nusantara.
Pada tahun 2011, kunjungan wisman diperkirakan mencapai 7,1 juta orang, yang
akan menghasilkan devisa sebesar US$ 7,2 miliar. Rata-rata lama tinggal diperkirakan
mencapai 7,7 hari dengan rata-rata pengeluaran per hari sebesar US$ 136,4 atau sebesar
US$ 1.050,0 per kunjungan. Sementara itu, kunjungan wisnus pada tahun 2011
diperkirakan mencapai sebesar 237,0 juta pergerakan, dengan total pengeluaran sebesar
Rp. 154,5 triliun.
3.1.4. Daya Beli Masyarakat
Daya beli masyarakat merupakan faktor penting yang dapat mendorong konsumsi
masyarakat, di mana konsumsi masyarakat adalah bagian dari permintaan domestik dan
merupakan salah satu faktor penting yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Besarnya kontribusi konsumsi masyarakat terhadap perekonomian Indonesia
selama ini diukur dari proporsi konsumsi masyarakat terhadap PDB yang mencapai 58,6
persen pada tahun 2009 dan 64,7 persen pada tahun 2010.
Daya beli masyarakat berpengaruh yang cukup berarti terhadap perkembangan
sektor perdagangan dalam negeri. Pertumbuhan PDB sub sektor perdagangan pada tahun
2010 mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, yaitu sebesar 9,7 persen. Dengan
demikian, di tahun 2010, kontribusi sub sektor perdagangan terhadap total PDB (harga
konstan) besarnya mencapai 14,3 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun
sebelumnya yang besarnya 13,9 persen. Di tahun 2011, PDB sub sektor perdagangan
diperkirakan akan tetap tumbuh tinggi, yaitu sebesar 9,2 persen. Hal ini seiring dengan
perkiraan meningkatnya aktivitas perekonomian dengan target pertumbuhan ekonomi
Indonesia di tahun 2011 yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
GAMBAR 3.2
NILAI INDEKS PENJUALAN RITEL
RKP 2012
II.3-7
Selanjutnya, semakin baiknya kondisi perdagangan dalam negeri telah mendorong
peningkatan tingkat daya beli masyarakat. Kecenderungan ini terlihat pada nilai indeks
penjualan ritel pada bulan Desember 2010 yang naik menjadi 269,7 dibandingkan Bulan
November 2010 yang sebesar 245,8. Sementara itu, indeks penjualan ritel secara rata-rata
tahun 2010 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2009. Hal ini menunjukkan
bahwa peningkatan indeks ini merupakan indikator terhadap adanya perbaikan ekspektasi
konsumen dan usaha.
3.1.5. Keuangan Negara
Hingga akhir tahun 2010, realisasi pendapatan Negara dan hibah mencapai Rp1.017,1
triliun (15,8 persen PDB). Realisasi tersebut lebih tinggi Rp24,7 triliun dari rencana dalam
APBN-Perubahan (APBN-P) tahun 2010. Peningkatan pertumbuhan ekonomi, tingginya
harga komoditi di pasar global, dan stabilnya ekonomi domestik menjadi faktor pendorong
baiknya realisasi pendapatan Negara dan hibah. Bila dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, realisasi pendapatan Negara dan hibah tahun 2010 meningkat 19,8 persen.
Peningkatan pada pendapatan Negara dan hibah tersebut didorong oleh peningkatan pada
penerimaan dalam negeri, penerimaan Negara bukan pajak, maupun hibah.
Realisasi penerimaan dalam negeri tahun 2010 mencapai Rp1.013,7 triliun (15,8
persen PDB), lebih tinggi Rp23,2 triliun bila dibandingkan dengan rencana dalam APBN-P.
Realisasi tersebut juga lebih tinggi Rp166,6 triliun, atau meningkat 19,7 persen bila
dibandingkan dengan realisasinya di tahun 2009. Realisasi penerimaan dalam negeri
bersumber dari penerimaan perpajakan sebesar Rp744,4 triliun (11,6 persen PDB) atau
menyumbang 73,4 persen dari total penerimaan dalam negeri. Peningkatan terjadi salah
satunya pada penerimaan pajak perdagangan internasional yang mencapai Rp28,9 triliun.
Nilai tersebut meningkat 27,9 persen bila dibandingkan dengan APBN-P.
Sementara itu, realisasi penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) tahun 2010
mencapai Rp269,4 triliun miliar (4,2 persen PDB), meningkat Rp22,2 triliun bila
dibandingkan dengan APBN-P. Realisasi tersebut terutama ditopang oleh penerimaan yang
bersumber dari sumber daya alam (SDA). Bila dibandingkan dengan realisasi PNBP SDA
tahun 2009, realisasi PNBP SDA tahun 2010 mengalami kenaikan hingga 22,4 persen.
Kenaikan tersebut terutama didorong oleh tingginya harga komoditi di pasar global.
Sebagai perbandingan, realisasi harga minyak pada APBN tahun 2010 mencapai 79,4
US$/Barrel, jauh lebih tinggi dibandingkan realisasi pada tahun sebelumnya, yakni 61,6
US$/Barrel.
Di sisi belanja, realisasi belanja Negara tahun 2010 mencapai Rp1.062,9 triliun (16,5
persen PDB). Realisasi tersebut lebih rendah Rp63,2 triliun daripada rencana dalam APBNP. Tidak terserapnya alokasi belanja negara bersumber dari kinerja realisasi belanja
pemerintah pusat yang lebih rendah dari alokasinya dalam APBN-P. Realisasi belanja
pemerintah pusat pada tahun 2010 hanya sebesar Rp718,2 triliun atau 91,9 persen dari
alokasinya di APBN-P. Di satu sisi, realisasi belanja ke daerah mencapai Rp344,7 triliun,
tidak jauh berbeda dengan rencana di APBN-P, yang besarnya Rp344,6 triliun.
Bila dilihat lebih rinci, tidak tercapainya target realisasi belanja pemerintah pusat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, a.l: (1) Tidak tercapainya target belanja pegawai (91,1
persen dari rencana), yang antara lain berkaitan dengan penghematan cadangan anggaran
II.3-8
RKP 2012
pegawai baru, pos honorarium, dan vakansi, serta anggaran remunerasi
kementerian/lembaga; (2) Realisasi belanja barang yang mencapai 86,6 persen dari
rencana, antara lain berkaitan dengan tingginya tingkat kehati-hatian pejabat pengadaan
barang dan jasa dalam mengambil keputusan; (3) Realisasi belanja modal yang hanya
mencapai 83,7 persen, yang disebabkan hambatan dalam pembangunan infrastruktur,
terutama akibat intensitas curah hujan, bencana alam,dan hambatan pengadaan lahan.
Rendahnya belanja modal juga disebabkan oleh penghematan anggaran dalam pelaksanaan
tender dan tidak optimalnya penarikan dan pemanfaatan pinjaman luar negeri.
Untuk pos belanja yang lain, dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya,
peningkatan yang besar terjadi pada alokasi belanja subsidi energi. Jika pada tahun 2009,
realisasi belanja subsidi energi sebesar Rp94,6 triliun, realisasinya pada tahun 2010
meningkat hingga mencapai Rp140,0 triliun, dengan rincian Rp82,4 triliun untuk BBM,
LPG, dan Bahan Bakar Nabati-BBN, serta Rp57,6 triliun untuk listrik. Peningkatan pada
realisasi belanja subsidi energi disebabkan tingginya harga minyak dunia dan konsumsi
BBM bersubsidi sepanjang tahun 2010.
Dengan realisasi pendapatan Negara dan hibah yang lebih baik, dikombinasikan
dengan penyerapan anggaran belanja yang relatif rendah, defisit anggaran tahun 2010
lebih rendah dari yang direncanakan. Di akhir tahun 2010, defisit anggaran yang
direncanakan sebesar 2,1 persen PDB pada APBN-P, realisasinya sebesar 0,7 persen PDB
atau sebesar Rp45,8 triliun. Rendahnya defisit anggaran berdampak pada menurunnya
tambahan pembiayaan defisit. Sementara itu, stok utang pemerintah turun hingga 26,0
persen PDB.
Dengan dukungan kondisi ekonomi yang lebih kondusif, penyusunan APBN tahun
2011 didasarkan pada langkah-langkah optimalisasi sumber-sumber pendapatan negara,
yang antara lain dilaksanakan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan
perpajakan, tetapi tetap mempertimbangkan pemberian insentif pada kegiatan dunia
usaha. Selain itu optimalisasi dilakukan dengan langkah-langkah reformasi birokrasi
perpajakan, kepabeanan, dan cukai. Dari sisi penerimaan bukan pajak, langkah-langkah
peningkatan produksi sumber daya alam, baik migas maupun nonmigas terus diupayakan
guna meningkatkan penerimaan Negara bukan pajak. Di sisi belanja negara, kebijakan
alokasi anggaran akan diarahkan untuk melaksanakan program-program pembangunan,
guna mencapai sasaran yang telah ditetapkan dalam RKP 2011, yaitu pembangunan
kesejahteraan, perkuatan pembangunan demokrasi, dan penegakan hukum.
Melalui langkah-langkah kebijakan yang akan diambil, pada tahun 2011 pendapatan
Negara dan hibah ditargetkan sebesar Rp1.104,9 triliun (15,7 persen PDB), terdiri atas
penerimaan dalam negeri Rp1.101,2 triliun dan hibah Rp3,7 triliun. Bila dibandingkan
dengan target dalam APBN-P tahun 2010, target tahun 2011 mengalami peningkatan
sebesar 11,3 persen. Sumber utama peningkatan tersebut diharapkan berasal dari
penerimaan perpajakan yang ditargetkan meningkat sejalan dengan dilakukannya berbagai
upaya tambahan. Penerimaan perpajakan di tahun 2011 diperkirakan mencapai Rp850,3
triliun atau setara dengan 12,1 persen PDB.
Sementara itu, dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditetapkan dalam RKP
2011, alokasi belanja negara pada APBN tahun 2011 direncanakan meningkat sebesar
Rp103,5 triliun bila dibandingkan pos yang sama pada APBN-P tahun 2010. Alokasi belanja
Negara pada tahun 2011 besarnya adalah Rp1.229,6 triliun (17,5 persen PDB), yang terdiri
RKP 2012
II.3-9
dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp836,6 triliun dan transfer ke daerah sebesar
Rp393,0 triliun.
Di antara pos-pos belanja Negara, alokasi belanja untuk subsidi energi perlu
mendapat perhatian lebih besar. Di tahun 2011, pemerintah mengalokasikan belanja
subsidi energi sebesar Rp136,6 triliun dengan asumsi harga minyak 80 US$/barrel. Kondisi
terkini menunjukkan perkiraan harga minyak dunia sepanjang tahun 2011 yang dilakukan
berbagai institusi internasional (salah satunya United States Energy Information
Administration) berada di kisaran lebih dari 100 US$/barrel. Tingginya harga minyak dunia
akan berdampak pada meningkatnya alokasi belanja subsidi energi di tahun 2011.
Dengan langkah optimalisasi pendapatan Negara dan penajaman belanja Negara,
defisit tahun 2011 ditetapkan pada tingkat 1,8 persen PDB. Kebijakan pengendalian defisit
pada tahun 2011 tersebut merupakan salah satu langkah pokok dalam melanjutkan
langkah-langkah konsolidasi fiskal dalam mewujudkan APBN yang sehat dan
berkelanjutan. Untuk menutup sasaran defisit dalam tahun 2011, akan diupayakan sumber
pembiayaan dari dalam negeri yang didukung sumber pembiayaan luar negeri dengan
tetap mempertahankan penurunan rasio utang terhadap PDB secara berkesinambungan
(debt sustainability).
3.1.6. Moneter
Pertumbuhan ekspor yang tetap kuat serta aliran modal masuk, baik dalam bentuk
PMA maupun portfolio mendorong peningkatan surplus neraca pembayaran. Pemulihan
ekonomi global telah mendorong kuatnya pertumbuhan ekspor. Peningkatan harga
komoditas dunia juga turut mendorong perbaikan ekspor dengan pangsa komoditas
berbasis sumber daya alam yang masih relatif besar. Di sisi lain, peningkatan ekonomi
domestik dan apresiasi nilai tukar rupiah telah mendorong peningkatan impor yang lebih
besar. Pemulihan ekonomi global yang tidak seimbang telah mendorong peningkatan yang
besar pada aliran masuk modal asing.
Sebagai dampaknya nilai tukar rupiah menguat secara berarti dan stabil, dari
Rp9.400,-/ USD pada akhir tahun 2009, secara bertahap menjadi Rp 9.083,-/USD pada
pertengahan (bulan Juni ) tahun 2010, dan mencapai Rp 8.991,-/USD pada akhir tahun
2010. Secara rata-rata nilai tukar rupiah mengalami apresiasi sebesar 3,7 persen sepanjang
tahun 2010, atau terapresiasi sebesar 4,3 persen (p-t-p). Pada akhir tahun 2010 dan awal
tahun 2011, terjadi capital outflow yang cukup besar, namun dengan respon bauran
kebijakan moneter yang tepat, ekspor yang meningkat serta adanya capital inflow, nilai
tukar rupiah tetap stabil dan terus menguat menjadi Rp8.574,-/USD pada bulan April 2011.
Di sisi stabilitas harga, setelah laju inflasi menurun pada tahun 2009, tahun 2010
diwarnai oleh tekanan inflasi yang cenderung meningkat, terutama bersumber dari
kelompok bahan makanan (volatile foods). Tingginya tekanan inflasi dari kelompok bahan
makanan disebabkan oleh perubahan iklim/cuaca yang mengakibatkan gangguan
distribusi dan produksi beberapa bahan makanan pokok. Tekanan inflasi yang bersumber
dari kelompok administered prices juga meningkat meskipun terbatas dimana kenaikan
Tarif Dasar Listrik (TDL) di bulan Juli tidak mendorong kenaikan harga komoditas secara
berarti. Tekanan inflasi inti mengalami peningkatan meskipun masih terkendali dan
terbantu dengan penguatan nilai tukar rupiah.
II.3-10
RKP 2012
Sementara itu, ekspektasi inflasi juga sempat meningkat dipengaruhi oleh kenaikan
pada harga bahan makanan. Dengan perkembangan tersebut, dan diantisipasi dengan
kebijakan moneter yang berhati-hati (BI rate konstan dan penurunan giro wajib minimum)
sampai dengan akhir tahun 2010 inflasi IHK tercatat sebesar 6,96 persen (y-o-y) atau
sedikit melebihi sasaran yang ditetapkan. Dilihat dari komponennya pada tahun 2010,
inflasi inti adalah sebesar 4,28 persen, inflasi volatile foods 17,74 persen dan inflasi
administered prices sebesar 5,40 persen. Tekanan terhadap inflasi dari bahan makanan
berlanjut hingga bulan Februari 2011 namun kemudian mereda seiring dengan dimulainya
masa panen raya padi/beras sehingga pada bulan Maret dan April 2011 terjadi deflasi.
Inflasi bulan April 2011 menurun menjadi 6,16 persen (y-o-y). Dalam rangka menjaga
meningkatnya ekspektasi inflasi, pada bulan Februari 2011 suku bunga acuan (BI rate)
dinaikkan 25 basis point (bps) menjadi 6,75 persen dan bertahan hingga bulan Maret dan
April 2010.
3.1.7. Sektor Keuangan
Meskipun terjadi krisis ekonomi global pada akhir tahun 2008 dan awal 2009, selama
tahun 2010, kondisi ketahanan sektor keuangan relatif tetap terjaga dengan meningkatnya
fungsi intermediasi, terutama industri perbankan. Pada tahun 2010, rasio kecukupan
modal (Capital Adequacy Ratio – CAR) bank umum relatif terjaga mencapai 17,2 persen dan
meningkat menjadi 18,1 persen pada Februari 2011. Selain itu, rasio kredit bermasalah
bank umum berhasil diturunkan dari 3,4 persen pada akhir tahun 2009 menjadi sekitar 2,6
persen pada akhir tahun 2010 yang merupakan tingkat terendah dalam lima tahun
terakhir.
Di sisi pasar modal, terjaganya stabilitas ekonomi dan meningkatnya kinerja pasar
modal regional ikut mendorong kinerja pasar modal dalam negeri. Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia meningkat dari 2.534,4 pada akhir tahun 2009
menjadi 3.703,5 pada akhir tahun 2010. Penguatan tersebut juga tidak terlepas dari
perkembangan kondisi fundamental makroekonomi yang positif. Kondisi fundamental
makroekonomi yang kuat tercermin antara lain dari stabilitas nilai tukar yang terjaga,
prospek pertumbuhan ekonomi yang positif dan perbaikan peringkat menuju tingkat
investasi (investment grade). Di samping prospek makroekonomi yang baik, aksi beli
investor asing juga menopang pertumbuhan IHSG. Pada akhir bulan April 2011, IHSG
mencapai 3.819,6, naik 30,5 persen dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya.
Pada industri perbankan, terjaganya BI rate sebesar 6,50 persen selama tahun 2010
ternyata cukup kondusif bagi fungsi intermediasi sektor tersebut dalam upaya mendorong
pertumbuhan sektor riil. Tingkat suku bunga kredit modal kerja, kredit investasi dan kredit
konsumsi masing-masing menurun dari 13,7 persen, 13,0 persen, dan 16,4 persen pada
akhir tahun 2009 menjadi 12,8 persen, 12,3 persen dan 14,5 persen pada akhir 2010.
Kecenderungan ini terus berlanjut sehingga pada bulan Februari 2011 masing-masing
mencapai 12,7 persen, 12,2 persen dan 14,5 persen. Menurunnya suku bunga pinjaman
dan membaiknya perekonomian domestik mendorong kinerja penyaluran kredit
perbankan. Hingga Februari 2011, penyaluran kredit meningkat hingga mencapai Rp1.794
triliun atau tumbuh 24,9 persen (y-o-y), terutama didorong oleh pertumbuhan kredit
modal kerja, kredit investasi, dan kredit konsumsi yang masing-masing mencapai 36,3
persen, 18,7 persen, dan 14,2 persen (y-o-y).
RKP 2012
II.3-11
Di sisi penghimpunan dana, meskipun terjadi penurunan suku bunga deposito baik
berjangka waktu 1 bulan dan 3 bulan, pertumbuhan simpanan masyarakat pada bank tetap
tumbuh positif. Suku bunga deposito berjangka waktu 1 bulan dan 3 bulan masing-masing
turun dari 6,9 persen dan 7,5 persen pada tahun 2009, menjadi masing-masing 6,7 persen
dan 6,8 persen pada Februari 2011. Sementara itu, simpanan masyarakat tumbuh 19,6
persen (yoy) mencapai Rp2.260 trilliun pada Februari 2011. Dengan perkembangan
tersebut, maka rasio antara kredit yang disalurkan dengan simpanan menjadi 77,1 persen
pada Februari 2011 atau lebih tinggi dari akhir 2010 (75,2 persen) dan 2009 (72,9 persen).
Tingginya pertumbuhan kredit pada bank umum juga diikuti oleh penyaluran kredit
yang berskala Mikro, Kecil dan Menengah (kredit MKM). Kredit MKM tumbuh sebesar 32,5
persen (y-o-y) pada Februari 2011 hingga mencapai Rp938,4 triliun dengan komposisi 9,5
persen untuk kredit investasi; 37,2 persen untuk kredit modal kerja; dan 53,3 persen untuk
kredit konsumsi. Secara tahunan kredit investasi, kredit modal kerja dan kredit konsumsi
skala MKM masing-masing tumbuh sebesar 29 persen, 36,4 persen, dan 30,5 persen.
Diharapkan di masa mendatang penyaluran kredit MKM dapat terus ditingkatkan.
Selain melalui sistem konvensional, pembiayaan melalui perbankan syariah juga
terus meningkat dari Rp48,5 triliun pada Februari 2010 menjadi Rp71,4 triliun pada
Februari 2011 atau tumbuh sebesar 47,4 persen (y-o-y). Selain itu, penghimpunan dana
masyarakat pada Februari 2011 tumbuh sebesar 40,9 persen (y-o-y) menjadi Rp75,1
triliun. Pertumbuhan pembiayaan yang cukup pesat dan melampaui pertumbuhan
penghimpunan dana masyarakat menyebabkan rasio pembiayaan terhadap simpanan
(Financing To Deposit Ratio-FDR) meningkat cukup signifikan dari 87,6 persen pada akhir
2010 menjadi 95,2 persen pada Februari 2011. Potensi pembiayaan macet pada bank
syariah berhasil ditekan yang tercermin dari rasio pembiayaan berkinerja buruk (Non
Performing Financing-NPF) yang di bawah 5,0 persen.
Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) termasuk pasar modal telah menunjukkan
perkembangan yang baik. Kepercayaan masyarakat terhadap LKNB meningkat, yang
ditunjukkan oleh meningkatnya aset LKNB (asuransi, dana pensiun, perusahaan
pembiayaan, modal ventura, dan pegadaian). Aset LKNB tumbuh sebesar 20,3 persen (y-oy) pada tahun 2009 dan tumbuh sebesar 9,4 persen (y-o-y) pada tahun 2010 meskipun
dihadapkan pada krisis keuangan dunia yang berdampak pada penurunan hasil investasi
LKNB. Sejalan dengan pemulihan dalam perekonomian global, nilai kapitalisasi pasar
modal terhadap PDB terus meningkat dari 33,8 persen PDB pada tahun 2008 menjadi 47,9
persen PDB pada tahun 2009 dan kembali meningkat menjadi 62,3 persen PDB pada akhir
2010.
II.3-12
RKP 2012
TABEL 3.6
PERKEMBANGAN ASET LEMBAGA KEUANGAN DAN PASAR MODAL
TAHUN 2008-2010
(Rp. Triliun)
2008
Nilai
A. Perbankan
- Bank Umum
- BPR
B. Non Perbankan
- Asuransi
- Perusahaan Pembiayaan
- Perusahaan Modal Ventura
C. Total (A + B)
D. Emisi Pasar Modal
- Nilai Emisi Saham
- Nilai Emisi Obligasi
Kapitalisasi Pasar Modal
- Saham
- Obligasi (korporasi & SUN)
Memorandum Item:
PDB Nominal
2,343.1
2,310.6
32.5
515.8
243.2
168.5
2.9
2,858.9
555.4
407.2
148.1
1,675.2
1,076.5
598.7
4,954.0
2009
% PDB
47.3
46.6
0.7
10.4
4.9
3.4
0.1
57.7
11.2
8.2
3.0
33.8
21.7
12.1
Nilai
2,571.7
2,534.1
37.6
627.1
321.1
174.4
3.2
3,198.8
594.9
419.6
175.3
2,682.4
2,019.4
663.0
5,603.9
2010
% PDB
45.9
45.2
0.7
11.2
5.7
3.1
0.1
57.1
10.6
7.5
3.1
47.9
36.0
11.8
Nilai
3,054.6
3,008.9
45.7
674.1
347.5
194.7
3.5
3,728.7
710.5
495.4
215.1
4,003.7
3,247.1
756.6
% PDB
47.6
46.8
0.7
10.5
5.4
3.0
0.1
58.1
11.1
7.7
3.3
62.3
50.6
11.8
6,422.9
Sumber: Kementerian Keuangan, BPS, dan Bank Indonesia
Dengan melihat semakin kompleks dan kayanya perkembangan teknologi di sektor
keuangan, lembaga keuangan telah dijadikan sarana terjadinya berbagai tindak pidana
pencucian uang (TPPU). Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
sebagai instansi yang merupakan focal point dalam rezim anti pencucian uang di Indonesia,
berupaya untuk terus meningkatkan hubungan dan kerjasama dengan instansi-instansi
terkait dalam negeri maupun luar negeri. Jalinan kerjasama ini telah dilakukan dengan 41
instansi/lembaga didalam negeri dan 37 Financial Inteligence Unit (FIU) negara–negara
lain. Peran PPATK semakin diefektifkan dengan disahkannya Undang-Undang No. 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tanggal 22
Oktober 2010.
Terhitung sejak tahun 2001 hingga akhir tahun 2010, PPATK telah menerima
sebanyak 63.924 Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) secara kumulatif,
dengan jumlah Penyedia Jasa Keuangan (PJK) Pelapor sebanyak 334 PJK. PPATK juga telah
menerima sebanyak 8.631.423 Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) secara
kumulatif. Sejak tahun 2003 hingga akhir tahun 2010, PPATK telah pula menyampaikan
sebanyak 1.431 Hasil Analisis secara kumulatif kepada Kepolisian dan Kejaksaan.
Sementara dalam kurun tahun 2010, PPATK telah menyampaikan sebanyak 319 Hasil
Analisis kepada Kapolri dan Jaksa Agung.
3.1.8. Industri
Walaupun menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan yang cukup besar,
sektor industri pengolahan non migas tetap mampu memiliki angka pertumbuhan yang
cukup baik pada periode pasca krisis ekonomi global pada akhir 2008 yang lalu. Pada
gambar 3.2 terlihat bahwa pertumbuhan mulai meningkat pada triwulan IV tahun 2009,
RKP 2012
II.3-13
dan terus berlanjut hingga tahun 2010 tumbuh sebesar 5,1 persen. Pertumbuhan tersebut
didorong oleh industri Alat angkut, mesin, dan peralatan serta industri pupuk, kimia, dan
barang karet yang masing-masing tumbuh sebesar 10,35 persen dan 4,67 persen.
Sedangkan secara proporsi sektor industri pengolahan non migas masih didominasi oleh
tiga sektor utama yang memiliki kontribusi lebih dari 70% dari total produksi sektor
industri pengolahan non migas yaitu industri alat angkut, mesin dan peralatan (28,1%),
industri makanan, minuman dan tembakau (33,6%) serta industri pupuk, kimia dan barang
karet (12,7%). Pada tahun 2011 sektor industri pengolahan non migas diperkirakan
tumbuh sekitar 5,8%.
GAMBAR 3.3
GAMBAR PERTUMBUHAN INDUSTRI NON MIGAS
6.00
5.00
% Pertumbuhan
4.00
3.00
2.00
1.00
10-IV
10-IIII
10-II
10-I
09-IV
09-IIII
09-II
09-I
08-IV
08-IIII
08-II
08-I
0.00
Tahun-Triwulan
Sumber: BPS
TABEL 3.7
PERTUMBUHAN INDUSTRI PENGOLAHAN NON MIGAS
Subsektor Industri
(persen)
Target 2011
(%)
2009 (%)
2010(%)
1). Makanan, Minuman, Tembakau
11,22
2,73
6,70
2). Tekstil, Brg. Kulit dan Alas Kaki
0,60
1,74
3,40
3). Brg. Kayu dan Hasil Hutan
-1,38
-3,50
2,70
4). Kertas dan Barang Cetakan
6,34
1,64
5,00
5). Pupuk, Kimia dan Barang Karet
1,64
4,67
5,50
6). Semen, Brg.Galian Non Logam
7). Logam Dasar Besi dan Baja
-0,51
-4,26
2,16
2,56
3,50
3,00
8). Alat Angkut, Mesin, Peralatan
-2,87
10,35
6,70
9). Barang Lainnya
3,19
2,98
5,60
Industri Pengolahan Non Migas
2,56
5,09
5,80
Sumber: BPS
II.3-14
RKP 2012
Seiring dengan pertumbuhan yang telah dicapai sektor industri pengolahan,
penyerapan tenaga kerja di sektor ini juga meningkat. Berdasarkan data BPS, terdapat
peningkatan jumlah tenaga kerja sebesar 980 ribu jiwa atau meningkat sebesar 7 persen
untuk periode Agustus 2009 sampai dengan Agustus 2010. Pertumbuhan penyerapan
tenaga kerja ini diperkirakan akan terus berlanjut apabila perbaikan iklim dan
pertumbuhan ekonomi dapat terus dipertahankan. Sementara itu penanaman modal
sebagai salah satu faktor pendorong pertumbuhan sektor industri juga menunjukkan
peningkatan (tabel 3.9).
TABEL 3.8
PENDUDUK USIA 15 TAHUN KE ATAS YANG BEKERJA DI SEKTOR INDUSTRI
PENGOLAHAN
2009
(Agustus)
(juta pekerja)
2010
(Agustus)
(juta pekerja)
Sektor Industri pengolahan
12,84
13,82
Total Pekerja
104,87
108,21
Lapangan Pekerjaan
Sumber: BPS
TABEL 3.9
PENANAMAN MODAL DAN PENYALURAN KREDIT
DI SEKTOR INDUSTRI
Keterangan
Nilai Realisasi Investasi (Rp Triliun)*)
Nilai Realisasi Investasi (USD Milyar)*)
Outstanding Penyaluran Kredit (Rp Triliun)**)
2009
19,4
3,8
246,19
2010
25,6
3,4
274,33
Sumber:
*) BKPM
**) Sumber: Bank Indonesia
Masih terkait dengan sektor industri, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai
salah satu pelaku dalam perekonomian nasional terus dibina oleh pemerintah Indonesia
agar mampu tumbuh sehat mengikuti perkembangan jaman dan mampu bersaing di
kancah global. Langkah-langkah pembinaan yang telah dilakukan tersebut menunjukkan
hasil yang semakin baik (Tabel 3.10). Total aset kelolaan BUMN terus mengalami
peningkatan. Total aset kelolaan adalah Rp.2.194,6 triliun pada tahun 2009, dan meningkat
menjadi Rp 2.346,8 triliun pada tahun 2010 (belum diaudit). Sejalan dengan itu, besarnya
keuntungan yang diraih BUMN juga terus meningkat. Laba bersih yang mencapai 85,8
triliun pada tahun 2009, diperkirakan mencapai Rp 97,9 triliun pada tahun 2010.
RKP 2012
II.3-15
TABEL 3.10
PERKEMBANGAN BUMN
TAHUN 2005-2010
Realisasi RPJMN 2005-2009
Satuan
Jumlah
BUMN
Total Aset
RPJMN 20102014
2010
(unaudited)
2005
2006
2007
2008
2009
Perusahan
139
139
139
141
141
142
Rp. Triliun
1.365,8
1.956,0
2.194,6
2.346,8
Laba Bersih Rp. Triliun
Pengeluaran Rp. Triliun
Modal
Pengeluaran Rp. Triliun
Operasi
1.444,6 1.710,9
42,3
39,9
54,7
48,0
62.9
91,0
77,7
128,3
85,8
107,2
97,9
196,9
538,8
672,1
748,0
1.028,4
833,0
893,1
Sumber: Kementerian BUMN
GAMBAR 3.4
KONTRIBUSI BUMN UNTUK APBN
Dengan semakin membaiknya kinerja BUMN, bagian laba BUMN yang diserahkan ke
kas negara juga meningkat (Gambar 3.3), Bagian laba BUMN yang diserahkan ke kas negara
adalah Rp 26,0 triliun pada 2009, dan diperkirakan mencapai Rp 30,1 triliun pada tahun
2010 (belum diaudit).
Selama periode 2007–2010 terjadi penambahan jumlah BUMN, yaitu dari 139 BUMN
menjadi 142 BUMN. Ketiga BUMN baru tersebut adalah PT Dirgantara Indonesia yang
sebelumnya dikelola oleh PT Perusahaan Pengelola Asset, PT Askrindo yang sebelumnya
mayoritas sahamnya dikuasai oleh Bank Indonesia, dan Kantor Berita Nasional Antara yang
sebelumnya merupakan lembaga penyiaran publik.
II.3-16
RKP 2012
Selain itu hingga akhir tahun 2010, nilai kapitalisasi pasar seluruh 18 emitten BUMN
yang mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia mencapai Rp 819 triliun atau mencapai
26 persen dari total kapitalisasi pasar. Dengan kondisi perbaikan ekonomi pasca krisis
ekonomi global dan rencana Penawaran Saham Perdana (Initial Public Offering/IPO)
sejumlah BUMN, nilai kapitalisasi pasar BUMN diperkirakan akan mencapai Rp 1.000
triliun di akhir tahun 2011.
3.1.9. Ketenagakerjaan
Di bidang ketenagakerjaan, berbagai hasil yang telah dicapai/kondisi umum dalam
tahun 2009 – 2010 antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, antara tahun 2009-2010,
lapangan kerja yang tercipta mencapai 3,34 juta orang. Dari jumlah tersebut jumlah
lapangan kerja formal meningkat sekitar 3,64 juta dan lapangan kerja informal menurun
sekitar 300.000 orang. Dengan kondisi ini, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada
Agustus 2010 telah menurun dan mencapai 7,14 persen atau 8,32 juta orang dari tahun
sebelumnya yang sebesar 7,87 persen. Pada Februari 2011 TPT ini telah mencapai 6,80
persen atau 8,12 juta orang. Kedua, pada Februari 2011 TPT untuk seluruh jenjang
pendidikan yang ditamatkan menurun, kecuali untuk jenjang SMP dan SMA. TPT lulusan SD
ke bawah, SMK, Diploma I/II/III, dan universitas menurun dari masing-masing 3,71 persen,
13,81 persen, 15,71 persen, dan 14,24 persen pada 2010 menjadi 3,37 persen, 10,00
persen, 11,59 persen, dan 9,95 persen pada 2011. Sementara itu, TPT lulusan SMP dan SMA
masing-masing meningkat dari 7,55 persen menjadi 7,83 persen dan 11,90 persen menjadi
12,17 persen. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi selama tahun 2010 telah
mampu memberikan lapangan kerja, terutama lapangan kerja formal meskipun jumlahnya
masih terbatas, untuk lulusan seluruh jenjang pendidikan.
Ketiga, infrastruktur dan aplikasi sistem informasi layanan pekerja migran/TKI (SIM
TKI) telah terbangun. SIM TKI ini nantinya akan mengintegrasikan sistem informasi yang
dimiliki oleh K/L terkait yang mendukung pelayanan dan perlindungan TKI, seperti
informasi kependudukan, informasi keimigrasian, informasi job-order, dan lain-lain. Pada
tahun 2011, ditargetkan sistem informasi di 3 K/L telah terhubung dengan SIM TKI dan
terlaksana uji coba pengintegrasian dengan sistem layanan kependudukan di tiga
kabupaten/kota. Keempat, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI)
telah merintis pembentukan pusat layanan 24 jam (hotline service/crisis center) sebagai
pusat penerimaan pengaduan dan fasilitasi penyelesaian masalah TKI. Mekanisme kerja
penanganan pengaduan yang diterima oleh hotline service ini diharapkan selesai tahun
2011. Kelima, Pemerintah juga telah meluncurkan program Kredit Usaha Rakyat bagi TKI
(KUR TKI). Tujuan penyaluran KUR TKI adalah membantu TKI untuk membiayai proses
penempatan bekerja di luar negeri, sehingga TKI akan terhindar dari jerat utang rentenir.
Fasilitas kredit ini diharapkan juga dapat mengurangi permasalahan sosial yang timbul
akibat potongan gaji yang sangat besar pada tahun pertama TKI bekerja. Penyaluran KUR
TKI akan mendorong adanya kepastian jumlah biaya yang harus dibayar dalam mengurus
seluruh dokumen serta pelatihan yang diperlukan dalam proses penempatan. Pada akhir
tahun 2010, tiga bank siap menyalurkan KUR TKI yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank
Mandiri, dan Bank Negara Indonesia (BNI).
RKP 2012
II.3-17
3.1.10. Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)
Pemberdayaan koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah (UMKM) merupakan
upaya strategis untuk meningkatkan pembangunan ekonomi yang bertumpu pada
kekuatan masyarakat sebagai pelaku utamanya. Hal ini mengingat peran koperasi dan
UMKM yang besar dalam penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, dan
termasuk penanggulangan kemiskinan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan
masyarakat.
Perkembangan pemberdayaan koperasi ditunjukkan oleh peningkatan jumlah
koperasi pada tahun 2009 yang mencapai 170.411 unit, jumlah anggota mencapai sekitar
29,2 juta orang yang masing-masing meningkat sebesar 10 persen dan 7,03 persen
dibandingkan tahun 2008. Pada periode 2008-2009, koperasi juga menunjukkan perbaikan
dari sisi kelembagaan yang ditunjukkan dengan peningkatan jumlah koperasi aktif sebesar
10,59 persen menjadi 120.473 unit. Pada periode yang sama, persentase jumlah koperasi
aktif yang menjalankan rapat anggota tahunan (RAT) naik dari 43,28 persen menjadi 48,59
persen. Dari sisi kinerja usaha, pada tahun 2009 volume usaha adalah sebesar Rp. 82
triliun dan sisa hasil usaha koperasi sebesar Rp. 5,3 triliun atau mengalami peningkatan
masing-masing sebesar 19,9 persen dan 5,2 persen. Sementara itu penyerapan tenaga kerja
oleh koperasi pada Desember 2009 tercatat sebanyak 357.330 orang.
Perkembangan pemberdayaan UMKM juga terus meningkat, dari sisi jumlah, serapan
tenaga kerja, dan sumbangan produk domestik bruto (PDB). Pada tahun 2009, jumlah
UMKM mencapai 52,8 juta unit usaha, dengan jumlah tenaga kerja 96,2 juta orangatau
masing-masing meningkat sebesar 2,9 persen dan 2,3 persen dari tahun sebelumnya.
Sumbangan UMKM terhadap pembentukan PDB nasional pada tahun yang sama mencapai
56,5 persen. Produktivitas per unit UMKM (berdasarkan harga konstan tahun 2000) pada
tahun 2009 juga menunjukkan peningkatan sebesar 1,5 persen dari produktivitas usaha
pada tahun 2008, yang sebesar Rp. 22,7 juta/unit usaha. Namun sumbangan UMKM pada
total nilai ekspor non migas mengalami penurunan dari 18,1 persen pada tahun 2008
menjadi 17,0 persen pada tahun 2009. Pelambatan ekspor UMKM ini disebabkan oleh
belum pulihnya pasar Eropa dan Amerika yang menjadi pasar ekspor utama bagi produkproduk yang dihasilkan oleh UMKM.
3.1.11. Jaminan Sosial
Kemiskinan merupakan isu yang dinamis dan sangat kompleks. Permasalahan
kemiskinan secara berkesinambungan telah menjadi prioritas dalam pembangunan dan
bersifat multisektoral. Penyelenggaraan pembangunan di bidang sosial untuk mendukung
upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan dalam bentuk perlindungan sosial yang
meliputi bantuan sosial (social assistance) dan jaminan sosial (social insurance). Bantuan
sosial merupakan bantuan yang diberikan secara langsung oleh Pemerintah dan tidak
mensyaratkan kontribusi dari masyarakat, sedangkan jaminan sosial merupakan sistem
perlindungan sosial yang memerlukan kontribusi/iuran dari masyarakat atau peserta.
Perlindungan sosial ditujukan untuk meningkatkan akses masyarakat miskin dan/atau
rentan dalam memenuhi kebutuhan dasar dan melindungi masyarakat secara umum dari
risiko goncangan akibat krisis dan bencana.
II.3-18
RKP 2012
Pembangunan jaminan sosial di Indonesia dimulai pada tahun 1960-1970, ketika
Pemerintah mendirikan PT Taspen, PT Askes, dan PT. Asabri sebagai penyelenggara
jaminan pensiun, jaminan hari tua dan jaminan kesehatan bagi PNS dan TNI/Polri.
Pemerintah kemudian menambah pilar jaminan sosial bagi pegawai swasta dan BUMN
melalui pendirian PT Jamsostek pada tahun 1995. Walaupun demikian, perkembangan
cakupan jaminan sosial di Indonesia masih belum optimal, sehingga hanya kurang lebih
setengah populasi penduduk Indonesia yang bisa menikmati jaminan sosial yang layak.
Program jaminan kesehatan masih terbatas pada pekerja sektor formal (PNS, TNI/Polri,
dan sektor swasta), dengan jumlah cakupan peserta seperti tabel berikut.
TABEL. 3.11
PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN DI INDONESIA 2010
Penyedia
Asuransi
Askes
Jamsostek
Kementerian
Pertahanan
KemenKes
(Jamkesmas)
Status
Kontribusi
4 % dari gaji pokok: 2 %
pekerja, 2 % pemberi
kerja
BUMN
BUMN
Pemerintah
3-6 % dari gaji pokok,
semua dibayar pemberi
kerja
2 % dari gaji pokok,
dibayar oleh pekerja
Cakupan
Peserta
Juta
PNS, Pensiunan,
16,5
Veteran TNI/Polri
Sektor Swasta
2,2
(Inhealth)
Sektor Swasta
3,1
Sektor Informal
TNI/Polri, PNS
Kemenhan
Masyarakat Miskin,
Data BPS (PMT)
0,8
2
76,4
%
7,1%
0,95%
1,33%
0,34%
0,86%
Pemerintah
APBN
Pemda
(Jamkesda)
Pemerintah
APBD
Masyarakat Miskin,
Data Pemda
10,8
Lainnya
Swasta
Beragam
Pekerja Swasta
6,6
2,84%
Total Cakupan Jaminan Kesehatan
118,4
50,90%
Total yang tidak tercakup
114,2
49,10%
Total Penduduk
232,6
32,85%
4,64%
Sumber: diolah dari berbagai sumber (Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan, Kemenkes, PT Askes, PT
Taspen, PT Asabri, PT Jamsostek).
Skema jaminan sosial menyediakan potensi sistem perlindungan sosial yang lebih adil dan
berkesinambungan, terutama dari sisi keuangan dan beban anggaran Pemerintah. Oleh karena
itu, seharusnya skema ini didorong sebagai mekanisme utama dalam sistem perlindungan sosial.
Dalam mewujudkan revitalisasi jaminan sosial tersebut, dimulailah reformasi jaminan sosial di
Indonesia untuk membangun sistem yang lebih baik. Pada tahun 2004, telah disahkan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU SJSN ini
mewajibkan tersedianya lima macam jaminan sosial dengan cakupan universal, yaitu: (1)
jaminan kesehatan; (2) jaminan pensiun; (3) jaminan hari tua; (4) jaminan kecelakaan kerja; dan
(5) jaminan kematian. Tindak lanjut implementasi UU tersebut adalah pembentukan Dewan
Jaminan Sosial Nasional (DJSN), sesuai Peraturan Presiden RI Nomor 44 Tahun 2008. DJSN
berfungsi merumuskan kewajiban umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN. Sejak
RKP 2012
II.3-19
pembentukan DJSN, usaha implementasi UU SJSN terus berlanjut, diantaranya melalui
penetapan fokus prioritas Penataan Kelembagaan SJSN, dengan agenda utama penataan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2010-2014.
Di dalam RPJMN 2010-2014, selain berkomitmen untuk menata BPJS, Pemerintah juga
menargetkan tercapainya cakupan semesta (universal coverage) jaminan kesehatan pada tahun
2014.
Di samping itu, secara simultan, pembangunan skema jaminan sosial lainnya dimulai.
Perkembangan proses penataan kelembagaan sampai dengan awal tahun 2011 antara lain adalah
tersusunnya berbagai rancangan regulasi, diantaranya:
1. Rancangan Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS).
Saat ini RUU BPJS sedang dalam pembahasan Pemerintah dan DPR;
2. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penerima Bantuan Iuran (RPP PBI). Saat ini
RPP PBI sedang dalam pembahasan Pemerintah; dan
3. Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan (RPerPres Jaminan
Kesehatan). Saat ini RPperPres Jaminan Kesehatan sedang dalam pembahasan
Pemerintah.
Selain menyusun rancangan regulasi, DJSN sebagai perumus kebijakan jaminan sosial
bersama dengan Bappenas, juga menyusun peta jalan (Road Map) bagi peningkatan
cakupan jaminan sosial kesehatan.
3.2.
Permasalahan dan Sasaran Pembangunan Tahun 2012
3.2.1. Investasi
Perbaikan iklim investasi di Indonesia meningkat cukup pesat yang ditandai dengan
membaiknya berbagai indeks yang terkait dengan daya saing Indonesia. Namun demikian,
kinerja membaiknya iklim investasi domestik masih belum sekompetitif negara-negara
anggota ASEAN lainnya, oleh karena masih menghadapi berbagai masalah yang harus
diselesaikan. Masalah pokok yang dihadapi adalah: (i) belum harmonisnya antar peraturan
di tingkat pusat, dan belum sinkronnya antara peraturan pusat dengan daerah yang
menghambat upaya penyederhanaan dan percepatan proses perijinan investasi; (ii) masih
banyaknya pungutan dan retribusi yang membebani pengusaha yang berdampak pada
kurang kondusifnya iklim investasi di Indonesia; dan (iii) masih banyaknya perda
bermasalah di daerah, dan (iv) masalah ketenagakerjaan yang menyebabkan kurang
kompetensinya pasar tenaga Indonesia. Sementara itu, kebutuhan mendasar yang perlu
segera dipenuhi terutama infrastruktur dan energi untuk memperlancar arus barang dan
orang, memperbaiki dan memperlancar sistem distribusi, serta
meningkatkan
produktivitas.
Sasaran pertumbuhan investasi dalam tahun 2012 adalah 11,5 persen. Khusus untuk
investasi sektor nonmigas, PMDN diharapkan akan mencapai Rp 79,4 triliun dan PMA USD
22,7 miliar.
II.3-20
RKP 2012
3.2.2. Ekspor
Permasalahan dan tantangan pokok yang dihadapi di bidang perdagangan luar negeri
adalah semakin tingginya tingkat persaingan produk ekspor nonmigas – terutama produk
manufaktur – di pasar global; karena proses produksi di negara pesaing yang lebih efisien
dengan produk yang lebih beragam. Selain itu, proses penyeimbangan perdagangan global
(global trade rebalancing) ke depan diperkirakan akan terus berlanjut sehingga berakibat
pada menurunnya impor negara-negara maju –terutama Amerika Serikat—yang
berpotensi menyebabkan turunnya permintaan Amerika terhadap produk ekspor
Indonesia. Dengan demikian, tantangan ke depan adalah perlunya upaya untuk menerobos
pasar ekspor lainnya yang lebih prospektif.
Selain itu, kontribusi ekspor produk sektor industri (bernilai tambah tinggi)
cenderung menurun dalam lima tahun terakhir, dimana pada tahun 2010 kontribusinya
terhadap total ekspor hanya sebesar 62,1 persen sedangkan di tahun 2007 mencapai 67,0
persen. Di lain pihak, peran ekspor produk pertambangan terus meningkat hingga
mencapai 16,9 persen di tahun 2010, dari yang sebesar 10,4 persen di tahun 2007. Hal ini
menunjukkan bahwa ekspor komoditas pertambangan, yang pada dasarnya hanya
mengandalkan sumber daya alam dengan nilai tambah rendah, meningkat lebih tinggi
dibandingkan dengan ekspor produk manufaktur. Beberapa kemungkinan penyebabnya
antara lain adalah: (i) menurunnya daya saing ekspor produk manufaktur Indonesia di
pasar global karena semakin banyaknya negara pesaing (terutama dari negara
berkembang) yang memasarkan produk sejenis, (ii) meningkatnya hambatan non tarif
yang ditandai dengan besarnya perhatian negara pengimpor terhadap penerapan standar
lingkungan dan standar kesehatan, dilain pihak beberapa produk manufaktur Indonesia
belum sepenuhnya dapat memenuhi kualifikasi yang disyaratkan; serta (iii) kurangnya
informasi akses pasar, sehingga para eksportir belum dapat memanfaatkan peluangnya
secara optimal.
GAMBAR 3.5
KONTRIBUSI EKSPOR BERDASARKAN SEKTOR
Sumber: BPS (diolah)
Sasaran pembangunan bidang perdagangan luar negeri tahun 2012 adalah meningkatnya
ekspor nonmigas sebesar 13,5 persen.
RKP 2012
II.3-21
3.2.3. Pariwisata
Pembangunan kepariwisataan nasional telah menunjukkan perkembangan yang
menggembirakan, namun pertumbuhan kunjungan wisman belum mencapai pertumbuhan
tertinggi seperti pertumbuhan pada periode 2003-2004 (sebesar 19,1 persen).
GAMBAR 3.6
PERKEMBANGAN KUNJUNGAN WISMAN
GAMBAR 3.7
PERBANDINGAN KUNJUNGAN WISMAN ANTARNEGARA ASEAN
TAHUN 2006—2009
II.3-22
RKP 2012
Disamping itu, jumlah kunjungan wisman yang masih jauh tertinggal di bawah
negara-negara lain di ASEAN seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura. Hal ini
menunjukkan bahwa daya saing kepariwisataan Indonesia masih rendah. Oleh karena itu,
berbagai permasalahan yang harus dipecahkan dan dihadapi pada tahun 2012 dalam
pembangunan kepariwisataan antara lain adalah:
1.
Destinasi pariwisata belum sepenuhnya siap bersaing di pasar global, yang
disebabkan antara lain oleh:
(i)
belum efektifnya kebijakan pemerintah dalam menciptakan iklim usaha dan
investasi di bidang pariwisata;
(ii)
belum optimalnya kemitraan dan kerja sama antara pemerintah dan swasta
termasuk masyarakat (public and private partnership);
(iii) belum optimalnya pengelolaan destinasi pariwisata yang berbasis pada
pengembangan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism development);
(iv) belum memadainya sarana dan prasarana pendukung pariwisata, seperti
transportasi darat, laut dan udara, dan ketersediaan fasilitas umum; dan
(v)
2.
3.
belum meratanya pembangunan pariwisata terutama antara kawasan Indonesia
Barat dan Timur;
Pelaksanaan promosi dan pemasaran pariwisata yang belum efektif, yang disebabkan
antara lain oleh:
(i)
belum optimalnya pemanfaatan media massa, elektronik, media cetak dan
teknologi informasi dan komunikasi (information and communication
technology/ICT) sebagai sarana promosi pariwisata di dalam dan di luar negeri,
yang didukung oleh ketersediaan informasi dan basis data pariwisata yang
memadai; dan
(ii)
belum optimalnya kemitraan antar pelaku pariwisata dalam melakukan
promosi pariwisata; dan
Daya saing sumber daya pariwisata masih rendahyang disebabkan antara lain oleh:
(iii) masih terbatasnya jumlah, jenis, kualitas dan sebaran SDM di bidang pariwisata;
dan
(iv) belum optimalnya kapasitas dan kualitas penelitian dan pengembangan di
bidang pariwisata.
Di samping itu, pembangunan pariwisata juga masih menghadapi tantangan, antara
lain:
1.
Menciptakan iklim usaha dan investasi pariwisata yang kondusif;
2.
Meningkatkan kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat (public private
partnership) dan kerjasama lintas bidang dalam pengembangan pariwisata
berkelanjutan yang berbasis pada ilmu pengetahuan, teknologi dan jasa;
3.
Meningkatkan promosi dan pemasaran berbasis teknologi informasi dan teknologi;
RKP 2012
II.3-23
4.
Meningkatkan profesionalisme dan kemampuan (skill) SDM di bidang pariwisata
dalam menghadapi persaingan global dan liberalisasi tenaga kerja sehingga mampu
meningkatkan pelayanan prima kepada wisatawan.
Dengan berbagai kebijakan yang ditempuh untuk memecahkan masalah dan
menghadapi tantangan, sasaran pembangunan kepariwisataan tahun 2012 adalah:
1. Meningkatnya jumlah wisatawan mancanegara menjadi 7,5 juta orang dan jumlah
perjalanan wisatawan nusantara menjadi 245 juta perjalanan;
2. Meningkatnya kontribusi pariwisata terhadap penyerapan tenaga kerja nasional
menjadi 8,50 juta orang;
3. Meningkatnya kontribusi pariwisata terhadap PDB menjadi sebesar 5,10 persen;
4. Meningkatnya nilai investasi terhadap nilai investasi nasional menjadi 5,76 persen;
5. Meningkatnya perolehan devisa yang diperoleh dari kunjungan wisman menjadi USD
7,65 miliar; dan
6. Meningkatnya pengeluaran wisatawan nusantara menjadi sebesar Rp. 171,00 triliun.
3.2.4. Daya Beli Masyarakat
Daya beli masyarakat perlu terus dijaga agar tetap meningkat sehingga tetap dapat
menjadi penopang pertumbuhan ekonomi. Daya beli masyarakat akan dijaga melalui: (i)
peningkatan stabilitas harga; (ii) peningkatan ketersediaan barang terutama bahan pokok;
serta (iii) penguatan perdagangan dalam negeri yang berkesinambungan untuk mendorong
transaksi perdagangan domestik dan meningkatkan kesempatan berusaha. Oleh sebab itu,
permasalahan utama yang perlu dipecahkan adalah: pertama, belum optimalnya upaya
untuk meningkatkan sistem logistik nasional, sehingga menyebabkan biaya distribusi
barang yang cukup tinggi dan terganggunya ketersediaan bahan pokok pada waktu-waktu
tertentu; kedua, masih perlunya upaya penguatan pasar domestik dan peningkatan
efisiensi pasar komoditas; serta ketiga, masih perlunya upaya untuk terus meningkatkan
efektivitas pengawasan, untuk dapat memberikan iklim yang kondusif bagi pengembangan
bisnis dan meningkatkan perlindungan terhadap konsumen.
Sasaran yang akan dicapai dalam peningkatan daya beli masyarakat pada tahun 2012
adalah:
1.
Menjaga stabilitas harga dengan mengupayakan menjaga tingkat inflasi sebesar 5,5
persen;
2.
Meningkatnya pertumbuhan PDB sub sektor perdagangan sebesar 7,5 persen;
3.
Meningkatnya efektivitas pengawasan dan iklim usaha perdagangan.
3.2.5. Keuangan Negara
Dilihat dari pencapaian kinerja pembangunan bidang Keuangan Negara di tahun 2010
dan perkiraan pencapaian tahun 2011, permasalahan yang diperkirakan masih akan
dihadapi dalam pengelolaan APBN yang berlanjutan antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, yang terkait dengan pendapatan Negara. Pendapatan negara bersumber
dari penerimaan perpajakan, penerimaan bea dan cukai, serta Penerimaan Negara Bukan
II.3-24
RKP 2012
Pajak (PNBP). Dari sisi penerimaan perpajakan, salah satu permasalahan yang dihadapi
adalah realisasi penerimaan yang masih di bawah potensi penerimaannya sehingga
coverage ratio-nya masih rendah. Kondisi ini disebabkan oleh: (1) belum optimalnya
kualitas pelayanan perpajakan secara merata di seluruh wilayah Indonesia; (2) belum
optimalnya pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung pelayanan dan
peningkatan kepatuhan wajib pajak; serta (3) masih rendahnya kualitas SDM yang
memenuhi harapan organisasi dan masyarakat.
Dari sisi kepabeanan dan cukai permasalahan utama yang dihadapi adalah: (1) belum
optimalnya sistem dan prosedur pelayanan kepabeanan dan cukai; (2) belum efektifnya
sistem pengawasan kepabeanan dan cukai; serta (3) belum memadainya sarana dan
prasarana dalam rangka mendukung sistem pelayanan dan pengawasan kepabeanan dan
cukai.
Sementara itu, dari sisi PNBP permasalahan utama yang masih dihadapi ke depan
adalah: (1) adanya kecenderungan penurunan produksi minyak bumi yang disebabkan,
terutama, oleh faktor alam dan rendahnya investasi baru migas; (2) masih tingginya
kegiatan pembalakan liar (illegal logging) yang mengakibatkan penurunan potensi PNBP
kehutanan; serta (3) masih tingginya risiko tidak tercapainya penerimaan atas laba BUMN,
terutama karena faktor kinerja BUMN dan makroekonomi;
Kedua, terkait dengan belanja Negara, permasalahan utama yang dihadapi adalah: (1)
terbatasnya ruang gerak fiskal yang disebabkan oleh komposisi dan struktur belanja
negara yang tidak sehat, di antaranya alokasi belanja wajib meliputi belanja pegawai,
subsidi, dan pembayaran bunga utang lebih besar jika dibandingkan dengan belanja untuk
investasi; (2) belum optimalnya pelaksanaan sistem pengelolaan belanja negara, seperti
yang diamanatkan dalam UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang
diantaranya meliputi sistem penganggaran terpadu (unified budget), anggaran berbasis
kinerja (performance based budgeting), dan kerangka pengeluaran dalam jangka menengah
(medium term expenditure framework); serta (3) masih rendahnya efektivitas dan efisiensi
pengeluaran negara sebagai dampak dari (a) belum sinkronnya dana desentralisasi dengan
dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan, terutama dalam hal akuntabilitas
pengelolaannya; dan (b) belum adanya sinergi antara program nasional dan kebijakan di
daerah menjadikan pengeluaran APBD dan pengeluaran APBN untuk daerah tidak efektif.
Ketiga, terkait dengan pembiayaan APBN, permasalahan dihadapi oleh pembiayaan
APBN yang bersumber, baik dari dalam maupun luar negeri. Beberapa permasalahan
utama di bidang pembiayaan APBN dalam negeri adalah: (1) belum optimalnya
pengelolaan portofolio Surat Berharga Negara (SBN); (2)belum optimalnya pasar dan
infrastruktur SBN; serta (3) masih lemahnya koordinasi pengelolaan SBN.
Sementara itu, permasalahan utama yang dihadapi dalam pembiayaan luar negeri
adalah: (1) tingginya beban pembayaran cicilan pokok utang dan bunga utang pemerintah;
(2) belum optimalnya efisiensi dan efektivitas pemanfaatan utang luar negeri yang
berdampak terhadap meningkatnya beban commitment fee akibat dari keterlambatan
pemenuhan persyaratan pemberi pinjaman (lender), khususnya pada utang baru.
Keempat, terkait dengan perbendaharaan Negara, beberapa permasalahan yang perlu
mendapat perhatian ke depan adalah: (1) penyiapan berbagai peraturan perundangundangan yang terkait dengan perbendaharaan; (2) masih terdapat rekening pemerintah
di berbagai kementerian negara/lembaga yang keberadaannya tidak mencerminkan
RKP 2012
II.3-25
praktik yang sehat dalam pengelolaan keuangan negara; (3) pelaksanaan pengelolaan kas
(cash management) yang belum dapat dilaksanakan secara optimal, khususnya terkait
dengan pelaksanaan kas (cash forecasting) dan pemanfaatan dana pemerintah yang
menganggur (idle cash); (4) masih terdapat BUMN/BUMD serta pemerintah daerah yang
kesulitan melunasi kewajibannya kepada pemerintah pusat atas pemberian penerusan
pinjaman yang dananya bersumber dari penerusan pinjaman/SLA, Rekening Dana
Investasi/RDI dan rekening pembangunan daerah; (5) peningkatan efisiensi belanja
barang/jasa pemerintah; serta (6) ketimpangan dan ketidakseragaman penggunaan sarana
dan prasarana antar kantor vertikal.
Kelima, terkait dengan pengeloaan barang milik Negara, beberapa permasalahan
utama yang dihadapi adalah sebagai berikut: (1) belum tersedianya peraturan perundangundangan secara lengkap terkait dengan pengelolaan kekayaan negara, termasuk
penatausahaan kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN dan BHMN; (2) belum
optimalnya pengamanan Barang Milik Negara (BMN), baik secara administratif, hukum,
dan fisik; (3) belum optimalnya pemanfaatan BMN sesuai prinsip The Highest and Best Use;
serta (4) masih lemahnya koordinasi antara kementerian dan lembaga terkait dengan
penilaian barang milik negara;
Bertolak dari berbagai permasalahan yang ada dan berbagai hal yang ingin dicapai
dalam tahun 2012, sasaran sektor keuangan negara pada tahun 2012 adalah sebagai
berikut. Pertama,
menciptakan dan memantapkan stabilitas ekonomi terhadap
kemungkinan timbulnya gejolak ekonomi, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam
negeri. Kedua, memberikan dorongan terhadap percepatan dan perluasan pertumbuhan
ekonomi dengan tetap menjaga keberlanjutan fiskal. Ketiga, meningkatkan efektivitas dan
efisiensi belanja negara. Keempat, meningkatkan daya guna dan hasil guna pengelolaan
kekayaan negara, serta optimalisasi pengamanan BMN, baik secara administrasi, hukum,
maupun fisik
3.2.6. Stabilitas Harga dan Nilai Tukar
Dari sisi eksternal, membaiknya perekonomian dunia selain akan meningkatkan
permintaan barang dan jasa sehingga mendorong perdagangan internasional, juga akan
mengalirkan likuiditas perekonomian ke segenap penjuru dunia, khususnya ke emerging
economies. Hal ini pada gilirannya akan memberikan tekanan terhadap inflasi dan nilai
tukar berbagai negara. Dalam hal stabilitas nilai tukar Rupiah, fleksibilitas nilai tukar
sebagai salah satu syarat penerapan kerangka pencapaian sasaran inflasi (Inflation
Targeting Framework – ITF) berpotensi mendorong gejolak nilai tukar Rupiah dalam
sistem devisa bebas sehingga dapat mendorong kenaikan harga barang-barang yang
diimport (imported inflation) dan mempengaruhi stabilitas sektor keuangan.
Sementara itu maraknya aksi protes terhadap pemerintahan di kawasan TimurTengah dan Afrika Utara (MENA) sebagai pemasok 36 persen minyak dunia telah
mendorong kenaikan harga minyak dunia. Oleh Badan Informasi Energi AS (US-EIA) harga
minyak mentah WTI (West Texas Intermediate) pada tahun 2011 diprediksi bisa mencapai
USD 101,77/barrel. Hal ini akan mendorong peningkatan risiko fiskal (fiscal risk)
Pemerintah dan memberikan tekanan kepada keberlanjutannya (fiscal sustainability) serta
mendorong inflasi dari komponen harga barang yang diatur oleh Pemerintah (administered
proces) yang pada gilirannya akan memicu harga-harga barang/jasa lainnya. Faktor lain
II.3-26
RKP 2012
yang perlu dicermati adalah perubahan iklim global yang dapat memicu munculnya cuaca
ekstrim seperti La-Nina dan El-Nino sehingga berpotensi menimbulkan gangguan dari sisi
pasokan/produksi di negara2 pengekspor bahan pangan, terutama yang masih diimpor
Indonesia seperti beras, gandum dan kedelai.
Dari sisi domestik, permasalahan dan tantangan stabilitas harga adalah
meningkatkan penyediaan bahan pokok kebutuhan masyarakat dengan meningkatkan
produksi seiring dengan upaya-upaya percepatan dan perluasan pertumbuhan ekonomi.
Untuk itu sistem distribusi perlu disempurnakan dan didukung oleh sistem logistik yang
handal, yang antara lain mencakup sub-sistem transportasi/perhubungan, infrastruktur
dan sistem pelayanan pelabuhan/kepabeanan. Perkembangan harga bahan pokok yang
berfluktuasi memerlukan pemantauan dan evaluasi secara cepat dan seksama, di dukung
oleh pemantapan sistem distribusi yang tersebar di berbagai daerah serta intervensi
(operasi pasar) yang tepat waktu dan terukur. Terjaganya harga bahan pokok diharapkan
dapat mengendalikan laju inflasi. Penyesuaian harga barang dan jasa yang diatur
Pemerintah (administered prices) perlu dikelola secara berhati-hati dan tepat waktu (time
consistent) agar tidak menimbulkan lonjakan inflasi yang berarti seperti rencana kebijakan
pengaturan BBM bersubsidi. Selain itu, faktor lingkungan dan kelembagaan usaha yang
menciptakan ekonomi biaya tinggi seperti belum optimalnya layanan birokrasi pemerintah
serta banyaknya pungutan/ retribusi baik di tingkat pusat maupun daerah (provinsi dan
kabupaten/kota) juga berpotensi meningkatkan inflasi.
Terjaganya laju inflasi, diharapkan dapat mendorong suku bunga perbankan tetap
kondusif sesuai dengan dengan kondisi perekonomian. Meskipun demikian, luasnya
wilayah negara yang berbentuk kepulauan, masih terbatasnya prasarana (infrastruktur)
dan sarana perhubungan serta struktur pasar beberapa komoditas pangan pokok yang
lebih bersifat oligipoli, diperkirakan masih menjadi faktor penghambat penurunan inflasi
agar sesuai dengan sasaran yang ditetapkan serta bisa setara dengan inflasi di negaranegara tetangga sehingga produk/perusahaan Indonesia lebih kompetitif. Selain itu,
anomali iklim dan cuaca, serta potensi bencana alam/banjir berpotensi mempengaruhi
produksi/pasokan dan transportasi bahan pangan pokok, sehingga mendorong inflasi
terutama inflasi dari bahan pangan yang harganya mudah bergejolak (volatile food prices).
3.2.7. Sektor Keuangan
Kondisi stabilitas dan kinerja sektor keuangan memang relatif baik. Namun demikian,
terdapat beberapa tantangan yang harus dapat disikapi guna lebih mengoptimalkan peran
sektor keuangan bagi pembiayaan pembangunan tanpa harus mengesampingkan prinsipprinsip kehati-hatian.
Tingginya nilai pinjaman yang telah disetujui namun belum dicairkan (undisbursed
loan) pada industri perbankan merupakan salah satu faktor yang harus diwaspadai. Dari
total penyaluran kredit perbankan yang mencapai 1.776 triliun per Desember 2010, lebih
dari 30% atau mencapai lebih dari Rp. 500 triliun, merupakan porsi kredit belum cair.
Dengan demikian, terlihat bahwa terdapat sejumlah dana yang besar pada industri
perbankan yang dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan sektor-sektor produktif
namun belum dimanfaatkan. Hal tersebut juga tercermin dari rasio kredit terhadap PDB
sebesar 28,4 persen pada tahun 2010, sedikit meningkat dibandingkan tahun sebelumnya
yang sebesar 26,7 persen. Namun, apabila dibandingkan dengan periode sebelum krisis
RKP 2012
II.3-27
moneter 1997/98, rasio tersebut masih rendah, tercatat pada periode 1994-1996 rasio
kredit terhadap PDB adalah sekitar 50 - 55 persen.
Tantangan lain yang dihadapi sektor perbankan adalah terkait dengan efisiensi. Rasio
biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) dan selisih antara suku bunga
kredit dan simpanan (interest margin) masih tinggi dibandingkan dengan negara
sekawasan. Tercatat BOPO bank umum sebesar 86,1 persen dan interest margin sebesar
5,7 persen, sementara Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina berkisar antara 32,7
persen – 73,1 persen untuk BOPO dan 2,3 persen – 4,5 persen untuk interest margin.
Di sisi lembaga keuangan non bank (LKNB), tantangan yang cukup besar adalah
memperkuat daya saing LKNB dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi.
Pemantauan dan antisipasi terhadap perkembangan lingkungan eksternal tetap perlu
dilakukan terutama dengan adanya tuntutan globalisasi dan perkembangan ekonomi
dunia. Tuntutan globalisasi menghendaki adanya perbaikan-perbaikan fundamental pada
sektor keuangan, termasuk LKNB agar mampu bersaing pada tataran regional maupun
internasional.
Dengan melihat kondisi yang ada, diperkirakan ketahanan sektor perbankan masih
cukup memadai. Rasio CAR pada tahun 2012 diperkirakan tetap stabil. Terkait dengan
fungsi intermediasi perbankan, pertumbuhan kredit pada tahun 2012 diperkirakan akan
mencapai sekitar 20,0 persen per tahun.
3.2.8. Industri dan BUMN
Di sisi sektor riil, pembangunan sektor industri dihadapkan pada permasalahan yang
ada dalam sektor itu sendiri (masalah internal) dan permasalahan yang berada di luar
sektor industri (masalah eksternal). Permasalahan internal industri secara umum dibagi
dalam tiga kelompok masalah.
Masalah pertama adalah populasi usaha industri, postur populasi industri kurang
kuat karena industri berskala besar dan sedang kurang dari 1 persen, padahal usaha
industri inilah yang berpotensi mampu memberikan kehidupan kerja yang baik bagi tenaga
kerjanya. Masalah kedua menyangkut struktur industri nasional yang belum kokoh dilihat
dari (1) penguasaan usaha/pasar; (2) keterkaitan antara industri besar dengan industri
kecil dan menegah (IKM); dan (3) keterkaitan hulu-hilir. Masalah ketiga menyangkut
produktivitas, yaitu besarnya nilai tambah yang diciptakan oleh setiap tenaga kerja di
industri yang masih rendah.
Sementara itu, permasalahan eksternal industri mencakup: (1) ketersediaan dan
kualitas infrastruktur (jaringan jalan, pelabuhan, kereta api, listrik, pasokan gas) yang
belum memadai; (2) pengawasan barang-barang impor yang belum mampu menghentikan
peredaran barang impor ilegal di pasar domestik; (3) hubungan industrial dalam
perburuhan belum terbangun dengan baik; (4) masalah kepastian hukum; dan (5) suku
bunga perbankan yang masih tinggi.
Di samping permasalahan tersebut, industri nasional menghadapi tantangan dari
produk-produk luar negeri yang semakin bebas masuk ke pasar domestik. Untuk itu
diperlukan upaya menyeluruh untuk mengamankan pasar dalam negeri dari serbuan
produk-produk yang ilegal dan yang tidak memenuhi standar, serta upaya untuk
II.3-28
RKP 2012
membantu industri nasional meningkatkan daya saingnya baik dari segi harga maupun
kualitas.
Dengan mempertimbangkan permasalahan dan tantangan yang dihadapi, serta
kesempatan yang ada, maka sasaran pertumbuhan industri pengolahan non migas tahun
2012 adalah 6,7 persen. Dari sisi BUMN, secara umum permasalahan yang dihadapi dalam
pembinaan dan pengawasannya adalah sebagai berikut:
1.
Persaingan usaha yang makin ketat akibat makin terbukanya perdagangan
internasional;
2.
Pelaksanaan otonomi daerah yang sering tidak kondusif bagi pengembangan usaha;
3.
Pelaksanaan tata kelola yang baik (good governance) di BUMN-BUMN yang masih
perlu ditingkatkan;
4.
Masih terdapat peraturan perundang-undangan yang kurang bersahabat dengan
prinsip-prinsip tata kelola maupun pelaksanaan operasional BUMN.
Sedangkan tantangannya adalah meningkatkan peran BUMN dalam menggerakkan
perekonomian nasional khususnya dalam penyediaan lapangan kerja baru. Pada tahun
2012 nilai kapitalisasi pasar BUMN ditargetkan untuk meningkat diantaranya melalui
beberapa rencana right issue dan initial public offering sebagai alternatif peningkatan
modal BUMN untuk meningkatkan kapasitas perusahaan dan penciptaan lapangan kerja
baru.
3.2.9. Ketenagakerjaan
Dari pencapaian kinerja pembangunan ketenagakerjaan dan perkiraan pencapaian
tahun 2011, persoalan yang mendesak harus ditangani adalah sebagai berikut: Pertama,
masih rendahnya tingkat pendidikan angkatan kerja sehingga menyebabkan tenaga kerja
masih memiliki produktivitas rendah dan kurang memiliki daya saing. Produktivitas tenaga
kerja di Indonesia masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia
lainnya. Kedua, belum memadainya keterampilan dan kompetensi tenaga kerja, sehingga
masih banyak tenaga kerja yang masuk ke pasar kerja belum memiliki kompetensi sesuai
kebutuhan pasar kerja dan kurang memiliki posisi tawar yang baik. Ketiga, masih
terbatasnya akses informasi pasar kerja baik pasar kerja dalam negeri maupun luar negeri.
Keempat, masih rendahnya kualitas pelayanan dan perlindungan bagi TKI, yang antara lain
ditunjukkan oleh keterbatasan akses informasi mengenai prosedur bekerja di luar negeri,
mahalnya biaya persiapan keberangkatan, masih maraknya praktek percaloan, pemalsuan
dokumen, dan penempatan ilegal di luar negeri, masih rendahnya pengetahuan dan
kompetensi calon TKI, dan lain-lain. Hal ini menyebabkan jumlah TKI yang menghadapi
masalah saat bekerja di luar negeri masih tinggi. Penanganan TKI bermasalah ini
menimbulkan biaya tinggi bagi Pemerintah.
Sasaran yang akan dicapai pada tahun 2012 adalah sebagai berikut: Pertama,
meningkatnya produktivitas tenaga kerja melalui pendidikan dan pelatihan yang sesuai
kebutuhan pasar kerja. Kedua, meningkatnya kemudahan akses informasi pasar kerja
untuk mempertemukan pencari kerja dengan pemberi kerja di daerah. Ketiga,
meningkatnya pelayanan dan perlindungan kepada TKI yang ditunjukkan dengan:
(a)
Terselenggaranya sistem informasi layanan TKI (SIM TKI) yang mengintegrasikan sistem
RKP 2012
II.3-29
informasi yang dimiliki oleh K/L terkait yang mendukung pelayanan dan perlindungan TKI;
(b) Tertanganinya seluruh pengaduan yang diterima oleh hotline service dalam waktu 2x24
jam; (c) Terwujudnya pos pelayanan TKI di kecamatan di daerah-daerah kantong TKI; dan
(d) Terlaksananya revisi UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
3.2.10. Koperasi dan UMKM
Koperasi dan UMKM masih menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan
terutama dalam hal iklim usaha dan permodalan. Permasalahan yang terkait dengan iklim
usaha yang kurang kondusif, antara lain (1) ketidakpastian dalam lokasi usaha; (2)
kesulitan dalam memproses perijinan usaha; (3) persaingan usaha yang semakin
meningkat; dan (4) tingginya biaya transaksi akibat berbagai pungutan tidak resmi.
Ketersediaan aparat dengan kapasitas yang memadai untuk membina dan memfasilitasi
kebutuhan pengembangan koperasi dan UMKM di daerah juga masih terbatas, sehingga
perkembangan koperasi dan UMKM di daerah belum optimal. Di sisi lain, program dan
kegiatan pemberdayaan koperasi dan UMKM uang dilaksanakan oleh berbagai
Kementerian/Lembaga masih perlu diingkatkan koordinasi dan sinerginya.
Permasalahan yang terkait dengan permodalan adalah keterbatasan akses koperasi
dan UMKM kepada sumber daya produktif terutama masalahpermodalan. Masalah ini
disebabkan sebagian besar UMKM masih beroperasi secara informal (tidak berbadan
hukum) dengan kapasitas pengelolaan usaha dan kepemilikan aset yang terbatas. Kondisi
UMKM tersebut menyebabkan perbankan masih memandang penyediaan pembiayaan bagi
UMKM memiliki resiko yang tinggi. Pemerintah telah berupaya mengatasi masalah ini
melalui Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang menjangkau UMKM yang usahanya layak
(feasible), namun belum bankable. Sementara itu sebagian besar UMKM lainnya belum
dapat menjangkau sumber permodalan yang sesuai dengan kebutuhan mereka, khususnya
untuk usaha baru dan usaha mikro yang belum feasible.
Koperasi dan UMKM juga menghadapi masalah rendahnya kualitas produk dan
terbatasnya akses pemasaran. UMKM pada umumnya memiliki kapasitas yang terbatas
dalam mengembangkan sumber daya lokal untuk menjadi sumber penghidupan yang
layak. Hal ini disebabkan UMKM di satu wilayah produksi belum terintegrasi dalam sistem
produksi yang efisien dengan skala yang memadai. Keterbatasan dalam pendampingan
produksi dan pemasaran juga menjadi kendala bagi UMKM dalam berinovasi, menerapkan
teknologi, serta meningkatkan diversifikasi dan kualitas produknya. Kurangnya informasi
pasar dan akses kepada sarana pemasaran juga menjadi kendala bagi UMKM untuk dapat
berproduksi secara berkelanjutan. Koperasi sebenarnya memiliki potensi untuk mengatasi
permasalahan produksi dan pemasaran tersebut. Namun kapasitas dan pengelolaan
koperasi pada umumnya belum mampu mendukung pengembangan skala produksi,
efisiensi usaha, serta perluasan pemasaran produk UMKM.
Sebagian kendala yang dihadapi oleh koperasi dan UMKM juga berkaitan dengan
rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM). Perkembangan jumlah koperasi dan
UMKM belum disertai dengan perbaikan kapasitas dan kualitas pengelolaan usaha, serta
keterampilan yang memadai. Hal ini ditunjukkan oleh kesenjangan produktivitas usaha per
tenaga kerja yang cukup besar pada tahun 2009 (harga konstan) antara UMKM (Rp. 12,63
juta) dan usaha besar (Rp. 319,13 juta). UMKM juga memiliki tingkat kewirausahaan yang
II.3-30
RKP 2012
rendah sehingga tidak memiliki kapasitas, kecakapan, dan kreativitas untuk
menemukenali, menilai, dan memanfaatkan peluang usaha untuk menghasilkan
keuntungan. Berwirausaha juga belum menjadi pilihan berprofesi di kalangan masyarakat
atau kelompok pencari kerja.
Permasalahan yang terakhir berkaitan dengan kualitas kelembagaan koperasi yang
belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Jumlah koperasi aktif dan jumlah koperasi
yang menjalankan RAT memang mengalami peningkatan. Namun proporsi koperasi aktif
hanya sebesar 70,7 persen dari total jumlah koperasi yang ada, sedangkan proporsi
koperasi aktif yang menjalankan RAT hanya mencapai 48,59 dari total koperasi aktif.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang berkoperasi, serta partisipasi
anggota koperasi untuk memajukan usaha koperasi masih rendah. Selain itu
pemasyarakatan informasi tentang praktek-praktek berkoperasi yang benar masih kurang
intensif, sehingga minat masyarakat untuk memilih koperasi sebagai bentuk lembaga
ekonomi lokal untuk mewadahi dan memfasilitasi usaha ekonomi produktif masih rendah.
Upaya-upaya yang akan dilaksanakan pada tahun 2012 dalam rangka menangani
permasalahan dan tantangan tersebut diarahkan untuk mencapai sasaran-sasaran: (a)
peningkatan produktivitas UMKM sebesar 5 persen; (b) penyerapan tenaga kerja sebesar 2
persen; (c) peningkatan sumbangan UMKM pada pembentukan PDB sebesar 6 persen; (c)
peningkatan ekspor produk UMKM sebesar 15 persen; (d) peningkatan nilai investasi
UMKM sebesar 25 persen; (d) peningkatan proporsi jumlah koperasi aktif menjadi 75
persen dari total koperasi; (e) peningkatan proporsi jumlah koperasi yang melaksanakan
rapat anggota tahunan menjadi 50 persen dari koperasi aktif; dan (f) peningkatan volume
usaha koperasi sebesar 20 persen.
3.2.11. Jaminan Sosial
Dalam pelaksanaan pembangunan jaminan sosial, masih terdapat beberapa
permasalahan dan tantangan yang dihadapi. Penataan kelembagaan masih menemui
hambatan karena belum disepakatinya penyesuaian bentuk Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS). Selain itu, pelaksanaan Jamkesmas masih belum sepenuhnya sesuai dengan
amanat UU SJSN. Beberapa penyesuaian yang harus dilaksanakan adalah: (1) menyerahkan
pelaksanaan Jamkesmas sepenuhnya pada BPJS; dan (2) menyesuaikan paket manfaat
Jamkesmas agar lebih realistis dan terkendali. Saat ini usaha memperluas keanggotaan
asuransi sosial juga masih terhambat oleh proporsi pekerja sektor informal yang mencapai
70 persen dari perekonomian Indonesia.
Salah satu hal penting yang menentukan keberhasilan pelaksanaan jaminan sosial
adalah pengenalan asuransi kesehatan yang terintegrasi dan dikelola secara luas (publicly
managed). Upaya tersebut juga harus diiringi dengan pelaksanaan strategi pemasaran
sosial dan pendidikan masyarakat yang efektif dalam memperkenalkan konsep asuransi.
Perbaikan manajemen juga perlu dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap BPJS.
Merujuk pada dokumen RPJMN 2010-2014 dan menyesuaikan dengan
perkembangan terakhir, maka beberapa sasaran prioritas pada tahun 2012 adalah:
RKP 2012
II.3-31
1.
Pelaksanaan Road Map Jaminan Kesehatan untuk meningkatkan cakupan
kepesertaan jaminan kesehatan dalam rangka pencapaian cakupan semesta (universal
coverage) jaminan kesehatan pada tahun 2014;
2.
Tersedianya strategi dalam pengembangan kepesertaan jaminan kesehatan untuk
pekerja sektor informal;
3.
Penyelesaian pendataan sekaligus penyiapan Nomor Induk Kependudukan (NIK)
untuk mempermudah pencapaian cakupan semesta (universal coverage);
4.
Tersusunnya Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Pengelolaan dan
Pengembangan Dana Jaminan Sosial;
Penyesuaian PP Kepesertaan dengan regulasi dan peraturan Jamsostek;
5.
6.
Tersusunnya perangkat hukum sebagai dasar pelaksanaan SJSN yang mencakup UU
BPJS, PP PBI, dan PerPres Jaminan Kesehatan;
7.
Tersusunnya studi atau kajian mengenai Unit Permodelan Keuangan Sistem
Jaminan Sosial Nasional untuk memperkuat pelaksanaan SJSN;
8.
Tercapainya pemahaman masyarakat tentang SJSN.
3.3.
Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan Tahun 2012
3.3.1. Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan adalah elemen yang tidak bisa
ditinggalkan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat karena pertumbuhan
ekonomi yang tinggi menggambarkan terjadinya peningkatan dan perluasan kegiatan
ekonomi suatu negara. Peningkatan tersebut akan memperluas terbukanya kesempatan
kerja baru bagi rakyat. Disamping itu, pertumbuhan ekonomi yang positif memungkinkan
suatu negara untuk meningkatkan kemampuannya dalam melakukan akumulasi modal
(baik fisik maupun modal sumber daya manusia) dan memacu inovasi teknologi yang
kemudian akan berdampak pada peningkatan produktivitas. Terbukanya lapangan
pekerjaan baru dan peningkatan produktivitas pada akhirnya berimplikasi positif pada
penghasilan yang diterima rakyat. Apabila hal ini berkelanjutan, tingkat kesejahteraan
rakyat akan meningkat.
Upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan melalui dua sisi, yakni sisi
permintaan dan sisi penawaran. Dari sisi permintaan terdapat empat komponen utama
yang perlu mendapatkan perhatian. Pertama adalah investasi yang memegang peran
penting bagi pertumbuhan ekonomi karena akan menciptakan akumulasi modal yang
dapat mendorong peningkatan produktivitas. Kebutuhan investasi masih belum mampu
dibiayai sepenuhnya oleh penanaman modal dalam negeri sehingga usaha untuk menarik
investasi asing agar masuk ke Indonesia masih harus terus dilakukan, terutama melalui
upaya perbaikan iklim investasi yang terus-menerus. Selain itu, investasi masih terpusat
pada daerah dan industri tertentu. Dengan demikian, langkah kebijakan diversifikasi dan
penyebaran investasi harus secara intensif dilakukan, disesuaikan dengan karakter/sifat
industri dan potensi atau sumber daya spesifik yang dimiliki daerah.
Kedua adalah ekspor yang juga merupakan sumber bagi pertumbuhan ekonomi. Dari
waktu ke waktu kinerja ekspor Indonesia terus menunjukkan perbaikan. Namun,
II.3-32
RKP 2012
peningkatan kinerja ekspor pertanian dan pertambangan masih sangat dipengaruhi oleh
peningkatan harga di pasar internasional. Seiring dengan peningkatan persaingan di pasar
global, peningkatan ekspor akan lebih diutamakan pada produk-produk yang mampu
memberikan nilai tambah yang lebih besar, peningkatan diversifikasi pasar tujuan ekspor,
dan peningkatan daya saing produk ekspor. Peningkatan daya saing produk ekspor
dilakukan dengan menurunkan biaya logistik, meningkatkan ketersediaan infrastruktur,
mengurangi pungutan liar, dan menyederhanakan peraturan dan prosedur perizinan,
sehingga biaya ekonomi dapat ditekan.
Ketiga, kebijakan menjaga daya beli. Daya beli rakyat akan dapat ditingkatkan
apabila pendapatan masyarakat mengalami peningkatan. Selain itu, masyarakat akan
merasa sejahtera ketika dapat membeli kebutuhan sehari-hari dengan mudah. Hal ini tidak
dapat terjadi apabila harga meningkat tiba-tiba, sementara penghasilannya tetap (daya beli
rakyat turun). Oleh karena itu, dalam menjaga daya beli rakyat, salah satu langkah
kebijakan yang perlu dilakukan adalah menjaga tingkat inflasi. Untuk itu harus diantisipasi
faktor-faktor yang menimbulkan gejolak inflasi, terutama yang terkait dengan proses
distribusi dan pergerakan harga di pasar internasional. Apabila daya beli terjaga, tingkat
konsumsi rakyat juga akan terjaga, yang kemudian akan mendukung pula terciptanya
pertumbuhan ekonomi. Hal ini menjadi penting, terutama apabila mengingat masih
tingginya kontribusi konsumsi rumah tangga bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Keempat, optimalisasi pengeluaran pemerintah dan pengelolaan kekayaan negara.
Pengeluaran pemerintah memiliki peran yang tidak kalah penting apabila dibandingkan
dengan komponen pertumbuhan ekonomi lainnya, terutama di saat terjadi ancaman krisis
ekonomi. Pemberian stimulus fiskal diharapkan mampu mendorong peningkatan
permintaan, serta menutupi penurunan permintaan akibat turunnya investasi dan ekspor.
Namun, pengeluaran pemerintah juga dibatasi oleh ketersediaan anggaran (resource
envelope) yang dimiliki. Apabila pengeluaran terlalu besar, defisit anggaran akan
membesar, dan dapat mengancam keberlangsungan kebijakan fiskal ke depan. Di sisi lain,
pengeluaran yang terlalu besar juga dapat mengurangi porsi konsumsi dan investasi
swasta dalam perekonomian (crowding out effect). Untuk itu, pemerintah perlu
meningkatkan optimalisasi pengeluarannya secara efektif dan efisien, yang didukung
dengan pengelolaan aset secara akuntabel dan bertanggung jawab melalui pengelolaan
kekayaan negara yang andal dan kredibel.
Dari sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi akan diperoleh melalui peningkatan
produksi. Sektor yang diharapkan menjadi pendorong utama peningkatan pertumbuhan
ekonomi dari sisi produksi adalah sektor industri manufaktur. Hal ini terjadi karena sektor
industri manufaktur dapat memberikan nilai tambah yang besar. Di luar sektor industri
manufaktur, masih diandalkan pula sektor pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan,
dan perikanan dalam mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, sektorsektor lain juga diharapkan dapat mendukung peningkatan produksi demi meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.
Dalam rangka terwujudnya pertumbuhan yang berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi
dalam tahun 2012 diharapkan meningkat rata-rata 6,7 persen per tahun. Dari sisi
permintaan, pertumbuhan ekonomi ini didukung oleh pertumbuhan investasi sebesar 11,5
persen, pertumbuhan ekspor sebesar 10,2 persen, pertumbuhan konsumsi rumah tangga
sebesar 5,4 persen, dan pertumbuhan konsumsi pemerintah sebesar 6,8 persen. Dari sisi
produksi, pertumbuhan ekonomi ini didukung oleh pertumbuhan sektor pertanian dengan
RKP 2012
II.3-33
rata-rata sebesar 3,2 persen dan pertumbuhan sektor industri pengolahan yang tumbuh
rata-rata sebesar 5,6 persen (industri pengolahan non migas sebesar 6,3 persen).
3.3.1.1. Stabilitas Ekonomi yang Kokoh
Terciptanya stabilitas ekonomi makro merupakan kondisi yang tidak kalah
pentingnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan prasyarat bagi pertumbunan
ekonomi. Perekonomian nasional hanya dapat memberikan kinerja yang baik apabila
didukung oleh kestabilan ekonomi yang kokoh. Volatilitas pada harga barang, tingkat suku
bunga, tingkat pertumbuhan ekonomi, atau utang pemerintah dapat memberikan gangguan
pada perekonomian, terutama sektor swasta, yang membutuhkan kepastian dalam
menjalankan usahanya yang pada gilirannya akan memengaruhi kesejahteraan
masyarakat.
Dalam rangka menciptakan stabilitas ekonomi yang kokoh stabilitas harga dan
stabilitas nilai tukar harus dapat dijaga. Gejolak harga selain mengurangi daya beli
masyarakat juga akan menimbulkan ketidakpastian dalam berusaha. Nilai tukar yang
befluktuasi juga akan menimbulkan ketidakpastian bagi kinerja sektor perdagangan karena
ketika nilai tukar terlalu menguat daya saing ekspor akan menurun dan sebaliknya ketika
nilai tukar melemah perekonomian akan terganggu oleh tingginya harga impor. Untuk
mengatasi kedua permasalahan tersebut langkah kebijakan moneter harus dipertajam.
Stabilitas ekonomi juga didukung oleh kebijakan fiskal yang berkelanjutan. Tingkat
defisit atau utang yang terlalu tinggi akan meningkatkan ketidakpercayaan swasta kepada
pemerintah. Kebijakan anggaran defisit akan mendorong pemerintah untuk mencari
sumber pembiayaan, baik luar negeri dalam bentuk pinjaman luar negeri maupun dari
pinjaman dalam negeri dalam bentuk penerbitan surat berharga negara (SBN). Dengan
kebijakan seperti ini, risiko memegang obligasi negara semakin meningkat yang pada
gilirannya mendorong tingginya yield yang harus dibayarkan pemerintah. Bila itu terjadi,
stabilitas makroekonomi dapat terganggu. Pengelolaan tingkat defisit anggaran dan utang
yang baik (melalui debt switch atau buy back) yang ada dalam kebijakan fiskal dan
berkelanjutan menjadi penting dalam menyokong terciptanya stabilitas makroekonomi.
Stabilitas ekonomi juga sangat bergantung pada sektor kebijakan sektor keuangan.
Krisis ekonomi Indonesia tahun 1998 berawal dari krisis di sektor keuangan yang
selanjutnya memberikan pengaruh buruk pada seluruh bidang pembangunan. Krisis
ekonomi dunia yang baru saja terjadi juga dipicu oleh krisis di sektor keuangan. Oleh
karena itu, stabilitas sektor keuangan ini harus menjadi fokus utama dalam mendukung
stabilitas ekonomi yang kokoh.
Dalam rangka terciptanya stabilitas ekonomi yang kokoh, diupayakan tingkat inflasi
dapat dijaga sebesar 5,0-6,0 persen per tahun pada tahun 2012, stabilitas nilai tukar rupiah
terjaga, defisit anggaran terjaga pada tingkat 1,4 persen dari PDB dan stok utang
pemerintah terhadap PDB menurun menjadi 25,0 persen.
3.3.1.2. Pembangunan Ekonomi yang Inklusif dan Berkeadilan
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabilitas ekonomi akan menjadi kurang
berarti apabila hanya dinikmati oleh sebagian kelompok masyarakat. Kondisi seperti ini
II.3-34
RKP 2012
menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil rakyat yang menikmati peningkatan
kesejahteraan rakyat sehingga tidak sesuai dengan tujuan pembangunan bidang ekonomi.
Oleh sebab itu, pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan merupakan elemen
penting yang menjamin pengembangan ekonomi dapat dinikmati oleh semua rakyat secara
adil.
Pembangunan ekonomi inklusif adalah pembangunan yang memberikan kesempatan
pada seluruh anggota masyarakat untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam proses
pertumbuhan ekonomi dengan status yang setara, terlepas dari latar belakang mereka.
Dengan demikian, pembangunan ekonomi inklusif menciptakan kesempatan bagi semua
dan memastikan akses yang sama terhadap kesempatan tersebut.
Pencapaian pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan didukung oleh
kebijakan pada sektor tenaga kerja, kemiskinan, dan usaha mikro kecil dan menengah
(UMKM). Di sisi kebijakan tenaga kerja, kebijakan-kebijakan seperti pelatihan, pembekalan,
pengembangan sekolah menengah kejuruan (SMK) dapat memberikan tambahan skill bagi
tenaga kerja sehingga memudahkan untuk dapat mengisi lowongan kerja yang tersedia.
Dengan begitu, semakin banyak orang terlibat dalam proses pembangunan.
Terkait dengan kebijakan pengurangan kemiskinan, pembangunan ekonomi yang
inklusif dan berkeadilan memiliki kaitan yang sangat erat. Pembangunan ekonomi yang
inklusif dan berkeadilan dapat memiliki dampak positif terhadap agenda pengurangan
kemiskinan. Dalam kerangka ekonomi tersebut, masyarakat yang selama ini miskin karena
tidak pernah mendapat kesempatan, dapat memanfaatkan kesempatan yang ada untuk
keluar dari kemiskinan. Sebaliknya, kebijakan pengurangan kemiskinan melalui pemberian
bantuan untuk pemenuhan kebutuhan dasar (pendidikan dan kesehatan) juga akan
memberikan dukungan pada terciptanya pembangunan ekonomi yang inklusif dan
berkeadilan.
Di samping kebijakan di ketenagakerjaan dan kebijakan dalam pengurangan
kemiskinan, pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan harus didukung oleh
kebijakan UKM untuk pengembangan UKM. Dengan keterbatasan sektor formal untuk
menampung tenaga kerja, kesempatan bagi mereka yang tidak tertampung untuk turut
serta dalam proses pembangunan adalah melalui sektor-sektor informal. Oleh sebab itu,
pengembangan UKM penting dilakukan, baik pengembangan yang dilakukan untuk
mengatasi permasalahan yang terkait dengan keterbatasan dana dan peningkatan
kemampuan sumber daya SDM dalam bentuk pemberian pelatihan yang memungkinkan
UMKM dapat berkembang dengan kemampuannya sendiri.
Dalam rangka terciptanya Pembangunan Ekonomi yang Inklusif dan Berkeadilan,
pada tahun 2012 tingkat kemiskinan diharapkan dapat diturunkan menjadi sekitar 11,5
persen, dan tingkat pengangguran dapat diturunkan menjadi 6,4-6,6 persen.
Dalam rangka melaksanakan prioritas pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,
penciptaan stabilitas yang kokoh serta pembangunan ekonomi yang inklusif dan
berkeadilan maka strategi dan arah kebijakan yang akan ditempuh adalah sebagai berikut.
RKP 2012
II.3-35
II.3-36
RKP 2012
3.3.2. Peningkatan Investasi
Kebijakan investasi diarahkan untuk meningkatkan iklim investasi yang berdaya
saing di seluruh wilayah Indonesia. Strategi untuk mencapai sasaran investasi tahun 2012
antara lain adalah sebagai berikut: (i) penyederhanaan prosedur investasi melalui
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dengan pengembangan Sistem Pelayanan Informasi
dan Perijinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) yang dilakukan secara bertahap di
kabupaten/kota, (ii) mendorong pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) melalui
penetapan lokasi KEK, (iii) meningkatkan efektivitas pelaksanaan pengembangan
Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) terutama dalam investasi penyediaan
infrastruktur dan energi, dan (iv) meningkatkan efektivitas strategi promosi investasi
melalui peningkatan investasi unggulan daerah (regional champions) dan pengembangan
sektor unggulan seperti infrastruktur, energi dan pangan; dan (v) meningkatkan upaya
penyebaran investasi dan alih teknologi melalui akselerasi pemanfaatan berbagai
kebijakan berbagai kebijakan fiskal dan non fiskal terkait peningkatan daya tarik investasi
yang telah ada serta meningkatkan penggunaan komponen lokal.
Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan di atas, fokus prioritas
Peningkatan Investasi pada tahun 2012 adalah sebagai berikut:
Fokus Prioritas 1 : Fokus Prioritas Peningkatan Harmonisasi Kebijakan dan Penyederhanaan
Perijinan Investasi
Fokus Prioritas 2 : Fokus Prioritas Peningkatan Fasilitasi Investasi
3.3.3. Peningkatan Ekspor
Peran ekspor, terutama ekspor nonmigas, dalam Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia diupayakan untuk terus meningkat. Untuk mendorong peningkatan ekspor
nonmigas, kebijakan perdagangan luar negeri yang diarahkan pada peningkatan daya saing
produk ekspor nonmigas melalui diversifikasi pasar serta peningkatan keberagaman dan
kualitas produk, dan didukung pula oleh penguatan perdagangan dalam negeri untuk
menjaga kestabilan harga, kelancaran arus barang, serta menciptakan iklim usaha yang
sehat.
Strategi yang akan dijalankan untuk mencapai arah kebijakan tersebut diatas adalah
sebagai berikut: Pertama, mendorong upaya diversifikasi pasar tujuan ekspor untuk
mengurangi tingkat ketergantungan kepada pasar ekspor tertentu; Kedua, meningkatkan
keberagaman dan kualitas produk terutama untuk produk-produk manufaktur yang
bernilai tambah lebih besar, berbasis pada sumber daya alam, dan permintaan pasarnya
besar; Ketiga, meningkatkan kualitas perluasan akses pasar, promosi, dan fasilitasi ekspor
non migas di berbagai tujuan pasar ekspor melalui pemanfaatan skema kerjasama
perdagangan baik bilateral, regional maupun multilateral; Keempat, mengendalikan impor
produk-produk yang berpotensi menurunkan daya saing produk domestik di pasar dalam
negeri.
Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan di atas, fokus prioritas
Peningkatan Ekspor pada tahun 2012 adalah sebagai berikut:
Fokus Prioritas 1: Fokus Prioritas Peningkatan Diversifikasi Pasar Tujuan Ekspor
RKP 2012
II.3-37
Fokus Prioritas 2: Fokus Prioritas Peningkatan Kualitas dan Keberagaman Produk Ekspor
Fokus Prioritas 3: Fokus Prioritas Peningkatan Fasilitasi Ekspor
3.3.4. Peningkatan Daya Saing Pariwisata
Pembangunan kepariwisataan yang merupakan salah satu bagian yang tidak
terpisahkan dari Prioritas Peningkatan Ekspor diarahkan untuk mendorong peningkatan
penerimaan devisa dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan
kesejahteran rakyat, melalui penguatan pariwisata berbasis masyarakat dengan
memanfaatkan potensi pariwisata bahari dan budaya, dengan tetap memperhatikan asas
manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kemandirian, kelestarian,
partisipasi masyarakat, demokratis, kesetaraan, dan kesatuan, dan berpegang pada
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pemanfaatan iptek, dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance).
Adapun strategi untuk mencapai sasaran pembangunan kepariwisataan pada
tahun 2012 adalah sebagai berikut:
1.
Mengembangkan destinasi pariwisata melalui penataan dan penguatan manajemen
destinasi pariwisata, peningkatan daya tarik wisata bahari dan budaya; mendorong
dan memfasilitasi perbaikan dan peningkatan kualitas jaringan prasarana dan sarana
pendukung pariwisata; melakukan konsolidasi akses transportasi mancanegara
dalam dan luar negeri; meningkatkan daya tarik pariwisata di pulau-pulau terdepan
dan wilayah perbatasan yang mempunyai potensi pariwisata; dan mengembangkan
desa wisata melalui PNPM Mandiri;
2.
Mengembangkan usaha, industri dan investasi pariwisata, terutama yang berorientasi
pada pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja
antara lain melalui penciptaan iklim yang kondusif dengan penataan kebijakan usaha
pariwisata; penyusunan dan penerapan pedoman sertifikasi usaha, pengaturan usaha
dan kompetensi tenaga kerja di bidang kepariwisataan;
3.
Mengembangkan pemasaran dan promosi pariwisata di dalam dan di luar negeri
melalui peningkatan efektifitas pemasaran dan promosi pariwisata terpadu berbasis
teknologi informasi dan komunikasi, dan responsif terhadap pasar; pengembangan
analisa dan informasi pasar; dan memfasilitasi pembentukan Badan Promosi
Pariwisata Indonesia;
4.
Mengembangkan sumber daya pariwisata melalui penguatan sumber daya pariwisata
dengan mendorong peningkatan kapasitas pemerintah dan pemangku kepentingan
pariwisata lokal untuk mencapai tingkat mutu pelayanan dan hospitality
management yang kompetitif di kawasan Asia; pengembangan dan penguatan
kelembagaan kepariwisataan, dan mendorong peningkatan kualitas penelitian dan
pengembangan kepariwisataan.
Kebijakan dan strategi tersebut di atas didukung oleh peningkatan koordinasi lintas
sektor pada tataran kebijakan, program, dan kegiatan kepariwisataan, terutama di bidang
(a) pelayanan kepabeanan keimigrasian, dan karantina; (b) keamanan dan ketertiban; (c)
prasarana umum yang mencakup jalan, air bersih, listrik, telekomunikasi, dan kesehatan
II.3-38
RKP 2012
lingkungan; (d) transportasi darat, laut, dan udara; dan (e) bidang promosi dan kerjasama
luar negeri; serta koordinasi dan kerja sama dengan pemerintah daerah, swasta, dan
masyarakat.
Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan kepariwisataan tahun 2012,
maka fokus prioritas pembangunan kepariwisataan adalah:
Fokus Prioritas 1: Pengembangan Industri Pariwisata
Fokus Prioritas 2: Pengembangan Destinasi Pariwisata
Fokus Prioritas 3: Pengembangan Pemasaran dan Promosi Pariwisata
Fokus Prioritas 4: Pengembangan Sumber Daya Pariwisata
3.3.5. Peningkatan Daya Beli Masyarakat
Upaya meningkatkan daya beli masyarakat ditujukan untuk meningkatkan konsumsi
masyarakat. Upaya untuk menjaga dan meningktkan daya beli masyarakat dilaksanakan
melalui kebijakan yang diarahkan untuk: (i) menjaga stabilitas harga; (ii) mengadakan
berbagai program pemberdayaan masyarakat dan bantuan sosial; (iii) meningkatkan
kelancaran arus barang untuk menjaga ketersediaan barang terutama bahan pokok; dan
(iv) meningkatkan perdagangan dalam negeri untuk mendorong transaksi perdagangan
domestik dan meningkatkan kesempatan berusaha. Penjelasan secara terperinci mengenai
upaya menjaga stabilitas harga dapat dilihat pada prioritas bidang stabilitas moneter
(harga), sedangkan program pemberdayaan masyarakat dan bantuan sosial dapat dilihat
secara lebih terperinci pada Bab I mengenai Pengarusutamaan dan Isu Lintas Bidang.
Upaya untuk menjaga dan meningkatkan daya beli masyarakat dilakukan antara
melalui kebijakan perdagangan dalam negeri yang diarahkan pada peningkatan penataan
sistem distribusi nasional untuk menjamin kelancaran arus barang dan jasa, kepastian
usaha, dan daya saing produk domestik.
Adapun strategi yang akan dilakukan dalam perdagangan dalam negeri pada tahun
2012 adalah: (a) mendorong upaya integrasi perdagangan antar dan intra wilayah, melalui
pengembangan jaringan distribusi perdagangan sehingga ketersediaan barang dan
kestabilan harga dapat terjaga; (b) meningkatkan iklim usaha perdagangan melalui
persaingan usaha yang sehat, pengembangan usaha kecil menengah, peningkatan usaha
ritel tradisional dan modern, bisnis waralaba, termasuk pengembangan pola kerja sama
yang saling menguntungkan antarpelaku usaha; (c) mendorong pengelolaan transparansi
dan risiko harga, antara lain melalui optimalisasi pemanfaatan perdagangan berjangka dan
pengelolaan sistem informasi harga; serta (d) meningkatkan penggunaan produk dalam
negeri dengan memaksimalkan potensi pasar domestik dan ekonomi kreatif;
Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan di atas, fokus prioritas
Peningkatan Daya Beli Masyarakat pada tahun 2012 adalah sebagai berikut:
Fokus Prioritas 1: Fokus Prioritas Peningkatan Jaringan Distribusi Untuk Menunjang
Pengembangan Logistik Nasional
Fokus Prioritas 2: Fokus Prioritas Penguatan Pasar Domestik dan Efisiensi Pasar Komoditi
Fokus Prioritas 3: Fokus Prioritas Peningkatan Efektivitas Pengawasan dan Iklim Usaha
Perdagangan
RKP 2012
II.3-39
3.3.6. Keuangan Negara
Sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20092014, kebijakan fiskal tahun 2012 akan tetap diarahkan untuk memberikan dorongan
terhadap perekonomian dengan tetap menjaga langkah-langkah konsolidasi fiskal yang
telah dilakukan selama ini. Hal ini dimaksudkan agar kebijakan fiskal dapat berkontribusi
dalam pencapaian sasaran perluasan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan
stabilitas ekonomi yang kokoh. Untuk itu, keberlanjutan ketahanan fiskal diupayakan
melalui penurunan stok utang pemerintah relatif terhadap PDB dengan meningkatkan
penerimaan negara utamanya penerimaan yang berasal dari perpajakan, serta
meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja negara melalui penerapan anggaran
berbasis kinerja.
Adapun arah kebijakan keuangan negara pada tahun 2012 adalah sebagai berikut.
Pertama, penyeimbangan antara peningkatan alokasi anggaran dan upaya untuk
memantapkan kesinambungan fiskal melalui: (a) peningkatan penerimaan negara dan
efisiensi belanja negara dengan tetap mengupayakan pemberian stimulus fiskal secara
terbatas; (b) merumuskan pembiayaan defisit anggaran sehingga tidak menyebabkan
berkurangnya pembiayaan sektor swasta (crowding out effect). Kedua, Peningkatan
penerimaan negara terutama ditempuh melalui reformasi kebijakan, administrasi, dan
pengawasan perpajakan dan kepabeanan, serta optimalisasi PNBP, baik dari jenisnya
maupun perbaikan administrasinya. Ketiga, peningkatan efektivitas dan efisiensi
pengeluaran negara terutama ditempuh melalui: (a) penajaman alokasi anggaran antara
lain dengan realokasi belanja negara agar lebih terarah dan tepat sasaran; (b) perbaikan
sistem administrasi keperbendaharaan demi peningkatan kualitas pelayanan publik; (c)
pengembangan sistem pengadaan barang/jasa pemerintah. Keempat, peningkatan
pengelolaan pinjaman pemerintah yang diarahkan untuk menurunkan stok pinjaman luar
negeri tidak saja relatif terhadap PDB, tetapi juga secara absolut. Sementara itu, untuk
pinjaman dalam negeri, diupayakan tetap adanya ruang gerak yang cukup pada sektor
swasta.
Untuk mencapai arah kebijakan yang dimaksud, terutama terkait dengan perbaikan
pengawasan kepabeanan dan perbaikan sistem administrasi keperbendaharaan demi
peningkatan kualitas pelayanan publik, pada tahun 2012 kebijakan baru yang akan
ditempuh adalah:
1.
Pengadaan peralatan sarana pengawasan berupa 1 unit body scanning, 2 unit Hand
Held Trace Detector, dan 6 unit Trace Detector
2.
Standarisasi Unit Pelayanan Perbendaharaan
Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan di atas maka fokus prioritas
optimalisasi pengeluaran pemerintah adalah:
Fokus Prioritas 1:
Fokus Prioritas Optimalisasi Anggaran Belanja Pemerintah Pusat
Fokus Prioritas 2:
Fokus Prioritas Pengelolaan Perimbangan Keuangan
Fokus Prioritas 3:
Fokus Prioritas Pengelolaan Perbendaharaan Negara
Fokus Prioritas 4:
Fokus Prioritas Pengelolaan Kekayaan Negara
II.3-40
RKP 2012
Sementara itu Fokus prioritas pengelolaan APBN yang berkelanjutan adalah
Fokus Prioritas 1:
Fokus Prioritas Perumusan Kebijakan Fiskal, Pengelolaan
Pembiayaan Anggaran dan Pengendalian Resiko
Fokus Prioritas 2:
Fokus Prioritas Peningkatan dan Optimalisasi Penerimaan Negara
Fokus Prioritas 3:
Fokus Prioritas Pengelolaan dan Pembinaan BUMN
3.3.7. Stabilitas Harga
Kebijakan stabilitas harga dan nilai tukar rupiah termasuk pengamanan pasokan
bahan pokok, diarahkan pada peningkatan dan pemantapan koordinasi otoritas fiskal,
moneter dan keuangan serta sektor riil (produksi, perdagangan dalam negeri dan eksporimpor). Hal tersebut disertai dengan peningkatan koordinasi kebijakan kerjasama luar
negeri dan koordinasi kebijakan ketahanan pangan/pertanian, energi dan infrastruktur
transportasi, serta peningkatan kapasitas dan peran aktif para pemangku kepentingan
daerah dalam pengendalian stabilitas ekonomi di tingkat lokal (Propinsi dan Kabupaten
/Kota). Melalui kebijakan tersebut diharapkan laju inflasi dan stabilitas nilai tukar rupiah
dapat terjaga. Selain itu, upaya tersebut didukung pula oleh upaya pembangunan dan
pengembangan sarana distribusi dan pergudangan, pengembangan pasar lelang daerah
serta peningkatan perlindungan konsumen.
Adapun strategi yang akan ditempuh untuk menjaga stabilitas harga dan nilai tukar
rupiah antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter serta
kebijakan terkait lainnya dalam rangka pengendalian inflasi sesuai dengan sasaran
yang ditentukan (inflation targetting framework).
2.
Menjaga stabilitas harga dan pengamanan produksi/pasokan dan distribusi
barang/jasa, terutama bahan makanan pokok yang harganya mudah bergejolak, baik
di perkotaan maupun di perdesaan antara lain melalui percepatan pelaksanaan
sistem logistik nasional;
3.
Mendorong keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, baik di pusat
(kementerian/lembaga terkait serta asosiasi produsen/ pedagang dan asosiasi
konsumen) maupun di daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dalam pemantauan,
evaluasi, dan pengendalian perkembangan harga bahan pokok secara intensif. Untuk
itu akan didorong perluasan pembentukan tim pengendali inflasi daerah (TPID), baik
di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota terkait;
4.
Mengembangkan dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang terkoordinasi untuk
mengatasi masalah struktural, seperti percepatan pembangunan infrastruktur serta
reformasi regulasi/kebijakan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, baik di pusat
(kementerian/lembaga) maupun daerah (provinsi dan kabupaten/kota) serta upayaupaya untuk menghilangkan struktur pasar komoditas yang bersifat oligopolis;
5.
Meningkatkan kualitas kelembagaan termasuk pola pikir dunia usaha dan
masyarakat bahwa kenaikan harga yang rendah dan wajar dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan mengurangi tingkat kemiskinan;
RKP 2012
II.3-41
6.
Melakukan kajian-kajian di bidang ketahanan pangan/pertanian dan ketahanan
energi dalam rangka optimalisasi subsidi pertanian dan energi, agar dapat dihasilkan
kebijakan administered prices yang tepat waktu (time consistent) dan tepat sasaran
(well targeted), maupun opsi-opsi kebijakan lainnya (seperti pengaturan konsumsi
bbm yang tepat sasaran dan sebagainya).
7.
Meningkatkan peran lembaga konsumen dan lembaga-lembaga survei pemantau
harga untuk ikut memantau perkembangan harga di daerah sehingga kenaikan harga
selanjutnya dapat cepat diantisipasi.
8.
Meningkatkan upaya-upaya untuk mencegah pembalikan mendadak arus modal ke
luar negeri (sudden reversal) sehingga tetap kondusif bagi stabilitas nilai tukar.
Berdasarkan strategi dan arah kebijakan di atas, maka fokus prioritas Stabilitas Harga
adalah peningkatan stabilitas harga dan nilai tukar rupiah.
3.3.8. Stabilitas Sektor Keuangan
Pada tahun 2012 arah kebijakan yang terkait dengan stabilitas sektor keuangan
adalah meningkatkan ketahanan sektor keuangan melalui:
1.
Pemantapan koordinasi kebijakan fiskal, moneter dan sektor keuangan termasuk
kerja sama dengan otoritas pasar modal dan lembaga jasa keuangan di negara lain;
2.
Perkuatan lembaga pengawas jasa keuangan (Otoritas Jasa Keuangan/OJK) termasuk
kapasitas SDM dan infrastruktur pendukung;
3.
Perkuatan kualitas manajemen dan operasional lembaga jasa keuangan dalam rangka
meningkatkan efisiensi dan kemudahan bertransaksi serta pelaporan di bidang pasar
modal/lembaga jasa keuangan;
4.
Perkuatan perlindungan bagi konsumen/investor lembaga jasa keuangan termasuk
pemantapan koordinasi penegakan hukum di bidang pasar modal dan lembaga jasa
keuangan.
Seiring dengan upaya perkuatan ketahanan sektor keuangan, arah kebijakan yang
terkait dengan penyaluran dana kepada masyarakat diarahkan untuk percepatan fungsi
intermediasi dan penyaluran dana masyarakat termasuk peningkatan akses kepada
lembaga jasa keuangan (LJK) kepada seluruh masyarakat, terutama yang miskin dalam
rangka mewujudkan layanan keuangan yang inklusif (financial inclusion) yang antara lain
dilaksanakan melalui:
1.
Diversifikasi sumber-sumber pembiayaan melalui lembaga keuangan bukan bank
termasuk pengembangan sistem keuangan syariah dan lembaga keuangan mikro
(LKM);
2.
Perkuatan kerjasama dengan Pemerintah Daerah terutama dalam rangka
memperluas cakupan pelayanan lembaga jasa keuangan terutama untuk sektor
UMKM dan masyarakat miskin;
3.
Pengembangan infrastruktur pendukung lembaga jasa keuangan, terutama LKNB dan
LKM.
II.3-42
RKP 2012
Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan ketahanan sektor keuangan, diperlukan
lembaga otoritas jasa keuangan yang kuat untuk melaksanakan pengawasan perbankan,
pasar modal, dan industri jasa keuangan non bank secara terpadu, independen, dan
akuntabel. Diperkirakan bahwa pembahasan RUU OJK dengan Dewan Perwakilan Rakyat
selesai dan diundangkan pada tahun 2011, sehingga pada tahun anggaran 2012 masa
transisi pengoperasian OJK akan dimulai. Pada tahun 2012, prioritas yang akan dilakukan
adalah penyediaan SDM yang handal dan kompeten, rancang bangun struktur organisasi
dan standard operating procedure (SOP), pengembangan sistem IT, serta sarana dan
prasarana lainnya (seperti gedung kantor dan peralatan lainnya). Oleh karena itu,
pembentukan OJK diajukan menjadi inisiatif baru untuk tahun anggaran 2012.
Berdasarkan strategi dan arah kebijakan di atas maka fokus prioritas Stabilitas Sektor
Keuangan adalah peningkatan ketahanan dan daya saing sektor keuangan.
3.3.9. Revitalisasi Industri
Pembangunan industri ke depan dilakukan secara lebih fokus pada industri-industri
yang memiliki prospek jangka panjang untuk berkembang karena didukung sumber daya
alam, sumber daya manusia terampil, dan permintaan pasar yang berkelanjutan. Melalui
Peraturan Presiden nomor 28 Tahun 2008, pemerintah telah menetapkan Kebijakan
Industri Nasional (National Industrial Policy) yang memuat daftar klaster industri prioritas.
Terkait dengan hal ini dan disesuaikan dengan pencapaian, masalah dan tantangan yang
akan dihadapi untuk tahun 2012, pembangunan sektor industri diarahkan pada:
1.
Mendukung pencapaian prioritas nasional yang meliputi dukungan pada revitalisasi
industri gula dan pupuk, memfasilitasi pembangnan zona industri yang berada di
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), memfasilitasi pembangunan penyulingan minyak
bumi (oil refinary), serta pengembangan klaster industyri hilir kelapa sawit dan
kondest migas.
2.
Mendukung Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi (MP3EI) khususnya
pengembangan 6 (enam) Koridor Ekonomi, yang meliputi: (1) pengembangan klaster
industri hilir kelapa sawit di Sei Mangke Sumatera Utara dan di Dumai – Kalimantan
Timur; (2) pengembangan klaster industri hilir karet di Sorolangun – Jambi, Sei
Bamban – Sumatera Utara, dan Muara Enim – Sumatera Selatan; (3) pengembangan
klaster industri perkapalan di Lamongan – Jawa Timur; (4) pengembangan klaster
industri mesin dan perkakas umum di Karawang – Jawa Barat; serta (5)
pengembangan klaster industri besi baja di Batu Licin – Kalimantan Selatan.
3.
Mendukung percepatan pembangunan Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur
(NTT), melalui: fasilitas pembangunan industri semen di Manokwari – Papua Barat,
memfasilitas pembangunan pabrik pupuk urea dan petrokimia di Tangguh – Papua,
pengembangan industri garam di NTT, serta penumbuhan industri kecil dan
menengah (IKM) kakao, kopi, ubi jalar, rumput laut, pengolahan ikan, pengolahan
kayu, dan pengolahan rumput laut di ketiga provinsoi tersebut.
4.
Membantu industri dalam negeri meningkatkan daya saingnya dalam menghadapi
produk-produk impor melalui: penggalakan penggunaan produksi dalam negeri
dengan menyediakan data-data tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) bagi produk
industri dalama negeri, penguatan SNI yang disertai dengan peningkatan kemampuan
RKP 2012
II.3-43
infrastruktur laboratorium uji coba di berbagai balai besar dan bali resit dan
standardisasi (Baristan).
5.
Mendukung terbangunnya industri berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
(industri hijau).
6.
Mendukung pembangunan yang pro-rakyat miskin (pro-poor) melalui fasilitasi
pembangunan kendaraan angkutan mumum murah pedesaan.
Terkait dengan BUMN, dalam rangka menjawab berbagai permasalahan dan
tantangan yang akan dihadapi di masa mendatang, maka arah kebijakan untuk BUMN
adalah sebagai berikut:
1.
Restrukturisasi BUMN besar/penting/strategis yang meliputi (i) pembenahan
organisasi, (ii) pembenahan budaya korporasi, (iii) peningkatan transparansi
penempatan SDM yang tepat di semua tingkatan, (iv) penyiapan penyehatan
keuangan, (v) peningkatan hubungan BUMN dengan para pemangku kepentingan;
2.
Penyusunan best practice GCG (good corporate governance);
3.
Uji kepatutan dan kelayakan calon Direksi dan Dewan Komisaris;
4.
Mendorong BUMN khususnya BUMN sektor energi, ketahanan pangan dan
infrastruktur untuk mendukung pelaksanaan Program Prioritas Pemerintah;
5.
Mendorong peningkatan profitisasi BUMN;
6.
Mendorong peningkatan pendayagunaan aset dan sinergi diantara BUMN;
7.
Mendorong BUMN melakukan kegiatan pembinaan kemitraan dan bina lingkungan.
3.3.10. Daya Saing Ketenagakerjaan
Untuk tahun 2012, kebijakan baru yang akan ditempuh diarahkan pada peningkatan
fasilitasi dan perlindungan untuk mendukung mobilitas tenaga kerja. Karena masih tingginya
jumlah TKI bermasalah, maka pencegahan dan penanganan TKI bermasalah harus dilaksanakan
dengan lebih terintegrasi. Penanganan pengaduan di crisis center menjadi inisiatif baru yang
akan dilaksanakan pada tahun 2012.
Terkait dengan pengembangan Master Plan Percepatan & Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI), pada tahun 2012 akan dilaksanakan pengembangan infrastruktur
tenaga kerja kompetensi di wilayah-wilayah koridor ekonomi.
Berdasarkan arah kebijakan dan strategi serta sesuai dengan RPJMN 2010-2014, prioritas
bidang ekonomi Daya Saing Ketenagakerjaan terdiri dari tiga fokus prioritas yaitu:
1.
Peningkatan Kualitas dan Pengembangan Kompetensi Tenaga Kerja;
2.
Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan dan Penguatan Hubungan Industrial;
3.
Peningkatan Fasilitasi dan Perlindungan untuk Mendukung Mobilitas Tenaga Kerja.
II.3-44
RKP 2012
3.3.11. Pemberdayaan Koperasi dan UMKM
Arah kebijakan pembangunan pemberdayaan koperasi dan UMKM pada tahun 2012
masih melanjutkan arah kebijakan sesuai RPJMN 2010-2014 dan dilengkapi dengan
beberapa arah kebijakan untuk memfasilitasi inisiatif baru sebagai berikut.
1.
Meningkatkan iklim usaha yang kondusif bagi koperasi dan UMKM, yang mencakup
penataan peraturan perundang-undangan di bidang koperasi dan UMKM, serta
pengembangan, pengendalian dan pengawasan koperasi.
2.
Mengembangkan produk dan pemasaran bagi koperasi dan UMKM, yang mencakup
penyediaan dukungan pemasaran, produksi, kemitraan, investasi dan pengembangan
produk unggulan.
3.
Meningkatkan daya saing sumber daya manusia (SDM) koperasi dan UMKM, yang
mencakup pemasyarakatan dan pengembangan kewirausahaan, kapasitas dan
kompetensi SDM, penyediaan layanan pengembangan bisnis, revitalisasi pendidikan
dan pelatihan koperasi dan UMKM, serta peningkatan peran serta masyarakat dalam
pengembangan SDM koperasi dan UMKM.
4.
Meningkatkan akses usaha mikro dan kecil kepada sumberdaya produktif, yang
meliputi peningkatan askes permodalan, pengembangan dan pengendalian koperasi
simpan pinjam yang disertai dengan peningkatan kapasitas dan kompetensi
pengelolanya, pengembangan jasa keuangan bagi koperasi dan UMKM, dan perluasan
KUR.
5.
Memperkuat kelembagaan koperasi, yang mencakup peningkatan kualitas organisasi,
badan hukum, dan ketatalaksanaan koperasi, pengembangan keanggotaaan koperasi
melalui gerakan masyarakat sadar koperasi, peningkatan kapasitas kelembagaan
koperasi dan pengembangan program pendanaan melalui koperasi.
3.3.12. Jaminan Sosial
Sesuai dengan RPJMN 2010-2014, prioritas jaminan sosial memiliki fokus prioritas
penataan kelembagaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (Dewan Jaminan Sosial Nasional).
DJSN telah menyusun Road Map Jaminan Kesehatan untuk mencapai universal
coverage pada asuransi kesehatan. Road Map tersebut akan menjadi panduan dalam
pelaksanaan kebijakan jaminan sosial, terutama jaminan kesehatan. Strategi dan arah
kebijakan pembangunan selama tahun 2012, antara lain dilaksanakan melalui:
1.
2.
3.
Meningkatkan kepesertaan jaminan kesehatan, terutama pada kelompok pekerja
sektor informal yang tidak miskin;
Meningkatkan ketersediaan dan kualitas fasilitas kesehatan termasuk obat,
perlengkapan medis, dan SDM.
Menyusun perangkat hukum sebagai dasar pelaksanaan SJSN yang mencakup UU
BPJS, serta Peraturan Pemerintah turunan UU SJSN yang mencakup: 1) Peraturan
Pemerintah tentang Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun,
Jaminan Kematian; 2) Peraturan Pemerintah tentang Kepesertaan; 3) Peraturan
Pemerintah tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pengembangan Dana Jaminan Sosial;
dan 4) Peraturan Presiden mengenai Jaminan Kesehatan;
RKP 2012
II.3-45
4.
5.
Melaksanakan harmonisasi regulasi di bidang jaminan sosial diantaranya dengan UU
Dana Pensiun dan UU Jamsostek;
Meningkatkan sarana dan prasarana pendukung dalam pelaksanaan program
jaminan sosial;
II.3-46
RKP 2012
Download