ANALISIS MANAJEMEN RANTAI PASOK IKAN HIAS LAUT NON SIANIDA DI KEPULAUAN SERIBU DIAN WISUDAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Manajemen Rantai Pasok Ikan Hias Laut Non Sianida di Kepulauan Seribu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Mei 2010 Dian Wisudawati NRP. H251070031 ABSTRACT DIAN WISUDAWATI. Analysis of Non Cyanide Marine Ornamental Fish Supply Chain Management in Seribu Islands. Under direction of WILSON H. LIMBONG and JONO M. MUNANDAR. Marine Ornamental Fish is an interesting commodity for business. This business need an outstanding supply chain management to make it sustainable. This research aims (a) to describe a non cyanide marine ornamental fish in Seribu Islands, (b) to analyse factors that influenced the willingness of the fishermen, and (c) to create a priority strategy to make a fair and sustainable supply chain management for all parties. There are two lines of supply chain in this research, that is domestic market and foreign market. We found an innovation of a fishermen group who make their own market to the exporters, so they could make higher price that others. The description analysis describe seven factors that judge as the factors influenced the fishermen to participate in the supply chain management, there are trust, commitment, compatibility, interdependence, management perception of uncertainty, interdependence and extendness relationship. Generally, we could not differ the responds between fishermen who will stay in the supply chain and who will not. But there are some points that could be as tools to measure their willingness, that is the impact of price fluctuation in the supplier level, commitment of supplier due to payment system, and norms in the fishermen level to sell their fish to the capital maker. While the priority strategy to make a fair and sustainable supply chain management is access development of information and technology and second is facilitate human resource capacity, third is transparency in cooperation between parties, and last intervention from the government. The most important factor is norms in cooperation, the most important actors to be involved is fishermen. And the objectives has almost equal distributed between increasing product value, sustainabel of natural resource, sustaibility of fishermen and suppliers business, and increasing the wealth of fishermen. Keywords: marine ornamental fish, non-cyanide, supply chain management, Seribu Islands, fair trade. RINGKASAN DIAN WISUDAWATI. Analisis Manajemen Rantai Pasok Ikan Hias Laut Non Sianida di Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh WILSON H. LIMBONG dan JONO M. MUNANDAR. Orientasi Rantai Pasok didefinisikan sebagai pengakuan oleh suatu organisasi sistemik, implikasi strategis dari aktivitas taktis yang terlibat dalam mengelola berbagai aliran dalam suatu rantai pasok. Hal yang paling mendasar yang perlu dianalisis untuk dapat mewujudkan suatu rantai pasok yang kohesif adalah mengenai kesediaan dari masing-masing pihak untuk bisa bekerjasama dengan baik. Untuk itu dasar-dasar relasi yang bisa mempertemukan antara nelayan, pengepul, dan perusahaan eksportir serta importir agar dapat bermitra dalam manajemen rantai pasok ikan hias dikaji dalam penelitian ini. Untuk itu perlu dibangun sebuah skema mekanisme kemitraan dan kerjasama yang mampu mendorong terciptanya sebuah sistem manajemen rantai pasok ikan hias yang efektif dengan prinsip fair trade antara perusahaan, nelayan dan pengepul. Penelitian ini bertujuan untuk: (a) Menggambarkan mekanisme rantai pasok ikan hias non sianida di Kepulauan Seribu, (b) Menganalisis hal-hal yang mempengaruhi kesediaan nelayan untuk berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok ikan hias non sianida, (c) Memberikan altenatif skema manajemen rantai pasok ikan hias non sianida yang efektif dan sesuai dengan prinsip fair trade bagi nelayan, pengepul, dan perusahaan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2009 sampai Januari 2010. Pengambilan data dilakukan di Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta dan di 3 Perusahaan Ekspor Ikan Hias di Tangerang. Sedangkan penelusuran literatur dan pengolahan data dilakukan di Bogor, Jakarta dan sekitarnya pada bulan Agustus 2009 sampai Januari 2010. Pada penelitian ini dilakukan analisis kesediaan nelayan sebagai ujung tombak rantai pasok untuk berpartisipasi di dalam manajemen rantai pasok ikan hias non sianida dengan mengambil 38 sampel nelayan untuk diwawancara, kemudian data yang ada dianalisa dengan menggunakan analisis deskriptif kuantitatif. Sedangkan perumusan strategi manajemen rantai pasok ikan hias dilakukan dengan metode Analysis Hierarchy Process dengan meminta pendapat beberapa ahli dari semua pihak, yaitu dari pihak perusahaan, akademisi, pemerintah, dan LSM. Dari wawancara yang dilakukan, dapat diidentifikasi model rantai pasok dimana alur distribusi komoditas dan informasi terbagi menjadi 2, yaitu untuk pasar dalam negeri dan luar negeri. Terdapat satu upaya unik yang dilakukan oleh kelompok nelayan dalam memotong rantai pasok pada elemen pengepul, sehingga harga beli ikan pada nelayan dapat lebih tinggi dibandingkan harga beli dari pengepul. Pada analisis deskriptif kuantitatif, diduga beberapa faktor akan menentukan kesediaan nelayan untuk berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok ikan hias, sehingga digunakan beberapa variabel penduga antara lain (a) kepercayaan, (b) komitmen, (c) norma-norma kerjasama, (d) kesaling tergantungan, (e) kesesuaian, (f) hubungan tambahan diluar hubungan profesi, dan (g) persepsi manajemen akan ketidakpastian lingkungan. Secara umum, respon nelayan yang menyatakan tidak bersedia berpartisipasi mayoritas sama dengan respon secara nelayan yang menyatakan bersedia berpartisipasi dalam rantai pasokan. Namun ada beberapa poin yang dapat dijadikan sebagai ukuran kesediaan nelayan, antara lain pengaruh perubahan harga di tingkat pengepul, komitmen pengepul dalam menepati pembayaran, dan norma dalam menjual ikan kepada pemberi modal. Skema strategi disusun dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process tersusun dari beberapa level berikut : Level 0 - Goal : Menciptakan manajemen rantai pasok yang adil dan lestari; Level 1 - Faktor : (a) trust dan komitmen, (b) norma-norma kerjasama, (c) kebijakan pemerintah, (d) kepedulian terhadap lingkungan; Level 2 - Aktor : (a) Nelayan, (b) Pengepul, (c) Perusahaan, (c) Pihak luar; Level 3 - Tujuan : (a) peningkatan kesejahteraan nelayan (b) keberlanjutan usaha nelayan dan pengepul (c) peningkatan nilai produk (d) kelestarian sumberdaya alam; dan Level 4 - Skenario : (a) transparansi kerjasama antar pihak, (b) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM, (c) pengembangan akses informasi dan teknologi, (d) intervensi pemerintah terhadap kebijakan. Hasil sintesa yang digambarkan oleh grafik sensitivitas dari software expert choice 2000 yang merupakan gambaran kombinasi pendapat dari 4 pihak, yaitu dari pihak perusahaan, pihak akademisi, pihak LSM, dan pihak pemerintah adalah sebagai berikut : Dalam mencapai goal, didapatkan prioritas skenario yang akan dilakukan untuk mencapainya, yaitu skenario pertama adalah pengembangan akses informasi dan teknologi (49,3%), yang artinya bahwa hampir dari setengah dari goal dapat dicapai dengan menjalankan skenario ini. Kemudian menyusul skenario yang kedua adalah fasilitasi peningkatan SDM dengan nilai 20,3%, transparansi kerjasama antar pihak 17,9%, dan dengan dorongan 12,5% intervensi dari pemerintah, maka goal akan dapat tercapai 100%. Beberapa faktor yang akan mendukung skenario tersebut antara lain yang terpenting adalah norma-norma kerjasama (35,4%), trust dan komitmen (29,8%), kepedulian terhadap lingkungan (21,4%), dan kebijakan pemerintah (13,4%). Hal ini berarti bahwa, menurut para ahli, norma-norma kerjasama menjadi prioritas utama dalam menciptakan suatu manajemen rantai pasok yang adil dan lestari. Dengan memprioritaskan pengembangan akses informasi dan teknologi, nelayan memiliki peran yang sangat penting (50,9%), jauh lebih tinggi dari pada aktor yang lain, yaitu perusahaan (18,8%), pengepul (16,5%), dan pihak luar (13,9%). Namun demikian, sekecil apapun prosentase peranannya, semua pihak harus bekerjasama untuk mencapai goal yang diinginkan bersama. Perumusan tujuan sangat berperan dalam menentukan skenario yang akan diambil. Keempat tujuan yang telah dibuat memiliki prosentase yang merata sama satu sama lain. Peningkatan nilai produk 28,6%, kelestarian sumberdaya alam25,1%, keberlanjutan usaha nelayan dan pengepul 23,2%, sama dengan peningkatan kesejahteraan nelayan 23,2%. Dengan demikian dapat diartikan bahwa pada setiap skenario yan telah dibuat, masing-masing dapat secara proporsional menjawab tujuan yang ingin dicapai oleh semua pihak dalam rangka mencapai manajemen rantai pasok yang adil dan lestari. Kata kunci: ikan hias laut, non sianida, manajemen rantai pasok, Kepulauan Seribu, perdagangan yang adil dan lestari. © Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa ijin IPB ANALISIS MANAJEMEN RANTAI PASOK IKAN HIAS LAUT NON SIANIDA DI KEPULAUAN SERIBU Oleh: DIAN WISUDAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Ir. Pramono Fewidarto, M. Sc LEMBAR PENGESAHAN Judul : Analisis Manajemen Rantai Pasok Ikan Hias Laut Non Sianida di Kepulauan Seribu Nama Mahasiswa : Dian Wisudawati Nomor Pokok : H 251070031 Program Studi : Ilmu Manajemen Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Wilson H. Limbong, MS Ketua Dr. Ir. Jono M. Munandar, M. Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Manajemen Dr. Ir. Abdul Kohar Irwanto, M. Sc Tanggal ujian: 22 Februari 2010 Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal lulus: 23 Juni 2010 Kupersembahkan karyaku , semoga bukan yang terakhir kali kepada orang yang sangat kucintai, kusayangi, dan kuhormati ..... Mama dan Bapak Terimakasih atas semua cinta yang telah kalian berikan selama 27 tahun ini I love you... PRAKATA Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul “Analisis Manajemen Rantai Pasok Ikan Hias Non Sianida di Kepulauan Seribu” sebagai syarat untuk kelulusan sekolah di Program Pasca Sarjana Ilmu Manajemen – Institut Pertanian Bogor ini. Banyak sekali pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan tugas akhir ini dari awal hingga selesai. Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Mama Sugiarti dan Bapak Harunurrasyid atas cintanya hingga penulis selalu dapat berkarya dan mengejar ilmu setinggi-tingginya. 2. Prof. Dr. Wilson H. Limbong, MS dan Dr. Ir. Jono M. Munandar, M.Sc atas kesabarannya membimbing penulis selama satu tahun lebih. 3. Ir. Pramono Fewidarto, M. Sc atas keluangan waktunya, saran, serta masukannya sebagai supervisor AHP sekaligus dosen penguji. 4. Mas Budi Santoso, suamiku tercinta, atas kesetiaannya menemani penulis mulai dari urusan perijinan, hingga mendampingi penulis mengambil data di lapang. I know I can’t make it without you... 5. Bang Idris dan teman-teman Yayasan TERANGI yang telah membukakan akses tempat penelitian di Kepulauan Seribu dan menyediakan data bagi penulis dengan sangat cepat dan taktis. You do the big help... 6. Abdul Khaliq, M. Si dan Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu atas data dan informasinya. 7. Bang Wahyu dan kelompok nelayan di Pulau Panggang yang meluangkan waktunya untuk diskusi di malam hari dan mengijinkan penulis untuk ikut menangkap ikan hias di Pulau. 8. Pak Jayadi, Lilis dan Ulva yang telah membantu dan menemani penulis dalam mengambil data di Pulau Panggang. 9. Ibu Wiwie, Bapak Dody, Mas Erik, atas informasinya tentang bisnis ekspor ikan hias laut di pasar Internasional. 10. Hino, Hani, Yani, dan Rima, teman-teman seperjuangan di masa kuliah atas dukungannya kepada penulis. 11. Seluruh dosen Program Studi S2 Ilmu Manajemen atas pengajaran dan motivasi yang selalu diberikan pada masa perkuliahan. 12. Teman-teman Lawalata IPB yang selalu mendukung penulis untuk tetap menikmati proses penyelesaian tugas akhir ini bagai sebuah petualangan. 13. Putri, Titi, Menur, Ratih (teman-teman kosan) atas dukungannya di detik-detik terakhir. 14. Semua staff Mayor Ilmu Manajemen yang telah membantu kelancaran administrasi dan surat-menyurat dalam penelitian. 15. Dan semua teman-teman yang lain atas semua bantuannya. Akhirnya, penulis berharap tugas akhir ini bisa bermanfaat bagi nelayan dan perusahaan, serta semua pihak yang membutuhkannya. Bogor, Mei 2010 Penulis RIWAYAT HIDUP Pada tanggal 27 Januari 1983, penulis dilahirkan di Ponorogo dari Ib u Sugiarti dan Bapak Harunurrasyid. Besar harapan mereka akan anak pertama dari dua bersaudara ini, yaitu menjunjung tinggi harga diri keluarga dan mengejar cita-cita setinggi mungkin. Selama hidupnya, penulis mengisi hari-harinya dengan berpetualang sambil belajar. Sekolah di SMU I Ponorogo, penulis mengikuti ekstrakurikuler pecinta alam Ganesha Pala dan lulus pada tahun 2001. Penulis kemudian mengambil kuliah sarjana di Institut Pertanian Bogor pada Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Melanjutkan petualangannya, penulis mengikuti UKM Lawalata - IPB (Perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam) dan aktif di divisi Tirta. Kekuatannya dalam mengikuti Ekspedisi INSTANT (International Nusantara STratification ANd Transport) di perairan Indonesia Timur bekerjasama dengan Badan Riset Kelautan dan Perikanan DKP, membawanya lulus dengan skripsi berjudul Distribusi Sebaran Kopepoda dengan menggunakan ADCP (Accoustic Doppler Current Profiller) di Selat Ombay, Timor pada tahun 2006. Setahun melalang buana di dunia LSM, penulis akhirnya memutuskan untuk mengambil Program Pasca Sarjana Ilmu Manajemen di Institut Pertanian Bogor. Sambil kuliah, penulis beraktivitas sebagai volunteer di LSM Perkumpulan Telapak, yaitu LSM yang memperjuangkan nelayan, petani, dan masyarakat adat. Isu yang diangkat adalah isu lingkungan hidup, dan penulis tertarik dengan isu laut. Menggabungkan kedua disiplin ilmu di bangku kuliah S2 dan S1, penulis mengambil tesis berjudul Analisis Manajemen Rantai Pasok Ikan Hias Non Sianida di Kepulauan Seribu. Tesis ini mengantarnya lulus pada tahun 2010 untuk tantangan kehidupan selanjutnya. DAFTAR ISI Hal. I II III IV DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1.2. Rumusan Masalah ...................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................... 1.4. Kegunaan Penelitian .................................................................. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Manajemen Rantai Pasok .......................................................... 2.1.1. Manajemen Rantai Pasok sebagai Filosofi Manajemen .. 2.1.2. Manajemen Rantai Pasok sebagai Serangkaian Aktivitas untuk Mengimplementasikan Filosofi Manajemen ........ 2.1.3. Manajemen Rantai Pasok sebagai Serangkaian Proses Manajemen .................................................................... 2.2. Orientasi Rantai Pasok ............................................................. 2.2.1. Variabel-variabel Orientasi Rantai Pasok ...................... 2.2.2. Model Manajemen Rantai Pasok (Mentzer et al, 2001) .. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran .................................................................. 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... 3.3. Jenis dan Sumber Data .............................................................. 3.4. Metode Pemilihan dan Penarikan Sampel ................................. 3.5. Metode Pengumpulan Data ....................................................... 3.6. Pengolahan dan Analisis Data .................................................. 3.6.1. Analisis Deskriptif .......................................................... 3.6.2. Analisis Deskriptif Kuantitatif ....................................... 3.6.3. Analysis Hierarchy Process (AHP).................................. GAMBARAN UMUM 4.1. Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu ............................... 4.1.1. Kondisi Geografis ............................................................ 4.1.2. Aspek Alam ..................................................................... 4.1.3. Aspek Pemerintahan dan Pengelolaan Wilayah ............... 4.1.4. Aspek Sosial dan Ekonomi ............................................... 4.1.5. Kelimpahan Ikan di Kepulauan Seribu ............................ 4.2 Kelurahan Pulau Panggang ........................................................ 4.2.1. Demografi di Kelurahan Pulau Panggang ....................... 4.2.2. Sertifikasi Ikan Hias Non Sianida ................................... 4.3. Praktek Penangkapan Ikan Hias Laut Ramah Lingkungan ...... 4.4. Karakteristik Pelaku dalam Rantai Pasok Ikan Hias Laut Non Sianida di Kepulauan Seribu ................................................... 4.4.1. Nelayan Ikan Hias Laut di Kepulauan Seribu ................. 4.4.2. Pengepul Ikan Hias Laut di Kepulauan Seribu ............... 4.4.3. Perusahaan Ekspor Ikan Hias Laut di Tangerang ............ iv v vi 1 5 6 6 7 11 12 16 17 19 24 26 29 30 30 31 32 32 33 36 42 42 42 43 45 46 47 47 49 53 54 54 56 59 V VI VII HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Gambaran Rantai Pasok Ikan Hias Laut .................................... 5.1.1. Struktur Rantai Pasok ..................................................... 5.1.2. Entitas Rantai Pasok ........................................................ 5.1.3. Manajemen Rantai Pasok .................................................. 5.1.4. Sumber Daya Rantai Pasok .............................................. 5.1.5. Proses Bisnis Rantai Pasok ............................................. 5.1.6. Strategi Pemasaran Ikan Hias Laut .................................. 5.2. Kesediaan Nelayan untuk Berpartisipasi dalam Rantai Pasok Ikan Hias Non Sianida ................................................................ 5.3. Strategi Manajemen Rantai Pasok Ikan Hias Non Sianida di Kepulauan Seribu ........................................................................ 5.3.1. Penyusunan Hierarki ........................................................ 5.3.2. Penentuan Kriteria dan Pembobotan ................................. 5.3.3. Interpretasi Masing-masing Kriteria ................................ 5.4. Implikasi Manajerial ................................................................... KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ................................................................................ 6.2. Saran .......................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 63 63 75 76 78 81 90 95 102 102 107 109 118 121 121 123 DAFTAR TABEL No. Teks 1. 2. 3. 4. Posisi Indonesia sebagai negara pengekspor ikan hias di dunia ........ Definisi Manajemen Rantai Pasok Menurut Beberapa Penulis ....... Susunan Sampel dan Ahli sebagai Responden .................................. Responden Ahli pada Perumusan Strategi MRP Ikan Hias yang Adil dan Lestari .......................................................................................... Nilai dan Definisi Pendapat Kualitatif (Saaty, 1983) ....................... Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Panggang Berdasarkan Umur ... Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan ........................... Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian .............................. Dokumen Sertifikasi Ikan Hias .......................................................... Perhitungan Ekonomis Penangkapan Ikan dengan Sianida ............... Perhitungan Ekonomis Penangkapan Ikan Hias tanpa Sianida .......... Jaringan Anggota Primer Rantai Pasok Ikan Hias di Kepulauan Seribu dari Nelayan hingga Perusahaan ............................................ Aktivitas Anggota Primer Rantai Pasok Ikan Hias Non Sianida di Kepulauan Seribu ............................................................................... Daftar Pemasok Bahan Baku Non Ikan Hias dalam Rantai Pasok ..... Perbedaan Harga pada Beberapa Jenis Ikan Hias Laut di Kepulauan Seribu ................................................................................................. Visi, Misi, dan Tujuan Perusahaan ................................................... Respon untuk Variabel Kepercayaan (trust) ..................................... Respon untuk Variabel Komitmen .................................................... Respon untuk Variabel Norma-norma Kerjasama ............................ Respon untuk Variabel Kesalingtergantungan ................................... Respon untuk Variabel Kesesuaian ................................................... Respon untuk Variabel Hubungan Tambahan .................................... Respon untuk Variabel Jaminan Kepastian ........................................ Inconsistency Ratio Tahap Pertama .................................................... Inconsistency Ratio Tahap Kedua ...................................................... 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. Hal. 3 10 31 37 39 48 48 49 51 55 55 65 71 72 85 90 97 98 98 99 100 101 102 107 108 DAFTAR GAMBAR No. Teks 1. 2. 3. Nilai Ekspor Ikan Hias Laut Indonesia tahun 2007 ........................... Ilustrasi Saluran Distribusi Ikan Hias Laut ........................................ a. Direct Supply Chain .................................................................... b. Extended Supply Chain ............................................................... c. Ultimate Supply Chain ................................................................. Variabel (antecedents) dan Outcome (consequences) Manajemen Rantai Pasok, (Mentzer et. al., 2001) ............................................... Model Manajemen Rantai Pasok (Mentzer et al., 2001) ................... Kerangka Pemikiran Operasional ...................................................... Peta Lokasi Penelitian ........................................................................ Skema Analysis Hierarchy Process untuk Ultimate Goal tertentu .... Keragaman jenis dan kelimpahan ikan hias laut di Kepulauan Seribu ............................................................................................... Pelatihan dan Sertifikasi MAC nelayan dan pengepul responden .... Sebaran usia dan pengalaman nelayan ikan hias laut ........................ Sebaran jumlah tanggungan dan pendapatan harian nelayan ikan hias laut .............................................................................................. Sebaran pendidikan nelayan dan keanggotaan kelompok nelayan ikan hias laut ..................................................................................... Sebaran usia dan pengalaman pengepul ikan hias laut ...................... Sebaran omset bulanan dan jumlah tanggungan pengepul ikan hias laut ..................................................................................................... Keanggotaan kelompok pengepul dan tingkat pendidikan pengepul ikan hias laut ..................................................................................... Jumlah nelayan dan jumlah karyawan pengepul ikan hias laut ........ Jaringan Anggota Primer Rantai Pasok Ikan Hias Non Sianida di Kepulauan Seribu ............................................................................... Pola Aliran dalam Rantai Pasok Ikan Hias Non Sianida di Kepulauan Seribu ........................................................................... Alur Perdagangan Ikan Hias dari Nelayan Kepulauan Seribu hingga ke Pembeli Akhir di Luar Negeri ....................................................... Pairwise comparison untuk aktor yang berperan dalam rantai pasok ikan hias non sianida di Kepulauan Seribu ...................................... Skema Analysis Hierarchy Process untuk Manajemen Rantai Pasok yang Adil dan Lestari ....................................................................... Hasil Pembobotan Pemilihan Strategi dalam Menciptakan Manajemen Rantai pasok Ikan Hias Laut yang Adil dan Lestari ..... Grafik Sensitivitas terhadap Faktor dalam Mencapai Goal .............. Grafik Sensitivitas terhadap Aktor dalam Mencapai Goal ............... Grafik Sensitivitas terhadap Tujuan dalam Mencapai Goal .............. Grafik Sensitivitas Prioritas Skenario dalam Mencapai Goal ............ 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. Hal. 2 4 9 9 9 19 24 28 29 38 47 52 55 55 56 57 58 59 59 63 73 84 96 103 108 109 111 113 115 DAFTAR LAMPIRAN No. Teks Hal. 1. 2. Volume Ekspor Ikan Hias Laut di Indonesia 5 Tahun Terakhir ........ Peta Sumber Daya Ikan Hias dan Ekosistem Terumbu Karang di Kelurahan Pulau Panggang ................................................................ Jenis-jenis ikan hias komoditi Kepulauan Seribu .............................. Kuesioner untuk Nelayan .................................................................. Kuesioner untuk Pengepul ................................................................ Kuesioner untuk Perusahaan .............................................................. Struktur Hierarki Awal Rantai pasok Ikan Hias Non Sianida di Kep. Seribu ................................................................................................ Kuesioner Analytical Hierarchi Process ............................................ View-Tree Analytical Hierarchy Proses Kombinasi ......................... Grafik Sensitivitas Masing-masing Responden AHP ........................ Profil Perusahaan Ekspor Ikan Hias Laut ......................................... Gambar Aktivitas Selama Penelitian .................................................. 127 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 128 129 131 135 139 142 143 146 152 158 163 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada wilayah segitiga terumbu karang (coral reef triangle) dunia. Posisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu Negara dengan penutupan terumbu karang terluas di dunia. Menurut Burke (2002) dalam lingkup regional Asia Tenggara, Indonesia memiliki persentase kepemilikan terumbu karang sebesar 51%, sedangkan dalam tingkatan dunia sebesar 18% dengan catatan estimasi akurat. Dalam kawasan segitiga terumbu karang, ribuan jenis ikan hidup dan tinggal beserta organisme laut lainnya (marine living organism). Dengan demikian terumbu karang memiliki potensi Sumber Daya Ikan (SDI) yang sangat tinggi. Sementara itu terumbu karang juga bernilai ekonomis tinggi (high economic values) dan bernilai konservasi tinggi (high conservation values). Lebih dari itu, kawasan terumbu karang juga memiliki fungsi ekologis tinggi bagi keberlangsungan kehidupan dan menjaga keseimbangan alam demi masa depan yang berkelanjutan (sustainable future). Dilihat dari perspektif ekonomi, terumbu karang adalah sumber devisa negara yang sangat potensial melalui ekspor ikan konsumsi, ikan hias, kulit kerang, rumput laut, obyek wisata bahari, dan bahan obat-obatan. Beragam jenis ikan hias tersebar di berbagai perairan terutama menghuni habitat sekitar terumbu karang. Terdapat sekitar 650 species, 480 species diantaranya sudah teridentifikasi dan sekitar 200 species diantaranya telah diperdagangkan (Poernomo, 2008). Nilai ekonomi total terumbu karang Indonesia mencapai US $ 466 juta. Khusus untuk ikan hias yang dihasilkan dari ekosistem terumbu karang Indonesia, nilainya mencapai US $ 32 juta pertahun (Reefbase, 2001). Nilai ekspor ikan hias laut di Indonesia seperti yang tergambar pada Gambar 1 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki nilai ekspor ikan hias laut yang signifikan di sekitar 10 negara tujuan ekspor di dunia, yaitu USA, Jepang, Malaysia, Singapura, UK, Jerman, Italy, Perancis, Kanada dan Belanda. Nilai ekspor tertinggi adalah ekspor yang dilakukan ke USA, mencapai lebih dari US $ 1,8 juta. Lampiran 1 menyajikan data tentang volume ekspor ikan hias laut Indonesia di berbagai negara di dunia dalam 5 tahun terakhir. Sumber : Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia - Ekspor - 2007 (BPS Jakarta, Indonesia) – setelah diolah. Gambar 1. Nilai Ekspor Ikan Hias Laut Indonesia tahun 2007 Peluang pasar di dunia masih terbuka luas untuk ikan hias laut Indonesia. Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi menyatakan bahwa ikan hias asal Indonesia masih berpotensi besar untuk mengisi pasar ekspor ikan hias dunia, mengingat Indonesia baru mengisi 14,6 juta dollar AS dari 500 juta dollar AS pangsa pasar ikan hias di pasar global 1. Namun demikian, pangsa pasar ekspor ikan hias laut Indonesia masih kalah dengan negara lain. Di Amerika Serikat, Singapura mendominasi pangsa pasar sebesar 30%, sedangkan Indonesia hanya 6%. Ironinya adalah Indonesia sebagai pemilik terumbu karang justru kalah dengan dalam merebut pangsa pasar (lihat Tabel 1). Ekspor ikan hias Indonesia didominasi perusahaan eksportir ikan hias yang juga memiliki usaha budidaya ikan hias sendiri. Usaha budidaya merupakan upaya solutif dalam rangka pemanfaatan lestari dan menjauhkan dari pola ketergantungan dari alam, meskipun potensi ikan hias sangat melimpah di alam (terumbu karang Indonesia). Dengan begitu perusahaan eksportir ikan hias tidak sepenuhnya masuk dalam ranah industri ekstraktif. Kondisi demikian mendorong kerja keras perusahaan untuk memenuhi kuota permintaan pasar akan ikan hias dengan kualitas ekspor. 1 http://64.203.71.11/kompas-cetak/0501/31/ekonomi/ , Peluang Ekspor Ikan Hias Indonesia Besar. 31 Januari 2005. 2 Tabel 1. Posisi Indonesia sebagai negara pengekspor ikan hias di dunia, 2004 No. Negara Pengekspor Nilai (1000 US$) Negara Pengimpor Ikan Hias Ikan Hias 1. Singapore 41.460 USA 2. Malaysia 17.559 Japan 3. Czech Republik 13.353 Germany 4. Indonesia 12.648 United Kingdom 5. Hongkng 9.477 France 6. USA 8.381 Singapore 7. Japan 8.332 Italy 8. Peru 6.439 Belgium 9. Philipine 6.439 Netherlands 10. Israel 5.603 Hongkong 11. Sri Langka 5.527 Canada 12. Thailand 5.245 Spain 13. Belgium 4.322 Malaysia 14. Colombia 4.284 Mexico 15. Spain 3.570 Australia 16. Ireland 3.322 Switzerland 17. Brazil 3.250 Norway 18. France 3.046 Sweden 19. Germany 2.744 Korea 20. China 2.166 Denmark Sumber : Ornamental Fish International website, 2004 Nilai (1000 US$) 39.686 25.618 24.373 23.646 20.859 11.274 10.300 10.163 9.954 9.430 6.520 5.224 4.916 2.819 2.790 2.702 2.334 2.295 2.283 2.025 Keberlanjutan usaha (sustainable business) sangat dipengaruhi oleh kesediaan (supply) bahan baku usahanya. Dalam hal ini kaitannya dengan ekspor ikan hias, banyak perusahaan belum sepenuhnya mampu memenuhi stok dan permintaan pasar luar negeri secara optimal. Kebutuhan pasokan ikan hias perusahaan memerlukan sumber bahan baku yang bukan hanya disuplai dari manajemen perusahaan sendiri. Harus ada sumber lain sehingga kuota pasar ekspor dapat terserap secara baik. Ketersediaan bahan baku merupakan hal yang esensial untuk menjamin sebuah keberlanjutan usaha. Gejolak meningkatnya permintaan pasar menyebabkan banyaknya nelayan beralih profesi menjadi nelayan ikan hias. Meskipun budidaya ikan hias untuk kebutuhan ekspor telah banyak dilakukan oleh banyak perusahan, namun kuota ikan hias masih juga belum terpenuhi secara optimal. Sentimen positif pasar yang ditandai dengan tingginya permintaan pasar terhadap ikan hias telah mendorong nelayan untuk mempraktekkan usaha perikanan merusak (destructive fishing) atau tidak ramah lingkungan. Banyak diantaranya nelayan ikan hias menggunakan 3 potassium sianida 2 dan atau/ bom. Cara ini memungkinkan nelayan untuk menangkap ikan hias dengan cara relatif cepat dan mudah. Namun di lain pihak, pasar luar negeri menghendaki ikan hias yang bebas sianida. Mereka tidak sadar bahwa praktek perikanan tersebut dapat mengancam keberlanjutan usaha dan tentu saja berdampak langsung bagi kehidupan dan kesejahteraan hidup mereka sendiri kedepannya. Oleh karena itu perlu kiranya perusahaan mencoba membangun kemitraan partisipatif dengan cara pelibatan (engagement) nelayan dan pengepul dalam usaha ekspor ikan hias non sianida dengan tujuan untuk memenuhi kuota ekspor ikan hias. Dalam menjalankan sebuah usaha, perusahaan biasanya membangun kemitraan usaha dengan nelayan dan pengepul untuk memenuhi rantai pasok (supply chain) ikan hias guna keberlanjutan usahanya. Keterlibatan nelayan dan pengepul dalam pemenuhan stok ikan hias perusahaan dimungkinkan memiliki multiplayer effect yang tidak hanya sebatas pada keberlanjutan usaha bagi pihak yang bermitra tetapi juga bisa mendukung upaya pelestarian sumberdaya hayati laut (marine living resources) khususnya ikan hias air laut. Melalui penelitian ini akan coba ditemu-kenali dasar-dasar relasi yang menyebabkan nelayan dan pengepul bersedia untuk berpartisipasi dalam pemenuhan pasokan ikan hias di wilayah Kepulauan Seribu. Hal ini berkenaan dengan aliran distribusi ikan hias laut mulai dari nelayan, pengepul, perusahaan sebagai eksportir, sampai pada importirnya (lihat Gambar 2). Nelayan (supplier) Perusahaan (farm dan eksportir) Pengepul (collector) Importir (buyer) Keterangan : : Aliran informasi : Aliran produk Gambar 2. Ilustrasi Saluran Distribusi Ikan Hias Laut 2 Sianida atau potasium merupakan senyawa kimia NaCN dan KCN yang apabila berikatan dengan air akan menjadi senyawa HCN. Satu semprotan sianida sebanyak 20 cc dapat mematikan terumbu karang seluas 5 x 5 m2 dalam waktu 3-6 bulan. 4 1.2. Rumusan Masalah Di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya terdapat beberapa perusahaan eksportir ikan hias yang telah memiliki jaringan pemasok dari pengepul hingga nelayan yang berada di Kepulauan Seribu. Hal ini membuat Kepulauan Seribu menjadi salah satu mata rantai penting dalam perdagangan ikan hias laut di Indonesia sejak 30 tahun lalu. Pemanfaatan ikan hias ini terkonsentrasi di Pulau Panggang. Dari pulau ini dapat disuplai sekitar 107 jenis ikan hias laut untuk diperdagangkan di pasar internasional. Namun demikian, pengelolaan ikan hias laut di Kepulauan Seribu ini masih sangat terbatas. Kurangnya peran pemerintah dan pihak yang terkait membuat pengelolaan ini mengarah pada pengelolaan yang tidak bertanggung jawab. Penggunaan alat tangkap yang merusak, penggunaan potassium/ sianida merupakan hal-hal yang menyebabkan menurunnya kualitas ikan hias dan terjadinya degradasi terumbu karang. Dari sisi konservasi, ada beberapa pihak yang peduli dengan hal ini kemudian mempromosikan cara tangkap dengan menggunakan cara yang lebih ramah terhadap lingkungan, yang tidak merusak terumbu karang. Untuk kasus di wilayah Kepulauan Seribu ini, LSM TERANGI (Terumbu Karang Indonesia) bekerjasama dengan lembaga sertifikasi ikan hias laut non sianida, MAC (Marine Aquarium Council) mencoba untuk masuk ke masyarakat nelayan di Pulau Panggang dan menawarkan solusi pengelolaan ikan hias yang lebih ramah lingkungan, yaitu dengan menggunakan jaring. Saat ini, masyarakat nelayan di Pulau Panggang telah dapat membuktikan bahwa mereka adalah nelayan yang ramah lingkungan. Hal yang paling mendasar yang perlu dianalisis untuk dapat mewujudkan suatu rantai pasok yang kohesif adalah mengenai kesediaan dari masing-masing pihak untuk bisa bekerjasama dengan baik. Untuk itu dasar-dasar relasi yang bisa mempertemukan antara nelayan, pengepul, dan perusahaan eksportir serta importir agar dapat bermitra dalam manajemen rantai pasok ikan hias dikaji dalam penelitian ini. Adanya kesadaran bahwa mereka saling memerlukan satu sama lain semestinya bisa membawa mereka pada suatu kesepakatan atau kesepahaman yang berakhir pada perjanjian jangka panjang baik secara tertulis maupun tidak 5 tertulis untuk saling memenuhi kepentingan masing masing pihak demi satu tujuan utama, yaitu kepuasan pelanggan. Untuk itu perlu dibangunnya sebuah skema mekanisme kemitraan dan kerjasama yang mampu mendorong terciptanya sebuah sistem manajemen rantai pasok ikan hias yang efektif dengan prinsip fair trade antara perusahaan, nelayan dan pengepul. Beberapa uraian di atas menjadi dasar untuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: a. Bagaimanakah gambaran mekanisme rantai pasok ikan hias non sianida di Kepulauan Seribu? b. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kesediaan nelayan untuk berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok ikan hias non sianida? c. Skema manajemen rantai pasok yang seperti apa yang ideal, yang dapat diaplikasikan di lapang sebagai sebuah skema manajemen rantai pasok yang adil bagi semua pihak yang terlibat (fair trade)? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk: a. Menggambarkan mekanisme rantai pasok ikan hias non sianida di Kepulauan Seribu. b. Menganalisis hal-hal yang mempengaruhi kesediaan nelayan untuk berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok ikan hias non sianida. c. Memberikan altenatif skema manajemen rantai pasok ikan hias non sianida yang efektif dan sesuai dengan prinsip fair trade bagi nelayan, pengepul, dan perusahaan. 1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan/saran bagi suatu sistem manajemen rantai pasok khususnya bagi nelayan, pengepul, dan perusahaan dalam menjalankan kegiatan yang mendorong industri ekspor ikan hias laut non sianida, terkait dengan pengembangan strategi pemasaran suatu sistem secara menyeluruh melalui pendekatan manajemen rantai pasok yang lebih baik. Bagi peneliti, penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian yang serupa. 6 II. TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok pembahasan. Pembahasan pertama merupakan penjelasan detail tentang definisi Supply Chain Management (SCM) atau Manajemen Rantai pasok (MRP) untuk membuka wacana pembaca akan betapa luasnya lingkup Supply Chain Management. Pembahasan kedua adalah tentang filosofi cikal bakal implementasi Manajemen Rantai pasok, yaitu Supply Chain Orientation (SCO) atau Orientasi Rantai pasok (ORP), dimana pada pembahasan ini akan dibahas bahwa untuk meraih MRP, perusahaan atau individu harus terlebih dahulu memiliki ORP. Pada bab ini akan dibahas juga variabel-variabel yang akan digunakan di dalam penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara variabel-variabel yang ada dengan kesediaan para pihak, terutama pengepul, dalam hal ini sebagai target responden untuk berpartisipasi di dalam organisasi rantai pasok di Kepulauan Seribu. 2.1. Manajemen Rantai pasok (MRP) Disadari atau tidak, rantai pasok sesungguhnya selalu ada di dunia bisnis manapun, terlepas dari apakah rantai pasok tersebut dikelola atau tidak. Walaupun suatu organisasi tidak secara aktif menjalankan konsep dari rantai pasok, namun sebagai fenomena bisnis, rantai pasok tersebut akan tetap ada. Ada banyak sekali pembahasan tentang Manajemen Rantai pasok (MRP) di berbagai jurnal riset, antara lain Jornal of Business Logistics, International Journal of Logistics Management, Journal of Marketing, Journal of Management, sampai Harvard Business Review, dan masih banyak lagi. Namun Mentzer et. al (2001) mereview, mengklasifikasikan, dan mensintesa beberapa definisi yang sering digunakan tentang rantai pasok dan manajemen rantai pasok pada tataran akademis maupun praktek bisnis. Mereka mengembangkan sebuah definisi yang komprehensif dengan tujuan agar pada masa yang akan datang, riset tentang MRP ini dapat lebih maju dan tepat sasaran karena definisi yang ambigu dari sebuah terminologi telah diperjelas di dalam jurnal yang dipublikasikannya, yang akan dibahas pada tinjauan pustaka di bawah ini. Pembahasan tentang definisi “rantai pasok” akan dibahas terlebih dahulu, karena terminologi ini dirasa lebih umum dari pada terminologi “manajemen rantai pasok”. La Londe dan Masters (1994) menyatakan bahwa suatu rantai pasok merupakan serangkaian perusahaan yang mengalirkan barang-barang ke hilir. Pada umumnya, perusahaan yang sering mempraktekkan rantai pasok ini adalah perusahaan manufaktur yang membuat produk dan mengirimkannya sampai ke tangan konsumen akhir melalui rantai pasok – mulai dari produsen dengan bahan mentah dan komponen-komponennya, assembling produknya, grosir, agen retail, dan perusahaan transportasi, semuanya merupakan anggota dari rantai pasok (La Londe dan Masters, 1994). Masih dengan konsep yang sama, Lambert, Stock, dan Ellram (1998) mendefinisikan rantai pasok sebagai aliansi beberapa perusahaan yang menyampaikan barang atau jasa ke pasar. Dalam hal ini dapat digaris bawahi bahwa kedua konsep tentang rantai pasok di atas memasukkan konsumen akhir sebagai bagian dari rantai pasok. Definisi lain menyatakan bahwa rantai pasok merupakan jaringan beberapa organisasi yang terlibat dari hulu ke hilir, dengan proses dan aktivitas yang berbeda yang menghasilkan nilai dalam bentuk barang dan jasa yang disampaikan pada konsumen paling akhir (Christopher, 1992). Mensintesa dari beberapa definisi di atas, Mentzer et al. (2001) mendefinisikan rantai pasok sebagai serangkaian entitas yang terdiri dari tiga atau lebih entitas (baik individu maupun organisasi) yang terlibat secara langsung dari hulu ke hilir dalam aliran produk, jasa, keuangan, dan/ atau informasi dari sumber kepada pelanggan. Mentzer et al. (2001) juga mengkategorikan rantai pasok menjadi tiga macam berdasarkan tingkat kompleksitasnya, yaitu : 1) Direct Supply Chain Direct supply chain terdiri dari satu perusahaan, satu pemasok, dan satu pelanggan yang terlibat dalam aliran hulu-hilir produk, jasa, keuangan, dan/atau informasi (Gambar 3a). 2) Extended Suply Chain Extended supply chain meliputi beberapa pemasok dari pemasok penghubung dan beberapa pelanggan dari pelanggan penghubung, 8 semuanya terlibat di dalam aliran hulu-hilir produk, jasa, keuangan, dan/atau informasi (Gambar 3b). 3) Ultimate Supply Chain Ultimate supply chain meliputi semua organisasi yang terlibat di dalam aliran hulu-hilir produk, jasa, keuangan, dan/atau informasi (Gambar 3c). Kategori rantai pasok ini merupakan kategori yang paling rumit yang berlaku pada rantai pasok yang kompleks. Pada Gambar 3c dapat dilihat peran pihak ketiga, yaitu penyedia jasa finansial yang mengurusi segala urusan finansial, mengasumsikan resiko, dan memberikan saran finansial; penyedia jasa logistik yang megurusi aktivitas-aktivitas logistik antara dua perusahaan; dan perusahaan penyedia jasa riset pasar yang menyediakan informasi tentang pelanggan terakhir kepada perusahaan untuk memperkuat rantai pasok yang ada. TIPE-TIPE RANTAI PASOK SUPPLIER ORGANIZATION CUSTOMER Gambar 3a. Direct Supply Chain SUPPLIER’S SUPPLIER ... SUPPLIER ORGANIZATION CUSTOMER ... CUSTOMER’S CUSTOMER ... ULTIMATE CUSTOMER Gambar 3b. Extended Supply Chain THIRD PARTY LOGISTICS SUPPLIER ULTIMATE SUPPLIER ... SUPPLIER ORGANIZATION FINANCIAL PROVIDER CUSTOMER MARKET RESEARCH TEAM Gambar 3c. Ultimate Supply Chain Lebih jauh lagi, kita akan membahas tentang rantai pasok yang dikelola dan dijadikan sebagai konsep yang sudah atau akan diimplementasikan pada suatu 9 Tabel 2. Definisi Manajemen Rantai Pasok oleh Beberapa Penulis Penulis Definisi Monczka, Trent, dan Handfield (1998) MRP merupakan fungsi-fungsi material yang terpisah yang akan dikoordinasikan kepada eksekutif untuk keseluruhan proses material, yang dalam hal ini diperlukan suatu kerjasama antar pemasok lintas level. MRP adalah suatu konsep, “yang tujuan utamanya adalah untuk mengintegrasikan dan mengelola sumber daya, aliran, dan kontrol material yang ada dengan perspektif sistem lintas fungsional dan lintas pemasok secara total”. La Londe dan Masters (1994) Strategi rantai pasok meliputi: “... dua atau lebih perusahaan dalam satu rantai pasok dengan kesepakatan jangka panjang; ... merupakan pengembangan kepercayaan dan komitmen dalam suatu hubungan; ... integrasi aktivitas logistik yang melibatkan sharing data permintaan dan penjualan; ... suatu potensi perubahan lokus kontrol pada proses logistik.” Stevens (1989) “Tujuan mengelola rantai pasok adalah untuk menyelaraskan kebutuhan pelanggan dengan aliran material dari pemasok, untuk mendapatkan keseimbangan atas ketimpangan tujuan yang sering terjadi dalam memberikan pelayanan terbaik untuk pelanggan, manajemen inventory rendah, dan biaya per unit rendah.” Houlihan (1988) Jones dan Riley (1985) Cooper et al. (1997) Perbedaan antara manajemen rantai pasok dan kontrol material serta manufaktur klasik adalah: “1) Rantai pasok dipandang sebagai proses tunggal. Tanggung jawab untuk berbagai segmen di dalam rantai tidak terpisah-pisah, kemudian diserahkan pada ranah fungsional seperti manufaktur, pembelian, distribusi, dan penjualan. 2) Manajemen rantai pasok bergantung pada pengambilan keputusan strategis. “Supply” merupakan tujuan bersama dari semua fungsi di dalam rantai secara praktis dan signifikan khususnya dalam hal strategis karena akan berdampak pada keseluruhan biaya dan pangsa pasar. 3) Manajemen rantai pasok memiliki perspektif yang berbeda pada inventory yang digunakan sebagai suatu mekanisme keseimbangan untuk alternatif terakhir. 4) Diperlukan sebuah pendekatan baru pada sistem – integrasi lebih baik dari pada terpisah-pisah. “Manajemen rantai pasok berhubungan dengan total aliran material dari pemasok sampai konsumen akhir...” Manajemen rantai pasok adalah “... suatu filosofi terintegrasi yang digunakan untuk mengelola total aliran dalam saluran distribusi dari pemasok sampai konsumen terakhir” organisasi. Manajemen rantai pasok didefinisikan dengan pengertian yang berbeda-beda oleh beberapa penulis. Mentzer et al., (2001) telah merangkumkan 10 beberapa definisi dan penjelasan lainnya mengenai “manajemen rantai pasok” yang digali dari beberapa penulis yang dapat dilihat pada Tabel 2. 2.1.1. Manajemen Rantai Pasok sebagai Filosofi Manajemen Sebagai suatu filosofi, MRP mengambil pendekatan sistem untuk melihat rantai pasok sebagai entitas tunggal. Bukan hanya sekedar rangkaian dari bagian bagian yang terpisah, yang tiap bagiannya menjalankan fungsinya (Ellram dan Cooper 1990; Houlihan 1988; Tyndall et al. 1998). Dengan kata lain, filosofi manajemen rantai pasok telah meluas dari konsep kemitraan kepada usaha beberapa perusahaan untuk mengelolan aliran total produk dari pemasok sampai pada konsumen akhir (Ellram 1990; Jones dan Riley 1985). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa MRP merupakan kompilasi kepercayaan dari beberapa perusahaan di dalam rantai pasok yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kinerja semua anggota rantai pasok, sampai pada mata rantai yang paling ujung, yang berarti juga mempengaruhi keseluruhan kinerja rantai pasok (Cooper et al. 1997). MRP sebagai filosofi manajemen mencari keselarasan dan konvergensi kapabilitas operasional dan strategis baik di dalam perusahaan maupun antar perusahaan menjadi sebuah kesatuan, menyatukan kekuatan pasar (Ross, 1998). MRP sebagai suatu filosofi yang terintegrasi mengarahkan anggota rantai pasok untuk fokus mengembangkan solusi-solusi inovatif untuk menciptakan nilai pelanggan yang unik dengan sumberdaya tersendiri. Langley dan Holcomb (1992) menyatakan bahwa tujuan MRP sebaiknya merupakan keselarasan dari keseluruhan aktivitas rantai pasok untuk menciptakan nilai pelanggan. Sehingga filosofi MRP menyatakan bahwa batasan MRP tidak hanya meliputi logistik, namun juga keseluruhan fungsi-fungsi yang lain di dalam perusahaan dan di dalam rantai pasok untuk menciptakan nilai dan kepuasan pada pelanggan. Dalam konteks ini, memahami nilai dan kebutuhan pelanggan merupakan hal yang penting (Ellram dan Cooper 1990; Tyndall et al. 1998) . Dengan kata lain, filosofi MRP mengarahkan anggota rantai pasok untuk memiliki orientasi pelanggan. Berdasarkan pembahasan di atas, Mentzer et al. (2001) menyatakan bahwa MRP sebagai filosofi manajemen memiliki karakteristik sebagai berikut: 11 1) Suatu pendekatan sistem untuk melihat rantai pasok sebagai satu kesatuan yang utuh, dan untuk mengelola total aliran inventory barang dari pemasok kepada konsumen akhir. 2) Suatu orientasi strategis menuju usaha kooperatif untuk menyelaraskan dan mempertemukan kapabilitas operasional dan strategis baik di dalam perusahaan maupun antar perusahaan pada satu kesatuan yang utuh. 3) Suatu fokus pelanggan untuk menciptakan nilai pelanggan yang unik dan sumber daya tersendiri, yang membawa pada kepuasan pelanggan. 2.1.2. Manajemen Rantai Pasok sebagai Serangkaian Aktivitas untuk Mengimplementasikan Filosofi Manajemen Dalam mengadopsi filosofi manajemen rantai pasok, perusahaan harus membangun praktek-praktek manajemen yang membuat mereka berperilaku secara konsisten dengan filosofi yang dimaksud. Seperti halnya banyak penulis yang berfokus pada aktivitas yang mencirikan manajemen rantai pasok. Penelitian berikut menyatakan beberapa aktivitas-aktivitas yang diperlukan untuk mengimplementasikan filosofi MRP dengan sukses. Aktivitas-aktivitas MRP tersebut antara lain : 1. Integrated Behavior (Perilaku yang terintegrasi) Bowersox dan Closs (1996) berpendapat bahwa untuk mencapai keefektifan yang penuh di lingkungan persaingan saat ini, perusahaan harus memperluas perilaku terintegrasi mereka untuk mempertemukan pelanggan dengan pemasok. Perluasan perilaku terintegrasi ini, melintasi integrasi eksternal, mengacu pada Bowersox dan Closs (1996) sebagai manajemen rantai pasok. Dalam konteks ini, filosofi MRP pada saatnya akan berubah menjadi implementasi manajemen rantai pasok: Serangkaian aktivitas yang menjunjung filosofinya. Serangkaian aktivitas ini merupakan usaha yang terkoordinasi yang disebut manajemen rantai pasok antara mitra-mitra rantai pasok, seperti pemasok, perantara, dan manufaktur, untuk merespon kebutuhan konsumen secara dinamis (Greene 1991). 12 2. Mutually Sharing Information (Berbagi informasi satu sama lain) Terkait dengan perilaku yang terintegrasi, berbagi informasi satu sama lain diantara anggota rantai pasok sangat diperukan untuk mengimplementasikan filosofi MRP, terutama dalam hal perencanaan dan proses monitoring (Cooper et al. 1997; Cooper, Lambert, dan Pagh 1997; Ellram dan Cooper 1990; Novack, Langley, dan Rinehart 1995; Tyndall et al. 1998). Cooper, Lambert, dan Pagh (1997) menyoroti tentang update informasi yang rutin diantara anggota rnati pasokan agar manajemen rantai supali menjadi efektif. The Global Logistics Research Team di Michigan State University (1995) mendefinisikan berbagi informasi sebagai suatu kesediaan untuk membuat data strategis dan taktis yang dapat diakses oleh semua anggota rantai pasok. Keterbukaan dalam berbagi informasi seperti tingkat inventory, peramalan, strategi promosi penjualan, dan strategi pemasaran dapat mengurangi ketidakpastian diantara mitra pemasok dan akhirnya dapat meningkatkan kinerja rantai pasok (Andel 1997; Lewis dan Talalayevsky 1997; Lusch dan Brown 1996; Salcedo dan Grackin 2000). 3. Mutually Sharing Risk Dan Rewards (Berbagi resiko dan penghargaan satu sama lain) MRP yang efektif juga memerlukan aktivitas berbagi resiko dan penghargaan satu sama lain untuk mendapatkan keuntungan kompetitif (Cooper dan Ellram 1993). Berbagi resiko dan penghargaan sebaiknya berlangsung dalam jangka waktu yang panjang (Cooper et al. 1997). Berbagi resiko dan penghargaan sangat penting untuk fokus jangka panjang dan kerjasama diantara anggota rantai pasok (Cooper et al. 1997; Cooper, Lambert, dan Pagh 1997; Ellram dan Cooper 1990; Novack, Langley, dan Rinehart 1995; Tyndall et al. 1998). 4. Cooperation (Kerjasama) Kerjasama diantara anggota rantai pasok diperlukan untuk MRP yang efektif (Ellram dan Cooper 1990; Tyndall et al. 1998). Kerjasama dalam hal ini mengacu pada kesamaan atau keharmonisan, aktivitas-aktivitas yang terkoordinasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dalam suatu hubungan bisnis untuk menghasilkan beberapa outcome atau 13 outcome yang superior yang merupakan harapan bersama dari waktu ke waktu (Anderson dan Narus 1990). Kerjasama tidak terbatas pada kebutuhan transaksi dan apa yang terjadi saat ini pada beberapa tingkat manajemen (misalnya, pada manajer operasional ataupun manajer pada tingkat atas), namun melibatkan koordinasi lintas fungsional diantara anggota rantai pasok (Cooper et al. 1997). Tindakan bersama dalam hubungan yang intim mengacu pada perwujudan aktivitas utama dalam kerjasama atau cara yang terkoordinasi (Heide dan John 1990). Kerjasama dimulai dari perencanaan bersama dan diakhiri dengan kontrol bersama untuk mengevaluasi kinerja dari anggota rantai pasok, sebagaimana rantai pasok sebagai satu kesatuan (Cooper et al. 1997). Perencanaan dan evaluasi bersama melibatkan proses-proses yang telah dan sedang berlangsung dalam beberapa tahun (Cooper et al. 1997). Dalam hal perencanaan dan kontrol, diperlukan kerjasama untuk mengurangi inventory rantai pasok dan mengejar efisiensi biaya rantai pasok secara luas (Cooper et al. 1997; Dowst 1988). Lebih jauh lagi, anggota rantai pasok harus bekerja bersama untuk pengembangan produk baru dan keputusan-keputusan portofolio produk (Drozdowski 1986). Terakhir, desain kontrol kualitas dan sistem pengiriman juga dilakukan dengan aksi bersama (Treleven 1987). 5. The Same Goal Dan The Same Focus On Serving Customers (Tujuan dan fokus yang sama dalam melayani pelanggan) La Londe dan Masters (1998) berpendapat bahwa suatu rantai pasok akan sukses juka semua anggota rantai pasok tersebut memiliki tujuan dan fokus yang sama dalam melayani pelanggan. Membangun tujuan dan fokus yang sama diantara anngota rantai pasok merupakan satu bentuk integrasi kebijakan. Lassar dan Zinn (1995) menyatakan bahwa hubungan yang sukses bertujuan untuk mengintegrasikan kebijakan rantai pasok untuk menghindari kerugian dan tumpang tindih pekerjaan, sambil mencari tingkat kerjasama yang memungkinkan partisipan untuk bisa lebih efektif pada tingkat biaya yang lebih rendah. Integrasi kebijakan akan 14 memungkinkan jika ada budaya dan teknik manajemen yang kompatibel diantara anggota rantai pasok. 6. Integration of Processes (Integrasi proses) Implementasi MRP memerlukan integrasi proses dari sumberdaya sampai manufaktur dan distribusi lintas rantai pasok (Cooper et al. 1997; Ellram dan Cooper 1990). Integrsi dapat dilaksanakan melalui tim lintas fungsional, personel pemasok yang terpasang, dan penyedia jasa sebagai pihak ketiga (Cooper et al. 1997). Stevens (1989) mengidentifikasi empat tahapan integrasi rantai pasok dan membahas implikasi perencanaan dan operasinya pada tiap-tiap tahap sebagai berikut: Tahap 1) Merepresentasikan kasus dasar. Rantai pasok merupakan suatu fungsi dari operasi yang terpisah pisah di dalam perusahaan masingmasing dan dicirikan melalui inventory yang bertahap, mdaniri, dan memiliki sistem kontrol dan prosedur yang tidak kompatibel, dan mengkotak-kotakkan fungsi-fungsi yang ada. Tahap 2) Mulai fokus pada integrasi internal, dicirikan oleh munculnya pengurangan biaya, belum pada perbaikan kinerja, inventory penyangga, evaluasi awal transaksi internal, dan layanan pelanggan yang reaktif. Tahap 3) Menuju tercapainya integrasi korporat internal dan dicirikan oleh visibilitas penuh pembelian melalui distribusi, perencanaan jangka mengengah, lebih mengutamakan hal-hal yang taktis daripada fokus strategis, munculnya efisiensi, perluasan penggunaan dukungan elektronik untuk akses jaringan, dan pendekatan reaktif yang berkelanjutan untuk pelanggan. Tahap 4) Mencapai integrasi rantai pasok dengan memperluas cakupan integrasi di luar perusahaan untuk merangkul pemasok dan pelanggan. 7. Partners to Build dan Manintain Long-Term Relationships (Mitra untuk membangun dan memelihara hubungan jangka panjang) Manajemen rantai pasok yang efektif diciptakan berdasarkan serangkaian kemitraan, sehingga MRP memerlukan mitra untuk membangun dan memelihara hubungan jangka panjang (Cooper et al. 1997; Ellram dan 15 Cooper 1990; Tyndall et al. 1998). Cooper et al. (1997) percaya hubungan horison waktu akan meluas bukan hanya sebatas kontrak – mungkin belum pasti – dan, pada waktu yang sama jumlah mitra sebaiknya dalam jumlah yang kecil untuk memfasilitasi kerjasama yang meningkat. Gentry dan Vellenga (1996) berpendapat bahwa bukan merupakan suatu yang biasa jika semua aktivitas utama dalam rantai – logistik inbound dan outbound, operasi, pemasaran, penjualan, dan jasa – akan diperlihatkan oleh salah satu perusahaan untuk memaksimalkan nilai pelanggan. Sehingga, penyusunan aliansi strategis dengan mitra rantai pasok seperti pemasok, pelanggan, atau perantara (misalnya layanan transportasi dan/atau pergudangan) memberikan keuntungan kompetitif melalui penciptaan nilai pelanggan (Langley dan Holcomb 1992). 2.1.3. Manajemen Rantai Pasok sebagai Serangkaian Proses Manajemen Davenport (1993) mendefinisikan proses sebagai serangkaian aktivitas yang terstruktur dan terukur yang dibuat untuk menghasilkan output yang spesifik untuk pelanggan atau pasar tertentu. La Londe (1997) berpendapat bahwa MRP merupakan proses mengelola hubungan, informasi, dan aliran material lintas batasan perusahaan untuk memberikan peningkatan layanan pelanggan dan nilai ekonomi melalui manajemen yang telah diselaraskan pada aliran barang-barang fisik dan informasi yang menyertainya dari sumber bahan baku hingga konsumsinya. Ross (1998) mendefinisikan proses rantai pasok sebagai fungsifungsi, institusi, dan operasi bisnis fisik aktual yang mencirikan jalannya pergerakan barang dan jasa pada rantai pasok tertentu pada pasar melalui saluran pipa pasokan. Dengan kata lain, suatu proses merupakan pengaturan yang spesifik dari aktivitas lintas ruang dan waktu, dengan awalan dan akhiran, dengan jelas teridentifikasi input dan output nya, serta suatu struktur untuk tindakan yang dilakukan (Cooper et al. 1997; Cooper, Lambert, dan Pagh 1997; Ellram dan Cooper 1990; Novack, Langley, dan Rinehart 1995; Tyndall et al. 1998). Lambert, Stock, dan Ellram (1998) menyatakan bahwa untuk mengimplementasikan MRP dengan sukses, semua perusahaan dengan suatu rantai pasok harus menguasasi tiap divisi fungsional mereka sendiri dan mengadopsi sutau pendekatan proses. Sehingga, fungsi-fungsi di dalam rantai 16 pasok bisa diatur kembali sebagai proses kunci. Perbedaan yang kritis antara fungsi-fungsi tradisional dan apa itu pendekatan proses adalah bahwa fokus pada setiap proses merupakan cara untuk menemukan kebutuhan pelanggan dan bahwa perusahaan diatur di seputar proses ini (Cooper et al. 1997; Cooper, Lambert, dan Pagh 1997; Ellram dan Cooper 1990; Novack, Langley, dan Rinehart 1995; Tyndall et al. 1998). Lambert, Stock, dan Ellram (1998) menyatakan pada umumnya proses-proses kunci meliputi manajemen hubungan pelanggan, pengadaan, dan pengembangan produk, serta komersialisasi. 2.2. Orientasi Rantai Pasok (ORP) Walaupun beberapa perspektif manajemen rantai pasok di atas sangat membantu dalam pendefinisian, namun terdapat indikasi bahwa literatur yang ada sesungguhnya mencoba untuk mendefinisikan dua konsep dengan satu terminologi manajemen rantai pasok. Pertama, koordinasi suatu rantai pasok dari perspektif sistem secara keseluruhan, dengan masing-masing aktivitas taktis aliran distribusi terlihat dalam konteks strategis yang lebih luas (yang disebut MRP sebagai suatu filosofi manajemen) lebih tepat disebut dengan Supply Chain Orientation/ Orientasi Rantai pasok. Sedangkan yang kedua, implementasi yang sesungguhnya dari orientasi ini, lintas perusahaan-perusahaan yang berbeda dalam rantai pasok, lebih tepat disebut dengan Supply Chain Manajemen/ Manajemen Rantai pasok. Perspektif ini membawa Mentzer et al., (2001) pada definisi salah satu konsep krusial berikut : Orientasi Rantai Pasok didefinisikan sebagai pengakuan oleh suatu organisasi sistemik, implikasi strategis dari aktivitas taktis yang terlibat dalam mengelola berbagai aliran dalam suatu rantai pasok. Sehingga suatu perusahaan bisa disebut memiliki orientasi rantai pasok (ORP) hanya jika manajemennya bisa melihat implikasi dari pengelolaan aliran produk, jasa, keuangan, dan informasi dari hulu ke hilir dari pemasok ke pelanggan mereka. Berdasarkan definisi tersebut, suatu perusahaan belum dikatakan memiliki orientasi rantai pasok jika hanya melihat sistemik dan implikasi strategisnya dalam satu arah. Sehingga, dalam Gambar 3a, perusahaan di tengah yang menjalankan rantai pasok dapat dikatakan memiliki ORP, namun kedua perusahaan pada kedua ujungnya belum bisa dikatakan memiliki ORP (karena pemasok hanya fokus di rantai pasok bawah 17 – orientasi “saluran” klasik – dan pelanggan hanya fokus pada rantai pasok atas – orientasi “pengadaan” klasik). Lebih jauh lagi, Mentzer et al. 2001 menyatakan bahwa perusahaan dengan ORP pun belum tentu dapat mengimplementasikan rantai pasok – karena implementasi semacam ini memerlukan suatu ORP lintas beberapa perusahaan yang secara langsung terhubung di dalam rantai pasok. Perusahaan dengan ORP dapat diimplementasikan secara individu, atau taktik relokasi rantai pasok (seperti Just In Time delivery, atau Electronic Data Interchange dengan pemasok dan pelanggan), namun bukan disebut manajemen rantai pasok kecuali mereka terkoordinasi (sebuah orientasi strategis) di seluruh rantai pasok (orientasi sistemik). Implementasi ORP memerlukan beberapa perusahaan dalam rantai pasok untuk memanfaatkan proses–proses yang telah dibahas pada bab sebelumnya untuk mewujudkan aktivitas MRP. MRP adalah implementasi ORP lintas beberapa pemasok dan beberapa pelanggan. Perusahaan yang mengimplmentasikan MRP harus terlebih dahulu memiliki ORP. Dalam extended supply chain (Gambar 3b), semua perusahaan yang terlibat memiliki orientasi rantai pasok, kecuali pemasok paling pertama dan pelanggan terakhir. Karena pemasok pertama hanya fokus pada pelanggaannya, dan pelanggan terakhir hanya fokus pada pemasoknya, sehingga belum bisa dikatakan memiliki orientasi huluhilir. Dengan kata lain, ORP merupakan filosofi manajemen dan MRP merupakan total dari keseluruhan aksi-aksi manajemen yang telah dilakukan untuk mewujudkan filosofi tersebut. 2.2.1. Variabel - variabel Orientasi Rantai pasok Pada umumnya hubungan dalam rantai pasok merupakan hubungan jangka panjang dan memerlukan koordinasi strategis. Oleh karena itu Mentzer et al. (2001) menguji variabel dan outcome dari manajemen rantai pasok pada tingkat strategis. Variabel-variabel inilah yang akan menjadi referensi dasar yang akan digunakan penulis sebagai input dalam metode penelitian tentang kesediaan pengepul ikan hias untuk berpartisipasi dalam organisasi rantai pasok ikan hias di Kepulauan Seribu. 18 Supply Chain Orientation • Systemic View • Strategic View Single Company Antecedents Willingness to address: • Trust • Commitment • Interdependence • Organizational Compatibility • Vision • Key Processes • Leader • Top Management Support Supply Chain Management Consequences • Three or more contigous companies with a CSO • Information Sharing • Shared Risk dan Rewards • Cooperation • Similar Customer Service Goals dan Focus • Integration of Key Processes • Long-Term Relationships • Interfunctional Coordination • Lower Cost • Improved Customer Value dan Satisfaction • Competitive Advantage Gambar 4. Variabel (antecedents) dan Outcome (consequences) Manajemen Rantai pasok, (Mentzer et. al., 2001) Gambar di atas mengilustrasikan bahwa ada beberapa hal yang seharusnya dimiliki oleh suatu perusahaan agar dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut memiliki orientasi rantai pasok. Selanjutnya, manajemen rantai pasok dapat diimplementasikan, terlihat dari indikator-indikator outcome yang ada. Sehingga pada akhirnya, dampak positif akan didapatkan oleh perusahaan-perusahaan yang terlibat di dalam rantai pasok tersebut, meliputi penekanan biaya operasional, peningkatan nilai dan kepuasan pelanggan, serta keunggulan kompetitif. Berikut dijelaskan secara detail berdasarkan penelitian terdahulu yang telah direview dan dianalisis oleh Mentzer et al. (2001) sebagai variabel-variabel yang harus dimiliki perusahaan pada tingkat awal menuju orientasi rantai pasok: 1. Trust (kepercayaan) Morgan dan Hunt (1994) menyatakan bahwa kerjasama akan muncul secara langsung dari hubungan kepercayaan dan komitmen. Moorman, Deshpdane, dan Zaltman (1993) mendefinisikan rasa percaya sebagai suatu kesediaan untuk mengandalkan mitra lain yang telah memiliki kepercayaan diri. Walaupun kepercayaan dan komitmen keduanya adalah penting untuk membuat kerjasama 19 dapat berjalan dengan baik, kepercayaan merupakan faktor penentu yang paling utama untuk hubungan komitmen (Achrol 1991). Maka dari itu, kepercayaan memiliki hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan kerjasama. Dwyer, Schurr, dan Oh (1987) memberikan contoh peran kepercayaan dalam suatu hubungan, antara lain untuk mengatasi permasalahan dalam hal kekuatan, konflik, dan profitabilitas rendah. Dalam atikelnya juga dinyatakan bahwa kepercayaan memiliki dampak dalam hal berbagi resiko dan penghargaan. 2. Commitment (Komitmen) Dwyer, Schurr, dan Oh (1987) mendefinisikan komitmen sebagai “suatu jaminan implisit ataupun explisit akan keberlanjutan relasi antara para mitra”. Komitmen merupakan faktor penting bagi suksesnya hubungan jangka panjang yang merupakan satu komponen implementasi MRP (Gundlach, Achrol, dan Mentzer 1995). Lambert, Stock, dan Ellram (1998) juga menyatakan bahwa komitmen untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dari sumber daya manusia yang ada merupakan hal yang penting dalam implementasi MRP. Morgan dan Hunt (1994) meletakkan kepercayaan dan komitmen secara bersamaan, dan menyatakan bahwa “Komitmen dan kepercayaan merupakan ‘kunci’ karena keduanya mendorong pemasar untuk (1) berinvestasi pada pemeliharaan hubungan kerjasama dengan mitra, (2) lebih berorientasi pada keuntungan jangka panjang yang didapatkan dalam kerjasama dengan mitra yang ada, dari pada alternatif alternatif jangka pendek yang atraktif, (3) melihat bahwa tindakan-tindakan yang memiliki potensi resiko tinggi adalah hal yang sensitif. Oleh karena itu mereka meyakini bahwa mitra mereka tidak akan bersikap oportunis”. 3. Interdependence (Kesalingtergantungan) Ketergantungan suatu perusahaan dengan mitranya (kesalingtergantungan) mengacu pada kebutuan perusahaan untuk membina hubungan dengan mitra untuk mencapai tujuannya (Frazier, 1983). Ketergantungan yang dimaksud disini adalah kekuatan utama dalam pengembangan solidaritas rantai pasok (Bowersox dan Closs 1996). Ketergantungan ini adalah apa 20 yang memotivasi keinginan untuk menegosiasikan transfer fungsional, berbagi informasi kunci, dan berpartisipasi dalam perencanaan operaional bersama (Bowersox dan Closs 1996). Terakhir, Genesan (1994) menyatakan bahwa ketergantungan antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lain secara positif berhubungan dengan orientasi hubungan jangka panjang perusahaan. 4. Organizational Compatibility (Kompatibilitas organisasi) Filosofi kerjasama atau budaya dan teknik manajemen dari tiap perusahaan dalam rantai pasok harus kompatibel untuk mencapai keberhasilan dalam MRP (Cooper et al. 1997; Tyndall et al. 1998). Kompatibilitas organisasi didefinisikan sebagai goal dan tujuan-tujuan komplemen, sebagaimana juga dinyatakan dalam filosofi operasional dan budaya korporat (Bucklin dan Sengupta 1993). Bucklin dan Sengupta menunjukkan bahwa kompatibilitas organisasi antara beberapa perusahaan dalam suatu aliansi memiliki dampak positif yang kuat terhadap keefektifan suatu hubungan (misalnya persepsi bahwa suatu hubungan tersebut produktif dan layak untuk dipertahankan). Cooper, Lambert, dan Pagh (1997) juga perpendapat bahwa pentingnya budaya korporat dan kompatibilitasnya lintas anggota rantai pasok tidak boleh dianggap remeh. Dengan definisi ORP yang ditetapkan di atas serta beberapa pendapat tentang kompatibilitas organisasi dalam rantai pasok, menunjukkan bahwa setiap perusahaan harus memiliki ORP untuk mencapai MRP. 5. Vision (Visi) Visi membantu perusahaan dengan goal yang spesifik dan strategis tentang bagaimana mereka merencanakan segala sesuatunya untuk mengidentifikasi dan mewujudkan kesempatan yang mereka harapkan untuk menemukan pasar (Ross, 1998). 6. Key Processess (Proses-proses Kunci) Lambert, Stock, dan Ellram (1998) berpendapat bahwa seharusnya ada suatu kesepakatan tentang visi dan proses-proses kunci MRP. Ross (1998) berpendapat bahwa kreasi dan komunikasi visi MRP milik pemenang pasar kompetitif pun tidak hanya ditetapkan oleh perusahaan-perusahaan 21 secara individu, namun oleh keseluruhan rantai pasok (dengan definisi ORP oleh Mentzer, et al., 2001). Hal ini sangat penting sebelum implementasi MRP dimulai, misalnya dengan terlebih dahulu memenuhi variabel-variabel MRP yang tergambar pada Gambar 5 di atas. 7. Leader (Pemimpin) Dalam hal struktur kekuatan dan kepemimpinan dalam organisasi rantai pasok, diperlukan satu perusahaan yang diasumsikan berperan sebagai pemimpin (Lambert, Stock, dan Ellram 1998). Bowersox dan Closs (1996) berpendapat bahwa rantai pasok perlu pemimpin sebagaimana juga organisasi secara individu. Ellram dan Cooper (1990) menyatakan bahwa seorang pemimpin rantai pasok berperan seperti seorang kapten saluran dalam referensi saluran-saluran pasar yang ada, serta memainkan peran kunci dalam mengkoordinasi dan mellihat secara keseluruhan gambaran besar rantai pasok. Bowersox dan Closs (1996) berpendapat bahwa pada banyak situasi, perusahaan tertentu bisa berfungsi sebagai pemimpin rantai pasok sebagai solusi untuk ukuran, kekuatan ekonomi, dukungan pelanggan, perdagangan waralaba yang komprehensif, atau inisiasi dari hubungan antar perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Schmitz, Frankel, dan Frayer (1994) menunjukkan fakta bahwa kesuksesan manajemen rantai pasok secara langsung terhubung dengan adanya kepemimpinan konstruktif yang mampu menstimulasi perilaku kooperatif di antara perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi. 8. Top Management Support (Dukungan manajemen puncak) Beberapa penulis menyatakan bahwa dukungan manajemen puncak memiliki peran yang kritis dalam membentuk nilai, orientasi, dan arah organisasi (Felton 1959; Hambrick dan Mason 1984; Kotter 1990; Tosti dan Jackson 1990; Webster 1988). Day dan Lord (1988) menemukan bahwa manajer puncak memiliki pengaruh yang penting pada kinerja organisasi. Lambert, Stock, dan Ellram (1998) menyatakan bahwa dukungan manajemen puncak, kepemimpinan, dan komitmen untuk berubah merupakan variabel-variabel yang penting untuk implementasi MRP. Dalam konteks yang sama, Loforte (1991) berpendapat bahwa 22 kurangnya dukungan manajemen puncak merupakan hambatan bagi terimplementasinya MRP. Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa pengakuan akan pentingnya variabelvariabel tersebut oleh perusahaan secara khusus direpresentasikan sebagai variabel-variabel untuk ORP. Ketika perusahaan-perusahaan yang berdekatan di di dalam rantai pasok masing-masing dapat meraih ORP, mereka dapat memulai proses implementasi untuk mewujudkan MRP. Dengan kata lain, ORP merupakan kesediaan dari satu perusahaan untuk mengatasi isu-isu yang terdaftar di Gambar 5 dari suatu perspektif strategik dan sistemik. Menajemen rantai pasok hanya akan tercapai jika beberapa perusahaan berada dalam satu barisan dalam rantai pasok dan memiliki orientasi serta bergerak menuju implementasi filosofi manajemen ORP. 2.2.2. Model Manajemen Rantai Pasok (Mentzer et al, 2001) Walaupun dari waktu ke waktu terminologi manajemen rantai pasok memiliki beberapa definisi oleh beberapa penulis, namun Mentzer et al, 2001 mengembangkan satu definisi MRP tunggal yang dapat mewakili semua definisi yang ada. Beberapa literatur mengilustrasikan bahwa manajemen rantai pasok melibatkan beberapa perusahaan, beberapa aktivitas bisnis, dan koordinasi dari segala aktivitas lintas fungsional dan lintas perusahaan di dalam rantai pasok. Akhirnya, Mentzer et al. (2001) menyatukan beberapa aspek manajemen rantai pasok dari beberapa literatur menjadi satu definisi tunggal sebagai berikut : Supply Chain Management is defined as the systemic, strategic coordination, of the traditional business functions dan the tactics across these business functions within a particular company dan across businesses within the supply chain, for the purposes of improving the long-term performance of the individual companies dan the supply chain as a whole. Definisi tersebut memiliki implikasi yang besar terhadap manajemen rantai pasok, dan membawa pada pengembangan model konseptual yang di ilustrasikan pada Gambar 5. Menurut Mentzer et al. (2001), suatu rantai pasok dapat digambarkan sebagai pipa, sebagaimana terlihat pada Gambar 5 yang memperlihatkan pipa dari penampang samping, menunjukkan arah aliran rantai 23 pasok (barang, jasa, sumber daya keuangan, informasi yang menyertai aliran rantai pasok, dan aliran informasi tentang permintaan dan peramalan). Fungsifungsi bisnis tradisional, yaitu pemasaran, penjualan, riset dan pengembangan, peramalan, produksi, pengadaan, logistik, teknologi informasi, keuangan, dan pelayanan pelanggan mengelola dan menyelesaikan aliran ini dari pemasok paling awal sampai pada konsumen paling akhir untuk memberikan nilai dan kepuasan pelanggan untuk mencapai keunggulan kompetitif dan profitabilitas tinggi untuk masing-masing perusahaan di dalam rantai pasok, dan rantai pasok secara keseluruhan. Koordinasi antar fungsional meliputi pengujiian akan peran kepercayaan, komitmen, resiko, dan ketergantungan dalam viabilitas dalam berba gi fungsi internal dan koordinasi. Koordinasi inter-corporate meliputi pergantian fungsional di dalam rantai pasok, peran dari berbagai jenis penyedia pihak The Supply Chain The Global Environment Supply Chain Flows Inter-Corporate Coordination (Functional Shifting, Third-Party Providers, Relationship Management, Supply Chain Structures) Products Marketing Services Sales InterFunctional Coordination (Trust, Commitment, Risk, Dependence, Behaviors) Research and Development Forecasting Information Production Purchasing Financial Logistics Resources Information Systems Finance Demand Customer Service Supplier’s Supplier Supplier Focal Firm Customer Customer Satisfaction/ Value/ Profitability/ Competitive Advantage Customer’s Customer Forecasts Gambar 5. Model Manajemen Rantai pasok (Mentzer et al., 2001) ketiga, bagaimana hubungan antar perusahaan seharusnya dikelola, dan viabilitas dari struktur rantai pasok yang berbeda. Akhirnya, keseluruhan fenomena yang beraneka ragam tersebut dikemas dalam sebuah rancangan global secara relevan, dan direpresentasikan oleh 24 Mentzer et al. (2001) pada Gambar 5. Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini, penulis akan mengujikan definisi dan model Manajemen Rantai pasok oleh Mentzer et al., (2001) ke dalam kasus yang sedang diteliti, dengan ruang lingkup yang terbatas, yaitu tentang kesediaan nelayan dan pengepul ikan hias laut (sebagai salah satu anggota rantai pasok yang langsung berhubungan dengan perusahaan eksportir) untuk berpartisipasi dalam rantai pasok ikan hias laut non sianida di Kepulauan Seribu. 25 III. 3.1. METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Upaya yang telah dilakukan oleh beberapa pihak pada penguatan kapasitas nelayan di Kepulauan Seribu membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Sebagian besar nelayan telah beralih pada sistem penangkapan ramah lingkungan, yaitu penangkapan tanpa menggunakan potasium maupun sianida, melainkan hanya menggunakan jaring. Hal tersebut dapat dicapai berdasarkan kesadaran mereka sendiri akan resiko dan kerugian yang disebabkan oleh penggunaan sianida, antara lain (1) Menurunnya kualitas ikan hias yang ditangkap, karena penangkapan dengan menggunakan sianida bisa merusak kesehatan ikan dan menyebabkan kematian; (2) Rusaknya ekosistem terumbu karang yang menjadi habitat ikan hias, karena sianida dapat meracuni terumbu karang; (3) Hilangnya mata pencaharian nelayan ikan hias karena apabila terumbu karang rusak, maka ikan akan pergi, artinya nelayan tidak bisa lagi menangkap ikan di daerah yang sama, dan (4) Menurunnya tingkat kesehatan nelayan itu sendiri, karena sianida ini tidak hanya membius ikan target, tetapi juga ikan kecil dan biota lain yang berada disekitarnya, termasuk nelayan. Di sisi lain, di tengah persaingan perdagangan ikan hias di Jakarta, dimana semua perusahaan berkompetisi untuk mendapatkan ikan hias yang berkualitas dengan kenekaragaman jenis yang tinggi dan volume yang besar, perusahaan harus memastikan bahwa pasokan ikan hias akan selalu tersedia, sehingga dapat memenuhi permintaan pembeli. Terkait dengan jaminan pasokan yang diperlukan oleh perusahaan, tentunya perusahaan harus menerapkan manajemen rantai pasok yang baik. Pada lingkungan bisnis ikan hias laut tentunya telah berlaku suatu mekanisme rantai pasok, walaupun mungkin masih sederhana. Mekanisme rantai pasok tersebut pada umumnya melibatkan nelayan sebagai pemasok utama yang langsung mengambil produk berupa ikan hias dari alam untuk dipasok kepada pengepul, kemudian pengepul sebagai pemasok perantara antara nelayan dan perusahaan, selanjutnya perusahaan sebagai pemberi nilai tambah pada produk sebelum di ekspor ke manca negara dan akhirnya sampai pada importir (buyer). Kesalingtergantungan yang terjadi di dalam mekanisme rantai pasok menuntut perusahaan untuk dapat mengelolanya dengan baik. Mengacu pada beberapa referensi pada bab sebelumnya, setiap pelaku di dalam rantai pasok harus memiliki orientasi rantai pasok terlebih dahulu sebelum mampu mengimplementasikan manajemen rantai pasok. Hal pertama yang harus dikaji dalam permasalahan ini adalah kesediaan para pelaku untuk terlibat di dalam manajemen rantai pasok. Nelayan, pengepul, dan perusahaan, bahkan importir pada dasarnya memiliki kepentingan yang berbeda-beda untuk individu/ organisasi mereka sendiri, karena mereka memiliki karakteristik yang berbedabeda. Namun di dalam rantai pasok, mereka memiliki kepentingan yang sejalan, yaitu menginginkan lancarnya distribusi produk dengan asas perdagangan yang adil (fair trade), sehingga rantai nilai yang ada dapat terdistribusi secara adil dan menguntungkan semua pihak. Penelitian ini membatasi kajiannya hanya pada nelayan, pengepul, dan perusahaan, tidak termasuk importir. Pada penelitian ini, dilakukan analisis kesediaan nelayan sebagai ujung tombak rantai pasok untuk berpartisipasi di dalam manajemen rantai pasok ikan hias non sianida. Dalam hal ini analisis kesediaan hanya dilakukan pada nelayan, dengan menggunakan analisa deskriptif. Selanjutnya, untuk menentukan strategi digunakan metode analisa hierarki proses (AHP). Analisa hierarki proses digunakan untuk memilih alternatif strategi yang tepat untuk skema manajemen rantai pasok yang efektif, yang merupakan tujuan utama dalam penelitian ini. Untuk lebih jelasnya tentang kerangka pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 6. 27 Upaya Pengelolaan Ikan Hias Non Sianida Kompetisi Perusahaan Ekspor Ikan Hias Upaya pembentukan manajemen rantai pasok Nelayan Pengepul Dugaan faktor yang mempengaruhi kesediaan nelayan 28 Analisis Deskriptif Faktor-faktor yang secara nyata mempengaruhi kesediaan nelayan Analysis Hierarchy Process Manajemen Rantai Pasok Ikan Hias Laut yang Adil dan Lestari Ket : Ruang lingkup penelitian Gambar 6. Kerangka Pemikiran Operasional Perusahaan Importir 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2009 sampai Januari 2010. Pengambilan data dilakukan di Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta dan di 3 Perusahaan Ekspor Ikan Hias di Tangerang. Pertimbangan bahwa sebagian besar aktivitas perdagangan dan penangkapan ikan hias terdapat di Kepulauan Seribu menjadi alasan pemilihan lokasi penelitian. Jumlah eksportir ikan hias yang cukup banyak di Jakarta membuktikan bahwa daerah ini sangat produktif dan persaingan semakin ketat, baik itu persaingan antar perusahaan ataupun persaingan antar jaringan. Sedangkan penelusuran literatur dan pengolahan data dilakukan di Bogor, Jakarta dan sekitarnya pada bulan Agustus 2009 sampai Januari 2010. Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian Sumber : www.kaskus.us/showthread.php?t=2587526 29 3.3. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan dua macam data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan langsung melalui wawancara dengan pihak yaitu nelayan, pemasok, dan perusahaan yang terlibat dalam mekanisme rantai pasok. Sedangkan data sekunder berupa gambaran tentang kinerja perusahaan saat ini bisa didapatkan dari dokumen-dokumen perusahaan. Data mengenai kondisi lingkungan industri ekspor ikan hias laut, produksi, serta beberapa fenomena tentang industri ikan hias laut dan manajemen rantai pasok serta segala sesuatu yang terkait dengan penelitian ini dapat ditelusuri melalui internet, jurnal jurnal, BPS (Biro Pusat Statistik), Suku Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Dinas Perikanan dan Pertanian Propinsi DKI Jakarta, dan LSM Yayasan TERANGI (Terumbu Karang Indonesia). 3.4. Metode Pemilihan dan Penarikan Sampel Penelitian ini memiliki batasan yang cukup sempit tentang obyek yang diteliti, yaitu hanya pada beberapa perusahaan eksportir ikan hias laut di daerah DKI Jakarta yang memiliki jaringan dengan pengepul dan nelayan ikan hias laut di Kepulauan Seribu, khususnya Pulau Panggang. Dalam penentuan sampel, untuk perusahaan dan pengepul, peneliti menggunakan metode judgement sampling. Metode ini dilakukan dengan pertimbangan keefektifan, bahwa berdasarkan penilaian/ judgement peneliti atau expert, sampel yang bersangkutan adalah pihak yang paling sesuai, yang memiliki “information rich” untuk bisa memberikan informasi yang diperlukan peneliti. Sedangkan untuk nelayan, sampel ditentukan berdasarkan kuota sampling, yaitu dengan menggunakan teori pengambilan sampel dari Slovin untuk mengambil sejumlah tertentu sampel yang dianggap mewakili populasi. Jumlah total responden yang diwawancarai oleh penulis adalah 38 nelayan, 11 pengepul, 3 perwakilan perusahaan, dan 3 perwakilan pihak luar baik dari akademisi, LSM, maupun pemerintahan. Tabel struktur responden adalah sebagai berikut: 30 Tabel 3. Susunan Sampel dan Ahli sebagai Responden No. Analisa Alat analisa Sampel dan Ahli 1. Gambaran rantai pasok ikan hias non sianida di Kepulauan Seribu Analisis Deskriptif Kualitatif a) 3 Perusahaan b) 1 Pengepul c) 10 Nelayan 2. Kesediaan nelayan untuk berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok ikan hias non sianida di Kepulauan Seribu Analisis Deskriptif Kuantitatif a) 38 dari 50 Nelayan 3. Pemilihan strategi manajemen rantai pasok di Kepulauan Seribu Analisis Hierarki Proses a) 3 Perusahaan (PT. Dinar, CV. Cahaya Baru, dan CV Blue Star Aquatic) b) 1 Akademisi Ahli Manajemen Stratgis (Prof. Dr. Ir. Musa Hubeis, M.Si, Dipl. Ing, DEA) c) 1 Pemerintah (Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kep. Seribu) d) 1 LSM (Yayasan TERANGI) 3.5. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: (1) Studi literatur, terutama mengenai proses produksi (proses pemeliharaan), kualitas ikan hias, persepsi konsumen, strategi pemasarannya, dan Supply Chain Management (2) Survey langsung di lapang, yaitu dengan mempelajari berbagai dokumen tentang proses produksi, saluran distribusi (termasuk mekanisme rantai pasok yang berlaku), kegiatan pemasaran, aktifitas jual beli ikan hias, dan semua aspek pendukung yang dilakukan oleh perusahaan, (3) Melakukan wawancara dengan pihak pihak yang terlibat dalam rantai pasok yang telah berlaku di lingkungan perusahaan, mengenai gambaran aktivitas dan peranannya di dalam rantai pasok, serta mengenai kesediaannya untuk berpastisipasi di dalam manajemen rantai pasok. Pendekatan triangulasi yang terdiri dari studi literatur, survey, dan 31 wawancara di atas diharapkan bisa saling melengkapi satu sama lain dalam mendapatkan data yang diperlukan oleh peneliti. 3.6. Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh akan diolah dengan menggunakan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Untuk kajian pada nelayan, digunakan analisis deskriptif dengan memaparkan data tabulasi, dan untuk perusahaan dan pihak lain yang berkepentingan digunakan analisis hierarki proses. Analisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif kuantitatif digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang secara nyata berpengaruh pada kesediaan nelayan untuk berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok yang ada. Sedangkan analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk melihat keefektifan manajemen rantai pasok sebelumnya. Dari hasil analisis yang ada akan digabungkan dan diolah menjadi alternatif-alternatif strategi yang dapat digunakan untuk merumuskan strategi manajemen rantai pasok yang adil dan lestari. 3.6.1 Analisis Deskriptif Salah satu analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Analisis deskriptif merupakan suatu metode yang digunakan untuk meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 2003). Metode analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan situasi dan kondisi perusahaan, evaluasi tingkat keefektifan manajemen rantai pasok yang telah dilakukan selama ini, hubungannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan nelayan dan pemasok sesuai dengan karakteristik mereka masing-masing. Data yang diperlukan dalam analisis deskriptif ini akan diambil dengan metode wawancara mendalam, sehingga di dapatkan informasi yang lengkap dan detail tentang kondisi dan situasi perusahaan. Untuk selanjutnya, analisis ini akan dihubungkan dengan hasil analisis metode regresi logit untuk nelayan dan proses hirarki analitik untuk pengepul, sehingga akan 32 diramu alternatif-alternatif strategi yang dapat dilakukan oleh perusahaan selanjutnya untuk dapat memiliki rantai pasok yang kohesif. 3.6.2 Analisis Deskriptif Kuantitatif Analisis deskriptif ini didasarkan pada data yang disajikan dalam bentuk tabel. Pada penelitian ini digunakan beberapa variabel sebagai indikator untuk mengetahui dan memastikan bahwa nelayan yang tidak bersedia berpartisipasi dalam rantai pasokan adalah nelayan yang tidak setuju terhadap variabel-variabel yang ditanyakan. Salah satu kajian dalam penelitian ini faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan nelayan dan pengepul untuk berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok dianalisis dengan menggunakan metode yang sangat sederhana, yaitu metode deskriptif kuantitatif. Responden dihadapkan pada pilihan bersedia berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok atau tidak bersedia. Kesediaan untuk berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok tersebut dianggap sebagai variabel dependen (tak bebas) yang diduga dipengaruhi oleh sejumlah variabel independen (bebas). Variabel independen tersebut antara lain kepercayaan (trust), komitmen (commitment), norma-norma kerjasama (cooperation norms), kesalingtergantungan (interdependence), kesesuaian (compatibility), hubungan tambahan di luar hubungan profesi (extendness relationship), dan persepsi manajemen akan ketidakpastian lingkungan (environment uncertainty). Karena variable independen yang dimaksud adalah tentang persepsi, maka dalam analisa ini responden menjawab dengan menggunakan skala likert dengan kisaran sebagai berikut: sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap kesediaan ketiga pihak untuk berpartisipasi dalam MRP antara lain : (1) Kepercayaan (trust) Kepercayaan mewakili kejujuran, kebajikan, dan kesediaan (Mentzer, 2004). Kepercayaan berarti kemauan untuk menerima ketidaknyamanan yang sifatnya hanya sementara, dan kebersediaan untuk tidak melakukan tindakantindakan yang akan berakibat buruk bagi perusahaan. Kepercayaan merupakan kebersediaan untuk mengandalkan mitra kerjanya. Diduga apabila ada 33 kepercayaan dalam diri individu atau organisasi, maka dorongan untuk berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok akan semakin tinggi. (2) Komitmen (commitment) Komitmen meliputi (Mentzer, 2004) : (a) input sumberdaya yang kredibel dan proporsional, (b) perilaku yang mencerminkan suatu keinginan yang kuat untuk berkomitmen, (c) harapan yang berkelanjutan dan kebersediaan untuk berinvestasi, dan (d) input yang konsisten dan perilaku menuju suatu komitmen yang tak lekang oleh waktu. Diduga apabila individu atau organisasi berkomitmen terhadap hubungan kerjasamanya, maka keinginan untuk tetap berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok akan terus meningkat. (3) Norma-norma kerjasama (cooperative norms) Norma kerjasama yang dimaksud dalam hal ini adalah suatu persepsi usaha yang dilakukan dengan kerjasama baik dari pemasok maupun distributor akan mencapai tujuan individu serta tujuan bersama dengan sukses apabila masing-masing pihak yang bekerjasama tidak melakukan tindakan-tindakan oportunis. Diduga apabila individu atau organisasi memiliki etika dalam berbisnis, maka pertisipasi dalam manajemen rantai pasok ini akan berjalan dengan baik. (4) Kesalingtergantungan (interdependence) Heide dan John (1998) menyatakan bahwa kesalingtergantungan dari suatu perusahaan pada mitranya akan meningkat ketika: (a) Keluaran yang didapatkan oleh perusahaan poros dari mitranya merupakan hal yang penting dan bernilai tinggi, serta rasa saling membutuhkan yang tinggi. (b) Keluaran yang didapatkan perusahaan melampaui keluaran yang tersedia untuk perusahaan. (c) Perusahaan memiliki sumber alternatif/ sumber potensial yang terbatas untuk dipertukarkan. Ketika kesalingtergantungan ini dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam manajemen rantai pasok, maka kebersediaan untuk tetap berpartisipasi pada manajemen rantai pasok. 34 (5) Kesesuaian (compatibility) Kesesuaian diartikan sebagai dua atau lebih individu atau organisasi yang memiliki goal dan tujuan komplemen, sebagaimana kesamaan dalam filosofi operasi dan budaya perusahaan (Bucklin and Sengupta, 1993). Dalam hal ini, perusahaan melibatkan kombinasi tujuan dan aktivitas yang terpusat berdasarkan kesesuaian goal, tujuan, dan nilai. (6) Hubungan tambahan di luar hubungan profesi (extended relationship) Interaksi open ended adalah interaksi yang mungkin tidak memerlukan suatu skema kerjasama tertentu. Pasalnya, tidak ada orang yang akan lebih mengutamanakan kepentingan pihak lain, atau peduli terhadap kesejahteraan orang lain. Namun demikian, untuk tetap mempertahankan dan mengantisipasi putusnya hubungan kerjasama, maka masih memungkinkan untuk membina suatu hubungan open ended, dimana suatu pihak tidak secara mutlak dimiliki dan dikuasai oleh pihak yang lain. Diduga bahwa suatu pihak akan cenderung bersedia untuk berpartisipasi jika hubungan akan berlanjut dengan open ended daripada hubungan yang close ended. (7) Persepsi manajemen akan ketidakpastian lingkungan (environment uncertainty) Ada beberapa hal mengenai ketidakpastian lingkungan, dan hal ini terkait dengan persepsi manajemen terhadap kondisi tersebut. Ketidakpastian tersebut antara lain dinamika perubahan teknologi yang tinggi, kondisi bisnis yang sangat cepat berubah, prediksi yang rendah akan permintaan pelanggan dan tindakan pesaing, serta permintaan internasionalisasi yang tinggi. Untuk variabel ini akan lebih menyentuh secara langsung bagi pihak perusahaan, sedangkan untuk pihak nelayan dan pengepul juga akan terkena dampak sistematis dari hal ini. Diduga ketika ada jaminan akan suatu kepastian, maka pihak yang terlibat dalam manajemen rantai pasok akan bersedia untuk berpartisipasi di dalamnya. Variabel-variabel diatas akan diturunkan menjadi pertanyaan-pertanyaan dalam format kuesioner yang sama yang akan direspon oleh nelayan dan pengepul. Kuesioner disusun berdasarkan kondisi mereka terkait pekerjaan yang dilakukan (Lampiran 4 dan 5). 35 3.6.3. Analysis Hierarchy Process (AHP) Tujuan utama pada penelitian ini adalah untuk menentukan strategi manajemen rantai pasok ikan hias laut yang adil dan lestari. Adil berarti bahwa ada pemerataan nilai dari supplier paling awal sampai pada konsumen paling akhir. Lestari berarti bahwa proses aktivitas penangkapan ikan hias ini masih dalam batas kewajaran dan tidak mengganggu keseimbangan alam, sehingga sumber daya alam sebagai produk utama dari perdagangan ini bisa selalu tersedia dan tidak punah. Untuk merumuskan strategi ini, penulis melakukan wawancara kepada 6 responden sebagai ahli yang terdiri dari 3 responden dari pihak perusahaan, 1 responden dari pihak pemerintah, 1 respoden dari pihak LSM, dan 1 responden dari pihak akademisi. Responden diminta untuk mengisi kuesioner dengan kerangka pikir Analytical Hierarchy Process (AHP) dan memberikan penilaian perbandingan berpasangan (pairwise comparison) untuk proses selanjutnya. Responden sebagai ahli dalam hal ini dapat dilihat pada Tabel 4. Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process – AHP) dikembangkan untuk mengorganisasikan informasi dan judgement dalam memilih alternatif yang paling disukai (Saaty, 1983). Keunggulan dari AHP ini adalah dapat memecahkan masalah dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas suatu permasalahan. Permasalahan yang kompleks dapat disederhanakan dan dipercepat proses pengambilan keputusannya. Berikut adalah tahapan yang dilakukan pada penelitian dengan menggunakan AHP : 1. Penyusunan Hierarki Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik, dan dinamik menjadi bagian-bagian kecil untuk disusun ke dalam suatu hierarki. Bagian-bagian kecil yang dikenal dengan variabel tersebut kemudian diberi nilai sesuai dengan tingkat kepentingannya berupa nilai numerik yang secara subyektif mengandung arti penting relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut, 36 kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut. Pada AHP, permasalahan penelitian secara grafis dapat dikonstruksikan sebagai diagram bertingkat, yang dimulai dengan goal/ sasaran, lalu kriteria level pertama, subkriteria, dan akhirnya alternatif. Tabel 4. Responden Ahli pada Perumusan Strategi MRP Ikan Hias yang Adil dan Lestari No Nama Institusi Jabatan Keahlian Perusahaan eksportir Nama Institusi CV. Cahaya Baru 1. Ibu Wiwie Manajer Farm Ikan Hias Erik Jaya Putra Perusahaan Eksportir CV. Blue Star Aquatic Manajer Operasional Farm 3. H. R. Dody Timur Wahjuadi, DRH Perusahaan Eksportir PT. Dinar Darum Lestari Kepala cabang Jakarta 4. Prof. Dr. Ir. Musa Hubeis M. Si, Dipl. Ing, DEA Akademisi Institut Pertanian Bogor Dosen – Spesialiasasi Manajemen Strategis 5. Ir. Abdul Khaliq, M. Si Pemerintah Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kab. Adm. Kep. Seribu Kepala urusan pengelolaan sumberdaya Kelautan 6. Idris, S. Pi LSM Yayasan Terumbu Karang Indonesia Kepala Divisi Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Berpengalaman dalam manajemen dan pemasaran ikan hias laut Berpengalaman dalam manajemen dan pemasaran ikan hias laut Berpengalaman dalam manajemen dan pemasaran ikan hias laut Spesialisasi dalam bidang manajemen strategik secara umum Berpengalaman dalam menjalankan program untuk masyarakat nelayan ikan hias laut di P. Panggang Berpengalaman dalam mendampingi masyarakat nelayan ikan hias laut di P. Panggang 2. 37 Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi kriteria hierarki. Untuk penelitian ini, digunakan suatu diagram hierarki yang mempresentasikan keputusan untuk memilih strategi terpenting yang dapat digunakan sebagai media untuk meningkatkan kesediaan semua pihak untuk berpartisipasi dalam MRP ikan hias laut non sianida. Susunan skema hierarki yang dimaksud akan tersusun menjadi beberapa level. Pertama adalah level 0 adalah goal yang diinginkan, level 1 adalah faktor yang akan mempengaruhi tercapainya goal, level 2 merupakan aktor yang terlibat dalam pencapaian goal, level 3 merupakan susunan tujuan untuk mencapai goal, dan level 4 merupakan skenario, yang akan menjadi strategi yang diprioritaskan dalam penelitian ini. Berikut adalah susunan hierarki yang dimaksud : Ultimate Goal GOAL FAKTOR A B C D AKTOR K L M N P TUJUAN SKENARIO Q W R X Y S Z Gambar 8. Skema Analysis Hierarchy Process untuk Ultimate Goal tertentu Penilaian Kriteria dan Alternatif Menurut Marimin (2008), AHP memungkinkan pengguna untuk memberikan nilai bobot relatif dari suatu kriteria majemuk (atau alternatif majemuk terhadap suatu kriteria) secara intuitif, yaitu dengan melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparison). 38 Tabel 5. Nilai dan Definisi Pendapat Kualitatif (Saaty, 1983) Nilai 1 3 5 7 9 2,4,6,8 Keterangan Kriteria/ alternatif A sama penting dengan kriteria/ alternatif B A sedikit lebih penting dari B A jelas lebih penting dari B A sangat jelas lebih penting dari B A mutlak lebih penting dari B Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan, dan menurut Saaty (1983), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 5 di atas. 2. Penentuan prioritas Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparison). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot dan prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik. Dalam metode Analytical Hierarchy Process ini nantinya akan dilakukan pembobotan melalui beberapa operasi perhitungan matematis. Ada tiga langkah yang digunakan untuk menentukan besarnya bobot, yaitu: Langkah 1 : w i /w j = a ij (i, j = 1,2, ..., n) wi = bobot input dalam baris wj = bobot input dalam lajur wi = a ij w j (i, j = 1,2, ..., n) Langkah 2 : Pada umumnya, kasus-kasus yang ada mempunyai bentuk: wi = wi = rataan dari a i1 w 1, ..., a in w n (i, j = 1,2, ..., n) 39 Langkah 3 : Bila perkiraan a ij baik akan cenderung untuk dekat dengan nisbah w i /w j . Jika n juga berubah maka n diubah menjadi λ max sehingga diperoleh: wi = (i, j = 1,2, ..., n) Pengolahan horisontal Pengolahan horisontal bertujuan untuk menyusun prioritas elemen keputusan di setiap level hierarki keputusan. Menurut Saaty (1983), tahapannya adalah sebagai berikut: a. Perkalian baris (z) Z1= b. Perhitungan vektor prioritas atau vektor eigen eVP i adalah elemen vektor prioritas ke-i c. Perhitungan nilai eigen maksimum VA = a ij x VP dengan VA = (V ai ) VB = VA/VP dengan VB = (V bi ) λ max = VB i untuk i = 1, 2, ..., n VA = VB = Vektor antara d. Perhitungan indeks konsistensi (CI): Perhitungan indeks ini bertujuan untuk mengetahui konsistensi jawaban yang akan berpengaruh kepada kesahihan hasil. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: CI = Untuk mengetahui apakah CI dengan besaran tertentu cukup baik atau tidak, perlu diketahui rasio yang dianggap baik, yaitu apabila CR ≤ 0.1, dengan rumus sebagai berikut : CR = 40 Nilai RI merupakan nilai random indeks yang dikeluarkan oleh Oarkridge Laboratory, berupa tabel sebagai berikut: N 1 RI 0.00 2 3 0.00 0.58 4 5 6 7 0.90 1.12 1.24 1.32 8 9 1.41 1.45 10 11 12 13 1.49 1.51 1.48 1.56 Pengolahan vertikal Pengolahan ini digunakan untuk menyusun prioritas setiap elemen dalam hierarki terhadap sasaran utama. Jika NPpq didefinisikan sebagai nilai prioritas, pengaruh elemen ke – p pada tingkat ke – q terhadap sasaran utama, maka: NP pq = Untuk p = 1, 2, ..., r T = 1, 2, ..., s Dimana: NPpq = nilai prioritas pengaruh elemen ke-p pada tingkat ke-q terhadap sasaran utama. NPHpq = nilai prioritas elemen ke-p pada tingkat ke-q NPTt = nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat q-1 Perhitungan matematis di atas merupakan prinsip dasar dalam melakukan pembobotan elemen pada level skenario terhadap ultimate goal atau tujuan puncak. Namun, dalam implementasi praktisnya, pemrosesan pembobotan AHP ini dapat dilakukan dengan menggunakan software Expert Choice 2000. 41 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu 4.1.1. Kondisi Geografis Kepulauan Seribu berada di posisi geografis antara 106° 20’ 00’’ BT hingga 106° 57’ 00’’ BT dan 5° 10’ 00’’ LS hingga 5° 57’ 00’’ LS, terdiri dari 105 gugus pulau terbentang vertikal dari Teluk Jakarta hingga ke utara yang berujung di Pulau Sebira. Wilayah Kepulauan Seribu memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha yang terdiri dari gugusan pulau-pulau kecil dan luas perairan mencapai 6.997,50 Km2. Secara fisik, di sebelah utara Kepulauan Seribu berbatasan langsung dengan Laut Jawa atau Selat Sunda. Di sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah selatan berbatasan dengan daratan Pulau Jawa terutama wilayah pesisir Jakarta Utara dan Kabupaten Tangerang Propinsi Banten, dan di sebelah barat berbatasan langsung dengan Laut Jawa atau Selat Sunda. 4.1.2. Aspek Alam Gugus Kepulauan Seribu tergolong relatif muda disebabkan inti utama batuan baru terbentuk kurang lebih 12.000 tahun Sebelum Masehi (Ongkosono, 1986). Secara spesifik, pulau-pulau di kawasan tersebut dibentuk dari gosong karang. Gosong karang terbentuk karena pengaruh perubahan musim. Selama musim angin barat (Desember-Mei), air tawar yang mengalir dari Jawa, Sumatra, dan Kalimantan membawa kandungan nutrien yang berpengaruh bagi terumbu karang. Kandungan nutrien tersebut menyebabkan jumlah fitoplankton, zooplankton, dan tutupan alga meningkat sehingga menekan karang dan menyebabkan karang memutih dan mati. Karang yang mati tersebut membentuk gosong dan secara akumulatif dapat membentuk pulau-pulau kecil setelah ratusan hingga jutaan tahun (Tomascik, dkk., 1997). Tipe iklim di Kepulauan Seribu adalah tropika panas dengan suhu maksimum mencapai 32°C dan suhu minimum 21°C, sementara suhu rata-rata mencapai 27°C. Kelembaban udara rata-rata 80% dan termasuk sistem musim ekuator yang cenderung dipengaruhi oleh variasi tekanan udara. Pada November hingga April berlangsung musim hujan dengan hari hujan berkisar antara 10 sampai 20 hari per bulan. Sementara musim kemarau terjadi pada Mei hingga Oktober dengan 4-10 hari hujan per bulan. Mengacu pada data tahun 2000, curah hujan bulanan di Kepulauan Seribu tercatat rata-rata 142,54 mm dengan curah hujan terendah pada Juni (0 mm) dan tertinggi pada September (307 mm). Kondisi pasang surut di Kepulauan Seribu dapat dikategorikan sebagai harian tunggal. Kedudukan air tertinggi dan terendah adalah 0,6 m dan 0,5 m dibawah duduk tengah. Rata-rata ketinggian air pada pasang perbani adalah 0,9 m dan rata-rata ketinggian air pada pasang mati adalah 0,2 m. Ketinggian air tahunan terbesar mencapai 1,10 m. Melalui beberapa pengukuran di sejumlah lokasi dalam waktu yang berbeda, kecepatan arus di Kepulauan Seribu berkisar 0,6 cm/detik hingga 77,3 cm/detik. Kecepatan arus dipengaruhi kuat oleh angin dan sedikit pasang surut. Arus permukaan pada musim barat berkecepatan maksimum 0,5 m/detik dengan arah ke timur sampai tenggara. Pada musim timur kecepatan maksimumnya 0,5 m/detik. Gelombang laut yang terdapat pada musim barat mempunyai ketinggian antara 0,5 - 1,175 m dan musim timur 0,5 – 1,0 m (Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, 2005). Suhu air permukaan di Kepulauan Seribu pada musim barat berkisar antara 28,5°C – 30,0°C. Pada musim timur suhu air permukaan antara 28,5°C – 31,0°C. Hal tersebut memperlihatkan bahwa tidak ada fluktuasi yang nyata antara musim barat dengan musim timur. Salinitas berkisar antara 30‰ - 34‰ baik pada musim barat maupun pada musim timur. Beberapa parameter kualitas air laut menunjukkan ada yang melampaui baku mutu pada lokasi tertentu, seperti Cu, Cd, dan Hg, diantaranya merupakan perairan pulau-pulau berpenghuni seperti Pulau Tidung, Pulau Pari, Pulau Panggang, Pulau Pramuka, dan Pulau Kelapa. 4.1.3. Aspek Pemerintahan dan Pengelolaan Wilayah Secara administratif Kepulauan Seribu berada dalam wilayah Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dengan status kabupaten adminstratif, sehingga wilayah Kepulauan Seribu memiliki nama Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Pembagian wilayah pemerintahan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu terdiri dari dua wilayah kecamatan dan enam kelurahan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan mencangkup Kelurahan Pulau Tidung, Kelurahan Pulau Pari, dan Kelurahan Pulau Untung Jawa. Wilayah berikutnya adalah Kecamatan 43 Kepulauan Seribu Utara mencangkup Kelurahan Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Kelapa, dan Kelurahan Pulau Harapan. Dalam melaksanakan pembangunan di wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, pemerintahan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu memiliki visi yaitu “Kepulauan Seribu Sebagai Ladang dan Taman Kehidupan Bahari yang Berkelanjutan”. Untuk mewujudkan visi tersebut, beberapa misi yang akan dicapai adalah sebagai berikut: a) Mewujudkan wilayah Kepulauan Seribu sebagai kawasan wisata bahari yang lestari b) Menegakkan hukum yang terkait dengan pelestarian lingkungan kebaharian dan segala aspek kehidupan c) Meningkatkan kesejahteraan melalui pemberdayaan masyarakat Kepulauan Seribu dengan perekonomian berbasis kelautan Agar arah pembangunan di wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu sesuai dengan visi dan misi, maka ada beberapa aspek hukum yang mendasari pembangunan tersebut, antara lain: a) UU No. 34 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta b) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah c) UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang d) PP No. 55 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta e) PP No. 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom f) Perda No. 6 Tahun 1999 Tentang RTRW DKI Jakarta g) Perda No. 11 Tahun 1992 Tentang Penataan dan Pengelolaan Pulau-Pulau di Kepulauan Seribu Pengelolaan wilayah pemerintahan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu meliputi berbagai aspek yang mencangkup tata kelola pemerintahan, kependudukan, dan aspek lainnya dalam koridor pemerintahan daerah dengan otoritas otonomi kebijakan pemerintah daerah dibawah naungan pemerintah propinsi DKI Jakarta. 44 Sementara itu pengelolaan kawasan di wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu juga dilakukan oleh unsur pemerintah yang lain yaitu Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) di bawah naungan Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Kebijakan pengelolaan TNKpS di wilayah Kepulauan Seribu terkait dengan perlindungan, dan pemanfaatan kawasan Kepulauan Seribu sebagai daerah konservasi. 4.1.4. Aspek Sosial dan Ekonomi Meskipun wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu terdiri dari 105 pulau, namun pulau yang berpenduduk hanya terdapat di 11 pulau, yaitu Pulau Panggang, Pulau Pramuka, Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua, Pulau Harapan, Pulau Sebira, Pulau Tidung Besar, Pulau Payung, Pulau Pari, Pulau Lancang Besar, dan Pulau Untung Jawa. Kondisi penduduk di Kepulauan Seribu setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2003 jumlah penduduk sebanyak 19,255 jiwa dan pada tahun 2004 meningkat menjadi 19,593 jiwa. Sementara pada tahun 2007 Kepulauan Seribu memiliki penduduk sebanyak ± 20.376 jiwa dengan pertumbuhan penduduk rata-rata 3,5% per tahun. Pada tahun 2002, mata pencaharian penduduk yang mendominasi di Kepulauan Seribu adalah nelayan (69,36%) yang kemudian diikuti oleh mata pencaharian sebagai pedagang (10,39%). Jumlah penduduk terbesar yang berprofesi sebagai nelayan adalah Kelurahan Pulau Pari (84,51%) diikuti Kelurahan Pulau Panggang. Sedangkan kelurahan yang penduduknya paling sedikit berprofesi sebagai nelayan adalah Kelurahan Pulau Harapan (48,62%). Mata pencaharian penduduk yang mendominasi di Kepulauan Seribu menurut data tahun 2003-2004 ialah nelayan sebanyak 5.430 orang, yang kemudian diikuti oleh mata pencaharian sebagai petani rumput laut sebanyak 5.238 orang diikuti oleh pekerjaan sebagai swasta sebesar 5.008 orang (Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, 2005). Kehidupan sosial budaya di Kepulauan Seribu cukup unik, karena kawasan tersebut memiliki kegiatan dan segmentasi masyarakat yang beragam. Di Kepulauan Seribu dijumpai dualisme kondisi sosial ekonomi dan sosial budaya yang dapat diidentifikasi menurut pulau-pulau yang berpenghuni. Sistem 45 kemasyarakatan di Kepulauan Seribu terbentuk oleh kekerabatan yang kuat, berciri masyarakat pesisir dengan karakteristik tradisional. Beberapa pulau, seperti Pulau Panggang, Pulau Pramuka, dan Pulau Kelapa dihuni oleh penduduk yang berasal dari berbagai etnis. Pulau Kelapa Dua didominasi oleh etnis Bugis dengan sistem kekerabatan yang kuat. Ciri masyarakat tradisional seperti ikatan sosial, hubungan kekerabatan, hubungan antar tetangga, sikap gotong royong, dan sebagainya sangat menonjol di Kepulauan Seribu tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa permasalahan pokok yang terdapat dalam kehidupan sosial ekonomi di wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu adalah sebagai berikut: a) Taraf ekonomi sosial-budaya masyarakat yang relatif rendah (tertinggal), dan ketergantungan nelayan terhadap alam sebagai nelayan tangkap. b) Degradasi kualitas lingkungan, yang berakibat menurunnya perekonomian masyarakat. c) Aksesibilitas rendah, baik secara eksternal, yaitu akses dari Jakarta, maupun secara internal, yaitu dari pulau ke pulau. d) Kebutuhan dasar masyarakat akan listrik dan air bersih belum terpenuhi. 4.1.5. Kelimpahan Ikan di Kepulauan Seribu Pada tahun 2007 Yayasan TERANGI melakukan survey di 10 titik area penangkapan nelayan ikan hias, menyebar dari utara ke selatan, yaitu P. Tidung Kecil, P. Sekati, P. Panggang, Gs. Balik Layar, Gs. Karang Lebar, P. Karang Congkak, P. Harapan, P. Melintang Besar, P. Panjang Besar, dan P. Hantu Timur. Dari hasil survey tersebut, ditemukan total 107 jenis ikan karang. Untuk jenisjenis ikan hias karang dapat dilihat pada Lampiran 3. Kelimpahan ikan karang di Kepulauan Seribu bervariasi, mulai dari 6.775 ind/ha hingga 65.900 ind/ha. Total kelimpahan seluruh jenis ikan hias adalah 283.275 ind/ha, dengan 10 jenis ikan dengan kelimpahan tertinggi mendominasi hingga 84%. Gambar berikut merupakan keragaman jenis dan kelimpahan ikan hias di area penangkapan nelayan : 46 Gambar 9. Keragaman Jenis dan Kelimpahan Ikan Hias Laut di Kepulauan Seribu Sumber : Dinas Kelautan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu 2007 4.2. Kelurahan Pulau Panggang 4.2.1. Demografi di Kelurahan Pulau Panggang Kegiatan penangkapan ikan hias laut di Kepulauan Seribu terpusat di Pulau Panggang, sehingga untuk menggambarkan nelayan ikan hias di Kepulauan Seribu, cukup terwakilkan dengan memotret kondisi nelayan ikan hias di Kelurahan Pulau Panggang. Sebagian besar penduduk Pulau Panggang berusia produktif. Penduduk dengan usia yang produktif akan sangat berperan dalam proses pembangaunan Kelurahan Pulau Panggang, karena mereka akan dapat berperan aktif dalam proses-proses pembangunan. Berikut adalah data jumlah penduduk di Pulau Panggang berdasarkan umur dan jenis kelamin yang didapatkan dari data Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang tahun 2008. 47 Tabel 6. Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Panggang Berdasarkan Umur Tahun 2008 Umur (tahun) Laki-laki Perempuan Jumlah (jiwa) (jiwa) (jiwa) 00 – 04 446 427 873 05 – 09 265 267 532 10 – 14 275 272 547 15 – 19 267 264 531 20 – 24 227 223 450 25 – 29 252 248 500 30 – 34 213 203 416 35 – 39 209 198 407 40 – 44 198 188 386 45 – 49 127 118 245 50 – 54 146 143 289 55 – 59 121 118 239 60 – 64 84 78 162 65 – 69 45 38 83 70 – 74 25 17 42 ≥ 75 9 11 20 Jumlah 2909 2813 5722 Sumber : Data Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang Tahun 2008, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Berdasarkan tingkat pendidikannya, penduduk di Kelurahan Pulau Panggang sebagain besar tamatan SD, dan hanya sebagian kecil saja yang menruskan pendidikannya setelah SMA. Tabel 7. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2008 Tingkat pendidikan Laki-laki Perempuan Jumlah (jiwa) (jiwa) (jiwa) Tidak tamat SD 20 22 42 Tamat SD 370 318 688 Tamat SMP 180 130 310 Tamat SMA 140 145 285 Tamat Akademika 66 37 103 Jumlah 776 652 1428 Sumber : Data Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang Tahun 2008, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Penduduk di Kepulauan Seribu menggantungkan kehidupannya pada sumber daya alam yang ada di pesisir dan lautan. Mata pencaharian yang umum dilakukan oleh masyarakat Kepulauan Seribu adalah nelayan tangkap. Menurut UU No.31 Tahun 2004 nelayan adalah orang yang mata pencahariannya 48 melakukan penangkapan ikan. Di Kelurahan Pulau Panggang, sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan tangkap untuk ikan konsumsi seperti tongkol dan kerapu, budidaya kerapu di keramba, dan nelayan ikan hias. Khusus untuk aktivitas pencarian ikan hias di Kepulauan Seribu, nelayan ikan hias ini terkonsentrasi di Pulau Panggang. Selebihnya, penduduk berprofesi sebagai PNS, karyawan swasta, jasa angkutan, dan sebagainya. Tabel 8. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2008 Mata Pencaharian Jumlah (jiwa) Nelayan : - Tangkap 1.536 186 - Budidaya PNS 192 TNI/ POLRI 12 Perdagangan 65 Jasa/ Angkutan 18 Karyawan Swasta 222 Pensiunan/ Veteran 6 Jumlah 2.237 Sumber : Data Kependudukan Kelurahan Pulau Panggang Tahun 2008, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. 4.2.2. Sertifikasi Ikan Hias Non Sianida Salah satu usaha pengelolaan dan konservasi sumber daya alam terumbu karang adalah dengan mengembangkan sertifikasi ikan hias. Pengembangan draft standar sertifikasi ini telah dimulai sejak tahun 1999 oleh Marine Aquarium Council (MAC). Standar tersebut telah disosialisasikan dan di rumuskan bersama oleh masyarakat ikan hias dunia. Sertifikasi yang dikembangkan oleh MAC ini didasarkan pada kebutuhan pembeli (hobbyist) yang menginginkan produk yang sehat dan ditangkap dengan cara yang tidak merusak lingkungan. Pada tahun 2003, standar sertifikasi tersebut dicoba diterapkan di Indonesia setelah sebelumnya di Filipina pada tahun 2001 (Dinas Kelautan DKI Jakarta, 2008). Sertifikasi ikan hias MAC merupakan suatu program sukarela. Penilaian terhadap pemenuhan standar utama sertifikasi dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memiliki kepentingan apapun. 49 Standar utama sertifikasi MAC terdiri atas tiga bagian, yaitu: 1) Standar Pengelolaan Ekosistem dan Perikanan (EFM) Pihak-pihak yang berkepentingan atau kelompok multi pihak yang berusaha mendapatkan Sertifikasi MAC untuk perikanan mereka harus bertanggung jawab untuk menghasilkan suatu Rencana Pengelolaan Wilayah Pemanfaatan (CAMP). Pihak yangbertanggung jawab bisa merupakan suatu badan pemerintah lokal atau nasional atau masyarakat atau kelompok masyarakat yang bertanggung jawab, pemilik wilayah pemanfaatan, atau tim multipihak yang berkepentingan, atau eksportir yang mempunyai lisensi untuk melakukan kegiatan perikanan di wilayah tersebut dan yang telah mengembangkan Rencana Pengelolaan Wilayah Pemanfaatan. Para nelayan/pengumpul di wilayah pemanfaatan bisa berperan penting dalam menfasilitasipembuatan Rencana Pengelolaan Wilayah Pemanfaatan (CAMP). 2) Standar Pengumpulan, Perikanan dan Penyimpanan (CFH) Para nelayan dan pengumpul yang bersertifikat MAC akan mendokumentasikan pesanan-pesanan dari para pembeli yang bersertifikat maupun yang tidak bersertifikat. Pesanan-pesanan dari para pembeli yang bersertifikat maupun yang tidak, hanya akan dipenuhi bila mereka beroperasi berdasarkan sistem ‘memanen berdasarkan pesanan’ atau menangkap sesuai order. 3) Standar Perawatan, Penanganan dan Transportasi (HHT) Semua penambahan yang dibuat oleh pembeli atas pesanan mereka akan disetujui dan didokumentasikan oleh kedua belah pihak sesegera mungkin dan tidak melewati batas pengemasan pesanan untuk pengiriman. Pada kasus-kasus yang tidak biasa (mis. banjir, listrik mati untuk jangka waktu lama, fasilitas air terkontaminasi penyakit, pembatalan penerbangan, dll) pembeli bersertifikat akan melaksanakan dan mendokumentasikan usaha terbaik mereka: a) menerima pengiriman bila disampaikan b) mencari fasilitas lain yang bersertifikat yang dapat menerima pengiriman c) memberi tahu pemasok sesegera mungkin akan ketidakmampuan untuk menerima pengiriman; dan d) kedua belah pihak memastikan dan menjaga kesehatan biota secara optimal. 50 Tabel 9. Dokumen Sertifikasi Ikan Hias No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Dokumen Pencatatan Data Eksportir Daftar Order Daftar Harga (Beli dan Jual) Daftar Stok dan Monitoring Kematian DAA (Death After Arrival ) Data Tangkapan Harian Lembar Pengiriman Lembar Keluhan Eksportir Lembar Penerimaan Analisis DOA (Death On Arrival) Lembar Kinerja Pengiriman Supplier Lembar Order Barang Pemeriksaan, Pemeliharaan, dan Pengujian Profil Nelayan Catatan Pelatihan : a. Pelatihan-pelatihan yang diikuti b. Pelatihan Selam Sehat c. Matriks Keterampilan dan Kompetensi 15. Notulensi Rapat dan Daftar Hadir 16. Daftar Inventaris 17. Lembar Pemeliharaan Alat 18. Pembukuan 19. Catatan Permasalahan, Solusi, dan Pencegahan 20. Order Umum 21. Daftar Penambahan atau Pengurangan Nelayan 22. Pembuatan dan Pengontrolan Dokumen 23. Pemeriksaan dan Peninjauan Sistem Dokumen Sumber : Dinas Kelautan DKI Jakarta, 2008 Ruang lingkup sertifikasi ikan hias MAC meliputi produk (ikan hias) dan proses pemanfaatannya (lokasi pengambilan, cara pengambilan, penanganan/ pemanfaatan dan perlakuan terhadap organismenya). MAC labeling baru dapat dicantumkan pada produk apabila semua rantai pemanfaatan dan perdagangan sudah tersertifikasi, dari mulai lokasi tangkap, nelayan penangkap, eksportir dan importir. Pada wawancara yang telah dilakukan dalam penelitian ini, didapatkan data 61% nelayan dan 64% pengepul telah menerima sertifikasi MAC. Di sisi lain, 84% nelayan dan 73% pengepul belum mendapatkan sertifikasi namun telah melakukan penelitian menuju sertifikasi. Prosentase nelayan dan pengepul yang tersertifikasi dan telah dilatih dapat dilihat pada Gambar 10. 51 Gambar 10. Pelatihan dan Sertifikasi MAC nelayan dan pengepul responden Sedangkan pada perusahaan yang diteliti, ketiga perusahaan telah mendapatkan sertifikasi MAC. Sehingga, satu rantai perdagangan ini dapat dikatakan telah ramah lingkungan. Peran sertifikasi MAC dari sisi perusahaan adalah sebaga legitimasi dan kepercayaan bagi importir bahwa ikan yang ada di rantai pasok ini telah dilakukan dengan ramah lingkungan. Namun di lapang, ada anggapan dari kalangan nelayan dan pengepul, bahwa sertifikasi MAC ini tidak memiliki peran yang berarti karena tidak bisa meningkatkan harga jual ikan hias tangkapan mereka. Sedangkan menurut pihak perusahaan, hanya dengan mengusahakan tingkat kerusakan ikan yang rendah saja, artinya sudah dapat membuat ikan tersebut lolos seleksi dengan tingkat pengembalian yang rendah. Hal tersebut dapat diartikan sebagai efisiensi biaya operasional, sehingga nilai yang didapatkan nelayan dan pengepul sebenarnya sudah ada peningkatan. Mungkin diperlukan suatu pemahaman bersama akan peran sertifikasi MAC ini agar tidak terjadi kesalahpahaman di tingkat nelayan dan pengepul. Di sisi lain, mungkin perusahaan dapat memberikan award tersendiri atas upaya nelayan dan pengepul mensertifikasi dirinya untuk perusahaan dengan meningkatkan sedikit saja harga beli ikannya pada nelayan dan pengepul. 52 4.3. Praktek Penangkapan Ikan Hias Laut Ramah Lingkungan Sianida/potasium saat ini sudah tidak lagi digunakan oleh nelayan dalam menangkap ikan hias, selain melanggar hukum dan merusak ekosistem, secara perhitungan ekonomi pun penangkapan dengan menggunakan sianida/potasium lebih mahal dibandingkan dengan penangkapan yang tidak menggunakan sianida/ potasium. Berikut adalah data analisa penangkapan ikan hias dengan dan tanpa sianida/potasium (Potassium cyianida). Tabel 10. Perhitungan Ekonomis Penangkapan Ikan dengan Sianida Kebutuhan Biaya Potassium cyanid Penjualan ikan Biaya BBM Ransum Unit 0,5 kg 1 HOK 1 HOK 1 HOK Nelayan (rupiah/hari) Bos (rupiah/hari) 30.000 24.000 5.000 5.000 10.000 45.000 29.000 -16.000 Sisa Uang Sumber: Yayasan TERANGI, survey profil nelayan ikan hias tahun 2006 Tabel 11. Perhitungan Ekonomis Penangkapan Ikan Hias tanpa Sianida Kebutuhan Biaya Potassium cyanid Penjualan ikan Biaya BBM Ransum Unit 0 kg 1 HOK 1 HOK 1 HOK Nelayan (rupiah/hari) 0 50.000 10.000 Bos (rupiah/hari) 0 60.000 45.000 Sisa Uang 5.000 10.000 15.000 Sumber: Yayasan TERANGI, survey profil nelayan ikan hias tahun 2007 Sedangkan pada saat ini, alat tangkap yang digunakan oleh nelayan ikan hias di Kelurahan Pulau Panggang antara lain: 1. Jaring penghalang Alat ini terbuat dari jaring polyetilen dengan ukuran mata jaring 0,25 inci. Jaring ini digunakan untuk mengurangi pergerakan ikan sehingga lebih mudah untuk diserok. Ukuran jaring bermacam-macam tergantung jenis yang ditangkap. 53 2. Serok Alat ini terbuat dari baja kecil dan jaring kelambu yang halus. Alat ini digunakan untuk menangkap ikan yang telah terkurung oleh jaring penghalang. 3. Pushnet Alat ini terbuat dari dua buah kayu lurus yang diantaranya dipasang jaring polyetilen. Alat ini digunakan untuk menangkap ikan yang berenang di kolom air. 4. Tembakan Alat ini terbuat dari bambu, kayu, benang plastik, jarum anti karat dan karet. Berbentuk seperti senapan dengan jarum dan bambu sebagai pelurunya. Alat ini merupakan alat yang spesifik hanya untuk menangkap ikan mandarin (Pterosynchiropus splendidus). 5. Bubu kecil Alat ini terbuat dari batang bambu besar dan botol plastik. Berbentuk silinder dengan botol plastik berada di ujungnya. Sedang di ujung satunya dipasang anyaman bambu sebagai pintu masuk ikan. Alat ini juga merupakan alat spesifik untuk menangkap ikan merakan (Calloplesiops altivelis). 4.4. Karakteristik Pelaku dalam Rantai pasok Ikan Hias Laut Non Sianida di Kepulauan Seribu 4.4.1. Nelayan Ikan Hias Laut di Kepulauan Seribu Nelayan merupakan ujung tombak dari rantai pasok ikan hias laut di Kepulauan Seribu. Dari hasil wawancara diketahui bahwa semua nelayan ikan hias laut berjenis kelamin laki-laki, dan semua melakukan ativitasnya dengan menggunakan jaring dan tembakan untuk jenis ikan mandarin. Hal ini menunjukkan bahwa penangkapan ikan hias yang dilakukan oleh nelayan di kepulauan seribu sudah dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan dan tidak merusak, yaitu tidak menggunakan racun sianida dalam menangkap ikan. Profesi sebagai nelayan ikan hias ini ada di Kepulauan Seribu ini 92% dilakukan oleh responden dengan usia produktif, yaitu mulai dari usia 20 sampai 44 tahun. Hanya 8% dari responden yang sudah berusia 45-55 tahun, namun masih melakukan aktivitas menangkap ikan hias laut. Sedangkan dilihat dari segi pengalaman, 61% responden memiliki pengalaman menangkap ikan hias selama 54 lebih dari 10 tahun, 29% memiliki pengalaman 5-10 tahun, dan hanya 10% yang merupakan nelayan baru, yang memiliki pengalaman kurang dari 5 tahun. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11. Sebaran usia dan pengalaman nelayan ikan hias laut Dilihat dari jumlah tanggungan dan pendapatan harian nelayan (Gambar 10), 58% persen nelayan ikan hias di Pulau Panggang memiliki tanggungan antara 2 sampai 3 orang, 21% memiliki tanggungan 4 orang, dan 10% melajang atau tidak memiliki tanggungan. Pendapatan harian nelayan ikan hias juga beragam, 45% diantaranya memiliki penghasilan antara 30-40 ribu, 3% memiliki pendapatan harian terkecil, yaitu kurang dari 20 ribu, dan 5% nya memiliki pendapatan terbesar, yaitu lebih dari 50 ribu rupiah per hari. Selain menjadi nelayan ikan hias, nelayan juga memiliki pekerjaan sampingan, antara lain memancing ikan tongkol, memancing kerapu, budidaya kerapu di keramba, nelayan bubu, hingga tukang bangunan. Gambar 12. Sebaran jumlah tanggungan dan pendapatan harian nelayan ikan hias laut Di Kelurahan Pulau Panggang terdapat beberapa kelompok nelayan, salah satunya adalah KELONPIS, yang merupakan kelompok nelayan ikan hias tangkap 55 di Pulau Panggang. Kelompok nelayan memiliki peran yang sangat penting untuk meningkatkan kapasitas pada diri masing-masing nelayan, terutama melihat latar belakang pendidikan dari responden yang 61% hanya tamat SD, dan hanya 5% yang tamat SMA. Kelompok nelayan juga mengasah kemampuan nelayan untuk berorganisasi. Manfaat dari organisasi ini juga sangat bagus untuk nelayan. Misalnya pada kelompok nelayan KELONPIS, anggota dari kelompok nelayan ini bisa mendapatkan harga jual ikannya lebih mahal daripada menjual pada pengepul lain. Hal itu disebabkan karena kelompok mulai mengirim ikannya langsung pada perusahaan, tanpa melalui pengepul, sehingga memotong rantai pasok dan mengurangi biaya. Selain dari itu, pada akhir tahun anggota kelompok nelayan juga mendapatkan sisa hasil usaha dari penjualan ikan dan juga penjualan jaring pada anggota sendiri. Khusus untuk jaring ini, anggota kelompok juga mendapatkan fasilitas untuk melakukan pembelian jaring dengan cara kredit. Apabila kebersamaan telah terbina dengan baik, maka beberapa permasalahan dapat diatasi secara bersama-sama. Namun demikian, masih ada 45% dari responden yang tidak menjadi anggota kelompok nelayan karena dikarenakan sibuk mengurusi pekerjaan lain, misalnya mengurus keramba budidaya kerapu. Gambar 13. Sebaran pendidikan nelayan dan keanggotaan kelompok nelayan ikan hias laut 4.4.2. Pengepul Ikan Hias Laut di Kepulauan Seribu Pengepul disebut juga middlemen atau perantara antara nelayan dan perusahaan, baik perusahaan lokal maupun perusahaan ekspor. Belum ada definisi yang jelas tentang pengepul ini, namun di Kepulauan Seribu ada 2 jenis pengepul, yaitu pengepul yang 100% pengepul dan memiliki modal, yang biasanya disebut 56 dengan bos yang memiliki anak buah nelayan yang harus menjual ikan hiasnya pada pengepul tersebut, karena pengepul itulah yang memberikan modal awal berupa jaring dan bahan bakar kapal kepada si nelayan. Pengepul jenis kedua adalah pengepul yang bukan pemilik modal, namun hanya mengumpulkan ikan hias dan langsung menjualnya pada perusahaan. Mekanisme yang dilakukan oleh kelompok KELONPIS juga demikian, sehingga kelompok berfungsi sebagai pengepul bayangan bagi nelayan-nelayan ikan hias anggotanya. Ada 13 pengepul di Pulau Panggang ini, dan berhasil diwawancarai sebanyak 11 pengepul, dikarenakan pada saat dilakukan pengambilan data di Pulau Panggang, pengepul tersebut sedang berada di Jakarta untuk waktu yang cukup lama. Pada Gambar 14 dapat dilhat bahwa sebaran usia dan pengalaman pengepul ini beragam dan terdistribusi secara merata. Untuk 5 kelompok umur dari umur 25 – 55 tahun memiliki prosentase yang sama yaitu antara 18-19%, sedangkan pengepul yang berumur 55-60 hanya 9% dari total responden. Pengalaman pengepul berkisar antara 5-10 tahun dimiliki oleh 46% pengepul di Pulau panggang, dan selebihnya dengan prosentase yang sama, yaitu 27% masingmasing kurang dari 5 tahun dan lebih dari 10 tahun. Sebaran yang sangat ideal untuk suatu sebaran normal. Gambar 14. Sebaran usia dan pengalaman pengepul ikan hias laut Komoditas ikan hias laut di Kepulauan Seribu tidak banyak yang memilik harga jual tinggi, sehingga berakibat pada omset bulanan para pengepul yang realtif kecil. 55% dari pengepul memiliki hanya dapat mencapai omset penjualan ikan hias kurang dari 1 juta rupiah per bulan. 36% nya 1-3 juta, dan hanya 1 orang pengepul saja yang memiliki omset lebih dari 5 juta per bulan, yaitu Bapak 57 Junaedi, pengepul yang menjual ikan hiasnya pada PT. Dinar. Dari informasi tambahan yang didapatkan, memang PT. Dinar berani membeli ikan hias dari Bapak Junaedi dengan harga yang lebih tinggi dari perusahaan lain, dengan syarat kualitas ikan yang dipasok sesuai dengan permintaan perusahaan. Sedangkan jumlah tanggungan pengepul, 7 pengepul memiliki tanggugan 3 orang, 2 pengepul memiliki tanggungan 2 orang, dan 2 pengepul masing-masing memiliki tanggungan 4 dan 5 orang. Gambar 15. Sebaran omset bulanan dan jumlah tanggungan pengepul ikan hias laut Di Pulau Panggang, pengepul juga berorganisasi membentuk kelompok pengepul yang bernama PERNITAS. Namun menurut keterangan beberapa pihak, kelompok ini kurang bisa berkembang seperti KELONPIS, dan dimungkinkan hal ini terjadi karena para angggotanya yang sebagaina adalah pemilik modal dan pebisnis memiliki kesibukan masing-masing. Beberapa anggota kelompok KELONPIS mengaku bahwa keanggotaan dalam kelompok ini dapat mempermudah akses mereka untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah, berupa tabung gas, akuarium, dan fasilitas sarana dan prasarana yang disediakan oleh pemerintah, dalam hal ini Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Hal ini terbukti dari data bahwa hanya 1 dari 11 responden yang tidak menjadi anggota kelompok. Sedangkan tingkat pendidikan pengepul tersebar merata, 27% tamat SMA, 27% lagi tamat SMP, 37% tamat SD, dan hanya 9% yang tidak tamat SD. 58 Gambar 16. Keanggotaan kelompok pengepul dan tingkat pendidikan pengepul ikan hias laut Sebanyak 55% pengepul menjadi tumpuan hidup bagi 5-10 nelayan di Pulau Panggang. 36% diantaranya bahkan memiliki lebih dari 10 nelayan yang menjual ikan hias laut padanya. Dalam menyeleksi ikan hias yang dibelinya, hampir semua responden hanya menerima ikan hias hasil tangkapan yang ditangkap dengan menggunakan jaring, sedangkan 1 pengepul memisahkan ikan yang dibelinya apabila ditangkap dengan menggunakan sianida. Karena sebagian besar pengepul hanya merupakan usaha skala kecil, maka 55% dari pengepul hanya memiliki kurang dari 3 karyawan, 36% memiliki 3-5 karyawan, dan 9% memiliki lebih dari 5 karyawan. Gambar 17. Jumlah nelayan dan jumlah karyawan pengepul ikan hias laut 4.4.3. Perusahaan Ekspor Ikan Hias Laut di Tangerang Dalam penelitian ini, dilakukan wawancara kepada tiga perusahaan ekspor ikan hias laut yang berdomisili di Tangerang, yang merupakan muara bagi nelayan dan pengepul ikan hias yang ada di Pulau Panggang tempat mereka menjual ikan hiasnya. Nama perusahaan-perusahaan tersebut adalah CV. Cahaya 59 Baru, CV. Blue Star Aquatic, dan PT. Dinar Darum Lestari. Untuk profil perusahaan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12. Ada beberapa karakteristik yang sama pada ketiga perusahaan tersebut, antara lain, bahwa perusahaan tersebut memiliki pemasok dari beberapa daerah di Indonesia, dari Aceh sampai ke Papua, hanya jumlah dan volumenya saja yang mungkin berbeda. Sama-sama memiliki pasar di luar negeri, mulai dari wholesaller hingga ke retail-retail petshop kecil. Pasar di luar negeri antara lain negara-negara di USA dan Eropa, dan sekarang sudah mulai merambah ke negara Uni Emirat Arab, terutama Dubai. Cara pengemasan yang dilakukan bisa dikatakan sama, hanya mungkin sentuhan-sentuhan kecil yang dikhususkan untuk menjaga kualitas ikan dalam perjalanan sedikit berbeda. Cara pengiriman/ shipping ikan hias ke luar negeri sama juga caranya, harus melalui agen, walaupun satu-dua perusahaan telah menjadi agen sendiri, kemudian harus melalui proses karantina di bandara, kemudian baru diterbangkan ke negara tujuan. Namun demikian, dalam mekanisme rantai pasok, ketiga perusahaan tersebut memiliki cara yang berbeda-beda dalam menyikapi rantai pasok ikan hias mereka dari hulu ke perusahaan. Khususnya dalam penelitian ini, rantai pasok mereka dari Kepulauan Seribu. CV. Cahaya Baru memiliki kontrak tak tertulis dengan salah satu nelayan di Pulau Panggang, yang juga menjadi pengepul untuk nelayan yang lain. PT. Dinar Darum Lestari bahkan melakukan pembinaan pada salah seorang nelayan yang sekarang juga menjadi pengepul di Pulau Panggang selama 2 tahun demi tercapainya kualitas yang diinginkan perusahaan, sampai nelayan tersebut tersertifikasi oleh MAC (Marine Aquarium Council). Sedangkan CV. Blue Star Aquatic lebih sederhana, hanya melakukan pembelian yang kontinyu pada salah seorang pengepul di Pulau Panggang. Ketiga pemasok untuk tiga perusahaan tersebut saat ini telah tersertifikasi MAC. Mekanisme pembayaran dan metode pengiriman ikan ke perusahaan untuk pemasok di Pulau Panggang yang dilakukan oleh ketiga perushaaan tersebut juga berbeda-beda, sesuai dengan kesepakatan mereka dengan perusahaan. CV. Cahaya Baru bersedia menjemput ikan hiasnya dari Muara Angke dengan mobil boks yang mereka miliki. Dengan didasari oleh kepercayaan penuh, pengepul cukup 60 menitipkan ikan-ikannya pada ABK kapal ojek yang menuju Muara Angke. Pembayaran dilakukan dengan metode transfer melalui Bank DKI, karena aksesnya yang dekat dengan Pulau Panggang, yaitu terletak di Pulau Pramuka. Sedangkan CV. Blue Star Aquatic dan PT. Dinar menerima ikan langsung ke perusahaan, sehingga pengepul mereka lah yang mengantarkan ikan sampai ke perusahaan. Untuk ongkos transportasi, CV. Blue Star bersedia membayar setengah dari biaya transportasi yang dikeluarkan oleh pengepul. Berbeda lagi dengan PT. Dinar, yang telah memasukkan item biaya kirim ke dalam harga ikan yang dibelinya, sehingga memang perusahaan membayar dengan harga yang cukup tinggi untuk ikan dari pengepul ini, selain dari tuntutan kualitas ikan itu sendiri. Dalam rangka membina hubungan baik dengan pengepul, ada beberapa hal yang dilakukan oleh perusahaan, antara lain memberikan THR di hari lebaran, memberikan bonus ketika ikan yang dikirimkan memiliki kualitas yang memuaskan, dan memberikan santunan untuk kegiatan sosial di Pulau Panggang, seerti pengajian, kematian, dan sebagainya. Sedangkan untuk hubungan profesi demi kelangsungan usaha pengepul, perusahaan memberikan modal awal berupa investasi pondok penampungan kecil, akuarium, dan tabung gas. Nantinya, semua investasi tersebut akan menjadi milik pengepul dengan cara mencicil pada perusahaan dengan metode pemotongan hasil penjualan. Ada satu norma kerjasama yang sangat kuat di Pulau Panggang, bahwa setiap nelayan hanya akan menjual ikannya pada satu pengepul, dan setiap pengepul hanya akan memasok pada satu perusahaan. Kecuali nelayan lepas dan pengepul lepas. Tidak ada kontrak tertulis dalam hal ini, namun semua pihak telah memahamai dan tunduk akan norma yang telah terbentuk tersebut. Namun demikian, sebenarnya hal ini dapat dijelaskan secara logika. Pembelian ikan hias yang dilakukan di pulau dilakukan dengan metode order. Ketika perusahaan mendapatkan order ikan hias dari pembeli, maka perusahaan meneruskan order ikan hias yang ada di Kepulauan Seribu kepada pengepulnya, dan pengepul akan meneruskan order tersebut kepada nelayannya. Apabila order ini sudah terpenuhi oleh satu pengepul dan kemudian pengepul lain juga tiba-tiba memasok ikan yang sama pada waktu yang sama, maka seleksi ikan pada perusahaan akan makin 61 ketat, dan ikan yang dibawa dari Pulau Panggang akan tidak terbeli dan kembali sia-sia. Selain rugi biaya, kelestarian sumber daya alam juga bisa terancam. Maka, dapat dikatakan bahwa norma tersebut dapat menjaga ketentraman dan kenyamanan dalam usaha ikan hias laut di Pulau Panggang, dan juga bisa menjadi kontrol pengambilan sumber daya alam dari laut. 62 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Gambaran Rantai Pasok Ikan Hias Laut Gambaran rantai pasok yang akan dibahas terdiri dari struktur rantai pasok, entitas rantai pasok, manajemen rantai pasok, sumber daya rantai pasok, dan proses bisnis rantai pasok. 5.1.1 Struktur Rantai Pasok A. Anggota Rantai Pasok Pada rantai pasok suatu komoditas terdiri dari dua jenis anggota rantai pasok, yaitu anggota primer dan anggota sekunder. Anggota primer adalah pihakpihak yang terlibat secara langsung dalam kegiatan produksi dalam rantai pasok. Anggota sekunder adalah anggota rantai pasok yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan produksi, namun memiliki pengaruh dalam kegiatan bisnis dalam rantai pasok tersebut. A.1. Anggota Primer Rantai Pasok Anggota primer pada rantai pasok ikan hias laut ini adalah nelayan tangkap ikan hias laut sebagai pemasok utama, pengepul sebagai pengumpul, perusahaan (baik ekspor maupun lokal) sebagai pemelihara di farm ikan hias, dan konsumen ikan hias yang terdiri dari retail lokal, konsumen akhir lokal, importir, grosir di luar negeri, retail luar negeri, dan konsumen akhir luar negeri. Gambaran lebih lengkap tentang jaringan anggota primer rantai pasok ikan hias non sianida di Kepulauan Seribu dapat dilihat pada Gambar di bawah ini: Pasar Dalam Negeri Retail Lokal Nelayan Pasar Luar Negeri Konsumen Akhir Lokal Pengepul Perusaha -an Ekspor Importir wholesaller Grosir Retail Gambar 18. Jaringan Anggota Primer Rantai Pasok Ikan Hias Non Sianida di Kepulauan Seribu Konsumen Akhir 1. Nelayan Ikan Hias Ada sekitar 50 nelayan ikan hias di Kepulauan Seribu yang terkonsentrasi di Pulau Panggang. Mereka mencari ikan hias di sekitar Kelurahan Pulau Panggang dan beberapa kelurahan sekitar Pulau Panggang. Nelayan ikan hias dikelompokkan menjadi nelayan lepas dan nelayan terikat. Nelayan lepas menjual ikan hiasnya pada pengepul mana saja yang mereka suka dengan pertimbangan tertentu, sedangkan nelayan terikat/ tetap menjual ikan hiasnya pada pengepul tertentu. Tidak ada ikatan kontrak tertulis yang mengikat secara hukum atau kelembagaan antara nelayan dan pengepul. Nelayan lepas menyediakan dan menyiapkan sendiri perahu tangkap beserta bensinnya serta jaring tangkapnya, sedangkan beberapa nelayan terikat disediakan bensin dan jaring tangkapnya oleh pengepulnya. Kewajiban nelayan terikat adalah menjual seluruh hasil tangkapan ikan hias yang telah diorder oleh pengepul dengan kualitas ikan yang baik. Beberapa nelayan terikat yang modal penangkapannya disediakan oleh pengepul tidak menjual ikannya pada pengepul lain walaupun harga pada pengepul lain lebih baik. Harga ikan hias dari nelayan ditentukan sepenuhnya oleh pengepul. 2. Pengepul Ikan Hias Pengepul ikan hias di Kepulauan Seribu, yaitu di Pulau Panggang berjumlah 13 orang. Masing-masing pengepul memiliki sejumlah nelayan tetap dan nelayan lepas sebagai pemasok ikan hias. Pengepul memberikan pinjaman modal penangkapan pada nelayan, dengan jaminan bahwa ikan hias yang ditangkap oleh nelayan akan seluruhnya dijual pada pengepul tersebut. Apabila ikan hias pada pengepul belum mencukupi order, pengepul akan membeli ikan hias pada nelayan lepas atau kepada sesama pengepul. Beberapa pengepul memasok pada perusahaan ekspor, dan beberapa memasok pada perusahaan lokal. Pengepul yang memasok pada perusahaan ekspor diberikan fasilitas pinjaman berupa pondok penampungan kecil beserta akuarium, plastik untuk membungkus ikan, dan tabung gas di pulau. Hal ini dilakukan oleh perusahaan untuk kepentingan perusahaan juga, yaitu perusahaan menginginkan kualitas ikan hias yang baik. Oleh karena itu pinjaman operasional beserta transfer teknologi dilakukan oleh perusahaan pada pengepul. Di sisi lain, 64 untuk keberlanjutan usaha nelayan dan pengepul, pengepul merasa senang diberikan pinjaman investasi tersebut. Kerjasama saling membutuhkan seperti ini sangat efektif bagi perusahaan. Namun demikian, ada sisi buruk bagi pengepul tersebut, karena dengan adanya ikatan semacam ini pengepul menjadi tidak memiliki posisi tawar yang baik dalam menentukan harga ikan hias, karena harga ikan hias sepenuhnya ditentukan oleh perusahaan. Hal inilah yang menyebabkan nelayan juga tidak memiliki posisi tawar pada pengepul. Pada penelitian ini, dilakukan wawancara kepada 11 pengepul dari 13 pengepul ikan hias laut yang ada di Kepulauan Seribu. Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa ada 13 rantai pasok primer di Kepulauan Seribu. Tabel di bawah ini menunjukkan 11 rantai primer yang ada di Kepulauan Seribu. Tabel 12. Jaringan Anggota Primer Rantai Pasok Ikan Hias di Kepulauan Seribu dari Nelayan hingga Perusahaan No 1. Nelayan Tetap 2 org Lepas 2 org 2. Tetap 10 org Lepas 3 org 3. Tetap 3 org Lepas 8 org 4. Tetap 5 org Lepas 0 org 5. Tetap 10 org Lepas 2 org 6. Tetap 2 org Lepas 3 org 7. Tetap 5 org Lepas 10 org 8. Tetap 2 org Lepas 5 org 9. Tetap 4 org Lepas 0 org 10. Tetap 2 org Lepas 5 org 11. Tetap 3 org Lepas 4 org Pengepul Perusahaan lokal Perusahaan ekspor Kamid - CV. Blue Star Aquatic Junaedi - PT. Dinar Darum Lestari Mujahidi - CV. Cahaya Baru Kelompok Nelayan - PT. Golden Marindo Persada Halimun 1. Napoleon 2. Galaxy/prent - Muhadi Aquatic Jaya - Simon Toupik Aquarium - Syahbudin Armas Arquatik - Abdul Hakim Family - Abdul Somad CV. Aqua Marindo - Simin Palem Lestari - Ada satu kelompok nelayan ikan hias di Kepulauan Seribu yang mencoba memotong rantai pasok pada elemen pengepul ini. Kelompok ini bernama KELONPIS, dimana mereka berorganisasi, mengumpulkan ikan hias bersamasama dan menjualnya langsung pada perusahaan selayaknya pengepul. Kelompok 65 ini lah yang berfungsi sama seperti pengepul. Inisiatif ini sangat bermanfaat bagi anggota kelompok, karena nelayan bisa menentukan harga untuk mereka sendiri. Paling tidak, penentu harga pada hasil tangkapan ikan mereka bukanlah pengepul, tapi langsung perusahaan. Harapan dari anggota kelompok nelayan ini adalah peningkatan kesejahteraan anggota. 3. Perusahaan Perusahaan yang terdapat dalam rantai pasok ikan hias non sianida di Kepulauan Seribu antara lain perusahaan lokal dan perusahaan ekspor (lihat Tabel 14). Pada penelitian ini ada 3 perusahaan ekspor yang diwawancara, yaitu CV. Cahaya Baru, PT. Dinar Darum Lestari, dan CV. Blue Star Aquatic. Perusahaan ekspor menerima pasokan ikan hias seminggu sekali dari pengepul di Pulau Panggang dalam keadaan ikan di plastik dan di pisahkan untuk ikan yang siripnya tajam atau ikan yang senang berkelahi. Sesampainya di perusahaan, ikan di streaming selama 24 jam untuk mengetahui apakah ikan dalam kondisi sehat atau sakit . Kemudian ikan disortasi sesuai dengan jenis dan kualitas yang diinginkan perusahaan. Perusahaan juga melakukan upaya pemasaran kepada konsumen. 4. Konsumen Ikan hias laut memiliki dua kelompok pasar, yaitu pasar dalam negeri dan pasar luar negeri. Konsumen pasar dalam negeri adalah perusahaan retail aquarium ikan hias laut. Namun pasar dalam negeri sangat terbatas, karena daya beli masyarakat kurang. Pasar luar negeri merupakan pasar yang sangat menjanjikan, karena peminat ikan hias laut cukup banyak dan tingkat kesejahteraan konsumen menengah ke atas juga banyak. Beberapa negara yang menjadi konsumen adalah USA (Los Angles, Miami, Kanada, San Fransisco, Brazil, Argentina), Eropa (Inggris, Jerman, Rusia, Polandia, Irlandia, Hungaria), Asia (Hongkong, Jepang, Taiwan, Korea), dan yang sedang mulai tumbuh adalah pasar Uni Emirat Arab (Dubai, Iran, Irak, Siria). Pelanggan ikan hias dari luar negeri berdasarkan besarnya order dibedakan menjadi 3, yaitu wholesaller, grosir, dan ritel. Wholesaller membeli ikan hias dari perusahaan untuk dijual pada penjual grosir di beberapa negara bagian yang lebih kecil dan sulit dijangkau oleh penerbangan internasional. Grosir membeli ikan hias dari wholesaller, namun ada beberapa perusahaan yang menjual ikan hias 66 langsung pada grosir. Retailer ikan hias laut adalah penjual akuarium ikan hias laut. Ada beberapa perusahaan juga yang menjual langsung kepada retailer, tentunya volume penjualannya tidak akan besar. Retailer ini yang akan berhubungan dengan konsumen akhir, yaitu para hobbyist ikan hias laut dan pengadaan akuarium publik. 5. Aktivitas Anggota Rantai Pasok Nelayan melakukan penangkapan ikan di lokasi penangkapan dengan menggunakan perahu kecil berbahan bakar bensin sebagai alat transportasi menuju lokasi penangkapan. Jaring tangkap dan alat tangkap yang lain (tembakan untuk ikan mandarin) telah disiapkan. Ikan yang telah ditangkap dimasukkan ke dalam keranjang penampungan yang ditenggelamkan dalam air laut tapi diberi alat pengapung agar keranjang tidak tenggelam semuanya dan tetap berada dalam posisi di permukaan air laut. Selanjutnya, ikan hias hasil tangkapan langsung di bawa ke pondok penampungan milik pengepul. Di sana, ikan langsung dihitung dan disortasi berdasarkan jenis dan kebutuhan order dan langsung di bayar. Bagi nelayan yang dipinjami jaring atau bensin, pembayaran dilakukan dengan melakukan pemotongan pada hasil penjualan ikan hias dari nelayan secara berkala. Pengepul melakukan sortir pada ikan yang diterima dari nelayan dan membayarnya. Ikan dari nelayan akan ditampung sampai hari jumat, karena setiap hari jumat pengepul akan mengirimkan ikan ke perusahaan. Setelah ikan hias terkumpul di pondok penampungan, pengepul bersama karyawannya melakukan pengemasan ikan berdasarkan jenis dan jumlahnya. Pengemasan dilakukan dengan menggunakan plastik, diisi air yang mengandung bubuk antibiotik untuk menjaga kesehatan ikan, dan diisi gas dengan perbandingan air : gas = 1 : 3. Kemudian ikan yang telah dikemas masing-masing 1 ekor, dibungkus lagi dengan menggunakan plastik yang lebih besar, dimana 1 plastik dapat berisi 5-10 plastik kecil. Ikan yang telah dikemas dengan pastik besar kemudian diangkut dengan menggunakan gerobak dorong menuju dermaga di Pulau Panggang. Dengan menggunakan kapal ojek ikan-ikan tersebut diangkut ke Muara Angke. Sesampainya di Muara Angke, ikan-ikan tersebut diangkut lagi dengan 67 menggunakan gerobak dorong menuju kendaraan berupa mobil boks atau taksi menuju farm perusahaan. Beberapa perusahaan menjemput ikan hias dari Muara Angke, namun ada beberapa yang menunggu pengepul mengantarkan ikan hias sampai farm perusahaan. Pengelolaan ikan hias laut sebagian besar dilakukan di farm perusahaan ekspor ikan hias. Berikut adalah beberapa teknologi pengelolaan ikan hias laut yang dilakukan di perusahaan mulai dari pembelian ikan dari nelayan hingga pada pengiriman/ ekspor ke luar negeri. a. Pembelian dan sortir ikan hias Ikan hias sebagai bahan baku utama perusahaan dibeli dari pengepul di Kepulauan Seribu. Ikan hias tersebut dibungkus dengan menggunakan plastik ukuran 40x60 cm yang sudah di beri lapisan kantung plastik juga untuk mencegah kebocoran. Jumlah ikan hias yang ada di kantung plastik tersebut lebih kurang 50 ekor untuk ikan dengan ukuran rata-rata 5 cm bagi ikan ikan yang tidak berkelahi atau ikan yang tidak bersirip tajam. Sedangkan untuk ikan yang suka berkelahi dan yang bersirip tajam, yang berpotensi untuk saling merusak satu sama lain di gunakan kantung plastik yang lebih kecil dan diisi satu ekor untuk satu plastik yang sesuai dengan ukurannya. Ikan yang baru datang kemudian dibuka plastiknya dan dibiarkan selama lebih kurang 1 sampai 2 jam untuk melihat apakah kondisi ikan dalam keadaaan sehat atau tidak. Setelah itu baru dilakukan pemilihan (sortir) ikan hias dengan patokan ukuran, kondisi kesehatan ikan yang meliputi kelincahan, warna, dan tingkat kerusakan sirip atau kulit ikan. Setelah itu baru dipindahkan ke dalam akuarium adaptasi, dan setelah sehari, ikan dipindahkan ke akuarium pemeliharaan. b. Pemeliharaan ikan hias Pemeliharaan ikan hias dilakukan seperti pemeliharaan ikan hias pada umumnya, yaitu diberi makan, dikontrol pH air dan kebersihan lingkungannya, sirkulasi air harus selalu berjalan, sehingga pada farm pemeliharaan ikan hias ini selalu tersedia genset untuk berjaga-jaga apabila tiba-tiba terjadi pemadaman listrik dari pusat. Hal inilah yang membuat konstruksi farm di perusahaan ikan 68 hias laut selalu berdampingan dengan mess karyawan, karena untuk pemeliharaan ikan hias ini diperlukan pengawasan 24 jam penuh. Ikan-ikan yang di order oleh pelanggan dan akan dikirim, 3 hari sebelumnya di pisahkan dari kolam pemeliharaan untuk di beri perlakuan khusus, yaitu di puasa kan. Selama 3 hari ikan tersebut tidak diberi makan agar mereka tidak agresif ketika dilakukan proses pengepakan dan pengiriman, sehingga sampai di negara tujuan, ikan tersebut dapat bertahan hidup. c. Pengepakan ikan hias Pengepakan ikan hias harus disesuaikan dengan negara tujuan dan musim yang sedang berlangsung di negara tersebut. Ekspor ke negara negara Eropa, Amerika dan Jepang, packing ikan hias pada musim panas tidak menggunakan koran pelapis dan digunakan es batu kecil yang di plastik seperti es lilin untuk menjaga suhu ikan. Namun ketika di negara tujuan tersebut terjadi musim dingin, maka antara styrofoam dan karton diberikan koran pelapis sampai enam lapis. Untuk musim dingin yang ekstrim, terkadang perlu diberi kantong penahan suhu (heat pack) di tiap kardusnya. Sedangkan ekspor ke negara-negara tujuan ekspor di Asia, tidak menggunakan koran pelapis. Kemampuan daya tahan ikan di dalam kotak styrofoam dapat bertahan selama lebih kurang 48 jam. Sebelum dilakukan pengiriman, ikan hias dikarantina lagi dengan cara dimasukkan ke dalam akuarium terpisah dan dipuasakan, dengan tidak diberi makan. 1) Peralatan dan bahan yang digunakan : a) Kardus karton berukuran 55 x 30 x 35 cm b) Kotak styrofoam ukuran 50 x 28 x 33 cm c) Plastik ukuran lebar 10,12,15,17,18,25,38, dan 40 cm. d) Tangki oksigen dengan kapasitas 200 kg/ cm2 e) Ultra violet f) Marine buffer ph 8,3 g) Obat antibiotik Water Soluble Bulk Powder 2) Proses pengepakan ikan hias a) Ikan dipilih dan disortir sesuai dengan ukuran dan jenis berdasarkan order dari konsumen. 69 b) Ukuran plastik disesuaikan dengan ukuran ikan dan jenisnya. Plastik ukuran 10 cm diisi ikan ukuran 1 inci untuk 1 ekor ikan. Plastik dilapisi dua dan tengahnya dilapisi kertas koran untuk mencegah agar ikan tidak saling melihat satu sama lain, sehingga tidak berkelahi. c) Air untuk pengiriman disediakan di kolam khusus dan di atasnya diletakkan mesin ultraviolet (UV) untuk mematikan bakteri yang terdapat di dalam air tersebut. Kemudian ditambahkan di dalamnya marine buffer PH 8,3 sebanyak 38 gram. Penggunaan marine buffer berguna untuk menjaga alkalinitas dan kestabilan PH air laut. d) Pemberian air ke dalam kantung plastik sebanyak ½ cm dari atas punggung ikan. Setelah itu diberi water soluble bulk powder yang mengandung nitrofurazone sebagai antibiotik, kira kira sampai air di dalam kantung berwarna kuning. e) Pemberian oksigen ke dalam kantung plastik dilakukan apabila ikan sudah dimasukkan ke dalam kantung plastik dan diberi antibiotik. Setealah itu baru ikan diikat dengan karet. Tabung oksigen 200 kg/cm2 untuk 200 kotak, dengaan kapasitas isi 1 boks berjumlah 50 kantung plastik lebar 10 cm. Penempatan kantung plastik yang berisi ikan hias di dalam kotak styrofoam dalam posisi tegak. Antara styrofoam dan kotak kardus diberi koran pelapis sesuai dengan kondisi negara tujuan ekspor. d. Pengiriman ikan hias Ikan hias yang telah di packing kemudian dimasukkan ke dalam mobil boks untuk dikirim ke bandara terdekat. Perusahaan-perusahaan di Tangerang ini pintu ekspornya adalah Bandara Soekarno Hatta. Di bandara dilakukan proses karantina, dimana perusahaan terkait diwajibkan untuk memberikan sampel ikan yang dikirim, untuk membuktikan bahwa ikan yang dikirim bebas bakteri dan penyakit. Setelah karantina selesai dilakukan, kemudian dengan cepat ikan-ikan ini dimasukkan kembali ke bagasi pesawat dan dikirim ke negara tujuan. Sampai di negara tujuan, ikan tersebut dijemput oleh importir yang merupakan wholesaller, grosir, dan retail. Ada pula importir yang disebut dengan transhipper, dimana tanpa membuka kemasan, mereka menjual ikan-ikan dari Indonesia ke negara-negara bagian yang lain. Tabel 15 menunjukkan ringkasan 70 kegiatan yang dilakukan oleh anggota primer pada rantai pasokikan hias non sianida di Kepulauan Seribu. Tabel 13. Aktivitas Anggota Primer Rantai Pasok Ikan Hias Non Sianida di Kepulauan Seribu Aktivitas Pertukaran a. Penjualan b. Pembelian c. Peminjaman modal Fisik a. Penangkapan b. Penampungan c. Pemeliharaan d. Pengemasan e. Pengangkutan lokal f. Pengangkutan internasional Fasilitas a. Sortasi b. Teknologi pemeliharaan c. Informasi pasar d. Perijinan ekspor e. Perijinan impor Anggota Primer Rantai Pasok Nelayan Pengepul Perusahaan Konsumen √ √ √/- √ √ √/- √ √ - √ √ - √ - √ √ √ - √ √ √ √ √ √ √/√ √ - √ - √ √ √ √ - √/√ √ √ Keterangan : ( √ ) : dilakukan ( - ) : tidak dilakukan A2. Anggota Sekunder Rantai pasok Anggota sekunder adalah pihak yang memperlancar kegiatan rantai pasokdalam menyediakan bahan baku yang dibutuhkan mulai dari kebutuhan penangkapan, pengemasan, pemeliharaan, hingga kebutuhan kantor. Bahan baku untuk penangkapan meliputi bensin untuk bahan bakar perahu, untuk pengemasan di tingkat pengepul meliputi plastik, bubuk antibiotik, air laut, gas tabung, dan karet gelang. Pemeliharaan di farm perusahaan memerlukan bahan baku air laut, bahan untuk skimmer, antibiotik, dan pakan ikan. Pengemasan di tingkat perusahaan memerlukan bahan baku berupa kardus karton berukuran 55 x 30 x 35 cm, kotak styrofoam ukuran 50 x 28 x 33 cm, plastik ukuran lebar 10,12,15,17,18,25,38, dan 40 cm, tangki oksigen dengan kapasitas 200 kg/ cm2 , 71 Ultra violet, Marine buffer ph 8,3, Obat antibiotik Water Soluble Bulk Powder, dan air laut. Hubungan anggota primer dalam rantai pasok dengan anggota sekunder ini adalah hanya berupa hubungan konsumen biasa. Tabel 16 menunjukkan pemasok sekunder dalam rantai pasok ikan hias non sianida. Tabel 14. Daftar Pemasok Bahan Baku Non Ikan Hias dalam Rantai Pasok No. Elemen Rantai Pasok 1. Nelayan 2. Pengepul 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Jenis barang Sumber Pemasok Bensin Plastik ukuran lebar 10, 15, 25, dan 40 cm Bubuk anti biotik Air laut Tangki oksigen Karet gelang Perusahaan Bahan untuk skimmer Pakan ikan Kardus karton Kotak styrofoam Plastik ukuran lebar 10,12,15,17,18,25,38, dan 40 cm Tangki oksigen Kios bensin di pulau Dari perusahaan Kios kecil di pulau Ambil air laut di pulau Dari perusahaan Kios kecil di pulau Toko Bahan Kimia di Jakarta Pasar ikan di Jakarta Toko Kardus & Plastik di Jakarta Toko Kardus & Plastik di Jakarta Toko Kardus & Plastik di Jakarta Tempat pengisian oksigen, bengkel di Jakarta 13. Ultra violet Toko Bahan Kimia di Jakarta 14. Marine buffer ph 8,3 Toko Bahan Kimia di Jakarta 15. Antibiotik Water Soluble Toko Bahan Kimia di Jakarta Bulk Powder 16. Air Laut Sea World, Grosir Air Laut Tangkian di Jakarta Sumber : Hasil wawancara dengan beberapa pihak B. Pola Aliran Dalam Rantai Pasok Ada tiga macam aliran yang harus dikelola dalam suatu rantai pasok. Pertama adalah aliran barang yang mengalir dari hulu (upstream) ke hilir (downstream), kedua adalah aliran finansial (uang) dari hilir ke hulu, dan yang ketiga adalah aliran informasi yang dapat mengalir dari hulu ke hilir atau sebaliknya. Model rantai pasok ikan hias non sianida di Kepulauan Seribu ini terdiri atas nelayan, pengepul, perusahaan, konsumen, dan pemasok sekunder. 72 Gambar 20 menunjukkan pola aliran dalam rantai pasok ikan hias non sianida di Kepulauan Seribu. Pasar Dalam Negeri Konsumen Akhir Perusahaan Lokal Nelayan Pasar Luar Negeri Pengepul Perusahaan Eksportir Perusahaan Importir Konsumen Akhir Penyedia sarana non ikan Keterangan : Aliran barang Aliran finansial Aliran informasi Gambar 19. Pola Aliran dalam Rantai Pasok Ikan Hias Non Sianida di Kepulauan Seribu Aliran komoditas ikan hias non sianida dimulai dari nelayan sebagai pemasok utama. Hasil tangkapan ikan hias dikumpulkan pada pengepul. Setiap seminggu sekali atau setelah jumlah dan jenis ikan hias memenuhi order dari perusahaan, maka pengepul mengantarkan ikan hias tersebut pada perusahaan, yang dalam hal ini ada 2 jalur, yaitu perusahaan lokal dan perusahaan eksportir. Harga beli ikan hias laut ini ditentukan sepenuhnya oleh perusahaan, sehingga pengepul juga menentukan harga pada nelayan berdasarkan harga dari perusahaan dikurangi dengan biaya yang harus dikeluarkan pengepul untuk operasional penyimpanan dan transportasi. Beberapa pengepul mengantar ikan hias sampai ke farm perusahaan dengan menggunakan mobil boks atau taksi, dan sebagian yang lain hanya menitipkan ikan hias pada anak buah kapal dan sesampainya di Muara Angke, ikan hias tersebut telah dijemput oleh pihak perusahaan. Biaya transportasi akan ditanggung oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak dengan kesepakatan yang telah ditentukan. 73 Setelah sampai di perusahaan, sesuai dengan order pelanggan, perusahaan mengirimkan ikannya dengan menggunakan transportasi darat ke Bandara Soekarno Hatta. Hal ini yang menyebabkan banyak eksportir ikan hias memilih lokasi perusahaannya dekat dengan bandara. Untuk memperpendek waktu tempuh dan efektivitas biaya. Kemudian ikan tersebut melalui proses karantina di bandara, dan dengan waktu yang sangat singkat, ikan diterbangkan ke negara tujuan. Sesampainya di negara tujuan, ikan dijemput dari bandara ke perusahaan importir. Dari perusahaan importir yang menjadi wholesaller, akan mendistribusikan ikan ke pedagang grosir di negara-negara bagian yang lebih kecil, kemudian ikan diangkut dengan menggunakan transportasi darat, kemudian sesampainya di pedagang grosir, ikan dikirimkan ke petshop/ retail akuarium dan ikan hias laut. Pembeli sebagai end user membeli ikan dari toko akuarium dan ikan hias hias laut tersebut untuk kesenangan/ hobby mereka. Aliran finansial pada rantai pasok ikan hias non sianida mengalir dari konsumen, perusahaan importir, perusahaan eksportir, pengepul, dan nelayan. Sedangkan untuk pasar dalam negeri aliran finansial lebih pendek, yaitu dari konsumen, perusahaan lokal, pengepul, dan nelayan. Importir membayar kepada eksportir dengan menggunakan 2 cara, yaitu membayar di awal, sebelum ikan dikirim, atau membayar setelah ikan sampai di negara tujuan, tergantung kesepakatan bersama. Sedangkan pada pengepul, perusahaan langsung membayar sejumlah ikan yang dijual ditambah dengan ongkos kirim (sesuai kesepakatan). Pada nelayan, pengepul juga langsung membayar ikan yang dijual pada nelayan sesuai dengan jenis dan jumlah ikan yang ditangkap. Sistem komunikasi sudah terintegrasi antara anggota primer dalam rantai pasok. Aliran informasi terjadi pada komsumen akhir, perusahaan importir, perusahaan eksportir, pengepul, dan nelayan atau sebaliknya. Namun demikian ada satu jalur informasi tentang harga yang tidak tersampaikan dari perusahaan ke pengepul ataupun ke nelayan, sehingga sampai sekarang nelayan dan pengepul tidak mengetahui harga jual ikan-ikan hias yang mereka tangkap di pasar internasional. Hal ini menyebabkan nelayan dan pengepul tidak memiliki posisi tawar yang baik dalam hal harga. Informasi dari perusahaan ke pengepul hanyalah informasi tentang order ikan, yaitu ikan jenis apa dan jumlahnya berapa yang 74 harus dikirim ke perusahaan. Komunikasi antara perusahaan dan pengepul dilakukan dengan menggunakan telpon atau pada saat pengepul mengantarkan ikan ke perusahaan. Komunikasi antara pengepul dan nelayan dilakukan dengan komunikasi langsung atau telpon dan sms. Komunikasi antara perusahaan eksportir dengan perusahaan importir dilakukan melalui email, telpon, dan faximile. Importir memperoleh informasi tentang tawaran ikan dan harga melalui pricelist yang dikirimkan perusahaan eksportir kepada importir. Dengan pricelist tersebut, importir dapat memilih ikan hias mana yang akan diorder dengan harga yang telah tercantum. Harga yang tercantum belum termasuk diskon, sehingga untuk kesepakatan diskon dan cara pembayaran dilakukan setelah order dilakukan. 5.1.2. Entitas Rantai Pasok 1. Produk Ikan hias laut merupakan komoditas yang termasuk dalam kategori binatang piaraan. Di Kepulauan Seribu ada sekitar 106 jenis ikan hias laut yang diperdagangkan secara internasional, untuk nama-nama jenis ikan dapat dilihat pada Lampiran 3. Ikan hias laut ini hampir seluruhnya didapatakn dari hasil tangkapan nelayan. Hanya 5 jenis yang sudah berhasil dibudidayakan di Pusat Budidaya Ikan Hias di Lampung. Penelitian dan pengembangan masih sangat diperlukan untuk mendorong budidaya ikan hias laut ini. Kualitas ikan hias yang diekspor harus benar-benar diperhatikan. Perusahaan mempertaruhkan kepercayaan pelanggan melalui produk yang dijual pada mereka. Oleh karena itu, teknologi tinggi dalam pemeliharaan dan pengemasan diupayakan sebesar-besarnya demi menjamin ikan hias tersebut tetap sehat sampai di negara tujuan. Ikan hias laut adalah komoditas yang tidak diperuntukkan untuk dirubah bentuknya, justru harus dipertahankan warna, kelincahan, dan kesehatannya. Beberapa inovasi yang dapat dilakukan oleh perusahaan mengenai produk ikan hias laut ini adalah teknologi perawatan dan teknologi pengemasan. Sedangkan untuk membuat diferensiasi dengan perusahaan lain, beberapa perusahaan mengalokasikan sumberdayanya untuk melakukan riset pada spesies jenis baru yang berpotensi untuk dijadikan produk andalan bagi perusahaan. 75 2. Pasar Pasar ikan hias laut non sianida ini sebagian besar adalah pasar luar negeri. Target pasarnya adalah para hobbyist ikan hias laut dan pengadaan publik akan akuarium air laut. Beberapa negara yang menjadi tujuan ekspor ikan hias laut ini adalah USA (Los Angles, Miami, Kanada, San Fransisco, Brazil, Argentina), Eropa (Inggris, Jerman, Rusia, Polandia, Irlandia, Hungaria), Asia (Hongkong, Jepang, Taiwan, Korea), dan yang sedang mulai tumbuh adalah pasar Uni Emirat Arab (Dubai, Iran, Irak, Siria). Dari keterangan yang didapatkan dari responden, masih banyak permintaan dari luar negeri yang belum bisa kita pasok, sehingga untuk kedepannya, bisnis ikan hias ini masih menjanjikan. 3. Pemangku kepentingan Anggota yang terlibat dalam rantai pasok ikan hias non sianida atau yang disebut dengan pemangku kepentingan (stakeholder) pada dasarnya termasuk anggota rantai pasok, baik primer maupun sekunder. Setiap pemangku kepentingan memiliki peran masing-masing dalam rantai pasok, yaitu sistem produksi (penangkapan), pasca penangkapan, distribusi, dan pemasaran. Kelancara rantai pasokn ikan hias non sianida ini memerlukan koordinasi secara intensif dan efisien melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam rantai pasokan. 5.1.3. Manajemen Rantai Pasok 1. Struktur Manajemen Struktur manajemen menjelaskan tentang aspek-aspek tindakan pada setiap tingkatan manajemen dalam anggota rantai pasok. Tindakan tersebut menjelaskan langkah yang diambil oleh anggota rantai pasok menindaklanjuti setiap tingkat manajemen yang terdiri dari dalam strategi, koordinasi/kolaborasi, perencanaan, evaluasi, transaksi, dan kemitraan. Nelayan sebagai produsen utama yang bertindak sebagai penangkap ikan hias laut. Pengepul mengorganisir hasil tangkapan nelayan dan secara priodik mengirimkannya ke perusahaan. Perusahaan melakukan proses sortasi, pemeliharaan, pengemasan, dan aktivitas ekspor, memberikan order pada pengepul, dan melakukan investasi-investasi berupa pinjaman modal kepada 76 pengepul dan nelayan. Pendampingan dan penyuluhan proses penangkapan dan pasca penangkapan dilakukan oleh beberapa perusahaan pada pemasoknya, yaitu pengepul dan nelayan. Beberapa perusahaan memiliki suatu divisi yang khusus menangani masalah aktivitas ekspor yang berkaitan dengan pengiriman ikan hias dan pemasarannya. Perencanaan dan strategi yang baik dibutuhkan untuk mendukung kegiatan rantai pasok untuk mencapai optimalisasi rantai pasok. 2. Kesepakatan Kerjasama Tidak ada kontrak secara tertulis baik dari pihak perusahaan kepada pengepul maupun dari pihak pengepul pada nelayan. Kerjasama dilakukan dengan menggunakan prinsip kepercayaan dengan memegang komitmen, rasa saling ketergantungan, dan saling membutuhkan satu sama lain. Nelayan hanya akan menjual ikannya pada pengepul yang memberinya modal awal penangkapan seperti bensin dan pinjaman jaring. Pengepul hanya akan menjual ikannya pada satu perusahaan saja. Tidak ada satu perusahaan yang memiliki dua pengepul dari Kepulauan Seribu. Hal tersebut sudah merupaakn kesepakatan kerjasama yang mengikat antara nelayan dan pengepul di Kepulauan Seribu. Padahal dari sisi perusahaan sendiri, tidak ada keberatan bagi perusahaan apabila pengepul menjual ikan hiasnya pada perusahaan lain, asalkan kebutuhan perusahaan utama telah terpenuhi. 3. Sistem Transaksi Sistem pembayaran pada tingkat nelayan dilakukan secara langsung. Begitu nelayan pulang dari mencari ikan, ikan kemudian langsung didata dan dihitung, dan langsung dibayar pada saat itu juga. Kecuali pengepul sedang kehabisan uang tunai, maka pembayaran akan ditunda hingga pengiriman ikan ke perusahaan dilakukan. Penundaan pembayaran paling lambat seminggu, karena pengiriman ikan hias ke perusahaan biasa dilakukan seminggu sekali. Sedangkan sistem pembayaran di tingkat pengepul dilakukan dengan berbagai cara, tergantung kesepakatan antara pengepul dengan perusahaan. Ada pengepul yang dibayar langsung di perusahaan karena dia mengirim ikannya langsung ke perusahaan, ada pula yang pembayarannya dengan cara ditransfer ke rekening pengepul. Rekening yang dimiliki pengepul adalah Bank DKI, karena 77 hanya Bank DKI yang aksesnya terdekat dengan Pulau Panggang, yaitu terletak di Pulau Pramuka. Berbeda pula dengan sistem pembayaran di perusahaan dengan importir. Dalam transaksi perdagangan dan pengiriman barang, semua biaya pengiriman ditanggung oleh importir. Sehingga yang dijual oleh perusahaan hanyalah produk ikan hiasnya saja. Biaya transportasi mulai dari mengangkut barang keluar dari farm perusahaan, sampai pada penerbangan, dan sampai ke negara tujuan merupakan tenggungan importir. Sistem ini dikenal dengan istilah Freight on Board (FOB). Cara pembayarannya ada 2 macam, yaitu collect (di bayar setelah barang sampai di negara tujuan) dan prepaid (di bayar di negara asal). 4. Kemitraan Salah satu strategi perusahaan untuk mengatasi permintaan yang tidak menentu adalah dengan membina kemitraan dengan pengepul dan nelayan. Pembinaan kemitraan ini berguna bagi perusahaan karena perusahaan tidak perlu menyediakan farm yang terlalu besar untuk penyimpanan dan pemeliharaan ikan hias. Cukup dengan memperkuat kemitraan dengan pengepul dan nelayan, maka ketika order dari pelanggan datang, perusahaan tinggal meneruskan order tersebut pada pengepulnya, dan selanjutnya pengepul akan meneruskan order tersebut pada nelayan. Tidak ada perjanjian tertulis dalam hubungan kemitraan ini, namun hanya pembinaan hubungan secara moral dan sosial, dimana di dalamnya terdapat mekanisme saling kepercayaan, saling ketergantungan, dan saling menguntungkan. Namun demikian pola kemitraan semacam ini sebenarnya kuang menguntungkan bagi nelayan, karena nelayan hanya menangkap berdasarkan pesanan saja, sehingga volume penangkapan sepenuhnya merupakan wewenang perusahaan. Ruang gerak nelayan dan pengepul untuk mengembangkan usahanya sangat terbatas. 5.1.4. Sumber Daya Rantai Pasok 1. Sumber Daya Fisik Sumber daya fisik rantai pasok ikan hias laut ini meliputi area tangkap, kondisi laut dan cuacanya, serta sarana dan prasarana pengangkutan. Kepulauan Seribu merupakan daerah dengan pulau-pulau kecil yang disatukan oleh lautan. 78 Karena daerah penangkapan ikan ini ada di paparan di sekitar pulau-pulau kecil, maka dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan, nelayan memerlukan perahu kecil untuk mengantarkannya ke areal penangkapan. Keberangkatan nelayan melaut sangat dipengaruhi oleh cuaca. Apabila cuaca buruk yang ditandai dengan hujan dan angin kencang, maka nelayan tidak akan pergi melaut. Demikian halnya dengan proses pengangkutan ikan yang dilakukan setiap seminggu sekali ke perusahaan. Apabila cuaca buruk, maka pengiriman ikan bisa ditunda hingga esok harinya, sampai cuaca mulai mereda. Biasanya pengiriman ikan dari pulau jam 07.00 WIB akan sampai di Muara Angke jam 11.00 WIB, tapi karena cuaca buruk bisa jadi baru sampai Muara Angke jam 15.00 WIB atau jam 16.00 WIB. Permasalahan transportasi ini perlu diperhatikan, mengingat hanya melalui transportasi laut lah ikan-ikan ini dapat diangkut ke perusahaan. Belum ada solusi yang dapat mengatasi permasalahan transportasi laut yang sangat bergantung pada cuaca ini. Pihak perusahaan mengirimkan ikan hias ke Bandara Soekarno Hatta melalui jalan darat. Tidak ada permasalahaan yang berarti untuk perjalanan ikan dari perusahaan yang berlokasi di Tangerang ini menuju Bandara Soekarno Hatta, selain kemacetan yang biasa terjadi di kawasan industri di sekitar perusahaan. 2. Sumber Daya Teknologi Nelayan masih menggunakan teknologi yang sangat sederhana untuk melakukan penangkapan ikan. Justru penggunaan teknologi yang sederhana dengan menggunakan jaring atau tembakan inilah yang diminati oleh pelanggan sebagai produk yang ramah lingkungan, karena sebelumnya, banyak nelayan ikan hias laut yang menangkap dengan menggunakan racun sianida yang merusak lingkungan dan juga merusak kualitas ikan. Pengepul menggunakan teknologi yang juga sederhana dengan fasilitas yang sudah cukup memadai, yaitu pondok penampungan dengan akuariumakuarium penampungan. Pada saat pengemasan ikan, pengepul menggunakan air yang dicampur dengan bubuk antibiotik dan mengisi plastik kemasan ikan dengan gas menggunakan tabung gas. Perusahaan ekspor menggunakan teknologi yang cukup canggih untuk pemeliharaan ikan dan proses pengemasan. Untuk pemeliharaan perusahaan 79 menggunakan steamer, marine buffer pH balance, dengan bak-bak penampungan dan akuarium-akuarium terpisah berdasarkan jenis dan juga tempat karantina ikan. Untuk pengemasan perusahaan menggunakan teknologi ultraviolet, bubuk antibiotik, gas, air laut yang bebas bakteri, dan kardus serta styrofoam yang diatur sedemikian rupa disesuaikan dengan kondisi di negara tujuan ekspor. 3. Sumber Daya Manusia Banyak sekali sumber daya manusia yang terlibat dalam rantai pasokan ikan hias laut di Kepulauan Seribu ini. Di Pulau Panggang sendiri, ada sekitar 50 nelayan ikan hias laut dan 13 pengepul. Nelayan bekerja selama 5 – 8 jam sehari untuk mencari ikan, mulai dari jam 7.00 WIB sampai jam 12.00 – 15.00 WIB. Pengepul bekerja setelah nelayan pulang melaut setiap harinya, mulai sore sampai malam. Bila esok harinya adalah jadual mengantar ikan ke perusahaan, maka pengepul akan lembur bersama karyawannya untuk mengemas ikan hias yang akan dikirim. Tak jarang nelayan ikut membantu proses pengemasan ini. Perusahaan memiliki beberapa karyawan yang membantu proses di farm, mulai dari pembelian, sortir, pemeliharaan, hingga pengemasan. Sedangkan untuk bagian pemasaran, sumber daya yang berpengalaman dan dipercaya oleh perusahaan yang akan diposisikan di posisi tersebut. Pada pemilihan tenaga kerja untuk farm, perusahaan tidak memerlukan SDM yang berpendidikan tinggi. Cukup lulusan SMA atau STM, dengan sedikit pelatihan dan magang, maka tenaga kerja ini siap untuk dikaryakan. Jumlah karyawan pada masing-masing perusahaan dapat dilihat pada Lampiran 11. 4. Sumber Daya Permodalan Nelayan ikan hias di Kepulauana Seribu rata-rata telah memiliki modal sendiri untuk melakukan penangkapan. Bagi beberapa nelayan yang tidak memiliki modal berupa bensin atau jaring, permodalan di tingkat nelayan tersebut disediakan oleh pengepul dengan kesepakatan dan jaminan bahwa ikan hasil tangakapan harus dijual pada pengepul tersebut. Sedangkan di tingkat pengepul, kebutuhan semakin besar, yaitu permodalan untuk investasi pondok penampungan dengan sarana dan prasarananya, antara lain akuarium dan tabung gas, serta plastik bungkus ikan. Permodalan berupa investasi pembangunan pondok dan pengadaan akuarium disediakan oleh perusahaan dalam bentuk hutang. Hutang 80 tersebut nanti dibayarkan pada perusahaan dengan mekanisme pemotongan bayaran setiap kali pengepul mengantar/ menjual ikan ke perusahaan. Namun apabila penjualan tidak cukup besar, pemotongan tersebut dapat ditunda pada pembayaran ikan selanjutnya. Perusahaan mendanai usahanya dengan uang sendiri. Mereka tidak memerlukan lembaga keuangan untuk keperluan peminjaman modal. Hal ini dikarenakan beberapa mekanisme pembayaran yang memungkinkan perusahaan mendapatkan bayaran terlebih dahulu sebelum barang dikirim (prepaid). Biaya operasional perusahaan dapat di tutup dengan menggunakan uang dari pembeli. Mungkin perusahaan sudah cukup mapan dan belum berencana untuk memperbesar skala usahanya, sehingga belum merasa perlu untuk mencari pinjaman modal. 5.1.5. Proses Bisnis Rantai Pasok 1. Hubungan Kegiatan Bisnis Rantai Pasok Hubungan kerjasama antara nelayan, pengepul, dan perusahaan merupakan salah satu hal yang akan dianalisis dalam penelitian ini. Sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Mentzer (2001), bahwa ada hubungan yang harus dibina selain hubungan profesi untuk tetap menjaga hubungan baik, maka perusahaan tidak segan-segan untuk memberikan bantuan kepada nelayan/ pengepulnya ketika mereka sedang membutuhkan, misalnya untuk biaya berobat atau bahkan untuk acara pengajian. Dari hasil wawancara diketahui bahwa perusahaan mengetahui dengan pasti karakteristik nelayan yang sangat sensitif, sehingga memang untuk hubungan ini harus dilakukan perlakuan khusus, misalkan berkunjung ke rumah nelayan, dengan membawakan baju untuk anak-anaknya atau bahan makanan untuk istrinya. Diluar dugaan, ternyata istri sangat berperan dalam mempengaruhi suaminya (nelayan) untuk mensuplai ikan hias kepada perusahaan yang sering berkunjung ke rumah dan memberi ‘santunan’ tersebut. Secara profesional, proses pengikatan nelayan/ pengepul dilakukan oleh perusahaan dengan mekanisme investasi yaitu melakukan pemberian pinjaman kepada pengepul setempat untuk membangun sebuah pondok penampungan kecil untuk mengumpulkan ikan-ikan yang di suplai dari para nelayan. Pondok tersebut lengkap dengan akuarium, sistem sirkulasi, dan tabung gas. Bentuknya mirip 81 dengan farm di perusahaan, tapi pondok ini hanya difungsikan sebagai tempat penampungan saja. Pinjaman ini akan dibayar oleh pengepul dengan cara dicicil setiap kali pengepul mengirimkan ikan hias ke perusahaan. Mekanisme adalah dengan pemotongan bayaran. Teknik investasi yang demikian selain menguntungkan perusahaan, juga membantu pengepul untuk dapat memiliki fasilitas sarana dan prasarana sendiri. Hubungan yang dijalin seperti ini cukup memuaskan kedua pihak, karena di pandang saling menguntungkan untuk kedua belah pihak. Hal ini juga yang menjadikan saling ketergantungan antara kedua belah pihak. Ketergantungan yang dimaksud disini adalah kekuatan utama dalam pengembangan solidaritas rantai pasok (Bowersox dan Closs 1996). Hubungan kesaling tergantungan ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Bowersox dan Closs (1996), bahwa ketergantungan ini adalah apa yang memotivasi keinginan untuk menegosiasikan transfer fungsional, berbagi informasi kunci, dan berpartisipasi dalam perencanaan operaional bersama. Perusahaan menginginkan produk yang sesuai dengan standar kualitasnya, oleh karena itu perusahaan membantu pengepul untuk operasional dengan pembangunan pondok penampungan tersebut. Sementara pengepul juga membutuhkan akses pinjaman modal tersebut dari perusahaan untuk mengembangkan usahanya. Ada satu fenomena yang menarik yang terjadi di kelompok nelayan KELONPIS, dimana mereka diberi pinjaman modal untuk pembuatan pondok penampungan kecil di Pulau Panggang, namun setiap kali kelompok ingin membayar kepada perusahaan, perusahaan seakan-akan mengabaikan pinjaman tersebut. Hal tersebut sebenarnya menimbulkan rasa kesungkanan kelompok kepada perusahaan, sehingga kelompok masih belum bisa berpindah dari perusahaan yang selama ini mereka suplai, padahal harga beli yang diberikan perusahaan kepada kelompok dirasa lebih rendah daripada harga beli perusahaanperusahaan lain yang dipasok oleh pengepul lain dari Pulau Panggang. Penetapan harga menjadi satu masalah khusus yang mungkin perlu dikaji lebih lanjut untuk penelitian berikutnya. Pada penelitian ini, wawancara dengan nelayan menyatakan bahwa harga yang diberikan oleh perusahaan selalu kurang memuaskan, sedangkan perusahaan mengatakan bahwa harga yang diberikan 82 kepada nelayan sudah merupakan harga yang standar yang ada di pasar, bahkan beberapa ada yang lebih tinggi dari harga standar. Hal tersebut sesuai dengan teori kekuatan tawar-menawar 1 antara perusahaan sebagai pembeli dan pengepul sebagai pemasok berikut: Kekuatan tawar menawar perusahaan disebabkan karena (1) Perusahaan mampu mendapatkan produk yang diperlukan, (2) Sifat produk tidak terdiferensiasi dan banyak pemasok, (3) Switching cost pemasok adalah kecil, (4) Perusahaan mempunyai tingkat profitabilitas rendah sehingga sensitif terhadap harga dan diferensiasi pelayanan, dan (5) Produk pemasok tidak terlalu penting bagi perusahaan sehingga mudah dicari substitusinya. Sedangkan dari sisi pengepul sebagai pemasok, mereka baru dapat memiliki posisi tawar yang bagus dalam penentuan harga apabila (1) Jumlah pemasok sedikit, (2) Produk yang ada unik dan mampu menciptakan switching cost yang besar, (3) Tidak tersedia produk susbstitusi, dan (4) Pemasok melakukan integrasi ke depan dan mengolah produk yang dihasilkan menjadi produk yang sama dihasilkan perusahaan, artinya pemasok dapat melakukan aktivitas ekspor dan menembus pasar ekspor seperti yang dilakukan oleh perusahaan. Beberapa jenis ikan yang ada di Kepulauan Seribu ternyata juga ada di daerah lain dengan kelimpahan yang lebih banyak, sehingga daerah lain bisa menjual ikan dengan jenis yang sama dengan ikan hias di Kepulauan Seribu dengan harga yang lebih rendah. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan harga ikan hias di Kepulauan Seribu kurang kompetitif. 2. Pola Distribusi a. Distribusi produk Sesuai dengan order pelanggan, perusahaan mengirimkan ikannya dengan menggunakan transportasi darat ke Bandara Soekarno Hatta. Hal ini yang menyebabkan banyak eksportir ikan hias memilih lokasi perusahaannya dekat dengan bandara. Untuk memperpendek waktu tempuh dan efektivitas biaya. Kemudian ikan tersebut melalui proses karantina di bandara, dan dengan waktu yang sangat singkat, ikan diterbangkan ke negara tujuan. Sesampainya di negara tujuan, ikan dijemput dari bandara ke perusahaan importir. 1 Dari perusahaan importir Copyright: Intuitive, http://www.sxc.hu 83 yang menjadi wholesaller, akan mendistribusikan ikan ke pedagang grosir di negara-negara bagian yang lebih kecil, kemudian ikan diangkut dengan menggunakan transportasi darat, kemudian sesampainya di pedagang grosir, ikan dikirimkan ke petshop/ retail akuarium dan ikan hias laut. Proses distribusi yang paling banyak dilakukan setelah ikan sampau ke negara tujuan, karena sebelum samapai ke pembeli akhir, ikan tersebut bisa dididtribusikan dari satu negara ke negara lain lagi. Pembeli sebagai end user membeli ikan dari toko akuarium dan ikan hias hias laut tersebut untuk kesenangan/ hobby mereka. Gambar 20. Alur Perdagangan Ikan Hias dari Nelayan Kepulauan Seribu hingga ke Pembeli Akhir di Luar Negeri Sumber : Dinas Peternakan, Perikanan Dan Kelautan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 2008 b. Distribusi harga Dalam sebuah sistem perdagangan, pada umumnya distribusi harga akan mengalami beberapa peningkatan di tiap level. Hal ini juga terjadi pada rantai pasok ikan hias non sianida di Kepulauan Seribu. Beberapa tingkatan harga pada 84 beberapa jenis ikan diidentifikasi dan didapatkan perbedaaan harga sebagai berikut: Tabel 15. Perbedaan Harga pada Beberapa Jenis Ikan Hias Laut di Kepulauan Seribu Harga Jual Ikan (Rp/ ekor) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Nama lokal Bintang Merah Btg Merah Kombinasi Cacing Anemon Carpet Coklat Cabing Kuning Buntel Babi Kuning Betta Hogfish Dokter Clownfish Triger Kembang M Botana Biru Panter Kuning Jae-jae Balong S Balong M/L Gurita Api Kepe Mayeri Mandarin S Mandarin M Prosentase Beda Harga Nelayan Pengepul Perusahaan Nelayan Pengepul Perusahaan * ** *** (%) (%) (%) 1.000 3.000 14.600 7 21 100 1.000 4.000 14.600 7 27 100 1.000 2.500 12.700 8 20 100 3.000 6.000 72.800 4 8 100 600 2.000 7.300 8 27 100 2.000 5.000 18.200 11 27 100 15.000 2.000 1.000 2.000 40.000 4.000 2.000 3.500 36.400 14.600 6.500 15.700 41 14 15 13 110 27 31 22 100 100 100 100 40.000 125.000 285.700 14 44 100 12.500 28.000 114.300 11 24 100 1.000 2.000 25.500 4 8 100 500 1.500 1.500 2.000 2.000 3.000 6.000 1.500 2.000 3.000 5.000 13.000 4.000 12.500 5.700 5.800 14.300 8.600 31.400 18.200 21.800 9 26 10 23 6 16 28 26 34 21 58 41 22 57 100 100 100 100 100 100 100 14 33 100 Rata-rata Sumber : *Wawancara via telpon kepada nelayan Kep Seribu pada 13 Februari 2010 **Nota pembelian CV. Blue Star Aquatic pada pengepul Kep. Seribu pada 21 Januari 2010 ***Price list CV. Blue Star Aquatic periode tahun 2010 Hasil pendataan di atas didapatkan bahwa ada beberapa jenis ikan hias yang sangat menguntungkan bagi pengepul, dan ada juga yang sangat menguntungkan bagi perusahaan. Namun disisi lain, karena strategi penetapan harga, ada juga 85 jenis ikan yang harga jualnya lebih rendah daripada harga belinya pada pengepul. Hal ini dapat disebabkan karena negara lain juga memiliki jenis ikan yang sama, sehingga perusahaan mencoba bersaing harga pada jenis ikan tersebut. Ikan yang bernilai ekonomis bagi perusahaan antara lain adalah anemon karpet coklat, panter kuning, cacing, balong (M/L), dan bintang merah dengan margin harga antara 80-92% dari pengepul. Sedangkan jenis ikan yang bernilai ekonomis bagi pengepul antara lain betta, kepe mayeri kuning, gurita api, mandarin (M/L), dan triger dengan margin harga antara 29-60% dari nelayan. Apabila dihitung secara kasar, hanya dari data harga yang ada pada Tabel 15 di atas, dan faktor lain dianggap tidak ada, maka dengan harga dasar pada perusahaan, pengepul mendapatkan bagian 33% dan nelayan mendapatkan bagian 14% dari harga jual perusahaan 100%. Keuntungan yang diambil oleh perusahaan adalah 67%, dan keuntungan yang diambil dari pengepul adalah 19%. Keuntungan yang terlihat besar tersebut belum dapat digunakan untuk memutuskan pihak mana yang memiliki margin yang paling besar. Sebab, untuk mengetahui margin bersih, banyak hal yang harus diperhitungkan dalam jangka waktu perdagangan yang reatif lama, minimal dalam satu tahun. Untuk menghitung margin bersih, beberapa faktor yang harus diperhitungkan antara lain dari pihak nelayan yaitu faktor biaya ransum, bensin, cuaca, jumlah order, dan sebagainya. Di pihak pengepul harus memperhitungkan faktor gaji karyawan, penyusutan pondok penampungan, penyusutan sarana akuarium, tabung, plastik, dan biaya pengiriman, volume setiap pengiriman, dan frekuensi pengiriman. Sedangkan dari pihak perusahaan, harus diperhitungkan penyusutan investasi tetap dan investasi tidak tetap, gaji karyawan, biaya pemeliharaan ikan di farm, selisih biaya box packing, selisih biaya karantina, selisih biaya air freight, volume tiap pengiriman, frekuensi pengiriman, dan juga biaya operasional seperti listrik, pembelian air laut, gaji karyawan, uang lembur, dan sebagainya. Hal tersebut belum termasuk faktor eksternal yang terjadi di lingkungan perusahaan, pengepul, ataupun nelayan. Menurut keterangan dari beberapa pihak, keuntungan eksportir bergantung pada volume tiap pengiriman dan frekuensi pengiriman. Makin sering dilakukan pengiriman dengan volume pengiriman yang besar, maka margin yang didapatkan 86 oleh perusahaan akan semakin besar. Namun hal ini belum dibuktikan melalui mekanisme penelitian ilmiah. 3. Pendukung Anggota Rantai Pasok a. Pendampingan dan Penyuluhan Dalam mendukung berlangsungnya rantai pasok ikan hias laut non sianida, beberapa lembaga mengambil peran untuk kepentingan yang lain. LSM dan Pemerintah, dalam hal ini LSM Yayasan Terangi dan Suku Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu melakukan pendampingan dan penyuluhan pada nelayan mulai tahun 2002 untuk mendorong nelayan melakukan usaha penangkapan yang ramah lingkungan. Pendampingan ini dilakukan bekerjasama dengan lembaga sertifikasi MAC (Marine Aquarium Council). Dengan sertifikasi ikan hias lestari, ikan hias dari Kepulauan Seribu dipercaya sebagai ikan hias yang berkualitas dan ditangkap dengan menggunakan cara yang ramah lingkungan. b. Distribusi informasi pasar Informasi tentang pasar sangat diperlukan dalam suatu rantai pasokan. Bagi perusahaan, informasi ini sangat penting, sehingga perusahaan menginvestasikan juga sumberdaya nya untuk mendapatkan informasi ini. Banyak informasi yang didapatkan perusahaan dari pameran dan kunjungan pembeli ke perusahaan. Beberapa perusahaan ekspor tergabung dalam AKKII (Asosiasi Karang, Kerang, dan Ikan Hias Indonesia). Perkembangan pasar dan konsumen dalam pasar termasuk antisipasi teradap kecurangan konsumen bisa didapatkan dari asosiasi ini. Sebagai kompensasinya, perusahaan membayar sejumlah iuran bulanan untuk asosiasi. Informasi pasar seharusnya dapat diteruskan pada level pengepul dan nelayan, namun sayangnya hal tersebut tidak dilakukan, atau tidak ada upaya untuk melakukan distribusi informasi pasar karena mungkin hal ini dianggap tidak perlu. Apabila sebuah rantai pasokan ingin dibangun dengan baik, seharusnya tranaparansi dan informasi tentang pasar dapat terdistribusi secara merata. 4. Perencanaan Kolaboratif Perencanaan kolaboratif adalah kesatuan kerjasama dan penyelarasan informasi antara satu anggota rantai pasok dengan anggota rantai pasok yang lain 87 untuk perencanaan rantai pasok. Sistem bisnis dalam ikan hias laut ini berdasarakn order, sehingga perencanaan kolabratif yang ada tidak dapat ditargetkan dan di catat dalam kontrak tertulis, namun hanya merupakan komitmen bersama bahwa ketika ada order dari perusahaan, maka pengepul dan nelayan siap dalam waktu paling lama seminggu mengusahakan ikan hias yang di order tersebut terpenuhi. 5. Penelitian Kolaboratif Beberapa lembaga penelitian dan LSM, serta pemerintah bersama dengan perusahaan melakukan penelitian kolaboratif untuk sebuah upaya pengusahaan ikan hias non sianida untuk perbaikan kualitas ikan hias laut, menaikkan nilai ikan hias laut dan mempertahankan ekosistem terumbu karang. LSM TERANGI melakukan identifikasi terhadap jenis ikan dan ekosistem karangnya, kelimpahannya, serta kapasitas tangkapnya. Kapasitas tangkap ini berguna untuk mencegah penangkapan berlebih pada ikan tertentu dan menghindari kepunahan. Pada aspek manajemen, berbagai upaya telah dilakukan salah satunya untuk menaikkan nilai ikan hias di tingkat nelayan, yaitu perbaikan harga ikan hias laut. Namun hingga saat ini harga ikan hias masih ditentukan oleh perusahaan, sehingga pengepul dan nelayan hanya memiliki ruang gerak yang sempit untuk sebuah posisi tawar. Mungkin diperlukan suatu diskusi bersama antara semua pihak untuk pemecahan masalah ini. Di tingkat perusahaan, penelitian tentang teknologi pmeliharaan dan pengemasan lebih banyak dilakukan oleh perusahaan sendiri berdasarkan trial and error. Penelitian kolaboratif bersama dengan lembaga penelitian baru dilakukan untuk penemuan dan identifikasi spesies baru dan untuk teknologi budidaya ikan hias laut. 6. Aspek Resiko Resiko yang diterima oleh tiap elemen rantai pasokan berbeda-beda satu sama lain. Resiko yang diterima oleh nelayan adalah resiko cuaca buruk yang menyebabkan mereka gagal melaut sehingga tidak dapat menghasilkan apapun dalam satu hari. Resiko yang lain adalah terluka ketika ikan yang ditemukan memiliki sengat atau duri yang tajam. Beberapa ikan adalah ikan musiman, sehingga ada resiko nelayan tidak bisa mendapatkan ikan tertentu karena belum 88 musimnya. Sedangkan resiko pada pengepul adalah tingkat kematian ikan di pondok pemeliharaan. Penyimpanan selama seminggu beresiko menyebabkan ikan hias mati apabila tidak dipelihara dengan baik. Resiko yang lain adalah transportasi laut yang tergantung cuaca, sehingga dapat menunda pengiriman. Satu lagi resiko yang cukup signifikan adalah ketika menjual ikan pada perusahaan, ketika proses seleksi ikan hias benar-benar dilihat kualitasnya. Ikan yang kualitasnya buruk dengan ciri-ciri lemas, sirip sobek, badan luka, dan warna tidak sesuai dengan warna naturalnya (biasanya disebabkan karena penangkapan dengan sianida) akan dimasukkan kategori afkir, dan ikan tersebut tidak dibayar. Ikan yang masuk kategori afkir akan ditinggal saja di perusahaan. Perusahaan memiliki resiko paling besar dalam rantai pasok ikan hias laut ini. Resiko pertama adalah resiko dalam pemeliharaan. Tingkat kematian di farm bisa menjadi tinggi ketika salah satu ikan hias terkena virus atau bakteri, karena air yang digunakan adalah air sirkulasi, sehingga dapat menyebar pada semua bak-bak ikan. Resiko kedua adalah resiko teknis penerbangan ke negara tujuan ekspor. Apabila cuaca buruk dan pesawat tidak dapat diterbangkan tepat waktu, ikan yang hanya memiliki ketahanan hidup dalam kemasan dalam waktu yang terbatas tersebut akan mati sampai negara tujuan. Apabila ada kematian pada ikan yang dikirim, maka importir tidak membayar ikan tersebut, dan mengirimkan bukti kepada perusahaan berupa foto-foto ikan yang dimaksud. Resiko yang lebih parah lagi adalah apabila terjadipermasalahan dengan perijinan masuk ke negara tertentu, maka ikan tersebut akan kembali lagi ke Indonesia dan dikembalikan ke perusahaan. Biaya penerbangan akan terbuang sia-sia, dan kemungkinan ikan hias masih hidup sampai di perusahaan sangatlah kecil. 7. Proses Trust Building Proses trust building merupakan proses untuk menumbuhkan saling kepercayaan antara anggota rantai pasok. Hubungan kepercayaan yang lemah dapat menghambat proses kerjasama antar pihak. Pengepul menjalin kerjasama dengan nelayan melalui hubungan perkawanan dan persaudaraan, sehingga proses ini lebih mudah dibangun. Perusahaan juga berusaha melakukan hal yang sama dengan membina pertemanan dengan pengepul di pulau. Beberapa pendekatan yang mereka lakukan antara lain dengan mengunjungi keluarga pengepul dan 89 nelayan, dan ikut terlibat dalam memberikan sumbangan atas pembangunan masjid atau acara pengajian di pulau. 5.1.6. Strategi Pemasaran Ikan Hias Laut Perusahaan yang memasarkan produk ikan hias laut memerlukan strategi yang berbeda dengan perusahaan komoditas lain. Namun sesama perusahaan ikan hias, walaupun saling berkompetisi, mereka pada dasarnya memiliki strategi pemasaran yang serupa satu sama lain. Kunci keberhasilan suatu perusahaan dimulai dari iktikad baik mereka dalam merumuskan visi dan misinya. Visi merupakan cita-cita perusahaan yang ingin dicapai di masa yang akan datang. Sedangkan misi adalah penetrasi dari visi, yaitu penjabaran mengenai apa yang akan dilakukan perusahaan untuk mencapai visi tersebut. Dari perusahaan yang diteliti, diketahui bahwa dua perusahaan yaitu PT Dinar Darum Lestari dan CV. Cahaya Baru memiliki visi, Tabel 16. Visi, Misi, dan Tujuan Perusahaan PT. Dinar Darum Lestari CV. Cahaya Baru Visi: Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya hayati laut melalui agribisnis ekoteknologi berbasis masyarakat. Misi : Berperan aktif melestarikan keanekaragaman hayati melalui teknologi penangkaran dan meningkatkan produktivitas perairan dengan melibatkan masyarakat pesisir Tujuan : a. Meningkatkan diversifikasi usaha secara merata dan berkesinambungan b. Meningkatkan kesempatan kerja dan menyediakan lapangan kerja baru c. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir d. Meningkatkan nilai ekspor biota laut Visi : a. Membuka lapangan pekerjaan, terutama bagi para nelayan b. Meningkatkan taraf hidup nelayan serta karyawan c. Memanfaatkan sumber daya alam secara lestari untuk meningkatkan devisa Misi : a. Menjadi eksportir ikan hias dan koral yang memiliki kualitas dan varitas optimal dan b. Berusaha selalu meningkatkan kepuasan pelanggan. misi, bahkan tujuan perusahaan yang tertulis. Sedangkan satu perusahaan, karena merupakan perusahaan baru yang masih berhubungan saudara dengan perusahaan yang lain , belum merumuskan visi dan misinya. 90 Visi dan misi kedua perusahaan di atas mencerminkan bahwa perusahaan memiliki impian yang mulia, yaitu melakukan bisnis ikan hias dengan melibatkan masyarakat nelayan, menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat luas, dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Dari sisi teknologi dan kepedulian terhadap lingkungan, kedua perusahaan juga terlihat cukup concern dalam hal tersebut, tercermin dari misi yang diembannya. Satu hal yang tidak kalah penting untuk diutamakan, yaitu kepuasan pelanggan. Strategi segmentasi, targeting, dan positioning akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut. Segmentasi adalah membagi pasar menjadi beberapa kelompok dengan kebutuhan, karakteristik, atau tingkah laku yang berbeda-beda yang nantinya akan memerlukan produk atau bauran pemasaran yang berbeda pula (Kottler dan Armstrong, 2004). Dalam hal segmentasi, perusahaan mensegmenkan pasarnya secara geografis, yaitu berdasarkan negara tujuan ekspor, antara lain USA (Los Angles, Miami, Kanada, San Fransisco, Brazil, Argentina), Eropa (Inggris, Jerman, Rusia, Polandia, Irlandia, Hungaria), Asia (Hongkong, Jepang, Taiwan, Korea), dan yang sedang mulai tumbuh adalah pasar Uni Emirat Arab (Dubai, Iran, Irak, Siria). Sedangkan secara demografis, segmen pasar ikan hias ini adalah konsumen akhir yang berpendapatan menengah ke atas. Dilihat dari aspek tingkah laku, segmen pasar ini adalah konsumen akhir yang menginginkan produk yang berkualitas karena mereka adalah konsumen yang terdidik dan peduli terhadap lingkungan. Targeting adalah proses mengevaluasi setiap ketertarikan segmen pasar dan memilih satu atau lebih segmen pasar untuk dimasuki (Kottler dan Armstrong, 2006). Target akhir pasar mereka adalah para hobbyist ikan hias laut yang termasuk dalam pasar ceruk. Namun secara langsung, perdagangan mereka adalah business to business, sehingga sasaran pasar mereka adalah para wholesaller, grosir, dan retail importir ikan hias di negara-negara yang tersebut. Dalam menyikapi customer, perusahaan lebih memilih untuk memelihara/ memaintain customer lama daripada mencari customer baru. Karena order dari customer lama saja masih banyak yang belum dapat dipenuhi oleh perusahaan. Namun ketika ditanyakan kepada perusahaan, pertimbangan apa yang dipikirkan dalam mencari customer baru, adalah tentang kejujurannya dalam bertransaksi 91 dan ketertarikannya pada produk ikan hias Indonesia. Informasi tentang perilaku beberapa customer dan ketertarikan calon customer, dan tren pasar bisa didapatkan melalui asosiasi (AKKII – Asosiasi Karang, Kerang, dan Ikan hias Indonesia), buletin bisnis OFI, dan dari pemerintah yaitu BPEN (Badan Pengembangan Ekspor Nasional) yaitu salah satu badan dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Positioning adalah mengatur suatu produk yang dihasilkan oleh perusahaan untuk mengemban predikat yang jelas, berbeda, dan diinginkan oleh konsumen secara relatif terhadap produk kompetitor dalam benak konsumen (Kottler dan Armstrong, 2006). Sederhananya adalah bagaimana perusahaan ingin diingat di benak konsumen. Dari hasil wawancara, Ketiga perusahaan memposisikan produk mereka sebagai produk yang berkualitas. Ikan hias yang berkualitas yang memiliki tingkat ketahanan hidup (survival rate) tinggi, jenis yang beraneka ragam, dan pengiriman yang tepat waktu. Namun demikian, dari ketiga perusahaan, hanya PT. Dinar yang dengan tegas mengungkapkan bahwa produknya mengutamakan kualitas yang “super duper number one high quality”. Dan hal itu dibuktikan dengan loyalitas konsumen pada PT Dinar walaupun diantara pada kompetitor, harga jual yang diband roll oleh perusahaan ini lebih tinggi dari pada harga kompetitor. Untuk meyakinkan tentang positioning ini, ketiga perusahaan telah mengantongi sertifikasi MAC, yang menjadi andalan mereka di depan konsumen. Bauran pemasaran dengan formula 6 P (Product, Price, Place, Promotion, Physical Evidence, dan Personality) diterapkan dalam pemasaran ikan hias ini, sebagai berikut : 1) Product (produk) Produk yang diperdagangkan oleh perusahaan adalah ikan hias laut, karang hias laut, dan invertebrata laut. Ketiga produk tersebut merupakan komplemen, yang saling melengkapai satu sama lain (complement product), untuk keperluan pengisian akuarium pada konsumen akhir. Beberapa upaya dilakukan perusahaan untuk melakukan diversifikasi produk, walaupun produk yang diambil adalah dari alam, yaitu dengan melakukan riset untuk pengembangan produk dan berusaha menemukan 92 spesies baru sebagai inovasi perushaan. Bahkan PT. Dinar telah menyisihkan sebagian besar sumber daya nya untuk menamai satu spesies temuannya di Hawai University, satu jenis ikan endemik Indonesia dengan nama Pictichromis dinar jenis ikan dottyback dari Indonesia, dan dipublikasikan dalam International Journal of Ichtiology. Inovasi seperti ini lah yang dapat mendongkrak eksistensi perusahaan di mata pelanggan, selain di satu sisi merupakan kepuasan tersendiri bagi perusahaan. Selain dari pada itu, kualitas tetap dikedepankan oleh ketiga perusahaan ini. Dengan menggunakan MAC certified, diharapkan muncul kepercayaan dari customer baru. 2) Price (harga) Ada beberapa strategi harga yang ditetapkan oleh perusahaan. CV. Cahaya Baru memberikan diskon untuk ikan yang musiman, sehingga mendorong buyer untuk mengorder lebih banyak. Hal ini juga bermanfaat untuk nelayan karena bisa meningkatkan hasil tangkapannya ketika musim ikan tertentu. Kemudian pemberian diskon kepada customer lama biasanya lebih besar daripada customer baru. PT. Dinar memasang strategi harga yang berbeda dengan kompetitor. PT. Dinar sangat jarang memberi diskon kepada pelanggannya, bahkan mereka memasang harga jual ikannya di atas rata-rata harga pasar. Keberanian memasang harga tersebut dilandasi oleh kualitas produk yang benar-benar terjamin dan terpercaya di mata konsumen. Strategi ini merupakan strategi yang sangat ideal, yaitu produk berkualitas, harga menyesuaikan. 3) Place (saluran pemasaran) Dalam memasarkan produknya ke luar negeri, beberapa perusahaan memiliki agen airline langsung, sehingga mereka memiliki kuota ekspor tersendiri, dan dapat mengirim produknya ke negara-negara bagian yang menjadi pelanggan mereka dengan lebih mudah dengan waktu yang lebih fleksibel. Agen yang dimiliki oleh PT. Dinar adalah Singapore Airline untuk pasar Asia dan KLM Eropa untuk negara-negara bagian di Eropa. Sedangkan CV. Cahaya Baru Lufthansa untuk pasar Jerman dan sekitarnya. Untuk memiliki satu agen airline, perusahaan harus mengeluarkan uang sebesar US$ 93 100.000. Karena CV. Blue Star masih baru dan masih kecil perusahaannya, mereka cukup menggunakan jasa agen cargo untuk mengirimkan ikan hiasnya kepada buyer. Di luar negeri, ada beberapa macam middlemen yang menjadi importir perusahaan. Ada yang istilahnya transhipper, yang hanya mengirimkan barang ke negara-negara bagian yang lebih kecil tanpa membuka kemasan. Pada istilah lokal kita disebut broker. Kemudian ada wholesaller, yang melakukan hal yang sama, yaitu mengantar ikan ke negara-negara bagian tapi melalui proses seleksi mereka juga. Kemudian ada grosir yang menjual ikan pada retailer, yaitu petshop-petshop kecil, penjual akuarium ikan hias laut, dan berakhir di konsumen akhir, yaitu para hobbyist. 4) Promotion (promosi) Dalam memperkenalkan produk mereka kepada para pelanggan, perusahaan sering mengikuti pameran di luar negeri. Ada beberapa event yang sering diikuti oleh eksportir ikan hias laut, yaitu Aquarama di Singapura dan satu lagi di Jerman. Kedua pameran tersebut diadakan dua tahun sekali berselang-seling, sehingga memungkinkan bagi perusahaan untuk mengikuti keduanya. Tahun ini di Singapura, dan tahun berikutnya di Jerman. Dalam pameran tersebut, bertemu lah para wholesaller dan produsen besar untuk saling memperkenalkan produk mereka dan saling memprospek satu sama lain. Walaupun mungkin anggaran yang akan dihabiskan oleh perusahaan terhitung besar, namun ajang pameran ini sangat berguna bagi perusahaan untuk mengembangakan sayap, memperluas pasar, dan meningkatkan eksistensi perusahaan, mempertahankan kontrak dengan pelanggan, mendidik pelanggan dengan publikasi, dan memperkenalkan produk baru. Pada umumnya, promosi dilakukan dengan menggunakan media website, dimana di dalamnya perusahaan menawarkan stock list yang mereka miliki, sehingga baik pembeli baru maupun pelanggan lama dapat memesan secara interaktif melalui intenet. Hal ini sangat efisien bagi perusahaan, yang artinya, perusahaan harus selalu standby fasilitas internet 24 jam. 94 5) Physical Evidence (bukti fisik) Demi mengetahui tentang produk perusahaan dan memastikan bahwa perusahaan yang menawarkan produk bukan perusahaan fiktif, pelanggan seringkali melakukan kunjungan ke perusahaan. Dengan kunjungan ini perusahaan dapat melakukan prospek dan memperkenalkan produk baru juga seperti yang dilakukan di pameran. Sedangkan pembeli juga ingin memastikan kualitas produk dengan melihat teknologi yang dimiliki oleh farm perusahaan. 6) Personality (sikap) Setiap penjualan adalah penjualan jasa. Begitu kira-kira yang harus dilakukan juga oleh para manajer perusahaan-perusahaan ikan hias ini. Servis yang baik kepada pelanggan yang berkunjung ke perusahaan sangat menentukan apakah kontrak perdagangan akan diperpanjang atau tidak. PT. Dinar bahkan memberikan servis lebih dengan mengajak pelanggannya untuk berlibur diving ke site-site pemasok ikan hias perusahaan. Selain itu memegang prinsip - prinsip kejujuran dan menjaga kepercayaan pelanggan juga hal yang sangat penting untuk menjamin kelanggengan kerjasama antara perusahaan dan buyer. 5.2. Kesediaan Nelayan untuk Berpartisipasi dalam Rantai Pasok Ikan Hias Laut Non Sianida Dalam rantai pasok ikan hias, partisipasi nelayan merupakan aktor terpenting yang menjadi ujung tombak bisnis ikan hias laut ini. Menurut pendapat para ahli, nelayan memiliki peran 49,8% lebih penting dari perusahaan (20,9%) dan juga pengepul (16,2%). Hal ini dapat dilihat pada hasil analisa sensitivitas yang didapatkan pada Analysis Hierarchy Process. Oleh karena itu, kesediaan nelayan untuk berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok ikan hias ini sangat penting. Dalam penelitian ini, dianalisa beberapa faktor yang menjadi penentu kesediaan nelayan untuk berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok ikan hias non sianida. Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan deskriptif kuantitatif, dengan variabel bebas kesediaan, dan dibedakan antara nelayan yang bersedia berpartisipasi dan tidak bersedia berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok 95 Bobot nelayan pengepul perusahaan pihak luar Inconsistency = 0,01 with 0 missing judgments. 0 ,498 0 ,162 0 ,209 0 ,131 Gambar 21. Pairwise comparison untuk aktor yang berperan dalam rantai pasok ikan hias non sianida di Kepulauan Seribu ikan hias laut. Variabel bebas adalah kepercayaan (trust), komitmen, normanorma kerjasama, kesaling tergantungan, kesesuaian, hubungan tambahan, dan jaminan kepastian. Variabel-variabel bebas tersebut diukur dengan menggunakan skala likert dengan spesifikasi 5 untuk pernyataan sangat setuju, 4 untuk setuju, 3 untuk netral, 2 untuk tidak setuju, dan 1 untuk sangat tidak setuju. Pada penelitian ini diketahui dari 38 responden, hanya 5 responden yang tidak ingin berpatisipasi dalam manajemen rantai pasok ikan hias. Artinya, dari seluruh populasi, 87% nelayan di Kepulauan Seribu bersedia berpartisipasi dalam rantai pasok, sedangkan hanya 13% sisanya tidak bersedia berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok. Dari 13% nelayan yang menyatakan tidak bersedia berpartisipasi, alasan yang dikemukakan adalah karena mereka memiliki pekerjaan lain, yaitu bekerja di keramba budidaya kerapu ikan hias atau karena order sepi. Alasan yang dikemukakan oleh responden tidak ada kaitannya dengan variabel yang dimaksud dalam penelitian. Untuk lebih jelasnya, pada beberapa tabel di bawah ini akan diperlihatkan dan dibahas tentang signifikan atau tidaknya perbedaan karakter jawaban antara nelayan yang bersedia berpartisipasi dan nelayan yang tidak bersedia berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok ikan hias laut non sianida di Kepulauan Seribu. (1) Kepercayaan (trust) Tabel 17 menunjukkan tentang parameter yang digunakan untuk mengukur variabel kepercayaan nelayan terhadap pengepul. Dapat dilihat bahwa nelayan yang bersedia maupun yang tidak bersedia percaya akan harga ditetapkan pengepul. Sedangkan penyesuaian harga beli di tingkat pengepul masih belum 96 direspon secara jelas oleh nelayan. Namun demikian, nelayan yang bersedia berpartisipasi setuju bahwa perubahan harga di tingkat pengepul akan mempengaruhi harga di tingkat nelayan. Hal ini berarti bahwa perubahan harga jual pengepul memang mempengaruhi harga beli pengepul terhadap nelayan, namun belum tentu pengepul yang bersangkutan akan menyesuaikan harga belinya dengan pengepul yang lain. Pengaruh perubahan harga ini dapat digunakan untuk mengukur kesediaan nelayan untuk berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok ikan hias. Tabel 17. Respon untuk Variabel Kepercayaan (trust) N Parameter Prosentase nelayan yang merespon (%) o 1 Nelayan percaya akan harga ikan hias yang ditetapkan oleh pengepul 2 Pengepul akan menyesuaikan harga beli ikan hias dengan pengepul yang lain untuk nelayan 3 Perubahan harga di tingkat pengepul akan mempengaruhi harga di tingkat nelayan Nelayan bersedia Nelayan tidak bersedia SS S N TS STS SS S N TS STS 3 68 8 8 0 0 11 0 3 0 3 29 34 21 0 0 0 11 3 0 3 53 0 32 0 0 5 3 5 0 (2) Komitmen (commitment) Apabila dilihat dari parameter yang digunakan, pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa komitmen nelayan terlihat dari kekonsistenan mereka dalam mensuplai ikan hias sesuai order, menjaga kualitas ikan hias yang dijual pada pengepulnya. Semua nelayan setuju dengan komitmen tersebut. Namun ada satu hal yang membuat nelayan masih tetap bersedia berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok ikan hias, yaitu komitmen pengepul untuk selalu menepati cara pembayaran yang disepakati. Hal ini dapat dijadikan ukuran untuk menentukan kesediaan nelayan dalam berpartisipasi. Oleh karena itu, penting bagi pengepul untuk selalu menepati cara pembayaran yang telah disepakati sebagai bagian dari komitmen mereka terhadap nelayan. Nelayan tidak setuju tentang kontrak kerja, karena kondisi di lapang menunjukkan bahwa nelayan dan pengepul tidak memiliki kontrak kerja tertulis namun hanya berupa kontrak sosial yang sangat kuat di lingkungan mereka. Sehingga, adanya 97 ikatan kontrak kerja tidak mempengaruhi kesediaan nelayan untuk berpartisipasi dalam rantai pasok ikan hias laut non sianida di Kepulauan Seribu. Tabel 18. Respon untuk Variabel Komitmen N Parameter Prosentase nelayan yang merespon (%) o Nelayan bersedia 1 Nelayan selalu mensuplai ikan hias sesuai order 2 Nelayan selalu menjaga kualitas hasil tangkapannya yang dijual pada pengepul 3 Pengepul selalu menepati cara pembayaran yang disepakati 4 Nelayan dan pengepul terikat kontrak kerja Nelayan tidak bersedia SS S N TS STS SS S N TS STS 3 74 11 0 0 0 11 3 0 0 11 68 3 5 0 0 13 0 0 0 3 66 8 11 0 0 3 8 3 0 0 3 16 66 3 0 0 5 8 0 (3) Norma-norma kerjasama (cooperative norms) Dalam hal norma kerjasama ini, nelayan yang bersedia maupun tidak memiliki niat baik mereka untuk tidak menjual ikan yang kondisinya cacat pada pengepul. Namun yang menarik disini adalah bahwa nelayan yang bersedia berpartisipasi setuju bahwa mereka hanya akna menjual ikan hiasnya kepada pengepul yang memberikan mereka modal berupa jaring dan bensin. Tabel 19. Respon untuk Variabel Norma-norma Kerjasama N Parameter Prosentase nelayan yang merespon (%) o 1 Nelayan tidak akan menjual ikan hias yang kondisinya cacat kepada pengepul 2 Nelayan hanya menjual ikan hias kepada pengepul yang memberinya modal (jaring/bensin) Nelayan bersedia Nelayan tidak bersedia SS S N TS STS SS S N TS STS 3 66 0 16 3 0 11 0 3 0 0 63 8 16 0 0 5 0 8 0 Misalnya, ketika nelayan diberi modal awal berupa jaring dan bensin oleh pengepul satu, maka hanya padanyalah dia akan menjual ikan tersebut, tidak pada pengepul yang lain. Apabila terjadi tindakan oportunis, yaitu si nelayan menjual ikannya pada pengepul lain dengan alasan harga di pengepul lain lebih tinggi, maka si nelayan tersebut bisa di black list oleh pengepul tersebut dan hubungan mereka bisa terputus dengan sendirinya. 98 Beberapa nelayan yang tidak menjual ikan pada pengepul tertentu adalah nelayan lepas atau nelayan yang mangkir. Hal ini sesuai dengan respon nelayan pada data nelayan yang tidak bersedia berpartisipasi dalam rantai pasok. Dari respon ini dapat disimpulkan bahwa nelayan yang masih bersedia berpartisipasi dalam rantai pasok adalah mereka yang masih memegang teguh norma dalam penjualan ikan pada pemberi modal, sebaliknya, nelayan yang tidak bersedia berpartisipasi tidak setuju untuk menjual ikannya hanya pada pemberi modal. (4) Kesalingtergantungan (interdependence) Dari data dapat diketahui bahwa sebagian besar pengepul mengandalkan nelayannya untuk memenuhi ordernya, dan apabila nelayan tidak mensuplai pengepul, maka pengepul akan terhambat aktivitasnya dalam memenuhi order perusahaan. Namun pada kenyataannya, pengepul dapat membeli ikan pada nelayan lain atau dapat membeli ikan dari sesama pengepul apabila mereka mengalami masalah pemenuhan order pada perusahaan. Baik nelayan yang bersedia maupun yang tidak bersedia menyatakan tidak setuju bahwa pengepul adalah satu-satunya pihak pemberi modal, karena pada kenyataannya, bukan mereka bisa mendapatkan modal dari pihak lain. Variabel kesalingtergantungan tidak dapat digunakan sebagai alat ukur untuk menentukan kesediaan nelayan. Tabel 20. Respon untuk Variabel Kesalingtergantungan N Parameter Prosentase nelayan yang merespon (%) o 1 Pengepul mengandalkan nelayannya sebagai pemasok ikan hias untuk memenuhi order perusahaan 2 Apabila nelayan tidak melakukan penangkapan maka pengepul akan merasa terhambat proses pengumpulannya 3 Pengepul adalah satusatunya pihak yang bisa memberikan pinjaman modal usaha (jaring/bensin) kepada nelayan 4 Nelayan hanya bisa menjual hasil tangkapan ikan hiasnya kepada pengepul tertentu Nelayan bersedia Nelayan tidak bersedia SS S N TS STS SS S N TS STS 5 66 5 11 0 0 11 0 3 0 3 71 3 11 0 0 8 5 0 0 0 37 11 39 0 0 5 0 8 0 0 55 5 26 0 0 5 5 3 0 99 (5) Kesesuaian (compatibility) Kesesuaian diartikan sebagai dua atau lebih individu atau organisasi yang memiliki goal dan tujuan komplemen, sebagaimana kesamaan dalam filosofi operasi dan budaya perusahaan (Bucklin and Sengupta, 1993). Mayoritas nelayan setuju bahwa ada kesesuaian dalam rantai pasok ikan hias mereka. Tidak ada masalah dalam hal kesesuaian karena nelayan, pengepul, dan perusahaan dirasa telah memiliki kesesuaian dalam hal menangkap dengan ramah lingkungan, mengurangi biaya operasional, dan meningkatkan keuntungan bersama. Tentang kesesuaian antara jenis ikan yang di order oleh eksportir dan keberadaan ikan di Kepulauan Seribu tidak di respon dengan jelas oleh nelayan. Sehingga dalam hal ini kesesuaian dalam melakukan penangkapan ramah lingkungan, menghemat biaya operasional penangkapan, dan peningkatan keuntungan belum dapat digunakan untuk menjelaskan tentang perbedanaan antara nelayan yang bersedia dan tidak bersedia berpartisipasi dalam rantai pasok ikan hias. Tabel 21. Respon untuk Variabel Kesesuaian N Parameter Prosentase nelayan yang merespon (%) o 1 Nelayan menangkap ikan hias tanpa menggunakan sianida/ potassium 2 Eksportir hanya menerima ikan dari pengepul yang ditangkap tanpa menggunakan sianida/ potassium 3 Nelayan dan pengepul berusaha untuk menghemat biaya penangkapan ikan 4 Nelayan, pengepul, dan eksportir sama-sama berusaha untuk menghemat biaya penangkapan ikan 5 Nelayan dan pengepul sama-sama berusaha untuk meningkatkan keuntungan 6 Nelayan dan pengepul, dan eksportir sama-sama berusaha untuk meningkatkan keuntungan 7 Ikan hias yang diorder oleh eksportir sesuai dengan keberadaan ikan hias yang tersedia di Kep. Seribu Nelayan bersedia Nelayan tidak bersedia SS S N TS STS SS S N TS STS 5 79 3 0 0 0 11 0 3 0 3 61 21 3 0 0 8 3 3 0 18 58 3 8 0 3 11 0 0 0 21 47 18 0 0 0 11 0 3 0 34 47 3 3 0 0 13 0 0 0 13 61 13 0 0 3 11 0 0 0 0 37 42 8 0 0 3 8 3 0 100 (6) Hubungan tambahan di luar hubungan profesi (extendness relationship) Dari parameter yang digunakan, dapat diketahui bahwa sebagian besar nelayan bisa menjual ikannya pada pengepul lain jika order pengepul utamanya sudah terpenuhi. Hal ini yang dimaksud oleh Mentzer (2004) sebagai hubungan open ended, dimana hubungan harusnya dibina dengan fleksibilitas yang tidak merugikan satu sama lain. Hubungan antara nelayan dan pengepul sebagian besar terjalin karena pertemanan/ persaudaraan, namun selebihnya bukan, atau raguragu. Sedangkan pemberian THR oleh pengepul dirasakan hampir oleh semua nelayan, baik yang bersedia maupun yang tidak bersedia berpartisipasi. Hal ini berarti bahwa variabel hubungan tambahan juga belum dapat menjelaskan tentang kesediaan nelayan untuk berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok ikan hias laut di Kepulauan Seribu. Tabel 22. Respon untuk Variabel Hubungan Tambahan N Parameter Prosentase nelayan yang merespon (%) o Nelayan bersedia 1 Nelayan bisa menjual ikannya pada pengepul lain jika order pengepul utamanya sudah terpenuhi 2 Sesama nelayan bisa saling bertukar informasi mengenai harga beli ikan hias 3 Hubungan keseharian nelayan dengan pengepul adalah hubungan pertemanan/ persaudaraan 4 Pengepul memberikan THR kepada nelayan Nelayan tidak bersedia SS S N TS STS SS S N TS STS 3 55 8 21 0 0 8 3 3 0 0 82 0 5 0 0 8 0 5 0 3 55 21 8 0 0 5 5 3 0 3 76 0 8 0 0 13 0 0 0 (7) Persepsi manajemen akan ketidakpastian lingkungan (environment uncertainty) Pada parameter untuk mengukur jaminan kepastian pada Tabel 23 di bawah ini, jawaban nelayan sangat beragam. Tidak semua nelayan selalu mendapatkan terusan order dari eksportir. Hal ini direspon sama antara nelayan yang bersedia maupun yang tidak. Tentang pinjaman yang bisa diberikan oleh pengepul untuk keperluan sehari-hari pada nelayan saat order sedang sepi cenderung 101 direspon positif. Ada satu parameter yang digunakan dalam penelitian ini yang mungkin bukan merupakan jaminan kepastian dari pihak luar, namun sekedar Tabel 23. Respon untuk Variabel Jaminan Kepastian N Parameter Prosentase nelayan yang merespon (%) o Nelayan bersedia 1 Nelayan akan selalu mendapatkan terusan order dari eksportir 2 Pengepul bisa memberi pinjaman untuk keperluan sehari-hari pada nelayan saat order sedang sepi. 3 Pengepul dan nelayan memiliki pekerjaan sampingan selain menangkap dan mengumpulkan ikan hias Nelayan tidak bersedia SS S N TS STS SS S N TS STS 0 37 3 47 0 0 3 3 8 0 3 37 13 34 0 3 3 5 3 0 0 74 11 3 0 0 8 5 0 0 merupakan sistematika bertahan hidup, yaitu tentang pekerjaan sampingan. Sebagian besar nelayan memiliki pekerjaaan sampingan selain menangkap dan mengumpulkan ikan hias untuk berjaga-jaga dari ketidakpastian lingkungan yang mereka hadapi. Hal ini berarti bahwa variabel jaminan kepastian tidak dapat dijadikan ukuran dalam menentukan kesediaan nelayan untuk berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok ikan hias laut di Kepulauan Seribu. Secara umum, respon nelayan yang menyatakan tidak bersedia berpartisipasi di atas mayoritas sama dengan respon secara nelayan yang menyatakan bersedia berpartisipasi dalam rantai pasok. Namun ada beberapa poin yang dapat dijadikan sebagai ukuran kesediaan nelayan, antara lain pengaruh perubahan harga di tingkat pengepul, komitmen pengepul dalam menepati pembayaran, dan norma dalam menjual ikan kepada pemberi modal. 5.3. Strategi Manajemen Rantai Pasok Ikan Hias Non Sianida di Kepulauan Seribu 5.3.1. Penyusunan Hierarki Pada tahap pertama penyususunan hierarki ini, penulis membuat draft skema manajemen rantai pasok yang efektif. Draft ini disusun oleh penulis melalui diskusi dengan pembimbing dan melalui literatur yang dipelajari oleh peneliti dan dilakukan di lingkungan kampus. 102 Proses pada tahap kedua adalah menjaring pendapat resonden sebagai ahli melalui review draft yang telah disediakan, kemudian meminta pendapat mereka untuk menambahkan variabel yang mempengaruhi sistem, dan juga mengurangkan variabel yang sebenarnya tidak memiliki pengaruh apapun pada sistem. Dalam proses ini, penulis berusaha untuk mempertemukan antara teori dan diskusi level kampus dengan praktek dan implementasi yang sebenarnya di lapang Gambar 22. Skema Analysis Hierarchy Process untuk Manajemen Rantai Pasok yang Adil dan Lestari yang dialami oleh responden. Pada tahap ini didapatkan banyak sekali masukan, sehingga skema yang ada menjadi sangat luas dan hampir mampu memotret keseluruhan sistem yang ada. Susunan hierarki awal pada skema AHP ini dapat dilihat pada Lampiran 7. Pada tahap ketiga dilakukan resizing dan focusing dari susunan hierarki awal sebuah sistem manajemen rantai pasok yang telah didapat menjadi suatu skema hierarki yang memiliki goal dan tujuan yang spesifik dan tajam. Skema hierarki yang dimaksud dapat dilihat pada gambar di atas. Definisi Operasional Goal : Menciptakan manajemen rantai pasok yang adil dan lestari. 103 Faktor : a) trust dan komitmen Kepercayaan dan komitmen kepada rekan bisnis sangat diperlukan, sebagaimana terlihat pada hasil analisa kesediaan nelayan yang menjadikan komitmen sebagai faktor yang berpengaruh untuk kesediaan mereka berpartisipasi dalam rantai pasok. Komitmen dalam hal ini termasuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan bagi rekan kerja, dan bersedia untuk menerima resiko dari komitmen yang telah dibuat. b) norma-norma kerjasama Norma-norma kerjasama mencakup rasa saling ketergantungan, membina hubungan baik di samping hubungan profesi, memberikan jaminan kepastian kepada rekan bisnis, menghargai sejarah hubungan bisnis di masa lalu, dan menjaga kompatibilitas/ kesesuaian antara tujuan masingmasing pihak yang bekerjasama. c) kebijakan pemerintah Kebijakan pemerintah dalam hal ini termasuk program pengurangan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan nelayan, kebijakan dalam hal perdagangan, dan perlindungan terhadap sumber daya alam. d) kepedulian terhadap lingkungan Dalam mencapai suatu manajemen rantai pasok yang adil dan lestari, semua pihak yang terlibat harus memiliki kepedulian terhadap lingkungan, salah satunya di tingkat nelayan, dengan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan. Sedangkan di tingkat pengepul dan perusahaan, dengan mendorong nelayannya untuk tidak menggunakan sianida dalam melakukan penangkapan ikan hias. Aktor : a) Nelayan Nelayan adalah nelayan ikan hias tangkap di Kepulauan Seribu, baik yang menjadikan pekerjaan ini sebagai pekerjaan utama maupun sampingan. Nelayan yang dimaksud melakukan aktivitas menangkap ikan hias selama 2-8 jam sehari selama 3-6 hari per minggu. 104 b) Pengepul Pengepul yang dimaksud di sini adalah perantara (midddlemen) di Kepulauan Seribu, baik yang merupakan kepanjangan tangan dari perusahaan, ataupun pemilik modal lepas yang berbisnis dalam bidang pengepulan ikan hias. c) Perusahaan Perusahaan yang dimaksud meliputi perusahaan lokal, perusahaan eksportir, perusahaan importir, wholesaller, maupun retail, yaitu pemilik modal dan pelaku usaha perdagangan ikan hias yang terlibat dalam rantai perdagangan ikan hias. d) Pihak luar Pihak luar yang dimaksud adalah pihak-pihak yang secara profesional tidak berada di dalam rantai perdaganagan ikan hias secara langsung, namun memiliki peran dalam memberikan dukungan dan dorongan menuju sebuah perubahan yang diinginkan oleh semua pihak. Pihak luar disini antara lain pemerintah yang diwakili oleh suku dinas kelautan dan pertanian kabupaten administrasi kepualuan seribu, LSM yang diwakili oleh pihak Yayasan Terumbu Karang Indonesia dan badan sertifikasi MAC (Marine Aquarium Council). Tujuan : a) peningkatan kesejahteraan nelayan Nelayan menginginkan hidupnya sejahtera, dengan meningkatnya nilai ikan hias hasil tangkapan mereka. b) keberlanjutan usaha nelayan dan pengepul Akses terhadap modal termasuk jaring tangkap bagi nelayan dan fasilitas penampungan ikan bagi pengepul masih kurang. Nelayan dan pengepul harus dibantu dalam hal sarana dan prasarana agar usaha mereka terus berlanjut. c) peningkatan nilai produk Peningkatan nilai produk termasuk peningkatan kualitas ikan hias dan variabel pendampingnya, antara lain keragaman jenis, kelincahan, 105 ketahanan hidup (survival rate), kelimpahan, dan ketepatan waktu pengiriman. d) kelestarian sumberdaya alam Menjaga kelestarian sumberdaya alam menjadi salah satu tujuan dalam bisnis ikan hias air laut ini, termasuk menjaga tempat hidupnya, yaitu terumbu karang. Upaya konservasi terumbu karang dengan transplantasi, selain dapat menjaga kelestarian lingkungan laut, juga dapat digunakan sebagai komoditi baru, yaitu terumbu karang budidaya yang pasar ekspornya komplemen dengan ikan hias laut. Skenario : a) transparansi kerjasama antar pihak Transparansi kerjasama yang dimaksud dalam hal ini adalah menciptakan transparansi dalam sebuah kesepakatan jangka panjang antar pihak, termasuk membangun forum komunikasi bersama, sehingga semua pihak dapat mengetahui keadaan pasar, aturan yang ada, dan yang terpenting adalah mendorong kejujuran antar pihak yang bekerjasama, misalkan kerjasama antara perusahaan dengan pengepul dan nelayan. b) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM Pihak luar (LSM dan Pemerintah) memiliki kapasitas untuk melakukan fasilitasi kepada pengepul dan nelayan untuk meningkatkan kapasitas SDM mereka, termasuk bagaimana mengatur manajemen bisnis dan usaha yang sederhana, dan kedepannya adalah upaya pembentukan organisasi rantai pasok yang solid. c) pengembangan akses informasi dan teknologi Pengembangan akses informasi meliputi informasi pasar maupun harga, sehingga nelayan dan pengepul dapat mengetahui situasi pasar yang sedang dihadapi oleh perusahaan, agar semua pihak bisa saling mengerti dan memahami. Pengembangan teknologi dimaksudkan untuk mengembangkan penyampaian inovasi teknologi budidaya ikan hias laut yang merupakan satu jalan yang diidamkan oleh semua pihak untuk tujuan bersama. Selain dapat meningkatkan nilai produk, budidaya juga dapat mengurangi tekanan terhadap pengambilan sumberdaya alam. 106 d) intervensi pemerintah terhadap kebijakan Intervensi pemerintah sangat diperlukan, terutama untuk penyediaan sarana dan prasarana, penurunan biaya ekspor, dan kebijakan perdagangan internasional, termasuk aturan tentang kuota, tarif bea keluar, aturan karantina, L/C, dan sebagainya. 5.3.2. Penentuan Kriteria dan Pembobotan Pembobotan dalam penelitian ini didapatkan dari pengisian kuesioner yang dapat dilihat pada Lampiran 9. Dari pembobotan yang dilakukan oleh responden, ada beberapa responden yang indeks konsistensinya melebihi CI standar yaitu 0,1. Dengan menggunakan software expert choice 2000, inconsistency ratio dapat langsung terlihat pada kotak pengisian kuesioner yang tersedia. Pengujian IR ini dilakukan 2 kali, yaitu dengan jawaban responden yang pertama, dihasilkan IR sebagai berikut: Tabel 24. Inconsistency Ratio Tahap Pertama No Nama 1. CV. Cahaya Baru 2. 3. CV. Blue Star Aquatic PT. Dinar Darum Lestari Dosen Manajemen Strategis IPB Suku Dinas Kelautan Kab. Adm. Kep. Seribu Yayasan TERANGI 4. 5. 6. Level-1 0,00 Inconsistency Ratio Level-2 Level-3 0,07 0,33 Level-4 0,13 0,69 0,50 0,00 0,42 0,13 2,18 0,49 0,50 0,57 0,14 0,23 0,23 0,12 0,19 0,19 0,19 0,01 0,11 0,00 0,04 Dari inconsistency ratio yang didapatkan, pada responden dengan nilai IR > 0,1 dilakukan revisi pada jawaban responden oleh penulis berdasarkan jawaban pertama, kemudian penulis melakukan konfirmasi ulang jawaban kepada responden sesuai dengan standard IR < 0,1. Dan hasil akhir dari IR adalah sebagai berikut: 107 Tabel 25. Inconsistency Ratio Tahap Kedua No 1. 2. 3. 4. 5. 6. Nama CV. Cahaya Baru CV. Blue Star Aquatic PT. Dinar Darum Lestari Dosen Manajemen Strategis IPB Suku Dinas Kelautan Kab. Adm. Kep. Seribu Yayasan TERANGI Level-1 0,00 0,08 0,09 Inconcistency Ratio Level-2 Level-3 0,07 0,00 0,00 0,07 0,09 0,09 Level-4 0,09 0,07 0,07 0,08 0,09 0,08 0,09 0,08 0,07 0,08 0,06 0,01 0,08 0,00 0,04 Setelah pembobotan semua responden direvisi sesuai dengan standar IR < 0,1, maka dapat dilanjutkan pada proses selanjutnya, yaitu pengolahan vertikal. Hasil yang didapat dari proses pembobotan secara proporsional oleh para ahli yang terdiri dari pihak perusahaan, pihak akademisi, pihak pemerintah, dan pihak LSM dapat dilihat pada Gambar 23. Menciptakan Manajemen Rantai pasok Ikan Hias Laut yang Adil dan Lestari (100%) GOAL FAKTOR trust dan komitmen (29,8 %) norma2 kerjasama (35,4 %) kebijakan pemerintah (13,4 %) kepedulian thd lingkungan (21,4 %) AKTOR Nelayan (50,9 %) Pengepul (16,5 %) Perusahaan (18,8 %) pihak luar (13,9 %) TUJUAN SKENARIO Penigkatan kesejahteraan nelayan (23,2 %) transparansi kerjasama antar pihak (17,9 %) keberlanjutan usaha nelayan dan pengepul (23,2 %) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (20,3 %) peningkatan nilai produk (28,6 %) pengembangan akses infornasi dan teknologi (49,3 %) kelestarian sumber daya alam (25,1 %) intervensi pemerintah terhadap kebijakan (12,5 %) Gambar 23. Hasil Pembobotan Pemilihan Strategi dalam Menciptakan Manajemen Rantai Pasok Ikan Hias Laut yang Adil dan Lestari 108 Dari hasil yang terlihat pada gambar di atas akan dibahas satu-persatu untuk dianalisa secara horisontal maupun vertikal. Dengan menggunakan bantuan gambar grafik sensitivitas dari software expert choice 2000, proporsi masingmasing level terhadap skenario dan heirarki puncak (goal) dapat dibahas satupersatu di bawah ini, sedangkan untuk hasil yang di ekspresikan dengan grafik sensitivitas pendapat dari masing-masing ahli dapat dilihat pada Lampiran 10. 5.3.3. Interpretasi Masing-masing Kriteria 1. Peranan Faktor dan Proporsinya dalam Skenario Pada AHP telah di setting sebuah Goal, yaitu menciptakan manajemen rantai pasok ikan hias laut yang adil dan lestari. Dalam mencapai hal tersebut, didapatkan prioritas skenario yang akan dilakukan untuk mencapainya, yaitu skenario pertama adalah pengembangan akses informasi dan teknologi (49,3%), yang artinya bahwa hampir dari setengah dari goal dapat dicapai dengan menjalankan skenario ini. Kemudian menyusul skenario yang kedua adalah fasilitasi peningkatan SDM dengan nilai 20,3%, transparansi kerjasama antar pihak 17,9%, dan dengan dorongan 12,5% intervensi dari pemerintah, maka goal akan dapat tercapai 100%. 29,8% trust dan komitmen (L: 0,298) 17,9% transparansi kerjasama antar pihak 35,4% norma2 kerjasama (L: 0,354) 20,3% fasilitasi peningkatan kapasitas SDM 13,4% kebijakan pemerintah (L: 0,134) 49,3% pengembangan akses informasi dan teknologi 21,4% kepedulian thd lingkungan (L: 0,214) 12,5% intervensi pemerintah thd kebijakan 0 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 0 .1 .2 .3 .4 Gambar 24. Grafik Sensitivitas terhadap Faktor dalam Mencapai Goal Beberapa faktor yang akan mendukung skenario tersebut antara lain yang terpenting adalah norma-norma kerjasama (35,4%), trust dan komitmen (29,8%), kepedulian terhadap lingkungan (21,4%), dan kebijakan pemerintah (13,4%). Hal ini berarti bahwa, menurut para ahli, norma-norma kerjasama menjadi prioritas 109 .5 utama dalam menciptakan suatu manajemen rantai pasok yang adil dan lestari, namun tetap dikombinasikan dengan faktor yang lain. a) Norma-norma Kerjasama (35,4 %) Hal ini sesuai juga dengan hasil yang didapatkan pada analisa sebelumnya, bahwa norma-norma kerjasama merupakan hal yang penting yang dapat mempengaruhi kesediaan nelayan untuk berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok ikan hias non sianida di Kepulauan Seribu. Normanorma kerjasama mencakup rasa saling ketergantungan antara mitra, membina hubungan baik di samping hubungan profesi, memberikan persepsi yang baik akan ketidakpastian lingkungan bisnis dengan memberikan jaminan kepastian kepada rekan bisnis, menghargai sejarah hubungan bisnis di masa lalu, dan menjaga kompatibilitas/ kesesuaian antara tujuan masing-masing pihak yang bekerjasama. b) Trust dan komitmen (29,8 %) Kepercayaan dan komitmen kepada rekan bisnis sangat diperlukan, sebagaimana terlihat pada hasil analisa kesediaan nelayan yang menjadikan komitmen sebagai faktor yang berpengaruh untuk kesediaan mereka berpartisipasi dalam rantai pasok. Komitmen dalam hal ini adalah tidak melakukan hal-hal yang merugikan bagi rekan kerja, dan bersedia untuk menerima resiko dari komitmen yang telah dibuat. c) Kepedulian terhadap lingkungan (21,4 %) Untuk mencapai suatu manajemen rantai pasok yang adil dan lestari, semua pihak yang terlibat harus memiliki kepedulian terhadap lingkungan, salah satunya di tingkat nelayan, dengan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan. Sedangkan di tingkat pengepul dan perusahaan, dengan mendorong nelayannya untuk tidak menggunakan sianida dalam melakukan penangkapan ikan hias. Kepedulian terhadap lingkungan ini tercermian dari iktikad baik rantai pasok ikan hias di Kepulauan Seribu untuk mendapatkan sertifikasi ikan hias ramah lingkungan, yaitu MAC certified yang terintegrasi dari mulai lokasi penangkapan, cara penanganan, sampai cara pengiriman, dan aktor dari 110 nelayan, pengepul, hingga ke perusahaan. Untuk mencapai hal ini, bantuan dari pemerintah maupun LSM sangat diperlukan. d) Kebijakan pemerintah (13,4 %) Kebijakan pemerintah dinilai sangat kecil pengaruhnya dalam mencapai goal. Kecilnya nilai pada kebijakan pemerintah ini dimungkinkan memang para pihak kurang merasakan peranan pemerintah dalam mencapai suatu rantai pasok ikan hias yang adil dan lestari. Padahal, banyak pihak yang berharap kepada pemerintah untuk lebih berperan aktif dalam memberikan kebijakan-kebijakan yang mengarah pada sutau perdagangan yang adil dan lestari. Kebijakan yang sering di programkan oleh Pemerintah antara lain program pengurangan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan nelayan, kebijakan dalam hal perdagangan, dan perlindungan terhadap sumber daya alam. 2. Peranan Aktor dan Proporsinya dalam Skenario Pada gambar di bawah ini, dapat diketahui bahwa dengan prioritas skenario yang sama, yaitu dengan memprioritaskan pengembangan akses informasi dan teknologi, nelayan memiliki peran yang sangat penting, terlihat dari prosentasenya 50,9%, jauh lebih tinggi dari pada aktor yang lain, yaitu perusahaan (18,8%), pengepul (16,5%), dan pihak luar (13,9%). Namun demikian, sekecil apapun prosentase peranannya, semua pihak harus bekerjasama untuk mencapai goal yang diinginkan bersama. 0 50,9% nelayan (L: 0,509) 17,9% transparansi kerjasama antar pihak 16,5% pengepul (L: 0,165) 20,3% fasilitasi peningkatan kapasitas SDM 18,8% perusahaan (L: 0,188) 49,3% pengembangan akses informasi dan teknologi 13,9% pihak luar (L: 0,139) 12,5% intervensi pemerintah thd kebijakan .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 0 .1 .2 .3 .4 Gambar 25. Grafik Sensitivitas terhadap Aktor dalam Mencapai Goal 111 .5 e) Nelayan (50,9 %) Nelayan sebagai ujung tombak rantai pasok ikan hias laut ini, diharapkan dapat terlibat aktif atau dalam pelatihan dan pengembangan akses informasi dan teknologi, baik itu yang dilakukan oleh pemerintah, LSM, bahkan perusahaan dengan kepentingannya pribadi, sehingga nelayan mengetahui produk yang seperti apa yang diinginkan pasar, sekaligus mengetahui situasi pasar, bahkan hingga harga jual di pasar. Diharapkan dengan demikian, nelayan akan memiliki posisi tawar yang lebih baik. f) Perusahaan (18,8 %) Perusahaan memiliki peran yang juga penting dalam mendorong nelayan sebagai ujung tombak rantai pasoknya untuk menjadi lebih baik, menjadi pemasok yang dapat memenuhi kebutuhan perusahaan dengan nilai produk yang berkualitas. Dengan demikian, sumbangsih perusahaan sangat diperlukan dalam rangka mencapai rantai pasok ikan hias yang adil dan lestari. g) Pengepul (16,5 %) Walaupun peran pengepul dinilai kecil, namun pengepul berjasa dalam menjembatani antar kebutuhan ekonomi nelayan dan kebutuhan pasokan perusahaan. Sebagai perantara (midddlemen) di Kepulauan Seribu, baik yang merupakan kepanjangan tangan dari perusahaan, ataupun pemilik modal lepas yang berbisnis dalam bidang pengepulan ikan hias, pengepul juga diperlukan perannya untuk melakukan pembinaan pada karyawannya ataupun pada nelayannya untuk bersama-sama berusaha menciptakan produk yang berkualitas dan ramah lingkungan, sehingga kesejahteraan bersama pun dapat tercapai. h) Pihak luar (13,9 %) Pihak luar adalah pihak-pihak yang secara profesional tidak berada di dalam rantai perdaganagan ikan hias secara langsung. Walaupun perannya dinilai kecil, namun pihak-pihak ini memiliki peran dalam memberikan dukungan dan dorongan menuju sebuah perubahan yang diinginkan oleh semua pihak. Pihak luar disini antara lain pemerintah yang diwakili oleh suku dinas kelautan dan pertanian kabupaten administrasi kepualuan seribu, LSM 112 yang diwakili oleh pihak Yayasan Terumbu Karang Indonesia dan badan sertifikasi MAC (Marine Aquarium Council). 3. Perumusan Tujuan dan Proporsinya dalam Skenario Perumusan tujuan sangat berperan dalam menentukan skenario yang akan diambil. Dalam hal ini, dapat dilihat secara sebaliknya, seberapa besar skenario yang telah dibuat dapat menjawab tujuan yang diinginkan untuk mencapai goal. Dari grafik di bawah ini dapat dilihat bahwa keempat tujuan yang telah dibuat memiliki prosentase yang merata sama satu sama lain. Peningkatan nilai produk 28,6%, kelestarian sumberdaya alam 25,1%, keberlanjutan usaha nelayan dan pengepul 23,2%, sama dengan peningkatan kesejahteraan nelayan 23,2%. Dengan demikian dapat diartikan bahwa pada setiap skenario yan telah dibuat, masingmasing dapat secara proporsional menjawab tujuan yang ingin dicapai oleh semua pihak dalam rangka mencapai manajemen rantai pasok yang adil dan lestari. 0 23,2% peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,232) 17,9% transparansi kerjasama antar pihak 23,2% keberlanjutan usaha nelayan dan pengepul (L: 0,232) 20,3% fasilitasi peningkatan kapasitas SDM 28,6% peningkatan nilai produk (L: 0,286) 49,3% pengembangan akses informasi dan teknologi 25,1% kelestarian sumberdaya alam (L: 0,251) 12,5% intervensi pemerintah thd kebijakan .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 0 .1 .2 .3 .4 .5 Gambar 26. Grafik Sensitivitas terhadap Tujuan dalam Mencapai Goal a) Peningkatan nilai produk (28,6 %) Peningkatan nilai produk merupakan tujuan terpenting dalam manajemen rantai pasok ikan hias non sianida ini. Peningkatan nilai produk dinilai dari peningkatan kualitas ikan hias dan variabel pendampingnya, antara lain keragaman jenis, kelincahan, ketahanan hidup (survival rate), kelimpahan, dan ketepatan waktu pengiriman. Apabila perusahaan menginginkan nilai produknya meningkat, artinya mereka harus melakukan tindakan-tindakan yang mendorong pada meningkatnya nilai produk, antara lain. Termasuk mendorong nelayan untuk tidak menggunakan sianida dalam penangkapan ikan karena ikan yang ditangkap dengan menggunakan sianida akan 113 menurunkan nilai ikan hias itu sendiri. Hal lain yang biasa digunakan untuk meningkatkan nilai produk antara lain adalah peningkatan teknologi produksi, baik teknologi produksi di perusahaan maupun transfer teknologi penanganan ikan hias pada nelayan dan pengepul sebagai pemasok bagi perusahaan. Dari segi kebutuhan nelayan, peningkatan nilai produk berarti peningkatan harga pada ikan hias hasil tangkapan nelayan. Sampai saat ini, nelayan masih belum mendapatkan peningkatan harga yang signifikan, padahal ikan yang dihasilkan oleh nelayan sudah memenuhi kriteria kualitas yang diinginkan perusahaan. b) Kelestarian sumberdaya alam (25,1 %) Menjaga kelestarian sumberdaya alam menjadi salah satu tujuan dalam bisnis ikan hias air laut ini, termasuk menjaga tempat hidupnya, yaitu terumbu karang. Upaya konservasi terumbu karang dengan transplantasi, selain dapat menjaga kelestarian lingkungan laut, juga dapat digunakan sebagai komoditi baru, yaitu terumbu karang budidaya yang pasar ekspornya komplemen dengan ikan hias laut. c) Peningkatan kesejahteraan nelayan (23,2 %) Tingkat kesejahteraan nelayan di Kepulauan Seribu dilihat dari penghasilannya sudah lumayan baik. Dari penangkapan ikan hias saja, mayoritas nelayan ikan hias memiliki penghasilan harian sekitar 30-40 ribu rupiah, sehingga dalam satu bulan sekitar 1 juta rupiah, setara dengan UMR karyawan tingkat buruh di Jakarta. Dengan penghasilan sedemikian dan tanggungan keluarga 2-3 orang, nelayan hanya bisa memenuhi kebutuhan pokoknya saja untuk keluarganya. Nelayan menginginkan hidupnya sejahtera, dan dapat memenuhi kebutuhannya lebih dari kehidupan sekarang. Mereka ingin ada peningkatan nilai ikan hias hasil tangkapan mereka. Peningkatan kesejahteraan nelayan di Kepulauan Seribu sedang di upayakan oleh banyak pihak, termasuk pengepul, pengusaha, dan pihak luar, baik LSM maupun pemerintah, dalam hal ini Suku Dinas Kelautan Kabupaten Admnistrasi Kepulauan Seribu. 114 d) Keberlanjutan usaha nelayan dan pengepul (23,2 %) Untuk mempertahankan keberlanjutan usaha nelayan dan pengepul, para pihak harus turun tangan dalam membantu mereka. Akses terhadap modal termasuk jaring tangkap bagi nelayan dan fasilitas penampungan ikan bagi pengepul masih kurang. Nelayan dan pengepul harus dibantu dalam hal sarana dan prasarana agar usaha mereka terus berlanjut. Hubungan ini selayaknya adalah hubungan saling membutuhkan antara nelayan, pengepul, dan perusahaan. Peran perusahaan dalam memberikan pinjaman modal kepada pengepul, dan seterusnya, peran pengepul dalam meberikan pinjaman modal pada nelayan akan menguntungkan semua pihak. Karena apabila usaha nelayan dan pengepul berhenti, maka pasokan ikan hias perusahaan juga akan terhambat. 4. Prioritas Skenario dalam Mencapai Goal Dalam mencapai goal, dirumuskan beberapa skenario strategi. Prioritas tertinggi skenario adalah pengembangan akses informasi dan teknologi (49,3 %), sehingga fokus pada strategi yang dimaksud dinilai efektif untuk mencapai manajemene rantai pasok ikan hias laut yang adil dan lestari. Skenario yang selanjutnya adalah fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (20,3 %), transparansi kerjasama antar pihak (17,9 %), dan intervensi pemerintah terhadap kebijakan (12,5 %). 17,9% transparansi kerjasama antar pihak 20,3% fasilitasi peningkatan kapasitas SDM 49,3% pengembangan akses informasi dan teknologi 12,5% intervensi pemerintah thd kebijakan 0 .1 .2 .3 .4 .5 Gambar 27. Grafik Sensitivitas Prioritas Skenario dalam Mencapai Goal 115 a) Pengembangan akses informasi dan teknologi (49,3 %) Pengembangan akses informasi dan teknologi menjadi prioritas strategi dalam mencapai manajemen rantai pasok ikan hias laut yang adil dan lestari. Akses informasi yang perlu dikembangkan dalam hal ini adalah pada tingkat nelayan dan pengepul, diharapkan semua pihak dapat mengetahui kondisi pasar maupun harga, sehingga nelayan dan pengepul dapat mengetahui situasi pasar yang sedang dihadapi oleh perusahaan, agar semua pihak bisa saling mengerti dan memahami. Tindakan kongkrit yang dapat dilakukan untuk mengembangkan akses informasi ini antara lain dengan sering melakukan diskusi bersama antar semua pihak. Satu hal yang menjadi pintu informasi terpenting adalah internet. Informasi apapun dapat diakses oleh nelayan dan pengepul melalui internet, sehingga, dengan pengetahuan ini diharapkan nelayan dan pengepul dapat memiliki posisi tawar yang baik di dalam rantai pasok. Pengembangan teknologi dapat dicapai melalui transfer teknologi dari perusahaan sampai ke level nelayan, sehingga teknologi yang terintegrasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk tujuan peningkatan nilai produk dan juga akan meningkatkan kesejahteraan nelayan. Sedangkan teknologi lain yang ingin dikembangkan di masa datang adalah teknologi budidaya ikan hias laut yang merupakan satu jalan yang diidamkan oleh semua pihak untuk tujuan bersama. Saat ini ada sekitar 5 jenis ikan hias di Kepulauan Seribu yang dapat di budidayakan, dan untuk selanjutnya diharapkan akan lebih banyak lagi jenis ikan hias yang dapat dibudidayakan. Selain dapat meningkatkan nilai produk, budidaya juga dapat mengurangi tekanan terhadap eksploitasi sumberdaya alam. Mengutip dari penelitian yang lalu, Bimo (2008) menyatakan bahwa pengembangan manajemen teknologi harus sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan perusahaan, maka perusahaan harus memperhatikan komponenkomponen Teknologi (technoware), Sumberdaya manusia (humanware), Infomasi (infoware), dan Organisasi (organoware). Dalam pengembangan teknologi ini Bimo menyarankan untuk (1) Melakukan peningkatan SDM yang ada dengan pendidikan dan pelatihan sehingga mampu mengikuti dan 116 mengadaptasi perkembangan teknologi dan bisnis ikan hias air laut yang ada di pasar sesuai dengan kemampuan perusahaan dan (2) Melakukan transfer dan adaptasi teknologi terutama pada sistem pemeliharaan dan karantina ikan hias laut yang ada saat ini untuk menghadapi persaingan bisnis. b) Fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (20,3 %) Pihak luar (LSM dan Pemerintah) memiliki kapasitas yang besar untuk melakukan fasilitasi kepada pengepul dan nelayan untuk meningkatkan kapasitas SDM mereka, termasuk bagaimana mengatur manajemen bisnis dan usaha yang sederhana. Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu memiliki beberapa program dalam rangka peningkatan kapasitas SDM nelayan dan pengepul, antara lain pelatihan penangkapan ikan, pemberdayaan masyarakat nelayan melalui pembinaan kelompok, pelatihan selam, pelatihan budidaya, peningkatan kapasitas SDM, transplantasi karang, dan rehabilitasi ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu. Dalam melaksanakan program tersebut, Suku Dinas dibantu oleh LSM Yayasan TERANGI. Bersama mereka mendampingi nelayan untuk meningkatkan kapasitas SDM mereka. Di masa yang akan datang, hal yang ingin dicapai dalam rangak menciptakan manajemen rantai pasok ikan hias yang adil dan lestari ini adalah upaya pembentukan organisasi rantai pasok ikan hias laut yang solid. c) Transparansi kerjasama antar pihak (17,9 %) Dalam melakukan kerjasama, hal yang penting untuk dijadikan pemahaman bersama adalah adanaya transparansi. Yang dimaksud dalam hal ini adalah menciptakan transparansi dalam sebuah kesepakatan jangka panjang antar pihak, termasuk membangun forum komunikasi bersama, sehingga semua pihak dapat mengetahui keadaan pasar, aturan yang ada, dan yang terpenting adalah mendorong kejujuran antar pihak yang bekerjasama, misalkan kerjasama antara perusahaan dengan pengepul dan nelayan. Dengan adanya transparansi, maka perdagangan yang adil akan dapat tercapai dengan mudah. Transparansi dalam kerjasama ini dpat diwujudkan dalam distribusi informasi yang merata baik tentang pasar maupun harga, sehingga di tingkat 117 nelayan pun, nelayan dapat mengetahui harga ikan hias nya di tingkat internasional sehingga dengan harga jual ikan mereka sekarang, mereka tidak merasa dirugikan, atau kalau misalkan pun mereka dirugikan, mereka dapat memiliki posisi tawar yang baik dengan perusahaan. d) Intervensi pemerintah terhadap kebijakan (12,5 %) Walaupun perannya dinilai kecil, intervensi pemerintah sangat diperlukan, terutama untuk penyediaan sarana dan prasarana, penurunan biaya ekspor, dan kebijakan perdagangan internasional, termasuk aturan tentang kuota, tarif bea keluar, aturan karantina, L/C, dan sebagainya. Mungkin justru nilai yang kecil ini karena peran intervensi pemerintah selama ini kurang. Keterangan dari salah seorang pengusaha mengatakan bahwa di level pengusaha, intervensi pemerintah dirasa kurang, padahal kebijkannya mengenai tarif karantina dan biaya ekspor untuk perdagangan ekspor diharapkan dapat membantu perngusaha untuk memperluas usahanya, sehingga perkembangan usaha yang ada juga dapat tersentuh sampai tingkat nelayan. 5.4. Implikasi Manajerial Pada dunia bisnis yang semakin kompetitif, rantai pasok harus mampu bersaing dengan jaringan rantai pasok lain. Dalam manajemen rantai pasok, beberapa implikasi manajerial yang dapat dipetik dengan penerapan skenario pengembangan akses informasi dan teknologi sesuai dengan prioritas strategi yang telah ditetapkan dalam penelitian ini, tercermin pada tiga peran, yaitu peran penelitian dan pengembangan, peran produksi, dan peran sistem informasi dalam manajemen rantai pasok, sesuai dengan apa yang dirumuskan oleh Zacharia (2000) dalam Mentzer (2004) sebagai berikut: 1. Peran Penelitian dan Pengembangan dalam Manajemen Rantai pasok a) Aktivitas rantai pasok memiliki dampak yang besar pada kapabilitas dan profitabilitas rantai pasok dan anggota rantai pasok dalam pengembangan produk baru. b) Pengembangan produk baru yang inovatif dan efektif adalah hal yang penting dalam lingkungan bisnis dengan turbulensi dan ketidakpastian yang tinggi di masa depan. 118 c) Berkolaborasi dengan pelanggan penghubung dan pemasok penghubung, penelitian dan pengembangan dapat secara signifikan memperbaiki proses pengembangan produk baru. d) Berkolaborasi dengan pelanggannya pelanggan dan pemasoknya pemasok sepanjang rantai pasok, penelitian dan pengembangan dapat memperbaiki proses pengembangan produk baru. e) Kecepatan pasar atau menekan waktu siklus untuk mengembangkan produk baru dapat diperbaiki secara signifikan melalui pelibatan penelitian dan pengembangan rantai pasok. 2. Peran Produksi dalam Manajemen Rantai Pasok a) Produk fungsional pada pasar yang stabil memerlukan sistem produksi rantai pasok yang fokus pada pengurangan biaya volume dan dan peningkatan efisiensi produk. b) Produk yang berinovasi tinggi pada lingkungan yang tidak pasti, berubah secara konstan, memerlukan suatu sistem produksi rantai pasok yang fokus pada fleksibilitas dan kecepatan pada pasar. c) Bauran produksi merupakan suatu sistem produksi rantai pasok yang memiliki nilai luar biasa dalam pasar global yang kompetitif yang memfokuskan pada efisiensi biaya. d) Membangun satu sistem produksi rantai pasok merupakan hal sangat berguna untuk dapat melakukan order produksi ataupun menundanya dalam satu sistem pasar dengan kebutuhan customer yang berubah-ubah dengan sangat cepat dan siklus produk yang semakin pendek. Dalam hal ini kemitraan dengan nelayan dan pengepul sebagai pemasok sangat diperlukan. 3. Peran Sistem Informasi dalam Manajemen Rantai Pasok a) Selama lingkungan bisnis tetap berlanjut untuk memunculkan respon yang lebih bervariasi dan lebih cepat pada suatu sistem pasar yang dipengaruhi oleh pelanggan, maka sistem informasi yang lebih baik dan lebih efektif perlu dikembangkan. b) Salah satu cara terbaik untuk melayani permintaan pasar adalah dengan mengembangkan sistem informasi intra rantai pasok yang efektif. 119 c) Sistem informasi intra rantai pasok seperti sistem perencanaan sumberdaya rantai pasok merupakan prasyarat yang penting untuk memperbaiki aliran informasi antar rantai pasok. Oleh karena itu, distribusi informasi harus merata dalam rantai pasok mulai dari perusahaan hingga tingkat nelayan. d) Manajer perlu mengetahui bahwa keuntungan dari aliran informasi yang efektif dan efisien dapat mencegah resiko-resiko yang berhubungan dengan pengembangan kemitraan dengan pemasok maupun pelanggan. 120 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1) Pada penelitian ini dapat diidentifikasi model rantai pasok dimana alur distribusi komoditas dan informasi terbagi menjadi 2, yaitu untuk pasar dalam negeri dan luar negeri. Terdapat satu upaya unik yang dilakukan oleh kelompok nelayan dalam memotong rantai pasok pada elemen pengepul, sehingga harga beli ikan pada nelayan dapat lebih tinggi dibandingkan harga beli dari pengepul. 2) Secara umum, respon nelayan yang menyatakan tidak bersedia berpartisipasi mayoritas sama dengan respon secara nelayan yang menyatakan bersedia berpartisipasi dalam rantai pasokan. Namun ada beberapa poin yang dapat dijadikan sebagai ukuran kesediaan nelayan, antara lain pengaruh perubahan harga di tingkat pengepul, komitmen pengepul dalam menepati pembayaran, dan norma dalam menjual ikan kepada pemberi modal. 3) Untuk mencapai manajemen rantai pasokan ikan hias laut yang adil dan lestari, strategi utama yang harus dilakukan adalah pengembangan akses informasi dan teknologi, termasuk akses informasi tentang pasar maupun harga dan inovasi teknologi budidaya ikan hias laut, dengan mengutamakan nelayan sebagai aktor yang perlu dilibatkan secara aktif di dalamnya. 6.2. Saran 1) Masyarakat di tingkat nelayan harus lebih mampu mengorganisir diri dan menciptakan inovasi dalam usahanya baik dari segi diversifikasi maupun manajemen di dalamnya, sehingga kesejahteraan nelayan dapat meningkat dengan upaya yang mandiri. 2) Pihak lain dalam hal ini pengepul, pengusaha, dan stakeholder terkait seharusnya berupaya untuk meningkatkan kesediaan nelayan dengan peningkatan sarana dan prasarana yang memadai dan juga akses informasi yang mudah diaplikasikan di tingkat nelayan. 3) Pengembangan akses informasi dapat dilakukan antara lain dengan sering melakukan diskusi bersama antar semua pihak. Satu hal yang menjadi pintu informasi terpenting adalah internet. Informasi apapun dapat diakses oleh nelayan dan pengepul melalui internet, sehingga, dengan pengetahuan ini diharapkan nelayan dan pengepul dapat memiliki posisi tawar yang baik di dalam rantai pasokan. 4) Pengembangan teknologi dapat dicapai melalui transfer teknologi dari perusahaan sampai ke level nelayan, sehingga teknologi yang terintegrasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk tujuan peningkatan nilai produk terutama dalam hal kenaikan harga dan peningkatan volume order untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. 5) Teknologi yang mungkin dikembangkan di masa datang adalah teknologi budidaya ikan hias laut yang merupakan satu jalan yang diidamkan oleh semua pihak untuk tujuan bersama. Selain dapat meningkatkan nilai produk, budidaya juga dapat mengurangi tekanan terhadap eksploitasi sumberdaya alam. 122 VII. DAFTAR PUSTAKA Anderson, Erin and James A. Narus. 1990. “A Model of Distributor Firm and Manufacturer Firm Working Relationships,” Journal of Marketing, Vol. 54, January, pp. 42-58. Arsonetri. 2005. Reformasi Industri Ikan Hias di desa Les Kecamatan Tejakula Buleleng, Bali. Laporan Kegiatan. Telapak. Bimo, Budi Haryo. 2008. Kajian Teknologi dan Bisnis Ikan Hias Air Laut CV. Cahaya Baru. Thesis. Manajemen Bisnis Institut Pertanian Bogor. Bowersox, Donald J. and David C. Closs. 1996. Logistical Management: The Integrated Supply Chain Process, McGraw-Hill Series in Marketing, New York: The McGraw-Hill Companies. Bucklin, Louis P. and Sanjit Sengupta. 1993. “Organizing Successful CoMarketing Alliances,” Journal of Marketing, Vol. 57, April, pp. 32-46. Burke, L., L. Selig, M. Spalding. 2002. Reef at Risk in Southeast Asia. World Resources Institute. Washington DC. Christopher, Martin L. 1992. Logistics and Supply Chain Management, London: Pitman Publishing. Cooper, Martha C. and Lisa M. Ellram. 1993. “Characteristics of Supply Chain Management and the Implication for Purchasing and Logistics Strategy,” The International Journal of Logistics Management,Vol. 4, No. 2, pp. 1324. Davenport, Thomas H. 1993. Process Innovation, Reengineering Work through Information Technology, Boston, MA: Harvard Business School Press. Dinas Peternakan, Perikanan Dan Kelautan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 2008. Laporan Monitoring dan Evaluasi Program Sertifikasi Ikan Hias dan BiotaTerumbu Karang di Kepulauan Seribu. Jakarta. Dwi, 2008. Ekspor Ikan Hias Hidup Bali US$ 221,474.86. http://www.bisnisbali.com/2008/05/07/news/agrohobi/ekps.html. Dwyer, F. Robert, Paul H. Schurr, and Sejo Oh. 1987. “Developing Buyer-Seller Relationships,” Journal of Marketing, Vol. 51, April, pp. 11-27. Ellram, Lisa M. and Martha C. Cooper. 1990. “Supply Chain Management, Partnerships, and the Shipper-Third-Party Relationship,” The International Journal of Logistics Management, Vol. 1, No. 2, pp. 1-10. Gundlach, Gregory T., Ravi S. Achrol, and John T. Mentzer. 1995. “The Structure of Commitment in Exchange,” Journal of Marketing, Vol. 59, January, pp. 78-92. Heide, Jan B. and George John. 1990. “Alliances in Industrial Purchasing: The Determinants of Joint Action in Buyer - Supplier Relationships,” Journal of Marketing Research,Vol. 27, Winter, pp. 24-36. http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=84 27&Itemid=696. DKP dan LIPI Kembangkan Ikan Hias. Ditulis oleh Dr. Soen’an H. Poernomo, M.Ed. Diunduh pada 30 Agustus 2009. Jones, Thomas and Daniel W. Riley. 1985. “Using Inventory for Competitive Advantage through Supply Chain Management,” International Journal of Physical Distribution and Materials Management,Vol. 15, No. 5, pp. 16-26. Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. 2005. Buku Saku Kabupaten Kepulauan Seribu. Badan Perencanaan Kabupaten (BAPEKAB) Kepulauan Seribu, Jakarta: 64 hlm. Kottler, Philip and G. Armstrong. 2006. Principles of Marketing – Tenth Edition, International Edition. Pearson Prentice Hall. New Jersey. Kotler, Philip and K.L. Keller. 2007. Manajemen Pemasaran – Edisi 12. Indeks, Jakarta. Kotter, J. P. 1990. AForce for Change: How Leadership Differs from Management, New York, NY: Free Press. La Londe, Bernard J. and James M. Masters. 1994. “Emerging Logistics Strategies: Blueprints for the Next Century,” International Journal of Physical Distribution and Logistics Management, Vol. 24, No. 7, pp. 35-47. Lambert, Douglas M., James R. Stock, and Lisa M. Ellram. 1998. Fundamentals of Logistics Management, Boston, MA: Irwin/McGraw-Hill, Chapter 14. Marimin, 2008. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT. Grasindo, Jakarta. Mentzer, John T., William De Witt, James S. Keebler, Soonhong Min, Nancy W. Nix, Carlo D. Smith, and Zach G. Zacharia 2001 .. “Defining Supply Chain Management”, Journal of Business Logistics, Vol. 22, No. 2. Mentzer, John T.,2004. Fundamentals of Supply Chain Management – Twelve Drivers of Competitive Advantage. Sage Publilcation. London. Monczka, Robert, Robert Trent, and Robert Handfield 1998. Purchasing and Supply Chain Management, Cincinnati, OH: South-Western College Publishing, Chapter 8. 124 Nazir, M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Novack, Robert A., C. John Langley, Jr., and Lloyd M. Rinehart. 1995. Creating Logistics Value, Oak Brook, IL: Council of Logistics Management. Numberi, F. 2009. Evolusi Pembangunan Kelautan dan Perikanan Indonesia. Disampaikan pada Seminar Nasional Evolusi Kelautan Nusantara, dalam rangkaian Rembug Nasional Kelautan 2009. Bogor. Ongkosongo, O. S. R. 1986. Some harmful stresses to the Seribu coral reefs, Indonesia. In Soemodihardjo, S (ed.). Proceedings of MAB-COMAR regoinal workshop on coral reef ecosystems. LIPI Indonesia. Puswati, Ida Ayu Juli. 2002. Sianida Sampai Disini – Nelayan Desa Les Mereformasi Alat Tangkap. Yayasan Bahtera Nusantara. Bali. Reefbase. 2001. A Global Information System on Coral Reef. Ross, David Frederick. 1998. Competing Through Supply Chain Management, New York, NY: Chapman & Hall. Saaty, T.L. 1983. Decision Making for Leaders: The analytical Hierarchy Process fro Decision in Complex World. RWS Publication, Pittsburg. Schmitz, Judith M., Robb Frankel, and David J. Frayer. 1994. “Vertical Integration without Ownership: the Alliance Alternative,” Association of Marketing Theory and Practice Annual Conference Proceedings, Spring, pp. 391-396. Stevens, Graham C. 1989. “Integrating the Supply Chains,” International Journal of Physical Distribution and Materials Management, Vol. 8, No. 8, pp. 3-8. Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten administratif Kepulauan Seribu dan Yayasan Terangi, 2007. Laporan Akhir Total Allowable Catch di Kepulauan Seribu. Jakarta. Terangi, Yayasan. 2009. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2003-2007). Jakarta. Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji & M. K. Mossa. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas. Periplus Edition. Singapore. 125 Lampiran 1. Grafik Volume Ekspor Ikan Hias Laut di Indonesia 5 Tahun Terakhir Sumber : Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia - Ekspor - 2002, 2003, 2004, 2006, 2007 (BPS Jakarta, Indonesia) 127 Lampiran 2. Peta Sumber Daya Ikan Hias dan Ekosistem Terumbu Karang di Kelurahan Pulau Panggang Sumber : Terumbu Karang Jakarta 2007 (Yayasan Terangi) 128 Lampiran 3. Jenis-jenis ikan hias komoditi Kepulauan Seribu No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 Nama lokal Dasi Biru Blue Band/ Betok Doger Sersan Mayor Jae‐jae Betok Zebra Jakarta Betok Dakocan Putih Betok Kuning Clown Fish Giro Pasir Ekor Kuning Giro Balong Giro Tompel Jakarta Giro Pelet Jakarta Kepe‐Kepe Garis Enam Coklat Kepe‐Kepe Kalong Kepe‐Kepe Monyong Biasa Kepe Nanas Abu Doreng Angel Marmut Angel Bluestone Biasa Bluestone Kambingan/ Kalong Angel Kambingan Angel Bluestone Roti Platax Kertas/ Daun Platax Asli Platax Jenggot Ikan Layang‐Layang Keling Ijo KKO Hijau KKO Jakarta Pinguin Hijau Pinguin Coklat Keling Perak Bayeman biasa K e n a r i Kenari Model Dokter biasa T i m u n a n Buntel Babi Abu Biasa Buntel Mappa Buntel Duren Buntel Mata Palsu Buntel Koper Kuning Buntel Koper Putih J a g u n g a n Triger Kipas Merah Sonang Biasa Campur2 Jabing biasa Roket Biasa Mandarin Asli K a p a l a n Gobi Hijau B r a j a n a t a Nama umum Yellow‐Backed Damsel Blue Velvet Damsel Sergeant‐Major Blue‐Green Chromis White‐Tailed Damsel Reticulated Damsel Yellow Damsel Clown Demoiselle Clark's Anemonfish Maroon Clown Fire Clown Skunk‐Stripped Clown Ocellate Butterfly Pakistani Butterfly Copperband Butterfly Latticed Butterfly Grey‐Orange Stripped Angel Vermiculated Angel Koran Angel Six‐Barred Angel Juv Six‐Barred Angel Koran Angel Adult Orbiculate Batfish Orange‐Ringed Batfish Long‐Finned Batfish Indian Treadfish Green Wrasse Pacific Exquisite Fairy Wrasse Blueside Wrasse Green Bird Wrasse Male Brown Bird Wrasse Female Marble Wrasse Assorted Wrasse Half‐and‐Half Thicklip Red Breasted Wrasse Cleaner Wrasse Yellow‐Tailed Cleaner Black‐Spotted Puffer Scribble Toadfish Porcupine Puffer False‐eye Toby Polkadot Boxfish White‐Spotted Boxfish Long‐Nosed Filefish Red‐Tile Filefish Assorted Filefish Stripped Rock Blenny Scissortail Mandarin Fish Banded Goby Blue Spotted Coral Goby Assorted Squirrelfish Nama latin Praglyphidodon melas Abudefduf oxyodon Abudefduf saxatilis Chromis Viridis Dascyllus aruanus Dascyllus reticulanus Pomacentrus amboinensis Amphirion ocellaris Amphirion clarkii Premnas biaculeatus Amphirion ephippium Amphirion akalopisos Parachaetodon ocellatus Chaetodon collare Chelmon rostratus Chaetodon refflesi Centropyge eibli Chaetodontoplus melanosoma Pomacanthus semicirculatus Euxiphipops sexstriatus Euxiphipops sexstriatus Pomacanthus semicirculatus Platax orbicularis Platax pinnatus Platax teira Alectis indicus Helichoerus chloropterus Cirrhilabrus exquisitus Cirrhilabrus cyanopleura Gomphosus coeruleus Gomphosus coeruleus Halichoeres hortulanus Halichoeres sp. Hemigymnus melapterus Cheilinus fasciatus Labroides dimidatus Diproctacanthus xanthurus Arothron nigropunctatus Arothron mappa Diodon hystrix Canthigaster solandri Ostracion cubicus Ostracion meleagris Oxymonacanthus Longirostris Pervagor melanochepalus Monachantus sp. Salaris fasciatus Ptereleotris evides Pterosynchiropus splendidus Amblygobius phalaena Gobiodon histrio Adioryx sp. 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 Pala Haji Mata Belo Jenggot Biasa Pulo Kakatua Merah Kakatua Hijau Kakatua Campur‐campur Layaran Bagan Layaran Asli Kambingan Biasa Moorish Idol Burung Laut Lempu Kembang Lempu 1/2 Biting Lempu Radiata Volitan Barong Bagong Merah Barong Bagong Putih/ Hitam Gracekelly Krapu Terbang Trigger Liris Trigger Biru Trigger Matahari Trigger Rambut Trigger Sedan Trigger Motor Kompele Bronkelly Snapper Caesio Kuning Caesio Teres Caesio Pisang Caesio Sulir Caesio Neon Capungan biasa S a b u n a n Capungan Gelas Mata Biru Capungan Merli Bajulan Biasa Tangkur Putih Tangkur Buaya Kuda Laut Moray Tutul Mang Mutiara Ikan Pari Pari Burung Pari Rina Ular Tutul Biasa Hiu Ganas Hiu Sirip Putih Hiu Tokek Piso‐piso Udang Pletok Udang Karang Ubur‐ubur Titik Bicolor Parrotfish Big‐eye Squirrelfish Freckled Goatfish Dusky Parrotfish Green Parrotfish Assorted Parrotfish Singular Bannerfish Long‐Fin Bannerfish Hump‐Head Bannerfish Moorish Idol Brown Sailfin Tang Zebra Lionfish Spot‐Fin Lionfish White‐Fin Lionfish Turkey Lionfish Reefstone Fish Estuary Stonefish Panther Grouper Comet Undulate Trigger Blue Triggerfish White Barred Triggerfish Tentacled Filefish Rectangle Trigger Black‐Bellied Trigger Yellow‐banded Sweetlips Clown Sweetlips Emperor Snapper Yellowtail Fussilier Yellow and Blueback Fusilier Banana Fusilier Blue & Gold Fusilier Neon Fusilier Polkadot Cardinalfish Two Banded Grouper Longspine Cardinal Redstripped Cardinal Zebra Pipe Fish Paxtons Pipefish Aligator Pipefish Oceanic Sea Horses Leopard Moray Eel White Mouth Moray Blue Spotted Stingray Spotted Eagle Ray Bowmouth Guitarfish, Shark Ray Paintspotted Moray Black‐Tip Reef Shark White‐Tip Shark Marbled Cat Shark Knife Fish Peacock Mantis Shrimps Spiny Lobster Spotted Jelly Fish Cetoscarus bicolor Myripristis sp. Upeneus tragula Scarus Niger Scarus Sordidus Scarus sp. Heniochus singularius Heniochus acuminatus Heniochus varius Zanclus canescens Zebrasoma scopas Dendrochirus zebra Pterois antennata Pterois radiata Pterois volitans Synanceia verrucosa Synanceia horrida Cromileptis altivelis Calloplesiops altivelis Balistapus undulatus Odonus niger Rhinecanthus aculeatus Chaetodermis penicilligerus Rhinecanthus rectangulus Rhinecanthus verrucosus Plectorhyncus linaetus Plectorhyncus chaetodonoides Lutjanus sebae Caesio cuning Caesio teres Caesio pisang Caesio caeruleus Pterocaesio tile Spheramia nematoptera Diploprion bifasciatus Apogon leptacanthus Apogon margaritophorus Doryrhampus dactyliophorus Carythoichtys paxtomi Syngnathoides sp. Hippocampus kuda Gymnothorax favagineus Gymnothorax meleagris Taeniura lymna Aetobatus narinari Rhina ancylostoma Siderea picta Carcharhinus melanopterus Triaenodon obesus Atelomycterus marmoratus Aeoliscus strigatus Odontodactylus sp. Palinurus ornatus Mastigias papua Lampiran 4. Kuesioner untuk Nelayan KUESIONER untuk NELAYAN ANALISIS MANAJEMEN RANTAI PASOKAN IKAN HIAS LAUT NON SIANIDA DI KEPULAUAN SERIBU Kepada Yth. Bapak/ Ibu Responden Di tempat, Saya, Dian Wisudawati, mahasiswa Program Studi Ilmu Manajemen Sekolah Pasca Sarjana – Institut Pertanian Bogor, saat ini sedang mengadakan penelitian tentang ANALISIS MANAJEMEN RANTAI PASOKAN IKAN HIAS LAUT NON SIANIDA DI KEPULAUAN SERIBU. Mohon kesediaan Bapak/ Ibu untuk mengisi kuesioner terlampir. Tidak ada jawaban yang salah dalam kuesioner ini. Data yang saya terima akan digunakan sepenuhnya untuk keperluan akademis. Atas kerjasama Bapak/ Ibu saya sampaikan terimakasih. DATA NELAYAN Nama : Usia : Pendidikan terakhir : Jumlah tanggungan : No handphone : KRITERIA NELAYAN Lingkarilah dan isilah pertanyaan di bawah ini dengan jawaban yang sesuai dengan kondisi anda. No Pertanyaan Jawaban 1. Sudah berapa tahun anda menjadi nelayan ikan hias? .............................. tahun 2. Menangkap ikan hias merupakan a. pekerjaan utama ( .... jam/hari) dan (.... hari/minggu) b. pekerjaan sampingan ( .... jam/hari) dan (.... hari/minggu) 3. Pekerjaan selain menangkap ikan hias? 4. 5. Bagaimana cara anda menangkap ikan hias laut? Hasil tangkapan anda dalam sehari : 6. Siapakah pengepul anda? 131 a. b. a. b. c. d. e. dengan jaring dengan sianida/ potassium sangat sedikit ( < Rp.20.000) sedikit ( Rp.20.000 - Rp.30.000) sedang ( Rp.30.000 - Rp.40.000) banyak (Rp40.000 – Rp.50.000) sangat banyak (>Rp.50.000) 7. 8. 9. Apakah anda menjadi anggota kelompok? Pernahkah anda mengikuti pelatihan tentang penangkapan ikan hias ramah lingkungan? Apakah anda akan tetap bersedia menjadi nelayan ikan hias sebagai mata pencaharian anda? a. ya keuntungan? b. tidak mengapa? a. b. ya tidak a. Ya b. tidak Keuntungan : - Harganya bagus - Pembelian yang tidak putus - Permodalan di awal Mengapa? Lingkarilah (SS/S/N/TS/STS) pada pernyataan yang anda anggap sesuai dengan apa yang anda rasakan selama ini. Keterangan : SS : Sangat Setuju S : Setuju N : Netral TS : Tidak setuju STS : Sangat Tidak Setuju A. Kepercayaan 1. Nelayan percaya akan harga ikan hias yang ditetapkan oleh pengepul 2. Pengepul percaya akan harga ikan hias yang ditetapkan oleh perusahaan 3. Pengepul akan menyesuaikan harga beli ikan hias dengan pengepul yang lain untuk nelayan 4. Eksportir akan menyesuaikan harga beli ikan hias dengan eksportir yang lain untuk pengepul 5. Perubahan harga di tingkat eksportir akan mempengaruhi harga di tingkat pengepul 6. Perubahan harga di tingkat pengepul akan mempengaruhi harga di tingkat nelayan B. Komitmen 1. Nelayan selalu mensuplai ikan hias sesuai order 2. Pengepul selalu mensuplai ikan hias sesuai order 3. Nelayan selalu menjaga kualitas hasil tangkapannya yang dijual pada pengepul 4. Pengepul akan selalu menjaga kualitas ikannya yang akan dijual pada eksportir 5. Pengepul selalu menepati cara pembayaran yang disepakati 6. Eksportir selalu menepati cara pembayaran yang disepakati 132 SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS SS SS S S S N N N TS TS TS STS STS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS 7. Nelayan dan pengepul terikat kontrak kerja 8. Pengepul dan eksportir terikat kontrak kerja C. Norma-norma kerjasama 1. Nelayan tidak akan menjual ikan hias yang kondisinya cacat kepada pengepul 2. Pengepul tidak akan menjual ikan hias yang kondisinya cacat kepada perusahaan 3. Nelayan hanya menjual ikanhias kepada pengepul yang memberinya modal (jaring/bensin) 4. Pengepul hanya akan menjual ikan hias kepada satu eksportir tertentu 5. Pengepul tidak akan menjual ikan hias kepada eksportir yang sudah memiliki pengepul langganan dari Kep. Seribu D. Kesalingtergantungan 1. Pengepul mengandalkan nelayannya sebagai pemasok ikan hias untuk memenuhi order perusahaan 2. Eksportir mengandalkan pengepulnya sebagai pemasok ikan hias untuk memenuhi order dari buyer 3. Apabila nelayan tidak melakukan penangkapan maka pengepul akan merasa terhambat proses pengumpulannya 4. Apabila pengepul tidak meyetorkan hasil pengumpulan ikan hiasnya kepada eksportir, maka eksportir akan terhambat proses ekspornya 5. Pengepul adalah satu-satunya pihak yang bisa memberikan pinjaman modal usaha (jaring/bensin) kepada nelayan 6. Eksportir adalah satu-satunya pihak yang bisa memberikan fasilitas usaha kepada pengepul, misalnya pondok tempat mengumpulkan ikan hasil tangkapan 7. Eksportir adalah satu-satunya pihak yang bisa memberikan pinjaman dana usaha kepada pengepul 8. Nelayan hanya bisa menjual hasil tangkapan ikan hiasnya kepada pengepul tertentu 9. Pengepul hanya bisa menjual ikan hiasnya kepada eksportir tertentu E. Kesesuaian 1. Nelayan menangkap ikan hias tanpa menggunakan sianida/ potassium 2. Pengepul hanya menerima ikan dari nelayan yang ditangkap tanpa menggunakan sianida/ potassium 3. Eksportir hanya menerima ikan dari pengepul yang ditangkap tanpa menggunakan sianida/ potassium 4. Nelayan dan pengepul berusaha untuk menghemat biaya penangkapan ikan 5. Nelayan, pengepul, dan eksportir sama-sama berusaha untuk menghemat biaya penangkapan ikan 6. Nelayan dan pengepul sama-sama berusaha untuk meningkatkan keuntungan 7. Nelayan dan pengepul, dan eksportir sama-sama 133 SS SS S S N N TS TS STS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS berusaha untuk meningkatkan keuntungan 8. Ikan hias yang diorder oleh eksportir sesuai dengan keberadaan ikan hias yang tersedia di Kep. Seribu F. Hubungan tambahan 1. Nelayan bisa menjual ikannya pada pengepul lain jika order pengepul utamanya sudah terpenuhi 2. Sesama nelayan bisa saling bertukar informasi mengenai harga beli ikan hias 3. Sesama pengepul bisa saling mengisi order satu sama lain 4. Hubungan keseharian nelayan dengan pengepul adalah hubungan pertemanan/ persaudaraan 5. Hubungan pengepul dengan ekspotir selain hubungan kerja adalah hubungan pertemanan/ persaudaraan 6. Pengepul memberikan THR kepada nelayan 7. Eksportir memberikan THR kepada pengepul G. Ketidakpastian lingkungan 1. Eksportir akan selalu mendapatkan order dari buyer 2. Pengepul akan selalu mendapatkan order dari eksportir 3. Nelayan akan selalu mendapatkan terusan order dari eksportir 4. Pada saat kondisi krisis, eksportir bisa menjamin kehidupan ekonomi pengepul 5. Pengepul bisa memberi pinjaman untuk keperluan sehari-hari pada nelayan saat order sedang sepi. 6. Pengepul dan nelayan memiliki pekerjaan sampingan selain menangkap dan mengumpulkan ikan hias 134 SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS SS S S N N TS TS STS STS SS SS S S N N TS TS STS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS Lampiran 5. Kuesioner untuk Pengepul KUESIONER untuk PENGEPUL ANALISIS MANAJEMEN RANTAI PASOKAN IKAN HIAS LAUT NON SIANIDA DI KEPULAUAN SERIBU Kepada Yth. Bapak/ Ibu Responden Di tempat, Saya, Dian Wisudawati, mahasiswa Program Studi Ilmu Manajemen Sekolah Pasca Sarjana – Institut Pertanian Bogor, saat ini sedang mengadakan penelitian tentang ANALISIS MANAJEMEN RANTAI PASOKAN IKAN HIAS LAUT NON SIANIDA DI KEPULAUAN SERIBU. Mohon kesediaan Bapak/ Ibu untuk mengisi kuesioner terlampir. Tidak ada jawaban yang salah dalam kuesioner ini. Data yang saya terima akan digunakan sepenuhnya untuk keperluan akademis. Atas kerjasama Bapak/ Ibu saya sampaikan terimakasih. DATA PENGEPUL Nama : Usia : Pendidikan terakhir : Jumlah tanggungan : No handphone : KRITERIA PENGEPUL Lingkarilah dan isilah pertanyaan di bawah ini dengan jawaban yang sesuai dengan kondisi anda. No 1. 2. Pertanyaan Sudah berapa tahun anda menjadi pengepul ikan hias? Menjadi pengepul ikan hias merupakan 3. Pekerjaan selain menjadi pengepul ikan hias? 4. Ada berapa nelayan anda? 5. Berapa karyawan yang anda miliki? 6. Apa nama eksportir tempat anda mensuplai ikan hias? Bagaimana seleksi anda terhadap ikan hias laut hasil tangkapan nelayan? 7. 135 Jawaban .............................. tahun a. pekerjaan utama ( .... jam/hari) dan (.... hari/minggu) b. pekerjaan sampingan ( .... jam/hari) dan (.... hari/minggu) a. b. a. b. Nelayan tetap : .................. orang Nelayan tidak tetap : ................ orang Karyawan tetap : ................ orang Karyawan honorer : ............... orang a. Hanya menerima ikan yang ditangkap dengan mengggunakan jaring b. a. b. c. d. e. a. Memisahkan antara ikan yang ditangkap dengan jaring dan yang ditangkap dengan sianida/potasium Tidak ada pemisahan antara ikan hias yang ditangkap dengan jaring atau yang ditangkap dengan sianida/potas sangat sedikit ( < 1 juta rupiah) sedikit ( 1 juta – 3 juta rupiah) sedang ( 3 juta – 5 juta rupiah) banyak (5 juta – 10 juta rupiah) sangat banyak (> 10 juta rupiah) ya keuntungan? b. tidak a. b. ya tidak a. Ya b. tidak c. 8. Omset penghasilan anda dalam seminggu : 9. Apakah anda menjadi anggota kelompok? 10. 11. Pernahkah anda mengikuti pelatihan tentang pengelolaan ikan hias ramah lingkungan? Apakah anda akan tetap besedia menjadi pengepul ikan hias sebagai mata pencaharian anda? mengapa? Keuntungan : - Harganya bagus - Pembelian yang tidak putus - Permodalan di awal Mengapa? Lingkarilah (SS/S/N/TS/STS) pada pernyataan yang anda anggap sesuai dengan apa yang anda rasakan selama ini. Keterangan : SS : Sangat Setuju S : Setuju N : Netral TS : Tidak setuju STS : Sangat Tidak Setuju A. Kepercayaan 1. Nelayan percaya akan harga ikan hias yang ditetapkan oleh pengepul 2. Pengepul percaya akan harga ikan hias yang ditetapkan oleh perusahaan 3. Pengepul akan menyesuaikan harga beli ikan hias dengan pengepul yang lain untuk nelayan 4. Eksportir akan menyesuaikan harga beli ikan hias dengan eksportir yang lain untuk pengepul 5. Perubahan harga di tingkat eksportir akan mempengaruhi harga di tingkat pengepul 6. Perubahan harga di tingkat pengepul akan mempengaruhi harga di tingkat nelayan 136 SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS B. Komitmen 1. Nelayan selalu mensuplai ikan hias sesuai order 2. Pengepul selalu mensuplai ikan hias sesuai order 3. Nelayan selalu menjaga kualitas hasil tangkapannya yang dijual pada pengepul 4. Pengepul akan selalu menjaga kualitas ikannya yang akan dijual pada eksportir 5. Pengepul selalu menepati cara pembayaran yang disepakati 6. Eksportir selalu menepati cara pembayaran yang disepakati 7. Nelayan dan pengepul terikat kontrak kerja 8. Pengepul dan eksportir terikat kontrak kerja C. Norma-norma kerjasama 1. Nelayan tidak akan menjual ikan hias yang kondisinya cacat kepada pengepul 2. Pengepul tidak akan menjual ikan hias yang kondisinya cacat kepada perusahaan 3. Nelayan hanya menjual ikanhias kepada pengepul yang memberinya modal (jaring/bensin) 4. Pengepul hanya akan menjual ikan hias kepada satu eksportir tertentu 5. Pengepul tidak akan menjual ikan hias kepada eksportir yang sudah memiliki pengepul langganan dari Kep. Seribu D. Kesalingtergantungan 1. Pengepul mengandalkan nelayannya sebagai pemasok ikan hias untuk memenuhi order perusahaan 2. Eksportir mengandalkan pengepulnya sebagai pemasok ikan hias untuk memenuhi order dari buyer 3. Apabila nelayan tidak melakukan penangkapan maka pengepul akan merasa terhambat proses pengumpulannya 4. Apabila pengepul tidak meyetorkan hasil pengumpulan ikan hiasnya kepada eksportir, maka eksportir akan terhambat proses ekspornya 5. Pengepul adalah satu-satunya pihak yang bisa memberikan pinjaman modal usaha (jaring/bensin) kepada nelayan 6. Eksportir adalah satu-satunya pihak yang bisa memberikan fasilitas usaha kepada pengepul, misalnya pondok tempat mengumpulkan ikan hasil tangkapan 7. Eksportir adalah satu-satunya pihak yang bisa memberikan pinjaman dana usaha kepada pengepul 8. Nelayan hanya bisa menjual hasil tangkapan ikan hiasnya kepada pengepul tertentu 9. Pengepul hanya bisa menjual ikan hiasnya kepada eksportir tertentu 137 SS SS SS S S S N N N TS TS TS STS STS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS SS S S N N TS TS STS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS E. Kesesuaian 1. Nelayan menangkap ikan hias tanpa menggunakan sianida/ potassium 2. Pengepul hanya menerima ikan dari nelayan yang ditangkap tanpa menggunakan sianida/ potassium 3. Eksportir hanya menerima ikan dari pengepul yang ditangkap tanpa menggunakan sianida/ potassium 4. Nelayan dan pengepul berusaha untuk menghemat biaya penangkapan ikan 5. Nelayan, pengepul, dan eksportir sama-sama berusaha untuk menghemat biaya penangkapan ikan 6. Nelayan dan pengepul sama-sama berusaha untuk meningkatkan keuntungan 7. Nelayan dan pengepul, dan eksportir sama-sama berusaha untuk meningkatkan keuntungan 8. Ikan hias yang diorder oleh eksportir sesuai dengan keberadaan ikan hias yang tersedia di Kep. Seribu F. Hubungan tambahan 1. Nelayan bisa menjual ikannya pada pengepul lain jika order pengepul utamanya sudah terpenuhi 2. Sesama nelayan bisa saling bertukar informasi mengenai harga beli ikan hias 3. Sesama pengepul bisa saling mengisi order satu sama lain 4. Hubungan keseharian nelayan dengan pengepul adalah hubungan pertemanan/ persaudaraan 5. Hubungan pengepul dengan ekspotir selain hubungan kerja adalah hubungan pertemanan/ persaudaraan 6. Pengepul memberikan THR kepada nelayan 7. Eksportir memberikan THR kepada pengepul G. Ketidakpastian lingkungan 1. Eksportir akan selalu mendapatkan order dari buyer 2. Pengepul akan selalu mendapatkan order dari eksportir 3. Nelayan akan selalu mendapatkan terusan order dari eksportir 4. Pada saat kondisi krisis, eksportir bisa menjamin kehidupan ekonomi pengepul 5. Pengepul bisa memberi pinjaman untuk keperluan sehari-hari pada nelayan saat order sedang sepi. 6. Pengepul dan nelayan memiliki pekerjaan sampingan selain menangkap dan mengumpulkan ikan hias 138 SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS SS S S N N TS TS STS STS SS SS S S N N TS TS STS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS SS S N TS STS Lampiran 6. Kuesioner untuk Perusahaan KUESIONER untuk PERUSAHAAN ANALISIS MANAJEMEN RANTAI PASOKAN IKAN HIAS LAUT NON SIANIDA DI KEPULAUAN SERIBU Kepada Yth. Bapak/ Ibu Responden Di tempat, Saya, Dian Wisudawati, mahasiswa Program Studi Ilmu Manajemen Sekolah Pasca Sarjana – Institut Pertanian Bogor, saat ini sedang mengadakan penelitian tentang ANALISIS MANAJEMEN RANTAI PASOKAN IKAN HIAS LAUT NON SIANIDA DI KEPULAUAN SERIBU Mohon kesediaan Bapak/ Ibu untuk mengisi kuesioner terlampir. Tidak ada jawaban yang salah dalam kuesioner ini. Data yang saya terima akan digunakan sepenuhnya untuk keperluan akademis. Atas kerjasama Bapak/ Ibu saya sampaikan terimakasih. DATA RESPONDEN Nama : Usia : Pendidikan terakhir : Jabatan : KARAKTERISTIK PERUSAHAAN PROFIL PERUSAHAAN 1. Nama perusahaan 2. 3. Tahun berdirinya perusahaan Alamat perusahaan 4. Produk yang dihasilkan/ diperdagangkan 5. Jumlah karyawan 6. Struktur organisasi perusahaan a. b. c. d. a. b. 139 Ikan hias laut Karang hias laut Invertebrata laut Lainnya, ..................... Karyawan tetap : ..................... orang Karyawan honorer : .................orang 7. 8. Rata-rata omset bulanan Omset tiga tahun terakhir 9. Strategi pemasaran a. Segmentasi .............................. juta rupiah Tahun ke-1 Tahun ke-2 Tahun ke-3 b. Targeting c. Positioning 10 . Bauran pemasaran a. Produk b. Harga c. Saluran distribusi d. Promosi No 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pertanyaan Berapa pengepul yang memasok ikan hias kepada anda? Dari daerah mana saja asal ikan hias tersebut? Apakah perusahaan turut berpartisipasi dengan aktivitas anggota kelompok di Kepulauan Seribu Jawaban ........... pengepul a. ya keuntungan? b. tidak mengapa? Apakah anda pernah mengikuti pelatihan atau seminar tentang pengelolaan ikan hias ramah lingkungan? a. ya b. tidak Apakah anda dapat melakukan pembelian langsung kepada nelayan? a. b. ya tidak Bagaimana seleksi anda terhadap ikan hias laut dari pengepul? a. Hanya menerima ikan yang ditangkap dengan mengggunakan jaring 140 mengapa? b. c. 7. Menurut anda, apakah saluran pemasaran yang ada selama ini sudah baik? Mengapa? 8. Saluran pemasaran yang seperti apa yang menurut anda efektif? 9. Apakah anda bersedia untuk tetap memperdagangkan ikan hias yang ditangkap dengan jaring dan tetap berpartisipasi dalam manajemen rantai pasokan ikan hias non sianida? 141 Memisahkan antara ikan yang ditangkap dengan jaring dan yang ditangkap dengan sianida/potasium Tidak ada pemisahan antara ikan hias yang ditangkap dengan jaring atau yang ditangkap dengan sianida/potas a. Ya Kompensasi apa yang anda berikan pada pengepul? - Harga yang bagus - Kontinuitas pembelian - Permodalan di awal - Tingkat pengembalian ikan rendah - Lain-lain .......... - ....................... b. Tidak Mengapa? Lampiran 7. Struktur Awal Hierarki Rantai Pasok Ikan Hias Laut Non Sianida di Kep. Seribu Potret Sistem Rantai Pasokan Ikan Hias Non Sianida di Kepulauan Seribu FAKTOR AKTOR TUJUAN kepercayaan nelayan peningkatan profitabilitas SKENARIO kelompok nelayan norma2 kerjasama komitmen perusahaan lokal pengepul jaminan kontinuitas pasokan kemudahan akses modal eksportir peningkatan kualitas &kuantitas pasokan peningkatan teknologi produksi alat tangkap kesaling tergantungan importir DKP perluasan pasar MAC TERANGI peningkatan skala usaha pelatihan dan pengembanagan untuk nelayan dan pengepul AKKI peningkatan teknologi unggulan lembaga keuangan penyerapan tenaga kerja kesepakatan kerjasama jangka panjang teknis penangkapan dan pasca armada penangkapan pemeliharaan di farm hubungan tambahan kesesuaian peningkatan kapasitas diri & kesadaran berorganisasi transport laut kesejahteraan nelayan & karyawan teknologi informasi budidaya ikan hias kebijakan perdagangan internasional peningkatan SDM jasa pengiriman kargo keberlanjutan usaha nelayan pengurangan tekanan thd terumbu karang kantor pemasaran bersama forum komunikasi antar produsen inovasi species baru teknologi budidaya kuli peningkatan upaya pemasaran Alih teknologi produksi pembangunan jaringan distribusi magang kelestarian SDA dg penangkapan ramah lingk transport darat sejarah hub. bisnis akses pasar manajemen bisnis shipping perguruan tinggi kebijakan pemerintah MoU antar pihak Pembinaan & pengembangan SDM packaging jaminan kepastian segmention targeting positioning strategi pemasaran keuangan R Tangga Penyusun : Dian Wisudawati, S. Pi. pengendalian mutu Di bawah bimbingan: Prof. Dr. Ir. Wilson H. Limbong, MS Dr. Ir. Jono M. Munandar, M. Sc. Responden (expertise) : Akademisi (Prof. Dr. Ir. Musa Hubeis M. Si, Dipl. Ing, DEA) SuDin Kelautan dan Pertanian Kab Adm. Kep Seribu (Abdul Khaliq, M. Si). Yayasan TERANGI (Idris, S. Pi) CV. Cahaya Baru (Ibu Wiwi) CV. Blue Star Aquatic (Bpk. Erik) PT. Dinar Darum Lestari (H. R. Dody Timur Wahjuadi, DRH) AKKI (Suryo Kusumo, S. Pi) tarif bea keluar product pengetahuan CITES kuota price selam sehat dan benar Perijinan (SKA, TPKP, license) bauran pemasaran place dumping promotion L/C physical evidence personality 142 Lampiran 8. Kuesioner Analytical Hierarchi Process Menciptakan Manajemen Rantai Pasokan Ikan Hias Laut yang Adil dan Lestari GOAL 143 FAKTOR trust dan komitmen norma2 kerjasama kebijakan pemerintah kepedulian thd lingkungan AKTOR nelayan pengepul perusahaan pihak luar TUJUAN SKENARIO Penigkatan kesejahteraan nelayan keberlanjutan usaha nelayan dan pengepul transparansi kerjasama antar pihak fasilitasi peningkatan kapasitas SDM Penyusun : Dian Wisudawati, S. Pi. Di bawah bimbingan: Prof. Dr. Ir. Wilson H. Limbong, MS, Dr. Ir. Jono M. Munandar, M. Sc. Supervisor AHP: Ir. Pramono D. Fewidarto, M. Sc 103 peningkatan nilai produk pengembangan akses infornasi dan teknologi kelestarian sumber daya alam intervensi pemerintah terhadap kebijakan PAIRWISE COMPARISON Berikut merupakan pertanyaan prioritas dengan menggunakan metode perbandingan. Berilah tanda “ √” pada sektor kolom skor yang sesuai untuk penilaian tingkat kepentingan (skor) antara masing-masing sektor/ sub sektor (kolom kiri dibanding kolom kanan) berkaitan dengan goal yang dimaksud, yaitu menciptakan manajemen rantai pasokan ikan hias laut yang adil dan lestari, dengan kriteria penialian sebagai berikut: Nilai Keterangan 1 Kriteria/ alternatif A sama penting dengan kriteria/ alternatif B 3 A sedikit lebih penting dari B 5 A jelas lebih penting dari B 7 A sangat jelas lebih penting dari B 9 A mutlak lebih penting dari B 2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan Level 1 (Faktor) U Kolom Kiri Diisi jika sektor kolom sebelah kiri lebih penting dibanding tujuan di kolom sebelah kanan 2 3 4 5 6 7 8 9 Diisi Bila Sama Penting 1 Diisi jika sektor kolom sebelah kanan lebih penting dibanding tujuan di kolom sebelah kiri 9 8 7 6 5 4 3 2 Kolom Kanan trust dan komitmen norma2 kerjasama trust dan komitmen kebijakan pemerintah trust dan komitmen kepedulian thd lingk. norma2 kerjasama kebijakan pemerintah norma2 kerjasama kepedulian thd lingk. kebijakan pemerintah kepedulian thd lingk. Level 2 (Aktor) U Kolom Kiri Diisi jika sektor kolom sebelah kiri lebih penting dibanding tujuan di kolom sebelah kanan 2 3 4 5 6 7 8 9 Diisi Bila Sama Penting 1 Diisi jika sektor kolom sebelah kanan lebih penting dibanding tujuan di kolom sebelah kiri 9 8 7 6 5 4 3 2 Kolom Kanan Nelayan Pengepul Nelayan Perusahaan Nelayan Pihak luar Pengepul Perusahaan Pengepul Pihak luar Perusahaan Pihak luar 144 Level 3 (Tujuan) U Kolom Kiri Diisi jika sektor kolom sebelah kiri lebih penting dibanding tujuan di kolom sebelah kanan 2 3 4 5 6 7 8 9 Diisi Bila Sama Penting 1 Diisi jika sektor kolom sebelah kanan lebih penting dibanding tujuan di kolom sebelah kiri 9 8 7 6 5 4 3 2 peningkatan kesejahteraan nelayan peningkatan kesejahteraan nelayan peningkatan kesejahteraan nelayan keberlanjutan usaha nelayan keberlanjutan usaha nelayan peningkatan nilai produk Kolom Kanan keberlanjutan usaha nelayan peningkatan nilai produk kelestarian sumberdaya alam peningkatan nilai produk kelestarian sumberdaya alam kelestarian sumberdaya alam Level 4 (Skenario) U Kolom Kiri Diisi jika sektor kolom sebelah kiri lebih penting dibanding tujuan di kolom sebelah kanan 2 3 4 5 6 7 8 9 Diisi Bila Sama Penting 1 Diisi jika sektor kolom sebelah kanan lebih penting dibanding tujuan di kolom sebelah kiri 9 8 7 6 5 4 3 2 transparansi kerjasama antar pihak transparansi kerjasama antar pihak Kolom Kanan fasilitasi peningkatan kapasitas SDM pengembangan akses informasi dan teknologi intervensi pemerintah thd kebijakan pengembangan akses informasi dan teknologi intervensi pemerintah thd kebijakan transparansi kerjasama antar pihak fasilitasi peningkatan kapasitas SDM fasilitasi peningkatan kapasitas SDM pengembangan akses informasi dan teknologi intervensi pemerintah thd kebijakan 145 Lampiran 9. View-Tree Analytical Hierarchy Proses Kombinasi Model Name: AHP fair trade and sustainable Treeview Goal: Menciptakan Manajemen Rantai Pasokan Ikan Hias Laut yang Adil dan Lestari trust dan komitmen (L: 0,298) nelayan (L: 0,509) peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) keberlanjutan usaha nelayan dan pengepul (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) peningkatan nilai produk (L: 0,286) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) kelestarian sumberdaya alam (L: 0,251) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) pengepul (L: 0,165) peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) keberlanjutan usaha nelayan dan pengepul (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) peningkatan nilai produk (L: 0,286) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) kelestarian sumberdaya alam (L: 0,249) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) perusahaan (L: 0,188) peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) keberlanjutan usaha nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) 146 fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) peningkatan nilai produk (L: 0,286) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) kelestarian sumberdaya alam (L: 0,249) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) pihak luar (L: 0,139) peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) keberlanjutan usaha nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) peningkatan nilai produk (L: 0,286) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) kelestarian sumberdaya alam (L: 0,249) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) norma2 kerjasama (L: 0,354) nelayan (L: 0,509) peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) keberlanjutan usaha nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) peningkatan nilai produk (L: 0,286) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) kelestarian sumberdaya alam (L: 0,249) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) 147 intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) pengepul (L: 0,165) peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) keberlanjutan usaha nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) peningkatan nilai produk (L: 0,286) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) kelestarian sumberdaya alam (L: 0,249) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) perusahaan (L: 0,188) peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) keberlanjutan usaha nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) peningkatan nilai produk (L: 0,286) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) kelestarian sumberdaya alam (L: 0,249) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) pihak luar (L: 0,139) peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) keberlanjutan usaha nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) peningkatan nilai produk (L: 0,286) 148 transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) kelestarian sumberdaya alam (L: 0,249) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) kebijakan pemerintah (L: 0,134) nelayan (L: 0,509) peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) keberlanjutan usaha nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) peningkatan nilai produk (L: 0,286) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) kelestarian sumberdaya alam (L: 0,249) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) pengepul (L: 0,165) peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) keberlanjutan usaha nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) peningkatan nilai produk (L: 0,286) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) kelestarian sumberdaya alam (L: 0,249) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) perusahaan (L: 0,188) peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) 149 fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) keberlanjutan usaha nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) peningkatan nilai produk (L: 0,286) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) kelestarian sumberdaya alam (L: 0,249) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) pihak luar (L: 0,139) peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) keberlanjutan usaha nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) peningkatan nilai produk (L: 0,286) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) kelestarian sumberdaya alam (L: 0,249) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) kepedulian thd lingkungan (L: 0,214) nelayan (L: 0,509) peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) keberlanjutan usaha nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) peningkatan nilai produk (L: 0,286) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) 150 intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) kelestarian sumberdaya alam (L: 0,249) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) pengepul (L: 0,165) peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) keberlanjutan usaha nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) peningkatan nilai produk (L: 0,286) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) kelestarian sumberdaya alam (L: 0,249) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) perusahaan (L: 0,188) peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) keberlanjutan usaha nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) peningkatan nilai produk (L: 0,286) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) kelestarian sumberdaya alam (L: 0,249) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) pihak luar (L: 0,139) peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) keberlanjutan usaha nelayan (L: 0,232) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) peningkatan nilai produk (L: 0,286) transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) kelestarian sumberdaya alam (L: 0,249) 151 transparansi kerjasama antar pihak (L: 0,179) fasilitasi peningkatan kapasitas SDM (L: 0,203) pengembangan akses informasi dan teknologi (L: 0,493) intervensi pemerintah thd kebijakan (L: 0,125) Lampiran 10. Grafik Sensitivitas Masing-masing Responden AHP 1. Ibu Wiwie – CV. Cahaya Baru Dynamic Sensitivity for nodes below: Goal: Menciptakan Manajemen Rantai Pasokan Ikan Hias Laut yang Adil dan Lestari 40,2% trust dan komitmen (L: 0,402) 22,1% transparansi kerjasama antar pihak 40,2% norma2 kerjasama (L: 0,402) 22,1% fasilitasi peningkatan kapasitas SDM 5,4% kebijakan pemerintah (L: 0,054) 49,2% pengembangan akses informasi dan teknologi 14,3% kepedulian thd lingkungan (L: 0,143) 6,6% intervensi pemerintah thd kebijakan 0 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 0 .1 .2 .3 39,3% nelayan (L: 0,393) 22,1% transparansi kerjasama antar pihak 22,4% pengepul (L: 0,224) 22,1% fasilitasi peningkatan kapasitas SDM 33,4% perusahaan (L: 0,334) 49,2% pengembangan akses informasi dan teknologi 5,0% pihak luar (L: 0,050) 6,6% intervensi pemerintah thd kebijakan 0 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 0 .1 .2 .3 .4 .5 .4 .5 17,5% peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,175) 22,1% transparansi kerjasama antar pihak 17,5% keberlanjutan usaha nelayan dan pengepul (L: 0,175) 22,1% fasilitasi peningkatan kapasitas SDM 40,9% peningkatan nilai produk (L: 0,409) 49,2% pengembangan akses informasi dan teknologi 24,1% kelestarian sumberdaya alam (L: 0,241) 6,6% intervensi pemerintah thd kebijakan 0 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 152 0 .1 .2 .3 .4 .5 2. H. Dody T. Wahjuadi – PT. DINAR Dynamic Sensitivity for nodes below: Goal: Menciptakan Manajemen Rantai Pasokan Ikan Hias Laut yang Adil dan Lestari 69,0% trust dan komitmen (L: 0,690) 16,3% transparansi kerjasama antar pihak 18,4% norma2 kerjasama (L: 0,184) 21,2% fasilitasi peningkatan kapasitas SDM 5,9% kebijakan pemerintah (L: 0,059) 55,9% pengembangan akses informasi dan teknologi 6,8% kepedulian thd lingkungan (L: 0,068) 6,5% intervensi pemerintah thd kebijakan 0 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 0 .1 .2 .3 68,5% nelayan (L: 0,685) 16,3% transparansi kerjasama antar pihak 7,0% pengepul (L: 0,070) 21,2% fasilitasi peningkatan kapasitas SDM 20,3% perusahaan (L: 0,203) 55,9% pengembangan akses informasi dan teknologi 4,2% pihak luar (L: 0,042) 6,5% intervensi pemerintah thd kebijakan 0 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 0 .1 .2 .3 .4 .5 .4 .5 22,8% peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,228) 16,3% transparansi kerjasama antar pihak 8,4% keberlanjutan usaha nelayan dan pengepul (L: 0,084) 21,2% fasilitasi peningkatan kapasitas SDM 7,2% peningkatan nilai produk (L: 0,072) 55,9% pengembangan akses informasi dan teknologi 61,6% kelestarian sumberdaya alam (L: 0,616) 6,5% intervensi pemerintah thd kebijakan 0 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 153 0 .1 .2 .3 .4 .5 3. Erik Jaya Putra – CV. Blue Star Aquatic Dynamic Sensitivity for nodes below: Goal: Menciptakan Manajemen Rantai Pasokan Ikan Hias Laut yang Adil dan Lestari 54,8% trust dan komitmen (L: 0,548) 8,8% transparansi kerjasama antar pihak 22,6% norma2 kerjasama (L: 0,226) 25,3% fasilitasi peningkatan kapasitas SDM 9,0% kebijakan pemerintah (L: 0,090) 58,0% pengembangan akses informasi dan teknologi 13,6% kepedulian thd lingkungan (L: 0,136) 8,0% intervensi pemerintah thd kebijakan 0 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 0 .1 .2 .3 .4 25,0% nelayan (L: 0,250) 8,8% transparansi kerjasama antar pihak 25,0% pengepul (L: 0,250) 25,3% fasilitasi peningkatan kapasitas SDM 25,0% perusahaan (L: 0,250) 58,0% pengembangan akses informasi dan teknologi 25,0% pihak luar (L: 0,250) 8,0% intervensi pemerintah thd kebijakan 0 0 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 0 .1 .2 .3 7,3% peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,073) 8,8% transparansi kerjasama antar pihak 26,8% keberlanjutan usaha nelayan dan pengepul (L: 0,268) 25,3% fasilitasi peningkatan kapasitas SDM 16,3% peningkatan nilai produk (L: 0,163) 58,0% pengembangan akses informasi dan teknologi 49,7% kelestarian sumberdaya alam (L: 0,497) 8,0% intervensi pemerintah thd kebijakan .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 154 0 .1 .2 .3 .5 .4 .5 .4 .5 4. Abdul Khaliq, M. Si – Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kep Seribu Dynamic Sensitivity for nodes below: Goal: Menciptakan Manajemen Rantai Pasokan Ikan Hias Laut yang Adil dan Lestari 0 0 0 9,4% trust dan komitmen (L: 0,094) 6,4% transparansi kerjasama antar pihak 16,5% norma2 kerjasama (L: 0,165) 11,3% fasilitasi peningkatan kapasitas SDM 43,3% kebijakan pemerintah (L: 0,433) 41,1% pengembangan akses informasi dan teknologi 30,8% kepedulian thd lingkungan (L: 0,308) 41,1% intervensi pemerintah thd kebijakan .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 0 .1 .2 .3 .4 44,4% nelayan (L: 0,444) 6,4% transparansi kerjasama antar pihak 13,7% pengepul (L: 0,137) 11,3% fasilitasi peningkatan kapasitas SDM 7,8% perusahaan (L: 0,078) 41,1% pengembangan akses informasi dan teknologi 34,1% pihak luar (L: 0,341) 41,1% intervensi pemerintah thd kebijakan .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 0 .1 .2 .3 16,5% peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,165) 6,4% transparansi kerjasama antar pihak 16,5% keberlanjutan usaha nelayan dan pengepul (L: 0,165) 11,3% fasilitasi peningkatan kapasitas SDM 4,8% peningkatan nilai produk (L: 0,048) 41,1% pengembangan akses informasi dan teknologi 62,1% kelestarian sumberdaya alam (L: 0,621) 41,1% intervensi pemerintah thd kebijakan .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 155 0 .1 .2 .3 .5 .4 .5 .4 .5 5. Prof. Dr. Ir. Musa Hubeis M. Si, Dipl. Ing, DEA – Dosen Ahli Manajemen Strategis Institut Pertanian Bogor Dynamic Sensitivity for nodes below: Goal: Menciptakan Manajemen Rantai Pasokan Ikan Hias Laut yang Adil dan Lestari 40,5% trust dan komitmen (L: 0,405) 22,0% transparansi kerjasama antar pihak 37,7% norma2 kerjasama (L: 0,377) 10,9% fasilitasi peningkatan kapasitas SDM 13,8% kebijakan pemerintah (L: 0,138) 61,9% pengembangan akses informasi dan teknologi 8,0% kepedulian thd lingkungan (L: 0,080) 5,2% intervensi pemerintah thd kebijakan 0 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 0 .1 .2 .3 .4 53,7% nelayan (L: 0,537) 22,0% transparansi kerjasama antar pihak 4,9% pengepul (L: 0,049) 10,9% fasilitasi peningkatan kapasitas SDM 14,6% perusahaan (L: 0,146) 61,9% pengembangan akses informasi dan teknologi 26,8% pihak luar (L: 0,268) 5,2% intervensi pemerintah thd kebijakan 0 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 0 .1 .2 .3 .4 16,5% peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,165) 22,0% transparansi kerjasama antar pihak 16,5% keberlanjutan usaha nelayan dan pengepul (L: 0,165) 10,9% fasilitasi peningkatan kapasitas SDM 62,1% peningkatan nilai produk (L: 0,621) 61,9% pengembangan akses informasi dan teknologi 4,8% kelestarian sumberdaya alam (L: 0,048) 5,2% intervensi pemerintah thd kebijakan 0 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 156 0 .1 .2 .3 .4 .5 .5 .5 6. Idris, S. Pi – Yayasan Terumbu Karang Indonesia Dynamic Sensitivity for nodes below: Goal: Menciptakan Manajemen Rantai Pasokan Ikan Hias Laut yang Adil dan Lestari 0 20,5% transparansi kerjasama antar pihak 32,9% norma2 kerjasama (L: 0,329) 39,4% fasilitasi peningkatan kapasitas SDM 5,5% kebijakan pemerintah (L: 0,055) 29,5% pengembangan akses informasi dan teknologi 32,9% kepedulian thd lingkungan (L: 0,329) 10,6% intervensi pemerintah thd kebijakan .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 0 .1 .2 .3 .4 44,8% nelayan (L: 0,448) 20,5% transparansi kerjasama antar pihak 30,4% pengepul (L: 0,304) 39,4% fasilitasi peningkatan kapasitas SDM 20,2% perusahaan (L: 0,202) 29,5% pengembangan akses informasi dan teknologi 4,6% pihak luar (L: 0,046) 10,6% intervensi pemerintah thd kebijakan 0 0 28,8% trust dan komitmen (L: 0,288) .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 0 .1 .2 .3 25,0% peningkatan kesejahteraan nelayan (L: 0,250) 20,5% transparansi kerjasama antar pihak 25,0% keberlanjutan usaha nelayan dan pengepul (L: 0,250) 39,4% fasilitasi peningkatan kapasitas SDM 25,0% peningkatan nilai produk (L: 0,250) 29,5% pengembangan akses informasi dan teknologi 25,0% kelestarian sumberdaya alam (L: 0,250) 10,6% intervensi pemerintah thd kebijakan .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 157 0 .1 .2 .3 .5 .4 .5 .4 .5 Lampiran 11. Profil Perusahaan Ekspor Ikan Hias Laut 1. CV. CAHAYA BARU 1 2 CV. CAHAYA BARU 1975 3 Nama perusahaan Tahun berdirinya perusahaan Alamat perusahaan 4 Visi 5 Misi 6 Produk yang dihasilkan/ diperdagangkan 7 8 Jumlah karyawan Strategi pemasaran a. Segmentasi - Membuka lapangan pekerjaan, terutama bagi para nelayan - Meningkatkan taraf hidup nelayan serta karyawan - Memanfaatkan sumber daya alam secara lestari untuk meningkatkan devisa - Menjadi eksportir ikan hias dan coral yang memiliki kualitas dan varitas optimal - Berusaha selalu meningkatkan kepuasan pelanggan Ikan hias laut Karang hias laut Invertebrata laut Fresh water fish 35 orang karyawan) b. Targeting c. Positioning 9 Bauran pemasaran a. Produk Jl. Cenek No. 15 Bintaro Kodam, Jakarta 12320 - USA (Los Angles, Miami, Kanada, San Fransisco, Brazil, Argentina) - EROPA (Inggris, Jerman, Rusia, Polandia, Irlandia, Hungaria) - ASIA (Hongkong, Jepang, Taiwan, Korea) - ARAB (Dubai, Iran, Irak, Siria) - Karena merupakan perusahaan lama, maka perusahaan lebih memilih untuk memellihara buyer lama yang fanatik pada produk Cahaya Baru. - Untuk mencari new customer, dengan mencari informasi dari buletin bisni yang dikeluarkan oleh OFI. Dan juga memanfaatkan informasi dari BPEN (Badan Pengembangan Ekspor Nasional) tentang apa yang sedang tren di pasar. Perusahaan ingin memposisikan sebagai perusahaan yang memiliki produk ikan dan coral yang berkualitas tinggi dengan daya survival yang tinggi Diversifikasi produk, penemuan spesies baru 158 b. Price c. Saluran distribusi d. Promosi e. Personality (sebagai inovasi perusahaan) Untuk ikan yang musiman, diberikan diskon kepada pelanggan. Pelanggan lama akan mendapatkan diskon yang lebih banyak daripada yang baru Memiliki agent airline langsung Pameran di luar negeri - Aquarama Singapore yang dilakukan 2 x setahun - Di Jerman juga dilakukan 2 x setahun Keduanya selang seling, sehingga memungkinkan perusahaan untuk mengikuti pameran setahun sekali, ada juga pameran dari depdagri, namun perusahaan tidak pernah ikut. Servis yang baik kepada pelanggan lama STRUKTUR PERUSAHAAN DIREKTUR EKSPORT Marketing Dokumentasi perijinan Shipping Accounting FISH CORAL Stok di Gudang A-Z A-Z Mitra : Breeder di Lampung Farm HRD Transplantasi Kep. Seribu 159 Binuangeun/ Pandeglang 2. PT. DINAR DARUM LESTARI 1 2 3 Nama perusahaan Tahun berdirinya perusahaan Alamat perusahaan 4 Visi 5 Misi 6 Tujuan 7 Produk yang dihasilkan/ diperdagangkan 8 Jumlah karyawan 9 Strategi pemasaran a. Segmentasi PT. DINAR DARUM LESTARI 1975 Jl. Dadap No.30A Teluknaga – Tanggerang Visi dari perusahaan adalah optimalisasi pemanfaatan sumberdaya hayati laut melalui agribisnis ekoteknologi berbasis masyarakat Berperan aktif melestarikan keanekaragaman hayati melalui teknologi penangkaran dan meningkatkan produktivitas perairan dengan melibatkan masyarakat pesisir a. Meningkatkan diversifikasi usaha secara merata dan berkesinambungan b. Meningkatkan kesempatan kerja dan menyediakan lapangan kerja baru c. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir d. Meningkatkan nilai ekspor biota laut Ikan hias laut Karang hias laut Invertebrata laut Mariculture Coral Karyawan tetap : 400 orang (untuk seluruh perusahaan di Indonesia) - USA - EROPA Mencari pasar baru untuk produk – produk baru mereka yang masuk dalam CITES list (ex, White Coral dan Mariculture) Perusahaan sebagai pihak yang memiliki kuota alam terbesar, MAC Certified, dan produk dengan kualitas terbaik, menyisihkan sebagian sumberdaya untuk riset dan pengembangan produk b. Targeting c. Positioning 10 Bauran pemasaran a. Produk b. Harga Kualitas terbaik Di atas harga rata-rata, jarang memberi diskon karena jaminan produk yang sangat baik. 160 c. Saluran distribusi - Singapore Airline - KLM Eropa Di hulu, selalu mencari potensi ikan hias jenis baru Pameran di luar negeri, memiliki komoditi ikan dengan species unik yang bernama (........ dinar) Kunjungan ke perusahaan dan pameran Menemani tamu berlibur diving ke sitesite sumber ikan hias perusahaan. d. Promosi e. Physical evidence f. Personality STRUKTUR PERUSAHAAN DIREKTUR Kepala Cabang Personalia & Umum Produksi Accounting Supervisor Produksi Unit Produksi Pelaksana 161 Pemasaran 3. CV. BLUESTAR AQUATIC 1 2 3 Nama perusahaan Tahun berdirinya perusahaan Alamat perusahaan 4 Produk yang dihasilkan/ diperdagangkan 5 6 Jumlah karyawan Strategi pemasaran a. Segmentasi CV. BLUESTAR 2001 Jl. Reformasi I Rt 01/01 Kel. Pondok Aren, Kec. Pondok Aren, Kab. Tanggerang 51224 Ikan hias laut Karang hias laut Invertebrata laut 11 orang - USA (Miami, Kanada) - EROPA (Italia, Jerman) - ASIA (Hongkong, Singapura) Customer yang record pembayarannya tidak bermasalah MAC Certified product b. Targeting 7 c. Positioning Bauran pemasaran a. Produk b. Harga c. Saluran distribusi d. Promosi Kualitas, dan Kestabilan Jenis Pemberian diskon pada customer lama Cargo (Jasa Pengiriman) Website, Kunjungan Customer, Pameran di luar dan dalam negeri Heatpack untuk musim dingin Melayani tamu ketika ada kunjungan ke perusahaan e. Physical evidence f. Personality STRUKTUR PERUSAHAAN DIREKTUR Accounting Marketing Manager Operasional Kepala Lapangan Staf Packing/Lapangan 162 Lampiran 12. Gambar Aktivitas Selama Penelitian Nelayan pergi ke lokasi penangkapan ikan hias Nelayan dengan peralatan selam dasar untuk mencari ikan Nelayan dengan keranjang tempat ikan hias hasil tangkapan Nelayan sedang mencari avertebrata laut (manggisan) Ikan yang telah ditangkap dikumpulkan di penampungan pengepul Pondok penampungan pengepul Pengepul mengantarkan ikan hias dari Pulau Panggang ke Muara Angke 163 Ikan hias sampai di Muara Angke dan siap diantar ke Perusahaan dengan taxi atau mobil box Ikan hias telah sampai di perusahaan Farm Perusahaan CV. Cahaya Baru Wawancara dengan pihak perusahaan CV. Blue Star Aquatic Wawancara dan pengisian kuesioner dengan nelayan Sertifikasi Pengepul Ikan Hias Laut (kiri) Sertifikasi Perusahaan Ekspor Ikan Hias Laut (kanan) 164 155