1 BAB I PENDAHULUAN Faringitis merupakan peradangan dinding

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (4060%), bakteri (5-40%), alergi, taruma, dan toksin, dan lain-lain. Jika dilihat dari struktur faring
yang terletak berdekatan dengan tonsil, maka faringitis dan tonsilitis sering ditemukan
bersamaan. Oleh karena itu pengertian faringitis secara luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis,
dan tonsilofaringitis, dimana infeksi pada daerah faring dan sekitarnya ditandai dengan keluhan
nyeri tenggorokan. Tonsilofaringitis adalah radang orofaring yang mengenai dinding posterior
yang disertai inflamasi tonsil(1,2).
Tonsilitis adalah peradangan dari tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
waldeyer. Tonsilitis dapat berkembang menjadi kronis karena kegagalan atau ketidakesuaian
pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis akut sehingga merubah struktur pada kripta tonsil,
dan adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi bahkan faktor penyebab terjadinya tonsilitis
kronis. Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh penyakit
tenggorok berulang. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi Indonesia pada
tahun 1994-1996, menunjukkan prevalensi tonsilitis kronis 4,6% tertinggi setelah nasofaringitis
akut (3,8%)(3).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. ANATOMI
a. FARING
Untuk keperluan klinis faring dibagi manjadi 3 bagian utama, yaitu nasofaring, orofaring,
dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring merupakan sepertiga bagian atas faring, yang tidak
dapat bergerak kecuali palatum mole di bagian bawah. Orofaring terdapat pada bagian tengah
faring, dari batas bawah palatum mole sampai permukaan lingual epiglotis. Pada orofaring
terdapat tonsila palatina dengan arkusnya, dan tonsila lingualis pada dasar lidah. Hipofaring
merupakan bagian bawah faring yang menunjukkan daerah saluran napas atas yang terpisah dari
saluran pencernaan bagian atas(4).
Nasofaring
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang, dan lateral. Di
sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilar os. Oksipital, sebelah
anterior oleh koana dan palatum mole, sebelah posterior oleh vertebra servikalis, dan di sebelah
inferior nasofaring berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba Eustachius terletak pada dinding
lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka inferior. Di sebelah atas belakang orifisium
tuba Eustachius terdapat satu penonjolan yang dibentuk oleh kartilago Eustachius(5). Ruang
nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa organ penting:

Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah kubah.

Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid yang dikenal
sebagai fossa Rosenmuller.

Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilagi tuba
eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan ibu jari ke dinding lateral
nasofaring di atas perlekatan palatum mole.

Koana posterior rongga hidung.

Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan penyakit
nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui nervus glosofaringeus, vagus, dan
asesorius spinalis, dan foramen hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus.
2

Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah sinus petrosus
inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksipital dan arteri
faringeal asenden.

Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya dekat dengan
bagian lateral atap nasofaring.

Ostium dari sinus-sinus sfenoid(4).
Batas-batas nasofaring:
 Superior
: basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
 Inferior
: bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, batas ini
bersifat subyektif karena tergantung dari palatum durum.
 Anterior
: koana, yang dipisahkan menjadi koana dekxtra dan sinistra oleh os vomer
 Posterior
: vertebra ervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan dari mukosa
bagian atas
 Lateral
: mukosa lanjutandari mukosa di bagian superior dan posterior, muara tuba
Eustachii, Fossa Rosenmuller(4).
Orofaring
Merupakan ruang antara palatum molle dan radiks lingua yang memanjang ke bawah
sepanjang hyoid bone. Terdapat tosila palatina dan tosila lingua pada bagian faring ini(6).
Laringofaring
Daerah ini dimulai dari perpaduan dari nasofaring dan orofaring pada daerah setinggi
hyoid bone. Daerah laringofaring menurun ke bagian inferior dan dorsal dari laring dan berakhir
pada cricoid cartilage pada akhir bagian inferior dari laring(6).
3
Gambar 1. Faring
2. TONSIL
Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria membentuk
cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal
dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui
udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa
kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi
atrofi pada masa pubertas. Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian
terpenting dari cincin waldeyer(4).
4
Gambar 2. Cincin Waldeyer
Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar
limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring
posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlach’s) (4).
Tonsila Palatina
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak pada
dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa dan
permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak berlubanglubang kecil yang berjalan ke dalam “Cryptae Tonsillares” yang berjumlah 6-20 kripta. Pada
bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan lateral
tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla palatina, terletak
berdekatan dengan tonsilla lingualis(4).
Gambar 3. Tonsil Palatina
5
Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah :
1.
Anterior
: arcus palatoglossus
2.
Posterior
: arcus palatopharyngeus
3.
Superior
: palatum mole
4.
Inferior
: 1/3 posterior lidah
5.
Medial
: ruang orofaring
6.
Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior(4).
Gambar 4. Anatomi normal Tonsil Palatina
Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah bening.
Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening servikal profunda atau
disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening selanjutnya menuju ke kelenjar toraks dan
pada akhirnya ke duktus torasikus(4).
6
3. TONSILITIS KRONIS
a. Definisi
Tonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila
palatina yang menetap. Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut
yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme patogen dapat menetap
untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut
kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan(3).
b. Etiologi
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang
mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase
resolusi tidak sempurna. Pada pendería tonsilitis kronis jenis kuman yang sering adalah
Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Selain itu terdapat Streptokokus pyogenes,
Streptokokus grup B, C, Adenovirus, Epstein Barr, bahkan virus Herpes. Penelitian
Abdulrahman AS, Kholeif LA, dan Beltagy di mesir tahun 2008 mendapatkan kuman patogen
terbanyak di tonsil adalah Staphilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, E.coli
dan Klebsiela(3,4).
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok didapatkan
bakteri gram positif sebagai penyebab tersering tonsilofaringitis kronis yaitu Streptokokus alfa
kemudian diikuti Stafilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, Stafilokokus
epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella
dan E. coli (3).
c. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu rangsangan
kronis (rokok, makanan), higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu
yang berubah- ubah), alergi (iritasi kronis dari allergen), keadaan umum (kurang gizi, kelelahan
fisik), pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat(1).
7
d. Patogenesis
Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh
semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi
pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan satu saat kuman
dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh
menurun(3).
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut
yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi
oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan
perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan
pembesaran kelenjar limfa submandibula. Tonsilitis Kronis terjadi akibat pengobatan yang tidak
tepat sehingga penyakit pasien menjadi Kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan kronisitas
antara lain: terapi antibiotika yang tidak tepat dan adekuat, gizi atau daya tahan tubuh yang
rendah sehingga terapi medikamentosa kurang optimal, dan jenis kuman yag tidak sama antara
permukaan tonsil dan jaringan tonsil(1,3).
e. Manifestasi Klinis
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut yang
berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada tenggorokan (odinofagi),
nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa
kering dan pernafasan berbau(1).
f. Pemeriksaan Fisik
1. Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial tonsil,
2. Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material menyerupai
keju,
3. Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring, merupakan
tanda penting untuk menegakkan infeksi kronis pada tonsil,
8
Gambar 5. Tonsilitis
Tanda klinis pada tonsilitis kronis yang sering muncul adalah kripta yang melebar,
pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang mengalami perlengketan. Tanda klinis
tidak harus ada seluruhnya, minimal ada kripta yang melebar dan pembesaran kelenjar limfe
submandibula. Disebutkan dalam penelitian lain bahwa adanya keluhan rasa tidak nyaman di
tenggorokan, kurangnya nafsu makan, berat badan yang menurun, palpitasi mungkin dapat
muncul. Bila keluhan-keluhan ini disertai dengan adanya hiperemi pada plika anterior, pelebaran
kripta tonsil dengan atau tanpa debris dan pembesaran kelenjar limfe jugulodigastrik maka
diagnosa tonsilitis kronis dapat ditegakkan(3).
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara
kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi
pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :
T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring(3).
9
g. Pemeriksaan penunjang
-
Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman patogen
dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme patogen
disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat.
Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien
di India terhadap 40 penderita tonsilitis kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan
kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan
diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri tonsilitis kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid.
Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus aureus
(3)
.
h. Penatalaksanaan
1. Pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada
penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin ( terutama
jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika
bukan disebabkan mononukleosis).
2. Terapi dengan tonsilektomi terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan
serta kecurigaan neoplasma(3).
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan, serta
kecenderungan neoplasma. The American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery
Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan indikasi tonsilektomi adalah sebagai
berikut :
1.
Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun telah mendapatkan terapi
yang adekuat,
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofasial,
3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan napas,
sleep apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, dan cor pulmonale,
10
4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak berhasil
hilang dengan pengobatan,
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan,
6. Tonsiliitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococus β hemolitikus,
7. Hipertropi tonsil yang dicurigai adanya keganasan,
8. Otitis media efusi / otitis media supuratif (1).
3. Faringitis kronik
a. Etiologi
Adanya paparan dari zat-zat tertentu seperti nikotin, alkohol, gas iritan dan lainnya.
Selain itu, bisa juga terjadi akibat seringya bernafas melalui mulut pada keadaan terjadinya
obstruksi jalan nafas (contohnya pada deviasi septum) atau pada keadaan yang bersamaan
dengan sinusitis kronik(7).
b. Gejala
Gejala utama adalah adanya sensasi tenggorokan yang kering dan adanya viscous mucus.
Beberapa pasien juga mengeluhkan batuk kering dan sensasi adanya benda asing di faring(7).
Gambar 5. Faringitis Kronik
c. Diagnosis
Pada pemeriksaan tampak mukosa faring merah dan tidak rata akibat adanya hiperplasia
dari jaringan limfatik pada dinding posterior faring (hipertrofi). Mukosa faring juga bisa tampak
halus, dan mengkilat pada beberapa kasus (atrofi).
11
Melalui pemeriksaan hidung harus dipastikan tidak adanya obstruksi jalan nafas di
hidung yang dapat menjadi penyebab faringitis kronis, ataupun adanya kelainan-kelainan lain
seperti deviasi septum atau hiperplasi konka(7).
d. Penatalaksanaan
Pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan terapi local dengan melakukan kaustik
faring dengan zat kimia larutan nitrat argenti atau dengan listrik (electro cauter). Pengobatan
simtomatis diberikan obat kumur atau tablet hisap. Jika di perlikan dapat diberikan obat batuk
antitusif atau ekspetoran,s edangkan pada faringitis atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis
atrofinya dan untuk faringitis kronik atrofinya dengan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut
(1)
.
12
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama pasien
: An. YS
Umur
: 17 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
: Tanjung Karang
Pekerjaan
: Pelajar
Tanggal Pemeriksaan
: 31 Maret 2012
ANAMNESIS

Keluhan utama:
Nyeri tenggorokan dan nyeri saat menelan

Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke poliklinik THT RSU Provinsi NTB dengan keluhan nyeri tenggorokan dan
nyeri saat menelan sejak satu hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan adanya rasa
mengganjal ditenggorokannya setiap kali menelan. Keluhan disertai dengan demam dan
batuk. Terasa sekret ditenggorokan namun tidak dapat dikeluarkan. Selain itu pasien juga
mengaku sering bersin setiap bangun pagi dan malam hari, disertai keluarnya cairan bening
dari hidung, serta rasa panas dan gatal dibagian mata, bahkan terkadang sampai
mengeluarkan air mata.

Riwayat penyakit dahulu:
Pasien mengaku pernah mengalami keluhan serupa secara berulang, dan terakhir kambuh
beberapa bulan sebelumnya, namun pasien tidak mampu mengingat persis kapan mengalami
keluhan serupa.

Riwayat penyakit keluarga/sosial:
Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit yang serupa dengan pasien.
13

Riwayat pengobatan: Sebelum datang berobat ke RSUP NTB pasien sudah meminum obat
batuk vicks

Riwayat alergi:
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan ataupun obat-obatan, namun pasien
mengaku alergi saat terkena debu atau dingin.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis

Keadaan umum
: Baik

Kesadaran
: Compos mentis

Tanda vital
 Tensi
: 110/70 mmHg
 Nadi
: 70 x/menit
 Respirasi
: 16 x/menit
 Suhu
: 37,5⁰C
Status Lokalis
Pemeriksaan telinga
No.
Pemeriksaan
Telinga kanan
Telinga kiri
Telinga
1.
Tragus
Nyeri tekan (-), edema (-)
Nyeri tekan (-), edema (-)
2.
Daun telinga
Bentuk dan ukuran dalam batas Bentuk
dan
ukuran
dalam
normal, hematoma (-), nyeri tarik batas normal, hematoma (-),
aurikula (-)
3.
Liang telinga
Serumen
nyeri tarik aurikula (-)
(-),
hiperemis
(-), Serumen (-), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-), otorhea (-)
furunkel (-), edema (-), otorhea
(-).
14
4.
Membran
Retraksi (-), bulging (-), hiperemi Retraksi
timpani
(-), edema (-), cone of light (+)
(-),
bulging
(-),
hiperemi (-), edema (-), cone
of light (+)
Pemeriksaan hidung
Pemeriksaan Hidung
Hidung luar
Hidung kanan
Hidung kiri
Bentuk (normal), hiperemi (-),
Bentuk (normal), hiperemi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-)
nyeri tekan (-), deformitas (-)
Vestibulum nasi
Normal, ulkus (-)
Normal, ulkus (-)
Cavum nasi
Bentuk (normal), mukosa pucat Bentuk (normal), mukosa pucat
Rinoskopi anterior
(-), hiperemia (-)
(-), hiperemia (-)
Mukosa normal, sekret (-),
Mukosa normal, sekret (+)
massa berwara putih mengkilat
berwarna bening, massa
(-).
berwara putih mengkilat (-).
Konka nasi inferior
Edema (-), mukosa hiperemi (-)
Edema (+), mukosa hiperemi (-)
Septum nasi
Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus
Meatus nasi media
(-)
(-)
15
Pemeriksaan Tenggorokan
Bibir
Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)
Mulut
Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi
Normal
Lidah
Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)
Uvula
Bentuk normal, hiperemi (+), edema (+), pseudomembran (-)
Palatum mole
Ulkus (-), hiperemi (+)
Faring
Mukosa hiperemi (+), reflex muntah (+), membrane (-),
sekret (-)
Tonsila palatine
Kanan
Kiri
T2
T2
Hiperemis
Fossa Tonsillaris
(+),
kripte Hiperemis (+), kripte melebar
melebar (+), detritus (+)
(+), detritus (+)
hiperemi (+)
hiperemi (+)
dan Arkus Faringeus
DIAGNOSIS :
-
Tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut dengan rinitis alergi
PEMERIKSAAN PENUNJANG :
-
Kultur swab tenggorokan
16
RENCANA TERAPI


Medikamentosa
-
Antibiotik sistemik
: Cefadroxil 2 x 500 mg
-
Analgetik antipiretik : Paracetamol 3 x 500 mg
-
Antihistamin
: Cetrizin 1 x 10 mg
-
Mukolitik
: Ambroxol 3 x 30 mg
Pembedahan
-
Tonsilektomi
KIE PASIEN
- Untuk sementara hindari makanan yang berminyak, minuman atau makanan dingin,
manis atau yang mengiritasi tenggorokan .
- Menjaga higiene mulut agar tidak terjadi tonsilitis berulang.
- Datang kembali untuk kontrol setelah 1 minggu, untuk melihat perkembangan
peyembuhan.
- Hindari paparan alergen
PROGNOSIS
Baik
17
BAB IV
PEMBAHASAN
Keluhan nyeri tenggorokan serta nyeri saat menelan menunjukkan adanya kelainan atau
proses peradangan didaerah sekitar tenggorokan (nasofaring, orofaring, atau laringofaring). Pada
pasien ini setelah dilakukan pemeriksaan pada tenggorokan didapatkan pembesaran tonsil yaitu
T2-T2, kemudian tampak tonsil hiperemi, kripta melebar dan terisi detritus, arkus anterior dan
posterior hiperemi, selain itu tampak bagian dinding posterior faring serta palatum durum
mengalami hiperemis. Hal ini mengarahkan diagnosa pada tonsilofaringitis karena didapatkan
kelainan pada bagian tonsil dan faring pasien. Keluhan lain yang ditemukan pada pasien yaitu
adanya rada mengganjal ditenggorokannya, kemungkinan hal ini terjadi karena obstruksi yang
disebabkan oleh pembesaran tonsil akibat peradangan berulang.
Melihat dari riwayat pasien yang pernah mengalami keluhan serupa sejak dulu, dan
ukuran tonsil yang mencapai T2-T2 dengan pelebaran kripta serta adanya detritus menunjukkan
bahwa peradangan ini sering berulang sehingga menjadi kronik dan kini mengalami serangan
akut.
Pasien juga mengeluhkan adanya bersin dan pilek berulang, serta rasa gatal dan panas
diarea hidung dan mata yang dialami pasien setiap terpapar debu, dingin, serta setiap pagi dan
malam hari. Dilihat dari gejala yang dikeluhakan pasien diagnosa yang mungkin pada pasien ini
ialah rinitis alergi, karena didapatkan gejala-gejala seseorang yang mengalami alergi setelah
mengalami paparan dengan alergen tertentu.
Terapi yang diberikan pada pasien ini ialah antibiotik cefadroxil selama 10-14 hari yang
merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi pertama, hal ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa pada tonsilitis kronis yang biasanya terjadi karena terapi yang tidak
adekuat, sehingga cefadroksil dipilih karena memiliki aktivitas kerja terhadap beberapa bakteri
penyebab tonsilofaringitis selain itu efektif terhadap bakteri penghasil penisilinase. Pasien juga
diberikan obat analgetik dan antipiretik yaitu paracetamol, serta obat mukolitik untuk membantu
pengeluaran dahak. Untuk rinitis akergi, diberikan terapi berupa cetrizin yaitu obat AH-1
generasi 2 yang lebih sedikit menembus BBB sehingga tidak menyebabkan kantuk pada pasien
yang merupakan pelajar sehingga tidak mengganggu waktu belajar pasien. Pasien juga
18
direncanakan untuk terapi pembedahan yaitu tonsilektomi karena sering mengalami serangan
akut yang berulang, selain itu pada pasien juga didapatkan rinitis alergi yng sering menyebabkan
adanya sumbatan jalan napas sehingga dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya eksaserbasi
dari faringitis kronis.
19
BAB V
DAFTAR REFERENSI
1. Rusmarjono dan Soepardi, EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. Dalam
Soepardi, Efiaty Arsyad, et al., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala & Leher. ed 6. Jakarta. FKUI, 2009: p. 217-225
2.
Kurniadi, B. Penatalaksanaan Faringitis Kronik. Bagian Ilmu Penyakit Telinga, Hidung,
dan
Tenggorok.
RSUD
Saras
Husada,
Purworejo.
Available
at
:
http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?page=Penatalaksanaan+Faringitis+Kronik
(Accessed : March 28th 2012).
3. Saragih, A.R, Harahap, I.S, Rambe, A.Y. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronik di RSUP
H. Adam Malik Medan Tahun 2009. Bagian THT FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.
Medan.
USU
Digital
Library,
2009.
Available
at
:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/27640 (Accessed : March 27th 2012).
4. Adams, GL. . Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring, Esofagus, dan
Leher. Dalam Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Buku Ajar Penyakit THT Edisi
Keenam. Ed 6. Jakarta. EGC, 1997: p. 263-271
5. Ballenger, JJ. Tumor dan Kista di Muka, Faring, dan Nasofaring. Dalam Ballenger :
Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher. Jilid 1. Jakarta. Bina Rupa Aksara, 1997: p.
1020-1039
6. Seeley, Stephen, Tate. Respiratory System. Anatomy and Physiology.Chapter 23.The
McGraw-Hill Companies, 2004: p. 816
7. Probst, R, Grever, G, Iro, H. Diseases of the Nasopharynx. Basic Otorhinolaryngology. New
York. Thieme, 2006: p. 119
20
Download