naskah publikasi strategi pengatasan masalah pada orang tua

advertisement
NASKAH PUBLIKASI
STRATEGI PENGATASAN MASALAH PADA ORANG TUA
PASIEN LEUKEMIA
Oleh :
Muhammad Farid Aziz
Retno Kumolohadi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
JOGJAKARTA
2005
NASKAH PUBLIKASI
STRATEGI PENGATASAN MASALAH PADA ORANG TUA PASIEN
LEUKEMIA
Telah Disetujui Pada Tanggal
________________________
Dosen Pembimbing Utama
(Retno Kumolohadi, S.Psi., M.Si)
STRATEGI PENGATASAN MASALAH PADA ORANG TUA PASIEN
LEUKEMIA
Muhammad Farid Aziz
Retno Kumolohadi
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berbagai jenis strategi
pengatasan masalah (coping) yang digunakan orang tua pasien leukemia dalam
mengatasi berbagai stressor yang ada dan juga bertujuan untuk mengetahui dan
memahami latar belakang orangtua pasien leukemia menggunakan strategi
pengatasan masalah (coping) tertentu. Pertanyaan penelitian ini adalah strategi
pengatasan masalah (coping) apa sajakah yang digunakan orang tua pasien
leukemia dalam mengatasi berbagai permasalahannya?; Mengapa orang tua
pasien leukemia menggunakan strategi pengatasan masalah (coping) tersebut?.
Subyek dalam penelitian ini adalah orang tua pasien leukemia yang masih
menjalani treatment pengobatan dan sedang menjalani rawat inap di RS. DR.
Sardjito Jogjakarta. Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan
menggunakan purposive sampling, karena teknik tersebut dapat mengoptimalkan
kualitas data yang diperoleh. Dengan demikian, sampel tidak mewakili dalam hal
jumlah responden (kuantitas), namun kualitas atau ciri-ciri responden yang ingin
diwakili (Utarini, 2000).
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif, dengan desain penelitian adalah studi kasus. Desain studi kasus lebih
mementingkan proses dari pada hasil, lebih mementingkan konteks dari pada
suatu variabel khusus, lebih ditujukan untuk menemukan sesuatu dari pada
kebutuhan konfirmasi. Pemahaman yang diperoleh dari studi kasus dapat secara
langsung mempengaruhi kebijakan, praktek dan penelitian berikutnya (Alsa,
2004). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam
dan observasi terhadap subyek penelitian. Dari hasil tersebut diperoleh data-data
yang mendukung pertanyaan penelitian yaitu strategi pengatasan masalah
(coping) apa sajakah yang digunakan orang tua pasien leukemia dalam
mengatasi berbagai permasalahannya.
Kata kunci : Strategi Pengatasan Masalah
PENGANTAR
Anak adalah masa depan keluarga, harapan orang tua dan juga
merupakan generasi penerus bangsa. Sebagaimana individu lainnya seorang
anak dikatakan sehat berdasarkan dua aspek yang saling berkaitan, yaitu aspek
fisik dan aspek psikis. Seorang anak yang mengalami gangguan fisik pada
umumnya akan diikuti adanya gangguan psikis pada anggota keluarganya (orang
tua). Sebagai contoh, anak yang menderita suatu penyakit mengakibatkan orang
tua menjadi sedih, bingung, merasa bersalah, cemas, marah atau mengalami
kegoncangan jiwa, kesangsian dan akan selalu memikirkan kondisi anaknya.
Gangguan fisik dapat terjadi ketika anak menderita penyakit kronis. Salah
satu jenis penyakit kronis yang banyak diderita anak adalah kanker. Gatot (2001)
menyatakan bahwa salah satu jenis kanker yang banyak dijumpai pada anak
adalah kanker darah atau biasa disebut dengan leukemia, yaitu 25-30 persen
dari seluruh kanker anak. Jumlah kasus baru leukemia tiap tahun diperkirakan 10
tiap 100.000 penduduk (Velde, dkk, 1999), dengan angka kejadian tertinggi
dilaporkan antara usia 2-6 tahun, anak laki-laki lebih banyak dari pada anak
perempuan dengan perbandingan kira-kira 1,2 : 1 (Sunarto, 1997). Kejadian
penyakit ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Di RS Dr. Sardjito
Yogyakarta dari tahun 1992 sampai bulan Juli 1998 dilaporkan bahwa kasus
leukemia pada anak merupakan 48% kasus kanker pada anak (Sutaryo, 2000).
Orang tua pasien leukemia mengalami beban yang tidak ringan. Sejak
anaknya dinyatakan menderita leukemia orang tua dibebani masalah psikososial
yang beragam yang pada umumnya berhubungan dengan diagnosis yang
ditegakkan, biaya pengobatan, lama pengobatan dan efek sampingnya serta
hospitalisasi. Noeker dkk (Smeet, 1994) mengungkapkan bahwa orang tua
merasa sedih, bersalah, cemas, bingung, marah atau mengalami kegoncangan
jiwa, kesangsian, penyangkalan dan perasaan mati rasa saat mendengar
diagnosis dan menghadapi kondisi anak mereka yang tidak menentu.
Masalah yang dihadapi orang tua tidak hanya kondisi dan proses
pengobatan yang lama dan menyakitkan serta masalah finansial, tetapi juga
mengahadapi masalah kehidupan keluarga dan hubungan mereka dengan orang
lain. Situasi penuh stres yang dialami orang tua pasien leukemia akan
memunculkan reaksi fisik dan emosi.
Penelitian yang dilakukan Mori (2004) menunjukkan bahwa masalah yang
dihadapi orang tua anak dengan penyakit kanker adalah kelelahan fisik dan
psikologis seperti cemas dan marah. Perasaan sedih dan depresi juga dapat
terjadi pada orang tua anak penderita kanker (Keene, 2002). Hasil penelitian
Iqbal dan Siddiqui (2000) di RS Kanker Shaukat Khanum Pakistan menunjukkan
bahwa depresi ditemukan positif pada orang tua pasien leukemia limfoblastik
akut yaitu sebanyak 56,7%, depresi lebih banyak terjadi pada rentang usia 30-40
tahun dan lebih umum terjadi pada ibu (64,9%) dibanding dengan ayah
(35,1%).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Misno, salah seorang orang tua
pasien leukemia, orang tua pasien mengeluhkan lamanya pengobatan yang
harus dijalani serta kondisi fisik anaknya yang cenderung menurun selama
menjalani pengobatan. Selain itu, permasalahan utama yang membebani orang
tua adalah masalah mahalnya biaya pengobatan.
Efek samping dari pengobatan benar-benar problematik dan bervariasi.
Anak penderita leukemia yang sedang menjalani pengobatan cenderung
mengalami perubahan fisik yang mencolok seperti rambut rontok, berat badan
tidak stabil, muka gemuk, sariawan, muntah-muntah, pendarahan, anemia serta
kelemahan otot. Perubahan fisik ini menyebabkan orang tua membatasi ruang
gerak anak sehingga akan mempengaruhi penerimaan lingkungan sosial bagi
anak.
Biaya pengobatan juga merupakan stressor bagi orang tua. Menurut
Sutaryo (2000), pengobatan setiap pasien leukemia menghabiskan dana 34 juta
rupiah selama dua sampai tiga tahun masa pengobatan. Khusus pada tahap awal
atau periode induksi memerlukan dana yang cukup besar.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang tua pasien leukemia mengalami
berbagai permasalahan yang tidak mudah untuk mengatasinya. Menurut Lazarus
(Taylor, 1995) cara untuk mengatasi berbagai permasalahan kehidupan adalah
dengan jalan mengatur berbagai sumber stress berdasarkan potensi yang
dimilikinya, artinya individu akan memilih kemampuannya yang tepat dalam
menghadapi permasalahan yang menekannya. Perilaku tersebut biasa dinamakan
perilaku pengatasan masalah (coping).
Strategi pengatasan masalah (coping) menunjuk pada berbagai upaya,
baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau
minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan
perkataan lain strategi pengatasan masalah (coping) merupakan suatu proses
dimana individu berusaha untuk menangani dan menguasai situasi stres yang
menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan
perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya
(Mu’
tadin, 2002).
Menurut Lazarus (Taylor, 1995) secara umum strategi menghadapi
masalah (strategi coping) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu problem focused
coping dan emotion focused coping. Problem focused coping merupakan strategi
kognitif yang diaplikasikan melalui tindakan langsung untuk menyelesaikan
masalah. Emotion focused coping merupakan strategi yang berfungsi untuk
mengontrol respon emosi. Problem focused coping digunakan individu untuk
mengatasi stresor dengan meningkatkan perhatiannya terhadap situasi yang
penuh stres, sedangkan emotion focused coping cenderung untuk menghindari
masalah (Sarafino, 1998).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa problem focused coping dapat
menurunkan ketegangan emosi, sebaliknya emotion focused coping akan
meningkatkan emosi (Aldwin & Revenson, 1987).
Hasil penelitian Seppanen dkk (1999) tentang strategi pengatasan
masalah (coping) pada orang tua dan dukungan sosial yang diterima orang tua
anak diabetes mellitus menyimpulkan enam fase strategi pengatasan masalah
(coping) orang tua yaitu disbelief, lack of information and guilt, learning to care,
normalization, uncertainty and organization. Pada masing-masing fase orang tua
mengalami strategi pengatasan masalah (coping), stres dan kontrol perasaan
yang bervariasi.
Dampak fisik dan psikologis sebagai akibat dari banyaknya stressor yang
dihadapi orang tua pasien leukemia akan mempengaruhi peran dan kemampuan
orang tua dalam perawatan dan pengobatan anak, sehingga diperlukan strategi
pengatasan masalah (coping) yang tepat untuk meminimalkan dampak stressor
yang terjadi. Penelitian ini ingin menjawab pertanyaan “Strategi pengatasan
masalah (coping) apa sajakah yang digunakan oleh orangtua pasien leukemia
dalam mengatasi berbagai permasalahannya?; Faktor-faktor apa saja yang
membuat orangtua pasien leukemia menggunakan strategi pengatasan masalah
(coping) tersebut?.”
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Menurut
Lofland dan
Lofland (Moleong, 2002) metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang
sumber data utamanya adalah berupa kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah
data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan desain studi kasus (case study). Studi kasus (case study) biasanya
dikenali sebagai pemeriksaan yang cermat atas berbagai keadaan sosial yang
spesifik atau berbagai aspek khusus dari lingkungan sosial, yang mencakup
berbagai rincian deskripsi psikologis tentang orang di lingkungan tersebut (Black
dan Champion, 1992). Menurut alsa (2004) desain studi kasus (case study)
dilakukan untuk memperoleh pengertian yang mendalam mengenai situasi dan
makna sesuatu/ subjek yang diteliti
Subyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah orang tua pasien leukemia. Subyek
adalah orang tua dari pasien leukemia yang masih menjalani treatment
pengobatan dan sedang menjalani rawat inap di RS. DR. Sardjito Jogjakarta.
Orang tua dalam penelitian ini adalah ayah atau ibu dari pasien leukemia.
Penelitian ini juga menggunakan informan untuk akurasi data yang
diperoleh. Informan adalah orang yang dekat dengan subyek penelitian,
sehingga dapat memberikan informasi atau gambaran tentang keadaan subyek
secara keseluruhan.
Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sample, karena teknik
tersebut dapat mengoptimalkan kualitas data yang diperoleh. Dengan demikian,
sampel tidak mewakili dalam hal jumlah responden (kuantitas), namun kualitas
atau ciri-ciri responden yang ingin diwakili (Utarini, 2000).
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan
wawancara secara mendalam (in-depth interview) dan observasi.
1. Wawancara
Wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu
pewawancara
(interviewer)
yang
mengajukan
pertanyaan
dan
yang
di
wawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu
(Moleong, 2002). Penelitian ini menggunakan wawancara jenis pendekatan
dengan pedoman wawancara. Alasan menggunakan wawancara jenis ini adalah
untuk meminimalisisir terlewatkannya beberapa hal yang seharusnya ditanyakan
pada subyek penelitian. Wawancara dilakukan secara mendalam (in-depth
interview) dengan bentuk pertanyaan terbuka (open-ended) yang bersifat
fleksibel, dan dilakukan dengan menggunakan pedoman umum wawancara untuk
menjaga agar tidak ada hal-hal yang terlewatkan serta agar wawancara yang
dilakukan tidak keluar dari tujuan penelitian.
Informasi yang harus ditanyakan dalam proses wawancara meliputi :
a. Permasalahan yang dihadapi orang tua pasien leukemia
b. Penilaian/ sikap orang tua pasien leukemia terhadap masalah
c. Tindakan-tindakan yang dilakukan orang tua pasien leukemia untuk
mengatasi permasalahan
d. Interaksi orang tua pasien leukemia dengan lingkungan (interaksi dengan
orang lain, keluarga, anak, serta interaksi dengan petugas kesehatan)
2. Observasi
Menurut Patton (Poerwandari, 1998) observasi merupakan metode
pengumpulan data esensial dalam penelitian kualitatif. Istilah observasi
diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena
yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena
tersebut (Poerwandari, 1998).
Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi jenis
pemeran serta sebagai pengamat. Alasan peneliti menggunakan metode ini
adalah memungkinkan peneliti untuk mengetahui lebih jelas tentang informasi
yang dibutuhkan dan sesuai dengan keadaan sebenarnya. Alat pencatatan
observasi yang digunakan adalah chek list yaitu sebuah daftar pengecek yang
berisi nama-nama subjek dan beberapa identitas lainnya yang hendak diselidiki,
dengan memberikan tanda check ( v ) secara tepat dan objektif tentang ada
atau tidak adanya suatu ciri-ciri (faktor) tertentu.
Perilaku yang diobservasi dalam penelitian ini meliputi :
a. Perilaku yang berhubungan dengan interaksi sosial
b. Perilaku yang berhubungan dengan komunikasi pada anak
c. Perilaku yang berhubungan dengan proses pengobatan anak
METODE ANALISIS DATA
Proses analisis data dimulai dengan menelaah data yang telah terkumpul
dari hasil wawancara dan pengamatan (observasi). Setelah dibaca, dipelajari,
dan ditelaah maka langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data. Reduksi
data merupakan kegiatan yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus,
membuang hal-hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa
sehingga kesimpulan penelitian dapat dilakukan (Patton, 1980). Dalam penelitian
ini, cara untuk membuat reduksi data adalah dengan melakukan koding (Utarini,
2000).
Setelah analisis data selesai dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah
mengkomunikasikan hasil penelitian kepada orang lain dengan cara menyajikan
data. Sajian data hasil penelitian merupakan suatu cara untuk mendeskripsikan
data dalam bentuk narasi yang memungkinkan kesimpulan penelitian dapat
dilakukan (Patton, 1980).
HASIL PENELITIAN
Kategori
Sub
Kategori
A. Problem
1. Active
Focused
coping
Indikator
- Terus berusaha
Soal ada anak kritis
- Komunikasi dengan
kita kan di sini sudah
para medis
Coping
Contoh
- Percaya tindakan
paramedis
- Berfokus pada
pengobatan medis
- Membatasi aktivitas
ada
penanggung
jawabnya
dokter.
sama
Dokter
kan
dah tau kalo kritis
larinya ke sono kan
kita ngikutin aja
anak
- Menyuruh anak
berhenti sekolah
- Memotivasi anak
- Memberikan madu
- Memberikan
makanan bergizi
- Pengobatan terapi
dengan pisang
ambon
- Memberikan vitamin
- Tetap bekerja
2. Planning
- Membuat rencana
rencananya mau saya
berkaitan dengan
masukin ke BRI, ya
biaya pengobatan
mbesuk
kalo
pengobatan
kan
lama. Ini dua taun
kan butuh biaya, ntar
kalo ada pengobatan
kurang tinggal ambil
3. Supression
of
competing
activities
- Berhenti bekerja
Mm...selama
sakit
netral.
Sama
sekali
nggak
kerja.
Sama
sekali
nggak
ada
pemasukan. Kan kalo
mau ditinggal masih
berat.
4. Seeking
social
support for
instrument
al reason
- Dukungan informasi
Ya soal itu. Orang
- Dukungan instrumen
namanya bertetangga
- Mencari bantuan
kan
keuangan
- Mencari informasi
tentang kondisi anak
ada
membantu
ya kita sebagai ini,
apa
- Harapan berupa
tetangga
- Donatur dari
tetangga
sedikit,
donatur ada juga. Ya,
- Cari pinjaman uang
dukungan instrumen
yang
itu
mungkin
ada
sukarela,
yang
tetangga
mau ngasih berapa
kita kan nggak tau
- Informasi yang
sangat diharapkan
dari paramedis
5. Restraint
Coping
- Menunggu kondisi
Soal rambut rontok
fisik anak kembali
itu nanti tumbuh lagi.
Itu
kan
Cuma
pengaruh dari obat,
rambutnya
rontok,
kulit terbakar, itu kalo
udah
menginjak
berapa bulan itu ntar
kembali lagi
6. Cautiousness
- Kehati-hatian dalam
bertindak
kalo kita nurutin hati
nurani mo bawa ke
- Mempertimbangkan
sono trus ntar kalo
dengan apa yang
salah, efek samping
akan diberikan
kan lebih besar.
kepada anaknya
B. Emotion
Focused
1. Turning to
religion
Coping
- Giat beribadah
eh..biasanya katanya
- Berdoa
ee... doa ibu itu ya
- Tawakkal
kan?
Tuhan
yang
kelihatan... surga... al
jannatu tahta aqdamil
ummahat
2. Seeking
social
support for
emotional
reasons
- Menceritakan
ya.. ada kalanya ya
permasalahan
kita curhat.. cuman
kepada orang lain
setempat yang temen
- Dukungan emosi
penderitaan
itu..kan
- Mendapatkan simpati
otomatis
kitakan
disini..ya...
kalo
keluhan seperti itu,
ganjalan di keluarkan
kan udah lega gitu...
3. Positive
reinterpretation
and
growth
- Merasa lebih dekat
dengan Tuhan
Semakin
mendekatkan
diri
- Teguran dari Tuhan
kepada Yang Kuasa...
- Menyakini ada
semakin
kemudahan setelah
tambah...kepercayaan
peristiwa ini
pada yang Diatas itu
- Pengalaman
semakin kuat...
bertambah
- Meningkatnya
kesabaran
4. Denial
- Menyangkal tentang
kondisi sakit anak
Kok bisa anak saya
kok
menderita
penyakit seperti itu,
padahal sepertinya itu
anaknya sehat
5. Acceptance
- Berserah diri
Ya dibiarin aja. Tapi
- Membiarkan
dalam hati sakit hati
perlakuan negatif
juga (tertawa).
orang pada anak
6. Self blame
- Sering melamun
Menangis
ketika
- Menangis
cerita kondisi anak
PEMBAHASAN
Perilaku pengatasan masalah (coping) yang dilakukan seseorang individu
tidak dapat muncul secara otomatis seperti gerak refleks. Perilaku pengatasan
masalah (coping) terbentuk melalui suatu proses yang panjang dan tidak dapat
terbentuk dalam satu waktu atau langsung terjadi. Demikian juga strategi
pengatasan masalah (coping) yang dilakukan pada orangtua pasien leukemia
dalam menghadapi kondisi anaknya.
Proses pembentukan strategi pengatasan masalah (coping) mereka
terjadi secara bertahap, perilaku pengatasan masalah (coping) akan muncul saat
prosedur medis, saat berada didalam ruang perawatan, saat berhubungan
dengan sesama orangtua penderita lain, anggota keluarga maupun saat
berhubungan dengan masyarakat. Perilaku pengatasan masalah (coping) pada
orangtua pasien leukemia juga dipengaruhi oleh interaksi orangtua pasien
dengan lingkungan, usia orang tua pasien leukemia, pemahaman orang tua
pasien leukemia terhadap penyakit yang diderita anak, perilaku anak, jumlah
anak dalam keluarga serta urutan kelahiran anak yang sakit.
Kaget, sedih dan bingung adalah respon yang dimunculkan orangtua
pasien leukemia saat pertama kali anaknya terdiagnosis leukemia. Perasaan
minder juga dirasakan orang tua pasien leukemia pada masa permulaan
treatment pengobatan anaknya. Penelitian yang dilakukan oleh Papaikonomou &
Nieuwoudt (2004) menyebutkan bahwa
treatment
pengobatan
kanker
menyebabkan orang tua merasakan suatu ketidakpastian, merasa cemas dan
hilangnya kontrol diri. Orangtua pasien leukemia merasakan suatu ketidakpastian
berkaitan dengan pengobatan yang harus dijalani anaknya. Selama dalam masa
pengobatan, permasalahan yang dihadapi orang tua pasien leukemia adalah
masalah keuangan dan masalah pengobatan yang lama serta kondisi fisik anak
yang melemah. Selama anaknya sakit orangtua pasien leukemia akan selalu
memikirkan tentang kondisi anaknya dan juga selalu berpikir tentang biaya
pengobatan yang harus dikeluarkannya.
Perubahan kondisi fisik anak yang diakibatkan dari efek samping
pengobatan juga merupakan stressor tersendiri bagi orangtua pasien leukemia.
Hal ini akan membuat orangtua pasien leukemia membatasi ruang gerak anak
sehingga mempengaruhi penerimaan lingkungan sosial pada anak. Subyek SD
juga mengeluhkan anaknya yang dijauhi oleh teman sebayanya karena
beranggapan bahwa penyakit yang diderita anaknya adalah penyakit menular.
Menurut Culling (Papaikonomou & Nieuwoudt, 2004), treatment pengobatan
menimbulkan stres secara fisik dan emosi bagi anak yang menderita kanker dan
orang tuanya.
Reaksi orangtua pasien leukemia pada waktu pertama kali mendengar
diagnosis yang ditegakkan pada anaknya adalah denial, dimana orangtua
menyangkal atas apa yang terjadi pada anaknya. Hal tersebut dapat terjadi
dikarenakan ia tidak dapat mengatasi sumber stress (Carver, dkk, 1989). Perilaku
ini di tunjukkan dengan perkataan subyek SM; “Kok bisa anak saya kok
menderita penyakit seperti itu, padahal sepertinya itu anaknya itu sehat, gemuk
lho dulu itu” yang mana saat ini anaknya memasuki minggu ke_16 dalam
pengobatan.
Denial normal terjadi setelah tahap awal shock dan biasanya hanya
muncul dalam waktu pendek. Denial mempunyai efek baik saat muncul pada fase
pertama koping, yaitu setelah diagnosa ditegakkan karena berfungsi untuk
mengurangi kecemasan (Sprah & Sostaric, 2004). Selain denial, pada masa awal
pengobatan orangtua juga menyalahkan diri sendiri. Perilaku tersebut muncul
pada subyek SM dan SP. Self blame merupakan tindakan pasif dan melakukan
tindakan-tindakan untuk menghukum diri sendiri. Perilaku menyalahkan diri
sendiri dapat dilihat dari subyek yang menangis dan sering melamun.
Kehidupan keseharian orangtua pasien leukemia berubah sejak anaknya
dinyatakan menderita leukemia, tetapi lama-kelamaan orangtua pasien leukemia
bisa menerima dan menjalani kondisi tersebut. Sejak anaknya dinyatakan
menderita leukemia, orangtua hanya berfokus memikirkan anaknya saja. Mereka
tidak lagi bekerja karena khawatir dengan kondisi anaknya. Mereka lebih memilih
melakukan hal-hal yang menurut mereka bisa mengurangi penyakit anaknya.
Overholser dan Fritz (Papaikonomou & Nieuwoudt, 2004) menyatakan bahwa
banyak orangtua merasa lebih tenang ketika mereka menyadari bahwa
paramedis sedang bekerja sama dengan mereka untuk memberikan perawatan
yang terbaik untuk anak mereka.
Seiring berjalannya waktu, orangtua pasien leukemia menyadari bahwa
apa yang terjadi pada anaknya adalah sesuatu yang harus dihadapinya. Mereka
tidak mungkin terlepas dari permasalahan tersebut kalau tidak ada usaha yang
dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Orangtua pasien leukemia
juga bersikap optimis dalam menjalani pengobatan anaknya. Orangtua pasien
leukemia yakin bahwa anaknya bisa sembuh, usaha apapun akan dilakukannya
asalkan anaknya bisa sembuh. Selain bersikap optimis, orangtua pasien leukemia
juga memberikan dorongan, motivasi dan keyakinan kepada anaknya bahwa dia
pasti akan sembuh dan sehat seperti sediakala.
Bersikap optimis akan melahirkan pemikiran positif, berpikir positif dapat
merangsang suasana hati yang bagus dan dapat memperbaiki harga diri
(Halonen & Santrock, 1999). Individu yang optimis melakukan pengatasan
masalah (coping) yang mengarah pada masalah, menekankan pada satu
kegiatan saja dan mencari dukungan sosial (Carver, dkk, 1989).
Pencarian dukungan sosial juga dilakukan orang tua pasien leukemia.
Dukungan sosial yang dicari orang tua pasien leukemia berupa dukungan
instrumental dan dukungan emosional. Dukungan instrumental yang didapat oleh
orang tua pasien leukemia meliputi bantuan finansial, nasehat maupun informasi
dari orang-orang disekitarnya. Sedangkan dukungan emosional yang didapatkan
orangtua pasien leukemia berupa adalah dukungan moral, simpati dan
pemahaman terhadap masalah yang dihadapinya. Dukungan sosial yang saat ini
sangat dibutuhkan oleh orangtua pasien leukemia adalah dukungan instrumental.
Dukungan sosial bisa dapatkan dari pasangan, orangtua, anak, sanak
keluarga, teman, tim kesehatan dan sebagainya (Keliat, 1998). Neville dan Varni
(Martin dkk, 2004) menyatakan bahwa dukungan sosial dapat menjadi sumber
daya yang berharga untuk mempertahankan kesehatan emosional bagi keluarga
yang
sedang
menghadapi penyakit kronis. Selanjutnya Sarafino
(1998)
menambahkan bahwa dukungan sosial dapat bermanfaat positif bagi kesehatan
bila kita merasakan dukungan tersebut sebagai dukungan yang layak dan sesuai
dengan apa yang kita butuhkan.
Dukungan sosial melibatkan jaringan sosial, sistem hubungan sosial
dalam keluarga, kerabat, teman dan rekan serta interaksi dengan lingkungan
(Sprah & Sostaric, 2004). Menurut Katz dan Kahn (1978) kunci penting dari
dukungan sosial adalah komunikasi, karenanya komunikasi yang baik akan
meningkatkan kesempatan untuk berinteraksi dengan lingkungan sehingga akan
memperluas struktur jaringan sosial seseorang. Interaksi orangtua pasien
leukemia dengan lingkungan sangat baik. Selama anaknya sakit, semua subyek
menyatakan tidak memiliki permasalahan dengan lingkungan sekitarnya. Menurut
Moos (Parkes, 1986) lingkungan, baik fisik dan psikososial berpengaruh secara
signifikan terhadap perilaku. Sifat alami lingkungan dapat menjadi sumber
potensial yang mempengaruhi tipe strategi pengatasan masalah (coping) yang
digunakan.
Sikap anak yang berkeinginan sembuh membuat orangtua pasien
leukemia mengambil langkah aktif untuk kesembuhan anaknya. Dalam hal ini,
tindakan yang dilakukan oleh orangtua pasien leukemia meliputi mengajukan
ASKES, membawa anaknya berobat ke rumah sakit serta memberikan suplemen
tambahan untuk mengurangi efek samping pengobatan.
Orangtua pasien leukemia memahami dan mengerti tentang penyakit
yang diderita anaknya. Mereka bersikap hati-hati dalam memilih pengobatan
anaknya. Mereka menyadari bahwa penyakit leukemia adalah penyakit yang
pengobatannya tidaklah mudah serta membutuhkan waktu yang lama. Untuk itu,
orangtua pasien leukemia bersikap hati-hati dalam merawat serta mengobati
anaknya.
Pengobatan leukemia membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang
besar. Waktu yang dibutuhkan untuk masa pengobatan adalah dua tahun tanpa
relaps dengan biaya pengobatan sekitar 34 juta rupiah. Untuk mengatasi
permasalahan ini orangtua pasien leukemia membuat perencanaan berkaitan
dengan langkah-langkah yang akan dilakukannya. Perencanaan yang dibuat
adalah perencanaan tentang finansial atau dana yang dibutuhkan untuk
pengobatan anaknya.
Bertambahnya pengalaman orangtua pasien leukemia dalam pengobatan
dan merawat anak, membuat orang tua pasien leukemia lebih memahami dan
mengerti tentang kondisi dan apa yang terjadi pada anaknya. Dalam masa akhir
pengobatan, untuk mengatasi efek samping pengobatan, orangtua pasien
leukemia hanya menunggu kondisi fisik anaknya kembali seperti sediakala.
Mereka menyadari bahwa apa yang terjadi pada anaknya seperti rambut rontok,
bibir pecah-pecah dan fisik yang lemah adalah hanya dikarenakan efek samping
pengobatan dan bersifat sementara serta jika sudah waktunya akan kembali
seperti sediakala.
Pada fase ini, orangtua pasien leukemia meminta bantuan kepada Tuhan
dengan jalan mendekatkan diri kepada-Nya dan mendoakan kesembuhan
anaknya. Redler (Papaikonomou & Nieuwoudt, 2004) menyebutkan
bahwa
kanker sering disamakan dengan kematian yang tidak dapat dihindarkan.
Permasalahan yang dihadapinya orangtua pasien leukemia adalah permasalahan
yang menyangkut kelangsungan hidup anaknya. Hasil penelitian yang dilakukan
Mc Crae (Parkes, 1986) yang menyebutkan bahwa jika situasi dinilai mengancam
maka individu kembali pada kepercayaan atau agama yang dianut, berpikir
tentang kematian atau keinginan yang cepat dipenuhi oleh Tuhan. Tetapi dalam
penelitian ini ditemui subyek yang selama anaknya sakit sama sekali tidak
meminta bantuan maupun mendekatkan diri kepada Tuhan. Alasan subyek ini
tidak meminta bantuan maupun mendekatkan diri kepada Tuhan adalah karena
selama anaknya sakit dia merasa waktunya tersita untuk mengurus anaknya. Dia
juga beranggapan bahwa meminta bantuan kepada Tuhan tidaklah berpengaruh
baginya,
yang
terpenting
bagi
dia
adalah
usaha
nyata
yang
dapat
menyembuhkan anaknya. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata subyek ini tidak
meminta pertolongan kepada Tuhan karena kurangnya kesadaran maupun
pemahaman subyek terhadap agama.
Mendekatkan diri kepada Tuhan membuat orangtua pasien leukemia
bersikap sabar, tawakkal dan ikhlas dengan kondisi apapun yang terjadi pada
anaknya. Mereka yakin bahwa Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik
padanya. Mereka hanya bisa berusaha, tetapi yang menentukan atas kondisi
anaknya adalah Tuhan yang memiliki dan berkuasa atas manusia. Orangtua
pasien leukemia berusaha membangun pemikiran yang positif atas permasalahan
yang dihadapinya. Mereka berusaha mengambil manfaat yang baik dengan cara
mengambil hikmah dari semua permasalahan yang dihadapinya. Hikmah yang
dapat diambil oleh orangtua pasien leukemia meliputi bertambahnya pengalaman
serta pengetahuan, lebih sabar dan juga selama anaknya sakit mereka merasa
lebih dekat kepada Tuhan.
Penjelasan mengenai strategi pengatasan masalah (coping) dan faktor
yang mempengaruhi strategi pengatasan masalah (coping) pada orangtua pasien
leukemia dapat digambarkan pada bagan dibawah ini :
Bagan : Strategi pengatasan masalah (coping) dan faktor-faktor yang
mempengaruhi strategi pengatasan masalah (coping) pada orang tua
pasien leukemia.
Leukemia pada anak :
? Biaya pengobatan
? Lama pengobatan
? Efek samping pengobatan
Faktor eksternal
Faktor lingkungan :
? Interaksi dengan paramedis
? Interaksi dengan tetangga
? Interaksi dengan sesama
orangtua pasien leukemia
? Interaksi dengan keluarga
Karakteristik situasioanal :
? Lama anak sakit
? Perilaku/ sikap anak
? Jumlah anak
? Urutan kelahiran anak
Stressor pada orang tua
pasien leukemia
Strategi Pengatasan masalah
(coping) pada orang tua
pasien leukemia
Faktor Personal :
? Pemahaman terhadap
penyakit yang diderita
anak
? Usia
Penelitian tentang strategi pengatasan masalah (coping) pada orangtua
pasien leukemia ini memiliki beberapa kelemahan. Dalam pengambilan data ada
orangtua pasien leukemia yang menjadi subyek dalam penelitian ini kadang tidak
dalam kondisi yang baik untuk diwawancarai, sehingga subyek menjawab
pertanyaan dari peneliti secara singkat. Hal ini menyebabkan peneliti dalam
wawancara menggunakan pertanyaan yang cenderung mengarahkan dan
bersifat tertutup, sehingga penggalian data penelitian kurang maksimal dan
kurang eksploratif. Kekurangan ini dapat diminimalisasi dengan data-data lain
yang diperoleh oleh peneliti, terutama dari informan dan observasi. Kelemahan
lainnya adalah subyek dalam penelitian ini kurang bervariasi karena berasal dari
suku bangsa dan tingkat pendidikan yang sama serta memiliki pekerjaan yang
sama.
KESIMPULAN
Permasalahan
yang
dihadapi
orang
tua
pasien
leukemia
adalah
permasalahan keuangan, permasalahan pengobatan yang lama dan efek
samping yang ditimbulkan dari pengobatan. Semua subyek menyatakan bahwa
masalah yang terberat yang dirasakannya adalah masalah keuangan.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, orang tua pasien leukemia
melakukan perilaku strategi pengatasan masalah (coping). Berdasarkan temuan
lapangan dapat disimpulkan bahwa perilaku pengatasan masalah (coping) yang
dilakukan seseorang individu tidak dapat muncul secara otomatis seperti gerak
refleks. Perilaku pengatasan masalah (coping) terbentuk melalui suatu proses
yang panjang dan tidak dapat terbentuk dalam satu waktu atau langsung terjadi.
Pada masa awal pengobatan, orangtua pasien leukemia akan melakukan
penyangkalan atas kondisi anaknya yang sakit. Pada masa ini, orangtua pasien
leukemia juga sering menangis dan melamun sebagai implementasi dari
menyalahkan diri sendiri. Pada periode ini orangtua pasien leukemia hanya
berfokus pada pengobatan anak, yang mana menurutnya lebih mendekati pada
pengatasan masalah.
Seiring berjalannya waktu, orang tua dapat menerima dan memahami
permasalahan yang dihadapinya. Pada masa pertengahan pengobatan, strategi
pengatasan masalah (coping) yang digunakan orang tua pasien leukemia adalah
pencarian dukungan sosial, bertindak secara aktif untuk mengatasi masalah,
kehati-hatian serta membuat perencanaan.
Bertambahnya pengalaman akan meningkatkan pemahaman orangtua
pasien leukemia tentang penyakit yang diderita anaknya. Dalam masa akhir
pengobatan, untuk mengatasi efek samping pengobatan, orangtua pasien
leukemia hanya menunggu kondisi fisik anaknya kembali seperti sediakala. Pada
fase ini orangtua pasien leukemia akan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan,
bersifat sabar, tawakkal serta ikhlas dengan kondisi apapun yang terjadi pada
anaknya. Orangtua pasien leukemia juga berusaha mengambil hikmah dan
manfaat dari peristiwa anaknya yang sakit.
Berdasarkan temuan dilapangan, strategi pengatasan masalah (coping)
pada orangtua pasien leukemia dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor
personal, faktor lingkungan dan karaktersitik situasional.
Faktor personal yang mempengaruhi strategi pengatasan masalah
(coping) pada orangtua pasien leukemia adalah pemahaman tentang penyakit
anak. Faktor lingkungan yang mempengaruhi strategi pengatasan masalah
(coping) pada orangtua pasien leukemia yaitu interaksi orangtua pasien leukemia
dengan lingkungan. Dalam hal ini adalah interaksi orangtua pasien leukemia
dengan tetangga, keluarga, paramedis dan interaksi dengan sesama orangtua
pasien leukemia lain. Karakteristik situasional juga berpengaruh terhadap strategi
pengatasan masalah pada orang tua pasien leukemia. Karakteristik situasional
meliputi lama anak sakit, perilaku/ sikap anak, urutan kelahiran anak yang sakit
serta jumlah anak dalam keluarga.
SARAN
1. Bagi orang tua pasien leukemia
Orang tua hendaknya diberikan gambaran mengenai strategi pengatasan
masalah (coping) yang sesuai dengan permasalahan dan tingkat stres yang
dialaminya. Dengan adanya pengetahuan tentang strategi pengatasan masalah,
diharapkan orang tua dapat lebih tepat dalam mengambil langkah-langkah yang
harus dilakukannya.
2. Bagi rumah sakit
Berdasarkan
penelitian
ini
diharapkan
pihak
rumah
sakit
dapat
meningkatkan pelayanannya kepada pasien. Salah satu langkah yang disarankan
penulis adalah paramedis dapat memberikan pendampingan psikologis kepada
orang tua pasien leukemia khususnya mengenai strategi pengatasan masalah
(coping).
Pihak rumah sakit juga diharapkan membentuk suatu wadah yang
menaungi para orang tua pasien leukemia, sehingga para orang tua dapat
bertukar pikiran dan mendapatkan dukungan sosial dari sesama orang tua pasien
leukemia.
3. Bagi peneliti lain
Bagi penelitian selanjutnya penulis menyarankan supaya mengukur
terlebih dahulu tingkat stres yang di alami orang tua pasien leukemia. Setelah
diketahui tingkat stres pada orang tua pasien leukemia, barulah peneliti menggali
informasi mengenai strategi pengatasan masalah (coping) yang digunakan orang
tua pasien leukemia.
DAFTAR PUSTAKA
Aldwin, C. M., Revenson, T. A. 1987. Does Coping Help?A Reexamination of The
Relation Between Coping and Mental Health. Journal of Personality and
Social Psychology, 53, 337-348.
Alsa, A. 2004. Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam
Penelitian Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Black, J. A., Champion, D. J. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial.
Bandung : PT Eresco
Carver, C. S., Scheier, M. F., Weintraub, J. K. 1989. Assessing Coping Strategies:
A Theoretically Based Approach. Journal of Personality and Social
Psychology, 56, 267-283.
Gatot, D. 2001. Waspadai Serangan Leukemia.
http://www.plasa.com/tokoh/dismas/kesehatan.html.
Halonen, J. S., Santrock, J. W. 1999. Psychology; Context and Aplications. 3rd ed.
New York : McGraw-Hill.
Iqbal, A., Siddiqui, K. S. 2000. Among Parents of Children with Acute
Lymphoblastic Leukemia.
http://www.ayubmed.edu.pk/JAMC/PAST/14-2/Akhtar.htm.
Katz, D., Kahn, R. L. 1978. The social Psychology of Organization. 2rd ed. New
York : John wiley and Son Inc.
Keene, N. 2002. Behavioral Changes of Parents.
http://www.patientcenters.com/leukemia/news.htm.
Keliat, B. A. 1998. Penata Laksanaan Stress. Jakarta : EGC
Moleong, L. J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Mori, M. M. 2004. Multivariate Analysis of The Problems which Parents of
Children with Malignant Disease Have. Journal of Pediatric Blood & Cancer.
SIOP abstracts. 43(4): 362 - 363.
Martin, S. C., Wolters, P. L., Klaas, P. A., Perez, L., Wood, L. V. 2004. Coping
Styles Among Families of Children With HIV Infection. Journal of Aids Care,
16, 283-292.
Mu’
tadin. 2002. Strategi Coping. http://www.e-psikologi.com/remaja/zainun.htm.
Papaikonomou, M., Nieuwoudt, J. 2004. Exploring parents' stories of coping with
their chiid's cancer: A qualitative study. South African Joumal of
Psychology, 34, 283-300.
Parkes, K. R. 1986. Coping in Stressful Episodes: The Role of Individual
Differences, Environmental Factors, and Situational Characteristics. Journal
of Personality and Social Psychology, 51, 1277-1292.
Patton, M. Q. 1980. Qualitative Evaluation Methods. Beverly Hills, CA: Sage
Publications.
Poerwandari, K. E. 1998. Pendekatan Kualitatif Dalam Penelitian Psikologi.
Jakarta : LPSP3 UI.
Sarafino, E. P. 1998. Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. 3rd ed.
New York : John Wiley & Sons Inc.
Seppanen, S. M., Kyngas, H. A., Nikkonen, M. J. 1999. Coping and Social Support
of Parents with A Diabetic Child. http://www.pumedcentral.gov/fulltext.htm.
Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : Grasindo.
Sunarto. 1997. Hematologi Anak. Yogyakarta: Perpustakaan Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Sutaryo. 2000. The Protocol of Wijaya Kusuma Acute Lymphoblastic Leukemia of
Childhood 2000. Yogyakarta : Sardjito General Hospital.
Sprah, L., Sostaric, M. 2004. Psychosocial coping strategies in cancer patients.
Radiol Oncol, 38, 35-42.
Taylor, S. E. 1995. Health Psychology. 3rd ed. New York: McGraw-Hill.
Tim Penyusun. 2004. Pedoman Penyusunan Usulan Skripsi Dan Penyusunan
Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia
Utarini, A. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Modul (Tidak Diterbitkan).
Yogyakarta : Magister Kesehatan Ibu dan Anak
Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Velde, C. J. H., Bosman, F. T., Wagener, D. J. 1999. Onkologi. Edisi 5
(Terjemahan) Arjono. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Tim Penyusun. 2004. Pedoman Penyusunan Usulan Skripsi Dan Penyusunan
Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia
Download