universitas indonesia dilema politik aspek legitimasi dalam

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
DILEMA POLITIK ASPEK LEGITIMASI
DALAM PERKEMBANGAN DOKTRIN INTERVENSI
KEMANUSIAAN / RESPONSIBILITY TO PROTECT (R2P)
TUGAS KARYA AKHIR
NIWA RAHMAD DWITAMA
0906524274
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
DEPOK
JUNI 2013
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
DILEMA POLITIK ASPEK LEGITIMASI
DALAM PERKEMBANGAN DOKTRIN INTERVENSI
KEMANUSIAAN / RESPONSIBILITY TO PROTECT (R2P)
TUGAS AKHIR
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Sosial pada
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
NIWA RAHMAD DWITAMA
0906524274
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
DEPOK
JUNI 2013
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
ii LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
Review Literatur ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Niwa Rahmad Dwitama
NPM
: 0906524274
Tanda Tangan :
Tanggal
: 12 Juli 2013
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
iii LEMBAR PENGESAHAN
Tugas Akhir ini diajukan oleh:
Nama
: Niwa Rahmad Dwitama
NPM
: 0906524274
Program Studi
: Ilmu Hubungan Internasional
Judul
: Dilema Politik Aspek Legitimasi dalam
Perkembangan Doktrin Intervensi Kemanusiaan /
Responsibility to Protect (R2P)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Sosial pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing
: Dwi Ardhanariswari, MA
(....................................)
Penguji
: Avyanthi Azis, MS
(....................................)
Ketua Sidang
: Dra. Nurul Isnaeni, MA
(....................................)
Sekretaris Sidang
: Andrew W. Mantong, M.Sc (....................................)
Ditetapkan di
Tanggal
: Depok
: 9 Juli 2013
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
iv KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis hantarkan ke hadirat Allah SWT yang memberikan
penulis segenap kekuatan untuk menyelesaikan Tugas Karya Akhir ini.
Ketertarikan terhadap isu intervensi kemanusiaan dimulai sejak penelitian yang
dilakukan terkait keterlibatan penulis dalam Harvard Model United Nations pada
tahun 2011. Pengetahuan tersebut kemudian diperkuat dengan partisipasi dalam
kelas konflik dan perdamaian yang diambil selama semester ke-6 di Universitas
Indonesia dan dua semester selama program pertukaran pelajar di Tokyo
University of Foreign Studies.
Tidak ada isu politik internasional yang lebih kontroversial dan menjadi
perdebatan begitu panjang dan kompleks seperti intervensi kemanusiaan.
Meskipun intervensi kemanusiaan rentan akan dampak negatif karena kepentingan
negara tertentu, suatu tindakan diam atas genosida dan kejahatan kemanusiaan
juga merupakan suatu norma yang tidak dapat ditoleransi. Setiap manusia
memiliki hak untuk hidup dan dilindungi dari kekerasan, tirani, dan pelanggaran
HAM. Melalui kajian ilmiah ini, penulis berniat untuk mengangkat salah satu
dilema politik yang ada dalam doktrin intervensi kemanusiaan dan R2P yaitu
aspek legitimasi dalam intervensi. Kecurigaan atas kepentingan politik dalam
intervensi berasal dari mekanisme penentuan legitimasi dalam intervensi.
Beberapa pihak percaya akan keharusan adanya legitimasi legal, sedangkan pihak
lainnya percaya bahwa legitimasi moral sudah cukup menjadi justifikasi dalam
penyelamatan isu kemanusiaan melalui intervensi. Melalui literatur review ini,
penulis akan menjelaskan kedua perdebatan tersebut secara komprehensif.
Penulis megucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu
dan
mendukung
penulisan
tugas
akhir
ini.
Sesungguhnya
kesempurnaan hanya dimiliki oleh Yang Maha Sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun dari pembaca.
Semoga tulisan ini dapat menjadi inspirasi dan manfaat bagi kita bersama.
Depok, 10 Juli 2013
Niwa Rahmad Dwitama
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
v UCAPAN TERIMA KASIH
Penulisan tugas karya akhir ini dilakukan dengan penuh suka dan duka. Di
balik arang yang melintang, terdapat dukungan kuat dari berbagai pihak, sahabat
dan keluarga. Penulisan Tugas Karya Akhir ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sosial Departemen
Hubungan Internasional. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak, sangat sulit bagi penulis untuk dapat menyelesaikan karya
akhir ini tepat waktu. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dwi Ardhanariswari S. Sos., MA selaku dosen pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu di tengah kesibukannya dan membantu
pemikiran untuk mengarahkan penyusunan tugas akhir.
2. Yuni Reti Intarti, SIP., M. Si sebagai pembimbing akademis yang telah
memberikan perhatian dan masukan konstruktif selama masa perkuliahan.
3. Dra. Nurul Isnaeni, MA selaku ketua program Sarjana Ilmu Hubungan
Internasional yang telah mendukung dan membimbing dalam berbagai hal.
4. Avyanthi Azis, MS, penguji sidang tugas karya akhir, yang begitu kritis dan
memberikan berbagai input konstruktif untuk meningkatkan kualitas dari
tugas akhir penulis.
5. Andrew Wiguna Mantong, M.Sc atas bimbingan, pengetahuan yang telah
diberkan selama Colloquium dan penyusunan proposal literatur review.
6. Sahabat dan teman-teman terdekat di HI 2009: Kiki, Hanifah, Iman,
Andhyta, Fahmi, Lia, Gesa, Mikha, Candini; Darang, Diky Avianto, dan
teman-teman Colloquium rezim baru: Jeklin, Vale, Imung, dan Sandy.
7. Sensei dan sahabat selama menempuh studi di Tokyo University of Foreign
Studies: Housam Sensei, Hakoyama Sensei, Hug Sensei, Senpai Dipta,
Oman san, Ceputra 様,Candice, Takatoki, Kentaro, Kaori-chan, Yuya,
Yukimi, Samantha dan Ivan.
8. Seluruh pihak yang telah berjasa dalam mendukung penulis dalam
mengikuti tahapan pemilihan mahasiswa berprestasi yang berlangsung
bersamaan selama proses penyusunan TKA ini: Pak Arman Nevi, Kak Adi,
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
vi Kak Rio, Mas Abud, Rahmi, Kak Ayu dan ke-12 teman teman mapres
fakultas yang begitu baik dan tidak sombong.
9. Kak Yeremia Lalisang, atas bimbingannya selama proses pemilihan mapres
dan karya tulis mapres.
10. Teman-teman Indonesian Future Leaders (IFL): Rifqah, Jessica, Leny,
Mazmur dan Angga. Rekan-rekan di KSM Eka Prasetya: Nopita, Rina,
Tika, Vina, Aditio, Oza, Wize dan Rara atas pertemanan dan pengalaman
selama di KSM. Teman –teman delegasi Harvard Model United Nations:
Dennys, Garlan, Fatya dan Mike.
*** Terkhusus kepada kedua orang tua penulis Mama Yeni Zafitri dan Papa
Deswan Putra yang karena untuk mereka berdualah penulis memiliki
semangat kuat untuk lulus dan mencapai cita-cita masa depan. Sang adik
Oktafiani Tri Ananda yang selalu berprestasi, menginspirasi dan membuat
penulis terkadang merasa insecure. Bang Niwa Hidayah Prima yang telah
membantu dalam berbagai hal.
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu dan mendukung penyelesaian karya akhir ini.
Semoga tugas akhir ini dapat membawa manfaat bagi pengembangan ilmu
hubungan internasional dan memberi pengetahuan serta inspirasi bagi
pembacanya.
Depok, 10 Juli 2013
Niwa Rahmad Dwitama
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
vii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama
: Niwa Rahmad Dwitama
NPM
: 0906524274
Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional
Departemen : Hubungan Internasional
Fakultas
: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jenis karya
: Tugas Karya Akhir (Literatur Review)
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Dilema Politik Aspek
Legitimasi dalam Perkembangan Doktrin Intervensi Kemanusiaan/ Responsibility
to Protect (R2P).
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/
format- kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
: Depok
Pada tanggal : 10 Juli 2013
Yang menyatakan
( Niwa Rahmad Dwitama )
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
viii ABSTRAK
Nama
: Niwa Rahmad Dwitama
Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional
Judul
: Dilema Politik Aspek Legitimasi dalam Perkembangan Doktrin
Intervensi Kemanusiaan/ Responsibility to Protect (R2P)
Kajian dalam review literatur ini membahas perdebatan ilmiah yang terjadi dalam
aspek legitimasi intervensi kemanusiaan/ Responsibility to Protect (R2P). Sebagai
norma internasional, R2P menghadapi berbagai dilema politik pada tataran
perumusan dan implementasi kebijakan intervensi dalam sistem PBB. Salah satu
dilema politik yang terjadi adalah aspek legitimasi. Legitimasi adalah suatu proses
legalitas di mana intervensi harus dilakukan hanya melalui validasi wewenang
Dewan Keamanan PBB (Bab VII, Piagam PBB). Di lain pihak, beberapa
akademisi berpendapat bahwa legitimasi legal rentan akan kontestasi kepentingan
anggota DK sehingga legitimasi moral/ etis adalah hal yang lebih penting dalam
membentuk legitimasi dan lebih adil dalam menyelamatkan isu kemanusiaan.
Legitimasi moral dibentuk melalui aksi multilateralisme dan pembuktian tragedi
kemanusiaan. Melalui analisis komparatif perdebatan legitimasi legal dan moral
dalam karya akademisi hubungan internasional, hukum internasional dan HAM,
review literatur ini mengidentifikasi bahwa kontestasi antara pembentukan
legitimasi tersebut merupakan pengejawantahan dari pertentangan paradigmatis
realisme dan konstruktivisme, yaitu narasi: (1) faktor material lawan ideasional,
(2) logika konsekuensi lawan logika kepatutan, (3) norma sebagai kegunaan
lawan norma sebagai hak, dan (4) aktor top-down lawan agen bottom-up.
Kata kunci:
Intervensi Kemanusiaan, Responsibility to Protect (R2P), legitimasi legal,
legitimasi moral, realisme dan konstruktivisme.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
ix ABSTRACT
Name
: Niwa Rahmad Dwitama
Study Program : International Relations
Title
: Political Dilemma of Legitimacy Aspect in Humanitarian
Intervention Doctrine/ Responsibility to Protect (R2P).
The studies in this literature review discusses the scientific debate that occurred in
the aspect of legitimacy of humanitarian intervention / Responsibility to Protect
(R2P). As an international norm, R2P is facing numbers of political dilemmas at
the level of policy formulation and implementation in UN system. One of the
political dilemmas is divisive voice on legitimacy aspect in intervention.
Legitimacy is a legal process in which intervention should be done only through
UN Security Council authority (Chapter VII of the UN Charter). On the other
hand, some scholars argue that legal legitimacy is vulnerable to contestation of
interests of security council members, thus moral/ ethical legitimacy is more
important in establishing legitimate and fairer intervention in saving humanity
from humanitarian tragedy. Moral legitimacy is formed through multilateralism
mechanism in intervention and empirical evidence of human tragedy. Through a
comparative analysis of the legal and moral legitimacy debate in the work of
international relations scholars, international law and human rights intellectuals,
this literature review identifies that the contestation in legitimacy aspect of
intervention epitomizes paradigmatic opposition between realism and
constructivism. This can be explicated through following points: (1) material
factors versus ideational, (2) the logic of appropriateness versus the logic of
consequence, (3) the norm as benefit versus the norm as right, and (4) top-down
actor versus bottom-up agent.
Keywords:
Humanitarian Intervention, Responsibility to Protect (R2P), Legal Legitimacy,
Moral Legitimacy, Realism, and Constructivism.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
x DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS .....................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
iii
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................
iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .............................
vi
ABSTRAK ............................................................................................................
vii
ABSTRACT ..........................................................................................................
viii
DAFTAR ISI .........................................................................................................
ix
BAB 1: PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ...............................................................................................
1
1.2. Tujuan dan Signifikansi .................................................................................
5
BAB 2: KONSEP LEGITIMASI, R2P DAN KASUS KONTEKSTUAL
2.1. Legitimasi dalam HI .......................................................................................
6
2.2. Perkembangan Konsep R2P ...........................................................................
9
2.3. Studi Kasus.....................................................................................................
15
2.3.1. Kosovo 1999 ........................................................................................
11
2.3.2. Irak 2003 ..............................................................................................
13
2.3.3. Georgia 2008 ........................................................................................
14
2.3.4. Libya 2011 ...........................................................................................
16
2.2.4.1. Advokasi Negara dalam R2P ...................................................
18
2.2.4.2. Syria: Sebuah Refleksi.............................................................
23
BAB III: PEMBAHASAN
3.1. Aspek Legalitas dalam Legitimasi Doktrin R2P ............................................
21
3.1.1. Wewenang DK PBB .............................................................................
21
3.1.2. Aktor Intervensi ....................................................................................
22
3.1.3. Analisis Dokumen R2P .........................................................................
24
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
xi 3.2. Aspek Moralitas/ Etis dalam Legitimasi Doktrin R2P ...................................
29
3.2.1. R2P sebagai Norma Internasional .........................................................
29
3.2.2. Legitimasi Moral ...................................................................................
30
3.2.3. Proposal Aktor Intervensi .....................................................................
34
BAB IV: ANALISIS TEORITIS........................................................................
42
4.1. Realisme dan Konstruktivisme ......................................................................
43
4.1.1. HAM Internasional ..............................................................................
45
4.2. Perdebatan Teoritis dalam Aspek Legitimasi ................................................
47
4.2.1. Faktor Material lawan Faktor Ideasional .............................................
47
4.2.2. Logika Konsekuensi lawan Logika Kepatutan ....................................
49
4.2.3. Norma sebagai Kegunaan lawan Norma sebagai Hak .........................
51
4.2.4. Aktor Top-down lawan Agen Bottom-up .............................................
53
BAB V: PENUTUP
5.1. Kesimpulan ....................................................................................................
59
5.2. Rekomendasi ..................................................................................................
61
DAFTAR REFERENSI ........................................................................................
62
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
xii DAFTAR GRAFIK
Grafik 1 Jumlah perang sipil, jumlah operasi perdamaian PBB, 1970-2002
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Perbedaan Dokumen ICISS dan World Summit Outcome Document 2005
Tabel 2 Legitimasi Kasus Kontekstual
Tabel 3 Faktor potensial pengaruh realisasi R2P
Tabel 4 HAM Internasional dalam Realisme dan Konstruktivisme
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
1 BAB I:
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Intervensi kemanusiaan merupakan isu yang sejak Pasca Perang Dingin
hingga kini masih belum menemukan titik terang yang menciptakan konsensus
dalam penerapannya di tataran politik internasional. Akan tetapi, norma intervensi
kemanusiaan telah membawa suatu pergeseran besar dalam konsep kedaulatan
negara di mana kedaulatan tidak semata-mata dilihat sebagai batasan legitimasi
negara untuk melakukan wewenangnya ke dalam, tetapi juga sebagai suatu
tanggung jawab kepada masyarakatnya untuk memberikan perlindungan dari
kekerasan. Demikianlah justifikasi yang dibawa Responsibility to Protect (R2P)
untuk dapat diterima sebagai suatu norma dan peraturan internasional. Diantara
berbagai aspek perdebatan yang masih terjadi, isu legitimasi, legalitas, moral, dan
metode intervensi merupakan beberapa aspek penting yang masih menjadi
pembahasan untuk menciptakan implementasi R2P yang memiliki legitimasi dan
penerimaan internasional.
Diskursus yang menganalisis tentang intervensi kemanusiaan dan R2P
dalam hubungan internasional bukanlah suatu hal yang baru. Sejak akhir Perang
Dingin, pembahasan tentang intervensi kemanusiaan menjadi semakin intens
karena aksi intervensi yang mengatasnamakan misi kemanusiaan secara perlahan
menjadi salah satu norma yang
berkembang pesat di tingkat
internasional. Hal ini dibuktikan
dengan fakta bahwa setidaknya
ada 9 intervensi selama 19912000.1 Grafik 1. disamping dapat
menggambarkan
peningkatan
operasi perdamaian PBB dalam
Grafik 1. Jumlah perang sipil, jumlah
operasi perdamaian PBB, 1970-2002
1
Sir Adam Roberts, “The United Nations and Humanitarian Intervention,“ dalam Humanitarian
Intervention and Internaional Relations, ed. Jennifer M. Welsch (New York: Oxford University
Press, 2004), 162.
1 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
2 perang sipil yang ada di berbagai belahan dunia sejak Perang Dingin berakhir.2
Setelah International Commission on Intervention and State Sovereignity (ICISS)
– sebuah komisi independen - mengeluarkan laporannya pada tahun 2001,
perdebatan mengenai hal operasional dalam intervensi menjadi semakin hangat.
Laporan yang menegaskan norma intervensi kemanusiaan sebagai kewajiban
(bukan hak) ini dibentuk dalam rangka merespon pertanyaan Sekjen PBB Kofi
Annan tahun 1999 mengenai tanggapan komunitas internasional terhadap
gagalnya intervensi untuk menghentikan tragedi kemanusiaan yang ada di
Rwanda (1994) dan Srebrenica (1995) sebagai suatu refleksi untuk intervensi di
masa depan.
Dalam aspek legitimasi3 terdapat perbedaan pandangan dalam menentukan
apakah suatu intervensi memiliki legitimasi atau tidak dalam kebijakannya.
Legitimasi dapat dilihat dari dimensi yang berbeda. Pada satu sisi, legitimasi
dilihat sebagai suatu konformitas terhadap aturan dan hukum yang ada sehingga
membentuk legitimasi legal dalam intervensi. Di lain pihak, legitimasi dilihat
sebagai suatu penerimaan komunitas internasional dengan dasar nilai moralitas
suatu intervensi melalui justifikasi tragedi kemanusiaan di suatu negara dan aktor
intervensi yang multilateral. Perbedaan pandangan ini terjadi akibat acap kali
terjadi kontestasi kepentingan politik diantara negara anggota Dewan Keamanan
(DK) PBB dalam memutuskan suatu kebijakan intervensi yang menciptakan
nuansa skeptisme dari berbagai pihak, termasuk kecurigaan negara selatan yang
curiga akan keranga intervensi yang dapat digunakan negara big power sebagai
upaya imperialisme modern.
Oleh karena itulah, suatu pertimbangan dan pendekatan moral menjadi isu
yang terus mendapat perhatian dari dunia akademis. Sebagai contoh, Scholte
memberikan kontribusi pemikiran melalui interpretasinya terhadap
legitimasi
dengan menyertakan konsep moral. Scholte menyatakan bahwa pemerintahan
2
Ramesh Takur, The United Nations, Peace and Security, (Cambridge: Cambridge University
Press, 2006), 38.
3
Menurut, Ensiklopedia Filosofi Stanford, Legitimasi adalah penerimaan masyarakat (dalam hal
ini komunitas internasional) terhadap otoritas dan kebutuhan untuk mematuhinya. Masyarakat
dapat memiliki kepercayaan atas otoritas tersebut tunbuh karena tradisi, karisma pemimpin, atau
hukum (Weber, 1964). Legitimasi juga terkait dengan justifikasi moral yakni sepanjang klaim
tersebut diikuti dengan penerimaan yag cukup. (Raz, 1986). Lihat Stanford Encyclopedia of
Philosophy, diakses pada 23 Mei 2013, http://plato.stanford.edu/entries/legitimacy/.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
3 global yang memiliki legitimasi dibangun melalui kombinasi antara demokrasi
global, efisiensi global, hukum global, kepemimpinan global dan moralitas global
– tidak dapat muncul hanya melalui desain barat yang memaksakan, tetapi butuh
tingkat interkultural yang baik.4
Skeptisme muncul dari perdebatan legal dan moral yang bertabrakan
degan kontestasi kepentingan dan penggunaan veto dalam Dewan Keamanan
(DK) PBB. Intervensi ke Kosovo, Irak, Georgia merupakan contoh kebijakan
intervensi yang dilancarkan tanpa wewenang PBB dan menciptakan fase baru bagi
doktrin R2P. Perdebatan terletak pada pertanyaan apakah suatu intervensi harus
dilakukan melalui legitimasi legal atau legitimasi moral atau dengan prasyarat
kedua aspek legitimasi tersebut. Namun demikian, R2P kian terus berkembang
hingga digunakan secara resmi dalam sistem PBB pada tahun 2005. Tanpa adanya
legitimasi, sudah jelas intervensi kemanusiaan akan semakin mempertajam
kesenjangan dan kecurigaan antar negara (terutama negara maju dan negara
berkembang – yang dapat menjadi potensi target intervensi).
Review literatur ini ditulis untuk membahas secara komprehensif
perdebatan legitimasi dalam ranah legal dan moral/ etis dan memetakan aspek
penting dalam perdebatan tersebut. Hasil temuan dari review literatur kemudian
akan dianalisis dalam tataran paradigmatis ilmu hubungan internasional. Melihat
kontestasi yang ada dalam menentukan legitimasi suatu intervensi, pertanyaan
yang akan dijawab melalui kajian illmiah ini adalah: Bagaimana perdebatan dan
dilema politik yang terjadi dalam menentukan legitimasi suatu intervensi
kemanusiaan?
Pada bagian awal, tulisan ini akan mengulas tentang gambaran singkat
perkembangan konsep intervensi kemanusiaan hingga diadopsi dalam sistem PBB
pada tahun 2005 dalam bentuk Responsibility to Protect (R2P). Melalui review
literatur secara eklektik, penulis akan menjelaskan beberapa unit analisis yang
terjadi dalam perdebatan legitimasi dari aspek legal dan juga aspek moral/ etis.
Analisis legitimasi dalam aspek legal akan diekstraksi melalui karya akademis
oleh Nicholas J. Wheeler, Ramesh Takur, Luke Glanville, Gareth Evans, William
4
James Brassett dan Eleni Tsingou, The Politics of Legitimate Global Governance, (England:
University of Warwick, 2012), 12-13.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
4 Pace, Maya Stanulova, Carsten Stahn. Sedangkan analisis terhadap aspek
legitimasi secara moral/ etis akan dibahas melalui karya Jennifer M. Welsch,
Aidan Hehir, Jennifer M. Welsch, Fernando R. Teson, Eric. Heinze, Richard Falk,
Eric. A. Heinze, James Pattison, Daniele Archibugi, Jonathan Graubart, Gareth
Evans, William F. Schulz, Alynna J. Lyon, Adele Simmons and April Donnellan.
Analisis ini kemudian akan ditarik ke dalam paradigma keilmuan
hubungan internasional. Dalam pembahasannya, penulis berargumen bahwa
kontestasi legal melawan moral yang terjadi dalam menentukan legitimasi suatu
intervensi kemanusiaan merupakan refleksi dari perdebatan teoritis yang terjadi
antara paradigma realisme dan konstruktivisme.
Perdebatan ini dapat dilihat melalui gambaran empat analisis, yaitu: (1)
faktor material lawan ideasional, (2) logika konsekuensi lawan logika kepatutan,
(3) norma sebagai kegunaan lawan norma sebagai hak, (4) aktor top-down lawan
agen bottom-up. Literatur review ini tidak bermaksud untuk menilai aspek
legitimasi yang mana yang lebih baik maupun teori ilmu hubungan internasional
mana yang lebih bisa menjelaskan dilema politik dalam legitimasi intervensi
kemanusiaan. Analisis dilakukan untuk memetakan perdebatan akademis yang
ada dalam suatu kajian ilmiah, memetakan unit analisis dalam perdebatan dan
mengektraksikannya dalam analisis teoritis. Satu hal penting yang dapat
dimengerti dari pembahasan dalam literatur review ini adalah bahwa meskipun
intervensi kemanusiaan dan R2P memiliki kerentanan atas penyalahgunaan
(abuse) terhadap kepentingan suatu pihak tertentu, penjelasan konstruktivisme
dapat mengangkat aspek emansipasi dalam penerapan R2P dan internalisasi
norma HAM internasional. Suatu diskursus norma R2P harus tetap dilanjutkan
untuk sosialisasi dan advokasi tujuan kemanusiaan di komunitas internasional.
Pendekatan bottom-up oleh aktor negara dan non-negara dapat secara signifikan
berkontribusi untuk menginternalisasi doktrin R2P dan legitimasi moral menuju
penciptaan intervensi kemanusiaan yang adil dan bermoral; demi penyelamatan
isu kemanusiaan.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
5 1.2. Tujuan dan Signifikansi
Dalam implementasi R2P sebagai kebijakan politik internasional, terdapat
pertentangan argumen yang jelas dalam menentukan legitimasi intervensi
kemanusiaan. Pertentangan tersebut terjadi dalam menentukan apakah legitimasi
aktor yang melakukan intervensi harus didefinisikan secara hukum melalui
piagam PBB dan konvensi yang terkait atau sebetulnya secara nilai moral HAM,
legitimasi cukup dibentuk melalui aspek moral yang membentuk upaya
multilateral (coalition of the willing) dan pembuktian adanya kriminal
kemanusiaan. Pembahasan literatur review mengenai dilema politik aspek
legitimasi dalam perkembangan doktrin R2P ini menjadi signifikan karena
legitimasi atau tidaknya suatu intervensi kemanusiaan akan menentukan seberapa
kuatnya komunitas internasional menerima aksi intervensi dan kemudian
membantu meredupkan skeptisme yang ada tentang intervensi sebagai agenda
Barat.
Pertanyaan yang akan dijawab melalui kajian illmiah ini adalah:
Bagaimana perdebatan dan dilema politik yang terjadi dalam menentukan
legitimasi suatu intervensi kemanusiaan? Kajian ilmiah ini ditulis untuk
memetakan perdebatan aspek legal dan etis oleh akademisi hubungan
internasional, hukum internasional, dan HAM. Kemudian, tulisan akan
menganalisis aspek legal dan moral tersebut dalam tataran analisis paradigmatis
ilmu hubungan internasional.
Analisis legitimasi intervensi kemanusiaan dalam aspek legal akan
diekstraksi melalui karya akademis oleh Maya Stanulova, Nicholas J. Wheeler,
Ramesh Takur, Luke Glanville, Gareth Evans, William Pace, Carsten Stahn.
Sedangkan analisis terhadap aspek legitimasi secara moral/ etis akan dibahas
melalui karya Jennifer M. Welsch, Aidan Hehir, Jennifer M. Welsch, Fernando R.
Teson, Eric. Heinze, Richard Falk, Eric. A. Heinze, James Pattison, Daniele
Archibugi, Jonathan Graubart, Gareth Evans, William F. Schulz, Alynna J. Lyon,
Adele Simmons and April Donnellan.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
6 BAB II:
KONSEP LEGITIMASI, R2P DAN KASUS KONTEKSTUAL
2.1. Legitimasi dalam HI
Bellamy berpendapat bahwa terdapat dua prinsip mendasar terkait diskusi
legitimasi dalam intervensi kemanusiaan. Pertama, perang harus dilancarkan
hanya melalui niat yang patut, bukan karena perasaan benci, keinginan untuk
mendominasi, tetapi harus dengan niat mempertahankan perdamaian dan keadilan.
Meski tidak mungkin mengetahui secara akurat tentang intensi suatu negara,
sejumlah tes dapat menguji untuk memastikan intensi negara dalam melancarkan
perang yaitu dengan mengeksplorasi alasan-alasan negara melakukan intervensi
dan membandingkannya dengan pejelasan potensial lainnya atas aksi tersebut.
Prinsip kedua terkait legitimasi adalah bahwa intensi dapat dilihat melalui aksi itu
sendiri. Sebagai misal, negara yang tidak berniat untuk membunuh non-kombatan
tentunya akan mengambil berbagai tindakan untuk memastikan, sebisa mungkin,
upaya atau kebijakan, pencegahan terhadap kelompok non-kombatan menjadi
korban dalam suatu intervensi. Melalui hal ini pun kepatutan suatu intensi
intervensi dapat dinilai. 5 Dengan demikian Bellamy, menekankan intensi sebagai
hal paling penting dalam suatu legitimasi intervensi, bukan hal lainnya seperti
outcome dari suatu intervensi.
Selain itu, Reus Smit berpendapat bahwa legitimasi adalah mengenai aktor
dan tatanan politik. Aktor dengan karakter agen yang jelas, seperti PBB dan
WTO, tidak hanya entitas yang dapat diakui sebagai legitimasi atau tidak, namun
institusi dan suatu tatanan sekalipun dapat dinyatakan legitimasi atau tidak.
Institusi merupakan suatu norma, peraturan dan prinsip yang membentuk suatu
relasi sosial yang kemudian membentuk aktor sebagai agen sosial yang
berpengetahuan dan memiliki sikap tertentu. Dalam hal ini, Smit menekankan
bahwa legitimasi tidak hanya sekedar kapasitas untuk melakukan sesuatu tetapi
kumpulan norma, peraturan dan prinsip yang disahkan secara sosial. Terminologi
5
Alex J. Bellamy, Motives, Outcomes, Intent and the Legitimacy of Humanitarian Intervention
(Brisbane: University of Quesland), 226-230.
6 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
7 legitimasi itu sendiri tidak boleh dipersempit menjadi bahasa seperti rasionalitas,
keadilan, legalitas dan moralitas.6
Legitimasi telah menjadi suatu landasan fundamental dalam hubungan
internasional. Prinsip utama dari legitimasi menunjukkan suatu perjanjian sosial
mengenai siapa yang berhak untuk berpartisipasi dalam hubungan internasional
dan tingkat kepatutan perilaku aktor. Dengan demikian, legitimasi menunjukkan
eksistensi dari masyarakat internasional.7 Ian Clark dalam studinya menunjukkan
legitimasi sebagai kerangka dalam masyarakat internasional, yaitu sebagai
konstruksi teoritis dan suatu rangkaian historis. Clark menyebut bahwa legitimasi
menjadi pembahasan yang begitu penting karena tiga hal. Pertama, karena
evolusi dari formasi legitimasi membentuk suatu sejarah penting dalam
masyarakat internasional. Sebagai contoh, landasan keanggotaan yang sah dalam
organisasi internasional menjadi salah satu bentuk pergeseran dalam ide
kenegaraan dan bagaimana suatu negara telah berperan sebagai `midwife` atau
`pengasuh` terhadap negara lainnya. Dalam hal kebenaran perilaku, terdapat bukti
peranan dari negara great power yang dipertimbangkan dengan penerimaan
konsensus. Hal ini kemudian berkaitan dengan pembentukan norma internasional.
Kedua, klaim bahwa ide dari legitimasi membentuk perilaku negara dan
karenanya hubungan internasional butuh, secara serius, menelaah aspek legitimasi
suatu kebijakan. Ketika komitmen sosial hadir dalam menjalani hubungan antarnegara, dan munculnya suatu ikatan antar negara, maka hal ini menunjukkan
bahwa perilaku negara tersebut telah terpengaruh dalam suatu ikatan sosial.
Ketiga, terdapat hubungan antara legitimasi dan stabilitas. Clark berpendapat
bukan bahwa legitimasi menciptakan stabilitas, tetapi dalam kondisi stabil suatu
legitimasi dapat tercipta dengan lebih gampang. Suatu krisis dalam pemerintahan
tidak tercipta melalui ketidaksetujuan (defisit legitimasi), tetapi gabungan dari
kejadian-kejadian yang salah satu diantaranya dapat dipicu oleh defisit legitimasi
tersebut. Dengan demikian, legitimasi dan stabilitas bukanlah hal terpisah dan
berhubungan kausal. Legitimasi dan stabilitas merupakan suatu keadaan yang
6
Christian Reus-Smit, “International Crisis of Legitimacy,“ International Politics no. 44 (2007):
157-174, doi:10.1057/palgrave.ip.8800182.
7
Ian Clark, Legitimacy in International Society (Oxford: Oxford University Press, 2005), 1-2.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
8 setara dan dapat saling mempengaruhi sebagai salah satu komponen pembentuk
dinamika internasional, tidak terkait langsung secara kausal.
Clark menjelaskan pergeseran bertahap yang terjadi dalam legitimasi
sebagai basis normatif. Pada awal kelahirannya, legitimasi dianggap sebagai
konsepsi teologis moral. Kemudian pada abada ke-18-an, legitimasi dikaitkan
dengan suatu tatanan hukum. Setelah Vienna, legitimasi dikaitkan dengan suatu
sistem konstitusi yang mengatur tatanan masyarakat internasional. Westphalia
pada dasarnya adalah prinsip konsensus yang lahir dari konsep legalitas.
Akhirnya, Perang Dunia membawa modifikasi yang signifikan yaitu munculnya
prospek masyarakat internasional yang universal, kontinuitas kriteria demokratis
dan pengakuan terhadap HAM. Sebagai isu kontemporer, legitimasi pasca perang
dingin memiliki kaitan yang cukup erat terhadap nilai dari demokrasi. 8
Legitimasi tanpa diragukan memiliki kualitas normatif, namun acap kali
disalahpahami sebagai skala substantif dari suatu nilai, seperti dengan legalitas,
moralitas, atau konstitusionalitas. Pada akhirnya legitimasi tidak dapat dibentuk
dan dikodifikasi percis seperti hukum perang. Praktik legitimasi dibentuk oleh
aktor dan aksi tertentu. Suatu penilaian folosofis terhadap aktor dan aksi tersebut
dibentuk dari derajat penerimaan dan bagaimana masyarakat internasional melihat
suatu situasi. Hal ini memungkinkan interpretasi yang muncul dari norma yang
dipersuasi, namun tidak selalu dapat dilakukan. Legitimasi adalah properti sosial
yang tidak dapat diatributkan dalam suatu aksi.
Oleh karena itu, legitimasi tidak dapat dibentuk dalam bentuk kriteria
dalam menilai suatu persitiwa. Legitimasi pada akhirnya bergantung kepada
bagaimana masyarakat internasional sebagai anggota dapat melihat peristiwa
tersebut. Kita dapat mengerucutkan kriteria legitimasi dalam salah satu
konformitas terhadap hukum, moral atau konstitusi namun interpretasi terhadap
moral dan konstitusi sekalipun dapat berbeda tergantung aktor membaca keadaan.
Bagaimana masyarakat internasional melihat peristiwa lebih dapat menunjukkan
legitimasi yang bersifat kompleks dengan dinamika politik, konsensus dan isu
power dalam tataran praktis. 9 Kompleksitas ini diafirmasi oleh Mulligan bahwa
8
9
Ibid., 245-250.
Ibid., 250-256.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
9 pergeseran makna legitimasi dalam sejarah menunjukkan suatu bentuk
perkembangan yang erat kaitannya dengan perubahan makna bahasa. Legitimasi
pada akhirnya merupakan suatu tes dalam setiap kasus tertentu sebagai suatu
pertarungan ide.10
2.2. Perkembangan Konsep R2P
Terdapat berbagai definisi dari intervensi kemanusiaan. Konsep tersebut
dapat dijabarkan dalam suatu konsep dalam bidang politik, ekonomi hingga sosial
seperti intervensi pemberian bantuan bencana alam besar di suatu negara. Sebagai
suatu rujukan pada aktivitas substansi dan istilah yang juga sering digunakan di
publik dan kamus akademisi, intervensi humaniter dalam pembahasan ini
didefinisikan sebagai: 11 aksi militer yang dilakukan oleh satu negara, kelompok
negara atau aktor non-negara, di kawasan teritorial negara lain, tanpa persetujuan
negara yang bersangkutan, yang dapat dijustifikasi, melalui aspek signifikan
tertentu, sebagai isu kemanusiaan dari masyarakat negara yang diintervensi.
Selama Perang Dingin, intervensi dengan retorika kemanusiaan sudah
terjadi. Namun, mayoritas anggota PBB memiliki kecurigaan tinggi terhadap
doktrin intervensi. Sejak pertengahan 1960, negara bekas jajahan tidak mentolerir
doktrin intervensi karena dianggap sama dengan penjelmaan kolonialisme.
Respon badan PBB terhadap intervensi militer secara konsisten ditolak; sekalipun
yang dianggap memiliki justifikasi humaniter. Banyak isu yang bahkan tidak
dibahas melalui DK, banyak pula yang di veto oleh salah satu kekuatan polaritas
Barat dan Timur yaitu: Uni Soviet (USSR) atau Amerika Serikat (AS). Sidang
Umum juga secara rutin mengutuk dan melarang beberapa intervensi militer
seperti Anglo-French di Suez (1956), intervensi soviet di Hungary (1956),
intervensi Indonesia di East Timor (1975) dan lainnya.12
10
Shane P. Mulligan, “The Uses of Legitimacy in International Relations,“ Millennium - Journal
of International Studies no. 34 (2006) 349, DOI: 10.1177/03058298060340021801,
mil.sagepub.com.
11
Aidan Hehir, Humanitarian Intervention: An Introduction (London: Palgrave Macmillan, 2010),
20-21.
12
Sir Adam Roberts, The United Nations and Humanitarian Intervention, 162.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
10 Setelah Perang Dingin, terjadi perubahan struktur power di DK. Anggota
permanen tampak lebih kooperatif untuk membahas isu tentang keamanan. Suatu
pengakuan bahwa intervensi terhadap keamanan domestik dapat menciptakan
stabilitas internasional mulai muncul dan menjadi diskursus tertentu. Hal ini dapat
dilihat melalui fakta bahwa terdapat 9 kasus intervensi selama 1991-2000, yaitu:
Irak Utara (1991), Bosnia dan Herzegovina (1992-5), Somalia (1992-3), Rwanda
(1994), and Haiti (1994), Albania (1997), Sierra Leone (1997-2000), Kosovo
(1998-9), dan Timor Timur (1998-9).13
Noam Chomsky berpendapat bahwa politik Pasca Perang Dingin telah
melahirkan Amerika Serikat sebagai Pemenang dan menjadi pemain yang harus
mempertahankan kekuatan internasionalnya untuk meraih apa yang mereka sebut
dengan `kebaikan dunia` melalui demokrasi dan liberty.14 Tidak adanya lawan
politik (soviet sebagai penangkal/ deterrant), Amerika mengalihkan kebijakan
containment 15 yang dilancarkan selama Perang Dingin menjadi perluasan
pengaruh (enlargement), sebagai contoh: penyerangan pemerintahan George Bush
terhadap Panama setelah tembok Berlin runtuh. Kekuatan militer menjadi
instrumen yang lebih berguna untuk melancarkan penyebaran pengaruh Amerika
di dunia.16 Dengan demikian, Noam Chomsky berpendapat bahwa awal Perang
Dingin telah membawa Intervensi Kemanusiaan yang dipimpin oleh kepentingan
Amerika Serikat.
Seiring berjalannya waktu, intervensi yang terjadi selama 1990 hingga
2003 menunjukkan pertumbuhan norma internasional dalam melihat Hak Azazi
Manusia (HAM) sebagai sesuatu yang mulai mendapat perhatian dan penerimaan
terutama bagi anggota Dewan keamanan PBB. Norma internasional HAM
dianggap dapat membatasi kedaulatan negara atas warganya dan kedaulatan
dilihat sebagai suatu norma yang menunjukan kewajiban untuk melindungi warga
13
Ibid., 81.
Noam Chomsky, “Humanitarian Intervention,“ Boston Review (1993),
http://www.chomsky.info/articles/199401--02.htm.
15
Kebijakan Containment merupakan langkah AS dalam Perang Dingin untuk menghadapi
kekautan ekspansif dari Uni Soviet dan mencegahnya menjadi kekuatan dominan dalam dunia.
Selama masa tersebut, konflik regional muncu sebagai perang proxi yang menunjukkan upaya
pencegahan konfrontasi langsung dari kedua kekuatan bipolar. Lihat Martin Griffiths dan Terry
O`Callaghan, IR The Key Concepts (New York: Routledge, 2002), 53.
16
Noam Chomsky, Humanitarian Intervention.
14
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
11 sipil dari kekerasan – konsep yang disebut dengan Soveregnity as Responsibility.
Penerimaan internasional juga terbukti dengan tidak adanya negara (sekalipun
non-barat) yang menolak secara terang-terangan terhadap upaya intervensi pada
kasus kemanusian yang mengancam kehidupan warga sipil.
Meskipun norma HAM internasional berkembang sebagai nilai yang mulai
dihargai penting dalam politik internasional, pertanyaan terhadap legitimasi intervensi tetap menjadi tantangan besar dalam perdebatan konsep intervensi
kemanusiaan terutama karena kebijakan Bush menyerang Irak 2003 dalam war
against terrorism. Invasi AS ke Irak bersifat unilateral dan ditanggapi skeptis oleh
berbagai pihak internasional.
Invasi unilateral AS terhadap Irak 2003 menjadi momentum ketakutan atas
sulitnya doktrin R2P diterima pada World Summit 2005. Namun pada akhirnya
konsep dapat diterima dengan penekanan utama pada upaya diplomatis dan nonkekerasan.17 Invasi Kosovo 1999 dan Irak 2003 juga menciptakan pandangan
bahwa
Intervensi
kemanusiaan
dapat
menciptakan
preseden
adanya
penyalahgunaan norma R2P oleh negara yang agresif. Namun argumen ini dalah
premis yang tidak meyakinkan. Beberapa penjelasan yang ditawarkan Fernando
Teson adalah: (1) Apakah kemudian non-intervensi menyarankan pembiaran
terhadap peristiwa holocaust terjadi? (2) Tirani, anarkisme, dan non-intervensi
atas pelanggaran HAM ekstrim setidaknya memiliki peluang untuk menciptakan
instabilitas dan kekacauan yang sama seperti ketakutan gagalnya intervensi. (3)
klaim empiris bahwa intervensi humaniter tidak dapat dijustifikasi dan
mengancam dunia adalah klaim yang tidak dapat diterima. Melihat berbagai
intervensi kemanusiaan yang telah dilakukan sejak 1990, intervensi tersebut tidak
menciptakan ancaman berarti bagi politik internasional. Adapun instabilitas
didunia terjadi bukan karena intervensi tetapi karena permusuhan etnik dan faktor
sejenis.18
17
William Pace, Nicole Deller, dan Sapna Chhatpar, “Realizing the Responsibility to Protect in
Emerging and Acute Crisis: A Civil Society Proposal for the United Nations“ dalam Responsibility
to Protect: The Global Moral Compact for the 21st Century, ed. Richard H. Cooper dan Juliette
Voinov Kohler (New York: Palgrave Macmillan, 2009), 132.
18
Fernando R. Teson, “The Liberal Case for Humanitarian Intervention“ dalam Humanitarian
Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas, ed. Robert O. Keohane dan J. L. Holzgrefe
(New York: Cambridge University Press, 2003), 231.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
12 Dengan demikian, ketakutan akan penyalahgunaan dari doktrin R2P
sejatinya dapat menjadi peringatan untuk dapat menciptakan operasionalisasi yang
lebih jelas dan terukur, bukan malah menolak doktrin. Penolakan doktrin R2P
berarti sama dengan pembiaran terhadap isu kemanusiaan yang telah terjadi di
masa lalu dan kemungkinan terjadinya tragedi kemanusiaan di berbagai belahan
dunia di masa mendatang.
Pertanyaan penting dalam intervensi kemanusiaan adalah apakah
komunitas internasional bisa menjamin politik intervensi di masa depan didukung
melalui persetujuan oleh PBB agar terciptanya suatu legitimasi dan mencegah
pelanggaran. James Pattison menekankan bahwa terdapat justifikasi dan legitimasi
dalam intervensi kemanusiaan sesuai mandat piagam PBB. Berhasilnya konsep
R2P untuk diakui dalam sistem PBB yaitu dalam dokumen hasil World Summit
tahun 2005 adalah bukti penerimaan norma tersebut dalam sistem PBB. Pattison
menjelaskan perbedaan yang terjadi dalam konsepsi R2P dalam doktrin laporan
ICISS 2001 dan penerapannya dalam dokumen hasil Pertemuan Dunia 2005:
Tabel 1. Perbedaan Dokumen ICISS dan
World Summit Outcome Document 2005
Doktrin ICISS
a)
a)
b) 1. Jika Negara `unable` dan/ atau
b)
`unwilling` dalam melindungi warga sipil,
maka kewajiban berpindah pada komunitas
Internasional.
c)
c)
d) 2. Batas ambang `Just Cause` dalam
d)
menanggapi pembunuhan dalam skala
besar.
Dokumen Pertemuan Dunia 2005
1. Penekanan terhadap indikator kegagalan
Negara melindungi warga sipil harus
termanifestasi, baru R2P dipindahkan
kepada pihak internasional
2. Just Cause terbatas kepada empat kasus
ekstrim kemanusiaan (Genosida, Kejahatan
Perang, Perang terhadap kemanusiaan dan
pembersihan etnik)
3. Reaksi tanggap terhadap krisis
e)
merupakan suatu kewajiban komunitas
f) 3. Setiap negara harus `bersiap` untuk
global.
melakukan aksi kolektif namun dinilai
melalui mekanisme kasus per kasus.
e) 4. Dewan Keamanan menjadi pintu awal
g)
atas panggilan aksi kemanusiaan, tanpa
h) 4. Aksi kolektif yang hanya melalui
melupakan United for Peace Procedure.
persetujuan DK PBB
i)
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
13 f) 5. Prinsip Precautionary (right intention,
j)
last resort, proportional means, reasonable
prospect.
5. Tidak ada referensi terhadap kriteria
intervensi.
Perbedaan mencolok dari perbedaan tabel diatas terletak pada dua hal.
Pertama, Dokumen Pertemuan Dunia 2005 yang lebih menekankan pada indikasi
yang dapat menunjukkan indikator kegagalan negara dalam melindungi warganya
harus jelas, sehingga pemindahan tanggung jawab kedaulatan untuk melindungi
warga sipil dapat berpindah ke tangan komunitas internasional. Kedua, adanya
keinginan DK yang lebih besar atas fleksibilitas dalam asesmen berdasar analisis
kasus per kasus.
Meskipun sudah terintegrasi dalam sistem PBB, terbukti bahwa kebijakan
intervensi belum dapat menyelamatkan isu kemanusian dengan baik. Data
Departemen of Peacekeeping Operation (DPKO) menyatakan bahwa terdapat 1,1
juta displaced person hingga 2006 karena konflik dan ketiadaan pemerintah yang
efektif di Somalia dan juga 3,4 juta orang meninggal akibat konflik di Congo
(International Crisis Group Data, 2008). Data ini merupakan bukti kasus yang
belum terselesaikan dalam isu kemanusiaan. Pertanyaan penting yang kemudian
dilontarkan adalah siapa yang seharusnya memiliki tanggung jawab dan hak untuk
melakukan intervensi. Amerika Serikat menekankan bahwa penerimaan terhadap
prinsip tanggung jawab tersebut tidak berarti sama dengan bertindak untuk hal
tersebut. Lemahnya political will dan kapasitas menjadi hambatan politik dalam
implementasi R2P. 19
Hal yang tergambar jelas dalam perkembangan doktrin intervensi
kemanusiaan adalah suatu prinsip perdamaian liberal atau liberal peace yang
menjadi salah satu nilai yang dipegang dalam norma internasional. Advokat
internasionalis
liberal
meng-klaim
bahwa
norma
internasional
baru
memprioritaskan hak individual untuk yang menciptakan suatu upaya penerbitan
laporan tentang R2P oleh ICISS 2001. Namun, dalam pandangan pragmatis, hal
ini memberikan celah yang lebih luas terhadap negara barat untuk meramu alasan
dalam melakukan intervensi ke luar negeri.
Krisis legitimasi pada akhirnya
19
Lee Feinstein and Erica De Bruin, “Beyond Words: U.S. Policy and the Responsibility to
Protect“ dalam Responsibility to Protect: The Global Moral Compact for the 21st Century, ed.
Richard H. Cooper dan Juliette Voinov Kohler (New York: Palgrave Macmillan, 2009), 139.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
14 ditantang dalam suatu dinamika antara moralitas dan Realpolitik. Hal ini menjadi
tantangan tersendiri bagi ide berbasis moral dalam konsep perdamaian liberal.
Terjadinya perbedaan antara apa yang diamksud dengan legitimasi secara moral
dan hal apa yang benar dalam hukum internasional telah menunjukkan disparitas
antara keseimbangan power internasional pada Irak 2003 dan pada 1945 ketika
piagam PBB diciptakan.20 Namun pada dasarnya Realpolitik dan moralitas tidak
kontradiktif. R2P menunjukkan bahwa moralitas dapat bekerja mendukung
power, namun tidak sebaliknya.
Chandler berpendapat bahwa jika negara hanya dapat menjamin moralitas
aksinya melalui akuntabilitas kepada masyarakat internasional dan ancaman
intervensi, maka negara major power sekalipun tidak terbebas dari akuntabilitas
sehingga tingkat pelanggaran dapat diminimalisir. Dengan demikian, negara
major power, yang mengemban gelar `good international citizen` akan beraksi
melalui legitimasi moral yang tinggi dari negara lain.21 Dalam hal inilah terlihat
bagaimana liberal peace menjadi suatu bagian penting dalam norma internasional,
namun tidak terlepas dari kerentanan Realpolitik.
20
David Chandler, “The Responsibility to Protect“, Center for the Study of Democracy, University
of Westminster, no. 11 (2004): 75-76, http://www.tandfonline.com/loi/finp20.
21
Ibid.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
15 2.2. Studi kasus
Suatu nuansa konstroversi kebijakan intervensi kemanusiaan oleh
komunitas internasional dapat dilihat melalui contoh kasus intervensi di Kosovo
1999, Irak 2003, Georgia 2008 dan Libya 2011. Keempat kasus ini dipilih karena
kontroversi legitimasi dalam pelaksanaan intervensi. Dengan penjelasan singkat
atas keempat kasus, diharapkan kita dapat melihat aspek pembentuk legitimasi
dari intervensi kemanusiaan.
Penjelasan pada subbab ini akan menjelaskan kasus intervensi NATO ke
Kosovo 1999, Intervensi AS ke Irak 2003, invasi Rusia ke Georgia 2008 dan
NATO di Libya 2011 secara singkat untuk menunjukkan permainan justifikasi
legal oleh negara besar dan pengaruhnya terhadap doktrin R2P. Dalam penjelasan
kasus intervensi tersebut, juga dapat dilihat bagaimana suatu legitimasi moral
pada akhirnya dapat berperan sebagai justifikasi dan legitimasi intervensi yang
diterima oleh komunitas internasional. Tabel dibawah dapat mengilustrasikan
legitimasi legal dan moral yang terbentuk dalam keempat studi kasus intervensi
kemanusiaan.
Tabel 2. Legitimasi Kasus Kontekstual
Legalitas
Legitimasi Moral
Pengintervensi
Kosovo
✗
✔
NATO
Irak
✗
✗
AS - Inggris
Georgia
✗
✗
Rusia
Libya
✔
✔
NATO
2.2.1. Kosovo 1999
Jika Perang Gulf (1990-1) menandai awal tatanan dunia baru dalam
intervensi untuk kemanusiaan, Kosovo merupakan tragedi pertama yang
`memaksa` NATO untuk melancarkan perang humaniter tanpa otoritas PBB.
Meskipun tragedi kemanusiaan yang terjadi di Kosovo merupakan hal yang cukup
nyata bagi banyak pihak internasional, penggunaan kekerasan oleh entitas
regional NATO tanpa otoritas PBB menjadikan kejadian tersebut sebagai
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
16 preseden yang tidak baik bagi larangan penggunaan kekerasan secara legal.
Namun demikian, satu hal yang pasti tentang Kosovo adalah bahwa perlindungan
terhadap pelanggaran atas HAM dapat menjadi suatu prinsip yang menentukan
dalam yurisdiksi domestik negara. 22 Meskpun ilegal, invasi ke Kosovo dapat
dianggap memiliki legitimasi secara moral karena tragedi kemanusiaan yang
berkepanjangan merupakan suatu fakta yang dapat dibuktikan dan diakui
masyarakat internasional.
Tidak terciptanya konsensus intervensi Kosovo terjadi karena ancaman
veto Cina dan Rusia yang memiliki hubungan dengan Rezim Milosevic, padahal
mayoritas anggota DK menunjukan sikap positif terhadap kebijakan untuk invasi.
Wheeler berpendapat bahwa Invasi NATO ke Kosovo 1999 yang tidak melalui
persetujuan badan PBB akhirnya tidak bisa ditolak karena aksi tersebut memiliki
tujuan perlindungan yang cukup nyata atas warga sipil di Yugoslavia. Lebih lagi,
retorika tentang kegagalan PBB dalam mencegah pembunuhan masalah di
Rwanda 1994 dan Srebrenica 1995 menjadi alasan kuat sebagai batasan nonintervensi untuk menyelamatkan nyawa warga sipil oleh komunitas internasional.
Meskipun pada awalnya veto hampir dilayangkan Rusia, hubungan AS dan Rusia
setelah invasi tidak secara signifikan terganggu. Fakta bahwa hubungan politik
antara Amerika dan Rusia tidak secara signifikan terganggu ini menunjukkan
Amerika serikat yang memiliki kekuatan politik lebih kuat (realpolitik).23 Selain
itu, Invasi ke Kosovo juga menjadi momentum yang menunjukkan suatu fase baru
dalam politik internasioal di mana NATO ingin menciptakan stabilitas
kewilayahan lebih luas dan Amerika Serikat ingin mempertegas pengaruh politik
dan superioritas militernya di wilayah Eropa.24
22
A. J. R. Groom dan Paul Taylor, “The United Nations System and the Kosovo Crisis,“ dalam
Kosovo and the Challenge of humanitarian intervention: Selective Indignation, Collective Action,
and International Citizenship, ed. Albrecht Schnabel dan Ramesh Takur (Tokyo: United Nations
University, 2000), 291-318.
23
Nicholas J. Wheeler, “The Humanitarian Responsibility of Sovereignty: Explaining the
Development of A New Norm of Military Intervention for Humanitarian Purposes in International
Society“ dalam Humanitarian Intervention and International Relations, ed. Jennifer M. Welsch
(New York: Oxford University Press, 2004), 166.
24
G. John Ikenberry, “The costs of victory: American power and the use of force in the
contemporary order,“ dalam Kosovo and the Challenge of Humanitarian: Selective Indignation,
Collective Action, and International Citizenship, ed. Albrecht Schnabel dan Ramesh Takur
(Tokyo, United Nations University Press, 2000), 86-87.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
17 Bagi banyak negara Barat, NATO merupakan aliansi dari negara-negara
demokrasi dan oleh sebab itu memiliki validasi dalam tesis perdamaian
demokratis. Menurut mereka, kebijakan untuk mengintervensi Kosovo secara
militer dan tanpa wewenang DK diakibatkan oleh hambatan institusional untuk
melakukan aksi yang efektif dan tepat oleh PBB. Oleh karena itu, intervensi ilegal
oleh NATO masih dapat dianggap sebagai suatu aksi yang memiliki legitimasi.
Komisi Internasional Independen Kosovo yang diketuai Richard
Goldstone and Carl Tham berkesimpulan bahwa intervensi NATO adalah ilegal
namun memiliki legitimasi. Legitimasi memiliki kedudukan diatas legalitas:
Sehingga rezim Apertheid yang legal di Afrika Selatan merupakan sesuatu yang
dapat dikatakan legal tetapi tidak memiliki legitimasi karena adanya ketidakadilan
sosial dan penolakan masyarakat.25 Jane Stromseth menyebutnya dengan istilah
`excusable breach` di mana intervensi melanggar norma legal piagam PBB namun
aktor intervensi tidak mendapat sanksi karena secara moral dan politik, invasi
NATO
dapat
dijustifikasi
sebagai
kasus
pengecualiaan
(exceptional
circumstance). 26 Dengan demikian legitimasi bukanlah suatu indikator yang
diukur hanya berdasarkan hukum internasional tetapi juga melalui pertimbangan
moral dan etis yang berasal dari norma internasional.
2.2.3. Irak 2003
Jika NATO berhasil membentuk legitimasi normatif bagi komunitas
internasional untuk membentuk argumen humaniter dalam intervensi Kosovo,
Presiden Bush dan Blair memiliki kesulitan yang lebih rumit dalam membentuk
justifikasi humaniter atas invasinya ke Irak 2003. Amerika Serikat tidak berhasil
meyakinkan komunitas internasional atas kepemilikan Irak atas senjata pembunuh
masal (Weapon of Massive Destruction/ WMD).
Alasan yang dijadikan pembenaran invasi AS dan Inggris ke Irak secara
ilegal dan okupasi terhadap Irak pada Maret 2003 telah dibuktikan salah. Alasan
adanya senjata pemusnah masal (WMD/ Weapon of Massive Destruction) tidak
25
Ramesh Takur, The United Nations, Peace and Security, 215-217.
Jane Stromseth, “Rethinking Humanitarian Intervention: The Case for Incremental Change,“
dalam Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas, ed. Robert O.
Keohane, J. L. Holzgrefe (Cambridge University Press: Cambridge, 2003), 243.
26
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
18 dapat dibuktikan dan klaim bahwa koneksi antara terorisme al Qaeda dan rezim
Saddam hussein adalah sesuatu yang tidak terbukti dan merupakan alasan buatan
AS untuk menciptakan dukungan publik dalam invasi Irak. Motif sebenarnya dari
aksi kedua sekutu adalah untuk mengontrol dan mendominasi Timur Tengah.
Mendirikan hegemoni di kawasan dan menjamin kontrol terhadap kawasan
dengan cadangan minyak terbesar dan memperkuat posisi strategis AS sebagai
sekutu Israel. 27
Invasi Irak 2003 mengkonfirmasi bahwa, sekalipun perihal terorisme,
agresi perang merupakan taktik yang tak dapat diterima. Berbagai survey
internasional telah menunjukkan penolakan terhadap intervensi AS ke Irak 2003.28
Justifikasi intervensi kemanusiaan untuk pembebasan terhadap masyarakat Irak
dari pemerintahannya merupakan pengaburan atas perang AS terhadap pemerintah
Taliban di Afghanistan. Amerika adalah negara besar dan memiliki strategi yang
tegas akan kebijakan luar negerinya; strategis secara konsisten, tetapi tidak secara
moral.29 Invasi Amerika ke Irak merupakan salah satu pembuktian bagaimana
negara dengan kekuatan besar menjadikan konsep R2P sebagai justifikasi dan
pembenaran terhadap aksi militer untuk penyamaran dari kepentingan
keamanannya dalam War on Terror.
2.2.3. Georgia 2008
Pada tahun 2008, Pemerintah Rusia berargumen bahwa operasi militer
yang dilancarkan kepada Georgia dapat dijustifikasi melalui Responsibility to
Protect (R2P). Presiden Dmitry Medvedev, Perdana Mentri Putin dan Dubes
Rusia untuk PBB, Vitaly Churkin menyatakan aksi Georgia melawan masyarakat
lokal di Ossetia Selatan sebagai Genosida, dan oleh karena itu Menteri Luar
Negeri Sergey Lavriv secara jelas juga menyebutkan bahwa aksi militer Rusia ke
Georgia tersebut merupakan pelaksanaan dari doktrin R2P untuk misi
27
“World Tribunal on Iraq,“ Transnational Institute, terakhir dimodifikasi 17 November 2005,
diakses 2 Mei 2013, http://www.tni.org/archives/mil-docs_wti.
28
Ibid., 237.
29
Ibid., 241.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
19 penyelamatan masyarakat sipil. 30 Aksi ini mendapat berbagai penolakan oleh
komunitas internasional.
Gareth Evans menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan invasi
tersebut tidak dapat diterima sebagai suatu upaya R2P. Alasan pertama adalah
karena Invasi bertujuan untuk melindungi warga Rusia yang tinggal di dan dekat
dari Ossetia Selatan. Upaya untuk melindungi warga negaranya yang tinggal di
luar teritorialnya ini jelas bukan merupakan rasional R2P. Penyerangan Rusia ke
Ossetia, yang merupakan bagian dari wilayah Georgia lebih tepat dinyatakan
sebagai self-defense. Negara menganggap warga negaranya menjadi terancam
ketika terdapat ancaman yang berada diluar teritorialnya dan ditakutkan
mengancam keamanan negara, sehingga suatu tindak penyelamatan harus
dilakukan dengan cara intervensi ke wilayah yang bukan merupakan teritorialnya.
Namun penyerangan militer tersebut mendapat berbagai penolakan dari komunitas
internasional dan menciptakan skeptisme dari berbagai pihak atas upaya Rusia
untuk menciptakan justifikasi misi intervensinya.
Alasan kedua adalah tidak adanya upaya awal R2P dalam bentuk
diplomasi dan aksi non-kekerasan lainnya sebelum invasi secara militer. Invasi
secara militer hanya boleh dilakukan atas kasus ekstrim tertentu yang tidak dapat
diselesaikan lagi melalui upaya diplomatis dan non-kekerasan. Dalam invasi ke
Georgia, Rusia tidak menunjukkan upaya awal untuk dapat menyelesaikan
permasalahan secara non-kekerasan melalui DK PBB atau instrumen PBB lainnya
agar membentuk legitimasi dari komunitas internasional untuk penggunaan aksi
militer. Justifikasi yang digunakan tidak dapat memberikan kesan serius atas
ancaman yang ada, apalagi terhadap Genosida atau kejadian yang mendekati.
Aksi Penyerangan pemerintah Georgia ke Tskhinvali (Ibukota Ossetia
Selatan, Georgia) memang melanggar, tapi bukan berarti hal tersebut menjadi
indikasi dan manifestasi dari kegagalan Pemerintah Georgia dalam melindungi
masyarakatnya. Dengan demikian, tidak ada kekuatan hukum dalam intervensi
Rusia ke Georgia. Sebuah argumen yang sebenarnya Moskow juga perkarakan
30
Gareth Evans, “Russia in Georgia: Not a Case of The Responsibility to Protect,“ The center for
the Study of Democratic Institutions: New Perspectives Volume 25, no. 4 (2008): 53-55,
doi/10.1111/npqu.2008.25.issue-4/issuetoc
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
20 dan bertikai panjang saat AS mengabaikan velidasi wewenang DK pada invasi
NATO di Kosovo 1999 dan di Irak 2003. Peristiwa ini dapat menunjukkan salah
satu pragmatisme dari negara besar untuk mengendarai doktrin sebagai alasan
intervensi
untuk
kepentingan
nasionalnya.
Alih-alih
penyelamatan
isu
kemanusiaan pada akhirnya tidak dapat dibuktikan dan menimbulkan kecurigaan
dan skeptisme dari berbagai pihak dalam politik internasional.
2.2.4. Libya 2011
Kebijakan Intervensi lainnya yang kontroversial dan membuka fase
signifikan dalam perkembangan doktrin R2P adalah intervensi NATO ke Libya
2011. Gareth Evan, Tim Dunne, Jess Gifkins, Mohammed Nuruzzaman
menyatakan bahwa intervensi NATO ke Libya merupakan suatu tantangan bagi
doktrin PBB karena menimbulkan berbagai kecurigaan tidak hanya dari negara
BRIC tetapi negara-negara lainnya. Alih-alih melindungi masyarakat dari
kekejian rezim Gadafi, intervensi Libya terlihat sebagai upaya penaklukan rezim.
Menurut Gareth Evan, hal inilah yang menjadi salah satu alasan terhalangnya
intervensi untuk Suriah hingga saat ini. Intervensi NATO yang dianggap telah
melewati batas logika intervensi dan membantu penggulingan Rezim Gadafi
menjadi kecurigaan besar oleh Cina, Rusia dan negara lainnya.
Mohammed Nuruzzaman mencoba melakukan evaluasi terhadap kebijakan
intervensi ke Libya: apakah resolusi 1973 telah mengikuti aspek-aspek yang ada
di dalam dokumen World Summit dan dokumen terdahulu lainnya mengenai R2P.
Penyerangan NATO ke Libya menjadi momen penting dalam perkembangan
lanjutan dari R2P karena tindakan tersebut melibatkan penjatuhan atas rezim
Gadafi. Padahal Kejadian di Yemen dan Suriah memiliki tingkat keparahan yang
tidak kalah sadisnya. Disinilah Nuruzzaman mencoba membuktikan adanya motif
norma R2P yang bercampur dengan Realpolitik. Nuruzzaman menjelaskan tiga
alasan utama mengapa penjatuhan rezim Gadafi pada Oktober 2011 lalu memberi
dampak detrimental terhadap doktrin R2P:31
31
Mohammed Nuruzzaman, “The Responsibility to Protect Doctrine: Revived in Libya, Buried in
Syria,“ Insight Turkey, no. 15.2 (2013): 57-66,
search.proquest.com.libproxy1.nus.edu.sg/docview/1350533876
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
21 1. Kekuatan militer dilancarkan dengan begitu cepat. Hal ini melanggar dalil
yang ada dalam dokumen World Summit 2005 tentang upaya non-militer
sebagai kebijakan terakhir dalam upaya intervensi; bahwa kekuatan militer
hanya boleh dilakukan dalam kasus ekstrim. Pada April 2011, saat Uni
Afrika berupaya untuk mengadakan negosiasi antara kubu pemerintahan
Gadafi dan pemberontak dari National Transitional Council (NTC),
Negara Barat (Prancis, AS dan Inggris) malah melakukan sabotase
terhadap upaya tersebut.
2. Adanya pertentangan atau paradoks antara kejahatan kemanusiaan dan
Kejahatan Perang. Setelah NATO intervensi, terdapat puluhan ribu rakyat
sipil yang meninggal akibat upaya pemboman NATO ke Libya. Fakta ini
ditunjukkan dalam laporan Human Rights Watch (HRW), Amnesty
internasional, New York Times, dan juga BBC yang menyebutkan 200030.000 orang meninggal akibat bombardir NATO.
3. Resolusi 1973 secara moral dan etis juga tidak dapat diterima karena
kebijakan barat pasca intervensi yang tidak baik. Segera setelah
penjatuhan rezim, NATO meninggalkan Libya dan membiarkan kelompok
NTC di Libya berhadapan dengan masalah internal dan perpecahan dan
berakhir pada terhambatnya upaya rekonsiliasi politik internal.
Jelas ketiga faktor inilah yang menciptakan kecurigaan bagi masyarakat
dunia, negara-negara dari belahan bumi Asia, Afrika, Latin Amerika dan lainnya.
Dengan skeptisme yang muncul pasca intervensi NATO ke Libya, banyak negara
yang sungkan mendukung intervensi di Syria. Alasan-alasan ini juga digunakan
oleh Rusia dan Cina dalam ancaman veto terhadap intervensi yang dicanangkan
oleh DK mengenai kekerasan yang terjadi di Suriah. Intervensi ke Suriah
mendapat hambatan besar dan doktrin R2P menghadapi masa depan yang cukup
suram.
Aspek lain yang dapat dipelajari dari intervensi Libya adalah posisi Cina
yang memberikan preseden yang berbeda dari sebelumnya. Secara tradisional,
Cina adalah negara yang memiliki prinsip keras akan kedaulatan dan percaya akan
kebijakan non-intervensi terhadap permasalahan negara lain. Namun, pada
intervensi Libya 2011 lalu yang dianggap beberapa pihak sebagai keberhasilan
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
22 pertama untuk menerapkan R2P pasca World Summit 2005, negara-negara BRIC
(pada tahun 2011 merupakan anggota DK PBB) dan Jerman memilih untuk tidak
menentang resolusi tetapi mengambil posisi abstain. Hal ini dilakukan karena
kuatnya dukungan institusi regional dalam resolusi menjadikan BRIC tidak dapat
menciptakan legitimasi atas pelarangan intervensi. Perlawanan terhadap upaya
intervensi dapat menyebabkan kritik tajam dari berbagai pihak. Hilangnya
popularitas Gadafi terlihat dari bagaimana Gulf Cooperation Council (GCC) dan
Konferensi Negara Islam (OIC) pada 12 Maret 2011 mengutuk tindakan
Pemerintahan Gadafi, mengeluarkannya dari keanggotaan organisasi regional, dan
Liga Arab pun mengeluarkan resolusi no-fly zone untuk melindungi rakyat sipil.32
Dengan demikian, Intervensi di Libya memang dapat disebut sebagai fase baru
dari konsep R2P di mana konsensus regional dapat menjadi suatu penentu
permainan (political game-changer).
2.2.4.1. Advokasi Negara dalam R2P
Dibalik argumen skeptis berbagai pihak tentang intervensi NATO ke
Libya, Tim Dune dan Jess Gifkins (2011) membaca satu pelajaran penting yang
dapat kita tarik dari proses diplomasi yang ada. Kasus Libya dapat menunjukkan
bahwa advokasi oleh negara (state based advocacy) adalah suatu tahapan yang
penting dalam pembentukan legitimasi dari prinsip R2P. Dalam analisisnya Dune
dan Gifkins menelaah peranan diplomatis dari Canberra. Beberapa poin singkat
berikut
dapat
menggambarkan
peranan
diplomatis
Australia
dalam
mengadvokasikan intervensi dalam kasus Libya:33
•
Seminggu setelah pemberontakan di Libya mulai, Kevin Rudd membuat
pernyataan tegas melalui radio berita ABC; menyatakan dukungannya atas
aspirasi para pemrotes yang menuntut hek kebebasan dan hidup yang lebih
baik.
32
Andrew Garwood, “China and the Responsibility to Protect: The Implications of the Libyan
Intervention,“ Asian Journal of International Law, no. 2 (2012), 375-393.
33
Tim Dunne & Jess Gifkins, “Libya and the State of Intervention,“ Australian Journal of
International Alffairs 65, no. 5 (2013): 58, http://www.tandfonline.com/loi/caji20
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
23 •
Bersamaan dengan itu, Liga Arab sebagai organisasi regional menghentikan
keanggotaan Libya pada Februari 2011.
•
Diplomasi Australia mencoba meningkatkan pengaruh advokasi mereka
melalui pendekatan kepada anggota permanen DK PBB, kemudian
pendekatan kepada Human Rights Council (HRC). Menteri Luar Negeri juga
mendesak DK untuk memberikan pesan tegas kepada rezim Gadafi dan tidak
akan mentolerir kekerasan yang mereka ciptakan.
•
Pemerintah Australia juga menulis kepada Brazil yang pada saat itu adalah
Presiden DK PBB untuk mengeluarkan pernyatakan tegas kepada rezim
Gadafi.
•
Pada saat yang bersamaan, Australia meningkatkan konstribusinya dan
menjadi donor ketiga terbesar untuk dana kemanusiaan (Humanitarian Aid)
Dengan demikian, Australia telah membantu proses sekuritisasi kasus
Libya ke dalam konteks dokstrin R2P melalui tiga upaya: (1) Menggerakkan
urgensi isu Libya ke agenda internasional, (2) Menggarisbawahi pentingnya aksi
tegas oleh DK PBB, dan (3) Upaya justifikasi kekerasan dalam konteks
pengecualian untuk melakukan intervensi militer. Hal ini dapat menjadi
pembelajaran dalam perkembangan doktrin R2P bahwa advokasi suatu negara
dapat mempengaruhi prosesi dan dinamika kebijakan intervensi kemanusiaan.
Dengan kata lain, untuk merealisasikan intervensi kemanusiaan secara tegas, aktor
negara dapat berkontribusi sebagai pembentuk urgensi isu intervensi ke suatu
negara yang mengalami tragedi kemanusiaan.
2.2.4.2. Suriah: Sebuah Refleksi
Skeptisme yang muncul dari kasus penaklukan rezim di Libya memiliki
efek detrimental terhadap suatu negosiasi intervensi kemanusiaan di Suriah. Alihalih ketakutan atas penggulingan rezim Assad melalui intervensi, Rusia dan Cina
memblok negosiasi di DK PBB. Konfrontasi yang tejadi antara pemerintahan
Assad dan pemberontak di Suriah telah memakan begitu banyak korban warga
sipil, namun intervensi atas krisis belum kunjung dapat dilancarkan. Gareth Evan
menyebutkan bahwa terdapat empat faktor yang merupakan pengaruh lingkungan
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
24 geopolitik yang membuat intervensi ke Suriah tidak berhasil dilakukan. Pertama,
kompleksitas perpecahan internal yang terjadi di Syria dapat menjadi ancaman
besar dan memberikan dampak negatif bagi negara – negara tetangga.
Pemberontak dapat keluar dari Libya untuk menyelamatkan kekuatan dan
perpindahan refugee dan Internally Displaced Person (IDP) akan menjadi beban
yang tidak ringan bagi negara tetangga.
Faktor kedua adalah komitmen dan hubungan baik yang terjalin lama
antara Rusia dan Rezim Assad. Hal ini mencegah Rusia untuk meloloskan suatu
resolusi yang mengutuk Rezim Assad, apalagi untuk kebijakan intervensi. Namun
dalam praktiknya, Rusia menggunakan justifikasi pelanggaran dan penjatuhan
rezim di Libya 2011 sebagai alasan penopang kebijakan Rusia untuk mem-veto
resolusi intervensi ke Suriah.
Ketiga, tidak adanya persetujuan kuat dari Liga Arab untuk melancarkan
aksi yang keras terhadap Suriah; berbeda dengan awal mula inisiasi untuk
intervensi Libya yang didukung oleh berbagai institusi regional di Timur Tengah.
Keempat, Kuatnya tentara bersenjata Suriah, terutama pertahanan udara. Hal ini
dianggap dapat menjadi tantangan utama karena intervensi akan sangat sulit
dilakukan dan dapat menelan banyak korban.34 Salah satu faktor penghambat –
komitmen dan relasi Rusia dengan rezim Assad – menjadi faktor yang
mencitrakan kepentingan nasional Rusia untuk dapat melindungi aliansinya.
Alhasil, Rusia merupakan negara yang mengancam akan menggunakan veto
apabila DK PBB memutuskan untuk melakukan intervensi ke Suriah. Dengan
demikian, terjadilah deadlock dalam negosiasi Dewan Keamanan PBB.
34
Gareth Evan, “Libya,“ The World Today, no. 68. 8/9 (2012): 30-32,
earch.proquest.com.libproxy1.nus.edu.sg/docview/1170904293
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
25 BAB III:
PEMBAHASAN
3.1. Aspek Legalitas dalam Legitimasi Doktrin R2P
3.1.1. Wewenang DK PBB
Berdasarkan Customary Law sebelum lahirnya Piagam PBB, suatu
intervensi merupakan hal yang boleh dilakukan untuk penyelamatan terhadap
HAM, meski ada perlawanan dari pihak atau negara lain. Sedangkan setelah
Piagam PBB diciptakan hal ini tidak berlaku lagi. Dalil yang ada dalam pasal 2(4)
Piagam PBB mencegah upaya yang dapat melampaui kedaulatan suatu negara.
Sekalipun suatu upaya intervensi kemanusiaan harus dilakukan maka kebijakan
tersebut harus sah melalui wewenang DK PBB untuk membentuk suatu legitimasi
hukum inernasional. Dalam hal ini, intervensi kemanusiaan bukanlah suatu
pengecualian tetapi merupakan suatu hal yang harus patuh akan hukum
internasional juga.35 Intervensi kemanusiaan pada dasarnya merupakan ekstensi
dari kekuatan Dewan Keamanan dalam Bab VII yang melegalkan penggunaan
kekerasan sebagai upaya dalam melindungi warga sipil dari kekerasan dalam
suatu kasus ektrim tertentu. Melalui poin inilah kemudian Negara Barat
memimpin berbagai intervensi untuk melindungi kehidupan warga sipil di Irak,
Somalia, Haiti, Balkan dan intervensi militer lainnya.36
Ramesh Takur melihat sentralitas DK PBB sebagai hambatan dalam
pembentukan legitimasi legal dalam intervensi kemanusian. Takur menjelaskan
argumennya melalui tiga faktor. Pertama, sentralitas keputusan intervensi yang
rentan akan kepentingan nasional anggota P-5 dengan veto merupakan hambatan
yang signifikan.37 Intervensi yang dilakukan tanpa wewenang DK pada akhirnya
akan menjadi preseden yang buruk dalam hukum internasional dan pencemaran
bagi landasan politik internasional. Faktor kedua adalah bahwa, pada akhirnya,
tidak ada pihak yang dapat memaksa DK PBB untuk mencapai konsensus dalam
kasus humaniter karena pemaksaan tersebut hanya akan menciptakan kelumpuhan
35
Maya Stanulova, Has Humanitarian Intervention Become an Exception to the Prohibition on the
Use of Force in Article 2(4) of the UN Charter? (England: Edinburgh University, 2010), 16.
36
Nicholas J. Wheeler, The Humanitarian Responsibility of Sovereignity, 112.
37
Ramesh Takur, The United Nations, Peace and Security, 67.
25 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
26 politik karena anggota DK yang memiliki keinginan politik dan sumber daya
(untuk intervensi) pun bisa menjadi pasif dan apatis terhadap intervensi yang akan
dilaksanakan. Oleh karena itu, suatu intervensi harus melalui validasi kewenangan
dari Dewan Keamanan untuk menciptakan suatu legitimasi legal. Pelanggaran
terhadap ketentuan ini berarti pelanggaran terhadap hukum internasional.
Ketiadaan wewenang DK berarti preseden buruk bagi intervensi kemanusiaan
berikutnya.
3.1.2. Aktor Intervensi dalam sistem PBB
Dalam implementasi R2P, PBB harus tetap menjadi focal point karena
Institusi ini yang memiliki keanggotaan universal, memiliki legitimasi global dari
dan melalui piagamnya. Berbagai tingkatan badan di dalamnya juga dapat
mengakomodasi berbagai aspek perdebatan. Namun, dalam melaksanakan banyak
dari fungsinya, termasuk yang terkait perdamaian dan keamanan, PBB memiliki
reputasi lambat tanggap, dan birokratis. Belum lagi isu finansial, kekurangan
tenaga operasi perdamaian dan lainnya. Beberapa fakta ini diantaranya membentuk
respon yang lamban dan tidak tanggap terhadap isu kemanusiaan yang ada di
Rwanda dan Srebrinica. Namun, solusi dari permasalahan tersebut bukanlah untuk
mencari pengganti atau menghindari tetapi mencari cara agar PBB dapat berfungsi
dengan lebih baik dalam hal ini.
Dalam praktek intervensi kemanusiaan, Maya Stanulove menawarkan
beberapa opsi aktor yang dapat melakukan intervensi sesuai dengan prosedur yang
ada dalam piagam PBB. Prinsip yang melandasi upaya intervensi harus dapat
merujuk pada pasal 33 Piagam PBB yang menyatakan intervensi hanya boleh
dilakukan setelah seluruh aksi non-kekeraan telah dan gagal dilakukan. Aktor yang
memiliki wewenang untuk melakukan intervensi tersebut adalah:38
• Dewan Keamanan PBB sebagai aktor utama yang memiliki kontrol atas aksi
internasional untuk memonitor situasi dan memberikan wewenang atas
penggunaan kekerasan. Dengan sistem ini maka kemungkinan pelanggaran
pun dapat direduksi, meskipun ketakutan atas penyalahgunaan selalu ada.
38
Maya Stanulova, Has Humanitarian Intervention Become an Exception.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
27 • Jika DK PB gagal maka Sidang Umum dapat mengambil langkah melalui apa
yang disebut dengan Uniting for Peace Resolution (UPR), karena pada
akhirnya sidang umum dapat mewakili opini publik dunia. Namun menurut
Luke Glanville39 pada akhirnya UPR adalah hal yang sulit untuk dilakukan
karena upaya ini memiliki kemungkinan kecil untuk disetujui oleh anggota
DK PBB karena dapat mendiskreditkan wewenang dan kekuatan veto
mereka. Selain itu, menurut International Court of Justice (ICJ), UPR harus
dilaksanakan melalui rujukan DK.
• Jika Sidang Umum tidak berhasil, organisasi internasional/ kawasan dapat
melakukan intervensi. Hal serupa sudah mulai ditunjukan oleh Uni Afrika,
dalam undang-undang Konstitusi Uni Afrika (Pasal 4, tahun 2000) yang
menyatakan kebutuhan intervensi oleh organisasi kawasan saat ditemukannya
kejahatan kemanusiaan di Afrika. Gareth Evan menyebutkan bahwa
organisasi regional juga diakui dalam Bab VIII Piagam PBB yang
mengidentifikasi peranannya. Aktor regional paling aktif dalam isu
perdamaian dan keamanan adalah North Atlantic Treaty organization
(NATO), Uni Afrika (AU), Uni Eropa (EU), dan mitra subregionalnya,
Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE). Adapun
badan lainnya, namun misi utama berfokus ekonomi, seperti OAS, CIS,
ASEAN, dan SCO. Kerjasama dengan institusi regional memiliki keuntungan
komparatif, karena: (1) pemahaman terhadap dinamika krisis di wilayah:
kultur, sejarah, (2) relatif lebih diterima sebagai peacemaker dari pada
outsider, (3) relatif efektif secara pendanaan karena kedekatan geografis, (4)
lebih memiliki “ownership“ dari krisis tersebut dalam hal penyelesaian
masalah.40
39
Luke Glanville, “The International Community`s Responsibility“ dalam Protecting the
Displaced: Deepening the Responsibility to Protect, ed. Sara E. Davies dan Luke Glanville (The
Netherlands: Koninklijke Brill NV, 2010), 225.
40
Gareth Evans, The Responsibility to Protect: Ending Mass Atrocity Crimes Once and For All
(Washington: Brookings Institution, 2008), 125-200.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
28 Dewan Keamanan PBB, Sidang Umum, Human Rights Council (HRC)
merupakan badan utama PBB yang memiliki peran sentral dalam koordinasi
doktrin R2P. Dalam kesekretariatan PBB, Sekjen, The office of the special Adviser
on the Prevention of Genocide, The Office of the High Commissioner for Human
Rights (OHCHR), Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA).
Departement of Peacekeeping Operations (DPKO) juga menjadi aktor kunci
pelaksanakaan dan monitoring R2P.41 Keseluruhan aktor yang telah dijelaskan
diatas merupakan pihak-pihak yang dapat terlibat dalam prosesi kebijakan
intervensi kemanusiaan dalam sistem PBB. Untuk menciptakan suatu legitimasi
hukum, maka kebijakan intervensi hanya dapat dilakukan melalui mekanisme yang
tercantum dalam piagam PBB dan konvensi-konvensi terkait. Suatu tindakan aktor
diluar mekanisme tersebut akan dianggap sebagai suatu pelanggaran dan
pencemaran terhadap hukum internasional.
3.1.3. Analisis Dokumen R2P
Dalam perkembangannya, konsep R2P telah menghasilkan beberapa
dokumen dan konvensi internasional yang membentuk norma legal pada tingkat
politik internasional. Dalam aspek legalnya, naskah dalam dokumen hasil World
Summit 2005 dapat disebut sebagai dokumen paling kuat diantara empat dokumen
yang ada. 42 Dokumen tersebut menunjukkan seberapa besar keinginan negara
untuk menciptakan norma legal R2P dalam sistem PBB. Sebagai suatu slogan
politik (political catchword), konsep R2P memiliki perkembangan yang cukup
pesat di tingkat internasional. Hal ini berkaitan dengan beberapa spektrum
penggunaan konsep dalam hukum internasional.
Carsthen Stahn menyebutkan bahwa konsep R2P memiliki pemaknaan
yang berbeda dalam empat dokumen yang telah dihasilkan dalam perkembangan
doktrin: laporan Commission on State Sovereignity and Intervention, Laporan
High-Level Panel, laporan Sekjen PBB, dan dokumen hasil World Summit 2005.
41
William Pace, Realizing the Responsibility to Protect in Emerging and Acute Crisis, 67.
Carsten Stahn, “Responsibility to Protect: Political Rehtoric or Emerging Legal norm?,“ The
American Journal of International Law 101, no. 1 (2007): 99-120,
http://www.jstor.org/stable/4149826
42
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
29 (1) Laporan Commission on State Sovereignity and Intervention tahun 2001
adalah dokumen yang paling komprehensif membahas dilema hukum dan politik
dalam intervensi kemanusiaan dan merupakan dokumen yang menghasilkan
konsep kedaulatan sebagai tanggung jawab (bukan hak). Kedaulatan lebih
dianggap sebagai amanat negara untuk melindungi masyarakatnya dari kekerasan
dibanding kuasa atas kontrol domestik oleh negara. Laporan Komisi ini juga
mengembangkan lima kriteria legitimasi dalam intervensi yang dapat diterapkan
dalam DK PBB yaitu prinsip dasar dari konsep Just War: Just cause, right
intention, last resort, proportionality of means, dan reasonable prospect of
success.
(2) Laporan High Level Panel on Threats, Challenges and Change (2004)
menghasilkan keputusan yang mengarah kepada reformasi institusi PBB. Laporan
secara jelas menyebutkan konteks penggunaan kekerasan dalam artikel Piagam
PBB Bab VII, ancaman internal dan tanggung jawab melindungi. Hal penting
dalam laporan menyebutkan hubungan antara visi untuk pembagian tanggung
jawab bersama dalam PBB. Diciptakannya laporan ini menjadikan konsep R2P
untuk pertama kalinya secara resmi menjadi kata baru dalam kamus PBB.
(3) Dokumen berikutnya adalah Laporan Sekjen PBB. Laporan tersebut
menyadari sensitivitas yang terlibat dalam isu ini. Konsep R2P akhirya
dipindahkan dari pasal tentang penggunaan kekerasan menjadi bagian dalam pasal
tentang kekebasan kehormatan hidup. Hal ini dilakukan untuk melepaskan ikatan
konsep R2P dari perbandingan terhadap kekuatan militer. Konsep diarahkan
kepada penekanan terhadap cara-cara damai, namun laporan tidak menyatakan
tentang kemungkinan aksi unilateral (misal saat terjadi veto di DK PBB).
(4) Dokumen Hasil World Summit 2005 adalah penanda digunakannya
terminologi R2P secara resmi dalam sistem PBB. Dokumen ini menegaskan
doktrin R2P sebagai tanggung jawab moral. Namun, Dubes AS, John Bolton,
tidak setuju atas pengwajiban pihak tertentu (Negara atau Dewan Kemanan) untuk
mengemban kewajiban tersebut dibawah payung hukum internasional. Tanggung
jawab ini dilihat sebagai suatu tanggung jawab moral bagi dunia internasional
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
30 untuk apat bergerak bersama saat ditemukannya indikasi atas kejahatan
kemanusiaan. Konsep R2P dilihat sebagai suatu kewajiban moral dari komunitas
internasional untuk menggunakan diplomasi, mekanisme ekonomi, humaniter dan
cara damai lainnya, termasuk Bab VI dan VIII (Penyelesaian pertikaian secara
damai dan pengaturan mekanisme kawasan) dalam piagam PBB.
Negosiasi multilateral telah berusaha mencegah reduksi makna menjadi
konsep moral tanggung jawab dan menjadikannya lebih jelas secara hukum.
Tetapi paragraph 138 dan 139 dari dokumen hasil World Summit 2005
menunjukkan
bahwa
terdapat
pertimbangan
politik
dan
legal
yang
membingungkan tentang pemaknaan konsep. Setiap individu negara memiliki
tanggung jawab melindungi masyarakat dari genosida, kejahatan perang,
pembersihan etnik dan kejahatan kemanusiaan (paragraf 138). Namun pengakuan
terhadap doktrin R2P tidak sama dengan kesediaan negara untuk melakukan
intervensi karena hal tersebut membutuhkan kemampuan material dan keinginan
politik (political will) dari suatu negara yang bersangkutan.
Dokumen World Summit 2005 memperkuat kedudukan doktrin R2P di
dalam institusi PBB di satu sisi, namun garis pedoman teknis dalam metode
intervensi tidak berhasil diciptakan. Jika pada Laporan ICISS 2011 disebutkan
lima kriteria Just War untuk mendefinisikan ambang batas kebijakan intervensi,
World Summit menghasilkan keputusan yang lebih tidak jelas dalam hal kriteria
diberlakukannya intervensi. Penilaian terhadap keperluan kebijakan intervensi
dinilai berdasarkan konteks kasus yang ada (case-by case basis) oleh anggota
Dewan Keamanan. Kontradiktif terhadap tujuan untuk menghasilkan mekanisme
sistematis dalam intervensi kemanusiaan yang ingin diciptakan oleh ICISS tahun
2011.
Selain dari pada itu, dalil yang menyatakan R2P sebagai suatu tanggung
jawab `bersama` dari negara anggota PBB dapat menjadi suatu ketidakjelasan dan
pengabur dalam menentukan aktor yang memiliki tanggung jawab dalam hal
intervensi. Dalil ini dapat meninggalkan celah di mana pihak yang memiliki
kapasitas untuk melakukan intervensi (misal negara P5) dapat mempermainkan
interpretasi tanggung jawab siapa atas kasus kejahatan kemanusiaan apa. Hal ini
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
31 cenderung menjadi celah yang dapat menjadi suatu pelanggaran (abuse) dalam
politik internasional untuk kepentingan suatu pihak tertentu.
Paragraf 139 dalam dokumen hasil World Summit 2005 menyebutkan
tanggung jawab bersama tersebut muncul ketika suatu negara secara
termanifestasi telah gagal untuk melindungi masyarakatnya dari kekerasan.
Ukuran dan bukti telah gagalnya suatu negara tersebut juga tidak terdefinisikan
secara jelas. Hal ini terlihat dalam kasus Darfur di mana pemerintah Sudan telah
termanifestasi gagal dalam melindungi warga, namun aksi kolektif komunitas
internasional tidak secara tegas berupaya menghentikan kekerasan yang ada.
Tidak terangkatnya isu Darfur dan tidak adanya kepentingan negara Barat
menjadikan intervensi Darfur tidak dilaksanakan secara tegas permasalahan
kekerasan dan kejahatan kemanusiaan. Meski keempat dokumen menyatakan
intervensi militer merupakan kebijakan paling akhir ketika pendekatan secara
damai telah gagal dilakukan, keempat dokumen tersebut tidak secara gamblang
menyebutkan penolakan terhadap opsi unilateral dalam pelaksanaannya.
Hal ini menunjukkan pencegahan atas posisi jelas dalam tataran
implementasi dan kurangnya spesifisitas hukum yang mengatur. Analisis legal ini
membuktikan bahwa doktrin R2P yang berperan sebagai slogan politik (political
catchword) dapat menjadi dua sisi pedang yang berbahaya karena dalil-dalilnya
yang multi-interpretatif, sehingga dapat digunakan oleh negara adidaya untuk
mencapai kepentingan nasionalnya alih-alih menyelamatkan masyarakat.
Dengan demikian terdapat tiga indikator utama yang dapat menunjukkan
bagaimana dokumen internasional yang membentuk formulasi doktrin R2P dalam
sistem PBB bersifat kurang spesifik dan menjadi multiinterpretatif. Pertama,
intervensi kemanusiaan sebagai suatu tanggung bersama yang tidak menjelaskan
operasionalisasi dari tanggung jawab bersama oleh siapa, hak dan kewajiban
siapa. Hal ini menjadi suatu celah yang dapat diinterpretasikan negara big power
untuk melancarkan suatu intervensi kepada negara tertentu yang dapat
memberikan kepentingan militer atau ekonomi tertentu kepada negara
pengintervensi. Terlebih lagi, penggunaan kata yang moderat ini juga dapat
menjadi potensi pengabaian terhadap suatu tragedi kemanusiaan di negara
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
32 (sebagai misal di Darfur) yang tidak penting bagi suatu negara big power; hingga
tidak masuk dalam pembahasan.
Indikator kedua adalah ketiadaan garis pedoman dalam melaksanakan
intervensi. Apabila komisi independen dalam ICISS 2011 mengeluarkan laporan
yang memberikan rekomendasi atas pentingnya penaksiran atas suatu kebijakan
intervensi kemanusiaan melalui konsep Just war (Just cause, right intention, last
resort, proportionality of means, dan reasonable prospect of success), dokumen
hasil World Summit 2005 tidak memasukkan klausul tersebut dan sebagai
gantinya menyatakan bahwa penaksiran justifikasi atas tragedi kemanusiaan
dilakukan melalui analisis kasus per kasus (case-by case) oleh anggota dewan
keamanan PBB. Hal ini jelas mereduksi spesifisitas dari peraturan atas doktrin
R2P tersebut.
Indikator ketiga adalah ketidakjelasan kapan suatu negara dikatakan
(secara termanifestasi) gagal melakukan kewajibannya melindungi warga sipil.
Ketiadaan indikator atau penjelasan konkrit terhadap dalil ini dapat menjadi alat
bagi negara pengintervensi untuk memformulasikan alasan dan justifikasi untuk
kegagalan suatu negara sehingga mereka dapat masuk dan melakukan intervensi
ke negara tersebut.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
33 3.2. Aspek Moralitas/ Etis dalam Legitimasi Doktrin R2P
Perdebatan legal dan moral/ etis yang ada dalam penerapan R2P menurut
Welsch berasal dari filosofi penolakan terhadap intervensi tersebut. Terdapat
perbedaan pandangan pada batas konsensus yang ada tentang hubungan antara
legitimasi negara dan perlindungan dan penerapan HAM dan batasan bahwa
intervensi kemanusiaan dapat mengatasnamakan komunitas internasional. Hal
inilah yang dikategorikan dalam debat masalah legal dan etis. 43 Jika bagian
sebelumnya telah menjelaskan aspek-aspek legal yang dapat membentuk
legitimasi suatu negara atau kelompok negara dalam melancarkan suatu intervensi
kemanusiaan, maka tulisan berikutnya akan mengulas tentang unit pembentuk
legitimasi intervensi dari aspek moralitas dan nilai etis suatu intervensi.
3.2.1. R2P sebagai Norma Internasional
Pertengahan tahun 1990-an negara Barat mulai menunjukkan komitmen
terhadap etika kebijakan luar negeri yang kontradiktif dengan fokus realisme atas
power dan kepentingan nasional. Liberal, kosmopolitanis dan solidaris
berpendapat bahwa pergeseran dalam prioritas kebijakan luar negeri ini adalah
hasil dari advokasi humaniter yang akademisi, organisasi HAM dan NGO telah
berhasil yakinkan kepada negara Barat untuk memasukan pertimbangan moral
dalam hubungan luar negeri. 44 Pertimbangan moral dalam konteks ini adalah
tanggung jawab moral/ etis dari negara untuk dapat melindungi masyarakat sipil
dari tindak kekerasan kemanusiaan yang dapat melanggar prinsip dasar dalam
nilai universal HAM.
Pertanyaan Kofi Annan dalam laporan sekjen tahun 1999 terkait keamanan
manusia akhirnya meghasilkan terobosan suatu konsep. Dalam rangka
menanggapi pertanyaan tersebut, Pemerintah Kanada membentuk suatu komisi
internasional yang bertugas untuk membahas pertanyaan, legal, moral,
operasional dan politis dalam suatu intervensi kemanusian. Dibentuk oleh aktor
43
Jennifer M. Welsch, “Taking Consequences Seriously: Objections to Humanitarian
Intervention,“ dalam Humanitarian Interventional and International Relations, ed. Jennifer M.
Welsch (New York: Oxford University Press, 2004), 169.
44
Aidan Hehir, “Humanitarian Intervention: An Introduction,“ (London: Palgrave Macmillan,
2010), 11-20.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
34 independen, komisi akhirnya datang dengan suatu konsep yang dinamakan
Responsibility to Protect (R2P) dalam laporan ICISS 2001. Melalui pembahasan
lanjutan di dalam sistem PBB, akhirnya terminologi R2P dapat diterima dan
digunakan secara resmi dalam sistem PBB (melalui dokumen hasil World Summit
2005), terlepas dari pemaknaan yang tidak percis sama dengan laporan hasil
ICISS.
Hal ini telah menunjukkan bahwa suatu intervensi kemanusiaan sebagai
tanggung jawab internasional untuk melindungi masyarakat dari kejahatan masal
merupakan norma internasional yang telah diakui secara meluas. Meskipun masih
ada negara-negara yang memandangnya dengan sebelah mata, tidak ada negara
yang secara terang-terangan menolak penerimaan terhadap norma R2P dalam
sistem PBB itu sendiri.
Welsch berpendapat bahwa terdapat tiga poin penting yang dapat dijaga
untuk melindungi doktrin R2P demi tujuan kemanusian. Pertama adalah dengan
mempertahankan doktrin kedaulatan sebagai tanggung jawab, bukan sebagai hak
sehingga justifikasi terhadap intervensi kemanusiaan dapat lebih diterima. Kasus
kompleks seperti keruntuhan negara Somalia dan Sierra Leone mungkin akan
lebih mendapat dukungan dari pada kasus penggantian rezim atau hukuman atas
kelompok minoritas seperti di Haiti dan Kosovo. Kedua, pembuat kebijakan harus
lebih serius dalam memperbaiki isu representasi dan efektifitas dalam DK PBB
agar
diterima
komunitas
internasional.
Ketiga,
dalam
sovereignity as
responsibility, penekanan terhadap cara non-militer harus lebih diutamakan dalam
operasionalisasinya. 45
3.2.2. Legitimasi Moral
Intervensi Humaniter dapat dijustifikasi secara moral dalam kasus tertentu
melalui asumsi filosofis politik liberal, bahwa setiap orang memiliki standar moral
dalam individunya. Manusia adalah pemegang hak tersebut dan memiliki
konsekuensi normatif untuk manusia yang lain. Dalam artian, standar moral yang
dimiliki bermakna: (1) kewajiban untuk menghormati hak tersebut; (2) kewajiban
45
Jennifer M. Welsch, Taking Consequences Seriously: Objections to Humanitarian Intervention,
192.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
35 mempromosikannya kepada semua orang; (3) sesuai situasi, kewajiban
melindungi korban tirani dan anarkis. Kewajiban no (3) merupakan bagian dari
hak untuk menyelamatkan korban, seperti hak dalam intervensi.
Argumen liberal dalam intervensi kemanusiaan memiliki dua komponen:
pertama, tirani dan anarkisme oleh pemerintah merupakan bentuk ketidakadilan
terhadap manusia. Kedua, intervensi eksternal (setidaknya) boleh dilakukan untuk
menghentikan ketidakadilan tersebut. Untuk melakukan hal tersebut, negara dapat
menjadi aktor yang memiliki legitimasi. Konsep Kantian terhadap negara
mengatakan bahwa negara memiliki justifikasi sebagai institusi yang dibentuk
oleh agen etis, yaitu oleh autonomous person. Intervensi kemanusiaan adalah
suatu alat untuk menghentikan tindak anarkis dan tirani dari pemerintah karena
kondisi demikian mencegah seseorang untuk menjalani kehidupan yang bermakna
dan rencana kehidupannya (autonomous). 46
Melalui suatu analisis diatas maka dapat dimengerti bahwa HAM yang
dimiliki berbagai kultur diseluruh dunia dan telah diakui sebagai suatu norma
universal internasional menjadikan kewajiban negara untuk melindungi HAM
bagi warga negaranya dan secara tidak langsung juga berarti kewajiban komunitas
internasional untuk melindungi HAM seorang individu yang merupakan bagian
dari negara dan bagian dari komunitas inernasional yang berada diatasnya.
Pelanggaran terhadap HAM seorang individu berarti ketidakadilan terhadap hak
dasar individu tersebut dan oleh karenanya pihak luar dapat mencegah dan
menghentikan
ketidakadilan
tersebut
dengan
cara
intervensi
eksternal.
Pertimbangan moralitas dan etis ini kemudian dapat membentuk suatu legitimasi
tersendiri yang dapat dibentuk sebagai bagian dari penerimaan norma HAM dan
intervensi kemanusiaan R2P.
***
Agen intervensi yang memiliki legitimasi dapat secara bervariasi
ditentukan oleh distribusi internasional power, keadaan politik, atau faktor agen
spesifik tertentu. Menentukan aktor yang memiliki kapabilitas untuk melakukan
intervensi tidak hanya dilihat dari aspek material tetapi juga non-material.
46
Fernando R. Teson, The Liberal Case for Humanitarian Intervention, 112.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
36 47
Elemen dasar (faktor material) dalam menentukan kemampuan aktor adalah hal
yang dapat diukur melalui kemampuan militer agen tersebut. Selain itu, faktor
non-material juga membentuk faktor legitimasi dalam masyarakat internasional,
yaitu: legitimasi multilateral, kualifikasi humaniter dari agen intervensi dan posisi
agen intervensi dalam konteks politik internasional. Hanya dengan pertimbangan
kedua faktor material dan non material tersebut consequentialism 48 dapat
menjawab masalah agen dalam intervensi kemanusiaan.
Pertama, intervensi kemanusiaan seharusnya dilakukan secara multilateral
untuk mendapatkan legitimasi, seperti melalui organisasi internasional. Dalam
diskursus legal, unilateral merujuk pada sesuatu yang belum divalidasi suatu
pemegang wewenang sedangkan multilateral sudah dianggap mendapat validasi
tertentu. Suatu negara yang sudah mendapat legitimasi organisasi internasional
universal seperti PBB dapat dikatakan legal dalam intervensinya. Dalam konteks
ini, secara kuantitatif, keterlibatan beberapa negara juga dapat mencegah
eksploitasi dan penyalahgunaan dalam wewenang untuk intervensi. Dengan
demikian, pendekatan Consequentialist ini menempatkan nilai tinggi terhadap
legitimasi multilateral.
Isu intervensi kemanusiaan merupakan topik yang paling terbagi dalam
masyarakat sipil global. Sebagai misal dalam kasus intervensi di Kosovo,
kelompok yang anti-intervensi mengatakan ketiadaan mandat DK PBB
memberikan dampak buruk dan preseden negatif kepada komunitas internasional,
sedang kelompok pro intervensi menganggap intervensi sebagai “coalition of the
willing“ sudah cukup membuat landasan legitimasi atas intervensi dari isu
kemanusiaan yang jelas dan terbukti di Kosovo. Suatu legitimasi moral dapat
melangkahi legalitas yang menghambat karena distribusi kekuatan di DK telah
mengakibatkan veto oleh Rusia dan Cina.49
47
Eric A. Heinze, Waging Humanitarian Law, 231.
Konsekuensialisme adalah suatu pandangan bahwa aspek normatif tergantung pada konsekuensi
yang terjadi. Benar atau tidaknya suatu aksi secara moral tergantung pada konsekuensi dari aksi
tersebut. Lihat Stanford Encyclopedia of Philosophy, lihat “Consequentialism,“ Stanford
University, terakhir dimodifikasi 27 Juni 2011, diakses 11 Mei 2013,
http://plato.stanford.edu/entries/consequentialism/
49
Richard Falk, “Civil Society Perspectives on Humanitarian Intervention“, Journal of Civil
Society 4, no. 1 (2008): 3-14. http://www.researchgate.net/journal/17448689_Journal_of_Civil_Society
48
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
37 Faktor kedua yang dapat membentuk legitimasi moral adalah kualifikasi
humaniter agen intervensi. Agen yang melakukan intervensi seharusnya
merupakan entitas yang menjunjung tinggi norma HAM dan kehormatan manusia
kepada penduduknya. Alasan Inilah juga yang memunculkan argumen bahwa
intervensi NATO di Kosovo masih mempertahankan legitimasi substansial karena
dilakukan secara multilateral melalui NATO dan NATO merupakan aliansi negara
yang menjunjung nilai demokrasi dan HAM. Dengan logika ini, meski invasi
NATO ke Kosovo ilegal karena tidak melalui validasi DK PBB, legitimasi moral
masih dapat dijadikan sebagai suatu justifikasi moral untuk intervensi
kemanusiaan. NATO adalah aliansi dari negara-negara yang paling demokratik
dan menghormati HAM, serta memiliki kredibilitas militer.
Faktor ketiga adalah konteks politik. Konteks politik yang dimiliki agen
intervensi yaitu bagaimana komunitas internasional melihat agen tersebut sebagai
aktor yang menghormati norma dan peraturan internasional menjadi pertimbangan
tersendiri untuk legitimasi dan kemampuan agen dalam menjalani intervensi.50
Melalui tiga faktor inilah , menurut Eric Heinze, suatu legitimasi moral dalam
intervensi kemanusiaan dapat dibentuk.
Intervensi kemanusiaan yang harus melalui kewenangan DK PBB menjadi
hal problematis karena keberadaan hak veto dari Negara anggota permanen.
Sebagai misal pada saat intervensi NATO ke Kosovo 1999, Rusia dan Cina
menggunakan veto mereka untuk menolak resolusi. Hal ini terjadi karena
kepentingan Rusia yang memiliki hubungan dengan pemerintahan Milosevic
sehingga Rusia berkepentingan untuk melindungi aliansinya dari peyerangan
intervensi.
Lebih jauh lagi, pattison menyatakan bahwa R2P merupakan pengerucutan
dari konsep intervensi kemanusiaan yang lebih luas (tidak membutuhkan
persetujuan DK PBB). Dengan demikian, Pattison menawarkan bahwa suatu
intervensi R2P yang dilakukan melalui ketentuannya tetap harus menjadi jalur
utama dalam proses kebijakan intervensi kemanusiaan. Namun, hal ini tidak
menutup kemungkinan intervensi kemanusiaan yang tidak melalui DK PBB jika
50
Eric. A. Heinze, Waging Humanitarian Law: the Ethics, Law, and Politics of Humanitarian
Intervention (New York: State University of New York Press, 2009), 255.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
38 R2P terhalang dengan konflik kekuatan dan kepentingan politik antar Negara
anggota DK PBB. Dengan pertimbangan inilah menurut Pattison doktrin R2P
harus dikonseptualisasi demi mencapai kedua tujuan yaitu secara intervensi yang
memiliki legitimasi dan mencegah krisis humaniter di berbagai belahan dunia.51
Untuk mencapai legitimasi tersebut, Invasi Kosovo yang tidak melalui
persetujuan PBB telah menjadi suatu bukti tersendiri bahwa suatu legitimasi dari
tindakan intervensi dapat dibentuk tidak hanya melalui legitimasi legal tetapi juga
legitimasi moral/ etis.
3.2.3. Proposal tentang Aktor Intervensi
Melalui Pendekatan Moderat Instrumentalis (Moderate Instrumentalist)
Pattison mencoba menguak dilema internasional atas aktor siapa dan mengapa
aktor tersebut dapat diklaim sebagai pemilik hak dan tanggung jawab atas nR2P.
Pattison berpendapat bahwa aktor yang berhak dan berkewajiban memiliki
legitimasi atas intervensi adalah aktor yang memiliki ambang batas terbesar dalam
hal (1) intervensi tidak seharusnya terlalu memberatkan bagi pihak yang
mengintervensi (adanya kemampuan ekonomi, politik, militer) (2) memiliki
dukungan dari populasi domestik dan adanya keterkaitan isu terhadap kasus.
Aktor yang berhak adalah semua yang memiliki kriteria tersebut sedangkan yang
memiliki kewajiban adalah yang memiliki legitimasi terbesar yang dalam hal ini,
menurut Pattison adalah NATO dan Hybrid forces. Jika tidak bisa, kemudian
kewajiban dilakukan oleh aktor yang paling memiliki legitimasi dibawahnya.52
Selain itu, Daniel Archibugi menawarkan proposal kosmopolitanisme
dalam
menentukan
aktor
intervensi.
Menurutnya,
alternatif
institusi
kosmopolitanisme dibutuhkan sebagai kerangka insitusional dalam intervensi
kemanusiaan agar dapat secara sistematis mengelola masalah dan perdebatan
dalam isu intervensi kemanusiaan. Moral kosmopolitan atas nilai universal HAM
dalam intervensi kemanusiaan akan menjadi sebatas omongan dan perdebatan
tanpa kejelasan jika institusi kosmopolitannya tidak dapat dibentuk.
51
James Pattison, Humanitarian Intervention & Responsibility to Protect: Who Should Intervene?
(New York: Oxford University Press, 2010), 176.
52
Ibid.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
39 Proposal institusi kosmopolistan yang ditawarkan Archibugi adalah (1)
Suatu kasus dievaluasi oleh komisi hukum internasional yang memiliki garis
pedoman (guideline) atas krisis untuk memberikan label darurat kemanusiaan dan
kemudian disetujui SU PBB, (2) yang melakukan otorisasi adalah pengadilan
dunia atas mandat oleh DK PBB, (3) sebuah komite kerjasama dan organisasi
humaniter sipil mengembangkan garis pedoman intervensi, (4) membentuk rescue
army permanen yang terdiri dari tentara, polisi dan sipil sebagai agen yang siap
untuk melakukan intervensi. Dan harus adanya kerelaan dari masyarakat global
dan negara untuk menerima institusi tersebut sehingga tercapai konsensus dalam
penerapan norma intervensi kemanusiaan, mencegah kekhawatiran kepentingan
agenda politik dalam intervensi, terutama oleh negara barat kepada negara
berkembang yang selama ini menjadi isu di permukaan. 53 Kedua proposal diatas
adalah diantara upaya untuk meminimalisir pengabaian terhadap kasus intervensi
dan membentuk mekanisme yang jelas terhadap aktor yang melakukan proses
kebijakan intervensi.
Namun, penulis berpendapat bahwa pada akhirnya keduanya akan sulit
dilakukan. Pertama, karena pemaksanaan atau penunjukkan kepada suatu
institusi seperti NATO untuk melakukan intervensi akan menciptakan
pelaksanaan yang apatis dan prematur karena suatu pembebanan terhadap institusi
– tidak akan tercipta rasa kepemilikan untuk mengatasi konflik. Kedua,
pembentukan institusi kosmopolitanisme akan sangat sulit untuk diciptakan.
Anggota DK PBB tidak akan mungkin menginginkan hak perogatifnya untuk
memberikan penilaian terhadap suatu kasus dalam intervensi kepada institusi lain
karena pada akhirnya hanya DK yang memiliki wewenang untuk memberikan
validasi penggunaan kekerasan untuk penyelamatan isu kemanusiaan sesuai
piagam PBB.
Oleh karena itu, bagian ini akan lebih melihat proposal tentang aktor
intervensi yang berlandaskan pada pendekatan bottom-up, yaitu aktor –aktor siapa
saja yang dapat mempengaruhi sistem penerapan R2P dalam PBB dan membantu
53
Daniele Archibugi, “Cosmopolitan Guidelines for Humanitarian Intervention“ Global, Local,
Political 29, no. 1 (2004): 1-21.
https://proxylogin.nus.edu.sg/libproxy1/public/login.asp?logup=false&url=http://www.jstor.org/st
able/40645102
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
40 pengangkatan isu kemanusiaan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Dengan
pendekatan ini diharapkan suatu legitimasi moral dapat terbentuk untuk
menopang justifikasi bahwa suatu intervensi kemanusiaan harus atau tidak harus
dilakukan ke suatu negara.
Pertama, advokasi oleh suatu negara dan organisasi kawasan – kumpulan
beberapa negara di kawasan - dapat menjadi political game-changer. Advokasi
yang dilakukan oleh Australia dalam pengangkatan isu urgensi intervensi ke
Libya menjadi suatu pembelajaran bahwa negara pun dapat melakukan lobby dan
advokasi dalam prinsip dan penerapan R2P. Demikian pula halnya dengan
organisasi
kawasan.
Dengan
kedekatan
geografis,
pengetahuan
tentang
kewilayahan dan perasaan “ownership“ atas konflik yang terjadi di wilayahnya,
organisasi kawasan dapat menjadi garda terdepan dalam memberikan penilaian
atas isu kejahatan manusia atau bahkan terlibat secara langsung dalam upaya
intervensi militer untuk menghentikan suatu peristiwa genosida atau kejahatan
yang mendekati.
Mengingat skeptisme dan kecurigaan banyak datang dari kelompok negara
selatan (negara berkembang), sejatinya negara selatan juga dapat secara aktif
mengadvokasikan isu kemanusiaan yang terjadi di suatu sudut dunia. Hal ini akan
membentuk suatu mekanisme partisipati yang akan mebantu pembentukan
implementasi intervensi kemanusiaan yang lebih adil, transparan dan tidak tebang
pilih atau selektif dalam menyelamatkan warga sipil. Hal ini sesuai dengan
argumen Jennifer M. Welsch bahwa jika setiap anggota komunitas internasional
seharusnya menganggap intervensi kemanusiaan sebagai suatu tanggung jawab,
maka ia harus ikut terlibat setidaknya dalam mengadvoasikan urgensi isu. 54
Dengan inilah kasus kompleks keruntuhan negara Somalia dan Sierra Leone
mungkin akan lebih mendapat dukungan dari pada suatu penggantian rezim.
Suatu keterlibatan negara selatan juga dapat mengatasi masalah yang
disebut Jonathan Graubart55 sebagai Pragmatic Liberal Intervention – penerimaan
54
Jennifer M. Welsch, Taking Consequences Seriously: Objections to Humanitarian Intervention,
192.
55
Jonathan Graubart, “R2P and Pragmatic Liberal Interventionsim: Values in the Service of
Interests,“ Human Rights Quarterly 35 (2013): 69-90,
http://libra.naz.edu/validate?url=http%3A%2F%2F0-
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
41 suatu kebijakan intervensi dengan justifikasi bahwa AS dan negara barat adalah
aktor yang patuh pada prinsip liberal demokrasi - HAM dan oleh sebab itu
merupakan aktor yang patut untuk menentukan dan melaksanakan suatu
intervensi. Hal inilah yang menurut penulis harus diatasi dengan intensifikasi
interaksi negara selatan dalam upaya pengangkatan isu hingga keterlibatan dalam
intervensi itu sendiri. Sejauh negara tersebut memiliki kemampuan, upaya ini
akan membentuk suatu kosolidasi dari apa yang disebut sebagai tanggung jawab
bersama dalam doktrin R2P.
Kedua, Richard Falk menawarkan bahwa kelompok independen dapat
memainkan perannya dalam perkembangan doktrin R2P. Kelompok independen
dapat memberikan saran terhadap kontroversi dalam intervensi kemanusiaan dan
akhirnya membentuk komisi independen yang terdiri dari aktor individu penting
dalam intervensi kemanusiaan. Suatu komisi dapat diinisiasikan oleh pemerintah
yang mendanai intervensi kemanusiaan, sehingga hasil dari penilaian dapat
mempengaruhi perbedaan pendapat publik terhadap intervensi. Inisiasi semacam
ini yang membentuk International Commission on Kosovo (IICK) dan setelah itu,
munculnya inisiasi pemerintah Kanada untuk membentuk International
Commission on Intervention and State Sovereignity (ICISS) yang pada tahun 2001
menghasilkan laporan R2P.
56
Pendekatan melalui pembentukan kelompok
independen ini telah terbukti dapat menghasilak laporan (ICISS 2011) yang secara
signifikan mempengaruhi dinamika perdebatan tentang intervensi kemanusiaan.
Oleh sebab itu, suatu pembentukan komisi independen semacam ini dapat menjadi
salah satu penopang pembentuk pengakuan internasional dan legitimasi moral
dalam R2P.
Contoh lainnya adalah World Tribunal on Iraq. Untuk mencapai tujuan
yang perlindungan HAM dalam intervensi kemanusiaan, kita harus dapat melihat
solidaritas dari bawah untuk melindungi kemanusiaan dari kejahatan masif yang
tidak dapat ditolerir. Pada tahun 2003, saat awal mula invasi AS dan Inggris ke
Irak, terdapat gerakan publik yang membentuk citizen tribunai (World tribuanal on
muse.jhu.edu.libra.naz.edu%3A80%2Fjournals%2Fhuman_rights_quarterly%2Fv035%2F35.1.gra
ubart.pdf
56
Richard Falk, Civil Society Perspectives on Humanitarian Intervention.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
42 Iraq) untuk mengusut kriminal AS dan pejabat sekutu saat operasi Irak. 57
Pengadilan ini adalah suatu inisiatif dari beberapa kaum intelek, advokat HAM dan
NGO yang ada dari 10 negara yang berbeda.58 Tidak satu pun pihak yang dapat
menghentikan invasi ke Irak oleh kedua sekutu, namun suatu pergerakan akar
rumpur seperti ini dapat bergerak atas dasar legitimasi kemanusiaan dan kesadaran
bersama. Secara idependen, gerakan akar rumput semacam ini dapat menilai secara
netral kebijakan invasi sekutu ke Irak.
Aktor ketiga adalah komunitas HAM. Genosida di Rwanda 1994
membunuh setidaknya 800.000 jiwa. Satu-satunya cara membuat pemerintah AS
bersedia untuk melancarkan intervensi pada saat itu adalah komunitas HAM yang
dapat mengumpulkan protes masif menuntut intervensi. 59 Meski adanya kewajiban
dalam konvensi Genosida, AS butuh tekanan oleh penduduknya untuk melakukan
hal yang benar, terutama ketika negara yang akan diintervensi tidak memiliki suatu
komponen kepentingan nasionalnya. Salah satu gagalnya intervensi kemanusiaan
yang tegas dan dapat mengentikan genosida di Rwanda adalah, menurut Gareth
Evan, kurangnya kapasitas dan pergerakan HAM sebagai alarm dalam kasus
Rwanda.
Terdapat 40.000 lebih NGO yang beroperasi secara internasional dan
jutaan lebih beroperasi dalam tingkat nasional. Hal ini menunjukkan bahwa NGO,
terutama yang bergerak di bidang HAM dan resolusi konflik, menjadi aktor yang
tidak bisa dilupakan begitu saja. Secara kolektif, aktor NGO dapat berperan dalam
perdebatan, baik sebagai think thank, institusi penelitian, forum kebijakan,
kampanye dan advokasi. Polling oleh Gallup pada Februari 2005 mengatakan
bahwa 86% orang Amerika percaya bahwa promosi dan perlindungan HAM di
negara lain adalah tujuan penting dalam kebijakan luar negeri AS. Ketika NGO
dapat berperan mengangkat isu ke permukaan dan menarik atensi masyarakat
maka, sebagai global power, Amerika Serikat tidak dapat menolak bahwa
kebijakan pemerintah AS untuk melakukan intervensi secara tegas demi menjaga
reputasi dan pengaruh globalnya.
57
Jonathan Graubart, R2P and Pragmatic Liberal Interventionism, 69-90.
“World Tribunal on Iraq,“ Transnational Institute, terakhir dimodifikasi 17 November 2005,
diakses 2 Mei 2013, http://www.tni.org/archives/mil-docs_wti.
59
Gareth Evans, The Responsibility to Protect, 138.
58
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
43 Suatu pemerintah tidak akan melakukan intervensi hanya semata-mata
untuk alasan menghentikan kejadian buruk terhadap orang lain jika tidak ada
hubungan atau dampak langsung kepada kepentingan ekonomi dan keamanannya.
Hal ini juga yang menjadi pertimbangan Presiden Clinton dalam mendukung
intervensi NATO di Kosovo. Oleh karena itu, untuk menjadikan R2P lebih dari
sekedar retorika dan slogan, dibutuhkan reaksi popular yang kuat dari konstituen
akar rumput sebagai suatu faktor signifikan yang dapat membantu mendobrak
hambatan kepentingan negara dalam menyelamatkan dunia bebas dari genosida
dan kejahatan masal atas kemanusiaan.
Keempat adalah aktor media. Koalisi pergerakan masyarakat dan media
tidak akan langsung menghentikan genosida, namun dapat memotivasi pejabat
publik, sistem pengadilan internasional dan bahkan mendorong mobilisasi militer.
Jika ingin menjadikan R2P sebagai mekanisme efektif untuk mengakhiri kejahatan
masal, sejumlah besar masyarakat dunia harus bersikeras dan berupaya
menunjukkan keinginan tersebut sama sekali. Tidak ada pemimpin (dengan
reputasi) yang tidak menanggapi hal tersebut. R2P harus diimplementasikan dalam
berbagai level berbeda dalam pembuatan keputusan, tidak hanya diantara kekuatan
pejabat publik tetapi juga masyarakat umum.60 Pelibatan atensi masyarakat suatu
negara dapat menjadi provokasi tersendiri bagi arah kebijakan luar negeri suatu
pemerintahan.
Menurut Lyon, semakin banyak faktor yang hadir, maka legitimasi dan
penerimaan masyarakat sipil terhadap tindak intervensi tersebut semakin tinggi.
Seperti indikator-indikator yang dapat ditunjukkan tabel dibawah ini.61
60
William F. Schulz, “Spread Wide the Word: Organizing the Grassroots to End Atrocity Crimes“
dalam Responsibility to Protect: The Global Moral Compact for the 21st Century, ed. Richard H.
Cooper dan Juliette Voinov Kohler (New York: Palgrave Macmillan, 2009), 187.
61
Alynna J. Lyon, “Global Good Samaritans: When Do We Heed `the Responsibility to Protect`?“
Irish Studies in Internaitonal Affairs 20 (2009): 41-54.
http://www.jstor.org/discover/10.2307/25735149?uid=3738224&uid=2&uid=4&sid=2110252538
0537
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
44 Tabel. 3 Faktor potensial pengaruh realisasi R2P
Melihat hasil riset diatas, keterlibatan liputan media dan pembentukan
opini publik dapat menjadi faktor yang mengadvokasikan dilaksanakan atau
tidaknya suatu intervensi. Seperti pada tabel diatas, intervensi yang dilakukan ke
Somalia dan Kosovo dilakukan dengan adanya opini publik dan liputan media
yang mendukung aktor intervensi mengirimkan pasukan untuk menyelamatkan
isu kemanusiaan melalui intervensi militer. Berbeda halnya dengan Rwanda yang
sekalipun kasus pelanggaran HAM-nya jelas, namun minimnya peliputan media
dan rendahnya opini publik telah membentuk urgensi bagi intervensi militer yang
tegas ke negara tersebut. Negara dengan kekuatan dominan, menurut realisme,
pada dasarnya akan mendahulukan kepentingan nasionalnya. Namun, faktor
legitimasi yang dibentuk oleh masyarakat internasional dapat mendorong suatu
negara atau komunitas internasional untuk melakukan suatu kebijakan yang lebih
tegas, dalam hal ini penghentian tragedi kemanusiaan. Dengan hal ini negara big
power tersebut dapa mempertahankan pengaruhnya dalam politik internasional.
Aktor kelima adalah pihak swasta. pihak swasta pun dapat mengambil
andil dalam suatu mekanisme advokasi penyelamatan isu kemanusiaan. Kerangka
R2P dalam World Summit 2005 tidak akan terjadi tanpa dukungan dari The
Carnegie Corporation, William and Flora Hewlett Foundation, Macarthur
Foundation, Rockfeller Foundation, dan Simons Foundation. Mereka adalah entitas
yang turut mendukung pembentukan Comission on Intervention and State
Sovereignity (ICISS) oleh pemerintah Canada pada tahun 2000.
Laporan ICISS memformulasikan konsep tanggung jawab untuk
melindungi, mencegah, dan membangun (Responsibility to protect, to prevent, and
to rebuild) yang kini telah diterima secara global. Oleh karena itu, senada dengan
pesan Sekjen Ban Ki Moon yang mengadakan pameran yang bertemakan
“Pelajaran dari Genosida Rwanda,“ yaitu pencegahan genosida adalah tanggung
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
45 jawab kolektif dan individual. Setiap orang memiliki peranan: pemerintah, media,
organisasi masyarakat, kelompok agama and individu. Kemitraan global adalah hal
yang dibutuhkan.
Terdapat keuntungan komparatif yang dimiliki peranan pihak swasta
dibanding aktor pemerintah. Dalam beberapa kasus, pemerintah kurang bersedia
secara politik untuk bertindak karena harus mengorbankan uang dan waktu.
Sebagai contoh, saat Amerika telah banyak menghabiskan waktu dan uang untuk
Somalia, AS menolak secara bersamaan terlibat dalam kasus di Rwanda 1994. 62
Pihak swasta, berbeda dengan pemerintah, unggul dalam hal sumber daya
finansial, pengaruh, kemampuan bertindak cepat dan ketidakberpihakan. Tidak
adanya konflik kepentingan, pihak swasta memiliki independensi dalam upaya
investigasi HAM. Aktor swasta semacam ini dapat berkontribusi sebagai
komplementer upaya pemerintah dalam implementasi R2P dan upaya peacebuilding, termasuk sebagai mediator.
62
Adele Simmons dan April Donnellan, “Reaching Across Borders: Philantrophy`s Role in the
Prevention of Atrocity Crimes“ dalam Responsibility to Protect: The Global Moral Compact for
the 21st Century, ed. Richard H. Cooper dan Juliette Voinov Kohler (New York: Palgrave
Macmillan, 2009), 145.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
46 BAB IV:
ANALISIS TEORITIS
Melalui penjelasan diatas, perdebatan mengenai legitimasi intervensi
kemanusiaan R2P adalah suatu diskursus yang terbagi dan secara jelas
menimbulkan pertentangan pada tataran ide atas apa yang kemudian dinamakan
dengan legitimasi. Legitimasi legal terbentuk melalui kepatuhan atas peraturan
dalam Piagam PBB dan konvensi internasional terkait intervensi kemanusiaan dan
R2P. Dengan kata lain, aspek ini merupakan faktor regulatif dari ketentuan hukum
internasional yang mengatur interaksi dalam politik internasional. Sedangkan
legitimasi moral dibentuk atas dasar landasan kepatutan atas norma HAM
internasional bahwa komunitas internasional sudah selayaknya bertanggung jawab
untuk menghentikan tragedi kemanusiaan. Aspek moral ini menurut legitimasi
moral jauh lebih penting dibandingkan legitimasi legal dalam intervensi
kemanusiaan yang acap kali berhadapan dengan hambatan institusional dalam DK
PBB.
Melalui pembabakan perdebatan legalitas legal dan moral, penulis
berkesimpulan bahwa kedua aliran dan pandangan yang berbeda dalam
mendefinisikan aspek legitimasi ini merupakan perdebatan yang terjadi antara
narasi paradigma realisme dan konstruktivisme dalam ilmu hubungan
internasional. Kontestasi antara kedua paradigma ini dapat dijelaskan secara
komprehensif melalui penjelasan selanjutnya. Dalam penjelasan selanjutnya,
penulis akan menerangkan kontestasi yang terjadi melalui beberapa pembabakan
analisis, yaitu pertentangan antara: (1) Material melawan Ideasional, (2) Logika
konsekuensi (consequence) melawan logika kepatutan (appropriateness), (3)
Norma sebagai daya guna melawan norma sebagai hak,63 (4) Aktor Top-Down
melawan Agen Bottom-Up. Namun, sebelum menjelaskan keempat analisis
paradigmatis tersebut, subbab berikutnya akan terlebih dahulu menjelaskan secara
singkat teori realisme dan konstruktivisme.
63
Aspek No (1), (2), dan (3) merupakan penamaan kontestasi yang digunakan dalam pembahasan
rasionalisme Vs konstruktivisme oleh James Fearon dan Alexander Wendt, “Rationalism Vs
Constructivism: A Skeptical View,“ dalam Handbook of International Relations, ed. Walter
Carlsnaes, Thomas Risse, Beth A. Simmons (London: Sage Publication, 2002), 53-68.
46 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
47 4.1. Realisme dan Konstruktivisme
Realisme, sebagai salah satu teori tradisional dalam hubungan
internasional, memiliki fokus perhatian pada aktor negara. Hal ini tidak menafikan
peranan non-aktor seperti MNC, LSM, terorisme dan lainnya, tetapi negara
merupakan unit analisis utama dalam hubungan internasional. Selain itu, agenda
utama dalam realisme adalah keamanan nasional, dan isu lain seperti sosioekonomil dan lainnya merupakan agenda sekunder.64 E. H. Carr dan Hans. J.
Morgenthau adalah aktor penting yang memulai penggunaan istilah realisme
dalam hubungan internasional. Mereka mengklaim bahwa tidak ada harmoni
dalam kepentingan antar negara.65
Asumsi dalam realisme neoklasik oleh Morgenthau berpendapat bahwa
setiap manusia memiliki keinginan untuk meningkatkan power-nya.66 Politik pada
dasarnya adalah perjuangan atas power atas pihak lain dan proses mendapatkan,
mempertahankan dan menunjukkan power tersebut membentuk suatu teknik dari
kebijakan politik. 67 Dalam politik Internasional, negara selalu berfokus pada
kepentingan nasional seperti keamanan dan kemakmuran. Untuk melindungi
kepentingan tersebut, intervensi dapat menjadu suatu opsi. Morgenthau
menyatakan
bahwa
intervensi
dilakukan
ketika
kepentingan
nasional
membutuhkannya dan ketika kekuatan kita memungkinkan untuk melakukannya.
Hal ini dilakukan melalui kalkulasi kepentingan dan kekuatan yang dimiliki.68 Hal
inilah yang kemudian disebut sebagai Realpolitik, sebuah kebijakan yang
berlandaskan pada pertimbangan kekuatan dan kepentingan material dari pada
pertimbangan etis dan ideal.69 Suatu perhitungan dan rasionalitas negara lebih
penting dari pada pertimbangan etis dan moralitas.
64
Paul R. Viotti & Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism,
Globalism,“ 2nd ed. (New York: Macmillan Publishing Company, 1993), 63-64.
65
Martin Griffiths dan Terry O`Callaghan, IR The Key Concepts, (New York: Routledge, 2002),
261-263.
66
Robert Jackson and Georg Sørensen, Introduction to International Relations: Theories &
Approaches, 4th ed. (New York: Oxford University Press, 2010), 66.
67
Ibid.
68
Hans Morgenthau, “To Intervene or Not to Intervene,” Foreign Affairs (1967), 103.
http://www.foreignaffairs.com/articles/23877/hans-j-morgenthau/to-intervene-or-not-to-intervene
69
Alexander DeConde et al, Encyclopedia of American Foreign Policy (New York: Charles
Scribner`s Sons, 2002), 552.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
48 Kenneth Waltz, akademisi ternama dalam neorealisme, berpendapat
bahwa fokus dalam realisme terletak pada sistem internasional yang anarkis dan
ketiadaan wewenang sentral yang mengatur politik internasional. Dalam sistem
internasional self-help, kebijakan luar negeri suatu negara ditentukan berdasarkan
kepentingan
nasionalnya.
70
Negara
secara
kontinyu
berupaya
untuk
mempertahankan kepentingannya dan memastikan survival karena hanya dirinya
sendiri yang dapat mecanpai hal tersebut dalam sistem self-help. Dengan
demikian realisme klasik dan neorealisme memiliki kesamaan pada kepentingan
nasional dan keinginan negara untuk meningkatkan powernya. Sesuai narasi oleh
Hobbes yang pesimis akan karakter manusia yang mencitrakan keinginan negara
untuk terus menjadi kekuatan politik yang kuat karena ketiadaan “leviathan“ atau
kekuatan supernasional.71 Perbedaan keduanya terletak pada realisme klasik yang
berfokus pada karakter manusia yang mencari power, sedangkan neorealisme
berfokus pada sistem internasional yang anarkis.
Namun, politik tidak hanya sekedar perjuangan atas kekuatan, tetapi juga
suatu kontes dalam legitimasi. Power dan legitimasi adalah dua hal yang tidak
anti-tesis atau bertentangan, tetapi komplementer. Manusia pada dasarnya bukan
seutuhnya makhluk moral dan bukan pula seutuhnya sinis. 72 Adalah fakta politik
bahwa kepercayaan atas benar dan salah membantu seseorang untuk mengarahkan
tindakannya, dan oleh karena itu legitimasi merupakan salah satu sumber dari
kekuatan. Jika suatu negara dianggap tidak memiliki legitimasi, biaya politik dari
suatu kebijakan akan menjadi tinggi. Negara merujuk pada hukum internasional
dan organisasi untuk melakukan legitimasi terhadap kebijakan negaranya, dan hal
tersebut membentuk taktik dan hasil kebijakan.
***
Berbeda dari realisme, konsktruktivis adalah pendekatan dalam hubungan
internasional yang menekankan pada dimensi sosial dan intersubjektif dalam
politik dunia. Konstruktivis menentang bahwa hubungan internasional dapat
dipersempit dalam aksi rasional dan interaksi dalam hubungan material (seperti
70
Jonelle Lonergan, “Neo-Realism and Humanitarian Action: From Cold War to Our Days,”
Journal of Humanitarian Assistance (2011): 58.
71
Viotti Kauppi, International Relations Theory, 40.
72
Oded Lowenheim, Predators and Parasites: Persistent Agents of Transnational Harm and
Great Power Authority (US: University of Michigan Press, 2009), 35-36.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
49 nosi realis) atau dalam hambatan institusional (seperti nosi liberal). Bagi
konstruktivis, interaksi negara tidak mutlak ditentukan kepentingan nasional saja
tetapi dapat dimengerti sebagai suatu pola aksi yang membentuk dan dibentuk
oleh identitas yang terus berkembang seiring dengan waktu. Konstruktivis sosial
menunjukkan bahwa model interaksi interasional yang berbicara tentang pengaruh
normatif dalam struktur fundamental dari isntitusi dan hubungan antara perubahan
normatif dan identitas negara dan kepentingan. 73
Institusi internasional memiliki fungsi regulatif dan konstitutif. Norma
regulatif mengatur peraturan dasar untuk standardisasi pelaksanaan suatu
tindakan. Norma konstitutif mendefinisikan suatu tindakan dan membentuk suatu
arti terhadap perilaku tersebut. Tanpa norma konstitutif, suatu aksi tidak dapat
dimengerti
secara
komprehensif.
Analogi
yang
paling
baik
dalam
mengilustrasikan pendekatan ini adalah suatu peraturan permainan, yaitu catur.
Norma konstitutif memungkinkan aktor untuk bermain dan membentuk
pengetahuan penting bagi aktor untuk melakukan respon terhadap langkah dan
strategsi satu sama lain.74 Institusi pada dasarnya adalah entitas kognitif yang
tidak ada tanpa adanya ide dari aktor tentang bagaimana dunia berinteraksi.
Konstruktivis memberikan perhatian yang lebih kepada institusi yang lahir atas
hal fundamental dalam masyarakat internaisonal, seperti hukum internasional,
diplomasi dan kedaulatan. Namun, rezim juga merupakan hal yang penting karena
dapat membentuk dampak yang bersifat konstitutif dan normatif.
73
74
Martin Griffiths dan Terry O`Callaghan, IR The Key Concepts, 50-51.
Ibid.,
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
50 4.1.1. HAM Internasional
Bagi seorang realis, norma internasional seperti HAM lahir dan mendapat
penerimaan melalui nilai tersebut dipromosikan oleh kekuatan hegemon atau
kelompok negara yang dominan.
75
Konten dari isu HAM merefleksikan
kepentingan dari negara tersebut yang memiliki keunggulan lebih kekuatan militer
dan ekonomi.76
Di lain pihak, konstruktivis mempertanyakan penjelasan berbasis
kepentingan oleh negara dalam sistem internasional. Ruggie berpendapat bahwa
mengetahui struktur kekuatan internasional membantu untuk mengerti bentuk
tatanan tetapi tidak isinya. Dibutuhkan informasi tambahan tentang norma dan ide
itu sendiri melalui struktur dari tujuan sosial, mengetahui konten dan konsekuensi.
Bagi konstruktivis, norma seperti HAM internasional menerima kekuatannya
karena kualitas universal intrinsiknya.
Menurut Schmitz dan Sikkink, terdapat tiga ketentuan konstruktivis terkait
HAM internasional. Pertama, kekuatan normatif memiki keterkaitan langsung
dengan prinsip Barat atau berasal dari potensinya untuk berkembang dengan ide
kehormatan manusia yang ada di berbagai kultur berbeda di seluruh dunia. Kedua,
suatu revolusi atau krisis besar dapat menjadikan pergeseran kekuatan yang akan
mempercepat penerimaan atas suatu ide dan norma baru. Sebagai misal akhir dari
Holocaust telah mendesak konsensus dunia untuk mengadopsi apa yang disebut
sebagai deklarasi universal HAM. Ketiga, aktor non-negara seperti Amnesty
internasional telah lahir sebagai aktor utama dalam HAM di tingkat global.77
Partisipasi mereka telah memiliki konstribusi tersendiri untuk mendapat
pengakuan dari aktor negara berdasarkan hasil kerja yang terpercaya dan
informasi akar rumput yang baik. Schmitz dan Sikkink menyimpulkan analisis
teoritisnya mengenai HAM internasional melalui tabel dibawah ini.78
75
John G. Ikenberry dan Charles Kupchan, The Cost of Victory, 283-315.
Sephen D. Krasner, “Sovereignity, Regimes, and Human Rights,“ dalam Regime Theory and
International Relations, ed. Volker Rittberger (Oxford: Clarendon Press, 1993) 66.
77
Ann Marie Clark, Diplomacy of Conscience: Amnesty International and Changing Human
Rights (Princeton: Princeton University Press, 2001), 165.
78
Hans Peter Schmitz, Kathryn Sikkink, “International Human Rights“ dalam Handbook of
International Relations, ed. Walter Calrsness, Thomas Risse dan Beth A. Simmons (London: Sage
Publication, 2002), 522-524.
76
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
51 Tabel. 4 HAM Internasional dalam Realisme dan Konstruktivisme
Teori
Asal
Evolusi
Jalur
Kepatuhan
Realisme
Pemaksaan
hegemoni
Dominasi
hegemoni
Praktek
kekerasan
Konstruktivisme
Mobilisasi
normatif
melalui
Perkembangan
norma dan
sosialisasi
transaksional
“norm
entrepreneur“
Mode aksi
Dominasi
dan
adaptasi
Penerimaan
Logika
aktif;
kepatutan:
sosialisasi
argumentasi
oleh jaringan
moral
advokasi
transnasional
Realisme berpendapat bahwa HAM internasional pada dasarnya
merupakan pemaksaan penerimaan nilai dan norma HAM yang dilakukan oleh
kekuatan
hegemoni
untuk
tetap
mempertahankan
kekuatannya
dengan
menyebarkan nilai yang dianutnya. Untuk mengembangkannya, seorang realis
tidak akan sungkan untuk melakukan suatu praktek kekerasan agar norma yang
dianutnya dapat diterima. Meskipun upaya dominasi ditunjukkan untuk
mempertahankan kekuatan dan kepentingan nasional, realis akan berupaya untuk
beradaptasi dalam menggunakan media dan saluran yang dapat digunakan,
termasuk upaya justifikasi dalam mendapatkan legitimasi.
Dilain pihak, konstruktivis percaya bahwa HAM internasional datang
melalui suatu upaya sosialisasi norma oleh apa yang disebut dengan “norm
entrepreneur.“ Suatu norma pada dasarnya membentuk nila-nilai yang dianut
aktor
internasional
dan
suatu
interaksi
sosial
kemudian
menyebabkan
pembentukan aspek baru dalam norma tersebut; hal yang disebut sebagai aspek
konstitutif dalam aspek institusional konstruktivisme. Suatu perkembangan yang
melalui proses yang timbal balik ini menciptakan suatu penerimaan aktif terhadap
nilai. Suatu jaringan advokasi internasional juga secara signifikan berkontribusi
pada penerimaan HAM internasional dengan kesadaran aktor yang bersangkutan.
Suatu penerimaan ini pada akhirnya tercipta karena adanya kesadara moralitas dan
logika kepatutan bahwa manusia memiliki hak dasar yang sama dalam hidup
untuk dapat terlindungi dari kekerasan dan suatu tirani.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
52 4.2. Kontestasi Paradigmatis dalam Aspek Legitimasi
4.2.1. Material melawan Ideasional
Perdebatan antara legitimasi legal dan moral dalam intervensi berupa
kontestasi antara aspek material melawan ideasional suatu doktrin. Salah satu
perbedaan mendasar dalam paradigma realisme dan konstruktivis adalah fokus
terhadap faktor material dan faktor ide atau suatu nilai dalam masyarakat
internasional. Sebagai seorang rasionalis, realisme percaya bahwa suatu aktor
selalu bertindak atas dasar kepentingan diri atas suatu keuntungan material,
sedangkan konstruktivis percaya bahwa manusia selalu bertindak dengan landasan
norma atau nilai universal yang diakui dalam banyak kultur – suatu abstraksi nilai
yang secara bersama diyakini dan dipercayai dalam menjalani hidup.
79
Konstruktivisme tidak menolak adanya kepentingan material yang melandasi
pemikiran dan tindak-tanduk seseorang tetapi meyakini bahwa terdapat peranan
kesadaran sosial (social consciousness) yang lebih mendasari tindakan awal dari
suatu kebijakan.
Seorang realis tetap berupaya untuk membentuk justifikasi kemanusiaan
dalam aksi intervensinya. Oded Lowenheim berargumen bahwa power dan
legitimacy pada akhirnya bukan sesuatu yang anti-tesis tetapi saling melengkapi.
Adanya institusi PBB menjadi potensi negara kekuatan besar untuk membentuk
legitimasi dan menciptakan tingkat wewenangnya dalam organisasi tersebut.
Sehingga, kekuatan material dasar yang dimiliki di tingkatkan dalam suatu
konvensi sosial internasional dalam bentuk legitimasi. Namun, sesuai logika
dasarnya yang materialistik, legitimasi dapat diabaikan ketika kepentingan
nasional yang ingin dituju jauh lebih penting dan signifikan bagi negara.
Dalam konteks ini, seorang realis akan melakukan intervensi kemanusiaan
terhadap negara yang dirasa merupakan bagian dari kepentingan nasionalnya
untuk menghentikan tragedi kemanusiaan yang ada dan menjaga stabilitas serta
kontrol di negara atau kawasan tersebut. Kemudian, realis cenderung memandang
sebelah mata terhadap tragedi kemanusiaan di negara lain. Hal inilah yang
79
James Fearon dan Alexander Wendt, “Rationalism Vs Constructivism: A Skeptical View,“
dalam Handbook of International Relations, ed. Walter Carlsnaes, Thomas Risse, Beth A.
Simmons (London: Sage Publication, 2002), 58-59.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
53 mengangkat isu selektivitas dalam intervensi. Ketika Somalia, Rwanda,
Srebrenica dan Darfur dinilai tidak begiu urjen untuk intervensi militer yang
tegas, kasus di Irak 2003 dan Georgia 2008 menjadi intervensi yang dilakukan
oleh negara P5 sekalipun tanpa validasi dari DK PBB. Padahal kasus di negaranegara yang disebut diawal (Somalia, Rwanda) menunjukkan pelanggaran HAM
internasional yang nyata, tetapi tidak ada intervensi militer yang tegas untuk
menghentikan pelanggaran HAM yang terjadi.
Begitu pula dengan intervensi NATO di Kosovo dan Libya. NATO
memiliki kepentingan untuk melindungi keamanan kawasannya dan AS ingin
menunjukkan kontrol keamanannya di Eropa melalui peranan NATO untuk
intervensi kemanusiaan di Kosovo. Sama halnya di Libya 2011, AS dan sekutu
melakukan intervensi untuk mempertahankan pengaruh politik di Libya dan
kawasan Timur Tengah, terkait dengan kepentingannya akan percadangan minyak
terbesar di kawasan tersebut. Disinilah realisme berhasil menjelaskan perdebatan
legitimasi intervensi kemanusiaan yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh negara
adidaya untuk melancarkan dan melindungi kepentingan material nasionalnya.
Dari aspek konstruktifis, Ide bahwa manusia memiliki kehormatan untuk
mendapat perlindungan dari kekerasan adalah nilai yang diakui dalam berbagai
kultur diseluruh dunia. Ide ini merupakan nilai universal yang dibawa dalam R2P
yang seharusnya dapat dimenangkan melalui doktrin R2P. Akan tetapi, dunia
yang anarkis dan eksistensi realpolitik terus menjadi bayangan yang akan selalu
ada dalam menegakkan norma HAM melalui instrimen internasional yang disebut
dengan R2P.
4.2.2. Logika konsekuensi melawan logika kepatutan
(Logic of consequence Vs logic of appropriateness)
Cara berikut dalam melihat kontestasi realisme dan konstruktivisme dalam
menginterpretasikan perdebatan legitimasi intervensi kemanusiaan adalah dengan
menarik premisnya ke dalam tataran logika berpikir. Logika konsekuensi
merupakan suatu pola berpikir yang menilai suatu tindakan berdasarkan kalkulasi
terhadap mekanisme mana yang paling efisien. Sedangkan logika kepatutan
adalah pola pikir yang bertindak melalui pertimbangan penerimaan atas suatu
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
54 kebiasaan yang telah ada dalam masyarakat; hal-hal apa saja yang pantas untuk
dilakukan. Hal ini berarti melalui logika kepatutan, manusia bertindak untuk dapat
secara sosial diterima dan dianggap sesuatu yang patut untuk dilaksanakan.
Logika kepatutan merupakan premis yang membentuk legitimasi moral
dalam pelaksanakaan intervensi kemanusiaan. Legitimasi inilah yang kemudian
memenangkan invasi NATO ke Kosovo tahun 1999 yang dianggap beberapa ahli
(Eric A. Heinze, Richard Falk) sebagai sesuatu yang memiliki legitimasi moral
dan penerimaan internasional meskipun ilegal karena terhambat oleh veto Cina
dan Rusia. Intervensi dianggap dapat diterima karena hal tersebut adalah suatu
kebijakan yang patut dilakukan untuk menyelamatkan warga Albania dan Serbia
Kosovo. Perkembangan logika kepatutan moral ini mencerminkan bahwa
internalisasi dari norma HAM internasional terus berkembang dan mendapat
atensi yang kuat dari berbagai pihak internasional.
Logika konsekuensi dalam bagian ini dapat menjelaskan bagaimana
realisme
menjadi
paradigma
yang
melatarbelakangi
negara
untuk
mempertahankan negara dan isu keamanannya. Sebagai contoh, Intervensi AS ke
Irak 2003 dan Rusia ke Georgia 2008 merupakan upaya intervensi (namun tidak
legitimasi) yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai self-defense. Meskipun
power dan legitimasi dapat menjadi komponen yang saling melengkapi, intervensi
Irak dan Georgia dilakukan tanpa legitimasi sama sekali oleh PBB dan
masyarakat internasional. Hal dilakukan dengan pertimbangan kuat atas
kepentingan
nasional
negara
pengintervensi
untuk
mendapatkan
atau
mempertahankan kepentingan mereka di negara yang bersangkutan. Kuatnya
keinginan
tersebut
melampaui
signifikansi
pembentukan
legitimasi
dan
mengambil konsekuensi untuk tetap melancarkan intervensi secara unilateral
tanpa landasan hukum dan pengakuan internasional. Aspek legalitas secara
pragmatis ditinggalkan karena apabila intervensi tidak dilakukan, konsekuensi
atau biaya politik (political cost) yang akan ditanggung menjadi signifikan.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
55 4.2.3. Norma sebagai kegunaan melawan norma sebagai hak
Rasionalis berpendapat bahwa manusia mengikuti norma sesuai hanya
karena dan ketika kepatuhan tersebut memiliki manfaat untuknya, sedangkan
konstruktivis menganggap bahwa seseorang termotivasi untuk mengikuti norma
karena mereka berpikir hal tersebutlah yang benar atau memiliki legitimasi untuk
dilakukan, bukan karena pragmatis untuk kepentingan sendiri. Kontruktivis
melihat suatu preferensi atas norma (tindakan atau norma apa yang akan
diprioritaskan) seperti `taste`, sebagai contoh untuk coklat (makanan); di mana
preferensi tersebut tidak mendahului dan melanggar suatu kekuatan norma yang
mendasarinya.80
Aspek legalitas dalam dokumen dan konvensi mengenai R2P yang multiinterpretatif dan kurang spesifik menjadi alat rasionalisasi bagi seorang realis
untuk menentukan perlunya intervensi dilakukan atau tidak. Rasionalisasi ini
dilakukan oleh anggota P5 yang memiliki sentralitas dalam pelaksanaan intervensi
kemanusiaan. Hal ini menjadi suatu cara tersendiri untuk melakukan praktik
kekerasan dengan justifikasi R2P.
Beberapa aspek yang menjadi celah interpretasi tersebut adalah: (1) R2P
sebagai tanggung jawab bersama tidak secara jelas menyatakan pihak atau
institusi mana yang pada akhirnya memiliki hak dan kewajiban dalam aksi
intervensi. (2) Tidak dimasukkannya kriteria Just War, (3) ketidakjelasan
indikator kegagalan negara dalam melindungi warga sipilnya (sehingga aksi
intervensi militer dapat dilakukan) dengan membentuk suatu rasional yang
meyakinkan bahwa negara yang bersangkutan telah gagal atau belum dapat
melindungi warganya. Beberapa faktor ini mencerminkan suatu upaya legalisasi
R2P secara moderat ke dalam hukum internasional, sehingga Dewan keamanan
lebih memiliki keluwesan dalam menginterpretasikan kapan, kepada siapa dan
bagaimana intervensi militer dapat dilaksanakan. Suatu norma yang dijadikan
kegunaan bagi kepentingan nasional pihak atau negara tertentu.
Ambiguitas dalam menginterpretasikan juga dapat dilihat dalam berbagai
pidato oleh pemimpin negara aktor intervensi. Sebagai contoh, Tony Blair
80
Alexander Wendt, Rationalism Vs Constructivism, 60-61.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
56 menyatakan pandangannya tentang invasi Kosovo pada April 199981, sebagai
berikut:
“Under international law a limited use of force can be justifiable in
support of purposes laid down by the Security Council but without the
Council’s express authorization when that is the only means to avert an
immediate an overwhelming humanitarian catastrophe. Any such case
would in the nature of things be exceptional and would depend on an
objective assessment of the factual circumstances at the time and on the
terms of relevant decisions of the Security Council bearing on the
situation in question.“
Dalam pernyataan diatas terlihat argumen pemerintah inggris yang cukup
ambigu dan multi-interpretatif. Pertama bencana kemanusiaan luar biasa
(overwhelming humanitarian catastrophe) yang disebutkan pada akhirnya
dapat diinterpretasikan secara subjektif dan tidak terukur secara jelas. Kedua,
Kasus luar biasa tersebut pada akhirnya akan diputuskan melalui keputusan
relevan dari DK sehingga kekuatan politik DK PBB untuk menentukan kapan
intervensi tanpa wewenang dapat dilakukan masih menjadi keuntungan
interpretasi subjektif dari salah satu atau beberapa anggota DK PBB saja. Hal
ini menjelaskan bagaimana norma dapat dilihat sebagai suatu kegunaan.
Di lain pihak, konstruktivis memandang suatu kodifikasi R2P dalam
sistem PBB sebagai upaya untuk menegakkan norma HAM sebagai norma yang
universal dan dapat dimiliki oleh setiap individu di atas dunia. Perkembangan dan
evolusi doktrin intervensi kemanusiaan menjadi kewajiban untuk melindungi atau
R2P setidaknya membuktikan penguatan suatu nilai intrinsik universal atas Hak
Azazi manusia bagi komunitas internasional. Untuk itu, suatu persepsi hak
sebagai norma universal harus tetap dipegang teguh dan dipromosikan kepada
dunia.
81
Jane Stromseth, Rethinking Humanitarian Intervention, 247.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
57 4.2.4. Aktor Top-Down melawan Agen Bottom-Up
Konstruktivis
memberikan
penjelasan
sosiologis
dalam
sistem
internasional bahwa aturan menjadi suatu bagian dari identitas aktor melalui
proses aktif sosialisasi dan internalisasi.82 Seseorang pun mengadopsi suatu aturan
bukan karena seutuhnya ia percaya kepada aturan tersebut, tetapi juga karena
proses konformitas untuk membentuk suatu keadaan legitimasi. 83 Hal ini
memberikan penjelasan bahwa suatu norma HAM internasional dan doktrin R2P
dapat menjadi suatu nilai yang berkembang dan berkelanjutan melalui proses
sosialisasi dan advokasi sehingga dapat memperdalam internalisasi nilai tersebut
kepada suatu aktor atau komunitas. Dengan demikian, suatu proses negosiasi,
sosialisasi dan advokasi kepada komunitas internasional untuk menciptakan
kepatutan dalam pelaksanaan intervensi kemanusiaan adalah hal yang siginifikan
dan memiliki arti penting untuk dilakukan.
Skeptisme yang muncul antara negara utara dan selatan atas kecurigaan
(imperialisme modern) dalam upaya intervensi adalah hal yang nyata. Namun, hal
ini bukan berarti suatu upaya bottom-up tidak akan mempengaruhi perkembangan
nilai dan norma internasional dan bagaimana aktor-aktor terkait (terutama negara)
dalam melihat, meyakini dan bertindak terhadap norma HAM internasional
tersebut.
Menurut Risse, sosialisasi dan aktor non-negara memiliki peranan
berbeda yaitu sebagai agent of change.84 Krasner juga mengatakan bahwa aktor
negara yang terlibat dalam imitasi mimesis (mimetic imitation/ secara habitual
menjadi terbiasa) dalam bentuk superfisial karena mereka tidak yakin terhadap hal
yang harus dilakuan.85 Dengan demikian, suatu upaya negosiasi dan diskusi yang
berkelanjutan akan membentuk kebiasaan dan akhirnya penerimaan terhadap
seberapa intens kita menginginkan konsep R2P dipegang dan dilaksanakan
sebagai kebijakan politik internasional.
82
Risse et all, The power of Human Rights: International Norms and Domestic Change
(Cambridge: Cambridg University, 1999), 134.
83
William H. Meyer, “Confirming, Infirming, and Falsifying Theory of Human Rights: Reflection
on Smith, Bolyard and Oppolito through the Lens of Lakatos,“ Human Rights Quarterly, 21
(1997): 189.
84
Risse, Thomas, Ropp, Stephen dan Sikkink, Kathryn (eds), The Power of Human Rights:
International Norms and Domestic Change (Cambridge: Cambridg University, 1999), 228.
85
Stephen D. Krasner, Sovereignty: Organized Hypocrisy (Princeton: Princeton University Press,
1999), 64. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
58 Jika aspek legalitas dalam legitimasi hanya menciptakan suatu pendekatan
top-down dalam pembuatan kebijakan intervensi kemanusiaan dengan sentralitas
DK PBB yang begitu kuat, legitimasi moral menjelaskan peranan agen-agen
lainnya yang dapat menyokong penerapan doktrin R2P. Melalui pembahasan
bagian akhir dalam aspek legitimasi moral, kita dapat mengidentifikasi beberapa
aktor yang dapat berkontribusi dalam proses sosialisasi dan internalisasi doktrin
R2P dalam intervensi yaitu: agen independen, aktor negara dan organisasi
kawasan, organisasi HAM, media, dan pihak swasta.
Dalam proposal peranan aktor ini, upaya negara selatan atau negara
berkembang tentunya akan berkontribusi pada penegakkan penerapan intervensi
kemanusiaan yang lebih transparan dan adil terhadap tragedi kemanusiaan.
Konstruktivis telah memberikan aspek emansipasi dalam perkembangan norma
HAM internasional dan internalisasi penerapan doktrin R2P. Melalui kapabilitas
dan peranan masing-masing, aktor tersebut diatas sejatinya dapat berkontribusi
secara signifikan dalam membentuk implementasi R2P yang lebih adil dan tepat
sasaran dalam menanggulangi tragedi kemanusiaan di berbagai belahan dunia.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
59 BAB V:
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Sebagai suatu norma internasional yang terus berkembang, intervensi
kemanusiaan/ Responsibility to Protect (R2P) menghadapi berbagai dilema politik
dalam tataran perumusan kebijakan dan implementasinya dalam sistem PBB.
Dilema tersebut terjadi dalam aspek legitimasi, legalitas, moral dan metode
intervensi. Dalam aspek legitimasi, terdapat perbedaan pandangan dalam
menentukan apakah suatu intervensi memiliki legitimasi atau tidak dalam
kebijakannya. Pada satu sisi, legitimasi dilihat sebagai suatu konformitas terhadap
aturan dan hukum yang ada sehingga membentuk legitimasi legal. Di lain pihak,
legitimasi dilihat sebagai suatu penerimaan komunitas internasional dengan dasar
nilai moralitas suatu intervensi melalui justifikasi tragedi kemanusiaan di suatu
negara dan aktor intervensi yang multilateral. Perbedaan pandangan ini terjadi
akibat acap kali terjadi kontestasi kepentingan politik diantara negara anggota
Dewan Keamanan (DK) PBB dalam memutuskan suatu kebijakan intervensi.
Alhasil, muncul nuansa skeptisme dari berbagai pihak, termasuk negara selatan
yang curiga akan keranga intervensi yang dapat digunakan negara big power
sebagai upaya imperialisme modern.
Skeptisme muncul dari perdebatan legal dan moral yang melandasi suatu
intervensi yang bertabrakan degan kontestasi kepentingan dan penggunaan veto
dalam Dewan Keamanan (DK) PBB. Intervensi ke Kosovo, Irak, Georgia
merupakan contoh kebijakan intervensi yang dilancarkan tanpa wewenang PBB
dan menciptakan fase baru bagi doktrin R2P. Perdebatan terletak pada pertanyaan
apakah suatu intervensi harus dilakukan melalui legitimasi legal atau legitimasi
moral atau dengan prasyarat kedua aspek legitimasi tersebut. Namun demikian,
R2P kian terus berkembang hingga digunakan secara resmi dalam sistem PBB
pada tahun 2005. Tanpa adanya legitimasi, sudah jelas intervensi kemanusiaan
akan semakin mempertajam kesenjangan dan kecurigaan antar negara (antar
negara maju dan negara berkembang yang dapat menjadi potensi target
intervensi).
59 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
60 Kajian ilmiah dalam review literatur ini menghasilkan pemetaan
perdebatan yang terjadi dalam aspek legalitas dan aspek moralitas dalam
pembentukan legitimasi kebijakan intervensi kemanusiaan PBB. Aspek legalitas
dilihat melalui tiga unit analisis yaitu wewenang Dewan Keamanan PBB yang
mencerminkan sentralitas anggota DK PBB, mekanisme prosedural aktor
intervensi yang ada dalam sistem PBB, dan analisis dokumen dan konvensi terkait
intervensi kemanusiaan/ R2P. Sedangkan aspek moralitas pembentuk legitimasi
ditelaah melalui tiga unit analisis yakni perkembangan doktrin R2P sebagai norma
internasional, legitimasi moral yang dibentuk formasi multilateralisme dalam
intervensi dan kualifikasi humaniter aktor, dan proposal tentang aktor intervensi.
Melalui analisis komparatif dalam tiga unit analisis tersebut, review
literatur ini mengidentifikasi bahwa pertentangan yang terjadi antara aspek-aspek
pembentukan legitimasi diatas merupakan pengejawantahan dari pertentangan
paradigmatis yang ada dalam teori ilmu hubungan internasional: realisme dan
konstruktivisme. Perdebatan ini dapat dilihat melalui gambaran empat analisis,
yaitu: (1) faktor material lawan ideasional, (2) logika konsekuensi lawan logika
kepatutan, (3) norma sebagai kegunaan lawan norma sebagai hak, dan (4) aktor
top-down lawan agen bottom-up.
Literatur review ini tidak bermaksud untuk menilai aspek legitimasi yang
mana yang lebih baik maupun teori ilmu hubungan internasional mana yang lebih
bisa menjelaskan dilema politik dalam legitimasi intervensi kemanusiaan. Analisis
dilakukan untuk memetakan perdebatan akademis yang ada dalam suatu kajian
ilmiah dan mengektraksikannya dalam analisis teoritis. Satu hal penting yang
dapat dimengerti dari pembahasan dalam literatur review ini adalah bahwa
meskipun
intervensi
kemanusiaan
dan
R2P
memiliki
kerentanan
atas
penyalahgunaan (abuse) terhadap kepentingan suatu pihak tertentu, penjelasan
konstruktivisme dapat mengangkat aspek emansipasi dalam penerapan R2P dan
internalisasi aspek legitimasi dalam norma HAM internasional. Suatu diskursus
norma R2P harus tetap dilanjutkan untuk sosialisasi dan advokasi tujuan
kemanusian di komunitas internasional. Pendekatan bottom-up oleh aktor negara
(termasuk negara selatan) dan non-negara dapat secara signifikan berkontribusi
untuk memperkuat doktrin R2P dan membentuk legitimasi menuju penciptaan
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
61 intervensi kemanusiaan yang adil dan bermoral, menyelamatkan individu dari
kejahatan kemanusiaan. Melalui diskursus ini, seperti argumen Mulligan dan
Clark, legitimasi pada akhirnya dapat berkembang menjadi suatu pemaknaan
terhadap norma di mana masyarakat internasional dapat melihat suatu peristiwa
sesuai dengan kompleksitas dengan dinamika politik, aspek legal-moral,
konsensus dan isu power dalam tataran praktis.
5.2. Rekomendasi
Analisis paradigmatis yang dilakukan dalam membandingkan aspek
legitimasi suatu intervensi kemanusiaan dalam review literatur ini telah
memberikan gambaran analisis kontestasi dua teori besar dalam ilmu hubungan
internasional. Namun, penulis menyadari bahwa kajian ilmiah ini hanya berfokus
pada analisis aspek legitimasi pada tataran ide dan teori ilmu hubungan
internasional, tanpa melakukan penelitian dan survei terhadap interpretasi negaranegara anggota PBB dalam melihat legitimasi moral doktrin R2P. Oleh karena itu,
dibutuhkan suatu penelitian lanjutan yang dapat menelaah secara lebih mendalam
pertentangan legitimasi tersebut dalam tataran praktis kebijakan politik
internasional dan posisi negara terhadap legitimasi moral dalam intervensi
kemanusiaan.
Kajian ilmiah ini juga memberikan rekomendasi kepada negara selatan
dan aktor non-negara untuk dapat berperan aktif dalam proses sosialisasi dan
internalisasi suatu nilai dan norma R2P sebagai instrumen penyelamatan isu
kemanusiaan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Dengan peranan Bottom-up
dari aktor tersebut, maka suatu proses konformitas terhadap doktrin dan
mekanisme kolaborasi serta check and balance dapat menyokong penciptaan
intervensi yang adil dan tepat sasaran.
Semoga kajian dalam review literatur ini dapat memberikan landasan
untuk pembahasan dan penelitian terkait selanjutnya dan memberikan inspirasi
serta manfaat akademis maupun praktis bagi pembaca.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
62 DAFTAR REFERENSI
“World Tribunal on Iraq,“ Transnational Institute, terakhir dimodifikasi 17
November 2005, diakses 2 Mei 2013, http://www.tni.org/archives/mildocs_wti.
A. J. R. Groom dan Taylor, Paul. “The United Nations System and the Kosovo
Crisis.“ Dalam Kosovo and the Challenge of Humanitarian Intervention:
Selective Indignation, Collective Action, and International Citizenship. Diedit
oleh Albrecht Schnabel & Ramesh Takur, 291-318. Tokyo: United Nations
University, 2002.
Archibugi, Daniele. “Cosmopolitan Guidelines for Humanitarian Intervention.“
dalam
Global,
Local,
Political,
29,
no.
1
(2004).
https://proxylogin.nus.edu.sg/libproxy1/public/login.asp?logup=false&url=htt
p://www.jstor.org/stable/40645102
Bellamy, Alex J., Motives, outcomes, Intent and the Legitimacy of Humanitarian
Intervention, (Brisbane: University of Quesland, 2004).
Chomsky, Noam. Humanitarian Intervention. Dalam Boston Review Edisi
(Desember 1993/ Januari 1994). http://www.chomsky.info/articles/199401-02.htm
Christian, Reus-Smit, “International Crisis of Legitimacy.“ Dalam International
Politics (2007) 44, doi:10.1057/palgrave.ip.8800182.
Clark, Ann Marie. Diplomacy of Conscience: Amnesty International and
Changing Human Rigts. Princeton: Princeton University Press, 2001.
David Chandler, The Responsibility to protect, Center for the Study of
Democracy, University Westminster, http://www.tandfonline.com/loi/finp20.
De Conde, Alexander, Richard Dean Burns, Fredrik Logevall, dan Louise B.
kertz. Encyclopedia of American Foreign Policy. New York: Charles
Scribner`s Sons, 2002.
Dunne, Tim & Gifkins, Jess. “Libya and the State of Intervention.“ Australian
Journal
of
International
Alffairs
Vol.
65,
No.
5
http://www.tandfonline.com/loi/caji20.
Evan, Gareth. The World Today. 68. 8/9 (Oct/ Nov 2012): 30-32
.earch.proquest.com.libproxy1.nus.edu.sg/docview/1170904293.
Evans, Gareth. “Russia in Georgia: Not a Case of The Responsibility to Protect.“
New Perspectives Quarterly 25, no. 4 (2008). The center for the Study of
Democratic Institutions. /doi/10.1111/npqu.2008.25.issue-4/issuetoc.
Evans, Gareth. The Responsibility to Protect: Ending Mass Atrocity Crimes Once
and For All, Washington: Brookings Institution, 2008.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
63 Falk, Richard. Civil Society Perspectives on Humanitarian Intervention. dalam
Journal
of
Civil
Society
Vol.
4,
No.
1,3-14,
(2008).
http://www.researchgate.net/journal/1744-8689_Journal_of_Civil_Society.
Feinstein, Lee dan Erica. Beyond De Bruin. “Words: U.S. Policy and the
Responsibility to Protect.“ Dalam Responsibility to Protect: The Global
Moral Compact for the 21st Century. Diedit oleh Richard Cooper H. &
Juliette Voinov Kohler, 139. New York: Palgrave Macmillan. 2009.
Garwood, Andrew. China and the Responsibility to Protect: The Implications of
the Libyan Intervention,“ Asian Journal of International Law 2 (2012): 375393. http://eprints.qut.edu.au/49903/
Glanville, Luke. “The International Community`s Responsibility.“ dalam
Protecting the Displaced: Deepening the Responsibility to Protect. Diedit
oleh Davies, Sara E. dan Luke Glanville, 225. Netherlands: Koninklijke Brill
NV, 2010.
Graubart, Jonathan. R2P and Pragmatic Liberal Interventionsim: Values in the
Service of Interests. Human Rights Quarterly 35 (2013) 69-90. US: The John
Hopkins University Press, 2013.
Griffiths, Martin dan Terry O`Callaghan. IR The Key Concepts. New York:
Routledge, 2002.
Hehir, Aidan. Humanitarian Intervention: An Introduction. London: Palgrave
Macmillan, 2010.
Heinze, Eric. A. Waging Humanitarian Law: the Ethics, Law, and Politics of
Humanitarian Intervention. Oxford: Oxford University Press, 2005.
Ikenberry, G. John. “The Costs of Victory: American Power and the Use of Force
in the Contemporary Order.“ Dalam Kosovo and the Challenge of
Humanitarian: Selective Indignation, Collective Action, and International
Citizenship. Diedit oleh Albrecht Schnabel dan Ramesh Takur, 283-315.
Tokyo: United Nations University Press, 2000.
Jackson, Robert & Sørensen, Georg. Introduction to International Relations:
Theories &Approaches. 4th ed. New York: Oxford University Press, 2010.
Jonelle Lonergan. “Neo-Realism and Humanitarian Action: From Cold War to
Our Days.“ Journal of Humanitarian Assistance, (2011).
Krasner, Sephen D. “Sovereignity, Regimes, and Human Rights.“ dalam Regime
Theory and International Relations. Diedit oleh Volker Rittberger, 66.
Oxford: Clarendon Press, 1993.
Krasner, Stephen D. Sovereignty: Organized Hypocrisy. Princeton: Princeton
University Press, 1999.
Lowenheim, Oded. Predators and Parasites: Persistent Agents of Transnational
Harm and Great Power Authority. US: University of Michigan Press, 2009.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
64 Lyon, Alynna J. “Global Good Samaritans: When do we Heed `the Responsibility
to protect`?.“ dalam Irish Studies in Internaitonal Affairs, Vol. 20 (2009): 4154.
http://www.jstor.org/discover/10.2307/25735149?uid=3738224&uid=2&uid=
4&sid=21102525380537
Meyer, William H. “Confirming, Infirming, and Falsifying theory of Human
Rights: Reflection on Smith, Bolyard and Oppolito through the Lens of
Lakatos.“ Human Rights Quarterly, 21 (1997).
Morgenthau, Hans. “To Intervene or Not to Intervene,” Foreign Affairs. (1967).
http://www.foreignaffairs.com/articles/23877/hans-j-morgenthau/tointervene-or-not-to-intervene
Nuruzzaman, Mohammed. “The Responsibility to Protect Doctrine: Revived in
Libya, Buried in Syria.“ Insight Turkey 15, no. 2 (2013): 57-66.
search.proquest.com.libproxy1.nus.edu.sg/docview/1350533876.
Pace, William, Nicole Deller, dan Sapna Chatpar. “Realizing the Responsibility to
Protect in Emerging and Acute Crisis: A Civil Society Proposal for the
United Nations.“ Dalam Responsibility to Protect: The Global Moral
Compact for the 21st Century. Diedit oleh Richard H. Cooper dan Juliette
Voinov Kohler. New York: Palgrave Macmillan, 2009.
Pattison, James. Humanitarian Intervention & Responsibility to Protect: Who
should intervene?. New York: Oxford University Press, 2010.
Ramesh Takur, The United Nations, Peace and Security, Cambridge: Cambridge
University Press, 2006.
Risse, Thomas, Ropp, Stephen dan Kathryn Sikkink. The Power of Human
Rights: International Norms and Domestic Change. Cambridge: Cambridge
University, 1999.
Roberts, Sir Adam. “The United Nations and Humanitarian Intervention.“ Dalam
Humanitarian Intervention and Internaional Relations. Diedit oleh Jennifer
M Welsch, 162. New York: Oxford University Press, 2004.
Schmitz, Hans Peter dan Sikkink, Kathryn. “International Human Rights.“ dalam
Handbook of International Relations. ed. Walter Calrsness, Thomas Risse
dan Beth A. Simmons, 522-524. London: Sage Publication, 2002.
Schulz, William F. Spread Wide the Word: Organizing the Grassroots to End
Atrocity Crimes. Dalam Responsibility to Protect: The Global Moral
Compact for the 21st Century. Diedit oleh Richard H. Cooper dan Kohler,
Juliette Voinov, 187. New York: Palgrave Macmillan, 2009.
Simmons, Adele dan Aprill Donnellan. “Reaching Across Borders: Philantrophy`s
Role in the Prevention of Atrocity Crimes.“ Dalam Responsibility to Protect:
The Global Moral Compact for the 21st Century. Diedit oleh Cooper, Richard
H. & Kohler, Juliette Voinov, 145. New York: Palgrave Macmillan, 2009.
Stahn, Carsten. “Responsibility to Protect: Political Rehtoric or Emerging Legal
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
65 norm?. “ The American Journal of International Law,101, no. 1 (2007).
http://www.jstor.org/stable/4149826
Stanford Encyclopedia of Philosophy, diakses
http://plato.stanford.edu/entries/legitimacy/)
pada
23
Mei
2013,
Stanulova, Maya. Has Humanitarian Intervention Become an Exception to the
Prohibition on the Use of Force in Article 2(4) of the UN Charter?. England:
Edinburgh University, 2010.
Stromseth, Jane. Rethinking Humanitarian Intervention: The Case for Incremental
Change. dalam Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political
Dilemmas. Diedit oleh Robert O. Keohane dan J. L. Holzgrefe, 247.
Cambridge University Press: Cambridge, 2003.
Teson, Fernando R. The Liberal Case for Humanitarian Intervention. dalam
Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas. ed.
Robert Keohane dan J. L. Holzgrefe. New York: Cambridge University Press,
2003.
Viotti, Paul R. & Kauppi, Mark V. International Relations Theory: Realism,
Pluralism, Globalism 2nd ed. New York: Macmillan Publishing Company,
1992.
Welsch, Jennifer M. Taking Consequences Seriously: Objections to Humanitarian
Intervention. dalam Humanitarian Interventiona and Internaional Relations.
Diedit oleh Jennifer M. Welsch. New York: Oxford University Press, 2004.
Wendt, Alexander dan James Fearon. “Rationalism Vs Constructivism: A
Skeptical View.“ dalam Handbook of International Relations. Diedit oleh
Walter Carlsnaes, Thomas Risse, Beth A. Simmons, 53-68. London: Sage
Publication, 2002.
Wheeler, Nicholas J. “The humanitarian Responsibility of Sovereignty:
Explaining the Development of a New Norm of Military Intervention for
humanitarian purposes in International Society.“ dalam Humanitarian
Intervention and International Relations. Diedit oleh Jennifer M. Welsch.
New York: Oxford University Press, 2004.
Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
Download