WAWASAN AL

advertisement
WAWASAN AL-QUR’AN TENTANG BUDAK
(Upaya-Upaya Pembebasan Budak Dalam Islam)
Alimuddin Hassan Palawa
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau
Abstract
The Perspective of al-Qur’an on Slavery: Some Efforts to Combat
Slavery in Islam: Men are basically created as the greatest creation in a free
and independent condition. It is wrong if men restrict and restrain themselves
towards others; moreover, if they worship the creation of God. Therefore, to
avoid self-slavery towards human beings or towards disire, things, jobs,
women and others, Alqur’an has taught people to worship the only God, the
Creator. This is not to say that one has restrained himself towards self-slavery
when God is the only One he worships. Indeed, it is by worshiping God that
men even free and distance themselves from any forms of slavery.
Keywords: Slaveri, al-Qur’an, Islam
Pendahuluan
Perbudakan dalam beberapa hal dapat dibandingkan dengan poligami.
Seperti halnya poligami, perbudakan juga ada pada semua bangsa. Kedua hal
ini, khusunya yang disebut belakangan, lambat laun akan menjadi terhapus
seiring dengan bertambah majunya pemikiran dan peradaban serta dengan
semakin tumbuhnya rasa kemanusiaan dan keadilan ummat manusia terhadap
sesamanya. 1 Sehingga dapat dipahami, kalau tempo dulu perbudakan tetap saja
eksis sepanjang sejarah anak manusia sejak pada masyarakat primitif hingga
sampai lahirnya agama Kristen, satu milenium yang lampau. Bahkan agama
yang dibawa oleh Nabi Isa (Alahii al-Salam) itu, dengan ajaran “kasihnya”,
dapat dikatakan gagal mengelaminir, apalagi menghapuskan praktek-praktek
perbudakan di muka bumi. 2 Memang perbudakan pada masa-masa itu masih
merupakan suatu “keniscayaan” hidup yang tak terbantahkan.
1
Lihat, Sayid Amier Ali, The Spirit of Islam, (Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delli, tt.), hlm.
258
2 Menurut Sayyid Amir Ali, lebih lanjut, agama Kristen telah gagal dalam menghapus
perbudakan. Di kalangan orang-orang geraja sendiri mempunyai budak-budak; dan dengan
kata-kata yang nyata mengakui adanya lembaga perbudakan. Orang-orang Kristen yang
mengklaim diri mempunyai peradaban tinggi melakukan kekejaman-kekejaman yang paling
bengis terhadap orang-orang malang yang mereka jadikan sebagai budak. Orang Kristen kulit
putih tidak pernah mengakui dan mengesahkan anak yang lahir dari hubungan gelap dengan
budak-budak wanita Negronya. Perempuan-perempuan Negro ini tidak dapat mereka kawin
sacara sah. Orang-orang Kristen tidak mampu menangkap dan mengerti semangat ajaranajaran yang dibawa Nabi Isa mengenai persamaan manusia dalam pandangan Tuhan. Ibid.,
hlm. 261-262
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2008
Ketika Islam datang lewat Nabi Muhammad SAW, perbudakan tetap
merupakan suatu fenomena dan realitas hidup keseharian. Dan sepertinya, alQur’an sendiri “lamban” dan “tidak tegas” menagani masalah ini; bahkan
seolah-olah Islam masih “melegitimasi” adanya perbudakan 3 . Padahal,
sesungguhnya “ruh” (sprit atau semangat) Islam menentang dan melarang
praktek-praktek perbudakan, sebagaimana diajarkan al-Qur’an dan dilakukan
Rasulullah. Sementara itu, tujuan al-Qur’an dan misi kenabian adalah untuk
menciptakan masyarakat madani (civil sociaty) dengan tata kehidupan sosialmoral yang adil, egalitarian, inklusif dan pluralis serta berlandaskan iman.
Kalaupun perbudakan tetap eksis di tengah-tengah masyarakat pada awal
kenabian, realitas tersebut hanya dapat “diterima” secara tentatif dan untuk
jangka waktu sementara.
Pada awal sejarah Islam, Nabi Muhammad SAW hanya mentolerir
perbudakan lantaran menjadi tawanan perang. Inilah satu-satunya perbudakan
yang dapat dibenarkan oleh hukum, 4 sampai mereka ditebus atau tawanan itu
sendiri yang menebus kemerdekaannya lewat upah pekerajaan atau dengan cara
lainnya. Akan tetapi, apabila tawanan/budak tersebut tidak mempunyai
sumber penghasilan, 5 Nabi Muhammad mengguggah hati nurani dan
kesalehan ummat Islam ditambah pula dengan tanggungjawab berat yang
diletakkan di atas pundak orang yang memiliki budak tidak jarang ini menjadi
sebab akhirnya budak tersebut dibebaskan. 6
Belakangan ajaran-ajaran al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad
mengharuskan untuk menyantuni; 7 memberi zakat; 8 dan memperlakukan
Penanganan al-Qur’an terhadap masalah ini tidak jauh berbeda dengan penanganan
terhaap larangan minuman keras dan riba. Terhadap kedua persoalan tersebut, pada awalnya
masih memperbolehkan, tetapi lambat-laun, al-Qur’an menyikapinya dengan sistematis, dan
pada gilirannya al-Qur’an menyatakan pengharamannya dengan tegas dan tuntas. Begitu juga
dalam masalah perbudakan, meskipun sedari awal al-Qur’an melarang perbudakan, tetapi
masih tetap mentolerirnya, umpamanya al-Qur’an memerintahkan seorang laki-laki
memelihara kemaluannya kecuali kepada istri dan malakat yang mereka miliki, dan ini terjadi
khususnya pada masa periode Mekkah, misalnya lihat, al-Qur’an, al-Nisa (4): 24, 25; alMu’minuun (23): 6; al-Ma’arij (70): 30. Tetapi pada masa periode Madinah upaya-upaya alQur’an dalam pembebasan manusia dari perbudakan sangat tampak dan jelas hasilnya.
4 Begitu juga pada masa pemerintahan Khalifah al-Rasyidun, lagi-lagi menurut Sayyid
Amir Ali, tidak dikenal perbudakan dengan jalan jual beli. Sekurang-kurangnya, tidak ada data
otentik yang menyebutkan bahwa terdapat budak yang diperoleh dengan cara dibeli pada
masa pemerintahannya. Tetapi baru kemudian, setelah munculnya keluarga Umayyah,
terjadilah perubahan dan penyimpangan terhadap semangat dan ajaran Islam yang dibawa
oleh Nabi Muhammad SAW. Mu’awiyah bukan saja orang pertama dalam sejarah Islam yang
memberlakukan sistem pemerintahan Islam secara monarki, tetapi ia juga yang mula-mula
mempraktekkan kembali pembelian budak. Amir, The Spirit of Islam., hlm. 267
5 Al-Qur’an, al-Nur (24): 33
6 Amier, The Spirit of Islam., hlm. 265
7 Lihat, al-Qur’an, al-Nahl (16): 71
8 Lihat, al-Qur’an, al-Taubah (9): 60
3
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2008
budak secara baik, adil dan manusiawi. 9 Bahkan dari awal, periode Mekkah, AlQur’an sudah mencanangkan dengan memerintahkan fakku raqabah,
membebaskan manusia dari perbudakan. 10 Al-Qur’an, dalam upayanya
pembebasan budak, juga mensyaratkan bagi seseorang yang dengan tidak
sengaja telah membunuh, 11 dan untuk menebus zihar; 12 serta kaffarat sumpah 13
ditebus dengan jalan pembebasan budak. Bahkan lewat Firman-Nya, Allah
menyamakan penebusan dan pembebasan budak dengan sejumlah al-birr
(amal-amal kebajikan) lainnya. 14
Sesunguh nyata sekali dan tidak perlu diragukan lagi bahwa al-Qur’an
sangat menentang perbudakan dan lewat Nabi Muhammad telah berupaya
untuk membebaskan manusia dari perbudakan. Namun, bagaimana ayat-ayat
al-Qur’an periode Mekkah yang masih membolehkan dan mentolerir
perbudakan, misalanya tuan lelaki dizinkan “menggauli atau mengumpuli”
budak-budak wanita yang mereka miliki? Kenapa a-Qur’an pada periode
Mekah masih tidak bisa menuntaskan pembebasan perbudakan? Apakah ada
makna tertentu di balik dari pembolehan itu; dan kalau memang al-Qur’an
menentang perbudakan, bagaimanakah cara al-Qur’an pada periode Madinah
melakukan pembebasan terhadap perbudakan? Tulisan ini akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, namun sebelumnya akan diungkapkan
pengertian dan ruang lingkup budak sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an.
Pengertian dan Ruang Lingkup: Perbedaan Hamba dan Budak
Dalam al-Qur’an, sembari memberikan perumpamaan, Allah
mendefenisikan sendiri bahwa budak adalah seseorang “hamba sahaya yang
dimiliki dan tidak dapat bertindak sesuatu apapun”. 15 Dari batasan ayat ini
didapatkan pemahaman bahwa budak adalah seseorang yang dikuasai dan tidak
dapat berbuat sesuatu apapun atas namanya sendiri atau tidak dapat berbuat
apapun tanpa sepengetahuan dan seizin tuannya.
Bahkan lebih dari itu, budak berkewajiban mengikuti jejak tuannya dalam
berbagai kehidupan, termasuk mengekor dalam hal ideologi dan kepercayaankeagamaan. Seorang budak tidak punya hak kesempatan untuk berbeda
pandangan, apalagi membantah pendapat tuannya. Seorang budak tidak
mempunyai hak untuk menolak perintah tuannya; dan berkewajiban untuk
menaati apapun permintaan dan hasrat tuanya, termasuk ajakan untuk melacur
diri demi keuntungan dan kepuasan sang tuan. Nasib seorang budak sangat
tergantung dari tuannya; kebebasan dan kemerdekaannya berada dalam
Lihat, al-Qur’an, al-Nur (24): 33
Lihat, al-Qur’an, al-Balad (90): 13
11 Lihat, al-Qur’an, al-Nisa (4): 92
12 Lihat, al-Qur’an, al-Mujadalah (58): 3
13 Lihat, al-Qur’an, al-Maidah (5): 89
14 Lihat, al-Qur’an, al-Baqarah (2): 177
15 Al-Qur’an, Al-Nahl (16): 75
9
10
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2008
genggaman tuannya; si tuan berhak menjatuhkan hukuman apapun atau si tuan
tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan imbalan kebaikan kepada
budak yang dimilikinya. Pendek kata, budak tidak mempunyai hak-hak apapun
tetapi mempunyai kewajiban-kewajiban sedemkian banyak dan besar. 16
Term budak, dalam perbincangan keseharian, kerapkali disandingkan
dengan term hamba. Padahal, antara kedua term tersebut mempunyai
differensiasi makna yang cukup signifikan. Kalaupun harus dipersamakan
maka buru-buru harus ditambahkan dengan kata “sahaya” sehingga menjadi
“hamba sahaya”. Mengingat term yang disebut pertama lebih berkonatasi
kepada hubungan dan pengabdian manusia kepada Tuhan; sementara yang
disebut belakang lebih diidentikan dengan hubungan dan pengabdian
seseorang tertentu terhadap tuannya.
Lagi pula, term “budak” sebagai term hubungan manusia dengan
manusia (habl min al-nas) [sesuai dengan defenisi di atas] mengandung makna
bahwa ketika seseorang telah menjadi budak, maka dengan sendirinya hak dan
kebebasannya menjadi sirna. Sedangkan term “hamba” sebagai term hubungan
manusia dengan Tuhan (habl min Allah) hak dan kebebasan manusia di
hadapan Tuhan sedikitpun tidak terenggut. Karena dengan hanya bertuhankan
pada Allah justru berarti manusia membebaskan perbudakan dirinya dari
berbagai bentuk penuhanan.
Untuk mengungkapkan kedua term “hamba” dan “budak”, al-Qur’an
mempergunakan kata yang berbeda. Untuk term yang disebut duluan, term
hamba, al-Qur’an mempergunakan kata “’abd”. 17 Sementara untuk term yang
disebut belakangan, term budak terkadang al-Qur’an mempergunakan kata
“raqabah”, atau di lain tempat al-Qur’an mempergunakan kata “malakat
aimanukum”. Kata raqabah terulang di dalam al-Qur’an, menurut Quraish
Shihab, sebanyak enam kali dalam bentuk tunggal; dan dalam bentuk
jamaknya, riqab, sebanyak tiga kali. Kata ini pada mulanya berarti “leher”,
kemudian diartikan sebagai manusia yang terbelenggu (terikat lehernya) dengan
Lihat, W. Montgemory Watt, Muhammad at Madina, (Oxford: OUP, 1956), hlm. 293;
lihat juga, Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an,
(Bandung; Mizan, 1989), hlm. 66
17 Untuk term ini, hanya sekali dijumpai dalam al-Qur’an yang berkonotasi kepada
hubungan sesama manusia (lihat, al-Qur’an, al-Baqarah (2): 221). Akan tetapi, term ini (‘abd)
acap kali diketemukan dalam al-Qur’an khusus dalam hubungan manusia dengan Allah. [term
‘Abd tidak dibahas lebih lanjut karena bukan fokus pembahasan dalam tulisan ini]. Artinya
penghambaan yang dibolehkan al-Qur’an hanya kepada Allah; sementara penghambaan
terhadap manusia, manurut al-Qur’an dan Nabi, adalah terlarang. Karena itu, menurut
penelitian Quraish Shihab, tidak ditemukan dalam al-Qur’an kata raqabah yang dinisbatkan
kepada orang-oarang Mukmin. Atau dengan kata lain, tidak ditemukan dalam al-Qur’an kata
rikabatukum atau riqabukum. Hal ini untuk memberikan pelajaran bahwa kalaupun seseorang
satu dan lain hal memiliki budak, maka ia tidak boleh memperlakukannya sebagai budak yang
terbelenggu lehernya. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Tafsir atas Surat-surat
Pendek Beredasarkan Urutan Turunnya Wahyut, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm. 810
16
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2008
tali; karena memang demikianlah nasib dan keadaan budak-budak pada
zaman dahulu. 18
Sementara kata malakat aimanukum, di dalam al-Qur’an tercantum juga
sebanyak enam kali; dan empat di antarnya berkonotasi khusus kepada budakbudak wanita dalam melakukan “hubungan” dengan tuannya baik tidak lewat
pernikahan ataupun lewat pernikahan. Mengingat kesan yang diperoleh dari
istilah raqabah diatas sangat buruk; menggambarkan seseorang yang
terbelenggu lehernya seperti binatang, maka al-Qur’an memilih untuk tidak
menamai mereka dengan ‘abd (hamba sahaya), tetapi menamai mereka dengan
sebutan malakat aimanukum (apa yang dimiliki oleh tangan kananmu). 19
Periode Mekkah: Kondisi Faktual Perbudakan dalam al-Qur’an
Lahirnya agama Islam tepat pada waktu yang ditandai dengan tampilnya
Nabi Muhammad SAW 20 di tengah penduduk Mekkah harus dihubungkan
dengan berbagai persoalan dan ketegangan yang melanda kota Mekkah baik
menyangkut persoalan teologi maupun persoalan sosiologi serta ekonomiperdagangan. 21 Karenanya, kemunculan agama Islam di Mekkah, selayaknya
Lihat, M. Quraish shihab, Ibid., hlm.. 809
Ibid., hlm. 810
20 Tuhan telah menentukan lahirnya agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
tepat waktunya guna menerangi zaman. “Andaikata ia lahir seabad sebelumnya,” kata Prof.
Saunders, “maka Kaisar Yustinian yang kuat akan menghalangi penyebarannya. Apabila
seabad sesudahnya, barangkali Arabiah telah memeluk agama Kristen karena Kaisar
(Byzantium) dan Khousru (Persia) telah pulih dari akibat-akibat pertentangan di antara
mereka.” Dan masih menurut Prof. Saunders, “Andaikata Abraha berhasil menaklukkan dan
menguasai Mekkah maka seluruh jazirah Arab akan terbuka untuk menerima penerobasan
agama Kristen dari Byzantium; tanda salib akan menjulang tinggi di atas Ka’bah, dan
Muhammad mungkin akan meningal sebagai pendeta atau pastur. Lihat, J.J. Saunders, A
History of Medieval Islam, (London: Routlege, 1965), hlm. 36-37 dan 14. Namun, ini hanya
sekedar pengandaian dari Prof. Saunders, dan sejarah tidak dapat diajak berandai-andai,
karena sejarah adalah fakta dan realitas masa lalu yang memiliki data autentik.
21W. Montgemory Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis Tokoh Orientalis, (Yogyakarta, Tiara
Wacana), hlm. 3-4. Kota Mekkah pada era tersebut dikenal sebagai kota perdagangan yang
menghubungkan berbagai negeri di penjuru dunia, khususnya kekaisaran Romawi dan
Persia. Sehingga seorang Arab kala itu, kalau bukan seorang pedangang, tentu ia seorang
makelar, kata Strabo, seorang perwira tentara Romawi yang ikut berperang di jazirah Arab
melukiskan pengalamannya. Penduduk kota Mekkah memang tidak lebih 25.000 orang, tetapi
karena buminya gersang sehingga tidak bisa tumbuh tanaman dengan baik, maka tiada
seorangpun penduduk Mekkah yang bukan pedagang. Dalam konteks inilah al-Qur’an ketika
menyeru agar menunaikan sholat Jum’at, “bergegaslah kamu mengingat Allah dan tinggalkan
jual beli” (QS. 14: 37). Memang hari Jum’at merupakan hari suka cita di seluruh jazirah
Arab, dan orang-orang sibuk di pasar. Sehingga ada hadis mengisahkan betapa Rasulullah
sedang khutbah Jum’at di tinggal jama’ah hingga hanya dua belas orang yang tersisa, lantaran
mereka menyambut kedatangan kafilah yang baru datang dengan membawa sejumlah barang
dagangan. Lihat, H. Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah Suatu Penafsiran Baru,
(Bandung: Mizan, 1990), hlm. 55-56
18
19
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2008
tidak hanya dipandang dari segi teologis semata dalam menghapus paganisme.
Namun, mengharuskan juga untuk melihat latar belakang atau “lantaran lain”
secara holistik, misalnya ketimpangan politik dan ekonomi, termasuk juga
kebobrokan akhlak dan dekadensi moral penduduk Mekkah pada waktu itu. 22
Islam sebagai sebuah gerakan revolusi lewat tokohnya Nabi Muhammad
SAW menentang tantanan kehidupan lama yang pagan (teologis). Lebih dari
itu, Islam juga mengecam praktek monopoli perdagangan (ketimpangan
ekonomi); mengutuk sikap sewenang-wenang dan penindasan (ketidakadilan
politik) terhadap kaum mustad’afin (lemah) di Mekkah. 23 Selanjutnya, Islam
berupaya untuk membangun hubungan vertikal (habl min Allah) yang benar
dan hubungan horizontal (habl min al-nas) yang baik.
Oleh karena itu, menurut Watt, ajaran yang mula-mula disampaikan oleh
Nabi Muhammad sangat erat dengan tema-tema tersebut, seperti lebih lanjut
tulisnya:
Surat-surat yang paling awal dalam al-Qur’an boleh dianggap telah
mengajarkan bahwa akar dari kegelisahan sosial di Mekkah adalah
materialisme individualistik kebanyakan penduduk Mekkah, terutama
kesombongan saudagar-saudagar besar atas apa yang telah mereka capai
melalui kekayaan dengan tidak adanya belas kasih bagi yang miskin dan
oran-orang-orang yang malang adalah hal-hal yang terutama dikecam.
Bahkan ajaran-ajaran teologis dalam surta-surat awal ini mempunyai
relevansi dengan situasi mereka. 24
Misi kenabian Nabi Muhammad SAW bertujuan untuk menciptakan
masyarakat madani dalam tatanan sosial-moral yang adil, egalitarian, dan
inklusif serta berlandaskan iman. Dengan begitu, tentu saja Nabi Muhammad
SAW tidak dapat mentolerir hubungan yang timpang dan tidak wajar di antara
sesama manusia. Di antara sistem kehidupan paling ditentang, karena sangat
jelas menggambarkan hubungan yang timpang dan tidak wajar tersebut adalah
perbudakan.
Mengingat perbudakan, ibaratnya dua mata sisi yang berbahaya, tidak saja
akan mencederai hubungan yang baik sesama manusia, tetapi sekaligus
merusak hubungan kepada Tuhan. Perbudakan secara asasi bertentangan
dengan ajaran Islam tentang tauhid yang melarang seseorang menghambakan
22 Lebih dari itu, dalam perspektif kesejarahan dan kenegarawanan Nabi Muhammad
SAW harus dipahami dan dijelaskan dengan memperhatikan lingkungannya. Di Mekkah pada
saat itu, lingkungan ini berarti ekonomi-perdagangan. Upaya untuk mengkaji kegiatankegiatan Nabi Muhammad SAW di Mekkah, dan di Arab pada umumnya, tanpa
memperhatikan ekonomi-perdagangan, menurut M.A. Shaban, sama halnya dengan mengkaji
Kuwait dan Arab Saudi dewasa ini tanpa memperhatikan minyaknya. Lihat, M.A. Shaban,
Sejarah Islam: Penafsiran Baru 600-750, (Jakarta: Grafindo Persada, 1993), hlm. 1-10
23 Bernard Lewis, The Political Language of Islam, (Chicago: University Chicago Press,
1989), hlm. 92
24 Lihat, Watt, Kejayaan Islam, hlm. 3
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2008
diri kepada sesamanya atau lebih umum kepada ciptaan Tuhan lainnya.
Sebaliknya, membiarkan perbudakan berarti juga syirik, sebab orang yang
memiliki budak adalah seseorang yang menjadikan dirinya sekutu Tuhan.
Padahal manusia hanya boleh menghambakan diri kepada Tuhan semata, tiada
Tuhan selain Allah 25 Untuk itu, dalam satu surat yang diwahyukan dalam
periode Mekkah awal, al-Qur’an telah mencanangkan “fakku raqabah” 26
(membebasan budak dari perbuadakan) yang dilukiskan sebagai ‘aqabah,
“menempuh jalan yang mendaki dan lagi sulit. ”Maka tidakkah sebaiknya
(dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah
kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar tersebut? Yaitu melepaskan budak
dari perbudakan; atau memberi makan pada hari kelaparan, kepada anak yatim
yang ada hubungan kerabat atau orang miskin yang sangat fakir.” 27
Upaya pembebasan manusia dari perbudakan harus lebih awal
dilaksanakan. Islam memandang bahwa pembebasan manusia dari segala
bentuk yang membelenggu dan merendahkan martabat kemanusiaannya harus
dimulai lebih dini karenanya, ayat ini termasuk ayat al-Qur’an yang awal pada
periode Mekkah karena setiap langkah maju guna mencapai kemaslahatan
manusia dan masyarakat tidak dapat diraih sebelum kehormatan manusia
sebagai manusia dapat ditegakkan. 28
Namun, karena kokohnya sistem perbudakan dalam struktur masyarakat
Arab di samping membebaskan budak bukan perkara mudah, tapi harus lewat
jalan yang mendaki lagi sulit sehingga kalau penghapusannya dilakukan secara
radikal dan seketika akan menimbulkan gejolak sosial yang besar, maka
fenomena ini ditangani oleh al-Qur’an secara persuasif dan bertahap. Lagi pula,
ketika di Mekkah, Nabi Muhammad belum mempunyai kekuatan politik untuk
melakukan perubahan, disamping pengikutnya masih merupakan golongan
minoritas tertekan. 29
Dalam pada itu, karena sistem perbudakan merupakan tatanan kehidupan
yang sudah sangat mapan sehingga al-Qur’an tidak mungkin dengan sertamerta melarangnya. Karenanya, harus lebih bijak dalam merespon persoalan
perbudakan yang ada masa itu. Sikap al-Qur’an yang “permisif” dan
“mentolerir” perbudakan terlihat, misalnya masih dibolehkan praktek-praktek
si tuan laki-laki agar “menjaga kemaluannya, kecuali kepada istri dan budakLihat, Dawam Rahardjo, “Ensiklopedi al-Qur’an “Abd”, dalam Ulumul Qur’an,
Nomor 1,Vol. V, Thn. 1994, hlm. 43
26Kata “fakk”, menurut Quraish shihab, hanya ditemukan sekali dalam al-Qur’an, yaitu
hanya pada pada ayat ini. Kata ini maknanya berkisar pada arti-arti: membuka, melepas,
membebaskan dan menghancurkan. Jadi dalam konteks ayat ini, fakku raqabah, berarti
melepaskan tali (belenggu) yang mengikat leher seseorang atau membukanya, atau
menghancurkannya sehingga manusia tersebut memperoleh kebebasan bergerak. Lihat,
Shihab, Tafsir Al-Qur’an al-Karim..., hlm. 810
27 Al-Qur’an: Al-Balad ayat 11-14
28 Shihab, Tafsir Al-Qur’an al-Karim..., hlm. 810
29 Lihat, Taufiq, Tafsir Kontekstual..., hlm. 66
25
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2008
budak (wanita) 30 yang mereka miliki”, menurut al-Qur’an, ”dalam hal ini
mereka tidak tercela”:
... Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (5), kecuali terhadap istriistrinya atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tidak tercela (6). Barang siapa yang mencari di balik itu
maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. 31
Meksipun dibolehkan praktek-praktek seperti ini dikaitkan dengan
himbauan moral, menurut al-Qur’an, demi menjaga kemaluan dan memelihara
kehoramtan seorang laki-laki. Maka al-Qur’an sendiri segera menambahkan,
“barang siapa yang mencari di balik itu,” [misalnya seperti berzina,
homoseksual dan praktek-praktek seksual lain yang terlarang], menurut alQur’an, “maka mereka itulah orang-orang yang melampai batas.”
Meskipun demikian, dalam kondisi struktur ekonomi dan politik
masyarakat Mekkah yang timpang; adanya jurang terjal antara miskin dan kaya;
serta antara yang kuat dan lemah, al-Qur’an acap kali mengkritik kaum
bangsawan dan konglomerat, karena mereka tidak mau melindungi dan
memberikan sebagian rezeki meraka kepada budak-budak yang mereka miliki,
agar budak-budak mereka juga turut merasakan rezeki tersebut. Al-Qur’an
menyebutkan bahwa sikap orang-orang kuat dan kaya tersebut sebagai bentuk
pengingkaran terhadap nikmat Allah:
Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal
rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau
memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki,
agar mereka sama-sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka
mengingkari ni’mat Alah? 32
Dalam ayat periode Mekkah ini, al-Qur’an tidak melarang dan mengutuk
perbudakan itu sendiri secara langsung dan tegas. Akan tetapi, al-Qur’an baru
sebatas mengutuk sikap orang-orang kaya dan kuat Mekkah yang tidak
mempunyai kepedulian sosial dan tidak mau menyantuni budak-budak yang
mereka miliki yang, tentu saja, telah berbuat banyak kepada tuannya.
Sementara tindakan penghapusan perbudakan itu sendiri harus secara bertahap
dan tidak dapat dipaksakan penerapannya secara absolut saat itu. Karena
pembebasan manusia dari perbudakan harus bersumber dari kesadaran dan
sikap batin dari manusia terhadap sesamanya. Inilah cara yang ditempuh oleh
al-Qur’an, hingga benar-benar berhasil sewaktu belakangan Rasulullah SAW
Wanita-Wanita yang tertawan dan dibeli selama perang berlangsung dengan orang
kafir; dan bukan wanita-wanita yang dibeli di luar peperangan. Dalam peperangan dengan
orang-orang kafir, biasanya wanita-wanita yang ditawan dibagikan kepada kaum Muslim yang
ikut dalam peperangan tersebut; dan kebiasaan ini bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Artinya
panglima perang boleh saja tidak mempraktekkan kebisaan ini.
31 Al-Qur’an, Al-Mu’minun (23): 5-7; bandingkan juga dengan Al-Ma’arij (70): 29-31
32 Al-Qur’an, Al-Nahl (16): 71
30
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2008
dan para sahabat berada di kota Madinah (Madinah al-Nabawiyyah alMunawwarah).
Periode Madinah: Pembebasan Budak dalam Al-Qur’an
Ketika Rasulullah SAW masih berada di Mekkah, penanganan masalah
pembebasan perbudakan belum diupayakan secara radikal karena harus
diselaraskan dengan situasi faktual dan kondisi objektif ummat Islam saat itu.
Namun, setelah hijrah dan menetap di Madinah, ayat-ayat al-Qur’an turun
dengan gencar dan sistimatis serta lebih radikal sebagai upaya untuk
menghapus sistem perbudakan yang tidak sempat dituntaskan sewaktu masih
di Mekkah. Karenanya, dalam surat al-Baqarah, termasuk sebagi surat yang
pertama kali diturunkan di Madinah, Allah menyebutkan bahwa pembabasan
budak sebagai al-birr yang disederetkan dengan berbagai kebajikan:
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesunguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatanya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orangorang yang meminta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, [huruf
miring dari penulis] mendirikan shalat, menunaikan zakat; dan orangorang yang menepati janjinya apabila ia berjanji dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderita dan dalam peperangan. Mereka itulah
yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” 33
Dalam ayat ini, Allah mengajarkan betapa mulia dan agung kebajikan
dimiliki bagi orang-orang yang memerdekakan budak, sampai-sampai Allah
menyamakan kebajikannnya dengan beriman kepada-Nya, beriman hari
akhirat, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan al-birr lainnya. Pada ujung
ayat tersebut Allah mengklaim bahwa orang-orang yang memerdekakan budak
termasuk salah seorang yang bertaqwa. Peredikat ketaqwaan tersebut sangat
layak dan logis untuk disandang, bukankah memerdekakan budak sebagai
“jalan yang mendaki lagi sukar”.
Seiring dengan ayat tersebut di atas, dalam upaya-upaya lebih intens guna
melakukan pembebasan perbudakan, al-Qur’an menyebutkan bahwa
pemberian harta untuk membebaskan budak yang semula dikategorikan
sebagai sedekah belakangan disamakan dengan pembayaran zakat. Karena itu,
al-Qur’an menyebutkan bahwa zakat yang terkumpul juga dimaksudkan untuk
memerdekakan budak. 34 Bahkan salah satu cara dalam agama Islam untuk
Al-Qur’an, al-Baqarah (2): 177
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam
33
34
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2008
menghapus perbudakan adalah diperkenankannya seorang budak meminta
kemerdekaannya pada tuannya dengan perjanjian bahwa ia akan membayar
sejumlah uang yang ditentukan. Untuk lebih cepat lunasnya perjanjian tersebut
hendaklah budak-budak itu ditolong dengan harta yang diambil dari zakat. 35
Sebagaimana disebut di awal tulisan ini, Islam pada periode Mekkah
masih mentolerir perbudakan itupun lantaran menjadi tawanan perang. Akan
tetapi, pendirian tersebut berubah setelah kemenangan kaum Muslim di perang
Badar. Ketika kaum Muslim memenangkan peperangan dan berhasil menawan
musuhnya, al-Qur’an memberikan pilihan ummat Islam: boleh menerima
tebusan atau membebaskan sama sekali. Artinya, setelah ayat berikut ini
diturunkan, perbudakan dalam Islam sudah tidak dapat dibenarkan oleh Allah:
Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang)
maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah
mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh
membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berkahir. 36
Sementara itu, kalau pada periode Mekkah, al-Qur’an masih mentolerir si
tuan “menggauli mamalakatnya” di luar nikah, maka pada periode Madinah alQur’an tampak sekali berupaya untuk mengangkat derajat kaum wanita,
sehingga kalau si tuan berhasrat ingin “menggauli” budak-budak wanitanya
dianjurkan terlebih dahulu menikahinya secara sah. Untuk itu, al-Qur’an tidak
memperkenankan lagi si tuan memaksakan hasrat lebido seksnya kepada
budak-budak wanita yang mereka miliki, 37 apapun alasanya, termasuk demi
menjaga kemaluan dan kehormatan, sebelum menikahi dengan baik-baik.
Al-Qur’an menyebutkan bahwa budak-budak wanita beriman termasuk
wanita-wanita yang tidak haram dinikahi. Ketika menikahinya, di samping
harus minta izin kepada tuannya, al-Qur’an menganugerahkan perhargaan
kepada budak-budak wanita dengan cara mendapatkan mas kawin. 38 Lebih dari
itu, al-Qur’an mengangkat derajat wanita-wanita budak beriman melebihi
wanita-wanita merdeka tetapi musyrik. Perbandingan ini tampak nyata dalam
al-Qur’an ketika seseorang berkeinginan untuk mengawini wanita musyrik yang
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan oleh Allah; dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.” Al-Qur’an, al-Taubah (9): 60
35 “….Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah
kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan
berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya padamu….”
Al-Qur’an, al-Nur (24): 33
36 Al-Qur’an, Muhammad (47): 40
37 “….Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran,
sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan
duniawi. Dan barang siapa memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa.” [Al-Qur’an, alNur (24): 33]
38 Al-Qur’an, al-Nisa (4): 24-25
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2008
menarik hatinya, tetapi diingatkan oleh Allah bahwa budak-budak wanita
beriman adalah lebih baik:
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak mu’min lebih baik dari orang musyrik
walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya…. 39
Anjuran untuk menikahi budak-budak wanita merupakan salah satu cara
Islam secara tidak langsung, dan tentu saja lewat lembaga pekawinan lebih
efektif, untuk membebaskan budak dari perbudakan. Kalaupun dia tidak
sempat merdeka, tetapi karena diikat suatu pertalian suci, tentu saja perlakuan
suami akan lebih beradab dan santun. Untuk pertimbangan masa depan,
tentunya anak yang dilahirkannya adalah anak merdeka. Karenanya, al-Qur’an
sepertinya, gencar mempromosikan agar seseorang mengawini budak-budak
wanita mu’min, misalnya al-Qur’an menyarankan, “barang siapa yang kurang
biaya” atau “agar terhindar dari perzinahan” maka nikahilah wanita-wanita
budak yang mu’min. 40
Di sisi lain, al-Qur’an juga mempuyai cara tersendiri dalam upayaupayanya pembebasan budak. Bagi seseorang yang melakukan pelanggaran
ajaran agama maka kaffarah alternatifnya adalah membebaskan budak. Pertama,
apabila seseorang membunuh dengan tidak sengaja orang mukimin,
kaffarahnya, disamping membayar “diat”, membebaskan budak. 41 Kedua, bagi
seseorang yang bersumpah dan melanggar sumpahnya maka hukumannya,
kalau tidak memberikan makanan dan pakaian kepada keluarga, maka harus
memerdekakan budak. 42 Ketiga, bagi orang-orang yang menzihar istrinya,
sebelum berhubungan kembali dengan istrinya, maka hendakalah ia
memerdekakan budak. 43
Sejak awal periode Mekkah Islam [lewat al-Qur’an dan nabiNya] telah
berupaya untuk membebaskan manusia dari perbudakan di tanah Arab; dan
bahkan bertujuan menghilangkan perbudakan di atas bumi. Harapan terakhir
ini baru tercapai ketika Islam berkembang dan jaya di Madinah. Di kota ini
berbagai cara telah ditempuh, baik langsung atau tidak langsung, untuk
menghapus perbudakan. Dalam mengakhiri tulisan ini akan dikutip pandangan
‘Abbas al-‘Aqqad, sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab:
Al-Qur’an, al-Baqarah (2): 221]
Lihat, al-Qur’an, al-Nisa (4): 25
41 Lihat, al-Qur’an, al-Nisa (4): 92
42 Lihat, al-Qur’an, al-Maidah (5): 89
43 Lihat, al-Qur’an, al-Mujadalah (56): 3
39
40
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2008
Kita ingin menyimpulkan apa yang ditempuh Islam dalam masalah
perbudakan sejak empat belas abad yang lalu dalam beberapa kalimat,
yakni bahwa Islam mengharamkan dan mencegah segala macam
perbudakan. Bentuk yang diloloskannya tidak lain kecuali apa yang
dibenarkan oleh dunia kita dewasa ini dan sampai kini. Dan ini berarti
bahwa Islam telah memberi tuntunan tentang apa yang sebaiknya dan
seharusnya dilakukan, karena kemanusiaan hingga kini belum dapat
memberikan tuntunan yang lebih baik dari tuntunan Islam yang telah
diberikanNya sejak empat belas abad yang lalu itu. 44
Setelah al-Qur’an berlalu empat belas abad yang silam, spirit al-Qur’an
tentang pembebasan manusia dari perbudakan semakin tidak dapat dicermati.
Akibatnya, dewasa ini amat kondusif tumbuhnya perbudakan modern [sekedar
ganti baju dari perbudakan klasik]. Kalau tidak cepat kembali kepada alQur’an, manusia akan semakin hilang kemanusiaannya. Artinya, lebih jauh ke
depan, peranannya sebagai khalifah perlu dipertanyakan.
Kesimpulan
Seiring dengan kecanggihan ilmu pengetahuan-teknologi dan
perkembangan peradaban anak manusia dewasa ini; seraya nilai-nilai keadilan
dan kemanusiaan serta hak-hak azasi manusia yang semakin gencar
diperjuangkan, sepertinya “perbudakan klasik secara sosiologis” (perbudakan
sesama manusia dalam bentuk ragawi, seperti yang diperagakan tempo dulu)
sudah mulai tidak relevan dan kadaluarsa untuk saat ini. Hasil capaian
pembebasan perbudakan, di samping dari proses kesadaran kemanusiaan
terhadap sesama, peranan al-Qur’an menjadi sangat signifikan dalam
melakukan proses penyadaran tersebut.
Namun di balik itu, semakin derasnya perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, sepertinya perbudakan modern secara sosiologis dan teologis
(perbudakan diri dan penuhanan terhadap “sesuatu” selain perbudakan dan
penuhanan terhadap Tuhan) malah sangat kondusif untuk lahir dan
berkembang dewasa ini. Bentuk perbudakan yang disebut belakangan inilah
justru lebih berbahaya dan gawat. Disebut lebih berbahaya karena manusia
dalam kondisi secara tidak sadar telah memperbudak dirinya terhadap
“sesuatu” yang kabur. Disebut lebih gawat karena begitu banyaknya “tuan”
dan banyaknya “tuhan” yang harus dilayani dan diabdi sehingga merampas
kehendak dan kebebasannya serta tidak menikmati kemerekaannya sebagai
manusia. Sikap polyteisme seperti itu, menurut bahasa al-Qur’an adalah syirik.
Sedangkan syirik, menurut Allah, adalah ladzulmun ’adzim (penganiayaan diri
terbesar). Sesungguhnya ini adalah malapetaka terdahsyat yang menimpa
manusia modern saat ini.
44
Quraish, Tafsir Al-Qur’an al-Karim..., hlm. 810
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2008
Pada dasarnya manusia diciptakaan oleh Allah sebagai puncak ciptaan
dalam kondisi bebas dan merdeka. Adalah keliru sekali kalau manusia
membatasi dan mengekang diri terhadap sesama ciptaan Allah; atau (lebih
keliru lagi) kalau manusia menghambakan diri pada hasil ciptaannya sendiri.
Untuk itu, dalam menghilangkan perbudakan manusia, baik perbudakan
sesama manusia mapun perbudakan diri terhadap hawa nafsu, benda-benda,
pekerjaan dan wanita serta lainnya, maka al-Qur’an mengajarkan agar manusia
hanya mengabdi dan menghambakan diri semata-mata kepada Allah. Karena
dengan mengabdi dan menghambakan diri pada Allah tidak berarti seseorang
telah terkungkung dalam memperbudak dirinya. Namun, justru sebaliknya,
dengan hanya mengabdi dan menghambakan diri pada Allah, manusia malah
membebaskan dan melepaskan dirinya dari berbagai bentuk perbudakan.
Bibliografi
Ali, Sayid Amier, The Spirit of Islam, (Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delli, tt.).
Watt, W. Montgemory, Muhammad at Madina, (Oxford: OUP, 1956).
Amal, Taufiq Adnan dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual AlQur’an, (Bandung; Mizan, 1989), hlm. 66
Hashem, H. Fuad, Sirah Muhammad Rasulullah Suatu Penafsiran Baru, (Bandung:
Mizan, 1990).
J.J. Saunders, A History of Medieval Islam, (London: Routlege, 1965).
Lewis, Bernard, The Political Language of Islam, (Chicago: University Chicago
Press, 1989).
M. A. Shaban, Sejarah Islam: Penafsiran Baru 600-750, (Jakarta: Grafindo
Persada, 1993).
Raharjo, Dawam, “Ensiklopedi al-Qur’an “Abd”, dalam Ulumul Qur’an,
Nomor 1,Vol. V, Thn. 1994.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Tafsir atas Surat-surat Pendek
Beredasarkan Urutan Turunnya Wahyut, (Bandung: Pustaka Hidayah,
1997).
Watt, W. Montgemory, Kejayaan Islam: Kajian Kritis Tokoh Orientalis,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, t.th).
Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2008
Download