BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tonsil 2.1.1 Anatomi Tonsil Tonsil bersama adenoid, tonsil lingual, pita lateral faring, tonsil tubaria dan sebaran jaringan folikel limfoid membentuk cincin jaringan limfoid yang dikenal dengan Cincin Waldeyer seperti disajikan pada Gambar 2.1. Cincin Waldeyer ini merupakan pertahanan terhadap infeksi yang berperan pada reaksi imun tubuh dan akan mengalami pembesaran lebih cepat pada usia anak-anak sebagai respon terhadap infeksi saluran nafas atas. Tonsil palatina sebagai sistem pertahanan tubuh terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas berupa virus, bakteri, dan antigen makanan. Tonsil dan adenoid merupakan bagian terpenting cincin Waldeyer. Adenoid akan mengalami regresi pada usia pubertas (Lowry dan Onart, 2003; Wiatrak dan Woolley, 2007). Gambar 2.1 Cincin Waldeyer tampak lateral (Jeyakumar, 2013) 6 7 Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terletak di fosa tonsil pada kedua sudut orofaring. Tonsil palatina atau tonsil fausial berjumlah sepasang yang masing-masing sebuah pada tiap sisi orofaring, berbentuk oval seperti buah kenari dengan panjang 2-5 cm. Tonsil dibatasi dari anterior oleh pilar anterior yang dibentuk muskulus palatoglosus, dan palatofaringeus sebagai pilar posterior, bagian medial oleh ruang orofaring, bagian lateral dibatasi oleh muskulus konstriktor faring superior, bagian superior oleh palatum mole, dan bagian inferior oleh tonsil lingual, seperti disajikan pada Gambar 2.2. Permukaan lateral tonsil diselubungi oleh kapsul fibrosa berwarna putih disebut fasia faringeal menutupi empat per lima bagian tonsil dengan jenis epitel skuamosa berlapis tidak berkeratin dan permukaan bebas tonsil ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam tonsil membentuk kantong, dikenal dengan kripte (Bluestone, 2006). Gambar 2.2 Tonsil pada pemeriksaan orofaring (Lowry dan Onart, 2003) Tonsil palatina mempunyai struktur dasar massa limfoid ditunjang oleh jaringan penyokong dan memiliki sistem kripte kompleks, hal ini mungkin menjelaskan tonsil palatina lebih sering terkena penyakit dibanding kompleks jaringan limfoid lainnya. Kripte pada tonsil ini berkisar antara 10-30 kripte 8 memanjang dari dalam tonsil sampai ke kapsul permukaan luar. Epitel kripte tonsil merupakan lapisan membran tipis bersifat semipermiabel, sehingga epitel ini berfungsi sebagai akses antigen baik dari pernafasan maupun pencernaan untuk masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan mengakibatkan kripte ikut tertarik sehingga semakin panjang. Inflamasi dan epitel kripte yang semakin longgar akibat peradangan kronis dan obstruksi kripte mengakibatkan debris dan antigen tertahan di dalam kripte tonsil (Brodsky dan Poje, 2006; Bluestone, 2006). Kripte merupakan sumber infeksi lokal maupun umum karena kripte yang berlekuk-lekuk menjadikannya mudah tersumbat oleh makanan, lepasnya mukus sel epitel, leukosit, bakteri dan tumbuhnya bakteri patogen. Permukaan kripte ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel permukaan medial tonsil. Tonsil mendapat suplai darah dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, melalui cabang-cabangnya, yaitu: arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatina asenden. Arteri tonsilaris merupakan pembuluh utama ke tonsil, berjalan ke atas pada bagian luar muskulus konstriktor superior, kemudian menyilang muskulus tersebut dan memberi cabang untuk tonsil dan palatum mole, seperti disajikan pada Gambar 2.3. Arteri palatina asenden juga memberikan percabangan melalui muskulus konstriktor faring posterior menuju tonsil. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden (arteri palatina posterior), mensuplai tonsil dan palatum mole dari sebelah atas membentuk anastomosis dengan arteri palatina asenden. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal, naik ke dasar lidah dan memberi cabang ke tonsil dan pilar palatina atau fausium. Arteri faringeal asenden 9 juga memberikan cabangnya ke tonsil berjalan keatas melalui bagian luar muskulus konstriktor faring superior. Sumber perdarahan daerah kutub bawah tonsil: bagian anterior yaitu arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirimkan cabangnya ke tonsil, plika anterior dan posterior, bagian posterior yaitu arteri palatina asenden, dan arteri tonsilaris. Sumber perdarahan daerah kutub atas tonsil, yaitu: arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Arteri meningeal minor memberikan lebih banyak cabang untuk tonsil, walaupun perannya tidak begitu penting. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. (Lawrence dan Jacobs, 2002; Lowry dan Onart, 2003; Brodsky dan Poje, 2006; Wiatrak dan Woolley, 2007; Eibling, 2008; Mogoanta, dkk., 2008; Rusmarjono dan Soepardi, 2008; Hafeez, dkk., 2009; Adams, 2010; Jeyakumar, dkk., 2013). Gambar 2.3 Suplai darah tonsil (Lowry dan Onart, 2003) Aliran getah bening dimulai dari meninggalkan trabekula fibrosis tonsil melalui kapsul ke muskulus konstriktor superior faring, disajikan pada Gambar 2.4. Beberapa trunkus dari sisi ini menembus fasia bukofaringealis dan memasuki rantai kelenjar profunda. Drainase limfetik tonsil mengalir menuju rangkaian 10 getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus, dimana akan mengalami peradangan dan nyeri saat infeksi. Aliran ini selanjutnya ke kelenjar toraks dan berakhir menuju duktus torasikus inferior dan kemudian memasuki sirkulasi umum. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferen. Persarafan atau inervasi tonsil bagian atas mendapat sensasi dari beberapa cabang nervus palatina serabut saraf kelima melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari nervus glossofaringeus (Wiatrak dan Woolley, 2007; Adams, 2010; Jeyakumar, dkk., 2013). Gambar 2.4 Kapsul tonsil (Wiatrak dan Woolley, 2007) Secara histologi gambaran mikroskopis tonsil memiliki tiga komponen, yaitu jaringan ikat, jaringan interfolikuler, dan jaringan germinativum. Jaringan ikat trabekula atau retikulum berfungsi sebagai penyokong tonsil. Trabekula merupakan perluasan kapsul tonsil ke parenkim tonsil yang mengandung pembuluh darah, saraf dan saluran limfetik eferen. Jaringan germinativum terletak di bagian tengah jaringan tonsil, sebagai sel induk kelompok leukosit pembentuk sel-sel limfoid muda. Jaringan interfolikuler terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai tingkat pertumbuhan (Lawrence dan Jacobs, 2002; Bluestone, 2006; Hafeez, dkk., 2009). 11 Pada tonsilitis kronis terjadi infiltrasi limfosit ke epitel permukaan tonsil. Peningkatan jumlah sel plasma di dalam subepitel maupun jaringan interfolikel. Hiperplasia dan pembentukan fibrosis dari jaringan ikat parenkim dan jaringan limfoid mengakibatkan terjadinya hipertrofi tonsil (Ugras dan Kutluhan, 2008). 2.1.2 Fisiologi dan Imunologi Tonsil Tonsil termasuk bagian Mucosal Associated Lymphoid Tissues (MALT), diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disentisisasi dan berperan dalam sistem kekebalan permukaan mukosa. Tonsil mempunyai dua fungsi utama, yaitu: menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan efektif serta tempat produksi antibodi. Sebagian besar terletak di sekitar kapiler intraepitel tonsil palatina (Health Technology Assessment, 2004; Ugras dan Kutluhan, 2008). Limfosit terbanyak tonsil adalah limfosit B berkisar antara 50-65% dan limfosit T berkisar 40% dari seluruh limfosit. Tonsil berfungsi mematangkan sel limfosit B menuju mukosa dan kelenjar sekretori di seluruh tubuh. Tonsil selalu menerima berbagai macam paparan antigen secara langsung (Wiatrak dan Woolley, 2007; Mogoanta, dkk., 2008; Scadding, 2009). Transpor antigen pada dasar dan dinding kripte tonsil terdapat sel-sel khusus micropore (M) dengan bentukan tubulovesikular. Bila tonsil dibelah dan dilihat dengan mikroskop akan ditemukan banyak bentukan sentrum germinativum tempat sel T dan sel B. Antigen dari luar, kontak dengan permukaan tonsil akan diikat dan dibawa sel mukosa (sel M), antigen presenting 12 cells (APCs), sel makrofag dan sel dendrit pada tonsil ke sel T helper (Th) di sentrum germinativum. Kemudian sel Th ini akan melepaskan mediator yang akan merangasang sel B. Sel B membentuk imunoglobulin (Ig)M pentamer diikuti oleh pembentukan IgG dan IgA. Sebagian sel B menjadi sel memori. IgG dan IgA secara pasif akan berdifusi ke lumen. Bila konsentrasi antigen tinggi akan menimbulkan respon proliferasi sel B pada sentrum germinativum sehingga tersensitisasi terhadap antigen, mengakibatkan terjadinya hiperplasia struktur seluler. Regulasi respon imun merupakan fungsi limfosit T yang akan mengontrol proliferasi sel dan pembentukan imunoglobulin (Scadding, 2009; Health Technology Assessment, 2004; Jeyakumar, 2013). Gambar 2.5 Bentukan molekul dimer IgA (Scadding, 2009) Mayoritas limfosit dari MALT mengeluarkan IgA yang diilustrasikan pada Gambar 2.5. IgA bergabung pada rantai J melewati sel epitel menuju permukaan mukosa, selama proses ini IgA dilapisi sekret untuk melindungi molekul dari pencernaan enzimatik. Sistem retikuloendotelial mengangkut dan menyerap Gabungan IgA sebagai kompleks imun. IgG dominan dihasilkan oleh tonsil palatina dengan 30-35% IgA, 1-3% IgD dan dapat juga ditemukan IgE. IgA dan 13 IgG disekresi langsung melalui celah antara sel-sel epitel dan meningkat bila terjadi peradangan (Scadding, 2009). Umur maksimal aktifitas tonsil 4-10 tahun. Tonsil mulai mengalami involusi pada saat pubertas. Pada tonsilitis yang berulang dan inflamasi epitel kripte retikuler terjadi perubahan epitel skuamosa berlapis, mengakibatkan rusaknya aktifitas sel imun dan menurunkan aktifitas lokal sistem sel B serta menurunkan produksi antibodi. Kepadatan sel B pada sentrum germinativum juga berkurang (Wiatrak dan Woolley, 2007). Terdapat peningkatan spesifik protein M, IgA, dan IgG pada pasien tonsilitis rekuren dibandingkan dengan tonsilitis kronis (hipertrofi tonsil). Penemuan ini menyimpulkan bahwa respon imun terhadap protein M berperan penting sebagai pencegahan kolonisasi bakteri pada tonsil (Eryaman, dkk., 2013). Sitokin pro inflamasi dan anti inflamasi berperan penting dalam sistem imunologi tonsil. Termasuk sitokin tipe Th1 (sitokin pro inflamasi), yaitu: interleukin (IL)-2, interferon-γ (IFN-γ), tumor necrosis factor α (TNF-α) dan sitokin tipe Th2 (sitokin anti inflamasi), yaitu: IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-13. Bonanomi, dkk. menunjukkan adanya peningkatan IL-6 pada 24 jam pertama kultur setelah paparan stres pada tonsil (Todorovic dan Zvrko, 2013). 2.2 Tonsilitis Kronis 2.2.1 Definisi Tonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsil palatina yang menetap lebih dari 3 bulan (Tom dan Ballenger, 2003). Tonsilitis kronis biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau 14 infeksi subklinis dari tonsil dan dapat mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil (Brodsky dan Poje, 2006). Organisme patogen dapat menetap sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan (Adams, 2010). Penyakit pada tonsil merupakan masalah yang sering ditemukan oleh dokter yang menangani pasien anak. Akibat infeksi dari tonsil dapat mengakibatkan kelainan pada tonsil, adenoid, daerah sekitarnya maupun secara sistemik (Brodsky dan Poje, 2006; Tom dan Ballenger, 2003). Anamnesis dan pemeriksaan fisik diagnostik diperlukan untuk menegakkan diagnosis penyakit ini. Ukuran tonsil di luar serangan terlihat membesar akibat hiperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripte tonsil disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai plika anterior, pembesaran kelenjar limfe, bertambahnya jumlah kripte pada tonsil dan apabila tonsil ditekan keluar detritus (Tom dan Ballenger, 2003; Brodsky dan Poje, 2006; Rusmarjono dan Hermani, 2008). Gambar 2.6 Pembesaran tonsil (Shah dan Tewfik, 2014). Brook dan Gober seperti dikutip oleh Hammouda, dkk. (2009) menjelaskan tonsilitis kronis adalah suatu kondisi yang merujuk kepada adanya pembesaran tonsil sebagai akibat infeksi tonsil yang berulang, seperti terlihat pada 15 Gambar 2.6. Brodsky (2007) menjelaskan durasi maupun beratnya keluhan nyeri tenggorok dan nyeri menelan sulit dijelaskan. Biasanya nyeri tenggorok dan nyeri menelan dirasakan lebih dari 4 minggu dan kadang dapat menetap. 2.2.2 Epidemiologi Secara epidemiologi tonsilitis kronis sering terjadi pada anak-anak usia 2-3 tahun dan sering meningkat pada usia 5-12 tahun. Tonsilitis paling sering terjadi di negara subtropis. Pada negara iklim dingin angka kejadian lebih tinggi dibandingkan dengan yang terjadi di negara tropis, infeksi Streptococcus terjadi di sepanjang tahun terutama pada waktu musim dingin (Rusmarjono dan Soepardi, 2008). Menurut penelitian Kisve, dkk. (2009) diperoleh data tonsilitis kronis terbanyak 294 penderita pada kelompok usia 5-12 tahun. Lebih kurang 10% anak di Amerika Serikat dilakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin setiap tahunnya, ditemukan tonsilofaringitis 25-50% positif dengan Streptococcus β hemoliticus grup A, dimana 20% asimtomatik sebagai karier dalam waktu yang lama. Insiden tertinggi ditemukan pada anak sekolah usia 4-7 tahun, jarang pada anak kurang dari 3 tahun. Pada penelitian yang dilakukan di RS. Serawak di Malaysia diperoleh 657 data penderita tonsilitis kronis, didapatkan pada laki-laki 342 (52%) dan perempuan 315 (48%) (Sing, 2007). Sebaliknya penelitian yang dilakukan di RS Pravara di India dari 203 penderita tonsilitis kronis, sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin laki-laki dan 105 (52%) berjenis kelamin perempuan (Awan, dkk., 2009). Pada penelitian Farokah (2007) mengenai hubungan tonsilitis kronis dengan prestasi belajar pada siswa kelas II sekolah dasar di kota Semarang 16 didapatkan prevalensi penderita tonsilitis kronis sebesar 50% dan dengan hasil penelitian terdapat hubungan bermakna antara tonsilitis kronis dan prestasi belajar siswa. Dari hasil penelitian kultur apusan tenggorok didapatkan gram positif sebagai penyebab tersering tonsilitis kronis yaitu Streptococcus α kemudian diikuti Staphilococcus aureus, Streptococcus β hemoliticus grup A, Staphilococcus epidermis dan kuman gram negatif berupa Enterobacter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan Escherchia coli. Pada tonsilitis kronis Streptococcus β hemoliticus grup A lebih banyak dijumpai pada bagian dalam tonsil daripada permukaan tonsil (Rusmarjono dan Soepardi, 2008). 2.2.3 Etiologi Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptenya secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhirup oleh hidung kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil, maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama makanan (Mawson, 2004; Farokah, 2007). Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna (Kvestad, 2005). Pada penderita tonsilitis kronis jenis kuman yang sering adalah Streptococcus β hemoliticus grup A. Selain itu terdapat Streptococcus viridian dan Streptococcus pyogenes, Streptococcus grup B dan C, Stafilococcus, Hemophilus influenza, Adenovirus, Epstein Barr, bahkan virus Herpes yang didapat ketika 17 dilakukan kultur apusan tenggorok , namun terkadang ditemukan bakteri golongan gram negatif (Brodsky dan Poje, 2006; Adams, 2010). Beberapa faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis ialah kebersihan gigi dan mulut yang buruk, rangsangan menahun atau iritasi kronis akibat rokok, beberapa jenis makanan (perilaku pola makan dan kebiasaan jajan pada anak), sistem imun tubuh yang rendah, alergi (iritasi kronis dari alergen), pengaruh cuaca, keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik). Tonsilitis kronis yang terjadi pada anak mungkin disebabkan oleh karena pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat, tidak diobati dengan tepat atau dibiarkan begitu saja (Brodsky dan Poje, 2006; Adams, 2010). 2.2.4 Patofisiologi Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripte tonsil mengakibatkan peningkatan statis debris maupun antigen di dalam kripte, juga terjadi penurunan integritas epitel kripte sehingga memudahkan bakteri masuk ke parenkim tonsil. Bakteri yang masuk ke dalam parenkim tonsil yang normal jarang ditemukan adanya bakteri pada kripte, namun pada tonsilitis kronis bisa ditemukan bakteri yang berlipat ganda. Bakteri yang menetap di dalam kripte tonsil menjadi sumber infeksi yang berulang terhadap tonsil sehingga pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman dan kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi fokal infeksi dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun (Brodsky dan Poje, 2006; Farokah, 2007). 18 Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripte tonsil, karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid digantikan oleh jaringan parut yang akan mengerut sehingga kripte akan melebar, ruang antara kelompok melebar yang akan diisi oleh detritus, yaitu: akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati, dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat berwarna kekuningan. Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak-anak proses ini disertai pembesaran kelenjar limfe submandibula (Brodsky dan Poje, 2006). 2.2.5 Diagnosis Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut yang berulang, adanya rasa sakit pada tenggorok yang terus-menerus (odinofagi), sakit waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di tenggorok bila menelan, terasa kering dan nafas bau busuk (halitosis), nafsu makan menurun, malaise, terkadang disertai panas badan tinggi (Brodsky dan Poje, 2006; Rusmarjono dan Hermani, 2008; Adams, 2010). Nyeri ketika tonsilitis meradang dapat menjalar ke sekitar leher dan telinga (Gotlieb, 2005). Dalam penelitian mengenai aspek epidemiologi faringitis didapatkan 63 penderita tonsilitis kronis sebanyak 41,3% diantaranya mengeluh nyeri tenggorok sebagai keluhan utama, 27% penderita tonsilitis kronis dengan halitosis akibat debris yang tertahan di dalam kripte tonsil yang kemudian dapat menjadi sumber infeksi berikutnya, dan gejala lainnya pembesaran tonsil dapat mengakibatkan 19 terjadinya obstruksi sehingga timbul gangguan menelan, sleep apneu dan gangguan suara (sengau) pada malam hari, (Brodsk, 2007; Dhingra, 2007; Shnayder, dkk., 2008; Hammouda, dkk., 2009). Pemeriksaan tonsil dilakukan dengan memeriksa rongga mulut yang hampir sehari-hari dikerjakan oleh setiap dokter, seperti disajikan pada Gambar 2.7. Pemeriksaan sederhana ini terkadang tidak mudah karena memerlukan kerjasama yang baik dengan penderita. Gambar 2.7 Pemeriksaan tonsil pada anak (Shah dan Tewfik, 2014) Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pembesaran tonsil dalam berbagai ukuran (hipertrofi tonsil), dengan pembuluh darah dilatasi pada permukaan tonsil, arsitektur kripte sebagian mengalami stenosis, eksudat (purulen) pada kripte tonsil dan sikatrik (jaringan parut) pada pilar. Pada beberapa kasus, kripte membesar dan detritus seperti keju atau dempul pada kripte yang tampak jika tonsil ditekan dengan spatula lidah pada pilar anterior. (Gotlieb, 2005; Brodsky dan Poje, 2006; Brodsky, 2007), Pilar anterior berwarna kemerahan bila dibanding dengan mukosa faring, merupakan tanda penting untuk menegakkan infeksi kronis pada tonsil (Dhingra, 2007). Kelenjar limfe leher dapat membesar tetapi tidak terdapat nyeri tekan (Herawati dan Rukmini, 2003). 20 Terdapat dua macam gambaran tonsil dari tonsilitis kronis yang mungkin tampak, yakni: tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan sekitar mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, terkadang seperti terpendam di dalam bed tonsil (Adams, 2010; Drake dan Carr, 2013). Standar pemeriksaan tonsil, diklasifikasikan berdasarkan rasio tonsil terhadap orofaring (dari medial ke lateral) yang diukur antara pilar anterior kanan dan kiri, dapat dilihat pada Gambar 2.8. Penilaian tersebut sebagai berikut: T0: tonsil terletak pada fosa tonsil atau tonsil sudah diangkat, T1: bila tonsil mengisi <25% orofaring, T2: 25% sampai <50%, T3: >50% sampai 75%, T4: >75% (Brodsky dan Poje, 2006). Gambar 2.8 Ukuran pembesaran tonsil (Brodsky dan Poje, 2006) Pembagian pembesaran tonsil lainnya, dapat dilihat pada Gambar 2.9, sebagai berikut (Adams, 2010; Jeyakumar, dkk., 2013): 1. T0: tonsil terletak pada fosa tonsil (tidak mengalami pembesaran) atau post tonsilektomi 2. T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ antara jarak pilar anterior-uvula atau tonsil masih terbatas dalam fosa tonsil 3. T2: batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar anterior-uvula atau sudah melewati pilar anterior tetapi belum melewati garis paramedian (pilar posterior) 21 4. T3: batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula atau sudah melewati garis paramedian tetapi belum melewati garis median 5. T4: batas medial tonsil melewati ¾ atau lebih jarak pilar anterior-uvula atau sudah melewati garis median Gambar 2.9 Batas pembesaran tonsil (Adams, 2010; Jeyakumar, dkk., 2013) Penelitian di Denizli Turkey yang dilakukan pada 1.784 usia anak sekolah 4-17 tahun didapatkan data ukuran tonsil terbanyak yakni: T1: 1.119 (62%), T2: 507 (28,4%), T3: 58 (3,3%), dan T4: 2 (0,1%) (Akcay, 2006). 2.2.6 Penatalaksanaan Tonsilitis kronis kebanyakan berasal dari bakteri yang terdapat di parenkim tonsil dibanding permukaan tonsil, sehingga swab dari permukaan tonsil saja dapat menjadi keliru. Penatalaksanaan medis termasuk pemberian antibiotik sesuai kultur. Pemberian antibiotik yang bermanfaat pada penderita tonsilitis kronis cefalosporin ditambah metronidazole, klindamisin, amoksisilin dengan asam klavulanat jika bukan disebabkan mononukleosis (Lee, 2008; Adams, 2010). Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan yang paling sering dilakukan pada penderita tonsilitis kronis, yaitu berupa tindakan pengangkatan 22 jaringan tonsil palatina dari fosa tonsil (Tom dan Jacobs, 2003; Health Technology assessment, 2004; Brodsky dan Poje, 2006; Lee, 2008; Adams, 2010; Jeyakumar, dkk., 2013). Kaedah tonsilektomi sangat efektif dilakukan pada anak yang menderita tonsilitis kronis dan berulang dan indikasi absolut karena adanya sumbatan jalan napas akibat hipertrofi tonsil, tetapi tonsilektomi dapat menimbulkan berbagai masalah dan berisiko menimbulkan komplikasi seperti perdarahan, syok, nyeri pasca tonsilektomi, maupun infeksi (Skevas, dkk., 2010; Drake dan Carr, 2013). Tonsilitis yang disebabkan oleh virus harus ditangani secara simptomatik. Obat kumur, analgetik, dan antipiretik biasanya dapat membantu. Gejala yang timbul biasanya akan hilang sendiri. Efektivitas penggunaan obat kumur masih dipertanyakan, karena bisa saja saat berkumur tidak mengenai tonsil tetapi lebih banyak mengenai dinding faring (Desai, dkk., 2008; Adams, 2010). 2.2.7 Komplikasi Komplikasi tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut (Brodsky dan Poje, 2006): a) Komplikasi sekitar tonsil: peritonsilitis, abses peritonsilar (Quinsy), abses parafaringeal, abses retrofaring, krista tonsil, maupun tonsilolith (kalkulus dari tonsil); b) Komplikasi ke organ jauh: demam rematik dan penyakit jantung rematik, glomerulonefritis, episkleritis, konjungtivitis berulang dan 23 koroiditis, psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura, artritis dan fibrositis, tetapi jarang dijumpai (Shnayder, dkk., 2008). Pada anak, hipertrofi tonsil yang sangat besar dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas atas menyebabkan hipoventilasi alveoli selanjutnya hiperkapnia dan menyebabkan cor pulmonale, menimbulkan apneu ketika tidur dengan gejala paling umum adalah mendengkur (Bluestone, 2006). Fisiologis terganggu bahkan anak sampai tidak sekolah karena sakit yang akan berpengaruh terhadap proses dan hasil belajarnya (Farokah, 2007; Hull dan Johnston, 2008). 2.2.8 Prognosis Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita lebih nyaman. Apabila antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotik harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap walaupun penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu singkat (Brodsky dan Poje, 2006). 2.3 Kebersihan Gigi dan Mulut 2.3.1 Rongga Mulut Kesehatan rongga mulut merupakan salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kesehatan tubuh secara keseluruhan, untuk itu dalam memperoleh kesehatan rongga mulut yang baik berawal dari kebersihan gigi dan mulut setiap individu. Rongga mulut merupakan bagian pertama dari saluran pencernaan dan 24 daerah awal masuknya makanan dalam sistem pencernaan (Manson dan Eley, 2008). Rongga mulut dapat menjadi satu tempat yang efektif untuk bakteri patogen berkembang biak, oleh karena itu sangat penting menjaga kesehatan secara keseluruhan yang berpengaruh terhadap kesejahteraan anak dan remaja (Satku, 2005; Promoting Oral Health, 2010). Kebersihan gigi dan mulut adalah tindakan untuk membersihkan dan menyegarkan rongga mulut, gigi, dan gusi untuk mencegah penyakit gigi dan mulut, penyakit yang penularannya melalui mulut, meningkatkan daya tahan tubuh, dan memperbaiki fungsi gigi dan mulut dalam sistem pengunyahan (Hermawan, 2010). Kebersihan gigi dan mulut yang buruk dapat menyebabkan tonsilitis, gingivitis, halitosis, xerostomia, pembentukan plak dan karies gigi. 2.3.2 Plak Gigi Plak adalah lapisan tipis, tidak berwarna terdiri dari kumpulan bakteri yang menyelimuti permukaan gigi. Plak merupakan deposit lunak terdiri atas mikroorganisme yang berkembang biak dengan perantara suatu matriks extracellular polymeric substance (EPS) atau disebut juga exopolysaccharide. (Thomas, 2011). Plak akan bergabung dengan saliva yang mengandung kalsium, membentuk endapan garam mineral yang keras. Sel-sel epitel rongga mulut yang telah mengalami deskuamasi, sel-sel leukosit Polymorphonuclear leukocyte atau PMN, makrofag dan bakteri merupakan penyusun dari plak. Sel-sel ini terdapat di dalam matriks ekstraselular yang terdiri dari protein, polisakarida dan lemak. 25 Komponen anorganik yang terdapat pada plak adalah kalsium, fosfat, magnesium, sodium, dan potassium. Plak gigi tidak dapat dilihat secara langsung, dengan demikian dibutuhkan suatu senyawa yang digunakan untuk membantu melihat plak gigi. Disclosing agents seperti Erithrosine Disclosing Solution dan Fluorescein Liquid digunakan untuk mewarnai plak gigi sehingga memudahkan untuk melihat plak gigi. Plak gigi akan terbentuk dalam waktu yang singkat setelah gigi dibersihkan, maka disclosing agents digunakan secara rutin sebagai indikator ada tidaknya plak gigi. Jika plak menebal akan terlihat sebagai substansi yang melekat pada permukaan gigi, dengan awal terbentuk pada sepertiga permukaan gingiva berwarna abu-abu, kuning keabuan, atau kuning karena plak yang tebal akan menyerap pigmen yang berasal dari sisa makanan, eksudat maupun sel mati (Thomas, 2011; Putri, dkk., 2012). 2.3.3 Komposisi Plak Gigi Komposisi plak gigi sebagian besar terdiri atas air sekitar 80% dan berbagai macam mikroorganisme ± 250 juta per miligram yang berkembang biak dalam suatu matriks interseluler (Mbawala, dkk., 2010). Matriks interselular merupakan 20-30% massa dari plak gigi yang mengandung bahan organik dan bahan anorganik. Komponen organik mencakup polisakarida, protein, glikoprotein, dan lemak sedangkan komponen anorganik yang ditemukan terutama kalsium dan fosfor yang terutama berasal dari saliva (Roeslan, 2005). 26 2.3.4 Mekanisme Pembentukan Plak Pembentukan plak mengarah pada kerusakan gigi seperti karies gigi. Bakteri dominan dalam semua akumulasi plak gigi adalah jenis kokus terutama Streptococcus yang dapat menghasilkan asam dengan cepat dari hasil metabolisme karbohidrat. Mikroorganisme tersebut selain mampu membentuk asam (acidogenic) juga tahan asam (acidurik). Tahap pembentukan plak melalui serangkaian proses, antara lain: 1) perlekatan glikoprotein pada email, dan terjadinya pembentukan pelikel, 2) perlekatan bakteri pada pelikel sebagai kolonisasi awal, 3) peningkatan banyaknya plak oleh kelipatan bakteri sebagai kolonisasi akhir (Thomas, 2011). Pada tahap pembentukan pelikel, beberapa saat setelah pembersihan gigi terbentuk lapisan tipis dari protein saliva, sebagian besar glikoprotein, disimpan pada permukaan gigi. Lapisan ini disebut pelicel saliva acquired yang tipis, lembut, tidak berwarna dan transparan. Pada awal pembentukan pelikel masih terbebas dari bakteri. Pelikel saliva berfungsi sebagai pelindung. Pelikel juga mengandung antibakteri antara lain IgG, IgA, Ig M, komplemen dan lysozym. Pelikel terbentuk pada permukaan yang juga menyediakan substrat yang mendukung akumulasi bakteri pada bentukan plak. Bakteri dapat mengikat reseptor yang berada pada pelikel melalui perlekatan dan komponen saliva juga berinteraksi dengan bakteri melalui berbagai macam pengikatan yang menyebabkan aglutinasi yang mampu meningkatkan kemampuannya dalam membersihkan rongga mulut. Pada tahap kolonisasi awal, terjadi sangat cepat, hanya membutuhkan waktu beberapa menit, setelah itu pelikel langsung terdeposit 27 oleh populasi bakteri. Bakteri dapat terdeposit secara langsung pada enamel tetapi selalu terjadi perlekatan dengan pelikel dan agregasi bakteri juga dilapisi oleh glikoprotein saliva. Pada orang primitif dimana dietnya yang alami dari makan yang keras dan berserat pada permukaan gigi dan area kontak dari subjek cukup mengenai seluruh permukaan sehingga deposit bakteri sangat minimal. Ketika dietnya lunak gigi yang digunakan hanya terkena sedikit atau tidak sama sekali dan mendorong terjadinya deposit dari bakteri. Akumulasi terbesar pada sisi yang tersembunyi pada bagian yang tidak terkena gesekan dan pergerakan dari lidah (Thomas, 2011). Pada beberapa jam pertama jenis Streptococcus pada pelikle merupakan awal dari kolonisasi. Berbagai varietas bakteri akan melekat dan berlipat ganda sehingga dalam 3-4 minggu akan terbentuk flora mikroba yang mencerminkan adanya keseimbangan ekosistem organisme atau mikrobial pada permukaan gigi. Koloni bakteri yang utama adalah Streptococcus mutans merupakan varian dari Streptococcus viridian, Streptococcus sangius, Streptococcus bovis, dan Streptococcus salivarius. Bakteri ini menguraikan karbohidrat terutama sukrosa sebagai sumber nutrien, diuraikan menjadi monosakarida sebagai sumber energi sel dengan bantuan enzim alpha amylase yang akan melekatkan Streptococcus mutans pada gigi (Eliasson, dkk., 2006). Bila bakteri ini dibiarkan berkembang beberapa hari maka akan menimbulkan inflamasi gingiva (Marsh, 2006). Perkembangbiakan bakteri membuat lapisan plak bertambah tebal dan karena adanya hasil metabolisme adhesi dari bakteri. 2.3.5 Klasifikasi Plak Gigi 28 Menurut lokasinya, plak dapat diklasifikasikan menjadi: plak supragingiva dan plak subgingiva, dapat dilihat pada Gambar 2.10. Plak supragingiva ditemukan di batas gingiva atau diatasnya, saat berkontak langsung dengan batas gingiva, plak ini disebut plak marginal, sedangkan plak subgingiva berada dibawah margin gingiva antara gigi dan sulkus gingiva. Kedua tipe pada plak tersebut akan berbeda karena plak supragingiva menyerap substansi yang berasal dari saliva dan sisa makanan dan plak subgingiva akan menyerap eksudat yang berasal dari gingiva (Kidd dan Bechal, 2012). Gambar 2.10 A. Plak supragingiva dan B. Plak subgingiva (Thomas, 2011). 2.3.6 Indeks Kebersihan Rongga Mulut Mengukur tingkat kebersihan gigi dan mulut merupakan upaya menentukan keadaan kebersihan rongga mulut, yang dalam prosesnya diperlukan suatu indeks. Indeks merupakan suatu angka, menunjukkan keadaan klinis yang didapat pada waktu dilakukan pemeriksaan, dengan cara mengukur luas dari permukaan gigi ditutupi oleh plak, dengan demikian angka yang diperoleh berdasarkan penilaian yang objektif. Terdapat beberapa jenis indeks kebersihan gigi dan mulut, yaitu indeks debris, indeks kalkulus, dan indeks plak (Putri, dkk., 2012). 29 Indeks plak gigi Personal Hygiene Performance-Modified atau PHP-M, metode penilaian indeks plak ini sering digunakan untuk pemeriksaan kebersihan gigi dan mulut pada masa geligi campuran dengan permukaan yang diperiksa adalah bagian bukal (luar) dan lingual (dalam). Indeks PHP-M mengukur plak secara objektif. Pengukuran indeks PHP-M menggunakan disclosing agent gel sebagai indikator plak pada gigi (Putri, dkk., 2012). Gigi yang diperiksa pada metode PHP-M, yaitu: 1. Gigi molar pertama kanan atas 2. Gigi insisivus pertama kiri atas 3. Gigi premolar pertama kiri atas 4. Gigi molar pertama kiri bawah 5. Gigi insisivus pertama kanan bawah 6. Gigi premolar pertama kanan bawah Cara penilaian skor indeks plak PHP-M dengan membagi lima area pada satu permukaan gigi, yaitu bukal dan lingual. Pertama-tama pada permukaan bukal dan lingual gigi dibagi menjadi beberapa area untuk memudahkan dalam menentukan skor. Buat dua garis imajiner pada gigi dari oklusal atau insisal ke gingiva, garis imajiner ini akan menjadi tiga bagian yang sama dari oklusal atau insisal ke gingiva, masing-masing 1/3 bagian dari panjang garis imajiner tadi, yang akhirnya akan membagi gigi menjadi lima area (A,B,C,D, dan E). Jadi akan didapat lima area pada satu permukaan gigi saja (bukal atau lingual) untuk menentukan skor indeks, yaitu: A) area sepertiga gingiva dari area tengah, B) area sepertiga tengah 30 dari area tengah, C) area sepertiga insisal atau oklusal dari area tengah, D) area distal dan E) area mesial , seperti yang disajikan pada Gambar 2.11. Gambar 2.11 Area skor indeks PHP-M (Putri, dkk., 2012) Apabila terlihat ada plak di salah satu area, maka diberi skor 1, jika tidak ada plak diberi skor 0. Hasil penilaian plak yaitu dengan menjumlahkan setiap skor plak pada setiap permukaan gigi, sehingga skor plak untuk setiap gigi dapat berkisar antara 0-10. Dengan demikian, skor plak untuk semua gigi indeks berkisar antara 0-60 dengan kriteria baik: 0-20, sedang: 21-40, dan buruk: 41-60 (Putri, dkk., 2012). 2.3.7 Disclosing Agent Plak gigi tidak dapat dilihat secara langsung, dengan demikian dibutuhkan suatu senyawa yang digunakan untuk membantu melihat plak gigi. Disclosing agents seperti Erythrosine Disclosing Solution dan Fluorescein Liquid digunakan untuk mewarnai plak gigi sehingga memudahkan untuk melihat plak gigi. Plak gigi akan terbentuk dalam waktu yang singkat setelah gigi dibersihkan, maka disclosing agents digunakan secara rutin sebagai indikator ada tidaknya plak gigi. (Thomas, 2011; Putri, dkk., 2012). Erythrosine Disclosing Solution yang paling banyak digunakan, ada juga dalam bentuk tablet kemudian dilarutkan ke dalam air atau dikunyah langsung di dalam mulut. Zat ini menyebabkan plak pada gigi menjadi berwarna merah, juga memberikan warna merah pada jaringan lunak 31 sekitar. Zat lainnya dapat digunakan Fluorescein Dye yang memberikan warna kuning, dan tidak menyebabkan perubahan warna jaringan lunak sekitar. Namun zat ini memerlukan lampu ultraviolet khusus untuk melihat warna plak. Berikutnya adalah Two Tones Dyes merupakan cairan, terdiri dari dua warna dimana plak yang sudah matang akan berwarna biru dan plak yang baru terbentuk akan berwarna merah. Keuntungannya adalah dapat digunakan untuk membedakan plak yang sudah matang atau belum matang dan juga tidak mewarnai jaringan gingiva. Cairan yang mengandung iodine sudah sering digunakan namun mempunyai efek samping alergi, dan juga mempunyai rasa tidak enak, sehingga tidak direkomendasikan untuk digunakan. Penggunaan dari disclosing agent gel ada beberapa cara diantaranya dengan langsung mengoleskan pada permukaan gigi dengan kapas, berkumur, atau kalau berbentuk tablet bisa langsung dikunyah. 2.4 Hubungan Kebersihan Gigi dan Mulut dengan Tonsilitis Kronis Kebersihan gigi dan mulut yang buruk, maka bakteri dan produknya akan melakukan interaksi dengan sel-sel tertentu di dalam rongga mulut. Tonsil dalam rongga mulut akan bereaksi terhadap stimulasi bakteri dan tubuh melakukan pertahanan imunologis dengan mengaktivasi sel mediator inflamasi yang dapat menyebabkan gangguan metabolisme jaringan ikat sebagai tanda klinis awal peradangan tonsil (Santoso, dkk., 2009). Jika tonsil berulang kali terkena infeksi akibat dari kurangnya perawatan kebersihan gigi dan mulut serta adanya faktorfaktor lain, maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh kuman 32 seluruhnya, kuman akan bersarang di tonsil dan menimbulkan tonsilitis kronis. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi atau fokal infeksi. Karies gigi pada anak akibat timbunan plak menunjukkan kebersihan gigi dan mulut yang buruk dan mempengaruhi terjadinya tonsilitis kronis ditandai dengan hipertrofi tonsil. Kebersihan gigi dan mulut yang buruk akan menjadi agen etiologi primer meningkatkan risiko penyakit rongga mulut terutama akumulasi bakteri yang menyebabkan tonsilitis. Terkait dengan kebersihan gigi dan mulut, karies gigi dikatakan sebagai salah satu penyebab tonsilitis terutama abses peritonsilar (Nasab,dkk., 2006). Bakteri patogen pada gigi dalam rongga mulut, yaitu: Streptococcus mutans dan Streptococcus sanguis dapat menyebabkan proses imunologis pada tonsil, dengan demikian stimulasi kronis (perangsangan yang terjadi terusmenerus) dan kebersihan gigi dan mulut yang buruk penyebab terjadinya tonsilitis kronis. Terjadi asumsi kuat adanya proses imunologis, ditunjukkan oleh tonsil terhadap Streptoccus sanguis menjadi alasan terjadi hipertrofi tonsil (Fukuizumi, dkk., 2005). Rusmarjono (2008) menjelaskan kebersihan gigi dan mulut harus tetap dijaga untuk mencegah rongga mulut menjadi media pembiakan kuman , apabila kebersihan gigi dan mulut buruk dan jarang menggosok gigi, kuman jenis coccus akan mudah berkembang biak, Streptococcus β hemoliticus grup A mudah masuk melalui makanan, minuman dan sisa-sisa makanan yang berada pada selasela gigi juga dapat membawa bakteri di rongga mulut.