Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 Uji Tantang Udang Windu Penaeus monodon Transgenik Menggunakan Bakteri Patogen Vibrio harveyi Andi Parenrengi, Andi Tenriulo dan Bunga Rante Tampangallo Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Maros, Sulawesi Selatan Abstrak Andi Parenrengi, Andi Tenriulo dan Bunga Rante Tampangallo. 2013. Uji Tantang Udang Windu Penaeus monodon Transgenik Menggunakan Bakteri Patogen Vibrio harveyi. Konferensi Akuakultur Indonesia 2013. Perakitan strain udang windu tahan penyakit telah dirintis dengan memanfaatkan teknologi transgenesis melalui transfeksi gen antivirus. Udang windu transgenik yang dihasilkan memperlihatkan resistensi yang lebih tinggi (24,5%) terhadap virus bintik putih (WSSV) dibandingkan dengan udang windu normal. Meskipun demikian, uji tantang dengan bakteri berpendar Vibrio harveyi penyebab penyakit vibriosis perlu dilakukan. Infeksi V. harveyi pada larva udang windu di perbenihan dapat menyebabkan kematian larva hingga 100% dan di areal pertambakan dapat mematikan udang sebelum masa pemeliharaan 80 hari serta menjadi pemicu munculnya infeksi sekunder dari WSSV. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelulushidupan dan gambaran organ udang windu yang dipapar bakteri patogen V. harveyi. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap, yang terdiri dari 2 perlakuan dan 3 ulangan. Hewan uji yang digunakan adalah udang windu transgenik dan non-trangenik dengan ukuran berat 3,93±1,25 g dan panjang total 7,59±0,87cm. Perlakuan yang diujikan adalah penyuntikkan bakteri V. harveyi (kepadatan 5x106 CFU/mL) sebanyak 0,1 mL/ekor pada udang udang windu transgenik (A) dan udang windu non-transgenik (B). Pengamatan tingkah laku dan morfologi (gejala vibriosis) pada udang uji dilakukan setelah udang disuntik dengan V. harveyi. Pengamatan selanjutnya dilakukan setelah 6 jam, 12 jam, 24 jam, dan selanjutnya setiap hari hingga hari ke-6. Kelulushidupan udang uji dihitung setiap hari dan diakhir penelitian. Untuk mengetahui efektifitas dari perlakuan transfeksi gen yang diberikan, maka dilakukan perhitungan Relative Percentage Survival (RPS). Jaringan organ histopatologi diambil dari udang yang moribund dan hidup. Data dianalisis menggunakan uji T-test dengan bantuan program SPSS versi 16. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelulushidupan udang windu transgenik 60% lebih tinggi dibanding dengan udang windu normal dengan nilai RPS 64,29%. Vakuoalisasi pada jaringan hepatopankreas udang windu transgenik cenderung lebih sedikit dibanding udang windu normal setelah dipapar bakteri patogen. Kata kunci: Bakteri Vibrio harveyi; Kelulushidupan; Transgenik; Udang windu; Uji tantang Pendahuluan Udang windu (Penaeus monodon) merupakan salah satu jenis udang asli Indonesia yang produksinya mengalami penurunan, khususnya dari budidaya. Penurunan ini disebabkan oleh adanya serangan penyakit, baik penyakit infeksius maupun non-infeksius, yang menyerang larva di panti benih maupun juvenil udang yang dipelihara di tambak. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit yang sering menyerang udang windu adalah parasit (Mahasri et al., 2008), jamur (Rantetondok, 2011), virus (Muliani et al., 2007) dan bakteri (Zhang dan Austin, 2000). Bakteri Vibrio harveyi merupakan salah satu spesies bakteri penyebab munculnya penyakit vibriosis yang sangat meresahkan pembudidaya udang karena dapat menyebabkan kematian cultivan. Keberadaan bakteri ini ditandai dengan berpendarnya media pemeliharaan di malam hari. Bakteri Vibrio berpendar diketahui banyak menyerang hewan budidaya seperti udang (Baticados et al., 1990; Karunasagar et al., 1994; Moriarty 1998; Zhang dan Austin, 2000), beberapa spesies ikan dan kekerangan (Austin, 2006) bahkan juga karang (Ben-Haim et al., 2003). Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan produksi udang windu, khususnya dalam rangka mencengah munculnya penyakit. Pemberian immunostimulan seperti β-glukan, polisakarida, lipopolisakarida, vitamin C dan E serta vaksin, baik itu vaksin bakterin maupun vaksin rekombinan hingga ke transfer gen antibakteri telah banyak dilakukan. Penemuan gen pengkode antimikroba penaidin membuka peluang dalam peningkatan immunitas udang vaname L. vannameii secara genetik melawan serangan patogen (Destoumieux et al., 1999). Induksi imun 226 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 pada udang melalui vaksinasi telah dilaporkan dengan penggunaan rekombinan protein WSSV pada udang Penaeus chinensis telah dilaporkan oleh Kim et al. (2004) dan vaksin RNA untai ganda (double-stranded RNA, dsRNA) pada udang L. vannamei (Robalino et al., 2004). Transfer gen antivirus pada udang L. vannamei melalui introduksi gen penyandi coat protein dari TSV (TSV-CP) (Sun et al., 2005). Introduksi gen TSV-CP, udang vaname transgenik memperlihatkan kelangsungan hidup yang signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan udang normal/nontransgenik (Lu dan Sun, 2005). Parenrengi et al. (2009a) telah berhasil mengisolasi gen antivirus (PmAV) dari udang windu dan telah didapatkan produk biologi udang windu hasil transfeksi (F0). Perakitan strain udang windu tahan penyakit telah dirintis dengan memanfaatkan teknologi transgenesis melalui transfeksi gen antivirus PmAV. Udang windu transgenik yang dihasilkan memperlihatkan resistensi yang lebih tinggi (24,5%) terhadap virus bintik putih (WSSV) dibandingkan dengan udang windu normal. Meskipun demikian, uji tantang dengan bakteri berpendar Vibrio harveyi penyebab penyakit vibriosis perlu dilakukan. Infeksi V. harveyi pada larva udang windu di perbenihan dapat menyebabkan kematian larva hingga 100% dan di areal pertambakan dapat mematikan udang remaja sebelum masa pemeliharaan 80 hari (Moriarty, 1998) serta menjadi pemicu munculnya infeksi sekunder dari virus bintik putih (white spot syndrome virus-WSSV) (Gunarto dan Mansyur, 2010; Rantetondok, 2011). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelangsungan hidup dan gambaran organ hepatopankreas udang windu transgenik dan non-trangenik yang dipapar bakteri patogen V. harveyi. Bahan dan Metode Hewan uji (dengan berat 3,93±1,25 g dan panjang total 7,59±0,87cm) dipelihara dalam wadah akuarium volume 15 L dengan kepadatan 10 ekor per akuarium. Masing-masing akuarium diisi dengan air laut salinitas 30 ppt sebanyak 10 L/bak dan dilengkapi aerasi untuk mensuplai oksigen. Pakan komersil diberikan sebanyak 2% dari bobot tubuh dan diberikan dua kali sehari. Udang uji terlebih dahulu diadaptasikan dalam wadah akuarium selama satu malam sebelum diinfeksi dengan V. harveyi. Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap dengan 2 perlakuan dan 3 ulangan. Sebagai pembanding, juga disiapkan 1 wadah untuk kontrol negatif, yakni udang windu transfeksi yang diinjek larutan fisiologis steril. Perlakuan yang diujikan adalah kemampuan udang windu hasil transfeksi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya setelah dipapar dengan bakteri patogen, V. harveyi. Perlakuan yang diujikan pada penelitian ini adalah: A : udang windu transfeksi yang dipapar V. harveyi (106 CFU/mL) B : udang windu non-transfeksi yang dipapar V. harveyi (106 CFU/mL) Isolat V. harveyi diperoleh dari Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan, BPPBAP Maros yang telah diuji secara biokimia dan identifikasi molekuler berdasarkan sequensing 16S rRNA oleh Kadriah (2012). Isolat bakteri V. harveyi diaktifkan terlebih dahulu dengan menanamnya dalam Nutrient Broth (NB) dan diinkubasi selama 24 jam di atas shaker inkubator. Bakteri kemudian disubkultur kembali dalam NB yang diinkubasi di atas shaker inkubator selama 4 jam. Sebelum digunakan stok bakteri ini kemudian dihitung kepadatannya. Untuk mendapatkan populasi bakteri yang akan diinjek ke udang uji, maka dilakukan pengenceran stok bakteri secara bertingkat dengan menggunakan larutan fisiologis (0,85% NaCl). Infeksi dilakukan dengan cara menyuntikkan V. harveyi masing-masing sebanyak 0,1 mL/ekor. Konsentrasi bakteri yang disuntikkan adalah 106 CFU/mL, mengacu pada uji patogenisitas yang telah dilakukan oleh Kadriah (2012). Bakteri disuntikkan pada bagian abdominal (intra-muscular) segmen ke dua menggunakan jarum suntik volume 1 mL (26’’ gauge). Hewan uji kemudian dipelihara dan diamati morfologi, tingkah laku, histologi dan mortalitasnya hingga hari ke-6. Hewan uji yang memasuki fase moribund, diambil untuk kemudian dianalisis parameter imun dan histologinya. Pengamatan tingkah laku dan morfologi (gejala vibriosis) pada udang uji dilakukan setelah udang disuntik dengan V. harveyi. Pengamatan selanjutnya dilakukan setelah 6 jam, 12 jam, 24 jam, dan selanjutnya setiap hari hingga hari ke-6. Pengamatan tingkah laku dan morfologi 227 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 menyangkut aktifitas pergerakan udang, respon terhadap pakan yang diberikan, munculnya bercak hitam pada karapak/melanisasi hingga matinya hewan uji (Austin dan Zhang, 2000). Kelulushidupan udang uji dihitung setiap hari dan diakhir penelitian menggunakan rumus Effendi (1997) : Dimana : SR Nt 100% No SR = Survival rate (tingkat kelangsungan hidup) Nt = jumlah udang yang hidup pada akhir penelitian No= jumlah udang yang ditebar pada awal penelitian Untuk mengetahui efektifitas dari perlakuan transfeksi gen yang diberikan, maka dilakukan perhitungan Relative Percentage Survival (RPS) berdasarkan rumus yang telah dikembangkan oleh Thompson dan Adams (2004) : Perlakuan dikatakan efektif apabila nilai RPS>50%. Untuk mengetahui sampai sejauh mana efek perlakuan penyuntikan bakteri V. harveyi terhadap jaringan, maka dilakukan pengamatan histologi terhadap organ hepatopankreas. Organ hepatopankreas dari udang moribund dan udang yang masih hidup diambil dan dimasukkan ke dalam larutan pengawet Davidson’s, dan selanjutnya dilakukan dengan mengacu pada metode yang dikembangkan oleh Humason (1972). Potongan preparat yang telah diwarnai kemudian diberi perekat permount, ditutup gelas penutup, dikeringanginkan dan siap diamati di bawah mikroskop. Analisis data Data hasil pengukuran dinyatakan dalam nilai rata-rata ± StDev. Kelulushidupan akibat uji tantang V. harveyi dilakukan melalui analisis uji T-test program SPSS 16. Hasil pengamatan tingkah laku dan morfologi serta histopatologi dianalisis secara deskriptif. Hasil dan Pembahasan Hasil uji tantang udang windu dengan bakteri V. harveyi menunjukkan udang windu yang telah diinfeksi memperlihatkan perubahan tingkah laku maupun morfologi. Satu jam setelah infeksi V. harveyi (sti), pada umumnya udang transfeksi maupun non-transfeksi berdiam diri di dasar akuarium lalu beberapa saat kemudian bergerak ke arah batu aerasi sebagai sumber oksigen. Hal ini menunjukkan bahwa udang berada dalam kondisi yang tidak nyaman/stres sehingga membutuhkan oksigen yang cukup untuk memulihkan kondisinya. Enam jam kemudian, terlihat bahwa nafsu makan udang mulai menurun yang ditandai dengan tersisanya pakan yang diberikan namun udang telah aktif berenang. Pada udang transfeksi ditemukan 1 ekor yang mati dan keadaan ini bertahan hingga pengamatan 24 jam (sti). Satu ekor udang transfeksi mengalami moulting pada pengamatan ini namun beberapa ekor udang lainnya sudah mulai makan. Enam ekor udang non-transfeksi mulai mati pada pengamatan 2 hari setelah infeksi. Udang yang mati ini beberapa diantaranya menunjukkan adanya melanisasi pada bagian ekor udang (Gambar 1.). Udang transfeksi juga mati 1 ekor akan tetapi yang lainnya telah aktif berenang dan nafsu makan sudah mulai membaik, ditandai dengan tidak adanya sisa pakan di dasar akuarium. Udang yang mati pada penelitian ini umumnya mengalami perubahan warna tubuh yakni menjadi agak kusam, ekor mengalami nekrosis dan luka bekas tempat injeksi bakteri patogen berwarna hitam. 228 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 Gambar 1. Udang uji yang mengalami nekrosis (panah). Mortalitas komulatif (%) Kematian udang non-transfeksi terus meningkat pada pengamatan selanjutnya dan hingga hari ke-6 mortalitas kumulatif udang kontrol mencapai 93,33% sementara mortalitas komulatif udang transfeksi hanya 33,33%. Kematian hewan uji yang cukup banyak pada pengamatan hari ke-2 sampai hari ke-4 disebabkan oleh karena V. harveyi yang disuntikkan telah mencapai masa inkubasi. Hal ini juga ditemukan oleh Manopo (2011) yang menguji resistensi udang yang dipelihara dengan memberikan pakan yang ditambahkan nukleotida. Kematian udang uji juga terjadi setelah 1 jam udang diinfeksi V. harveyi hingga hari ke-4 dan setelah itu tidak ditemukan lagi kematian hewan uji. Tingkat patogenitas beberapa isolat bakteri V. harveyi pada benur udang windu adalah 106 CFU/mL pada jam ke-12 dan ke-24 (Kadriah, 2012). V. harveyi merupakan salah satu jenis bakteri penyebab vibriosis dan spesies lainnya yang juga dapat menjadi agen major adalah Vibrio campbellii, V. anguillarum, V. alginolyticus dan V. parahaemolyticus (Lightner, 1988). Hasil pengamatan visual terhadap larva udang galah yang diinfeksi bakteri V. harveyi selama 48 jam, menunjukkan gejala stres seperti nafsu makan rendah terlihat dari kurang responsif terhadap artemia, berenang tanpa arah, hepatopankreas terlihat pucat dan hancur, serta sampai terjadi perubahan warna tubuh dari transparan menjadi putih pucat (Evan, 2009). Hal yang sama dilaporkan Nasi et al. (2011) bahwa udang yang terserang vibriosis menunjukkan gejala yang terlihat seperti punggung kehitam-hitaman, bercak merah pada pangkal sirip, sisik tegak, bergerak lamban, keseimbangan terganggu, nafsu makan berkurang. Gambar 2. menunjukkan pola mortalitas udang windu baik non-transfeksi maupun transfeksi. Kematian banyak terjadi pada pengamatan 24 jam sampai hari ke-4 sti dan setelah itu kematian cenderung tidak ada lagi pada udang non-transfeksi sedang udang transfeksi masih terjadi kematian hingga hari ke-5 sti. Non-transfeksi Transfeksi 100 80 60 40 20 0 6 jam 12 jam Pengamatan 24 jam 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari Gambar 2. Mortalitas kumulatif udang windu (P. monodon) yang diinfeksi bakteri Vibrio harveyi selama penelitian. Kelulushidupan Kelulushidupan udang transfeksi (66,67%) lebih tinggi dibandingkan dengan udang windu non-transfeksi (6,67%). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh 229 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 yang nyata (P<0,05) terhadap kelulushidupan udang windu. Transfeksi gen antivirus PmAV dapat meningkatkan kelulushidupan udang windu walaupun ditantang dengan bakteri patogen V. harveyi (Gambar 3.). Tingginya kelulushidupan dari udang transfeksi disebabkan oleh karena gen PmAV yang diberikan dapat membentuk pertahanan tubuh non-spesifik pada udang. Gambar 3. kelulushidupan udang windu (P. monodon) selama penelitian. Gen PmAV yang digunakan pada transfeksi ini adalah gen PmAV yang diisolasi dari udang windu. Berdasarkan hasil sekuensing cDNA gen anti virus ini tersusun atas 170 asam amino (Parenrengi et al., 2009). Selanjutnya dikatakan bahwa pada urutan asam amino gen PmAV yang ke-33 sampai dengan ke-166 memiliki kemiripan dengan gen kelompok C-type lectin pada spesies krustase. Beberapa hasil penelitian terhadap gen antimikroba pada udang penaeid yang dilaporkan oleh Tassanakajon et al. (2011) sebagai antimicrobial peptides (AMPs) adalah tersusun atas 15 sampai 100 asam amino. Tingginya kelulushidupan udang transfeksi pada penelitian ini kemungkinan besar disebabkan oleh karena udang transfeksi telah mendapat tambahan C-type lectin domain (CTLD) yang ada dalam gen PmAV dibandingkan dengan udang non-transfeksi yang hanya memiliki CTLD bawaan (innate). Kadriansyah (2012) telah mengambil sampel udang windu yang dipelihara di tambak udang di Sulawesi Selatan, yakni dari Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep untuk melihat ekspresi gen antivirus dari udang tersebut dan menemukan bahwa udang windu dengan bobot 10-20 g/ekor mengekspresikan gen antivirus PmAV paling rendah yaitu 16,67%, bobot 30-40 g/ekor sebanyak 50% dan kelompok bobot 60-70 g/ekor 66,67%. Ditambahkan oleh Mariyuliana (2012) bahwa ekspresi gen PmAV paling tinggi ditemukan pada organ hepatopankreas. Hal ini menjadi dasar untuk mengambil sampel histologi. Pemberian beberapa jenis imunstimulan diketahui dapat meningkatkan kelulushidupan udang. Nukleotida yang dicampurkan dalam pakan udang vannamei dapat meningkatkan kelulushidupan udang yang vanamei (Manopo, 2011). Pemberian antimikroba seperti protein recombinant ALFPm3 (rALFPm3) sebanyak 6,25 µm pada udang windu dengan cara diinjek dapat menetralisir bakteri V. harveyi dalam tubuh udang dan memberikan kelulushidupan 100% setelah uji tantang (Ponprateep et al., 2009 dalam Tassanakajon, 2011). Efektifitas dari transfeksi gen PmAV juga cukup tinggi yang dinyatakan dengan tingginya nilai RPS, yakni 64,29%. Hal ini mengindikasikan bahwa transfeksi gen PmAV efektif digunakan untuk meningkatkan kelulushidupan udang windu (P. monodon). Alifuddin (2002) menyatakan bahwa secara umum efektivitas vaksin dianggap baik apabila nilai RPS ≥50%. Efektivitas pemberian vaksin dapat dilihat dari 3 kriteria, yaitu tingkat dimana perlindungan dicapai, tingkat akhir dari perlindungan dan durasi imunitas (Thompson dan Adams, 2004). Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk menguji efikasi perlakuan maka tingkat mortalitas kontrol sebaiknya 60%, variabilitas antar ulangan >20% dan kematian non-spesifik <10%. Hasil penelitian ini dapat memenuhi kriteria tersebut di atas, yakni mortalitas kontrol diatas 60% (93,3%), variabilitas antar ulangan 20% dan kematian non-spesifik berupa kematian udang transfeksi di satu jam setelah injeksi yang kemungkinan disebabkan oleh kesalahan injeksi adalah kurang dari 10%. Histopatologi Hepatopankreas merupakan organ target serangan infeksi bakteri dan diduga merupakan 230 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 organ yang bertanggungjawab dalam proses pertahanan tubuh (Kadriansyah, 2012). Gambaran jaringan hepatopankreas udang windu transfeksi PmAV dan non-transfeksi terlihat pada Gambar 4. Sel-sel organ hepatopankreas udang windu normal berbentuk kolumner poligonal. Gambar 4C menunjukkan bahwa struktur sel organ hepatopankreas udang windu transgenik yang tidak dipapar dengan bakteri patogen V. harveyi terlihat lebih berwarna kemerah-merahan sedang pada organ yang dipapar bakteri patogen berwarna merah kebiru-biruan bahkan biru tua. Priatni et al. (2006) mengatakan bahwa warna biru ini disebabkan adanya kerusakan sel akibat infeksi berat sehingga sel bersifat basophilik dan akan menyerap warna biru pada pewarna hematoksilin sedangkan pada sel yang tidak terinfeksi atau terinfeksi ringan, akan bersifat eosinophilik sehingga menyerap pewarna eosin. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa udang transgenik maupun non-transgenik telah terinfeksi hanya saja udang transfeksi cenderung masih lebih baik dibanding udang non-transgenik. A B Bas T T 50µm 50µ m C Bas T 50µ m Gambar 4. Histologi hepatopankreas udang windu. A=hepatopankreas udang windu non-transfeksi yang dipapar V. harveyi, B= hepatopankreas udang windu transfeksi yang dipapar V. harveyi dan C= hepatopankreas udang windu transfeksi tanpa dipapar V. harveyi. Tanda panah = vakuola, T=Tubules, Bas=basement membrane. Pewarnaan: H and E. Perubahan struktur yang ditemukan pada jaringan hepatopankreas udang windu non-transfeksi (Gambar 4. A.) adalah terbentuknya vakuola (tanda panah) yang cukup banyak dan susunan sel tidak beraturan sehingga pada beberapa bagian dasar membran tidak jelas lagi. Terbentuknya vakuola pada sel organ tersebut ditemukan hampir pada setiap sel hepatopankreas udang windu non-transfeksi. Adanya vakuola menunjukkan kerusakan jaringan akibat infeksi bakteri V. harveyi. Tassanakajon dan Soomboonwiwat (2011) melaporkan bahwa kerusakan jaringan hepatopankreas pada udang windu yang dipapar dengan V. harveyi masih bersifat infeksi ringan setelah 24 jam terpapar dan akan menjadi infeksi berat setelah 48 jam. Udang yang terpapar V. harveyi setelah 24 jam mengalami peningkatan jumlah hemosit dalam jaringan intertubular dari hepatopankreas sedang gambaran histologi hepatopankreas setelah terpapar bakteri tersebut selama 48 jam menunjukkan bahwa infeksi bakteri ini memicu gangguan yang kuat dari epitel midgut. 231 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 Pada beberapa sel yang diamati epitel dan dasar membran (basal membrane) yang rusak telah benar-benar menghilang. Kesimpulan Kelulushidupan udang windu transgenik yang dipapar bakteri patogen V. harveyi 60% lebih tinggi dibanding udang non-transgenik dan efektif meningkatkan kelulushidupan udang windu yang ditandai dengan tingginya nilai RPS (64,29%). Gambaran histopatologi organ hepatopankreas udang windu menunjukkan vakuoalisasi pada jaringan hepatopankreas udang windu transgenik cenderung lebih sedikit dibanding udang windu non-transgenik setelah dipapar bakteri patogen V. harveyi. Ucapan Terima Kasih Penelitian ini dibiayai oleh APBN dari DIPA Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP) Maros, Tahun Anggaran 2012. Ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh staf peneliti dan teknisi Laboratorium Bioteknologi dan Laboratorium Patologi BRPBAP Maros, yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini. Daftar Pustaka Alifuddin, M. 2002. Imunostimulan Pada Hewan Akuatik. Jurnal Akuakultur Indonesia, 1(2):87-92. Austin, B. and X.H Zhang. 2006. Vibrio harveyi : A Significant Pathogen of Marine Vertebrates and Invertebrates. Lett. Appl. Microbiol, 43:119–124. Baticados, M.C.L., C.R. Lavilla-Pitogo, E.R. Cruz-Lacierda, Pena, N.A. de la dan Sunaz. 1990. Studies on the Chemical Control of Luminous LD Bacteria Vibrio harveyi and V. Splendidus Isolated from Diseased Penaeus monodon Larvae and Rearing Water. Diseases of Aquatic Organism, 9: 133-139. Ben Haim, Y., F.L. Thompson, C.C. Thompson, M.C. Cnockaert, B. Hoste, J. Swings dan E. Rosenberg. (2003). Vibrio coralliilyticus sp. nov., a Temperature-Dependent Pathogen of the Coral Pocillopora Damicornis. Int J Syst Evol Microbiol, 53: 309–315. Destoumieux, D., P. Bulet, J.M. Strub, A. Dorsselaer and E. Bachere. 1999. Recombinant Expression and Range of Activity of Penaeidins, Antimicrobial Peptides from Penaeid Shrimp. Eur. J. Biochemical, 266 : 335-346. Effendi, I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. Evan, Y. 2009. Uji ketahanan beberapa strain larva udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) terhadap bakteri Vibrio harveyi. Skripsi. Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Gunarto dan A. Mansyur. 2010. Penambahan Tepung Tapioka Pada Budidaya Udang Penaeid di Tambak. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Humason, G.L. 1972. Animal Tissue Techniques. Third Edistion. W.H. Freeman and Company. San Fransisco. Kadriah, I.A.K. 2012. Analisis Keragaman Morfologi, Fisiologi dan Genetik serta Uji patogenitas Isolatisolat Vibrio sp. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 127 hlm. Kadriansyah. 2012. Ekspresi Gen Antivirus Pmav Pada Hepatopankreas Udang Windu dengan Beberapa Tingkat Ukuran. Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar. 53 hlm. Karunasagar, I., R. Pai, G.R. Malathi and I. Karunasagar. 1994. Mass Mortality of Penaeus monodon Larvae Due to Antibiotic-Resistant Vibrio harveyi Infection. Aquaculture, 128: 203–209. Kim, D.K., I.K. Jang, H.C. Seo, S.O. Shin, S.Y. Yang and J.W. Kim. 2004. Shrimp Protected from WSSV Disease by Treatment with Egg Yolk Antibodies (IgY) Againt a Truncated fusion Protein Derivated from WSSV. Aquaculture, 237:21-30. Lightner, D.V. 1988. Vibrio Deseases in Penaeid Shrimp. In: Sinderman CJ., Lightner, D.V. (eds) Desease Diagnosis and Control in North American Marine Aquaculture, 2nd edn. Elsevier, Amsterdam, pp 42-47. 232 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 Lu, Y. and P.S. Sun. 2005. Viral Resistance in Shrimp that Express an Antisense Taura Syndrome Virus Coat Protein Coat Protein gene. Antiviral Research, 67:141-146. Mahasri, G. 2008. Survival Rate (SR) Udang Windu (Penaeus monodon) yang Diimunisasi dengan Whole protein Zoothammium penaei asal dari Tambak di Pantai Utara dan Selatan Jawa Timur sebagai Agen Penyebab Zoothamniosis. Jurn. Berkala Ilmiah Perikanan, 3(2): 23-30. Manopo, H. 2011. Peran Nukleotida sebagai Imunostimulan terhadap Respon Imun Nonspesifik dan Resistensi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 121 hlm. Mariyuliana. 2012. Studi Distribusi Ekspresi Gen Antivirus Pada Beberapa Organ dan Jaringan Udang Windu (Penaeus monodon). Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar. 55 hlm. Moriarty, D.J.W. 1998. Control of Luminous Vibrio Species in Penaeid Aquaculture Ponds. Aquaculture, 168: 351-358. Muliani, B.R. Tampangallo dan M. Atmomarsono. 2007. Penyebaran dan Prevalensi White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon). J. Riset. Akuakultur, 2(2):231-241. Nasi, L., S.B. Prayitno dan Sarjito. 2011. Kajian Bakteri Penyebab Vibriosis Pada Udang Secara Biomolekuler. Jurnal. Hlm: 12-13. Yogyakarta Parenrengi, A., Alimuddin, Sukenda, K. Sumantadinata, M. Yamin and A. Tenriulo. 2009a. Cloning of ProAV Promoter Isolated From Tiger Prawn Penaeus monodon. Indonesian Aquaculture J., 4(1): 1-13. Parenrengi, A., Alimuddin, Sukenda, K. Sumantadinata and A. Tenriulo. 2009. Karakteristik Sekuen cDNA Pengkode Gen Anti Virus dari Udang Windu, Penaeus monodon. J. Ris. Akuakultur, 4(1):1-13. Priyatni, D., M. Alifuddin dan D. Djokosetiyanto. 2006. Pengaruh Pemanasan pada Temperatur Berbeda Selama 30 Menit terhadap Patogenitas White Spot Syndrome Virus (WSSV) Pada Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.). Jur. Akuakultur Indonesia, 5(1):5-12. Rantetondok, A., 2011. Penyakit dan Parasit Budidaya Ikan/Udang dan Pengendaliannya. Buku. Brilliant Internasional. Surabaya. 132 p. Robalino, J., C.L. Browdy, S. Prior, A. Metz, P. Parnell, P. Gross and G. Warr. 2004. Induction of Antiviral Immunity by Doublestranded RNA in a Marine Invertebrata. Jour. of Virology, 78(19):10442 – 10448. Sun, P.S., N.C. Venson, F.R.O. Calderon and D.M. Esaki. 2005. Evaluation of Metods for DNA Delivery Into Shrimp Zygotes of Penaeus (Litopenaeus vannamei). Aquaculture, 243:19-26. Tassanakajon, A., P. Amparyup, K. Somboonwiwat and P. Supungul. 2011. Cationic Antimicrobioal Peptides in Penaeid Shrimp. Marine Biotechnology. Juorn, 13:639-657. Tassanakajon, A. and K. Somboonwiwat. 2011. Antimicrobial Peptides From The Black Tiger Shrimp Penaeus monodon – A review. Deseases in Asian Aquaculture VII. Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Selangor, Malaysia. hlm : 229 – 240. Thompson, K.D. and A. Adams. 2004. Current trends in Immunoyherapy and Vaccine Development for Bacterial Diseases of Fish. Molecular Aspects of Fish and Marine Biology. World Scientific, 3:313-362 Zhang, X.H. and B. Austin. 2000. Pathogenicity of Vibrio harveyi to Salmonids. J. Fish Dis, 23: 93–102. 233