UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK LEGITIMASI DALAM PERKEMBANGAN DOKTRIN INTERVENSI KEMANUSIAAN / RESPONSIBILITY TO PROTECT (R2P) TUGAS KARYA AKHIR NIWA RAHMAD DWITAMA 0906524274 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPOK JUNI 2013 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 UNIVERSITAS INDONESIA DILEMA POLITIK ASPEK LEGITIMASI DALAM PERKEMBANGAN DOKTRIN INTERVENSI KEMANUSIAAN / RESPONSIBILITY TO PROTECT (R2P) TUGAS AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional NIWA RAHMAD DWITAMA 0906524274 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPOK JUNI 2013 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 ii LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS Review Literatur ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama : Niwa Rahmad Dwitama NPM : 0906524274 Tanda Tangan : Tanggal : 12 Juli 2013 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia iii LEMBAR PENGESAHAN Tugas Akhir ini diajukan oleh: Nama : Niwa Rahmad Dwitama NPM : 0906524274 Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional Judul : Dilema Politik Aspek Legitimasi dalam Perkembangan Doktrin Intervensi Kemanusiaan / Responsibility to Protect (R2P) Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia DEWAN PENGUJI Pembimbing : Dwi Ardhanariswari, MA (....................................) Penguji : Avyanthi Azis, MS (....................................) Ketua Sidang : Dra. Nurul Isnaeni, MA (....................................) Sekretaris Sidang : Andrew W. Mantong, M.Sc (....................................) Ditetapkan di Tanggal : Depok : 9 Juli 2013 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia iv KATA PENGANTAR Puji syukur penulis hantarkan ke hadirat Allah SWT yang memberikan penulis segenap kekuatan untuk menyelesaikan Tugas Karya Akhir ini. Ketertarikan terhadap isu intervensi kemanusiaan dimulai sejak penelitian yang dilakukan terkait keterlibatan penulis dalam Harvard Model United Nations pada tahun 2011. Pengetahuan tersebut kemudian diperkuat dengan partisipasi dalam kelas konflik dan perdamaian yang diambil selama semester ke-6 di Universitas Indonesia dan dua semester selama program pertukaran pelajar di Tokyo University of Foreign Studies. Tidak ada isu politik internasional yang lebih kontroversial dan menjadi perdebatan begitu panjang dan kompleks seperti intervensi kemanusiaan. Meskipun intervensi kemanusiaan rentan akan dampak negatif karena kepentingan negara tertentu, suatu tindakan diam atas genosida dan kejahatan kemanusiaan juga merupakan suatu norma yang tidak dapat ditoleransi. Setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan dilindungi dari kekerasan, tirani, dan pelanggaran HAM. Melalui kajian ilmiah ini, penulis berniat untuk mengangkat salah satu dilema politik yang ada dalam doktrin intervensi kemanusiaan dan R2P yaitu aspek legitimasi dalam intervensi. Kecurigaan atas kepentingan politik dalam intervensi berasal dari mekanisme penentuan legitimasi dalam intervensi. Beberapa pihak percaya akan keharusan adanya legitimasi legal, sedangkan pihak lainnya percaya bahwa legitimasi moral sudah cukup menjadi justifikasi dalam penyelamatan isu kemanusiaan melalui intervensi. Melalui literatur review ini, penulis akan menjelaskan kedua perdebatan tersebut secara komprehensif. Penulis megucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung penulisan tugas akhir ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya dimiliki oleh Yang Maha Sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga tulisan ini dapat menjadi inspirasi dan manfaat bagi kita bersama. Depok, 10 Juli 2013 Niwa Rahmad Dwitama Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia v UCAPAN TERIMA KASIH Penulisan tugas karya akhir ini dilakukan dengan penuh suka dan duka. Di balik arang yang melintang, terdapat dukungan kuat dari berbagai pihak, sahabat dan keluarga. Penulisan Tugas Karya Akhir ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sosial Departemen Hubungan Internasional. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangat sulit bagi penulis untuk dapat menyelesaikan karya akhir ini tepat waktu. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dwi Ardhanariswari S. Sos., MA selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu di tengah kesibukannya dan membantu pemikiran untuk mengarahkan penyusunan tugas akhir. 2. Yuni Reti Intarti, SIP., M. Si sebagai pembimbing akademis yang telah memberikan perhatian dan masukan konstruktif selama masa perkuliahan. 3. Dra. Nurul Isnaeni, MA selaku ketua program Sarjana Ilmu Hubungan Internasional yang telah mendukung dan membimbing dalam berbagai hal. 4. Avyanthi Azis, MS, penguji sidang tugas karya akhir, yang begitu kritis dan memberikan berbagai input konstruktif untuk meningkatkan kualitas dari tugas akhir penulis. 5. Andrew Wiguna Mantong, M.Sc atas bimbingan, pengetahuan yang telah diberkan selama Colloquium dan penyusunan proposal literatur review. 6. Sahabat dan teman-teman terdekat di HI 2009: Kiki, Hanifah, Iman, Andhyta, Fahmi, Lia, Gesa, Mikha, Candini; Darang, Diky Avianto, dan teman-teman Colloquium rezim baru: Jeklin, Vale, Imung, dan Sandy. 7. Sensei dan sahabat selama menempuh studi di Tokyo University of Foreign Studies: Housam Sensei, Hakoyama Sensei, Hug Sensei, Senpai Dipta, Oman san, Ceputra 様,Candice, Takatoki, Kentaro, Kaori-chan, Yuya, Yukimi, Samantha dan Ivan. 8. Seluruh pihak yang telah berjasa dalam mendukung penulis dalam mengikuti tahapan pemilihan mahasiswa berprestasi yang berlangsung bersamaan selama proses penyusunan TKA ini: Pak Arman Nevi, Kak Adi, Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia vi Kak Rio, Mas Abud, Rahmi, Kak Ayu dan ke-12 teman teman mapres fakultas yang begitu baik dan tidak sombong. 9. Kak Yeremia Lalisang, atas bimbingannya selama proses pemilihan mapres dan karya tulis mapres. 10. Teman-teman Indonesian Future Leaders (IFL): Rifqah, Jessica, Leny, Mazmur dan Angga. Rekan-rekan di KSM Eka Prasetya: Nopita, Rina, Tika, Vina, Aditio, Oza, Wize dan Rara atas pertemanan dan pengalaman selama di KSM. Teman –teman delegasi Harvard Model United Nations: Dennys, Garlan, Fatya dan Mike. *** Terkhusus kepada kedua orang tua penulis Mama Yeni Zafitri dan Papa Deswan Putra yang karena untuk mereka berdualah penulis memiliki semangat kuat untuk lulus dan mencapai cita-cita masa depan. Sang adik Oktafiani Tri Ananda yang selalu berprestasi, menginspirasi dan membuat penulis terkadang merasa insecure. Bang Niwa Hidayah Prima yang telah membantu dalam berbagai hal. Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu dan mendukung penyelesaian karya akhir ini. Semoga tugas akhir ini dapat membawa manfaat bagi pengembangan ilmu hubungan internasional dan memberi pengetahuan serta inspirasi bagi pembacanya. Depok, 10 Juli 2013 Niwa Rahmad Dwitama Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia vii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Niwa Rahmad Dwitama NPM : 0906524274 Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional Departemen : Hubungan Internasional Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jenis karya : Tugas Karya Akhir (Literatur Review) demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Dilema Politik Aspek Legitimasi dalam Perkembangan Doktrin Intervensi Kemanusiaan/ Responsibility to Protect (R2P). beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/ format- kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : 10 Juli 2013 Yang menyatakan ( Niwa Rahmad Dwitama ) Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia viii ABSTRAK Nama : Niwa Rahmad Dwitama Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional Judul : Dilema Politik Aspek Legitimasi dalam Perkembangan Doktrin Intervensi Kemanusiaan/ Responsibility to Protect (R2P) Kajian dalam review literatur ini membahas perdebatan ilmiah yang terjadi dalam aspek legitimasi intervensi kemanusiaan/ Responsibility to Protect (R2P). Sebagai norma internasional, R2P menghadapi berbagai dilema politik pada tataran perumusan dan implementasi kebijakan intervensi dalam sistem PBB. Salah satu dilema politik yang terjadi adalah aspek legitimasi. Legitimasi adalah suatu proses legalitas di mana intervensi harus dilakukan hanya melalui validasi wewenang Dewan Keamanan PBB (Bab VII, Piagam PBB). Di lain pihak, beberapa akademisi berpendapat bahwa legitimasi legal rentan akan kontestasi kepentingan anggota DK sehingga legitimasi moral/ etis adalah hal yang lebih penting dalam membentuk legitimasi dan lebih adil dalam menyelamatkan isu kemanusiaan. Legitimasi moral dibentuk melalui aksi multilateralisme dan pembuktian tragedi kemanusiaan. Melalui analisis komparatif perdebatan legitimasi legal dan moral dalam karya akademisi hubungan internasional, hukum internasional dan HAM, review literatur ini mengidentifikasi bahwa kontestasi antara pembentukan legitimasi tersebut merupakan pengejawantahan dari pertentangan paradigmatis realisme dan konstruktivisme, yaitu narasi: (1) faktor material lawan ideasional, (2) logika konsekuensi lawan logika kepatutan, (3) norma sebagai kegunaan lawan norma sebagai hak, dan (4) aktor top-down lawan agen bottom-up. Kata kunci: Intervensi Kemanusiaan, Responsibility to Protect (R2P), legitimasi legal, legitimasi moral, realisme dan konstruktivisme. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia ix ABSTRACT Name : Niwa Rahmad Dwitama Study Program : International Relations Title : Political Dilemma of Legitimacy Aspect in Humanitarian Intervention Doctrine/ Responsibility to Protect (R2P). The studies in this literature review discusses the scientific debate that occurred in the aspect of legitimacy of humanitarian intervention / Responsibility to Protect (R2P). As an international norm, R2P is facing numbers of political dilemmas at the level of policy formulation and implementation in UN system. One of the political dilemmas is divisive voice on legitimacy aspect in intervention. Legitimacy is a legal process in which intervention should be done only through UN Security Council authority (Chapter VII of the UN Charter). On the other hand, some scholars argue that legal legitimacy is vulnerable to contestation of interests of security council members, thus moral/ ethical legitimacy is more important in establishing legitimate and fairer intervention in saving humanity from humanitarian tragedy. Moral legitimacy is formed through multilateralism mechanism in intervention and empirical evidence of human tragedy. Through a comparative analysis of the legal and moral legitimacy debate in the work of international relations scholars, international law and human rights intellectuals, this literature review identifies that the contestation in legitimacy aspect of intervention epitomizes paradigmatic opposition between realism and constructivism. This can be explicated through following points: (1) material factors versus ideational, (2) the logic of appropriateness versus the logic of consequence, (3) the norm as benefit versus the norm as right, and (4) top-down actor versus bottom-up agent. Keywords: Humanitarian Intervention, Responsibility to Protect (R2P), Legal Legitimacy, Moral Legitimacy, Realism, and Constructivism. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia x DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................................... i LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................. iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............................. vi ABSTRAK ............................................................................................................ vii ABSTRACT .......................................................................................................... viii DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix BAB 1: PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ............................................................................................... 1 1.2. Tujuan dan Signifikansi ................................................................................. 5 BAB 2: KONSEP LEGITIMASI, R2P DAN KASUS KONTEKSTUAL 2.1. Legitimasi dalam HI ....................................................................................... 6 2.2. Perkembangan Konsep R2P ........................................................................... 9 2.3. Studi Kasus..................................................................................................... 15 2.3.1. Kosovo 1999 ........................................................................................ 11 2.3.2. Irak 2003 .............................................................................................. 13 2.3.3. Georgia 2008 ........................................................................................ 14 2.3.4. Libya 2011 ........................................................................................... 16 2.2.4.1. Advokasi Negara dalam R2P ................................................... 18 2.2.4.2. Syria: Sebuah Refleksi............................................................. 23 BAB III: PEMBAHASAN 3.1. Aspek Legalitas dalam Legitimasi Doktrin R2P ............................................ 21 3.1.1. Wewenang DK PBB ............................................................................. 21 3.1.2. Aktor Intervensi .................................................................................... 22 3.1.3. Analisis Dokumen R2P ......................................................................... 24 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia xi 3.2. Aspek Moralitas/ Etis dalam Legitimasi Doktrin R2P ................................... 29 3.2.1. R2P sebagai Norma Internasional ......................................................... 29 3.2.2. Legitimasi Moral ................................................................................... 30 3.2.3. Proposal Aktor Intervensi ..................................................................... 34 BAB IV: ANALISIS TEORITIS........................................................................ 42 4.1. Realisme dan Konstruktivisme ...................................................................... 43 4.1.1. HAM Internasional .............................................................................. 45 4.2. Perdebatan Teoritis dalam Aspek Legitimasi ................................................ 47 4.2.1. Faktor Material lawan Faktor Ideasional ............................................. 47 4.2.2. Logika Konsekuensi lawan Logika Kepatutan .................................... 49 4.2.3. Norma sebagai Kegunaan lawan Norma sebagai Hak ......................... 51 4.2.4. Aktor Top-down lawan Agen Bottom-up ............................................. 53 BAB V: PENUTUP 5.1. Kesimpulan .................................................................................................... 59 5.2. Rekomendasi .................................................................................................. 61 DAFTAR REFERENSI ........................................................................................ 62 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia xii DAFTAR GRAFIK Grafik 1 Jumlah perang sipil, jumlah operasi perdamaian PBB, 1970-2002 DAFTAR TABEL Tabel 1 Perbedaan Dokumen ICISS dan World Summit Outcome Document 2005 Tabel 2 Legitimasi Kasus Kontekstual Tabel 3 Faktor potensial pengaruh realisasi R2P Tabel 4 HAM Internasional dalam Realisme dan Konstruktivisme Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 1 BAB I: PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Intervensi kemanusiaan merupakan isu yang sejak Pasca Perang Dingin hingga kini masih belum menemukan titik terang yang menciptakan konsensus dalam penerapannya di tataran politik internasional. Akan tetapi, norma intervensi kemanusiaan telah membawa suatu pergeseran besar dalam konsep kedaulatan negara di mana kedaulatan tidak semata-mata dilihat sebagai batasan legitimasi negara untuk melakukan wewenangnya ke dalam, tetapi juga sebagai suatu tanggung jawab kepada masyarakatnya untuk memberikan perlindungan dari kekerasan. Demikianlah justifikasi yang dibawa Responsibility to Protect (R2P) untuk dapat diterima sebagai suatu norma dan peraturan internasional. Diantara berbagai aspek perdebatan yang masih terjadi, isu legitimasi, legalitas, moral, dan metode intervensi merupakan beberapa aspek penting yang masih menjadi pembahasan untuk menciptakan implementasi R2P yang memiliki legitimasi dan penerimaan internasional. Diskursus yang menganalisis tentang intervensi kemanusiaan dan R2P dalam hubungan internasional bukanlah suatu hal yang baru. Sejak akhir Perang Dingin, pembahasan tentang intervensi kemanusiaan menjadi semakin intens karena aksi intervensi yang mengatasnamakan misi kemanusiaan secara perlahan menjadi salah satu norma yang berkembang pesat di tingkat internasional. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa setidaknya ada 9 intervensi selama 19912000.1 Grafik 1. disamping dapat menggambarkan peningkatan operasi perdamaian PBB dalam Grafik 1. Jumlah perang sipil, jumlah operasi perdamaian PBB, 1970-2002 1 Sir Adam Roberts, “The United Nations and Humanitarian Intervention,“ dalam Humanitarian Intervention and Internaional Relations, ed. Jennifer M. Welsch (New York: Oxford University Press, 2004), 162. 1 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 2 perang sipil yang ada di berbagai belahan dunia sejak Perang Dingin berakhir.2 Setelah International Commission on Intervention and State Sovereignity (ICISS) – sebuah komisi independen - mengeluarkan laporannya pada tahun 2001, perdebatan mengenai hal operasional dalam intervensi menjadi semakin hangat. Laporan yang menegaskan norma intervensi kemanusiaan sebagai kewajiban (bukan hak) ini dibentuk dalam rangka merespon pertanyaan Sekjen PBB Kofi Annan tahun 1999 mengenai tanggapan komunitas internasional terhadap gagalnya intervensi untuk menghentikan tragedi kemanusiaan yang ada di Rwanda (1994) dan Srebrenica (1995) sebagai suatu refleksi untuk intervensi di masa depan. Dalam aspek legitimasi3 terdapat perbedaan pandangan dalam menentukan apakah suatu intervensi memiliki legitimasi atau tidak dalam kebijakannya. Legitimasi dapat dilihat dari dimensi yang berbeda. Pada satu sisi, legitimasi dilihat sebagai suatu konformitas terhadap aturan dan hukum yang ada sehingga membentuk legitimasi legal dalam intervensi. Di lain pihak, legitimasi dilihat sebagai suatu penerimaan komunitas internasional dengan dasar nilai moralitas suatu intervensi melalui justifikasi tragedi kemanusiaan di suatu negara dan aktor intervensi yang multilateral. Perbedaan pandangan ini terjadi akibat acap kali terjadi kontestasi kepentingan politik diantara negara anggota Dewan Keamanan (DK) PBB dalam memutuskan suatu kebijakan intervensi yang menciptakan nuansa skeptisme dari berbagai pihak, termasuk kecurigaan negara selatan yang curiga akan keranga intervensi yang dapat digunakan negara big power sebagai upaya imperialisme modern. Oleh karena itulah, suatu pertimbangan dan pendekatan moral menjadi isu yang terus mendapat perhatian dari dunia akademis. Sebagai contoh, Scholte memberikan kontribusi pemikiran melalui interpretasinya terhadap legitimasi dengan menyertakan konsep moral. Scholte menyatakan bahwa pemerintahan 2 Ramesh Takur, The United Nations, Peace and Security, (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 38. 3 Menurut, Ensiklopedia Filosofi Stanford, Legitimasi adalah penerimaan masyarakat (dalam hal ini komunitas internasional) terhadap otoritas dan kebutuhan untuk mematuhinya. Masyarakat dapat memiliki kepercayaan atas otoritas tersebut tunbuh karena tradisi, karisma pemimpin, atau hukum (Weber, 1964). Legitimasi juga terkait dengan justifikasi moral yakni sepanjang klaim tersebut diikuti dengan penerimaan yag cukup. (Raz, 1986). Lihat Stanford Encyclopedia of Philosophy, diakses pada 23 Mei 2013, http://plato.stanford.edu/entries/legitimacy/. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 3 global yang memiliki legitimasi dibangun melalui kombinasi antara demokrasi global, efisiensi global, hukum global, kepemimpinan global dan moralitas global – tidak dapat muncul hanya melalui desain barat yang memaksakan, tetapi butuh tingkat interkultural yang baik.4 Skeptisme muncul dari perdebatan legal dan moral yang bertabrakan degan kontestasi kepentingan dan penggunaan veto dalam Dewan Keamanan (DK) PBB. Intervensi ke Kosovo, Irak, Georgia merupakan contoh kebijakan intervensi yang dilancarkan tanpa wewenang PBB dan menciptakan fase baru bagi doktrin R2P. Perdebatan terletak pada pertanyaan apakah suatu intervensi harus dilakukan melalui legitimasi legal atau legitimasi moral atau dengan prasyarat kedua aspek legitimasi tersebut. Namun demikian, R2P kian terus berkembang hingga digunakan secara resmi dalam sistem PBB pada tahun 2005. Tanpa adanya legitimasi, sudah jelas intervensi kemanusiaan akan semakin mempertajam kesenjangan dan kecurigaan antar negara (terutama negara maju dan negara berkembang – yang dapat menjadi potensi target intervensi). Review literatur ini ditulis untuk membahas secara komprehensif perdebatan legitimasi dalam ranah legal dan moral/ etis dan memetakan aspek penting dalam perdebatan tersebut. Hasil temuan dari review literatur kemudian akan dianalisis dalam tataran paradigmatis ilmu hubungan internasional. Melihat kontestasi yang ada dalam menentukan legitimasi suatu intervensi, pertanyaan yang akan dijawab melalui kajian illmiah ini adalah: Bagaimana perdebatan dan dilema politik yang terjadi dalam menentukan legitimasi suatu intervensi kemanusiaan? Pada bagian awal, tulisan ini akan mengulas tentang gambaran singkat perkembangan konsep intervensi kemanusiaan hingga diadopsi dalam sistem PBB pada tahun 2005 dalam bentuk Responsibility to Protect (R2P). Melalui review literatur secara eklektik, penulis akan menjelaskan beberapa unit analisis yang terjadi dalam perdebatan legitimasi dari aspek legal dan juga aspek moral/ etis. Analisis legitimasi dalam aspek legal akan diekstraksi melalui karya akademis oleh Nicholas J. Wheeler, Ramesh Takur, Luke Glanville, Gareth Evans, William 4 James Brassett dan Eleni Tsingou, The Politics of Legitimate Global Governance, (England: University of Warwick, 2012), 12-13. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 4 Pace, Maya Stanulova, Carsten Stahn. Sedangkan analisis terhadap aspek legitimasi secara moral/ etis akan dibahas melalui karya Jennifer M. Welsch, Aidan Hehir, Jennifer M. Welsch, Fernando R. Teson, Eric. Heinze, Richard Falk, Eric. A. Heinze, James Pattison, Daniele Archibugi, Jonathan Graubart, Gareth Evans, William F. Schulz, Alynna J. Lyon, Adele Simmons and April Donnellan. Analisis ini kemudian akan ditarik ke dalam paradigma keilmuan hubungan internasional. Dalam pembahasannya, penulis berargumen bahwa kontestasi legal melawan moral yang terjadi dalam menentukan legitimasi suatu intervensi kemanusiaan merupakan refleksi dari perdebatan teoritis yang terjadi antara paradigma realisme dan konstruktivisme. Perdebatan ini dapat dilihat melalui gambaran empat analisis, yaitu: (1) faktor material lawan ideasional, (2) logika konsekuensi lawan logika kepatutan, (3) norma sebagai kegunaan lawan norma sebagai hak, (4) aktor top-down lawan agen bottom-up. Literatur review ini tidak bermaksud untuk menilai aspek legitimasi yang mana yang lebih baik maupun teori ilmu hubungan internasional mana yang lebih bisa menjelaskan dilema politik dalam legitimasi intervensi kemanusiaan. Analisis dilakukan untuk memetakan perdebatan akademis yang ada dalam suatu kajian ilmiah, memetakan unit analisis dalam perdebatan dan mengektraksikannya dalam analisis teoritis. Satu hal penting yang dapat dimengerti dari pembahasan dalam literatur review ini adalah bahwa meskipun intervensi kemanusiaan dan R2P memiliki kerentanan atas penyalahgunaan (abuse) terhadap kepentingan suatu pihak tertentu, penjelasan konstruktivisme dapat mengangkat aspek emansipasi dalam penerapan R2P dan internalisasi norma HAM internasional. Suatu diskursus norma R2P harus tetap dilanjutkan untuk sosialisasi dan advokasi tujuan kemanusiaan di komunitas internasional. Pendekatan bottom-up oleh aktor negara dan non-negara dapat secara signifikan berkontribusi untuk menginternalisasi doktrin R2P dan legitimasi moral menuju penciptaan intervensi kemanusiaan yang adil dan bermoral; demi penyelamatan isu kemanusiaan. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 5 1.2. Tujuan dan Signifikansi Dalam implementasi R2P sebagai kebijakan politik internasional, terdapat pertentangan argumen yang jelas dalam menentukan legitimasi intervensi kemanusiaan. Pertentangan tersebut terjadi dalam menentukan apakah legitimasi aktor yang melakukan intervensi harus didefinisikan secara hukum melalui piagam PBB dan konvensi yang terkait atau sebetulnya secara nilai moral HAM, legitimasi cukup dibentuk melalui aspek moral yang membentuk upaya multilateral (coalition of the willing) dan pembuktian adanya kriminal kemanusiaan. Pembahasan literatur review mengenai dilema politik aspek legitimasi dalam perkembangan doktrin R2P ini menjadi signifikan karena legitimasi atau tidaknya suatu intervensi kemanusiaan akan menentukan seberapa kuatnya komunitas internasional menerima aksi intervensi dan kemudian membantu meredupkan skeptisme yang ada tentang intervensi sebagai agenda Barat. Pertanyaan yang akan dijawab melalui kajian illmiah ini adalah: Bagaimana perdebatan dan dilema politik yang terjadi dalam menentukan legitimasi suatu intervensi kemanusiaan? Kajian ilmiah ini ditulis untuk memetakan perdebatan aspek legal dan etis oleh akademisi hubungan internasional, hukum internasional, dan HAM. Kemudian, tulisan akan menganalisis aspek legal dan moral tersebut dalam tataran analisis paradigmatis ilmu hubungan internasional. Analisis legitimasi intervensi kemanusiaan dalam aspek legal akan diekstraksi melalui karya akademis oleh Maya Stanulova, Nicholas J. Wheeler, Ramesh Takur, Luke Glanville, Gareth Evans, William Pace, Carsten Stahn. Sedangkan analisis terhadap aspek legitimasi secara moral/ etis akan dibahas melalui karya Jennifer M. Welsch, Aidan Hehir, Jennifer M. Welsch, Fernando R. Teson, Eric. Heinze, Richard Falk, Eric. A. Heinze, James Pattison, Daniele Archibugi, Jonathan Graubart, Gareth Evans, William F. Schulz, Alynna J. Lyon, Adele Simmons and April Donnellan. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 6 BAB II: KONSEP LEGITIMASI, R2P DAN KASUS KONTEKSTUAL 2.1. Legitimasi dalam HI Bellamy berpendapat bahwa terdapat dua prinsip mendasar terkait diskusi legitimasi dalam intervensi kemanusiaan. Pertama, perang harus dilancarkan hanya melalui niat yang patut, bukan karena perasaan benci, keinginan untuk mendominasi, tetapi harus dengan niat mempertahankan perdamaian dan keadilan. Meski tidak mungkin mengetahui secara akurat tentang intensi suatu negara, sejumlah tes dapat menguji untuk memastikan intensi negara dalam melancarkan perang yaitu dengan mengeksplorasi alasan-alasan negara melakukan intervensi dan membandingkannya dengan pejelasan potensial lainnya atas aksi tersebut. Prinsip kedua terkait legitimasi adalah bahwa intensi dapat dilihat melalui aksi itu sendiri. Sebagai misal, negara yang tidak berniat untuk membunuh non-kombatan tentunya akan mengambil berbagai tindakan untuk memastikan, sebisa mungkin, upaya atau kebijakan, pencegahan terhadap kelompok non-kombatan menjadi korban dalam suatu intervensi. Melalui hal ini pun kepatutan suatu intensi intervensi dapat dinilai. 5 Dengan demikian Bellamy, menekankan intensi sebagai hal paling penting dalam suatu legitimasi intervensi, bukan hal lainnya seperti outcome dari suatu intervensi. Selain itu, Reus Smit berpendapat bahwa legitimasi adalah mengenai aktor dan tatanan politik. Aktor dengan karakter agen yang jelas, seperti PBB dan WTO, tidak hanya entitas yang dapat diakui sebagai legitimasi atau tidak, namun institusi dan suatu tatanan sekalipun dapat dinyatakan legitimasi atau tidak. Institusi merupakan suatu norma, peraturan dan prinsip yang membentuk suatu relasi sosial yang kemudian membentuk aktor sebagai agen sosial yang berpengetahuan dan memiliki sikap tertentu. Dalam hal ini, Smit menekankan bahwa legitimasi tidak hanya sekedar kapasitas untuk melakukan sesuatu tetapi kumpulan norma, peraturan dan prinsip yang disahkan secara sosial. Terminologi 5 Alex J. Bellamy, Motives, Outcomes, Intent and the Legitimacy of Humanitarian Intervention (Brisbane: University of Quesland), 226-230. 6 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 7 legitimasi itu sendiri tidak boleh dipersempit menjadi bahasa seperti rasionalitas, keadilan, legalitas dan moralitas.6 Legitimasi telah menjadi suatu landasan fundamental dalam hubungan internasional. Prinsip utama dari legitimasi menunjukkan suatu perjanjian sosial mengenai siapa yang berhak untuk berpartisipasi dalam hubungan internasional dan tingkat kepatutan perilaku aktor. Dengan demikian, legitimasi menunjukkan eksistensi dari masyarakat internasional.7 Ian Clark dalam studinya menunjukkan legitimasi sebagai kerangka dalam masyarakat internasional, yaitu sebagai konstruksi teoritis dan suatu rangkaian historis. Clark menyebut bahwa legitimasi menjadi pembahasan yang begitu penting karena tiga hal. Pertama, karena evolusi dari formasi legitimasi membentuk suatu sejarah penting dalam masyarakat internasional. Sebagai contoh, landasan keanggotaan yang sah dalam organisasi internasional menjadi salah satu bentuk pergeseran dalam ide kenegaraan dan bagaimana suatu negara telah berperan sebagai `midwife` atau `pengasuh` terhadap negara lainnya. Dalam hal kebenaran perilaku, terdapat bukti peranan dari negara great power yang dipertimbangkan dengan penerimaan konsensus. Hal ini kemudian berkaitan dengan pembentukan norma internasional. Kedua, klaim bahwa ide dari legitimasi membentuk perilaku negara dan karenanya hubungan internasional butuh, secara serius, menelaah aspek legitimasi suatu kebijakan. Ketika komitmen sosial hadir dalam menjalani hubungan antarnegara, dan munculnya suatu ikatan antar negara, maka hal ini menunjukkan bahwa perilaku negara tersebut telah terpengaruh dalam suatu ikatan sosial. Ketiga, terdapat hubungan antara legitimasi dan stabilitas. Clark berpendapat bukan bahwa legitimasi menciptakan stabilitas, tetapi dalam kondisi stabil suatu legitimasi dapat tercipta dengan lebih gampang. Suatu krisis dalam pemerintahan tidak tercipta melalui ketidaksetujuan (defisit legitimasi), tetapi gabungan dari kejadian-kejadian yang salah satu diantaranya dapat dipicu oleh defisit legitimasi tersebut. Dengan demikian, legitimasi dan stabilitas bukanlah hal terpisah dan berhubungan kausal. Legitimasi dan stabilitas merupakan suatu keadaan yang 6 Christian Reus-Smit, “International Crisis of Legitimacy,“ International Politics no. 44 (2007): 157-174, doi:10.1057/palgrave.ip.8800182. 7 Ian Clark, Legitimacy in International Society (Oxford: Oxford University Press, 2005), 1-2. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 8 setara dan dapat saling mempengaruhi sebagai salah satu komponen pembentuk dinamika internasional, tidak terkait langsung secara kausal. Clark menjelaskan pergeseran bertahap yang terjadi dalam legitimasi sebagai basis normatif. Pada awal kelahirannya, legitimasi dianggap sebagai konsepsi teologis moral. Kemudian pada abada ke-18-an, legitimasi dikaitkan dengan suatu tatanan hukum. Setelah Vienna, legitimasi dikaitkan dengan suatu sistem konstitusi yang mengatur tatanan masyarakat internasional. Westphalia pada dasarnya adalah prinsip konsensus yang lahir dari konsep legalitas. Akhirnya, Perang Dunia membawa modifikasi yang signifikan yaitu munculnya prospek masyarakat internasional yang universal, kontinuitas kriteria demokratis dan pengakuan terhadap HAM. Sebagai isu kontemporer, legitimasi pasca perang dingin memiliki kaitan yang cukup erat terhadap nilai dari demokrasi. 8 Legitimasi tanpa diragukan memiliki kualitas normatif, namun acap kali disalahpahami sebagai skala substantif dari suatu nilai, seperti dengan legalitas, moralitas, atau konstitusionalitas. Pada akhirnya legitimasi tidak dapat dibentuk dan dikodifikasi percis seperti hukum perang. Praktik legitimasi dibentuk oleh aktor dan aksi tertentu. Suatu penilaian folosofis terhadap aktor dan aksi tersebut dibentuk dari derajat penerimaan dan bagaimana masyarakat internasional melihat suatu situasi. Hal ini memungkinkan interpretasi yang muncul dari norma yang dipersuasi, namun tidak selalu dapat dilakukan. Legitimasi adalah properti sosial yang tidak dapat diatributkan dalam suatu aksi. Oleh karena itu, legitimasi tidak dapat dibentuk dalam bentuk kriteria dalam menilai suatu persitiwa. Legitimasi pada akhirnya bergantung kepada bagaimana masyarakat internasional sebagai anggota dapat melihat peristiwa tersebut. Kita dapat mengerucutkan kriteria legitimasi dalam salah satu konformitas terhadap hukum, moral atau konstitusi namun interpretasi terhadap moral dan konstitusi sekalipun dapat berbeda tergantung aktor membaca keadaan. Bagaimana masyarakat internasional melihat peristiwa lebih dapat menunjukkan legitimasi yang bersifat kompleks dengan dinamika politik, konsensus dan isu power dalam tataran praktis. 9 Kompleksitas ini diafirmasi oleh Mulligan bahwa 8 9 Ibid., 245-250. Ibid., 250-256. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 9 pergeseran makna legitimasi dalam sejarah menunjukkan suatu bentuk perkembangan yang erat kaitannya dengan perubahan makna bahasa. Legitimasi pada akhirnya merupakan suatu tes dalam setiap kasus tertentu sebagai suatu pertarungan ide.10 2.2. Perkembangan Konsep R2P Terdapat berbagai definisi dari intervensi kemanusiaan. Konsep tersebut dapat dijabarkan dalam suatu konsep dalam bidang politik, ekonomi hingga sosial seperti intervensi pemberian bantuan bencana alam besar di suatu negara. Sebagai suatu rujukan pada aktivitas substansi dan istilah yang juga sering digunakan di publik dan kamus akademisi, intervensi humaniter dalam pembahasan ini didefinisikan sebagai: 11 aksi militer yang dilakukan oleh satu negara, kelompok negara atau aktor non-negara, di kawasan teritorial negara lain, tanpa persetujuan negara yang bersangkutan, yang dapat dijustifikasi, melalui aspek signifikan tertentu, sebagai isu kemanusiaan dari masyarakat negara yang diintervensi. Selama Perang Dingin, intervensi dengan retorika kemanusiaan sudah terjadi. Namun, mayoritas anggota PBB memiliki kecurigaan tinggi terhadap doktrin intervensi. Sejak pertengahan 1960, negara bekas jajahan tidak mentolerir doktrin intervensi karena dianggap sama dengan penjelmaan kolonialisme. Respon badan PBB terhadap intervensi militer secara konsisten ditolak; sekalipun yang dianggap memiliki justifikasi humaniter. Banyak isu yang bahkan tidak dibahas melalui DK, banyak pula yang di veto oleh salah satu kekuatan polaritas Barat dan Timur yaitu: Uni Soviet (USSR) atau Amerika Serikat (AS). Sidang Umum juga secara rutin mengutuk dan melarang beberapa intervensi militer seperti Anglo-French di Suez (1956), intervensi soviet di Hungary (1956), intervensi Indonesia di East Timor (1975) dan lainnya.12 10 Shane P. Mulligan, “The Uses of Legitimacy in International Relations,“ Millennium - Journal of International Studies no. 34 (2006) 349, DOI: 10.1177/03058298060340021801, mil.sagepub.com. 11 Aidan Hehir, Humanitarian Intervention: An Introduction (London: Palgrave Macmillan, 2010), 20-21. 12 Sir Adam Roberts, The United Nations and Humanitarian Intervention, 162. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 10 Setelah Perang Dingin, terjadi perubahan struktur power di DK. Anggota permanen tampak lebih kooperatif untuk membahas isu tentang keamanan. Suatu pengakuan bahwa intervensi terhadap keamanan domestik dapat menciptakan stabilitas internasional mulai muncul dan menjadi diskursus tertentu. Hal ini dapat dilihat melalui fakta bahwa terdapat 9 kasus intervensi selama 1991-2000, yaitu: Irak Utara (1991), Bosnia dan Herzegovina (1992-5), Somalia (1992-3), Rwanda (1994), and Haiti (1994), Albania (1997), Sierra Leone (1997-2000), Kosovo (1998-9), dan Timor Timur (1998-9).13 Noam Chomsky berpendapat bahwa politik Pasca Perang Dingin telah melahirkan Amerika Serikat sebagai Pemenang dan menjadi pemain yang harus mempertahankan kekuatan internasionalnya untuk meraih apa yang mereka sebut dengan `kebaikan dunia` melalui demokrasi dan liberty.14 Tidak adanya lawan politik (soviet sebagai penangkal/ deterrant), Amerika mengalihkan kebijakan containment 15 yang dilancarkan selama Perang Dingin menjadi perluasan pengaruh (enlargement), sebagai contoh: penyerangan pemerintahan George Bush terhadap Panama setelah tembok Berlin runtuh. Kekuatan militer menjadi instrumen yang lebih berguna untuk melancarkan penyebaran pengaruh Amerika di dunia.16 Dengan demikian, Noam Chomsky berpendapat bahwa awal Perang Dingin telah membawa Intervensi Kemanusiaan yang dipimpin oleh kepentingan Amerika Serikat. Seiring berjalannya waktu, intervensi yang terjadi selama 1990 hingga 2003 menunjukkan pertumbuhan norma internasional dalam melihat Hak Azazi Manusia (HAM) sebagai sesuatu yang mulai mendapat perhatian dan penerimaan terutama bagi anggota Dewan keamanan PBB. Norma internasional HAM dianggap dapat membatasi kedaulatan negara atas warganya dan kedaulatan dilihat sebagai suatu norma yang menunjukan kewajiban untuk melindungi warga 13 Ibid., 81. Noam Chomsky, “Humanitarian Intervention,“ Boston Review (1993), http://www.chomsky.info/articles/199401--02.htm. 15 Kebijakan Containment merupakan langkah AS dalam Perang Dingin untuk menghadapi kekautan ekspansif dari Uni Soviet dan mencegahnya menjadi kekuatan dominan dalam dunia. Selama masa tersebut, konflik regional muncu sebagai perang proxi yang menunjukkan upaya pencegahan konfrontasi langsung dari kedua kekuatan bipolar. Lihat Martin Griffiths dan Terry O`Callaghan, IR The Key Concepts (New York: Routledge, 2002), 53. 16 Noam Chomsky, Humanitarian Intervention. 14 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 11 sipil dari kekerasan – konsep yang disebut dengan Soveregnity as Responsibility. Penerimaan internasional juga terbukti dengan tidak adanya negara (sekalipun non-barat) yang menolak secara terang-terangan terhadap upaya intervensi pada kasus kemanusian yang mengancam kehidupan warga sipil. Meskipun norma HAM internasional berkembang sebagai nilai yang mulai dihargai penting dalam politik internasional, pertanyaan terhadap legitimasi intervensi tetap menjadi tantangan besar dalam perdebatan konsep intervensi kemanusiaan terutama karena kebijakan Bush menyerang Irak 2003 dalam war against terrorism. Invasi AS ke Irak bersifat unilateral dan ditanggapi skeptis oleh berbagai pihak internasional. Invasi unilateral AS terhadap Irak 2003 menjadi momentum ketakutan atas sulitnya doktrin R2P diterima pada World Summit 2005. Namun pada akhirnya konsep dapat diterima dengan penekanan utama pada upaya diplomatis dan nonkekerasan.17 Invasi Kosovo 1999 dan Irak 2003 juga menciptakan pandangan bahwa Intervensi kemanusiaan dapat menciptakan preseden adanya penyalahgunaan norma R2P oleh negara yang agresif. Namun argumen ini dalah premis yang tidak meyakinkan. Beberapa penjelasan yang ditawarkan Fernando Teson adalah: (1) Apakah kemudian non-intervensi menyarankan pembiaran terhadap peristiwa holocaust terjadi? (2) Tirani, anarkisme, dan non-intervensi atas pelanggaran HAM ekstrim setidaknya memiliki peluang untuk menciptakan instabilitas dan kekacauan yang sama seperti ketakutan gagalnya intervensi. (3) klaim empiris bahwa intervensi humaniter tidak dapat dijustifikasi dan mengancam dunia adalah klaim yang tidak dapat diterima. Melihat berbagai intervensi kemanusiaan yang telah dilakukan sejak 1990, intervensi tersebut tidak menciptakan ancaman berarti bagi politik internasional. Adapun instabilitas didunia terjadi bukan karena intervensi tetapi karena permusuhan etnik dan faktor sejenis.18 17 William Pace, Nicole Deller, dan Sapna Chhatpar, “Realizing the Responsibility to Protect in Emerging and Acute Crisis: A Civil Society Proposal for the United Nations“ dalam Responsibility to Protect: The Global Moral Compact for the 21st Century, ed. Richard H. Cooper dan Juliette Voinov Kohler (New York: Palgrave Macmillan, 2009), 132. 18 Fernando R. Teson, “The Liberal Case for Humanitarian Intervention“ dalam Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas, ed. Robert O. Keohane dan J. L. Holzgrefe (New York: Cambridge University Press, 2003), 231. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 12 Dengan demikian, ketakutan akan penyalahgunaan dari doktrin R2P sejatinya dapat menjadi peringatan untuk dapat menciptakan operasionalisasi yang lebih jelas dan terukur, bukan malah menolak doktrin. Penolakan doktrin R2P berarti sama dengan pembiaran terhadap isu kemanusiaan yang telah terjadi di masa lalu dan kemungkinan terjadinya tragedi kemanusiaan di berbagai belahan dunia di masa mendatang. Pertanyaan penting dalam intervensi kemanusiaan adalah apakah komunitas internasional bisa menjamin politik intervensi di masa depan didukung melalui persetujuan oleh PBB agar terciptanya suatu legitimasi dan mencegah pelanggaran. James Pattison menekankan bahwa terdapat justifikasi dan legitimasi dalam intervensi kemanusiaan sesuai mandat piagam PBB. Berhasilnya konsep R2P untuk diakui dalam sistem PBB yaitu dalam dokumen hasil World Summit tahun 2005 adalah bukti penerimaan norma tersebut dalam sistem PBB. Pattison menjelaskan perbedaan yang terjadi dalam konsepsi R2P dalam doktrin laporan ICISS 2001 dan penerapannya dalam dokumen hasil Pertemuan Dunia 2005: Tabel 1. Perbedaan Dokumen ICISS dan World Summit Outcome Document 2005 Doktrin ICISS a) a) b) 1. Jika Negara `unable` dan/ atau b) `unwilling` dalam melindungi warga sipil, maka kewajiban berpindah pada komunitas Internasional. c) c) d) 2. Batas ambang `Just Cause` dalam d) menanggapi pembunuhan dalam skala besar. Dokumen Pertemuan Dunia 2005 1. Penekanan terhadap indikator kegagalan Negara melindungi warga sipil harus termanifestasi, baru R2P dipindahkan kepada pihak internasional 2. Just Cause terbatas kepada empat kasus ekstrim kemanusiaan (Genosida, Kejahatan Perang, Perang terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnik) 3. Reaksi tanggap terhadap krisis e) merupakan suatu kewajiban komunitas f) 3. Setiap negara harus `bersiap` untuk global. melakukan aksi kolektif namun dinilai melalui mekanisme kasus per kasus. e) 4. Dewan Keamanan menjadi pintu awal g) atas panggilan aksi kemanusiaan, tanpa h) 4. Aksi kolektif yang hanya melalui melupakan United for Peace Procedure. persetujuan DK PBB i) Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 13 f) 5. Prinsip Precautionary (right intention, j) last resort, proportional means, reasonable prospect. 5. Tidak ada referensi terhadap kriteria intervensi. Perbedaan mencolok dari perbedaan tabel diatas terletak pada dua hal. Pertama, Dokumen Pertemuan Dunia 2005 yang lebih menekankan pada indikasi yang dapat menunjukkan indikator kegagalan negara dalam melindungi warganya harus jelas, sehingga pemindahan tanggung jawab kedaulatan untuk melindungi warga sipil dapat berpindah ke tangan komunitas internasional. Kedua, adanya keinginan DK yang lebih besar atas fleksibilitas dalam asesmen berdasar analisis kasus per kasus. Meskipun sudah terintegrasi dalam sistem PBB, terbukti bahwa kebijakan intervensi belum dapat menyelamatkan isu kemanusian dengan baik. Data Departemen of Peacekeeping Operation (DPKO) menyatakan bahwa terdapat 1,1 juta displaced person hingga 2006 karena konflik dan ketiadaan pemerintah yang efektif di Somalia dan juga 3,4 juta orang meninggal akibat konflik di Congo (International Crisis Group Data, 2008). Data ini merupakan bukti kasus yang belum terselesaikan dalam isu kemanusiaan. Pertanyaan penting yang kemudian dilontarkan adalah siapa yang seharusnya memiliki tanggung jawab dan hak untuk melakukan intervensi. Amerika Serikat menekankan bahwa penerimaan terhadap prinsip tanggung jawab tersebut tidak berarti sama dengan bertindak untuk hal tersebut. Lemahnya political will dan kapasitas menjadi hambatan politik dalam implementasi R2P. 19 Hal yang tergambar jelas dalam perkembangan doktrin intervensi kemanusiaan adalah suatu prinsip perdamaian liberal atau liberal peace yang menjadi salah satu nilai yang dipegang dalam norma internasional. Advokat internasionalis liberal meng-klaim bahwa norma internasional baru memprioritaskan hak individual untuk yang menciptakan suatu upaya penerbitan laporan tentang R2P oleh ICISS 2001. Namun, dalam pandangan pragmatis, hal ini memberikan celah yang lebih luas terhadap negara barat untuk meramu alasan dalam melakukan intervensi ke luar negeri. Krisis legitimasi pada akhirnya 19 Lee Feinstein and Erica De Bruin, “Beyond Words: U.S. Policy and the Responsibility to Protect“ dalam Responsibility to Protect: The Global Moral Compact for the 21st Century, ed. Richard H. Cooper dan Juliette Voinov Kohler (New York: Palgrave Macmillan, 2009), 139. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 14 ditantang dalam suatu dinamika antara moralitas dan Realpolitik. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi ide berbasis moral dalam konsep perdamaian liberal. Terjadinya perbedaan antara apa yang diamksud dengan legitimasi secara moral dan hal apa yang benar dalam hukum internasional telah menunjukkan disparitas antara keseimbangan power internasional pada Irak 2003 dan pada 1945 ketika piagam PBB diciptakan.20 Namun pada dasarnya Realpolitik dan moralitas tidak kontradiktif. R2P menunjukkan bahwa moralitas dapat bekerja mendukung power, namun tidak sebaliknya. Chandler berpendapat bahwa jika negara hanya dapat menjamin moralitas aksinya melalui akuntabilitas kepada masyarakat internasional dan ancaman intervensi, maka negara major power sekalipun tidak terbebas dari akuntabilitas sehingga tingkat pelanggaran dapat diminimalisir. Dengan demikian, negara major power, yang mengemban gelar `good international citizen` akan beraksi melalui legitimasi moral yang tinggi dari negara lain.21 Dalam hal inilah terlihat bagaimana liberal peace menjadi suatu bagian penting dalam norma internasional, namun tidak terlepas dari kerentanan Realpolitik. 20 David Chandler, “The Responsibility to Protect“, Center for the Study of Democracy, University of Westminster, no. 11 (2004): 75-76, http://www.tandfonline.com/loi/finp20. 21 Ibid. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 15 2.2. Studi kasus Suatu nuansa konstroversi kebijakan intervensi kemanusiaan oleh komunitas internasional dapat dilihat melalui contoh kasus intervensi di Kosovo 1999, Irak 2003, Georgia 2008 dan Libya 2011. Keempat kasus ini dipilih karena kontroversi legitimasi dalam pelaksanaan intervensi. Dengan penjelasan singkat atas keempat kasus, diharapkan kita dapat melihat aspek pembentuk legitimasi dari intervensi kemanusiaan. Penjelasan pada subbab ini akan menjelaskan kasus intervensi NATO ke Kosovo 1999, Intervensi AS ke Irak 2003, invasi Rusia ke Georgia 2008 dan NATO di Libya 2011 secara singkat untuk menunjukkan permainan justifikasi legal oleh negara besar dan pengaruhnya terhadap doktrin R2P. Dalam penjelasan kasus intervensi tersebut, juga dapat dilihat bagaimana suatu legitimasi moral pada akhirnya dapat berperan sebagai justifikasi dan legitimasi intervensi yang diterima oleh komunitas internasional. Tabel dibawah dapat mengilustrasikan legitimasi legal dan moral yang terbentuk dalam keempat studi kasus intervensi kemanusiaan. Tabel 2. Legitimasi Kasus Kontekstual Legalitas Legitimasi Moral Pengintervensi Kosovo ✗ ✔ NATO Irak ✗ ✗ AS - Inggris Georgia ✗ ✗ Rusia Libya ✔ ✔ NATO 2.2.1. Kosovo 1999 Jika Perang Gulf (1990-1) menandai awal tatanan dunia baru dalam intervensi untuk kemanusiaan, Kosovo merupakan tragedi pertama yang `memaksa` NATO untuk melancarkan perang humaniter tanpa otoritas PBB. Meskipun tragedi kemanusiaan yang terjadi di Kosovo merupakan hal yang cukup nyata bagi banyak pihak internasional, penggunaan kekerasan oleh entitas regional NATO tanpa otoritas PBB menjadikan kejadian tersebut sebagai Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 16 preseden yang tidak baik bagi larangan penggunaan kekerasan secara legal. Namun demikian, satu hal yang pasti tentang Kosovo adalah bahwa perlindungan terhadap pelanggaran atas HAM dapat menjadi suatu prinsip yang menentukan dalam yurisdiksi domestik negara. 22 Meskpun ilegal, invasi ke Kosovo dapat dianggap memiliki legitimasi secara moral karena tragedi kemanusiaan yang berkepanjangan merupakan suatu fakta yang dapat dibuktikan dan diakui masyarakat internasional. Tidak terciptanya konsensus intervensi Kosovo terjadi karena ancaman veto Cina dan Rusia yang memiliki hubungan dengan Rezim Milosevic, padahal mayoritas anggota DK menunjukan sikap positif terhadap kebijakan untuk invasi. Wheeler berpendapat bahwa Invasi NATO ke Kosovo 1999 yang tidak melalui persetujuan badan PBB akhirnya tidak bisa ditolak karena aksi tersebut memiliki tujuan perlindungan yang cukup nyata atas warga sipil di Yugoslavia. Lebih lagi, retorika tentang kegagalan PBB dalam mencegah pembunuhan masalah di Rwanda 1994 dan Srebrenica 1995 menjadi alasan kuat sebagai batasan nonintervensi untuk menyelamatkan nyawa warga sipil oleh komunitas internasional. Meskipun pada awalnya veto hampir dilayangkan Rusia, hubungan AS dan Rusia setelah invasi tidak secara signifikan terganggu. Fakta bahwa hubungan politik antara Amerika dan Rusia tidak secara signifikan terganggu ini menunjukkan Amerika serikat yang memiliki kekuatan politik lebih kuat (realpolitik).23 Selain itu, Invasi ke Kosovo juga menjadi momentum yang menunjukkan suatu fase baru dalam politik internasioal di mana NATO ingin menciptakan stabilitas kewilayahan lebih luas dan Amerika Serikat ingin mempertegas pengaruh politik dan superioritas militernya di wilayah Eropa.24 22 A. J. R. Groom dan Paul Taylor, “The United Nations System and the Kosovo Crisis,“ dalam Kosovo and the Challenge of humanitarian intervention: Selective Indignation, Collective Action, and International Citizenship, ed. Albrecht Schnabel dan Ramesh Takur (Tokyo: United Nations University, 2000), 291-318. 23 Nicholas J. Wheeler, “The Humanitarian Responsibility of Sovereignty: Explaining the Development of A New Norm of Military Intervention for Humanitarian Purposes in International Society“ dalam Humanitarian Intervention and International Relations, ed. Jennifer M. Welsch (New York: Oxford University Press, 2004), 166. 24 G. John Ikenberry, “The costs of victory: American power and the use of force in the contemporary order,“ dalam Kosovo and the Challenge of Humanitarian: Selective Indignation, Collective Action, and International Citizenship, ed. Albrecht Schnabel dan Ramesh Takur (Tokyo, United Nations University Press, 2000), 86-87. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 17 Bagi banyak negara Barat, NATO merupakan aliansi dari negara-negara demokrasi dan oleh sebab itu memiliki validasi dalam tesis perdamaian demokratis. Menurut mereka, kebijakan untuk mengintervensi Kosovo secara militer dan tanpa wewenang DK diakibatkan oleh hambatan institusional untuk melakukan aksi yang efektif dan tepat oleh PBB. Oleh karena itu, intervensi ilegal oleh NATO masih dapat dianggap sebagai suatu aksi yang memiliki legitimasi. Komisi Internasional Independen Kosovo yang diketuai Richard Goldstone and Carl Tham berkesimpulan bahwa intervensi NATO adalah ilegal namun memiliki legitimasi. Legitimasi memiliki kedudukan diatas legalitas: Sehingga rezim Apertheid yang legal di Afrika Selatan merupakan sesuatu yang dapat dikatakan legal tetapi tidak memiliki legitimasi karena adanya ketidakadilan sosial dan penolakan masyarakat.25 Jane Stromseth menyebutnya dengan istilah `excusable breach` di mana intervensi melanggar norma legal piagam PBB namun aktor intervensi tidak mendapat sanksi karena secara moral dan politik, invasi NATO dapat dijustifikasi sebagai kasus pengecualiaan (exceptional circumstance). 26 Dengan demikian legitimasi bukanlah suatu indikator yang diukur hanya berdasarkan hukum internasional tetapi juga melalui pertimbangan moral dan etis yang berasal dari norma internasional. 2.2.3. Irak 2003 Jika NATO berhasil membentuk legitimasi normatif bagi komunitas internasional untuk membentuk argumen humaniter dalam intervensi Kosovo, Presiden Bush dan Blair memiliki kesulitan yang lebih rumit dalam membentuk justifikasi humaniter atas invasinya ke Irak 2003. Amerika Serikat tidak berhasil meyakinkan komunitas internasional atas kepemilikan Irak atas senjata pembunuh masal (Weapon of Massive Destruction/ WMD). Alasan yang dijadikan pembenaran invasi AS dan Inggris ke Irak secara ilegal dan okupasi terhadap Irak pada Maret 2003 telah dibuktikan salah. Alasan adanya senjata pemusnah masal (WMD/ Weapon of Massive Destruction) tidak 25 Ramesh Takur, The United Nations, Peace and Security, 215-217. Jane Stromseth, “Rethinking Humanitarian Intervention: The Case for Incremental Change,“ dalam Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas, ed. Robert O. Keohane, J. L. Holzgrefe (Cambridge University Press: Cambridge, 2003), 243. 26 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 18 dapat dibuktikan dan klaim bahwa koneksi antara terorisme al Qaeda dan rezim Saddam hussein adalah sesuatu yang tidak terbukti dan merupakan alasan buatan AS untuk menciptakan dukungan publik dalam invasi Irak. Motif sebenarnya dari aksi kedua sekutu adalah untuk mengontrol dan mendominasi Timur Tengah. Mendirikan hegemoni di kawasan dan menjamin kontrol terhadap kawasan dengan cadangan minyak terbesar dan memperkuat posisi strategis AS sebagai sekutu Israel. 27 Invasi Irak 2003 mengkonfirmasi bahwa, sekalipun perihal terorisme, agresi perang merupakan taktik yang tak dapat diterima. Berbagai survey internasional telah menunjukkan penolakan terhadap intervensi AS ke Irak 2003.28 Justifikasi intervensi kemanusiaan untuk pembebasan terhadap masyarakat Irak dari pemerintahannya merupakan pengaburan atas perang AS terhadap pemerintah Taliban di Afghanistan. Amerika adalah negara besar dan memiliki strategi yang tegas akan kebijakan luar negerinya; strategis secara konsisten, tetapi tidak secara moral.29 Invasi Amerika ke Irak merupakan salah satu pembuktian bagaimana negara dengan kekuatan besar menjadikan konsep R2P sebagai justifikasi dan pembenaran terhadap aksi militer untuk penyamaran dari kepentingan keamanannya dalam War on Terror. 2.2.3. Georgia 2008 Pada tahun 2008, Pemerintah Rusia berargumen bahwa operasi militer yang dilancarkan kepada Georgia dapat dijustifikasi melalui Responsibility to Protect (R2P). Presiden Dmitry Medvedev, Perdana Mentri Putin dan Dubes Rusia untuk PBB, Vitaly Churkin menyatakan aksi Georgia melawan masyarakat lokal di Ossetia Selatan sebagai Genosida, dan oleh karena itu Menteri Luar Negeri Sergey Lavriv secara jelas juga menyebutkan bahwa aksi militer Rusia ke Georgia tersebut merupakan pelaksanaan dari doktrin R2P untuk misi 27 “World Tribunal on Iraq,“ Transnational Institute, terakhir dimodifikasi 17 November 2005, diakses 2 Mei 2013, http://www.tni.org/archives/mil-docs_wti. 28 Ibid., 237. 29 Ibid., 241. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 19 penyelamatan masyarakat sipil. 30 Aksi ini mendapat berbagai penolakan oleh komunitas internasional. Gareth Evans menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan invasi tersebut tidak dapat diterima sebagai suatu upaya R2P. Alasan pertama adalah karena Invasi bertujuan untuk melindungi warga Rusia yang tinggal di dan dekat dari Ossetia Selatan. Upaya untuk melindungi warga negaranya yang tinggal di luar teritorialnya ini jelas bukan merupakan rasional R2P. Penyerangan Rusia ke Ossetia, yang merupakan bagian dari wilayah Georgia lebih tepat dinyatakan sebagai self-defense. Negara menganggap warga negaranya menjadi terancam ketika terdapat ancaman yang berada diluar teritorialnya dan ditakutkan mengancam keamanan negara, sehingga suatu tindak penyelamatan harus dilakukan dengan cara intervensi ke wilayah yang bukan merupakan teritorialnya. Namun penyerangan militer tersebut mendapat berbagai penolakan dari komunitas internasional dan menciptakan skeptisme dari berbagai pihak atas upaya Rusia untuk menciptakan justifikasi misi intervensinya. Alasan kedua adalah tidak adanya upaya awal R2P dalam bentuk diplomasi dan aksi non-kekerasan lainnya sebelum invasi secara militer. Invasi secara militer hanya boleh dilakukan atas kasus ekstrim tertentu yang tidak dapat diselesaikan lagi melalui upaya diplomatis dan non-kekerasan. Dalam invasi ke Georgia, Rusia tidak menunjukkan upaya awal untuk dapat menyelesaikan permasalahan secara non-kekerasan melalui DK PBB atau instrumen PBB lainnya agar membentuk legitimasi dari komunitas internasional untuk penggunaan aksi militer. Justifikasi yang digunakan tidak dapat memberikan kesan serius atas ancaman yang ada, apalagi terhadap Genosida atau kejadian yang mendekati. Aksi Penyerangan pemerintah Georgia ke Tskhinvali (Ibukota Ossetia Selatan, Georgia) memang melanggar, tapi bukan berarti hal tersebut menjadi indikasi dan manifestasi dari kegagalan Pemerintah Georgia dalam melindungi masyarakatnya. Dengan demikian, tidak ada kekuatan hukum dalam intervensi Rusia ke Georgia. Sebuah argumen yang sebenarnya Moskow juga perkarakan 30 Gareth Evans, “Russia in Georgia: Not a Case of The Responsibility to Protect,“ The center for the Study of Democratic Institutions: New Perspectives Volume 25, no. 4 (2008): 53-55, doi/10.1111/npqu.2008.25.issue-4/issuetoc Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 20 dan bertikai panjang saat AS mengabaikan velidasi wewenang DK pada invasi NATO di Kosovo 1999 dan di Irak 2003. Peristiwa ini dapat menunjukkan salah satu pragmatisme dari negara besar untuk mengendarai doktrin sebagai alasan intervensi untuk kepentingan nasionalnya. Alih-alih penyelamatan isu kemanusiaan pada akhirnya tidak dapat dibuktikan dan menimbulkan kecurigaan dan skeptisme dari berbagai pihak dalam politik internasional. 2.2.4. Libya 2011 Kebijakan Intervensi lainnya yang kontroversial dan membuka fase signifikan dalam perkembangan doktrin R2P adalah intervensi NATO ke Libya 2011. Gareth Evan, Tim Dunne, Jess Gifkins, Mohammed Nuruzzaman menyatakan bahwa intervensi NATO ke Libya merupakan suatu tantangan bagi doktrin PBB karena menimbulkan berbagai kecurigaan tidak hanya dari negara BRIC tetapi negara-negara lainnya. Alih-alih melindungi masyarakat dari kekejian rezim Gadafi, intervensi Libya terlihat sebagai upaya penaklukan rezim. Menurut Gareth Evan, hal inilah yang menjadi salah satu alasan terhalangnya intervensi untuk Suriah hingga saat ini. Intervensi NATO yang dianggap telah melewati batas logika intervensi dan membantu penggulingan Rezim Gadafi menjadi kecurigaan besar oleh Cina, Rusia dan negara lainnya. Mohammed Nuruzzaman mencoba melakukan evaluasi terhadap kebijakan intervensi ke Libya: apakah resolusi 1973 telah mengikuti aspek-aspek yang ada di dalam dokumen World Summit dan dokumen terdahulu lainnya mengenai R2P. Penyerangan NATO ke Libya menjadi momen penting dalam perkembangan lanjutan dari R2P karena tindakan tersebut melibatkan penjatuhan atas rezim Gadafi. Padahal Kejadian di Yemen dan Suriah memiliki tingkat keparahan yang tidak kalah sadisnya. Disinilah Nuruzzaman mencoba membuktikan adanya motif norma R2P yang bercampur dengan Realpolitik. Nuruzzaman menjelaskan tiga alasan utama mengapa penjatuhan rezim Gadafi pada Oktober 2011 lalu memberi dampak detrimental terhadap doktrin R2P:31 31 Mohammed Nuruzzaman, “The Responsibility to Protect Doctrine: Revived in Libya, Buried in Syria,“ Insight Turkey, no. 15.2 (2013): 57-66, search.proquest.com.libproxy1.nus.edu.sg/docview/1350533876 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 21 1. Kekuatan militer dilancarkan dengan begitu cepat. Hal ini melanggar dalil yang ada dalam dokumen World Summit 2005 tentang upaya non-militer sebagai kebijakan terakhir dalam upaya intervensi; bahwa kekuatan militer hanya boleh dilakukan dalam kasus ekstrim. Pada April 2011, saat Uni Afrika berupaya untuk mengadakan negosiasi antara kubu pemerintahan Gadafi dan pemberontak dari National Transitional Council (NTC), Negara Barat (Prancis, AS dan Inggris) malah melakukan sabotase terhadap upaya tersebut. 2. Adanya pertentangan atau paradoks antara kejahatan kemanusiaan dan Kejahatan Perang. Setelah NATO intervensi, terdapat puluhan ribu rakyat sipil yang meninggal akibat upaya pemboman NATO ke Libya. Fakta ini ditunjukkan dalam laporan Human Rights Watch (HRW), Amnesty internasional, New York Times, dan juga BBC yang menyebutkan 200030.000 orang meninggal akibat bombardir NATO. 3. Resolusi 1973 secara moral dan etis juga tidak dapat diterima karena kebijakan barat pasca intervensi yang tidak baik. Segera setelah penjatuhan rezim, NATO meninggalkan Libya dan membiarkan kelompok NTC di Libya berhadapan dengan masalah internal dan perpecahan dan berakhir pada terhambatnya upaya rekonsiliasi politik internal. Jelas ketiga faktor inilah yang menciptakan kecurigaan bagi masyarakat dunia, negara-negara dari belahan bumi Asia, Afrika, Latin Amerika dan lainnya. Dengan skeptisme yang muncul pasca intervensi NATO ke Libya, banyak negara yang sungkan mendukung intervensi di Syria. Alasan-alasan ini juga digunakan oleh Rusia dan Cina dalam ancaman veto terhadap intervensi yang dicanangkan oleh DK mengenai kekerasan yang terjadi di Suriah. Intervensi ke Suriah mendapat hambatan besar dan doktrin R2P menghadapi masa depan yang cukup suram. Aspek lain yang dapat dipelajari dari intervensi Libya adalah posisi Cina yang memberikan preseden yang berbeda dari sebelumnya. Secara tradisional, Cina adalah negara yang memiliki prinsip keras akan kedaulatan dan percaya akan kebijakan non-intervensi terhadap permasalahan negara lain. Namun, pada intervensi Libya 2011 lalu yang dianggap beberapa pihak sebagai keberhasilan Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 22 pertama untuk menerapkan R2P pasca World Summit 2005, negara-negara BRIC (pada tahun 2011 merupakan anggota DK PBB) dan Jerman memilih untuk tidak menentang resolusi tetapi mengambil posisi abstain. Hal ini dilakukan karena kuatnya dukungan institusi regional dalam resolusi menjadikan BRIC tidak dapat menciptakan legitimasi atas pelarangan intervensi. Perlawanan terhadap upaya intervensi dapat menyebabkan kritik tajam dari berbagai pihak. Hilangnya popularitas Gadafi terlihat dari bagaimana Gulf Cooperation Council (GCC) dan Konferensi Negara Islam (OIC) pada 12 Maret 2011 mengutuk tindakan Pemerintahan Gadafi, mengeluarkannya dari keanggotaan organisasi regional, dan Liga Arab pun mengeluarkan resolusi no-fly zone untuk melindungi rakyat sipil.32 Dengan demikian, Intervensi di Libya memang dapat disebut sebagai fase baru dari konsep R2P di mana konsensus regional dapat menjadi suatu penentu permainan (political game-changer). 2.2.4.1. Advokasi Negara dalam R2P Dibalik argumen skeptis berbagai pihak tentang intervensi NATO ke Libya, Tim Dune dan Jess Gifkins (2011) membaca satu pelajaran penting yang dapat kita tarik dari proses diplomasi yang ada. Kasus Libya dapat menunjukkan bahwa advokasi oleh negara (state based advocacy) adalah suatu tahapan yang penting dalam pembentukan legitimasi dari prinsip R2P. Dalam analisisnya Dune dan Gifkins menelaah peranan diplomatis dari Canberra. Beberapa poin singkat berikut dapat menggambarkan peranan diplomatis Australia dalam mengadvokasikan intervensi dalam kasus Libya:33 • Seminggu setelah pemberontakan di Libya mulai, Kevin Rudd membuat pernyataan tegas melalui radio berita ABC; menyatakan dukungannya atas aspirasi para pemrotes yang menuntut hek kebebasan dan hidup yang lebih baik. 32 Andrew Garwood, “China and the Responsibility to Protect: The Implications of the Libyan Intervention,“ Asian Journal of International Law, no. 2 (2012), 375-393. 33 Tim Dunne & Jess Gifkins, “Libya and the State of Intervention,“ Australian Journal of International Alffairs 65, no. 5 (2013): 58, http://www.tandfonline.com/loi/caji20 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 23 • Bersamaan dengan itu, Liga Arab sebagai organisasi regional menghentikan keanggotaan Libya pada Februari 2011. • Diplomasi Australia mencoba meningkatkan pengaruh advokasi mereka melalui pendekatan kepada anggota permanen DK PBB, kemudian pendekatan kepada Human Rights Council (HRC). Menteri Luar Negeri juga mendesak DK untuk memberikan pesan tegas kepada rezim Gadafi dan tidak akan mentolerir kekerasan yang mereka ciptakan. • Pemerintah Australia juga menulis kepada Brazil yang pada saat itu adalah Presiden DK PBB untuk mengeluarkan pernyatakan tegas kepada rezim Gadafi. • Pada saat yang bersamaan, Australia meningkatkan konstribusinya dan menjadi donor ketiga terbesar untuk dana kemanusiaan (Humanitarian Aid) Dengan demikian, Australia telah membantu proses sekuritisasi kasus Libya ke dalam konteks dokstrin R2P melalui tiga upaya: (1) Menggerakkan urgensi isu Libya ke agenda internasional, (2) Menggarisbawahi pentingnya aksi tegas oleh DK PBB, dan (3) Upaya justifikasi kekerasan dalam konteks pengecualian untuk melakukan intervensi militer. Hal ini dapat menjadi pembelajaran dalam perkembangan doktrin R2P bahwa advokasi suatu negara dapat mempengaruhi prosesi dan dinamika kebijakan intervensi kemanusiaan. Dengan kata lain, untuk merealisasikan intervensi kemanusiaan secara tegas, aktor negara dapat berkontribusi sebagai pembentuk urgensi isu intervensi ke suatu negara yang mengalami tragedi kemanusiaan. 2.2.4.2. Suriah: Sebuah Refleksi Skeptisme yang muncul dari kasus penaklukan rezim di Libya memiliki efek detrimental terhadap suatu negosiasi intervensi kemanusiaan di Suriah. Alihalih ketakutan atas penggulingan rezim Assad melalui intervensi, Rusia dan Cina memblok negosiasi di DK PBB. Konfrontasi yang tejadi antara pemerintahan Assad dan pemberontak di Suriah telah memakan begitu banyak korban warga sipil, namun intervensi atas krisis belum kunjung dapat dilancarkan. Gareth Evan menyebutkan bahwa terdapat empat faktor yang merupakan pengaruh lingkungan Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 24 geopolitik yang membuat intervensi ke Suriah tidak berhasil dilakukan. Pertama, kompleksitas perpecahan internal yang terjadi di Syria dapat menjadi ancaman besar dan memberikan dampak negatif bagi negara – negara tetangga. Pemberontak dapat keluar dari Libya untuk menyelamatkan kekuatan dan perpindahan refugee dan Internally Displaced Person (IDP) akan menjadi beban yang tidak ringan bagi negara tetangga. Faktor kedua adalah komitmen dan hubungan baik yang terjalin lama antara Rusia dan Rezim Assad. Hal ini mencegah Rusia untuk meloloskan suatu resolusi yang mengutuk Rezim Assad, apalagi untuk kebijakan intervensi. Namun dalam praktiknya, Rusia menggunakan justifikasi pelanggaran dan penjatuhan rezim di Libya 2011 sebagai alasan penopang kebijakan Rusia untuk mem-veto resolusi intervensi ke Suriah. Ketiga, tidak adanya persetujuan kuat dari Liga Arab untuk melancarkan aksi yang keras terhadap Suriah; berbeda dengan awal mula inisiasi untuk intervensi Libya yang didukung oleh berbagai institusi regional di Timur Tengah. Keempat, Kuatnya tentara bersenjata Suriah, terutama pertahanan udara. Hal ini dianggap dapat menjadi tantangan utama karena intervensi akan sangat sulit dilakukan dan dapat menelan banyak korban.34 Salah satu faktor penghambat – komitmen dan relasi Rusia dengan rezim Assad – menjadi faktor yang mencitrakan kepentingan nasional Rusia untuk dapat melindungi aliansinya. Alhasil, Rusia merupakan negara yang mengancam akan menggunakan veto apabila DK PBB memutuskan untuk melakukan intervensi ke Suriah. Dengan demikian, terjadilah deadlock dalam negosiasi Dewan Keamanan PBB. 34 Gareth Evan, “Libya,“ The World Today, no. 68. 8/9 (2012): 30-32, earch.proquest.com.libproxy1.nus.edu.sg/docview/1170904293 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 25 BAB III: PEMBAHASAN 3.1. Aspek Legalitas dalam Legitimasi Doktrin R2P 3.1.1. Wewenang DK PBB Berdasarkan Customary Law sebelum lahirnya Piagam PBB, suatu intervensi merupakan hal yang boleh dilakukan untuk penyelamatan terhadap HAM, meski ada perlawanan dari pihak atau negara lain. Sedangkan setelah Piagam PBB diciptakan hal ini tidak berlaku lagi. Dalil yang ada dalam pasal 2(4) Piagam PBB mencegah upaya yang dapat melampaui kedaulatan suatu negara. Sekalipun suatu upaya intervensi kemanusiaan harus dilakukan maka kebijakan tersebut harus sah melalui wewenang DK PBB untuk membentuk suatu legitimasi hukum inernasional. Dalam hal ini, intervensi kemanusiaan bukanlah suatu pengecualian tetapi merupakan suatu hal yang harus patuh akan hukum internasional juga.35 Intervensi kemanusiaan pada dasarnya merupakan ekstensi dari kekuatan Dewan Keamanan dalam Bab VII yang melegalkan penggunaan kekerasan sebagai upaya dalam melindungi warga sipil dari kekerasan dalam suatu kasus ektrim tertentu. Melalui poin inilah kemudian Negara Barat memimpin berbagai intervensi untuk melindungi kehidupan warga sipil di Irak, Somalia, Haiti, Balkan dan intervensi militer lainnya.36 Ramesh Takur melihat sentralitas DK PBB sebagai hambatan dalam pembentukan legitimasi legal dalam intervensi kemanusian. Takur menjelaskan argumennya melalui tiga faktor. Pertama, sentralitas keputusan intervensi yang rentan akan kepentingan nasional anggota P-5 dengan veto merupakan hambatan yang signifikan.37 Intervensi yang dilakukan tanpa wewenang DK pada akhirnya akan menjadi preseden yang buruk dalam hukum internasional dan pencemaran bagi landasan politik internasional. Faktor kedua adalah bahwa, pada akhirnya, tidak ada pihak yang dapat memaksa DK PBB untuk mencapai konsensus dalam kasus humaniter karena pemaksaan tersebut hanya akan menciptakan kelumpuhan 35 Maya Stanulova, Has Humanitarian Intervention Become an Exception to the Prohibition on the Use of Force in Article 2(4) of the UN Charter? (England: Edinburgh University, 2010), 16. 36 Nicholas J. Wheeler, The Humanitarian Responsibility of Sovereignity, 112. 37 Ramesh Takur, The United Nations, Peace and Security, 67. 25 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 26 politik karena anggota DK yang memiliki keinginan politik dan sumber daya (untuk intervensi) pun bisa menjadi pasif dan apatis terhadap intervensi yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu, suatu intervensi harus melalui validasi kewenangan dari Dewan Keamanan untuk menciptakan suatu legitimasi legal. Pelanggaran terhadap ketentuan ini berarti pelanggaran terhadap hukum internasional. Ketiadaan wewenang DK berarti preseden buruk bagi intervensi kemanusiaan berikutnya. 3.1.2. Aktor Intervensi dalam sistem PBB Dalam implementasi R2P, PBB harus tetap menjadi focal point karena Institusi ini yang memiliki keanggotaan universal, memiliki legitimasi global dari dan melalui piagamnya. Berbagai tingkatan badan di dalamnya juga dapat mengakomodasi berbagai aspek perdebatan. Namun, dalam melaksanakan banyak dari fungsinya, termasuk yang terkait perdamaian dan keamanan, PBB memiliki reputasi lambat tanggap, dan birokratis. Belum lagi isu finansial, kekurangan tenaga operasi perdamaian dan lainnya. Beberapa fakta ini diantaranya membentuk respon yang lamban dan tidak tanggap terhadap isu kemanusiaan yang ada di Rwanda dan Srebrinica. Namun, solusi dari permasalahan tersebut bukanlah untuk mencari pengganti atau menghindari tetapi mencari cara agar PBB dapat berfungsi dengan lebih baik dalam hal ini. Dalam praktek intervensi kemanusiaan, Maya Stanulove menawarkan beberapa opsi aktor yang dapat melakukan intervensi sesuai dengan prosedur yang ada dalam piagam PBB. Prinsip yang melandasi upaya intervensi harus dapat merujuk pada pasal 33 Piagam PBB yang menyatakan intervensi hanya boleh dilakukan setelah seluruh aksi non-kekeraan telah dan gagal dilakukan. Aktor yang memiliki wewenang untuk melakukan intervensi tersebut adalah:38 • Dewan Keamanan PBB sebagai aktor utama yang memiliki kontrol atas aksi internasional untuk memonitor situasi dan memberikan wewenang atas penggunaan kekerasan. Dengan sistem ini maka kemungkinan pelanggaran pun dapat direduksi, meskipun ketakutan atas penyalahgunaan selalu ada. 38 Maya Stanulova, Has Humanitarian Intervention Become an Exception. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 27 • Jika DK PB gagal maka Sidang Umum dapat mengambil langkah melalui apa yang disebut dengan Uniting for Peace Resolution (UPR), karena pada akhirnya sidang umum dapat mewakili opini publik dunia. Namun menurut Luke Glanville39 pada akhirnya UPR adalah hal yang sulit untuk dilakukan karena upaya ini memiliki kemungkinan kecil untuk disetujui oleh anggota DK PBB karena dapat mendiskreditkan wewenang dan kekuatan veto mereka. Selain itu, menurut International Court of Justice (ICJ), UPR harus dilaksanakan melalui rujukan DK. • Jika Sidang Umum tidak berhasil, organisasi internasional/ kawasan dapat melakukan intervensi. Hal serupa sudah mulai ditunjukan oleh Uni Afrika, dalam undang-undang Konstitusi Uni Afrika (Pasal 4, tahun 2000) yang menyatakan kebutuhan intervensi oleh organisasi kawasan saat ditemukannya kejahatan kemanusiaan di Afrika. Gareth Evan menyebutkan bahwa organisasi regional juga diakui dalam Bab VIII Piagam PBB yang mengidentifikasi peranannya. Aktor regional paling aktif dalam isu perdamaian dan keamanan adalah North Atlantic Treaty organization (NATO), Uni Afrika (AU), Uni Eropa (EU), dan mitra subregionalnya, Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE). Adapun badan lainnya, namun misi utama berfokus ekonomi, seperti OAS, CIS, ASEAN, dan SCO. Kerjasama dengan institusi regional memiliki keuntungan komparatif, karena: (1) pemahaman terhadap dinamika krisis di wilayah: kultur, sejarah, (2) relatif lebih diterima sebagai peacemaker dari pada outsider, (3) relatif efektif secara pendanaan karena kedekatan geografis, (4) lebih memiliki “ownership“ dari krisis tersebut dalam hal penyelesaian masalah.40 39 Luke Glanville, “The International Community`s Responsibility“ dalam Protecting the Displaced: Deepening the Responsibility to Protect, ed. Sara E. Davies dan Luke Glanville (The Netherlands: Koninklijke Brill NV, 2010), 225. 40 Gareth Evans, The Responsibility to Protect: Ending Mass Atrocity Crimes Once and For All (Washington: Brookings Institution, 2008), 125-200. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 28 Dewan Keamanan PBB, Sidang Umum, Human Rights Council (HRC) merupakan badan utama PBB yang memiliki peran sentral dalam koordinasi doktrin R2P. Dalam kesekretariatan PBB, Sekjen, The office of the special Adviser on the Prevention of Genocide, The Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR), Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA). Departement of Peacekeeping Operations (DPKO) juga menjadi aktor kunci pelaksanakaan dan monitoring R2P.41 Keseluruhan aktor yang telah dijelaskan diatas merupakan pihak-pihak yang dapat terlibat dalam prosesi kebijakan intervensi kemanusiaan dalam sistem PBB. Untuk menciptakan suatu legitimasi hukum, maka kebijakan intervensi hanya dapat dilakukan melalui mekanisme yang tercantum dalam piagam PBB dan konvensi-konvensi terkait. Suatu tindakan aktor diluar mekanisme tersebut akan dianggap sebagai suatu pelanggaran dan pencemaran terhadap hukum internasional. 3.1.3. Analisis Dokumen R2P Dalam perkembangannya, konsep R2P telah menghasilkan beberapa dokumen dan konvensi internasional yang membentuk norma legal pada tingkat politik internasional. Dalam aspek legalnya, naskah dalam dokumen hasil World Summit 2005 dapat disebut sebagai dokumen paling kuat diantara empat dokumen yang ada. 42 Dokumen tersebut menunjukkan seberapa besar keinginan negara untuk menciptakan norma legal R2P dalam sistem PBB. Sebagai suatu slogan politik (political catchword), konsep R2P memiliki perkembangan yang cukup pesat di tingkat internasional. Hal ini berkaitan dengan beberapa spektrum penggunaan konsep dalam hukum internasional. Carsthen Stahn menyebutkan bahwa konsep R2P memiliki pemaknaan yang berbeda dalam empat dokumen yang telah dihasilkan dalam perkembangan doktrin: laporan Commission on State Sovereignity and Intervention, Laporan High-Level Panel, laporan Sekjen PBB, dan dokumen hasil World Summit 2005. 41 William Pace, Realizing the Responsibility to Protect in Emerging and Acute Crisis, 67. Carsten Stahn, “Responsibility to Protect: Political Rehtoric or Emerging Legal norm?,“ The American Journal of International Law 101, no. 1 (2007): 99-120, http://www.jstor.org/stable/4149826 42 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 29 (1) Laporan Commission on State Sovereignity and Intervention tahun 2001 adalah dokumen yang paling komprehensif membahas dilema hukum dan politik dalam intervensi kemanusiaan dan merupakan dokumen yang menghasilkan konsep kedaulatan sebagai tanggung jawab (bukan hak). Kedaulatan lebih dianggap sebagai amanat negara untuk melindungi masyarakatnya dari kekerasan dibanding kuasa atas kontrol domestik oleh negara. Laporan Komisi ini juga mengembangkan lima kriteria legitimasi dalam intervensi yang dapat diterapkan dalam DK PBB yaitu prinsip dasar dari konsep Just War: Just cause, right intention, last resort, proportionality of means, dan reasonable prospect of success. (2) Laporan High Level Panel on Threats, Challenges and Change (2004) menghasilkan keputusan yang mengarah kepada reformasi institusi PBB. Laporan secara jelas menyebutkan konteks penggunaan kekerasan dalam artikel Piagam PBB Bab VII, ancaman internal dan tanggung jawab melindungi. Hal penting dalam laporan menyebutkan hubungan antara visi untuk pembagian tanggung jawab bersama dalam PBB. Diciptakannya laporan ini menjadikan konsep R2P untuk pertama kalinya secara resmi menjadi kata baru dalam kamus PBB. (3) Dokumen berikutnya adalah Laporan Sekjen PBB. Laporan tersebut menyadari sensitivitas yang terlibat dalam isu ini. Konsep R2P akhirya dipindahkan dari pasal tentang penggunaan kekerasan menjadi bagian dalam pasal tentang kekebasan kehormatan hidup. Hal ini dilakukan untuk melepaskan ikatan konsep R2P dari perbandingan terhadap kekuatan militer. Konsep diarahkan kepada penekanan terhadap cara-cara damai, namun laporan tidak menyatakan tentang kemungkinan aksi unilateral (misal saat terjadi veto di DK PBB). (4) Dokumen Hasil World Summit 2005 adalah penanda digunakannya terminologi R2P secara resmi dalam sistem PBB. Dokumen ini menegaskan doktrin R2P sebagai tanggung jawab moral. Namun, Dubes AS, John Bolton, tidak setuju atas pengwajiban pihak tertentu (Negara atau Dewan Kemanan) untuk mengemban kewajiban tersebut dibawah payung hukum internasional. Tanggung jawab ini dilihat sebagai suatu tanggung jawab moral bagi dunia internasional Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 30 untuk apat bergerak bersama saat ditemukannya indikasi atas kejahatan kemanusiaan. Konsep R2P dilihat sebagai suatu kewajiban moral dari komunitas internasional untuk menggunakan diplomasi, mekanisme ekonomi, humaniter dan cara damai lainnya, termasuk Bab VI dan VIII (Penyelesaian pertikaian secara damai dan pengaturan mekanisme kawasan) dalam piagam PBB. Negosiasi multilateral telah berusaha mencegah reduksi makna menjadi konsep moral tanggung jawab dan menjadikannya lebih jelas secara hukum. Tetapi paragraph 138 dan 139 dari dokumen hasil World Summit 2005 menunjukkan bahwa terdapat pertimbangan politik dan legal yang membingungkan tentang pemaknaan konsep. Setiap individu negara memiliki tanggung jawab melindungi masyarakat dari genosida, kejahatan perang, pembersihan etnik dan kejahatan kemanusiaan (paragraf 138). Namun pengakuan terhadap doktrin R2P tidak sama dengan kesediaan negara untuk melakukan intervensi karena hal tersebut membutuhkan kemampuan material dan keinginan politik (political will) dari suatu negara yang bersangkutan. Dokumen World Summit 2005 memperkuat kedudukan doktrin R2P di dalam institusi PBB di satu sisi, namun garis pedoman teknis dalam metode intervensi tidak berhasil diciptakan. Jika pada Laporan ICISS 2011 disebutkan lima kriteria Just War untuk mendefinisikan ambang batas kebijakan intervensi, World Summit menghasilkan keputusan yang lebih tidak jelas dalam hal kriteria diberlakukannya intervensi. Penilaian terhadap keperluan kebijakan intervensi dinilai berdasarkan konteks kasus yang ada (case-by case basis) oleh anggota Dewan Keamanan. Kontradiktif terhadap tujuan untuk menghasilkan mekanisme sistematis dalam intervensi kemanusiaan yang ingin diciptakan oleh ICISS tahun 2011. Selain dari pada itu, dalil yang menyatakan R2P sebagai suatu tanggung jawab `bersama` dari negara anggota PBB dapat menjadi suatu ketidakjelasan dan pengabur dalam menentukan aktor yang memiliki tanggung jawab dalam hal intervensi. Dalil ini dapat meninggalkan celah di mana pihak yang memiliki kapasitas untuk melakukan intervensi (misal negara P5) dapat mempermainkan interpretasi tanggung jawab siapa atas kasus kejahatan kemanusiaan apa. Hal ini Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 31 cenderung menjadi celah yang dapat menjadi suatu pelanggaran (abuse) dalam politik internasional untuk kepentingan suatu pihak tertentu. Paragraf 139 dalam dokumen hasil World Summit 2005 menyebutkan tanggung jawab bersama tersebut muncul ketika suatu negara secara termanifestasi telah gagal untuk melindungi masyarakatnya dari kekerasan. Ukuran dan bukti telah gagalnya suatu negara tersebut juga tidak terdefinisikan secara jelas. Hal ini terlihat dalam kasus Darfur di mana pemerintah Sudan telah termanifestasi gagal dalam melindungi warga, namun aksi kolektif komunitas internasional tidak secara tegas berupaya menghentikan kekerasan yang ada. Tidak terangkatnya isu Darfur dan tidak adanya kepentingan negara Barat menjadikan intervensi Darfur tidak dilaksanakan secara tegas permasalahan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan. Meski keempat dokumen menyatakan intervensi militer merupakan kebijakan paling akhir ketika pendekatan secara damai telah gagal dilakukan, keempat dokumen tersebut tidak secara gamblang menyebutkan penolakan terhadap opsi unilateral dalam pelaksanaannya. Hal ini menunjukkan pencegahan atas posisi jelas dalam tataran implementasi dan kurangnya spesifisitas hukum yang mengatur. Analisis legal ini membuktikan bahwa doktrin R2P yang berperan sebagai slogan politik (political catchword) dapat menjadi dua sisi pedang yang berbahaya karena dalil-dalilnya yang multi-interpretatif, sehingga dapat digunakan oleh negara adidaya untuk mencapai kepentingan nasionalnya alih-alih menyelamatkan masyarakat. Dengan demikian terdapat tiga indikator utama yang dapat menunjukkan bagaimana dokumen internasional yang membentuk formulasi doktrin R2P dalam sistem PBB bersifat kurang spesifik dan menjadi multiinterpretatif. Pertama, intervensi kemanusiaan sebagai suatu tanggung bersama yang tidak menjelaskan operasionalisasi dari tanggung jawab bersama oleh siapa, hak dan kewajiban siapa. Hal ini menjadi suatu celah yang dapat diinterpretasikan negara big power untuk melancarkan suatu intervensi kepada negara tertentu yang dapat memberikan kepentingan militer atau ekonomi tertentu kepada negara pengintervensi. Terlebih lagi, penggunaan kata yang moderat ini juga dapat menjadi potensi pengabaian terhadap suatu tragedi kemanusiaan di negara Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 32 (sebagai misal di Darfur) yang tidak penting bagi suatu negara big power; hingga tidak masuk dalam pembahasan. Indikator kedua adalah ketiadaan garis pedoman dalam melaksanakan intervensi. Apabila komisi independen dalam ICISS 2011 mengeluarkan laporan yang memberikan rekomendasi atas pentingnya penaksiran atas suatu kebijakan intervensi kemanusiaan melalui konsep Just war (Just cause, right intention, last resort, proportionality of means, dan reasonable prospect of success), dokumen hasil World Summit 2005 tidak memasukkan klausul tersebut dan sebagai gantinya menyatakan bahwa penaksiran justifikasi atas tragedi kemanusiaan dilakukan melalui analisis kasus per kasus (case-by case) oleh anggota dewan keamanan PBB. Hal ini jelas mereduksi spesifisitas dari peraturan atas doktrin R2P tersebut. Indikator ketiga adalah ketidakjelasan kapan suatu negara dikatakan (secara termanifestasi) gagal melakukan kewajibannya melindungi warga sipil. Ketiadaan indikator atau penjelasan konkrit terhadap dalil ini dapat menjadi alat bagi negara pengintervensi untuk memformulasikan alasan dan justifikasi untuk kegagalan suatu negara sehingga mereka dapat masuk dan melakukan intervensi ke negara tersebut. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 33 3.2. Aspek Moralitas/ Etis dalam Legitimasi Doktrin R2P Perdebatan legal dan moral/ etis yang ada dalam penerapan R2P menurut Welsch berasal dari filosofi penolakan terhadap intervensi tersebut. Terdapat perbedaan pandangan pada batas konsensus yang ada tentang hubungan antara legitimasi negara dan perlindungan dan penerapan HAM dan batasan bahwa intervensi kemanusiaan dapat mengatasnamakan komunitas internasional. Hal inilah yang dikategorikan dalam debat masalah legal dan etis. 43 Jika bagian sebelumnya telah menjelaskan aspek-aspek legal yang dapat membentuk legitimasi suatu negara atau kelompok negara dalam melancarkan suatu intervensi kemanusiaan, maka tulisan berikutnya akan mengulas tentang unit pembentuk legitimasi intervensi dari aspek moralitas dan nilai etis suatu intervensi. 3.2.1. R2P sebagai Norma Internasional Pertengahan tahun 1990-an negara Barat mulai menunjukkan komitmen terhadap etika kebijakan luar negeri yang kontradiktif dengan fokus realisme atas power dan kepentingan nasional. Liberal, kosmopolitanis dan solidaris berpendapat bahwa pergeseran dalam prioritas kebijakan luar negeri ini adalah hasil dari advokasi humaniter yang akademisi, organisasi HAM dan NGO telah berhasil yakinkan kepada negara Barat untuk memasukan pertimbangan moral dalam hubungan luar negeri. 44 Pertimbangan moral dalam konteks ini adalah tanggung jawab moral/ etis dari negara untuk dapat melindungi masyarakat sipil dari tindak kekerasan kemanusiaan yang dapat melanggar prinsip dasar dalam nilai universal HAM. Pertanyaan Kofi Annan dalam laporan sekjen tahun 1999 terkait keamanan manusia akhirnya meghasilkan terobosan suatu konsep. Dalam rangka menanggapi pertanyaan tersebut, Pemerintah Kanada membentuk suatu komisi internasional yang bertugas untuk membahas pertanyaan, legal, moral, operasional dan politis dalam suatu intervensi kemanusian. Dibentuk oleh aktor 43 Jennifer M. Welsch, “Taking Consequences Seriously: Objections to Humanitarian Intervention,“ dalam Humanitarian Interventional and International Relations, ed. Jennifer M. Welsch (New York: Oxford University Press, 2004), 169. 44 Aidan Hehir, “Humanitarian Intervention: An Introduction,“ (London: Palgrave Macmillan, 2010), 11-20. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 34 independen, komisi akhirnya datang dengan suatu konsep yang dinamakan Responsibility to Protect (R2P) dalam laporan ICISS 2001. Melalui pembahasan lanjutan di dalam sistem PBB, akhirnya terminologi R2P dapat diterima dan digunakan secara resmi dalam sistem PBB (melalui dokumen hasil World Summit 2005), terlepas dari pemaknaan yang tidak percis sama dengan laporan hasil ICISS. Hal ini telah menunjukkan bahwa suatu intervensi kemanusiaan sebagai tanggung jawab internasional untuk melindungi masyarakat dari kejahatan masal merupakan norma internasional yang telah diakui secara meluas. Meskipun masih ada negara-negara yang memandangnya dengan sebelah mata, tidak ada negara yang secara terang-terangan menolak penerimaan terhadap norma R2P dalam sistem PBB itu sendiri. Welsch berpendapat bahwa terdapat tiga poin penting yang dapat dijaga untuk melindungi doktrin R2P demi tujuan kemanusian. Pertama adalah dengan mempertahankan doktrin kedaulatan sebagai tanggung jawab, bukan sebagai hak sehingga justifikasi terhadap intervensi kemanusiaan dapat lebih diterima. Kasus kompleks seperti keruntuhan negara Somalia dan Sierra Leone mungkin akan lebih mendapat dukungan dari pada kasus penggantian rezim atau hukuman atas kelompok minoritas seperti di Haiti dan Kosovo. Kedua, pembuat kebijakan harus lebih serius dalam memperbaiki isu representasi dan efektifitas dalam DK PBB agar diterima komunitas internasional. Ketiga, dalam sovereignity as responsibility, penekanan terhadap cara non-militer harus lebih diutamakan dalam operasionalisasinya. 45 3.2.2. Legitimasi Moral Intervensi Humaniter dapat dijustifikasi secara moral dalam kasus tertentu melalui asumsi filosofis politik liberal, bahwa setiap orang memiliki standar moral dalam individunya. Manusia adalah pemegang hak tersebut dan memiliki konsekuensi normatif untuk manusia yang lain. Dalam artian, standar moral yang dimiliki bermakna: (1) kewajiban untuk menghormati hak tersebut; (2) kewajiban 45 Jennifer M. Welsch, Taking Consequences Seriously: Objections to Humanitarian Intervention, 192. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 35 mempromosikannya kepada semua orang; (3) sesuai situasi, kewajiban melindungi korban tirani dan anarkis. Kewajiban no (3) merupakan bagian dari hak untuk menyelamatkan korban, seperti hak dalam intervensi. Argumen liberal dalam intervensi kemanusiaan memiliki dua komponen: pertama, tirani dan anarkisme oleh pemerintah merupakan bentuk ketidakadilan terhadap manusia. Kedua, intervensi eksternal (setidaknya) boleh dilakukan untuk menghentikan ketidakadilan tersebut. Untuk melakukan hal tersebut, negara dapat menjadi aktor yang memiliki legitimasi. Konsep Kantian terhadap negara mengatakan bahwa negara memiliki justifikasi sebagai institusi yang dibentuk oleh agen etis, yaitu oleh autonomous person. Intervensi kemanusiaan adalah suatu alat untuk menghentikan tindak anarkis dan tirani dari pemerintah karena kondisi demikian mencegah seseorang untuk menjalani kehidupan yang bermakna dan rencana kehidupannya (autonomous). 46 Melalui suatu analisis diatas maka dapat dimengerti bahwa HAM yang dimiliki berbagai kultur diseluruh dunia dan telah diakui sebagai suatu norma universal internasional menjadikan kewajiban negara untuk melindungi HAM bagi warga negaranya dan secara tidak langsung juga berarti kewajiban komunitas internasional untuk melindungi HAM seorang individu yang merupakan bagian dari negara dan bagian dari komunitas inernasional yang berada diatasnya. Pelanggaran terhadap HAM seorang individu berarti ketidakadilan terhadap hak dasar individu tersebut dan oleh karenanya pihak luar dapat mencegah dan menghentikan ketidakadilan tersebut dengan cara intervensi eksternal. Pertimbangan moralitas dan etis ini kemudian dapat membentuk suatu legitimasi tersendiri yang dapat dibentuk sebagai bagian dari penerimaan norma HAM dan intervensi kemanusiaan R2P. *** Agen intervensi yang memiliki legitimasi dapat secara bervariasi ditentukan oleh distribusi internasional power, keadaan politik, atau faktor agen spesifik tertentu. Menentukan aktor yang memiliki kapabilitas untuk melakukan intervensi tidak hanya dilihat dari aspek material tetapi juga non-material. 46 Fernando R. Teson, The Liberal Case for Humanitarian Intervention, 112. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 36 47 Elemen dasar (faktor material) dalam menentukan kemampuan aktor adalah hal yang dapat diukur melalui kemampuan militer agen tersebut. Selain itu, faktor non-material juga membentuk faktor legitimasi dalam masyarakat internasional, yaitu: legitimasi multilateral, kualifikasi humaniter dari agen intervensi dan posisi agen intervensi dalam konteks politik internasional. Hanya dengan pertimbangan kedua faktor material dan non material tersebut consequentialism 48 dapat menjawab masalah agen dalam intervensi kemanusiaan. Pertama, intervensi kemanusiaan seharusnya dilakukan secara multilateral untuk mendapatkan legitimasi, seperti melalui organisasi internasional. Dalam diskursus legal, unilateral merujuk pada sesuatu yang belum divalidasi suatu pemegang wewenang sedangkan multilateral sudah dianggap mendapat validasi tertentu. Suatu negara yang sudah mendapat legitimasi organisasi internasional universal seperti PBB dapat dikatakan legal dalam intervensinya. Dalam konteks ini, secara kuantitatif, keterlibatan beberapa negara juga dapat mencegah eksploitasi dan penyalahgunaan dalam wewenang untuk intervensi. Dengan demikian, pendekatan Consequentialist ini menempatkan nilai tinggi terhadap legitimasi multilateral. Isu intervensi kemanusiaan merupakan topik yang paling terbagi dalam masyarakat sipil global. Sebagai misal dalam kasus intervensi di Kosovo, kelompok yang anti-intervensi mengatakan ketiadaan mandat DK PBB memberikan dampak buruk dan preseden negatif kepada komunitas internasional, sedang kelompok pro intervensi menganggap intervensi sebagai “coalition of the willing“ sudah cukup membuat landasan legitimasi atas intervensi dari isu kemanusiaan yang jelas dan terbukti di Kosovo. Suatu legitimasi moral dapat melangkahi legalitas yang menghambat karena distribusi kekuatan di DK telah mengakibatkan veto oleh Rusia dan Cina.49 47 Eric A. Heinze, Waging Humanitarian Law, 231. Konsekuensialisme adalah suatu pandangan bahwa aspek normatif tergantung pada konsekuensi yang terjadi. Benar atau tidaknya suatu aksi secara moral tergantung pada konsekuensi dari aksi tersebut. Lihat Stanford Encyclopedia of Philosophy, lihat “Consequentialism,“ Stanford University, terakhir dimodifikasi 27 Juni 2011, diakses 11 Mei 2013, http://plato.stanford.edu/entries/consequentialism/ 49 Richard Falk, “Civil Society Perspectives on Humanitarian Intervention“, Journal of Civil Society 4, no. 1 (2008): 3-14. http://www.researchgate.net/journal/17448689_Journal_of_Civil_Society 48 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 37 Faktor kedua yang dapat membentuk legitimasi moral adalah kualifikasi humaniter agen intervensi. Agen yang melakukan intervensi seharusnya merupakan entitas yang menjunjung tinggi norma HAM dan kehormatan manusia kepada penduduknya. Alasan Inilah juga yang memunculkan argumen bahwa intervensi NATO di Kosovo masih mempertahankan legitimasi substansial karena dilakukan secara multilateral melalui NATO dan NATO merupakan aliansi negara yang menjunjung nilai demokrasi dan HAM. Dengan logika ini, meski invasi NATO ke Kosovo ilegal karena tidak melalui validasi DK PBB, legitimasi moral masih dapat dijadikan sebagai suatu justifikasi moral untuk intervensi kemanusiaan. NATO adalah aliansi dari negara-negara yang paling demokratik dan menghormati HAM, serta memiliki kredibilitas militer. Faktor ketiga adalah konteks politik. Konteks politik yang dimiliki agen intervensi yaitu bagaimana komunitas internasional melihat agen tersebut sebagai aktor yang menghormati norma dan peraturan internasional menjadi pertimbangan tersendiri untuk legitimasi dan kemampuan agen dalam menjalani intervensi.50 Melalui tiga faktor inilah , menurut Eric Heinze, suatu legitimasi moral dalam intervensi kemanusiaan dapat dibentuk. Intervensi kemanusiaan yang harus melalui kewenangan DK PBB menjadi hal problematis karena keberadaan hak veto dari Negara anggota permanen. Sebagai misal pada saat intervensi NATO ke Kosovo 1999, Rusia dan Cina menggunakan veto mereka untuk menolak resolusi. Hal ini terjadi karena kepentingan Rusia yang memiliki hubungan dengan pemerintahan Milosevic sehingga Rusia berkepentingan untuk melindungi aliansinya dari peyerangan intervensi. Lebih jauh lagi, pattison menyatakan bahwa R2P merupakan pengerucutan dari konsep intervensi kemanusiaan yang lebih luas (tidak membutuhkan persetujuan DK PBB). Dengan demikian, Pattison menawarkan bahwa suatu intervensi R2P yang dilakukan melalui ketentuannya tetap harus menjadi jalur utama dalam proses kebijakan intervensi kemanusiaan. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan intervensi kemanusiaan yang tidak melalui DK PBB jika 50 Eric. A. Heinze, Waging Humanitarian Law: the Ethics, Law, and Politics of Humanitarian Intervention (New York: State University of New York Press, 2009), 255. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 38 R2P terhalang dengan konflik kekuatan dan kepentingan politik antar Negara anggota DK PBB. Dengan pertimbangan inilah menurut Pattison doktrin R2P harus dikonseptualisasi demi mencapai kedua tujuan yaitu secara intervensi yang memiliki legitimasi dan mencegah krisis humaniter di berbagai belahan dunia.51 Untuk mencapai legitimasi tersebut, Invasi Kosovo yang tidak melalui persetujuan PBB telah menjadi suatu bukti tersendiri bahwa suatu legitimasi dari tindakan intervensi dapat dibentuk tidak hanya melalui legitimasi legal tetapi juga legitimasi moral/ etis. 3.2.3. Proposal tentang Aktor Intervensi Melalui Pendekatan Moderat Instrumentalis (Moderate Instrumentalist) Pattison mencoba menguak dilema internasional atas aktor siapa dan mengapa aktor tersebut dapat diklaim sebagai pemilik hak dan tanggung jawab atas nR2P. Pattison berpendapat bahwa aktor yang berhak dan berkewajiban memiliki legitimasi atas intervensi adalah aktor yang memiliki ambang batas terbesar dalam hal (1) intervensi tidak seharusnya terlalu memberatkan bagi pihak yang mengintervensi (adanya kemampuan ekonomi, politik, militer) (2) memiliki dukungan dari populasi domestik dan adanya keterkaitan isu terhadap kasus. Aktor yang berhak adalah semua yang memiliki kriteria tersebut sedangkan yang memiliki kewajiban adalah yang memiliki legitimasi terbesar yang dalam hal ini, menurut Pattison adalah NATO dan Hybrid forces. Jika tidak bisa, kemudian kewajiban dilakukan oleh aktor yang paling memiliki legitimasi dibawahnya.52 Selain itu, Daniel Archibugi menawarkan proposal kosmopolitanisme dalam menentukan aktor intervensi. Menurutnya, alternatif institusi kosmopolitanisme dibutuhkan sebagai kerangka insitusional dalam intervensi kemanusiaan agar dapat secara sistematis mengelola masalah dan perdebatan dalam isu intervensi kemanusiaan. Moral kosmopolitan atas nilai universal HAM dalam intervensi kemanusiaan akan menjadi sebatas omongan dan perdebatan tanpa kejelasan jika institusi kosmopolitannya tidak dapat dibentuk. 51 James Pattison, Humanitarian Intervention & Responsibility to Protect: Who Should Intervene? (New York: Oxford University Press, 2010), 176. 52 Ibid. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 39 Proposal institusi kosmopolistan yang ditawarkan Archibugi adalah (1) Suatu kasus dievaluasi oleh komisi hukum internasional yang memiliki garis pedoman (guideline) atas krisis untuk memberikan label darurat kemanusiaan dan kemudian disetujui SU PBB, (2) yang melakukan otorisasi adalah pengadilan dunia atas mandat oleh DK PBB, (3) sebuah komite kerjasama dan organisasi humaniter sipil mengembangkan garis pedoman intervensi, (4) membentuk rescue army permanen yang terdiri dari tentara, polisi dan sipil sebagai agen yang siap untuk melakukan intervensi. Dan harus adanya kerelaan dari masyarakat global dan negara untuk menerima institusi tersebut sehingga tercapai konsensus dalam penerapan norma intervensi kemanusiaan, mencegah kekhawatiran kepentingan agenda politik dalam intervensi, terutama oleh negara barat kepada negara berkembang yang selama ini menjadi isu di permukaan. 53 Kedua proposal diatas adalah diantara upaya untuk meminimalisir pengabaian terhadap kasus intervensi dan membentuk mekanisme yang jelas terhadap aktor yang melakukan proses kebijakan intervensi. Namun, penulis berpendapat bahwa pada akhirnya keduanya akan sulit dilakukan. Pertama, karena pemaksanaan atau penunjukkan kepada suatu institusi seperti NATO untuk melakukan intervensi akan menciptakan pelaksanaan yang apatis dan prematur karena suatu pembebanan terhadap institusi – tidak akan tercipta rasa kepemilikan untuk mengatasi konflik. Kedua, pembentukan institusi kosmopolitanisme akan sangat sulit untuk diciptakan. Anggota DK PBB tidak akan mungkin menginginkan hak perogatifnya untuk memberikan penilaian terhadap suatu kasus dalam intervensi kepada institusi lain karena pada akhirnya hanya DK yang memiliki wewenang untuk memberikan validasi penggunaan kekerasan untuk penyelamatan isu kemanusiaan sesuai piagam PBB. Oleh karena itu, bagian ini akan lebih melihat proposal tentang aktor intervensi yang berlandaskan pada pendekatan bottom-up, yaitu aktor –aktor siapa saja yang dapat mempengaruhi sistem penerapan R2P dalam PBB dan membantu 53 Daniele Archibugi, “Cosmopolitan Guidelines for Humanitarian Intervention“ Global, Local, Political 29, no. 1 (2004): 1-21. https://proxylogin.nus.edu.sg/libproxy1/public/login.asp?logup=false&url=http://www.jstor.org/st able/40645102 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 40 pengangkatan isu kemanusiaan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Dengan pendekatan ini diharapkan suatu legitimasi moral dapat terbentuk untuk menopang justifikasi bahwa suatu intervensi kemanusiaan harus atau tidak harus dilakukan ke suatu negara. Pertama, advokasi oleh suatu negara dan organisasi kawasan – kumpulan beberapa negara di kawasan - dapat menjadi political game-changer. Advokasi yang dilakukan oleh Australia dalam pengangkatan isu urgensi intervensi ke Libya menjadi suatu pembelajaran bahwa negara pun dapat melakukan lobby dan advokasi dalam prinsip dan penerapan R2P. Demikian pula halnya dengan organisasi kawasan. Dengan kedekatan geografis, pengetahuan tentang kewilayahan dan perasaan “ownership“ atas konflik yang terjadi di wilayahnya, organisasi kawasan dapat menjadi garda terdepan dalam memberikan penilaian atas isu kejahatan manusia atau bahkan terlibat secara langsung dalam upaya intervensi militer untuk menghentikan suatu peristiwa genosida atau kejahatan yang mendekati. Mengingat skeptisme dan kecurigaan banyak datang dari kelompok negara selatan (negara berkembang), sejatinya negara selatan juga dapat secara aktif mengadvokasikan isu kemanusiaan yang terjadi di suatu sudut dunia. Hal ini akan membentuk suatu mekanisme partisipati yang akan mebantu pembentukan implementasi intervensi kemanusiaan yang lebih adil, transparan dan tidak tebang pilih atau selektif dalam menyelamatkan warga sipil. Hal ini sesuai dengan argumen Jennifer M. Welsch bahwa jika setiap anggota komunitas internasional seharusnya menganggap intervensi kemanusiaan sebagai suatu tanggung jawab, maka ia harus ikut terlibat setidaknya dalam mengadvoasikan urgensi isu. 54 Dengan inilah kasus kompleks keruntuhan negara Somalia dan Sierra Leone mungkin akan lebih mendapat dukungan dari pada suatu penggantian rezim. Suatu keterlibatan negara selatan juga dapat mengatasi masalah yang disebut Jonathan Graubart55 sebagai Pragmatic Liberal Intervention – penerimaan 54 Jennifer M. Welsch, Taking Consequences Seriously: Objections to Humanitarian Intervention, 192. 55 Jonathan Graubart, “R2P and Pragmatic Liberal Interventionsim: Values in the Service of Interests,“ Human Rights Quarterly 35 (2013): 69-90, http://libra.naz.edu/validate?url=http%3A%2F%2F0- Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 41 suatu kebijakan intervensi dengan justifikasi bahwa AS dan negara barat adalah aktor yang patuh pada prinsip liberal demokrasi - HAM dan oleh sebab itu merupakan aktor yang patut untuk menentukan dan melaksanakan suatu intervensi. Hal inilah yang menurut penulis harus diatasi dengan intensifikasi interaksi negara selatan dalam upaya pengangkatan isu hingga keterlibatan dalam intervensi itu sendiri. Sejauh negara tersebut memiliki kemampuan, upaya ini akan membentuk suatu kosolidasi dari apa yang disebut sebagai tanggung jawab bersama dalam doktrin R2P. Kedua, Richard Falk menawarkan bahwa kelompok independen dapat memainkan perannya dalam perkembangan doktrin R2P. Kelompok independen dapat memberikan saran terhadap kontroversi dalam intervensi kemanusiaan dan akhirnya membentuk komisi independen yang terdiri dari aktor individu penting dalam intervensi kemanusiaan. Suatu komisi dapat diinisiasikan oleh pemerintah yang mendanai intervensi kemanusiaan, sehingga hasil dari penilaian dapat mempengaruhi perbedaan pendapat publik terhadap intervensi. Inisiasi semacam ini yang membentuk International Commission on Kosovo (IICK) dan setelah itu, munculnya inisiasi pemerintah Kanada untuk membentuk International Commission on Intervention and State Sovereignity (ICISS) yang pada tahun 2001 menghasilkan laporan R2P. 56 Pendekatan melalui pembentukan kelompok independen ini telah terbukti dapat menghasilak laporan (ICISS 2011) yang secara signifikan mempengaruhi dinamika perdebatan tentang intervensi kemanusiaan. Oleh sebab itu, suatu pembentukan komisi independen semacam ini dapat menjadi salah satu penopang pembentuk pengakuan internasional dan legitimasi moral dalam R2P. Contoh lainnya adalah World Tribunal on Iraq. Untuk mencapai tujuan yang perlindungan HAM dalam intervensi kemanusiaan, kita harus dapat melihat solidaritas dari bawah untuk melindungi kemanusiaan dari kejahatan masif yang tidak dapat ditolerir. Pada tahun 2003, saat awal mula invasi AS dan Inggris ke Irak, terdapat gerakan publik yang membentuk citizen tribunai (World tribuanal on muse.jhu.edu.libra.naz.edu%3A80%2Fjournals%2Fhuman_rights_quarterly%2Fv035%2F35.1.gra ubart.pdf 56 Richard Falk, Civil Society Perspectives on Humanitarian Intervention. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 42 Iraq) untuk mengusut kriminal AS dan pejabat sekutu saat operasi Irak. 57 Pengadilan ini adalah suatu inisiatif dari beberapa kaum intelek, advokat HAM dan NGO yang ada dari 10 negara yang berbeda.58 Tidak satu pun pihak yang dapat menghentikan invasi ke Irak oleh kedua sekutu, namun suatu pergerakan akar rumpur seperti ini dapat bergerak atas dasar legitimasi kemanusiaan dan kesadaran bersama. Secara idependen, gerakan akar rumput semacam ini dapat menilai secara netral kebijakan invasi sekutu ke Irak. Aktor ketiga adalah komunitas HAM. Genosida di Rwanda 1994 membunuh setidaknya 800.000 jiwa. Satu-satunya cara membuat pemerintah AS bersedia untuk melancarkan intervensi pada saat itu adalah komunitas HAM yang dapat mengumpulkan protes masif menuntut intervensi. 59 Meski adanya kewajiban dalam konvensi Genosida, AS butuh tekanan oleh penduduknya untuk melakukan hal yang benar, terutama ketika negara yang akan diintervensi tidak memiliki suatu komponen kepentingan nasionalnya. Salah satu gagalnya intervensi kemanusiaan yang tegas dan dapat mengentikan genosida di Rwanda adalah, menurut Gareth Evan, kurangnya kapasitas dan pergerakan HAM sebagai alarm dalam kasus Rwanda. Terdapat 40.000 lebih NGO yang beroperasi secara internasional dan jutaan lebih beroperasi dalam tingkat nasional. Hal ini menunjukkan bahwa NGO, terutama yang bergerak di bidang HAM dan resolusi konflik, menjadi aktor yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Secara kolektif, aktor NGO dapat berperan dalam perdebatan, baik sebagai think thank, institusi penelitian, forum kebijakan, kampanye dan advokasi. Polling oleh Gallup pada Februari 2005 mengatakan bahwa 86% orang Amerika percaya bahwa promosi dan perlindungan HAM di negara lain adalah tujuan penting dalam kebijakan luar negeri AS. Ketika NGO dapat berperan mengangkat isu ke permukaan dan menarik atensi masyarakat maka, sebagai global power, Amerika Serikat tidak dapat menolak bahwa kebijakan pemerintah AS untuk melakukan intervensi secara tegas demi menjaga reputasi dan pengaruh globalnya. 57 Jonathan Graubart, R2P and Pragmatic Liberal Interventionism, 69-90. “World Tribunal on Iraq,“ Transnational Institute, terakhir dimodifikasi 17 November 2005, diakses 2 Mei 2013, http://www.tni.org/archives/mil-docs_wti. 59 Gareth Evans, The Responsibility to Protect, 138. 58 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 43 Suatu pemerintah tidak akan melakukan intervensi hanya semata-mata untuk alasan menghentikan kejadian buruk terhadap orang lain jika tidak ada hubungan atau dampak langsung kepada kepentingan ekonomi dan keamanannya. Hal ini juga yang menjadi pertimbangan Presiden Clinton dalam mendukung intervensi NATO di Kosovo. Oleh karena itu, untuk menjadikan R2P lebih dari sekedar retorika dan slogan, dibutuhkan reaksi popular yang kuat dari konstituen akar rumput sebagai suatu faktor signifikan yang dapat membantu mendobrak hambatan kepentingan negara dalam menyelamatkan dunia bebas dari genosida dan kejahatan masal atas kemanusiaan. Keempat adalah aktor media. Koalisi pergerakan masyarakat dan media tidak akan langsung menghentikan genosida, namun dapat memotivasi pejabat publik, sistem pengadilan internasional dan bahkan mendorong mobilisasi militer. Jika ingin menjadikan R2P sebagai mekanisme efektif untuk mengakhiri kejahatan masal, sejumlah besar masyarakat dunia harus bersikeras dan berupaya menunjukkan keinginan tersebut sama sekali. Tidak ada pemimpin (dengan reputasi) yang tidak menanggapi hal tersebut. R2P harus diimplementasikan dalam berbagai level berbeda dalam pembuatan keputusan, tidak hanya diantara kekuatan pejabat publik tetapi juga masyarakat umum.60 Pelibatan atensi masyarakat suatu negara dapat menjadi provokasi tersendiri bagi arah kebijakan luar negeri suatu pemerintahan. Menurut Lyon, semakin banyak faktor yang hadir, maka legitimasi dan penerimaan masyarakat sipil terhadap tindak intervensi tersebut semakin tinggi. Seperti indikator-indikator yang dapat ditunjukkan tabel dibawah ini.61 60 William F. Schulz, “Spread Wide the Word: Organizing the Grassroots to End Atrocity Crimes“ dalam Responsibility to Protect: The Global Moral Compact for the 21st Century, ed. Richard H. Cooper dan Juliette Voinov Kohler (New York: Palgrave Macmillan, 2009), 187. 61 Alynna J. Lyon, “Global Good Samaritans: When Do We Heed `the Responsibility to Protect`?“ Irish Studies in Internaitonal Affairs 20 (2009): 41-54. http://www.jstor.org/discover/10.2307/25735149?uid=3738224&uid=2&uid=4&sid=2110252538 0537 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 44 Tabel. 3 Faktor potensial pengaruh realisasi R2P Melihat hasil riset diatas, keterlibatan liputan media dan pembentukan opini publik dapat menjadi faktor yang mengadvokasikan dilaksanakan atau tidaknya suatu intervensi. Seperti pada tabel diatas, intervensi yang dilakukan ke Somalia dan Kosovo dilakukan dengan adanya opini publik dan liputan media yang mendukung aktor intervensi mengirimkan pasukan untuk menyelamatkan isu kemanusiaan melalui intervensi militer. Berbeda halnya dengan Rwanda yang sekalipun kasus pelanggaran HAM-nya jelas, namun minimnya peliputan media dan rendahnya opini publik telah membentuk urgensi bagi intervensi militer yang tegas ke negara tersebut. Negara dengan kekuatan dominan, menurut realisme, pada dasarnya akan mendahulukan kepentingan nasionalnya. Namun, faktor legitimasi yang dibentuk oleh masyarakat internasional dapat mendorong suatu negara atau komunitas internasional untuk melakukan suatu kebijakan yang lebih tegas, dalam hal ini penghentian tragedi kemanusiaan. Dengan hal ini negara big power tersebut dapa mempertahankan pengaruhnya dalam politik internasional. Aktor kelima adalah pihak swasta. pihak swasta pun dapat mengambil andil dalam suatu mekanisme advokasi penyelamatan isu kemanusiaan. Kerangka R2P dalam World Summit 2005 tidak akan terjadi tanpa dukungan dari The Carnegie Corporation, William and Flora Hewlett Foundation, Macarthur Foundation, Rockfeller Foundation, dan Simons Foundation. Mereka adalah entitas yang turut mendukung pembentukan Comission on Intervention and State Sovereignity (ICISS) oleh pemerintah Canada pada tahun 2000. Laporan ICISS memformulasikan konsep tanggung jawab untuk melindungi, mencegah, dan membangun (Responsibility to protect, to prevent, and to rebuild) yang kini telah diterima secara global. Oleh karena itu, senada dengan pesan Sekjen Ban Ki Moon yang mengadakan pameran yang bertemakan “Pelajaran dari Genosida Rwanda,“ yaitu pencegahan genosida adalah tanggung Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 45 jawab kolektif dan individual. Setiap orang memiliki peranan: pemerintah, media, organisasi masyarakat, kelompok agama and individu. Kemitraan global adalah hal yang dibutuhkan. Terdapat keuntungan komparatif yang dimiliki peranan pihak swasta dibanding aktor pemerintah. Dalam beberapa kasus, pemerintah kurang bersedia secara politik untuk bertindak karena harus mengorbankan uang dan waktu. Sebagai contoh, saat Amerika telah banyak menghabiskan waktu dan uang untuk Somalia, AS menolak secara bersamaan terlibat dalam kasus di Rwanda 1994. 62 Pihak swasta, berbeda dengan pemerintah, unggul dalam hal sumber daya finansial, pengaruh, kemampuan bertindak cepat dan ketidakberpihakan. Tidak adanya konflik kepentingan, pihak swasta memiliki independensi dalam upaya investigasi HAM. Aktor swasta semacam ini dapat berkontribusi sebagai komplementer upaya pemerintah dalam implementasi R2P dan upaya peacebuilding, termasuk sebagai mediator. 62 Adele Simmons dan April Donnellan, “Reaching Across Borders: Philantrophy`s Role in the Prevention of Atrocity Crimes“ dalam Responsibility to Protect: The Global Moral Compact for the 21st Century, ed. Richard H. Cooper dan Juliette Voinov Kohler (New York: Palgrave Macmillan, 2009), 145. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 46 BAB IV: ANALISIS TEORITIS Melalui penjelasan diatas, perdebatan mengenai legitimasi intervensi kemanusiaan R2P adalah suatu diskursus yang terbagi dan secara jelas menimbulkan pertentangan pada tataran ide atas apa yang kemudian dinamakan dengan legitimasi. Legitimasi legal terbentuk melalui kepatuhan atas peraturan dalam Piagam PBB dan konvensi internasional terkait intervensi kemanusiaan dan R2P. Dengan kata lain, aspek ini merupakan faktor regulatif dari ketentuan hukum internasional yang mengatur interaksi dalam politik internasional. Sedangkan legitimasi moral dibentuk atas dasar landasan kepatutan atas norma HAM internasional bahwa komunitas internasional sudah selayaknya bertanggung jawab untuk menghentikan tragedi kemanusiaan. Aspek moral ini menurut legitimasi moral jauh lebih penting dibandingkan legitimasi legal dalam intervensi kemanusiaan yang acap kali berhadapan dengan hambatan institusional dalam DK PBB. Melalui pembabakan perdebatan legalitas legal dan moral, penulis berkesimpulan bahwa kedua aliran dan pandangan yang berbeda dalam mendefinisikan aspek legitimasi ini merupakan perdebatan yang terjadi antara narasi paradigma realisme dan konstruktivisme dalam ilmu hubungan internasional. Kontestasi antara kedua paradigma ini dapat dijelaskan secara komprehensif melalui penjelasan selanjutnya. Dalam penjelasan selanjutnya, penulis akan menerangkan kontestasi yang terjadi melalui beberapa pembabakan analisis, yaitu pertentangan antara: (1) Material melawan Ideasional, (2) Logika konsekuensi (consequence) melawan logika kepatutan (appropriateness), (3) Norma sebagai daya guna melawan norma sebagai hak,63 (4) Aktor Top-Down melawan Agen Bottom-Up. Namun, sebelum menjelaskan keempat analisis paradigmatis tersebut, subbab berikutnya akan terlebih dahulu menjelaskan secara singkat teori realisme dan konstruktivisme. 63 Aspek No (1), (2), dan (3) merupakan penamaan kontestasi yang digunakan dalam pembahasan rasionalisme Vs konstruktivisme oleh James Fearon dan Alexander Wendt, “Rationalism Vs Constructivism: A Skeptical View,“ dalam Handbook of International Relations, ed. Walter Carlsnaes, Thomas Risse, Beth A. Simmons (London: Sage Publication, 2002), 53-68. 46 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 47 4.1. Realisme dan Konstruktivisme Realisme, sebagai salah satu teori tradisional dalam hubungan internasional, memiliki fokus perhatian pada aktor negara. Hal ini tidak menafikan peranan non-aktor seperti MNC, LSM, terorisme dan lainnya, tetapi negara merupakan unit analisis utama dalam hubungan internasional. Selain itu, agenda utama dalam realisme adalah keamanan nasional, dan isu lain seperti sosioekonomil dan lainnya merupakan agenda sekunder.64 E. H. Carr dan Hans. J. Morgenthau adalah aktor penting yang memulai penggunaan istilah realisme dalam hubungan internasional. Mereka mengklaim bahwa tidak ada harmoni dalam kepentingan antar negara.65 Asumsi dalam realisme neoklasik oleh Morgenthau berpendapat bahwa setiap manusia memiliki keinginan untuk meningkatkan power-nya.66 Politik pada dasarnya adalah perjuangan atas power atas pihak lain dan proses mendapatkan, mempertahankan dan menunjukkan power tersebut membentuk suatu teknik dari kebijakan politik. 67 Dalam politik Internasional, negara selalu berfokus pada kepentingan nasional seperti keamanan dan kemakmuran. Untuk melindungi kepentingan tersebut, intervensi dapat menjadu suatu opsi. Morgenthau menyatakan bahwa intervensi dilakukan ketika kepentingan nasional membutuhkannya dan ketika kekuatan kita memungkinkan untuk melakukannya. Hal ini dilakukan melalui kalkulasi kepentingan dan kekuatan yang dimiliki.68 Hal inilah yang kemudian disebut sebagai Realpolitik, sebuah kebijakan yang berlandaskan pada pertimbangan kekuatan dan kepentingan material dari pada pertimbangan etis dan ideal.69 Suatu perhitungan dan rasionalitas negara lebih penting dari pada pertimbangan etis dan moralitas. 64 Paul R. Viotti & Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism,“ 2nd ed. (New York: Macmillan Publishing Company, 1993), 63-64. 65 Martin Griffiths dan Terry O`Callaghan, IR The Key Concepts, (New York: Routledge, 2002), 261-263. 66 Robert Jackson and Georg Sørensen, Introduction to International Relations: Theories & Approaches, 4th ed. (New York: Oxford University Press, 2010), 66. 67 Ibid. 68 Hans Morgenthau, “To Intervene or Not to Intervene,” Foreign Affairs (1967), 103. http://www.foreignaffairs.com/articles/23877/hans-j-morgenthau/to-intervene-or-not-to-intervene 69 Alexander DeConde et al, Encyclopedia of American Foreign Policy (New York: Charles Scribner`s Sons, 2002), 552. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 48 Kenneth Waltz, akademisi ternama dalam neorealisme, berpendapat bahwa fokus dalam realisme terletak pada sistem internasional yang anarkis dan ketiadaan wewenang sentral yang mengatur politik internasional. Dalam sistem internasional self-help, kebijakan luar negeri suatu negara ditentukan berdasarkan kepentingan nasionalnya. 70 Negara secara kontinyu berupaya untuk mempertahankan kepentingannya dan memastikan survival karena hanya dirinya sendiri yang dapat mecanpai hal tersebut dalam sistem self-help. Dengan demikian realisme klasik dan neorealisme memiliki kesamaan pada kepentingan nasional dan keinginan negara untuk meningkatkan powernya. Sesuai narasi oleh Hobbes yang pesimis akan karakter manusia yang mencitrakan keinginan negara untuk terus menjadi kekuatan politik yang kuat karena ketiadaan “leviathan“ atau kekuatan supernasional.71 Perbedaan keduanya terletak pada realisme klasik yang berfokus pada karakter manusia yang mencari power, sedangkan neorealisme berfokus pada sistem internasional yang anarkis. Namun, politik tidak hanya sekedar perjuangan atas kekuatan, tetapi juga suatu kontes dalam legitimasi. Power dan legitimasi adalah dua hal yang tidak anti-tesis atau bertentangan, tetapi komplementer. Manusia pada dasarnya bukan seutuhnya makhluk moral dan bukan pula seutuhnya sinis. 72 Adalah fakta politik bahwa kepercayaan atas benar dan salah membantu seseorang untuk mengarahkan tindakannya, dan oleh karena itu legitimasi merupakan salah satu sumber dari kekuatan. Jika suatu negara dianggap tidak memiliki legitimasi, biaya politik dari suatu kebijakan akan menjadi tinggi. Negara merujuk pada hukum internasional dan organisasi untuk melakukan legitimasi terhadap kebijakan negaranya, dan hal tersebut membentuk taktik dan hasil kebijakan. *** Berbeda dari realisme, konsktruktivis adalah pendekatan dalam hubungan internasional yang menekankan pada dimensi sosial dan intersubjektif dalam politik dunia. Konstruktivis menentang bahwa hubungan internasional dapat dipersempit dalam aksi rasional dan interaksi dalam hubungan material (seperti 70 Jonelle Lonergan, “Neo-Realism and Humanitarian Action: From Cold War to Our Days,” Journal of Humanitarian Assistance (2011): 58. 71 Viotti Kauppi, International Relations Theory, 40. 72 Oded Lowenheim, Predators and Parasites: Persistent Agents of Transnational Harm and Great Power Authority (US: University of Michigan Press, 2009), 35-36. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 49 nosi realis) atau dalam hambatan institusional (seperti nosi liberal). Bagi konstruktivis, interaksi negara tidak mutlak ditentukan kepentingan nasional saja tetapi dapat dimengerti sebagai suatu pola aksi yang membentuk dan dibentuk oleh identitas yang terus berkembang seiring dengan waktu. Konstruktivis sosial menunjukkan bahwa model interaksi interasional yang berbicara tentang pengaruh normatif dalam struktur fundamental dari isntitusi dan hubungan antara perubahan normatif dan identitas negara dan kepentingan. 73 Institusi internasional memiliki fungsi regulatif dan konstitutif. Norma regulatif mengatur peraturan dasar untuk standardisasi pelaksanaan suatu tindakan. Norma konstitutif mendefinisikan suatu tindakan dan membentuk suatu arti terhadap perilaku tersebut. Tanpa norma konstitutif, suatu aksi tidak dapat dimengerti secara komprehensif. Analogi yang paling baik dalam mengilustrasikan pendekatan ini adalah suatu peraturan permainan, yaitu catur. Norma konstitutif memungkinkan aktor untuk bermain dan membentuk pengetahuan penting bagi aktor untuk melakukan respon terhadap langkah dan strategsi satu sama lain.74 Institusi pada dasarnya adalah entitas kognitif yang tidak ada tanpa adanya ide dari aktor tentang bagaimana dunia berinteraksi. Konstruktivis memberikan perhatian yang lebih kepada institusi yang lahir atas hal fundamental dalam masyarakat internaisonal, seperti hukum internasional, diplomasi dan kedaulatan. Namun, rezim juga merupakan hal yang penting karena dapat membentuk dampak yang bersifat konstitutif dan normatif. 73 74 Martin Griffiths dan Terry O`Callaghan, IR The Key Concepts, 50-51. Ibid., Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 50 4.1.1. HAM Internasional Bagi seorang realis, norma internasional seperti HAM lahir dan mendapat penerimaan melalui nilai tersebut dipromosikan oleh kekuatan hegemon atau kelompok negara yang dominan. 75 Konten dari isu HAM merefleksikan kepentingan dari negara tersebut yang memiliki keunggulan lebih kekuatan militer dan ekonomi.76 Di lain pihak, konstruktivis mempertanyakan penjelasan berbasis kepentingan oleh negara dalam sistem internasional. Ruggie berpendapat bahwa mengetahui struktur kekuatan internasional membantu untuk mengerti bentuk tatanan tetapi tidak isinya. Dibutuhkan informasi tambahan tentang norma dan ide itu sendiri melalui struktur dari tujuan sosial, mengetahui konten dan konsekuensi. Bagi konstruktivis, norma seperti HAM internasional menerima kekuatannya karena kualitas universal intrinsiknya. Menurut Schmitz dan Sikkink, terdapat tiga ketentuan konstruktivis terkait HAM internasional. Pertama, kekuatan normatif memiki keterkaitan langsung dengan prinsip Barat atau berasal dari potensinya untuk berkembang dengan ide kehormatan manusia yang ada di berbagai kultur berbeda di seluruh dunia. Kedua, suatu revolusi atau krisis besar dapat menjadikan pergeseran kekuatan yang akan mempercepat penerimaan atas suatu ide dan norma baru. Sebagai misal akhir dari Holocaust telah mendesak konsensus dunia untuk mengadopsi apa yang disebut sebagai deklarasi universal HAM. Ketiga, aktor non-negara seperti Amnesty internasional telah lahir sebagai aktor utama dalam HAM di tingkat global.77 Partisipasi mereka telah memiliki konstribusi tersendiri untuk mendapat pengakuan dari aktor negara berdasarkan hasil kerja yang terpercaya dan informasi akar rumput yang baik. Schmitz dan Sikkink menyimpulkan analisis teoritisnya mengenai HAM internasional melalui tabel dibawah ini.78 75 John G. Ikenberry dan Charles Kupchan, The Cost of Victory, 283-315. Sephen D. Krasner, “Sovereignity, Regimes, and Human Rights,“ dalam Regime Theory and International Relations, ed. Volker Rittberger (Oxford: Clarendon Press, 1993) 66. 77 Ann Marie Clark, Diplomacy of Conscience: Amnesty International and Changing Human Rights (Princeton: Princeton University Press, 2001), 165. 78 Hans Peter Schmitz, Kathryn Sikkink, “International Human Rights“ dalam Handbook of International Relations, ed. Walter Calrsness, Thomas Risse dan Beth A. Simmons (London: Sage Publication, 2002), 522-524. 76 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 51 Tabel. 4 HAM Internasional dalam Realisme dan Konstruktivisme Teori Asal Evolusi Jalur Kepatuhan Realisme Pemaksaan hegemoni Dominasi hegemoni Praktek kekerasan Konstruktivisme Mobilisasi normatif melalui Perkembangan norma dan sosialisasi transaksional “norm entrepreneur“ Mode aksi Dominasi dan adaptasi Penerimaan Logika aktif; kepatutan: sosialisasi argumentasi oleh jaringan moral advokasi transnasional Realisme berpendapat bahwa HAM internasional pada dasarnya merupakan pemaksaan penerimaan nilai dan norma HAM yang dilakukan oleh kekuatan hegemoni untuk tetap mempertahankan kekuatannya dengan menyebarkan nilai yang dianutnya. Untuk mengembangkannya, seorang realis tidak akan sungkan untuk melakukan suatu praktek kekerasan agar norma yang dianutnya dapat diterima. Meskipun upaya dominasi ditunjukkan untuk mempertahankan kekuatan dan kepentingan nasional, realis akan berupaya untuk beradaptasi dalam menggunakan media dan saluran yang dapat digunakan, termasuk upaya justifikasi dalam mendapatkan legitimasi. Dilain pihak, konstruktivis percaya bahwa HAM internasional datang melalui suatu upaya sosialisasi norma oleh apa yang disebut dengan “norm entrepreneur.“ Suatu norma pada dasarnya membentuk nila-nilai yang dianut aktor internasional dan suatu interaksi sosial kemudian menyebabkan pembentukan aspek baru dalam norma tersebut; hal yang disebut sebagai aspek konstitutif dalam aspek institusional konstruktivisme. Suatu perkembangan yang melalui proses yang timbal balik ini menciptakan suatu penerimaan aktif terhadap nilai. Suatu jaringan advokasi internasional juga secara signifikan berkontribusi pada penerimaan HAM internasional dengan kesadaran aktor yang bersangkutan. Suatu penerimaan ini pada akhirnya tercipta karena adanya kesadara moralitas dan logika kepatutan bahwa manusia memiliki hak dasar yang sama dalam hidup untuk dapat terlindungi dari kekerasan dan suatu tirani. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 52 4.2. Kontestasi Paradigmatis dalam Aspek Legitimasi 4.2.1. Material melawan Ideasional Perdebatan antara legitimasi legal dan moral dalam intervensi berupa kontestasi antara aspek material melawan ideasional suatu doktrin. Salah satu perbedaan mendasar dalam paradigma realisme dan konstruktivis adalah fokus terhadap faktor material dan faktor ide atau suatu nilai dalam masyarakat internasional. Sebagai seorang rasionalis, realisme percaya bahwa suatu aktor selalu bertindak atas dasar kepentingan diri atas suatu keuntungan material, sedangkan konstruktivis percaya bahwa manusia selalu bertindak dengan landasan norma atau nilai universal yang diakui dalam banyak kultur – suatu abstraksi nilai yang secara bersama diyakini dan dipercayai dalam menjalani hidup. 79 Konstruktivisme tidak menolak adanya kepentingan material yang melandasi pemikiran dan tindak-tanduk seseorang tetapi meyakini bahwa terdapat peranan kesadaran sosial (social consciousness) yang lebih mendasari tindakan awal dari suatu kebijakan. Seorang realis tetap berupaya untuk membentuk justifikasi kemanusiaan dalam aksi intervensinya. Oded Lowenheim berargumen bahwa power dan legitimacy pada akhirnya bukan sesuatu yang anti-tesis tetapi saling melengkapi. Adanya institusi PBB menjadi potensi negara kekuatan besar untuk membentuk legitimasi dan menciptakan tingkat wewenangnya dalam organisasi tersebut. Sehingga, kekuatan material dasar yang dimiliki di tingkatkan dalam suatu konvensi sosial internasional dalam bentuk legitimasi. Namun, sesuai logika dasarnya yang materialistik, legitimasi dapat diabaikan ketika kepentingan nasional yang ingin dituju jauh lebih penting dan signifikan bagi negara. Dalam konteks ini, seorang realis akan melakukan intervensi kemanusiaan terhadap negara yang dirasa merupakan bagian dari kepentingan nasionalnya untuk menghentikan tragedi kemanusiaan yang ada dan menjaga stabilitas serta kontrol di negara atau kawasan tersebut. Kemudian, realis cenderung memandang sebelah mata terhadap tragedi kemanusiaan di negara lain. Hal inilah yang 79 James Fearon dan Alexander Wendt, “Rationalism Vs Constructivism: A Skeptical View,“ dalam Handbook of International Relations, ed. Walter Carlsnaes, Thomas Risse, Beth A. Simmons (London: Sage Publication, 2002), 58-59. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 53 mengangkat isu selektivitas dalam intervensi. Ketika Somalia, Rwanda, Srebrenica dan Darfur dinilai tidak begiu urjen untuk intervensi militer yang tegas, kasus di Irak 2003 dan Georgia 2008 menjadi intervensi yang dilakukan oleh negara P5 sekalipun tanpa validasi dari DK PBB. Padahal kasus di negaranegara yang disebut diawal (Somalia, Rwanda) menunjukkan pelanggaran HAM internasional yang nyata, tetapi tidak ada intervensi militer yang tegas untuk menghentikan pelanggaran HAM yang terjadi. Begitu pula dengan intervensi NATO di Kosovo dan Libya. NATO memiliki kepentingan untuk melindungi keamanan kawasannya dan AS ingin menunjukkan kontrol keamanannya di Eropa melalui peranan NATO untuk intervensi kemanusiaan di Kosovo. Sama halnya di Libya 2011, AS dan sekutu melakukan intervensi untuk mempertahankan pengaruh politik di Libya dan kawasan Timur Tengah, terkait dengan kepentingannya akan percadangan minyak terbesar di kawasan tersebut. Disinilah realisme berhasil menjelaskan perdebatan legitimasi intervensi kemanusiaan yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh negara adidaya untuk melancarkan dan melindungi kepentingan material nasionalnya. Dari aspek konstruktifis, Ide bahwa manusia memiliki kehormatan untuk mendapat perlindungan dari kekerasan adalah nilai yang diakui dalam berbagai kultur diseluruh dunia. Ide ini merupakan nilai universal yang dibawa dalam R2P yang seharusnya dapat dimenangkan melalui doktrin R2P. Akan tetapi, dunia yang anarkis dan eksistensi realpolitik terus menjadi bayangan yang akan selalu ada dalam menegakkan norma HAM melalui instrimen internasional yang disebut dengan R2P. 4.2.2. Logika konsekuensi melawan logika kepatutan (Logic of consequence Vs logic of appropriateness) Cara berikut dalam melihat kontestasi realisme dan konstruktivisme dalam menginterpretasikan perdebatan legitimasi intervensi kemanusiaan adalah dengan menarik premisnya ke dalam tataran logika berpikir. Logika konsekuensi merupakan suatu pola berpikir yang menilai suatu tindakan berdasarkan kalkulasi terhadap mekanisme mana yang paling efisien. Sedangkan logika kepatutan adalah pola pikir yang bertindak melalui pertimbangan penerimaan atas suatu Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 54 kebiasaan yang telah ada dalam masyarakat; hal-hal apa saja yang pantas untuk dilakukan. Hal ini berarti melalui logika kepatutan, manusia bertindak untuk dapat secara sosial diterima dan dianggap sesuatu yang patut untuk dilaksanakan. Logika kepatutan merupakan premis yang membentuk legitimasi moral dalam pelaksanakaan intervensi kemanusiaan. Legitimasi inilah yang kemudian memenangkan invasi NATO ke Kosovo tahun 1999 yang dianggap beberapa ahli (Eric A. Heinze, Richard Falk) sebagai sesuatu yang memiliki legitimasi moral dan penerimaan internasional meskipun ilegal karena terhambat oleh veto Cina dan Rusia. Intervensi dianggap dapat diterima karena hal tersebut adalah suatu kebijakan yang patut dilakukan untuk menyelamatkan warga Albania dan Serbia Kosovo. Perkembangan logika kepatutan moral ini mencerminkan bahwa internalisasi dari norma HAM internasional terus berkembang dan mendapat atensi yang kuat dari berbagai pihak internasional. Logika konsekuensi dalam bagian ini dapat menjelaskan bagaimana realisme menjadi paradigma yang melatarbelakangi negara untuk mempertahankan negara dan isu keamanannya. Sebagai contoh, Intervensi AS ke Irak 2003 dan Rusia ke Georgia 2008 merupakan upaya intervensi (namun tidak legitimasi) yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai self-defense. Meskipun power dan legitimasi dapat menjadi komponen yang saling melengkapi, intervensi Irak dan Georgia dilakukan tanpa legitimasi sama sekali oleh PBB dan masyarakat internasional. Hal dilakukan dengan pertimbangan kuat atas kepentingan nasional negara pengintervensi untuk mendapatkan atau mempertahankan kepentingan mereka di negara yang bersangkutan. Kuatnya keinginan tersebut melampaui signifikansi pembentukan legitimasi dan mengambil konsekuensi untuk tetap melancarkan intervensi secara unilateral tanpa landasan hukum dan pengakuan internasional. Aspek legalitas secara pragmatis ditinggalkan karena apabila intervensi tidak dilakukan, konsekuensi atau biaya politik (political cost) yang akan ditanggung menjadi signifikan. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 55 4.2.3. Norma sebagai kegunaan melawan norma sebagai hak Rasionalis berpendapat bahwa manusia mengikuti norma sesuai hanya karena dan ketika kepatuhan tersebut memiliki manfaat untuknya, sedangkan konstruktivis menganggap bahwa seseorang termotivasi untuk mengikuti norma karena mereka berpikir hal tersebutlah yang benar atau memiliki legitimasi untuk dilakukan, bukan karena pragmatis untuk kepentingan sendiri. Kontruktivis melihat suatu preferensi atas norma (tindakan atau norma apa yang akan diprioritaskan) seperti `taste`, sebagai contoh untuk coklat (makanan); di mana preferensi tersebut tidak mendahului dan melanggar suatu kekuatan norma yang mendasarinya.80 Aspek legalitas dalam dokumen dan konvensi mengenai R2P yang multiinterpretatif dan kurang spesifik menjadi alat rasionalisasi bagi seorang realis untuk menentukan perlunya intervensi dilakukan atau tidak. Rasionalisasi ini dilakukan oleh anggota P5 yang memiliki sentralitas dalam pelaksanaan intervensi kemanusiaan. Hal ini menjadi suatu cara tersendiri untuk melakukan praktik kekerasan dengan justifikasi R2P. Beberapa aspek yang menjadi celah interpretasi tersebut adalah: (1) R2P sebagai tanggung jawab bersama tidak secara jelas menyatakan pihak atau institusi mana yang pada akhirnya memiliki hak dan kewajiban dalam aksi intervensi. (2) Tidak dimasukkannya kriteria Just War, (3) ketidakjelasan indikator kegagalan negara dalam melindungi warga sipilnya (sehingga aksi intervensi militer dapat dilakukan) dengan membentuk suatu rasional yang meyakinkan bahwa negara yang bersangkutan telah gagal atau belum dapat melindungi warganya. Beberapa faktor ini mencerminkan suatu upaya legalisasi R2P secara moderat ke dalam hukum internasional, sehingga Dewan keamanan lebih memiliki keluwesan dalam menginterpretasikan kapan, kepada siapa dan bagaimana intervensi militer dapat dilaksanakan. Suatu norma yang dijadikan kegunaan bagi kepentingan nasional pihak atau negara tertentu. Ambiguitas dalam menginterpretasikan juga dapat dilihat dalam berbagai pidato oleh pemimpin negara aktor intervensi. Sebagai contoh, Tony Blair 80 Alexander Wendt, Rationalism Vs Constructivism, 60-61. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 56 menyatakan pandangannya tentang invasi Kosovo pada April 199981, sebagai berikut: “Under international law a limited use of force can be justifiable in support of purposes laid down by the Security Council but without the Council’s express authorization when that is the only means to avert an immediate an overwhelming humanitarian catastrophe. Any such case would in the nature of things be exceptional and would depend on an objective assessment of the factual circumstances at the time and on the terms of relevant decisions of the Security Council bearing on the situation in question.“ Dalam pernyataan diatas terlihat argumen pemerintah inggris yang cukup ambigu dan multi-interpretatif. Pertama bencana kemanusiaan luar biasa (overwhelming humanitarian catastrophe) yang disebutkan pada akhirnya dapat diinterpretasikan secara subjektif dan tidak terukur secara jelas. Kedua, Kasus luar biasa tersebut pada akhirnya akan diputuskan melalui keputusan relevan dari DK sehingga kekuatan politik DK PBB untuk menentukan kapan intervensi tanpa wewenang dapat dilakukan masih menjadi keuntungan interpretasi subjektif dari salah satu atau beberapa anggota DK PBB saja. Hal ini menjelaskan bagaimana norma dapat dilihat sebagai suatu kegunaan. Di lain pihak, konstruktivis memandang suatu kodifikasi R2P dalam sistem PBB sebagai upaya untuk menegakkan norma HAM sebagai norma yang universal dan dapat dimiliki oleh setiap individu di atas dunia. Perkembangan dan evolusi doktrin intervensi kemanusiaan menjadi kewajiban untuk melindungi atau R2P setidaknya membuktikan penguatan suatu nilai intrinsik universal atas Hak Azazi manusia bagi komunitas internasional. Untuk itu, suatu persepsi hak sebagai norma universal harus tetap dipegang teguh dan dipromosikan kepada dunia. 81 Jane Stromseth, Rethinking Humanitarian Intervention, 247. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 57 4.2.4. Aktor Top-Down melawan Agen Bottom-Up Konstruktivis memberikan penjelasan sosiologis dalam sistem internasional bahwa aturan menjadi suatu bagian dari identitas aktor melalui proses aktif sosialisasi dan internalisasi.82 Seseorang pun mengadopsi suatu aturan bukan karena seutuhnya ia percaya kepada aturan tersebut, tetapi juga karena proses konformitas untuk membentuk suatu keadaan legitimasi. 83 Hal ini memberikan penjelasan bahwa suatu norma HAM internasional dan doktrin R2P dapat menjadi suatu nilai yang berkembang dan berkelanjutan melalui proses sosialisasi dan advokasi sehingga dapat memperdalam internalisasi nilai tersebut kepada suatu aktor atau komunitas. Dengan demikian, suatu proses negosiasi, sosialisasi dan advokasi kepada komunitas internasional untuk menciptakan kepatutan dalam pelaksanaan intervensi kemanusiaan adalah hal yang siginifikan dan memiliki arti penting untuk dilakukan. Skeptisme yang muncul antara negara utara dan selatan atas kecurigaan (imperialisme modern) dalam upaya intervensi adalah hal yang nyata. Namun, hal ini bukan berarti suatu upaya bottom-up tidak akan mempengaruhi perkembangan nilai dan norma internasional dan bagaimana aktor-aktor terkait (terutama negara) dalam melihat, meyakini dan bertindak terhadap norma HAM internasional tersebut. Menurut Risse, sosialisasi dan aktor non-negara memiliki peranan berbeda yaitu sebagai agent of change.84 Krasner juga mengatakan bahwa aktor negara yang terlibat dalam imitasi mimesis (mimetic imitation/ secara habitual menjadi terbiasa) dalam bentuk superfisial karena mereka tidak yakin terhadap hal yang harus dilakuan.85 Dengan demikian, suatu upaya negosiasi dan diskusi yang berkelanjutan akan membentuk kebiasaan dan akhirnya penerimaan terhadap seberapa intens kita menginginkan konsep R2P dipegang dan dilaksanakan sebagai kebijakan politik internasional. 82 Risse et all, The power of Human Rights: International Norms and Domestic Change (Cambridge: Cambridg University, 1999), 134. 83 William H. Meyer, “Confirming, Infirming, and Falsifying Theory of Human Rights: Reflection on Smith, Bolyard and Oppolito through the Lens of Lakatos,“ Human Rights Quarterly, 21 (1997): 189. 84 Risse, Thomas, Ropp, Stephen dan Sikkink, Kathryn (eds), The Power of Human Rights: International Norms and Domestic Change (Cambridge: Cambridg University, 1999), 228. 85 Stephen D. Krasner, Sovereignty: Organized Hypocrisy (Princeton: Princeton University Press, 1999), 64. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 58 Jika aspek legalitas dalam legitimasi hanya menciptakan suatu pendekatan top-down dalam pembuatan kebijakan intervensi kemanusiaan dengan sentralitas DK PBB yang begitu kuat, legitimasi moral menjelaskan peranan agen-agen lainnya yang dapat menyokong penerapan doktrin R2P. Melalui pembahasan bagian akhir dalam aspek legitimasi moral, kita dapat mengidentifikasi beberapa aktor yang dapat berkontribusi dalam proses sosialisasi dan internalisasi doktrin R2P dalam intervensi yaitu: agen independen, aktor negara dan organisasi kawasan, organisasi HAM, media, dan pihak swasta. Dalam proposal peranan aktor ini, upaya negara selatan atau negara berkembang tentunya akan berkontribusi pada penegakkan penerapan intervensi kemanusiaan yang lebih transparan dan adil terhadap tragedi kemanusiaan. Konstruktivis telah memberikan aspek emansipasi dalam perkembangan norma HAM internasional dan internalisasi penerapan doktrin R2P. Melalui kapabilitas dan peranan masing-masing, aktor tersebut diatas sejatinya dapat berkontribusi secara signifikan dalam membentuk implementasi R2P yang lebih adil dan tepat sasaran dalam menanggulangi tragedi kemanusiaan di berbagai belahan dunia. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 59 BAB V: PENUTUP 5.1. Kesimpulan Sebagai suatu norma internasional yang terus berkembang, intervensi kemanusiaan/ Responsibility to Protect (R2P) menghadapi berbagai dilema politik dalam tataran perumusan kebijakan dan implementasinya dalam sistem PBB. Dilema tersebut terjadi dalam aspek legitimasi, legalitas, moral dan metode intervensi. Dalam aspek legitimasi, terdapat perbedaan pandangan dalam menentukan apakah suatu intervensi memiliki legitimasi atau tidak dalam kebijakannya. Pada satu sisi, legitimasi dilihat sebagai suatu konformitas terhadap aturan dan hukum yang ada sehingga membentuk legitimasi legal. Di lain pihak, legitimasi dilihat sebagai suatu penerimaan komunitas internasional dengan dasar nilai moralitas suatu intervensi melalui justifikasi tragedi kemanusiaan di suatu negara dan aktor intervensi yang multilateral. Perbedaan pandangan ini terjadi akibat acap kali terjadi kontestasi kepentingan politik diantara negara anggota Dewan Keamanan (DK) PBB dalam memutuskan suatu kebijakan intervensi. Alhasil, muncul nuansa skeptisme dari berbagai pihak, termasuk negara selatan yang curiga akan keranga intervensi yang dapat digunakan negara big power sebagai upaya imperialisme modern. Skeptisme muncul dari perdebatan legal dan moral yang melandasi suatu intervensi yang bertabrakan degan kontestasi kepentingan dan penggunaan veto dalam Dewan Keamanan (DK) PBB. Intervensi ke Kosovo, Irak, Georgia merupakan contoh kebijakan intervensi yang dilancarkan tanpa wewenang PBB dan menciptakan fase baru bagi doktrin R2P. Perdebatan terletak pada pertanyaan apakah suatu intervensi harus dilakukan melalui legitimasi legal atau legitimasi moral atau dengan prasyarat kedua aspek legitimasi tersebut. Namun demikian, R2P kian terus berkembang hingga digunakan secara resmi dalam sistem PBB pada tahun 2005. Tanpa adanya legitimasi, sudah jelas intervensi kemanusiaan akan semakin mempertajam kesenjangan dan kecurigaan antar negara (antar negara maju dan negara berkembang yang dapat menjadi potensi target intervensi). 59 Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 60 Kajian ilmiah dalam review literatur ini menghasilkan pemetaan perdebatan yang terjadi dalam aspek legalitas dan aspek moralitas dalam pembentukan legitimasi kebijakan intervensi kemanusiaan PBB. Aspek legalitas dilihat melalui tiga unit analisis yaitu wewenang Dewan Keamanan PBB yang mencerminkan sentralitas anggota DK PBB, mekanisme prosedural aktor intervensi yang ada dalam sistem PBB, dan analisis dokumen dan konvensi terkait intervensi kemanusiaan/ R2P. Sedangkan aspek moralitas pembentuk legitimasi ditelaah melalui tiga unit analisis yakni perkembangan doktrin R2P sebagai norma internasional, legitimasi moral yang dibentuk formasi multilateralisme dalam intervensi dan kualifikasi humaniter aktor, dan proposal tentang aktor intervensi. Melalui analisis komparatif dalam tiga unit analisis tersebut, review literatur ini mengidentifikasi bahwa pertentangan yang terjadi antara aspek-aspek pembentukan legitimasi diatas merupakan pengejawantahan dari pertentangan paradigmatis yang ada dalam teori ilmu hubungan internasional: realisme dan konstruktivisme. Perdebatan ini dapat dilihat melalui gambaran empat analisis, yaitu: (1) faktor material lawan ideasional, (2) logika konsekuensi lawan logika kepatutan, (3) norma sebagai kegunaan lawan norma sebagai hak, dan (4) aktor top-down lawan agen bottom-up. Literatur review ini tidak bermaksud untuk menilai aspek legitimasi yang mana yang lebih baik maupun teori ilmu hubungan internasional mana yang lebih bisa menjelaskan dilema politik dalam legitimasi intervensi kemanusiaan. Analisis dilakukan untuk memetakan perdebatan akademis yang ada dalam suatu kajian ilmiah dan mengektraksikannya dalam analisis teoritis. Satu hal penting yang dapat dimengerti dari pembahasan dalam literatur review ini adalah bahwa meskipun intervensi kemanusiaan dan R2P memiliki kerentanan atas penyalahgunaan (abuse) terhadap kepentingan suatu pihak tertentu, penjelasan konstruktivisme dapat mengangkat aspek emansipasi dalam penerapan R2P dan internalisasi aspek legitimasi dalam norma HAM internasional. Suatu diskursus norma R2P harus tetap dilanjutkan untuk sosialisasi dan advokasi tujuan kemanusian di komunitas internasional. Pendekatan bottom-up oleh aktor negara (termasuk negara selatan) dan non-negara dapat secara signifikan berkontribusi untuk memperkuat doktrin R2P dan membentuk legitimasi menuju penciptaan Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 61 intervensi kemanusiaan yang adil dan bermoral, menyelamatkan individu dari kejahatan kemanusiaan. Melalui diskursus ini, seperti argumen Mulligan dan Clark, legitimasi pada akhirnya dapat berkembang menjadi suatu pemaknaan terhadap norma di mana masyarakat internasional dapat melihat suatu peristiwa sesuai dengan kompleksitas dengan dinamika politik, aspek legal-moral, konsensus dan isu power dalam tataran praktis. 5.2. Rekomendasi Analisis paradigmatis yang dilakukan dalam membandingkan aspek legitimasi suatu intervensi kemanusiaan dalam review literatur ini telah memberikan gambaran analisis kontestasi dua teori besar dalam ilmu hubungan internasional. Namun, penulis menyadari bahwa kajian ilmiah ini hanya berfokus pada analisis aspek legitimasi pada tataran ide dan teori ilmu hubungan internasional, tanpa melakukan penelitian dan survei terhadap interpretasi negaranegara anggota PBB dalam melihat legitimasi moral doktrin R2P. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penelitian lanjutan yang dapat menelaah secara lebih mendalam pertentangan legitimasi tersebut dalam tataran praktis kebijakan politik internasional dan posisi negara terhadap legitimasi moral dalam intervensi kemanusiaan. Kajian ilmiah ini juga memberikan rekomendasi kepada negara selatan dan aktor non-negara untuk dapat berperan aktif dalam proses sosialisasi dan internalisasi suatu nilai dan norma R2P sebagai instrumen penyelamatan isu kemanusiaan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Dengan peranan Bottom-up dari aktor tersebut, maka suatu proses konformitas terhadap doktrin dan mekanisme kolaborasi serta check and balance dapat menyokong penciptaan intervensi yang adil dan tepat sasaran. Semoga kajian dalam review literatur ini dapat memberikan landasan untuk pembahasan dan penelitian terkait selanjutnya dan memberikan inspirasi serta manfaat akademis maupun praktis bagi pembaca. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 62 DAFTAR REFERENSI “World Tribunal on Iraq,“ Transnational Institute, terakhir dimodifikasi 17 November 2005, diakses 2 Mei 2013, http://www.tni.org/archives/mildocs_wti. A. J. R. Groom dan Taylor, Paul. “The United Nations System and the Kosovo Crisis.“ Dalam Kosovo and the Challenge of Humanitarian Intervention: Selective Indignation, Collective Action, and International Citizenship. Diedit oleh Albrecht Schnabel & Ramesh Takur, 291-318. Tokyo: United Nations University, 2002. Archibugi, Daniele. “Cosmopolitan Guidelines for Humanitarian Intervention.“ dalam Global, Local, Political, 29, no. 1 (2004). https://proxylogin.nus.edu.sg/libproxy1/public/login.asp?logup=false&url=htt p://www.jstor.org/stable/40645102 Bellamy, Alex J., Motives, outcomes, Intent and the Legitimacy of Humanitarian Intervention, (Brisbane: University of Quesland, 2004). Chomsky, Noam. Humanitarian Intervention. Dalam Boston Review Edisi (Desember 1993/ Januari 1994). http://www.chomsky.info/articles/199401-02.htm Christian, Reus-Smit, “International Crisis of Legitimacy.“ Dalam International Politics (2007) 44, doi:10.1057/palgrave.ip.8800182. Clark, Ann Marie. Diplomacy of Conscience: Amnesty International and Changing Human Rigts. Princeton: Princeton University Press, 2001. David Chandler, The Responsibility to protect, Center for the Study of Democracy, University Westminster, http://www.tandfonline.com/loi/finp20. De Conde, Alexander, Richard Dean Burns, Fredrik Logevall, dan Louise B. kertz. Encyclopedia of American Foreign Policy. New York: Charles Scribner`s Sons, 2002. Dunne, Tim & Gifkins, Jess. “Libya and the State of Intervention.“ Australian Journal of International Alffairs Vol. 65, No. 5 http://www.tandfonline.com/loi/caji20. Evan, Gareth. The World Today. 68. 8/9 (Oct/ Nov 2012): 30-32 .earch.proquest.com.libproxy1.nus.edu.sg/docview/1170904293. Evans, Gareth. “Russia in Georgia: Not a Case of The Responsibility to Protect.“ New Perspectives Quarterly 25, no. 4 (2008). The center for the Study of Democratic Institutions. /doi/10.1111/npqu.2008.25.issue-4/issuetoc. Evans, Gareth. The Responsibility to Protect: Ending Mass Atrocity Crimes Once and For All, Washington: Brookings Institution, 2008. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 63 Falk, Richard. Civil Society Perspectives on Humanitarian Intervention. dalam Journal of Civil Society Vol. 4, No. 1,3-14, (2008). http://www.researchgate.net/journal/1744-8689_Journal_of_Civil_Society. Feinstein, Lee dan Erica. Beyond De Bruin. “Words: U.S. Policy and the Responsibility to Protect.“ Dalam Responsibility to Protect: The Global Moral Compact for the 21st Century. Diedit oleh Richard Cooper H. & Juliette Voinov Kohler, 139. New York: Palgrave Macmillan. 2009. Garwood, Andrew. China and the Responsibility to Protect: The Implications of the Libyan Intervention,“ Asian Journal of International Law 2 (2012): 375393. http://eprints.qut.edu.au/49903/ Glanville, Luke. “The International Community`s Responsibility.“ dalam Protecting the Displaced: Deepening the Responsibility to Protect. Diedit oleh Davies, Sara E. dan Luke Glanville, 225. Netherlands: Koninklijke Brill NV, 2010. Graubart, Jonathan. R2P and Pragmatic Liberal Interventionsim: Values in the Service of Interests. Human Rights Quarterly 35 (2013) 69-90. US: The John Hopkins University Press, 2013. Griffiths, Martin dan Terry O`Callaghan. IR The Key Concepts. New York: Routledge, 2002. Hehir, Aidan. Humanitarian Intervention: An Introduction. London: Palgrave Macmillan, 2010. Heinze, Eric. A. Waging Humanitarian Law: the Ethics, Law, and Politics of Humanitarian Intervention. Oxford: Oxford University Press, 2005. Ikenberry, G. John. “The Costs of Victory: American Power and the Use of Force in the Contemporary Order.“ Dalam Kosovo and the Challenge of Humanitarian: Selective Indignation, Collective Action, and International Citizenship. Diedit oleh Albrecht Schnabel dan Ramesh Takur, 283-315. Tokyo: United Nations University Press, 2000. Jackson, Robert & Sørensen, Georg. Introduction to International Relations: Theories &Approaches. 4th ed. New York: Oxford University Press, 2010. Jonelle Lonergan. “Neo-Realism and Humanitarian Action: From Cold War to Our Days.“ Journal of Humanitarian Assistance, (2011). Krasner, Sephen D. “Sovereignity, Regimes, and Human Rights.“ dalam Regime Theory and International Relations. Diedit oleh Volker Rittberger, 66. Oxford: Clarendon Press, 1993. Krasner, Stephen D. Sovereignty: Organized Hypocrisy. Princeton: Princeton University Press, 1999. Lowenheim, Oded. Predators and Parasites: Persistent Agents of Transnational Harm and Great Power Authority. US: University of Michigan Press, 2009. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 64 Lyon, Alynna J. “Global Good Samaritans: When do we Heed `the Responsibility to protect`?.“ dalam Irish Studies in Internaitonal Affairs, Vol. 20 (2009): 4154. http://www.jstor.org/discover/10.2307/25735149?uid=3738224&uid=2&uid= 4&sid=21102525380537 Meyer, William H. “Confirming, Infirming, and Falsifying theory of Human Rights: Reflection on Smith, Bolyard and Oppolito through the Lens of Lakatos.“ Human Rights Quarterly, 21 (1997). Morgenthau, Hans. “To Intervene or Not to Intervene,” Foreign Affairs. (1967). http://www.foreignaffairs.com/articles/23877/hans-j-morgenthau/tointervene-or-not-to-intervene Nuruzzaman, Mohammed. “The Responsibility to Protect Doctrine: Revived in Libya, Buried in Syria.“ Insight Turkey 15, no. 2 (2013): 57-66. search.proquest.com.libproxy1.nus.edu.sg/docview/1350533876. Pace, William, Nicole Deller, dan Sapna Chatpar. “Realizing the Responsibility to Protect in Emerging and Acute Crisis: A Civil Society Proposal for the United Nations.“ Dalam Responsibility to Protect: The Global Moral Compact for the 21st Century. Diedit oleh Richard H. Cooper dan Juliette Voinov Kohler. New York: Palgrave Macmillan, 2009. Pattison, James. Humanitarian Intervention & Responsibility to Protect: Who should intervene?. New York: Oxford University Press, 2010. Ramesh Takur, The United Nations, Peace and Security, Cambridge: Cambridge University Press, 2006. Risse, Thomas, Ropp, Stephen dan Kathryn Sikkink. The Power of Human Rights: International Norms and Domestic Change. Cambridge: Cambridge University, 1999. Roberts, Sir Adam. “The United Nations and Humanitarian Intervention.“ Dalam Humanitarian Intervention and Internaional Relations. Diedit oleh Jennifer M Welsch, 162. New York: Oxford University Press, 2004. Schmitz, Hans Peter dan Sikkink, Kathryn. “International Human Rights.“ dalam Handbook of International Relations. ed. Walter Calrsness, Thomas Risse dan Beth A. Simmons, 522-524. London: Sage Publication, 2002. Schulz, William F. Spread Wide the Word: Organizing the Grassroots to End Atrocity Crimes. Dalam Responsibility to Protect: The Global Moral Compact for the 21st Century. Diedit oleh Richard H. Cooper dan Kohler, Juliette Voinov, 187. New York: Palgrave Macmillan, 2009. Simmons, Adele dan Aprill Donnellan. “Reaching Across Borders: Philantrophy`s Role in the Prevention of Atrocity Crimes.“ Dalam Responsibility to Protect: The Global Moral Compact for the 21st Century. Diedit oleh Cooper, Richard H. & Kohler, Juliette Voinov, 145. New York: Palgrave Macmillan, 2009. Stahn, Carsten. “Responsibility to Protect: Political Rehtoric or Emerging Legal Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia 65 norm?. “ The American Journal of International Law,101, no. 1 (2007). http://www.jstor.org/stable/4149826 Stanford Encyclopedia of Philosophy, diakses http://plato.stanford.edu/entries/legitimacy/) pada 23 Mei 2013, Stanulova, Maya. Has Humanitarian Intervention Become an Exception to the Prohibition on the Use of Force in Article 2(4) of the UN Charter?. England: Edinburgh University, 2010. Stromseth, Jane. Rethinking Humanitarian Intervention: The Case for Incremental Change. dalam Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas. Diedit oleh Robert O. Keohane dan J. L. Holzgrefe, 247. Cambridge University Press: Cambridge, 2003. Teson, Fernando R. The Liberal Case for Humanitarian Intervention. dalam Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas. ed. Robert Keohane dan J. L. Holzgrefe. New York: Cambridge University Press, 2003. Viotti, Paul R. & Kauppi, Mark V. International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism 2nd ed. New York: Macmillan Publishing Company, 1992. Welsch, Jennifer M. Taking Consequences Seriously: Objections to Humanitarian Intervention. dalam Humanitarian Interventiona and Internaional Relations. Diedit oleh Jennifer M. Welsch. New York: Oxford University Press, 2004. Wendt, Alexander dan James Fearon. “Rationalism Vs Constructivism: A Skeptical View.“ dalam Handbook of International Relations. Diedit oleh Walter Carlsnaes, Thomas Risse, Beth A. Simmons, 53-68. London: Sage Publication, 2002. Wheeler, Nicholas J. “The humanitarian Responsibility of Sovereignty: Explaining the Development of a New Norm of Military Intervention for humanitarian purposes in International Society.“ dalam Humanitarian Intervention and International Relations. Diedit oleh Jennifer M. Welsch. New York: Oxford University Press, 2004. Dilema politik ..., Niwa Rahmad, FISIP UI, 2013 Universitas Indonesia