Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Mahkota Dewa

advertisement
BioSMART
Volume 6, Nomor 2
Halaman: 91-98
ISSN: 1411-321X
Oktober 2004
Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Mahkota Dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff)
Boerl] terhadap Struktur Histologis Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus L.)
setelah Perlakuan dengan Karbon Tetraklorida (CCl4) secara Oral
The effect of [Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl] fruits extract on the histological structure of
white rat (Rattus nervogicus L.) liver after orally carbon tetrachloride (CCl4) exposure
DIAN ENDRI SULISTIANTO, MARTI HARINI♥, NOOR SOESANTI HANDAJANI
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126
Diterima: 5 Januari 2004. Disetujui: 11 Maret 2004
ABSTRACT
The aim of this research is to investigate the effect of Phalleria macrocarpa fruit ekstract on white rat liver againts hepatotoxican CCl4.
The subjects consisted of twenty rats Rattus norvegicus ages 2-2,5 month old with body weight around 200-250 grams which divided
into 5 groups of four rats each. The first group was given water and standar diet. The second group was given 0,2 ml CCl4. the third
group was given 1,3 ml Phaleria macrocarpa fruits extract. The fourth group was given 0,2 ml CCl4 for 15 days to continued with 1,5
ml extract for 15 days. The rest of group was given 1,3 ml extract for 15 days to continued with 0,1 ml CCl4 for 15 days. Treatment were
given per oral daily during 30 days. The result indicated that the hepar cells of all control group was normal. Histological feature in the
group of rats treated with CCl4 showed bad liver features compared to the other groups. The group of rats firstly treated with CCl4 then
extract showed fatty liver features but hepar cells mostly normal detected. The last group of rats firstly treated with extract then CCl4
showed some of liver damage such as fatty liver, karyolysis, and karyorrehxis. Normal hepar cells were least detected. It is concluded
that the effect of Phaleria macrocarpa fruits extract could be help hepar cell recovery from carbon tetrachloride exposure.
Keywords: fruits extract of Phaleria macrocarpa, CCl4, anti hepatotoxic, hepar cell.
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari manusia terancam oleh zat
kimia berbahaya yang terpapar secara langsung maupun
tidak langsung. Zat-zat kimia yang masuk ke dalam tubuh
tidak hanya perlu dipelajari sifat-sifat racunnya namun
harus
disertai
pemahaman
tentang
keamanan
pemakaiannya. Penggunaan zat kimia atau obat selalu
menimbulkan risiko meskipun telah diusahakan untuk
menekannya sekecil mungkin pengaruh toksik dari suatu
obat merupakan risiko yang dapat timbul. Karbon
tetraklorida (CCl4) merupakan pelarut organik yang bersifat
toksik terhadap hati, ginjal dan jantung (Darmansjah et al.,
1995). Dalam penelitiannya, Ariyani (2002) menunjukkan
kerusakan hepar berupa perlemakan sel hepar dan
gambaran sel yang mengalami karioreksis dan kariolisis.
Beberapa penelitian terdahulu telah memanfaatkan sifat
hepatotoksik CCl4 sebagai model kerusakan sel hepar untuk
menguji kemampuan bahan alam seperti ekstrak heksan
meniran sebagai zat anti penghambat kerusakan pada hepar
(Syamasundar et al., 1985 dalam Lestariana, 1997). Bahan
♥ Alamat korespondensi:
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126
Tel. & Fax.: +62-271-663375.
e-mail: [email protected]
alam hayati lain yang diduga memiliki efek serupa adalah
tanaman obat mahkota dewa. Oleh Harmanto (2001) secara
empiris buah dan daun mahkota dewa telah digunakan
untuk pengobatan terhadap sirosis hepar dan penyakit
lever. Efek terapi yang dimiliki berkaitan erat dengan
senyawa kimia yang terkandung didalamnya. Dalam kulit
buahnya terkandung senyawa alkaloid, saponin dan
flavonoid (Gotama et al., 1999). Efek terapi sebagai anti
hepatotoksik diduga oleh adanya senyawa flavonoid yang
terkandung dalam mahkota dewa. Uji anti hepatotoksik dari
tanaman ini dilakukan secara klinis untuk memberikan
dukungan ilmiah terhadap bahan kimia bioaktif dan efek
terapi yang dimiliki.
Karbon tetraklorida telah terbukti menimbulkan efek
toksik pada hepar hewan percobaan. Derajat kerusakan
yang ditimbulkan menyebabkan suatu efek awal atas fungsi
suatu organisme dan perubahan patologi di dalam organ
spesifik misalnya hepar (Loomis, 1978). Hepar merupakan
organ yang sangat rentan terhadap pengaruh zat kimia.
Sebagian besar zat kimia memasuki tubuh melalui sistem
gastrointestinal yang akan menyerap dan membawanya ke
hati melalui vena porta (Lu, 1995). Dalam hepar zat kimia
mengalami metabolisme yang menyebabkan sifat toksiknya
berkurang dan lebih mudah larut dalam air. Disamping itu
hepar memiliki daya regenerasi yang sangat baik. Pada
tikus, hepar dapat memulihkan kehilangan sampai 75% dari
 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
92
B i o S M A R T Vol. 6, No. 2, Oktober 2004, hal. 91-98
beratnya dalam waktu satu bulan. Namun bila kerusakan
terjadi berulang-ulang maka akan terbentuk banyak
jaringan ikat bersama regenerasi sel hati dan akan
menyebabkan struktur hepar yang tidak teratur.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan tempat
Penelitian ini dilakukan pada Januari sampai Maret
2003. Tempat penelitian meliputi Unit Pengembangan
Hewan Percobaan (UPHP) UGM Yogyakarta dan Sub Lab
Biologi Labolatorium Pusat F.MIPA UNS Surakarta.
Alat dan bahan
Alat untuk perlakuan berupa kandang pemeliharaan
tikus putih beserta tempat pakan dan minum, Alat yang
digunakan yaitu timbangan analitik, pisau, oven, corong,
gelas ukur, pipet ukur, kertas saring, rotary evaporator
(vaccum evaporator) dan centrifuge. Alat untuk Perlakuan
antara lain gelas ukur, canule, kandang pemeliharaan dan
timbangan. Alat yang diguanakan untuk pembuatan
preparat yaitu bak parafin, disecting kit, kertas label, botol
flakon, gelas benda dan gelas penutup, rotary mikrotom,
oven, staning kit, cawan petri, pipet ukur, mikroskop
dengan mikrometer, holder kayu, kertas filter, hot plate,
pipet, karton serta kamera foto untuk dokumentasi.
Bahan-bahan yang diperlukan untuk penelitian ini
meliputi tikus putih (Rattus norvegicus L.) Jantan strain
Wistar umur 2-3 bulan dengan berat badan 200-250 gram
sebanyak 20 tikus, pellet sebagai pakan sehari-hari, air
ledeng, karbon tetraklorida bentuk cair. Bahan pembuat
ekstrak antara lain ethanol 50% dan buah mahkota dewa
matang berwarna merah dari tanaman yang telah diidenifikasi dan determinasi di Laboratorium Farmakognisi
Fakultas Farmasi UGM. Bahan yang digunakan untuk
pembuatan preparat histologis dengan metode parafin
meliputi: Larutan Bouin untuk fiksasi, garam fisiologis
NaCl (0,9%), alkohol teknis, toluol, xylol, parafin dengan
titik cair 50-55oC, pewarna Haematoxylin dan Eosin Y,
akuades, Meyer’s albumin, enthelan (Suntoro, 1983).
Cara kerja
Rancangan percobaan
Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan
dengan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
lima macam perlakuan, setiap perlakuan dengan 4 ulangan.
Persiapan hewan percobaan
Tikus putih jantan berumur 2-3 bulan dengan berat
badan rata-rata 200-250 gram dan dipelihara di kandang,
masing-masing kandang perlakuan berisi empat tikus putih
(total 5 macam perlakuan = 20 tikus) sebelum memulai
perlakuan hewan percobaan diaklimatisasi dalam
kandangnya selama 5 hari.
Pembuatan ekstrak dan pengenceran
Pemilihan buah yang telah matang berwarna merah
untuk kemudian melalui pengeringan akan dibuat serbuk
halus. Ethanol ditambahkan untuk melakukan ekstraksi dari
serbuk ini selama kurang lebih 2 (dua) jam kemudian
dilanjutkan maserasi selama 24 jam. Setelah masuk ke
tahap filtrasi, akan diperoleh filtrat dan residu. Filtrat yang
didapatkan akan diteruskan ke tahap evaporasi dengan
Rotary evaporator pada suhu 40 derajad celcius sehingga
akhirnya diperoleh ekstrak kering sebesar 89,6 gram. Dari
ekstrak ini dibuat larutan ekstrak dengan konsentrasi 20%
B/V (persen berat per volume , untuk 1% B/V = 1 g/100
ml). Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan
perhitungan dan pembuatan larutan ekstrak. Untuk
pengenceran harus dicari terlebih dahulu akuades yang
dibutuhkan sesuai dengan konsentrasi 20% B/V, sehingga
akuades yang dibutuhkan adalah sebesar 448 ml.
Penentuan dosis CCl4
Senyawa CCl4 yang diberikan dalam bentuk cair
sehingga tidak memerlukan pengenceran dengan senyawa
lain. Penentuan dosis oral untuk semua kelompok
perlakuan adalah sebesar 3,6 ml/ kg BB tikus (Loomis,
1978). Batas aman yang digunakan adalah sebesar 20%
dari LD 50 yaitu 0,72 ml/ kg BB = 0,144 ml/ 200 g BB
atau sama dengan 0,72. 10 -3 ml/ g BB. Senyawa CCl4
dipilih sebagai model kerusakan pada hati tikus putih.
Pembuatan larutan ekstrak dan penentuan dosis
Dalam pemakaian sehari-hari pemakaian buah mahkota
dewa untuk pengobatan oleh manusia adalah sebesar 15 g.
Dari tabel konversi penetapan volume cekok tunggal dari
manusia ke hewan uji menurut Laurence dan Bacharach
(1964), diketahui bahwa faktor konversi untuk manusia
Eropa (70 kg) ke tikus dengan berat 200 g adalah 0,018
sehingga dosis untuk tikus adalah: 0,27 g/200 gBB tikus
yang diperoleh dari perhitungan (0,018x15 g/kg BB).
Penentuan dosis untuk masing-masing perlakuan
ditetapkan atas rata-rata berat badan hewan uji. Ekstrak
dibuat dalam konsentrasi 20% B/V yang artinya
mengandung 20 g berat ekstrak per 100 ml akuades. Untuk
1 ml ekstrak mengandung 200 mg sehingga dosis sebesar
270 mg/200 g BB akan sebesar 1,35 ml.
Perlakuan terhadap hewan percobaan
Perlakuan diberikan selama 30 hari, seluruh kelompok
perlakuan mendapakan diet standar berupa pellet dan air
ledeng. Dalam setiap kelompok perlakuan dan antar
kelompok perlakuan terdapat perbedaan pemberian dosis
senyawa CCl4 maupun ekstrak buah mahkota dewa.
Perbedaan ini karena setiap pemberian dosis ditentukan
berdasarkan berat rata-rata hewan uji. Kelompok IV dan V
memiliki dua fase perlakuan, yaitu perlakuan selama 15
hari pertama dan 15 hari kedua. setelah 30 hari perlakuan
hewan uji akan dikorbankan pada hari ke-31. Selengkapnya
sebagai berikut:
•
Kelompok I (K I)
: Pemberian diet standar tanpa
senyawa CCl4 dan ekstrak buah mahkota dewa.
•
Kelompok II (K II) : Pemberian 0,2 ml CCl4 selama
30 hari.
•
Kelompok III (K III) : Pemberian 1,3 ml ekstrak buah
mahkota dewa selama 30 hari.
•
Kelompok IV (K IV) : Pemberian 0,2 ml CCl4 selama
15 hari dilanjutkan dengan 1,5 ml ekstrak buah
mahkota dewa selama 15 hari.
ENDRI dkk., – Pengaruh ekstrak buah Phaleria macrocarpa pada hepar Rattus norvegicus
•
Kelompok V (K V) : Pemberian 1,3 ml ekstrak buah
mahkota dewa selama 15 hari dilanjutkan dengan 0,1
ml CCl4 selama 15 hari.
Teknik pengambilan data
Perlakuan diberikan selama 30 hari dan pada hari ke-31
semua tikus putih dikorbankan. Hepar yang telah dibuat
dalam preparat histologis diamati secara mikroskopis. Data
penelitian berupa hasil pengamatan deskriptif terhadap preparat histologis untuk melihat adanya degenerasi atau nekrosis sel hepar dan pengamatan ada tidak perbaikan pada
sel hepar setelah pemberian ekstrak buah mahkota dewa.
Derajat kerusakan atau nekrosis hepar akan dikuantitatifkan dengan menentukan persentase tingkat kerusakan
sel. Setiap ulangan kelompok perlakuan dinilai dengan tiga
tingkat kerusakan sel dan kemudian diambil nilai reratanya.
Penentuan persentase (%) memiliki 3 (tiga) tingkat yaitu:
A: untuk kerusakan 0%.
B: untuk kerusakan 20-40%.
C: untuk kerusakan >40% (Sunityoso, dkk, 1998).
Analisis data
Pengamatan secara deskriptif yaitu dengan cara melihat
ada tidaknya kerusakan struktur hepar setelah pemberian
perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol,
menentukan jenis kerusakan yaitu perlemakan hepar,
karioreksis atau kariolisis dan memberikan penilaian
terhadap kerusakan hepar terhadap kemungkinan perbaikan
setelah pelakuan dengan ekstrak buah mahkota dewa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan makroskopis
Hasil pengamatan makroskopis (morfologi) organ hepar
masing-masing kelompok perlakuan menunjukkan adanya
perubahan warna. Hepar kelompok (K) KI berwarna merah
tua sangat berbeda dengan hepar KII yang tampak
berwarna kuning pucat. Hepar KI tampak berwarna merah
tua dan mengkilat, warna ini disebabkan oleh darah yang
terdapat sangat banyak dalam organ hepar. Perubahan
warna dari merah tua menjadi kuning pucat disebabkan
oleh senyawa CCl4 yang bersifat hepatotoksik sangat kuat
dan menyebabkan perlemakan hepar. Hepar KIII memiliki
warna merah kecokelatan dan mengkilat. Hal ini karena
ekstrak buah mahkota dewa tidak merusak sel hepar
sehingga mendekati warna hepar KI. Pada hepar KIV dan
KV yang mendapat perlakuan dengan CCl4 dan ekstrak
buah mahkota dewa memperlihatkan perbedaan warna
yang jelas. Hepar KIV berwarna merah kecoklatan relatif
sama dengan KIII, sedangkan KV cenderung berwarna
merah muda-kekuningan. Senyawa karbon tetraklorida
mengakibatkan perlemakan hepar yang ditunjukkan oleh
massa hepar yang berwarna kuning pucat dengan bintikbintik putih. Pengaruh hepatotoksikan pada KV cukup kuat
sehingga menampilkan warna seperti KII. Pengamatan
terhadap masing-masing kelompok tidak memperlihatkan
perubahan bentuk atau morfologi. Perubahan warna dan
morfologi organ biasanya disebabkan adanya perubahan
fisiologis dan struktur makroskopis jaringan yang cukup
berarti.
93
Pengamatan mikroskopis
Hepar Kelompok I
Pengamatan menyeluruh terhadap sediaan histologis
memperlihatkan gambaran normal sel hepar. Setiap lobulus
hepar tersusun dari sel hepar dengan inti terpulas biru tua,
memiliki kromatin tersebar, jelas dan menyerap zat warna
kuat. Sel hepar tampak tersusun radier dalam lobulus.
Lempeng sel beranastomosis bebas dan memiliki batas
antar sel yang jelas. Beberapa sel hepar dijumpai dengan
inti sel lebih dari satu. Sitoplasma sel hepar terpulas merah
merata dengan intensitas lebih kuat dibandingkan
sitoplasma sinusoid yang berwarna merah muda. Sinusoid
terdiri atas sel-sel endotel dengan inti gepeng dan gelap
serta sedikit sitoplasma. Sel yang nampak di bagian ini
yaitu sel kupffer (Gambar 1.).
Hepar Kelompok II
Pengamatan mikroskopis memperlihatkan kerusakan sel
yang berarti. Kerusakan berupa degenerasi berlemak atau
steatosis merata di seluruh lobulus. Steatosis dalam sediaan
histologis tampak sebagai vakuola-vakuola bening
berukuran kecil sampai besar. Vakuola dalam hepatosit
berjumlah banyak membentuk vakuola besar dan mendesak
inti ke perifer. Steatosis menyerang sampai ke daerah
sentrolobular. Ditemukan sel yang mengalami karioreksis
dan kariolisis. Dalam lempeng sel hepar batas antar sel
relatif sulit dibedakan sedangkan sinusoid mengalami
penyempitan. Sel hepar normal tidak ditemukan dalam
pengamatan mikroskopis. Jumlah vakuola perlemakan
dalam jumlah banyak memicu terjadinya jaringan nekrosis.
(Gambar 2.)
Hepar Kelompok III
Pengamatan terhadap hepar yang diperlakukan dengan
ekstrak buah mahkota dewa memperlihatkan kondisi
jaringan hepar normal. Sel-sel hepar berbentuk polyhedral
berada dalam lempeng sel dan dipisahkan oleh sinusoid
yang terpulas lebih pucat dibandingkan sitoplasma
hepatosit. Inti sel bulat dengan pulasan hitam kompak
berjumlah satu atau dua inti. Penampang histologis
memperlihatkan inti sel yang sangat gelap, berupa bintik
hitam. Hepatosit memiliki batas sel jelas, terpulas lebih
merah dibandingkan sitoplasma yang berwarna merah
muda. Di dalam vena sentralis yang mengalami pelebaran
ditemukan eritrosit (Gambar 3.).
Hepar Kelompok IV
Pengamatan terhadap bidang pandang preparat KIV
memperlihatkan bagian lobulus yang mengalami
perlemakan atau steatosis. Kondisi ini tampak berupa
vakuola berukuran kecil-kecil di lobulus hepar namun tidak
berada di setiap bagian lobulus. Dengan demikian sel hepar
ditemukan lebih dominan dibandingkan perlemakan dalam
lobulus. Sel hepar normal ditemukan di antara sel yang
mengalami perlemakan. Vakuola dalam lobulus dan sel
hepar tidak mengakibatkan inti sel terdesak ke perifer
bahkan ditemukan sel mengalami pembelahan. Steatosis
KIV tidak separah steatosis pada KII. Vena sentralis
mengalami pelebaran disertai eritrosit yang dijumpai pada
penampang histologis (Gambar 4.).
B i o S M A R T Vol. 6, No. 2, Oktober 2004, hal. 91-98
94
3
4
7
6
5
6
2
5
4
1 3
1
2
Gambar 1.. Penampang melintang hepar kelompok kontrol.
Perbesaran: 200x. Pewarnaan: HE. Keterangan: 1. inti sel hepar,
2. sitoplasma, 3. membran sel, 4. sel kupffer, 5. sinusoid, 6. sel
hepar berinti dua, 7. vena sentralis.
Gambar 2.. Penampang melintang hepar setelah pemberian 0,2
ml CCl4 selama 30 hari. Perbesaran: 200x. Pewarnaan: HE.
Keterangan: 1. degenerasi perlemakan makrovesikuler, 2.
degenerasi perlemakan mikrovesikuler, 3. sel piknotik, 4.
kariolisis, 5. sinusoid, 6. vena sentralis.
1
5
4
2
7
3
6
2
4
3
5
1
Gambar 3. Penampang melintang hepar setelah pemberian 1,3 ml
ekstrak buah mahkota dewa selama 30 hari. Perbesaran: 200x.
Pewarnaan: HE. Keterangan: 1. sel hepar normal, 2. membran sel,
3. sinusoid, 4. sitoplasma, 5. sel piknotik, 6. sel hepar normal
berinti dua, 7. vena sentralis dengan eritrosit utuh.
Gambar 4.. Penampang melintang hepar setelah pemberian 0,2
ml CCl4 selama 15 hari dilanjutkan 1,5 ml ekstrak buah mahkota
dewa selama 15 hari. Perbesaran: 200x. Pewarnaan: HE.
Keterangan: 1. degenerasi perlemakan makrovesikuler, 2.
degenerasi perlemakan mikrovesikuler, 3. sel hepar normal, 4.
sinusoid yang menyempit, 5. inti sel hepar normal, 6. vena
sentralis mengalami pembendungan eritrosit
ENDRI dkk., – Pengaruh ekstrak buah Phaleria macrocarpa pada hepar Rattus norvegicus
95
100
2
Rata-rata (%) Kerusakan
80
3
60
40
20
4
0
5
K1
K2
K3
K4
K5
Kelompok Perlakuan
A : Kerusakan 0%
B : Kerusakan 20-40%
C : Kerusakan >40%
Gambar 6. Diagram batang jumlah persentase (%) tingkat
kerusakan sel hepar.
1
Gambar 5.. Penampang melintang hepar setelah pemberian 1,3
ml ekstrak buah mahkota dewa selama 15 hari dilanjutkan 0,1 ml
CCl4 selama 15 hari. Perbesaran: 200x. Pewarnaan: HE.
Keterangan: 1. degenerasi perlemakan makrovesikuler, 2. sel
hepar normal, 3. kariolisis, 4. sinusoid, 5. vena sentralis.
Hepar Kelompok V
Preparat histologis memperlihatkan suatu keadaan sel
hepar yang mengalami perlemakan. Hepar KV mengalami
kerusakan yang jelas. Perlemakan/steatosis dijumpai di
seluruh bidang pengamatan serta beberapa sel mengalami
kariolisis. Dalam vena sentralis dijumpai sekumpulan
eritrosit yang ikut terfiksasi saat pembuatan preparat. Sel
hepar mengalami kerusakan dan perlemakan sampai
memenuhi seluruh ruangan sel sehingga mendesak inti ke
pinggir. Disamping sel yang mengalami steatosis, preparat
ini juga memperlihatkan pula sel hepar yang normal. Sel
normal memiliki batas sel jelas, sitoplasma terpulas merah
muda dengan inti lebih gelap. Keberadaan sel hepar normal
lebih sedikit dibandingkan pada KIV. Sinusoid nampak
mengalami penyempitan karena terdesak oleh perlemakan
sel hepar pada lobulus (Gambar 5.).
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian ekstrak buah mahkota dewa terhadap hepar hewan uji
yang dirusak dengan senyawa hepatotoksikan. Mahkota
dewa diduga memiliki kemampuan atau bioaktivitas
sebagai antihepatotoksik. Efek terapi ini karena senyawa
kimia seperti flavonoid, saponin dan tannin dalam buah dan
daunnya (Gotama dkk, 1999). Kerusakan yang disebabkan
oleh hepatotoksikan CCl4 menjadi model dalam penelitian
ini karena mekanisme toksiknya telah dipelajari secara
luas.
Hepar merupakan organ tempat nutrien yang diserap
dari saluran pencernaan, diolah dan disimpan untuk dipakai
oleh bagian tubuh lain. Organ yang merupakan kelenjar
berukuran besar dalam tubuh ini memiliki peran penting
dalam proses metabolisme. Darah yang berasal dari rongga
perut dan usus mengalir masuk untuk pertama ke vena
porta, darahnya mengandung banyak zat penting seperti
karbohidrat, lemak dan vitamin yang dapat diserap dan
disimpan dalam hepar selama dibutuhkan (Stine dan
Brown, 1996). Sel hepar mampu melakukan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein. Posisi hepar dalam sistem
sirkulasi adalah optimal untuk menampung, mengubah, dan
mengumpulkan metabolit serta untuk menetralisasi dan
mengeluarkan substansi toksik.
Biotransformasi senyawa karbon tetraklorida
Menurut Stine dan Brown (1996) di dalam hepar
terkandung sistem enzim yang secara kimia mampu
mengubah senyawa toksik menjadi bentuk yang kurang
toksik. Hal ini berkaitan dengan biotransformasi suatu zat
kimia yang dibagi ke dalam dua jenis utama, reaksi fase I
dan fase II. Biotranformasi pada fase I melibatkan proses
oksidatif. Sistem enzim terpenting yang mengkatalisis
proses itu adalah sistem P-450 dan NADPH sitokrom P450 reduktase. Sistem sitokrom P-450 berada dalam
retikulum endoplasma (RE) dan memiliki enzim
monooksigenase. Enzim ini terikat pada mikrosom.
Mikrosom adalah bagian pecahan dari RE yang terjadi pada
sentrifugasi terfraksi dari homogenat sel hepar. Jadi
monooksigenase merupakan enzim mikrosom yang
menjadi sistem sitokrom P-450. Istilah sitokrom P –450
dipakai karena terjadi absorbsi kuat dari cahaya pada
panjang gelombang 450 nm. Biotransformasi oleh enzim
mikrosom hepar digambarkan dalam reaksi sebagai berikut:
P-H + NADPH + O2 + H+ Æ P-OH + NADP + H2O.
Substrat (P-H) mula-mula terikat pada sitokrom P-450
kemudian bereaksi dengan NADPH melalui transport
elektron serta mengaktivasi 02 dan memindahkan kepada
subtrat sehingga terbentuk subtrat terhidrosilasi (P-OH) dan
air (Ganiswara, 1995). Dalam botransformasi fase II akan
terjadi suatu proses yang mengubah senyawa asal menjadi
metabolit kemudian membentuk konjugasi. Metabolit dan
96
B i o S M A R T Vol. 6, No. 2, Oktober 2004, hal. 91-98
konjugasi bersifat lebih larut dalam air dan lebih polar
sehingga mudah diekskresikan melalui ginjal. Akan tetapi
dalam kasus tertentu seperti hepatotoksisitas oleh CCl4, zat
kimia atau metabolit ini menjadi lebih toksik daripada
senyawa asalnya. Reaksi semacam ini dikenal sebagai
biotransformasi CCl4.
Lestariana (1997) menyatakan bahwa sifat karbon
tetraklorida dalam tubuh organisme mengalami
biotrasformasi menjadi reaktif yang dikatalisis oleh enzim
sitokrom P450. Metabolit reaktif tersebut adalah radikal
bebas triklorometil (CCl3) yang terbentuk dari pembelahan
homolitik CCl4. Radikal triklorometil secara kovalen
mengikat protein dan lipid tidak jenuh dan menyebabkan
peroksidasi lipid. Keadaan ini memicu kerentanan
membran mitokondria dan retikulum endoplasma. Kajian
tentang mekanisme toksik CCl4 menyatakan bahwa efek
terhadap retikulum endoplasma sebagian bersifat tidak
langsung dan merupakan akibat gangguan di dalam proses
fosforilasi oksidatif di dalam membran mitokondria.
Radikal bebas seperti triklorometil menyebabkan mitokondria mengalami gangguan dalam respirasi sel. Proses
respirasi sel tersebut melibatkan fase-fase yang menghasilkan energi. Pemasukan energi yang berasal dari respirasi
sel diperlukan untuk pemeliharaan fungsi dan struktur
retikulum endoplasma. Retikulum endoplasma granular
dengan ribosom bertugas untuk mensintesis protein yang
hasilnya penting bagi mitokondria. Energi yang berkurang
juga menyebabkan sel kehilangan daya untuk mengeluarkan trigliserida hepar ke plasma (Koeman, 1987).
Perlemakan hepar
Perlemakan hepar dapat dipicu oleh berbagai toksikan
dalam mekanisme yang beragam. Menurut Pla dalam Lu
(1995) senyawa karbon tetraklorida menyebabkan
perlemakan melalui penghambatan sintesis satuan protein
dari lipoprotein dan penekanan konjugasi trigliserida
dengan lipoprotein. Trigliserida hepar hanya disekresikan
bila dalam keadaan tergabung dengan lipoprotein dan
membentuk lipoprotein berdensitas sangat rendah atau very
low density lipoprotein (VLDL). Perlemakan ditunjukkan
pada KII, KIV, dan KV.
Dalam keadaan normal, lemak di hepar hanya merupakan 5% dari berat keseluruhan sehingga apabila ditemukan
lebih dari 5% dipastikan terjadi gangguan dalam metabolismenya. Trigliserida di hepar akan tergabung bersama
lipoprotein sebelum disekresikan ke sirkulasi/plasma dalam
bentuk VLDL. Perlemakan terjadi bila terdapat gangguan
keseimbangan antara sintesis trigliserida (peningkatan atau
penurunan) dengan sekresi VLDL (Djanas, 1996).
Moslen (2001) menyatakan bahwa senyawa toksik
seperti CCl4 menyebabkan kerusakan pada sel hepar seperti
ditimbulkan senyawa toksik lain yakni etanol, asam
valproic dan fialuridine. Degenerasi lemak yang paling
parah ditunjukan oleh kelompok II. Timbunan lemak dalam
sel hepar membentuk vakuola kecil-kecil tetapi tidak
sampai mendesak inti. Keadaan seperti ini disebut
degenerasi perlemakan mikrovesikuler. Apabila vakuolavakuola bergabung membentuk vakuola yang lebih besar
dan hampir semua hepatosit terisi butiran lemak berukuran
besar maka akan mendorong inti sel ke daerah perifer.
Perlemakan dengan vakuola berukuran besar disebut
sebagai perlemakan makrovesikuler. Menurut Moslen
(2001) secara histologis dalam teknik embeding parafin
standar hepatosit yang mengandung lemak akan tampak
sebagai vakuola kosong yang mendesak inti sel ke arah
perifer. Jika desakan valuola semakin kuat, membran inti
akan pecah diikuti inti yang mengalami fragmentasi.
Pecahnya inti menjadi beberapa bagian disebut dengan
karioreksis. Rangsangan yang terus berlanjut akan
mengakibatkan inti terfragmentasi mengalami pelarutan
kromatin inti dan secara bertingkat berangsur menghilang.
Pada tahap ini inti mengalami kariolisis (Cheville, 1976).
Kelompok II memperlihatkan perlemakan parah sampai
menyerang
daerah
sentrolobuler.
Levi
(2000)
menambahkan, bagian disekitar sentrolobular mempunyai
kadar enzim sitokrom P450 terbanyak. Aktivitas enzim ini
penting dalam metabolisme xenobiotik dalam sel hepar.
Senyawa CCl4 diaktifkan menjadi bentuk radikal bebas
reaktif oleh sitokrom P450 yang berada disekitar
sentrolobular. Hal ini menyebabkan sel-sel hepar di sekitar
vena sentralis mendapatkan pengaruh yang paling kuat
terhadap CCl4. Pada saat hepar terkena zat toksik bagian
perifer lobus hepar mendapat pengaruh pertama kali karena
berhubungan langsung dengan sirkulasi darah yang menuju
ke vena sentralis. Ini mengakibatkan kerusakan sel di
daerah yang berbatasan dengan duktus biliaris, vena porta
dan arteri hepatika. Kerusakan bahkan kematian sel berakibat pada terganggunya sirkulasi darah yang membawa
oksigen untuk sampai ke vena sentralis. Sel menjadi
kekurangan oksigen dan berakibat kematian sel di sekitar
vena sentralis. Preparat histologis KII, memperlihatkan sel
yang mengalami kariolisis dan perlemakan parah. Nilai
persentase derajat kerusakan tertinggi terdapat pada
kerusakan lebih dari 40 yakni sebesar 70.
Pada KIII, nilai persentase degenerasi tertinggi terdapat
pada degenerasi 20-40% yaitu 16,25. Hepar tikus uji yang
diperlakukan dengan ekstrak buah mahkota dewa
memperlihatkan keadaan normal. Setiap lobulus memiliki
lempeng hepatosit dengan batas sel yang jelas, inti bulat
dengan kromatin tersebar dan menyerap zat warna
sempurna. Pada salah satu preparat hitologis juga dijumpai
bagian dari inti sel yang terpulas sangat gelap dan kompak
serta menutupi seluruh bagian inti sel. Bintik hitam adalah
sel piknotik. Sel yang mengalami piknosis akan terlihat
memiliki kromatin yang tampak mengumpul sebagai
globulus tunggal dan inti terpulas gelap. Perlakuan dengan
ekstrak buah mahkota dewa selama 30 hari secara
keseluruhan tidak menyebabkan bintik hitam pada sebagian
besar lobulus hepar. Bintik tersebut mungkin merupakan
sel yang mengalami proses degenerasi. Ekstrak buah
mahkota dewa mengandung senyawa yang beragam dengan
efek terapi yang berlainan. Pemanfaatan dalam jangka
waktu lama kemungkinan berakibat pada kerusakan sel
normal. Buah mahkota dewa mentah sebenarnya bersifat
racun apabila dikonsumsi langsung tanpa pengolahan
terlebih dahulu. Dari penampang melintang kelompok ini
memperlihatkan lumen vena sentralis yang mengalami
pelebaran. Ekstrak buah mahkota dewa tidak menyebabkan
pelebaran vena sentralis, kondisi seperti ini dinilai bukan
merupakan pengaruh buruk dari ekstrak karena ulangan
ENDRI dkk., – Pengaruh ekstrak buah Phaleria macrocarpa pada hepar Rattus norvegicus
lain dalam kelompok ini tidak memperlihatkan vena
sentralis yang melebar (ulangan 3 dan 4). Pelebaran vena
sentralis diduga disebabkan oleh curahan darah yang
mengosongkan isinya ke dalam vena sentralis untuk
kemudian mengalir ke vena kava inferior.
Pada preparat KIV, sel hepar jelas mengalami
kerusakan akibat pemberian senyawa CCl4 selama 15 hari.
Perlemakan ditunjukkan dengan vakuola-vakuola yang
tidak banyak jumlahnya. Selain itu terdapat sel normal
dengan batas sel yang jelas dan inti kompak. Sel hepar
normal keberadaannya mendominasi di lobulus hepar
dibandingkan sel dengan degenerasi lemak. Pemberian
karbon tetraklorida tidak menyebabkan kerusakan yang
sangat fatal seperti KII. Nilai persentase derajat kerusakan
pada degenerasi lebih dari 40% hanya sebesar 28,75.
Sementara nilai persentase untuk derajat kerusakan 0%
berada pada angka 31,25. Pemberian ekstrak buah mahkota
dewa dengan dosis sebesar 1,5 ml/200gr BB tikus
berpengaruh terhadap sel hepar yang telah dirusak CCl4.
Preparat histologis memperlihatkan sel hepar normal dalam
jumlah relatif banyak. Senyawa CCl4 tidak menyebabkan
kerusakan yang berakibat pada terhentinya proses fisiologis
dalam sel hepar. Senyawa flavonoid dalam buah mahkota
dewa diduga memiliki kemampuan dalam perbaikan sel
hepar yang rusak. Menurut Gotama dkk (1999) dalam kulit
buah terdapat senyawa flavonoid yang berfungsi sebagai
anti hepatotoksik. Senyawa ini paling berperan dalam
memulihkan kerusakan sel hepar dibandingkan alkaloid
dan saponin. Anti hepatotoksik yaitu senyawa atau zat yang
dapat melindungi sel-sel hepar terhadap pengaruh zat toksik yang menyerang sel hepar. Senyawa anti hepatotoksik
bahkan mampu memperbaiki jaringan hepar yang fungsinya sedang terganggu. Dalimarta (2001) menyatakan,
mekanisme kerja hepatoprotektor antara lain dengan cara
detoksifikasi senyawa racun, meningkatkan regenerasi sel
hepar, anti inflamasi dan sebagai imunomodulator.
Kelompok perlakuan V memiliki nilai persentase
derajat kerusakan hepar tertinggi pada degenerasi lebih dari
40% yaitu 45. Perlemakan makrovesikuler maupun
mikrovesikuler terjadi di lobulus hepar tikus. Pada KV, dua
ulangan memperlihatkan pengaruh toksik CCl4 yang parah
(lebih dari 40%) sementara dua ulangan lainnya merupakan
preparat dengan derajat kerusakan 0% yang relatif tinggi
terutama ulangan 4. Hepar tikus yang diperlakukan dengan
ekstrak selama 15 hari pertama diharapkan menunjukkan
penghambatan terhadap senyawa CCl4 yang diberikan 15
hari kedua. Senyawa CCl4 menyerang cukup kuat sehingga
terjadi perlemakan makrovesikuler di hampir seluruh
bidang pandang. Pemberian ekstrak buah mahkota dewa
berpengaruh pada sel hepar KV. Senyawa hepatotoksik
seperti CCl4 bersifat sangat toksik terhadap hepar namun
kerusakannya dapat dicegah dengan pemberian ekstrak
buah mahkota dewa. Hal ini dikuatkan berdasarkan
pengamatan histologis yang memperlihatkan sel-sel hepar
normal di lobulus hepar. Sel-sel hepar memiliki batas sel
jelas, inti terpulas hitam atau biru tua dan kuat menyerap
zat warna. Sel hepar normal tampak disekeliling sel-sel
yang mengalami kerusakan. Pemberian ekstrak dengan
dosis terapi dinilai menghambat kerusakan hepar yang
lebih fatal. Hal ini ditunjukkan pada ulangan 2 dan 4
97
kelompok V. Sel hepar normal kedua ulangan lebih
dominan dibandingkan kedua ulangan lainnya (1 dan 3).
Ulangan 1 dan 3 cenderung memperlihatkan kerusakan
hepar yang menyebar merata. Kondisi ini kemungkinan
disebabkan oleh dosis terapi yang kurang tepat karena
fluktuasi berat badan tikus. Disamping oleh ketahanan fisik
masing-masing tikus yang berbeda dalam menerima
pengaruh toksik CCl4.
Penampakan sel hepar yang masih normal tidak cukup
kuat untuk menunjukkan bioaktivitas senyawa flavonoid
buah mahkota dewa. Nilai derajat kerusakan pada degenerasi 0% berada diangka 26,25 atau lebih rendah daripada
KIV yaitu 31,25. Pengamatan mikroskopis dari kelompok
perlakuan ekstrak mahkota dewa tunggal dan kombinasi
ekstrak mahkota dewa dengan hepatotoksikan, CCl4 memperlihatkan sebagian vena sentralis yang dipenuhi eritrosit.
Vena sentralis merupakan tujuan akhir darah yang mengalir
melewati sinusoid untuk kemudian melanjutkan ke vena
kava inferior. Pembentukan fragmen eritrosit diduga karena
bertumpuknya eritrosit yang mengalir menuju vena
sentralis sesaat sebelum hewan uji dikorbankan. Dengan
demikian darah yang mengalir melalui sinusoid terbendung
pada saat jaringan hepar terfiksasi.
Regenerasi sel hepar
Hepar merupakan organ yang rentan mengalami kerusakan oleh zat-zat toksik. Fungsi hepar sendiri antara lain
menampung, mengubah dan menetralisasi serta mengeluarkan substansi toksik. Peranan hepar dalam metabolisme
zat toksi dijelaskan sebagai biotransformasi disamping
kemampuan tersebut, hepar dikenal sebagai organ yang
memiliki daya regenerasi yang cepat. Kelompok IV dan V
mendapatkan dua fase perlakuan. Hepar akan mengalami
kerusakan bahkan kematian sel selama paparan 15 hari.
Penghentian waktu pencekokan CCl4 seperti pada KIV
diduga memicu suatu efek pemulihan. Price dan Wilson
(1984) menambahkan gangguan suatu sel karena rangsang
tertentu akan memunculkan mekanisme adaptasi apabila
rangsang dihentikan ataupun terjadi reaksi pemulihan.
Reaksi pemulihan atau regenerasi sel memungkinkan sel
dapat kembali seperti keadaan sebelumnya. Gambaran
histologis sel hepar kelompok V menunjukkan sel yang
tidak mencapai tahap adaptasi terhadap zat toksik. Hal ini
karena CCl4 telah berubah menjadi bentuk reaktif yaitu
CCl3* dan membentuk peroksidasi lipid setelah terikat
dengan lemak tak jenuh ganda. Peristiwa ini mengakibatkan membran sel rusak dan inaktivasi beberapa enzim
(Lu, 1995). Rusaknya membran sel menyebabkan sel
kehilangan kemampuan untuk mengendalikan pertukaran
zat sehingga mengancam kehidupan sel tersebut.
Senyawa CCl4 merupakan zat hepatotoksikan yang
bereaksi sangat kuat menyerang hepar sehingga tidak
memungkinkan hepar mengalami regenerasi secara
optimal. Regenerasi pada KIV diduga berlangsung selama
perlakuan dengan ekstrak buah mahkota dewa pada 15 hari
ke-2 atau setelah penghentian CCl4. Waktu penelitian yang
pendek menghambat hepar untuk pulih setelah dirusak
CCl4 sehingga dalam penelitian ini peneliti mengabaikan
pemulihan jaringan hepar sebagai pengaruh perbaikan sel
hepar oleh ekstrak buah mahkota dewa.
98
B i o S M A R T Vol. 6, No. 2, Oktober 2004, hal. 91-98
KESIMPULAN
Pemberian karbon tetraklorida (CCl4) sebesar 0,2 ml/
200 g BB pada tikus putih selama 15 hari dan 30 hari menyebabkan kerusakan berupa perlemakan hepar, kariolisis,
karioreksis. Kerusakan tersebut mampu dipulihkan dengan
pemberian ekstrak buah mahkota dewa sebesar 1,5 ml/200
g BB tikus putih selama 15 hari. Pemberian ekstrak buah
mahkota dewa dengan dosis 1,3 ml/ 200 g BB tikus putih
selama 15 hari sebelum perlakuan dengan CCl4 sebesar 0,2
ml/200 g BB pada tikus putih memberikan perlindungan
yang belum optimal
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S.A., Hakim, E.H., dan Makmur, L. 1990. Flavonoid dan phyto
medica, kegunaan dan prospek. Majalah Ilmu-ilmu Penopang Obat
Bahan Alam 1 (2): 120-126.
Ariyani, A. 2002. Pengaruh Pemberian Sari Bawang Merah (Allium
ascalonicum L) terhadap Hepatotoksisitas Karbon Tetraklorida pada
Tikus Putih. [Skripsi]. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret.
Cheville, N.F. 1976. Cell Pathology. 1st edition. Iowa: The Iowa State
University Press.
Dalimarta, S.. 2001. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Hepatitis.
Jakarta: Penerbit Swadaya.
Darmansjah, I. 1995. Dasar Toksikologi. Edisis keempat. Jakarta: Gaya
Baru.
Djanas, W.S. 1996. Perlemakan hati. Dalam: Buku Ajar ilmu Penyakit
Dalam I. Jakarta: Penerbit FK UI.
Ganiswara. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.
Gotama, I.B.I., S. Sugiarto, dan Nurhadi. 1999. Inventarisasi Tanaman
Obat Indonesia Jilid V. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan.
Harmanto, N.. 2002. Mahkota Dewa Obat Pusaka Para Dewa. Jakarta:
Agromedia Pustaka.
Koeman, J.H. 1987. Pengantar Umum Toksikologi. Penerjemah: Yudono.
Yogyakarta: UGM Press.
Lestariana, W. 1997. Pengaruh ekstrak heksan herba meniran (Phyllantus
niruri) terhadap efek toksik alfatoksin B1 pada hati tikus. Berkala
Ilmu Kedokteran 29 (2): 61-67.
Levi, P. 2000. Target organ toxicity. In Hodgson, E. And P.E. Levi. Text
Book of Modern Toxicology. Singapore: McGraw Hill Companies.
Loomis, T.A. 1978 Toksikologi Dasar. Penerjemah: Donatus, I.A..
Semarang: IKIP Press.
Lu, F.C. 1995. Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran dan Penilaian
Resiko. Edisi II. . Penerjemah: Nugroho, E. Jakarta: UI Press.
Moslen, M.T. 2001. Toxic Responses of the Liver. New York: McGrawHill Book Co.
Price, S.A. 1984. Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC.
Stine, K.E dan T.M Brown. 1996. Principles of Toxicology. USA: CRC
Press Inc. Lewiss Publishers.
Sunityoso, S., D. Kusnama,., Luthfiralda, dan D. Furqonita. 1998.
Perubahan struktur histologik organ hati mencit (Mus musculus L)
yang dicekok minyak kelapa bekas gorengan. Jurnal Kedokteran
Indonesia 48 (3): 115-120.
Suntoro, H. 1983. Metode Pewarnaan (Histologis & Histokimia). Jakarta:
Penerbit Bhratara Karya Aksara.
Download