Kepemimpinan Sebagai Proses

advertisement
Akar-akar Kepemimpinan
dan Bagaimana Menumbuhkannya1
Oleh: Bagus Takwin
Leadership (kepemimpinan) adalah “fenomena yang paling banyak
dicermati dan paling jarang dimengerti.’ Begitu James Macgregor Burns (1978),
pemenang Penghargaan Pulitzer lewat bukunya Leadership, menyatakan. Meski
begitu banyak kajian tentangnya, tetap saja kepemimpinan tampil sebagai konsep
yang taksa, multi-tafsir, tak jelas bentuk dan banyak salah dipahami. Beragamnya
definisi kepemimpinan bisa menjadi indikasi dari ‘kekaburan’ konsep ini. Suatu
hal yang memiliki begitu banyak definisi biasanya merupakan hal yang sulit
dipahami. Definisi sebagai penjelasan yang berfungsi membedakan satu hal dari
hal lainnya dapat diberikan secara lengkap dan tepat jika hal yang didefinisikan
dapat dikenali batas-batasnya, dapat dipisahkan secara jelas dan terpilah dari halhal yang lain.
Oleh karena kepemimpinan tidak jelas batasnya maka sulit untuk dikenali
secara jelas dan dipilah secara tegas dari hal-hal lain. Contohnya, orang sering
mencampur-adukkan kepemimpinan dengan manajemen dan administrasi atau
dengan sifat-sifat pemimpin dan ciri-ciri pemimpin. Ada yang sepilah-pilah
memberi identitas bagi kepemimpinan dalam definisi yang dibuatnya seperti
menyatakan bahwa kepemimpinan adalah “...perilaku individu yang memimpin
berbagai aktivitas kelompok pada suatu yang ingin idcapai bersama” (Hemhill &
Coons, 1957 dalam Wren, 1995), juga “...pengaruh antarpribadi yang dijalankan
dalam situasi tertentu serta diarahkan melalui proses komunikasi ke arah
pencapaian satu atau beberapa tujuan” (Tannenbaum, Weschler & Massarik, 1961
dalam Wren, 1995). Ada juga yang mempersempit ruang lingkup pengertian
kepemimpinan menjadi hanya serangkaian kegiatan yang dilakukan orang-orang
tertentu. Hingga kini ketakjelasan itu tetap berlangsung meski sudah ada definisi
dan teori yang dianggap komprehensif menjelaskan kepemimpinan. Darimana
ketidak-jelasan itu bermula? Mari kita lihat dari akarnya.
2
Kepemimpinan Sebagai Relasi, Bukan Substansi
Ketakjelasan konsep kepemimpinan berakar dari fenomena kepemimpinan
yang memang tidak menampilkan diri secara jelas. Kepemimpinan bukan suatu
‘substansi’ dalam pengertian sesuatu yang ada bagi dirinya sendiri, terpilah dan
otonom. Kepemimpinan termasuk dalam kategori2 ‘relasi’3, sesuatu yang
keberadaannya terhubung dengan hal lain, sesuatu yang tak bisa ada tanpa
keberadaan hal yang berhubungan dengannya. Kepemimpinan adalah gejala yang
tampil ketika ada interaksi antar manusia dalam sebuah lingkungan tertentu. Ide
kepemimpinan adalah ide yang lahir setelah ide pemimpin. Di sisi lain, ide
pemimpin adalah ide yang lahir setelah adanya interaksi antar manusia. Ide
kepemimpinan seperti ide suami yang tak bisa ada jika tidak ada ide istri atau ide
guru yang tak bisa ada jika tidak ada murid. Juga seperti ide kemanuasiaan yang
tidak ada jika tak ada ide manusia. Dengan memahami fenomena kepemimpinan
yang tergolong relasi, kita perlu memahami konteks yang melingkupi
kepemimpinan untuk dapat memahaminya. Kepemimpinan selalu ada dalam
konteks.
Jika
konteks
berubah
maka
isi
pengetiannya
juga
berubah.
Kepemimpinan, juga pemimpin, bukan barang jadi yang tetap seperti sediakala
sejak keberadaannya disadari manusia. Atribut keduanya terus berubah, begitu
pula ruang-lingkupnya.
Ide kepemimpinan merujuk pada sekumpulan atribut yang muncul pada
kondisi interaksi dua orang atau lebih dalam upaya memanfaatkan sumberdaya
untuk mencapai tujuan tertentu. Tetapi perlu dipahami bahwa atribut-atribut
yang muncul dalam kondisi itu bukan hanya kepemimpinan dan lebih perlu
dicermati lagi bahwa atribut-atribut itu bukan hal yang dapat dilepaskan dari
kondisi itu. Kepemimpinan tidak dapat dipilah dan dikeluarkan dari kondisi itu,
tidak dapat ditentukan secara jelas dan tegas batas-batasnya, serta tak dapat pula
dipilah secara jernih keberadaannya dari kondisi yang melingkupinya, juga dari
atribut lain yang muncul bersamaan dengannya. Inilah yang menjadi sebab utama
dari kesulitan mendefinisikan kepemimpinan. Pemahaman manusia tentang
kepemimpinan adalah hasil abstraksi bukan intuisi atau sensasi. Penalaran kita
memberikan petunjuk bahwa ada kepemimpinan dalam kondisi interaksi
manusia. Seperti kemanusiaan atau keadilan yang tak dapat dilihat langsung
bendanya, kepemimpinan adalah benda abstrak yang dihasilkan manusia dalam
proses interaksinya dengan lingkungan.
Berbekal pemahaman tentang kepemimpinan sebagai ‘relasi’ dan benda
abstrak, kita dapat menyimpulkan bahwa pemahaman tentang kepemimpinan
3
hanya dapat kita peroleh jika terlebih dahulu memahami kondisi dan konteks
yang melingkupinya. Kita harus memahami interaksi antar manusia dan interaksi
manusia dengan lingkungannya. Itu juga berarti kita harus memahami manusia,
hubungan antar manusia yang didasari oleh kodrat dan tujuannya sebagai
makhluk sosial, serta memahami bagaimana manusia menghayati lingkungannya.
Pemahaman terhadap kepemimpinan baru bisa didapat setelah pemahaman
tentang manusia, organisasi, administrasi dan manajemen. Itulah mengapa sebuah
pembahasan tentang kepemimpinan seperti yang disajikan oleh J. Thomas Wren
(editor) dalam The Leader’s Companion; Insight on Leadership Through the Ages (1995),
menyertakan juga kajian-kajian filsafat (termasuk filsafat moral), psikologi, sastra,
sosiologi, administrasi, manajemen, politik, bahkan kebudayaan. Secara lebih
mendasar, kepemimpinan bukan hanya bicara tentang bagaimana menjadi
pemimpin tetapi lebih jauh lagi bagaimana menjadi manusia.
Belajar Dari Sejarah
Sejarah menunjukkan pemikiran tentang kepemimpinan sudah muncul
sejak jaman Yunani Kuno, juga tampil dalam pemikiran Cina Kuno, Babylonia,
Mesir Kuno, India Kuno dan para Sufi di Persia. Meski istilah leadership yang di
Indonesia dipadankan dengan istilah kepemimpinan baru muncul dan digunakan
pada pertengahan abad ke-19, kajian terhadap fenomena ini sudah jauh lebih tua
umurnya. Literatur kuno itu memberi banyak masukkan kepada kita untuk
memahami fenomena kepemimpinan dalam berbagai konteks dan kondisi
interaksi manusia.
Plato, filsuf besar Yunani Kuno dalam Republic4 menggambarkan
pemimpin yang baik adalah orang yang mengerti tentang kebenaran dan dapat
membantu pengikutnya memahami apa itu kebenaran. Pemimpin harus mampu
membantu pengikutnya mencapai kebahagiaan sebagai tujuan manusia. Manusia
harus bersama-sama dengan orang lain dalam masyarakat untuk saling
membantu mencapai tujuan itu dan pemimpin memfasilitasi usaha bersama
menuju
jalan
yang
benar
bagi
pencapaiannya.
Kepemimpinan
adalah
kebijaksanaan yang memungkinkan manusia mengenali kebenaran, rasionalitas
yang melahirkan kebahagiaan dan moralitas yang menjaga kelurusan di jalan
yang benar. Keutamaan seorang pemimpin adalah pengetahuannya tentang
kebenaran dan jalan mencapai kebahagiaan manusia. Sejalan dengan gurunya,
Aristoteles5 murid Plato menekankan pentingnya keseimbangan rasional, moral
dan sosial pada manusia untuk dapat mencapai kebahagiaan. Pemimpin dengan
4
rasionalitas dan moralitasnya membantu pengikutnya untuk menempatkan diri
dalam kehidupan sosial dengan fungsi yang produktif. Mereka yang tidak
mengetahui tentang pengetahuan yang benar, tujuan manusia dan bagaimana
mencapainya tidak layak menjadi pemimpin. Begitu dua filsuf ini menegaskan.
Di Cina, Lao-tzu dalam kitab Tao Te Ching6 menunjukkan bahwa pemimpin
yang baik adalah mereka yang mampu meniadakan kediriannya, melepaskan
egonya demi kepentingan pengikutnya. Seperti langit dan bumi yang tidak
mewakili diri sendiri tetapi mewakili keseluruhan alam, seorang pemimpin
adalah orang yang mewakili para pengikutnya, lebih jauh lagi mewakili harmoni
semesta, mewakili Dao7, tata cara alami yang sejak sediakala menata alam semesta
jauh sebelum manusia ada. Pemimpin seperti angin dan pengikut seperti rumput.
Kemana angin bertiup, ke sana rumput bergerak. Jika pemimpin menuju jalan
yang salah, salah pula gerak pengikutnya. Agar tak salah bergerak, pemimpin
harus merujuk kepada bumi yang merujuk kepada langit yang merujuk kepada
Dao. Standar manusia adalah bumi, standar bumi adalah langit dan standar langit
adalah Dao. Kepada Dao semua merujuk.
Dao meski tak terkatakan maknanya namun dapat dipahami sebagai
harmoni yang terentang di alam semesta, tatacara alam menjaga diri selama
miliaran tahun. Maka, kepemimpinan adalah harmoni, kesediaan dan kelenturan
mengikuti alam. Seperti alam yang menyediakan kebutuhan manusia, pemimpin
harus
mau
memikirkan
dan
menyediakan
kebutuhan
pengikutnya.
Kepemimpinan adalah pelayanan, bukan kedirian atau kepribadiaan seseorang.
Pemimpin yang bijak seperti air, membersihkan dan menyegarkan segala
makhluk tanpa pilih-kasih dan tanpa penilaian; bebas dan tak kenal takut masuk
ke bagian terdalam setiap benda; cair dan responsif; mengikuti hukum dengan
bebas. Seperti air, pemimpin yang bijak menghidupkan dan mengembangkan.
Pemimpin juga seperti bidan, membantu melahirkan bayi bukan memberikan
atau menciptakan bayi. Kebaikan dan kesejahteraan lahir bukan dari pemimpin
tetapi difasilitasi oleh pemimpin.
Konfucius juga mengikuti Dao tetapi berbeda dari Lao-tzu, ia menekankan
pentingnya kehidupan bermasyarakat. Manusia dalam kenyataannya selalu hidup
bersama dengan manusia lain. Alam telah menempatkan manusia dalam sebuah
kehidupan sosial, oleh karena itu kehidupan bermasyarakat menjadi bagian
penting dari hidup manusia. Konfucius menekankan bahwa seorang manusia
dalam hubungannya dengan manusia lain harus mengikuti tatacara kehidupan
yang telah dibangun oleh para orang bijak kuno sesuai dengan tatacara alam
5
(Dao). Dalam kitab Mengzi (Mengsius)8 dituliskan petunjuk bagi manusia:
“Tinggal di dalam rumah besar dunia ini, mempertahankan posisi yang betul
dalam dunia, dan mengikuti Dao yang agung dari dunia ini.” Semua perilaku
manusia harus merujuk kepada alam yang telah miliaran tahun menata diri dalam
harmoni. Alam pun telah menunjukkan apa itu pemimpin dan bagaimana ia
harus berperilaku.
Bagi Konfucius, hakikat ideal penguasa atau pemimpin seharusnya dimiliki
orang-orang yang diberi nama penguasa atau yang dalam sebutan Cina disebut
sebagai ‘jalan bagi penguasa’. Seorang yang menjadi pemimpin memiliki
kewajiban dan tanggung jawab sebagai penguasa. Seorang penguasa adalah
seorang yang mengatur rakyat. Mengatur adalah meluruskan. Jika seorang
penguasa membuat rakyatnya jadi menyimpang, maka ia tak layak disebut
penguasa. Namanya harus diubah sesuai dengan perilaku aktualnya atau perilaku
aktualnya diubah agar sesuai dengan namanya sebagai penguasa. Kaisar sebagai
pemimpin adalah putra langit yang mendapat mandat dari langit (yang merujuk
kepada Dao sebagai tatacara alam menampilkan harmoni), oleh sebab itu ia harus
memerintah dengan menjalankan aturan-aturan dari langit. Namun jika ia
melakukan korupsi maka ia bukan lagi penguasa, ia adalah koruptor.
Kepemimpinan bagi Konfucius adalah pengaturan atau pelurusan segala hal yang
menyimpang dari tata cara alami.
Dari Babylonia, melalui catatan-catatan dalam Gilgamesh, ditunjukkan
bahwa kekacauan dan kerusakan sebuah masyarakat berkorelasi positif dengan
penyimpangan yang dilakukan pemimpinnya. Semakin buruk kondisi sosialekonomi masyarakat, semakin besar distorsi kepemimpinannya. Semakin
menyimpang pemimpin dari kewajiban dan tanggung-jawabnya, semakin kacau
kondisi masyarakatnya. Cerita yang sejalan kita temukan juga dalam Ramayana
dan Mahabharata yang merepresentasikan masyarakat India, juga dalam ceritacerita
kepahlawanan
Eropa.
Kepemimpinan
adalah
sesuatu
yang
erat
hubungannya dengan kondisi masyarakat sebagai sekumpulan manusia yang
bersama-sama berusaha mencapai tujuan tertentu, mencapai kesejahteraan. Di
sana kita mendapat insight tentang kepemimpinan sebagai sesuatu yang tak
terpisahkan dari kehidupan dan tujuan hidup masyarakatnya. Kepemimpinan
menempel dalam praktek keseharian masyarakat kuno, dalam tindakan-tindakan
mencapai kesejahteraan bersama. Prasasti-prasasti Mesir Kuno pun menunjukkan
peran pemimpin dan kepemimpinan dalam masyarakat. “Ketegasan perintah ada
di mulutnya, ketajaman persepsi ada di hatinya, dan keadilan dilidahnya.” Itulah
6
kualitas pemimpin dalam cerita tentang Firaun yang tertuang lewat goresangoresan hieroglif. Kepemimpinan digambarkan sebagai perpaduan antara pikiran,
ucapan, perasaan dan kehendak untuk menghasilkan peraturan yang tegas,
kebijakan yang menentramkan dan keadilan yang menyejahterakan.
Ajaran-ajaran kuno tentang pemimpin dan kepemimpinan memberi insight
kepada kita bahwa karakteristik pemimpin dan kepemimpinan diturunkan dari
konsep manusia, masyarakat dan tujuan masyarakat. Plato dan Aristoteles
terlebih dahulu menjelaskan siapa manusia, hakikat masyarakat dan tujuan hidup
manusia yang akan dicapai melalui kehidupan bersama. Lao-tzu dan Konfucius
menegaskan dasar-dasar kosmologis (asal-usul alam) dan hakikat manusia
sebagai bagian alam semesta bagi pemimpin dan kepemimpinan. Kisah-kisah dari
Babylonia, India dan Mesir menunjukkan dasar kepercayaan tentang dewa-dewa,
asal-usul
alam
dan
manusia
bagi
penentuan
kriteria
pemimpin
dan
kepemimpinan. Setiap konsep pemimpin dan kepemimpinan selalu diletakkan
dalam konteks kehidupan berasama dan itu memberikan alasan lebih kuat bagi
pemahaman tentang kepemimpinan sebagai hal yang termasuk dalam kategori
‘relasi’.
Aspek dan Faktor Kepemimpinan
Untuk memahami aspek dan faktor kepemimpinan kita perlu berangkat
dari pemahaman bahwa kepemimpinan selalu berada dalam konteks, terlekat erat
di dalam interaksi manusia dalam usaha mencapai tujuan tertentu. Kita perlu
mengurai hal-hal yang ada di situ. Manusia, baik sebagai pemimpin maupun
pengikut, adalah unsur yang pasti ada di sana. Lalu interaksi antar-manusia yang
didasari oleh struktur kelompok (dalam konteks lebih luas masyarakat atau
negara), sumberdaya non-manusia (termasuk pengetahuan teoritis, metodis dan
teknik pemanfaatan serta pembudidayaannya), kondisi alam tempat kelompok
tumbuh, juga interaksi antara manusia, sumberdaya dan kondisi alam, serta
tujuan bersama yang ingin dicapai.
Kita dapat menurunkan aspek-aspek kepemimpinan dari konteksnya
mencakup aspek psikologis, sosiologis, kultural, politis, historis, geografis, teknis
dan ekonomis. Saya akan menguraikan aspek psikologis lebih banyak ketimbang
aspek-aspek lainnya mengingat kompetensi saya terbatas pada bidang psikologi.
Aspek-aspek lainnya hanya akan saya singgung sedikit meskipun tetap ikut
dipertimbangkan dalam pembahasan saya tentang kepemimpinan.
7
Aspek psikologis membawa kita kepada faktor manusia dan interaksi
manusia.
Pemahaman
terhadap
aspek
psikologis
dan
faktor-faktornya
membutuhkan bantuan dari psikologi sebagai ilmu yang mempelajari tingkahlaku
dalam interaksi manusia. Pengenalan terhadap manusia menjadi sangat penting
dalam pemahaman tentang kepemimpinan. Perilaku pemimpin dan pengikut
didasari oleh faktor kepribadian yang mendasari kecenderungan seseorang
mencakup motivasi (dikaitkan dengan motif), trait (sifat), temperamen, belief
(kepercayaan), gaya kognitif dan bakat.
Secara umum motivasi diartikan sebagai satu variabel penyelang (yang ikut
campur tangan) yang digunakan untuk menimbulkan faktor-faktor tertentu di
dalam organisme, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan dan
menyatukan tingkah laku menuju satu sasaran. Dalam konteks kepemimpinan,
jenis motivasi yang relevan adalah motif sosial. Konsep motif sosial yang selama
ini sering digunakan dalam konteks politik adalah konsep motivasi dari D.C.
McClelland (1951). McClelland menjelaskan motivasi dalam bentuk tiga jenis
kebutuhan: kebutuhan prestasi, kebutuhan afiliasi dan kebutuhan kekuasaan
(power). Ketiga kebutuhan ini ada pada tiap orang tetapi dengan derajat dan
komposisi yang berbeda-beda.
Trait (sifat) adalah struktur neuropsikis yang memiliki kapasitas untuk
merajut berbagai stimulus yang setara secara fungsional serta memulai dan
memandu tampilnya bentuk-bentuk tingkah laku adaptif dan ekspresif (Allport,
1961:347). Struktur neuropsikis itu membentuk kecenderungan seseorang untuk
berespons secara sama terhadap setimulus yang berbeda. Sebagai contoh,
pemimpin yang memiliki trait keteraturan cenderung selalu bekerja secara teratur
dan menuntut pengikutnya untuk teratur pula serta tidak suka terhadap situasi
kelompok yang tanpa hierarki. Pemimpin yang memiliki trait ‘penjudi’ cenderung
berani mengambil tindakan berrisiko besar dan spekulatif.
Temperamen merujuk pada disposisi yang secara dekat terkait dengan
determinan-determinan biologis atau fisiologis.9 Temperamen menentukan
respons emosional seseorang terhadap rangsang-rangsang dari luar. Temperamen
juga mempengaruhi pembentukan karakter seseorang. Wund (dalam Allport,
1937) menunjukkan kesesuaian empat jenis temperamen dari Hippocrates,
sanguin, melankolik, kolerik, plegmatik, dengan dimensi-dimensi emosi
manusia. Wund menggolongkan tipe-tipe orang menggunakan empat klasifikasi
temperamen dari Hippocrates berdasarkan: (a) kecepatan timbulnya emosi dan
intensitas responsnya; (b) lebar dan dalamnya emosi; serta (c) segi kinetis dan
8
suasana afektif. Sebagai contoh, orang yang bertipe sanguin akan cenderung
berrespons secara hangat terhadap orang lain meski tidak mendalam. Sedangkan
orang bertipe kolerik cenderung berespons dingin terhadap orang lain tetapi
berusaha menjajaki setiap orang-orang yang dikenalnya secara mendalam dan
cepat mengambil tindakan yang diperlukan.
Belief (kepercayaan) menjadi bagian dari kepribadian seseorang yang
mengungkapkan dan meletakkan bias-bias motivasional sebagai hal yang setara
dan berkesinambungan dengan penilaian terhadap realitas. Seseorang akan
menggunakan kepercayaannya dalam menilai sesuatu dan cenderung lebih
mengikuti apa yang dipercayainya meskipun fakta mengindikasikan hal yang
berbeda. Bias-bias dari tindakannya berdasarkan kepercayaan, meski disadari,
dianggap sebagai hal yang setara dengan fakta, bahkan tak jarang dianggap lebih
benar dari fakta. Ada keyakinan bahwa kepercayaan akan membawanya kepada
hasil yang lebih baik daripada jika ia tidak mengikuti apa yang dipercayainya.
Meskipun terbentuknya kepercayaan sangat dipengaruhi oleh pengalaman tetapi
pada akhirnya kepercayaan melampaui pengalaman, melampaui fakta empiris.
Orang yang percaya kepada adanya kekuatan gaib, misalnya, akan memasukkan
kemungkinan-kemungkinan keterlibatan kekuatan itu dalam proses pengambilan
keputusannya. Orang yang percaya bahwa alam telah mengatur segalanya
cenderung tidak mau melakukan perubahan pada alam.
Gaya kognitif merujuk kepada kecenderungan penggunaan pola dan
struktur tertentu dalam menerima, mengolah, menyimpan dan menggunakan
informasi. Ada orang yang cenderung mau menerima banyak informasi apapun
isinya dan ada orang yang membatasi jenis informasi apa yang mau diterimanya.
Ada orang yang cenderung menggunakan berbagai sudut pandang dalam
mendekati dan menyelesaikan suatu permasalahan, di sisi lain ada orang yang
cenderung menggunakan satu sudut pandang saja. Ada orang yang terbiasa
melakukan penalaran sistematik, berusaha memahami suatu permasalahan secara
komprehensif dari berbagai sisi sebelum memutuskan, dan ada orang yang
memutuskan hanya berdasarkan satu sisi pemahaman. Perilaku pemimpin dan
kepemimpinan sangat dipengaruhi oleh gaya kognitif. Pemimpin yang cenderung
mau menerima banyak informasi mampu menggunakan banyak sudut pandang
dalam menyelesaikan masalah dan berusaha memahami secara komprehensif
berbagai aspek sebelum mengambil keputusan. Sementara pemimpin yang tidak
terbuka terhadap banyak informasi akan mengambil keputusan berdasarkan
keyakinannya saat ini tanpa pertimbangan-pertimbangan lain.
9
Bakat, meskipun bukan faktor utama, merupakan faktor penting dalam
kepemimpinan. Bakat di sini diartikan sebagai predisposisi (kecenderungan
dalam diri seseorang) yang menunjang dan memudahkannya mempelajari serta
menguasai suatu keterampilan. Mereka yang berbakat lebih cepat menguasai
persoalan dan menyelesaikannnya dibandingkan mereka yang tidak berbakat.
Seseorang yang memiliki kecerdasan serta kepekaan sosial tinggi lebih memiliki
potensi untuk menjadi pemimpin dan menguasai persoalan kepemimpinan.
Orang
yang
memiliki
bakat
kepemimpinan
lebih
mudah
belajar
dan
mempraktekkan perilaku kepemimpinan. Kecerdasan, kepekaan emosional dan
kepedulian sosial, kegesitan dan ketangkasan dalam bertindak, serta kemauan
untuk terlibat dalam persoalan banyak orang menjadi modal bagi pengembangan
kemampuan kepemimpinan seseorang.
Faktor-faktor kepribadian membentuk karakter kepemimpinan serta
menentukan pola dan gaya kepemimpinan seseorang. Berpadu dengan faktor
pengetahuan
dan
kemampuan
yang
kemudian
dikembangkan
menjadi
keterampilan (kemampuan dengan derajat keahlian tertentu), faktor kepribadian
akan membentuk kualitas psikologis dari kepemimpinan. Faktor kepribadian,
pengetahuan, kemampuan dan keterampilan menjadi dasar bagi interaksi seorang
manusia dengan manusia lain. Sebagai contoh, orang dengan motif kebutuhan
prestasi akan senang dengan persaingan dan selalu ingin mendapatkan hasil yang
lebih baik. Sedangkan orang yang memiliki kebutuhan kekuasaan akan selalu
ingin mempengaruhi dan menguasai orang lain. Dengan kemampuan yang tinggi
orang yang memiliki kebutuhan berprestasi dapat mencapai prestasi tinggi.
Sedangkan orang yang punya kebutuhan kekuasaan akan menjadi penguasa yang
mampu mempertahankan dan mengembangkan kekuasaannya.
Setelah
memahami
aspek
psikologis,
pemahaman
terhadap
aspek
sosiologis, kultural, politis, historis, geografis, teknis dan ekonomis menjadi syarat
berikutnya bagi pemahaman tentang kepemimpinan. Di dalam konteks yang
meliputi semua aspek itu kepemimpinan lahir, berkembang dan memberi
pengaruh. Perilaku kepemimpinan tertentu yang menghasilkan perbaikan dalam
suatu masyarakat bisa jadi tidak memberikan manfaat di masyarakat lain. Kondisi
politik tertentu, misalnya kondisi kritis, akan menjadikan tindakan kepemimpinan
yang tegas dan otoriter berguna bagi penyelesaian banyak masalah, sementara
dalam kondisi yang stabil tindakan itu malah menyebabkan stagnasi masyarakat.
Dalam kondisi geografis seperti di kebanyakan wilayah Asia kepemimpinan yang
mementingkan harmoni dengan alam tanpa melakukan perubahan lingkungan
10
fisik menjadi hal yang baik, sementara di Eropa yang memiliki musim dingin,
kepemimpinan semacam itu tidak menghasilkan perbaikan kondisi masyarakat.
Aspek kultural menentukan apakah suatu tindakan kepemimpinan dinilai
baik atau buruk. Penilaian itu umumnya didasari oleh petimbangan aspek sosial
dan geografis yang pada prakteknya terkait erat dengan aspek teknis dan
ekonomis. Bagaimana mencapai tujuan bersama secara efektif dan efisien menjadi
dasar pertimbangan aspek teknis dan ekonomis. Bagaimana memudahkan
manusia untuk mencapai kesejahteraan, mencapai tujuan hidup yang paling
luhur, itulah persoalan utama dari kepemimpinan.
Kepemimpinan yang lahir dan berkembang dalam interaksi manusia untuk
mencapai tujuan bersama selalu mementingkan sinergi berbagai aspek dari
kondisi itu. Pada prakteknya semua aspek dan faktor itu saling menjalin
membentuk
gaya, pola
dan
struktur
kepemimpinan.
Oleh
karena
itu,
kepemimpinan menjadi hal yang sangat kompleks dan tidak dapat dipahami
lepas dari konteksnya.
Menumbuhkan Kepemimpinan
Setelah mengenali aspek dan faktor kepemimpinan kita dapat mencari tahu
bagaimana kepemimpinan dapat ditumbuhkan, dipelajari dan dikuasai. Untuk
menumbuhkan kepemimpinan pada diri seseorang, pertama-tama orang itu harus
mengenal konteks tempat ia hidup. Dengan kata lain ia harus memahami kondisi
interaksi manusia yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu. Ia pun tentu
saja harus memahami aspek dan faktor kepemimpinan. Kepemimpinan sebagai
proses dan selalu tampil sebagai sebuah relasi dengan kelompok manusia
menuntut orang itu untuk masuk dalam kelompok, terlibat dan mengambil
tindakan aktif di sana. Seperti belajar berenang atau mengendarai sepeda, orang
harus menyertakan tindakan praktis untuk dapat memiliki kemampuan
kepemimpinan.
Pembelajaran
teoritis
saja
tidak
mungkin
menghasilkan
penguasaan tentang kepemimpinan. Belajar kepemimpinan adalah melakukan
tindakan kepemimpinan. Belajar kepemimpinan adalah langsung mempraktekkan
kemampuan kepemimpinan di lapangan.
Tidak ada kerangka tindakan atau seperangkat panduan praktis bagi
kepemimpinan karena setiap konteks akan menuntut tindakan yang berbeda.
Tidak ada resep bagi kepemimpinan dan bagaimana menjadi pemimpin. Seperti
pesilat yang tidak lagi mengingat jurus saat bertarung, ikut saja dalam irama
pertarungan dan bereaksi secara spontan menanggapi lawan, pemimpin bertindak
11
dalam konteks yang melingkupinya, menanggapi masalah yang datang bertubitubi, mengambil keputusan dengan pertimbangan berdasarkan situasi dan
kondisi yang dihadapi. Seperti seorang pendaki yang menjadikan medan
pendakian dasar pertimbangannya, seorang pemimpin menjadikan kondisi
interaksi manusia tempat ia berada sebagai pijakan bagi tindakan-tindakannya.
Kepemimpinan adalah kesadaran akan keberadaan diri di tengah interaksi
manusia, pemahaman menyeluruh tentang konteks psikologis-sosial-budayahistoris-geografis-teknis-ekonomis, kesiapan menanggapi berbagai kejadian,
kecermatan mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah, kesigapan tindakan,
kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan, keselarasan yang mempertemukan
kepentingan berbagai pihak, serta sinergi keseluruhan unsur dalam proses
pencapaian tujuan bersama.
Yang dibutuhkan oleh kepemimpinan adalah strategi dan kesiapan
psikologis. Strategi terwujud dalam kerangka pikiran, frame of reference, kerangka
orientasi, peta kognitif atau skema yang memberi petunjuk tentang berbagai
kemungkinan tindakan kepemimpinan dalam berbagai situasi. Strategi itu
didasari oleh kesiapan psikologis yang dibutuhkan dalam kepemimpinan.
Setidaknya ada tiga kualitas psikologis yang menjadi unsur dari kesiapan
psikologis yaitu: (1) keterbukaan pikiran; (2) kemampuan berpikir kritis; dan (3)
kreativitas.
Keterbukaan pikiran dibutuhkan untuk memahami konteks kepemimipinan
secara menyeluruh. Mengingat konteks kepemimpinan adalah suatu kondisi
dinamis yang terus bergerak dan berubah maka pemahaman terhadapnya harus
dilakukan secara terus-menerus. Tanpa keterbukaan pikiran, sulit bagi seseorang
untuk mencermati secara menyeluruh proses pergerakan dan perubahan itu.
Kegiatan pemahaman dan pencermatan di sini adalah kegiatan berpikir, menalar
pergerakan dan perubahan serta pengaruhnya terhadap proses pencapaian tujuan
bersama. Oleh karena itu keterlibatan pikiran yang terbuka menjadi penting
dalam kepemimpinan.
Berpikir kritis dibutuhkan dalam pengolahan informasi dan pembuatan
keputusan. Setiap saat seseorang yang terlibat dalam kepemimpinan selalu
berhadapan dengan informasi, baik dari hasil observasi, media massa, iklan, buku,
juga dari orang-orang yang ada di sekelilingnya. Informasi digunakan untuk
membuat analisis dan kesimpulan yang akan dituangkan dalam penentuan
berbagai keputusan. Setiap orang bisa salah dalam mengambil kesimpulan atau
keputusan karena menggunakan informasi yang tidak tepat. Seorang yang ingin
12
menguasai kepemimpinan perlu melatih kemampuannya menimbang informasi
secara cermat agar saat terjun ke masyarakat ia dapat memberikan masukanmasukan yang tepat dan membantu masyarakatnya terhindar dari kerugian
akibat
kesalahan
menggunakan
informasi.
Berpikir
kritis
memperbesar
kemungkinan manusia memperoleh informasi yang benar. Informasi yang benar
sangat membantu manusia mengambil tindakan yang tepat. Berpikir kritis di sini
didefinisikan sebagai usaha yang dilakukan secara aktif, sistematis dan
mengikuti prinsip-prinsip logika serta mempertimbangkan berbagai sudut
pandang untuk memahami dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan
menentukan apakah informasi itu diterima, ditolak atau ditangguhkan
penilaiannya. Dengan melakukan pertimbangan yang hati-hati dan cermat
sebelum memberi penilaian atau judgement, seseorang bisa terhindar dari
penggunaan informasi yang menyesatkan. Inti dari berpikir kritis adalah tidak
begitu saja menerima sesuatu apa adanya. Seorang yang berpikir kritis akan
menanggapi secara hati-hati informasi-informasi yang diperolehnya. Sebelum ia
mengambil keputusan tentang sebuah informasi, ia terlebih dahulu menimbangnimbang informasi itu dengan cermat, sistematis dan memanfaatkan informasiinformasi tambahan yang mungkin ia peroleh.
Kualitas berikutnya adalah kreativitas. Pengertian kreativitas adalah
kemampuan untuk membuat kombinasi baru berdasarkan data atau informasi
yang tersedia, dilakukan melalui kegiatan menemukan berbagai kemungkinan
solusi serta didasarkan pada kriteria kelancaran, keaslian, keluwesan,
kemampuan mengelaborasi, dan mengevaluasi kemungkinan-kemungkinan
kombinasi baru yang dihasilkan. Kepemimpinan menuntut kemampuan itu
untuk dapat bekerja secara efektif dan efisien dalam usaha pencapaian tujuan
mencapai kesejahteraan masyarakat. Secara umum kreativitas dibutuhkan untuk
menciptakan hal-hal baru yang menjawab masalah dan tuntutan pemenuhan
kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Pada awalnya adalah adanya
kesenjangan antara yang diinginkan dengan kenyataan yang ada. Dengan kata
lain, ada kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh apa yang ada. Kesenjangan
antara kebutuhan dengan alat pemenuh kebutuhan ini menuntut seseorang untuk
mengurangi bahkan menghapus kesenjangan itu dengan menciptakan produkproduk baru. Produk-produk baru itu diharapkan kemudian dapat memenuhi
kebutuhan. Selain produknya yang baru, cara-cara produksi, teknik dan metode
yang digunakan juga dituntut untuk diperbaharui. Hal ini berkaitan erat dengan
efisiensi dan tingkat produktivitas kerja. Dengan adanya cara, teknik dan metode
13
baru yang lebih baik diharapkan biaya dapat menjadi lebih murah, penggunaan
bahan baku lebih sedikit untuk hasil yang lebih baik, dan penggunaan sumber
daya alam lebih hemat.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa untuk menumbuhkan
kepemimpinan pada diri seseorang bukan mengajarkan panduan tindakan
konkret yang perlu dipersiapkan tetapi menumbuhkan kesiapan psikologis yang
perlu dikembangkan. Menghafalkan sederetan langkah yang menjelaskan
bagaimana memimpin hanya berguna dalam satu konteks tertentu dan
kehilangan kegunaannya dalam konteks yang lain. Kepemimpinan juga
mencakup kemampuan untuk menghasilkan rangkaian tindakan yang tepat
dalam berbagai konteks. Seseorang dengan kemampuan kepemimpinan yang
memadai bukan penjiplak langkah orang lain tetapi pencipta langkah sendiri. Ia
juga selalu siap untuk membuat tindakan efektif dan efisien sebagai pemimpin
dalam situasi dan kondisi yang dihadapinya, kapan dan di manapun. Untuk
itulah kesiapan psikologis kepemimpinan harus dimilikinya. Pada kenyataannya,
kepemimpinan adalah kemampuan manusia untuk menempatkan diri secara
proporsional dan strategis dalam dunia tempat ia tinggal bersama manusiamanusia lain. Lebih jauh lagi, kepemimpinan adalah bagaimana menjadi manusia
yang hidup dan berarti.***
Daftar Pustaka
Allport, G.W. 1937. Personality: A psychological interpretation. New York: Henry
Holt and Company.
Aristotle. Trans. 1996. Aristotle, Posterior Analytics (translation with commentary),
2nd edition. Clarendon Aristotle Series. Oxford: Clarendon Press.
Bittle, Celestine N. 1950. The Science of Correct Thinking; Logic. Milwaukee: The
Bruce Publishing Company.
Burns, J.M. 1978. Leadership. New York: Harper Row.
Fridolin, Iwan. 1998. Cendekiawan dan Sejarah Tradisi Kesusastraan Cina. Jakarta:
Fakultas Sastra UI.
Fung Yu-lan. 1953. A History of Chinese Philosophy, Vol. II. (Translated by: Derk
Bodde). Leiden: E.J. Brill.
McClelland, D.C. 1951. Personality. . New York: Henry Holt and Company.
Plato. 1961. Collected Dialogues. Edited by E. Hamilton and H. Cairns. Princeton:
Princeton University Press.
Tannenbaum, Weschler & Massarik, 1961
14
Wren, J.T. 1995. The Leader’s Companion. New York: The Free Press.
Catatan:
Tulisan ini tidak bermaksud menyampaikan penjelasan tentang bagaimana menjadi pemimpin ( know-how)
tetapi mengajak pembaca untuk terlibat menganalisispermaslahan kepemimpinan dengan tujuan untuk
mendapatkan insight sebanyak mungkin tentang kepemimpinan.
1
Istilah kategori (category) berasal dari kata Yunani Kuno kategoria, diturunkan dari kata berarti
‘membedakan’, ‘memilah’, ‘memisahkan’ atau ‘melawan’ dan agoreuein yang berarti ‘menyatakan’ atau
‘menegaskan’. Kategori dapat diartikan sebagai menyatakan perbedaan atau pemilahan. Secara umum,
kategori merupakan karateristik yang sangat umum atau cara bagi sesuatu untuk mengada. Sederetan
kategori berusaha untuk mencakup seluruh jenis kualitas dan karakteristik yang dimiliki oleh semua benda.
Kategori-kategori ini dianggap sebagai suatu ‘universal’. Universals adalah idea yang mewakili semua gejala
yang mempunyai sifat-sifat tertentu (Bittle, 1950). Aristoteles membagi segala sesuatu dalam sepuluh kategori
mencakup (1) substansi’ (2) kualitas, (3) kuantitas atau ukuran, (4) relasi (relatio), (5) aksi (actio), (6) reaksi atau
terkena aksi (pasif, menderita, pasio), (7) waktu (kapan), (8) lokasi (dimana), (9) posisi (dalam arti posisi fisik
atau posture, silus) dan (10) memiliki atau mengenakan (habitus).
2
Hal-hal yang termasuk dalam kategori relasi adalah hal-hal yang keberadaannya hanya dimungkinkan oleh
keberadaan hal lain. Tulisan ini hendak menunjukkan perbedaan antara kategori relasi dan kategori
substansi. Benda-benda yang termasuk dalam kategori substansi adalah benda-benda yang keberadaannya
tidak membutuhkan atau mensyaratkan keberadaan benda-benda lain. benda dalam kategori subtansi dapat
dengan tegas dipilah dan dibedakan dari benda lainnya.
3
Republic adalah buku karya Plato yang memuat pemikiran-pemikirannya tentang negara, hidup dalam
masyarakat dan pemimpin yang baik.
4
Politics adalah buku karya Aristoteles tentang kehidupan bermasyarakat termasuk tentang pemimpin. Istilah
‘politic’ dalam karya ini merujuk kepada kehidupan bermasyarakat untuk mencapai tujuan bersama, bukan
dalam pengertian politik sebagai ajang perolehan kekuasaan.
6 Tao-Tê-Ching adalah kitab Lao-tzu yang terkenal yang merupakan kitab klasik mengenai ‘jalan’ seisi alam
dan dayanya. Buku ini dipandang sebagai kitab filsafat yang pertama muncul di Cina.
5
Istilah Dao (dibaca tao) tidak memiliki padanan kata dan oleh para filsuf Cina dianggap tidak dapat
dijelaskan dengan kata-kata. Namun, Dao dapat dipahami dari asal katanya. Secara harafiah Dao berarti jalan.
Dari aksaranya dapat dipahami bahwa Dao adalah jalan pemimpin membawa pengikutnya, jalan yang benar
yang sesuai dengan tatacara alam. Dao dengan demikian diartikan sebagai jalan menuju ke kebajikan dari
pemimpin yang bijak atau Raja Agung. Dalam arti ‘Jalan’, Dao pada hakikatnya berarti cara atau metode dari
terjadi atau terciptanya sesuatu. Dao juga merujuk pada cara melakukan sesuatu bagi manusia agar mencapai
kebajikan. Karena itu Dao mempunyai arti cara bertindak atau alur perilaku dalam kehidupan manusia, atau
bisa juga berarti aturan-aturan tingkah laku (Fridolin, 1998).
7
Istilah juga Dao dapat dipahami dalam kerangka moralitas sebagai perangkat aturan atau azas perilaku
dalam arti sosial dan politik. Dalam kerangka acuan ini, Dao mempunyai pengertian cara hidup atau tatacara
kehidupan insani dalam lingkungan sosial.
Penggunaan Dao sebagai dasar dari pemikiran filosofis juga dilakukan oleh beberapa filsuf Cina lainnya. Satu
di antaranya adalah Lao-tzu, seorang pelopor dan penyebar Daoisme. Lao-tzu dilahirkan di Negara Ch’u atau
yang sekarang dikenal sebagai Propinsi Honan. Meskipun lebih tua usianya, Lao-tzu dapat dikatakan hidup
sejaman dengan Confucius. Nama Lao-tzu dapat diartikan ‘Empu Tua’.
8
Kitab Mengsius adalah kita rujukan bagi pengikut Konfucius selain Kitab Analec yang ditulis oleh Konfucius.
Tentang temperamen, Allport (1937) dalam Personality: A psychological interpretation menyatakan,
“Temperament refers to the characteristic phenomena of an individual’s emotional nature, including his susceptibility to
emotional stimulation, his customary strength and speed of response, the quality of his prevailing mood, and all
peculiarities of fluctuation and intensity in mood; these phenomena being regarded as dependent upon constitutional
make-up, and therefore largerly hereditary in origin.”
9
Download