TUBEROUS SCLEROSIS COMPLEX: TEMUAN CT SCAN KEPALA

advertisement
LAPORAN KASUS
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan PPDS 1 Radiologi
TUBEROUS SCLEROSIS COMPLEX:
TEMUAN CT SCAN KEPALA
Oleh : dr. Fajar Sinaga
Pembimbing: dr. Yana Supriatna, Ph.D, Sp. Rad
BAGIAN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberous sclerosis complex (TSC) merupakan sindrom neurokutan autosom
dominan yang bercirikan munculnya tumor jinak kongenital pada beberapa organ.
Penyakit ini merupakan kelainan genetik yang sangat kompleks dengan variasi
manifestasi klinis yang tinggi. Beberapa penderita TSC kadangkala tidak
menunjukkan gejala sama sekali dan dapat menjalani kehidupan sehari-hari tanpa
terdiagnosis sebagai penderita TSC.
Tuberous sclerosis complex sendiri disebut demikian karena munculnya
suatu bentukan mirip tuberkel pada otak, mengalami kalsifikasi dan mengeras
seiring bertambahnya usia. Tuberkel ini dapat terlihat dengan pemeriksaan
penunjang radiologi.
Pemahaman dan penegakan diagnosis kelainan TSC sangatlah penting.
Meskipun angka kejadian kelainan ini rendah, namun morbiditas dan mortalitas
yang mungkin ditimbulkan bisa sangat berat dan komplikasi yang ditimbulkan
bisa berujung kematian. Biasanya pada bayi dan anak-anak, TSC teridentifikasi
sebagai penyebab epilepsi, autisme, dan penyakit jantung. Pada orang-orang
dewasa atau lanjut usia bermanifestasi menjadi gagal ginjal, kelainan pulmoner,
kulit dan kondisi neurologis lainnya.
Variabilitas tampilan klinis dan tingkat keparahan penyakit yang tinggi
menyebabkan penegakan diagnosis menjadi sulit, terutama pada individu muda
dengan temuan klinis yang kurang jelas. Pada tahun 2012 diadakan konferensi
internasional TSC untuk menyempurnakan konsesus panduan penegakan
diagnosis sebelumnya pada tahun 1998. Konsesus penegakan diagnosis ini
mengutamakan kriteria genetik dan kriteria klinis baik mayor ataupun minor.
Dengan pembaharuan kriteria penegakan diagnosis diharapkan dapat membantu
pemahaman manifestasi klinis, mekanisme genetik dan molekular kelainan
TSC.1,2
Alasan pengambilan kasus adalah kejadian penyakit TSC jarang ditemui,
memiliki gambaran radiologis yang khas. Pada kasus yang akan dibahas ini
terdapat perbedaan diagnosis antara pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan
klinis (pemeriksaan radiologis belum mengarah pada diagnosis TSC). Tujuan
penulisan makalah ini untuk melaporkan dan membahas sebuah kasus TSC pada
seorang anak berusia 3 tahun. Diharapkan pemahaman dan pengetahuan kelainan
TSC semakin baik, terutama dari gambaran CT scan kepala.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFENISI
Tuberous sclerosis complex (TSC) adalah sebuah sindrom neurokutan
autosom dominan yang bercirikan munculnya tumor jinak kongenital pada
beberapa organ. Diagnosis biasanya ditegakkan pada temuan klinis
dan
radiologis. Temuan trias klasik berupa epilepsi, retardasi mental dan adenoma
sebaseum yang menjadi karakteristik yang khas, namun tidak selalu muncul pada
pemeriksaan klinis, sehingga pemeriksaan radiologis memainkan peran penting
dalam penegakan diagnosis dan pengobatan tuberous sclerosis.3
Penyakit
TSC
pertama
sekali
dijelaskan
oleh
Friedrich
von
Recklinghausen pada tahun 1862 yang mengidentifikasikan seorang bayi dengan
kelainan tumor rhabdomyoma di jantung dan lesi sklerotik di otak. Kelainankelainan yang ditemukan tersebut
belum dapat dipahami dengan jelas
berhubungan dengan kematian bayi. Pada tahun 1880, Desire Bourneville
mendokumentasikan gejala-gejala neurologis seorang bayi dengan kelainan lesi
massa yang keras pada korteks otak seperti kentang yang keras. Selanjutnya
kelainan tersebut diberi istilah tubeorous sclerosis.4
Satu abad kemudian, John Pringle menemukan hubungan antara kelainan
neurologis dengan kelainan pada kulit, dijelaskan kelainan adenoma sebaseum
pada pasien retardasi mental. Perkembangan penelitian lebih lanjut semakin
mengetahui penyakit TSC mencakup kelainan kulit, sistem saraf pusat, jantung,
paru-paru, ginjal, tulang dan darah.4
B. ETIOLOGI
Dua lokus genetik yang menjadi penyebab kejadian TSC telah
teridentifikasi, yang pertama pada pita kromosom 9q34 (disebut juga TSC1) dan
yang kedua pada pita kromosom 16p13 (disebut juga TSC2). Mutasi pada kedua
gen tersebut akan menyebabkan kelainan neurokutan yang disebut tuberous
sclerosis complex.3,4,5
C. EPIDEMIOLOGI
Kejadian tuberous sclerosis kurang terdiagnosis sebelum tahun 1980,
insidensinya diperkirakan antara 1:100.000 sampai 1:200.000.6,7 Penelitian
terakhir memperkirakan frekuensi kejadian TSC sekita 1:6.000 sampai 1:10.000
kelahiran hidup dan pada populasi diperkirakan sekitar 1:20.000.8,9
Tubero sclerosis terjadi pada kelompok ras dan etnik, serta pada semua jenis
kelamin. Diperkirkan saat ini terdapat 1.500.000 pasien menderita penyakit TSC.4
D. PATOFISIOLOGI
Secara klinis TSC memiliki pola autosomal dominan dengan tingkat mutasi
spontan yang tinggi. Dua lokus genetik yang berbeda bertanggung jawab pada
TSC telah teridentifikasi, yang pertama pada pita kromosom 9q34 (disebut juga
TSC1) dan yang kedua pada pita kromosom 16p13 (disebut juga TSC2).
Hamartin, produk dari TSC1, teridentifikasi pada tahun 1997 memiliki
fungsi sebagai tumor supressor. Walaupun secara fungsi terpisah, hamartin dan
tuberin telah diketahui memiliki suatu daerah yang saling “bergulung-gulung”
yang berinteraksi satu sama lain. Hamartin dan tuberin membentuk suatu
kompleks yang menghambat kompleks protein mTOR (mammalian target of
rapamycin) melalui protein aktifator GTP-ase Rheb. mTOR dinamai demikian
karena kemampuannya untuk berikatan dengan obat immunosupresan Rapamycin
(Sirolimus, Rapamune) sebelum fungsi sebenarnya ditemukan. Fungsi lain dari
mTOR adalah sebagai “tombol kendali utama” anabolisme dan katabolisme sel,
dan memiliki fungsi pengaturan yang penting dalam pertumbuhan sel, volume sel,
dan sintesis protein. mTOR juga diregulasi oleh berbagai faktor lain termasuk
insulin dan asam amino.
Gen TSC2 ditemukan pada tahun 1993, dan produk proteinnya bernama
tuberin. Tuberin berfungsi sebagai activator dari GTP-ase dan diduga berfungsi
sebagai tumor supressor. Kadar tertinggi tuberin pada manusia ditemukan pada
otak, jantung, dan ginjal. Tuberin juga terdapat pada arteriol ginjal, kulit, dan
jantung, juga pada neuron piramidal dan sel Purkinje cerebellum. Fungsi yang
sebenarnya dari tuberin ini, terutama pada neurogenesis, masih belum jelas. Tuber
terbentuk diperkirakan ketika sel progenitor neural yang sudah bermutasi pada
matriks germinal di subependimal meningkatkan sel-sel anak yang akan
menghasilkan tuber. Tuber dapat mengalami degenerasi kistik atau kalsifikasi,
atau tampak sebagai bagian menyangat setelah pemberian kontras pada
neuroimaging, namun hal ini tidak secara langsung menghasilkan transformasi
maligna.
Fungsi produk gen TSC, hamartin dan tuberin, telah banyak diketahui
beberapa tahun terakhir. Bersama-sama, mereka membentuk kompleks tumor
supressor, yang melalui fungsi aktivasi GTPase dari tuberin, menyebabkan
GTPase kecil disebut Ras homolog enhanced in the brain (Rheb) menjadi tahap
inaktif terikat-GDP. Rheb yang terikat GTP, tahap aktif, merupakan efektor positif
pada mTOR.
Mutasi pada hamartin atau tuberin menyebabkan Rheb menjadi fase aktif,
yang menyebabkan signaling mTOR. mTOR menjadi mediator banyak efek pada
pertumbuhan sel melalui fosforilasi protein ribosom s6 kinase (s6Ks) dan
repressor faktor inisiasi sintesis protein eIF4E, 4EBPs. S6Ks bekerja
meningkatkan pertumbuhan sel dan sintesis protein, mengingat 4EBPs bekerja
untuk menghambat proses ini. mTOR berinteraksi dengan s6Ks dan 4EBPs
melalui protein penghubung bernama Raptor. Pada saat mTOR teraktivasi melalui
mutasi pada hamartin atau tuberin, hal ini akan menghasilkan lesi hamartomatosa
pada otak, ginjal, jantung, paru-paru, atau organ lain.4,5
D. GAMBARAN KLINIS
Tuberous sclerosis merupakan kelainan phakomatosis terbanyak kedua
setelah neurofibromatosis tipe 1. Kelainan ini memiliki ciri-ciri terbentuknya
tumor hamartoma jinak dan neoplasma grade rendah pada berbagai sistem organ.
Gambaran klasik yang berhubungan dengan TSC adalah trias Vogt: epilepsi,
retardasi mental dan adenoma sebaseum wajah. Trias ini hanya terlihat 30-40%
pasien TSC, sekitar setengah pasien TSC memiliki tingkat intelegensi normal.10
1. Kelainan Dermatologis dan Dental
a. Makula hipomelanotik
Makula hipomelanotik merupakan temuan yang signifikan karena kelainan
kulit ini terdapat pada 90% pasien, terlihat pada saat lahir maupun masa kanakkanak (sebelum berusia 2 tahun). Makula hipomelanotik disebut juga ash leaf
spot. Jumlah lesi yang banyak merupakan tanda-tanda TSC. Bila ukurannya kecil,
diperlukan pemeriksaan dibawah lampu khusus. Menurut kriteria penegakan
diagnosis terbaru, kelainan makula hipomelanotik memiliki syarat diameter
minimal 5mm, dan dibedakan dengan kelainan kulit berupa lesi Confetti yang
biasanya berjumlah banyak dan berukuran kecil (Gambar 1).2,4
Gambar 1. Makula hipomelanotik pada punggung bagian bawah.
b. Facial Angiofibroma atau Adenoma sebaseum dan Forehead Plaque
Facial Angiofibroma terdapat pada 75% pasien TSC, onset biasanya pada
umur 2 dan 5 tahun. Kelainan ini hampir dikatakan merupakan tanda
patognomonik. Jumlah lesi pada kebanyakan kasus adalah banyak, pada kasus
TSC yang ringan, jumlah facial angiofibroma sedikit. Facial Angiofibroma
multipel dan neoplasia endokrin tipe 1 (MEN1) biasanya terlihat pada sindrom
Birt-Hogg-Dube (BHD).2
Lesi ini pertama kali dijelaskan oleh Pringle dengan istilah adenoma
sebaseum. Penamaan ini sebenarnya keliru, sebab lesi ini tidak memiliki kelenjar
sebaseum. Lesi ini merupakan sebuah hamartoma yang disusun oleh jaringan ikat
dan elemen vaskuler, sehingga penamaan yang tepat adalah angiofibroma.
Angiofibroma merupakan papula berwarna merah muda di regio malar wajah
(Gambar 2).4
Gambar 2. Angiofibroma pada regio malar wajah.
Forehead plaque merupakan lesi yang sangat mirip dengan facial
angiofibroma (Gambar 3). Terdapat pada 25% pasien TSC. Biasanya terletak pada
kening, bersifat unilateral. Meskipun demikian bisa juga muncul pada lokasi lain
di kulit kepala, sehingga penamaanya direkomendasikan menjadi fibrous cephalic
plaque, untuk meningkatkan kewaspadaan bila kelaianan ini muncul pada kulit
kepala.2
Gambar 3. Fibrous cephalic plaque, A. Pada kening. B Pada kulit kepala
c. Ungual Fibroma
Ungual fibroma merupakan lesi nodular atau seperti daging yang
menonjol yang timbul dari dekat atau dari bawah permukaan kuku (Gambar 4).
Kelainan ini biasanya spesifik untuk TSC, meskipun kadangkala bisa muncul
pada orang normal yang mengalami trauma pada kuku. Fibroma ini bisa saja tidak
terlihat, hanya terlihat sebagai lekukan alur longitudinal pada kuku merupakan
temuan yang penting. Ungual fibroma lebih banyak terlihat pada pasien dewasa
daripada anak-anak.1
Gambar 4. Ungual fibroma pada jari-jari tangan
d. Shagreen Patch
Shagreen patch terdapat pada 50% kasus TSC, onsetnya pada dekade
pertama.2 Kelainan kulit ini hampir merupakan tanda spesifik untuk TSC (Gambar
5). Biasanya terdapat pada punggung bagian bawah atau regio flank, merupakan
bercak-bercak kulit berbentuk ireguler dan sedikit menonjol.1
Gambar 5. Shagreen patch seorang anak laki-laki berusia 16 tahun. Tampak nevus jaringan ikat
(kolagenoma) pada punggung bagian bawah. http://www.globalskinatlas.com/imagedetail.cfm
e. Lesi kulit Confetti
Lesi kulit confetti merupakan makula hipopigmentasi berukuran 1-3 mm
tersebar meluas sebagai suatu area yang berbintik-bintik di regio tubuh lengan
atau kaki (Gambar 6). Frekuensi temuan ini bervariasi sekitas 2-58% pada anakanak. Meskipun temuan ini tidak banyak, namun masih dianggap berguna dalam
penegakan diagnosis. Pada pasien dewasa temuan kulit ini kurang begitu
signifikan, karena timbul kelainan serupa pada kulit oleh karena paparan sinar
matahari.1,2
Gambar 6. Lesi kulit makula confetti multipel pada perut dan tangan pada seorang anak laki-laki.
http://openi.nlm.nih.gov/detailedresult.php?img=2810693_IJD-54-255-g003&req=4
f. Dental Enamel Pit
Dental enamel pit merupakan lubang-lubang kecil pada enamel gigi
(Gambar 7). Lubang pada enamel gigi ini lebih sering terlihat pada pasien TSC.
Sebuah penelitian melaporkan terdapat dental enamel pit pada 100% pasien TSC
dewasa, sementara itu terdapat 7% dental enamel pit pada populasi dewasa.11
Gambar 7. Multipel dental enamel pit
g. Intraoral fibroma
Fibroma ginggiva telah lama diketahui memiliki hubungan dengan
penyakit TSC. Kelainan ini muncul sekitar 20-50% pada pasien TSC, terbanyak
pada dewasa dibandingkan anak-anak (Gambar 8).2
Gambar 8. Fibroma intra oral (ginggiva dan labial fibroma)
2. Kelainan Optalmologik
a. Hamartoma Retina Multipel
Temuan hamartoma retina multipel ditentukan sebagai temuan yang
signifikan dan spesifik. Lesi ini hampir mirip dengan temuan tuberkel-tuberkel di
jaringan otak. Terdapat sekitar 30-50% pasien TSC memiliki kelainan ini. Pada
populasi normal sangat jarang ditemui. Hamartoma retina ini tidak mengurangi
visus pasien, dan menjadi penanda penyakit TSC pada anak-anak yang belum
menujukkan manifestasi klinis lainnya (Gambar 9).2
Gambar 9. Hamartoma retina
b. Retinal Achromic patch
Retinal Achromic patch adalah sebuah area hipopigmentasi pada retina
(Gambar 10). Bercak ini terdapat sekitar 39% pasien TSC, sementara itu pada
populasi normal insidensinya sekitar 1:20.000.2
Gambar 10. Retinal achromic patch
3. Kelainan Sistem Saraf Pusat
Kelainan neurologis pada pasien TSC merupakan penyebab morbiditas
dan mortalitas paling tinggi. Kelainan neurologis ini termasuk kejang,
pertumbuhan terlambat, masalah perilaku, dan autisme.12,13 Kejang merupakan
gejala terbanyak, sekitar 90%, sekitar 50% mengalami retardasi mental dan
kelompok ini memiliki mutasi pada gen TSC2.14,15 Autisme ringan sampai sedang
sangat lazim dijumpai pada pasien TSC, dijumpai pada 25-50% pasien.13 Autisme
pada TSC memiliki predominansi yang sama pada laki-laki dan perempuan,
sementara pada populasi umum, autisme kebanyakan ditemui pada laki-laki.
Penyebab autisme ini belum diketahui dengan jelas, bisa saja akibat sekunder
timbulnya tuberkel pada lobus temporal atau akibat fokus epiletipform.13
a. Cortical Dysplasia
Terminologi cortical dysplasia digunakan untuk menggantikan istilah
cortical tuber yang selama ini digunakan. Cortical dysplasia merupakan kelainan
bawaan yang terjadi oleh karena kegagalan migrasi sebagian atau sekelompok
neuron ke tempat yang sesuai pada masa perkembangan otak. Cortical dysplasia
mencakup kelainan cortical dan subcortical tuber dan kelainan jalur migrasi
radial substansi putih.2
Tampilan klasik sebuah tuber adalah lesi displastik girus yang memiliki
struktur yang keras, terasa berbenjol-benjol, biasanya muncul pada puncak girus.
Munculnya tuber tidak menimbulkan perbesaran girus bersangkutan.1 Tampilan
makro tuber menyerupai kentang, dengan tekstur yang keras, sehingga kelainan
ini dikenal dengan istilah tuberous sclerosis. Secara patologis, tuber merupakan
hamartoma epipleptogenik yang menunjukkan laminasi kortikal yang kacau.
Hamartoma tersebut terdiri atas komponen glial dan neuron seperti astrosit
raksasa atipikal, neuron malorientasi, dan sel raksasa yang aneh.16 Sekitar
setengahnya mengalami kalsifikasi, terlihat jelas pada CT scan dan kadangkadang terlihat pada foto kepala.17
Kelainan substansi putih pada TSC adalah kegagalan migrasi sebagian
atau sekelompok neuron, terlihat sebagai pita-pita radial yang memanjang dari
permukaan ependim ventrikel menuju ke korteks, kadangkala berakhir pada
subcortical tuber. Pita-pita ini terlihat pada 80% pasien TSC menggambarkan
komponen heterotropik neuron dan glial yang berhenti selama migrasi kortikal.4
b. Nodul Subependimal
Nodul subependimal adalah tumor jinak yang berkembang disepanjang
dinding ependim yang berbatasan dengan ventrikel lateral dan ventrikel ketiga.
Nodul subependimal terdapat pada sekitar 80%
kasus TSC, biasa terdeteksi
sebelum dan sesudah kelahiran. Pertumbuhan nodul ini termasuk lambat,
meskipun demikian dapat menyebabkan gangguan neurologis termasuk juga
hydrocephalus. Nodul subependimal mengalami kalsifikasi progresif sepanjang
waktu.18 Kalsifikasi pada nodul subependimal terlihat sebanyak 90% kasus.4
Jumlah nodul subependimal tidak berkorelasi dengan keparahan klinis
TSC, tetapi penderita yang memiliki banyak nodul subependimal memiliki
kecenderungan kelemahan kognitif dan sulit untuk mengendalikan kejang-kejang
yang dialami.19,20
c. Subependymal Giant Cell Astocytomas (SEGAs)
Merupakan neoplasma tingkat rendah yang muncul di dekat foramen
Monro pada 10-15% kasus TSC. Lebih banyak ditemukan pada saat anak-anak
atau remaja, jarang ditemui setelah usia 20 tahun jika sebelumnya belum ada.
Subependimal Giant Cell Astocytoma diduga berasal dari nodul subependimal,
terutama yang terletak dekat foramen Monro.18 berbeda dengan cortical tuber,
SEGAs memiliki kemampuan untuk tumbuh besar dan dapat menimbulkan gejalagejala seperti peningkatan tekanan intra kranial, defisit neurologis fokal, dan
pemburukan kontrol kejang. Tumor ini bersifat invasif lokal, dengan pembedahan
sedini mungkin merupakan tindakan kuratif.1 Bila terdapat kecurigaan SEGAs,
maka dilakukan pemantauan paling tidak sekali setahun dengan pemeriksaan MRI
kepala.4
4. Kelainan Kardiovaskuler
Rhabdomioma Jantung
Rhabdomioma jantung merupakan tumor hamartoma jinak yang paling
banyak ditemukan pada anak-anak. Meskipun dapat timbul sporadis, sekitar 80%
anak yang memiliki rhadomioma jantung memiliki kelainan TSC, dan dua pertiga
penderita TSC memiliki rhabdomioma jantung.1 Kelainan tumor di jantung ini
merupakan temuan spesifik TSC. Tumor rhabomioma ini lebih sering ditemukan
di ruang bilik jantung. Keberadaan tumor ini biasanya tidak menimbulkan
masalah medis yang serius, namun dapat menggangu fungsi pompa ruang bilik
jantung, menggangu fungsi katup jantung dan pada akhirnya mengakibatkan
obstruksi outflow jantung.21 Rhabdomioma jantung biasanya ditemukan berjumlah
lebih dari satu buah.1
5. Kelainan Pulmoner
Lymphangioleiomyomatosis (LAM)
Lymphangioleiomyomatosis
merupakan proliferasi sel-sel otot polos
atipik pada saluran limfatik paru-paru, khususnya muncul pada wanita
(kecenderungan
lima
kali
lebih
banyak
daripada
pria).1,22
Lymphangioleiomyomatosis merupakan kelainan khas paru-paru pada TSC,
beberapa penderita TSC memiliki kelainan hiperplasia pneumosit mikronoduler.
Pneumotoraks spontan, dispneu, batuk, dan hemoptisis merupakan gejala
pulmoner khusus TSC.1 Mutasi somatik gen TSC2 berperan penting atas
timbulnya kelainan parenkim paru-paru ini.2,4
Pasien yang memiliki kelainan lymphangioleiomyomatosis ditandai
dengan kesulitan bernafas yang progresif (ekspirasi) dan pneumotoraks berulang
pada usia dekade ketiga dan keempat. Penelitian terakhir menunjukkan hasil,
dengan peningkatan usia penderita TSC wanita akan meningkatan keterlibatan
paru-paru.2
6. Kelainan Ginjal
a. Angiomiolipoma (AML)
Merupakan tumor hamartoma jinak yang teridiri atas komponen otot
polos, lemak, dan pembuluh darah abnormal.23 Tumor ginjal ini terlihat pada 75%
anak-anak penderita TSC, biasanya multipel dan bilateral. Meskipun demikian,
sekitar 80% penderita AML, tidak menunjukkan tanda-tanda TSC. Mutasi gen
TSC2 diketahui menyebabkan kelainan AML. Tumor ini dipengaruhi oleh
hormon estrogen dan progesteron, jarang ditemui pada usia sebelum pubertas.4
Tumor AML bersifat asimptomatis dan berkembang seiring bertambahnya
usia penderita. Ukuran tumor lebih dari 4 cm meningkatkan resiko terjadinya
perdarahan. Manifestasi TSC pada ginjal merupakan salah satu sumber morbiditas
dan mortalitas. Permasalahan ginjal ini merupakan penyebab kematian kedua
terbanyak setelah disabilitas intelektual berat.2
b. Kista Ginjal Multipel
Kista epitelial ginjal jinak terlihat kurang dari setengah penderita TSC.
Kista ginjal berhubungan dengan mutasi gen TSC 1 dan TSC2 atau sebagai bagian
dari mutasi gen yang berdekatan pada kromosom 16 yang menyebabkan kelainan
TSC dan PKD1. Kista ini berkembang seiring dengan waktu, ukuran yang besar
bisa menimbulkan terjadinya efek massa, menyebabkan gagal ginjal dan
hipertensi.4
7. Kelainan Endokrin
Beberapa temuan kelainan endokrin pada penderita TSC adalah
munculnya
tumor
hamartoma
pada
organ-organ
endokrin.24
Adrenal
angiomiolipoma terdapat pada 25% penderita TSC, namun jarang menimbulkan
perdarahan.25 Adenoma papiler tiroid telah dilaporkan pada penderita TSC, tetapi
tidak menimbulkan disfungsi tiroid.26,27 Beberapa kasus yang jarang dilaporkan
terdapat tumor angiolipoma atau fibroadenoma pada kelenjar pituitari, pankreas
atau kelenjar gonad.24
8. Kelainan Saluran Cerna
Manifestasi TSC pada saluran cerna cukup jarang. Sekitar 10-25%
penderita TSC memiliki angiomiolipoma hati.28 Tumor hati angiomiolipoma
termasuk temuan penting dalam penegakan TSC.
E. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Sampai saat ini penegakan diagnostik TSC berdasarkan kriteria genetik
dan klinis. Konferensi konsensus internasional tuberous sclerosis complex kedua
diadakan di kota Washington, Amerika Serikat pada tanggal 13-14 Juni 2012 telah
merumuskan dan memperbaharui kriteria konsensus sebelumnya (1998). Berbagai
ahli dari penjuru dunia telah bersidang menetapkan kriteria diagnostik, surveilans
dan rekomendasi manajemen pasien penderita TSC. Salah satu perubahan
signifikan adalah penggabungan kategori pemeriksaan genetik. Mutasi patogenik
diartikan sebagai mutasi yang menyebabkan berhentinya fungsi protein TSC1 atau
TSC2, mencegah sintesa protein, atau terjadinya mutasi missense yang berakibat
pada fungsi protein.2
Kriteria diagnosis tersebut antara lain: 1. Kriteria diagnosis genetik: a.
Diagnosis definitif: identifikasi jaringan normal yang mengandung salah satu gen
TSC1 atau TSC2 yang mengalami mutasi DNA patogenik., b. Variasi mutasi
TSC1 dan TSC2 dengan akibat fungsional kurang jelas, tidak termasuk kriteria
ini, belum cukup untuk dijadikan diagnosis definitif. 2. Kriteria diagnosis klinis:
a. Temuan Mayor: makula hipomelanotik (≥3, diameter minimal 5mm),
angiofibroma (≥3) atau fibrous cephalic plaque, ungual fibroma (≥2), shagreen
patch, hamartoma retina multipel, cortical dysplasia, nodul subependimal,
subependymal
giant
cell
astrocytoma,
cardiac
rhabdomyoma,
lymphangioleiomyomatosis dan angiomiolipoma (≥2). b. Temuan Minor: lesi kulit
confetti, dental enamel pits, intraoral fibroma, retinal achromic patch, kista ginjal
multipel dan non renal hamartoma. Ketentuan diagnosis defenitif bila terdapat
dua temuan mayor atau satu temuan mayor dengan ≥2 temuan minor.
Kemungkinan diagnosis bila terdapat satu temuan mayor atau ≥2 temuan minor.2
F. GAMBARAN RADIOLOGIS
1. Cortical dan Subcortical Tuber
Cortical dan subcortical tuber merupakan tumor hamartoma yang bisa
menyebabkan epilepsi. Tuber tumbuh pada saat embriogenesis. Letak tuberkel di
korteks atau subkorteks dan meluas diatas girus. Pada pemeriksaan CT scan, tuber
terlihat sebagai lesi dengan atenuasi rendah dan biasanya tidak menyangat
(Gambar 11).29,30 Sekitar setengahnya mengalami kalsifikasi,29 terlihat dengan
baik pada CT scan dan kadang-kadang terlihat pada foto kepala. Tuber biasanya
multipel (95%), dalam kondisi yang jarang ditemukan tuber yang soliter.31
Pemeriksaan MRI menunjukkan lesi ini berupa area yang memiliki sinyal rendah
pada sekuen T1 dan sinyal tinggi pada sekuen T2 dan FLAIR (Gambar 12). Bila
lesi telah mengalami kalsifikasi, akan menyebabkan timbulnya artefak blooming
dan kehihilangan sinyal yang signifikan.29,30
Gambar 11. Seorang anak dengan tuber korteks dan subkorteks. CT scan tanpa kontras (a) dan
imejing MR FLAIR axial (b) menunjukkan tuber subkorteks berukuran besar di lobus frontal kiri
(panah besar). Tuber berukuran kecil multipel juga terlihat pada CT scan. Hamartoma berukuran
kecil juga terlihat di substansi putih posterior kiri (panah putih b) memiliki gambaran kistik yaitu
intensitas sinyal rendah di sentral, dan tepi perifer terlihat peningkatan sinyal FLAIR. Pada anak
lain, tampak mineralisasi difus di hamartoma lobus frontalis kiri dengan batas tak tegas, terlihat
atenuasi berkabut pada CT scan (c), MRI terlihat hilangnya sinyal sekuen T2-W (d).4
Gambar 12. Seorang anak perrempuan berusia 4 tahun dengan TSC. A imejing T1 menunjukkan
hipointensitas (panah hitam) dan B imejing T2 menunjukkan hiperintensitas sinya (panah putih) di
substansi putih subkorteks lobus frontalis kiri dan lobus parietal kanan. Diferensiasi substansi
putih dan abu-abu sebagian mengabur.32
2. Nodul subependimal
Nodul subependimal ditemukan pada dinding ventrikel lateral dan di
sepanjang permukaan ventrikel terutama di lekukan caudo thalamic regio foramen
Monro.32 Lesi terlihat isointens terhadap substansi abu-abu pada pemeriksaan
MRI. Nodul yang mengalami kalsifikasi pada 90% kasus akan menyebabkan
artefak blooming pada MRI, hal ini berbeda dengan pemeriksaan CT scan. Untuk
mendiagnosis TSC dengan gejala-gejala yang tidak tampak, pemeriksaan CT scan
sangat berguna.4 Kalsifikasi nodul subependimal merupakan karakteristik TSC
terlihat sangat baik dengan pemeriksaan CT scan. Nodul subependimal muncul
dari sekitar dinding ventrikel, menonjol ke lumen ventrikel (Gambar 13 dan 14).1
Gambar 13. Imejing CT scan seorang anak dengan TSC, terlihat kalsifikasi nodul subependimal,
kalsifikasi lesi parenkimal berukuran besar.1
Gambar 14. Nodul subependimal. A. Imejing MR menunjukkan lesi sebagai titik putih pada
permukaan subependim dinding ventrikel. Adanya kalsifikasi menyebabkan adanya sinyal yang
hilang. B. Pada pasien lainnya, kalsifikasi pada nodul subependimal terlihat baik pada pemeriksaan
CT scan, lesi dengan atenuasi tinggi di sepanjang permukaan ventrikel.4
3. Subependymal Astocytoma Giant Cell
Tumor astrositoma ini terlihat sekitar 6-14% individu penderita TSC,
berkembang terutama pada masa kanak-kanak. Lokasi tumor ini tumbuh di sekitar
foramen Monro. Ukuran yang membesar dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intra kranial. Disfungsi neurologis akut dan subakut berasal dari obstruksi tibatiba sistem ventrikuler maupun oleh karena perdarahan yang berasal dari tumor.
Gambaran tumor ini mirip dengan tampilan nodul subependimal. Pada
pemeriksaan kontras, hampir semua menyangat, sehingga untuk kepentingan
praktis, diagnosis tumor ini didasarkan atas ukuran lebih besar dari 10 cm,
pertumbuhan yang terlihat, dan menyebabkan gejala-gejala hydrochepalus
(Gambar 15).1,4
Gambar 15. Imejing MRI dengan kontras gadolinium. A.Sekuen T1 menunjukkan subependymal
giant cell astrocytoma yang menyangat menonjol ke ujung depan ventrikel lateralis kiri. B.
Imejing lain pasien dengan TSC menunjukkan tumor berukuran besar yang mengisi hampir
seluruh ventrikel lateralis kanan.1
4. Garis-garis Migrasi Radial
Gambaran garis migrasi radial dipercaya mewakili sel glia dan neuron
heterotropik disepanjang jalur migrasi kortikal.33 Lokasi utama garis migrasi
radial ini terletak di substansi putih subkortikal, dan kadang-kadang berhubungan
dengan tuber (Gambar 16).32
Gambar 16. Imejing MRI kepala seorang anak laki-laki berusia 8 tahun. Sekuen FLAIR tampilan
axial menunjukkan tuber kortikal dan subkortikal (panah hitam) dan gari migrasi radial (panah
putih).32
5. Microcephaly
Penderita TSC diketahui memiliki volume substansi putih dan abu-abu
cerebri yang lebih kecil dibandingkan orang-orang normal. Hasil statistik
mikroenchepaly yang signifikan ditemui pada pasien TSC dengan atau tanpa
riwayat epilepsi (Gambar 17).32
Gambar 17. Seorang anak perempuan berusia 6 tahun penderita TSC. A dan B rekonstruksi 3
dimensi MRI menunjukkan total volume otak 994 cm3 (A) dibandingkan dengan pasien yang tidak
menderita TSC sebesar 1290 cm3.32
6. Rhabdomioma Jantung
Rhabdomyoma jantung merupakan tumor jantung terbanyak pada anakanak. Rhabdomioma dapat ditampilkan melalui pemeriksaan imejing pranatal
pada saat usia kehamilan 22-28 minggu. Dapat terlihat intramural, namun paling
sering intraluminal sebagai massa menonjol ke dalam ruang ventrikel (Gambar
18). Melalui pemeriksaan sonografi terlihat sebagai massa ekogenik, pada
pemeriksaan MRI sekuen T1 terlihat sebagai massa isointens terhadap otot
jantung dan hiperintens pada sekuen T2 (Gambar 19).4
Gambar 18. Pemeriksaan echocardiografi menunjukkan rhabdomioma jantung (panah).2
Gambar 19. Rhabdomioma jantung pada usia kehamilan trimester kedua dan setelah lahir. A.
Imejing MR T2 tampilan axial menunjukkan massa jantung dengan beberapa sinyal yang tinggi
(panah) pada janin dengan riwayat keluarga TSC. B Imejing MR post natal (tampilan 4 ruangan)
menunjukkan lesi yang sama (panah). C. Pemeriksaan CT scan dengan kontras menunjukkan
massa jantung yang mengandung jaringan lemak di ventrikel kiri, diduga AML jantung.4
7. Lymphangioleiomyomatosis (LAM)
Merupakan proliferasi sel-sel otot polos atipik pada saluran limfatik paruparu, khususnya muncul pada wanita (kecenderungan lima kali lebih banyak
daripada pria).1,22 Lymphangioleiomyomatosis merupakan kelainan khas paru-paru
pada TSC, beberapa penderita TSC memiliki kelainan hiperplasia pneumosit
mikronoduler (Gambar 20). Penegakan kriteria LAM didasarkan atas konsensu
pulmonologis: 1. Pemeriksaan patologi anatomi sejalan dengan LAM; 2.
Pemeriksaan CT scan resolusi tinggi sesuai dengan gambaran LAM dengan kista
yang berlimpah (≥4) tanpa adanya komorbid pembaur lain pada pasien TSC
dengan minimal satu kriteria mayor atau dua kriteria minor; 3. Pemeriksaan CT
scan resolusi tinggi sesuai dengan gambaran LAM dengan tambahan kriteria salah
satu lymphangioleiomyoma abdomen dan toraks, efusi pleura kilous, dan asites
kilous.34
Gambar 20. Lymphangioleiomyomatosis. A. Foto toraks menujukkan volume paru yang besar,
opasitas retikular berbatas halus difus di kedua paru. Hiperekspansi paru pada penyakit paru
intertisiel merupakan hal jarang, dan patut diduga adanya kelainan LAM. B. CT scan resolusi
tinggi pada wanita penderita TSC. Kista berdinding tipis banyak ditemui (panah hitam) di seluruh
paru. Tampak juga hiperplasia pneumosit mikronoduler dan pertumbuhan berlebih hamartomatosa
tipe 2 pneumosit, dan nodul berukuran 2-5 mm (panah putih) juga ditemui.4
8. Angiomiolipoma Ginjal
Temuan angiolipoma merupakan kriteria mayor (jumlah ≥2). Angiolipoma
merupakan temuan relatif spesifik untuk TSC. Imejing khas angimiolipoma
berupa massa fokal, berbatas tegas, mengandung lemak. Biasa terlihat di korteks,
dan multipel. Komponen lemak yang terdapat pada tumor ini menyebabkan
tampilan pada sonografi terlihat sebagai massa ekogenik, terdapat banyak
bayangan dibanding RCC lebih. Pola infiltrasi juga dapat terlihat pada tumor
AML, sifat atenuasinya dan sinyal yang ditampilkan bergantung pada jumlah
komponen lemak, jaringan ikat, dan pembuluh darah (Gambar 21). Tumor AML
yang mengandung sedikit komponen lemak sulit dibedakan dengan RCC.
Pemeriksaan
dengan
menggunakan
bahan
kontras
dapat
membantu
membedakannya. Penyangatan homogen dan berlangsung lama merupakan ciri
khas tumor AML.35
Gambar 21. Imejing CT scan abdomen menunjukkan tumor angiolipoma ginjal bilateral. Tampak
area merupakan angiolipoma yang mengandung komponen jaringan lemak.2
9. Kista Ginjal
Pada pemeriksaan sonografi, terlihat sebagai massa anekoik dengan batas
tajam, dinding tipis, dan terdapat peningkatan trasmisi sinyal sonografi.
Pemeriksaan CT scan dan MRI terlihat massa bulat berbatas tegas, dengan
pemberian kontras tidak menunjukkan penyangatan (Gambar 22).35
Gambar 22. Kista ginjal pada penderita TSC. A. CT scan tampilan axial menunjukkan kista
beratenuasi cairan berjumlah banyak pada ginjal kiri, tampak adanya kalsifikasi pada tepi kista
terbesar. B. Tampilan koronal imejing MR T2 menunjukkan kista ginjal berjumlah banyak
menyebabkan pembesaran ukuran ginjal.4
G. DIAGNOSIS BANDING
Fahr's Disease (FD)
Fahr's disease atau sindrom Fahr merupakan suatu kelainan neurologis
yang jarang, ditandai dengan penumpukan kalsifikasi abnormal di ganglia basalis
dan korteks cerebri. Deposit kalsium teridiri atas kalsium karbonat dan kalsium
posfat dengan lokasi yang paling sering di ganglia basalis, thalamus,
hippocampus, korteks cerebri, substansi putih subkortikal cerebellum dan nukelus
dentata. Prevalensi FD sekitar <1:1.000.000 dengan onset sekitar dekade ketiga
sampai keempat. Kelainan ini pertama sekali dijelaskan oleh ahli saraf Jerman
bernama Karl Theodor Fahr pada tahun 1930. Kebanyakan penderita
menunjukkan gejala-gejala ekstra piramidal.
Penyebaran FD secara umum melalui penurunan sifat autosom dominan,
namun dapat juga diteruskan melalui sifat-sifat autosom resesif yang terjadi secara
sporadis. Sebuah lokus pada kromosom 14q (IBGC1) dipercaya terlibat atas
terjadinya FD.36
Penyakit Fahr atau disebut juga kalsifikasi striato-pallido-dentata
merupakan entitas yang berhubungan dengan familial atau kemunculan sporadis,
dua pertiga penderita menunukkan gejala yang khas. Tampilan klinis berupa
gangguan gerakan, demensia, kejang epileptik, berbagai derajat kelemahan
neuropsikologikal dan gangguan perilaku.37
Kriteria diagnosis FD: 1. Kalsifikasi bilateral di ganglia basalis yang
terlihat melalui pemeriksaan neuroimejing. Lokasi otak lainnya juga terdapat
kalsifikasi; 2. Disfungsi neurologis progresif, termasuk kelainan gerakan dengan
manifestasi neuropsikiatrik. Onset dekade keempat dan kelima; 3. Tidak terdapat
kelainan biokimia atau kelaian mitokondria atau kelainan metabolik dan penyakit
sistemik lainnya; 4. Tidak terdapat penyakit infeksi, keracunan, dan akibat trauma;
5. Riwayat kelainan autosom dominan yang diwariskan pada keluarga.38
Pemeriksaan radiologis sangat berperan penting dalam penegakan
diagnosis FD. Gambaran FD pada pemeriksaan CT scan adalah temuan kalsifikasi
cerebri (Gambar 23). Area yang paling sering terlibat antara lain nukleus
lentikular, terutama globus pallidus interna, girus cereberal, batang otak, centrum
semiovale, dan substansi putih subkortikal. kalsifikasi di putamen, thalamus,
nukleus kaudatus dan nukleus dentata juga sering ditemui. Biasanya kalsifikasi ini
dimulai dari regio di luar ganglia basalis. Bila diamati, kalsifikasi bersifat
progresif dan bertahap. Temuan ini sejalan dengan pemeriksaan MRI, tampak area
dengan intesitas sinyal rendah pada sekuen T2, dan intensitas sinyal tinggi pada
sekuen T1. Lesi di regio cerebelar tampak heterogen. Bila terdapat proses gliosis
reaktif atau degenerasi jaringan dengan area berkalsifikasi, maka akan tampak
intesitas sinyal tinggi pada sekuen T1 dan T2. Bila terlihat pada foto kepala, maka
akan tampak sebagai gugusan kalsifikasi pungtata simetris di atas sella tursika dan
di lateral garis tengah, sedangkan kalsifikasi pada regio subkortikal dan cerebelar
akan terlihat bergelombang.39
Gambar 23. Fahr's disease. A. Imejing CT scan axial (ketebalan 10 mm) menunjukkan area
deposit kalsium dengan atenuasi tinggi di kedua ganglia basalis (panah) dan di substansi putih
lobus frontal dan lobus occipital.39 B. Kalsifikasi di ganglia basalis pada penderita Fahr's disease.
http://atlas.mudr.org/Case-images-Fahr%27s-disease-morbus-Fahr-1158
Kalsifikasi Intracerebri Oleh Karena Infeksi Kongenital
Temuan kalsifikasi nodul subependimal multipel yang menggangu
ventrikel lateralis atau kalsifikasi nodul subependimal yang berhubungan dengan
lesi berupa massa (giant cell astrocytoma subependimal) di foramen monro,
diagnosis TSC hampir pasti tegak. Penyebab terbanyak kalsifikasi otak pada
pasien
berusia
dibawah
satu
tahun
adalah
infeksi
toksoplasma
dan
cytomegalovirus, namun lebih jarang menggangu ventrikel lateralis, kelainan ini
memiliki hubungan yang lebih kuat dengan kejadian atrofi cerebri dan
microenchepaly. Toksoplamosis yang berhubungan dengan microcephaly,
katarak, atau chorioretinitis bisa dijadikan diagnosis. Rubella dan encephalitis
paska herpes simpleks juga menyebakan terjadinya kalsifikasi.40
Kalsifikasi intracerebri sering dijumpai pada penderita infeksi kongenital,
tetapi penampilannya tidak khas, karena proses kalsifikasi yang terjadi mirip
dengan penampilan trauma otak kronik. Kalsifikasi di ganglia basalis dan di
korteks cerebri kahas untuk infeksi sindrom TORCH (toxoplasmosis, rubella,
CMV, dan HSV). Infeksi CMV dan toxoplasmosis menyebabkan kalsifikasi di
periventrikuler dan kalsifikasi di subependimal (Gambar 24). Akan tetapi,
kalsifikasi yang taerjadi pada penderita toxoplasmosis bisa hilang setelah
pengobatan.
Infeksi
kongenital
HIV
berhubungan
dengan
kalsifikasi
periventrikuler frontal dan kalsifikasi susbtansi putih dan cerebelar. Infeksi
kongenital HSV-2 berhubungan dengan kalsifikasi di tahalamus, periventirkuler,
kortikal atau kalsifikasi girus yang luas.41
Gambar 24. Imejing Axial CT scan. Kalsifikasi di ganglia basalis dan
korteks cerebri post infeksi toxoplasma.
Ada banyak agen infeksius yang dapat berpengaruh pada sistem saraf
pusat janin. Kelompok terbanyak agen infesius ini dikenal dengan nama TORCH,
terdiri dari toksoplasmosis, rubella, cytomegalovirus (CMV) dan herpes simplex
virus (HSV). Infeksi HSV kongenital menunjukkan destruksi otak yang luas,
enchepalomalacia multikistik dan kalsifikasi yang tersebar luas.42 Toksoplasmosis
kongenital biasanya berhubungan dengan hidrocephalus dan kalsifikasi nodular
acak di periventrikuler, ganglia basalis, dan area korteks cerebri. Infeksi rubella
kongenital berhubungan dengan meningitis, ventrikulitis dan berlanjut dengan
ventikulomegaly. Klasifikasi biasanya terdapat di periventrikuler, substansi putih,
ganglia basalis dan bantang otak.43 Infeksi CMV merupakan infeksi kongenital
terbanyak, berhubungan dengan terjadinya microcephaly, chorioretinitis, dan
kalsifikasi intrakranial. Kalsifikasi biasanya terlihat di periventikuler dan lokasi
subependimal (Gambar 25).42
Gambar 25. Imejing Axial CT scan non kontras. A. tampak kalsifikasi luas di thalamus bilateral
dan peribentikuler dengan dilatasi asimetri ventrikuler pada penderita toksoplasmosis kongenital.
B Kalsifikasi luas di perientrikuler dan subependimal dengan hidrocephalus yang nyata pda
penderita infeksi CMV.
H. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan individu yang menderita TSC sama seperti
individu yang menderita kondisi penyakit multi sistem kronik, yaitu menjaga
kemungkinan kualitas hidup terbaik dengan sedikit komplikasi, sedikit efek
samping pengobatan dan sebisa mungkin pemberian obat sedikit mungkin.
Manajemen klinis paling penting adalah mengendalikan kejang, perdarahan dan
rasa nyeri yang timbul dari angiolipoma, dan insufisiensi pernafasan akibat LAM.
Penanganan kejang dengan memberikan onat-obatan anti epilepsi. Pada beberapa
kasus dilakukan reseksi kortikal. Penanganan angiolipoma dengan embolektomi
bila ukuran tumor melebihi 3-4 cm. Pengobatan tahap akhir LAM adalah
tranplantasi paru-paru. Belum ada pengobatan sistemik khusus untuk TSC.44
Beberapa pilihan terapetik untuk penderita TSC berkisar pada manajemen
gejala yang timbul. Vigabatrin merupakan inhibitor ireversibel GABA telah
digunakan untuk menghentikan spasme masa kanak-kanak lebih dari
90%
penderita TSC.10 Rapamycin merupakan imunosupresan yang dihasilkan dari
bakteri berfungsi untuk menghambat jalur mTOR dan telah digunakan untuk
menekan
pertumbuhan SEGA.45,46
Pengobatan
lymphangioleiomyomatosis
menggunakan terapi antiestrogen seperti oophorectomi, progesterone dan
tamoxifen. Ahli radiologi sebaiknya familiar dengan pengobatan ini, karena akan
terjadi perubahan tampilan imejing para penderita yang telah diberi agen
terapetik.47
BAB III
LAPORAN KASUS
Seorang pasien perempuan berusia 3 tahun dengan berat badan 14,5 kg
dibawa berobat oleh orang tuanya ke poliklinik anak RSUD M dengan keluhan
utama kejang. Orang tua anak juga mengeluhkan demam dan batuk pilek. Selama
ini anak rutin dibawa berobat orang tuanya berobat dengan diagnosis epilepsi dan
gangguan tumbuh kembang. Kejang yang dialami pasien sejak umur 4 bulan.
Sampai berusia 3 tahun pasien belum bisa duduk, berdiri dan berjalan secara
mandiri.
Tiga tahun sebelum masuk rumah sakit (usia empat bulan), pasien
mengalami kejang-kejang. Kejang yang dialami pasien kurang lebih enam kali
perhari. Orang tua mengamati pada bibir bergetar sebelah kanan, bahu kanan,
kaki kanan dan kiri mengalami kejang. Pada saat itu anak dibawa berobat ke
RSUD M dan didiagnosis partial seizure complex. Kemudian orang tua pasien
disarankan untuk melakukan pemeriksaan EEG pada anak.
Selanjutnya anak dibawa ke RSUP MJ Padang untuk dilaukan
pemeriksaan EEG. Rekaman dilakukan dalam keadaan tidur dengan premedikasi
Cpz 15mg oral dan deladril 5mg oral. Hasil pemeriksaan EEG: irama dasar
gelombang tetha dengan frekuensi 5-7Hz dengan voltase 50-60uV dan dijumpai
sleep spindle. Tidak dijumpai asimetri. Dijumpai gelombang spesifik berupa
gelombang paku multipel (polyspikes) dan gelombang tajam (sharp waves) yang
tersebar secara difus. Tidak dijumpai gelombang paroksismal. Dengan PS juga
manifes. Kesan: EEF pada perekaman saat ini didapatkan abnormal III dengan
epileptiform discharge umum.
Dua Tahun sebelum masuk rumah sakit (usia satu tahun) anak kembali
kejang-kejang berulang lebih dari 6 kali perhari, anak juga mengalami batuk pilek.
Kemudian anak dibawa berobat ke dokter spesialis anak di Padang. Diagnosis
pneumonia dan epilepsi terkontrol. Kemudian dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan CT scan kepala dan echocardiografi di Jakarta.
Dilakukan pemeriksaan CT scan kepala non-kontras di Padang (usia satu
tahun dua bulan). Hasil pemeriksaan tampak lesi hiperdens dengan batas tegas
tepi ireguler disertai perifokal oedem di frontotemporal kanan. Tampak pula lesi
hiperdens di frontotemporoparietal, batas tegas tepi reguler tidak disertai perifokal
oedem, disertai kalsifikasi patologis di daeral ganglia basal kiri, para dan
periventrikel lateral kanan dan kiri. Sulci dan gyri daerah frontotemporoparietal
tampak melebar. Sistem ventrikel dan cysterna tak melebar. Garis midline
ditengah. Cerebellum, pons dan CPA baik. Kesan: Perdarahan intracerebral di
frontotemporal kanan dan multipel infark cerebri dengan multipel kalsifikasi
patologis dan brain atrofi DD CMV (Gambar 26).
Dilakukan pemeriksaan echocardiografi di Jakarta (pada saat anak berusia
satu tahun), hasil: situs solitus, AV-VA concordance, semua PV masuk ke LA,
rongga-rongga jantung tidak dilatasi. Fungsi LV baik. ASD (-) , VSD (-) , PDA (). Katup-katup semuanya baik. Massa padat besar 2 buah yang tidak menyebabkan
obstruksi RVOT: melekat di apex RV mengisi ruang RV (14x31mm), melekat
dengan bebas RV (12x21mm). Arkus aorta normal. Disimpulkan terdapat tumor
rhabdomyoma 2 buah (Gambar 27A).
Selanjutnya pasien diberi pengobatan obat anti kejang dan dilakukan
fisioterapi.
Disarankan
pemeriksaan
echocardiografi
untuk
mengetahui
perkembangan massa di ventrikel kanan.
Satu tahun sebelum masuk rumah sakit (anak berusia 2 tahun), dilakukan
pemeriksaan laboratorium immunoserologi di Padang. Hasil : Anti HSV1 IgG
positif, Rasio: 1.91 (Nilai rujukan negatif, < 0.8 negatif, 0.8 ≤ Rasio < 1.1
Borderline, ≥ 1.1. positif). Anti HSV1 IgM negatif, Rasio: 0.21 (Nilai rujukan :
negatif, < 0.8 negatif, 0.8 ≤ Rasio < 1.1 Borderline, ≥ 1.1. positif). Hasil
pemeriksaan laboratorium TORCH: Toxoplasma IgG: 0,519 (Reaktif), Nilai
rujukan : 0,2934. Toxoplasma IgM: 0,229 (Reaktif), Nilai rujukan 0,450. Rubella
IgG : < 0,17, nilai rujukan <10. Rubella IgM: 0,22, nilai rujukan <1. Citomegallo
Virus IgG: 0,499 (Non reaktif), nilai rujukan: 0,5897. Citomegallo Virus IgM:
0,774 (Reaktif), nilai rujukan: 0,4068.
Satu bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien dibawa orang tuanya
periksa echocardiografi di Jakarta untuk mengetahui perkembangan tumor
jantung. Hasil pemeriksaan echocardiografi: masih tampak massa di RV terfiksir
diameter bervariasi 14-20mm (Gambar 27B), RV dan LV fungsi masih baik,
defek negati dan katup-katup baik.
Hari masuk rumah sakit RSUD M, orang tua membawa anak berobat ke
poliklinik anak. Anak masih sering kejang-kejang 4 kali perhari. Pasien
didiagnosis epilepsi tidak terkontrol, GDD, infeksi CMV laten dd tuberosclerosis.
Kemudian pasien diperiksakan di poli radiologi untuk pemeriksaan USG upper
dan lower abdomen: Hepar, VF, Lien, Pancreas normal. Kedua ren dan VU
normal. Tak tampak adanya gambaran massa intrabdomen (Gambar 28).
Konsultasi di poliklinik kulit kelamin: pada wajah, ekstremitas tampak patch
hipopigmentasi dengan berbagai ukuran, multipel, discrete (Gambar 29). Dx:
Hipopigmentasi/hipomelanotik macula.
Gambar 26. Hasil pemeriksaan CT Scan pada tanggal 27-04-2012.
Gambar 28 A dan B. A. Hasil pemeriksaan Echocardiografi pada tanggal 11-07-2012. B. Hasil
pemeriksaan Echocardiografi pada tanggal 29-03-2014.
Gambar 28. Hasil pemeriksaan USG Abdomen pada tanggal 14-04-2014.
Gambar 29. Foto Kedua kaki dan wajah.
BAB IV
PEMBAHASAN
Tuberous Sclerosis, yang juga dikenal sebagai tuberous sclerosis complex,
adalah kondisi medis yang ditandai dengan munculnya tumor jinak pada tubuh.
Kondisi ini bersifat herediter dan disebabkan oleh mutasi genetik. Gejala spesifik
akan tergantung di bagian tubuh mana tumor tersebut muncul; beberapa lokasi
yang sering menunjukkan manifestasi antara lain otak, jantung, ginjal, paru-paru
dan kulit. Kejang yang tidak bisa dikendalikan dan masalah perilaku merupakan
akibat yang timbul dari kelainan yang ada di otak. Gangguan pernafasan lebih
sering pada pasien wanita dewasa. Gangguan kerja ginjal diakibatkan adanya
tumor dan jaringan abnormal yang menggantikan struktur ginjal normal, seiring
dengan bertambahnya usia gangguan ginjal semakin berat. Tumor jinak yang
muncul di ruang bilik jantung sangat khas sebagai penanda kelainan TSC,
biasanya muncul pada usia neonatus sampai kanak-kanak. Seiring bertambahnya
usia, ukuran tumor jinak jantung ini kan berkurang dan pada beberapa kasus akan
hilang. Prognosis tergantung dari beratnya kondisi ini; kasus ringan cenderung
memiliki prognosis yang lebih baik. Kadang-kadang tumor dapat menyebabkan
komplikasi melalui penyumbatan saluran-saluran atau pembuluh-pembuluh darah;
bahkan kadang-kadang tumor-tumor tersebut dapat berubah menjadi ganas.
Tuberous sclerosis complex merupakan kelainan genetik yang bersifat
autosom dominan. Secara teoritis kelainan ini diturunkan dari orang tuanya.
Meskipun demikian terdapat banyak kasus TSC tanpa adanya riwayat keluarga
yang sama. Hal ini disebabkan munculnya mutasi spontan pada gen TSC1 dan
TSC2. Sebanyak dua pertiga atau tiga perempat kasus timbul dari mutasi
spontan.1 Berdasarkan anamnesis orang tua pasien, tidak didapatkan kelainan
serupa pada keluarga, baik dari garis keturunan bapak maupun ibu. Pada kasus ini
kemungkinan terbesar kelainan akibat mutasi spontan.
Keluhan utama pasien ini adalah kejang yang tidak teratasi. Kejang yang dialami
pasien sejak berusia 4 bulan. Menurut literatur, kejang merupakan tanda awal
yang terlihat sebagai manifestasi kelainan TSC. Trias Vogt berupa epilepsi,
retardasi mental atau intelegensia yang rendah (idiot), dan bercak-bercak adenoma
sebaseum sangat dekat dengan kelainan TSC. Pada pasien ini gejala kejang dan
retardasi mental terlihat jelas, sedangkan adenoma sebaseum tidak terlihat pada
kasus ini.
Penegakan diagnosis kelainan TSC didasarkan atas temuan genetik dan
klinis. Temuan-temuan tersebut dibagi lagi dalam kriteria mayor dan minor.
Kelainan utama yang sering didapati pada TSC masuk dalam kriteria mayor,
sedangkan temuan yang kurang khas dan juga banyak ditemukan pada kelainan
lain atau pada populasi normal masuk dalam kriteria minor. Kriteria genetik
mengisyaratkan terdapatnya mutasi patogenik gen TSC1 dan TSC2. Gen TSC1
dan TSC2 merupakan gen yang bersifat tumor supressor. Hilangnya fungsi tumor
supressor ini akan mengakibatkan munculnya tumor-tumor jinak pada berbagai
organ tubuh. Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan genetik. Sehingga
penegakan diagnosis menggunakan temuan klinis kriteria mayor dan minor. Pada
pasien ini terdapat lebih dari dua kriteria mayor, mendukung penegakan TSC.
1. Makula hipomelanotik
Makula hipomelanotik merupakan temuan yang signifikan karena kelainan
kulit ini terdapat pada 90% pasien, terlihat pada saat lahir maupun masa kanakkanak (sebelum berusia 2 tahun). Pada pasien ini terdapat makula hipomelanotik
dengan ukuran lebih dari 5mm, jumlah lebih dari tiga buah. Makula
hipomelanotik terlihat di kedua tungkai bawah dan wajah pasien (Gambar 30).
Gambar 30. Makula hipomelanotik pada kasus. Tampak bercak hipomelanotik
di kedua tungkai bawah dan wajah.
2. Rhabdomyoma Jantung
Rhabdomyoma jantung merupakan tumor hamartoma jinak yang paling
banyak ditemukan pada anak-anak. Meskipun dapat timbul sporadis, sekitar 80%
anak yang memiliki rhadomyoma jantung memiliki kelainan TSC, dan dua pertiga
penderita TSC memiliki rhabdomyoma jantung.1 Kelainan tumor di jantung ini
merupakan temuan spesifik TSC. Tumor rhabomyoma ini lebih sering ditemukan
di ruang bilik jantung. Pada kasus ini, kelainan rhabdomyoma jantung sudah
terdeteksi pada usia 1 tahun 4 bulan melalui pemeriksaan echocardiography.
Terdapat tumor rhabdomyoma di ruang bilik kanan dengan ukuran 14mmx31mm
dan 12mmx21mm. Tidak terdapat adanya komplikasi, katup-katup masih baik,
dan tidak terdapat obstruksi bilik kanan. Dilakukan pemeriksaan kontrol saat anak
berusia 3 tahun 1 bulan, masih terdapat tumor rhabdomyoma jantung, dengan
ukuran relatif menetap (Gambar 27 A dan B).
3. Cortical displasia
Terminologi cortical dysplasia digunakan untuk menggantikan istilah
cortical tuber yang selama ini digunakan. Cortical dysplasia merupakan kelainan
bawaan yang terjadi oleh karena kegagalan migrasi sebagian atau sekelompok
neuron ke tempat yang sesuai pada masa perkembangan otak. Cortical dysplasia
mencakup kelainan cortical dan subcortical tuber dan kelainan jalur migrasi radial
substansi putih.2 Pada pemeriksaan CT scan, tuber terlihat sebagai lesi dengan
atenuasi rendah dan biasanya tidak menyangat dengan pemberian kontras dan
sekitar setengahnya mengalami kalsifikasi,29 terlihat dengan baik pada CT scan
dan kadang-kadang terlihat pada foto kepala. Pada pasien ini terlihat tuber
multiple dengan tampilan area hypodens dengan batas kurang tegas di lobus
parietal dan frontal bilateral (Gambar 31).
Gambar 31. Imejing CT Scan Axial tanpa kontras pada kasus, Tampak cortical tuber berupa lesi
hypodens (panah hitam) dengan batas relatif tegas di lobus parietal bilateral. Pada gambar C
tampak kalsifikasi pada tuber di lobus fronto-temporal dextra (panah putih).
4. Nodul subependimal
Nodul subependimal merupakan tumor jinak yang terdapat disepanjang
dinding ependim yang berbatasan dengan ventrikel lateral dan ventrikel ketiga.
Nodul subependimal terdapat pada sekitar 80%
kasus TSC, biasa terdeteksi
sebelum dan sesudah kelahiran. Pertumbuhan nodul ini termasuk lambat,
meskipun demikian dapat menyebabkan gangguan neurologis termasuk juga
hidrocephalus. Nodul subependimal mengalami kalsifikasi progresif sepanjang
waktu.18 Kalsifikasi pada nodul subependimal terlihat sebanyak 90% kasus.4
Jumlah nodul subependimal tidak berkorelasi dengan keparahan klinis
TSC, tetapi penderita yang memiliki banyak nodul subependimal memiliki
kecenderungan kelemahan kognitif dan sulit untuk mengendalikan kejang-kejang
yang dialami.19,20
Gambar 32. Imejing axial CT tanpa kontras pada kasus menunjukkan adanya nodul subependimal
dengan kalsifikasi bilateral berdekatan dengan ventrikel lateralis. Tampak juga kalsfikasi di girusgirus lobus frontalis kiri.
Pada pasien ini belum tampak adanya gambaran hydrocephalus,
kemungkinan adanya subependymal giant cell astrocytoma belum dapat
dibuktikan dengan pemeriksaan CT scan (Gambar 35). Pemeriksaan yang terbaik
untuk menampilkan adanya SEGA adalah MRI.
Temuan klinis berupa empat kriteria mayor diatas merupakan dasar
penegakan diagnosis TSC pada pasien ini. Gambaran khas pada pemeriksaan CT
scan sesuai dengan literatur yang ada.
Berdasarkan hasil pemeriksaan CT scan, diagnosis banding pada pasien ini
adalah Fahr's disease dan kalsifikasi intracerebri akibat infeksi kongenital. Dasar
pemilihan diagnosis banding ini adalah ditemukannya lesi hiperdens multipel di
lobus fronto-parieto-temporal kanan, ganglia basalis kiri dan paraventrikuler
lateralis bilateral. Lesi hiperdens pada pemeriksaan CT scan bisa menunjukkan
adanya perdarahan ataupun proses kalsifikasi. Pada gambar CT scan tersebut,
tidak dilakukan pemeriksaan densitas lesi hiperdens (berupa nilai Hounsfield
Unit/HU), sehingga perlu analisa lebih lanjut untuk menyingkirkan diagnosis
banding perdarahan. Gambaran perdarahan intracranial pada pemeriksaan CT
scan bergantung pada umur perdarahan. Segera setelah terjadi perdarahan, extra
vasase darah segar akan menunjukkan tampilan area heterogen dengan nilai
densitas 40-60 HU, merupakan gabungan kompleks sel darah merah, sel darah
putih, kumpulan platelet dan protein kaya serum. Beberapa bagian perdarahan ini
memiliki densitas sedikit diatas parenkim otak normal. Berlanjut sampai beberapa
jam, densitas pendarahan meningkat dengan cepat sampai 60-80 HU. Hal ini
sesuai dengan proses pembentukan jaringan molekul fibrin, fibril dan globin.
Komponen hemoglobin yang terdapat pada protein globin akan menampilkan
densitas yang tinggi. Berlanjut pada proses retraksi cairan, hematokrit akan
meningkat sampai 90% sehingga densitas perdarahan akan meningkat. Proses
penjendalan darah pada minggu pertama ini akan menujukkan lesi hiperdens
dengan batas yang tegas. Pada perdarahan yang luas kadang kala terlihat adanya
gambaran horizontal fluid-fluid level, merupakan garis yang membatasi
komponen seluler yang mengendap dan bagian supernatan berupa serum darah.
Seiring dengan berjalannya proses pematangan perdarahan, akan terdapat area
hiperdens dengan densitas 80-100 HU di bagian tengah diikuti dengan area halo
berupa lesi hypodens yang mengelilingnya. Tahapan ini sangat singkat karena
akan tejadi proses proteolisis yaitu terjadi pemecahan molekul globin. Densitas
perdarahan akan berkurang 0,7-1,5 HU perhari. Setelah beberapa minggu atau
bahkan berbulan, akan terjadi proses digesti oleh makrofag, jendalan darah akan
diresorpsi. Gambaran akhir suatu proses perdarahan adalah sebuah cavitas
menyerupai celah yang dibatasi oleh lesi hiperdens berupa hemosiderin.
Lokasi perdarahan sangat menentukan jenis dan patofisiologi perdarahan.
Gambaran hiperdens pada CT scan kasus ini bisa diartikan sebagai perdarahan
intracranial. Lesi hiperdens pada kasus bila dibandingkan dengan dengan lesi
hiperdens pada perdarahan terdapat ketidak sesuaian, antara lain klinis pasien,
lokasi perdarahan tidak mengikuti pola vaskularisasi otak, gambaran hiperdens
tanpa adanya area halo, dan lesi hiperdens yang terpisah-pisah. Sehingga
disimpulkan lesi hiperdens pada kasus ini merupakan sutu proses kalsifikasi
intracerebri.
Diagnosis banding pada kasus ini, Fahr's disease, suatu kelainan
neurologis yang jarang dijumpai ditandai dengan penumpukan kalsifikasi
abnormal di ganglia basalis dan korteks cerebri. Tampilan klinis FD berupa
gangguan gerakan, demensia, kejang epileptik, berbagai derajat kelemahan
neuropsikologikal dan gangguan perilaku. Gejala klini khas FD berupa sindrom
extrapiramidal. Pada kasus ini tidak ditemui adanya gejala-gejala extrapiramidal.
Kalsifikasi ganglia basalis yang terlihat melalui pemeriksaan CT scan ditandai
dengan lesi hiperdens yang simetris, hal ini tidak sesuai dengan kasus. Klasifikasi
yang terdapat pada kasus tidak simetris dan letaknya lebih dominan berada di para
ventrikuler bilateral. Onset FD diketahui pada saat dekade keempat dan kelima,
hal ini sangat bertolak belakang pada kasus. Umur pasien pada kasus ini masih
dekade pertama. Pada literatur pernah dilaporkan kasus FD pada anak-anak yang
berusia 2 tahun 9 bulan, dengan gejala klinis kejang dan keterlambatan
pertumbuhan. Hasil pemeriksaan CT scan menunjukkan kalsifikasi di ganglia
basalis yang simetris.
Kalsifikasi intracerebri akibat infeksi kongenital adalah diagnosis banding
lainnnya. Pada kasus ini, hasil pemeriksaan laboratorium terhadap adanya infeksi
toxoplasma: IgG reaktif, IgM non reaktif; rubella : negatif, CMV: IgG non
rekatig, IgM reaktif dan HSV: negatif. Hasil pemeriksaan ini mengindikasikan
pasien pernah terjangkiti penyakit toxoplasmosis di waktu yang lampau. Hasil
IgG reaktif dan IgM non reaktif menunjukkan infeksi tersebut sudah lebih dari
satu tahun yang lampau. Hasil pemeriksaan CMV IgG non reaktif dan IgM reaktif
mengindikasikan kemungkinan adanya proses infeksi akut atau hasil pemeriksaan
positif palsu. Disarankan untuk pemeriksaan ulang 2 minggu kemudian. Bila hasil
tetap sama, maka hasil pemeriksaan ini positif palsu.
Infeksi
kongenital
toxoplasmosis
biasanya
berhubungan
dengan
hidrocephalus dan kalsifikasi di periventrikuler, ganglia basalis dan beberapa area
korteks cerebri. Tingkat keparahan kerusakan sistem saraf pusat akibat
toxoplasmosis berkaitan dengan usia kehamilan pada saat infeksi. Jika janin masih
berusia 20 minggu, temuan kelainan bisa sangat fatal, antara lain microcephaly,
hydrocephalus, tetraparesis, seizure, cognitive impairment, migrational disorder,
microophtalmia dan kebutaan akibat chorioretinitis. Infeksi setelah minggu ke 20
mengakibatkan kelainan dan keparahan semakin variabel. Parasit toxoplasma akan
mengakibatkan area nekrotik diberbagai area seperti cerebri, cerebelli, batang
otak, dan saraf tulang belakang. Akibat sistem imun yang belum matang dan
proses phagositosis yang lemah, area nekrotik tersebut sering mengalami
kalsifikasi. Tanda kalsifikasi tersebut merupakan gambaran khas infeksi
toxoplasmosis. Ukuran kalsifikasi tersebut berhubungan dengan durasi infeksi.
Kalsifikasi yang berukuran besar menujukkan infeksi terjadi pada trimester
pertama dan kedua.48 Apabila infeksi terjadi pada trimester pertama (sebelum 20
minggu) maka akan mengakibatkan kerusakan otak yang parah. Pada kasus ini
tidak dijumpai adanya kelainan seperti microcephaly, hydrocephalus, kebutaan
akibat chorioretinitis. Dengan demikian bisa saja terdapat riwayat infeksi
toxoplasmosis pada pasien ini namun belum mengakibatkan kelainan yang cukup
parah pada jaringan cerebri, cerebelli, batang otak maupun saraf tulang belakang,
sehingga kalsifikasi multipel intracerebri yang terdapat pada kasus ini
kemungkinan bukan akibat dari riwayat infeksi toxoplasma.
Infeksi CMV merupakan infeksi kongenital terbanyak, berhubungan
dengan terjadinya microcephaly, chorioretinitis, dan kalsifikasi intrakranial.
Kalsifikasi biasanya terlihat di periventikuler dan lokasi subependimal.
Insidensinya cukup tinggi, di Amerika Serikat tercatat kasus CMV 30.000 sampai
40.000 kasus pertahunnya. Infeksi CMV merupakan penyebab utama gangguan
pendengaran akibat infeksi. Seperti halnya infeksi toxoplasmosis, usia kehamilan
pada saat infeksi berhubungan dengan keparahan kerusakan otak yang terlihat
pada pemeriksaan imejing otak. Infeksi pada awal kehamilan mengakibatkan
lissencephaly, sementara infeksi pada usia kehamilan 18-24 mengakibatkan
kelainan polymicrogyria. Sementara infeksi pada trimester akhir menujukkan
anatomis otak terlihat normal.49 Temuan penyerta lain adalah ventriculomegaly,
kalsifikasi intracerebri, dan cerebellar hipoplasia. Pada kasus ini, tidak terdapat
adanya tanda-tanda ventriculomegaly maupun gambaran lissencephaly. Dengan
demikian kalsifikasi intrakranial pada kasus ini kemungkinan bukan akibat dari
infeksi CMV.
Dari uraian analisa-analisa diatas, diagnosis banding pada kasus ini berupa
Fahr’s diseases dan kalsifikasi intracerebri akibat penyakit infeksi toxoplasmosis
dan CMV dapat disingkirkan. Kriteria mayor yang ditemui pada kasus ini lebih
dari 2, dengan demikian diagnosis kasus ini adalah tuberous sclerosis complex.
BAB V
KESIMPULAN
Dilaporkan sebuah kasus seorang pasien anak perempuan berusia tiga
tahun dengan gejala neurologis berupa kejang yang tidak terkendali serta
gangguan pertumbuhan global. Pada kasus ditemui kriteria mayor berupa makula
hipomelanotik di wajah dan kedua tungkai bawah; rhabdomyoma multipel pada
ruang bilik kanan jantung; pada pemeriksaan CT scan kepala ditemukan gambaran
tuber kortikal dan kalsifikasi nodul subependimal sesuai dengan gambaran
penyakit tuberous sclerosis complex.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Roach E, Sparagana S. Diagnosis of Tuberous Sclerosis Complex. J Child
Neurol. 2004; 19:643-9.
2.
Northrup H, Krueger DA. Tuberous Sclerosis Complex Diagnostic Criteria
Update: Recommendations of the 2012 International Tuberous Sclerosis
Complex Consensus Conference. Pediatr Neurol. 2013; 49:243-54.
3.
Umeoka S, Koyama T, Miki Y, et al. Pictorial Review of Tuberous
Sclerosis in Various Organs. RSNA Annual Meeting. 2008.
4.
Henry J, Baskin Jr. The pathogenesis and imaging of the tuberous sclerosis
complex. Pediatr Radiol. 2008; 38:936–52.
5.
Peter B, Crino MD, Katherine L, Nathanson
MD, Henske EP. The
Tuberous Sclerosis Complex. N Engl J Med. 2006; 355:1345-56.
6.
Stevenson A, Fischer O. Frequency of epiloia in Northern Ireland. Br J
Prev Soc Med. 1956; 10:134-5.
7.
Nevin N, Pearse W. Diagnostic and genetical aspects of tuberous sclerosis.
J Med Genet. 1968; 5:273-80.
8.
O’Callaghan F, Shiell A, Osborne J, Martyn C. Prevalence of tuberous
sclerosis estimated by capture-recapture analysis. Lancet. 1998; 352:
318-19.
9.
Sampson J, Scahill S, Stephenson J, Mann L, Connor J. Genetic aspects of
tuberous sclerosis in the west of Scotland. J Med Genet. 1989; 26: 28-31.
10.
Maria BL, Deidrick KM, Roach ES, et al. Tuberous sclerosis complex:
pathogenesis, diagnosis, strategies, therapies, and future research
directions. J Child Neurol. 2004; 19:632-42.
11.
Mlynarczyk G. Enamel pitting: a common symptom of tuberous sclerosis.
Oral Surg Oral Med Oral Pathol. 1991; 71:63-7.
12.
Rosser
T,
Panigrahy A,
McClintock
W. The
diverse
clinical
manifestations of tuberous sclerosis complex: a review. Semin Pediatr
Neurol. 2006; 13:27-36
13.
Wiznitzer M. Autism and tuberous sclerosis. J Child Neurol. 2004;
19:675-9.
14.
Prather P, de Vries PJ. Behavioral and cognitive aspects of tuberous
sclerosis complex. J Child Neurol. 2004; 19:666-74.
15.
Maria BL, Deidrick KM, Roach ES et al. Tuberous sclerosis
complex: pathogenesis, diagnosis, strategies, therapies, and future research
directions. J Child Neurol. 2004; 19:632-42.
16.
Webb DW, Clarke A, Fryer A et al. The cutaneous features of
tuberous sclerosis: a population study. Br J Dermatol. 1996; 135:1-5.
17.
Altman NR, Purser RK, Post MJ. Tuberous sclerosis: characteristics
at CT and MR imaging. Radiology. 1988; 167:527-32.
18.
Crino P, Mehta R, Vinters H. Pathogenesis of TSC in the brain. In:
Kwiatkowsi D, Whittemore V, Thiele E, eds. Tuberous Sclerosis
Complex: Genes, Clinical Features, and Therapeutics. Weinheim: WileyBlackwell; 2010: 285-309.
19.
Roach ES, Williams DP, Laster DW: Magnetic resonance imaging in
tuberous sclerosis. Arch Neurol. 1987; 44:301-3.
20.
Goodman M, Lamm SH, Engel A, et.al. Cortical tuber count: A biomarker
indicating cerebral severity of tuberous sclerosis complex. J Child Neurol.
1997; 11:85-90.
21.
Black M, Kadlez M, Smallhorn J, Freedom R. Cardiac rhabdomyomas and
obstructive left heart disease: histologically but not functionally benign.
Ann Thorac Surg. 1998; 65:1388-90.
22.
Hancock E, Osborne J. Lymphangioleiomyomatosis: a review of the
literature. Respir Med. 2002; 96:1-6.
23.
Wagner BJ, Cheong JJ, Davis CJ. Adult renal hamartomas. Radiographics.
1997; 17:155-69.
24.
O’Callaghan F, Osborne J. Endocrine, gastrointestinal, hepatic, and
lymphatic manifestations of tuberous sclerosis complex. In: Kwiatkowski
D, Whittemore V, Thiele E, eds. Tuberous Sclerosis Complex: Genes,
Clinical Features, and Therapeutics. Weinheim: Wiley-Blackwell; 2010:
369-385.
25.
Compton W, Lester P, Kyaw M, Madsen J. The abdominal angiographic
spectrum of tuberous sclerosis. AJR Am J Roentgenol. 1976;126:807- 13.
26.
Perou M, Gray P. Mesenchymal hamartomas of the kidney. J Urol.
1960; 83:240-61.
27.
Verma B, Tailor M. Familial tuberous sclerosis: a review with report of
three cases. Indian Pediatr. 1965; 2: 401-10.
28.
Nakhleh RE. Angiomyolipoma of the liver. Pathol Case Rev. 2009; 14:
47-9.
29.
Altman NR, Purser RK, Post MJ. Tuberous sclerosis: characteristics
at CT and MR imaging. Radiology. 1988; 167: 527-32.
30.
Nixon JR, Houser OW, Gomez MR, et al. Cerebral tuberous sclerosis: MR
imaging. Radiology. 1989; 170: 869-73.
31.
Di Paolo D, Zimmerman RA. Solitary cortical tubers. Am J Neuroradiol
1995; 16:1360-4.
32.
Kalantari BN, Salamon N. Neuroimaging of Tuberous Sclerosis: Spectrum
of Pathologic Findings and Frontiers in Imaging. AJR. 2008; 190: 304-9.
33.
Griffiths PD, Bolton P, Verity C. White matter abnormalities in tuberous
sclerosis complex. Acta Radiol 1998; 39:482-6.
34.
Johnson SR, Cordier JF, Lazor R, et al. European Respiratory Society
guidelines for the diagnosis and management of
lymphangioleiomyo-
matosis. Eur Respir J. 2010; 35:14-26.
35.
Casper KA, Donnelly LF, Chen B, et al. Tuberous sclerosis
complex: renal imaging findings. Radiology. 2002; 225:451-6.
36.
Saleem S, Aslam HM, Anwar M, et al. Fahr’s syndrome: literature review
of current evidence. Orphanet Journal of Rare Diseases. 2013; 8:156.
37.
Modrego PJ, Mojonero J, Serrano M, Fayed N. Fahr’s syndrome
presenting with pure and progressive presenile dementia. Neurol Sci.
2005; 26:367-9.
38.
Moskowitz MA, Winickoff RN, Heinz ER: Familial calcification of the
basal ganglions: a metabolic and genetic study. N Engl J Med. 1971;
285(2): 72-7.
39.
Avrahami E, Cohn DF, Feibel M, Tadmor R: MRI demonstration and CT
correlation of the brain in patients
with
idiopathic
intracerebral
calcification. J Neurol. 1994; 241(6): 381-4.
40.
GG Gerard G, Weisberg L. Tuberous Sclerosis: CT Findings and
Differential Diagnosis. Computerized Radiol. 1987; 11: 189-92.
41.
Anvekar,
B.
Neuroradiology
Cases:
Intracranial
calcifications.
Neuroradiology Unit, SP Institute of Neurosciences, Solapur, Maharashtra,
India. Available at:
http://www.neuroradiologycases.com/2011/10/
intracranial-calcifications.html
42.
Sze G, Lee SH. Infectious disease. In: Lee SH. Rao KCVG, Zimmerman
RA, eds. Cranial MRI and CT. 4th ed. New York: Mc Graw-Hill, 1999;
453-517.
43.
Hedlung GL, Boyer RS. Neuroimaging of postnatal pediatric central
nervous system infections. Semin Pediatr Neurol. 1999; 4: 299–317.
44.
Henske EP. Tuberous sclerosis. Elsevier. 2006; 303-306. Available from:
http://www.dfhcc.harvard.edu/membership/profile/member/1515/0.
45.
Huang S, Bjornsti MA, Houghton PJ. Rapamycins: mechanism of action
and cellular resistance. Cancer Biol Ther. 2003; 2: 222-32.
46.
Franz DN, Leonard J, Tudor C, et al. Rapamycin causes regression
of astrocytomas in tuberous sclerosis complex. Ann Neurol. 2006;
59:490–8.
47.
Bissler JJ, McCormack FX, Young LR, et al. Sirolimus for
angiomyolipoma
in
tuberous
sclerosis
complex
or
lymphangioleiomyomatosis. N Engl J Med. 2008; 358:140-51.
48.
Nickerson JP, Richner B, Santy Ky, et al. Neuroimaging of pediatric
intracranial infection-Part 2: TORCH, Viral, Fungal, and Parasitic
Infections. J Neuroimaging. 2012; XX: 1-13.
Download