KETAHANAN PANGAN DALAM SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS: PEMBERDAYAAN PETANI DAN ORGANISASI PETANI Rachmat Pambudy Sekjen HKTI PENDAHULUAN Belum hilang dari ingatan kita, tentang adanya rencana impor beras pada awal tahun 2005, yang akhirnya dilakukan juga meskipun para petani, DPR dan organisasi petani seperti KTNA serta HKTI menentangnya. Impor beras ini adalah keputusan yang cukup kontroversial karena beberapa bulan sebelumnya, pemerintah melalui BPS mengumumkan pencapaian produksi padi sebesar 54,34. juta ton. Dengan produksi sebesar itu dapat dihasilkan beras sekitar 34 juta ton. Sementara menurut Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan Departemen Pertanian Dr. M. Jaffar Hafsah pada waktu itu (2005), menyebutkan bahwa kebutuhan beras di dalam negeri tercatat 31 juta ton per tahun. Dengan demikian, sebetulnya boleh dikatakan kita kembali dapat mencapai swasembada beras karena ada kelebihan produksi 3 (tiga) juta ton. Namun secara tiba-tiba pemerintah, melalui Menteri Perdagangan RI mengijinkan Perum Bulog untuk impor beras dengan alasan pengamanan stok beras. Hal ini memberikan gambaran betapa buruknya sistem informasi, perencanaan dan pengelolaan stok pangan khususnya beras di Indonesia. Di satu pihak (Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan Departemen Pertanian RI) memberikan pernyataan bahwa produksi beras cukup, tetapi di pihak lain (Menteri Perdagangan) menyatakan perlunya impor beras. Hal ini terasa lebih aneh lagi ketika pada akhirnya Menteri Pertanian sebagai pemegang otoritas tertinggi produksi beras, menyatakan setuju dan memahami kebijakan impor tersebut meskipun menurutnya stok dalam negeri aman. Impor beras terulang lagi ketika pemerintah tahun 2006 melalui Perum Bulog kembali mengijinkan impor beras sebesar 210 ribu ton, melalui Menteri Perdagangan pada Selasa tanggal 29 Agustus 2006. Beberapa alasan yang disampaikannya adalah guna memperkuat stok beras nasional yang sampai saat itu sudah 48 mulai menipis. Permasalahan tersebut hanya menyangkut satu komoditas, beras. Bagaimana dengan komoditas bahan pangan pokok lainnya? Bagaimana dengan komoditas pangan sebagai sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral lainnya? Bagaimana dengan pengaturan produksi, penyediaan, penyimpanan, pengolahan dan pendistribusian bahan bahan pangan tersebut. Bagaimana pemerintah dapat mengatur semua itu menjadi suatu sistem ketahanan pangan nasional seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang Pangan kita? Penulis adalah Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), Praktisi Agribisnis, Sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Anggota Kehormatan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Ketua Umum Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdatul Ulama (LP2NU) dan Anggota Dewan Redaksi Tabloid SINAR TANI dan AGRINA. Jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut bisa menunjukkan bahwa pemerintah belum memiliki kebijakan, strategi dan program yang jelas dan konsisten tentang kebijakan sistem pangan nasional yang holistik, terintegrasi dan komprehensif. Sekedar mengingatkan kembali bahwa kebutuhan pangan merupakan hak asasi manusia di mana setiap negara harus dapat memfasilitasi rakyatnya dalam pemenuhan kebutuhan tersebut. Terpenuhinya pangan yang cukup, berimbang, bergizi, bermutu dan terjangkau oleh seluruh rumah tangga adalah salah satu sasaran utama dalam pembangunan nasional setiap negara di dunia. Dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan, negara-negara industri nonpertanian melakukan fasilitasi dengan cara meningkatkan daya beli rakyatnya dan meningkatkan kemampuan ekonomi nasionalnya supaya rakyat memiliki akses pangan dan pemerintah harus mampu mengatur ketersediaannya. Bagi negara pertanian dimana sebagian besar rakyatnya adalah juga berprofesi sebagai petani maka pemenuhan kebutuhan pangan dilakukan dengan memacu serta mengandalkan kemampuan pro- duksi domestik. Strategi dan kebijakan ini dilakukan oleh semua negara kuat dan besar di dunia. Bahkan negara seperti Amerika Serikat melakukan kebijakan sistem menyeluruh dari pelayanan fasilitas pembangunan pertanian sebagai pusat ekonomi sebelum menjadi negara kuat. Pemerintah Amerika pada waktu itu, memainkan peranan besar dalam mendorong pembangunan termasuk pembangunan teknologi dan infrastruktur dalam menunjang pembangunan pertanian (Stiglitz, 2006). Indonesia, sebagai salah satu negara agraris tropis terbesar di dunia semestinya dapat memenuhi sumber kebutuhan pangannya sendiri. Dengan memanfaatkan semua potensi sumberdaya manusia, alam, kapital dan modal sosialnya serta kemampuan manajemen pemerintahnya seharusnya Indonesia mampu menjadi salah satu lumbung pangan dunia. Pada masa lalu kebijakan pangan nasional dirumuskan dalam GBHN yang mengarahkan agar ketahanan pangan Indonesia dicapai dengan memanfaatkan sumberdaya alam, kelembagaan dan budaya lokal serta memperhatikan kesejahteraan produsennya, khususnya para petaninya. Keberhasilan BIMAS Padi, BIMAS Ayam, pengembangan peningkatan produksi susu sapi, ikan, udang dan peningkatan produksi minyak sawit merupakan beberapa contoh prestasi pembangunan pertanian. Dengan demikian ada dua sisi penting dalam upaya ketahanan pangan di Indonesia. Di satu sisi adalah bagaimana dapat memenuhi kebutuhan pangan yang bergizi, beragam dan berimbang dengan harga yang terjangkau oleh rakyatnya. Tentu saja dengan peningkatan daya beli masyarakat, maka akan meningkatkan ketahanan pangan keluarga dan masyarakat. Di sisi lain, bagaimana dapat memberikan iklim yang kondusif dan insentif yang baik bagi para produsen pangan (khususnya para petani, peternak dan nelayannya) agar dapat meningkatkan produksi dan produktivitasnya. PANGAN DAN PEMBANGUNAN NASIONAL Pembangunan pada hakekatnya adalah upaya peningkatan taraf hidup rakyat secara adil dan merata. Salah satu indikator peningkatan taraf hidup adalah dengan pengukuran aksesibilitas rakyat terhadap pangan. Sejarah menggambarkan bagaimana Indonesia pada masa 1970 sampai 1990 dapat mengurangi angka kemiskinan antara lain dengan peningkatan aksesibilitas terhadap ketersediaan pangan bagi rakyatnya. Pada saat itu, pemerintah memiliki komitmen dalam upaya pencapaian swasembada pangan melalui pembangunan pertanian dan pedesaan sebagai strategi pembangunan nasional. Strategi pembangunan nasional dengan target utama penduduk miskin yang tinggal dan bekerja di sektor pertanian dan pedesaan, hingga pertengahan 1990an dianggap cukup berhasil. Peningkatan produksi pangan yang spektakuler khususnya beras telah mengantarkan Indonesia tidak hanya berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin tetapi juga mendapat penghargaan Organisasi Pertanian dan Pangan FAO di Roma tahun 1985. Strategi pembangunan tersebut dianggap berhasil karena adanya pertumbuhan ekonomi yang cepat dan merata pada lapisan masyarakat miskin. Lapangan pekerjaan terjadi pada subsistem off-farm bagi rumah tangga miskin di pedesaan. Proses peningkatan produksi pangan beras pada masa lalu dalam banyak hal telah mampu menurunkan jumlah orang miskin dan memberikan sejumlah lapangan pekerjaan ikutan baik yang terjadi di sub sistem on farm, off farm hulu dan off fam hilir. Zeigler dalam Seminar IRRI di Bali tahun 2005 menyampaikan, secara lebih lengkap proses agribisnis padi dengan peningkatan efisiensi dan berkelanjutan dapat membantu mencapai dua dari delapan target yang telah ditentukan dalam Millenium Development Goals (MDGs) antara lain : 1. Menghilangkan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrem (MDGs-1) Melalui penelitian teknik budidaya yang lebih baik, dapat menurunkan biaya produksi padi dan meningkatkan hasil panen sehingga dapat meningkatkan keuntungan. Hal ini merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam mengurangi jumlah kemiskinan. Di negara berkembang Asia, peningkatan produksi padi melalui The Green Revolution telah membantu sebagian upaya mengatasi kemiskinan dan kelaparan. 2. Menjaga kelestarian lingkungan (MDGs-7) Perbaikan budidaya padi merupakan upaya yang perlu dikembangkan berkaitan dengan kelestarian lingkungan. Kerja sama penelitian dalam menumbuhkan lebih banyak padi 49 di lahan yang lebih sedikit, penggunaan air yang lebih efisien, optimalisasi penggunaan pestisida dan pupuk akan dapat memperbaiki pendapatan sekaligus menjaga kelestarian lingkungan dan kesehatan. Dengan peningkatan kegiatan pertanian ini juga dapat memberikan pekerjaan baru dalam kegiatan pengolahan, transportasi dan kegiatan komersial lainnya. Pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian on farm saja, tidak cukup menjamin pengurangan jumlah kemiskinan. Seperti yang terjadi sekarang ini, dengan semakin banyaknya penduduk miskin di Wilayah Indonesia Timur. Kemungkinan mereka tidak akan langsung memperoleh manfaat kebijakan pertanian dan pangan di Jawa dan Sumatera. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih inovatif di bidang pertanian dan pangan dalam rangka pemerataan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam sesuai dengan kondisi alam wilayahnya masingmasing. Kebijakan desentralisasi yang dituangkan dalam UU tentang Otonomi Daerah yang telah berjalan sekitar lima tahun ini paling tidak dapat menjamin pembangunan sarana dan prasarana yang berguna bagi peningkatan kegiatan perekonomian wilayah. Hal ini juga dapat membantu penciptaan lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan kesejahteraan di Wilayah Indonesia yang masih tertinggal. Bukti empiris kontribusi pembangunan pertanian dalam perekonomian Indonesia mengungkapkan bahwa suatu pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesempatan kerja dan berusaha serta menyerap tenaga kerja serta mencapai peningkatan devisa negara di Indonesia akan lebih efektif dan strategis melalui pembangunan pertanian yang terintegrasi (agribisnis). Belajar dari pengalaman masa lalu, sudah menjadi suatu kebutuhan dan keharusan untuk merumuskan paradigma baru pembangunan pertanian nasional untuk masa mendatang. Paradigma ini harus diarahkan untuk terutama dapat secara mendasar dan berkelanjutan meningkatkan pendapatan petani dan kesejahteraan petani, dan seiring dengan itu mampu membangun ketahanan pangan nasional yang kuat dan tangguh serta mampu membawa perekonomian nasional ke tahap industrialisasi modern dalam tahap pemba- 50 ngunan ekonomi yang lebih maju, khususnya di bidang pangan. KEBIJAKAN PANGAN DAN KEBIJAKAN MAKRO EKONOMI Pada negara berkembang, pangan dan pertanian memiliki peran besar dan langsung terhadap perkembangan ekonominya. Pangan dan sektor pertanian memiliki dua hubungan utama dengan pertumbuhan ekonomi. Pertama, pangan dan sektor pertanian tidak dapat tumbuh secara tepat dan efisien dalam jangka waktu yang panjang apabila kebijakan makro ekonominya dimana tujuan utamanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara cepat dan efisien, tidak tepat arah. Kedua, dinamika ekonomi pangan dan pertanian dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam mempercepat dan menyeimbangkan dengan ekonomi nonpangan dan pertanian. Menurut Timmer et al. (1983) dalam Timmer (1998), dengan tiga faktor makro ekonomi (permintaan, penawaran dan pendapatan), akan tercapai suatu keseimbangan pada tingkat harga suatu barang. Harga keseimbangan ini sewaktu-waktu juga dapat berubah sebagai akibat dari perubahan kegiatan ekonomi. Kenaikan tingkat harga (inflasi) yaitu fenomena keuangan yang ditimbulkan oleh peningkatan peredaran uang yang lebih cepat daripada peningkatan produk/output. Kebijakan moneter yang dapat mengakibatkan inflasi, bagaimanapun, juga merupakan variabel yang mempengaruhi ekonomi. Beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi kebijakan makro antara lain adalah ketersediaan uang, suku bunga, inflasi, investasi dan distribusi pendapatan. Sebagian besar pemerintahan suatu negara mencoba menata tingkat dan distribusi kegiatan makro ekonomi dengan berbagai instrumen kebijakan. Hampir semua kebijakan tersebut juga dapat mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung terhadap sektor pertanian. Sebagian pengaruh tersebut merupakan pengaruh positif, tetapi ada juga yang kebetulan gagal berpengaruh. Kebanyakan kebijakan makro pada sektor pertanian masih sebatas produksi pertanian, harga komoditi, distribusi dan konsumsi dan volume impor pangan. Kebijakan budgeter juga merupakan kebijakan makro ekonomi yang berhubungan dengan kebijakan pangan dan pertanian melalui pembiayaan proyek, program dan investasi pedesaan seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan sistem irigasi. Pada saat yang sama, kebijakan budgeter juga berpengaruh pada hubungan terhadap kebijakan fiskal, kebijakan moneter, kebijakan harga makro, dan juga berpengaruh terhadap kebijakan pangan dan pertanian melalui kebijakan perdagangan internasional, dan nilai tukar rural-urban. Karena total belanja negara sering melebihi pendapatan negara yang diperoleh melalui pajak, maka terjadi defisit anggaran. Defisit ini harus ditutup dengan tabungan swasta, pinjaman luar negeri atau dengan lelang surat utang negara. Apabila terjadi surplus anggaran, hal ini akan meningkatkan tabungan pemerintah kepada tabungan swasta untuk investasi ekonomi. Inflasi yang biasanya akibat dari defisit pembiayaan, akan menekan nilai tukar mata uang dan mempengaruhi tingkat pendapatan/upah dan suku bunga. Ketiga faktor tersebut merupakan komponen kebijakan harga makro pemerintah. pemerintah dan swasta dan pertumbuhan ekonomi serta penciptaan lapangan pekerjaan. Dari pemikiran tersebut di atas, Timmer et al (1983) menggambarkan diagram keterkaitan antara kebijakan makro ekonomi, kondisi makro dan kebijakan pangan dan pertanian (Gambar 1). Pada masa lalu penekanan masalah ketahanan pangan diutamakan pada kecukupan karbohidrat terutama beras. Pada saat ini ketahanan pangan tidak hanya persoalan mengenai beras. Ketahanan pangan juga mencakup persoalan pemenuhan kebutuhan gizi yang cukup, beragam, bermutu dan berimbang. Karena itu ketahanan pangan juga mencakup pemenuhan kebutuhan karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan kebutuhan nutrisi lain. Sumber kebutuhan nutrisi tersebut juga dapat berasal dari tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, produk-produk hewani dari peternakan, perikanan serta sumber-sumber pangan lain. Kebijakan ketahanan pangan yang baik yang dapat diimplementasikan akan menjadi salah satu komponen investasi pada sumber daya manusia suatu bangsa. Lingkungan harga makro berpengaruh terhadap nilai tukar rural-urban melalui kebijakan perdagangan dan pemilihan teknik dan finansial untuk mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan, penetapan harga komoditi dan tingkat pendapatan. Dalam hal ini kebijakan pangan dan pertanian harus efektif. Desain dan implementasi program dan proyek pangan dan pertanian secara spesifik, dibiayai secara langsung dari anggaran, menentukan alokasi sumberdaya. Dari berbagai sektor tersebut, alokasi anggaran akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan pangan antara berbagai tingkat pendapatan, karena importasi pangan bersubsidi di beberapa negara, dan pengaruh lain seperti teknologi dalam jangka pendek maupun panjang akan berpengaruh terhadap keputusan petani dalam berproduksi. Saat ini peningkatan produksi pangan diperlukan sejalan dengan peningkatan jumlah dan kualitas penduduk. Peningkatan produksi dan kualitas pangan dapat dilakukan melalui program intensifikasi budidaya dan diversifikasi pangan antara lain dengan usaha pengolahan bahan pangan menjadi produk pangan yang mempunyai nilai tambah. Diversifikasi pangan, selain berdampak kepada mutu pangan yang dikonsumsi oleh rakyat, yang akan lebih lengkap unsur gizinya, juga akan menghilangkan atau mengurangi ketergantungan pada sesuatu jenis pangan saja (misalnya beras). Untuk itu harus ditunjang oleh selain perencanaan yang komprehensif, juga oleh kesiapan pascapanen, pemasaran serta kampanye perbaikan gizi melalui keanekaragaman pangan. Esensinya adalah peralihan dari penekanan pada monofood based menjadi mix atau multiple-food based. Kombinasi dari kebijakan harga dan desain dan ketepatan alokasi anggaran akan berpengaruh terhadap kebijakan pangan dan pertanian jangka pendek. Faktor yang paling menentukan dari kebijakan jangka panjang terhadap sektor pangan dan pertanian antara lain adalah kebijakan harga jangka panjang, biaya investasi yang didanai dari anggaran Dalam kaitan peningkatan gizi, produk peternakan dan perikanan merupakan bahan pangan yang penting dalam program diversifikasi pangan. Produksi dari usaha peternakan dan perikanan berupa daging, telur dan susu serta ikan merupakan sumber protein yang diperlukan untuk kelengkapan gizi makanan pokok. Di sektor peternakan, perikanan darat 51 Kebijakan Ekonomi Makro Kebijakan Fiskal dan Moneter Kebijakan Harga Makro Kebijakan Budgeter Inflasi Nilai Tukar Mata Uang Suku Bunga Tingkat Pendapatan Program Pangan Kebijakan Harga Pangan Produsen Nilai Tukar Rural-Urban Konsumen Kebijakan Perdagangan Kebijakan Pangan Gambar 1. Hubungan antara Kebijakan Ekonomi Makro dengan Kebijakan Pangan Sumber : Timmer et al. (1983:223) dalam Timmer (1998:191) dan tangkap, perlu upaya mendorong pengembangan usaha baik skala besar, sedang maupun kecil bekerja sama dengan koperasi atau langsung dilakukan oleh peternak dan petambak, nelayan di wilayah potensial terutama di Indonesia Bagian Timur dan daerahdaerah lain yang agroklimat yang didukung oleh sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang memadai. Sumberdaya alam lain yang belum dimanfaatkan secara optimal antara lain adalah sumberdaya alam laut yang merupakan bagian terbesar dari wilayah Indonesia. Laut dan perairan bebas lainnya adalah sangat potensial untuk produksi pangan domestik dan produksi untuk ekspor. Selama ini masih terjadi kendala dan masalah dalam pemanfaatan potensi laut dimana banyak terjadi pencurian ikan di wilayah Indonesia oleh kapal nelayan asing dan penangkapan ikan oleh nelayan Indonesia sendiri belum optimal karena kendala peralatan dan lain-lain. Perhatian pemerintah agar lebih menggairahkan pembangunan dan usaha agribisnis 52 ke sektor tersebut baik di laut atau perairan lepas maupun perikanan dan usaha lainnya di pantai. Petani sebagai produsen pangan juga tidak hanya menghadapi masalah produksi pada sub sistem on farm saja. Namun secara lebih luas mencakup keterkaitan antara berbagai kegiatan yang mencakup supply dan distribusi input-input pertanian (subsistem hulu), kegiatan usaha pertanian itu sendiri (on-farm activity) serta pengolahan dan pemasaran hasil pertanian (subsistem hilir) yang terintegrasi dalam satu sistem agribisnis. Dalam rangka melaksanakan pembangunan pertanian melalui paradigma pengembangan sistem dan usaha agribisnis, maka kedepan beberapa kebijaksanaan menda-sar yang bersifat makro perlu ditempuh. Kebi-jakan makro ekonomi yang bersahabat dimak-sudkan sebagai kebijakan yang mampu mendo-rong terciptanya daya saing ekonomi sektor ini secara lokal, regional, global dan internasional. Bersamaan dengan itu juga tercipta iklim ekonomi dan iklim usaha yang kondusif dan penuh insentif bagi seluruh pelaku baik itu petani, pengusaha tani, bahkan kalangan BUMN untuk berusaha dan mengembangkan kegiatan di sektor pertanian dalam sistem dan usaha agribisnis. efektif untuk mencapai stabilitas harga pangan dalam negeri dan pada gilirannya mencapai ketahanan pangan(Rahman dan Ariani, 2002). Faktor lain yang saling berhubungan dengan kebijakan pangan adalah kebijakan perdagangan baik dalam maupun luar negeri dan kebijakan industri. Dalam kebijakan perdagangan domestik maupun global haruslah tetap ditempatkan dan dimanfaatkan dalam kerangka pembangunan ekonomi Indonesia. Instrumen-instrumen perdagangan seperti bea masuk, tarif pajak ekspor, dan hambatan nontarif lainnya harus dirancang dalam kerangka memperkuat struktur industri dalam negeri dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan. Agroindustri pangan harus mampu merangsang pertumbuhan industri lain yang ada bahkan menciptakan industri baru. Ketahanan pangan seperti itu terbukti sangat rapuh, tidak tahan gejolak (perubahan iklim, dinamika perdagangan internasional dan naiknya jumlah penduduk) dan tidak berkesinambungan. Dengan pendekatan tersebut, terdapat beberapa kelemahan. Menurut Simatupang (1999) dalam Rahman dan Ariani (2002), kelemahan asumsi (1) adalah bahwa harga pangan bukan merupakan indikator yang sempurna dari ketersediaan pangan. Dalam hal ini dicontohkan adanya krisis pangan tahun 1998, bahwa kenaikan harga pangan lebih disebabkan oleh adanya kesalahan informasi karena kurangnya kredibilitas pemerintah tentang kondisi stok pangan yang sebenarnya, adanya penyelundupan dan spekulasi terhadap harga pangan sebagai konsekuensi langsung dari terdevaluasinya nilai rupiah yang sangat tinggi. Perjanjian dan kerja sama internasional dapat diarahkan untuk dapat meningkatkan kekuatan dan pangsa pasar bagi perdagangan produk-produk agribisnis pangan nasional. Penyusunan kebijakan juga diharapkan mampu mengawal pasar dalam negeri dari ancaman penetrasi produk-produk luar negeri yang dapat merugikan perekonomian nasional. Kelemahan asumsi ke (2) adalah bahwa kemampuan atau akses konsumen untuk memperoleh pangan yang cukup tidak hanya ditentukan oleh harga pangan, tetapi juga oleh pendapatan. Selain itu akses terhadap pangan juga tidak hanya melalui pertukaran (pasar), termasuk di dalamnya adalah transfer nonpasar seperti pemberian, sumbangan, dan lain-lain. KERANGKA KETAHANAN PANGAN DALAM SISTEM AGRIBISNIS Konsep ketahanan pangan di Indonesia selalu berkembang dari waktu ke waktu. Pada era orde baru, konsep ketahanan pangan hanya melihat ketahanan pangan dari sisi ketersediaan pangan dalam jumlah yang memadai bagi semua penduduk untuk dapat hidup secara aktif dan sehat. Dalam hal ini, pemerintah pada masa lalu hanya memandang ketahanan pangan dari segi kuantitatif (supply dan demand). Dari pendekatan ini, terdapat tiga indikator yang dapat mempengaruhi kebijakan pangan di Indonesia yaitu : (1) kelangkaan pangan secara cepat direfleksikan oleh meningkatnya harga pangan; (2) harga pangan yang terjangkau cukup dapat menjamin akses semua orang untuk memperoleh pangan yang memadai; dan (3) produksi pangan domestik yang cukup (swasembada) merupakan cara yang paling Kelemahan asumsi (3) adalah bahwa swasembada merupakan cara yang paling efektif untuk menjamin stabilitas harga pangan dalam negeri tidak selalu benar, karena fluktuasi harga (pangan, beras) dalam negeri tidak hanya ditentukan oleh harga pasar dunia atau impor, tetapi juga oleh stabilitas produksi pangan Indonesia yang rentan terhadap iklim yang tidak normal maupun serangan hama/penyakit. Belajar dari kelemahan tersebut, kemudian disusun konsep dan kerangka baru tentang ketahanan pangan yang berkesinambungan. Bahwa ketahanan pangan bukan hanya sekedar supply dan demand saja. Ketahanan pangan adalah masalah multidimensional dan mencakup lintas sektoral, komoditas, daerah atau wilayah serta perkembangan perekonomian baik secara global, nasional maupun wilayah. Ketahanan pangan mempunyai dimensi yang sangat luas mencakup waktu, sasaran dan sosial-ekonomi masyarakat, sehingga diperlukan banyak indikator untuk mengukurnya. Menurut Arifin (2004), konsep ketahanan pangan lebih luas dibandingkan dengan 53 konsep swasembada pangan, yang hanya berorientasi pada aspek kecukupan produksi bahan pangan. Ketahanan pangan mengandung dua unsur pokok yaitu ketersediaan pangan (kuantitas dan kualitas) dan aksesibilitas masyarakat. Ketersediaan yang mencakup kuantitas dan kualitas ini dimaksudkan agar setiap individu dapat terpenuhi standar kebutuhan nutrisi untuk menjalankan aktivitas ekonomi dan kehidupan sehari-hari. Unsur pokok kedua dalam ketahanan pangan adalah aksesibilitas setiap individu terhadap pangan. Hal ini dapat dijaga dan ditingkatkan melalui pemberdayaan sistem pasar serta mekanisme pemasaran yang efektif dan efisien. Oleh karena itu dalam penyusunan strategi kebijakan ketahanan pangan ke depan harus memperhatikan berbagai indikator tersebut. Selain itu juga tetap memperhatikan keterkaitan antarwilayah, antarkomoditas dan antarbidang. Penyusunan strategi ketahanan pangan dilakukan dengan cara sistematis dan terintegrasi, meliputi kebijakan strategis sebagai kerangka ketahanan pangan nasional dan kebijakan implementasi sebagai terjemahan dari kerangka strategis tersebut. Selain itu, perlu adanya hirarki ketahanan pangan tersebut mulai dari tingkat global, nasional, daerah bahkan sampai tingkat rumah tangga. Tingkatan-tingkatan tersebut disusun dengan memperhatikan sinergi antar keterkaitan baik sektoral, komoditas, maupun antardaerah serta jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Pendekatan pembangunan ketahanan pangan di masa depan perlu memprioritaskan ketahanan pangan tingkat rumah tangga/individu dengan pola manajemen desentralisasi sebagai konsekuensi dan diterapkannya kebijakan otonomi wilayah. Dalam hal ini peran serta pemerintah daerah dan masyarakat menjadi kunci utama strategi peningkatan dan pemantapan ketahanan pangan rumah tangga dan wilayah. Sementara itu pemerintah (pusat dan daerah) lebih berperan sebagai fasilitator dan menciptakan iklim agar terciptakan kondisi yang kondusif bagi masyarakat dan swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan ketahanan pangan di tingkat individu, keluarga, lokal, regional dan nasional. Salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan ketahanan pangan tersebut adalah melalui pemberdayaan kelembagaan lokal seperti lumbung desa dan peningkatan peran masyarakat dalam penyediaan pangan. Hal ini perlu 54 dipertimbangkan sebagai salah satu upaya mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia (Noer; 1995; Sapuan dan A. Soepanto, 1995; dan A. Azis, 1995 dalam Rahman dan Ariani, 2002). Yang menjadi persoalan sekarang ini adalah bagaimana membuat kebijakan pangan yang sistematis, komprehensif, terintegrasi, inovatif dan handal. Pengertian handal adalah tahan terhadap gejolak yang diakibatkan oleh berbagai persoalan baik dalam maupun luar negeri. Termasuk handal terhadap berbagai gejolak perubahan iklim makro dan mikro. Kebijakan ini tidak hanya menitikberatkan dari segi peningkatan produksi dan produktivitas saja, tetapi harus terintegrasi dengan melihat persoalan dari segi kebijakan industri pangan, kebijakan perdagangan domestik dan internasional, kebijakan bantuan luar negeri untuk ketahanan pangan, kebijakan subsidi, bea masuk, harga dan perlindungan terhadap petani sebagai produsen pangan dan konsumen pangan juga. Pada masa lalu kebijakan pangan khususnya kebijakan perberasan yang pernah berhasil ini juga merupakan hasil koordinasi yang baik antar berbagai departemen dan lembaga lain seperti Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Departemen Perdagangan, Departemen Keuangan, Kementrian Koordinasi Bidang Ekonomi, Kementrian Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat dan instansi-instansi terkait lainnya. Kebijakan yang terintegrasi tersebut adalah suatu kebijakan yang tujuannya antara lain agar tercipta suatu produk pangan yang(1) berdaya saing, (2) berkerakyatan, (3) terdesentralistis dan (4) berkelanjutan. (1) Berdaya saing (competitive) Membangun agribisnis pangan berarti membangun system pangan yang produknya berorientasi pasar. Agribisnis pangan adalah membangun pertanian untuk pangan dengan peningkatan pangsa pasar dalam negeri dan khususnya bersaing dengan produk yang menguasai pasar internasional dan mengandalkan produktivitas dan nilai tambah melalui pemanfaatan modal (capital driven), pemanfaatan teknologi (innovation driven) serta kreativitas sumberdaya manusia terdidik (skill driven) dan bukan lagi mengandalkan kelimpahan sumberdaya alam dan tenaga kerja tak terdidik (factor driven). Membangun sistem agribisnis dan usaha-usaha agribisnis yang kokoh berarti membangun pertumbuhan sekaligus pemerataan sehingga terjadi keseimbangan antarsektor. Ini juga berarti menciptakan meaningful employment di luar sektor pertanian (subsistem off farm), sehingga beban pertanian yang terlalu berat menampung tenaga kerja dapat teratasi. Karena sebagian besar sumberdaya terdapat di daerah pedesaan maka dengan membangun sistem agribisnis dan usaha-usaha agribisnis sekaligus juga membangun daerah, sehingga ketimpangan kota-desa teratasi. Migrasi dari desa ke kota dapat dicegah secara alami, karena kesempatan kerja tersedia di desa. (2) Berkerakyatan (people-driven) Pengembangan agribisnis mendayagunakan sumberdaya yang dimiliki atau dikuasai rakyat banyak, menjadikan organisasi ekonomi dan jaringan organisasi ekonomi rakyat banyak menjadi pelaku utama pembangunan agribisnis sehingga nilai tambah yang tercipta dinikmati secara nyata oleh rakyat banyak. Di balik semua level sinergi tersebut adalah sumberdaya manusia (SDM). Prestasi pertanian kita tersebut dimungkinkan oleh terjadinya sinergi antarkelompok sumberdaya manusia yakni SDM petani, SDM pengusaha, SDM ilmuwan-teknokrat dan SDM pelayan publik (birokrat) di bidang agribisnis di seluruh daerah. Dengan kata lain, pertumbuhan pertanian tersebut bukan hanya lebih tinggi tetapi juga makin berkualitas karena lebih banyak dihela oleh sinergi dan kreatifitas masyarakat. (3) Berkelanjutan (sustainable) Agribisnis memiliki kemampuan merespon perubahan pasar yang cepat dan efisien, berorientasi kepentingan jangka panjang, inovasi teknologi yang terus menerus, menggunakan teknologi yang ramah lingkungan dan mengupayakan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Pembangunan agribisnis juga selalu memperhatikan kelestarian lingkungan. Dengan semakin turunnya daya dukung alam terhadap kehidupan, sudah saatnya kita tetap menjaga lingkungan tersebut dalam rangka pelestarian dan pemanfaatan yang berwawasan lingkungan. (4) Desentralistis (desentralized) Berbasis pada pendayagunaan keragaman sumberdaya lokal, berkembangnya pelaku ekonomi lokal, kemampuan pemerintah daerah sebagai pengelola utama pembangunan agribisnis dan meningkatnya bagian nilai tambah yang dinikmati rakyat lokal. Sumberdaya ekonomi yang dimiliki di setiap daerah dan siap didayagunakan untuk pembangunan ekonomi daerah adalah sumberdaya agribisnis seperti sumberdaya alam (lahan, air, keragaman hayati, agro-klimat), sumberdaya manusia di bidang agribisnis, teknologi di bidang agribisnis dan lain-lain. Oleh karena itu, untuk membangun ekonomi daerah pilihan yang paling rasional adalah melalui percepatan pembangunan agribisnis. Dengan kata lain, pembangunan agribisnis dijadikan pilar pembangunan ekonomi wilayah. Dengan pertimbangan keempat ciri tersebut, maka kita memilih strategi pembangunan nasional dalam rangka mencapai ketahanan pangan yang berkesinambungan melalui pengembangan sistem agribisnis yang tangguh disertai oleh usaha-usaha agribisnis untuk menggerakkan ekonomi nasional. Dengan membangun sistem agribisnis beserta usahausaha agribisnis pangan secara terencana, maka sebenarnya kita membangun perekonomian bangsa. Inilah yang harus menjadi visi kita ke depan. Arifin (2004), menyampaikan salah satu cara praktis dan strategis, dalam mendiseminasi dominasi kontribusi agribisnis dalam perekonomian suatu negara adalah dengan melakukan rekategorisasi sektor-sektor yang sangat berhubungan dengan Agribisnis. Prior dan Holt (1998) dalam Arifin (2004) memperlakukan agribisnis tidak sebagai penyedia bahan pangan dan agroindustri semata, memasukkan komponen manufaktur dan seluruh sektor jasa yang berhubungan dengan agribisnis. Hasilnya dapat diduga bahwa sektor agribisnis secara umum sangat dominan dan merupakan basis utama perekonomian suatu bangsa. Membangun sistem agribisnis dan usaha-usaha yang kokoh berarti membangun pertumbuhan sekaligus pemerataan sehingga terjadi keseimbangan antarsektor. Ini juga berarti menciptakan meaningful employment di luar sektor pertanian (sub-sistem off farm), 55 sehingga beban pertanian yang terlalu berat menampung tenaga kerja dapat teratasi. Karena sebagian besar sumberdaya terdapat di daerah pedesaan maka dengan membangun sistem agribisnis dan usaha-usaha agribisnis sekaligus juga membangun daerah, sehingga ketimpangan kota-desa teratasi. Migrasi dari desa ke kota dapat dicegah secara alami, karena kesempatan kerja tersedia di desa. Membangun sistem agribisnis beserta usaha-usaha agribisnis merupakan pekerjaan besar karena agribisnis itu sendiri merupakan sektor besar (mega sector). Maka diperlukan rancangan kebijaksanaan lintas sektor secara sinergis, dengan dukungan kuat kebijakan makro. Secara singkat lingkup model pembangunan agribisnis dapat diilustrasikan pada Gambar 2. Dengan pilihan strategi besar membangun sistem agribisnis dan usaha agribisnis dengan konsep yang benar, perekonomian nasional dapat pulih dengan lebih cepat, dan dalam jangka panjang ekonomi bertumbuh dengan sehat, diiringi pemerataan, dengan keseimbangan sektoral yang harmonis. Dengan demikian di masa mendatang pembangunan nasional akan digerakkan oleh agribisnis. Subsistem Agribisnis Hulu • Industri perbenihan/ Pembibitan • Industri agrokimia • Industri agro otomotif MASALAH DAN TANTANGAN Dalam proses upaya pencapaian kembali ketahanan dan kemandirian pangan di Indonesia, yang terpenting adalah koordinasi antar berbagai komponen ketahanan dan kemandirian pangan antara lain lembagalembaga yang bertanggung jawab terhadap logistik dan harga komoditas pangan seperti Menko Ekonomi, Keuangan Industri Pengawasan Pembangunan, Departemen Pertanian, Perum Bulog, Departemen Perdagangan Bank Indonesia. Setiap lembaga ini semestinya sudah benar-benar menyadari akan hal yang dipertaruhkan untuk mencapai kemajuan pertanian demi tercapainya ketahanan pangan. Komponen ketahanan pangan lainnya adalah teknologi dan SDM, infrastruktur pertanian serta lembaga penunjang baik sebagai penyedia dana maupun pengawas dalam suatu sistem dan usaha agribisnis pangan. Saat ini kita dihadapkan pada berbagai masalah dan tantangan dalam upaya pencapaian ketahanan pangan antara lain adalah : (1) kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kesenjangan wilayah, (2) era perdagangan bebas, (3) keterbatasan sumberdaya dan kerusakan Subsistem Usahatani Subsistem Pengolahan • Usaha tanaman pangan dan hortikultura • Usaha perkebunan • Usaha peternakan • Industri makanan • Industri minuman • Industri benang serat alam • Industri biofarma • Industri agrowisata dan estetika • • • • Subsistem Jasa dan Penunjang Perkreditan dan asuransi Penelitian dan pengembangan Pendidikan dan penyuluhan Transportasi dan pergudangan Gambar 2. Lingkup Pembangunan Sistem Agribisnis 56 Subsistem Pemasaran • • • • Distribusi Promosi Informasi pasar Kebijakan perdagangan • Struktur pasar lingkungan dan (4) ketidakmampuan memanfaatkan potensi sumberdaya. Kondisi sosial ekonomi masyarakat saat ini cukup parah karena terhimpit oleh kemiskinan. Dampak kemiskinan ini juga sudah terasa dengan terungkapnya generasi kita yang mengalami wabah polio, busung lapar, dan kekurangan gizi. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2005, kemiskinan di Indonesia sudah mencapai 35,1 juta penduduk (15,97 persen) dengan tingkat pengangguran yang cukup tinggi. Angka kemiskinan ini justru meningkat pada tahun 2006 yaitu menjadi 39,05 juta penduduk (17,75 persen). Dengan tingkat pendapatan yang relatif masih rendah, maka proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap bahan pangan yang besar. Hal ini merupakan indikator lemahnya ketahanan pangan nasional. Kemiskinan, penyebaran penyakit dan kelaparan di mana-mana seharusnya menjadi pilihan sasaran dibanding sekedar revitalisasi pertanian, kelautan dan kehutanan. Karena itu kebijakan pembangunan pertanian, kehutanan dan kelautan yang berkerakyatan yang langsung dapat membebaskan rakyat dari kemiskinan seharusnya juga menjadi dasar bagi revitalisasi pertanian, kehutanan dan kelautan dalam rangka mencapai ketahanan pangan nasional. Dengan adanya perubahan paradigma ketahanan pangan dari tingkat nasional yang tersentralistis menuju ke arah desentralistis, mengakibatkan perubahan pandangan terhadap persoalan ketahanan pangan. Meskipun secara nasional kita dapat mencapai swasembada beras, akan tetapi tingkat produksi, sebaran musim panen dan sebaran wilayah produksi serta kenaikan laju konsumsi yang terus meningkat menjadi persoalan baru dalam paradigma ini. Tantangan selanjutnya adalah era perdagangan bebas. Komitmen internasional ini perlu dicermati dengan baik untuk tetap pada rencana pembangunan pertanian Indonesia tanpa merugikan petani, pengusaha, dan pemerintah sendiri. Dengan demikian, strategi mencapai ketahanan pangan juga perlu mengantisipasi perubahan peta perdagangan dunia. Desakan untuk melepaskan subsidi dan penurunan tarif bea masuk perlu dicermati dan disiasati dengan cerdik sehingga agroindustri pangan nasional tetap jalan, tanpa harus mengorbankan petaninya. Seperti sering diupaya- kan oleh industri berbahan baku gula, garam, tembakau dan cengkeh yang selalu mengharapkan gula, garam, tembakau dan cengkeh murah sekalipun harus impor. Lobi-lobi industrialis itu seringkali merugikan petani karena mereka lebih sering dan suka membeli produk dumping daripada membeli produk petaninya sendiri. Kenyataannya banyak negara industri yang melakukan dumping terhadap surplus produknya dalam pasar internasional. Subsidi untuk dumping ini dapat mencapai sekitar 250 milyar US dolar setiap tahunnya. Hal ini jelas mengancam kelangsungan hidup berjuta petani miskin di negara-negara berkembang, yang tidak mungkin dapat bersaing dengan produk impor yang disubsidi (Annan, 2001). Dalam perdagangan internasional yang menjadi persoalan pertanian sekarang dan yang akan datang adalah perdagangan bebas tetapi tidak adil. Dalam keadaan seperti itu pertanian Indonesia akan selalu dikalahkan dan dirugikan. Bukan karena petani kita kurang kerja keras ataupun kurang pintar. Seperti kita ketahui selama ini negara-negara maju memaksa kita untuk membuka pasar, sementara itu dengan berbagai alasan mereka selalu menutup pangsa pasar mereka. Negara-negara tertentu bahkan masih menerapkan program subsidi untuk petani dan pertanian sangat besar. Hal ini merupakan hambatan bagi kemajuan sektor pertanian Indonesia. Untuk itu salah satu penyelesaian hambatan tersebut adalah penerapan kebijakan proteksi untuk komoditas pertanian strategis dan sekaligus promosinya. Selama empat tahun terakhir ini (2001-2005) sektor pertanian mengalami kemajuan dalam tingkat pertumbuhan produksi riil dan dilihat dari berbagai indikator di antaranya pertumbuhan PDB, surplus ekspor dibandingkan impor, serta perbaikan nilai tukar petani. Persoalannya sekarang adalah sampai kapan kita akan melakukan kebijakan proteksi pertanian. Kebijakan ini sebaiknya disertai dengan konsolidasi internasional untuk menyelenggarakan free trade yang fair. Kerusakan lingkungan dan anomali iklim yang makin sering terjadi akan berpengaruh pada kemampuan produksi. Selain itu kekurang mampuan Indonesia mendayagunakan penelitinya di bidang pertanian, iklim, geologi, irigasi, perencanaan wilayah, telematika, dan ahli sosial budaya di berbagai lembaga penelitian dan perguruan tinggi untuk menggalang satu konsep 57 mitigasi bencana alam dan penanggulangannya yang berpotensi mengganggu sentra produksi pertanian. Selain itu kebijakan pertanian, kehutanan dan kelautan yang tidak direncanakan dengan baik dan hati-hati, akan berpotensi merusak lingkungan atau sangat terpengaruh oleh kerusakan lingkunan dan anomali iklim yang sangat cepat berubah ubah. Karena itu revitalisasi pertanian, kehutanan dan kelautan seharusnya juga berwawasan lingkungan dan menganut asas keberlanjutan (sustainable), bagi generasi sekarang dan mendatang. Masalah terakhir adalah ketidakmampuan memanfaatkan potensi sumberdaya alam. Hal ini berhubungan dengan upaya pemantapan ketahanan pangan melalui diversifikasi pangan. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, akan meningkatkan permintaan terhadap pangan sehingga akan menambah beban, karena keterbatasan sumberdaya alam sebagai basis produksi. Disamping itu, adanya kebijakan pengembangan pangan yang hanya terfokus pada satu komoditi beras telah mengurangi penggalian dan pemanfatan potensi sumber pangan lain, serta memperlambat usaha penyediaan gizi berimbang seperti pemenuhan kebutuhan protein, lemak yang bersumber dari potensi pangan lokal. Hambatan lain dalam upaya diversifikasi pangan adalah pola konsumsi masyarakat yang masih belum beragam karena faktor sosial budaya, nilai dan norma, kelembagaan maupun budaya lokal dan pendapatan masyarakat yang masih rendah. Konsumsi pangan masyarakat masih banyak tergantung pada beras. Sedangkan konsumsi dari sumber lain seperti peternakan, perikanan masih jauh di bawah kebutuhan normal. Disamping itu, masih ada masyarakat di beberapa daerah tertentu masih mengalami kerawanan pangan secara berulang dan kerawanan pangan karena bencana alam. Kerawanan ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan produksi dan rendahnya pendapatan masyarakat serta penerapan teknologi produksi dan pengolahan yang belum memadai. Sementara itu, kita memiliki banyak peluang dalam upaya diversifikasi pangan. Berbagai potensi sumberdaya alam yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia belum banyak dimanfaatkan. Kita memiliki banyak lahan untuk meningkatkan produksi seperti 58 lahan kering, lebak, lahan pasang surut dan tadah hujan, laut yang luas, danau serta hutan terutama di luar pulau jawa. Dengan dukungan teknologi yang tepat dan sesuai dengan kondisi alam lokal, potensi ini dapat dimanfaatkan lebih baik lagi. Berbagai sumber pangan lokal baik yang bersumber dari tanaman, peternakan maupun perikanan merupakan potensi yang dapat dikembangkan dalam rangka diversifikasi pangan. Dengan adanya dukungan penelitian, teknologi budidaya dan industri pengolahan yang semakin berkembang maka upaya diversifikasi pangan dengan memanfaatkan potensi diharapkan dapat berkembang dengan baik dalam rangka pemenuhan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat yang cukup, bergizi dan berimbang. Adanya lembaga swadaya masyarakat terutama yang bergerak di bidang pertanian, pangan dan gizi yang tumbuh dan berkembang saat ini juga merupakan peluang yang dapat mendukung upaya diversifikasi pangan. Dengan pemberdayaan peran masyarakat melalui lembaga swadaya diharapkan dapat mendorong tercapainya pola konsumsi yang berimbang dengan memanfaatkan segala potensi yang ada. Dengan demikian upaya pemantapan ketahanan pangan tidak lagi tergantung pada satu komoditi. PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA PANGAN Dalam rangka implementasi kebijakan pangan, diperlukan koordinasi antarinstansi/ lembaga pertanian dan organisasi petani baik dalam rangka sosialisasi, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan tersebut. Secara garis besar, fungsi dan peran lembaga dan organisasi petani dapat digambarkan dalam kerangka sistem dan usaha agribisnis yang mencakup subsistem agribisnis hulu sampai subsistem pemasaran (Gambar 3). Baik lembaga pertanian maupun organisasi petani mempunyai peranan masingmasing yang saling terkoordinasi. Pada kerangka ini, lembaga pertanian (dalam hal ini adalah Perum Bulog) mempunyai peran dan fungsi koordinasi sistem ketahanan pangan (logistik pangan) sedangkan organisasi petani mempunyai fungsi yang berkaitan dengan produksi. Dalam upaya ketahanan pangan, hal yang perlu dikembangkan bukan sekedar unitunit usaha fisik yang tidak berkelanjutan, tetapi unit-unit usaha yang mampu berkembang karena memang dibutuhkan sebagai bagian dari keberlangsungan sistem agribisnis. Dengan kata lain, berbagai fungsi atau usaha yang bersifat melembaga perlu diupayakan melalui berbagai program. Oleh karena itu, kelompok tani merupakan bagian penting dalam menentukan keberhasilan program ini. Kelembagaan dan organisasi petani yang mampu menghimpun petani dalam memperjuang kepentingannya (sosial, politik pertanian dan ekonomi petani) harus terus ditumbuhkan sebagai mitra strategis untuk menguatkan posisi tawar, penyuluhan massal dan peran lainnya yang menyangkut kegiatan usaha tani. Selama ini telah tumbuh organisasi-organisasi yang mengakar dan besar serta disegani di kalangan petani seperti HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), KTNA (Kontak Tani Nelayan Andalan Nasional) serta Lembaga Masyarakat yang Mandiri dan Mengakar (LM3) yang merupakan organisasi petani umum, serta organisasi petani berdasarkan komoditas seperti Asosiasi Petani Cengkeh, Asosiasi Petani Padi, Kedelai, APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), BK-APTRI (Badan Koordinasi Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) yang selama ini telah tumbuh dan ditumbuhkan untuk memperjuangkan petani dan masyarakat pedesaan. Pengembangan LM3 seharusnya diarahkan untuk pengembangan kekuatan kelembagaan lokal yang baik dan benar benar mengakar bukan hanya berdasarkan keinginan Fungsi Koordinasi Sistem/Logistik Pangan Nasional (Pemerintah, BUMN Pangan) Subsistem Agribisnis Hulu • Industri perbenihan/ pembibitan tanaman, bercocok dan ikat • Industri agrokimia • Industri agro otomotif, kapal nelayan • Industri pendingin Subsistem Usahatani • Usaha tanaman pangan/strategis • Padi • Jagung • Kedelai • Gula • Peternakan • Perikanan • Kekurangan pangan • Perkebunan • • • • Subsistem Pengolahan • Industri makanan • Industri minuman • Industri benang serat alam • Industri biofarma • Industri agrowisata dan estetika berbasis tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan alsintan Subsistem Pemasaran • • • • Distribusi Promosi Informasi pasar Kebijakan perdagangan • Struktur pasar Subsistem Jasa dan Penunjang Perkreditan dan asuransi Penelitian dan pengembangan Pendidikan dan penyuluhan Transportasi dan pergudangan Fungsi Koordinasi Produksi Pangan Nasional (Petani & Organisasi Petani) Gambar 3. Lingkup Sistem Agribisnis Pangan dan Peran Kelembagaan 59 kelompok tertentu dan ditujukan untuk kelompok yang ingin sekedar memanfaatkan kekuasaan sesaat. Kelompok tani mempunyai peranan dalam meningkatkan posisi tawar dalam kemitraan/kerjasama dengan pihak lain. Demikian juga pada kegiatan on farm, diperlukan penyuluhan teknis budidaya, panen dan pascapanen. Dalam hal ini kelompok tani mempunyai peranan penting. Dan yang lebih penting lagi adalah pengorganisasian petani dalam rangka meningkatkan posisi tawarnya untuk kemitraan dalam sistem dan usaha agribisnis. Selama ini yang menjadi masalah utama bagi rakyat yang bekerja di sektor pertanian khususnya dalam kaitan sistem agribisnis tanaman pangan adalah banyaknya kendala dalam setiap sub sistem. Hal itu mencakup: 1. Ketersediaan faktor produksi pertanian berupa benih, pupuk, obat-obatan dan faktor produksi lainnya yang tidak terjamin waktunya, serta harga dari faktor produksi tersebut yang tinggi. Hal ini akan memberatkan petani dalam mencapai produksi yang optimal. 2. Dalam subsistem usahataninya sendiri juga terdapat permasalahan teknis budidaya, kendala informasi iklim dan cuaca yang kadang-kadang meleset serta pengetahuan manajemen dari petani yang kurang memadai. Dalam hal ini peranan pemerintah dalam memprediksi, mendeteksi dan membuat prakiraannya serta menyebarkan informasi tentang cuaca dan iklim sangat penting sekali. Selain itu adanya lembaga penyuluhan yang handal untuk membina kelompok tani dalam meningkatkan kemampuan manajemen petani menjadi sangat diperlukan. 3. Kualitas produk masih relatif rendah, dan angka kesusutannya relatif tinggi baik karena mutu benihnya, maupun karena processing pascapanennya yang tidak memadai. Belum tersedianya peralatan pascapanen secara merata di setiap daerah menyebabkan penanganan pasca panen yang kurang optimal. 4. Kurangnya pengetahuan petani mengenai informasi pasar, mengakibatkankan posisi tawar petani menjadi lemah. Ketidakpastian pasar baik yang akan membeli hasil petani tersebut di tingkat usahatani, maupun tem- 60 pat petani memasarkan hasilnya kepada konsumen dan rendahnya harga produk pertanian di tingkat produsen dan mahalnya harga produksi tersebut di tingkat konsumen, termasuk pangan pokok rakyat. Dengan kata lain nilai tukar produk petani yang relatif rendah. Harga gabah yang diterima oleh petani, pada akhirnya akan menurunkan insentif petani untuk menggunakan teknologi produksi, khususnya benih bermutu dan pemupukan berimbang. 5. Apabila hal ini tidak segera diatasi, maka dikawatirkan akan berdampak pada : (a) stagnasi atau bahkan penurunan produktivitas, (b) penurunan luas tanam/panen padi karena petani beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan dan (c) alih fungsi lahan sawah, baik karena dijual atau digunakan untuk nonpertanian. Apabila hal tersebut benar-benar terjadi maka akan dapat mengancam kemandirian pangan beras nasional. 6. Kurangnya aksesibilitas petani untuk mendapatkan bantuan kredit dari bank, fungsi badan penyuluhan yang kurang memadai serta kurangnya kesadaran petani akan fungsi dan peran kelompok tani dalam rangka meningkatkan posisi tawarnya juga menjadi masalah bagi petani dalam pengembangan usahataninya. Guna mengefektifkan pelaksanaan kebijakan pangan dalam rangka pengendalian harga bahan pangan pokok berupa gabah, jagung, kedelai dan gula maka perlu dilakukan beberapa hal sebagai berikut : 1. Pemerintah bersama organisasi petani seperti HKTI perlu melakukan percepatan dan peningkatan volume pembelian bahan pangan di daerah-daerah penghasil bahan pangan tersebut yang masih mengalami penurunan harga yang tajam. Untuk mendukung kegiatan tersebut perlu kerja sama antara Perum Bulog dengan HKTI untuk mendirikan usaha penanganan pascapanen dan industri pengolahan hasil. Usaha pengolahan ini akan meningkatkan nilai tambah dan efisiensi dalam penyimpanan dan distribusi. 2. Bahan pangan yang disalurkan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pokok untuk orang miskin seperti program raskin untuk beras serta bahan pangan lain seperti jagung, kedelai dan gula agar seluruhnya dipenuhi dari produksi dalam negeri. Dengan demikian Perum Bulog tidak perlu merencanakan impor untuk keperluan tersebut. Selain itu juga perlu pengaturan distribusi bahan pangan untuk orang miskin dimana pada daerah-daerah sentra produksi tanaman pangan hendaknya tidak dilakukan pada saat musim panen raya. 3. Pemerintah melalui Bulog bekerja sama dengan HKTI diharapkan dapat melakukan diversifikasi usaha baik dalam pengolahan dan distribusi maupun diversifikasi komoditi bahan pangan sehingga dapat menampung komoditi pertanian dan dapat memperluas orientasi pasar ke pangsa pasar ekspor. 4. Perlu dilakukan penyempurnaan mekanisme yang menjamin agar mitra BULOG dalam pengadaan bahan pangan dalam negeri membeli langsung dari petani produsen sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah, sebagaimana diatur dalam SKB Kepala Badan Bimas Ketahanan Pangan dan Kepala Bulog Nomor : 02/SKB/BBKP/I/ 2003; Kep-08/UP/01/2003. Dari berbagai pengamatan di lapangan, sebagian besar mitra membeli bahan pangan pokok dari petani dangan harga pasar. Selain itu perlu peningkatan peran pemerintah daerah, baik propinsi maupun kabupaten/kota melalui peningkatan alokasi dana APBD untuk program dana talangan, program penguatan modal usaha kelompok untuk tunda jual dan lumbung pangan dan bantuan alat dan mesin pertanian untuk mendukung peningkatan produksi dan produktivitas. Dalam rangka upaya diversifikasi pangan, kelembagaan pertanian mempunyai peranan penting dalam mendorong masyarakat dalam memanfaatkan potensi alam dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangannya. Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan diversifikasi pangan dapat dilakukan melalui pengembangan kemitraan dengan penguatan dan pengembangan kapasitas kelembagaan (pemerintah, swasta maupun masyarakat) dan melalui pengembangan motivasi dan partisipasi masyarakat. Dengan adanya pemberdayaan peran masyarakat ini diharapkan dapat meningkatkan kemandirian masyarakat dalam produksi dan pengelolaan pangan dan gizi. Keberadan lembaga atau kelompok petani, peternak atau nelayan diharapkan tidak hanya mendorong anggotanya dalam kegiatan on farm, tetapi lebih luas lagi dapat melakukan sosialisasi dan publikasi tentang pola konsumsi sehingga dapat mendorong upaya diversifikasi. PENUTUP Ketahanan pangan telah menjadi isu strategis dan penting dalam kerangka pembangunan pertanian dan pembangunan nasional Indonesia. Ketahanan pangan selalu menjadi salah satu fokus utama dalam kebijaksan dan operasionalisasi pembangunan pertanian pemerintah Indonesia sejak masa kemerdekaan hingga sekarang. Oleh karena itu pemerintah membentuk lembaga khusus yang menangani masalah ketahanan pangan yaitu Dewan Ketahanan Pangan yang dipimpin langsung oleh Wakil Presiden Megawati pada tahun 2001. Ketika Megawati menjadi Presiden RI, Dewan Ketahanan Pangan langsung dipimpin oleh Presiden, sementara ketua hariannya adalah Menteri Pertanian dan sejumlah menteri terkait menjadi anggotanya. Di Departemen Pertanian dibentuk Badan Urusan Ketahanan Pangan tingkat eselon I di lingkup Departemen Pertanian pada tahun 2000 kemudian pada tahun 2001 dirubah menjadi Badan Bimbingan Masal Ketahanan Pangan. Di daerah dibentuk Badan Ketahanan Pangan Tingkat Propinsi dan Kabupaten agar masalah pangan dapat dikelola dengan baik. Hal ini menunjukkan pentingnya penanganan masalah ketahanan pangan. Lembaga ini diharapkan dapat memantapkan sistem ketahanan pangan untuk kepentingan dalam negeri, mengingat adanya perubahan lingkungan strategis internasional dan domestik. Ketidakpastian dan ketidakstabilan produksi, ketersedian dan pasokan pangan dunia mengharuskan kita mengandalkan kepada ketersediaan pangan di dalam negeri. Dengan demikian, upaya peningkatan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dan merupakan hak asasi manusia. Basis ketahanan pangan nasional adalah ketahanan pangan tingkat rumah tangga, terutama di pedesaan. Oleh karena itu ukuran keberhasilan ketahanan pangan tetap mengacu pada tingkat ketahanan pangan rumah tangga, wilayah dan baru kemudian tingkat nasional. Hal ini sangat dipengaruhi oleh 61 daya beli, tingkat pendapatan, harga, distribusi, kelembagaan dan faktor sosial lainnya. Dalam era globalisasi yang sangat kompetitif, Indonesia menghadapi tantangan berat dalam merumuskan kebijakan pangan yang mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduknya yang terus meningkat jumlah dan kualitasnya. Kebijakan pangan perlu disusun dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan pangan dan upaya peningkatan diversifikasi produksi dan konsumsi pangan. Berbagai sumberdaya perlu didaya gunakan supaya dapat menghasilkan komoditas pangan yang lebih aman, efisien dan kompetitif. Oleh karena itu kebijakan pangan juga harus memperhatikan dinamika pasar internasional. Pembangunan pertanian yang dilaksanakan secara konsisten dan kebijakan makro yang mendukung pembangunan pertanian, diharapkan dapat mencapai ketahanan pangan yang berkesinambungan. Di samping itu, dengan adanya dukungan para petani dan organisasi petani sebagai subjek utama dalam kerangka kebijakan ketahanan pangan nasional, juga diharapkan dapat memberikan dukungan dalam upaya pencapaian ketahanan pangan nasional. Peran kelembagaan petani cukup strategis dalam meberikan solusi dari tiga permasalahan mendasar sekaligus yaitu sosial, ekonomi dan lingkungan. Pendekatan sistem dan usaha agribisnis dalam kerangka ketahanan pangan nasional, berarti melakukan pengembangan usaha tersebut dengan prinsip antara lain berkerakyatan, berdaya saing, 62 berkelanjutan, dan lebih terdesentralistis. Karena hanya dengan melibatkan rakyat petani dan kelompok tani melalui organisasi petani sebagai satu subjek, maka program ini akan dapat terlaksana dengan baik. Dengan demikian, prinsip melibatkan organisasi petani ini merupakan salah satu faktor penting untuk suksesnya ketahanan pangan nasional. DAFTAR PUSTAKA Annan, K. 2001. Laying The Foundations of A Fair anf Free World Trade System (In : The Role of The World Trade Organization in Global Governance). United nations university Press. Tokyo, New York, Paris. Arifin, B. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Kompas. Jakarta. Rahman, H.P.S. dan Ariani, M. 2002. Ketahanan Pangan: Konsep, Pengukuran dan Strategi. FAE. Vol. 20 No. 1. Stiglitz, J.E. 2006. Making Globalization Work. W.W. Norton & Co. New York & London. Timmer, C.P. 1998. The Macroeconomics of Food and Agriculture (In : International Agricultural Development. 3rd Ed) The Johns Hopkins University Press. Baltimore and London.