18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Penelitian

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Penelitian Terdahulu
Penelitian pada dasarnya dilakukan dalam rangka melihat fenomena
atau masalah yang terjadi dan mencari solusi dalam permasalahan tersebut.
Salah satu manfaat dari penelitian adalah mampu menjadi referensi bagi
penelitian selanjutnya yang terkait. Oleh karena itu, penelitian ini juga tidak
lepas dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang mana
berkaitan dengan pembahasan pada penelitian ini. Penelitian tersebut antara
lain:
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No
1
Peneliti/ Tahun/
Judul
Ballaert,
Bart
Van. 2015. The
Politics of Policy
Formulation
within
the
European
Commission
(Politik
dalam
Formulasi
Kebijakan
di
Komisi Eropa)
Ulasan
Penelitian/ studi ini berusaha
mematahkan teori atau anggapan
yang
menyatakan
bahwa
perumusan kebijakan publik
yang dilakukan di Eropa oleh
sebuah komisi eropa bersifat
tertutup
dan
cenderung
menggunakan
preferensinya
sendiri (komisi eropa), sehingga
dianggap kurang bisa melihat ke
luar. Dari hasil review beberapa
buku yang berkaitan dengan
penelitian
tersebut
maka
diperoleh beberapa hasil, antara
lain:
 Telah
terjadi
perubahan
organisasi dalam Komisi
Eropa.
Perubahan
ini
dipengaruhi oleh berbagai
18
Relevansi dan
Perbedaan
Penelitian ini relevan
dengan penelitian yang
saya
tulis
karena
berfokus pada unsur
politik
dalam
perumusan kebijakan
publik.
Perbedaan
dengan penelitian yang
saya
tulis
adalah
penelitian
ini
merupakan penelitian
yang
berusaha
mematahkan
teori
menggunakan
teori
lainnya.
19
2
Salamat,
Mohamad Aizi,
dkk. 2012. A
Framework for
Formulating
Malaysia’s
Public
Policy
through
Citizen
eParticipation
3
Lestari,
Nanik.
2015. Ananlisis
Proses Formulasi
Kebijakan Publik
(Kasus Penolakan
Rancangan
Peraturan
latar belakang yang dimiliki
oleh pejabat publik di
dalamnya.
 Tidak cukup jika hanya
melibatkan intra organisasi.
Pada
situasi
tertentu
dibutuhkan hubungan keluar
dengan stakeholder yang
terkait
 Unsur demokratis dibutuhkan
dalam sebuah perumusan
kebijakan publik
Penelitian ini berangkat dari
keadaan di malaysia yang mana
banyak para ahli kebijakan
publik namun masih sangat
kurang dalam hal partisipasi
masyarakat. Penelitian ini juga
berusaha melihat efektifitas
penggunaan teknologi dalam
rangkat meningkatkan partisipasi
masyarakat melalui program
Citizen
E-Participation.
Penelitian ini juga memfokuskan
pada bagaimana menciptakan
formulasi kebijakan publik yang
baik melalui partisipasi aktif
masyarakat. Salah satu program
yang dibuat oleh pemerintah
malaysia adalah Citizen EParticipation. Dari penelitian ini
diperoleh kesimpulan terkait
faktor-faktor
untuk
mengembangkan kerangka kerja
program e-participation, antara
lain: partisipasi, komunikasi,
dampak
kebijakan
bagi
masyarakat
dan
kualitas
kebijakan.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui proses perumusan
kebijakan publik Raperda Kota
Surakarta tentang Minuman
Keras
dengan
memaparkan
alasan dari para aktor pembuat
kebijakan. Sampai pada akhirnya
Relevansi penelitian ini
terhadap
penelitian
yang saya buat adalah
kedua penelitian samasama mengkaji tentang
formulasi
kebijakan
publik.
Sedangkan
yang
menjadi
perbedaan
antara
penelitian ini dengan
penelitian yang saya
tulis adalah penelitian
ini lebih berfokus pada
peningkatan partisipasi
masyarakat
dalam
perumusan kebijakan
publik.
Penelitian
tersebut
dapat dijadikan dasar
awal untuk melakukan
penelitian
lanjutan.
Dalam penelitian yang
akan saya lakukan
berfokus pada konflik
20
Daerah
Kota
Surakarta tentang
Minuman
Beralkohol)
4
Raperda ini ditolak menjadi
Perda
setelah
melalui
pembahasan yang sangat panjang
atau lebih dari 3 tahun. Penelitian
ini berisi tentang bagaimana
proses perumusan kebijakan
Raperda Miras dari perumusan
masalah hingga pengambilan
keputusan (ditolak). Selain itu
juga dijelaskan mengenai aktoraktor yang terlibat dalam
perumusan kebijakan ini serta
berbagai alasannya melakukan
penolakan.
Dari
penelitian
tersebut diperoleh 3 hasil, yaitu
(1) Formulasi kebijakan yang
dilakukan belum melibatkan
semua
pihak,
sehingga
menimbulkan penolakan, (2)
Alasan penolakan Raperda ini
adalah karena substansi dari
Raperda yang menimbulkan
dinamika serta dasar hukum yang
masih lemah, (3) Aktor yang
menolak adalah DPRD selaku
pihak legislator.
Prasetyo, Budi. Penelitian ini mengkaji tentang
2012.
Kajian formulasi
kebijakan
yang
Teoretik Karakter partisipasif. Pada penelitian ini
Kebijakan Publik digambarkan bagaimana suatu
kebijakan publik dalam rangka
mengingkatkan partisipasi dalam
rangka meningkatkan kualitas
kebijakan publik. Penelitian ini
dilakukan
dalam
rangka
mengembangkan teori tentang
formulasi kebijakan melalui studi
literatur. Penlitian ini berisi
tentang beberapa pembahasan
terkait
formulasi
kebijakan
publik
yang
berkarakter.
Adapaun yang dibahas dalam
penelitian ini, antara lain:
 Dasar dan orientasi kebijakan
 Penataan Kelembagaan
 Dampak kebijakan
antar fraksi di DPRD
Kota Surakarta dalam
kasus
penolakan
Raperda Miras. Pada
penelitian
yang
dilakukan
Nanik
disebutkan mengenai
aktor-aktor
perumus
kebijakan yang mana
termasuk di dalamnya
DPRD Kota Surakarta
selaku pihak legislator
yang juga menolak
Raperda
Kota
Surakarta
tentang
Minuman Keras.
Relevansi penelitian ini
dengan penelitian yang
akan saya tulis adalah
penelitian sama-sama
mengkaji
tentang
proses
formulasi
kebijakan
publik.
Selain
itu
adanya
interaksi dari para
aktor dalam penelitian
ini dapat dijadikan
acuan
untuk
mengetahui peran aktor
dalam
perumusan
kebijakan publik secara
lebih
mendalam.
Sedangkan perbedaan
penelitian ini dengan
penelitian yang saya
tulis adalah, penelitian
21
5
Lovinasia, Tiara
Felida
dan
Ridwan,
Muhammad.
2010. Formulasi
Pembuatan
Peraturan
Daerah No. 14
Tahun
2011
Tentang
Pengawasan Dan
Pengendalian
Minuman
Beralkohol
Di
Kabupaten
Indragiri Hilir
 Responsibilitas kebijakan
 Orientasi
aktor
dalam
perumusan kebijakan
 Perspektif
interaksi
dan
kepentingan
dalam
perumusan kebijakan
Dari
penelitian
tersebut
diperoleh kesimpulan bahwa
kebijakan
berkarakter
merupakan salah satu upaya
menciptakan perubahan di dalam
masyarakat ke arah yang lebih
baik. Dan kebijakan berkarakter
menempatkan
kepentingan
masyarakat di atas segalanya
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui proses perumusan
(formulasi) Peraturan Daerah No.
14 Tahun 2011 Tentang
Pengawasan Dan Pengendalian
Minuman
Beralkohol
Di
Kabupaten
Indragiri
Hilir.
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode
kualitatif. Adapun yang menjadi
fokus penelitian ini adalah
tahapan formulasi kebijakan ini
dari mulai perumusan masalah
sampai pada ditetapkan menjadi
sebuah kebijakan yang legal dan
tertuang dalam bentuk Perda.
ini
berfokus
pada
pengembangan teori,
sedangkan penelitian
yang saya tulis lebih
berfokus pada praktik
perumusan kebijakan
publik.
Penelitian ini relevan
dengan penelitian yang
saya
tulis,
karena
memiliki kajian yang
sama yakni terkait
perumusan kebijakan
tentang
pengawasan
dan
pengendalian
Miras di suatu daerah.
Perbedaan
dengan
penelitian yang saya
tulis adalah penelitian
ini hanya menekankan
pada tahapan-tahapan
formulasi
kebijakan
karena memang pada
akhirnya kebijakan ini
tidak menuai berbagai
kontroversi baik dari
luar
maupun
dari
dalam pemerintahan.
Sedangkan penelitian
yang saya tulis lebih
berfokus pada konflik
yang terjadi dalam
perumusan kebijakan
publik, karena terjadi
hal yang unik yang
mana pada akhirnya
Raperda
Kota
Surakarta
tentang
22
6
Amiruddin,
Suwaib.
2012.
Kebijakan
Pemerintah
Daerah Dalam
Menertibkan
Peredaran
Minuman Keras
Di Kota Cilegon
Provinsi Banten
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana langkah
Pemerintah Daerah Kota Cilegon
dalam menertibkan peredaran
minuman keras. Selain itu,
penelitian ini juga berfokus pada
hambata yang dialami petugas
dalam
rangka
melakukan
penertiban minuman keras di
Kota Cilegon, meskipun telah
ada produk hukum yang
mengatur tentang penertiban
Minuman Keras di Kota
Cilegon,
yakni
Peraturan
Daerah No 5 Tahun 2001
Tentang
Pelanggaran
Kesusilaan, Minuman Keras,
Perjudian,
Penyalahgunaan
Narkotika, Psikotropika Dan Zat
Adiktif Lainnya. Metode yang
digunakan pada penelitian ini
adalah
metode
deskriptif
kualitatif
dengan
teknik
pengumpulan
data
melalui
wawancara, observasi, maupun
studi pustaka dari berbagai
literatur, buku dan sumbersumber yang terkait.
7
Santoso, Purwo
dan
Tri
Susdinarjanti.
2004.
Konflik
dalam
Perumusan
Kebijakan
Publik:
Potret
Persilangan
Kepentingan
dalam
Menata
Peradaban
Penelitian ini berupa studi yang
dilakukan
untuk
memotret
situasi yang berkembang dalam
proses perumusan kebijakan
public di Indonesia. Adanya
kepentingan yang beragam dari
berbagai
elemen
dalam
masyarakat serta kepentingan
Negara dipikirkan menjadi basis
bagi munculnya konflik dalam
perumusan kebijakan public.
Dalam
kerangka
pemetaan
konflik, studi ini mengacu pada
Miras ditolak menjadi
Perda.
Relevansi penelitian ini
dengan penelitian yang
saya buat adalah samasama
membahas
tentang kebijakan yang
berkaitan
dengan
pengendalian
dan
pengawasan minuman
keras di suatu daerah.
Sehingga
menjadi
dasar bahwa minuman
keras merupakan suatu
permasalahan
yang
harus ditangani oleh
pemerintah. Perbedaan
dengan penelitian yang
saya
tulis
adalah
penelitian ini lebih
berfokus
pada
implementasi
kebijakan
dengan
melihat
berbagai
hambatan-hambatan
dalam
pelaksanaan
peraturan
atau
kebijakan
ini.
Sedangkan
untuk
penelitian yang saya
tulis lebih berfokus
pada proses formulasi
(perumusan).
Relevansi penelitian ini
terhadap
penelitian
yang saya tulis adalah
fokus
pembahasan
pada konflik yang
terjadi
dalam
perumusan kebijakan
publik.
Perbedaan
dengan penelitian yang
saya tulis, penelitian ini
lebih menekankan pada
konflik
dalam
perumusan kebijakan
23
model pemetaan konflik Paul
Wehr, yaitu mengurai konflik
dengan menjelaskan bekerjanya
elemen – elemen konflik. Studi
ini juga membuktikan bahwa
dalam perumusan kebijakan
publik
juga
memunculkan
konflik antar aktor administratif,
seperti eksekutif dan legislatif
baik itu di pusat maupun di
daerah
yang
mana
telah
ditunjukkan dengan berbagai
fakta-fakta dan kasus yang telah
terjadi di Indoesia. Solusi yang
ditawarkan untuk mengatasi
masalah tersebut adalah melalui
otoritas negara dan partisipasi
masyarakat.
publik secara luas baik
secara obyek maupun
subyeknya. Sedangkan
penelitian yang saya
tulis lebih berfokus
pada konflik dalam
perumusan kebijakan
secara lebih rinci dan
cakupan yang sempit.
Penelitian yang saya lakukan ini berbeda dengan penelitian-penelitian
di atas. Di dalam tabel telah dijelaskan terkait perbedaan-perbedaan antara
penelitian saya dengan penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian terkait
proses perumusan (formulasi) kebijakan masih sangat sedikit. Sebagaimana
Subarsono (2005: 23) mengatakan bahwa salah satu analisis kebijakan yang
kurang mendapat perhatian selama ini tetapi bersifat krusial adalah
perumusan kebijakan atau sering disebut policy formulation. Penelitian ini
berbeda dengan penlitian-penelitian terdahulu karena pada dasarnya
penelitian ini berfokus pada konflik antar fraksi di DPRD Kota Surakarta
dalam kasus penolakan Raperda Kota Surakarta tentang Miras. Sehingga
penelitian yang dilakukan menjadi lebih spesifik dan mendalam.
24
2.2
Kebijakan Publik
2.2.1 Definisi Kebijakan Publik
Kebijakan publik terdiri dari dua kata yakni kebijakan dan publik.
Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa (dalam Wahab, 2005: 2)
“Kebijakan/ kebijaksanaan diartikan sebagai pedoman untuk bertindak.
Pedoman itu boleh jadi amat sederhana atau kompleks, bersifat umum
atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci,
bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat”.
“Kebijaksanaan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi
mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu
program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana” (United
Nations dalam Wahab, 2005: 2). Sedangkan kata publik sendiri mengandung
arti dan makna yang luas, yakni segala sesuatu yang bersifat umum atau
negara.
Definisi kebijakan publik yang paling terkenal dan sederhana
dikemukakan oleh Dye (dalam Indiahono, 2009: 17) kebijakan publik adalah
“whatever governments choose to do or not to do”. Kebijakan publik adalah
apapun kegiatan yang dilakukan atau tidak dilakukan pemerintah baik yang
eksplisit maupun implisit. Definisi tersebut mengandung makna yang sangat
luas karena segala sesuatu yang menjadi pilihan pemerintah untuk dilakukan
atau tidak dilakukan dapat dikatakan sebagai suatu kebijakan publik.
Pendapat Dye juga hanya menekankan pada tindakan pemerintah saja. Hal
tersebut bertentangan dengan istilah kebijakan yang dikemukakan oleh
Anderson (dalam Indiahono, 2009: 17) bahwa “kebijakan” atau“policy”
digunakan untuk menunjuk perilaku dari sejumlah aktor (misalnya seorang
25
pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau
serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Sehingga menurut
konsep kebijakan yang dikemukakan oleh Anderson tersebut mengandung
makna bahwa tidak hanya tindakan pemerintah saja yang dapat
dikategorikan sebagai suatu kebijakan publik. Karena pada dasarnya ada
aktor-aktor lain di luar pemerintah yang berada dalam suatu kebijakan
publik. Sebagaimana pendapat Robert Eyestone (dalam Winarno, 2012: 20)
mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik dapat didefinisikan
sebagai “hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya”.
Menurut Dawey (dalam Parsons, 2014: xi) mengatakan bahwa
kebijakan publik menitikberatkan pada publik dan problem-problemnya.
Sehingga kebijakan publik sendiri merupakan suatu konsep yang mengacu
pada kepentingan umum yang mana di dalamnya berfokus pada
permasalahan yang terjadi. Dari definisi tersebut menunjukkan bahwa
adanya berbagai permasalahan publik yang membutuhkan solusi tertentu.
Kebijakan publik sendiri dapat dijadikan sebagai salah satu alat untuk
memecahkan masalah. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh
Anderson (dalam Winarno, 2012: 21) bahwa kebijakan merupakan arah
tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau
sejumlah aktor dalam mengatasi masalah atau suatu persoalan. Senada
dengan Anderson, Carl Fiedrich (dalam Winarno, 2012: 21) memandang
bahwa:
26
“kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang
memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap
kebijakan yang diusulkan untuk menngunakan dan mengatasi dalam
rangka mencapai tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu
maksud tertentu. “
Menurut Anderson (dalam Winarno, 2012: 23-24) konsep kebijakan
publik ini kemudian mempunyai beberapa implikasi, yakni pertama, titik
perhatian kita dalam membicarakan kebijakan publik berorientasi pada
maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara serampangan. Kebijakan
publik secara luas dalam sistem politik modern bukan sesuatu yang terjadi
begitu saja melainkan direncanakan oleh aktor-aktor yang terlibat di dalam
sistem politik. Kedua, kebijakan merupakan arah atau pola tidakan yang
dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusankeputusan yang tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan
untuk menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga
keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanaannya. Ketiga, kebijakan
adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dalam mengatur
perdagangan, mengendalikan inflasi, atau mempromosikan perumahan
rakyat dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah. Keempat, kebijakan
publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif atau negatif. Secara positif,
kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk
mempengaruhi suatu masalah tertentu. Secara negatif, kebijakan mungkin
mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak
untuk mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai
suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah.
27
Dari beberapa definisi di atas maka kebijakan publik adalah segala
sesuatu yang dipilih oleh pemerintah dan aktor-aktor lainnya yang terlibat
untuk dilakukan atau tidak dilakukan dalam rangka memecahkan suatu
persoalan publik. Kebijakan publik bukanlah suatu perkara yang mudah
karena tidak menutup kemungkinan akan ditemui beberapa hambatan dalam
penyusunannya. Selain itu kebijakan publik juga dijadikan sebagai alat
pemerintah dalam rangka mencapai tujuan. Oleh karena itu kebijakan publik
sendiri dapat menjadi pilihan bagi pemerintah untuk melakukan atau tidak
melakukan keputusannya jika memang dirasakan tidak mampu mencapai
tujuan.
Dari definisi di atas maka Raperda Kota Surakarta tentang Minuman
Keras merupakan salah satu bentuk konkrit dari sebuah kebijakan publik.
Raperda Miras di Kota Surakarta merupakan salah satu bentuk kebijakan
publik di tingkat daerah (lokal).
2.2.2 Proses Kebijakan Publik
Carl Friedrich (dalam Winarno, 2012: 21) memandang bahwa:
“kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang,
kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertetu yang
memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap
kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam
rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau
suatu maksud tertentu.
Adanya kata yang menunjukkan arah tidakan menjelaskan bahwa kebijakan
publik merupakan suatu proses atau serangkaian kegiatan tertentu. Hal ini
senada dengan Richard Rose (dalam Winarno, 2012: 20) menyarankan
28
bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai “serangkaian kegiatan yang
sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi
mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri”.
Oleh karena itu sebuah kebijakan publik tidak hanya berfokus mengenai
hasil-hasil atau keputusan saja, namun juga memperhatikan kegiatankegiatan atau proses yang dilakukan dari awal hingga tercapai suatu hasil
atau keputusan tertentu. Sehingga dalam sebuah kebijakan publik dikenal
dengan adanya berbagai tahapan-tahapan tertentu yang harus dilalui sebelum
sesuatu dikatakan sebagai kebijakan publik.
Penyusunan tahapan-tahapan dalam sebuah proses kebijakan publik
pertama kali diperkenalkan oleh Laswell pada tahun 1965. Laswell (dalam
Fischer, dkk 2015: 61) mengemukakan tujuh tahap dalam model proses
kebijakan, yaitu kecerdasan, promosi, rumusan, seruan, penerapan,
penghentian, dan penilaian. Tahapan-tahapan ini telah mendapat berbagai
kritikan dikarenakan tahap penghentian yang mendahului tahap penilaian.
Namun demikian, model ini telah berhasil dijadikan sebagai kerangka dasar
bidang studi kebijakan dan merupakan titik awal dari berbagai tipologi
proses kebijakan. Model yang dikemukakan Laswell telah mendorong para
tokoh membuat variasi terkait model proses kebijakan. Dalam sebuah buku
karya Fischer, dkk (2015: 62) menyatakan bahwa
“versi yang dikembangkan oleh Brewer dan deLeon (1983), May dan
Wildavsky (1978), Anderson (1975) dan Jenkins (1978) adalah
diantara yang paling banyak digunakan. Saat ini, pembedaan antara
penyusunan agenda, perumusan kebijakan, pengambilan keputusan,
pelaksanaan dan evaluasi (akhirnya mendorong penghentian) telah
29
menjadi cara umum untuk menggambarkan kronologi proses
kebijakan”.
Tahapan-tahapan dalam kebijakan publik merupakan proses yang
sangat kompleks karena melibatkan berbagai variabel. Menurut Lindblom
(dalam Winarno, 2012: 35) tujuan dari dibuatnya pembagian tahapan dalam
proses kebijakan publik adalah untuk memudahkan kita di dalam mengkaji
kebijakan publik. Meskipun telah muncul berbagai kekecewaan dan kritikan
terkait model-model proses kebijakan publik, pendekatan tahapan (stagist)
atau siklus tetap menjadi basis untuk analisis proses kebijakan dan analisis
di dalam/ dan untuk proses kebijakan. Sehingga dalam menganalisa sebuah
kebijakan publik tentu sangat penting bagi kita untuk terlebih dahulu
mengkaji setiap tahapan dalam proses kebijakan publik.
Menurut Yeremias T. Keban (2004) dalam bukunya “Enam Dimensi
Strategis Administrasi Publik” bahwa tahap-tahap kebijakan merupakan
salah satu dari 4 prinsip kebijakan publik. Dunn (dalam Keban, 2004: 62)
mengemukakan bahwa
“dalam rangka memecahkan masalah ada beberapa tahap penting antara
lain, penetapan agenda kebijakan (agenda setting), formulasi kebijakan
(policy formulation), adopsi kebijakan (policy adoption), implementasi
kebijakan (policy implementation) dan penilaian kebijakan (policy
assesment)”.
Tahapan kebijakan publik juga dikemukakan oleh Shafritz dan Russell
dalam model “policymaking process” yang terdiri dari (1) agenda setting
dimana isu-isu kebijakan didentifikasi, (2) keputusan untuk melakukan atau
tidak melakukan kebijakan, (3) implementasi, (4) evaluasi program dan
30
analisis dampak; dan (5) feedback, yaitu memutuskan untuk merevisi atau
menghentikan. Proses ini menyerupai suatu siklus (Keban, 2004: 63).
Beberapa ahli menggambarkan bahwa kebijakan publik merupakan
sebuah siklus kehidupan yang terus berputar, sebagaimana gambar di bawah
ini:
Gambar 2.1
Siklus Hidup Kebijakan
Problem
Definisi Problem
Evaluasi
Identifikasi
Respons/ Solusi
Alternatif
Implementasi
Evaluasi Opsi
Seleksi Opsi Kebijakan
Sumber: Parsons (2014: 80)
Dari gambar di atas sangat jelas bahwa proses kebijakan merupakan sebuah
siklus yang terus berputar. Dimulai dari adanya suatu masalah yang
kemudian masalah tersebut didefinisikan atau didentifikasi. Hasil dari
identifikasi masalah tersebut adalah pengambilan tanggapan atau solusi
alternatif yang kemudian dilakukan penilaian terhadap opsi-opsi atau pilihan
yang telah dibuat. Setelah dilakukan pemilihan, opsi yang terpilih kemudian
diimplementasikan atau dijalankan untuk kemudian dievaluasi atau dinilai.
31
Siklus seperti ini akan terus berputar dan berulang seiring dengan
berjalannya waktu.
Selain model siklus, para ahli juga mengembangkan model linear
proses kebijakan publik. James E. Anderson, David W. Braddy, dan Charles
Bullock (1978) (dalam Nugroho, 2014: 112-113) mengembangkan model
“Policy Process as Linear Stages (Proses Kebijakan sebagai Tahapantahapan Linier) yang lebih maju”. Model ini dimulai dengan problem yang
memunculkan perhatian serius terhadap pejabat publik. Tahap pertama ini
adalah “tahap agenda kebijakan”. Tahap kedua adalah “tahap perumusan
kebijakan”, suatu perkembangan berhubungan dan pelaksanaan tindakan
yang dapat diterima ke arah masalah. Tahap ketiga adalah “adopsi
kebijakan”, mengembangkan dukungan bagi kebijakan yang dapat
dilegitimasi atau diautorisasi. Tahap keempat adalah “implementasi
kebijakan”, aplikasi kebijakan oleh mekanisme administrasi pemerintah
untuk menghadapi masalah. Tahap terakhir adalah “evaluasi kebijakan”
untuk menentukan apakah kebijakan efektif atau tidak; dan mengapa efektif
dan mengapa tidak. Pendapat Anderson. dkk tersebut kemudian diperkuat
dan dikembangkan oleh Thomas R. Dye dengan menambah satu tahapan
yakni tahap identifikasi masalah kebijakan sebelum tahap agenda kebijakan.
32
Gambar 2.2
Model proses kebijakan Thomas R. Dye
Identifikasi
masalah
kebijakan
Penetapan
Agenda
Perumusan
kebijakan
Legitimasi
kebijakan
Impleme
ntasi
kebijakan
evaluasi
kebijakan
Sumber: Nugroho (2014: 113)
Dari berbagai model yang telah dikemukakan para ahli sebelumnya
maka dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada tiga proses inti dalam sebuah
kebijakan yang saling berkaitan satu sama lain. Ketiga proses tersebut antara
lain, proses formulasi kebijakan, proses implementasi kebijakan dan proses
tampilan kebijakan. Selain itu, proses-proses tersebut juga akan berpengaruh
dan dipengaruhi terhadap lingkungan. Hal ini sebagaimana model proses
kebijakan sebagai sebuah pendekatan rantai nilai.
Gambar 2.3
Proses Kebijakan: Pendekatan Rantai Nilai
FORMULASI
KEBIJAKAN
IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN
LINGKUNGAN
Sumber: Nugroho (2014: 120)
TAMPILAN
KEBIJAKAN
33
2.3
Formulasi Kebijakan Publik
2.3.1 Pentingnya Formulasi Kebijakan Publik
Salah satu tahapan dalam proses kebijakan publik adalah formulasi
kebijakan atau lebih dikenal dengan perumusan kebijakan. Praktik yang
buruk administrasi publik dalam membuat rumusan kebijakan pernah
dikemukakan oleh Guy B. Peter yang mana merupakan salah seorang pakar
administrasi publik. Peter (dalam Nugroho, 2014: 140) menyatakan bahwa
berbagai rumusan kebijakan dilakukan dengan lemah, analogi dan intuisi.
Pernyataan Peter tersebut kemudian diperkuat dengan pengalaman Riant
Nugroho yang ditulis dalam bukunya “Kebijakan Publik di Negara-negara
Berkembang” yang menyatakan bahwa,
“Berdasarkan pada pengalaman saya dalam pembelajaran dan prktik
kebijakan publik selama dua belas tahun terakhir di negara asal saya
dan bebeapa negara di Asia Tenggara; saya mengetahui bahwa kritik
Peter sebenarnya benar dan terjadi; tetapi belum pernah terealisasi
sampai praktik mengarahkan bangsa ke krisis yang parah”.
Secara lebih lanjut dia juga mengemukakan bahwa perumusan kebijakan
adalah fase utama proses kebijakan publik.
Membuat
atau
merumuskan
suatu
kebijaksanaan,
apalagi
kebijaksanaan negara, bukanlah suatu proses yang sederhana dan mudah.
Hal ini disebabkan karena terdapat banyak faktor atau kekuatan-kekuatan
yang berpengaruh terhadap proses pembuatan kebijaksanaan negara tersebut.
Suatu kebijaksanaan negara dibuat bukan untuk kepentingan politis
(misalnya guna mempertahankan status quo pembuat keputusan) tetapi
34
justru untuk meningkatkan kesejahteraan hidup anggota masyarakat secara
keseluruhan (Islamy, 2009: 77).
Hal tersebut sebagaimana dituturkan oleh Charles Lindblom (dalam
Wahab, 2005: 16), bahwa pembuatan kebijaksanaan negara (Public Policymaking) itu pada hakikatnya merupakan,
“an extremely complex, analytical and political process to which there
is no beginning or end, end the boundaries of which are most uncertain.
somehow a...complex set of forces that we call policy-making all taken
together, produces effects called policies”
(merupakan proses politik yang amat kompleks dan analitis di mana
tidak mengenal saat dimulai dan diakhirinya, dan batas-batas dari
proses itu sesungguhnya yang paling tidak pasti. Serangkaian kekuatankekuatan yang agak kompleks yang kita sebut sebagai pembuatan
kebijaksanaan negara itulah yang kemudian membuahkan hasil yang
disebut kebijaksanaan).
Dari dua paragraf paparan sebelumnya terkait formulasi (perumusan)
kebijakan publik dapat disimpulkan bahwa perumusan kebijakan publik
merupakan salah satu tahapan dalam proses kebijakan publik yang tidak
sederhana, rumit dan kompleks. Sehingga dibutuhkan suatu perhatian
khusus dalam melakukan kajian terkait formulasi (perumusan) kebijakan
publik.
Selain merupakan proses yang rumit dan kompleks, formulasi
kebijakan publik juga merupakan salah satu tahapan awal dalam sebuah
proses kebijakan publik. Sebagaimana tahapan kebijakan publik yang
dikemukakan Ripley yang mana menempatkan formulasi kebijakan sebagai
awal dari proses kebijakan publik.
35
Gambar 2.4
Tahapan Kebijakan Publik- Ripley
Agenda Setting:
 Persepsi Masalah Publik
 Pendefinisian Masalah
 Mobilisasi dukungan untuk
masuknya isu/ masalah publik
menjadi agenda pemerintah
Formulasi dan Legitimasi Tujuan
dan Program
 Informasi dan Analisis
 Pembangunan alternatifalternatif
 Advokasi dan pembangunan
koalisi
 kompromi, negosiasi dan
keputusan
Agenda
Pemerintah
Proses Formulasi
Kebijakan
Statement
Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Tindakan Kebijakan
Evaluasi terhadap
implementasi kinerja dan
dampak kebijakan
Kinerja dan Dampak
Kebijakan
Keputusan tentang masa
depan Kebijakan
Sumber: Indiahono, 2009
36
Menurut Anderson (dalam Winarno, 2014: 96) perumusan kebijakan
menyangkut upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif
disepakati untuk masalah-masalah yang dikembangkan dan siapa yang
berpartisipasi. Sehingga perlu adanya perumusan kebijakan publik yang baik
oleh para perumus kebijakan. Formulasi kebijakan publik yang baik adalah
uraian atas kematangan pembaca realitas sekaligus alternatif solusi yang
fisibel terhadap realitas tersebut (Putra, 2003: 50). Pentingnya formulasi
kebijakan publik juga dikemukakan oleh Anderson (dalam Purwanto, 2005)
“bahwa perumusan kebijakan menyangkut upaya menjawab
pertanyaan bagaimana berbagai alternatif disepakati untuk masalahmasalah yang dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi. Ini
merupakan proses yang secara spesifik ditujukan untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan khusus. Sedangkan pembentukan kebijakan lebih
merujuk pada aspek-aspek seperti bagaimana masalah-masalah publik
menjadi perhatian para pembuat kebijakan, bagaimana proposal
kebijakan dirumuskan untuk masalah-masalah khusus, dan bagaimana
proposal tersebut dipilih di antara berbagai alternatif yang saling
berkompetisi. Pembuatan kebijakan merupakan keseluruhan tahap
dalam kebijakan publik yang berupa rangkaian keputusan”.
Pada tahap formulasi kebijakan, para analis mengidentifikasikan
kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah.
Untuk itu diperlukan suatu prosedur yang disebut “forecasting” dimana
konsekwensi
dari
masing-masing
kemungkinan
kebijakan
dapat
diungkapkan. Adopsi kebijakan merupakan tahap berikutnya, dimana
ditentukan pilihan kebijakan melalui dukungan para administrator dan
legislatif. Tahap ini ditentukan setelah melalui suatu proses rekomendasi
(Keban, 2004: 62). Senada dengan pendapat tersebut Amitai Etzioni (1968)
(dalam Wahab, 2005: 17), menjelaskan bahwa
37
“melalui proses pembuatan keputusanlah komitmen-komitmen
masyarakat yang acapkali masih kabur dan abstrak, sebagaimana
nampak dalam nilai-nilai dan tujuan-tujuan masyarakat, diterjemahkan
oleh para aktor (politik) ke dalam komitmen-komitmen yang lebih
spesifik menjadi tindakan-tindakan dan tujuan-tujuan yang konkrit”.
Perumusan kebijakan di sebuah negara dipengaruhi oleh sistem
kebijaksanaan negara tersebut. Menurut Prof. Bintoro Tjokroamidjojo, MA,.
dalam papernya menjelaskan bahwa sistem kebijakasanaan nasional kita
terdiri dari (1) infrastruktur politik yang terdiri dari partai politik (PPP dan
PDI), Golongan Karya (Golkar), kelompok-kelompok kepentingan (interest
groups), media massa dan warganegara; dan (2) suprastruktur politik; sesuai
dengan UUD’ 45 terdiri dari MPR, Presiden, DPR, MA, DPA dan
BAPEKA. Usulan-usulan kebijaksanaan negara bisa saja datang dari
infrastruktur politik maupun supra struktur politik atau kedua-duanya. Dan
kedua komponen ini secara bersama-sama merumuskan kebijaksanaan
negara (Islamy, 2009: 97)
Dari uraian di atas membuktikan bahwa begitu pentingnya sebuah
formulasi kebijakan publik dalam tahapan proses kebijakan publik.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa formulasi kebijakan publik
merupakan tahapan paling awal dalam sebuah kebijakan publik. Sehingga
menjadikan formulasi publik sebagai pondasi awal suatu kebijakan publik.
Selain itu proses formulasi kebijakan sendiri bukanlah sesuatu yang
sederhana dan mudah karena dipengaruhi oleh berbagai faktor. Oleh karena
itu menjadi penting bagi kita untuk mengkaji lebih dalam tentang formulasi
38
kebijakan, termasuk tahapan-tahapan dalam formulasi kebijakan publik yang
mana akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya.
2.3.2 Tahapan Formulasi Kebijakan Publik
Ada empat tahapan dalam formulasi kebijakan publik sebagaimana
dikemukakan Winarno (2014: 123-126), antara lain:
1. Tahap pertama : Perumusan Masalah (Defining Problem)
Mengenali dan merumuskan masalah merupakan langkah yang
paling
fudamental
dalam
perumusan
kebijakan.
Untuk
dapat
merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-masalah publik
harus dikenali dan didefinisikan dengan baik pula. Kebijakan publik
pada dasarnya dibuat untuk memecahkan masalah yang ada dalam
masyarakat. Oleh karena itu, seberapa besar kontribusi yang diberikan
oleh kebijakan publik dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam
masyarakat menjadi pertanyaan yang menarik dalam evaluasi kebijakan
publik. Namun demikian, apakah pemecahan masalah tersebut
memuaskan atau tidak bergantung pada ketepatan masalah-masalah
publik tersebut dirumuskan.
2. Tahap kedua : Agenda Kebijakan
Tidak semua masalah publik akan masuk ke dalam agenda
kebijakan. Masalah-masalah tersebut saling berkompetisi antara satu
dengan yang lain. Hanya masalah-masalah tertentu yang pada akhirnya
akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Suatu masalah untuk masuk ke
dalam kebijakan publik harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti
39
misalnya apakah masalah tersebut mempunyai dampak yang besar bagi
masyarakat dan membutuhkan penanganan yang harus segera dilakukan?
Masalah publik yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan akan
dibahas oleh para perumus kebijakan. Masalah-masalah tersebut dibahas
berdasarkan tingkat urgensinya untuk segera diselesaikan.
3. Tahap ketiga : Pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan
masalah
Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan
para perumus kebijakan sepakat untuk memasukkan masalah tersebut ke
dalam agenda kebijakan, maka langkah selanjutnya adalah membuat
pemecahan masalah. Di sini para perumus kebijakan akan berhadapan
dengan alternatif-alternatif pilihan kebijakan yang dapat diambil untuk
memecahkan masalah tersebut.
4. Tahap keempat : Tahap penetapan kebijakan
Setelah salah satu dari sekian alternatif
kebijakan diputuskan
diambil sebagai cara untuk memecahkan masalah kebijakan, maka tahap
paling akhir dalam pembentukan kebijakan adalah menetapkan
kebijakan yang dipilih tersebut sehingga mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat. Alternatif kebijakan yang diambil pada dasarnya
merupakan kompromi dari berbagai kelompok kepentingan yang terlibat
dalam pembentukan kebijakan tersebut. Penetapan kebijakan dapat
berbentuk berupa undang-undang, yurisprudensi, keputusan presiden,
keputusan-keputusan menteri dan lain sebagainya.
40
Selain tahapan yang dikemukakan di atas, Irfan Islamy (2009: 78-102)
dalam bukunya yang berjudul Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan
Negara menguraikan
terntang tahapan/
langkah-langkah perumusan
kebijaksanaan negara. Adapun langkah-langkah tersebut, antara lain:
1. Perumusan Masalah Kebijaksanaan Negara
Charles O. Jones (dalam Islamy, 2009: 78) pernah mengatakan,
“Events in society are intrepreted in different ways by different people at
different times. Many problems may result from the same event”.
(Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat diartikan secara
berbeda-beda oleh orang-orang yang berbeda pada waktu yang berbeda
pula. Banyak masalah-masalah yang timbul dari suatu peristiwa yang
sama). Jones dalam buku yang sama juga menyatakan bahwa, “the fact is
that one person’s problem may be another person’s profit. Problem
result
from
events
effecting
people
differently”.
(Kenyataan
menunjukkan bahwa sesuatu masalah bagi seseorang dapat menjadi
keuntungan bagi orang lain. Masalah-masalah yang timbul karena
adanya peristiwa-peristiwa dapat berpengaruh pada orang-orang secara
berbeda-beda).
Uraian di atas merupakan gambaran mengenai definisi masalah
dalam konteks secara umum. Sehingga untuk merumuskan masalah
kebijaksanaan negara perlu juga diketahui apa yang disebut masalah
dalam konteks kebijakan negara. James. E Anderson dengan mengutip
pendapat David G. Smith (dalam Islamy, 2009: 79) menyatakan,
41
“For policy purpose, a problem can be formally defined as
condition or situation that produces needs or dissatisfactions on
the part of people for which relief or redress is shought. This may
be done by those directly affected or by others acting on their
behalf”
(Untuk kepentingan kebijaksanaan, suatu masalah dapat diartikan
secara formal sebagai kondisi atau situasi yang menghasilkan
kebutuhan-kebutuhan atau ketidakpuasan-ketidakpuasan pada
rakyat untuk mana perlu dicari cara-cara penanggulangannya.
Hal ini dilakukan oleh mereka yang secara langsung terkena
akibat oleh masalah itu atau oleh orang lain yang punya tanggung
jawab untuk itu)
Selanjutnya Jones (dalam Islamy, 2009: 79) menyatakan bahwa
“masalah-masalah yang tersebut menjadi sebuah kebutuhan-kebutuhan
manusia yang harus diatasi atau dipecahkan”. Usaha untuk mengerti
dengan benar sifat dari masalah kebijaksanaan negara itu akan sangat
membantu
di
kebijaksanaannya.
dalam
menentukan
Sehingga
kesalahan
sifat
di
proses
dalam
perumusan
melihat
dan
mengidentifikasikan masalah akan berakibat salahnya perumusan
masalahnya. Dan ini akan berakibat panjang pada fase-fase berikutnya.
Kalau dipandang dari sudut pembuat keputusan, sebagaimana diuraikan
sebelumnya, ia harus mampu mengidentifikasikan dan merumuskan
masalah atau mendefinisikan masalah, karena hal itu adalah merupakan
kegiatan yang sangat penting dalam proses pembuatan keputusan.
Oleh karena itu, perumusan masalah merupakan sebuah tugas yang
tidak mudah bagi pembuat kebijakan. Dan keberhasilan atau kegagalan
dalam melakukan perumusan masalah ini akan berpengaruh pada proses
pembuatan kebijakan selanjutnya.
42
2. Penyusunan Agenda Pemerintah
Setelah dilakukan perumusan masalah kebijakan maka akan
muncul banyak sekali masalah-masalah. Namun demikian, tidak semua
masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah dan menjadi
sebuah kebijakan publik. Cobb dan Elder dalam Islamy (2009: 85)
mengartikan agenda pemerintah sebagai “that set of items explicitly up
for the active and serious consideration of authoritative decision
makers” (Serangkaian hal-hal yang secara tegas membutuhkan
pertimbangan-pertimbangan yang aktif dan serius dari pembuat
keputusan yang sah/ otoritatif).
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa tidak semua masalah dapat
masuk dalam agenda pemerintah. Anderson (dalam Islamy, 2009: 86-87)
menyebutkan beberapa faktor yang dapat menyebabkan masalah publik
masuk ke dalam agenda pemerintah antara lain:
a) Bila terdapat ancaman terhadap keseimbangan antar kelompok
(groups equilibrium), maka kelompok-kelompok tersebut akan
mengadakan reaksi dan menuntut tindakan pemerintah untuk
mengambil prakarsa guna mengatasi ketidakseimbangan tersebut.
b) Kepemimpinan politik dapat pula menjadi suatu faktor yang penting
dalam penyusunan agenda pemerintah.
c) Timbulnya krisis atau peristiwa yang luar biasa dapat pula
menyebabkan masalah tersebut masuk ke dalam agenda pemerintah.
d) Adanya gerakan-gerakan protes termasuk tindakan kekerasan.
43
e) Masalah khusus atau isu-isu politis yang timbul di masyarakat yang
menarik perhatian media komunikasi (massa).
3. Perumusan Usulan Kebijaksanaan Negara
Perumusan usulan kebijaksanaan adalah kegiatan menyusun dan
mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu untuk memcahkan
masalah.
Yang
termasuk
mengidentifikasikan
ke
alternatif;
dalam
kegiatan
mendefinisikan
dan
ini
adalah,
merumuskan
alternatif; menilai masing-masing alternatif yang tersedia; dan memilih
alternatif yang ‘memuaskan’ atau paling mungkin untuk dilaksanakan”.
4. Pengesahan Kebijaksanaan Negara
Proses pembuatan kebijaksanaan tidak dapat dipisahkan dengan
proses pengesahan kebijaksanaan. Kedua-duanya mempunyai hubungan
yang sangat erat sekali, sehingga tidak mungkin dipisahkan. Sebagai
suatu proses kolektif, pembuat keputusan/ kebijaksanaan akan berusaha
sekuat tenaga untuk memenangkan mayoritas dalam forum pengesahan
usulan kebijakan, sehingga pejabat atau badan pemberi pengesahan
setuju untuk mengadopsi usulan kebijaksanaan tersebut menjadi
kebijaksanaan
yang
sah.
Setiap
kebijaksanaan
yang
telah
di
sahkanberarti telah siap untuk dilaksanakan.
Di sisi lain, Nugroho (2014: 143) mengemukakan enam proses yang
paling didorong dalam perumusan kebijakan publik, yaitu: (1) identifikasi
isu kebijakan, (2) agenda kebijakan, (3) proposal kebijakan, (4) alternatif
kebijakan, (5) keputusan kebijakan, dan (6) legitimasi kebijakan. Nugroho
44
dalam bukunya juga menjelaskan bagaimana praktik perumusan kebijakan
publik di negara-negara berkembang. Pembuat keputusan di negara-negara
berkembang sering ragu-ragu untuk membuat keputusan karena penolakan
publik. Oleh karena itu, tekanan politik adalah pendekatan yang paling
efektif dalam proses pembuatan keputusan. Ketika terjadi penolakan publik
terjadi, maka ada 3 pilihan yang dapat dilakukan oleh para elit. Pertama,
adalah
menghentikan
proses
kebijakan.
Kedua,
mengubah
atau
memodifikasi kebijakan; kemudian mempromosikannya ke berbagai media
massa untuk mengakomodasi komunikasi antara masyarakat dan pembuat
kebijakan. Ketiga, memaksakan kebijakan secara otoriter (Nugroho, 2014:
198-199). Gambar dari model perumusan kebijakan Nugroho:
Gambar 2.5
Model Proses Pembuatan Kebijakan
Penerimaan
Kebijakan
Proposan
Kebijakan
Marketing
Kebijakan
Keputusan
Kebijakan
Dipaksa Secara
otoriter
Penolakan
Kebijakan
Dihentikan atau
ditunda
Mengubah,
memodifikasi
Re-marketing kebijakan
Sumber: Nugroho (2014: 200)
45
2.4
Analisis Formulasi Kebijakan Publik
Dalam arti yang luas, analisis kebijaksanaan adalah suatu bentuk riset
terapan yang dilakukan untuk memperoleh pengertian tentang masalahmasalah sosioteknis yang lebih dalam dan untuk menghasilkan pemecahanpemecahan
penyelidikan
yang
lebih
untuk
baik.
Analisis
mendapatkan
cara
kebijaksanaan
bertindak
mengadakan
yang
mungkin,
menghasilkan informasi dan menyusun fakta-fakta keuntungan dan akibatakibat lain yang akan mengikuti penerimaan dan pelaksanaannya, untuk
membantu pengambil kebijaksanaan memilih tindakan yang paling
menguntungkan (Moekijat, 1995: 5). Menurut Lasswell (dalam Dunn, 2003:
1) analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan
dalam proses pembuatan kebijakan. Winarno (2014: 34) juga mengatakan
bahwa dalam analisis kebijakan, kita dapat menganalisis pembentukan,
substansi dan dampak dari kebijakan-kebijakan tertentu.
Selanjutnya Dye (dalam Winarno, 2014: 34) mengatakan bahwa ada
tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dalam analisis kebijakan publik,
yakni pertama, fokus utamanya adalah mengenai penjelasan kebijakan
bukan mengenai anjuran kebijakan yang “pantas”. Kedua, sebab-sebab dan
konsekuensi-konsekuensi dari kebijakan-kebijakan publik diselidiki dengan
teliti dan dengan menggunakan metodologi ilmiah. Ketiga, analisis
dilakukan dalam rangka mengembangkan teori-teori umum yang dapat
diandalkan tentang kebijakan-kebijakan publik dan pembentukannya,
sehingga dapat diterapkan terhadap lembaga-lembaga dan bidang bidang
46
kebijakan yang berbeda. Dengan demikian, analisis kebijakan dapat bersifat
ilmiah dan relevan bagi masalah-masalah politik dan sosial sekarang ini.
Mengacu pada pendapat Lasswell sebelumnya mengenai definisi
analisis
kebijakan,
bahwa
analisis
kebijakan
merupakan
aktivitas
menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses kebijakan. Adanya kata
‘tentang dan dalam proses kebijakan’ menunjukkan bahwa analisis
kebijakan juga dapat dilakukan dalam salah satu tahap dalam proses
kebijakan, termasuk pada tahap perumusan (formulasi) kebijakan. Hal
tersebut sebagaimana dikemukakan Winarno (2014: 35) bahwa, pada tataran
tertentu analisis kebijakan publik sangat berguna dalam merumuskan
maupun mengimplementasikan kebijakan publik. Teori-teori dalam analisis
kebijakan publik pada akhirnya dapat digunakan untuk mengembangkan
kebijakan publik yang baik di masa yang akan datang. Hayes (dalam Dunn,
2003: 224) juga menambahkan bahwa, masalah yang rumit menuntut analis
untuk mengambil bagian aktif dalam mendefinisikan hakekat dari masalah
itu sendiri.
Menurut Moekijat (1995:5-6), analisis kebijaksanaan mengadakan
penyelidikan
untuk
mendapatkan
cara
bertindak
yang
mungkin,
menghasilkan informasi dan menyusun fakta-fakta keuntungan dari akibatakibat lain yang akan mengikuti penerimaan dan pelaksanaannya, untuk
membantu pengambil kebijaksanaan memilih tindakan yang paling
menguntungkan. Selain itu beliau juga menambahkan bahwa tujuan analisis
demikian adalah untukmembantu para pengambil kebijaksanaan publik
47
memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Secara lebih jelas
analisis kebijakan juga dipaparkan oleh E. S. Quade (1975), mantan kepala
departemen matematika di perusahaan Rand. Analisis kebijakan adalah:
“Suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi
sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan dari para pembuat
kebijakan dalam membuat keputusan... Dalam analisis kebijakan, kata
analisis digunakan dalam pengertian yang paling umum; termasuk
penggunaan intuisi dan pengungkapan pendapat dan mencakup tidak
hanya pengujian kebijakan dengan memilah-milahkannya ke dalam
sejumlah komponen-komponen tetapi juga perancangan dan sintesis
alternatif-alternatif baru. Kegiatan-kegiatan yang tercakup dapat
direntangkan mulai penelitian untuk menjelaskan atau memberikan
pandangan-pandangan terhadap isu-isu atau masalah-masalah yang
terantisipasi sampai mengevaluasi suatu program yang lengkap.
Beberapa analisis kebijakan bersifat informal, meliputi tidak lebih dari
proses berfikir yang keras dan cermat, sementara lainnya memerlukan
pengumpulan data yang ekstensif dan perhitungan yang teliti dengan
menggunakan proses matematis yang canggih”. (Dunn, 2003: 95-96)
Dari paparan panjang yang telah dijelaskan sebelumnya terkait analisis
kebijakan, maka dapat disimpulkan bahwa analisis merupakan suatu tahapan
dan proses yang mengacu pada pemilihan alternatif atau teori yang paling
tepat digunakan untuk melakukan pemecahan masalah. Selain itu, analisis
kebijakan sendiri juga dapat digunakan untuk menganalisis proses kebijakan
publik tak terkecuali pada tahapan/ proses formulasi atau perumusan
kebijakan publik yang mana merupakan salah satu tahap dalam proses
kebijakan yang sangat penting dan fundamental sehingga dibutuhkan suatu
analisis tersendiri.
Pada dasarnya telah banyak pakar dan ahli yang menjelaskan tentang
tahapan formulasi (perumusan) kebijakan publik. Oleh karena itu,
dibutuhkan suatu analisis atau pemilihan teori manakah yang relevan
48
digunakan untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian ini. Hal ini
karena tidak semua teori dapat sesuai dengan permasalahan yang ada serta
proses formulasi kebijakan merupakan salah satu proses dalam kebijakan
publik yang sangat penting. Sebelumnya telah dijelaskan tahapan-tahapan
dalam formulasi kebijakan menurut pakar, antara lain:
1. Winarno ((2014: 123-126), mengemukakan tahapan dalam formulasi
kebijakan yang meliputi, perumusan Masalah (Defining Problem),
agenda Kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan
masalah, dan tahap penetapan kebijakan.
2. Islamy (2009: 78-102), mengatakan bahwa tahapan formulasi kebijakan
publik, antara lain perumusan masalah Kebijaksanaan Negara,
penyusunan agenda pemerintah, perumusan usulan Kebijaksanaan
Negara, dan pengesahan Kebijaksanaan Negara.
3. Nugroho (2014: 143), enam proses yang paling didorong dalam
perumusan kebijakan publik, antara lain identifikasi isu kebijakan,
agenda kebijakan, proposal kebijakan, alternatif kebijakan, keputusan
kebijakan dan legitimasi kebijakan.
Dari ketiga model tahapan yang dikemukakan di atas menunjukkan
bahwa adanya kesamaan antara model Winarno dan Islamy yang lebih
mudah dan cakupannya luas. Sedangkan model yang dikemukakan oleh
Nugroho terlihat lebih panjang dan rumit. Permasalahan Raperda Miras
yang diangkat dalam penelitian ini merupakan salah satu masalah yang luas
49
dan kompleks. Sehingga sangat cocok jika dianalisis melalui model tahapan
formulasi kebijakan yang dikemukakan oleh Winarno.
Teori formulasi yang dikemukakan oleh Budi Winarno dan digunakan
pada penelitian ini tidak diterapkan sebagaimana teori ini diterapkan pada
kasus-kasus pada umumnya. Pada penelitian ini peneliti berusaha
menyederhanakan teori formulasi dari Budi Winarno dalam menganalisis
proses perumusan Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras. Proses
formulasi Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras pada penelitian
ini tidak akan dianalisis secara mendetail dari mulai perumusan masalah
yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Penelitian ini hanya berusaha
menganalisis bagaimana proses formulasi kebijakan Raperda Kota Surakarta
tentang Minuman Keras yang terjadi di tataran legislatif yaitu terkait
pembahasan draft Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras yang
dilakukan oleh DPRD Kota Surakarta dan berfokus pada konflik antar fraksi
di DPRD Kota Surakarta.
Penerapan teori formulasi kebijakan publik pada umumnya menjadi
sebuah pengecualian ketika diterapkan pada penelitian ini. Hal tersebut
karena sifat Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras yang berupa
Raperda insiatif dari pemerintah kota Surakarta. Sehingga pembahasan yang
dilakukan lebih banyak terjadi di tingkat legislatif. Oleh karena itu,
penelitian ini melihat proses formulasi kebijakan Raperda Kota Surakarta
tentang Minuman Keras yang terjadi di DPRD berupa pembahasan draft
50
Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras dengan menggunakan teori
formulasi kebijakan publik dari Budi Winarno.
2.5
Konflik
2.5.2 Definisi Konflik dan Resolusi Konflik
Menurut Hendricks (2004: 1) konflik adalah sesuatu yang tak
terhindarkan. Konflik melekat erat dalam jalinan kehidupan. Umat manusia
selalu berjuang dengan konflik. Perang yang telah terjadi pada abad-abad
yang lampau menyisakan pengaruh, dan dalam dunia bisnis sulit
dibayangkan suatu hari tanpa konflik dan stres. Sementara itu, Daniel
Webster (dalam Pickering, 2001: 1) mendefinisikan konflik sebagai, (1)
persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama
lain; (2) keadaan atau perilaku yang bertentangan (misalnya: pertentangan
pendapat, kepentingan, atau pertentangan antar individu); (3) perselisihan
akibat kebutuhan, dorongan, keinginan atau tuntutan yang bertentangan; (4)
perseteruan.
Konflik sendiri terbagi menjadi beberapa jenis. Stoner dan Freeman
(1989) dalam sebuah artikel karya Eny Purwanti yang berjudul Dinamika
Konflik Dalam Formulasi Kebijakan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2009-2014 Di Kabupaten Magetan,
membagi konflik menjadi 6 (enam) macam, yaitu: Konflik dalam diri
individu (conflict within the individual), Konflik antar-individu (conflict
among individuals), Konflik antara individu dan kelompok (conflict among
individuals and groups), Konflik antar kelompok dalam organisasi yang
51
sama (conflict among groups in the same organization), Konflik antar
organisasi (conflict among organizations), Konflik antar individu dalam
organisasi
yang berbeda (conflict among
individuals
in
different
organizations).
Sementara itu secara lebih rinci, konflik menurut Adam Ibrahim
Andrawijaya (1986)
adalah
bentuk
organisasi baik antara seseorang
seseorang
dengan
kelompok,
pertikaian
yangterjadi
dalam
dengan orang yang lain, antara
antara
kelompok
dengan
kelompok,
maupun antara kelompok dengan organisasi atau mungkin pula antara
perseorangan
dengan organisasi secara menyeluruh. Dia juga membagi
konflik menjadi tiga bentuk, antara lain:
1. Konflik dalam kelompok, terjadi antara dua atau lebih anggota
kelompok
yang mencakup kelompok dalam arti umum atau satu
kesatuan unit organisasi.
2. Konflik antar organisasi, banyak sekali terjadi tergantung pada
lingkungan sekitar. Dapat dipengaruhi politik, ekonomi dan social
budaya mempengaruhi kehidupan organisasi atau perbedaan fasilitas
antara pegawai yang setingkat dibeberapa instansi.
3. Konflik antar kelompok, terjadi antar kelompok yang satu dengan
kelompok yang lain, yang sering terjadi dalam organisasi.
Selain bentuk-bentuk konflik, konflik sendiri terjadi melalui beberapa
tahapan. Hendricks (2004: 6) menjelaskan bahwa ada tiga tahapan terjadinya
52
konflik. Diagram di bawah ini menggambarkan tiga tahapan konflik yang
berbeda:
Gambar 2.6
Tiga Tahapan Konflik
Tahap satu (Peristiwa Sehari-hari)
Tahap dua (Tantangan)
Tahap tiga (Pertentangan)
Sumber: Hendricks (2004: 7)
Konflik tahap satu terjadi terus-menerus dan biasanya memerlukan
sedikit perhatian. Selanjutnya konflik tahap dua ditandai dengan sikap
kalah-menang. Sedangkan konflik tahap tiga bertujuan mengubah keinginan
untuk menang menjadi keinginan untuk mencederai. Konflik pada tahap satu
tidak begitu mengancam dan paling mudah untuk dikelola. Bila konflik
mengalami esklasi ke tahap dua dan tiga, konflik menjadi lebih sulit untuk
dikelola, dan potensinya meningkat menjadi berbahaya. Konflik bergerak
antartahapan, tapi tidak selalu mengikuti pola-pola linier.
Identifikasi jenis dan tahapan konflik sangat penting dilakukan untuk
mencari solusi penanganan konflik. Dengan mengetahui jenis dan tahapan
konflik maka akan memudahkan dalam melakukan manajemen konflik.
Menurut Hendricks (2004: 8) bahwa konflik dan intensitas konflik
menentukan strategi yang akan anda gunakan untuk meredamnya. Selain itu
tiga tahap konflik membutuhkan strategi manajemen yang berbeda.
53
Resolusi konflik atau juga dikenal dengan manajemen konflik
merupakan cara-cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik. Menurut
Pickering (2001: 40-46) mengatakan ada 5 macam gaya manajemen konflik.
Berikut adalah gambar diagram dan penjelasan terkait 5 gaya manajemen
konflik,
Gambar 2.7
Gaya Manajemen Konflik
Tinggi
Peduli Orang Lain
Mengikuti
Kemauan Orang
lain
Kolaborasi
Kompromi
Menghindari
Mendominasi
Tinggi
Rendah
Mementingkan Diri Sendiri
Sumber: Pickering (2001: 40)
Dari gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kolaborasi (kerja sama)
Gaya menangani konflik sama-sama menang. Gaya ini erat kaitannya
dengan metode memecahkan persoalan dan paling efektif untuk
persoalan yang kompleks. Gaya ini tepat digunakan bila orang dan
54
masalah jelas terpisah satu dari yang lain, dan biasanya tidak efektif bila
pihak yang bertikai memang ingin berkonflik.
2. Mengikuti kemauan orang lain
Gaya ini menilai orang lain lebih tinggi dan memberikan nilai rendah
pada diri sendiri barangkali mencerminkan rasa rendah diri orang
tersebut. Gaya ini berusaha menyembunyikan sejauh mungkin perbedaan
yang ada antara pihak-pihak terlibat dan mencari titik-titik persamaan.
3.
Mendominasi
Gaya ini menekankan kepentingan diri sendiri. Gaya mendominasi bisa
efektif bila ada perbedaan besar dalam tingkay pengetahuan yang
dimiliki.
4. Menghindari
Gaya ini tidak memberikan nilai yang tinggi pada dirinya atau orang
lain. Aspek negatif dari gaya ini adalah melemparkan masalah pada
orang lain atau mengesampingkan masalah.
5. Kompromi
Gaya ini digambarkan terletak di tengah-tengah diagram. Gaya ini
berorientasi jalan tengah, karena setiap orang punya sesuatu untuk
ditawarkan dan sesuatu untuk diterima. Gaya kompromi paling efektif
bila persoalan yang dihadapi kompleks atau bila kekuasaan berimbang.
2.5.2 Konflik dalam Proses Formulasi Kebijakan Publik
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa konflik merupakan sesuatu yang
pasti terjadi dan tidak dapat dihindari. Salah satu hal yang tidak lepas dari
55
konflik adalah dalam proses formulasi (perumusan) kebijakan publik. Hal
ini sebagaimana dikemukakan Wahab (2005: 36) bahwa isu kebijakan
(policy issues) lazimnya muncul karena telah terjadi silang pendapat di
antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh,
atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan itu sendiri.
Konflik yang terjadi dalam sebuah proses perumusan kebijakan publik
berkaitan erat dengan aktor-aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan
tersebut. Menurut Winarno (2014: 126) aktor-aktor atau pemeran serta
dalam proses pembentukan kebijakan dapat dibagi ke dalam dua kelompok,
yakni para pemeran serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi. Yang
termasuk pemeran serta resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi),
presiden (eksekutif), legislatif dan yudikatif. Sedangkan yang termasuk
dalam kelompok pemeran serta tidak resmi meliputi, kelompok-kelompok
kepentingan, partai politik, dan warga negara individu.
Membahas konflik dalam sebuah proses perumusan kebijakan publik
maka tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang mempengaruhi. Menurut
Anderson (dalam Winarno, 2014: 137), salah satu nilai yang berpengaruh
dalam pembuatan keputusan adalah nilai politik. Pembuat keputusan
mungkin menilai alternatif kebijakan berdasarkan pada kepentingan partai
politiknya. Keputusan yang dibuat didasarkan pada keuntungan politik
sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan partai politik dan kelompokkelompok kepentingan. Dalam model sistem yang dikemukakan Easton juga
56
menempatkan sistem politik sebagai hal yang penting dalam perumusan
kebijakan.
Gambar 2.8
PERMINTAAN
SISTEM
DUKUNGAN
KEPUTUSAN
POLITIK
OUTPUT
INPUT
Model sistem dari Easton
Sumber: Nugroho (2014: 161)
Dari penjelasan di atas maka jelas bahwa konflik dalam perumusan
kebijakan publik pasti akan terjadi di antara para aktor-aktor perumus
kebijakan. Selain itu, nilai politik yang ada merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan terjadinya konflik. Sehingga untuk menyelesaikan
konflik tersebut diperlukan suatu resolusi dan manajemen konflik.
Sebagaimana yang dikemukakan Dye (dalam Nugroho, 2014: 143) bahwa
proses pembuatan kebijakan kadang-kadang menjadi proses manajemen
konflik di antara ide-ide yang bertentangan, kebutuhan, dan kepentingan
beberapa pihak. Rumusan dasar keputusan kebijakan adalah tentang
kompromi.
57
2.5.3 Proses Politik dalam Formulasi Kebijakan Publik
Sebelumnya telah dijelaskan mengenai proses formulasi kebijakan
publik, konflik yang terjadi di dalamnya serta nilai politik yang turut
mempengaruhi perumusan kebijakan publik. Nilai politik sendiri sangat erat
kaitannya dengan proses pembuatan kebijakan publik, terutama di negaranegara berkembang, termasuk Indonesia. Hal tersebut sebagaimana
dikemukakan oleh Riant Nugroho (2014: 187), bahwa:
“Saya mengalami lebih dari 10 tahun berhadapan dengan proses
pembuatan kebijakan Indonesia dan saya menemukan bahwa pembuat
kebijakan kadang-kadang sangat suka dengan agenda kebijakan bukan
hanya dengan penetapan agenda yang diciptakan oleh media, tetapi juga
semua pemain politik, seperti: pemerintah dan parlemen yang mewakili
negara, kelompok tekanan (sebagian besar perluasan dari kelompok
kepentingan, politik, ekonomi, budaya dan agama).....”
Dari pernyataan tersebut maka dapat menjadi gambaran bahwa tidak
hanya penetapan agenda yang menarik dalam sebuah perumusan kebijakan
publik, namun juga pemain politik di dalamnya. Selain itu, Riant Nugroho
(2014: 197) juga menegaskan tentang kuatnya pengaruh politik dalam sebuah
perumusan kebijakan publik dengan pernyataan sebagai berikut:
“Di negara berkembang biasanya ada 3 masalah dalam proses
keputusan kebijakan. Model pertamaadalah ketika pemerintah berasal
dari partai politik tertentu dan partai oposisi mendominasi parlemen.
Dalam model ini, kebijakan yang dipromosikan oleh eksekutif
cenderung ditolak oleh parlemen. Hal ini membuat proses kebijakan
menjadi deadlock. Model kedua adalah ketikaeksekutif dan parlemen
didominasi oleh partai politik yang sama. Oposisi cenderung keras
kepala melawan proposal kebijakan apapun. Mereka akan menolak
kepuusan kebijakan apapun yang diambil. Model ketiga adalah ketika
otoritas yang ada di-legitimasi oleh publik. Ketiga kesulitan tersebut
menyebabkan masalah yang sama: penolakan kebijakan.”
58
Poltik dalam sebuah perumusan kebijakan publik juga diperhitungkan
sebagai salah satu kapasitas seseorang dalam membuat sebuah keputusan.
Hal ini menurut Riant Nugroho disebut sebagai “Tiga Lensa Pengetahuan
dan Bukti”, yang mana terdiri dari tiga dimensi penilaian: poliyik,
profesional dan ilmiah. Pengetahuan akan politik menjadi hal yang paling
utama dimiliki oleh seorang perumusan kebijakan. Hal tersebut sebagaimana
digambarkan Riant Nugroho, sebagai berikut:
Gambar 2.9
Tiga Lensa Pengetahuan dan Bukti
PENILAIAN
Pengetahuan
Politik
Pengetahuan
Implementasi
Praktis
Pengetahuan
Ilmiah
PRAKTIK
PENELITIAN
Sumber: Nugroho (2014: 202)
Dari gambar di atas maka sangat jelas bahwa pengetahuan politik
memegang peranan penting dalam sebuah perumusan kebijakan publik jika
dibandingkan dengan pengetahuan ilmiah dan implementasi. Hal ini
dikarenakan pengetahuan politik akan mampu mengembangkan strategi atau
59
taktik, menentukan prioritas, mengusahakan persuasi dan advokasi,
mengomunikasikan pesan pokok dan putaran ideologi, membangun koalisi
dukungan, menegosiasikan perdagangan dan kompromi. Oleh karena itu
dalam perumusan kebijakan publik muncul berbagai bentuk proses politik,
seperti negosiasi, lobi, kompromi dan bergaining.
Secara lebih jelas, proses politik tersebut adalah sebagai berikut:
1. Lobi
Pengertian lobi menurut AB Susanto dalam (Nazhifah, dkk, 2013:
4) adalah :
“Melobi pada dasarnya merupakan usaha yang dilaksanakan untuk
mempengaruhi pihak-pihak yang menjadi sasaran agar terbentuk
sudut pandang positif terhadap topik pelobi, dengan demikian
diharapkan memberikan dampak positif bagi pencapaian tujuan ....
Kegiatan melobi bisa jadi sama pentingnya dengan pengembangan
kompetensi profesional”
Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
“Melobi ialah melakukan pendekatan secara tidak resmi,
sedangkan pelobian adalah bentuk partisipasi politik yang
mencakup usaha individu atau kelompok untuk menghubungi para
pejabat pemerintah atau pimpinan politik dengan tujuan
mempengaruhi keputusan atau masalah yang dapat menguntungkan
sejumlah orang.”
Dari dua definisi lobi di atas maka dapat disimpulkan bahwa lobi
merupakan salah satu proses politik yang berupa bentuk komunikasi
tidak resmi dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
2. Negosiasi
Selain Lobi, salah satu proses politik dalam perumusan (formulasi)
kebijakan publik adalah Negosiasi. Negosiasi menurut Suyud Margono
60
adalah “Proses konsensus yang digunakan para pihak untuk memperoleh
kesepakatan di antara mereka.” Selain itu, menurut H. Priyatna
Abdurrasyid (dalam Nazhifah, dkk, 2013: 6) negosiasi adalah “Suatu
cara di mana individu berkomunikasi satu sama lain mengatur hubungan
mereka dalam bisnis dan kehidupan sehari-harinya” atau “Proses yang
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kita ketika ada pihak lain
yang menguasai apa yang kita inginkan”.
Selain itu negosiasi juga dapat dimaknai sebagai suatu cara yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih, pihak-pihak yang mengalami
perbedaan kepentingan untuk kemudian mempertemukan penawaran dan
permintaan dari masih-masing pihak dalam rangka mencapai suatu
kesepakatan bersama. Dalam negosiasi tidak akan pernah tercapai
kesepakatan kalau sejak awal masing-masing atau salah satu pihak tidak
memiliki niat untuk mencapai kesepakatan. Kesepakatan harus dibangun
dari keinginan atau niat dari kedua belah pihak, sehingga kita tidak
bertepuk sebelah tangan.
Dalam Negosiasi sendiri juga dikenal berbagai pendekatan atau
orientasi, antara lain:
a. Berorientasi pada bargaining, merupakan sebuah bentuk negosiasi
yang menggunakan pendekatan yang digunakan oleh para komunikator
yang kompetitif.
61
b. Orientasi kalah-kalah, yang dalam prosesnya pihak-pihak yang
bernegosiasi mengabaikan kemungkinan menjadi pemenang sehingga
dalam pendekatan ini pihak-pihak yang bernegosiasi jadi pecundang.
c. Negosiasi dalam bentuk kompromi, yakni pengambilan pilihan yang
didasari oleh pertimbangan dari pada berada dalam posisi “kalah menang” atau “mengandung risiko kalah menang” maka jalan tengah
yang dipilih adalah kompromi.
d. Negosiasi yang berorientasi menang-menang yang disebut juga
pendekatan kolaboratif. Asumsinya, pemecahan dapat dicapai dan
memuaskan kebutuhan semua pihak yang terlibat didalamnya.
Kuncinya terletak pada bagaimana menemukan solusi “menangmenang” yang membuat masing-masing pihak tidak merasa dirugikan.
Dari dua bentuk proses politik yang telah dijelaskan di atas, maka pada
dasarnya proses lobi dan negosiasi merupakan hal yang sama, yakni samasama sebagai bentuk aktivitas komunikasi antara dua pihak atau lebih yang
mengalami perbendaan pendapat, kepentingan, maupun tujuan dalam rangka
mencapai suatu kesepakatan bersama. Perbedaan antara lobi dan negosiasi
mungkin dapat dilihat dari bentuknya saja. Lobi lebih mengarah pada suatu
aktivitas nonformal atau tidak resmi, sedangkan negosiasi dapat dikatakan
sebagai sebuah aktivitas yang resmi atau formal.
Negosiasi sendiri terdiri dari berbagai pendekatan, yang mana
diantaranya adalah kompromi dan bargaining. Sehingga kompromi dan
62
bargaining sendiri tidak dapat dipisahkan sebagai bentuk proses politik yang
penting.
2.6
Definisi Minuman Keras
Menurut BPOM RI (2014) minuman beralkohol atau yang sering
disebut dengan minuman keras adalah minuman yang mengandung etil
alkohol atau etanol (C2H5OH) yang diproses dari bahan hasil pertanian
yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau
fermentasi tanpa destilasi. Dari definisi ini terlihat jelas bahwa jenis alkohol
yang diizinkan dalam minuman beralkohol adalah Etanol. Etanol dapat
dikonsumsi karena diperoleh atau diproses dari bahan hasil pertanian
melalui fermentasi gula menjadi etanol yang merupakan salah satu reaksi
organik. Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian No.71/MInd/ PER/7/2012 tentang Pengendalian dan Pengawasan Industri Minuman
Beralkohol, batas maksimum etanol yang diizinkan adalah 55%.
Berdasarkan Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik Indonesia
Nomor: 86/Men.Kes/ Per/ IV/ 77 tentang Minuman Keras, setidaknya ada 3
golongan minuman keras jika dilihat dari kadar alkoholnya, yaitu:
a.
Minuman keras golongan A dalah minuman keras dengan kadar
etanol (C2HsOH) 10% (satu persen) sampai dengan 5% (lima
persen).
63
b.
Minuman keras golongan B adalah minuman keras dengan kadar
etanol (C2H5OH) lebih dari 5% (lima persen) sampai dengan
20% (duapuluh persen).
c.
Minuman keras golongan C adalah minuman keras dengan kadar
etanol (C2HsOH) lebih dari 20%
(duapuluh
persen) sampai
dengan 55% (limapuluh lima persen).
Meskipun minuman beralkohol dapat dikonsumsi pada situasi-situasi
tertentu, penyalahgunaan miras dan penggunaan miras yang berlebihan
tentunya akan berdampak negatif. Pada saat ini mayoritas pemakai minuman
keras adalah remaja. Hal tersebut sebagaimana yang dikatakan Waluya
dalam sebuah artikel karya Agung, eJournal Sosiatri (2015: 61) bahwa,
“Pada saat sekarang banyak remaja yang mengatakan bahwa dengan
minum-minuman keras kepercayaan diri mereka bertambah dari
yang pemalu menjadi pemberani, mereka beranggapan bahwa
semua masalah dapat teratasi dengan minum minuman keras,
minuman keras dapat memperbanyak teman. Mengkonsumsi
minuman keras adalah salah satu bentuk perilaku yang dianggap
menyimpangan. Perilaku menyimpang yang terjadi di kalangan remaja
tidak akan begitu saja muncul apabila tidak ada faktor penarik atau
faktor pendorong. Faktor penarik berada di luar diri seseorang,
sedangkan faktor pendorong berasal dari dalam diri ataau keluarga
yang memungkinkan seseorang untuk melakukan penyimpangan
tersebut”.
Senada
dengan
faktor-faktor
yang
mengakibatkan
perilaku
menyimpang dalam hal penyalahgunaan minuman keras di kalangan remaja
dalam jurnal yang sama, Musni Umar mengatakan,
“terdapat sejumlah alasan pengguna miras cenderung meningkat yakni,
pertama, alasan bersifat sepele untuk menghangatkan badan. Kedua,
pelarian dari masalah yang dihadapi. Ketiga, terpengaruh dari
lingkungan pergaulan. Keempat, menyontoh orang lain. Kelima,
menjaga relasiatau pergaulan dengan teman atau lingkungan.
64
"Faktor-faktor tersebut menyebabkan miras terus bertambah yang
meminumnya”.
Pengguna minuman keras tentunya tidak hanya berdampak buruk bagi
dirinya sendiri. Pengguna minuman keras biasanya akan mengalami
perubahan perilaku yang mengarah pada tindakan-tindakan kriminal dan
sudah
tentu
membahayakan
orang
lain
dan
lingkungan.Menurut
Dirjosisworo (1984: 111), mengkonsumsi minuman beralkohol yang
berlebihan sangat besar pengaruhnya terhadap sikap dan tindakan pelaku
yang mengarah kepada deviasi, seperti kebut-kebutan di jalan raya yang
dapat mengganggu lalu lintas, membuat keributan dan kekacauan,dan
mengganggu
ketenangan
masyarakat
lainnya.
Agung
(2015)
juga
menambahkan dalam penelitian yang dilakukannya tentang Perilaku Sosial
Pengguna Minuman Keras Di Kelurahan Sungai Dama Kota Samarinda
yang menghasilkan beberapa hal terkait berbagai bentuk perilaku pengguna
minuman keras, antara lain:
1) Pencurian
Berdasarkan hasil penelitian bahwa salah satu perilaku anti sosial
yang
dilakukan oleh pengguna minuman keras adalah melakukan
pencirian. Pencurian ini tidakdiharapkan kehadirannyadalamkehidupan
masyarakat dan
tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
Mereka mencuri karena dilandasi oleh beberapa alasan yaitu adanya
perasaan yang membosankan dan jenuh tanpa adanya aktivitas yang
berarti, hanya sekedar untuk iseng/mencari kesenangan, dan tidak
adanya uang.
65
2) Free sex
Seks bebas ini terjadi karena seseorang tidak mampu lagi untuk menahan
hasrat seksual yang dimilikinya, dan dilandasi oleh perasaan sukasama suka dari masing-masing pasangan.
3) Pemalakan
Pemalakan sendiri merupakan salah satu bentuk perilaku yang
dianggap menyimpang yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial
yang keberadaannya tidak bisa diterima dalam kehidupan masyarakat,
karena perilaku ini dapat merugikan bagi orang lain baik nyawa maupun
materi.
4) Tawuran/ Perkelahian
Saat ini tawuran merupakan salah satu bentuk perilaku menyimpang
yang sudah tidak bisa di toleran lagi karena kerap menimbulkan
kerugian bagi orang lain, bahkan juga bisa berakibat pada hilangnya
nyawa seseorang.
Dampak di atas hanya sebagian kecil dari dampak yang diakibatkan
dari penyalahgunaan minuman keras. Selain dampak di atas masih banyak
lagi dampak-dampak negatif lain yang berkaitan dengan kesehatan, mental
serta kejiwaan pemakainya. Sehingga permasalahan tentang minuman keras
telah menjadi perhatian khusus bagi semua pihak baik dalam sekala lokal
maupun nasional.
Minuman keras di Indonesia sangatlah beragam dan mempunyai kadar
alkohol yang berbeda-beda. Di Indonesia dikenal dengan minuman keras
66
dalam negeri dan minuman keras yang berasal dari luar negeri (impor).
Minuman beralkohol yang berasal dari produksi dalam negeri hanya dapat
diproduksi oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin usaha industri yang
diterbitkan oleh Menteri Perindustrian sedangkan minuman beralkohol
impor hanya dapat diimpor oleh pelaku usaha yang telah memiliki perizinan
impor yang diterbitkan oleh Menteri Perdagangan (BPOM RI, 2014).
Minuman keras yang berasal dari dalam negeri biasanya berupa miras
tradisional, seperti ciu, cukrik, tuak, lapen, ballo, arak bali, dll. Sedangkan
miras yang berasal dari luar negeri (impor) yang mana biasa kita kenal,
seperti bir, wisky, vodka, brendy, dll.
Sebagaimana diuraikan di atas mengenai kebijakan publik dan
minuman keras dari mulai jenis sampai dampak yang ditimbulkannya
menunjukkan begitu pentingnya minuman keras untuk dipandang sebagai
sebuah permasalahan publik yang harus diperhatikan oleh pemerintah untuk
segera dicari solusinya melalui sebuah kebijakan publik. Hal ini dikarenakan
dampak penyalahgunaan minuman keras yang sangat kompleks dan
merugikan berbagai pihak.
2.7
Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Surakarta tentang
Minuman Keras diajukan diajukan atas inisiatif Pemerintah Kota Surakarta.
Raperda Kota Surakarta tentang Minuman Keras telah diajukan kepada
DPRD Kota Surakarta selaku legislatif melalui draft “Rancangan Peraturan
67
Daerah Kota Surakarta Tentang Pelarangan, Pengawasan dan Pegendalian,
Peredaran dan Penjualan Minuman Keras pada tahun 2010. Hal ini
dimaksudkan untuk mengatur peredaran minuman keras di Surakarta yang
semakin mengkhawatirkan. Bahaya akan minuman keras juga menjadi dasar
diajukannya Raperda ini, karena mengingat berbagai potensi yang dimiliki
kota Surakarta baik berupa sumber daya manusia, wisata maupun budaya.
Draft tersebut berisi tentang pokok-pokok peraturan yang terdiri dari
16 bab dan 51 pasal. Adapun isinya antara lain, Ketentuan Umum, Asas dan
Tujuan, Klasifikasi, Jenis dan Standart Mutu, Peredaran, Label dan
Penjualan Minuman Keras, Perizinan, Tempat Penyimpanan, Larangan,
Pengawasan dan Pelaporan, Penertiban, Peran serta Masyarakat, Retribusi,
Sanksi Administratif, Ketentuan Pidana, Ketentuan penyidikan, Ketentuan
peralihan dan Ketentuan Penutup (Draft Raperda Kota Surakarta tentang
Minuman Keras).
Setelah melalui pembahasan yang panjang sekitar 3 tahun lebih di
DPRD Kota Surakarta. Pada akhirnya melalui Surat Keputusan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surakarta Nomor 5 Tahun 2014
tentang Penolakan Rancangan Peraturan Daerah tentang Minuman
Beralkohohol, maka Raperda ini batal untuk menjadi Perda atas dasar
mayoritas suara fraksi di DPRD Kota Surakarta.
68
2.8
Kerangka Berfikir
Untuk memudahkan penulisan penelitian ini maka dibuatlah sebuah
kerangka berfikir. Kerangka berfikir merupakan suatu gambaran yang
menjelaskan tentang proses atau tahapan dalam suatu penelitian. Sehingga
kerangka berfikir mampu menjelaskan jalannya penelitian ini dan secara
tidak langsung mampu memberikan gambaran awal tentang prediksi atau
hasil yang ingin dicapai dalam penelitian ini.
Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka yang telah dijelaskan
sebelumnya, maka penelitian ini diawali dari berbagai permasalahan terkait
minuman keras, baik berupa bahaya dan peredarannya khususnya di Kota
Surakarta. Atas dasar tersebut maka Pemerintah Kota Surakarta mengambil
inisiatif untuk mengajukan draft Rancangan Peraturan Daerah Kota
Surakarta tentang Minuman Keras kepada DPRD Kota Surakarta selaku
pihak legislatif untuk melakukan pembahasan. Di legislatif tersebut tentunya
terjadi proses formulasi (perumusan) kebijakan yang meliputi beberapa
proses, diantaranya perumusan masalah, agenda kebijakan, tahap penetapan
kebijakan dan pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah.
Proses tersebut melibatkan aktor-aktor terkait, diantaranya adalah fraksifraksi partai politik.
Pembahasan Raperda yang cukup lama tentunya akan menghasilkan
berbagai dinamika, termasuk konflik antar aktor yang mana dalam hal ini
adalah fraksi-fraksi di DPRD Kota Surakarta. Dalam rangka meminimalisir
terjadinya konflik antar fraksi maka dilakukanlah proses-proses politik.
69
Setelah dilakukan berbagai proses politik di dalam perumusan Raperda ini,
maka konflik yang terjadi tentunya membutuhkan suatu resolusi atau
manajemen konflik. Sampai pada akhirnya terjadi penolakan Raperda
tersebut untuk menjadi Perda melalui Surat Keputusan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surakarta Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Penolakan Rancangan Peraturan Daerah tentang Minuman Beralkohohol.
70
Gambar 2. 10
Kerangka Berfikir
Permasalahan Minuman
Keras di Kota Surakarta
Pengajuan Draft Raperda Miras atas Inisiatif
Pemerintah Kota Surakarta (Eksekutif) kepada DPRD
Kota Surakarta (Legislatif)
Dinamika dalam perumusan
Kebijakan
1. Konflik antar fraksi di
DPRD Kota Surakarta
2. Bentuk konflik yang
terjadi
3. Sebab-sebab terjadinya
konflik
4. Proses politik dalam
meminimalisir konflik
Pembahasan Draft Raperda Kota Surakarta
tentang Miras oleh DPRD Kota Surakarta
(Legislatif), meliputi:
1. Perumusan Masalah
2. Agenda Kebijakan
3. Pemilihan
alternatif
kebijakan
untuk
memecahkan masalah
4. Penetapan Kebijakan
Resolusi Konflik berupa Penolakan Raperda melalui Surat
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota
Surakarta Nomor 5 Tahun 2014 tentang Penolakan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Minuman
Beralkohohol
Download