2 Pengantar Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan, manusia pasti pernah mengalami luka yang tidak terhindarkan dan bahkan hingga tersudut. Seseorang bergerak pada realita survival untuk menanggulangi pengalaman berat seperti kehilangan (grief), kesepian (loneliness), kekecewaaan (despair). Di antara mereka ada yang tidak kuat sehingga berujung pada usaha bunuh diri, namun di antara mereka juga ada yang kuat tetap bertahan dalam situasi yang tidak empatik, walaupun ada rasa sesak dalam diri. Rasa sesak pada diri individu, secara perlahan membuat individu belajar untuk berpikir, bereaksi, dan mengajak orang di sekitarnya untuk ada di dalam lingkungan yang tidak empatik. Hal ini memposisikan mereka untuk bertahan melawan primal wounding, yaitu luka yang dirasakan hampir tidak didengar oleh orang lain. Luka terjadi karena adanya ketidaksesuaian individu dengan dunianya (Firman & Gilla, 2010). Luka yang dialami individu salah satunya akan menyebabkan depresi. Depresi berperan sangat signifikan dalam masalah global. Saat ini, 350 juta orang mengalami depresi. Survey yang dilakukan WHO di 17 negara, ditemukan 1 dari 20 orang mengalami depresi. Tingkat depresi di Indonesia pada individu yang tidak mengalami sakit secara fisik adalah 34% (Perempuan) dan 24% (laki-laki) (Liew, 2012). Indonesia memiliki tingkat depresi yang paling tinggi diantara negara lain (Hidaka, 2012). Depresi merupakan segenap pikiran, keyakinan dan sikap negatif terhadap dirinya sendiri, lingkungannya dan masa depannya (Beck, 1985) Onset depresi dapat terjadi pada masa kanak-kanak, namun usia dibawah 14 tahun resikonya masih sangat kecil. Peningkatan depresi lebih banyak dimulai pada usia remaja hingga dewasa awal, sedangkan puncaknya pada usia 45-55 tahun (Rathus & Nevid, 1991). Pada usia muda adanya perilaku agresif dan sexual acting out merupakan tanda dari depresi (WHO, 2012). Setiap orang pernah mengalami kesedihan dari waktu ke waktu. Tetapi, depresi berlangsung lebih lama, menganggu aktivitas sehari-hari dan dapat menyebabkan sakit secara fisik. Jika tidak dilakukan terapi, depresi semakin lama akan semakin kronis dan kualitas hidup individu semakin memburuk. Hal yang 3 paling buruk sebagai akibat dari depresi adalah akan membawa individu pada perilaku bunuh diri. Depresi merupakan indikator adanya intensi bunuh diri (Hasley, Ghosh, Huggins, Bell, Adler, & Shroyer, 2008; Marcus, dkk, 2012; Rathus & Nevid, 1991). Sehingga, tingkat depresi yang tinggi berkorelasi dengan tingginya usaha bunuh diri (Frank & Dingle, 1999; Medical Letter on the CDC & FDA, 2007; Schaller & Wolferdrorf, 2010). Pada mulanya, pelaku usaha bunuh diri mengalami depresi, dengan faktor resiko bunuh diri tingkat menengah. Akan tetapi, lambat laun dalam beberapa kasus resiko tersebut semakin meningkat (Dedic, dkk. 2010). Oleh karena itu, pemberian tretmen yang berkualitas pada depresi sangat penting (APA, 2010). Depresi merupakan kombinasi dari genetik, kimia, biologi, psikologi sosial dan faktor lingkungan (APA, 2010). Pada saat individu mengalami depresi banyak sekali bagian dari otak yang berkontribusi didalamnya. Secara neurobiologis dapat dijelaskan bahwa adanya hypersensitive amygdala berasosiasi dengan genetic polymorphism, pola dari negative cognitive dan dysfunctioal belief, secara keseluruhan ini merupakan faktor resiko dari depresi. Selanjutnya, kombinasi dari hyperactive amygdala dan hypoactive bagian dari prefrontal berasosiasi dengan berkurangnya kemampuan kognitif sehingga mengalami depresi. Genetic polymorphism juga terlibat dalam over reaction stress dan hypercortisolemia dalam perkembangan depresi (Beck, 2008). Neocortex dan hippocampus merupakan media dari aspek kognitif individu dalam keadaan depresi, termasuk didalamnya adanya kerusakan memori dan perasaan tidak berguna, kehilangan harapan, perasaan bersalah, menghadapi malapetaka, dan bunuh diri. Striatum dan amygdala, dan area otak lainya berperan penting dalam emotional memory, dimana hal ini sebagai jembatan anhedonia (Penurunan dorongan, dan reward terhadap aktivitas yang menyenangkan), kecemasan dan berkurang nya motivasi. Keseluruhan dari hal tersebut diatas disebut juga neurovegetative simtom depresi, termasuk tidur, selera makan, dan energi yang terlalu banyak atau terlalu sedikit, hilangnya nafsu seks dan aktivitas menyenangkan lainnya (Nestler, Barrot, Dileone, Eisch, Stephen & Monteggia, 2002). 4 Faktor lingkungan yang menyebabkan depresi adalah adanya kehilangan pada masa kanak-kanak juga kehilangan dimasa dewasa. Adanya stress yang dialami pada awal kehidupan individu sebagai akibat dari peristiwa buruk (perpisahan dengan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, perceraian dll) membuat individu mengalami kerentanan secara kognitif sehingga membawanya dalam kondisi depresi (Beck, 2008). Kehidupan yang penuh dengan stress merupakan triger depresi (Rathus & Nevid, 1991) Dapat disimpulkan bahwa hilangnya bagian dari diri individu akibat trauma dapat menyebabkan disasosiasi neural network. Jika individu mengalami overhelmed terhadap pengalaman traumatik, maka otak kehilangan kemampuan untuk memaintain neural integration dari berbagai macam jaringan yang terkait dengan perilaku, emosi, sensasi dan concious awareness. Saat memori menyimpan informasi dalam sensori dan emotional network tersebut tidak dapat mendukung satu dengan yang lain, maka kognisi, knowladge, dan perspective akan menjadi rentan terhadap pengalaman masa lalu. Oleh karena itu, terpenuhinya kenyamanan terhadap diri sendiri dengan adanya kontak dengan true self secara alamiah akan memaintain neural integration. Hal ini akan tercapai dengan adanya keterbukaan dan dialog antara hati, pikiran dan tubuh (Cozolino, 2002). Fikiran individu yang mengalami depresi berisi kesalahan atau distorsi terkait dengan bagaimana ia menginterpretasikan pengalamannya. Orang yang mengalami depresi memiliki mimpi dengan tema kehilangan, kelelahan, penolakan dan ditinggalkan. Mimpi tersebut merepresentasikan kelemahan atau bagian yang menyakitkan. Manifestasi dari depresi adalah kehilangan harapan, kehilangan motivasi, menyalahkan diri sendiri, keinginan bunuh diri. Selanjutnya, akan mengalami sistematik kognitif bias sehingga menyebabkan individu selalu mengambil aspek negatif dari pengalamannya, interpretasi negatif, dan mengalami bloking terhadap peristiwa dan memori positif. Saat seseorang mengalami depresi akan mengalami dysfuctional atitudes yang tinggi dan percaya bahwa dirinya tidak mampu memproses informasi dan menghasilkan negative cognitive bias, dimana hal tersebut menimbulkan simtom-simtom depresi. Selama episode 5 depresi adanya disfungsional attitude membuat individu secara absolut mengalami keyakinan negative tentang dirinya, dunianya dan masa depannya (Beck, 2008). Perubahan yang terjadi pada individu yang mengalami depresi adalah, 1) Perubahan emosi yaitu perasaan gundah terus menerus, merasa depresi dan sedih, 2) Perubahan motivasi yaitu kehilangan semangat, tidak memiliki motivasi, kesulitan untuk bangun dari tempat tidur setiap pagi, menurunnya aktivitas sosial, kehilangan minat terhadap aktivitas yang disukainya, berkurangnya hasrat seksual, 3) Perubahan fungsi dan perilaku yaitu bergerak lebih lambat dari biasanya, Perubahan pola tidur, bangun lebih awal dari biasanya, dan bermasalah ketika harus kembali tidur, perubahan pola makan (makan terlalu banyak atau makan terlalu sedikit), perubahan berat badan (terlalu kurus atau terlalu gemuk), tidak dapat mengikuti kegiatan disekolah dengan baik seperti biasanya, 4) Perubahan kognitif yaitu sulit berkonsentrasi atu berfikir dengan jernih, berfikir negatif terhadap diri sendiri, masa depan dan lingkungannya, rendah diri, tidak percaya diri, berfikir akan kematian atau bunuh diri (Rathus & Nevid, 1991). Secara sederhana, depresi dapat dilihat lewat beberapa indikator berikut. 1) Perubahan mood, seperti sedih, kesepian, kehilangan harapan, 2) konsep diri negatif, seperti mencela dan menyalahkan diri sendiri, 3) regresi dan menghukum diri sendiri, seperti perasaan ingin lari dari masalah, menyembunyikan diri, atau mati, 4) perubahan diri, seperti anoreksia, insomnia, dan nafsu seks menurun, 5) perubahan level aktivitas, seperti mengalami hambatan dan kegelisahan. Setelah mengalami periode depresi, pada tahap berikutnya seseorang memiliki simtom depresi selama lebih dari 3 tahun sebelum “serangan” berikutnya (Beck, 1985). Untuk menangani masalah depresi berbagai macam terapi banyak diteliti, antara lain behavior therapy fokus pada modifikasi perilaku depresif yaitu dengan cara mengajarkan ketrampilan relaksasi, meningkatkan partisipasi terhadap aktivitas yang disukai, belajar keterampilan sosial dan meningkatkan kemampuan memberikan reinforcement kepada orang lain (Rathus & Nevid, 1991). Behaviour activation therapy yaitu dengan membuat jadwal aktivitas dengan tujuan agar individu belajar untuk memonitor mood, aktivitas harian, meningkatkan aktivitas yang menyenangkan dan meningkatkan interaksi positif dengan lingkungan 6 (Cuijpers, Straaten, & Warmerdam, 2007). Terapi kognitif yang berfokus pada identifikasi dan koreksi terhadap cognitive eror seperti selective abstraction, overgeneralization, magnification, dan absolutist thingking (Rathus & Nevid, 1991). Terapi psikodinamik berfokus pada ekspresi dari pengalaman yang selama ini ditolak, dimana hal ini berpengaruh pada keadaan depresi (Johansson, R. Orklund, M.B ., Hornborg, C., Karlsson, S., Hesser, H., Otsson, B.J., Rousseu, A., Frederick, R.J & Andersson, G. 2013). Keseluruhan pendekatan tersebut memiliki cara yang berbeda untuk menangani kasus depresi. Bentuk terapi yang telah disebutkan terbukti efektif untuk menangani kasus depresi. Terapi transpersonal mengeksplorasi sisi spiritual individu yang juga mencakup pendekatan psikoanalisa, behavior, kognitif dan humanistik (Davis, 2003). Telah dipahami bahwa transpersonal memiliki makna ganda yaitu vertical dan horizontal, ethical dan mystical, immanent dan trancendence. Melalui hal ini manusia dapat memenangkan dan memeluk tiga dimensi yaitu personal, interpersonal, dan transpersonal: tubuh, jiwa dan spirit. Dapat kita fahami bahwa depresi membawa kita kedalam tiga dimensi tersebut dalam realitas hidup. Terapi transpersonal membawa individu yang mengalami depresi berada dalam tiga dimensi tersebut. Terapis menolong klien untuk menyembuhkan dan menguatkan personal self nya, untuk dapat membuat sebuah hubungan lebih dinamis dan penuh cinta, dan menerima dimensi keutuhan, membuka wilayah kesadaran dalam penyatuan yang menyeluruh, dengan manusia dan Tuhan, sehingga individu dapat memancarkan cinta (Palmas & Canaria, 2003) Transpersonal dalam banyak literatur berarti melewati atau melalui “topeng”, dengan kata lain melewati tingkat personal (Prabowo, 2008). Dari hasil survey tahun 1992 lewat artikel Journal of Transpersonal Psychotherapy yang dilakukan oleh Lajoie dan Shaphiro sebagaimana dikutip oleh Boorstein (2000) menyatakan terdapat lebih dari 200 definisi transpersonal, dan kemudian menyimpulkan bahwa transpersonal adalah pendekatan yang berfokus pada potensi tertinggi manusia, penghargaan, pemahaman, kesadaran intuitif, spiritual, dan melampaui kesadaran. Dimensi spiritual selalu berasosiasi dengan nilai rasa yang positif, termasuk cinta (Boorstein, 2000). 7 Terapis dapat memberikan inspirasi yang berkenaan dengan empati dan kepedulian kepada klien, saat klien dapat terkoneksi dengan dirinya sendiri melalui dialog antara hati, tubuh dan pikiran. Hal ini sangat penting bagi klien karena pada dasarnya ia tidak peduli atas apa yang dirasakannya. Hal mendasar dari kesadaran adalah sesuatu yang positif dan cinta. Di sisi lain, sesuatu yang negatif muncul untuk mempertahankan diri dan individu secara genetis terprogram untuk dapat bertahan. Ketika terluka, individu berjuang sebagai bentuk mekanisme pertahanan diri, sehingga biasanya memunculkan pemikiran negatif seperti kemarahan, depresi dan menyendiri (Boorstein, 2000). Psikosintesis merupakan bagian dari transpersonal yang bertujuan untuk memberdayakan klien. Psikosintesis juga memungkinkan membuka keran potensi dan kreativitas yang telah ada di dalam dirinya, serta dapat mengekspresikan diri secara bebas. Pada akhirnya, setiap hambatan dilihat sebagai kesempatan untuk berkembang. Sasaran pokok dalam terapi ini adalah: a) Mentranformasi dan mengaktualisasikan secara kreatif potensi-potensi kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari, b) Mengubah sudut pandang kita, yaitu menerima trauma-trauma pribadi dan peristiwa-peristiwa penting yang kita miliki sebagai tahap-tahap dari proses penyembuhan diri kita sendiri, c) Menyembuhkan, mentransformasi, dan membantu pengembangan diri. Model yang dibuat Assagioli tentang kesadaran manusia adalah jati diri yang mempunyai kaitan dengan “diri transpersonal” (Ruffler, 1995). Psikosintesis memiliki visi yang luas dan baik dalam konteks personal, interpersonal, sosial, global dan evolusi universal. Konselor memposisikan diri sebagai cermin atau refleksi untuk klien, yang terjalin melalui hubungan interpersonal dan empati untuk klien. Terdapat dua aspek dalam psikosintesis, yaitu personal psikosintesis yang bertujuan membantu perkembangan integrasi kepribadian dan transpersonal psikosintesis yang mengarahkan kebutuhan individual untuk merealisasikan esensi manusia yang paling tinggi dan tujuan hidup. Tujuan psikosintesis adalah agar seluruh aspek-aspek kepribadian individu 8 yang melingkari personal centre terintegrasi, sehingga terjadi sintesis terbaik di antara personal ego dan transpersonal self (Firman & Gilla, 2002; Ruffler, 2005). Assagioli (1973) menggambarkan modelnya sebagai suatu gambaran kasar, mendekati replica anatomic dari struktur yang ada di dalam kesadaran kita dan membagi ketidaksadaran pada jiwa manusia kedalam tiga area, yaitu 1) “Puncak ketidaksadaran atau kesadaran tertinggi” higher unconsciousness 2) “Wilayah tengah dari ketidaksadaran” middle unconsciousness, 3) “Dasar dari ketidaksadaran atau ketidaksadaran” lower unconsiousness. Higher Unconsciousness merupakan makna terdalam dalam hidup, ketenangan, kedamaian, dan eksistensi universal, kesatuan antara diri kita dan alam semesta. Dari higher kita mendapatkan intuisi tertinggi, inspirasi, filosofi, dan keilmuan, sehingga lebih manusiawi dan kasih yang heroik. Ini merupakan sumber dari nilai rasa tertinggi, termasuk altruistic love, genius, tingkat perenungan, kekuatan, kegembiraan. Ini merupakan “dunia” yang laten yang merupakan fungsi tertinggi dari ranah fisik dan energi spritualnya. Karakternya adalah cinta, kegembiraan, keindahan, kesatuan. Middle Unconsciousness memberikan kekuatan yang tidak terbatas kepada individu untuk “to learn and to create”. Keterampilan, perilaku, perasaan, sikap dan ability membuat middle unconsciousness dan will of I. Ini merupakan dasar identitas kepribadian. Sub Personality adalah induk dari struktur middle unconsciousness, yaitu semi independent, koheren dari pengalaman dan perilaku. Ini dapat dikembangkan dari waktu ke waktu dengan ekspresi yang berbeda-beda. Konflik dari sub personality merupakan sumber dari kesakitan. Adapun Lower Unconsciousness berada di dalam diri individu di mana hal tersebut diturunkan dari pengalaman luka. Luka yang berlebihan dapat menyebabkan penderitaan di kehidupan kita. Emphatic love terdapat dalam psikosintesis yang dikemukakan oleh Assagioli. Sintesis sebagai proses integrasi, keseluruhan, kesatuan, keindahan, dan harmoni yang timbul dari links of love di antara manusia. Sintesis juga merupakan kesatuan dari sifat manusia; fisik, emosi, mental, dan spiritual. Tujuan dari sintesis adalah creative whole. Model psikosintesis dapat diaplikasikan kepada 9 orang yang menderita masalah neurotik dan juga masalah psikologis lainya. Segala sesuatu “diluar kendalinya” oleh karena itu tidak ada yang terintegrasi dengan sempurna. Syntesis bekerja pada personal center, wilayah alam sadar (Concious ego), dan “I” wilayah fisik, emosi dan mental (Gerard, Robert, 1961; Firman & Gilla, 2002). Model psikosintesis yang digunakan adalah diagram telur. Dalam emphatic love, proses disidentifikasi (mengobservasi diri sendiri) “I” menemukan pengalaman membahagiakan, menyedihkan, perasaan dan pikiran akan kejadian sekarang. Pengalaman-pengalaman tersebut sangat mungkin saling bertentangan. Oleh karena itu, dibutuhkan empati dan cinta untuk menyatukan aspek tersebut ke dalam kepribadian. Penerimaan, cinta yang tulus, dan keterlibatan dalam berbagai pengalaman memiliki peranan besar terhadap kesehatan dan pertumbuhan. Cinta adalah compassion, joy, equanimity, and kindness (Firman & Gilla, 2010). Adanya cinta membuat seseorang dapat menerima dan mencintai semua aspek dirinya yang disebut true self (Firman & Gilla, 2002). Insight merupakan karakteristik transformasi, sedangkan empati timbul dari adanya insight yang mendalam dari ketidakpastian, sakit mental dan konstruksi alamiah dari self yaitu saat individu mempercayai bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan stabil, individu menciptakan luka untuk dirinya sendiri dengan merenggut atau menolak, dan tidak dapat menerima “self” sehingga terpisah dari duniannya. Empati merupakan produk alami yang dimiliki individu, untuk dapat memahami dirinya sendiri. Disebutkan juga bahwa penerimaan diri membawa kita untuk memahami orang lain. Empathic love therapy membawa individu untuk melihat dirinya sendiri, hal ini memberikan jalan kepada individu untuk melihat kesalahan terkait dengan fikiran atau persepsi serta perilaku negatif sehingga individu mampu mengkonstruksi fikiran, persepsi dan perilaku positif (Germer, Siegel, & Fulton, 2005). Dari paparan diatas, maka disusun emphatic love therapy untuk mencapai keterbukaan dan dialog antara hati, pikiran dan tubuh agar individu sehat dan bertumbuh. Terapi ini menggunakan 7 konsep yang telah dikemukakan oleh Assagioli, yaitu: 10 1) Disidentification, yaitu mengenali dan mengasosiakan diri dengan struktur-struktur kepribadian untuk mengidentifikasi (mengambil jarak mereka), (Ruffler, 1995). 2) The personal self, “I” merupakan refleksi langsung atau gambaran dari self. “I” adalah dasar identitas manusia, tidak bebas. Self merupakan kesatuan tapi secara langsung dan segera muncul dari deeper self (Firman & Gilla, 2002). 3) The will: good, strong, skilful, yaitu will yang terdiri atas tiga dimensi atau kategori, yaitu: 1) aspects of will (kebaikan, kekuatan, kemampuan dan transpersonal), 2) qualities of will (energi, penguasaaan, konsentrasi, penentuan, ketekunan, inisiatif, dan organizatioan) dan 3) stages of the act of will (tujuan, pertimbangan, pilihan, afirmasi, rencana, arah eksekusi). 4) The ideal model, yaitu“I” adalah awareness, pengertian, image, visi, dan pemahaman apa yang diinginkan individu dalam hidup. (Firman & Gilla, 2007). 5) Synthesis, yaitu memahami adanya pergerakan menuju kesatuan dalam kepribadian melalui 5 tahapan, yaitu rekognisi, penerimaan, koordinasi, integrasi, dan sintesis. 6) The superconcius, menunjukan “potensi tertinggi yang dimiliki yang dapat diekspresikan oleh diri kita sendiri”, tetapi hal itu selalu ditekan dan ditolak (Assagioli, 1973) 7) The transpersonal self, adalah proses integrasi konten dan energi pada higher unconscious, sebagai pembelajaran melalui kontak dan hubungan kualitas transpersonal, wawasan spiritual, dan tahap penyatuan kesadaran. 11 Tekanan pada masa kanak-kanak atau tekanan yang dialami pada masa awalawal kehidupan akibat dari peristiwa buruk / berada pada lingkungan yang tidak empati Mengalami luka yang tidak terhindarkan bahkan tersudut/ primal wounding Overwhelmed terhadap pengalaman traumatik Kemampuan me maintain neural integration berkurang Memori yang menyimpan informasi dalam sensori dan emotional network tidak dapat mendukung satu dengan yang lainnya sehingga kognisi, knowledge rentan terhadap pengalaman masa lalu Depresi Trigger Depresi menurun : Hasil intervensi : Terapi yang digunakan Gambar 1: Kerangka Pikir Penelitian Empathic Love Therapy (7 concept) Kontak dengan true self dengan adanya dialog antara hati, pikiran dan tubuh. 12 Perlakuan Empathic love therapy : 7 concept 1. Eksplorasi diri : Partisipan melakukan identifikasi dan disidentifikasi diri. 2. Mengenal Luka : Partisipan menyadari luka (primal wounding) yang selama ini menghambat perkembangannya. 3. Interaksi para pemain : Peserta memposisikan diri sebagai pengamat dari para pemain dalam dirinya dengan melihat dan mendengarkan para pemain tersebut. 4. I love my self : Partisipan berdialog dengan para pemain dalam dirinya, terutama yang berperan dalam pengalaman luka sehingga memahami tujuan dan kebutuhan para pemain tersebut, kemudian merengkuh dan mendamaikannya 5. Kehendak : Partisipan dapat menemukan kualitas tersembunyi dari para pemain dalam diri 6. Aspirasi dan rencana aksi : partisipan mengetahui tujuan dan arti hidup tertingginya, kemudian membuat rencana jangka panjang dan jangka pendek 7. Cinta dan syukur : Partisipan diajak untuk dapat mengetahui dan memancarkan cinta yang ada didalam dirinya sendiri dan mensyukuri segala hal yang pernah ia alami. Input Output Real self Partisipan mampu : Partisipan Pemilihan partisipan menggunakan BDI II 1. Perubahan emosi yaitu perasaan gundah terus menerus, merasa sedih 2. Perubahan fungsi dan perilaku yaitu bergerak lebih lambat dari biasanya, perubahan pola tidur dan pola makan 3. Perubahan kognitif yaitu sulit berkonsentrasi ,berfikir negatif terhadap diri sendiri, masa depan dan lingkungannya, rendah diri, tidak percaya diri, berfikir akan kematian atau bunuh diri 4. Perubahan motivasi yaitu kehilangan semangat, menurunnya aktivitas sosial, kehilangan minat terhadap aktivitas yang disukainya, berkurangnya hasrat seksual, 1. Menyadari bahwa adanya bermacam-macam pemain dalam diri dengan berbagai macam peran yang tidak disadari sebelumnya. 2. Menyadari adanya luka dan masuk kembali kedalam pengalaman menyakitkan, membantu untuk mulai mengembangkan diri sehingga dapat mencapai kesembuhan diri. Dengan cara ini dapat belajar mencintai dengan penuh empatik dan akhirnya menerima pengalaman traumatis. 3. Mengetahui pendukung dan penghambat aspirasinya sehingga dapat menyadari konflik-konflik yang menganggu kualitas hidup dan kebahagiannya. 4. Menerima dengan penuh cinta semua bagian dalam dirinya. Melepaskan pikiran dan perasaan yang selama ini menganggua sehingga dapat merasakan bertambahnya ketenangan, kedamaian, kebahagiaan, kelegaan dalam hidupnya 5. Memaksimalkan kualitas tersembunyi pada setiap pemain dalam kehidupan sehari-hari. 6. Mengetahui tujuan dan arti hidup tertingginya, kemudian membuat rencana jangka panjang dan jangka pendek untuk pencapaian aspirasi tersebut. Hal ini membawa individu menuju transformasi diri. 7. Secara aktif mencintai meskipun dalam kondisi luka. mesyukuri segala yang ia alami. Dengan demikian, depresi menurun Gambar 3: Kerangka Alur Penelitian (Swasti, 2010)