ANALISIS HUBUNGAN LATAR DAN REALITAS SOSIAL DALAM KUMPULAN CERPEN PILIHAN KOMPAS 2010: DODOLITDODOLITDODOLIBRET Dilla Fadhillah Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Tangerang [email protected] Abstrak Cerpen merupakan bentuk prosa fiksi yang cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya fiksi yang lebih panjang seperti novel. Hal inilah yang membuat cerpen lebih menarik minat pembaca karena ceritanya sederhana, ringkas dan mudah dicerna. Atas dasar itulah dari tahun ke tahun penulisan cerita pendek terus berkembang. Tidak jarang cerita yang diangkat oleh pengarang berkisah tentang masalah sosial. Tanpa disadari, terkadang unsur pembangun sebuah cerpen memiliki persamaan dengan realitas kehidupan atau masalah-masalah sosial yang sering muncul dalam pemberitaan di media massa. Salah satu unsur pembangun cerpen yang memiliki kaitan dengan realitas adalah latar. Latar cerita dapat digunakan untuk menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas, hal inilah yang membuat latar memiliki hubungan dengan realitas yang terjadi dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: (1) Bagaimana hubungan latar dan realitas sosial masyarakat Indonesia dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2010: Dodolitdodolitdodolibret. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapat hubungan latar dan realitas sosial dalam cerpen Pilihan Kompas 2010: Dodolitdodolitdodolibret. Hubungan tersebut berdasarkan persamaan unsur latar dalam cerpen dengan realitas kehidupan sosial dalam masyarakat, khususnya yang terjadi sepanjang tahun 2010. Latar yang ada dalam cerpen terdapat juga dalam realitas sosial masyarakat Indonesia. Kata kunci: cerpen, latar, dan realitas sosial A. Pendahuluan Salah satu genre sastra yang lahir dari proses kreatif pengarang adalah cerita pendek atau lebih dikenal dengan sebutan cerpen. Cerpen adalah suatu bentuk prosa fiksi. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novel. Unsur-unsur pembangun sebuah cerpen, seperti tema, plot, penokohan, dan latar, secara umum dapat dikatakan bersifat sederhana. Salah satu genre sastra yang lahir dari proses kreatif pengarang adalah cerita pendek atau lebih dikenal dengan sebutan cerpen. Cerpen adalah suatu bentuk prosa fiksi. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novel. Unsur-unsur pembangun sebuah cerpen, seperti tema, plot, penokohan, dan latar, secara umum dapat dikatakan bersifat sederhana. Menurut Rosidi (Tarigan, 1984:176) cerpen atau cerita pendek adalah cerita yang pendek dan merupakan suatu kebulatan ide. Dalam kesingkatan dan kepadatannya itu, sebuah cerpen adalah lengkap, bulat dan singkat. Semua bagian dari sebuah cerpen mesti terikat pada suatu kesatuan jiwa. Sedangkan menurut siswanto (2008:141) menyebutkan bahwa cerpen merupakan bentuk prosa rekaan yang pendek. Pendek di sini masih mempersyaratkan adanya keutuhan cerita, bukan asal sedikit halaman. Karena pendek, permasalahan yang digarap tidak begitu kompleks. Biasanya menceritakan peristiwa atau kejadian sesaat. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa cerpen adalah cerita pendek merupakan salah satu karya sastra atau prosa fiksi. Cerpen menyajikan keutuhan cerita yang menggambarkan suatu peristiwa yang sederhana, padat dan singkat. Dari tahun ke tahun penulisan cerita pendek terus berlanjut dan berkembang. Tidak jarang cerita yang diangkat oleh pengarang berkisah tentang masalah sosial. Wacana seputar permasalahan sosial sering kita jumpai di berbagai media massa, khususnya koran nasional. Tanpa disadari, terkadang tema dan latar dalam sebuah cerpen merupakan cerminan dari realitas kehidupan atau masalah-masalah sosial yang sering muncul dalam pemberitaan di media massa. Cerita pendek yang berkembang saat ini memiliki kemiripan dengan penulisan jurnalistik, salah satunya dari segi keaktualan yang menjadi syarat utama dalam penulisannya. Kisah yang diangkat para penulis cerpen mempunyai hubungan yang erat dan tidak terputus dengan peristiwa yang kerap terjadi di masyarakat. Maka, cerpen juga merupakan karya sastra yang menggambarkan realitas sosial masyarakat. Menurut Berger dan Luckmann (Bungin, 2008: 7) yang dimaksud realitas sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial. Sedangkan menurut Poloma (2000: 281) realita sosial dipandang sebagai sesuatu yang berada diluar. Realitas yang diinternalisir oleh individu lewat norma-norma sosial yang mencerminkan kebudayaan. Selain itu, Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) realitas sosial adalah kenyataan yang sebenarnya. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa realitas sosial adalah kenyataan atau fakta-fakta yang sebenarnya mengenai kehidupan masyarakat atau hubungan seseorang dengan individu lainnya dalam bermasyarakat. Hal ini berupa fakta atau kenyataan yang menyangkut nilai, norma, dan masalah-masalah sosial yang kerap terjadi dalam masyarakat. Pada dasarnya realitas adalah kenyataan. Dari uraian yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa realitas sosial adalah kenyataan atau fakta-fakta yang berada di luar individu. Hal ini meliputi fakta atau kenyataan yang terjadi di masyarakat, misalnya menyangkut nilai, norma, dan masalah-masalah sosial yang kerap terjadi dalam masyarakat. Menurut Abdulsyani (2002: 184) masalah sosial berkisar dari suatu keadaan ketidakseimbangan antara unsur nilai-nilai dan norma-norma sosial dalam masyarakat yang relatif membahayakan atau menghambat anggota-anggota masyarakat dalam usahanya mencapai tujuan. Ada beberapa masalah sosial utama yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat, yaitu sebagai berikut: a. Kriminalitas Tumbuhnya kriminalitas disebabkan oleh adanya berbagai ketimpangan sosial, yaitu adanya gejala-gejala kemasyarakatan, seperti krisis ekonomi, adanya keinginankeinginan yang tidak tersalur, tekanan-tekanan mental, dendam dan sebagainya. Dengan pengertian lain yang lebih luas, bahwa timbulnya kriminalitas oleh karena adanya perubahan masyarakat dan kebudayaan yang teramat dinamis dan cepat (Abdulsyani, 2002: 188). Selain itu, Soekanto (2012: 322) mengemukakan bahwa gejala lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah white-collar crime. White-collar crime merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha atau para pejabat di dalam menjalankan peranan fungsinya. Keadaan keuangannya yang relatif kuat memungkinkan mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang oleh hukum dan masyarakat umum dikualifikasikan sebagai kejahatan. Golongan tersebut menganggap dirinya kebal terhadap hukum dan sarana-sarana pengendalian sosial lainnya karena kekuasaan dan keuangan yang dimilikinya dengan kuat. b. Masalah Kependudukan Pada dasarnya masalah kependudukan menurut Abdulsyani (2002: 190) merupakan suatu sumber masalah sosial yang penting, oleh karena pertambahan penduduk dapat menjadi penghambat dalam pelaksanaan pembangunan, terutama jika pertambahannya tidak dapat terkontrol secara efektif. Akibat pertambahan penduduk biasanya ditandai oleh kondisi yang serba tidak merata, terutama mengenai sumbersumber penghidupan masyarakat yang semakin terbatas. Menurut Soekanto (2012: 339) masalah-masalah kependudukan perlu ditanggulangi, karena pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat harus disertai dengan pengaturan pertumbuhan jumlah penduduk, melalui program keluarga berencana atau transmigrasi. Tujuam utama suatu proses pembangunan adalah untuk secara bertahap meningkatkan produktivitas dan kemakmuran penduduk secara menyeluruh. Usahausaha tersebut dapat mengalami gangguan, antara lain karena pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat yang disebutkan tingginya angka kelahiran. c. Masalah kemiskinan Kemiskinan dapat diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang, keluarga atau anggota masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar sebagaimana anggota masyarakat lain pada umumnya. Menurut Salim (Abdulsyani, 2002: 190), bahwa kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Mereka dikatakan berada di bawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok, seperti pangan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain. Selain itu, menurut Soekanto (2012: 320) kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup lagi memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Menurut sejarah, keadaan kaya dan miskin secara berdampingan tidak merupakan masalah sosial sampai saatnya perdagangan berkembang dengan pesat dan timbulnya nilainilai sosial yang baru. Dengan berkembangnya perdagangan ke seluruh dunia dan ditetapkannya taraf kehidupan tertentu sebagai suatu kebiasaan masyarakat, kemiskinan muncul sebagai masalah sosial. Pada waktu itu individu sadar akan kedudukan ekonominya sehingga mereka mampu untuk mengatakan apakah dirinya kaya atau miskin. Kemiskinan dianggap sebagai masalah sosial apabila perbedaan kedudukan ekonomis para warga masyarakat ditentukan secara tegas. d. Pelacuran Soekanto (2012: 329) menganggap bahwa pelacuran diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan perbuatanperbuatan seksual dengan mendapat upah. Pelacuran yang dijumpai di kota-kota besar dikatakan bukan masalah sosial utama karena pengaruhnya terhadap ekonomi negara, stabilitas politik, kebudayaan bangsa, atau kekuatan nasional kecil sekali. Akan tetapi, pelacuran merupakan masalah yang penting karena mempunyai pengaruh besar terhadap moral. Hal senada juga dikemukakan oleh Abdulsyani (2002: 193) yang mengatakan bahwa pelacuran merupakan masalah sosial yang cukup besar pengaruhnya bagi perkembangan moral. Banyak kekhawatiran yang timbul karena adanya pelacuran ini, sebab ia tidak hanya dapat menciptakan masalah bagi keluarga dan generasi muda saja, melainkan kekhawatiran akan semakin menjalarnya penyakit kelamin, bahkan AIDS. Pelacuran akan menjadi masalah sosial yang semakin besar, apabila berkembang menjadi suatu profesi, terutama jika nilai-nilai moral dan keterlanjuran itu sudah semakin merasuk ke dalam jiwa para pelakunya. Lebih-lebih jika kemudian tertanam pula anggapan bahwa pekerjaan itu lebih mudah dilakukan dan tidak memerlukan keterampilan khusus. e. Pencemaran lingkungan Menurut Salim (Abdulsyani, 2002: 194), lingkungan hidup meliputi hal-hal yang ditimbulkan oleh interaksi antara organisme hidup dengan lingkungan. Dalam lingkungan hidup ini manusia merupakan unsur yang paling dominan. Pengaruh timbal balik antara manusia dengan lingkungan dapat menimbulkan masalahmasalah, baik itu lingkungan biologis, lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Desakan kebutuhan manusia, kurangnya kesadaran akan lingkungan hidup menyebabkan terganggunya keserasian antara lingkungan hidup dengan perilaku manusia, maka kualitas lingkungan hidup itu akan semakin rusak. Misalnya, pencemaran air dengan zat-zat kimia yang mengandung racun, penebangan kayu di hutan, pembuangan sampah tak teratur, membuang kotoran disembarang tempat, kesemuanya itu akan mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup. Soekanto (2012: 342) berpendapat bahwa pencemaran akan terjadi apabila di dalam lingkungan hidup manusia, baik yang bersifat fisik, biologis maupun sosial, terdapat suatu bahan yang merugikan eksistensi manusia. Hal itu disebabkan karena bahan tersebut terdapat dalam konsentrasi yang besar, yang pada umumnya merupakan hasil dari aktivitas manusia sendiri. Masalah pencemaran biasanya dibedakan dalam bebrapa klasifikasi, seperti, pencemaran udara, pencemaran air, serta pencemaran tanah. Pesatnya perkembangan media massa khususnya koran dan majalah, berimbas pula pada perkembangan cerita pendek Indonesia. Pengarang seolah diberi jalan untuk mempublikasikan hasil karyanya kepada pembaca lewat media massa. Menurut Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia (2004: 158) cerita pendek mendapatkan tempat yang subur di dalam perkembangan sastra Indonesia setelah masa kemerdekaan. Hal ini ditunjang dengan berkembangnya majalahmajalah dan koran serta industri media cetak lainnya yang bersedia menampung karya-karya cerita pendek. Dari tahun ke tahun tradisi penulisan cerita pendek terus berlanjut dan berkembang. Segi tematis dan stilistis menunjukkan keberagaman yang menarik. Mulai akhir tahun 1980-an, para penulis karena berbagai faktor sosiologis dan psikologis lebih memilih koran sebagai sarana pemublikasian karya-karya cerita pendek mereka. Perkembangan tersebut memunculkan suatu perkembangan tersendiri yang kemudian dikenal sebagai cerita pendek koran (Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia, 2004: 159). Media massa khususnya koran dan majalah yang ada di Indonesia pada umumnya selalu menyediakan rubrik khusus untuk memuat karya sastra yang lahir dari tangan-tangan kreatif pengarang. Kehadiran rubrik sastra ini tak terkecuali turut pula disajikan dalam koran Kompas. Karya sastra khususnya cerpen-cerpen yang dimuat dalam rubrik sastra, terbit pada koran Kompas edisi Minggu. Koran Kompas melakukan tradisi pemilihan cerita pendek terbaik. Dari cerpen-cerpen yang telah diterbitkannya melalui terbitan Kompas Minggu, kemudian diterbitkan setiap tahunnya dalam bentuk buku kumpulan cerita pendek (Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia, 2004: 159). Menurut Arcana (2011: vii) sejak tahun 1992, antologi cerpen pilihan Kompas yang berjudul Kado Istimewa terbit, sampai tahun 2010 ini sudah ada 17 kumpulan cerita pendek yang diterbitkan. Tentu saja rentang waktu 13 tahun bukan masa yang panjang, jika dibandingkan perjalanan sastra (modern) Tanah Air, yang sudah mulai sejak abad ke- 19 silam dengan penerbitan novel-novel berbahasa Melayu Tionghoa. Akan tetapi, seperti halnya motto koran Kompas yaitu “Amanat Hati Nurani Rakyat”, cerita-cerita yang dimuat dalam kumpulan Cerpen Pilihan Kompas selalu bersinggungan dengan masalah yang mendera rakyat Indonesia. Buku antologi cerpen Kompas cenderung memperdengarkan isu-isu sosial aktual yang biasa tampil dirubrik berita dan opini di media massa. Bukan rahasia lagi jika korupsi merupakan salah satu masalah terparah yang menjangkiti rakyat Indonesia. Selain itu masalah kriminalitas, kemiskinan, kekerasan terhadap anak dan perempuan merupakan permasalahan sosial yang hingga kini terus terjadi di tengah-tengah masyarakat. Hal-hal semacam itulah yang tergambar di dalam kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2010: Dodolitdodolitdodolibret. Cerita yang ada di dalam cerpen tersebut dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Masalah-masalah sosial yang kerap terjadi di masyarakat dengan mudah dapat ditemukan dalam beberapa cerpen kumpulan Kompas 2010: Dodolitdodolitdodolibret ini. Tujuan penelitian merupakan rumusan harapan yang ingin dicapai dari penelitian. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui hubungan latar dan realitas sosial dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2010: Dodolitdodolitdodolibret dan rencana pelaksanaan pembelajarannya di SMP. B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode kualitatif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasikan objek sesuai dengan apa adanya. Metode ini pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama, yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat. Hal tersebut dirasa sangat sesuai dengan objek yang sedang diteliti. Dalam penelitian kali ini, peneliti bertujuan untuk menggambarkan secara teliti dan mendalam tentang latar yang terdapat dalam kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2010: Dodolitdodolitdodolibret. Peneliti berusaha mengidentifikasi jenis-jenis latar yang ada dalam kumpulan cerpen tersebut. Tentu saja latar yang telah ditemukan harus disesuaikan dengan teori yang ada. Gambaran latar yang sudah dikaji kemudian dihubungkan dengan realitas atau kenyataan sosial yang terjadi di sekitar masyarakat secara jelas dan tersusun sistematis. C. Pembahasan 1.1 Analisis Hubungan Latar dan Realitas Sosial dalam Cerpen “Sepasang Mata Dinaya yang Terpenjara” Karya Ni Komang Ariani a. Latar Tempat Suaminya, Gusti Nyoman Ghana, tampaknya baru bangun. Dinaya mendengar suara gayung menciduk air di kamar mandi. Ghana pasti sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja. Sebentar lagi, ia akan mengenakan seragam coklatnya dan berangkat ke Denpasar (2011:69). Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Dalam cerpen “Sepasang Mata Dinaya yang Terpenjara” karya Ni Komang Ariani, latar tempat yang digunakan ialah Pulau Bali dan rumah. Tokoh dalan cerita menyebut Denpasar sebagai tempat suaminya bekerja. Dari kutipan di atas, tampak gambaran kehidupan rumah tangga yang dilakoni oleh sepasang suami istri yang sedang menjalankan aktivitas sehari-hari. Tokoh suami yang bernama Gusti Nyoman Ghana tengah sibuk membersihkan diri di kamar mandi, hal itu ditandai dengan gemericik suara gayung yang menciduk air. Ia bersiap-siap untuk berangkat kerja yang bertempat di Denpasar. Seragam cokelat yang dikenakan oleh Gusti Nyoman Ghana, mengisyaratkan bahwa ia adalah seorang pegawai negeri. Pada umumnya pegawai negeri di Indonesia berseragam coklat dan bertugas di pusat kota. Dalam kutipan di atas, kota yang digunakan adalah Denpasar. Nama tokoh dalam cerpen ini merupakan nama yang biasa dipakai oleh orang Bali. Selain Gusti Nyoman Ghana, masih ada nama-nama atau sebutan yang biasa dipergunakaan oleh masyarakat Bali. Seperti yang ada dalam kutipan berikut. Biyang dan Aji sangat menginginkan gelar itu di belakang nama Dinaya, namun mereka tidak ingin ia lebih pintar dari yang mereka kenal dahulu. Dinaya yang masih bocah dan mengenakan seragam sekolah dasarnya. Pada saat itu Biyang dan Aji sering memarahinya karena belum bisa menulis dan membaca. Mereka selalu mengenang Dinaya sebagai anak mereka yang itu (2011: 71). Kata Biyang dalam bahasa Indonesia berarti Ibu sedangkan Aji berarti Ayah adalah istilah yang dipakai oleh orang Bali. Biasanya masyarakat Bali menyebut kedua orang tuanya dengan panggilan Biyang dan Aji. dari kutipan di atas, telihat bahwa orang tua Dinaya menginginkan gelar di belakang namanya hanya untuk meningkatkan status sosial mereka di mata masyarakat. Hal itu dibuktikan dengan pernyataan bahwa kedua orang tuanya tidak ingin Dinaya menjadi lebih pintar dan lebih berwawasan. Mereka ingin Dinaya tetap bodoh seperti ketika ia duduk di bangku sekolah dasar, sehingga mereka memiliki alasan untuk memarahi dan mengatur hidup Dinaya sesuka hati mereka. Nama Gusti Nyoman Gana serta sebutan Biyang dan Aji semakin menegaskan bahwa latar tempat yang dipakai dalam cerpen “Sepasang Mata Dinaya yang Terpenjara” adalah Bali, karena istilah-istilah tersebut hanya dipakai oleh masyarakat Bali. Selain itu latar tempat yang digunakan dalam cerpen ini adalah rumah. Hanya saja, istilah rumah tidak disebutkan secara langsung oleh pengarang. Rumah dalam cerpen ini digambarkan dengan menyebutkan beberapa bagian rumah seperti dapur, kamar mandi, dan halaman rumah. Hal tersebut nampak pada kutipan berikut Hari-hari berikutnya Dinaya memusatkan perhatiannya pada setumpuk pekerjaan rumah tangga yang harus dikerjakannya. Dinaya bangun subuh dan mulai menyiapkan masakan di dapur dan menyapu halaman rumah yang penuh dengan dedaunan layu (2011: 75). Dari kutipan di atas, tergambar jelas bahwa tokoh Dinaya melakukan pekerjaan rumah tangganya di dalam rumah. Bagian rumah yang disebutkan dalam kutipan di atas adalah dapur dan halaman rumah. Dinaya harus memusatkan seluruh perhatiannya pada setumpuk pekerjaan rumah tangga karena ia adalah seorang isteri yang dilarang untuk melakukan pekerjaan yang lain selain mengerjakan urusan rumah tangga dan memenuhi kebutuhan suaminya. b. Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Dalam cerpen “Sepasang Mata Dinaya yang Terpenjara” karya Ni Komang Ariani latar waktu yang digunakan adalah subuh hingga malam hari. Dinaya bangun subuh dan mulai menyiapkan masakan di dapur dan menyapu halaman rumah yang penuh dengan dedaunan layu. Tepat jam tujuh pagi ia menyiapkan kopi untuk suaminya (2011: 75). Dari kutipan di atas, latar waktu yang digunakan dimulai dari subuh ketika tokoh Dinaya mulai menyiapkan masakan, kemudian dilanjutkan pada jam tujuh pagi untuk menyiapkan kopi. Secara keseluruhan, cerita dalam cerpen ini berlangsung dari pagi hingga malam hari. Seperti yang ada dalam kutipan di bawah ini. Namun, ia dipaksa berada di tempat yang tidak diinginkannya. Dan ia pun harus menyediakan waktunya dari subuh hingga malam hari untuk mengosongkan seluruh energi yang dimilikinya (2011: 76). Aktivitas tokoh dalam cerita ini berlangsung terus menerus setiap hari dimulai dari subuh hingga malam hari. Energi yang dimiliki tokoh dalam cerita ini hanya tercurah untuk mengurusi pekerjaan rumah tangga saja. Ia merasa terpenjara di rumahnya sendiri, ia dipaksa melakukan pekerjaan yang tidak diinginkannya. Sebagai manusia, tentu Dinaya menginginkan kebebasan untuk bertindak dan berpikir sesuai dengan kata hatinya, bukan dipaksa untuk menjadi sorang istri yang hanya berkewajiban mengurusi pekerjaan rumah tangga saja. c. Latar Sosial Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Melihat dari pengertian di atas, jika dikaitkan dengan cerpen “Sepasang mata Dinaya yang Terpenjara”, dapat dikatakan bahwa masyarakat yang ada dalam cerpen ini memiliki pandangan bahwa tugas perempuan hanyalah bekerja di dapur, melayani kebutuhan suami dan mengurus pekerjaan rumah tangga. Dinaya tahu ini bukan kesalahan Biyang semata-mata. Barangkali seluruh cakrawala pikiran Biyang dipenuhi oleh kepercayaan bahwa sumber kebahagiaan perempuan adalah apabila ia memuaskan kebutuhan laki-laki. Biyang tidak ingin putrinya gagal memenuhi kewajiban itu. Mungkin itulah satu-satunya yang dimengerti Biyang mengenai peranan perempuan. Karena Biyang juga pernah merasakan semua yang Dinaya rasakan. Bukankah Biyang lahir dan dibesarkan dengan luka batin yang sama di lubuk hatinya? Sebagai perempuan ia selalu dipandang sebagai barang, sebagai objek. Yang menjadi berharga sejauh mana ia bisa memuaskan laki-laki. Hanya saja Biyang tidak pernah menyadarinya. Ia terus saja menuntut Dinaya untuk mengamini nilai-nilai yang dipercaya oleh Biyang. Hanya saja bagi Dinaya, ia tidak sudi mengamini nilainilai itu. sebagai manusia ia merasa berhak diperlakukan sama dengan laki-laki (2011: 74). Kutipan di atas, menggambarkan gejolak batin tokoh Dinaya yang merasa tersiksa karena Biyang atau ibunya terus memaksa Dinaya untuk mengamini nilai-nilai yang menyatakan bahwa perempuan akan menjadi berharga apabila berhasil memuaskan kebutuhan laki-laki. Hal tersebut begitu menyiksa Dinaya, karena pada dasarnya ia memiliki cara pandang yang berbeda dengan Biyangnya. Menurut Dinaya, sebagai manusia perempuan memiliki hak untuk diperlakukan sama dengan laki-laki. Biyang yang seharusnya membela Dinaya, malah memojokkan dirinya untuk mengikuti perilaku ibunya itu. Padahal rasa sakit yang dialami Dinaya saat ini, dirasakan pula oleh Biyangnya. Hanya saja Biyang menganggap bahwa perlakuan yang ia terima dari suaminya merupakan hak yang harus diterimanya sebagai seorang isteri. Biyang sangat percaya akan hal itu dan menuntut Dinaya untuk mengamini cara pandang Biyangnya itu. Biyang tidak sadar bahwa sebenarnya ia hanya dianggap sebagai objek atau barang yang berkewajiban memuaskan kebutuhan laki-laki. Tokoh Biyang dalam cerpen “Sepasang Mata Dinaya yang Terpenjara” adalah simbol dari masyarakat yang menganut kepercayaan bahwa kedudukan perempuan tidak lebih dari perhiasan rumah tangga. Perempuan dipandang sebagai barang dan objek yang memiliki kewajiban hanya untuk melayani laki-laki. Pandangan tersebut timbul karena tradisi dan kebiasaan yang diterapkan secara turun-temurun. Seorang ibu mengalami perlakuan seperti itu sehingga sang ibu meminta anaknya agar melakukan hal yang sama seperti dirinya. Tradisi seperti itulah yang membuat perlakuan sebagian anggota masyarakat terhadap perempuan sulit diubah. 1.2 Hubungan Latar dan Realitas Sosial dalam Cerpen “Sepasang Mata Dinya yang Terpenjara” Karya Ni Komang Ariani Cerita yang diangkat dalam cerpen tersebut adalah kisah perempuan yang dituntut untuk membuang semua ilmu yang dimilikinya, pekerjaan yang dicintainya serta kebebasan untuk berpikir dan bertindak sesuai keinginannya demi mengikuti pandangan yang dianut sebagian masyarakat bahwa tugas perempuan adalah bekerja di dapur dan memuaskan laki-laki. Ia merasa jiwa dan pikirannya terkurung dalam penjara yang disediakan untuk perempuan. Perlakuan yang dialami oleh tokoh Dinaya dalam cerpen “Sepasang Mata Dinaya yang Terpenjara” karya Ni Komang Ariani bisa dikategorikan sebagai kekerasan secara psikologi, karena tokoh dalam cerpen ini merasa begitu tersiksa seluruh jiwa dan pikirannya akibat perlakuan suami serta keluarganya yang merenggut kebebasannya sebagai individu. Sesuai dengan latar tempat dalam cerpen tersebut yaitu Pulau Bali, menurut situs (http://nasional.kompas.com/read/2010/11/21/15284929/637.kasus.penganiayaan.wanita.dan.ana k, 16 September 2012, 16:59 WIB) menyatakan bahwa, menurut Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Bali, pelaporan kasus kekerasan dalam rumah tangga di Pulau Dewata cenderung meningkat, seiring dengan gencarnya sosialisasi yang dilakukan badan tersebut. "Berdasarkan catatan sementara kami, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tahun ini diperkirakan meningkat dibandingkan tahun 2009 yang jumlahnya 637 kasus," kata Sekretaris Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Provinsi Bali Terry Saputra di Denpasar, Minggu (21/11/2010). Dijelaskan, ada beragam bentuk kasus kekerasan yang terjadi di masyarakat, antara lain kekerasan secara fisik, psikis, seksual dan penelantaran. Terry mencontohkan, seperti kasus kekerasan yang terjadi pada 2009 dari jumlah keseluruhan sebanyak 637, sekitar 307 diantaranya adalah kasus kekerasan secara fisik. "Begitu juga yang terjadi tahun 2010, dari jumlah kasus yang sementara terkumpul sebanyak 280 kasus, 138 di antaranya adalah kasus kekerasan secara fisik," katanya. Selain berita di atas, ada juga berita (http://nasional.kompas.com/read/2010/01/07/08155250/Kekerasan. Psikis. dalam Mendomin situs si. KDRT, 19 September 2012, 09:46 WIB) yang menyatakan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga, terutama yang bersifat psikis, mendominasi kasus yang ditangani LBH Apik Jakarta selama tahun 2009. Selain itu, juga terjadi peningkatan jumlah kasus yang diadukan masyarakat. Hal ini disampaikan Estu Rakhmi Fanani Dewi Tjakrawinata, Direktur LBH APIK Jakarta, Rabu (6/1/2010). Masih dalam berita yang sama, dikatakan bahwa di antara para korban KDRT, sebanyak 337 pengadu mengaku mengalami kekerasan psikis dari pasangannya. Jumlah korban yang mengadu dan mengaku mendapat kekerasan psikis 105 orang. Sisanya, selain mengalami kekerasan psikis, juga mengalami kekerasan fisik, ekonomi (penelantaran ekonomi), dan kekerasan seksual. Dari beberapa berita yang dikemukakan di atas, terlihat adanya keterkaitan antara kenyataan dan isi cerita dalam cerpen. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa latar dalam cerpen “Sepasang Mata Dinaya yang Terpenjara” karya Ni Komang Ariani memiliki hubungan dengan realitas sosial yang terjadi sepanjang tahun 2010. Khusunya latar tempat dan latar sosial dalam cerpen tersebut berkaitan langsung dengan masalah kekerasan dalam rumah tangga berupa kekerasan psikologi yang banyak menimpa kaum perempuan pada tahun 2010 sesuai data-data yang telah disampaikan sebelumnya. Berdasarkan analisis data yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat dilihat bahwa dalam kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2010: Dodolitdodolitdodolibret terdapat hubungan anatara latar dan realitas kehidupan sosial yang terjadi dalam masyarakat di Indonesia. Hubungan tersebut berdasarkan persamaan unsur latar dalam cerpen dengan realitas kehidupan sosial dalam masyarakat, khususnya yang terjadi sepanjang tahun 2010. Dalam cerpen “Sepasang Mata Dinaya yang Terpenjara” karya Ni Komang Ariani, terlihat adanya persamaan antara latar tempat dan latar sosial dengan realitas sosial, Latar tempat dalam cerpen tersebut adalah Denpasar, Bali sedangkan latar sosial menyangkut masalah kekerasaan dalam rumah tangga berupa kekerasaan secara psikologi. D. Simpulan Berdasarkan analisis hubungan latar dan realitas sosial dalam kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2010: Dodolitdodolitdodolibret yang dianalisis pada bab sebelumnya, penulis dapat menyimpulkan bahwa ditinjau dari unsur-unsur latar yang terdapat dalam kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2010: Dodolitdodolitdodolibret terdapat hubungan anatara latar dan realitas kehidupan sosial yang terjadi dalam masyarakat di Indonesia. Hubungan tersebut berdasarkan persamaan unsur latar dalam cerpen dengan realitas kehidupan sosial dalam masyarakat, khususnya yang terjadi sepanjang tahun 2010. Latar yang ada dalam cerpen terdapat juga dalam realitas sosial masyarakat Indonesia. Dari lima cerpen yang telah dianalisis, terdapat tiga cerpen yang memiliki hubungan yang sangat erat dengan realitas sosial. Tiga cerpen tersebut yaitu, “Sepasang Mata Dinaya yang Terpenjara” karya Ni Komang Ariani, “Ada yang Menangis Sepanjang Hari” karya Agus Noor, dan “Ada Cerita di Kedai Tuak Martohap” karya Timbul Nadeak. Latar tempat dan latar sosial dari tiga cerpen itu memiliki kesamaan dengan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia sepanjang tahun 2010. Selain itu, Hasil analisis hubungan latar dan realitas sosial dalam kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2010: Dodolitdodolitdodolibret dapat dijadikan bahan rencana pelaksanaan pembelajaran sastra di SMP kelas VII semester 2 pada kemampuan berbicara. Daftar Pustaka Abdulsyani. 2002. Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara. Alwi, Adek. 2011. Cerpen Pilihan Kompas 2010 Dodolitdodolitdodolibret. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Arcana, Putu Fajar. 2011. Cerpen Pilihan Kompas 2010 Dodolitdodolitdodolibret. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Ariani, Ni Komang. 2011. Cerpen Pilihan Kompas 2010 Dodolitdodolitdodolibret. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Arikunto, Suharsimi. 2007. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Bungin, Burhan. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Damono, Sapardi Djoko. 2008. Cerpen Kompas Pilihan 2007 Cinta di Atas Perahu Cadik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia. 2004. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu. Effendi, S. 2004. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya. Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Prasindo. Herwan, FR. 2005. Apresiasi dan Kajian Puisi. Serang: Garage Budaya. Kurniawansyah, Rudi. “Matinya Petani di Kebun Sendiri”. Media Indonesia, 12 Juni 2010. Hlm. 12. Maryunita, Roza. 2012. “Profil Kemanusiaan dalam Antologi Cerpen Pilihan Kompas 2010”. Skripsi. Padang: Universitas Negeri Padang. Muslich, Masnur. 2009. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara. Nadeak, Timbul. 2011. Cerpen Pilihan Kompas 2010 Dodolitdodolitdodolibret. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Noor, Agus. 2011. Cerpen Pilihan Kompas 2010 Dodolitdodolitdodolibret. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Poloma, Margaret M. 2000. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Prasetyo, Arif Bagus. 2011. Cerpen Pilihan Kompas 2010 Dodolitdodolitdodolibret. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo. Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. Subana, M dan Sudrajat. 2001. Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia. Sukardi. 2009. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara. Susanto, Dwi. 2011. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: Caps. Suwarna, Dadan. 2012. Trik Menulis Puisi, Cerpen, Resensi Buku, Opini/Esai. Tangerang: Jelajah Nusa. Tarigan, Hendry Guntur. 2008. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Tarigan, Hendry Guntur. 1993. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Tranggono, Indra. 2011. Cerpen Pilihan Kompas 2010 Dodolitdodolitdodolibret. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.