MANUSKRIP LAPORAN KASUS PENGELOLAAN NYERI PADA AN. H DENGAN TONSILITIS FARINGITIS AKUT DI RUANG EDELWEISS RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI Oleh: OCTAVIO DE JESUS NIM. 0131820 AKADEMI KEPERAWATAN NGUDI WALUYO UNGARAN 2016 1 Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo 2 Pengelolaan Nyeri Pada An. H Dengan Tonsilitis Faringitis Akut Di Ruang Edelweiss RSUD Pandan Arang Boyolali Octavio de Jesus*, Siti Haryani **, Eka Adimayanti*** Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo Ungaran Karya Tulis Ilmiah, Mei 2016 ABSTRAK Keterlibatan tonsil pada faringitis tidak menyebabkan perubahan pada durasi atau derajat beratnya penyakit. Faringitis biasa terjadi pada anak, meskipun jarang pada anak berusia dibawah 1 tahun. Faringitis dapat disebabkan oleh bakteri atau virus. Oleh karena itu diperlukan strategi untuk melakukan diagnosis dan memberikan tatalaksana, agar dapat membedakan pasien-pasien yang membutuhkan terapi antibiotik dan mencegah serta meminimalisasikan penggunaan medikamentosa yang tidak perlu. Tujuan penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan pengelolaan nyeri pada pasien tonsilitis faringitis akut di ruang Edelweiss RSUD Pandan Arang Boyolali. Metode yang digunakan adalah memberikan pengelolaan berupa asuhan keperawatan pasien dalam mengelola nyeri. Pengelolaan nyeri dilakukan selama 2 hari pada An H. Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tehnik wawancara, pemeriksaan fisik, observasi dan pemeriksaan penunjang. Hasil pengelolaan dilakukan dengan mengkaji nyeri catat lokasi nyeri, karakteristik dan nyeri 4 menjadi 3. Memberikan obat medis untuk menurunkan nyeri yang dirasakan pasien. Evaluasi didapatkan nyeri klien mengatakan nyeri sudah berkurang, tidak ada tanda-tanda nyeri. Saran bagi perawat hendaknya lebih teliti dalam melakukan pengkajian supaya dalam menegakan diagnosa tepat pada masalah sebenarnya pasien. Kata kunci: nyeri, tonsilitis faringitis akut PENDAHULUAN Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus (40−60%), bakteri (5−40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap tahunnya ± 40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan karena faringitis. Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3−5 kali infeksi virus pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis. Faringitis merupakan penyebab utama seseorang absen bekerja atau sekolah (Pusat Data dan Informasi Kesehatan RI, 2014). Faringitis merupakan salah satu Infection Respiratory Acute (IRA)-atas yang banyak terjadi pada anak. Keterlibatan tonsil pada faringitis tidak menyebabkan perubahan pada durasi atau derajat beratnya penyakit. Faringitis biasa terjadi pada anak, meskipun jarang pada anak berusia di bawah 1 tahun, insidens meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, mencapai puncaknya pada usia 4-7 tahun, dan berlanjut hingga dewasa. Insidens faringitis Streptokokus tertinggi pada usia 5-18 tahun, jarang pada usia di bawah 3 tahun dan sebanding antara lakilaki dan perempuan (Rahajoe, Supriyanto, & Setyanto, 2008). Berbagai bakteri dan virus dapat menjadi etiologi faringitis, baik furingitis sebagai manifestasi tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus merupakan etiologi terbanyak faringifis akut, terutama pada anak berusia ≤ 3 tahun (prasekolah). Virus penyebab penyakit respiratori seperti Adenovirus, Rhinooims dan virus Parainfluenza dapat menjadi penyebab faringitis. Virus Epstein Barr (Epstein Barr Wus, EBV) dapat menyebabkan faringitis, tetapi disertai dengan gejala infeksi mononukleosis seperti splenomegali dan limfadenopati generalisata, Infeksi sistemik seperti infeksi virus campak, Oywmegalovirus (CMV), virus Rubella dan berbagai virus lainnya juga dapat menunjukkan gejala faringitis akut (Rahajoe et al., 2008). Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo 3 faring yang kemudian menyebahkan respon peradangan local. Rhivivirus menyebabkan iritasi mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian besar peradangan melibatkan nasofaring, uvula, dan palatum mole. Perjalanan penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius di faring yang menyebabkan peradangan lokal, sehingga menyebabkan eritema faring, tonsil atau keduanya. Infeksi Streptokokus ditandai dengan invasi lokal serta pelepasan toksin ekstraselular dan protease. Transmisi dari virus yang khusus dan SBHGA terutama terjadi akibat kontak tangan dengan sekret hidung dibandingkan dengan kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang pendek, yaitu 24-72 jam (Rahajoe et al., 2008). Beberapa kasus faringitis berlanjut menjadi otitis media purulen bakteri. Pada faringitis bakteri dan virus dapat ditemukan komplikasi ulkus kronik yang cukup luas. Komplikasi faringitis bakteri terjadi akibat perluasan langsung atau secara hematogen. Akibat perluasan langsung, faringitis dapat berlanjut menjadi rinosinusitis, otitis media, mastoiditis, adenitis servikal, abses retrofaringeal atau parafaringeal, atau pneumonia. Penyebaran hematogen, atau arthritis septic, sedangkan komplikasi nonsupuratif berupa demam reumatik dan glomerulonefritis (Rahajoe et al., 2008). Usaha untuk membedakan faringitis bakteri dan virus bertujuan agar pemberian antibiotic sesuai indikasi. Faringitis streptokokus grup A merupakan satu-satunya faringitis yang memiliki indikasi kuat dan aturan khusus dalam penggunaan antibiotic (selain difteri yang disebabkan oleh Corynebacterium diptheriae). Pemberian antibiotic tidak di perlukan pada faringitis virus, karena tidak akan mempercepat waktu penyembuhan atau mengurangi derajat keparahan. Istirahat cukup dan pemberian cairan yang sesuai merupakan terapi suporatif yang dapat diberikan (Rahajoe et al., 2008). Pemberian gargles (obat kumur) dan lozenges (obat hisap), pada anak yang cukup besar dapat meringankan keluhan nyeri tenggorok. Apabila terdapat nyeri yang berlebih atau demam, dapat diberikan parasetamol atau ibuprofen. Pemeberian aspirin tidak dianjurkan, terutama pada infeksi influenza, karena insidens sindrom kerap terjadi (Rahajoe et al., 2008). Hasil pengkajian Febriani (2012) tentang asuhan keperawatan pada anak D dengan gangguan sistem pernafasan faringitis akut di Rumah Sakit Muhammadiyah Surakarta menunjukkan bahwa setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam didapatkan hasil bersihan jalan nafas kembali efektif, nyeri pasien berkurang dari skala nyeri 5 menjadi 2, aktivitas sehari –hari pasien meningkat. Berdasarkan fenomena diatas, penulis tertarik untuk menyusun Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Pengelolaan nyeri pada An. H dengan tonsilitis faringitis akut di Ruang Edelweiss RSUD Pandan Arang Boyolali”. Tujuan penulisan untuk menggambarkan pengelolaan nyeri pada Anak H dengan tonsilitis faringitis akut di Ruang Edelweiss Rumah Sakit Pandan Arang Boyolali. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan merupakan bertambahnya jumlah dan besarnya sel diseluruh bagian tubuh yang secara kwantitatif dapat di ukur atau suatu ”peningkatan dalam berat atau ukuran dari seluruh/sebagian dari organisme” (Sacharin, 2006). Definisi berikutnya adalah perkembangan merupakan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang dapat dicapai melalui tumbuh, kematangan dan belajar atau peningkatan kemahiran dalam penggunaan tubuh (Sacharin, 2006). Faringitis akut digunakan untuk menunjukan semua infeksi akut pada faring, termasuk tonsillitis atau jika keduanya disebut tonsilofaringitis yang kondisinya Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo 4 berlangsung hingga 14 hari. Tonsilofaringitis merupakan peradangan akut membrane mukosa faring tonsil yang menyebar hingga faring dan struktur lain disekitarnya. Karena letaknya yang sangat dekat dengan hidung dan tonsil, jarang terjadi hanya infeksi local faring atau tonsil. Tonsilofaringitis adalah inflamasi pada faring yang menyebabkan sakit tenggorok (Medical ensiklopedi). Tonsilofaringitis akut merupakan salah satu penyakit tersering pada anak-anak yang berkunjung ke dokter umum. Oleh karena itu, pengertian Tonsilofaringitis secara luas mencakup tonsillitis, nasofaringitis dan tonsilofaringitis. Infeksi pada daerah faring dan sekitarnya ditandai dengan keluhan nyeri tenggorok. Faringitis streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA) (Rahajoe et al., 2008). Faringitis akut adalah keradangan akut pada mukosa faring dan jdaringan limfoid pada dinding faring yang disebabkan oleh streptokokus hemolitikus dan virus. Faringitis akut serign kali merupakan gejala prodromal dari penyakit lain misalnya morbili, pneumonia, bronchitis akut dan lainlain (Herawati & Rukmini, 2014). LAPORAN KASUS Pengkajian dilakukan pada hari Rabu tanggal 13 April 2016 Jam 11.10 WIBB di Ruang Edelweiss RSUD Pandan Arang Boyolali. Pengelolaan anak H, usia 4 tahun, dengan keluhan utama, Ibu pasien mengatakan anaknya kepala pusing dan badan lemas. Ibu pasien mengatakan anaknya sebelum masuk rumah sakit RSUD pandan arang untuk mengetahui lebih lengkap. Awalnya panas sudah bertambah dan nafsu makan sudah berkurang.dan pasien mengatakan anaknya sudah pernah sakit kurang lebih 4 hari. ibu pasien memutuskan untuk dirujuk ke rumah sakit RSUD pandan arang Boyolali untuk pengobatan selanjutnya. Analisa Data Ibu klien mengatakan anaknya nyeri pada daerah tonsil sebelah kiri. Nyeri pada daerah tonsil sebelah kiri, Nyeri seperti denyutdenyut, Nyeri bagian leher, Skala nyeri 6, Nyeri terus-menerus. Pasien terlihat merintih kesakitan, Pasien menangis, Pasien masih lemas, Suhu 36,4 C, Tonsil terlihat memerah. Rencana Keperawatan Kaji nyeri dan catat lokasi nyeri, Pertahankan posisi miring kanan, Ajarkan tehnik relaksasi, Berikan kompres es pada leher, Melakukan injeksi obat sesuai resep dokter. Tindakan Keperawatan Mengkaji nyeri catat lokasi nyeri, karakteristik dan nyeri 4 menjadi 3, Posisi tidur tetap miring ke kanan, memberikan injeksi Obat Ceftriazone 2 x 500 mg/IV, Dexa 2 x ½ amp, Dycinone 2 x ½ amp dan PCT 3x500. Catatan Perkembangan Pasien mengatakan nyeri sudah berkurang dengan skala nyeri 3, Pasien terlihat semangat, masalah nyeri sudah teratasi, hentikan intervensi. PEMBAHASAN A. Pengkajian Hasil pengkajian yang dilakukan pada hari rabu tanggal 13 april 2016 didapatkan data ibu klien mengatakan anaknya nyeri pada daerah tonsil sebelah kiri. Nyeri pada daerah tonsil sebelah kiri, nyeri seperti denyutdenyut, nyeri bagian leher, skala nyeri 6 dan nyeri dirasakan terus-menerus. Pasien terlihat merintih kesakitan, pasien tambah menangis, pasien masih lemas dan suhu 36,40 C. Data yang didapatkan dari pasien tentang nyeri sejalan dengan hasil penelitian Sapitri (2013), dimana pada usia 4-14 tahun kasus tonsilitis didapatkan sejumlah 50% dari seluruh kasus tonsilitis. Keluhan nyeri pada pasien sesuai dengan penelitian sapitri (2013) yang medapatkan bahwa 100 % penderita tonsilitis faringitis mengeluhkan adanya nyeri pada tengorokan dan menjalar sampai kebagian leher. Adanya nyeri pada penderita menyebabkan hasil observasi merintih dan kesakitan serta obstruksi saluran napas bagian atas. Data pengkajian ini sesuai dengan (Herdman & Kamitsuru, 2015) bahwa pasien dengan masalah nyeri Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo 5 memunculkan data Laporan secara verbal atau non verbal fakta dan observasi, gerakan melindungi, tingkah laku berhati-hati, gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai), tingkah laku distraksi (jalan-jalan, menemui orang lain, aktivitas berulang-ulang) respon autonom (diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan pola nafas, nadi dan dilatasi pupil) tingkah laku ekspresif (gelisah, marah, menangis, merintih, waspada, napas panjang, iritabel), berfokus pada diri sendiri, muka topeng, fokus menyempit (penurunan persepsi pada waktu, kerusakan proses berfikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan), perubahan nafsu makan dan minum. Penyebab nyeri adalah agen injuri baik secara fisik, biologis maupun fisiologis. Pada kondisi pasien termasuk agen injuri secara fisik karena terdapat peradangan pada tonsil dan faring. B. Diagnosis keperawatan Nyeri akut merupakan sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang muncul secara aktual atau potensial, kerusakan jaringan atau menggambarkan adanya kerusakan (Herdman & Kamitsuru, 2015). Nyeri digolongkan sebagai gangguan sensorik positif. Pada hakikatnya nyeri tidak dapat ditafsirkan dan tidak dapat diukur, namun tidak dapat dipungkiri bahwa nyeri merupakan perasaan yang tidak menyenangkan bahkan menyakitkan (Price & Wilson, 2011). Nyeri adalah suatu sensasi yang unik. Keunikannya karena derajat berat dan ringan nyeri yang dirasakan tidak ditentukan hanya oleh intensitas stimulus tetapi juga oleh perasaan dan emosi pada saat itu. C. Intervensi Diagnosis tersebut menjadi prioritas masalah pada pasien karena kebutuhan biologis secara umum sudah terpenuhi, selanjutnya kebutuhan tingkatan berikutnya berdasarkan Hirarki Maslow adalah kebutuhan rasa aman dan nyaman (Potter & Perry, 2006). Nyeri akut yang dirasakan pasien merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan aman dan nyaman sehingga diangkat sebagai prioritas masalah pada klien. Nyeri tonsilitis faringitis akut jika tidak teratasi akan menjadikan adanya komplikasi. Intervensi yang dirancang untuk menyelesaikan masalah nyeri yang dialami pasien antara lain kaji nyeri dan catat lokasi nyeri, Pertahankan posisi miring kanan, Ajarkan tehnik relaksasi, Berikan kompres es pada leher, Melakukan injeksi obat sesuai resep dokter. Intervensi tersebut sesuai dengan Wilkinson and Ahern (2012) yang menyatakan bahwa penanganan nyeri dilakukan dengan memberikan pengelolaan nyeri dengan baik. Pengelolaan nyeri dilakukan bertujuan untuk mengurangi nyeri dan menurunkan tingkat nyeri yang dirasakan pasien. Intervensi yang dirancang adalah lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif, termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri evaluasi pengalaman nyeri masa lampau evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan kurangi faktor presipitasi pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal) kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi ajarkan tentang teknik non farmakologi berikan analgetik untuk mengurangi nyeri, evaluasi keefektifan kontrol nyeri serta tingkatkan istirahat. Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo 6 D. Implementasi dan evaluasi Implementasi dilakukan pada hari rabu tanggal 13 april 2016, jam 09.00 WIB mengkaji nyeri catat lokasi nyeri, karakteristik dan nyeri 4 menjadi 3. Melakukan pengkajian nyeri dengan baik dan tepat, mendapatkan data secra amendalam terhadap maslaah nyeri, penting dilakukan untuk mengidentifikasi tingkat nyeri, sehingga dapat memberikan tindakan pengurangan nyeri sesuai dengan tingkatan nyeri dan berdampak efektif bagi pasien. Manajemen nyeri merupakan salah satu cara yang digunakan dibidang kesehatan untuk mengatasi nyeri yang dialami oleh pasien. Pemberian analgesik biasanya dilakukan untuk mengurangi nyeri. Teknik relaksasi merupakan salah satu metode manajemen nyeri non farmakologi dalam strategi penanggulangan nyeri, disamping metode TENS (Transcutaneons Electric Nerve Stimulation), biofeedack, plasebo dan distraksi. Memberikan obat medis untuk menurunkan nyeri yang dirasakan pasien. Pemberian obat merupakan penggunaan agen farmakologi untuk menghentikan atau mengurangi nyeri. Implementasi berikutnya dilakukan pada jam 10.00 WIB adalah pemberian obat. Sebelumnya dilakukan pengkajian nyeri dengan cara menenentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan frekuensi cek riwayat alergi pilih analgetik yang diperlukan atau kombinasi dari analgetik ketika pemberian lebih dari satu tentukan pilihan analgetik tergantung tipe dan beratnya nyeri tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgetik pertama kali berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri hebat evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala (efek samping dari pengobatan yang diberikan) (Wilkinson & Ahern, 2012). Obat yang diberikan kepada pasien adalah ceftriaxon 500 mg, dexamethason 10 mg dan dycinone ½ amput dan paracetamol 500 mg. Obat tersebut diberikan untuk untuk mengurangi tanda dan gejala nyeri yang dialami oleh pasien (Sukandar et al., 2008). Tindakan yang dilakukan berikutnya untuk mengatasi nyeri pada hari kamis, tanggal 14 april 2016 jam 10.00 WIB adalah mengajarkan tehik relaksasi. Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan stress, karena dapat mengubah persepsi kognitif dan motivasi afektif pasien. Teknik relaksasi membuat pasien dapat mengontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada nyeri (Potter & Perry, 2006). Menurut Carpenito (2011) kebutuhan rasa nyaman adalah suatu keadaan yang membuat seseorang merasa nyaman, terlindungi dari ancaman psikologis, bebas dari rasa sakit terutama nyeri. Perubahan rasa nyaman akan menimbulkan perasaan yang tidak enak atau tidak nyaman dalam berespon terhadap stimulus yang berbahaya. Kesimpulan 1. Hasil pengkajian didapatkan ibu klien mengatakan anaknya nyeri pada daerah tonsil sebelah kiri. Nyeri pada daerah tonsil sebelah kiri, nyeri seperti denyutdenyut, nyeri bagian leher, skala nyeri 6 dan nyeri dirasakan terus-menerus. pasien terlihat merintih kesakitan, pasien tambah menangis, pasien masih lemas dan suhu 36,4 C. 2. Diagnosis yang ditegakkan adalah nyeri akut. 3. Intervensi yang dirancang untuk menyelesaikan masalah nyeri yang dialami pasien antara lain kaji nyeri dan catat lokasi nyeri, Pertahankan posisi miring kanan, Ajarkan tehnik relaksasi, Berikan kompres es pada leher, Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo 7 Melakukan injeksi obat sesuai resep dokter. 4. Mengkaji nyeri catat lokasi nyeri, karakteristik dan nyeri 4 menjadi 3. Dan Memberikan obat medis untuk menurunkan nyeri yang dirasakan pasien. 5. Hasil pengelolaan nyeri klien mengatakan nyeri sudah berkurang, tidak ada tanda – tanda nyeri. Saran 1. Perawat Sebagai seorang perawat hedaknya lebih teliti dalam melakukan pengkajian supaya dalam menegakan diagnosa tepat pada masalah sebenarnya pasien. 2. Pasien Pasien disarankan untuk tidak takut dalam mengatakan apa yang dirasakan saat pengkajian keperawatan, dan lebih terbuka dengan perawat. 3. Instansi rumah sakit Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan pemberian asuhan keperawatan Tonsilitis Faringitis Akut serta dapat meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. 4. Instansi pendidikan Penulis menyarankan pada institusi pendidikan untuk dapat menjadikan karya tulis ini sebagai bahan bacaan yang dapat menambah pengetahuan tentang Tonsilitis Faringitis Akut. Classification 2015-2017. West Sussex UK: NANDA International Inc. Potter, PA, & Perry, AG. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik (Edisi 4 ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Price, S. A , & Wilson, Lorraine M. C. (2011). Patofisiologi Clinical Concepts of Disease Process (Terjemahan, Trans. Edisi 6 ed. Vol. Vol 2). Jakarta: EGC. Pusat Data dan Informasi Kesehatan RI. (2014). Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta. Rahajoe, N.N., Supriyanto, B., & Setyanto, B.D. (2008). Buku Ajar: Respirologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. Sacharin, R. M. . (2006). Prinsip Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC. Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit, J.I., & Kusnandar. (2008). ISO Farmakoterapi. Jakarta: ISFI. Wilkinson, Judith M., & Ahern, Nancy R. (2012). Diagnosis Keperawatan NANDA NIC NOC. Jakarta: EGC. DAFTAR PUSTAKA Carpenito, L.J. (2011). Diagnosis Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis. Jakarta: EGC. Febriani, Alfiana Dewi. (2012). Asuhan Keperawatan Pada An.D Dengan Gangguan Sistem Pernafasan : Faringitis Akut Di Ruang Mina Rs Pku Muhammadiyah Surakarta. (Skripsi), Universitas Muhamadiyah Surakarta, Surakarta. Herawati, S., & Rukmini, S. (2014). Penyakit Telinga Hidung Tenggorok untuk Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC. Herdman, T., & Kamitsuru, Shigemi. (2015). Nursing Diagnoses: Definition & Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo