Output file - BPPBAP-Maros - Kementerian Kelautan dan Perikanan

advertisement
985
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
MEKANISME INFEKSI BAKTERI Vibrio harveyi TERHADAP
GAMBARAN HISTOLOGI UDANG WINDU
Koko Kurniawan dan Endang Susianingsih
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau
Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian rute infeksi bakteri Vibrio harveyi pada benih udang windu secara histologi.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh infeksi bakteri V. harveyi dengan kode 275 yang diisolasi
dari pertambakan di kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan terhadap kerusakan jaringan udang windu. Metode
infeksi bakteri dilakukan dengan cara perendaman. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan dua perlakuan perbedaan konsentrasi (perlakuan A: konsentrasi 104 CFU/mL, perlakuan B:
konsentrasi 105 CFU/mL) yang masing masing diulang sebanyak tiga kali. Hewan uji yang digunakan adalah
udang windu PL 15 dengan kepadatan 20 ekor setiap toples yang masing masing diisi air laut steril salinitas
28 ppt sebanyak 2 L. Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah gambaran histologi udang windu yang
diamati pada jam ke 1, 3, 9, 12, 24, 48, dan 96 setelah infeksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerusakan
organ terjadi pertama kali pada sistem pencernaan, terutama bagian usus, lalu pada bagian hepatopankreas
dan menyebar ke bagian sel otot. Pada jam ke-9 infeksi, kerusakan tidak hanya terjadi pada sistem pencernaan
tetapi juga pada lapisan eksoskeleton yang merupakan pelindung fisik. Perubahan histologi yang terjadi
pada usus berupa rusaknya vili usus, pada hepatopankreas berupa infiltrasi sel radang pada sel hepatosit
hingga terjadi nekrosis dan pada otot terjadi infiltrasi dan berkumpulnya sel radang hingga terbentuk area
nekrosis.
KATA KUNCI: mekanisme infeksi, V. harveyi, histologi, udang windu
PENDAHULUAN
Meningkatnya budidaya udang penaid di berbagai belahan dunia pada dua dekade terakhir diiringi
dengan meningkatnya kejadian serangan penyakit bakterial. Salah satu penyakit bakterial yang
menyebabkan kematian pada fase larva dan post larva udang penaid adalah vibriosis. Vibriosis
merupakan penyakit yang disebabkan salah satu atau beberapa strain bakteri vibrio patogen seperti
V. alginolyticus, V. damsela, V. parahaemolyticus, V. vulnicus, V. penaecida (Lightner, 1992; Anderson et al.,
1988; Song et al., 1993; Lee et al., 1996). Diantara beberapa strain patogen bakteri vibrio tersebut, V.
harveyi yang paling sering menimbulkan kematian masal. Kematian larva udang yang disebabkan
keberadaan V. harveyi pada udang penaied telah dilaporkan terjadi di beberapa negara di kawasan
Asia Tenggara yaitu Thailand (Jiravanichpaisal et al., 1994) dan India (Karusangar et al., 1994)
Bakteri Vibrio harveyi secara umum ada di lingkungan sebagai bakteri saprofit, terutama di
lingkungan perairan laut. Beberapa strain V. harveyi mampu berkembang dari sifat saprofitik menjadi
patogen dan beberapa merupakan patogen murni dan mampu menjadi penyebab tunggal penyakit
(Saulnier et al., 2000). Perbedaan tingkat virulensi V. harveyi ditentukan oleh faktor genetik setiap
strain. Pada beberapa kasus, aktivitas fage berperan besar meningkatkan patogenitas strain bakteri
vibrio.
Udang dilindungi dengan sistem imun berupa barrier fisik yang kuat (berupa lapisan eksoskleton)
selanjutnya berupa pertahanan seluler dan humoral berupa hemolim (Jiravanichpaisal, 2006). Ketika
barier fisik rusak oleh agen infeksius, sistem immun seluler dan humoral bertanggung jawab untuk
menghilangkan agen infeksius (Van de Braak et al., 2002). Jika gagal, agen infeksius akan menyerang
organ-organ di dalam tubuh udang seperti hepatopnkreas dan limpa (Van de Braak et al., 2002).
Meskipun udang memiliki eksoskleton yang kuat namun ada beberapa organ yang tidak terlindungi
dengan baik. Insang adalah organ yang hanya dilapisi eksoskleton yang tipis (Taylor & Taylor, 1992)
Mekanisme infeksi bakteri Vibrio harveyi ..... (Koko Kurniawan)
986
sehingga rentan untuk dimulai jalur infeksi dari insang. Saluran pencernaan adalah organ dalam
namun tidak memliki perlindungan yang baik terhadap lingkungan. Struktur anatomis usus udang
tidak memiliki lempeng peyer yang mampu berfungsi sebagai pertahanan pertama dari antigen.
Sedangkan saluran pencernan selalu berhubungan langsung dengan lingkungan melalui air, makanan
dan sedimen yang tidak jarang membawa bakteri vibrio patogen. (Jayabalan et al., 1982).
Perubahan makroskopis infeksi V. harveyi pada udang penaid berupa kelemahan umum, anoreksia,
berenang ke pinggir kolam dan warna tubuh kemerahan. Gejala tersebut akan diikuti dengan geripis
di bagian ekor dan kaki renang, karapas udang akan kosong (Jayasree et al., 2006) serta pada saat
malam hari udang akan terlihat bercahaya (Robertson et al., 1998). Pada penelitian yang lain Lightner
(1996) menyebutkan bahwa perubahan dari infeksi V. harveyi biasanya berupa lesi kutikular, infeksi
pada bagian mulut dan saluran pencernaan hingga septikemi.
Perubahan histologi infeksi Vibrio alginolyticus pada udang air tawar Paratelphusa hydrodromus
menyebabkan kerusakan lamela insang berupa pembentukan bulbous yang besar dan kebengkakan
lamela insang. Di organ hepatopankreas menyebabkan nekrosis dan pembesaran jarak antar sel
hepatosit. Sedangkan di organ usus, mampu menyebabkan keradangan di lapisan submukosa, dan
ulcer hemoragi di lapisan mukosa dan submukosa (Victor et al., 2013).
Mengingat pentingnya pengetahuan mengenai infeksi bakteri V. harveyi sebagai salah satu agen
penyebab vibriosis pada udang terutama terhadap kerusakan jaringan yang ditimbulkannya maka
penelitian mengenai mekanisme infeksi bakteri tersebut secara histologi perlu dilakukan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di laboratorium basah, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air
Payau (BPPBAP) Maros. Menggunakan udang windu PL15 dengan kepadatan 20 ekor yang dipelihara
dalam stoples volume 2 L salinitas 28 ppt. Air laut yang digunakan terlebih dahulu disterilkan
menggunakan kaporit 150 ppm dan dinetralkan dengan Natrium thiosulfat 75 ppm. Udang uji yang
digunakan terlebih dahulu dilakukan pengecekan bebas infeksi bakteri Vibrio sp. dan WSSV.
Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua perlakuan yaitu
perlakuan A perendaman dengan konsentrasi V. harveyi 104 CFU/mL dan perlakuan B perendaman
dengan konsentrasi V. harveyi 105 CFU/mL setiap perlakuan dilakukan tiga ulangan. Selama pemeliharaan
udang diberi makan 10% dari bobot badan/ hari. Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah
kerusakan jaringan yang terjadi pada udang windu akibat serangan bakteri V. harveyi pada jam ke-1,
3, 9, 12, 24, 48, dan 96 jam setelah infeksi. Koleksi sampel dilakukan pada udang yang menunjukkan
gejala stres menggunakan larutan fiksatif (larutan davidson) untuk kemudian dibuat preparat histologi.
Untuk memastikan kematian benur udang disebabkan keberadaan bakteri V. harveyi, genom
diisolasi dari beberapa benur menggunakan metode Phenol-chloroform yang dkembangkan Parenrengi
et al. (2000)selanjutnya genom akan diamplifikasi dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR)
menggunakan penanda spesifik IAVh sebagai penanda keberadaan bakteri V. harveyi yang dikembangkan
Kadriah (2012). Proses PCR diawali dengan mencampur 10X Dream Taq Buffer (mengandung 20 mM
MgCl2) 5µL, dNTP Mix 5 µL dan Dream Taq DNA Polymerase 0,25 µL. Kemudian ditambahkan primer
IAVh forward dan reverse masing masing 1 µL (Kadriah, 2012) serta ddH2O sampai volume 49 µl.
Larutan dihomogenkan dan ditambahkan 1 µL templat DNA. Program PCR untuk haemolysin diatur
sebanyak 25 siklus pada suhu denaturasi 940C selama 1 menit, annealing 630C, selama 1 menit 30
detik dan elongasi 680C seama 1 menit 30 detik diakhiri dengan tahap ekstra elongasi 720C selama
10 menit. Proses PCR dilakukan dua kali.
Gambaran histologi udang uji yang diinfeksi V. harveyi akan dibandingkan dengan gambaran
histologi udang normal berdasarkan literatur untuk melihat kerusakan jaringan yang terjadi akibat
infeksi bakteri tersebut pada udang uji. Analisa sampel akan dilakukan secara deskriptif.
HASIL DAN BAHASAN
Hasil infeksi V. harveyi terhadap kerusakan jaringan udang uji pada jam-jam pengamatan diuraikan
sebagai berikut:
987
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
Pengamatan Jam ke-1
Hasil pengamatan perubahan histologi udang uji akibat infeksi V.harveyii pada jam ke-1 dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Perubahan histologi otot udang pada perlakuan A dan perlakuan B
Pada pengamatan jam ke-1 belum ditemukan adanya perubahan jaringan otot udang uji akibat
infeksi V. harveyii. Jaringan otot masih normal, dan tidak ditemukan adanya daerah yang mengalami
nekrosis. Gambaran otot udang yang normal tidak terdapat infiltrasi sel radang dan terjadinya nekrosis
pada otot.
Pengamatan Jam ke- 3
Pada jam ke 3 infeksi mulai terjadi kerusakan vili usus pada perlakuan A dan B (tanda panah
warna hitam) dan terlihat kumpulan sel radang di lapisan kutikula (tanda panah warna merah). Usus
udang terdiri dari lapisan mukosa dan lapisan submukosa. Lapisan mukosa terdiri dari sel berbentuk
kolumnar komplek dan lapisan submukosa terdiri dari jaringan otot polos. Lapisan vili usus yang
rusak merupakan tanda dari perlekatan antigen.
Gambar 2. Perubahan histologi pada usus dan otot udang pada perlakuan A dan
perubahan histologi usus udang pada perlakuan B
Pengamatan Jam ke - 9
Perubahan histologi perlakuan A pada jam ke-9 infeksi berupa peradangan di sepanjang lapisan
mukosa usus (tanda panah warna hitam) dan nekrosis pada beberapa titik di jaringan otot (tanda
panah merah) yang berbatasan dengan jaringan konektifus. Perlakuan B tampak lapisan epithel udang
penuh dengan sel radang (SR) dan terjadi nekrosis (N). Infeksi V. alginolyticus dapat menyebabkan
perubahan berupa inflamasi yang parah pada area submukosa dan perubahan hemoragik ulserasi
pada daerah mukosa dan submukosa (Victor et al., 2013)
Mekanisme infeksi bakteri Vibrio harveyi ..... (Koko Kurniawan)
988
Gambar 3. Perubahan histologi usus udang uji pada perlakuan A dan perubahan
histologi lapisan kutikula dan otot udang uji pada perlakuan B
Pengamatan Jam Ke 12 – 24
Perubahan jaringan yang terjadi akibat infeksi V. harveyii pada pengamatan jam ke 12 – 24 dapat
dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Perubahan histologi hepatopankreas udang uji pada perlakuan A dan
perubahan histolog jaringan otot pada perlakuan B
Perubahan histologi perlakuan A pada jam ke 24 infeksi berupa hipertrofi sel hepatopankreas
(tanda panah warna hitam) dan nekrosis multifokal (tanda panah warna merah). Tubulus
hepatopankreas terlihat terisi dengan cairan eosinophilik (tanda panah warna putih). Area nekrosis
dan kumpulan bakteri (tanda panah warna merah) terlihat pada gambaran histologi kaki. Kumpulan
bakteri terlihat dengan warna lebih basofilik dibanding daerah yang lain. Infiltrasi sel hemocyt nampak
pada muskulus (tanda panah warna hitam). Infeksi V. alginolyticus menyebabkan perubahan histologi
pada hepatopankreas berupa semakin besarnya jarak antar tubulus hepatosit dan kumpulan hemosit
pada sel hepatosit (Victor et al., 2013)
Pengamatan Jam ke 48-96 jam
Perubahan jaringan yang terjadi akibat infeksi V. harveyii pada jam ke 48-96 jam dapat dilihat
pada Gambar 5.
Perubahan histologi 48 jam setelah infeksi perlakuan A berupa area yang kosong merupakan sisa
daerah nekrosis (tanda panah merah). Terjadi perubahan hipertrofi sel pada sel hepar (tanda panah
hitam). Sel hepatopankreas telah rusak dan terlepas dari membran basalis. Perubahan jam ke -96
infeksi pada perlakuan B berupa sel radang menyebar ke seluruh jaringan otot (tanda panah putih).
989
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
Gambar 5. Perubahan histologi hepatopankreas udang uji pada perlakuan A dan
histologi otot perlakuan B
Histologi Hepatopankreas Udang Normal
Gambaran histologi hepatopankreas udang windu normal yang dilaporkan Nazaruddin dkk. (2014)
menyatakan bahwa lumen tubulus dan tubulus distal tidak mengalami perubahan.
Gambar 6. Gambaran histologi hepatopankreas udang windu normal (A : lumen
tubulus, B: tubulus distal; HE, 400x) (Nazaruddin dkk., 2014)
Gambaran histologi otot udang vannamei SPF normal yang dilaporkan Permana et al. (2010)
menyatakan bahwa tidak terdapat area nekrotik.
Kepadatan bakteri vibrio yang digunakan untuk uji tantang sebesar 104 CFU/ mL dan 105 CFU/ mL
lebih tinggi dari kepadatan bakteri vibrio di kolom tambak yang menyebabkan kematian (1,41 x 10 3
CFU/ mL). Kepadatan bakteri tersebut mendekati kepadatan bakteri vibrio di sedimen tambak, yang
mampu mencapai 3,98 x 10 5 CFU/mL. Udang penaeid akan lebih banyak hidup di dasar tambak,
sehingga akan terpapar dengan kepadatan bakteri yang lebih tinggi jika dibandingkan di kolom
tambak.
De Lapena et al. (1995) melaporkan bahwa infeksi organ paling awal pada udang oleh genus
vibrio spp. terjadi pada lambung dan lambung merupakan organ perbanyakan bakeri. Selanjutnya
bakteri akan menyebar keorgan lain seperti hepatopankreas, limfa usus dan otot melalui aliran
haemolim. Akses langsung hepatopankreas ke lambung berupa lower cardiac grove dan ductus
hepatopankreatik primer yang membuat vibrio semakin cepat menyebar. Bakteri akan membentuk
koloni di saluran pencernaan selanjutnya menyebabkan atropi dan nekrosis pada jaringan
Mekanisme infeksi bakteri Vibrio harveyi ..... (Koko Kurniawan)
990
Gambar 7. Gambaran histologi otot abdomen udang vanamei normal (Permana et al.,
2010)
hepatopankreas. Hepatopankreas sebagai organ awal yang rusak karena infeksi bakteri vibrio nampak
pada penelitian ini. Nekrosis koagulasi terjadi pada tiga titik pada perlakuan D. Setelah jam ke-8
infeksi, bakteri akan dihilangkan dari organ udang keculi pada haemolim (De la pena et al., 1995)
namun setelah 12 jam bakteri akan multiplikasi ulang pada organ organ vital dan melepaskannya ke
hemolim. Hal itu yang menyebabkan kerusakan organ udang semakin parah di atas jam ke-12 infeksi.
Berdasarkan hasil pegamatan histologi pada jam yang sama antara dua perlakuan, indikasi
kerusakan organ yang terjadi pada perlakuan B meliputi area yang lebih luas dibandingkan perlakuan
A. Indikasi ini berupa munculnya sel radang dan kerusakan jaringan berupa area nekrosis. Kerusakan
organ pertama kali pada sistem pencernaan, terutama bagian usus, lalu pada bagian hepatopankreas
dan menyebar ke bagian sel otot. Semakin lama udang terpapar dengan bakteri, maka kejadian
radang semakin banyak. Tidak hanya di organ dalam, namun radang juga terjadi pada lapisan
eksoskeleton (karapas). Berkumpulnya sel radang pada lapisan eksoskeleton terjadi pada perlakuan
B pengamatan 9 jam. Berkumpulnya sel radang pada suatu jaringan merupakan respon terhadap
antigen yang masuk (Van de Braak et al., 2002). Jaringan yang mengalami kelukaan akan menjadi
stressor fisik sebagai penyebab utama perkembangan infeksi vibrio (Ruangpan & Kitao, 1991) selain
itu, eksoskleton yang mengalami nekrosis tidak memiliki perlindungan fisik kuat terhadap masuknya
antigen. Sehingga setelah jam ke-9 jalur infeksi infeksi tidak hanya berasal dari saluran pencernaan,
namun juga dari lapisan eksoskeleton yang telah rusak.
Untuk memastikan bahwa kerusakan jaringan yang terjadi pada udang uji disebabkan karena
infeksi bakteri V. harveyi maka juga dilakukan analisa PCR terhadap benur yang diinfeksi bakteri
tersebut.
Gen Primer spesifik IAVh adalah primer yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan gen
haemolysin pada bakteri V. harveyi. Hasil deteksi keberadaan bakteri patogen menggunakan primer
spesifik IAVH disajikan pada Gambar 8. Hasil positif (sampel yang menunjukkan keberadaan gen
haemolysin) akan menunjukkan band pada ukuran 150 bp
Hasil pemeriksaan PCR benur menunjukkan keberadaan bakteri vibrio patogen pada benur, sehingga
perubahan histologi dapat diyakinkan karena bakteri V. harveyi
991
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
Gambar 8. Hasil PCR kedua dengan menggunakan primer IAVh. Lajur 1 adalah perlakuan
A pengamatan jam ke-1. Lajur 2 adalah perlakuan B pada pengamatan jam
ke-2. Lajur 3 adalah perlakuan A pengamatan jam ke-3. Lajur 4 adalah
perlakuanB pengamatan jam ke-3. Lajur 5 adalahperlakuan A pengamatan
jam ke-9. Lajur 6 adalah perlakuan B pengamatan jam ke-9. Lajur 7 adalah
perlakuan A pengamatan jam ke-12. Lajur 8 adalah perlakuan B pengamatan
jam ke-12. Lajur ke-9 adalah kontrol positif
KESIMPULAN
Berdasarkan pengamatan histologi benur yang diinfeksi pada setiap waktu pengamatan, kerusakan
organ pada perlakuan B (perendaman dengan konsentrasi V.harveyi 105 CFU/mL ) lebih luas dibandingkan
dengan kerusakan organ pada perlakuan A (perendaman dengan konsentrasi V.harveyi 104 CFU/mL).
Kerusakan organ terjadi pertama kali pada sistem pencernaan, terutama bagian usus, lalu pada bagian
hepatopankreas dan menyebar ke bagian sel otot. Setelah jam ke-9 infeksi tidak hanya terjadi pada
saluran pencernaan, namun juga dari lapisan eksoskleton yang telah rusak. Perubahan histologi
yang terjadi pada usus berupa rusaknya vili usus, pada hepatopankreas berupa infiltrasi sel radang
pada sel hepatosit hingga terjadi nekrosis. pada otot terjadi infiltrasi dan berkumpulnya sel radang
hingga terbentunya nekrosis.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dibiayai oleh APBN Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan
Perikanan,(Balitbang KP), Kementerian Kelautan dan Perikanan. Terucap terima kasih kepada rekan
peneliti dan teknisi litkayasa kelompok peneliti Kesehatan Ikan dan Lingkungan BPPBAP Maros yang
telah membantu pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR ACUAN
Anderson, I.G., Shamsudin, M.N., Shariff, M., Nash, G. 1988. Bacterial septicemia in juvenile tiger
shrimp, Penaeus monodon, cultured in Malaysian brackishwater ponds. Asian Fish. Sci. 2 _1., 93–
108
De la Pena, L.D.,Nakai, T., Muroga, K. 1995. Dynamic of vibrio sp. PJ in organof orally infected kuruma
prawn, Penaeus japonicus. Fish Pathol. 30, 39-45
Permana, G.N., Haryanti., Rustidja. 2010. Perubahan histologi, protein hemolimp dan ekspresi allozyme
(GPI, PGM, EST, dan SP) pada udang L. Vannamei selama infeksi taura syndrome virus. Prosiding
FITA. 473-483
Jayasree, L., Janakiram, P and Madhavi, R. 2006. Characterization of Vibrio spp. Associated with Diseased
Shrimp from Culture Ponds of Andhra Pradesh (India). Journal of the World Aquaculture Society,
Volume 37 Issue 4 Page 523.
Jiravanichpaisal, P., Luel Lee, B., and Soderhall, K. 2006. Review Cell-mediated Immunity in
Hematopoiesis, Coagulation, Melanizaton and Opsonization. Immunobiology, 211, 213-236.
Jiravanichpaisal, P., Miyazaki, T., Limsuwan, C. 1994. Histopathology, biochemistry, and pathogenicity
of Vibrio harveyi infecting black tiger prawn Penaeus monodon. J. Aquat. Anim. Health 6 -1., 27–35.
Kadriah, I.A.K. 2012. Pengembangan metode deteksi cepat vibrio berpendar patogenik pada udang
penaid. Disertasi. Institut Pertanian Bogor
Karunasagar, I., Pai, R., Malathi, G.R., Karunasagar, I. 1994. Mass mortality of Penaeus monodon larvae
due to antibiotic resistant Vibrio harveyi infection. Aquaculture 128, 203–209.
Mekanisme infeksi bakteri Vibrio harveyi ..... (Koko Kurniawan)
992
Lee, K.K., Yu, S.R., Chen, F.R., Yang, T.I., Liu, P.C. 1996. Virulence of Vibrio alginolyticus isolated from
diseased tiger prawn, Penaeus monodon. Curr. Microbiol. 32, 229–231.
Lightner, D.V. 1992. Shrimp pathology: major diseases of concern to the farming industry in the
Americas. Mem. Congr. Ecuat. Acuicult., 177–195.
Lightner, D.V. 1996. A Handbook of Pathology and Diagnostic Procedures for Diseases of Penaeid
Shrimp. World Aquaculture Society, Baton Rouge, LA, 236 pp.
Nazaruddin., D. Alizza., S. Aisyah., Zainuddin dan Syafrizal. 2014. Gambaran histopatologis
hepatopankreas udang windu (Penaeus monodon) akibat infeksi virus hepatopancreatica parvovirus
(HPV). Jurnal Kedoteran Hewan. Vol 8. No.1: 27-29
Parenrengi, A. 2000. Studies on genetic vatriability of groupers (Genus : Epinephelus) from IndoMalaysian waters using PCR-RAPD Analysis. Thesis master of Science. Trengganu : Kolej University
Trengganu, Universiti Putra Malaysia
Robertson, P.A.W., Xu, H.-S., Austin, B., 1998. An enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) for the
detection of Vibrio harveyi in penaeid shrimp and water. J. Microbiol. Methods 34: 31–39
Ruangpan, L., Kitao, T. 1991. Vibrio Bacteria Isolated from Black Tiger Shrimp, Penaeusmonodon Fabr.
Journal of Fish Disease 14, 383-388
Saulnier, D., Phillipe, H., Cyrille, G., Peva, L., Dominique, A. 2000. Experimental infection models for
shrimp vibriosis studies : a review. Aquaculture: 133-144
Song, Y.L., Lee, S.P. 1993. Characterization and ecological implication of luminous Vibrio harÍeyi isolated
from tiger shrimp _Penaeus monodon.. Bull. Inst. Zool., Acad. Sin. 32, 217–220.
Taylor, H.H and Taylor, E.W. 1992. Gills and Lung : The Exchange of Gases and Ion.In : Harrison FW,
Humes AG(eds) Microscopic Anatomy of Invertebrate 10. Wiley-Liss, New York, p 203-293
Van de Braak, C. B. T., Botterbloom, M. H. A., Huisman, E. A., Rombout, H. W. M., Van der Knaap, W. P.
W. 2002. Preliminary study on haemocyte response to White Spot Syndrome Virus infection in
black tiger shrimp Penaeus monodon. Dis Aquat Org. Vol 51: 149-155
Victor, B., Innocent, B.X and Maridass, M. 2013. Histopathology of Vibrio alginolyticus and Aeromonas
hydrophila infection inthe freshwater crab. Paratelphusa hydrodromus. Int. J. Applied BioReaserch.
Vol. No. 17: 1-9
993
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
DISKUSI
Nama Penanya:
Sri Puji
Pertanyaan:
Bagaimanakah pola serangan Vibrio harveyi terhadap udang windu?
Tanggapan:
infeksi organ paling awal pada udang oleh genus vibrio spp. terjadi pada lambung karena lambung
merupakan organ perbanyakan bakeri. Selanjutnya bakteri akan menyebar ke organ lain seperti
hepatopankreas, limfa, usus dan otot melalui aliran haemolim.
Download