Uploaded by User32538

Chapter II

advertisement
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi Tonsilitis
Ada tiga jenis utama dari tonsilitis, yaitu:
•
Tonsilitis akut - terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh salah satu bakteri
atau virus.Infeksi ini biasanya sembuh sendiri (Eunice, 2014).
•
Subakut tonsilitis - terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh Actinomyces
bakteri - organisme anaerob yang bertanggungjawab untuk keadaan
suppuratif pada tahap infeksi. Infeksi ini bisa bertahan antara tiga minggu
dan tiga bulan (Eunice, 2014).
•
Tonsilitis kronis - terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh infeksi bakteri yang
dapat bertahan jika tidak diobati (Eunice, 2014).
2.2. Definisi
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada
tenggorokan terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan peradangan
pada tonsil oleh karena kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian antibiotik pada
penderita tonsilitis akut (Palandeng, Tumbel, Dehoop, 2014).Tonsilitis kronis
timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan,
higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan
tonsilitis akut yang tidak adekuat (Soepardi et al.,2007).
2.3. Etiologi
Virus herpes simplex, Group A beta-hemolyticus Streptococcus pyogenes
(GABHS), Epstein-Barr virus (EBV),sitomegalovirus, adenovirus, dan virus
campak merupakan penyebab sebagian besar kasus faringitis akut dan tonsilitis
akut.Bakteri menyebabkan 15-30 persen kasus faringotonsilitis; GABHS adalah
penyebab tonsilitis bakteri yang paling banyak (American Academy of Otolaryng
ology — Head and Neck Surgery, 2011).
6
Tonsilitis kronis disebabkan oleh bakteri yang sama yang terdapat pada
tonsilitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif namun
terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan gram negatif. Pada hasil
penelitian Suyitno S, Sadeli S, menemukan 9 jenis bakteri penyebab
tonsilofaringitis kronis yaitu Streptokokus alpha, Staphylococcus aureus,
Streptokokus β hemolitikus grup A, Enterobakter, Streptokokus pneumonie,
Pseudomonas aeroginosa, Klebsiela sp., Escherichea coli, Staphylococcus
epidermidis (Suyitno S, Sadeli S, 1995 dalam Farokah, 2005).
2.4. Faktor Risiko
Yang merupakan faktor risiko:
•
Eksposi kepada orang yang terinfeksi;
•
Eksposi kepada asap rokok;
•
Paparan asap beracun, asap industri dan polusi udara lainnya;
•
Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat
•
Kanak-kanak; remaja dan orang dewasa berusia 65 tahun ke atas;
•
Stres;
•
Traveler
•
Mulut yang tidak higiene
•
Kondisi
ko-morbid
yang
mempengaruh
sistem
imun
seperti
hayfever,alergi,kemoterapi,infeksi Epstein-barr virus (EBV),infeksi herpes
simplexvirus (HSV),infeksi sitomegalovirus (CMV)
dan infeksi human
immune virus (HIV) atau acquired immune deficiency syndrome (AIDS)
(Sasaki, 2008; Jain et al., 2001; Lewy, 2008).
•
Jenis kelamin. Lebih sering terjadi pada wanita (Abouzied, 2010).
7
2.5. Patofisiologi
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga
jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid
diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti
melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan
jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan
pembesaran kelenjar limfa dengan submandibula (Soepardi, 2007). Detritus
merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas. Akibat dari proses
ini akan terjadi pembengkakan atau pembesaran tonsil ini, nyeri menelan,
disfagia. Kadang apabila terjadi pembesaran melebihi uvula dapat menyebabkan
kesulitan bernafas.Apabila kedua tonsil bertemu pada garis tengah yang disebut
kissing tonsils dapat terjadi penyumbatan pengaliran udara dan makanan.
Komplikasi yang sering terjadi akibat disfagia dan nyeri saat menelan, penderita
akan mengalami malnutrisi yang ditandai dengan gangguan tumbuh kembang,
malaise, mudah mengantuk (Stephanie, 2011). Pembesaran adenoid mungkin
dapat menghambat ruang samping belakang hidung yang membuat kerusakan
lewat udara dari hidung ke tenggorokan, sehingga akan bernafas melalui
mulut.Bila bernafas terus lewat mulut maka mukosa membrane dari orofaring
menjadi kering dan teriritasi, adenoid yang mendekati tuba eustachus dapat
meyumbat saluran mengakibatkan berkembangnya otitis media (Reeves,
Charlene, 2001 ).
2.6. Gejala Klinis
Menurut Effiaty Arsyad Soepardi, et al, (2007),yang merupakan gejala klinis:
•
Gejala lokal, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit
tenggorok, sulit sampai sakit menelan.
•
Gejala sistemis, seperti rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala,
demam subfebris, nyeri otot dan persendian.
8
•
Gejala klinis, seperti tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis folikularis
kronis), edema atau hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis),
tonsil fibrotik dan kecil (tonsilitis fibrotik kronis),plika tonsilaris anterior
hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional.Pada pemeriksaan
tampak tonsil membesar dengan permukaanyang tidak rata, kriptus melebar
dan beberapa kriptus terisi oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal di
tenggorokan, dirasakan kering di tenggorokan dan nafas berbau.
Menurut Adams ( 2001 ) yang merupakan gejala klinis:
Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis
yang mungkin tampak, yakni:
•
Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke
jaringan sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang
purulen atau seperti keju.
•
Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang
seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte
yang melebar dan ditutup eksudat yang purulen.
Menurut (Adam et al., 2000; Sasaki, 2008) yang merupakan gejala klinis:
•
Sakit kepala
•
Malaise
•
Demam
•
Sakit saat menelan (Disfagia)
•
Halitosis
•
Kurangnya nafsu makan
•
Mual dan muntah
•
Pembesaran atau terjadinya tenderness pada kelenjar getah bening servikal
serta sakit telinga disebabkan persarafan yang sama kepada kedua telinga
serta tenggorokan
9
Gambar 2.1:Gambaran Gejala Klinis Tonsilitis
Dikutip dari: http://tonsilspictures.com/tonsil-infection/
2.7. Diagnosis
Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut:
1. Anamnesa
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50%
diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang
dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu
menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada
demam dan nyeri pada leher.
2. Pemeriksaan fisik pasien dengan tonsilitis dapat menemukan:
•
Demam dan pembesaran pada tonsil yang inflamasi serta ditutupi pus.
•
Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau
material menyerupai keju.
•
Group A beta-hemolytic Streptococcus pyogenes (GABHS) dapat
menyebabkan tonsilitis yang berasosiasi dengan perjumpaan petechiae
palatal.
•
Pernapasan
melalui
mulut
serta
pembesaran tonsil yang obstruktif.
suara
terendam
disebabkan
10
•
Tenderness pada kelenjar getah bening servikal.
•
Tanda dehidrasi ( pada pemeriksaan kulit dan mukosa ).
•
Pembesaran unilateral pada salah satu sisi tonsil disebabkan abses
peritonsilar.
•
Rahang kaku, kesulitan membuka mulut serta nyeri menjalar ke
telinga mungkin didapati pada tingkat keparahan yang berbeda.
•
Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa
faring, tanda ini merupakan tanda penting untuk menegakkan
diagnosa infeksi kronis pada tonsil. (American Academy of
Otolaryngology - Head and Neck Surgery, 2014).
Pada pemeriksaan didapatkan pilar anterior hiperemis, tonsil biasanya
membesar (hipertrofi) terutama pada anak atau dapat juga mengecil (atrofi),
terutama pada dewasa, kripte melebar detritus (+) bila tonsil ditekan dan
pembesaran kelenjar limfe angulus mandibula (Aritomoyo D, 1980 dalam
Farokah, 2005).Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1 –
T4:
•
T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar
anterior – uvula.
•
T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior – uvula
sampai ½ jarak anterior – uvula.
•
T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula
sampai ¾ jarak pilar anterior – uvula.
•
T4 : batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai
uvula atau lebih.
Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas
yang dapat menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi
hiperkapnia dan dapat menyebabkan kor polmunale (Paradise JL, 2009).Gejala
klinis sleep obstructive apnea lebih sering ditemui pada anak – anak (Akcay,
2006).
11
Gambar 2.2: Gambaran Pembesaran Tonsil
Dikutip dari: Lalwani,2012.
2.8. Pemeriksaan penunjang
Rapid Antigen Display Test (RADT) dikembangkan untuk identifikasi
streptokokus Grup A dengan melakukan apusan tenggorokan. Meskipun tes ini
lebih mahal daripada kultur agar darah, tesnya memberikan hasil yang lebih cepat.
RADT memiliki akurasi 93% dan spesifisitas > 95% dibandingkan dengan kultur
darah. Hasil tes false positive jarang berlaku. Identifikasi yang cepat dan
pengobatan pasien dapat mengurangi resiko penyebaran tonsilitis yang disebabkan
oleh streptokokus grup A dan terapi yang tepat dapat diperkenalkan (Bisno et al.,
2002).
Suatu penelitian dilakukan di Iraq untuk membandingkan antara swab
tenggorokan
dan kultur tonsil core pada tonsilitis kronis. Patogen terdeteksi
sebanyak 41% pada swab dibandingkan 90,4% di tonsil core, sedangkan flora
normal yang terdeteksi adalah sebanyak 58,9% pada swab dibandingkan 9,59%
di tonsil core. [Hasil dari penelitian ini meyokong hasil dari penelitian Kurien, et
al.,(2000)],yang menemukan patogen pada 55% dari swab tenggorokan dan
72,5% dari kultur core (Yousef et al.,2014 ).
12
2.9. Penatalaksanaan
2.9.1. Medikamentosa
Penatalaksanaan tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene
mulut yang baik, obat kumur, obat hisap dan tonsilektomi jika terapi konservatif
tidak memberikan hasil.Pengobatan tonsilitis kronis dengan menggunakan
antibiotik oral perlu diberikan selama sekurangnya 10 hari.Antibiotik yang dapat
diberikan adalah golongan penisilin atau sulfonamida, namun bila terdapat alergi
penisilin dapat diberikan eritromisin atau klindamisin (Soepardi et al., 2007).
Penggunaan terapi antibiotika amat disarankan pada pasien tonsilitis kronis
dengan penyakit kardiovaskular (Shishegar dan Ashraf, 2014). Obstruksi jalan
nafas harus ditatalaksana dengan memasang nasal airway device, diberi
kortikosteroid secara intravena dan diadministrasi
humidified oxygen. Pasien
harus diobservasi sehingga terbebas dari obstruksi jalan nafas (Udayan et al.,
2014).
2.9.2. Operatif
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik,
gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma (Soepardi et al., 2007). Pada
penelitian Vivit Sapitri mengenai karakteristik penderita tonsilitis kronis yang
diindikasi tonsilektomi di RSUD Raden Mattaher Jambi dari bulan Mei-Juli 2013
didapatkan data bahawa dari 30 orang, ditemukan penderita tonsilitis kronis yang
diindikasikan tonsilektomi terbanyak pada rentang usia antara 5-14 tahun yaitu 15
orang (50%), jenis kelamin terbanyak adalah perempuan yaitu 17 orang (56,7%),
semua keluhan utamanya adalah nyeri pada tenggorok/ sakit menelan sebanyak 30
orang (100%), indikasi tonsilektomi terbanyak adalah indikasi relatif sebanyak 22
orang (73,3%) yaitu terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun dengan
terapi antibiotik adekuat (Sapitri, 2013). Tonsilektomi juga merupakan tatalaksana
yang diaplikasikan untuk Sleep-Disordered Breathing (SDB) serta untuk tonsilitis
rekuren yang lebih sering terjadi pada anak –anak (Shishegar dan Ashraf, 2014).
13
2.9.3. Indikasi tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat
ini.Dulu diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang.Saat ini indikasi
utama adalah obstruksi saluran nafas dan hipertrofi tonsil. Berdasarkan The
American Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery (AAO-HNS)
tahun 2011 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi:
1. Indikasi absolut
• Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas,disfagia
berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal.
• Abses peritonsilar yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan
drainase, kecuali jika dilakukan fase akut.
• Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
• Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi.
2. Indikasi relatif
• Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan
pengobatan medik yang adekuat.
• Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan
medik.
• Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-laktamase.
3. Kontra-indikasi
• Riwayat penyakit perdarahan
• Risiko anestesi yang buruk atau riwayat penyakit yang tidak terkontrol
• Anemia
• Infeksi akut
14
2.9.4. Teknik Operasi Tonsilektomi (Dingar, 2008)
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai
sekarang masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan
dan kekurangan.Penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam.Jenis
pemilihan iaitu jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri,
perdarahan pre operatif dan pasca operatif serta durasi operasi.Beberapa teknik
tonsilektomi dan peralatan baru ditemukan disamping teknik tonsilektomi standar.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik
Guillotine dan diseksi.
1. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara cepat dan
praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil
beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak
seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.
2. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi.Metode
pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam
anestesi.Tonsil digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah
medial, sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan
sickle knife dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
3. Teknik elektrokauter
Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai
kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi berupa
radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio
yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz.
Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan
konduksi saraf atau jantung.
15
4. Radio frekuensi
Pada teknik ini radiofrekuensi elektroda disisipkan langsung kejaringan.
Densitas baru disekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuka kerusakan
bagian jaringan melalui pembentukan panas.Selama periode 4- 6 minggu, daerah
jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang.
5. Skapel harmonik
Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan
mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
6. Teknik Coblation
Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang unuk karena
dapat memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk mengikis
jaringan. Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan energi dari
radiofrekuensi bipolar untuk mengubah sodium sebagai media perantara yang
akan membentuk kelompok plasma dan terkumpul disekitar elektroda. Kelompok
plasma tersebutakan mengandung suatu partikel yang terionisasi dan kandungan
plasma dengan partikel yang terionisasi yang akan memecah ikatan molekul
jaringan tonsil. Selain memecah ikatan molekuler pada jaringan juga
menyebabkan disintegrasi molekul pada suhu rendah yaitu 40-70%, sehingga
dapat meminimalkan kerusakan jaringan sekitar.
7. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsilektomi merupakan tonsilektomi parsial yang dilakukan
dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi. Mikrodebrider endoskopi bukan
merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain
yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan
jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.
8. Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl
Phosphat) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Teknik ini
mengurangi volume tonsil dan menghilangkan recesses pada tonsil yang
menyebabkan infeksi kronik dan rekuren.
16
2.10. Komplikasi
Komplikasi tonsilitis akut dan kronik yaitu:
• Abses peritonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini
terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh
streptokokus grup A. Paling sering terjadi pada penderita dengan serangan
berulang. Gejala adalah malaise yang bermakna, odinofagia yang berat dan
trismus (Mansjoer, 2000).
• Otitis media akut
Infeksis dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustachi)
dan mengakibatkan otitis media yang dapat mengakibatkan otitis media yang
dapat mengarah pada ruptur spontan gendang telinga (Soepardi et al., 2007).
• Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebar infeksi ke dalam sel-sel
mastoid (Mansjoer, 2000).
• Laringitis
Merupakan proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk larynx.
Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang disebabkan bisa karena virus,
bakteri, lingkungan, maupun karena alergi (Reeves, Roux, Lockhart, 2001).
• Sinusitis
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satu atau lebih dari
sinus paranasal.Sinus adalah merupakan suatu rongga atau ruangan berisi udara
dari dinding yang terdiri dari membran mukosa. (Reeves, Roux, Lockhart, 2001).
• Rinitis
Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan
nasopharynx (Reeves, Roux, Lockhart, 2001).
Menurut American Academy of Otolaryngology, komplikasi dari tonsilitis
adalah kesulitan bernapas, kesulitan menelan ,sleep apnea, sakit tenggorokan,
sakit telinga, infeksi telinga, bau mulut, perubahan suara serta peritonsillar abses
yang lebih sering terjadi pada orang dewasa dan jarang terjadi pada anak-anak.
17
2.11. Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat
penderita Tonsilitis lebih nyaman.Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi
infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan
yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu
yang singkat.Gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita
mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi
pada telinga dan sinus.Pada kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber
dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia (Edgren, 2002).
2.12. Pencegahan
Menurut Efiaty Arsyad Soepardi (2010), kemungkinan seseorang menderita
penyakit itu dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keturunan, lingkungan, dan
pola makan individu tersebut. Dalam hal ini pola makan memiliki peran yang
sangat besar terhadap kesehatan seseorang, tidak terkecuali dengan tonsilitis.
Selain itu menjaga kebersihan makan dan minum, kebiasaan berkumur atau
menggosok gigi minimal 2 kali sehari dan mencuci tangan dengan sabun sebelum
makan juga sangatlah penting untuk menghilangkan patogen dan kuman-kuman
yang menempel ditangan yang tidak kita sadari selama beraktivitas sehari-hari.
Orang – orang yang merupakan karier tonsilitis semestinya sering mencuci tangan
mereka untuk mencegah penyebaran infeksi pada orang lain. Gelas minuman dan
perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan sebaiknya dicuci
dengan menggunakan air panas yang bersabun sebelum digunakan kembali. Sikat
gigi yang telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi berulang ( Edgren,
2002 ).
18
2.13. Embriologi Tonsil (Sadler, 2004 )
Tonsil terbentuk dari lapisan endodermal pada minggu ketiga sampai
dengan minggu kedelapan pada masa embriologi. Embrio manusia memiliki lima
pasang kantong faring. Masing-masing kantong akan membentuk organ penting
lainnya.
Gambar 2.3. Embriologi Tonsil
Dikutip dari: Sadler, 2004
Lapisan epitel kedua dari kantong faring berproliferasi dan membentuk
tunas yang akan menembus ke jaringan mesenkim di sekitarnya. Selanjutnya
tunas-tunas tersebut akan dilapisi oleh jaringan mesodermal sehingga membentuk
primordial dari tonsila palatina. Selama bulan ketiga dan kelima, tonsil akan
dikelilingi oleh jaringan limfatik. Bagian kantong yang tertinggal akan ditemukan
pada saat dewasa sebagai fosa tonsilaris.
19
2.14. Tipe Tonsil
Ada tiga jenis tonsil, yaitu (Matini,2005):
• Tonsil Palatina terdiri daripada tonsil palatina kiri dan kanan terletak di
posterior, margin inferior dari rongga mulut, di sepanjang batas dengan faring.
• Tonsil Faring yang juga sering disebut juga dengan adenoid, terletak pada
posterior, superior dinding nasofaring.
• Tonsil Lingual; terletak jauh pada epitel mukosa meliputi dasar (bagian faring)
lidah. Karena lokasinya, biasanya tidak terlihat kecuali terinfeksi dan bengkak.
2.15. Anatomi
2.15.1. Tonsil Palatina
Tonsil palatina terdiri dari jaringan padat limfoid yang merupakan bagian
dari cincin Weldayer (Viswanatha, 2011). Tonsil berbentuk oval dengan panjang
1,75- 2,50 cm , dengan lebar 1,5- 2,0 cm. Pada anak-anak di bawah usia lapan
lebih besar yaitu dari 2,5-3,0 cm panjang dan lebarnya adalah 1,5-2,5 cm. Masing
– masing tonsil mempunyai 8 – 20 kripta yang terdiri dari jaringan connective
tissue seperti jaringan limpoid dan berisi sel limpoid (Balasubramaniam, 2007).
Biasanya kripta adalah tubular dan hampir selalu memanjang dari dalam
tonsil sampai ke kapsul tonsil pada permukaan luarnya. Permukaan kripta ditutupi
oleh epitel yang sama dengan epitel permukaan medial. Saluran kripta kearah luar
biasanya bertambah luas.Secara klinis terlihat bahwa kripta merupakan sumber
infeksi baik secara lokal maupun umum karena dapat berisi sisa makanan, epitel
yang terlepas dan juga bakteri (Ballenger JJ, 2001).
2.15.2. Fosa Tonsilaris
Fosa tonsilaris atau sinus tonsilaris terletak diantara 2 buah plika yaitu plika
anterior dan posterior.Plika anterior dibentuk oleh otot palatoglosus, sedangkan
plika posterior di bentuk oleh otot palatofaringeus.Bagian luar tonsil dilindungi
oleh kapsul yang dibentuk oleh fasia faringobasilaris dan dilateral oleh fasia
bukofaringeal (Beasley, 1997 dan Balasubramanian, 2009).
20
Gambar 2.4:Tonsila Palatina dan struktur sekitarnya
Dikutip dari: The University of Queensland
2.15.3. Perdarahan Tonsil
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,
yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri
tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan
cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri
lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior
diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina
asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris.
Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina
desenden.Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan
pleksus dari faring.Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena
lidah dan pleksus faringeal (Wiatrak BJ, 2005).
21
Gambar 2.5 :Vaskularisasi Tonsil
Dikutip dari: Netter, 2008
2.15.4. Sistem Limfatik Faring dan Tonsil
Sistem pembuluh limfatik dari tonsil menembus fasia bukofaringeal dan
melalui bagian atas kelenjar servikal (Beasley, 2001).
2.15.5. Persarafan Tonsil
Terutama melalui N.Palatina Mayor dan Minor (cabang N V) dan saraf
Lingualis (cabang N IX). Nyeri pada tonsilitis sering menjalar ke telinga, hal ini
terjadi karena N IX juga mempersarafi membran timpani dan mukosa telinga
tengah melalui “Jacobson’s Nerve” (Snell, 2006).
2.16. Fisiologi
Tonsil palatina merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting
sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk ke
saluran makanan atau masuk ke saluran nafas. Mekanisme pertahanan dapat
bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila pathogen menembus lapisan epitel
maka sel-sel fagositik mononuklear akan mengenal dan mengeliminasi antigen
(Farokah,2003). Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan
patogen,selanjutnya membawanya ke sel limfoid.
22
Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3-10 tahun.
(Amarudin, 2007). Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan
untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitasi.Tonsil
mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan asing
dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitasi sel limfosit T
dengan antigen spesifik (Kartika, 2008).Tonsil bertindak sebagai filter untuk
memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus.
Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi bagi
membantu melawan infeksi (Edgren, 2002).Tonsil merupakan jaringan limfoid
yang di dalamnya terdapat sel limfoid yang mengandung sel limfosit, 0.1-0.2%
dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T
pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55%-75%:15-30%. Pada tonsil
terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membrane), makrofag,
sel dendrit dan antigen presenting cells yang berperan dalam proses transportasi
antigen ke sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis immunoglobulin spesifik).
Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG (Kartika,
2008).
Download