NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA POLA PIKIR DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA MAHASISWA FAKULTAS KEGURUAN Oleh : Ajeng Prasetya Dewi Sonny Andrianto PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2006 NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA POLA PIKIR DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA MAHASISWA FAKULTAS KEGURUAN Telah Disetujui Pada Tanggal Dosen Pembimbing ( Sonny Andrianto S. Psi., M. Si ) HUBUNGAN ANTARA POLA PIKIR DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA MAHASISWA FAKULTAS KEGURUAN Ajeng Prasetya Dewi Sonny Andrianto INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara pola pikir dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa Fakultas Keguruan. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara pola pikir dengan kecemasan berbicara di depan umum. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Univeritas Muhammadiyah Purwokerto angkatan 2003 dengan jumlah subjek 125 orang. Skala yang digunakan adalah Skala Kecemasan Berbicara di Depan Umum yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan kesimpulan dari dua teori yang dikemukakan oleh Hudaniah dan Dayakisni (2003) dan Rogers (2004). Skala Pola pikir juga disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Rini (2002). Skala Pola Pikir lebih cenderung pada pola pikir negatif. Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS versi 12,0 for windows untuk menguji apakah terdapat hubungan antara pola pikir dengan kecemasan berbicara di depan umum. Korelasi Product moment dari Pearson menunjukkan bahwa nilai r = 0,649 dengan nilai p = 0,000 (p < 0,01), artinya ada hubungan yang sigifikan antara pola pikir dengan kecemasan berbicara di depan umum. Jadi hipotesis penelitian diterima. Kata Kunci : Kecemasan Berbicara di Depan Umum, Pola Pikir Pendahuluan Latar Belakang Masalah Sebagai seorang calon guru, Mahasiswa Fakultas Keguruan dituntut untuk mempunyai kemampuam mengungkapkan berbicara di depan umum, disamping keahlian pikirannya secara tertulis. Mengungkapkan pikiran secara lisan diperlukan kemampuan penguasaan bahasa yang baik supaya mudah dimengerti oleh orang lain dan pembawaan diri yang tepat. Pembawaan diri yang dimaksud adalah adanya kepercayaan diri, kemampuan dalam stabilitas emosi, sanggup menampilkan gagasan-gagasan secara lancar dan teratur, serta memperlihatkan suatu sikap gerakgerik yang tidak kaku. Sama halnya dengan mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadyah Purwokerto (FKIP UMP) yang terdiri dari tujuh jurusan, dituntut untuk mempunyai kemampuan berbicara didepan umum. Oleh sebab itu mahasiswa yang telah memasuki semester enam diwajibkan untuk mengambil mata kuliah microteaching (mengajar dalam lingkup kecil) dan seminar. Selain itu, setiap jurusan mempunyai mata kuliah dengan nama yang berbeda-beda, tetapi pada intinya mata kuliah tersebut melatih kemampuan mahasiswa berbicara di depan umum. Tujuh mahasiswa angkatan 2003 FKIP UMP yang mewakili masing-masing jurusan diwawancarai oleh peneliti, dari tanggal 20-22 Maret 2006. Seorang mahasiswa dari jurusan Matematika yang merupakan ketua dari Dewan Mahasiswa FKIP UMP mengaku dirinya tidak begitu canggung ketika sedang berbicara di depan umum. Selain karena dirinya sudah terbiasa berbicara di depan umum juga karena dirinya selalu memikirkan hal-hal yang menyenangkan dari setiap aktivitasnya. Enam mahasiswa mengaku bahwa mereka sering mengalami kecemasan ketika membawakan presentasi di depan kelas. Adanya perasaan takut dan khawatir berbuat banyak kesalahan serta tidak dapat menjawab pertanyaan yang diajukan temantemannya. Tujuh mahasiswa ini juga menilai bahwa hampir seluruh teman satu kelasnya mengalami hal yang serupa, perasan cemas tersebut sangat terlihat ketika setiap mahasiswa mendapat gilirannya untuk berbicara di depan kelas. Hanya beberapa orang saja yang terlihat santai ketika berbicara di depan kelas. Perasaan cemas atau grogi saat mulai berbicara di depan umum adalah hal yang hampir pasti dialami oleh semua orang. Bahkan seseorang yang telah berpengalaman berbicara di depan umum pun tidak terlepas dari perasaaan ini. Menurut Osborne (2004) perasaan cemas ini muncul karena takut secara fisik terhadap pendengar, yaitu takut ditertawakan orang, takut bahwa dirinya akan menjadi tontonan orang, takut bahwa apa yang akan dikemukakan mungkin tidak pantas untuk dikemukakan, dan rasa takut bahwa mungkin dirinya akan membosankan. Rini (2002) mengatakan bahwa perasaan ini muncul karena melemahnya rasa percaya diri sehingga dalam pikiran seseorang muncul pikiran-pikiran negatif mengenai dirinya. Ada juga anjuran supaya seseorang harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya sebelum berbicara di depan umum, tetapi perasaan cemas ini tetap ada. Keinginan untuk bersikap sebaik-baiknya mendorong munculnya perasaan cemas. Secara negatif, pikiran seseorang biasanya terbebani oleh ketakutan untuk membuat kesalahan dan kekhawatiran akan gagal, kecemasan jika melakukan kekonyolan dan berbagai bayangan-bayangan negatif lainnya (http://tao.infoproduk.com/index.php?p=97#more-97). Individu yang pemalu dan cemas secara sosial cenderung untuk menarik diri dan tidak efektif dalam interaksi sosial, ini dimungkinkan karena individu tersebut mempersepsi akan adanya reaksi negatif. Kecemasan merupakan suatu kekurangan dalam hubungan sosial, karena individu yang gugup (nervous) dan terhambat mungkin menjadi kurang efektif secara sosial, misalnya ketika individu mengalami nervous, individu tersebut mungkin menunjukkan indikasi-indikasi seperti gemetar, gelisah, menghindari orang lain, tidak lancar berbicara dan kesulitan konsentrasi (Dayakisi & Hudaniah, 2003). Kecemasan yang terjadi pada diri individu akan membuat individu tersebut merasa rendah diri, meremehkan diri sendiri, menganggap dirinya tidak menarik dan menganggap dirinya tidak menyenangkan untuk orang lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu yang cenderung mengalami kecemasan ditandai dengan ketegangan otot dan adanya tingkat kewaspadaan yang sangat tinggi. Kemudian, individu tersebut akan menolak untuk bersosialisasi dengan orang lain, keadaan individu akan membaik ketika ketegangannya berkurang (Teichman, 1974). Semakin banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pikiran seseorang sangat menentukan apa yang dapat dicapainya dalam kehidupan ini. Mapes (2003) menyatakan bahwa setiap orang memiliki pola-pola pikiran tertentu dan secara sadar atau tidak sadar mereka berusaha berperilaku untuk mewujudkan apa yang ada dalam pikirannya itu. Pikiran yang kerdil akan membuat seseorang menjadi kerdil. Seseorang yang sering mengalami musibah kebanyakan berpola pikir takut musibah, selalu cemas atau selalu memikirkan kecelakaan. Sebaliknya, orang yang selalu bergembira memang berpola pikir gembira, mampu melihat kebaikan dalam setiap peristiwa, tidak ada kecenderungan menyakiti diri sendiri dan orang lain. Rahayu, dkk (2004) memaparkan hasil penelitiannya, bahwa semakin seseorang berpola pikir positif maka semakin rendah kecemasan berbicara di depan umum, sebaliknya semakin seseorang berpola pikir negatif maka akan semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum. Hal ini dapat disebabkan karena individu membangun pesan-pesan yang negatif dan memperkirakan hal-hal yang negatif sebagai hasil keikutsertaannya dalam interaksi komunikasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinniah, dkk (2003) juga menunjukkan bahwa takut pada evaluasi negatif secara tidak langsung dapat mempengaruhi kesehatan mental melalui menghindari hubungan sosial dan distress. Artinya, ketika seseorang dikritik mengenai hal-hal negatif yang dilakukannya maka cenderung menyebabkan individu tersebut mengalami distress dan menghindari hubungan sosial, kemudian akan mempengaruhi kesehatan mentalnya. Sebagian besar, kecemasan berbicara di depan umum disebabkan karena individu membangun perasaan negatif dan memperkirakan hasil-hasilnya yang negatif sebagai hasil keterlibatannya dalam interaksi komunikasi, takut akan kesalahan-kesalahan yang dilakukannya, kemudian orang lain akan menertawakan dan memberikan sindiransindiran pedasnya. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Olfson, dkk (2000), dijelaskan bahwa kecemasan dalam interaksi sosial lebih sering dikarenakan adanya pikiran-pikiran negatif dalam diri individu. Individu merasa orang lain tidak dapat menerima dirinya karena perbedaan-perbedaan yang dimilikinya, seperti perbedaan status sosial, status ekonomi dan tingkat pendidikan. Tinjauan Pustaka Pengertian Kecemasan Berbicara di Depan Umum Daradjat (1969) menjelaskan kecemasan sebagai manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Ada beberapa jenis rasa cemas, yaitu cemas akibat mengetahui ada bahaya yang mengancam dirinya, rasa cemas berupa penyakit yang dapat mempengaruhi keseluruhan diri pribadi. Selanjutnya, rasa cemas karena perasaan berdosa atau bersalahyang nantinya dapat menyertai gangguan jiwa. Sedangkan Chaplin (2000) berpendapat bahwa kecemasan merupakan perasaan campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai rasarasa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Sementara itu, kecemasan menurut Lazarus (1976) mempunyai dua arti, yaitu: a. Kecemasan sebagai respon digambarkan sebagai suatu pengalaman yang dirasakan tidak menyenangakan serta diikuti dengan suasana gelisah, bingung, khawatir dan takut. Bentuk kecemasan ini dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. State anxiety, merupakan gejala kecemasan yang sifatnya tidak menetap pada diri individu dihadapkan pada situasi tertentu, gejala ini akan tampak selama situasi tersebut masih ada. 2. Trait anxiety, kecemasan yang tidak tampak langsung dalam tingkah laku tetapi dapat dilihat frekuensi dan intensitas keadaan kecemasan individu sepanjang waktu, merupakan kecemasan yang sifatnya menetap pada diri individu dan timbul dari pengalaman yang tidak menyenangkan pada awal kehidupan. Kecemasan tersebut berhubungan dengan kepribadian individu yang merupakan disposisi pada individu untuk menjadi cemas. b. Kecemasan sebagai intervening variable disini lebih mempunyai arti sebagai motivating solution, artinya situasi kecemasan tersebut dapat mendorong individu agar dapat mengatasi masalah. Nevid, dkk (1997) menganggap kecemasan sebagai suatu keadaan takut atau perasaan tidak enak yang disebabkan oleh banyak hal seperti kesehatan individu, hubungan sosial, ketika hendak menjalankan ujian sekolah, masalah pekerjaan, hubungan internal dan lingkungan sekitar. Kemudian, menurut Hudaniah dan Dayakisni (2003) pada umumnya kecemasan berwujud ketakutan kognitif, keterbangkitan syaraf fisiologis dan suatu pengalaman subjektif dari ketegangan atau kegugupan. Beberapa individu juga mengalami perasaan tidak nyaman dengan keehadiran orang lain, biasanya disertai dengan perasaan malu yang ditandai dengan kekakuan, hambatan dan kecenderungan untuk menghindari interaksi sosial. Keadaan individu yang seperti ini dianggap mengalami kecemasan sosial. Burgoon dan Ruffner (1978) menjelaskan hambatan komunikasi (Communication Apprehension) sebagai suatu reaksi negatif dari individu berupa kecemasan yang dialami individu ketika berkomunikasi, baik komunikasi antar pribadi, komunikasi di depan umum maupun komunikasi masa. Penelitian kali ini yang akan ditekankan adalah pada kecemasan berbicara di depan umum. Batasan antara communication apprehension dengan kecemasan berbicara di depan umum adalah bahwa individu dengan communication apprehension yang tinggi akan mengalami kecemasan ketika menghadapi berbagai macam konteks komunikasi. Individu yang mengalami kecemasan berbicara di depan umum tidak mengalami kecemasan pada situasi komunikasi biasa. Individu biasanya menjadi cemas sehubungan dengan situasi berbicara di depan umum. Kecemasan berbicara di depan umum termasuk dalam bentuk komunikasi kelompok besar, generally anxious in variety of communication contexts. Kecemasan berbicara di depan umum biasa disebut dengan istilah “Stage Fright”, yaitu keadaan takut atau cemas pada saat membayangkan atau situasi nyata berbicara di depan umum. Penekanannya adalah bahwa fenomena kecemasan berbicara di depan umum berpusat pada pembicara. Individu yang mengalami kecemasan akan merasakan adanya perubahan psikis dan psikologis. Perubahan psikis yang dialami individu yang cemas ditandai dengan perasaan tegang, khawatir dan takut. Perubahan fisiologis yang terjadi misalnya denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah meningkat. Selanjutnya McCroskey (1984) menyebutkan ada empat jenis Communication Apprehension (CA), yaitu CA as a trait, CA in gereralized context, CA with generalized people, CA as a state. Kecemasan berbicara di depan umum termasuk dalam jenis CA in generalized context. Beberapa individu mengalami kecemasan hanya pada kondisis tertentu, maksudnya ada tipe general dari setting/kondisi komunikasi yang menimbulkan kecemasan, yaitu komunikator. Penekanannya adalah bahwa fenomena kecemasan berbicara di depan umum berpusat pada pembicara. Konteks yang paling banyak ditemui adalah berbicara di depan umum (Public Speaking), misalnya memberikan pidato, presentasi di depan kelas, pada saat pertemuan atau meeting. Individu akan mengalami kecemasan ketika mulai membayangkan sampai berlangsungnya pengalaman berbicara di depan umum. Sejalan dengan itu, Beaty (Opt & Loffredo, 2000) juga menyebut kecemasan berbicara di depan umum dengan istilah “communication apprehension”. Beaty menjelaskan bahwa kecemasan berbicara di depan umum merupakan bentuk dari perasaan takut atau cemas secara nyata ketika berbicara di depan orang-orang sebagai hasil dari proses belajar sosial. Ada perbedaan antara berbicara di depan umum dengan pembicaraan biasa, pada konteks pembicaraan biasa individu merasa aman untuk menyampaikan pikiranpikirannya. Bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan biasa adalah adanya proses memberi dan menerima, proses komunikasi dua arah (dialog). Berbeda dengan berbicara di depan umum, begitu individu mulai berbicara di depan umum, secara otomatis individu teersebut menjadi pemimpin dan memegang kendali penuh dari banyak orang. Proses komunikasi berubah menjadi satu arah (monolog). Individu yang takut berbicara di depan umum biasanya akan menghindarinya, kemudian akan berlanjut berubah menjadi fobia nyata. Ketakutan dan kecemasan berbicara di depan umum ditandai dengan perasaan gelisah dan perasaan tertekan (Rogers, 2004). Jadi, dapat disimpulkan bahwa kecemasan berbicara di depan umum adalah suatu keadaaan tidak nyaman yang sifatnya tidak menetap pada diri individu, pada situasi berbicara di depan orang banyak. Hal ini akan ditandai dengan reaksi fisik dan psikologis. Komponen-komponen dalam penyusunan skala ini merupakan kesimpulan dari dua teori yang dikemukakan oleh Hudaniah dan Dayakisni (2003) dan Rogers (2004), yaitu: aspek fisik, aspek kognitif, aspek perilaku dan aspek emosional. Semakin tinggi nilai pada skala ini, maka semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum. Semakin rendah nilai yang diperoleh dari skala ini, maka semakin rendah kecemasan berbicara di depan umum. Pengertian Pola Pikir Berpikir merupakan aktivitas mental, yang berbentuk pemrosesan informasi secara kognitif dengan memanfaatkan persepsi, konsep-konsep, symbol-simbol dan gambar (Bruno, 1989). Menurut Bono (1990), berpikir merupakan eksplorasi pengalaman yang dilakukan secara sadar dalam mencapai suatu tujuan. Sedangkan pola pikir mempunyai pengertian kecenderungan manusiawi yang dinamis, sehingga dapat berpengaruh terhadap kehidupan. Pola pikir seseorang dapat membantu dalam menyelesaikan masalahnya, dapat pula merugikannya (Williams, 2004). Pola pikir yang dimaksud terbagi menjadi dua macam : 1) Pola pikir positif, yaitu kecenderungan individu untuk memandang segala sesuatu dari segi positifnya dan selalu berpikir optimis terhadap lingkungan serta dirinya sendiri. Pola pikir inilah yang dapat membantu individu dalam mngatasi masalahnya. 2) Pola pikir negatif, yaitu kecendurngan individu untuk memandang segala sesuatu dari sisi negatif. Individu dengan pola pikir negaitif selalu menilai bahwa dirinya tidak mampu, terus menerus mengingat hal-hal yang menakutkan. Pola pikir negatif lebih memberikan dampak yang merugikan bagi kehidupan individu. Pola pikir yang dimaksud dalam penelitian ini tidak sama dengan self image. Batasannya, self image lebih pada gambaran diri individu yang diinginkan atau yang ingin dicapai (Wulyo, 1990). Individu dengan pola pikir tertentu bukan karena menginginkan sesuatu tapi lebih dikarenakan pengaruh keyakinan dirinya yang berhubungan dengan pengalaman sebelumnya. Misalnya, individu yang memakai pola pikir negatif dengan perasaan pesimisnya akan terus menerus mengingat sesuatu yang menakutkan berhubungan dengan pengalamannya maupun pengalaman orang lain. Akibatnya, rasa takut menjadi lebih besar dan individu tersebut meyakini bahwa apa yang ditakutkan dan dipikirkan aka akan menjadi kenyataan (Mapes, 2003). Menurut Rini (2002), pola pikir sangat berhubungan erat dengan kepercayaan diri. Individu dengan rasa percaya diri yang lemah, cenderung mempersepsi segala sesuatu dari sisi negatif. Individu tersebut tidak menyadari bahwa dari dalam dirinya lah semua negativisme itu berasal. Sedangkan individu dengan percaya diri yang tinggi, cenderung mempersepsi segala sesuatu dari sisi positifnya. Sikap positif individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya. Albrecht (Rahayu dkk, 2004) memandang individu yang berpikir positif akan mengarahkan pikiran-pikirannya pada hal-hal yang positif, individu tersebut akan bersikap positif dalam menghadapi permasalahan. Lebih berbicara tentang kesuksesan daripada kegagalan, cinta kasih daripada kebencian, kebahagiaan daripada kesedihan, keyakinan daripada ketakutan, kepuasan daripada kekecewaan. Selanjutnya, Norem (2002) menyebut pola pikir negatif sama dengan berpikir negatif (Negative Thingking). Negative thingking merupakan manifestasi dari perasaan takut pada masa yang akan datang karena individu tersebut merasa tidak mempunyai teknik problem solving yang tepat dalam menyelesaikan permasalahannya. Berdasarkan teori diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud pola pikir adalah kecenderungan individu yang dipengaruhi oleh keyakinan diri dalam memandang segala sesuatu. Kemudian, pola pikir ini akan berpengaruh terhadap kehidupannya. Pola pikir yang diteliti lebih cenderung pada pola pikir negatif, sehingga yang digunakan merupakan komponen pola pikir negatif yang dikemukakan oleh Rini (2004). Komponen-komponen tersebut adalah keharusan pada diri sendiri, berpikir totalitas dan dualisme, pesimistik yang futuristik, tidak kritis dan selektif terhadap self-criticism, labeling, sulit menerima pendapat, dan mengecilkan arti keberhasilan diri. Semakin tinggi nilai yang didapatkan dari skala ini, maka semakin tinggi pola pikir negatifnya. Semakin rendah nilai yang diperoleh, maka semakin rendah pula pola pikir negatifnya. Keterkaitan Pola Pikir dengan Kecemasan Berbicara di depan Umum Kemampuan berbicara di depan umum hampir selalu dibutuhkan dalam setiap jenis profesi. Ketidakmampuan untuk bicara di depan umum dapat menghambat pekerjaan dan menghancurkan kesempatan seseorang untuk menunjukkan kelebihan dan keahliannya. Ketidakmampuan ini lebih sering dikarenakan adanya kecemasan dalam diri individu tersebut (Rogers, 2004). Perasaan cemas merupakan naluri yang tidak dapat dihilangkan dengan cara apapun dan setiap manusia pasti pernah mengalami kecemasan (Freud dalam Hall & Calvin, 2000). Ketika perasaan cemas berbicara di depan umum tidak dikelola dengan baik, maka topik yang dibicarakan menjadi kurang efektif (Opt & Loffredo, 2000). Sebagian besar perasaan cemas muncul bukan disebabkan oleh kompetensi individu, tetapi lebih sering disebabkan oleh pola pikir yang keliru (Rahayu, dkk, 2004). Individu dengan pola pikir negatif, akan selalu memikirkan segala hal buruk yang akan terjadi padanya. Pemikiran seperti ini akan membuat individu merasa tertekan dan tidak nyaman (Norem, 2001). Akibatnya, individu tersebut mengalami reaksi fisik dengan cepat, seperti peningkatan detak jantung, gemetar pada bagian tangan dan kaki, keringat yang keluar terus-menerus (Nevid, 1997). Kemudian akan menghindari rasa malu dan melindungi diri dari ancaman ini. Berbeda dengan individu yang berpola pikir positif, memandang sesuatu dari sisi positifnya. Meskipun mengalami ketegangan tetapi ketegangan ini menjadikannya segera bertindak untuk mencari solusinya (Rothciid, 1997). Seperti pernyataan Peale (1996), individu yang berpikir positif akan memandang segala persoalan yang muncul dari sudut pandang yang positif. Individu akan menanggapi dan mengatasi persoalannya secara lebih optimis. Pikiran yang negatif akan berdampak negatif, sebaliknya pikiran yang positif akan berdampak positif. Hipotesis Ada hubungan antara pola pikir dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa FKIP UMP. Metode Penelitian Identifikasi Variabel Penelitian Variabel tergantung : Kecemasan berbicara di depan umum Variabel bebas : Pola pikir Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadyah Purwokerto (FKIP UMP) angkatan 2003, jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Metode Pengumpulan Data Pengambilan data pada penelitian ini menggunakan metode skala, yaitu metode penyelidikan dengan menggunakan suatu pernyataan yang harus dijawab atau dikerjakan oleh individu yang menjadi subjek penelitian. Penelitian ini menggunakan dua macam skala yang disusun sendiri oleh peneliti, yaitu 1. Skala Kecemasan Berbicara di Depan Umum yang disusun berdasarkan kesimpulan dari dua teori yang dikemukakan oleh Hudaniah dan Dayakisni (2003) dan Rogers (2004). 2. Skala Pola Pikir disusun berdasarkan teori yang dinyatakan oleh Rini (2002). Metode Analisis Data Berdasarkan hipotesis yang telah diajukan dalam penelitian ini, maka metode analisis data yang digunakan adalah teknik korelasi product moment dari Pearson. Perhitungan analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS 12,0 for Windows. Hasil Penelitian Deskripsi Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa angkatan 2003 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhhamadiyah Purwokerto. Mahasiswa angkatan 2003 paling tidak sedang mengambil mata kuliah yang membutuhkan ketrampilan berbicara di depan umum. Subjek untuk penelitian ini tidak ada batasan umur. Tidak semua mahasiswa angkatan 2003 merupakan lulusan SMA/yang sejajar tahun 2003, tetapi ada juga yang sebenarnya lulus SMA/yang sejajar jauh sebelum tahun 2003. Uji Hipotesis Uji hipotesis dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pola pikir dengan kecemasan berbicara di depan umum. Uji hipotesis dilakukan menggunakan SPSS 12.0 for windows dengan menggunakan korelasi dari Pearson. Hasil analisis data menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,649 dengan p = 0,000 ( p < 0,01 ), sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan anara pola pikir dengan kecemasan berbicara di depan umum dapat diterima. Hasil uji korelasi tersebut menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kedua variabel. Pembahasan Hasil analisis data dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara pola pikir dengan kecemasan berbicara di depan umum. Skala Pola Pikir yang digunakan dalam penelitian ini lebih cenderung pada pola pikir negatif. Hasil uji korelasi menyatakan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara pola pikir negatif dengan kecemasan berbicara di depan umum. Individu dengan pola pikir negatif yang tinggi akan mengalami kecemasan berbicara di depan umum yang tinggi. Individu dengan pola pikir negatif yang rendah akan mengalami kecemasan berbicara di depan umum yang rendah pula. Hal senada juga dikemukakan oleh Rahayu (2004), bahwa pada umumnya kecemasan berbicara di depan umum lebih sering disebabkan oleh pikiran individu tersebut yang negatif dan tidak rasional. Munculnya perasaan-perasaan negatif dan ramalan hasil yang negatif. Individu membayangkan sesuatu yang negatif akan terjadi, sebagai keterlibatannya dalam situasi berbicara di depan umum. Individu yang berbicara di depan umum seringkali menjadi rentan, bahkan terancam, karena pola pikir negatif yang ada dalam diri individu tersebut. Individu merasa bahwa dirinya sedang diadili oleh banyak orang. Perasaan akan adanya penilaian terhadap gerak-gerik, ucapan yang salah, menjadi individu yang sedang diamati secara cermat dan menjadi pusat perhatian. Ketika perasaan-perasaan seperti ini menguasai individu, maka akan muncul perasaan takut, sehingga menyebabkan individu tersebut menghindari kesempatan untuk berbicara di depan umum (Rogers, 2004). Hasil pengolahan kriteria kategorisasi pada tabel 10 menunjukkan bahwa dari 125 subjek dengan skor pola pikir 79,9 < X < 102,1, artinya mayoritas pola pikir subjek berada pada kategori sedang yaitu mencapai 69,6%. Kemudian, untuk skor kecemasan berbicara di depan umum yang tertulis dalam tabel 11 menunjukkan bahwa skor yang didapat 90,2 < X < 114,8, ini berarti mayoritas subjek berada pada tingkat kecemasan berbicara di depan umum yang sedang, yaitu mencapai 65,6%. Berdasarkan keterangan diatas dapat diketahui bahwa subjek mempunyai pola pikir yang cukup negatif, sehingga menyebabkan kecemasan berbicara di depan umum cukup tinggi. Hasil uji korelasi dari Pearson menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kedua variabel. Hal tersebut dapat dilihat dari kontribusi kecemasan berbicara di depan umum diketahui sebesar 42,1%, artinya bahwa pola pikir yang cenderung negatif memberikan sumbangan efektif sebesar 42,1% terhadap kecemasan berbicara di depan umum. Sisanya sebesar 57,9% adalah faktor lain yang juga berpengaruh, tetapi tidak mendapatkam perhatian dalam penelitian ini. Individu yang pemikir lebih sensitif terhadap segala sesuatu terhadap segala sesuatu yang dipikirkannya, dibandingkan dengan individu yang lebih menggunakan intuisinya (Williams & Bicknell-Behr dalam Opt dan Loffredo, 2000). Pola pikir negatif dapat merusak individu yang mengalaminya (Williams, 2004). Individu yang mengalami kecemasan berbicara di depan umum (Stage Fright) karena faktor pola pikirnya yang negatif akan merasa takut, sulit dan cemas ketika harus berkomunikasi di depan banyak orang (Public Setting). Pola pikir negatif ini cenderung karena adanya pengalaman tidak menyenangkan yang pernah dirasakan individu Hal ini menyebabkan komunikasi menjadi tidak efektif (Burgoon & Ruffner, 1978). Russel (2003) menyatakan bahwa pikiran dapat merangsang timbulnya respon-respon otomatis tertentu dari tubuh. Pikiran tentang sesuatu yang menakutkan akan menyebabkan individu selalu dalam kondisi cemas, kemudian akan mempengaruhi kehidupannya sehari-hari. Pikiran juga dapat mengajari tubuh untuk menyembuhkan sesuatu. Ketika individu optimis terhadap kemampuannya berbicara di depan umum, maka individu tersebut akan merasa nyaman dalam menyampaikan materi-materi yang hendak disampaikan. Penutup Kesimpulan Hasil analisis data yang telah dilakukan dengan menggunakan SPSS 12,0 for windows menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pola pikir dengan kecemasan berbicapan umum. Kemudian, dari hasil uji korelasi kedua variabel menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara pola pikir yang cenderung negatif dengan kecemasan berbicara di depan umum. Artinya, bahwa individu dengan pola pikir negatif yang tinggi akan mengalami kecemasan berbicara di depan umum yang tinggi. Sebaliknya, individu dengan pola pikir negatif yang rendah akan mengalami kecemasan berbicara di depan umum yang rendah pula. Sumbangan efektif yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebesar 42,1 %. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah disampaikan, perlu kiranya disampaikan beberapa saran yang ditujukan kepada subjek penelitian dan peneliti selanjutnya. 1. Saran Bagi Subjek Penelitian Setiap mahasiswa Fakultas Keguruan selalu dituntut untuk mempunyai ketrampilan berbicara di depan umum. Sebagai calon guru yang nantinya akan berbicara di depan muridnya, tidak hanya membutuhkan kelancaran dalam berbicara tetapi juga harus dapat menarik perhatian para murid-muridnya, sehingga proses belajar mengajar menjadi lebih efektif. Pola pikir yang cenderung negatif sering menyebabkan kecemasan berbicara di depan umum. Alangkah baiknya apabila pihak fakultas mengadakan pelatihan untuk mengubah pola pikir para mahasiswa dengan tujuan dapat mengurangi pola pikir negatif para mahasiswanya ketika hendak berbicara di depan umum. 2. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi para peneliti selanjutnya yang mungkin tertarik meneliti dengan topik yang sama, disarankan untuk menggunakan variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum. Misalnya harga diri, ketrampilan atau mungkin pengalaman berbicara di depan umum. Berdasarkan hasil penelitian ini, 57,9% merupakan faktor lain yang berpengaruh terhadap kecemasan berbicara di depan umum. Peneliti selanjutnya dapat menggunakan subjek yang berbeda dari penelitian ini, dengan pertimbangan sering terlibat dalam situasi berbicara di depan umum. Misalnya aktivis mahasiswa, Dosen, atau bahkan Kepala Desa. Peneliti menyarankan agar peneliti selanjutnya yang ingin menggunakan teori yang sama, sebelumnya diadaptasi terlebih dahulu oleh peneliti sesuai dengan kondisi yang ada. Lebih baik apabila teori yang digunakan adalah teori yang up to date dan bersifat ilmiah. Hendaknya penelitian didukung dengan perencanaan yang lebih baik dan lebih matang dengan mempertimbangkan waktu yang tepat untuk melaksanakan penelitian. Alasannya, masalah yang diteliti menyangkut masalah sosial dan psikologi dari subjek. DAFTAR PUSTAKA Bono, E . D. 1990. Mengajar Berfikir. Penerjemah, Soemardeo. Jakarta. Penerbit Erlangga Bruno, F. J. 1989. Kamus Istilah Kunci Psikologi. Yogyakarta: Kanisius Burgoon, M. and Ruffner, M. 1978. Human Communication. New York: Holt Rinehart and Winston Chaplin, J. P. 2002. Kamus Lengkap Psikologi. Penerjemah Kartini Kartono. Jakarta: Raja Grafindo Persada Darajdat, Z. 1969. Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung Dewi, R. 2005. Hubungan Antara Berfikir Positif dengan Stress pada Remaja. Naskah Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia General Enterpreneur Smart Work. Menangani Grogi Saat Memulai Presentasi. http://tao.infoproduk.com/indeks.php?p=97#moore-97 Hall & Callvin. 2000. Libido Kekuasaan Sigmun Freud. Penerjemah, S. Tasrif. Yogyakarta: Karawang Hudaniah & Dayakisni, T. 2003. Psikologi Sosial, Edisi Revisi. Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah Lazarus. 1976. Pattern Of Adjusment and Human Efectivenees. Kogakusha. Mc Graw Hill Book Compay Mapes, J. J. 2003. Quantum Leap Thinking, Pedoman Lengkap Cara Berpikir. Penerjemah: Basuki Heri Winarno. Surabaya: Ikon Teralitera McCroskey. 1984. The Communication Apprehension Perspective. Avaliable: www.as.wvu.edu/bpatters/isc3.htm(26Jan1998) Nawawi, H. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Nevid, J. S., Rathus, S. A. and Greene,B. 1997. “Abnormal Psychology in a Changing World “ Third Edition. Prentice–Hall, Inc Norem, J. K. 2002. Book Review, The Positive Power of Negative Thinking. Journal The Futorist, Vol. 36. Olfson, M., dkk. 2000. Barriers to the Treatment of Social Anxiety. Am J Psychiatry, 157:521-527. Opt, S. K. & Loffredo, D. A. 2000. Rethinking Communication Apprehension: A Myers-Briggs Perspective. The Journal Psychology, 134(5), 556-570. Osborne, J. W. 2004. Kiat Berbicara di Depan Umum Untuk Eksekutif Jalan Menuju Keberhasilan. Jakarta: Bumi Aksara Peale, N. V. 1996. Berpikir Positive. Jakarta: Bina Aksara Rupa Rahayu, I.T., Ardani, T.A. dan Sulistyaningsih. 2004. Hubungan Pola Pikir Positif Dengan Kecemasan Berbicara di Depan Umum. Jurnal Psikologi UNDIP, Vol. 1, No. 2, 131-134. Rini, J. F. 2002. Memupuk Rasa psikologi.com/dewasa/index.htm Percaya Diri. http://www.e- Rogers, N. 2004. Berani Bicara di Depan Publik, Edisi Revisi. Bandung: Penerbit Nuansa Rothcild, J.1997. Life: The Power of Positive Thinking. Journal Psychology Today, Vol: 30. Russel, B., et all. 2003. Mind Power, Menjelajah Kekuatan Pikiran. Penerjemah: D. Hamdi Ridlo. Bandung: Penerbit Nuansa Sinniah, S. D. , Teoh, Hsien-Jien and Shaharom, M. H. 2003. Does Social Evaluative Anxiety Affect A Person’s Mental Health?. Anima, Indonesian Psychological Journal, Vol. 18, No. 45, 319-325. Teichman, Y. 1974. Predisposition for Anxiety and Affiliation. Journal Of Personality and Social Psychology, Vol.29, N. 3, 405-410. Triana, Ridha. 2005. Hubungan Antara Citra Raga dengan Kecemasan Berbicara di Muka Umum. Naskah Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia Williams, D. 2004. Merubah Pola Pikir (Changing http://PuteraKembara.org/archives 3/00000024.shtml Wulyo. 1990. Kamus Istilah Psikologi. Lamongan: CV Bintang Pelajar Mindset).