Adisti SOIL TRANSM SDH Vol.2 No.2

advertisement
Adisti SOIL TRANSM SDH Vol.2 No.2
C
SOIL TRANSMITTED HELMINTHIASIS
PADA SISWA SDN TUMPAKREJO 04 KALIPARE MALANG
Oleh
Adisti Wulandari
Analis Kesehatan Akademi Analis Kesehatan Malang
INTISARI
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besar angka kejadian infeksi cacingan
dan penyuluhan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal dan kebiasaankebiasaan cara hidup sehat pada siswa SDN Tumpakrejo 04 Kalipare Malang.
Cara Pemeriksaan parasitologi pada tinja dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis.
Pemeriksaan makroskopis adalah dengan melihat sifat fisik dari tinja tersebut seperti kepadatan,
bau (menyengat atau tidak), warna, lendir, darah, dan ada tidaknya cacing dewasa. Pemeriksaan
mikroskopis yang bertujuan untuk mengetahui parasit apa saja yang terdapat dalam tinja tersebut.
Pemeriksaan secara mikroskopis meliputi cara langsung (direct methode) dan cara tidak
langsung/cara apung (indirect methode).
Metode pemeriksaan spesimen tinja menggunakan cara langsung (direct methode) dengan alat
dan bahan sebagai berikut; 1).Objek glass / gelas benda, 2).Cover glass,gelas penutup, 3).Lidi,
4).Spidol untuk label, 5). Larutan NACl 0,85% (garam faali) / PZ, 6). Larutan Lugol Iodine 1%.
Sedang cara Apung tinja dicampur dengan larutan jernih sodium klorida (larutan jenuh garam
dapur). Telur yang lebih ringan akan mengapung dipermukaan sehingga mudah dikumpulkan.
Alat dan Bahan yang digunakan antara lain; 1).Tabung, 2). Spatula, 3).Gelas penutup, 4). Gelas
benda, 5). Larutan jenuh garam dapur.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulankan bahwa Prevalensi atau angka kejadian infeksi
cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau “Soil Transmitted Helminthiasis“ cukup tinggi
yaitu satu pertiga bagian dari siswa SDN Tumpakrejo 04 Kalipare Malang terjangkit infeksi
cacing dengan prosentase 35.61%
PENDAHULUAN
Latar Belakang
“Soil Transmitted Helminthiasis“ adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing
golongan Nematoda yang memerlukan tanah untuk perkembangan bentuk infektifnya. Sampai
saat ini di negara-negara berkembang, contohnya Indonesia, terutama di pedesaan, daerah kumuh
dan didaerah yang padat penduduknya. Sekitar 60 – 80% penduduknya menderita penyakit
infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris
trichiura, Strongyloides stercoralis, dan cacing tambang (Hookworm) yaitu Necator americanus,
Ancylostoma duodenale.
Prevalensi kecacingan ini sangat bervariasi dari daerah satu ke daerah lain, tergantung dari
beberapa faktor, antara lain : daerah penelitian (desa, kota, kumuh, dll), kelompok umur yang
diperiksa, teknik pemeriksaan, kebiasaan penduduk setempat (tempat buang air besar, cuci
tangan sebelum makan, tidak beralas kaki, dll) dan pekerjaan penduduk. Diantara keempat
cacing tersebut Ascaris lumbricoides adalah yang tertinggi prevalensinya, dan umumnya
penderita menderita infeksi ganda.
Penyakit kecacingan ini pada umumnya tidak akut dan tidak fatal tetapi menyebabkan penyakit
kronis yang sulit diukur invaliditasnya. Gejala klinis yang ditimbulkan umumnya tidak jelas,
mirip dengan penyakit lain terutama berupa sakit perut, diare, anemia, dan gizi kurang. Oleh
karena itu untuk diagnosanya perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Tinjauan Pustaka
Nematoda
Berdasarkan taksonomi, Nematoda merupakan kelas dari Nemathelmintes pada
Helmintologi. Nematoda berasal dari bahasa Yunani nema yang artinya benang. Nematoda
adalah cacing yang bentuknya panjang, silindrik (gilik), tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral
simetrik. Panjang cacing ini mulai dari 2 mm sampai 31 cm.
Nematoda mempunyai jumlah spesies yang terbesar diantara cacing-cacing yang hidup
sebagai parasit. Cacing-cacing ini berbeda-beda dalam habitat, daur hidup dan hubungan hospesparasit (host-parasite relationship).
Nematoda usus di Indonesia lebih sering disebut sebagai cacing usus. Menurut cara
penularannya nematoda usus dibedakan menjadi dua kelompok yaitu, penularan yang melalui
tanah (Soil Transmitted Helminth) dan penularan yang tidak melalui tanah.
Soil Transmitted Helminth
Soil Transmitted Helminth adalah golongan cacing Nematoda usus yang penularannya
terjadi melalui tanah, karena cacing ini memerlukan tanah untuk pertumbuhan telurnya menjadi
bentuk infektif (tanah sebagai hospes perantara). Ada 5 spesies terpenting bagi manusia yaitu :
Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Strongyloides stercoralis
dan Trichiris trichiura.
A. Epidemiologi
Di Indonesia prevalensi Askaris cukup tinggi terutama pada anak frekwensinya 60 – 80%.
Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja disekitar
halaman rumah, dibawah pohon, ditempat mencuci dan pembuangan sampah serta penggunaan
tinja sebagai pupuk akan mengakibatkan tercemarnya buah dan sayur-sayuran tersebut oleh
pupuk tinja.
Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar 25 - 30°C merupakan hal yang
sangat baik untuk perkembangan telur Ascaris lumbricoides menjadi telur infektif.
B. Morfologi
Telur
Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000 – 200.000 butir dalam sehari,
terdiri dari telur yang sudah dibuahi dan tidak dibuahi. Telur yang dibuahi (fertil) berukuran
panjang 60 – 75 mikron, lebar 40 – 60 mikron. Telur cacing ini mempunyai kulit yang tidak
berwarna, diluarnya terdapat lapisan albumin yang permukaannya berdungkul (mamilation),
telur berwarna coklat karena menyerap zat warna empedu. Didalam kulit telur itu masih terdapat
selubung vitelin tipis, tetapi lebih kuat dari pada kulit telur. Selubung tersebut berfungsi untuk
meningkatkan daya tahan telur terhadap lingkungan sekitar sehingga dapat hidup setahun
lamanya. Telur yang sudah dibuahi ini mengandung sel ovum yang tak bersegmen. Kutub telur
berbentuk lonjong atau bulat, ronggan udara tampak sebagai daerah terang berbentuk bulan sabit.
Gambar 1 telur Ascaris lumbricoides fertil corticated & fertil decorticated
Telur yang tidak dibuahi (unfertil) dijumpai didalam tinja, bila dalam tubuh hospes hanya
terdapat cacing betina. Telur ini masih lebih lonjong dengan ukuran 80 x 50 mikron. Dinding
tipis, berwarna coklat dengan lapisan albumin tidak teratur. Sel telur ini mengalami atrofi
sehingga nampak butiran refraktil. Pada telur tidak dijumpai rongga udara. (Gambar 2)
Didalam tinja manusia kadang ditemukan telur Ascaris yang kehilangan lapisan albumin,
sehingga sulit menentukan diagnosa telur.
Gambar 2. Telur Ascaris lumbricoides unfertil
Cacing Dewasa
Cacing Dewasa memiliki ukuran paling besar diantaraNematoda usus lainnya. Cacing
Dewasa bentuknya mirip cacing tanah. Cacing yang merupakan Nematoda usus terbesar pada
manusia ini yang betina lebih besar ukurannya dibandingkan dengan jantan. Panjang cacing
betina 22 – 35 cm, sedangkan jantan 10 – 31 cm. cacing yang berwarna kuning kecoklatan ini
mempunyai kutikulum yang rata dan bergaris halus, kedua ujung badan membulat. Mulut cacing
mempunyai 3 bibir, satu dibagian dorsal yang lain dibagian subventral.
Cacing jantan mempunyai ujung posterior yang penting, melengkung ke arah ventral,
mempunyai banyak papila kecil, mempunyai dua buah spikulum yang melengkung, yang
masing-masing berukuran 2 mm. Cacing betina mempunyai bentuk tubuh posterior yang
membulat (conical) dan lurus. (Gambar 3)
Gambar 3. Cacing dewasa dan bentuk bibir Ascaris lumbricoides
A. Daur Hidup
Pada waktu telur yang dibuahi keluar bersama tinja penderita, telur belum infektif. Jika
telur jatuh ditanah, maka telur akan tumbuh dan berkembang menjadi telur berembrio ( berisi
larva ) yang bersifat infektif.
Bila telur yang infektif tertelan manusia, dibagian atas dari usus halus dinding telur
pecah dan larva akan lepas dari telur. Larva menembus dinding usus halus, memasuki vena porti
hati, kemudian bersama aliran darah menuju jantung kanan untuk selanjutnya menuju sirkulasi
paru. Didalam paru larva tumbuh dan berganti kulit sebanyak dua kali, kemudian menembus
dinding alveoli. Migrasi ini berlangsung sekitar 15 hari. Dari alveoli larva merangkak ke bronki,
trakea, laring, untuk selanjutnya ke faring, pindah ke esofagus, turun kelambung dan akhirnya
keusus halus. Disini terjadi pergantian kulit lagi dan cacing menjadi dewasa. Setelah dua bulan
infeksi pertama, cacing betina mampu memproduksi telur sebanyak 200.000 per hari.
A. Patogenesis
Pada umumnya orang terinfeksi cacing tidak menunjukkan gejala, tetapi ada bukti
bahwa Ascaris lumbricoides menyebabkan masalah gizi yang menghambat pertumbuhan anak.
Adakalanya penderita menunjukkan demam, urtikaria, malaise, kolik usus, muntah mual, diare
dan gangguan syaraf sentral. Migrasi larva Ascaris ke paru-paru menimbulkan pneumonia.
Pemeriksaan radiologi thorax menunjukkan bercak difus dan gambaran peribronkial yang jelas.
Biasanya ada eosinofilia tinggi yang akan reda 7 – 10 hari, kecuali jika ada reinfeksi.
B. Diagnosis
Diagnosis biasanya didasarkan penemuan telur Ascaris didalam tinja. Kadang-kadang
penderita mengandung cacing muda atau dewasa yang dikeluarkan bersama tinja, keluar dari
anus, bahan muntahan atau hidung anak yang sakit. Diagnosis pasti viseral larva migran dapat
menemukan larva atau potongan larva dalam jaringan yang sukar ditegakkan. Ada kalanya
cacing dewasa dapat dilihat dalam usus dalam pemeriksaan radiologi barium. Reaksi imunologi
dapat membantu menegakkan diagnosis.
Tabel 1. Pemeriksaan parasitologi Ascaris lumbricoides
No
Spesimen
Bentuk diagnostik
1
Tinja
Telur, cacing dewasa
2
Cairan empedu
Telur
3
Bahan muntahan
Cacing dewasa
4
5
Sputum
Otopsi jaringan paru
Larva
Larva
Ancylostoma duodenale dan Necator americanus
Kedua parasit ini diberi nama “Cacing tambang “ karena pada zaman dahulu cacing ini
ditemukan di Eropa pada pekerja tambang yang belum mempunyai fasilitas sanitasi yang
memadai. Hospes definitif adalah manusia. Infeksi cacing tambang oleh Necator americanus
disebut Necatoriasis, sedangkan infeksi oleh Ancylostoma duodenale disebut Ankilostomasis.
Penyebaran cacing ini diseluruh wilayah katulistiwa dan ditempat lain dengan keadaan yang
sesuai, misalnya daerah pertambangan dan perkebunan. Prevalensi di Indonesia cukup tinggi
terutama didaerah pedesaan sekitar 40%.
Epidemiologi
Insiden tinggi ditemukan pada penduduk Indonesia terutama didaerah pedesaan,
khususnya di perkebunan. Sering kali golongan pekerja perkebunan yang langsung berhubungan
dengan tanah, mendapat infeksi lebih dari 70%.
Kebiasaan defekasi ditanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk penting dalam
penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur dengan suhu
optimum untuk Necator americanus 28 - 32°C, sedangkan untuk Ancylostoma duodenale 23 25°C.
Morfologi
Telur
Dibawah mikroskop morfologi kedua telur cacing ini sukar dibedakan dengan jelas. Telur
berbentuk lonjong seperti elips dengan ukuran 65 x 40 mikron. Telur yang tidak berwarna ini
memiliki dinding tipis yang tembus cahaya dan mengandung embrio dengan mengandung 4
blastomer.
Gambar 5. Telur cacing tambang
Larva
Terdapat dua stadium larva, yaitu larva rhabditiform (tidak infektif) dan filariform
(infektif). Larva rhabditiform bentuknya agak gemuk dengan panjang 250 mikron, rongga mulut
panjang, pada esofagusnya terdapat bulbus esofagus. Larva filariform langsing dengan panjang
600 mikron, rongga mulut panjang, tidak mempunyai bulbus esofagus, ekor runcing. Larva
filariform mempunyai selubung (sheat) yang antara Ancylostoma duodenale tidak sama dengan
Necator americanus. Pada Ancylostoma duodenale sheat berbentuk polos, sedangkan pada
Necator americanus sheat berbentuk garis melintang.
Gambar 6. Larva Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus
Cacing dewasa
Cacing dewasa berbentuk silindrik dengan mulut besar dan berwarna putih keabuan.
Cacing betina mempunyai panjang 9 – 13 mm sedangkan jantan 5 – 11 mm. di ujung posterio
terdapat bursa kopulatrik yang berfungsi untuk memegang cacing betina pada saat kopulasi.
Kedua spesies cacing ini mempunyai perbedaan morfologi pada bentuk tubuhnya, rongga mulut,
dan bursa kopulatrik cacing jantan dan ada tidaknya spina kaudal pada cacing betina.
Ancylostoma duodenale memiliki rongga mulut dengan 2 pasang gigi dan satu tonjolan.
Bentuk tubuhnya seperti huruf C dan cacing betina memiliki spina kaudal. Bursa kopulatrik pada
cacing jantan didaerah dorsal ray mempunyai cekungan yang dangkal dan pada ujungnya
bercabang tiga.
Necator americanus memiliki rongga mulut dengan 2 pasang plat pemotong (cutting
plate). Ukurannya lebih kecil dan langsing dibanding Ancylostoma duodenale. Bagian tubuh
anterior melengkung berlawanan dengan lengkungan tubuh, sehingga tubuh mirip huruf S. pada
cacing betina tidak didapatkan spina kaudal. Bursa kopulatrik pada cacing jantan didaerah dorsal
ray mempunyai cekungan yang dalam dan pada ujungnya bercabang dua (Gambar 7).
Gambar 7. Perbedaan cacing dewasa Ancylostoma duodenale dan Necator americanus
Daur Hidup
Gambar 8. Daur hidup cacing tambang
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif. Telur yang berisi embrio yang
bersegmen keluar bersama tinja, didalam tanah dalam waktu 2 hari telur menetas menjadi larva
rhabditiform berganti kulit dua kali menjadi larva filariform yang langsing dan infektif. Larva
filariform yang terjadi lebih kurang 10 hari sesudah telur keluar dari tubuh hospes. Agar dapat
melanjutkan siklus hidupnya larva filariform memasuki tubuh hospes dengan jalan menembus
kulit sehat yang tidak tertutup. Sesudah melalui jaringan sub kutan larva memasuki pembuluh
darah atau limfe, memasuki sirkulasi vena, mencapai jantung kanan, menuju ke kapiler paru,
lalu menembus dinding kapiler memasuki alveoli. Larva cacing kemudian mengadakan migrasi
ke bronki, trackea, laring, faring dan esofagus. Diesofagus terjadi pergantian kulit untuk ketiga
kalinya dan mulai membentuk rongga mulut. Tahap migrasi berlangsung selama 10 hari. Dari
esofagus larva menuju usus halus, berganti kulit dan menjadi dewasa. Dalam 4 minggu cacing
betina mulai bertelur.
Patogenitas
Diagnosis
Larva-larva cacing tambang menyebabkan “Ground itch “ pada tempat ia menembus
kulit. Reaksi kulit akan semakin nyata bila makin sering terjadi infeksi ulangan. Migrasi larva
melalui paru-paru tidak sehebat reaksi yang disebabkan larva Askaris, tetapi infeksi berulang
dapat memberi reaksi yang nyata berupa sindroma Loffler. Larva Ancylostoma duodenale
memasuki tubuh baik melalui makanan dan minuman atau penetrasi kulit oler larva filariform
tetapi lebih berhasil melalui mulut. Larva ini tidak melalui proses perkembangan melalui paruparu, tetapi mengalami perkembangan didalam usus yang mengakibatkan gejala gangguan
gastrointestinal, di Jepang dikenal sebagai Wakana diseases. Larva Necator mengalami
perkembangan di paru-paru yang bisa berakibat pneumonia dan bronkitis biasanya lebih ringan
dari pada sindroma Loffler yang terjadi karena Ascaris. Stadium pertumbuhan ini dan
melekatnya pada usus biasanya tidak menimbulkan gejala namun pada infeksi berat dapat
menyebabkan anemia hipokromik. Kehilangan darah terjadi karena cacing menghisap darah dan
juga karena pendarahan yang berlanjut pada tempat melekatnya cacing.
Pada fase migrasi larva, diagnosis dapat dibuat dengan menemukan larva dalam
spodium atau bilas lambung. Sindroma loffler yang spesifik sering terlihat.
Selama fase intestinal, diagnosis dapat dibuat dengan menemukan telur dan cacing
dewasa pada tinja. Telur cacing ini dapat ditemukan pada sedimen basah langsung atau dari
sedimen yang sudah dikonsentrasikan. Cacing dewasa dapat ditemukan dengan pemberian
antelmintik atau keluar dengan sendirinya melalui mulut karena muntah atau bersama dengan
tinja.
Tabel 2. Pemeriksaan parasitologi cacing tambang
No
Spesimen
Bentuk diagnostik
1
Tinja
Telur Cacing dewasa
2
Cairan duodenum
Telur
3
Bahan muntahan
Cacing dewasa
4
Bahan tinja
Larva
Strongyloides stercoralis
Cacing ini disebut juga cacing benang (thread worm). Hospes utama cacing ini adalah
manusia, walaupun ada yang ditemukan pada hewan. Cacing ini tidak mempunyai hospes
perantara. Cacing dewasa hidup di membran usus halus terutama duodenum dan jejunum.
Penyakitnya sebagai Strongylodiasis, umumnya ringan kecuali terjadi hiperinfeksi oleh karena
terjadi autoinfeksi.
Cacing ini tersebar luas didaerah tropik dengan kelembaban tinggi, sedangkan didaerah
yang beriklim dingin jarang ditemukan.
Epidemiologi
Daerah yang panas, kelembaban tinggi dan sanitasi yang kurang sangat menunjang
cacing Strongyloides strercoralis sehingga dapat terjadi daur hidup yang tidak langsung. Tanah
yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah yang gembur, berpasir dan humus.
Morfologi
Telur
Bentuk lonjong mirip telur cacing tambang. Ukuran 55 x 30 mikron, mempunyai
dinding tipis yang tembus sinar. Telur dikeluarkan dalam membran mukosa dan langsung
menjadi larva, sehingga dalam tinja tak ditemukan telur.
Larva
Mempunyai 2 stadium larva, rhabditiform dan filariform. Larva rhabditiform mempunyai ukuran
225 x 16 mikron, rongga mulut pendek dengan pembesaran esofagus yang khas. Larva filariform
ukurannya lebih panjang 630 x 16 mikron, langsing dan mempunyai rongga mulut yang pendek,
dengan esofagus yang berbentuk silindrik, ekor bercabang dan tidak mempunyai selubung (sheat)
(Gambar 9). Dalam mikroskop bentuk larva ini hampir sama dengan bentuk larva cacing
tambang, tapi ada beberapa perbedaan untuk identifikasi. Untuk lebih jelasnya lihat tabel 3.
Tabel 3. Perbedaan larva Strongyloides stercoralis dan Cacing tambang
Larva rhabditiform
a.
b.
Strongyloides stercoralis
Rongga mulut pendek
Genital primordium besar
a.
b.
Cacing tambang
Rongga mulut panjang
Genital primordium kecil
Larva filariform
Strongyloides stercoralis
a. Esofagus memanjang sampai kira-kira
a.
40% dari seluruh panjangnya
b. Tidak berselubung (sheat - )
c. Ekor bercabang
b.
c.
Cacing tambang
Esofagus memanjang sampai
kira-kira 25% dari seluruh
panjangnya
Berselubung (sheat + )
Ekor runcing
Gambar 9 . larva Strongyloides stercoralis
Cacing dewasa
Cacing dewasa Strongyloides stercoralis yang hidup parasitik pada manusia pada
umumnya adalah cacing betina. Cacing ini berbentuk benang halus, tidak berwarna, semi
transparan dengan panjang ± 2,2 mm, dilengkapi sepasang uterus dan sistem reproduksi
ovovivipar. Cacing dewasa yang hidup bebas (free living) hidup diluar tubuh manusia berukuran
lebih pendek dibanding dengan yang parasitik. Esofagusnya mirip larva rhabditiform, yang
jantan ekornya membengkok keventral dan dilengkapi spikulum.
C. Daur hidup
Gambar 10. Daur hidup Strongyloides stercoralis
Daur hidup cacing ini ada 3 macam cara, yaitu :
1. Siklus langsung
Larva rhabditiform setelah berada 2 – 3 hari ditanah akan berubah menjadi larva filariform
(bentuk infektif). Larva ini hidup ditanah dan menembus kulit manusia kemudian masuk kevena
menuju jantung kanan dan paru-paru. Dalam paru-paru cacing menjadi dewasa kemudian
menembus alveolus, masuk ke trackea dan laring. Hal ini menyebabkan batuk-batuk sehingga
cacing terasa tertelan hingga ke usus halus bagian atas. Cacing betina bertelur kira-kira 28 hari
setelah infeksi.
2. Siklus tidak langsung
Pada siklus ini pada larva rhabditiform berkembang menjadi cacing dewasa jantan dan betina
bentuk bebas. Bentuk cacing gemuk, yang betina panjangnya 50 – 70 mikron sedangkan jantan
40 – 50 mikron. Ekor melengkung kearah ventral dilengkapi dengan dua spikulum. Telur cacing
betina setelah dibuahi selanjutnya menetas menjadi larva rhabditiform berkembang menjadi larva
filariform kemudian masuk ke hospes baru. Larva rhabditiform dapat mengulang fase bebas.
3. Auto infeksi
Larva rhabditiform juga dapat berkembang menjadi filariform dirongga usus halus atau daerah
perianal. Bila larva filariform menembus mukosa usus atau kulit perianal maka terjadi daur
perkembangan didalam hospes. Autoinfeksi dapat menyebabkan Strongyloidiasis didaerah nonendemis.
D.Patogenesis
Bila larva dalam jumlah besar menembus kulit maka terjadi creaping eruption yang
disertai rasa gatal yang hebat. Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada usus muda. Infeksi
ringan dengan Strongyloidiasis pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak
menimbulkan gejala. Infeksi sedang, menyebabkan rasa sakit seperti ditusuk pada daerah
epigastrium tengah. Mungkin ada mual, muntah, diare dan konstipasi saling bergantian. Pada
Strongyloidiasis ada kemungkinan terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi. Pada hiper infeksi cacing
dewasa yang hidup dapat ditemukan di traktus digestivus dan larva ditemukan diparu, hati,
kandung empedu. Pada pemeriksaan darah mungkin ditemukan eosinofilia.
C.Diagnosis
Diagnosis klinis tidak pasti, karena Strongyloidiasis tidak memberikangejala klinis yang
nyata. Diagnosis pasti bila menemukan larva rhabditiform dalam tinja segar, biakan tinja dan
aspirasi duodenum.
No
Spesimen
Bentuk diagnostik
1
Tinja
Larva rhabditiform
2
Cairan duodenum Larva rhabditiform
3
Perianal
Larva rhabditiform
Larva filariform
4
Biakan tinja
Cacing dewasa free living
Larva filariform
Trichuris trichiura
Hospes definitif cacing ini adalah manusia. Cacing dewasa hidup didalam usus besar
terutama daerah sekum dan kolon. Ada kalanya cacing ditemukan dalam apendix dan ileum
bagian distal. Penyakit yang disebabkan disebut Truchuriasis, cacing tersebar didaerah tropis
yang lembab dan panas, merupakan Nematoda intestinal yang banyak ditemukan didaerah tropik
seperti Asia tenggara.
idemiologi
Yang penting untuk menyebarkan penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja.
Telur tumbuh ditanah liat, tempat lembab dan teduh dengan suhu optimum 30°C. di negara yang
memakai tinja sebagai pupuk merupakan sumber infeksi utama. Frekwensi di Indonesia cukup
tinggi 30 – 90% terutama didaerah pedesaan
orfologi
Telur
Berukuran 50 x 32 mikron, bentuk seperti tempayan dengan kedua ujungnya dilengkapi
tutup operkulum dari bahan mokus yang jernih. Kulit luar telur berwarna kuning dan bagian
dalam jernih. Berisi sel telur (tinja segar) yang sudah dibuahi di alam dalam waktu 3 – 6 minggu
akan menjadi matang. Untuk melanjutkan perkembangannya telur membutuhkan tanah liat yang
lembab dan terhindar dari sinar matahari.
Gambar 11. Telur Trichuris trichiura
acing dewasa
Cacing betina panjangnya 30 – 45 mm. cacing dewasa jarang ditemukan dalam tinja. Cacing ini
disebut cacing cambuk karena bagian anterior sangat panjang (kira-kira 3/5 bagian tubuh) dan
halus, bagian posterior (kira-kira 2/5 bagian tubuh) lebih tebal. Dalam usus kepalanya menembus
dalam mukosa.
Gambar 12. Cacing dewasa Trichuris trichiura
C. Daur Hidup
Gambar 13. Daur hidup Trichuris trichiura
Manusia akan terinfeksi cacing apabila menelan telur matang dan telur itu menetas
dalam usus halus. Untuk perkembangan larvanya cacing tidak mempunyai siklus paru.
Manusia merupakan sumber penularan untuk manusia lainnya, Trichuriasis pada hewan tidak
menular pada manusia. Telur yang keluar bersama tinja penderita belum mengandung larva, oleh
karena itu belum infektif. Bila tertelan manusia, didalam usus halus dinding telur pecah dan larva
cacing keluar menuju sekum untuk selanjutnya berubah menjadi dewasa. Untuk mengambil
makanannya, cacing memasukkan bagian anteriornya ke dalam mukosa usus hospes. Setelah satu
bulan cacing itu mampu bertelur dan dapat hidup beberapa tahun lamanya di dalam usus manusia.
togenesis
Perkembangan larva Trichuris trichiura didalam usus biasanya tidak menjadi gejala
klinis yang berarti, walaupun ada kemungkinan dalam sebagian masa perkembangannya larva
memasuki mukosa usus. Biasanya memberikan gangguan dan infestasi berat dapat berupa
anemia berat, diare yang berdarah, nyeri dalam perut, tenesmus, berat badan menurun. Infestasi
berat dan lama dengan sindrom disentri bahkan dapat menyebabkan prolapsus rektum (Gambar
15) dengan cacing nampak pada mukosa (seringkali terjadi pada anak-anak dan bayi ).
agnosis
Untuk menyebutkan diagnosa pasti dilakukan pemeriksaan tinja penderita untuk
menemukan telur cacingyang khas bentuknya . Cacing dewasa dapat dilihat jika terjadi prolapsus
rektum atau bila dilakukan pemeriksaan mukosa rektum.
No
1
2
3
Tabel 5. Pemeriksaan Trichuris trichiura
Spesimen
Bentuk diagnostik
Tinja
Telur
Mukosa rektum
Cacing dewasa
Prolasus rektum
Cacing dewasa
Pemberantasan dan Pencegahan
Pemberantasan infeksi “Soil Transmitted Helminths” dapat diusahakan dengan
pengobatan penderita, sanitasi lingkungan, penyuluhan kesehatan atau yang terbaik dengan
1.
2.
3.
4.
kombinasi ketiganya. Dalam keadaan tertentu pengobatan harus diberikan kepada penderita yang
terinfeksi berat dengan gejala yang nyata, tetapi percuma bila mencoba memberantas dengan
pengobatan saja, oleh karena itu harus diingat faktor reinfeksi sesudah pengobatan. Seringkali
dijumpai seseorang berulangkali mendapat infeksi dari lingkungan sekitar.
Langkah yang terpenting untuk pemberantasan infeksi ini dengan memberikan
penyuluhan dan kesadaran kesehatan kepada masyarakat. Karena perkembangan dan penyebaran
cacing ini tergantung pada pencemaran tanah. Karena kebiasaan tidak higienis dari masyarakat,
maka sanitasi lingkumgan merupakan usaha pemberantasan yang paling efektif.
Tanpa kesadaran masyarakat mengenai pentingnya penanggulangan tinja dan tanpa
mereka menggunakan sarana tersebut setiap saat sebagai mana mestinya, semua jamban tersebut
menjadi tidak berarti apa-apa, bahkan kadangkala dapat mengakibatkan keadaan yang sebaliknya,
karena tanah disekitar jamban menjadi sangat kotor dan menjadi sumber infeksi.
Suatu kenyataan dalam masyarakat menunjukkan bahwa insidensi infeksi cacing yang
ditularkan melalui tanah, sangat erat hubungannya dengan tingkat pendidikan dan keadaan sosial
ekonomi.
Karena itu untuk pemberantasan dan pencegahan infeksi “Soil Transmitted Helminths”
diperlukan aspek-aspek berikut :
Mengobati penderita
Pengobatan merupakan usaha yang harus dianggap sebagai sekedar pelengkap pemberantasan
dan pencegahan. Pengobatan masal pada umumnya bertujuan untuk mengurangi sementara
sumber infeksi pada masyarakat.
Menghindarkan pencemaran tanah
Dalam hal ini tidak setiap anggota masyarakat harus disadarkan untuk setiap kali
memperguankan jamban yang benar untuk tempat defekasi.
Menghindari pupuk tinja sebagai penyubur buah dan sayur-sayuran.
Menyiangi dan membersihkan halaman rumah
Halaman rumah jangan dibiarkan terlalu teduh oleh karena tanah lembab yang terlindungi dari
cahaya matahari merupakan tempat perkembangan atau pembiakan “Soil Transmitted
Helminths” .
Menghindari makanan terutama sayur-sayurandari kontaminan Air untuk menyiram atau
mengairi kebun sayur diawasi tidak tercemar tinja manusia. Pupuk sayuran jangan dipakai yang
bercampur dengan tinja yang baru. Sayur yang akan dikonsumsi terlebih dahulu dicuci dengan
air mengalir beberapa kali sebelum dimasak.
Jadi dengan kesadaran dan kegiatan sanitasi yang sungguh-sungguh, maka mata rantai infeksi
dapat diputuskan tanpa memerlukan banyak biaya. Yang paling penting dan mendasar adalah
penyuluhan dan kesadaran kesehatan yang harus diusahakan tanpa jemu, baik kepada orang
dewasa maupun anak-anak, sehingga kelak sanitasi lingkungan menjadi salah satu segi
kehidupan sehari-hari pada masyarakat kota dan desa diseluruh indonesia.
METODE PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besar angka kejadian infeksi cacingan
dan penyuluhan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal dan kebiasaankebiasaan cara hidup sehat pada siswa SDN Tumpakrejo 04 Kalipare Malang.
Cara Pemeriksaan
Pemeriksaan parasitologi pada tinja dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis.
Pada prinsipnya cara pemeriksaan makroskopis adalah dengan melihat sifat fisik dari tinja
tersebut seperti kepadatan, bau (menyengat atau tidak), warna, lendir, darah, dan ada tidaknya
cacing dewasa. Setelah melakukan pemeriksaan secara makroskopis kemudian dilanjutkan
dengan pemeriksaan mikroskopis yang bertujuan untuk mengetahui parasit apa saja yang
terdapat dalam tinja tersebut. Pemeriksaan secara mikroskopis meliputi cara langsung (direct
methode) dan cara tidak langsung/cara apung (indirect methode).
Metode Pemeriksaan Spesimen Tinja yang didapat Menggunakan :
Cara langsung (direct methode)
n Bahan
Objek glass / gelas benda
Cover glass ? gelas penutup
Lidi
Spidol untuk label
Larutan NACl 0,85% (garam faali) / PZ
Larutan Lugol Iodine 1%
ra
Sediakan gelas benda, lalu tetesksn :
es larutan garam faali dibagian tengah dari separo bagian kiri
es larutan Lugol Iodine 1% di bagian tengah dari separo bagian kanan
2. Dengan lidi, ambil tinja secukupnya (kira-kira sebesar pentul korek) pada gelas benda yang telah
diberi larutan garam faali dan larutan Lugol Iodine 1%.
Bila tinja :
a. Berbentuk padat, ambil dari bagian dalam dan bagian permukaan.
b. Berbentuk cair atau berlendir, ambil dari bagian permukaan cairan dan bagian berlendir
dipermukaan.
4. Campur dan ratakan dengan masing-masing larutan yang ada pada gelas benda dengan
menggunakan lidi.
5.
Masing-masing tinja tersebut diberi gelas penutup ( sedapat mungkin cegah timbulnya
gelembung udara).
Beri label
a periksa dibawah mikroskop dengan menggunakan pembesaran lensa objektif 10X dan 40 – 45X
dimulai dari sebelah pojok kiri atas sampai sebelah pojok kanan bawah dan lakukan pada seluruh
area.
Cara Apung
Tinja dicampur dengan larutan jernih sodium klorida (larutan jenuh garam dapur). Telur
yang lebih ringan akan mengapung dipermukaan sehingga mudah dikumpulkan.
ahan
Tabung
Spatula
Gelas penutup
Gelas benda
Larutan jenuh garam dapur
1.
2.
3.
4.
Ambil contoh tinja secukupnya dan masukkan kedalam tabung. Tuangkan larutan jenuh garam
dapur kedalam tabung sampai ¼ volume tabung.
Dengan pengaduk hancurkan tinja dan campur dengan baik. Kemudian tuangkan lagi larutan
jenuh garam dapur sampai batas permukaan tabung.
Tempatkan gelas penutup secara hati-hati menutupi mulut tabung. Biarkan 10 menit.
Angkat gelas penutup dengan hati-hati, tempatkan gelas penutup pada gelas benda dan periksa
dibawah mikroskop dengan pembesaran lensa objektif 10X dan 40 – 45X.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari pengamatan mikroskopis, didapatkan dari spesimen tinja yang diperiksa terdapat 73
sampel, yang positif diantaranya :
Lumbricoides : sebanyak 19 sediaan yang positif
ichuris trichiura : sebanyak 7 sediaan yang positif
kan 47 sediaan yang lain tidak diketemukan bentukan telur ataupun larva.
No
1
2
Tabel 6 Hasil Pemeriksaan Tinja Secara Mikroskopis
Spesies
Sampel (+)
Prosentase
Ascaris Lumbricoides
19
26
Trichuris trichiura
7
9
Dari pengamatan makroskopis pada 73 spesimen tinja adalah sebagai berikut :
Tabel 7 Hasil Pemeriksaan Spesimen Tinja Secara Makroskopis.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
No.
Induk
3218
3219
3237
3238
3239
3240
3241
3243
3244
3245
3247
3248
3249
3250
3251
3253
3254
3226
3252
3258
3259
3260
Nama
Bentuk
Dedi Hermanto
Desianto Wahyu P
Ari Wibowo
Aan Nurcholis
Ahmad Handika F
Chintia Nanda P
Dimas Andi W
Edo Setiawan
Haris Nursafira
Inge Evriana
Moh.Sedik
Maulana Fajar
Novia Krismonika
Niwang Jati P
Susiana Mitrasari
Vikri Trisna D
Yanuar Rizky P
Jepri Eko H
Falentino F
Anggoro Bayu P
Anggi Dea R
Astia Pratiwi
Padat
Padat
½ Encer
½ Padat
½ Padat
½ Encer
Padat
½ Encer
Padat
½ Encer
½ Padat
½ Padat
Padat
½ Padat
½ Padat
½ Encer
½ Encer
Padat
½ Padat
½ Encer
½ Padat
½ Padat
Makroskopis
Warna
Coklat kehitaman
Kuning
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Kuning
Coklat kehitaman
Kuning
Coklat kehitaman
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Coklat kehitaman
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Kuning
Kuning
Coklat kehitaman
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Dar
ah
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
Len
dir
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
Mikroskop
is
+
+
_
+
+
_
_
+
_
_
_
+
+
_
+
_
_
_
_
_
_
+
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
3264
3265
3266
3267
3268
3269
3270
3272
3273
3274
3217
3237
3257
3261
3262
3263
3278
Diah Safitri
Elinda Yunitasari
Hananidy L
Mella Sadya F
Febrian Alvando
Miranti Dwi
Qoirul Adi W
Rizki Budianto
Rian Pradana
Yuni Indah Sari
Retno Dewi A
Tritia Septi Wati
Adek Saputra A
Ahmad Adi H
Anggi Widyiawati
Beni Indrawanto
AA Kurniawan
Padat
Padat
Padat
½ Padat
½ Encer
½ Encer
½ Encer
Padat
½ Encer
Padat
½ Padat
½ Padat
½ Encer
½ Padat
½ Padat
½ Padat
½ Padat
Coklat kehitaman
Coklat kehitaman
Coklat kehitaman
Kuning kecoklatan
Kuning
Kuning
Kuning
Coklat kehitaman
Kuning
Coklat kehitaman
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Kuning
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
+
_
_
_
+
+
+
+
_
_
_
_
_
_
+
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
3279
3280
3284
3285
3286
3287
3288
3290
3291
3292
3293
3294
3295
3296
3281
3282
3233
3297
3298
3299
3300
3301
3302
3304
3305
3306
3307
3308
3309
3310
3312
3313
3314
3317
Ayu Adelia
Andika Tritiya H
Fandi Setiawan
Iqbal Novarianto
Imron Islam M
Jovi Varnan
Kristin Monika
Novi Oktavia R
Ricky Prastiawan
Rizka Adining T
Rico Dicaprio
Rivan Rinanda
Rendi Adi S
Rebecca Grecy M
Annas Mahfud
Defi Indah L
Erni Tri Sholika
Sabita Dewi C
Samuel David F
Wella Putri R
Andi Prasetiono
Carissa Cunta A
Desi Fitri A
Gones Putri P
Intan Oktafiani P
Irfansyah Yogi P
Kholiq Qocoul H
Risky Putra F
Resa Septiana Y
Rohmad Andre S
Tabrisal Sihafafi
Yusron
Aditya Jaya P
Joko Renaldi H
½ Padat
½ Encer
½ Encer
½ Encer
½ Padat
½ Padat
½ Padat
½ Encer
½ Padat
½ Padat
½ Padat
½ Encer
½ Padat
½ Padat
½ Padat
½ Encer
½ Padat
½ Padat
½ Padat
½ Padat
½ Padat
½ Padat
½ Padat
½ Encer
½ Encer
½ Encer
½ Padat
Padat
Padat
½ Padat
½ Encer
½ Padat
Padat
Padat
Kuning kecoklatan
Kuning
Kuning
Kuning
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Kuning
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Kuning
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Kuning
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Kuning
Kuning
Kuning
Kuning kecoklatan
Coklat kehitaman
Coklat kehitaman
Kuning kecoklatan
Kuning
Kuning kecoklatan
Coklat kehitaman
Kuning
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
+
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
+
+
_
+
_
+
+
_
_
+
_
+
_
_
_
+
_
_
_
_
+
_
+
Pembahasan
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 27 – 30 September 2010 pada siswa SDN
Tumpakrejo 04 Kalipare Malang .
Sampel tinja yang diperoleh dari siswa SDN Tumpakrejo 04 Kalipare Malang tersebut
sebanyak 73 sampel, yang masing-masing dikumpulkan dalam pot plastik bertutup. Berdasarkan
data-data yang telah didapat dan dianalisa, terlihat bahwa prevalensi atau angka kejadian infeksi
cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau “Soil Transmitted Helminthiasis“ cukup tinggi
yaitu satu pertiga bagian dari siswa SDN Tumpakrejo 04 Kalipare Malang terjangkit infeksi
cacing dengan prosentase 35.61%.
Tingginya angka infeksi disebabkan karena rendahnya kesadaran siswa SDN
Tumpakrejo 04 Kalipare Malang untuk menjaga kebersihan baik secara pribadi ataupun
kebersihan tempat tinggal, serta kebiasaan anak-anak yang suka bermain dan beraktifitas yang
lainnya ditanah tanpa menggunakan alas kaki. Hal tersebut berhubungan dengan cacing golongan
Nematoda, penyebab infeksi cacing ini memerlukan tanah untuk perkembangan infektifnya.
Selain hal tersebut diatas keadaan sosial – ekonomi juga sangat erat hubungannya
dengan infeksi cacing ini. Semua umur dapat terinfeksi cacing ini namun prevalensi tertinggi
terjadi pada anak-anak.
Penyuluhan yang diberikan kepada anak- anak SDN disambut dengan antusiasme yang
tinggi oleh anak-anak SDN dengan datang ke tempat penyuluhan tepat waktu serta banyak
mengajukan pertanyaan tentang kebersihan pribadi lingkungan tempat tinggal dan cara hidup
sehat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian pada siswa SDN Tumpakrejo 04 Kalipare Malang, dapat
ditarik kesimpulan bahwa :
Dari hasil pemeriksaan spesimen tinja didapatkan: 19 spesimen positif telur Ascaris
lumbricoides dengan prosentase sebanyak 26 % dan 7 spesimen positif telur Trichuris trichiura
(penderita Trichuriasis) dengan prosentase 9 %.
Prevalensi atau angka kejadian infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau “Soil
Transmitted Helminthiasis“ cukup tinggi yaitu satu pertiga bagian dari siswa SDN Tumpakrejo
04 Kalipare Malang terjangkit infeksi cacing dengan prosentase 35.61%
Untuk mencegah terjadinya penularan kepada anak – anak SDN lainnya diharapkan untuk
senantiasa menjaga kebersihan diri dan lingkungan tempat tinggal, misal menjaga kebersihan
kakus dan hendaknya kakus mendapatkan penerangan yang cukup dan disediakan sabun untuk
keperluan kebersihan sesudah buang air besar, menjemur tikar, sarung yang telah dipakai segera
dicuci dan dijemur, jangan dibiarkan dalam keadaan basah / lembab. Serta meningkatkan
kesadaran untuk merubah kebiasaan-kebiasaan tidak sehat, contoh : selalu memakai alas kaki
diluar rumah ( terutama ditanah ), selalu mencuci tangan sebelum makan, menggosok gigi, tidak
menggigit jari.
Dengan adanya penelitian dan pengarahan seperti ini diharapkan bisa membantu
mendeteksi adanya infeksi cacing pada siswa SDN Tumpakrejo 04 Kalipare Malang tersebut dan
penelitian yang seperti ini hendaknya terus dilakukan atau lebih dikembangkan supaya
penularannya bisa dicegah dan prevalensi penyakit bisa diminimalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Depary A.A, Soil Transmitted Helminthiasis, Majalah Medika No. 11, Jakarta, 2009, Hal (1000 – 1004).
Emiliana Tjitra, Penelitian-penelitian “Soil Transmitted Helminth” Di Indonesia, Majalah Cermin Dunia
Kedokteran No. 72, Jakarta, 2001, Hal (12 – 16).
Heru Prasetyo, Atlas Berwarna Helmintologi Kedokteran, Cetakan Pertama, Airlangga University Press,
Surabaya, 2003.
Heru Prasetyo, Pengantar Praktikim Helmintologi Kedokteran, Edisi Ke 2, Airlangga University Press,
Surabaya, 2008.
Jangkung Samidjo Onggowaluyo, Parasitologi Medik I, Edisi Ke 1, EGC, Jakarta,2001
S. Alisah N. Abidindan Henry D. Ilahude, pentingnya pemeriksaan Tinja untuk diagnosis infeksi cacing
Usus, Majalah Parasitologi Indonesia Volum 5(1), P.T. Nuh Jaya, Jakarta. 1992, Hal (21 – 27 )
Soedarto, Helmintologi Kedokteran, Edisi Ke 1, EGC, Jakarta, 1991
Srisasi Gandahusada dkk, Parasitologi kedokteran, Edisi ke 3, Balai Penerbit FKUI, jakarta, 1998
Viqar Zaman Dan Loh Ah Keong, buku penuntun Parasitologi Kedokteran; Alih Bahasa Bintari
Rukmono, Sri Oemijati, Wita Pribadi, Edisi Ke 1, Bina Cipta, Bandung, 1998.
Download