BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mengkaji kembali lembaga pendidikan pesantren seperti kembali menengok bentuk sistem pendidikan Islam yang sudah lampau dan mengakar kuat sejak berabad-abad silam terutama di Nusantara. Secara historis asal-usul pesantren masih menjadi perdebatan di kalangan sejarahwan. Menurut Karel A. Steenbrink (1986:20) yang mengutip dari Herinneringen, secara terminologis dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India. Tesis tersebut didukung oleh Soegarda Poerbawatja (1970:18-19) karena pesantren sangat mirip sistem pendidikan Hindu. Yaitu, seluruh sistem pendidikannya bersifat agama, guru tidak mendapat gaji, penghormatan yang besar terhadap guru dan para murid, dan letak pesantren yang diluar kota. Akan tetapi, klaim tersebut mendapat tanggapan yang berbeda dari Mahmud Junus (1960:31) bahwasannya asal usul pendidikan individual yang dipergunakan dalam pesantren serta pendidikan yang dimulai dengan bahasa Arab, ternyata ditemukan di Baghdad ketika menjadi pusat dan ibu kota wilayah Islam. Akhirnya lahirlah kesimpulan yang dikemukakan oleh Soegarda P. dan Amir Hamzah P. dalam Karel A. Steenbrink (1986:23) yang menyimpulkan bahwa asal usul sistem pesantren berasal dari masa pra Islam. Lepas dari perdebatan historis di atas, pesantren di Indonesia tumbuh dan berkembang sangat pesat. Berdasarkan laporan pemerintah pemerintah kolonial Belanda, tahun 1831 di Jawa saja terdapat tidak kurang dari 1.853 buah dengan jumlah santri tidak kurang 16.500 orang. Kemudian suatu survei yang diselenggarakan oleh kantor Shumubu (Kantor Urusan Agama) pada masa Jepang tahun 1942 jumlah pesantren bertambah menjadi 1.871 buah, jumlah tersebut belum dijumlah dengan pesantren di luar Jawa dan pesantren-pesantren kecil. Pada masa kemerdekaan jumlah pesantren terus bertambah, berdasarkan laporan Departemen Agama RI tahun 2001 jumlah pesantren di Indonesia mencapai 1 12.312 buah1. Menurut Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama H. Abdul Jamil, jumlah santri pondok pesantren di 33 provinsi di seluruh Indonesia, pada tahun 2011, mencapai 3,65 juta yang tersebar di 25.000 pondok pesantren seluruh wilayah Indonesia2. Potensi kuantitas tersebut merupakan modal yang kuat dalam mendukung potensi kualitas pesantren. Secara harfiah nama pesantren dari bahasa Jawa dari kata pe-santri-an yang memiliki arti murid. Kemudian istilah pesantren di Indonesia juga familiar dengan sebutan pondok, yang mana asal kata ini dari bahasa Arab funduuq, yang artinya penginapan. Tetapi di Aceh, pesantren disebut dengan nama dayah. Seiring perkembang zaman pesantren pun banyak mengalami perubahan. Karena perubahan inilah pesantren di Indonesia menjadi banyak jenisnya. Menurut Mulyadi J. Amalik3, secara umum ada tiga jenis pesantren di Indonesia. Pesantren salaf, khalaf (modern), dan terpadu (semi salafi sekaligus semi kholaf). Sedangkan menurut Yacub yang dikutip oleh Khozin4, pesantren terbagi menjadi empat tipologi yaitu pesantren salafi, khalafi, kilat, dan terintegrasi. Perbedaan tersebut tidaklah menjadi hilangnya nilai-nilai khas pesantren yang terbangun sejak lama. Justru tipologi-tipologi itu menjadi bukti acuan bahwasannya pesantren bersifat dinamis akan kebutuhan zaman. Bahkan ia menjadi fakta akan keberhasilannya menahan serangan kultural yang datang silih berganti (Abdurrahman Wahid 2007:99), terutama serangan budaya pop global yang mengepung abad ini. Pesantren tetap berdiri dan bertahan dengan segala kekhasannya. Salah satu pesantren yang dipandang cukup unik adalah Pesantren Salafiyah Al Qodir yang terletak di Cangkringan, Sleman. Dalam buku “Pondok Pesantren Al Qodir, Menembus Batas” dijelaskan, bahwasannya pondok ini dirintis pendiriannya oleh KH. Masrur Ahmad MZ pada tahun 1980an dan sejak 1 http://id-id.facebook.com/notes/majalahsantricom/asal-usul-pesantren-dan-sejarah perkembangannya /151308 498255509 diakses pada 11 September 2012 2 http://dadanrusmana.blogspot.com/2011/08/365-juta-santri-di-indonesia-mau-dibawa.html diakses pada 11 September 2012 3 http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20081118140504 diakses pada 12 September 2012 4 http://blog.re.or.id/pondok-pesantren-sebagai-lembaga-pendidikan-islam.htm diakses pada 12 sepetember 2012 2 tahun 1990 para santri sudah mulai berdatangan. Namun, baru tahun 1998 secara resmi tercatat dan terdaftar di Departemen Agama RI. Lokasinya tepat di bawah Gunung Merapi tepatnya di Dusun Tanjung, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Sleman, DIY. Aktifitas Pesantren Al Qodir tidak jauh beda dengan aktifitas pesantren salaf pada umumnya, yaitu pengajian Al Qur’an dan kitabkitab kuning. Pesantren Al Qodir memiliki nilai tambah sendiri jika dibandingkan dengan pesantren lain, yaitu menjadi tempat rehabilitasi para pecandu narkoba. Di Indonesia sendiri pesantren yang menerapkan terapi penyembuhan para pecandu narkoba tidaklah banyak. Selain Al Qodir ada Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya dengan terapi inabah5. Sedangkan menurut pengakuan KH. Masrur Ahmad MZ atau biasa dipanggil Gus Masrur, terapi yang diterapkan di pesantrennya bukanlah berdasar agama, tapi berdasarkan hukum alam. Bahwasannya di balik setiap kesenangan ada kesulitan yang mengintai, dan di balik setiap kesusahan akan ada kemudahan yang menyertainya. Meskipun bukan berdasar agama tetapi sudah banyak para pecandu narkoba yang nyantri di Al Qodir akhirnya sembuh. Adanya Pesantren Al Qodir sebagai tempat rehabilitasi pecandu narkoba dirasa sangat strategis mengingat jumlah pengguna narkoba setiap tahunnya mengalami kenaikan. Menurut hasil penelitian Badan Nasional Narkotika (BNN) dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia periode 2011 menunjukkan angka prevalensi penyalahgunaan narkoba sebesar 2,2 persen atau setara dengan 3,8-4,2 juta orang dan diprediksi tingkat prevalensi pada 2015 akan mencapai 2,8 persen atau setara dengan 5,1 juta orang6. Bahkan untuk tahun 2013 menurut Kepala BNN, Komisaris Jenderal Anang Iskandar, mengatakan bahwa 4 juta orang Indonesia sudah menggunakan narkoba dengan berbagai jenis dan berbagai cara7. Berangkat dari data tersebut dapat diketahui seberapa mengkhawatirkannya persoalan narkoba di negeri ini. Di sisi lain para pecandu 5 Inabah adalah terapi penyembuhan dengan cara bercsuci, dzikir, ibadah, dan doa http://www.eksposnews.com/view/2/50718/Gawat--Pengguna-Narkoba-di-Indonesia-Meningkat-Terus.html#.UYxVpkridyE diakses pada 10 Mei 2013 7 http://www.tempo.co/read/news/2013/04/10/063472401/Pengguna-Narkoba-di-Indonesia-Tembus-4-JutaOrang diakses pada 10 Mei 2013 6 3 narkoba masih banyak diposisikan sebagai kriminal bukan sebagai korban penyalahgunaan. Hal ini bisa jadi mengganggu proses rehabilitasi bagi para pecandu narkoba. Sedangkan panti rehabilitasi yang dimiliki BNN hanya berjumlah empat dan dari 4 juta pengguna, yang baru direhabilitasi sekitar 18 ribu, di mana 2 ribunya direhabilitasi oleh BNN dan 16 ribu direhabilitasi oleh perorangan, LSM, dan lainnya8. Posisi “lainnya” itulah yang kemudian diisi oleh Pesantren Al Qodir. Sedang dari sisi metode pengobatan yang digunakan di Al Qodir, seperti yang disebutkan sebelumnya, tidak berdasarkan agama. Klaim tersebut disampaikan langsung oleh Gus Masrur sendiri. Hal ini sangat berbeda dengan rehabilitasi narkoba yang ada di Pesantren Suryalaya. Di Pesantren Suryalaya metode yang dipakai sudah memiliki nama yaitu inabah. Metode inabah sendiri merupakan kumpulan beberapa tahapan yang terdiri dari metode talkin, dzikir, mandi malam, dan sholat sunnah. Sedang untuk metode terapi yang diterapkan di Pesantren Al Qodir belumlah memiliki nama yang baku. Patut diduga, pendekatan metode yang dipakai di Al Qodir lebih mengarah pada proses terapeutik. Terapeutik sendiri lebih mengutamakan pengalaman interaktif antara perawat/tenaga kesehatan dan pasien/klien yang berfokus pada kesehatan. Pada kasus ini, pengalaman interaktif tersebut diduga dialami oleh kiai dan santri pecandu narkoba di Al Qodir. Tidak menutup kemungkinan pengalaman-pengalaman interaktif tersebut bersifat personal. Personal interaction itulah yang kemudian tidak terpisahkan dari yang namanya komunikasi interpersonal. Masalahnya, seorang kiai pesantren salaf itu memiliki posisi sentral sebagai pemimpin yang mutlak dan santri wajib mengikuti apa yang menjadi keputusan seorang kiai. Hal tersebut menjadikan mengapa komunikasi seorang kiai terkesan “otoriter” dan kiai cenderung bermain sendiri (Asep Saeful M. 2004:86). Sedang komunikasi interpersonal sendiri mempunyai semangat homophily (sama atau setara) antara komunikan dan komunikator. Apabila kiai dengan komunikasi otoriternya mendominasi proses komunikasi interpersonal dengan santri pecandu narkobanya, bagaimana proses komunikasi terapi penyembuhan narkoba yang mereka lakukan? 8 Idem. 4 Selain itu seorang kiai juga dipercaya sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tidak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam (Dhofier 1982:56). Dalam konsep komunikasi interpersonal, hal itu disebut karisma. Karisma bisa membuat patner komunikasi terpukau tetapi itu adalah penghambat karena tidak ada proses filterisasi. Sedang karisma seorang kiai merupakan salah satu faktor penghambat komunikasi interpersonalnya. Di sisi lain, salah satu tujuan komunikasi interpersonal dalam proses terapeutik adalah untuk membantu (to help) pasien. Di sini, kiai Al Qodir diposisikan sebagai tenaga kesahatan untuk membantu sembuh santri (pasien) pecandu narkobanya. Lantas bagaimana caranya dia berkomunikasi untuk membantu kesembuhan santri pecandu narkobanya? Hal ini semakin tambah menarik, para santri pecandu narkoba tersebut posisinya juga tidak jauh beda dengan posisi pasien saat berkomunikasi dengan tenaga kesahatan. Dalam hal berkomunikasi mereka selalu dalam posisi submission (dikuasai). Secara kekuatan komunikasi, mereka lemah. Terciptalah komunikasi terapeutik yang bersifat satu arah dengan asumsi mereka tidak tahu apa-apa. Hal tersebut sering terjadi antara pasien dengan tenaga-tenaga kesehatan di rumah sakit. Mereka senantiasa jadi objek eksploitasi atau bahkan menjadi bahan eksperimen. Jika demikian, tidak menutup kemungkinan kiai Al Qodir dengan komunikasi dominasinya “menutup” ruang komunikasi interpersonal yang setara dengan santri pecandu narkoba. Padahal dalam melakukan komunikasi interpersonal terapeutik dibutuhkan kecakapan komunikasi yang fleksibel (Machfoedz, 2009:59). Kemudian bagaimana santri-santri tersebut mengkomunikasikan hal-hal yang berkaitan dengan kesembuhan dirinya? 1.2. Rumusan Penelitian Bagaimanakah proses komunikasi interpersonal yang terjalin antara kiai dan santri pecandu narkoba dalam proses terapi penyembuhan di Pesantren Salafiyah Al Qodir Cangkringan, Sleman? 5 1.3. Tujuan Penelitian Mengetahui komunikasi interpersonal yang terjalin antara kiai dan santri pecandu narkoba dalam proses terapi penyembuhan di Pesantren Salafiyah Al Qodir, Cangkringan, Sleman. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Akademis Manfaat penelitian ini secara akademis diharapkan dapat memperkaya heterogenitas kajian ilmu komunikasi dalam ranah komunikasi interpersonal kiai dan santri pecandu narkoba dalam proses terapi penyembuhan di dunia pesantren. Sehingga mewarnai corak kajian ilmu komunikasi yang lebih komprehensif di tengah populernya kajian ilmu komunikasi yang kontemporer. Kedepannya, semoga hasil penelitian ini menjadi bukti variasinya kajian ilmu komunikasi yang dilakukan di Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisipol, UGM. 1.4.2. Manfaat Praktis Selanjutnya secara praktis penelitian ini memberikan pengetahuan yang baru mengenai bagaimana komunikasi interpersonal kiai dan santri pecandu narkoba dalam proses terapi penyembuhan di Pesantren Al Qodir. Kemudian secara praktis juga untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi interpersonal dalam proses terapi yang mungkin tidak ditemukan di lembaga kesehatan yang lain. 1.5. Kajian Pustaka Kajian pustaka dimaksudkan untuk membuka lembaran lama guna pengambilan poin-poin tertentu yang sekiranya bermanfaat untuk penelitian yang sedang berlangsung atau yang akan datang. Proses ini berlangsung dengan cara pengumpulan hasil-hasil penelitian yang lampau, baik itu berupa hasil penulisan, buku, jurnal, laporan penelitian, dan lain sebagainya. Selanjutnya semua itu direview ulang secara singkat, diambil informasi yang diperlukan, dan digunakan sebagai bahan pendukung atau pembanding penelitian yang akan dilakukan. 6 Ada dua pengkategorian hasil penulisan yang menjadi rujukan penelitian tentang komunikasi interpersonal di pesantren. Pertama, buku mengenai pesantren itu sendiri dan yang berikutnya buku tentang kajian komunikasi interpersonal. Buku kategori yang pertama adalah yang berjudul Pesantren, Madrasah, Sekolah yang ditulis oleh Karel A. Steenbrink. Meskipun termasuk terbitan lawas (LP3ES:1991), bahasan yang ditulis cukup mendalam. Penelusuran sejarah pendidikan Islam di Indonesia menjadi salah satu poin penting dalam buku ini. Dari judulnya saja, Steenbrink mencoba membongkar akar sejarah pendidikan Islam di Indonesia dari pesantren sampai muncul lembaga pendidikan yang namanya sekolah. Dualisme materi ilmu pendidikan, antara ilmu agama dan umum diulas dengan mumpuni. Kekuatan buku ini terletak dari kajian historinya, terutama potret pendidikan pesantren zaman kolonial. Maka pesantren juga diyakini menjadi basis gerakan perlawanan untuk mendapatkan kemerdekaan dari penjajah. Masih terkait pesantren, buku karangan Zamakhsyari Dhofier yang berjudul Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai. Fokus kajiannya lebih dikhususkan pada studi mengenai pandangan kehidupan oleh kiai. Personalisasi seorang kiai menjadi motor utama hidup matinya sebuah pesantren. Dhofier (1982:55) menegaskan, kiai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Sebenarnya Dhofier lebih menekankan pada kajian mengenai Islam tradisional di Indonesia. Kiai dan pesantren hanya menjadi salah satu elemen yang memperkuat kekuatan Islam tradisonal tersebut. Akan tetapi, ulasan mengenai spektrum kiai sangat komprehensif. Mulai dari genealogi keilmuannya, ajaran tarekatnya, sampai ulasan Dhofier mengenai kiai dan permasalahan Indonesia konteks saat itu dirasa memberi sumbangsih yang besar bagi penelitian tentang Islam tradisional. Di sisi lain, kajian komunikasi interpersonal yang secara khusus mengenai terapi penyembuhan masih belum ketara dalam buku ini. Ia lebih banyak mengulas pesantren dari sosok kianya saja. Ada pula buku yang berjudul Pendidikan Islam Transformatif karangannya Dr. Mahmud Arif. Pendidikan Islam lebih mewarnai fokus kajiannya. Pembahasan pesantren, terlebih tentang kiai dan santrinya, hanya 7 menjadi bagian kecil dalam buku ini. Mahmud Arif lebih cenderung membuka akar sejarah pemikiran Islam yang kemudian direlasikan pada konteks pendidikan dan pemikiran Islam di tanah air. Tidak heran jika ulasan beliau pada umumnya bersifat normatif. Tapi disisi lain Mahmud Arif dalam pengantarnya mengkritik akan kajian-kajian pemikiran dan kependidikan Islam yang bersifat “idealistik” kerena terpengaruh masa keemasan Islam sehingga romantisme tersebut menjangkiti sebagian umat Islam9. Buku lain yang masih dalam kategori pertama adalah buku yang berjudul Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Keagamaan karangan pemikir Islam Abdurrahman Wahid. Kajian dunia pesantren menjadi salah satu sub bab dalam buku ini. Meski hanya jadi sub bab, informasi yang ditawarkan relatif baru dan reliabel. Tidak jauh beda dengan tiga buku sebelumnya, buku ini lebih banyak mengulas nilai Islam secara universal. Bahasan potensi komunikasi pesantren hanya sebagai sub bahasan untuk mendukung bahasan utama nilai Islam secara keseluruhan. Selanjutnya hasil penulisan yang masuk kelompok kedua yaitu karya Asep Saeful Muhtadi yang berjudul Komunikasi Politik Nahdlotul Ulama: Pergulatan Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif terbitan LP3ES. Asep Saeful menyoroti proses komunikasi politik warga NU. Ia cukup jeli mengulas tentang kekuatan komunikasi tersebut. Berbicara NU, maka bicara pula mengenai pesantren yang menjadi basis kader warga NU. Gaya komunikasi politik NU ternyata mendapat pengaruh gaya komunikasi di pesantren, karena elit NU adalah warga pesantren dahulunya. Sosok kiai tetap menjadi acuan utama dalam memberikan keputusan-keputusan komunikasi politik. Kharismatik kiai tetap menjadi kekuatan utama dinamika pesantren dalam mengahadapi tantangan zaman. Akan tetapi fokus bahasan relasi kiai dan santri dalam ruang komunikasi interpersonal belumlah menjadi isu utama dalam buku ini. Persoalan komunikasi politik yang jadi ulasan hanyalah salah satu persoalan komunikasi yang terjadi dalam tubuh Islam tradisional, dalam hal ini adalah pesantren dengan kiai dan santrinya. 9 Lihat, Arif, Mahmud. 2008. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LKiS hal. ix 8 Salah satu buku yang banyak menjadi rujukan kajian komunikasi yaitu buku Psikologi Komunikasi karangan Jalaluddin Rakhmat. Diakui bahwasannya aktifitas komunikasi tidak terlepas dari unsur psikologi yang melingkupinya. Di dalam buku ini Jalaluddin Rakhmat cukup luas membahas sistem-sistem berbagai jenis komunikasi melalui sudut pandang psikologi. Bahas-bahasannya sudah cukup membantu kajian komunikasi yang lebih luas, terutama yang ada di Indonesia. Pembahasan komunikasi interpersonalnya secara konseptual turut membuka jalan untuk penelitian komunikasi interpersonal di pesantren. Akan tetapi fokus penelitian komunikasi di peantren memang tidak ada di bab-bab buku ini. Penjelasan-penjelasan yang ada memang lebih banyak didasarkan dari konsep-konsep yang umum. Satu buku lagi yang lebih fokus membahas komunikasi interpersonal yaitu buku ciptaan Kathleen K. Readon yang berjudul Interpersonal Communication Where Minds Meet terbitan Wadsworth Publishing Company California. Semua babnya membahas secara komprehensif mengenai seluk beluk komunikasi interpersonal. Secara konsep pembahasannya memang diakui lebih lengkap jika dibandingkan dengan buku sebelumnya. Bentuk-bentuk dan tahap-tahapannya cukup lengkap untuk menjadi referensi penelitian komunikasi interpersonal di pesantren. Pada akhirnya, menjadi kelihatan belum tampaknya kajian penelitian yang lebih fokus mengkaji komunikasi interpersonal di pesantren. Terutama komunikasi antara kiai dan santri dalam proses terapi penyembuhan narkoba di pesantren. Untuk itulah, penelitian ini diharapkan dapat mengisi kekosongan kajian pesantren yang lebih fokus pada komunikasi interpersonal yang terjalin antara kiai dan santri pecandu narkoba dalam proses terapi penyembuhan. 1.6. Kerangka Konsep Proses komunikasi merupakan proses yang berkesinambungan, sulit sekali untuk menentukan dimana awal dan akhirnya. Pemikiran makna akan proses komunikasi, Stewart L. Tubbs memiliki pandangannya sendiri. Ia melengkapi “kekurangan” dari teorinya Shannon dan Weaver terdahulu yang menganggap 9 proses komunikasi itu bersifat statis. Model teorinya lebih banyak memandang bahwasannya komunikasi merupakan sebagai proses transaksi. Sebagai proses transaksi, jalannya komunikasi akan lebih bersifat dinamis dan tiap pelaku komunikasi tidak membatasi diri pada komunikasi yang disengaja atau respon yang dapat diamati (Mulyana, 2003:67). Masing-masing pelaku komunikasi akan bisa saling mengamati dan memberikan respon atau umpan balik yang segera atas stimulus yang masuk. Kejadiannya bisa bersifat spontan dan tidak terduga. Tetapi juga bisa sesuatu yang sudah direncanakan. Model teorinya lebih dikenal dengan nama Model Tubbs. Peran komunikator dan komunikan bisa jadi merupakan pihak yang sama. Artinya, peran komunikator dalam proses komunikasi yang berlangsung juga bisa menjadi komunikan. Begitu yang terjadi dengan si komunikan. Baik komunikator atau komunikan bisa saling bertukar peran pada waktu yang hampir bersamaan. Skema 1.1 - Proses komunikasi Model Tubbs Berdasarkan gambar tersebut, proses komunikasi di atas, baik komunikator 1 atau 2 bisa diperankan oleh kiai atau santri pecandu narkoba yang menjadi pihak yang memulai komunikasi. Tetapi dalam kenyataan sehari-hari kedua pihak tersebut bisa menjadi pengirim dan penerima pesan setiap waktu. Keduanya akan terus menerus mendapat masukan, yakni stimulus dari dalam atau luar dirinya, yang 10 lalu atau yang sedang terjadi, juga semua pengalaman dan pengetahuannya mengenai dunia fisik dan sosial yang mereka peroleh lewat indera mereka (Mulyana, 2003:155). Dikarenakan proses komunikasi ini adalah proses transaksi maka pengalaman masa lalu, nilai, latar belakang, status sosial, atau budaya yang dianut juga sangat mempengaruhi jalannya proses komunikasi tersebut. Penggambaran lingkaran-lingkaran mirip spiral di belakang lingkaran paling depan merepresentasikan bahwa komunikasi model ini bersifat dinamis seiring waktu yang terus berjalan. Proses dinamis tersebut juga mampu membuat perubahan-perubahan pada diri pelaku komunikasi. Proses komunikasi tersebut terbatas pada konteks ruang dan waktu. Maka komunikasi antara kiai dan santri pecandu narkoba konteksnya dalam lingkup proses terapi penyembuhan narkoba yang berada di Pesantren Al Qodir. Pesan yang disampaikan bisa berupa pesan verbal atau non verbal. Media atau saluran yang digunakan bisa melalui udara atau via mekanisme fungsi panca indera yang mereka dan kita miliki. Sedangkan untuk noise-nya dalam Model Tubbs dibagi menjadi dua, gangguan teknik dan semantik. Gangguan teknis adalah hal yang membuat komunikan merasakan hal yang berubah pada stimulus yang ada. Misalnya suara yang bising. Sedangkan gangguan semantik dikarenakan perbedaan pemahaman makna antara penerima dan pengirim atas pesan disampaikan. Kemudian konteks proses komunikasi dalam konteks terapi penyembuhan tersebut kiranya sangat cocok dengan proses komunikasi yang dijabarkan oleh Mahmud (2009:7-9), yang mana dia membagi proses komunikasi menjadi 6 tahapan sebagai berikut: 1. Pengirim mempunyai ide yang ingin disampaikan kepada pihak lain. Peran pengirim ini bisa pada diri kiai maupun santri pecandu narkoba. Semua tergantung siapa yang memiliki ide yang kemudian meyampaikannya terlebih dahulu. Ide ini sangat erat kaitannya dengan pengalaman dan pengetahuan pengirim. 2. Pengirim mengubah ide menjadi pesan. Ide tersebut diubah olehnya menjadi pesan atau biasa disebut ecoding. Dia bebas menentukan bentuk 11 pesan, panjang pesan, nada, gaya, dan susunan. Semua itu tergantung pada ide, pihak lain, dan suasana hati pengirim. 3. Pengirim menyampaikan pesan. Penyampaiannya erat kaitannya dengan media yang dipakai, dalam Model Tubbs disebut saluran. Bentuk pesan yang disampaikan bisa berupa pesan verbal atau nonverbal. Salurannya bisa melalui lisan dan tulisan. Medianya bisa panca indera atau perangkat komunikasi yang lain. Pada waktu inilah seringkali akan ditemui hambatan yang oleh Tubbs disebut gangguan komunikasi. Baik kiai atau santri pecandu narkoba bisa menyesuaikan hal tersebut berdasar pada pesan yang akan disampaikan, lokasi, dan sifat pesan. 4. Pihak penerima menerima pesan. Pasca pesan disampaikan yang perlu dipastikan apakah pesan itu sampai atau tidak. Jika kiai memberi nasehat kepada santri pecandu narkoba, apakah santri pecandu narkoba mendengar dan memahami pesan nasehat tersebut? Kepastian tersebut akan dapat diketahui ketika proses komunikasi keduanya ke tahap berikutnya. Skema 1.2 - Proses komunikasi 12 5. Penerima manafsirkan pesan. Dari penafsiran ini maka bisa diketahui apakah pesan nasehat kiai tadi bisa didengar dan dipahami oleh santrinya. Proses ini juga jamak disebut decoding. Penafsiran pesan juga melingkupi aktifitas filterisasi pesan oleh penerima. Aktifitas ini juga sebagai bentuk “kemerdekaan” penerima untuk bebas memilih mana pesan yang sekiranya bermanfaat untuk dirinya atau tidak. 6. Penerima memberikan reaksi dan mengirim umpan balik. Ini bisa disebut rangkaian akhir proses komunikasi. Penerima memberi respon kepada pengirim atas pesan yang disampaikannya. Umpan balik santri pecandu narkoba dirasa sangat penting untuk kiai guna melihat perkembangan proses terapi penyembuhan yang sedang dilakukan. 1.7. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dimaksudkan sebagai panduan konseptual mengenai penelitian, dalam kasus ini yaitu komunikasi interpersonal di pesantren. Judul utama penelitian ini yaitu komunikasi interpersonal di pesantren. Maka, kerangka pemikiran yang dibahas tidak jauh dari judul tersebut. Yaitu komunikasi interpersonal itu sendiri kemudian penjelasan mengenai pesantren, kiai, dan santri. Pemilihan tiga hal terakhir tidak lepas dari, bahwa penjelasan pesantren tidak bisa lepas dari pemahaman tiga hal utama tersebut. Bisa dikatakan dengan memahami tiga hal tersebut adalah pintu utama untuk penelitian komunikasi interpersonal di pesantren berikutnya. 1.7.1. Komunikasi Interpersonal dalam Terapeutik Secara definisi komunikasi interpersonal menurut Joseph A. Devito (1989:4) dalam bukunya Prof. Onong U. Effendi (1993:60) adalah the process of sending and receiving messages between two persons, or among a small group of persons, with some effect and some immediate feedback. Yaitu proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan umpan balik seketika. Sedangkan Onong (1981:48) sendiri mengartikan komunikasi interpersonal sebagai komunikasi dua orang, di mana terjadi kontak langsung 13 dalam bentuk percakapan. Komunikasi interpersonal juga disebut sebagai komunikasi antar pribadi (diadic communication). Dari pengertian di atas bisa digaris bawahi bahwa komunikasi interpersonal merupakan proses komunikasi dua orang atau lebih dalam lingkup tertentu dan antara komunikan dan komunikator bisa saling bertukar peran atau fungsi dan mendapat tanggapan secara langsung. Untuk kasus ini, komunikasi interpersonal di pesantren dilakukan oleh kiai dan santri pecandu narkoba di Pesantren Al Qodir. Keduanya bertindak sebagai komunikan dan komunikator, dalam prakteknya keduanya saling bertukar pesan atau fungsi untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Secara proses, komunikasi interpersonal memiliki beberapa variabel tetap dalam proses komunikasinya, termasuk komunikasi interpersonal kiai dan santri. Menurut Alo Liliweri (1991:151) setidaknya ada 8 variabel tetap yang bisa dijelaskan; 1) Pengirim. Ada juga yang menyebutnya sebagai komunikator, source, encoder, dan sender. Ia dalam rangakaian komunikasi sejatinya dapat dianggap sebagai seorang pencipta pesan, titik mulai (starting point), penginisiatif suatu proses kegiatan komunikasi. Peran tersebut bisa ada di kiai atau santri tergantung siapa yang memulai inisiatif pertama berkomunikasi. 2) Latar belakang. Yaitu sesuatu yang kita anggap telah menimpa dan mempengaruhi pengirim dan penerima dalam komunikasi interpersonal. Latar belakang merupakan suatu penopang, penyanggah komunikasi secara utuh. Kiai sebagai pengasuh pesantren memiliki latar belakang religiusitas atau kecakapan ilmu tertentu, dan santri diasumsikan memiliki latar belakang religiusitas yang kurang atau sebagai pribadi yang awam. Tetapi khusus santri pecandu narkoba di Al Qodir umumnya memiliki background kelam terkait narkoba dan mereka mencari kesembuhan di Al Qodir. 3) Pesan (rangsangan/stimulus). Unsur ini merupakan sesuatu yang sangat penting dalam komunikasi. Karena alasan itulah menurut Cherry (1978) 14 yang dijelaskan kembali oleh Alo Lililweri mengatakan bahwa komunikasi adalah penciptaan interaksi sosial perorangan dengan menggunakan tandatanda yang tegas atau komunikasi sebenarnya adalah pembagian unsurunsur perilaku atau cara hidup dengan eksistensi seperangkat ketentuan dan pemakaian tanda-tanda. Di pesantren (Al Qodir), pesan tersebut bisa berbentuk tata tertib pesantren, dawuh kiai, dan sebagainya. 4) Saluran (media/channel). Unsur ini dapat diartikan dengan tempat terbaik yang dipilih dimana suatu stimulus atau pesan melewatinya. Dalam komunikasi interpersonal kita lebih (sering) menggunakan perasaan, penglihatan, suara, dan peradaban untuk mengkomunikasikan pesan. Untuk terapi di Al Qodir, saluran komunikasi yang tampak digunakan adalah penglihatan dan suara karena kiai dan santri pecandu narkoba bertatap muka langsung. 5) Penerima. Ia merupakan suatu unsur titik akhir, terminal dari suatu tujuan pesan itu, seorang pengumpul dan penerjemah suatu pesan. Maka seorang penerima akan menerima, menerjemahkan, mengerti pesan yang dikomunikasikan dengan latar belakang yang dimilikinya. Santri sebagai pasien atau kiai sebagai tenaga kesahatan bisa berperan sebagai penerima tergantung proses komunikasi interpersonal yang sedang berlangsung. 6) Umpan balik (feedback). Fungsi umpan balik diantaranya sebagai pengontrol keefektifan pesan yang disampaikan pengirim kepada penerima. Umpan balik merupakan reaksi terhadap pesan bahwa penerima sudah menerima pesan serta memahaminya. Sendiko dawuhnya seorang santri bisa dimaknai sebagai umpan balik komunikasi kepada kiainya. 7) Gangguan entropi (noise). Menurut Shanon dan Weaver (Alo, 1991:164) bahwa dalam komunikasi entropi merupakan suatu konsep untuk menjelaskan bagaimana pesan komunikasi itu bisa tersesat dalam satu rangkaian rangkaian proses yang akhirnya tidak beraturan sama sekali. Ganguan itu juga terjadi jika santri mengabaikan dawuh kiai atau ketidakapahaman atas pesan yang tersampaikan. 15 8) Suasana. Secara khas suasana adalah lingkungan dimana proses komunikasi itu bergerak dan berkembang. Suasana membantu menerangkan apa dan bagaimana variasi unsur-unsur komunikasi mengambil suatu posisi. Termasuk komunikasi interpersonal kiai dan santri pecandu narkoba sering terjadi dalam suasana yang kondusif. Secara keseluruhan variabel-variabel di atas bisa dilihat dari gambar di bawah ini. Skema 1.3 - Model proses komunikasi (Liliweri, 1991) Ciri khas dari komunikasi interpersonal adanya interaksi langsung di antara pelaku komunikasi. Interaksi tersebut salah satunya bersifat face to face (tatap muka). Dalam proses terapi penyembuhan narkoba patut diduga kiai dan santri pecandu narkoba juga melakukan kontak fisik secara langsung dalam berkomunikasi. Alur komunikasi yang terjadi bisa bersifat dua arah (two way communication). Saat simetris dua arah itulah yang memungkinkan efek dialogis di dalamnya. Fungsi dialog inilah yang memungkinkan suatu proses komunikasi interpersonal dalam proses terapeutik antara kiai dan santri berjalan dinamis, tidak statis. Indikator dialog ini menjadi dasar wujudnya proses interaksi interpersonal dalam komunikasi terapeutik. Onong (1993:60) menambahkan, adanya unsur dialog dapat menimbulkan pengertian bersama (mutual understanding) dan para pelaku komunikasi di dalamnya. Ujung-ujungnya akan adanya rasa saling menghormati dan menghargai tanpa 16 membedakan latar belakang. Baik kiai atau santri mengerti dan paham akan peran dan posisinya masing-masing. A. Komunikasi Terapeutik Menurut Stuart GW (1998) mengatakan komunikasi terapeutik merupakan hubungan interpersonal antara perawat/tenaga kesehatan dengan klien/pasien dalam memperbaiki kesehatan pasien dalam hubungan ini tenaga kesehatan dan pasien memperoleh pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosi pasien10. Kurang lebih sama, Machfoedz (2009:104) mengatakan bahwa komunikasi terapeutik adalah pengalaman interakatif bersama antara perawat/tenaga kesehatan dan pasien dalam komunikasi yang bertujuan untuk menyeleseikan masalah yang dihadapi oleh pasien. Sederhananya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi antara tenaga kesehatan dan pasien untuk membantu kesembuhan pasien. Sedangkan hubungan terapeutik yang terjadi dapat dipahami sebagai suatu hubungan interaksi yang mempunyai sifat menyembuhkan, dan hal tersebut berbeda dengan hubungan sosial. Therapeutic intimacy merupakan hubungan saling menolong (helping relationship) antara perawat-klien/tenaga kesehatan-pasien. Hubungan ini dibangun untuk keuntungan pasien, sementara hubungan sosial dirancang untuk memenuhi kebutuhan kedua belah pihak (Smith, 1992)11. Dalam konteks terapi penyembuhan narkoba di Al Qodir, hubungan yang terjadi antara kiai dan santri bukan lagi guru-murid melainkan sudah hubungan terapeutik antara tenaga kesehatan dan pasien. Karena waktu melakukan terapi penyembuhan hubungan yang paling kentara berorientasi hubungan saling menolong dalam lingkup terapeutik. Hubungan guru-murid secara perlahan diganti dengan hubungan tenaga kesehatan dan pasien dengan tujuan utamanya menyembuhkan santri terbebas dari jerat narkoba. Proses komunikasi interpersonal terapeutik tidak jauh beda dengan proses komunikasi yang sudah dijelaskan sebelumnya dan bisa berlangsung 10 11 http://dianratnaningsih.blogspot.com/ diakses pada 7 Juni 2013 Idem. 17 dengan dua cara yang umum terjadi dalam proses komunikasi lainnya. Yaitu komunikasi verbal dan nonverbal. Komunikasi verbal merupakan komunikasi yang menggunakan kata-kata, baik secara lisan atau tertulis. Sedangkan komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang cara penyampaian pesannya dalam bentuk nonverbal, tanpa kata-kata (Hardjana 2003:22-26). Komunikasi interpersonal terapeutik nonverbal antara kiai dan santri sendiri bisa diekspresikan dengan bentuk bahasa tubuh (body language), tanda (sign), tindakan (action), dan yang terakhir objek (object)12. Sedang menurut Machfoedz (2009:22-26) komunikasi nonverbal tersebut meliputi ekspresi wajah, sikap tubuh, jarak fisik, gerak isyarat, nada bicara, pandangan mata, dan penampilan diri. Nonverbal Ekspresi wajah Keterangan Wajah merupakan bagian tubuh yang ekspresif, sensitif terhadap perubahan emosi yang dapat diketahui dengan cepat. Sikap tubuh Sikap badan dapat membantu menafsirkan situasi perasaan, sikap, atau emosi. Jarak fisik Jarak tubuh merupakan kriteria tingkat hubungan dan dalam berkomunikasi tatap muka, orang cenderung mengatur jarak dengan lawan bicara. Gerak isyarat Gerak-gerak isyarat dilakukan apabila kedua belah pihak tidak saling mengerti dan gerakan isyarat merupakan cara komunikasi yang efektif sebagai pengganti ucapan. Nada bicara Nada suara tertentu pada saat berbicara dapat membantu lawan bicara menafsirkan kata-kata dan membaca suasana hati pembicara. Pandangan mata Pandangan mata dapat dijadikan tolak ukur dari sikap positif dan negatif, dan merupakan salah satu isyarat nonverbal yang efektif. 12 Harjana, Agus M. (2003). Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal. Yogyakarta: Kanisius hal. 27 18 Penampilan fisik merupakan sinyal nonverbal yang tampak dan dapat diatur dan disesusaikan dengan Penampilan diri situasi komunikasi dan juga dapat mempengaruhi penafsiran pesan yang disampaikan melalui saluran komunikasi. Tabel 1.1 - Ruang lingkup komunikasi non verbal13 B. Tujuan Komunikasi Terapeutik Pada dasarnya komunikasi terapeutik bertujuan membantu pasien memperjelas dan mengurangi beban pikiran dan perasaan untuk dasar tindakan guna mengubah situasi yang ada apabila pasien percaya pada hal-hal yang diperlukan (Machfoedz, 2009:105). Apabila tujuan tersebut diperinci lagi, maka akan ada 4 hal tujuan utama komunikasi terapeutik sebagai berikut: 1. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran. 2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan mempertahankan kekuatan egonya. 3. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri dalam hal peningkatan derajat kesehatan. 4. Mempererat hubungan dan interaksi antara pasien dan tenaga kesehatan secara profesional proporsional dalam rangka membantu penyelesaian masalah klien14. Berdasar tujuan tersebut maka santri pecandu narkoba yang sedang menjalani terapi penyembuhan memiliki semacam “hak” dari kiainya. Karena dalam kasus ini santri pecandu narkoba statusnya sama dengan pasien dan kiai kurang lebih sama dengan tenaga kesahatan yang bertanggungjawab atas pasiennya. Nah, dalam komunikasi terapeutik tersebut, komunikasi interpersonal mengandung unsur dialogis seperti yang sudah disebutkan dan 13 Diolah dari buku Komunikasi Keperawatan (Komunikasi Terapeutik) karangan Mahmud Machfoedz (2009) 14 http://childroaddotnet.files.wordpress.com/2012/03/komunikasi-terapeutik.pdf diakses pada 7 Juni 2013 19 memiliki bentuk komunikasi yang berbeda dan sebanding dengan keakraban yang ditimbulkannya. Seperti apa yang disebut Prof. Onong, yaitu komunikasi secara horizontal dan vertikal. Komunikasi horizontal senantiasa memiliki tingkat keakraban yang lebih tinggi daripada komunikasi yang secara vertikal. Horizontal disini dipahami sebagai komunikasi antara pelaku komunikasi yang mempunyai kesamaan status. Namun, status kiai dan santri pecandu narkoba tentunya beda. Perbedaan itu bisa dilihat dari kiai sebagai pengasuh atau tenaga kesehatan sedang santri pecandu narkoba sebagai pasien atau murid. Lantas kapan komunikasi horizontalnya terjadi? Hal itu bisa terjadi saat mereka sama-sama memposisikan diri sebagai warga pesantren dan keduanya sejenak melupakan posisinya masing-masing. Yang mana hal itu oleh Wilbur Schramm disebut kesamaan frame of reference (kerangka referensi) atau field of experience (pengalaman lapangan)15 sebagai sesama warga pesantren dan saling membantu. C. Jenis dan Teknik Komunikasi Terapeutik Pada dasarnya pembagian jenis komunikasi terapeutik tidak jauh beda dengan jenis komunikasi interpersonal. Onong sendiri membagi komunikasi interpersonal dalam dua jenis16. Pertama, komunikasi diadik (diadic communication) yang berarti komunikasi antarpribadi yang berlangsung antara dua orang, satu sebagai komunikator yang menyampaikan pesan, dan lainnya sebagai komunikan yang menerima pesan. Pada waktu proses terapi penyembuhan, kiai berperan sebagai komunikator sedang santri menjadi komunikan. Pesan-pesan yang disampaikan bisa berbentuk informatif, persuasif, dan instruktif. Berikutnya, disebut komunikasi triadik (triadic communication) yaitu komunikasi antarpribadi yang pelakunya terdiri dari tiga orang, yakni satu orang bertindak sebagai komunikator dan dua lainnya sebagai komunikan. Hal tersebut bisa terjadi saat kiai melakukan terapi dengan didampingi oleh santri senior atau santri kepercayaannya. Akan tetapi 15 Lihat, Effendi, Onong Uchjana. 1993. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. 1993. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti hal. 61 16 Ibid, hal. 62-63 20 peran komunikator atau komunikan tidak melulu ada di kiai. Peran tersebut bisa saling bergantian tergantung seberapa sering umpan balik yang terjadi antara kiai dan santri pecandu narkoba saat berkomunikasi. Selanjutnya dalam komunikasi interpersonal terapeutik ada beberapa teknik berkomunikasi (Machfoedz, 2009:68-71) yang dianjurkan seperti berikut ini; 1. Mendengarkan dengan aktif Sebagai tenaga kesehatan, kiai dituntut mampu mengembangkan kemampuan mendengarkan dengan aktif. Kemampuan mendengarkan merupakan bentuk respon terhadap pesan yang disampaikan pasien (santri). 2. Mengajukan pertanyaan Untuk mendapatkan informasi yang spesifik, kiai disarankan mengajukan pertanyaan kepada santri dan keluarganya. Ada beberapa tipe pertanyaan yang bisa diajukan, 1) pertanyaan terbuka, pertanyaan yang mendorong santri untuk menentukan pokok pembicaraan, 2) pertanyaan pengulangan, bertujuan mengulang pokok pembicaraan yang telah diungkapkan oleh santri dan keluarga, 3) pertanyaan klarifikasi, diajukan sebagai upaya untuk menjelaskan ide atau pikiran santri yang kurang jelas, dan 4) pertanyaan refleksi, bertujuan meluruskan kembali ide, perasaan, pertanyaan, dan isi pembicaraan kepada santri. 3. Menyampaikan informasi Hal ini tidak lebih sebagai bentuk tindakan penyuluhan atau terapi penyembuhan yang ditujukan kepada santri sebagai pasien dan keluarganya. Sedang penyampaian informasi tersebut disarankan, 1) menggunakan bahasa yang sederhana, 2) kata-katanya jelas, 3) katakatanya positif, dan 4) menunjukkan sikap bersemangat. D. Faktor yang Mempengaruhinya Selanjutnya ada juga beberapa faktor yang berpengaruh yang menentukan efektif dan tidaknya suatu komunikasi interpersonal, yang mana oleh Onong (1993:64) yang merujuk dari bukunya Rogers & Bhowmik yang 21 berjudul Homophily-Heterophily: Rational Concepts for Communication Research, dibagi menjadi tiga faktor. Yaitu, faktor homophily, heterophily, dan empathy. Dua faktor yang pertama oleh Everret M. Rogers bisa dijadikan sebagai faktor yang memperjelas hubungan komunikator dan komunikan dalam proses komunikasi interpersonal. Homophily merupakan istilah yang menggambarkan derajat pasangan perorangan yang berinteraksi yang memiliki kesamaan dalam sifat (attribute) atau status. Asal kata homophily dari bahasa Yunani, homoios artinya “sama”. Sebenarnya faktor ini merupakan pra syarat terjadinya komunikasi horizontal. Kiai dan santri pecandu narkoba yang berinteraksi memposisikan diri dalam derajat yang sama, yaitu sama-sama warga pesantren atau makhluk Tuhan dengan begitu relasi guru-murid atau tenaga kesahatan-pasien menjadi tereduksi. Jadi, homophily juga bisa diartikan komunikasi terhadap orang yang sepadan, sama, atau setara. Sepadan yang dimaksud antara kiai dan santri pecandu narkoba merupakan warga pesantren dan sama-sama makhluk Tuhan. Sedangkan heterophily justru kebalikan dari homophily, yaitu tingkat sifat pasangan orang-orang yang berinteraksi yang berbeda dalam sifat-sifat tertentu. Memang tidak dapat pungkiri, dalam hal tertentu status kiai lebih unggul dari pada santri pecandu narkoba. Khususnya dalam hal pengetahuan agama dan santri merupakan person yang menimba ilmu alias murid. Tetapi dalam konteks di Pesantren Al Qodir, santri pecandu narkoba selain menjadi murid, status mereka juga seorang pasien. Pasien dari korban penyalahgunaan narkoba yang ingin mendapatkan kesembuhan dari terapi penyembuhan di Pesantren Al Qodir. Dengan kata lain, sebagai pasien ia berposisi submission dari kiai yang menerapinya. Adapun empathy menurut Rogers dan Bhowmik (Onong, 1981:54) diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya kepada peranan orang lain. Nah, empathy dapat menjadi kunci perubah keadaan komunikasi yang heterophilious, dimana komunikator dan komunikan bisa berkomunikasi efektif karena empathy yang mendalam. Jika 22 sebelumnya kiai selalu berposisi mendominasi, dengan empati ia bisa mensejajarkan diri dengan santri pecandu narkoba. Kemungkinan cara yang dipakai yaitu dengan mempelajari dan mengetahui latar belakang santri pecandu narkoba. Mengapa santri tersebut mengkonsumsi narkoba? Bagaimana awal mengkonsumsinya dan sebagainya. Sehingga situasi komunikasi interpersonal terapeutik berikutnya benar-benar dalam keadaan homophilous dalam pengertian sosio-psikologis. Berbeda dengan Onong, Machfoedz (2009:66-68) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi interpersonal dalam proses terapeutik meliputi persepsi, nilai, emosi, pengetahuan, peran dan hubungan, dan kondisi lingkungan. 1. Persepsi Persepsi dapat dipahami sebagai cara seseorang menyerap sesuatu di sekitarnya. Inilah yang kemudian menjadi dasar terjadinya proses komunikasi. Kesamaan persepsi antara komunikan dan komunikator menentukan pesan yang tersampaikan sesuai dengan yang dimaksudkan. Apabila antara kiai sebagai tenaga kesehatan dan santri pecandu narkoba sebagai pasien memiliki kesamaan persepsi maka pesan yang tersampaikan dapat dipastikan sesuai yang dimaksudkan. Jika pesan tersebut sesuai yang dimaksudkan maka proses terapi penyembuhan narkoba bisa berjalan sesuai rencana dan bisa mendorong kesembuhan santri pecandu narkoba lebih cepat. 2. Nilai Apa itu nilai? Nilai bisa diartikan sebagai keyakinan yang dianut. Nilai sangat dipengaruhi oleh keyakinan, jalan hidup, pikiran, dan perilaku seseorang. Adanya nilai berkait erat dengan etika. Maka sebagai tenaga kesehatan, kiai memiliki nilai yang dipegang begitu juga dengan santri pecandu narkobanya. Nilai-nilai dari masing-masing merekalah yang juga menentukan lancar dan tidaknya komunikasi terapeutik yang sedang terjadi. Ada baiknya nilai-nilai tersebut tetap dipegang kalau perlu dikomunikasikan agar tidak menjadi penghambat proses komunikasi. 23 3. Emosi Emosi tidak lebih merupakan perilaku subyektivitas seseorang dalam merasakan situasi di sekitarnya. Emosi sendiri dipengaruhi oleh cara seseorang mengendalikan dirinya. Pengendalian diri menjadi modal seseorang ketika berhubungan dengan orang lain. Hal ini juga berlaku pada kiai. Ia harus bisa merasakan apa yang dirasakan santri pecandu narkobanya. Proses terapeutik sendiri menyarankan adanya pelibatan perasaan dengan begitu komunikasi terapeutik bisa berjalan dengan baik. 4. Pengetahuan Faktor pengetahuan bisa menjadi pendorong sekaligus penghambat komunikasi. Pengetahuan yang tidak seimbang akan menjadikan komunikasi berjalan satu arah. Umpan balik yang terjadi kemungkinan juga sangat kecil. Maka kiai dituntut bisa memahami tingkat pengetahuan santri pecandu narkobanya. Bagaimanpun juga pengetahuan sendiri besar kaitannya dengan topik pembicaraan antara kiai sebagai tenaga kesehatan dan santri sebagai pasien. 5. Peran dan Hubungan Pada tahap pertama pada komunikasi terapeutik seorang tenaga kesehatan memang dituntut untuk memperkenalkan dirinya kepada pasien. Setelah itu ia juga harus mengenal pasiennya melalui perkenalan langsung atau lewat data pasien. Di Al Qodir kiai dan santri pecandu narkoba dituntut saling mengenal agar komunikasi interpersonal terapeutik yang dijalani bisa berjalan lancar. Dari komunikasi perkenalan tersebut hendaknya juga disertai keterbukaan dari masing-masing pelaku komunikasi terapeutik. Dengan demikian permasalahan kedepannya permasalahan pasien bisa teratasi dengan baik dan benar. 6. Kondisi lingkungan Kondisi lingkungan erat kaitannya dengan waktu dan tempat terjadinya komunikasi. Kondisi Al Qodir yang kondusif dapat dipastikan bisa membantu proses terapi penyembuhan narkoba. Sebagai pemangku pesantren kiai memiliki kuasa penuh untuk mengatur kondisi Al Qodir 24 berjalan kondusif. Sedang santri pecandu narkoba di Al Qodir hanyalah sebagai pasien atau tamu, jadi ia tidak memiliki kuasa untuk mengendalikan suasana. Bagaimanapun juga kondisi lingkungan yang kondusif sangat membantu proses terapeutik penyalahguna narkoba. 1.7.2. Pesantren Secara bahasa pesantren berasal dari bahasa Jawa yaitu santri yang berarti murid. Adanya kata imbuhan pe dan akhiran an menjadi tempat tinggal para murid. Tapi menurut Prof. Jhons, bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji17. Sedangkan menurut C. C. Berg yang dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier (1982:18), istilah tersebut berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang yang ahli kitab suci agama Hindu. Asal kata shastri sendiri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, bukubuku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan18. Tetapi dalam buku Tesaurus Bahasa Indonesia, pesantren merupakan kata benda yang berarti madrasah, asrama, atau pondok19. Ada pula yang mendeskripsikan pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dimana para santri biasa tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail serta mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat (Fenomena 2005:72)20. Dari definisi-definisi di atas bisa ditarik kesimpulan, bahwa Pesantren Al Qodir juga merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional dimana santri tinggal di pondok dengan aturan-aturan dan diajarkan nilai-nilai agama Islam dibawah bimbingan seorang kiai. Memang dalam pendefinisian tentang pesantren sendiri tidaklah ada batasan apalagi sampai ada kriteria yang baku. 17 Lihat, Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES hal. 18 18 M. Chatuverdi dan Tiwari, B.N.. 1970. A Pratical Hindi-English Dictionary. Delhi: Rashtra Printers hal. 627 dalam buku Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES 19 Lihat, Endarmoko, Eko. 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Utama hal. 473 20 http://blog.re.or.id/pondok-pesantren-sebagai-lembaga-pendidikan-islam.htm diakses tanggal 12 sepetember 2012 25 Karena pesantren sendiri merupakan lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang bergerak dinamis. Akan tetapi menurut Dofier (1982:44) sebuah lembaga pendidikan Islam –termasuk Pesantren Al Qodir, bisa disebut pesantren paling tidak harus memenuhi lima elemen dasar pesantren. Pertama, terdapat pondok atau asrama tempat tinggal para santri. Di Al Qodir sendiri asrama santri terbagi menjadi dua komplek, komplek santri putra dan santri putri. Asrama santri putra – berikut santri pecandu narkobanya, bertempat menyatu dengan kediaman kiainya. Nah, biasanya tempat tinggal santri di pesantren lain berdiri di sekitar kediaman kiai tetapi untuk sekarang ini banyak pesantren yang sudah membangun gedung yang permanen untuk tempat tinggal santrinya. Penempatan santrinya biasanya berdasar jenjang pendidikan atau asal daerah. Elemen berikutnya adalah masjid. Masjid merupakan pusat pendidikan dalam tradisi pesantren yang merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional (Dhofier 1982:49). Masjid di Al Qodir pun menjadi pusat kegiatan ibadah dan pengajaran ditempatkan. Karena masjid Al Qodir sendiri merupakan cikal bakal berdirinya Pesantren Al Qodir. Elemen ketiga, yaitu pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Hampir semua santri di Al Qodir diajarkan kitab tersebut dan kitab itu lebih familiar disebut kitab kuning. Pengajaran ini merupakan satusatunya pengajaran formal dalam lingkungan pesantren (Dhofier 1982:50). Untuk metode penyampaiannya ada dua, yaitu sorogan dan bandongan. Keempat, yaitu elemen santri. Ia adalah kelompok murid yang menimba ilmu di pesantren. Dalam dunia pesantren seorang alim bisa disebut ulama atau kiai jika ia memiliki pesantren dan santri yang diasuh dan dibina. Jenis santri sendiri pun ada dua jenis, yaitu santri mukim (santri yang menetap dan belajar di dalam lingkungan pesantren) dan santri kalong (santri yang belajar di pesantren tapi tidak menetap di pesantren). Untuk santri pecandu narkoba yang sedang menjalani terapi di Al Qodir termasuk dalam kategori santri mukim, karena ia menetap dalam lingkungan pesantren. Elemen terakhir yaitu kiai. Ia merupakan unsur yang paling pokok dan esensial dari keberadaan 26 sebuah pesantren. Oleh karenanya kiai Al Qodir menjadi tokoh sentral dan penanggung jawab utama hidup dan mati jalannya pesantren yang diampunya, termasuk bertanggung jawab atas keadaan santri pecandu narkobanya. Pesantren sendiri dalam prosesnya memiliki banyak jenisnya. Hal ini dikarenakan kedinamisan pesantren dalam menjawab kebutuhan tantangan di zamannya. Salah satunya menurut Mulyadi J. Amalik yang menggolongkan pesantren menjadi tiga jenis21: a) Pesantren salaf yaitu pesantren yang tetap mempertahankan kitab kuning sebagai bahan utama pengajaran materinya dengan sistem klasik, yaitu sorogan dan bandongan. Ciri-ciri pesantren salaf yaitu: 1) manajemen dan administrasi pesantren sangat sederhana dengan sistem pengelolaan pesantren berpusat pada aturan kiai yang diterjemahkan oleh pengurus pesantren; 2) sangat terikat pada figur kiai; 3) pola dan sistem pendidikan bersifat konvensional atau berpijak pada tradisi lama dengan proses belajar-mengajar bersifat searah (kiai berceramah dan santri mendengarkan), metode pengajaran ini dikenal dengan sebutan sorogan dan bandongan (wetonan), dan tidak mengenal jenjang kelas; 4) bangunan dan asrama santri tidak tertata rapi dan umumnya menyatu dengan alam. b) Pesantren khalaf yaitu pesantren yang sistem pengajaran sudah berbentuk madrasi atau kelas dengan materi utamanya ilmu umum dan agama. Biasanya ada juga materi ketrampilan. Ciri-ciri pesantren khalaf yaitu: 1) memiliki manajemen dan administrasi dengan standar modern; 2) tidak terikat atau tersentral pada figur kiai; 3) memiliki pola dan sistem pendidikan modern dengan perpaduan kurikulum antara mata ajar berbasis ilmu agama dan mata ajar berbasis pengetahuan umum; 4) sarana dan bentuk bangunan pesantren lebih mapan, teratur, permanen, dan biasanya berpagar. 21 http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20081118140504 diakses tanggal 12 September 2012 27 c) Pesantren terpadu yaitu pesantren yang berbentuk semi salaf atau sebaliknya, semi khalaf. Adapun ciri utama pesantren ini yaitu: Pesantren terpadu ini bercirikan nilai-nilai tradisional yang masih kental sebab kiai masih dijadikan figur sentral. Norma dan kode etik pesantren klasik masih menjadi standar pola relasi dan etiket keseharian santri dalam pesantren. Namun, pesantren terpadu ini telah mengadaptasi sistem pendidikan modern sebagai bentuk respon atau penyesuaian terhadap perkembangan lembaga-lembaga pendidikan nonpesantren. Pesantren Al Qodir termasuk dalam kategori yang pertama. Sejak awal ia sudah memproklamirkan diri sebagai pesantren salaf. Hal itu bisa diketahui dari nama pesantrennya, yaitu Pesantren Salafiyah Al Qodir. Sedangkan menurut Dhofier (1982:44) pengklasifikasian pesantren didasarkan atas kuantitas jumlah santri. Pesantren yang memiliki santri dibawah 1000 orang dan pengarauhnya hanya sebatas tingkat kabupaten masih tergolong pesantren kecil. Pesantren menengah bisasanya mempunyai 1000-2000 santri dan berasal dari beberapa kabupaten. Kemudian pesantren besar kebanyakan memiliki lebih dari 2000 santri dan berasal dari berbagai kabupaten dan provinsi. Bahkan ada yang berasal dari beberapa negara tetangga, misalnya Malaysia, Singapura, dan Brunei. Nah, jika merujuk pendapat Dhofier tersebut, maka Pesantren Al Qodir termasuk pesantren yang kecil karena berdasar data santri yang tercatat tidak sampai 1000 santri. 1.7.3. Kiai Dalam kebudayaan Jawa, sebutan kiai disandarkan pada tiga hal yang berbeda : a) sebagai gelar kehormatan yang diperuntukkan benda-benda yang dianggap ampuh, sakti, dan keramat. Misalnya, “Kiai Garuda Kencana” sebutan kereta emas keraton Yogyakarta. b) Untuk gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya dan yang dituakan, c) yang terakhir gelar kiai diberikan kepada seseorang yang ahli ilmu agama Islam yang mempunyai atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajarkan kitab-kitab kuning kepada para santrinya. Tapi di masyarakat sendiri seorang kiai biasanya juga disebut ulama atau orang alim (ahli agama Islam). 28 Berbeda daerah beda pula dalam penyebutan “kiai” tapi substansinya tetap sama, yaitu orang yang ahli agama Islam. Di Jawa Barat disebut ajengan. Di Jawa Timur dan Jawa Tengah ulamanya disebut kiai. Daerah Aceh mereka dipanggil datuk dan di daerah lombok mereka dipanggil Tuan Guru. Sedangkan di daerah Madura disebut nun atau bendara, disingkat ra. Keseluruhan sebutan itu memang beda perbedaan sebutan nama itu memang mengikuti bahasa lokal setempat. Untuk di Al Qodir sendiri, panggilan kepada pengasuhnya ada bermacam-macam. Ada yang memanggilnya Kiai Masrur, Gus Masrur, bahkan Mbah Masrur. Dipangil kiai karena beliau pengasuh utama Pesantren Al Qodir, dipanggil gus karena beliau anak dari seorang kiai, dan dipanggil mbah karena beliau dianggap memiliki kelebihan ilmu, utamanya dalam dunia pengobatan. Tetapi pemaknaan kiai atau gus – kecuali mbah, tetap memiliki arti sama, yang secara garis besar mereka ahli agama Islam, memiliki pesantren, dan mengasuh para santri. Sedangkan menurut H. Aboebakar Atjeh dalam Karel A. Steenbrink (1986:109), seseorang bisa menjadi kiai karena beberapa faktor, yaitu a) pengetahuannya, b) kesalehannya, c) keturunannya, dan d) jumlah murid atau santrinya. Karel menambahkan satu faktor lagi, yaitu “prinsip wahyu”, mereka para kiai memiliki kelebihan dalam fungsinya sebagai perantara wahyu. Nah, faktorfaktor tersebut melekat dalam diri seorang Gus Masrur, maka dia pun oleh santri dan masyarakat disebut juga sebagai kiai. Faktor keturunan memang menjadi salah satu landasan yang kuat dalam me”legal”kan status kiainya seseorang. Karena struktur kepemimpinan pesantren kurang lebih sama dengan struktur kerajaan di Jawa, dimana faktor keturunan menjadi penentu utama untuk menjadi pemimpin, yaitu semacam trah yang sah atau yang diakui. Tidak terkecuali dengan Gus Masrur, ayahnya adalah seorang kiai kampung yang sangat disegani dan dihormati di daerahnya. Akan tetapi dalam pengakuan kiai oleh masyarakat juga tidak lepas dari aspek kesalehan dan keilmuan yang dimiliki kiai tersebut. Semakin tinggi ilmu agama Islam yang dimilikinya semakin tinggi pula penghargaan dan penghormatan yang diberikan kepada kiai. Tidak heran Gus Masrur 29 dengan status kiainya menjadikannya sebagai salah satu kelompok elite dalam struktur sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Jawa (Dhofier 1982:56) di daerah pesantrennya. Selanjutnya dalam lingkup pesantren sendiri kiai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power dan authority) kehidupan didalamnya. Wahid (2007:100) menambahkan bahwa kiai bukan merupakan primus inter, melainkan bertindak (juga) sebagai pemilik tunggal (directeur eigenaar). Nah, sebagai kiai Gus Masrur memegang peran sentral dalam menjalankan Pesantren Al Qodir. Karena beliau merupakan pemilik tunggal. Kemudian hal istimewa lagi yang menjadi penguat kedudukan kiainya Gus Masrur dalah fakor prinsip wahyu. Dalam masyarakat pesantren dikenal dengan konsep barokah atau berkah yang memiliki arti ziyadatul khoir (tambahnya kebaikan). Dimana dengan mendapat barokah kiai, seseorang yang bersangkutan akan mendapat kebaikan di dunia dan akhirat. Prinsip wahyu inilah yang menjadikan seorang Gus Masrur diyakini memiliki “akses khusus” kepada ilahi sehingga banyak masyarakat minta jampi-jampi dan didoakan agar hidupnya aman dan sentosa. Termasuk para pecandu narkoba yang mencari kesembuhan di Al Qodir. 1.7.4. Santri Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren22. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) santri adalah kata benda yang mempunyai dua makna, pertama orang yang mendalami agama Islam, yang kedua orang yang beribadah dengan sungguhsungguh atau orang sholeh. Secara garis besar dapat dipahami bahwa santri adalah murid yang mengikuti pendidikan dan pendalaman agama Islam di pesantren yang diasuh oleh kiai, ustadz, atau ulama. Kalangan pesantren sendiri memiliki pengertian, seorang alim atau ulama bisa dipanggil kiai jika mempunyai pesantren dan kumpulan santri yang tinggal didalamnya untuk mempelajari kitab-kitab kuning. Itulah mengapa, elemen santri menjadi faktor yang dominan dalam dunia pesantren. 22 http://id.wikipedia.org/wiki/Santri diakses pada tanggal 20 September 2012 30 Karena banyak dan sedikitnya jumlah santri biasanya menjadi ukuran kewibawaan kiai dan pesantren yang bersangkutan. Tapi tidak semua santri itu menetap di pesantren. Ada yang pulang pergi dari rumah ke pesantren. Oleh karena itu, menurut Dhofier (1982:51-52), santri di pesantren itu ada dua jenisnya. Pertama santri mukim yaitu murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Seperti yang sudah disebutkan, santri pecandu narkoba yang sedang menjalani terapi penyembuhan di Al Qodir termasuk golongan santri mukim. Hal ini dikarenakan selama masa penyembuhan mereka tingggal di dalam pesantren dan berinteraksi dengan warga pesantren lainnya. Sedang tradisi lain yang menarik dari pesantren, jika santri mukim itu sudah lama tinggalnya dan mumpuni ilmunya, maka ia akan dimintai tanggung jawab oleh kiainya untuk mengajari santri-santri yang baru. Seringnya ia bahkan menjadi badal (pengganti) kiai jika sang kiai berhalangan hadir untuk mengajar. Tetapi untuk santri pecandu narkoba yang belum benar-benar sembuh, Gus Masrur tidak akan mengambil resiko untuk membantu menyembuhkan santri pecandu narkoba lainnya. Meskipun santri tersebut sudak lama mukim di Al Qodir. Kemungkinan santri pecandu narkoba yang sudah lama mukim diminta untuk membantu di unit-unit usaha milik pesantren. Kedua adalah santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desadesa atau daerah di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Sebutan kalong sendiri untuk santri jenis ini tidak tahu awalnya bagaimana. Kemungkinan sebutan kalong itu disamakan dengan perilaku kalong (kelelawar) yang muncul pada waktu malam dan hilang pada waktu terang (pagi). Masih menurut Dhofier, pergi dan menetapnya seorang santri di sebuah pesantren, disebabkan dari beberpa alasan : Ia ingin mempelajari kitab-kitab lain yang membahas secara lebih mendalam di bawah bimbingan kiai yang memimpin pesantren tersebut. 31 Ia ingin memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam bidang pengajaran, keorganisasian maupun hubungan dengan pesantren-pesantren yang terkenal. Ia ingin memusatkan studinya di pesantren tanpa disibukkan oleh kewajiban sehari-hari di rumah keluarganya. Di samping itu, dengan letak pesantren yang jauh dari rumah santri tidak mudah pulang-balik ke rumah23. Santri-santri tersebut di pesantren akan mendapatkan pelajaran kitabkitab Islam klasik. Dimana hampir semua pesantren pasti mengajarkannya kepada santrinya, terlebih pesantren salaf. Kitab-kitab tersebut ada 8 jenisnya (Dhofier 1982:50), yaitu fiqh, usul fiqh, nahwu (syntax, gramatika) dan shorof (morfologi, bentuk kata), hadits, tafsir, tauhid, tasawuf dan etika, dan yang terakhir cabang-cabang ilmu yang lain, misal tarikh (sejarah), falak (astronomi), dan balaghoh (logika). Seluruh kitab-kitab tersebut memiliki tingkatannya, dasar, menengah, dan besar. Cara pengajarannya kepada santri dengan sistem sorogan dan bandongan (wetonan). Nah, untuk santri pecandu narkoba yang ada di Al Qodir umumnya tidak diwajibkan dulu untuk mengikuti pengajian kitab kuning. Kalaupun mau mengikuti pengajian mereka hanya sebatas mendengarkan. Sedang santri pecandu narkoba yang sudah benar-benar sembuh, baik secara medis atau psikis, mereka dengan sendirinya biasanya mau mengikuti pengajian kitab kuning bersama santrisantri lainnya. 1.8. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan merupakan panduan untuk penulis maupun pembaca untuk memberi gambaran bahasan-bahasan yang dibahas. Untuk penelitian ini sistematika penulisannya dibagi menjadi lima bab. Bab pertama merupakan pendahuluan, yang didalamnya mengulas mengenai latar belakang masalah. Bab kedua membahas lebih spesifik mengenai komunikasi interpersonal terapeutik dan terapi penyembuhan narkoba. Sedang penjelasan mengenai terapi penyembuhan 23 Lihat, Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES hal. 52 32 narkoba di letakkan di bab ini karena sub judul utama penelitian ini mengenai terapi penyembuhan narkoba. Jadi perlu ada bahasan sendiri mengenai hal ini yang lebih lengkap. Bab ketiga lebih banyak membicarakan mengenai obyek yang diteliti yaitu profil Pesantren Salafiyah Al Qodir. Gambaran obyek tersebut mengenai sejarah berdiri, visi-misi pesantren, mengenai terapi penyembuhan narkoba itu sendiri, dan bagaimana relasi hubungan kiai dan santri yang terbangun di dalamnya. Bab keempat merupakan penjelasan mengenai temuan-temuan selama penelitian berlangsung. Di bab ini data-data yang sudah dikumpulkan, dipilah, dipilih dan diolah, kemudian dijelaskan kembali dalam bentuk deskriptifinterpretatif dengan sajian yang bisa dipertanggungjawabkan menurut kaidahkaidah penelitian. Bab kelima adalah penutup. Isinya merupakan saran atau rekomendasi mengenai hal-hal yang sekiranya perlu dilakukan untuk obyek yang diteliti. Masukan-masukan tersebut lebih banyak berdasarkan solusi-solusi atas masalah-masalah yang ditemukan selama penelitian. 1.9. Metodologi Penelitian Penelitian mengenai komunikasi interpersonal ini menggunakan pendekatan kualitatif. Kirk dan Miller (1986) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya (Moleong, 2002:3). Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor, pendekatan tersebut merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 1999:3). Sehingga keberadaan obyek merupakan bagian dari secara keseluruhan dan tidak membatasi individu atau kelompok ke dalam suatu variabel atau hipotesis tertentu. Awal mula pendekatan kualitatif memang berawal dari pendekatan holistik yakni berupa suatu konsep besar yang diteliti pada obyek spesifik kemudian hasil yang didapatkan dikembalikan sebagai konsep besar tersebut (Moehadjir, 1998). 33 1.9.1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode etnografi. Adapun metode etnografi yang dipakai lebih spesifik pada metode etnografi komunikasi. Alasan metode ini dipilih karena penelitian proses komunikasi antara kiai dan santri pecandu narkoba itu butuh observasi langsung dan pengumpulan data lapangan yang berdasar budaya yang lengkap dan alamiah. Oleh Spradley, untuk menggapai tujuan tersebut dikatakan “rather than studying people, ethnography means learning from people”. Artinya etnografi secara pengertian merupakan observasi langsung dan penelitian lapangan yang luas untuk mendeskripsikan manusia dan budayanya secara lengkap dan alamiah (Aryasatyani, 2012:26). Oleh karena itu, penelitian etnografi ini meliputi aktifitas komunikasi antara kiai dan santri pecandu narkoba yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara yang berbeda. Jadi etnografi dalam penelitian ini tidak hanya “mempelajari mereka” (kiai dan santri pecandu narkoba), tetapi lebih dari itu, yaitu “belajar dari mereka”24. 1.9.2. Etnografi Komunikasi Fokus utama kajian etnografi komunikasi adalah perilaku-perilaku komunikatif suatu masyarakat, yang pada kenyataannya banyak dipengaruhi oleh aspek-aspek sosiokultural25. Oleh karenanya, peneliti akan mencari dan mengetahui bagaimana bentuk komunikasi atau proses komunikasi itu bekerja pada suatu masyarakat pesantren dalam konteks terapi penyembuhan narkoba. Littlejohn yang dikutip oleh Mudjiyanto (2002: 83-83) mengungkapkan empat asumsi etnografi komunikasi, pertama, para anggota budaya akan menciptakan makna yang digunakan bersama. Kiai dan santri pecandu narkoba menggunakan kode-kode yang memiliki derajat pemahaman yang sama. Kedua, para komunikator dalam sebuah komunitas budaya harus mengkordinasikan tindakan-tindakannya. Oleh karena itu antara kiai dan 24 Sejalan dengan pendapat Spradley. 2007. Metode Etnografi . Yogyakarta: Tiara Wacana hal. 4 Kuswarno, Engkus. 2008. Etnografi Komunikasi: Pengantar dan Contoh Penelitiannya. Widya Padjadjaran hal. 36 25 34 santri pecandu narkoba itu terdapat aturan atau sistem dalam mereka berkomunikasi. Ketiga, makna dan tindakan bersifat spesifik dalam sebuah komunitas, sehingga proses komunikasi antara kiai dan santri pecandu narkoba di Al Qodir akan memiliki perbedaan dalam hal makna dan tindakan tersebut di tempat yang lain. Keempat, selain memiliki kekhususan dalam hal makna dan tindakan, antara kiai dan santri pecandu narkoba juga memiliki kekhususan dalam hal cara memahami kode-kode makna dan tindakan26. Sedang menurut Seville-Troike bahwasannya fokus kajian etnografi komunikasi adalah masyarakat tutur (speech community), yang di dalamnya mencakup27: a. Cara-cara bagaimana komunikasi itu dipola dan diorganisasikan sebagai sebuah sistem dari peristiwa komunikasi. Proses komunikasi antara kiai dan santrinya tentunya memiliki pola. Kemudian secara bertahap membentuk sistem komunikasi yang dibangun dari peristiwa-peristiwa komunikasi di antara keduanya dalam konteks terapi penyembuhan. b. Cara-cara bagaimana pola komunikasi itu hidup dalam interaksi dengan komponen sistem kebudayaan lain. Komunikasi dalam proses terapi penyembuhan tersebut tentunya secara tidak langsung juga berhubungan dan berkesinambungan dengan pihak yang lain, tidak hanya kiai dan santri pecandu narkoba. Setelah fokus tersebut ditemukan adalah penerapan tahapan-tahapan penelitiannya. Pada dasarnya, etnografi komunikasi juga diawali dengan penyelidikan untuk mengidentifikasi perilaku-perilaku komunikasi yang khas dan kemudian menjelaskan pola-pola komunikasi yang terjadi dalam konteks tertentu. Adapun yang dimaksud dengan tahapan atau langkah-langkah etnografi komunikasi dalam penelitian ini adalah seperti berikut: 1. Mengidentifikasi peristiwa-peristiwa komunikasi yang terjadi secara berulang (recurrent events) antara kiai dan santri pecandu narkoba. 26 27 http://mangozie.net/?p=140 diakses pada tanggal 10 Mei 2013 Engkus, Op. Cit. hal. 15 35 2. Menginventarisir komponen komunikasi yang membangun peristiwa komunikasi di antara keduanya yang berulang tersebut. 3. Menemukan hubungan antar komponen komunikasi yang membangun peristiwa komunikasi antara kiai dan santrinya, yang lebih dikenal kemudian sebagai pemolaan komunikasi (commnication patterning)28. Istilah-istilah di atas, di dalam etnografi komunikasi, memiliki definisi atau pengertian sendiri-sendiri sebagai berikut: a. Recurent event adalah peristiwa-peristiwa komunikasi yang signifikan dan menjadi ciri khas dari perilaku komunikasi suatu kelompok masyarakat, dalam hal ini masyarakat pesantren yang direpresentasikan kiai dan santri pecandu narkoba. b. Peristiwa komunikasi adalah keseluruhan perangkat komponen yang utuh, yang dimulai dengan tujuan utama komunikasi, topik umum yang sama, dan melibatkan partisipan yang secara umum menggunakan varietas bahasa yang sama, mempertahankan tone yang sama, dan kaidah-kaidah yang sama, dan dalam setting yang sama. c. Komponen komunikasi dalam etnografi komunikasi adalah unit-unit komunikasi yang menunjang terjadinya satu peristiwa komunikasi. d. Hubungan antar komponen yang dimaksud adalah bagaimana setiap komponen komunikasi saling bekerja sama untuk menciptakan perilaku komunikasi yang khas dari kelompok masyarakat tersebut 29. Setelah semua data tersebut terkumpul, barulah akan diketahui mengenai hubungan atau relasi antara komponen-komponen komunikasi yang terjadi antara kiai dan santri pecandu narkoba. Komponen-komponen tersebut hanya terbatas pada suatu peristiwa komunikasi dalam konteks terapi penyembuhan narkoba di antara keduanya. 1.9.3. Batasan Penelitian Sejak awal penelitian ini dilakukan untuk penyusunan skripsi, maka ketentuan waktu yang dibutuhkan juga terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini 28 29 Ibid. hal. 37 Ibid. hal. 37-38 36 akan berlangsung selama kurang lebih satu bulan. Adapun aspek yang diteliti mencakup proses komunikasi interpersonal antara kiai dan santri pecandu narkoba selama menjalani proses terapi penyembuhan di Pesantren Al Qodir. Etnografi komunikasi yang dilakukan terhadap kiai dan santri pecandu narkoba tersebut hanya mengenai perilaku komunikasi interpersonal yang tampak dan mudah untuk diamati pada waktu proses terapi penyembuhan. 1.9.4. Objek Penelitian Masyarakat tutur pesantren di Pesantren Al Qodir, Cangkringan, Sleman. Yaitu kiai dan santri pecandu narkoba yang melakukan aktivitas komunikasi interpersonal dalam konteks terapi penyembuhan narkoba di pesantren tersebut. Sedang aktivitas komunikasi interpersonal yang terjadi bisa berada di dalam atau di luar pesantren. Selama hal itu berkaitan dengan terapi penyembuhan, maka tetap masuk dalam kategori aktivitas komunikasi interpersonal yang dimaksud. Kemudian hal-hal yang menjadi peristiwa komunikasi interpersonal antara kiai dan santri pecandu narkoba antara lain: 1. Pada waktu terapi penyembuhan berlangsung. Misalnya saat kiai memberi wejangan kepada santri pecandu narkoba atau saat santri tersebut sowan kepada kiai. 1.9.5. Teknik Pengambilan Data Dalam proses pengambilan data langkah-langkah yang dilakukan yaitu penyusunan, penjelasan, dan kemudian penganalisisan. Langkah ini dilakukan agar data yang ada tidak hanya sekedar mendeskripsikan fakta-fakta di lapangan. Berger (2000:165) menyatakan, “setting, participants, nature, and purpose of group, behavior of people in the group, frequencies and durations of behavior, record what you see”30. Sejalan dengan pendapat Berger tersebut dalam penelitian ini teknik pengambilan datanya dengan cara observasi langsung dan wawancara mendalam (in dept interview). Sedangkan studi pustaka hanya untuk mendukung dan mengkombinasikan data-data yang sudah didapatkan. 30 Al Adawiyah, Robiah. 2010. Komunikasi Sosial Dalam Kelompok Sufiesme Masyarakat Kota. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisipol, UGM 37 Adapun teknik obeservasi yang akan dilakukan menggunakan observasi partisipan. Obeserver akan terlibat langsung dan ikut serta dalam kegiatankegiatan yang dilakukan subyek yang diamati (Sukandarrumudi, 2004:71). Peneliti dengan segala kemampuannya akan menjadi bagian dari mereka (kiai dan santri pecandu narkoba) dan sembari mengambil data-data yang dibutuhkan. Sedangkan teknik wawancara mendalam yang akan digunakan adalah wawancara bebas terpimpin, yaitu interviewer membawa kerangka pertanyaan (frame work of question) untuk disajikan (Sukandarrumudi: 2004:94) dan dalam proses interviewnya bersifat mengalir tetapi tetap dalam koridor frame work of question. Jenis wawancara ini digunakan untuk mendorong subjek penelitian untuk mendefinisikan dirinya sendiri dan lingkungannya, untuk menggunakan istilah-istilah mereka sendiri mengenai objek penelitian (Engkus, 2008:54). Boleh dikatakan, baik kiai atau santri diberi kebebasan oleh peneliti untuk merepresentasikan apa yang dirasakan selama proses terapi penyembuhan. Untuk penentuan kriteria informan dalam metode wawancara penelitian ini, maka kriteria yang digunakan seperti yang dipaparkan oleh Spradley dalam Burhan Bungin (2007) sebanyak empat kriteria : a. Subyek yang telah cukup lama dan intensif menyatu dengan kegiatan atau media aktifitas yang menjadi informasi serta menghayati keterlibatannya yang cukup lama dengan kegiatan tersebut. b. Subyek yang masih terlibat secara aktif pada lingkungan atau kegiatan yang menjadi perhatian peneliti. c. Subyek punya cukup banyak waktu untuk diwawancarai. d. Subyek yang memberikan informasi tidak cenderung mempersiapkannya terlebih dahulu31. Berdasarkan kriteria tersebut, maka peneliti menentukan atau subyek penelitaian ini sebanyak empat orang, yaitu: 1. Gus Masrur. Beliau merupakan kiai dan sekaligus pengasuh utama Pesantren Salafiyah Al Qodir. Dia lah yang bertanggung jawab atas semua 31 Robiah, Op. Cit. 38 proses terapi penyembuhan narkoba di pesantrennya. Satu persatu pecandu narkoba yang menjadi santrinya dibantu dan dibimbing ke jalan yang benar. 2. Kang Ibin. Sudah enam tahun dia “mondok” di Al Qodir. Mantan pecandu berat narkoba ini, sekarang sudah bisa dikatakan sembuh dan dipercaya menjadi Lurah Pondok. Salah satu tugasnya membantu Gus Masrur menangani santri pecandu narkoba yang sama dengan dirinya pada waktu dahulu. 3. Bang Adi. Asalnya dari Palembang. Di Al Qodir baru setahun. Meskipun baru setahun secara fisik, mantan penyalahguna narkoba ini bisa dibilang sudah sembuh. Hari-harinya di Al Qodir, selaing ngaji dia juga diamanahi urusan dapur dan menjadi “marbot” TK dan MI Al Qodir, 4. Bang Rijal. Aslinya dari Ibu Kota, Jakarta. Kurang lebih enam bulan dia menjadi “pasien” di Al Qodir. Uniknya, jika yang lain hanya sebatas “konsumen” narkoba, maka kelas dia adalah “produsen” alias bandar narkoba, Di Al Qodir untuk sementara waktu dia masih dalam proses adaptasi karena pesantren semacam ini bukanlah yang pertama bagi dirinya. 1.9.6. Teknik Analisis Data Di dalam etnografi komunikasi menemukan hubungan antara komponen komunikasi sudah merupakan analisis data yang utama, karena berdasarkan itulah pola komunikasi itu dibuat (Engkus, 2008:67). Pada dasarnya proses analisis data dalam penelitian ini akan berjalan bersamaan dengan saat pengumpulan data. Pada waktu peneliti melengkapi catatan lapangan setelah melakukan observasi, saat itulah ia telah melakukan analisis data yang sudah terkumpul. Sehingga ketika penelitian berjalan, peneliti bisa kembali lagi ke lapangan untuk mengumpulkan data, sekaligus melengkapi analisisnya yang dirasa masih kurang. Hal ini akan terus berulang sampai analisis dan data yang mendukung dirasa cukup (Engkus. 2008:67). Tahap analisis data pada dasarnya terdiri dari upaya-upaya meringkas data, memilih data, menerjemahkan data, dan mengorganisasikan data. 39 Dengan kata lain, upaya tersebut mengubah kumpulan data yang tidak terorganisir menjadi kumpulan kalimat singkat yang dapat dimengerti oleh orang lain. Upaya ini mencakup kedalaman pengamatan mengenai apa yang sebenarnya terjadi, menemukan regularitas, dan pola yang berlaku, dan mengambil kesimpulan yang dapat menggeneralisasikan fenomena yang diamati32. Sedang menurut Creswell, yang dipaparkan kembali oleh Engkus (2008:68), menyatakan bahwa teknik analisis data dalam metode etnografi terdiri dari tiga hal sebagai berikut: 1. Deskripsi Deskripsi menjadi bagian pertama bagi etnografer dalam menuliskan laporan etnografinya. Pada bagian ini peneliti mempresentasikan hasil penelitian proses komunikasi antara kiai dan santri pecandu narkoba dengan menggambarkan secara detail objek penelitiannya tersebut. Melalui pembuatan deskrispsi inilah peneliti mengemukakan latar belakang dari masalah yang diteliti. 2. Analisis Di bagian ini, peneliti mengemukakan beberapa data akurat mengenai objek penelitian terkait proses komunikasi antara kiai dan santri pecandu narkoba. Penggambaran tersebut melalui tabel, grafik, diagram, model yang menggambarkan proses komunikasi tersebut. Bentuk yang lain dari bagian ini adalah membandingkan objek yang diteliti dengan objek yang lain, mengevaluasi objek dengan nilai-nilai yang umum berlaku, membangun hubungan antara objek penelitian dengan lingkungan yang lebih besar. 3. Interpretasi Interpretasi menjadi bagian akhir analisis data dalam penelitian ini. Peneliti mengambil kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan. Pada bagian ini, peneliti menggunakan kata orang pertama dalam penjelasannya. Hal ini dilakukan untuk menegaskan bahwa apa yang dikemukakan adalah murni hasil interpretasinya. 32 Lihat Engkus (2008:68) yang mengutip dari O’Reilly, Karen. 2005. Etnographic Methods. Great Britain: TJ International Ltd. Padstow. Cornwall 40