LAPORAN KASUS Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan PPDS 1 Radiologi TUBEROUS SCLEROSIS COMPLEX: TEMUAN CT SCAN KEPALA Oleh : dr. Fajar Sinaga Pembimbing: dr. Yana Supriatna, Ph.D, Sp. Rad BAGIAN RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA 2014 BAB I PENDAHULUAN Tuberous sclerosis complex (TSC) merupakan sindrom neurokutan autosom dominan yang bercirikan munculnya tumor jinak kongenital pada beberapa organ. Penyakit ini merupakan kelainan genetik yang sangat kompleks dengan variasi manifestasi klinis yang tinggi. Beberapa penderita TSC kadangkala tidak menunjukkan gejala sama sekali dan dapat menjalani kehidupan sehari-hari tanpa terdiagnosis sebagai penderita TSC. Tuberous sclerosis complex sendiri disebut demikian karena munculnya suatu bentukan mirip tuberkel pada otak, mengalami kalsifikasi dan mengeras seiring bertambahnya usia. Tuberkel ini dapat terlihat dengan pemeriksaan penunjang radiologi. Pemahaman dan penegakan diagnosis kelainan TSC sangatlah penting. Meskipun angka kejadian kelainan ini rendah, namun morbiditas dan mortalitas yang mungkin ditimbulkan bisa sangat berat dan komplikasi yang ditimbulkan bisa berujung kematian. Biasanya pada bayi dan anak-anak, TSC teridentifikasi sebagai penyebab epilepsi, autisme, dan penyakit jantung. Pada orang-orang dewasa atau lanjut usia bermanifestasi menjadi gagal ginjal, kelainan pulmoner, kulit dan kondisi neurologis lainnya. Variabilitas tampilan klinis dan tingkat keparahan penyakit yang tinggi menyebabkan penegakan diagnosis menjadi sulit, terutama pada individu muda dengan temuan klinis yang kurang jelas. Pada tahun 2012 diadakan konferensi internasional TSC untuk menyempurnakan konsesus panduan penegakan diagnosis sebelumnya pada tahun 1998. Konsesus penegakan diagnosis ini mengutamakan kriteria genetik dan kriteria klinis baik mayor ataupun minor. Dengan pembaharuan kriteria penegakan diagnosis diharapkan dapat membantu pemahaman manifestasi klinis, mekanisme genetik dan molekular kelainan TSC.1,2 Alasan pengambilan kasus adalah kejadian penyakit TSC jarang ditemui, memiliki gambaran radiologis yang khas. Pada kasus yang akan dibahas ini terdapat perbedaan diagnosis antara pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan klinis (pemeriksaan radiologis belum mengarah pada diagnosis TSC). Tujuan penulisan makalah ini untuk melaporkan dan membahas sebuah kasus TSC pada seorang anak berusia 3 tahun. Diharapkan pemahaman dan pengetahuan kelainan TSC semakin baik, terutama dari gambaran CT scan kepala. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFENISI Tuberous sclerosis complex (TSC) adalah sebuah sindrom neurokutan autosom dominan yang bercirikan munculnya tumor jinak kongenital pada beberapa organ. Diagnosis biasanya ditegakkan pada temuan klinis dan radiologis. Temuan trias klasik berupa epilepsi, retardasi mental dan adenoma sebaseum yang menjadi karakteristik yang khas, namun tidak selalu muncul pada pemeriksaan klinis, sehingga pemeriksaan radiologis memainkan peran penting dalam penegakan diagnosis dan pengobatan tuberous sclerosis.3 Penyakit TSC pertama sekali dijelaskan oleh Friedrich von Recklinghausen pada tahun 1862 yang mengidentifikasikan seorang bayi dengan kelainan tumor rhabdomyoma di jantung dan lesi sklerotik di otak. Kelainankelainan yang ditemukan tersebut belum dapat dipahami dengan jelas berhubungan dengan kematian bayi. Pada tahun 1880, Desire Bourneville mendokumentasikan gejala-gejala neurologis seorang bayi dengan kelainan lesi massa yang keras pada korteks otak seperti kentang yang keras. Selanjutnya kelainan tersebut diberi istilah tubeorous sclerosis.4 Satu abad kemudian, John Pringle menemukan hubungan antara kelainan neurologis dengan kelainan pada kulit, dijelaskan kelainan adenoma sebaseum pada pasien retardasi mental. Perkembangan penelitian lebih lanjut semakin mengetahui penyakit TSC mencakup kelainan kulit, sistem saraf pusat, jantung, paru-paru, ginjal, tulang dan darah.4 B. ETIOLOGI Dua lokus genetik yang menjadi penyebab kejadian TSC telah teridentifikasi, yang pertama pada pita kromosom 9q34 (disebut juga TSC1) dan yang kedua pada pita kromosom 16p13 (disebut juga TSC2). Mutasi pada kedua gen tersebut akan menyebabkan kelainan neurokutan yang disebut tuberous sclerosis complex.3,4,5 C. EPIDEMIOLOGI Kejadian tuberous sclerosis kurang terdiagnosis sebelum tahun 1980, insidensinya diperkirakan antara 1:100.000 sampai 1:200.000.6,7 Penelitian terakhir memperkirakan frekuensi kejadian TSC sekita 1:6.000 sampai 1:10.000 kelahiran hidup dan pada populasi diperkirakan sekitar 1:20.000.8,9 Tubero sclerosis terjadi pada kelompok ras dan etnik, serta pada semua jenis kelamin. Diperkirkan saat ini terdapat 1.500.000 pasien menderita penyakit TSC.4 D. PATOFISIOLOGI Secara klinis TSC memiliki pola autosomal dominan dengan tingkat mutasi spontan yang tinggi. Dua lokus genetik yang berbeda bertanggung jawab pada TSC telah teridentifikasi, yang pertama pada pita kromosom 9q34 (disebut juga TSC1) dan yang kedua pada pita kromosom 16p13 (disebut juga TSC2). Hamartin, produk dari TSC1, teridentifikasi pada tahun 1997 memiliki fungsi sebagai tumor supressor. Walaupun secara fungsi terpisah, hamartin dan tuberin telah diketahui memiliki suatu daerah yang saling “bergulung-gulung” yang berinteraksi satu sama lain. Hamartin dan tuberin membentuk suatu kompleks yang menghambat kompleks protein mTOR (mammalian target of rapamycin) melalui protein aktifator GTP-ase Rheb. mTOR dinamai demikian karena kemampuannya untuk berikatan dengan obat immunosupresan Rapamycin (Sirolimus, Rapamune) sebelum fungsi sebenarnya ditemukan. Fungsi lain dari mTOR adalah sebagai “tombol kendali utama” anabolisme dan katabolisme sel, dan memiliki fungsi pengaturan yang penting dalam pertumbuhan sel, volume sel, dan sintesis protein. mTOR juga diregulasi oleh berbagai faktor lain termasuk insulin dan asam amino. Gen TSC2 ditemukan pada tahun 1993, dan produk proteinnya bernama tuberin. Tuberin berfungsi sebagai activator dari GTP-ase dan diduga berfungsi sebagai tumor supressor. Kadar tertinggi tuberin pada manusia ditemukan pada otak, jantung, dan ginjal. Tuberin juga terdapat pada arteriol ginjal, kulit, dan jantung, juga pada neuron piramidal dan sel Purkinje cerebellum. Fungsi yang sebenarnya dari tuberin ini, terutama pada neurogenesis, masih belum jelas. Tuber terbentuk diperkirakan ketika sel progenitor neural yang sudah bermutasi pada matriks germinal di subependimal meningkatkan sel-sel anak yang akan menghasilkan tuber. Tuber dapat mengalami degenerasi kistik atau kalsifikasi, atau tampak sebagai bagian menyangat setelah pemberian kontras pada neuroimaging, namun hal ini tidak secara langsung menghasilkan transformasi maligna. Fungsi produk gen TSC, hamartin dan tuberin, telah banyak diketahui beberapa tahun terakhir. Bersama-sama, mereka membentuk kompleks tumor supressor, yang melalui fungsi aktivasi GTPase dari tuberin, menyebabkan GTPase kecil disebut Ras homolog enhanced in the brain (Rheb) menjadi tahap inaktif terikat-GDP. Rheb yang terikat GTP, tahap aktif, merupakan efektor positif pada mTOR. Mutasi pada hamartin atau tuberin menyebabkan Rheb menjadi fase aktif, yang menyebabkan signaling mTOR. mTOR menjadi mediator banyak efek pada pertumbuhan sel melalui fosforilasi protein ribosom s6 kinase (s6Ks) dan repressor faktor inisiasi sintesis protein eIF4E, 4EBPs. S6Ks bekerja meningkatkan pertumbuhan sel dan sintesis protein, mengingat 4EBPs bekerja untuk menghambat proses ini. mTOR berinteraksi dengan s6Ks dan 4EBPs melalui protein penghubung bernama Raptor. Pada saat mTOR teraktivasi melalui mutasi pada hamartin atau tuberin, hal ini akan menghasilkan lesi hamartomatosa pada otak, ginjal, jantung, paru-paru, atau organ lain.4,5 D. GAMBARAN KLINIS Tuberous sclerosis merupakan kelainan phakomatosis terbanyak kedua setelah neurofibromatosis tipe 1. Kelainan ini memiliki ciri-ciri terbentuknya tumor hamartoma jinak dan neoplasma grade rendah pada berbagai sistem organ. Gambaran klasik yang berhubungan dengan TSC adalah trias Vogt: epilepsi, retardasi mental dan adenoma sebaseum wajah. Trias ini hanya terlihat 30-40% pasien TSC, sekitar setengah pasien TSC memiliki tingkat intelegensi normal.10 1. Kelainan Dermatologis dan Dental a. Makula hipomelanotik Makula hipomelanotik merupakan temuan yang signifikan karena kelainan kulit ini terdapat pada 90% pasien, terlihat pada saat lahir maupun masa kanakkanak (sebelum berusia 2 tahun). Makula hipomelanotik disebut juga ash leaf spot. Jumlah lesi yang banyak merupakan tanda-tanda TSC. Bila ukurannya kecil, diperlukan pemeriksaan dibawah lampu khusus. Menurut kriteria penegakan diagnosis terbaru, kelainan makula hipomelanotik memiliki syarat diameter minimal 5mm, dan dibedakan dengan kelainan kulit berupa lesi Confetti yang biasanya berjumlah banyak dan berukuran kecil (Gambar 1).2,4 Gambar 1. Makula hipomelanotik pada punggung bagian bawah. b. Facial Angiofibroma atau Adenoma sebaseum dan Forehead Plaque Facial Angiofibroma terdapat pada 75% pasien TSC, onset biasanya pada umur 2 dan 5 tahun. Kelainan ini hampir dikatakan merupakan tanda patognomonik. Jumlah lesi pada kebanyakan kasus adalah banyak, pada kasus TSC yang ringan, jumlah facial angiofibroma sedikit. Facial Angiofibroma multipel dan neoplasia endokrin tipe 1 (MEN1) biasanya terlihat pada sindrom Birt-Hogg-Dube (BHD).2 Lesi ini pertama kali dijelaskan oleh Pringle dengan istilah adenoma sebaseum. Penamaan ini sebenarnya keliru, sebab lesi ini tidak memiliki kelenjar sebaseum. Lesi ini merupakan sebuah hamartoma yang disusun oleh jaringan ikat dan elemen vaskuler, sehingga penamaan yang tepat adalah angiofibroma. Angiofibroma merupakan papula berwarna merah muda di regio malar wajah (Gambar 2).4 Gambar 2. Angiofibroma pada regio malar wajah. Forehead plaque merupakan lesi yang sangat mirip dengan facial angiofibroma (Gambar 3). Terdapat pada 25% pasien TSC. Biasanya terletak pada kening, bersifat unilateral. Meskipun demikian bisa juga muncul pada lokasi lain di kulit kepala, sehingga penamaanya direkomendasikan menjadi fibrous cephalic plaque, untuk meningkatkan kewaspadaan bila kelaianan ini muncul pada kulit kepala.2 Gambar 3. Fibrous cephalic plaque, A. Pada kening. B Pada kulit kepala c. Ungual Fibroma Ungual fibroma merupakan lesi nodular atau seperti daging yang menonjol yang timbul dari dekat atau dari bawah permukaan kuku (Gambar 4). Kelainan ini biasanya spesifik untuk TSC, meskipun kadangkala bisa muncul pada orang normal yang mengalami trauma pada kuku. Fibroma ini bisa saja tidak terlihat, hanya terlihat sebagai lekukan alur longitudinal pada kuku merupakan temuan yang penting. Ungual fibroma lebih banyak terlihat pada pasien dewasa daripada anak-anak.1 Gambar 4. Ungual fibroma pada jari-jari tangan d. Shagreen Patch Shagreen patch terdapat pada 50% kasus TSC, onsetnya pada dekade pertama.2 Kelainan kulit ini hampir merupakan tanda spesifik untuk TSC (Gambar 5). Biasanya terdapat pada punggung bagian bawah atau regio flank, merupakan bercak-bercak kulit berbentuk ireguler dan sedikit menonjol.1 Gambar 5. Shagreen patch seorang anak laki-laki berusia 16 tahun. Tampak nevus jaringan ikat (kolagenoma) pada punggung bagian bawah. http://www.globalskinatlas.com/imagedetail.cfm e. Lesi kulit Confetti Lesi kulit confetti merupakan makula hipopigmentasi berukuran 1-3 mm tersebar meluas sebagai suatu area yang berbintik-bintik di regio tubuh lengan atau kaki (Gambar 6). Frekuensi temuan ini bervariasi sekitas 2-58% pada anakanak. Meskipun temuan ini tidak banyak, namun masih dianggap berguna dalam penegakan diagnosis. Pada pasien dewasa temuan kulit ini kurang begitu signifikan, karena timbul kelainan serupa pada kulit oleh karena paparan sinar matahari.1,2 Gambar 6. Lesi kulit makula confetti multipel pada perut dan tangan pada seorang anak laki-laki. http://openi.nlm.nih.gov/detailedresult.php?img=2810693_IJD-54-255-g003&req=4 f. Dental Enamel Pit Dental enamel pit merupakan lubang-lubang kecil pada enamel gigi (Gambar 7). Lubang pada enamel gigi ini lebih sering terlihat pada pasien TSC. Sebuah penelitian melaporkan terdapat dental enamel pit pada 100% pasien TSC dewasa, sementara itu terdapat 7% dental enamel pit pada populasi dewasa.11 Gambar 7. Multipel dental enamel pit g. Intraoral fibroma Fibroma ginggiva telah lama diketahui memiliki hubungan dengan penyakit TSC. Kelainan ini muncul sekitar 20-50% pada pasien TSC, terbanyak pada dewasa dibandingkan anak-anak (Gambar 8).2 Gambar 8. Fibroma intra oral (ginggiva dan labial fibroma) 2. Kelainan Optalmologik a. Hamartoma Retina Multipel Temuan hamartoma retina multipel ditentukan sebagai temuan yang signifikan dan spesifik. Lesi ini hampir mirip dengan temuan tuberkel-tuberkel di jaringan otak. Terdapat sekitar 30-50% pasien TSC memiliki kelainan ini. Pada populasi normal sangat jarang ditemui. Hamartoma retina ini tidak mengurangi visus pasien, dan menjadi penanda penyakit TSC pada anak-anak yang belum menujukkan manifestasi klinis lainnya (Gambar 9).2 Gambar 9. Hamartoma retina b. Retinal Achromic patch Retinal Achromic patch adalah sebuah area hipopigmentasi pada retina (Gambar 10). Bercak ini terdapat sekitar 39% pasien TSC, sementara itu pada populasi normal insidensinya sekitar 1:20.000.2 Gambar 10. Retinal achromic patch 3. Kelainan Sistem Saraf Pusat Kelainan neurologis pada pasien TSC merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas paling tinggi. Kelainan neurologis ini termasuk kejang, pertumbuhan terlambat, masalah perilaku, dan autisme.12,13 Kejang merupakan gejala terbanyak, sekitar 90%, sekitar 50% mengalami retardasi mental dan kelompok ini memiliki mutasi pada gen TSC2.14,15 Autisme ringan sampai sedang sangat lazim dijumpai pada pasien TSC, dijumpai pada 25-50% pasien.13 Autisme pada TSC memiliki predominansi yang sama pada laki-laki dan perempuan, sementara pada populasi umum, autisme kebanyakan ditemui pada laki-laki. Penyebab autisme ini belum diketahui dengan jelas, bisa saja akibat sekunder timbulnya tuberkel pada lobus temporal atau akibat fokus epiletipform.13 a. Cortical Dysplasia Terminologi cortical dysplasia digunakan untuk menggantikan istilah cortical tuber yang selama ini digunakan. Cortical dysplasia merupakan kelainan bawaan yang terjadi oleh karena kegagalan migrasi sebagian atau sekelompok neuron ke tempat yang sesuai pada masa perkembangan otak. Cortical dysplasia mencakup kelainan cortical dan subcortical tuber dan kelainan jalur migrasi radial substansi putih.2 Tampilan klasik sebuah tuber adalah lesi displastik girus yang memiliki struktur yang keras, terasa berbenjol-benjol, biasanya muncul pada puncak girus. Munculnya tuber tidak menimbulkan perbesaran girus bersangkutan.1 Tampilan makro tuber menyerupai kentang, dengan tekstur yang keras, sehingga kelainan ini dikenal dengan istilah tuberous sclerosis. Secara patologis, tuber merupakan hamartoma epipleptogenik yang menunjukkan laminasi kortikal yang kacau. Hamartoma tersebut terdiri atas komponen glial dan neuron seperti astrosit raksasa atipikal, neuron malorientasi, dan sel raksasa yang aneh.16 Sekitar setengahnya mengalami kalsifikasi, terlihat jelas pada CT scan dan kadangkadang terlihat pada foto kepala.17 Kelainan substansi putih pada TSC adalah kegagalan migrasi sebagian atau sekelompok neuron, terlihat sebagai pita-pita radial yang memanjang dari permukaan ependim ventrikel menuju ke korteks, kadangkala berakhir pada subcortical tuber. Pita-pita ini terlihat pada 80% pasien TSC menggambarkan komponen heterotropik neuron dan glial yang berhenti selama migrasi kortikal.4 b. Nodul Subependimal Nodul subependimal adalah tumor jinak yang berkembang disepanjang dinding ependim yang berbatasan dengan ventrikel lateral dan ventrikel ketiga. Nodul subependimal terdapat pada sekitar 80% kasus TSC, biasa terdeteksi sebelum dan sesudah kelahiran. Pertumbuhan nodul ini termasuk lambat, meskipun demikian dapat menyebabkan gangguan neurologis termasuk juga hydrocephalus. Nodul subependimal mengalami kalsifikasi progresif sepanjang waktu.18 Kalsifikasi pada nodul subependimal terlihat sebanyak 90% kasus.4 Jumlah nodul subependimal tidak berkorelasi dengan keparahan klinis TSC, tetapi penderita yang memiliki banyak nodul subependimal memiliki kecenderungan kelemahan kognitif dan sulit untuk mengendalikan kejang-kejang yang dialami.19,20 c. Subependymal Giant Cell Astocytomas (SEGAs) Merupakan neoplasma tingkat rendah yang muncul di dekat foramen Monro pada 10-15% kasus TSC. Lebih banyak ditemukan pada saat anak-anak atau remaja, jarang ditemui setelah usia 20 tahun jika sebelumnya belum ada. Subependimal Giant Cell Astocytoma diduga berasal dari nodul subependimal, terutama yang terletak dekat foramen Monro.18 berbeda dengan cortical tuber, SEGAs memiliki kemampuan untuk tumbuh besar dan dapat menimbulkan gejalagejala seperti peningkatan tekanan intra kranial, defisit neurologis fokal, dan pemburukan kontrol kejang. Tumor ini bersifat invasif lokal, dengan pembedahan sedini mungkin merupakan tindakan kuratif.1 Bila terdapat kecurigaan SEGAs, maka dilakukan pemantauan paling tidak sekali setahun dengan pemeriksaan MRI kepala.4 4. Kelainan Kardiovaskuler Rhabdomioma Jantung Rhabdomioma jantung merupakan tumor hamartoma jinak yang paling banyak ditemukan pada anak-anak. Meskipun dapat timbul sporadis, sekitar 80% anak yang memiliki rhadomioma jantung memiliki kelainan TSC, dan dua pertiga penderita TSC memiliki rhabdomioma jantung.1 Kelainan tumor di jantung ini merupakan temuan spesifik TSC. Tumor rhabomioma ini lebih sering ditemukan di ruang bilik jantung. Keberadaan tumor ini biasanya tidak menimbulkan masalah medis yang serius, namun dapat menggangu fungsi pompa ruang bilik jantung, menggangu fungsi katup jantung dan pada akhirnya mengakibatkan obstruksi outflow jantung.21 Rhabdomioma jantung biasanya ditemukan berjumlah lebih dari satu buah.1 5. Kelainan Pulmoner Lymphangioleiomyomatosis (LAM) Lymphangioleiomyomatosis merupakan proliferasi sel-sel otot polos atipik pada saluran limfatik paru-paru, khususnya muncul pada wanita (kecenderungan lima kali lebih banyak daripada pria).1,22 Lymphangioleiomyomatosis merupakan kelainan khas paru-paru pada TSC, beberapa penderita TSC memiliki kelainan hiperplasia pneumosit mikronoduler. Pneumotoraks spontan, dispneu, batuk, dan hemoptisis merupakan gejala pulmoner khusus TSC.1 Mutasi somatik gen TSC2 berperan penting atas timbulnya kelainan parenkim paru-paru ini.2,4 Pasien yang memiliki kelainan lymphangioleiomyomatosis ditandai dengan kesulitan bernafas yang progresif (ekspirasi) dan pneumotoraks berulang pada usia dekade ketiga dan keempat. Penelitian terakhir menunjukkan hasil, dengan peningkatan usia penderita TSC wanita akan meningkatan keterlibatan paru-paru.2 6. Kelainan Ginjal a. Angiomiolipoma (AML) Merupakan tumor hamartoma jinak yang teridiri atas komponen otot polos, lemak, dan pembuluh darah abnormal.23 Tumor ginjal ini terlihat pada 75% anak-anak penderita TSC, biasanya multipel dan bilateral. Meskipun demikian, sekitar 80% penderita AML, tidak menunjukkan tanda-tanda TSC. Mutasi gen TSC2 diketahui menyebabkan kelainan AML. Tumor ini dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron, jarang ditemui pada usia sebelum pubertas.4 Tumor AML bersifat asimptomatis dan berkembang seiring bertambahnya usia penderita. Ukuran tumor lebih dari 4 cm meningkatkan resiko terjadinya perdarahan. Manifestasi TSC pada ginjal merupakan salah satu sumber morbiditas dan mortalitas. Permasalahan ginjal ini merupakan penyebab kematian kedua terbanyak setelah disabilitas intelektual berat.2 b. Kista Ginjal Multipel Kista epitelial ginjal jinak terlihat kurang dari setengah penderita TSC. Kista ginjal berhubungan dengan mutasi gen TSC 1 dan TSC2 atau sebagai bagian dari mutasi gen yang berdekatan pada kromosom 16 yang menyebabkan kelainan TSC dan PKD1. Kista ini berkembang seiring dengan waktu, ukuran yang besar bisa menimbulkan terjadinya efek massa, menyebabkan gagal ginjal dan hipertensi.4 7. Kelainan Endokrin Beberapa temuan kelainan endokrin pada penderita TSC adalah munculnya tumor hamartoma pada organ-organ endokrin.24 Adrenal angiomiolipoma terdapat pada 25% penderita TSC, namun jarang menimbulkan perdarahan.25 Adenoma papiler tiroid telah dilaporkan pada penderita TSC, tetapi tidak menimbulkan disfungsi tiroid.26,27 Beberapa kasus yang jarang dilaporkan terdapat tumor angiolipoma atau fibroadenoma pada kelenjar pituitari, pankreas atau kelenjar gonad.24 8. Kelainan Saluran Cerna Manifestasi TSC pada saluran cerna cukup jarang. Sekitar 10-25% penderita TSC memiliki angiomiolipoma hati.28 Tumor hati angiomiolipoma termasuk temuan penting dalam penegakan TSC. E. PENEGAKAN DIAGNOSIS Sampai saat ini penegakan diagnostik TSC berdasarkan kriteria genetik dan klinis. Konferensi konsensus internasional tuberous sclerosis complex kedua diadakan di kota Washington, Amerika Serikat pada tanggal 13-14 Juni 2012 telah merumuskan dan memperbaharui kriteria konsensus sebelumnya (1998). Berbagai ahli dari penjuru dunia telah bersidang menetapkan kriteria diagnostik, surveilans dan rekomendasi manajemen pasien penderita TSC. Salah satu perubahan signifikan adalah penggabungan kategori pemeriksaan genetik. Mutasi patogenik diartikan sebagai mutasi yang menyebabkan berhentinya fungsi protein TSC1 atau TSC2, mencegah sintesa protein, atau terjadinya mutasi missense yang berakibat pada fungsi protein.2 Kriteria diagnosis tersebut antara lain: 1. Kriteria diagnosis genetik: a. Diagnosis definitif: identifikasi jaringan normal yang mengandung salah satu gen TSC1 atau TSC2 yang mengalami mutasi DNA patogenik., b. Variasi mutasi TSC1 dan TSC2 dengan akibat fungsional kurang jelas, tidak termasuk kriteria ini, belum cukup untuk dijadikan diagnosis definitif. 2. Kriteria diagnosis klinis: a. Temuan Mayor: makula hipomelanotik (≥3, diameter minimal 5mm), angiofibroma (≥3) atau fibrous cephalic plaque, ungual fibroma (≥2), shagreen patch, hamartoma retina multipel, cortical dysplasia, nodul subependimal, subependymal giant cell astrocytoma, cardiac rhabdomyoma, lymphangioleiomyomatosis dan angiomiolipoma (≥2). b. Temuan Minor: lesi kulit confetti, dental enamel pits, intraoral fibroma, retinal achromic patch, kista ginjal multipel dan non renal hamartoma. Ketentuan diagnosis defenitif bila terdapat dua temuan mayor atau satu temuan mayor dengan ≥2 temuan minor. Kemungkinan diagnosis bila terdapat satu temuan mayor atau ≥2 temuan minor.2 F. GAMBARAN RADIOLOGIS 1. Cortical dan Subcortical Tuber Cortical dan subcortical tuber merupakan tumor hamartoma yang bisa menyebabkan epilepsi. Tuber tumbuh pada saat embriogenesis. Letak tuberkel di korteks atau subkorteks dan meluas diatas girus. Pada pemeriksaan CT scan, tuber terlihat sebagai lesi dengan atenuasi rendah dan biasanya tidak menyangat (Gambar 11).29,30 Sekitar setengahnya mengalami kalsifikasi,29 terlihat dengan baik pada CT scan dan kadang-kadang terlihat pada foto kepala. Tuber biasanya multipel (95%), dalam kondisi yang jarang ditemukan tuber yang soliter.31 Pemeriksaan MRI menunjukkan lesi ini berupa area yang memiliki sinyal rendah pada sekuen T1 dan sinyal tinggi pada sekuen T2 dan FLAIR (Gambar 12). Bila lesi telah mengalami kalsifikasi, akan menyebabkan timbulnya artefak blooming dan kehihilangan sinyal yang signifikan.29,30 Gambar 11. Seorang anak dengan tuber korteks dan subkorteks. CT scan tanpa kontras (a) dan imejing MR FLAIR axial (b) menunjukkan tuber subkorteks berukuran besar di lobus frontal kiri (panah besar). Tuber berukuran kecil multipel juga terlihat pada CT scan. Hamartoma berukuran kecil juga terlihat di substansi putih posterior kiri (panah putih b) memiliki gambaran kistik yaitu intensitas sinyal rendah di sentral, dan tepi perifer terlihat peningkatan sinyal FLAIR. Pada anak lain, tampak mineralisasi difus di hamartoma lobus frontalis kiri dengan batas tak tegas, terlihat atenuasi berkabut pada CT scan (c), MRI terlihat hilangnya sinyal sekuen T2-W (d).4 Gambar 12. Seorang anak perrempuan berusia 4 tahun dengan TSC. A imejing T1 menunjukkan hipointensitas (panah hitam) dan B imejing T2 menunjukkan hiperintensitas sinya (panah putih) di substansi putih subkorteks lobus frontalis kiri dan lobus parietal kanan. Diferensiasi substansi putih dan abu-abu sebagian mengabur.32 2. Nodul subependimal Nodul subependimal ditemukan pada dinding ventrikel lateral dan di sepanjang permukaan ventrikel terutama di lekukan caudo thalamic regio foramen Monro.32 Lesi terlihat isointens terhadap substansi abu-abu pada pemeriksaan MRI. Nodul yang mengalami kalsifikasi pada 90% kasus akan menyebabkan artefak blooming pada MRI, hal ini berbeda dengan pemeriksaan CT scan. Untuk mendiagnosis TSC dengan gejala-gejala yang tidak tampak, pemeriksaan CT scan sangat berguna.4 Kalsifikasi nodul subependimal merupakan karakteristik TSC terlihat sangat baik dengan pemeriksaan CT scan. Nodul subependimal muncul dari sekitar dinding ventrikel, menonjol ke lumen ventrikel (Gambar 13 dan 14).1 Gambar 13. Imejing CT scan seorang anak dengan TSC, terlihat kalsifikasi nodul subependimal, kalsifikasi lesi parenkimal berukuran besar.1 Gambar 14. Nodul subependimal. A. Imejing MR menunjukkan lesi sebagai titik putih pada permukaan subependim dinding ventrikel. Adanya kalsifikasi menyebabkan adanya sinyal yang hilang. B. Pada pasien lainnya, kalsifikasi pada nodul subependimal terlihat baik pada pemeriksaan CT scan, lesi dengan atenuasi tinggi di sepanjang permukaan ventrikel.4 3. Subependymal Astocytoma Giant Cell Tumor astrositoma ini terlihat sekitar 6-14% individu penderita TSC, berkembang terutama pada masa kanak-kanak. Lokasi tumor ini tumbuh di sekitar foramen Monro. Ukuran yang membesar dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial. Disfungsi neurologis akut dan subakut berasal dari obstruksi tibatiba sistem ventrikuler maupun oleh karena perdarahan yang berasal dari tumor. Gambaran tumor ini mirip dengan tampilan nodul subependimal. Pada pemeriksaan kontras, hampir semua menyangat, sehingga untuk kepentingan praktis, diagnosis tumor ini didasarkan atas ukuran lebih besar dari 10 cm, pertumbuhan yang terlihat, dan menyebabkan gejala-gejala hydrochepalus (Gambar 15).1,4 Gambar 15. Imejing MRI dengan kontras gadolinium. A.Sekuen T1 menunjukkan subependymal giant cell astrocytoma yang menyangat menonjol ke ujung depan ventrikel lateralis kiri. B. Imejing lain pasien dengan TSC menunjukkan tumor berukuran besar yang mengisi hampir seluruh ventrikel lateralis kanan.1 4. Garis-garis Migrasi Radial Gambaran garis migrasi radial dipercaya mewakili sel glia dan neuron heterotropik disepanjang jalur migrasi kortikal.33 Lokasi utama garis migrasi radial ini terletak di substansi putih subkortikal, dan kadang-kadang berhubungan dengan tuber (Gambar 16).32 Gambar 16. Imejing MRI kepala seorang anak laki-laki berusia 8 tahun. Sekuen FLAIR tampilan axial menunjukkan tuber kortikal dan subkortikal (panah hitam) dan gari migrasi radial (panah putih).32 5. Microcephaly Penderita TSC diketahui memiliki volume substansi putih dan abu-abu cerebri yang lebih kecil dibandingkan orang-orang normal. Hasil statistik mikroenchepaly yang signifikan ditemui pada pasien TSC dengan atau tanpa riwayat epilepsi (Gambar 17).32 Gambar 17. Seorang anak perempuan berusia 6 tahun penderita TSC. A dan B rekonstruksi 3 dimensi MRI menunjukkan total volume otak 994 cm3 (A) dibandingkan dengan pasien yang tidak menderita TSC sebesar 1290 cm3.32 6. Rhabdomioma Jantung Rhabdomyoma jantung merupakan tumor jantung terbanyak pada anakanak. Rhabdomioma dapat ditampilkan melalui pemeriksaan imejing pranatal pada saat usia kehamilan 22-28 minggu. Dapat terlihat intramural, namun paling sering intraluminal sebagai massa menonjol ke dalam ruang ventrikel (Gambar 18). Melalui pemeriksaan sonografi terlihat sebagai massa ekogenik, pada pemeriksaan MRI sekuen T1 terlihat sebagai massa isointens terhadap otot jantung dan hiperintens pada sekuen T2 (Gambar 19).4 Gambar 18. Pemeriksaan echocardiografi menunjukkan rhabdomioma jantung (panah).2 Gambar 19. Rhabdomioma jantung pada usia kehamilan trimester kedua dan setelah lahir. A. Imejing MR T2 tampilan axial menunjukkan massa jantung dengan beberapa sinyal yang tinggi (panah) pada janin dengan riwayat keluarga TSC. B Imejing MR post natal (tampilan 4 ruangan) menunjukkan lesi yang sama (panah). C. Pemeriksaan CT scan dengan kontras menunjukkan massa jantung yang mengandung jaringan lemak di ventrikel kiri, diduga AML jantung.4 7. Lymphangioleiomyomatosis (LAM) Merupakan proliferasi sel-sel otot polos atipik pada saluran limfatik paruparu, khususnya muncul pada wanita (kecenderungan lima kali lebih banyak daripada pria).1,22 Lymphangioleiomyomatosis merupakan kelainan khas paru-paru pada TSC, beberapa penderita TSC memiliki kelainan hiperplasia pneumosit mikronoduler (Gambar 20). Penegakan kriteria LAM didasarkan atas konsensu pulmonologis: 1. Pemeriksaan patologi anatomi sejalan dengan LAM; 2. Pemeriksaan CT scan resolusi tinggi sesuai dengan gambaran LAM dengan kista yang berlimpah (≥4) tanpa adanya komorbid pembaur lain pada pasien TSC dengan minimal satu kriteria mayor atau dua kriteria minor; 3. Pemeriksaan CT scan resolusi tinggi sesuai dengan gambaran LAM dengan tambahan kriteria salah satu lymphangioleiomyoma abdomen dan toraks, efusi pleura kilous, dan asites kilous.34 Gambar 20. Lymphangioleiomyomatosis. A. Foto toraks menujukkan volume paru yang besar, opasitas retikular berbatas halus difus di kedua paru. Hiperekspansi paru pada penyakit paru intertisiel merupakan hal jarang, dan patut diduga adanya kelainan LAM. B. CT scan resolusi tinggi pada wanita penderita TSC. Kista berdinding tipis banyak ditemui (panah hitam) di seluruh paru. Tampak juga hiperplasia pneumosit mikronoduler dan pertumbuhan berlebih hamartomatosa tipe 2 pneumosit, dan nodul berukuran 2-5 mm (panah putih) juga ditemui.4 8. Angiomiolipoma Ginjal Temuan angiolipoma merupakan kriteria mayor (jumlah ≥2). Angiolipoma merupakan temuan relatif spesifik untuk TSC. Imejing khas angimiolipoma berupa massa fokal, berbatas tegas, mengandung lemak. Biasa terlihat di korteks, dan multipel. Komponen lemak yang terdapat pada tumor ini menyebabkan tampilan pada sonografi terlihat sebagai massa ekogenik, terdapat banyak bayangan dibanding RCC lebih. Pola infiltrasi juga dapat terlihat pada tumor AML, sifat atenuasinya dan sinyal yang ditampilkan bergantung pada jumlah komponen lemak, jaringan ikat, dan pembuluh darah (Gambar 21). Tumor AML yang mengandung sedikit komponen lemak sulit dibedakan dengan RCC. Pemeriksaan dengan menggunakan bahan kontras dapat membantu membedakannya. Penyangatan homogen dan berlangsung lama merupakan ciri khas tumor AML.35 Gambar 21. Imejing CT scan abdomen menunjukkan tumor angiolipoma ginjal bilateral. Tampak area merupakan angiolipoma yang mengandung komponen jaringan lemak.2 9. Kista Ginjal Pada pemeriksaan sonografi, terlihat sebagai massa anekoik dengan batas tajam, dinding tipis, dan terdapat peningkatan trasmisi sinyal sonografi. Pemeriksaan CT scan dan MRI terlihat massa bulat berbatas tegas, dengan pemberian kontras tidak menunjukkan penyangatan (Gambar 22).35 Gambar 22. Kista ginjal pada penderita TSC. A. CT scan tampilan axial menunjukkan kista beratenuasi cairan berjumlah banyak pada ginjal kiri, tampak adanya kalsifikasi pada tepi kista terbesar. B. Tampilan koronal imejing MR T2 menunjukkan kista ginjal berjumlah banyak menyebabkan pembesaran ukuran ginjal.4 G. DIAGNOSIS BANDING Fahr's Disease (FD) Fahr's disease atau sindrom Fahr merupakan suatu kelainan neurologis yang jarang, ditandai dengan penumpukan kalsifikasi abnormal di ganglia basalis dan korteks cerebri. Deposit kalsium teridiri atas kalsium karbonat dan kalsium posfat dengan lokasi yang paling sering di ganglia basalis, thalamus, hippocampus, korteks cerebri, substansi putih subkortikal cerebellum dan nukelus dentata. Prevalensi FD sekitar <1:1.000.000 dengan onset sekitar dekade ketiga sampai keempat. Kelainan ini pertama sekali dijelaskan oleh ahli saraf Jerman bernama Karl Theodor Fahr pada tahun 1930. Kebanyakan penderita menunjukkan gejala-gejala ekstra piramidal. Penyebaran FD secara umum melalui penurunan sifat autosom dominan, namun dapat juga diteruskan melalui sifat-sifat autosom resesif yang terjadi secara sporadis. Sebuah lokus pada kromosom 14q (IBGC1) dipercaya terlibat atas terjadinya FD.36 Penyakit Fahr atau disebut juga kalsifikasi striato-pallido-dentata merupakan entitas yang berhubungan dengan familial atau kemunculan sporadis, dua pertiga penderita menunukkan gejala yang khas. Tampilan klinis berupa gangguan gerakan, demensia, kejang epileptik, berbagai derajat kelemahan neuropsikologikal dan gangguan perilaku.37 Kriteria diagnosis FD: 1. Kalsifikasi bilateral di ganglia basalis yang terlihat melalui pemeriksaan neuroimejing. Lokasi otak lainnya juga terdapat kalsifikasi; 2. Disfungsi neurologis progresif, termasuk kelainan gerakan dengan manifestasi neuropsikiatrik. Onset dekade keempat dan kelima; 3. Tidak terdapat kelainan biokimia atau kelaian mitokondria atau kelainan metabolik dan penyakit sistemik lainnya; 4. Tidak terdapat penyakit infeksi, keracunan, dan akibat trauma; 5. Riwayat kelainan autosom dominan yang diwariskan pada keluarga.38 Pemeriksaan radiologis sangat berperan penting dalam penegakan diagnosis FD. Gambaran FD pada pemeriksaan CT scan adalah temuan kalsifikasi cerebri (Gambar 23). Area yang paling sering terlibat antara lain nukleus lentikular, terutama globus pallidus interna, girus cereberal, batang otak, centrum semiovale, dan substansi putih subkortikal. kalsifikasi di putamen, thalamus, nukleus kaudatus dan nukleus dentata juga sering ditemui. Biasanya kalsifikasi ini dimulai dari regio di luar ganglia basalis. Bila diamati, kalsifikasi bersifat progresif dan bertahap. Temuan ini sejalan dengan pemeriksaan MRI, tampak area dengan intesitas sinyal rendah pada sekuen T2, dan intensitas sinyal tinggi pada sekuen T1. Lesi di regio cerebelar tampak heterogen. Bila terdapat proses gliosis reaktif atau degenerasi jaringan dengan area berkalsifikasi, maka akan tampak intesitas sinyal tinggi pada sekuen T1 dan T2. Bila terlihat pada foto kepala, maka akan tampak sebagai gugusan kalsifikasi pungtata simetris di atas sella tursika dan di lateral garis tengah, sedangkan kalsifikasi pada regio subkortikal dan cerebelar akan terlihat bergelombang.39 Gambar 23. Fahr's disease. A. Imejing CT scan axial (ketebalan 10 mm) menunjukkan area deposit kalsium dengan atenuasi tinggi di kedua ganglia basalis (panah) dan di substansi putih lobus frontal dan lobus occipital.39 B. Kalsifikasi di ganglia basalis pada penderita Fahr's disease. http://atlas.mudr.org/Case-images-Fahr%27s-disease-morbus-Fahr-1158 Kalsifikasi Intracerebri Oleh Karena Infeksi Kongenital Temuan kalsifikasi nodul subependimal multipel yang menggangu ventrikel lateralis atau kalsifikasi nodul subependimal yang berhubungan dengan lesi berupa massa (giant cell astrocytoma subependimal) di foramen monro, diagnosis TSC hampir pasti tegak. Penyebab terbanyak kalsifikasi otak pada pasien berusia dibawah satu tahun adalah infeksi toksoplasma dan cytomegalovirus, namun lebih jarang menggangu ventrikel lateralis, kelainan ini memiliki hubungan yang lebih kuat dengan kejadian atrofi cerebri dan microenchepaly. Toksoplamosis yang berhubungan dengan microcephaly, katarak, atau chorioretinitis bisa dijadikan diagnosis. Rubella dan encephalitis paska herpes simpleks juga menyebakan terjadinya kalsifikasi.40 Kalsifikasi intracerebri sering dijumpai pada penderita infeksi kongenital, tetapi penampilannya tidak khas, karena proses kalsifikasi yang terjadi mirip dengan penampilan trauma otak kronik. Kalsifikasi di ganglia basalis dan di korteks cerebri kahas untuk infeksi sindrom TORCH (toxoplasmosis, rubella, CMV, dan HSV). Infeksi CMV dan toxoplasmosis menyebabkan kalsifikasi di periventrikuler dan kalsifikasi di subependimal (Gambar 24). Akan tetapi, kalsifikasi yang taerjadi pada penderita toxoplasmosis bisa hilang setelah pengobatan. Infeksi kongenital HIV berhubungan dengan kalsifikasi periventrikuler frontal dan kalsifikasi susbtansi putih dan cerebelar. Infeksi kongenital HSV-2 berhubungan dengan kalsifikasi di tahalamus, periventirkuler, kortikal atau kalsifikasi girus yang luas.41 Gambar 24. Imejing Axial CT scan. Kalsifikasi di ganglia basalis dan korteks cerebri post infeksi toxoplasma. Ada banyak agen infeksius yang dapat berpengaruh pada sistem saraf pusat janin. Kelompok terbanyak agen infesius ini dikenal dengan nama TORCH, terdiri dari toksoplasmosis, rubella, cytomegalovirus (CMV) dan herpes simplex virus (HSV). Infeksi HSV kongenital menunjukkan destruksi otak yang luas, enchepalomalacia multikistik dan kalsifikasi yang tersebar luas.42 Toksoplasmosis kongenital biasanya berhubungan dengan hidrocephalus dan kalsifikasi nodular acak di periventrikuler, ganglia basalis, dan area korteks cerebri. Infeksi rubella kongenital berhubungan dengan meningitis, ventrikulitis dan berlanjut dengan ventikulomegaly. Klasifikasi biasanya terdapat di periventrikuler, substansi putih, ganglia basalis dan bantang otak.43 Infeksi CMV merupakan infeksi kongenital terbanyak, berhubungan dengan terjadinya microcephaly, chorioretinitis, dan kalsifikasi intrakranial. Kalsifikasi biasanya terlihat di periventikuler dan lokasi subependimal (Gambar 25).42 Gambar 25. Imejing Axial CT scan non kontras. A. tampak kalsifikasi luas di thalamus bilateral dan peribentikuler dengan dilatasi asimetri ventrikuler pada penderita toksoplasmosis kongenital. B Kalsifikasi luas di perientrikuler dan subependimal dengan hidrocephalus yang nyata pda penderita infeksi CMV. H. PENATALAKSANAAN Tujuan penatalaksanaan individu yang menderita TSC sama seperti individu yang menderita kondisi penyakit multi sistem kronik, yaitu menjaga kemungkinan kualitas hidup terbaik dengan sedikit komplikasi, sedikit efek samping pengobatan dan sebisa mungkin pemberian obat sedikit mungkin. Manajemen klinis paling penting adalah mengendalikan kejang, perdarahan dan rasa nyeri yang timbul dari angiolipoma, dan insufisiensi pernafasan akibat LAM. Penanganan kejang dengan memberikan onat-obatan anti epilepsi. Pada beberapa kasus dilakukan reseksi kortikal. Penanganan angiolipoma dengan embolektomi bila ukuran tumor melebihi 3-4 cm. Pengobatan tahap akhir LAM adalah tranplantasi paru-paru. Belum ada pengobatan sistemik khusus untuk TSC.44 Beberapa pilihan terapetik untuk penderita TSC berkisar pada manajemen gejala yang timbul. Vigabatrin merupakan inhibitor ireversibel GABA telah digunakan untuk menghentikan spasme masa kanak-kanak lebih dari 90% penderita TSC.10 Rapamycin merupakan imunosupresan yang dihasilkan dari bakteri berfungsi untuk menghambat jalur mTOR dan telah digunakan untuk menekan pertumbuhan SEGA.45,46 Pengobatan lymphangioleiomyomatosis menggunakan terapi antiestrogen seperti oophorectomi, progesterone dan tamoxifen. Ahli radiologi sebaiknya familiar dengan pengobatan ini, karena akan terjadi perubahan tampilan imejing para penderita yang telah diberi agen terapetik.47 BAB III LAPORAN KASUS Seorang pasien perempuan berusia 3 tahun dengan berat badan 14,5 kg dibawa berobat oleh orang tuanya ke poliklinik anak RSUD M dengan keluhan utama kejang. Orang tua anak juga mengeluhkan demam dan batuk pilek. Selama ini anak rutin dibawa berobat orang tuanya berobat dengan diagnosis epilepsi dan gangguan tumbuh kembang. Kejang yang dialami pasien sejak umur 4 bulan. Sampai berusia 3 tahun pasien belum bisa duduk, berdiri dan berjalan secara mandiri. Tiga tahun sebelum masuk rumah sakit (usia empat bulan), pasien mengalami kejang-kejang. Kejang yang dialami pasien kurang lebih enam kali perhari. Orang tua mengamati pada bibir bergetar sebelah kanan, bahu kanan, kaki kanan dan kiri mengalami kejang. Pada saat itu anak dibawa berobat ke RSUD M dan didiagnosis partial seizure complex. Kemudian orang tua pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan EEG pada anak. Selanjutnya anak dibawa ke RSUP MJ Padang untuk dilaukan pemeriksaan EEG. Rekaman dilakukan dalam keadaan tidur dengan premedikasi Cpz 15mg oral dan deladril 5mg oral. Hasil pemeriksaan EEG: irama dasar gelombang tetha dengan frekuensi 5-7Hz dengan voltase 50-60uV dan dijumpai sleep spindle. Tidak dijumpai asimetri. Dijumpai gelombang spesifik berupa gelombang paku multipel (polyspikes) dan gelombang tajam (sharp waves) yang tersebar secara difus. Tidak dijumpai gelombang paroksismal. Dengan PS juga manifes. Kesan: EEF pada perekaman saat ini didapatkan abnormal III dengan epileptiform discharge umum. Dua Tahun sebelum masuk rumah sakit (usia satu tahun) anak kembali kejang-kejang berulang lebih dari 6 kali perhari, anak juga mengalami batuk pilek. Kemudian anak dibawa berobat ke dokter spesialis anak di Padang. Diagnosis pneumonia dan epilepsi terkontrol. Kemudian dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan CT scan kepala dan echocardiografi di Jakarta. Dilakukan pemeriksaan CT scan kepala non-kontras di Padang (usia satu tahun dua bulan). Hasil pemeriksaan tampak lesi hiperdens dengan batas tegas tepi ireguler disertai perifokal oedem di frontotemporal kanan. Tampak pula lesi hiperdens di frontotemporoparietal, batas tegas tepi reguler tidak disertai perifokal oedem, disertai kalsifikasi patologis di daeral ganglia basal kiri, para dan periventrikel lateral kanan dan kiri. Sulci dan gyri daerah frontotemporoparietal tampak melebar. Sistem ventrikel dan cysterna tak melebar. Garis midline ditengah. Cerebellum, pons dan CPA baik. Kesan: Perdarahan intracerebral di frontotemporal kanan dan multipel infark cerebri dengan multipel kalsifikasi patologis dan brain atrofi DD CMV (Gambar 26). Dilakukan pemeriksaan echocardiografi di Jakarta (pada saat anak berusia satu tahun), hasil: situs solitus, AV-VA concordance, semua PV masuk ke LA, rongga-rongga jantung tidak dilatasi. Fungsi LV baik. ASD (-) , VSD (-) , PDA (). Katup-katup semuanya baik. Massa padat besar 2 buah yang tidak menyebabkan obstruksi RVOT: melekat di apex RV mengisi ruang RV (14x31mm), melekat dengan bebas RV (12x21mm). Arkus aorta normal. Disimpulkan terdapat tumor rhabdomyoma 2 buah (Gambar 27A). Selanjutnya pasien diberi pengobatan obat anti kejang dan dilakukan fisioterapi. Disarankan pemeriksaan echocardiografi untuk mengetahui perkembangan massa di ventrikel kanan. Satu tahun sebelum masuk rumah sakit (anak berusia 2 tahun), dilakukan pemeriksaan laboratorium immunoserologi di Padang. Hasil : Anti HSV1 IgG positif, Rasio: 1.91 (Nilai rujukan negatif, < 0.8 negatif, 0.8 ≤ Rasio < 1.1 Borderline, ≥ 1.1. positif). Anti HSV1 IgM negatif, Rasio: 0.21 (Nilai rujukan : negatif, < 0.8 negatif, 0.8 ≤ Rasio < 1.1 Borderline, ≥ 1.1. positif). Hasil pemeriksaan laboratorium TORCH: Toxoplasma IgG: 0,519 (Reaktif), Nilai rujukan : 0,2934. Toxoplasma IgM: 0,229 (Reaktif), Nilai rujukan 0,450. Rubella IgG : < 0,17, nilai rujukan <10. Rubella IgM: 0,22, nilai rujukan <1. Citomegallo Virus IgG: 0,499 (Non reaktif), nilai rujukan: 0,5897. Citomegallo Virus IgM: 0,774 (Reaktif), nilai rujukan: 0,4068. Satu bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien dibawa orang tuanya periksa echocardiografi di Jakarta untuk mengetahui perkembangan tumor jantung. Hasil pemeriksaan echocardiografi: masih tampak massa di RV terfiksir diameter bervariasi 14-20mm (Gambar 27B), RV dan LV fungsi masih baik, defek negati dan katup-katup baik. Hari masuk rumah sakit RSUD M, orang tua membawa anak berobat ke poliklinik anak. Anak masih sering kejang-kejang 4 kali perhari. Pasien didiagnosis epilepsi tidak terkontrol, GDD, infeksi CMV laten dd tuberosclerosis. Kemudian pasien diperiksakan di poli radiologi untuk pemeriksaan USG upper dan lower abdomen: Hepar, VF, Lien, Pancreas normal. Kedua ren dan VU normal. Tak tampak adanya gambaran massa intrabdomen (Gambar 28). Konsultasi di poliklinik kulit kelamin: pada wajah, ekstremitas tampak patch hipopigmentasi dengan berbagai ukuran, multipel, discrete (Gambar 29). Dx: Hipopigmentasi/hipomelanotik macula. Gambar 26. Hasil pemeriksaan CT Scan pada tanggal 27-04-2012. Gambar 28 A dan B. A. Hasil pemeriksaan Echocardiografi pada tanggal 11-07-2012. B. Hasil pemeriksaan Echocardiografi pada tanggal 29-03-2014. Gambar 28. Hasil pemeriksaan USG Abdomen pada tanggal 14-04-2014. Gambar 29. Foto Kedua kaki dan wajah. BAB IV PEMBAHASAN Tuberous Sclerosis, yang juga dikenal sebagai tuberous sclerosis complex, adalah kondisi medis yang ditandai dengan munculnya tumor jinak pada tubuh. Kondisi ini bersifat herediter dan disebabkan oleh mutasi genetik. Gejala spesifik akan tergantung di bagian tubuh mana tumor tersebut muncul; beberapa lokasi yang sering menunjukkan manifestasi antara lain otak, jantung, ginjal, paru-paru dan kulit. Kejang yang tidak bisa dikendalikan dan masalah perilaku merupakan akibat yang timbul dari kelainan yang ada di otak. Gangguan pernafasan lebih sering pada pasien wanita dewasa. Gangguan kerja ginjal diakibatkan adanya tumor dan jaringan abnormal yang menggantikan struktur ginjal normal, seiring dengan bertambahnya usia gangguan ginjal semakin berat. Tumor jinak yang muncul di ruang bilik jantung sangat khas sebagai penanda kelainan TSC, biasanya muncul pada usia neonatus sampai kanak-kanak. Seiring bertambahnya usia, ukuran tumor jinak jantung ini kan berkurang dan pada beberapa kasus akan hilang. Prognosis tergantung dari beratnya kondisi ini; kasus ringan cenderung memiliki prognosis yang lebih baik. Kadang-kadang tumor dapat menyebabkan komplikasi melalui penyumbatan saluran-saluran atau pembuluh-pembuluh darah; bahkan kadang-kadang tumor-tumor tersebut dapat berubah menjadi ganas. Tuberous sclerosis complex merupakan kelainan genetik yang bersifat autosom dominan. Secara teoritis kelainan ini diturunkan dari orang tuanya. Meskipun demikian terdapat banyak kasus TSC tanpa adanya riwayat keluarga yang sama. Hal ini disebabkan munculnya mutasi spontan pada gen TSC1 dan TSC2. Sebanyak dua pertiga atau tiga perempat kasus timbul dari mutasi spontan.1 Berdasarkan anamnesis orang tua pasien, tidak didapatkan kelainan serupa pada keluarga, baik dari garis keturunan bapak maupun ibu. Pada kasus ini kemungkinan terbesar kelainan akibat mutasi spontan. Keluhan utama pasien ini adalah kejang yang tidak teratasi. Kejang yang dialami pasien sejak berusia 4 bulan. Menurut literatur, kejang merupakan tanda awal yang terlihat sebagai manifestasi kelainan TSC. Trias Vogt berupa epilepsi, retardasi mental atau intelegensia yang rendah (idiot), dan bercak-bercak adenoma sebaseum sangat dekat dengan kelainan TSC. Pada pasien ini gejala kejang dan retardasi mental terlihat jelas, sedangkan adenoma sebaseum tidak terlihat pada kasus ini. Penegakan diagnosis kelainan TSC didasarkan atas temuan genetik dan klinis. Temuan-temuan tersebut dibagi lagi dalam kriteria mayor dan minor. Kelainan utama yang sering didapati pada TSC masuk dalam kriteria mayor, sedangkan temuan yang kurang khas dan juga banyak ditemukan pada kelainan lain atau pada populasi normal masuk dalam kriteria minor. Kriteria genetik mengisyaratkan terdapatnya mutasi patogenik gen TSC1 dan TSC2. Gen TSC1 dan TSC2 merupakan gen yang bersifat tumor supressor. Hilangnya fungsi tumor supressor ini akan mengakibatkan munculnya tumor-tumor jinak pada berbagai organ tubuh. Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan genetik. Sehingga penegakan diagnosis menggunakan temuan klinis kriteria mayor dan minor. Pada pasien ini terdapat lebih dari dua kriteria mayor, mendukung penegakan TSC. 1. Makula hipomelanotik Makula hipomelanotik merupakan temuan yang signifikan karena kelainan kulit ini terdapat pada 90% pasien, terlihat pada saat lahir maupun masa kanakkanak (sebelum berusia 2 tahun). Pada pasien ini terdapat makula hipomelanotik dengan ukuran lebih dari 5mm, jumlah lebih dari tiga buah. Makula hipomelanotik terlihat di kedua tungkai bawah dan wajah pasien (Gambar 30). Gambar 30. Makula hipomelanotik pada kasus. Tampak bercak hipomelanotik di kedua tungkai bawah dan wajah. 2. Rhabdomyoma Jantung Rhabdomyoma jantung merupakan tumor hamartoma jinak yang paling banyak ditemukan pada anak-anak. Meskipun dapat timbul sporadis, sekitar 80% anak yang memiliki rhadomyoma jantung memiliki kelainan TSC, dan dua pertiga penderita TSC memiliki rhabdomyoma jantung.1 Kelainan tumor di jantung ini merupakan temuan spesifik TSC. Tumor rhabomyoma ini lebih sering ditemukan di ruang bilik jantung. Pada kasus ini, kelainan rhabdomyoma jantung sudah terdeteksi pada usia 1 tahun 4 bulan melalui pemeriksaan echocardiography. Terdapat tumor rhabdomyoma di ruang bilik kanan dengan ukuran 14mmx31mm dan 12mmx21mm. Tidak terdapat adanya komplikasi, katup-katup masih baik, dan tidak terdapat obstruksi bilik kanan. Dilakukan pemeriksaan kontrol saat anak berusia 3 tahun 1 bulan, masih terdapat tumor rhabdomyoma jantung, dengan ukuran relatif menetap (Gambar 27 A dan B). 3. Cortical displasia Terminologi cortical dysplasia digunakan untuk menggantikan istilah cortical tuber yang selama ini digunakan. Cortical dysplasia merupakan kelainan bawaan yang terjadi oleh karena kegagalan migrasi sebagian atau sekelompok neuron ke tempat yang sesuai pada masa perkembangan otak. Cortical dysplasia mencakup kelainan cortical dan subcortical tuber dan kelainan jalur migrasi radial substansi putih.2 Pada pemeriksaan CT scan, tuber terlihat sebagai lesi dengan atenuasi rendah dan biasanya tidak menyangat dengan pemberian kontras dan sekitar setengahnya mengalami kalsifikasi,29 terlihat dengan baik pada CT scan dan kadang-kadang terlihat pada foto kepala. Pada pasien ini terlihat tuber multiple dengan tampilan area hypodens dengan batas kurang tegas di lobus parietal dan frontal bilateral (Gambar 31). Gambar 31. Imejing CT Scan Axial tanpa kontras pada kasus, Tampak cortical tuber berupa lesi hypodens (panah hitam) dengan batas relatif tegas di lobus parietal bilateral. Pada gambar C tampak kalsifikasi pada tuber di lobus fronto-temporal dextra (panah putih). 4. Nodul subependimal Nodul subependimal merupakan tumor jinak yang terdapat disepanjang dinding ependim yang berbatasan dengan ventrikel lateral dan ventrikel ketiga. Nodul subependimal terdapat pada sekitar 80% kasus TSC, biasa terdeteksi sebelum dan sesudah kelahiran. Pertumbuhan nodul ini termasuk lambat, meskipun demikian dapat menyebabkan gangguan neurologis termasuk juga hidrocephalus. Nodul subependimal mengalami kalsifikasi progresif sepanjang waktu.18 Kalsifikasi pada nodul subependimal terlihat sebanyak 90% kasus.4 Jumlah nodul subependimal tidak berkorelasi dengan keparahan klinis TSC, tetapi penderita yang memiliki banyak nodul subependimal memiliki kecenderungan kelemahan kognitif dan sulit untuk mengendalikan kejang-kejang yang dialami.19,20 Gambar 32. Imejing axial CT tanpa kontras pada kasus menunjukkan adanya nodul subependimal dengan kalsifikasi bilateral berdekatan dengan ventrikel lateralis. Tampak juga kalsfikasi di girusgirus lobus frontalis kiri. Pada pasien ini belum tampak adanya gambaran hydrocephalus, kemungkinan adanya subependymal giant cell astrocytoma belum dapat dibuktikan dengan pemeriksaan CT scan (Gambar 35). Pemeriksaan yang terbaik untuk menampilkan adanya SEGA adalah MRI. Temuan klinis berupa empat kriteria mayor diatas merupakan dasar penegakan diagnosis TSC pada pasien ini. Gambaran khas pada pemeriksaan CT scan sesuai dengan literatur yang ada. Berdasarkan hasil pemeriksaan CT scan, diagnosis banding pada pasien ini adalah Fahr's disease dan kalsifikasi intracerebri akibat infeksi kongenital. Dasar pemilihan diagnosis banding ini adalah ditemukannya lesi hiperdens multipel di lobus fronto-parieto-temporal kanan, ganglia basalis kiri dan paraventrikuler lateralis bilateral. Lesi hiperdens pada pemeriksaan CT scan bisa menunjukkan adanya perdarahan ataupun proses kalsifikasi. Pada gambar CT scan tersebut, tidak dilakukan pemeriksaan densitas lesi hiperdens (berupa nilai Hounsfield Unit/HU), sehingga perlu analisa lebih lanjut untuk menyingkirkan diagnosis banding perdarahan. Gambaran perdarahan intracranial pada pemeriksaan CT scan bergantung pada umur perdarahan. Segera setelah terjadi perdarahan, extra vasase darah segar akan menunjukkan tampilan area heterogen dengan nilai densitas 40-60 HU, merupakan gabungan kompleks sel darah merah, sel darah putih, kumpulan platelet dan protein kaya serum. Beberapa bagian perdarahan ini memiliki densitas sedikit diatas parenkim otak normal. Berlanjut sampai beberapa jam, densitas pendarahan meningkat dengan cepat sampai 60-80 HU. Hal ini sesuai dengan proses pembentukan jaringan molekul fibrin, fibril dan globin. Komponen hemoglobin yang terdapat pada protein globin akan menampilkan densitas yang tinggi. Berlanjut pada proses retraksi cairan, hematokrit akan meningkat sampai 90% sehingga densitas perdarahan akan meningkat. Proses penjendalan darah pada minggu pertama ini akan menujukkan lesi hiperdens dengan batas yang tegas. Pada perdarahan yang luas kadang kala terlihat adanya gambaran horizontal fluid-fluid level, merupakan garis yang membatasi komponen seluler yang mengendap dan bagian supernatan berupa serum darah. Seiring dengan berjalannya proses pematangan perdarahan, akan terdapat area hiperdens dengan densitas 80-100 HU di bagian tengah diikuti dengan area halo berupa lesi hypodens yang mengelilingnya. Tahapan ini sangat singkat karena akan tejadi proses proteolisis yaitu terjadi pemecahan molekul globin. Densitas perdarahan akan berkurang 0,7-1,5 HU perhari. Setelah beberapa minggu atau bahkan berbulan, akan terjadi proses digesti oleh makrofag, jendalan darah akan diresorpsi. Gambaran akhir suatu proses perdarahan adalah sebuah cavitas menyerupai celah yang dibatasi oleh lesi hiperdens berupa hemosiderin. Lokasi perdarahan sangat menentukan jenis dan patofisiologi perdarahan. Gambaran hiperdens pada CT scan kasus ini bisa diartikan sebagai perdarahan intracranial. Lesi hiperdens pada kasus bila dibandingkan dengan dengan lesi hiperdens pada perdarahan terdapat ketidak sesuaian, antara lain klinis pasien, lokasi perdarahan tidak mengikuti pola vaskularisasi otak, gambaran hiperdens tanpa adanya area halo, dan lesi hiperdens yang terpisah-pisah. Sehingga disimpulkan lesi hiperdens pada kasus ini merupakan sutu proses kalsifikasi intracerebri. Diagnosis banding pada kasus ini, Fahr's disease, suatu kelainan neurologis yang jarang dijumpai ditandai dengan penumpukan kalsifikasi abnormal di ganglia basalis dan korteks cerebri. Tampilan klinis FD berupa gangguan gerakan, demensia, kejang epileptik, berbagai derajat kelemahan neuropsikologikal dan gangguan perilaku. Gejala klini khas FD berupa sindrom extrapiramidal. Pada kasus ini tidak ditemui adanya gejala-gejala extrapiramidal. Kalsifikasi ganglia basalis yang terlihat melalui pemeriksaan CT scan ditandai dengan lesi hiperdens yang simetris, hal ini tidak sesuai dengan kasus. Klasifikasi yang terdapat pada kasus tidak simetris dan letaknya lebih dominan berada di para ventrikuler bilateral. Onset FD diketahui pada saat dekade keempat dan kelima, hal ini sangat bertolak belakang pada kasus. Umur pasien pada kasus ini masih dekade pertama. Pada literatur pernah dilaporkan kasus FD pada anak-anak yang berusia 2 tahun 9 bulan, dengan gejala klinis kejang dan keterlambatan pertumbuhan. Hasil pemeriksaan CT scan menunjukkan kalsifikasi di ganglia basalis yang simetris. Kalsifikasi intracerebri akibat infeksi kongenital adalah diagnosis banding lainnnya. Pada kasus ini, hasil pemeriksaan laboratorium terhadap adanya infeksi toxoplasma: IgG reaktif, IgM non reaktif; rubella : negatif, CMV: IgG non rekatig, IgM reaktif dan HSV: negatif. Hasil pemeriksaan ini mengindikasikan pasien pernah terjangkiti penyakit toxoplasmosis di waktu yang lampau. Hasil IgG reaktif dan IgM non reaktif menunjukkan infeksi tersebut sudah lebih dari satu tahun yang lampau. Hasil pemeriksaan CMV IgG non reaktif dan IgM reaktif mengindikasikan kemungkinan adanya proses infeksi akut atau hasil pemeriksaan positif palsu. Disarankan untuk pemeriksaan ulang 2 minggu kemudian. Bila hasil tetap sama, maka hasil pemeriksaan ini positif palsu. Infeksi kongenital toxoplasmosis biasanya berhubungan dengan hidrocephalus dan kalsifikasi di periventrikuler, ganglia basalis dan beberapa area korteks cerebri. Tingkat keparahan kerusakan sistem saraf pusat akibat toxoplasmosis berkaitan dengan usia kehamilan pada saat infeksi. Jika janin masih berusia 20 minggu, temuan kelainan bisa sangat fatal, antara lain microcephaly, hydrocephalus, tetraparesis, seizure, cognitive impairment, migrational disorder, microophtalmia dan kebutaan akibat chorioretinitis. Infeksi setelah minggu ke 20 mengakibatkan kelainan dan keparahan semakin variabel. Parasit toxoplasma akan mengakibatkan area nekrotik diberbagai area seperti cerebri, cerebelli, batang otak, dan saraf tulang belakang. Akibat sistem imun yang belum matang dan proses phagositosis yang lemah, area nekrotik tersebut sering mengalami kalsifikasi. Tanda kalsifikasi tersebut merupakan gambaran khas infeksi toxoplasmosis. Ukuran kalsifikasi tersebut berhubungan dengan durasi infeksi. Kalsifikasi yang berukuran besar menujukkan infeksi terjadi pada trimester pertama dan kedua.48 Apabila infeksi terjadi pada trimester pertama (sebelum 20 minggu) maka akan mengakibatkan kerusakan otak yang parah. Pada kasus ini tidak dijumpai adanya kelainan seperti microcephaly, hydrocephalus, kebutaan akibat chorioretinitis. Dengan demikian bisa saja terdapat riwayat infeksi toxoplasmosis pada pasien ini namun belum mengakibatkan kelainan yang cukup parah pada jaringan cerebri, cerebelli, batang otak maupun saraf tulang belakang, sehingga kalsifikasi multipel intracerebri yang terdapat pada kasus ini kemungkinan bukan akibat dari riwayat infeksi toxoplasma. Infeksi CMV merupakan infeksi kongenital terbanyak, berhubungan dengan terjadinya microcephaly, chorioretinitis, dan kalsifikasi intrakranial. Kalsifikasi biasanya terlihat di periventikuler dan lokasi subependimal. Insidensinya cukup tinggi, di Amerika Serikat tercatat kasus CMV 30.000 sampai 40.000 kasus pertahunnya. Infeksi CMV merupakan penyebab utama gangguan pendengaran akibat infeksi. Seperti halnya infeksi toxoplasmosis, usia kehamilan pada saat infeksi berhubungan dengan keparahan kerusakan otak yang terlihat pada pemeriksaan imejing otak. Infeksi pada awal kehamilan mengakibatkan lissencephaly, sementara infeksi pada usia kehamilan 18-24 mengakibatkan kelainan polymicrogyria. Sementara infeksi pada trimester akhir menujukkan anatomis otak terlihat normal.49 Temuan penyerta lain adalah ventriculomegaly, kalsifikasi intracerebri, dan cerebellar hipoplasia. Pada kasus ini, tidak terdapat adanya tanda-tanda ventriculomegaly maupun gambaran lissencephaly. Dengan demikian kalsifikasi intrakranial pada kasus ini kemungkinan bukan akibat dari infeksi CMV. Dari uraian analisa-analisa diatas, diagnosis banding pada kasus ini berupa Fahr’s diseases dan kalsifikasi intracerebri akibat penyakit infeksi toxoplasmosis dan CMV dapat disingkirkan. Kriteria mayor yang ditemui pada kasus ini lebih dari 2, dengan demikian diagnosis kasus ini adalah tuberous sclerosis complex. BAB V KESIMPULAN Dilaporkan sebuah kasus seorang pasien anak perempuan berusia tiga tahun dengan gejala neurologis berupa kejang yang tidak terkendali serta gangguan pertumbuhan global. Pada kasus ditemui kriteria mayor berupa makula hipomelanotik di wajah dan kedua tungkai bawah; rhabdomyoma multipel pada ruang bilik kanan jantung; pada pemeriksaan CT scan kepala ditemukan gambaran tuber kortikal dan kalsifikasi nodul subependimal sesuai dengan gambaran penyakit tuberous sclerosis complex. DAFTAR PUSTAKA 1. Roach E, Sparagana S. Diagnosis of Tuberous Sclerosis Complex. J Child Neurol. 2004; 19:643-9. 2. Northrup H, Krueger DA. Tuberous Sclerosis Complex Diagnostic Criteria Update: Recommendations of the 2012 International Tuberous Sclerosis Complex Consensus Conference. Pediatr Neurol. 2013; 49:243-54. 3. Umeoka S, Koyama T, Miki Y, et al. Pictorial Review of Tuberous Sclerosis in Various Organs. RSNA Annual Meeting. 2008. 4. Henry J, Baskin Jr. The pathogenesis and imaging of the tuberous sclerosis complex. Pediatr Radiol. 2008; 38:936–52. 5. Peter B, Crino MD, Katherine L, Nathanson MD, Henske EP. The Tuberous Sclerosis Complex. N Engl J Med. 2006; 355:1345-56. 6. Stevenson A, Fischer O. Frequency of epiloia in Northern Ireland. Br J Prev Soc Med. 1956; 10:134-5. 7. Nevin N, Pearse W. Diagnostic and genetical aspects of tuberous sclerosis. J Med Genet. 1968; 5:273-80. 8. O’Callaghan F, Shiell A, Osborne J, Martyn C. Prevalence of tuberous sclerosis estimated by capture-recapture analysis. Lancet. 1998; 352: 318-19. 9. Sampson J, Scahill S, Stephenson J, Mann L, Connor J. Genetic aspects of tuberous sclerosis in the west of Scotland. J Med Genet. 1989; 26: 28-31. 10. Maria BL, Deidrick KM, Roach ES, et al. Tuberous sclerosis complex: pathogenesis, diagnosis, strategies, therapies, and future research directions. J Child Neurol. 2004; 19:632-42. 11. Mlynarczyk G. Enamel pitting: a common symptom of tuberous sclerosis. Oral Surg Oral Med Oral Pathol. 1991; 71:63-7. 12. Rosser T, Panigrahy A, McClintock W. The diverse clinical manifestations of tuberous sclerosis complex: a review. Semin Pediatr Neurol. 2006; 13:27-36 13. Wiznitzer M. Autism and tuberous sclerosis. J Child Neurol. 2004; 19:675-9. 14. Prather P, de Vries PJ. Behavioral and cognitive aspects of tuberous sclerosis complex. J Child Neurol. 2004; 19:666-74. 15. Maria BL, Deidrick KM, Roach ES et al. Tuberous sclerosis complex: pathogenesis, diagnosis, strategies, therapies, and future research directions. J Child Neurol. 2004; 19:632-42. 16. Webb DW, Clarke A, Fryer A et al. The cutaneous features of tuberous sclerosis: a population study. Br J Dermatol. 1996; 135:1-5. 17. Altman NR, Purser RK, Post MJ. Tuberous sclerosis: characteristics at CT and MR imaging. Radiology. 1988; 167:527-32. 18. Crino P, Mehta R, Vinters H. Pathogenesis of TSC in the brain. In: Kwiatkowsi D, Whittemore V, Thiele E, eds. Tuberous Sclerosis Complex: Genes, Clinical Features, and Therapeutics. Weinheim: WileyBlackwell; 2010: 285-309. 19. Roach ES, Williams DP, Laster DW: Magnetic resonance imaging in tuberous sclerosis. Arch Neurol. 1987; 44:301-3. 20. Goodman M, Lamm SH, Engel A, et.al. Cortical tuber count: A biomarker indicating cerebral severity of tuberous sclerosis complex. J Child Neurol. 1997; 11:85-90. 21. Black M, Kadlez M, Smallhorn J, Freedom R. Cardiac rhabdomyomas and obstructive left heart disease: histologically but not functionally benign. Ann Thorac Surg. 1998; 65:1388-90. 22. Hancock E, Osborne J. Lymphangioleiomyomatosis: a review of the literature. Respir Med. 2002; 96:1-6. 23. Wagner BJ, Cheong JJ, Davis CJ. Adult renal hamartomas. Radiographics. 1997; 17:155-69. 24. O’Callaghan F, Osborne J. Endocrine, gastrointestinal, hepatic, and lymphatic manifestations of tuberous sclerosis complex. In: Kwiatkowski D, Whittemore V, Thiele E, eds. Tuberous Sclerosis Complex: Genes, Clinical Features, and Therapeutics. Weinheim: Wiley-Blackwell; 2010: 369-385. 25. Compton W, Lester P, Kyaw M, Madsen J. The abdominal angiographic spectrum of tuberous sclerosis. AJR Am J Roentgenol. 1976;126:807- 13. 26. Perou M, Gray P. Mesenchymal hamartomas of the kidney. J Urol. 1960; 83:240-61. 27. Verma B, Tailor M. Familial tuberous sclerosis: a review with report of three cases. Indian Pediatr. 1965; 2: 401-10. 28. Nakhleh RE. Angiomyolipoma of the liver. Pathol Case Rev. 2009; 14: 47-9. 29. Altman NR, Purser RK, Post MJ. Tuberous sclerosis: characteristics at CT and MR imaging. Radiology. 1988; 167: 527-32. 30. Nixon JR, Houser OW, Gomez MR, et al. Cerebral tuberous sclerosis: MR imaging. Radiology. 1989; 170: 869-73. 31. Di Paolo D, Zimmerman RA. Solitary cortical tubers. Am J Neuroradiol 1995; 16:1360-4. 32. Kalantari BN, Salamon N. Neuroimaging of Tuberous Sclerosis: Spectrum of Pathologic Findings and Frontiers in Imaging. AJR. 2008; 190: 304-9. 33. Griffiths PD, Bolton P, Verity C. White matter abnormalities in tuberous sclerosis complex. Acta Radiol 1998; 39:482-6. 34. Johnson SR, Cordier JF, Lazor R, et al. European Respiratory Society guidelines for the diagnosis and management of lymphangioleiomyo- matosis. Eur Respir J. 2010; 35:14-26. 35. Casper KA, Donnelly LF, Chen B, et al. Tuberous sclerosis complex: renal imaging findings. Radiology. 2002; 225:451-6. 36. Saleem S, Aslam HM, Anwar M, et al. Fahr’s syndrome: literature review of current evidence. Orphanet Journal of Rare Diseases. 2013; 8:156. 37. Modrego PJ, Mojonero J, Serrano M, Fayed N. Fahr’s syndrome presenting with pure and progressive presenile dementia. Neurol Sci. 2005; 26:367-9. 38. Moskowitz MA, Winickoff RN, Heinz ER: Familial calcification of the basal ganglions: a metabolic and genetic study. N Engl J Med. 1971; 285(2): 72-7. 39. Avrahami E, Cohn DF, Feibel M, Tadmor R: MRI demonstration and CT correlation of the brain in patients with idiopathic intracerebral calcification. J Neurol. 1994; 241(6): 381-4. 40. GG Gerard G, Weisberg L. Tuberous Sclerosis: CT Findings and Differential Diagnosis. Computerized Radiol. 1987; 11: 189-92. 41. Anvekar, B. Neuroradiology Cases: Intracranial calcifications. Neuroradiology Unit, SP Institute of Neurosciences, Solapur, Maharashtra, India. Available at: http://www.neuroradiologycases.com/2011/10/ intracranial-calcifications.html 42. Sze G, Lee SH. Infectious disease. In: Lee SH. Rao KCVG, Zimmerman RA, eds. Cranial MRI and CT. 4th ed. New York: Mc Graw-Hill, 1999; 453-517. 43. Hedlung GL, Boyer RS. Neuroimaging of postnatal pediatric central nervous system infections. Semin Pediatr Neurol. 1999; 4: 299–317. 44. Henske EP. Tuberous sclerosis. Elsevier. 2006; 303-306. Available from: http://www.dfhcc.harvard.edu/membership/profile/member/1515/0. 45. Huang S, Bjornsti MA, Houghton PJ. Rapamycins: mechanism of action and cellular resistance. Cancer Biol Ther. 2003; 2: 222-32. 46. Franz DN, Leonard J, Tudor C, et al. Rapamycin causes regression of astrocytomas in tuberous sclerosis complex. Ann Neurol. 2006; 59:490–8. 47. Bissler JJ, McCormack FX, Young LR, et al. Sirolimus for angiomyolipoma in tuberous sclerosis complex or lymphangioleiomyomatosis. N Engl J Med. 2008; 358:140-51. 48. Nickerson JP, Richner B, Santy Ky, et al. Neuroimaging of pediatric intracranial infection-Part 2: TORCH, Viral, Fungal, and Parasitic Infections. J Neuroimaging. 2012; XX: 1-13.