149 BAB V PENUTUPAN 5.1. Kesimpulan Proses komunikasi

advertisement
BAB V
PENUTUPAN
5.1. Kesimpulan
Proses komunikasi interpersonal terapeutik yang terjadi antara kiai dan
santri pasien di Pesantren Al Qodir berlangsung dialogis-dinamis. Sebagai kiai,
Bapak bersifat fleksibel dalam menerapi setiap santri pasien narkobanya. Satu
persatu santri tersebut memiliki perlakuan yang berbeda-beda. Tidak bisa
disamakan satu sama lain. Meskipun memiliki latar belakang keilmuan agama
yang mumpuni tidak menjadikan Bapak jumawa mendominasi proses komunikasi
dengan santri pasiennya.
Santri pasien yang memanggil dengan sebutan “Bapak” menambah nilai
tambah tersendiri dalam proses terapi. Ada semacam hubungan resiprokal yang
terbangun di antara keduanya. Masing-masing pelaku komunikasi memiliki
semacam hak dan kewajiban antara satu dengan yang lainnya. Hal ini begitu
efektif untuk mendukung proses terapi. Penyebutan Bapak kepada Gus Masrur
membuktikan usaha beliau mendekatkan hubungan secara emosional layaknya
orang tua dan anak. Kemudian beliau memiliki hak untuk mengarahkan dan
membimbing mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Selanjutnya mereka
memiliki kewajiban untuk mematuhinya, karena di awal ada kontrak atau ijab
qobul di antara keduanya. Ijab qobul itu berbentuk pertanyaan dari beliau
mengenai keseriusan dan kesungguhan mereka untuk sembuh. Jika jawabannya
‘ya’, maka harus ikut dan patuh aturan pondok yang berlaku. Jika ‘tidak’ maka
dipersilahkan untuk pulang.
Proses komunikasi terapi penyembuhan narkoba yang berlangsung tidak
monoton menggunakan satu bentuk komunikasi. Pengkombinasian antara
komunikasi verbal dan non verbal diberlakukan guna mendukung suasana
komunikasi yang kondusif. Penggunaan dua bentuk komunikasi tersebut juga
untuk meminimalisir sekecil mungkin gangguan-gangguan komunikasi. Baik
gangguan komunikasi yang bersifat semantik atau mekanik. Misalnya ganguan
semantik terkait perbedaan penggunaan bahasa. Hal itu diatasi dengan
pengulangan kalimat disertai dengan penjelasan sesuai penggunaan bahasa yang
149
bisa dimengerti keduanya. Kemudian ganguan mekanik karena bisingnya
pengeras suara, maka diatasi dengan mengeraskan suara masing-masing atau
dengan mendekat secara fisik agar bisa saling mendengar pesan yang
tersampaikan.
Secara proses komunikasi terapeutik, komunikasi yang terajadi di Al
Qodir tidak jauh beda dengan komunikasi terapeutik yang terjadi di Rumah Sakit.
Akan tetapi ada bebarapa hal yang bisa membuatnya sangat berbeda di antara
keduanya. Yaitu tradisi budaya komunikasi yang melatar belakanginya.
Komunikasi terapeutik yang terjadi di RS lebih banyak karena ada proses
komersial di dalamnya. Sehingga hubungan yang terjalin terkesan profit oriented.
Sedangkan di Al Qodir terapi penyembuhan narkobanya lebih tampak atas dasar
social trust tanpa bangunan hitung-hitungan komersial di dalamnya. Buktinya
Bapak tidak pernah menarik atau mematok nilai ekonomi tertentu terhadap
pecandu narkoba yang ingin benar-benar mondok di Al Qodir. Asalkan yang
bersangkutan berniat sungguh-sunguh untuk sembuh itu sudah membuka pintu
awal untuk tahap kesembuhan berikutnya.
Adapun pesan yang tersampaikan lebih banyak bersifat informatif dan
persuasif. Pesan informatif cenderung untuk menunjukkan kebaruan akan hal-hal
yang terkait dengan perkembangan kesembuhan santri pasien. Sedangkan pesan
persuasif kebanyakan datang dari Gus Masrur. Isinya tidak lain mengenai nilainilai agama yang seharusnya diamalkan. Bentuk persuasif di sini memiliki makna
“ayo bareng-bareng” atau ”ayo sama-sama”. Santri pasien diajak belajar dan
berusaha bersama-sama dengan Bapak dan santri yang lain untuk mendorong
kesembuhannya. Tidak dibiarkan berjalan sendiri tetapi bersama-sama. Kemudian
pesan yang terjalin bukanlah bersifat koersif (pemaksaan) yang pada ujungnya
akan melahirkan sifat kerelaan atau kesadaran untuk sembuh.
Secara keseluruhan, proses terapi di Al Qodir memiliki pola dan tahapan
komunikasi yang sesuai atau berdasarkan pada literatur-literatur ilmu komunikasi,
khususnya komunikasi terapeutik. Pola komunikasi yang terjadi juga bersifat
langsung maupun tidak langsung. Pola seperti ini mengindikasikan bahwasannya
ada semacam proses komunikasi yang “birokratik”. Ada beberapa hal pada diri
150
santri pasien yang tidak harus dikomunikasikan kepada Gus Masrur. Akan tetapi
cukup dikonsultasikan dengan “bapak angkat” masing-masing. Adapun tahapan
komunikasi terapeutiknya juga melalui 4 tahapan; pra-rehabilitasi, orientasi,
rehabilitasi, dan terminasi. Empat tahapan tersebut sudah menjadi acuan umum
dalam melihat proses tahapan komunikasi pada proses terapeutik.
Salah satu titik poin utama proses terapi di Al Qodir yaitu proses dilektika
sowan yang terjalin antara Bapak dan santri pasien. Di dalamnya pertukaran pesan
berjalan dinamis. Masing-masing pihak memiliki umpan balik yang segera.
Sehingga kemandekan arus pesan bisa diminimalisir sekecil mungkin. Sowan
menjadi centre of communicatin process yang terkait dengan proses penyembuhan
narkoba. Semua tahapan komunikasi terapeutik dimulai, berlangsung, dan diakhiri
dalam media sowan. Saat proses sowan berlangsung baik Bapak dan santri pasien
akan berkomunikasi dengan saling berhadapan. Respon-respon komunikasi yang
tampak akan memancing respon-respon berikutnya. Dari sana, terutama dari sisi
santri pasien, akan tampak seberapa jauh dia menggunakan akal dan logika
pemahamannya atas masalah yang dikomunikasikan dengan Bapak. Dari sini
beliau akan menggunakan hak penilaiannya terhadap santri yang bersangkutan.
Tidak ada yang tahu kriteria dan indikasi apa yang dipakai beliau untuk menilai
kesembuhan santri pasiennya. Yang pasti kesembuhan itu bisa dilihat dari
normalnya santri pasien berdasarkan fisik, psikis, dan perilaku. Jika ketiga hal
tersebut sudah berjalan sewajarnya orang normal pada umumnya maka bisa
dipastikan santri tersebut sudah sembuh.
Satu lagi, kharisma dalam ilmu komunikasi termasuk faktor penghambat.
Akan tetapi dalam proses komunikasi interpersonal terapeutik di Al Qodir,
kharisma malah menjadi faktor pendorong kesembuhan santri pasien. Kharisma
yang dimiliki Gus Masrur digunakan untuk mensugesti psikis santri pasiennya.
Karena sejatinya kharisma hanya persoalan sugesti yang terbangun karena
tindakan atau keistimewaan seseorang. Hal ini terbukti efektif untuk
mempengaruhi psikis santri pasien untuk cepat sembuh.
151
5.2. Saran
Selama saya melakukan penelitian di Al Qodir, proses komunikasi
interpersonal dalam terapi penyembuhan yang saya bayangkan tidak sama pada
kenyataannya. Awal mula dalam benak saya proses komunikasi tersebut sudah
terkonsep dengan rapi. Ternyata proses komunikasi tersebut berjalan alami
bahkan sangat alamiah. Ada polanya tetapi tidak terstruktur dan terkonsep dengan
jelas layaknya proses komunikasi terapeutik di RS atau panti rehabilitasi. Belum
lagi budaya komunikasi pesantren yang sangat khas yang berbeda dengan
masyarakat pada umumnya. Hal itu bisa melahirkan tema penelitian tersendiri
yang tidak kalah menarik dengan tema utama penelitian ini.
Menurut saya, jika ada penelitian berikutnya yang sejenis perlunya
melibatkan pesantren serupa yang lain. Gunanya untuk melihat kurang-lebihnya
masing-masing pesantren. Sehingga akan ketemu konsep proses komunikasi yang
lebih rapi dan terkonsep dalam menerapi santri pasien narkoba. Kemudian hal itu
barangkali bisa diaplikasikan di pesantren atau panti rehabilitasi yang sejenis.
Selanjutnya, kajian-kajian pesantren yang khusus membahas persoalan
komunikasi interpersonal belumlah banyak. Karena faktor komunikasi tersebut
jalinan silaturahim kiai-santri atau santri-santri tetap terpelihara sampai kapanpun.
Itu bisa menjadi modal sosial yang kuat dalam masyarakat pesantren untuk
menggerakkan kampanye anti narkoba dimanapun berada.
Selama melakukan penelitian, saya akui banyak kekurangannya. Pertama,
waktu penelitian yang relatif terbatas. Butuh waktu rentang waktu lebih dari
cukup untuk melihat dan memahami secara detail komponen dan faktor
komunikasi yang benar-benar mempengaruhi proses komunikasi interpersonal
terapeutik di pesantren. Juga dibutuhkan responden yang lebih untuk benar-benar
mempresentasikan proses komunikasi tersebut. Kedua, minimnya dokumentasi
visual dan audio-visual objek penelitian. Perlu persiapan peralatan dokumentasi
yang lengkap jauh-jauh hari sebelumnya. Siapkan pula notes kecil dan rencanakan
sedetail mungkin objek-objek apa yang perlu didokumentasikan. Terakhir, jika
bukan berasal dari kalangan pesantren sebaiknya pelajari terlebih dahulu budaya
dan tradisi yang berkembang di dalamnya, khususnya budaya komunikasinya.
152
Download