Menuju Pendekatan Pemantauan Kesejahteraan Rakyat yang KhasDaerah dan Sayang Budaya Laporan berdasarkan hasil telaah cepat atas tantangan dan peluang pengembangan pemantauan kemiskinan dengan pendekatan yang khas-daerah dan sayang budaya di Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur Oleh: Dr. Hamonangan Ritonga Kepala Subdirektorat Analisis Statististik Lintas Sektor, BPS dan Dr. Friedhelm Betke Penasehat Kepala BPS Kerjasama Badan Pusat Statistik (BPS) dan Lembaga Kerjasama Teknis Jerman/Proyek Dukungan Otonomi Daerah (GTZ/PRODA-NT) i KATA PENGANTAR Dengan keterbatasan waktu dan dana dalam mengevaluasi kelemahan sistem informasi nasional untuk pengukuran kemiskinan serta sekaligus melihat peluang pengembangan pemantauan kemiskinan di Sumba Timur adalah tidak mungkin dapat dilakukan tanpa dibantu oleh berbagai pihak, yang bersedia memberikan informasi penting serta mendukung kami dalam studi telaah cepat ini. Oleh karena itu kami menyampaikan ucapan terima kasih sebanyakbanyaknya kepada pihak-pihak yang telah memberikan kontribusi dan dukungan aktif dalam proses telaah cepat ini. Pertama-tama, kami sangat berterimakasih kepada Bupati Sumba Timur, Bapak Ir. Umbu Mehang Kunda, yang telah memberikan arahan yang sangat berarti bagi kami dalam pengamatan lapangan. Juga kepada para pimpinan instansi/dinas pemerintah setempat yang telah memberikan informasi penting, seperti Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Dinas Peternakan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, dan Dinas Kependudukan. Selanjutnya kepada Bapak Siliwoloe Djoeroemana, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi KRISWINA di Waingapu, yang telah menjelaskan kepada kami keunikan pola organisasi dari paraingu. Juga kepada Bapak Pendeta Elias, salah seorang keturunan Imam (Ratu) kepercayaan Marapu, yang telah menceritakan kekayaan budaya Sumba. Berikutnya, kepada beberapa penduduk Sumba Timur yang telah menceritakan kehidupan mereka di pulau ini. Juga ucapan terimakasih kami sampaikan kepada para pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat, seperti Yayasan Kuda Putih, Yayasan Tananua, dan Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI), yang telah menjelaskan programprogram bantuan yang diberikan kepada masyarakat Sumba Timur. Khusus kepada Bapak Amsal Ginting, Kepala Perwakilan WVI di Sumba Timur, terimakasih atas diskusi yang menarik dan kami berharap dapat melanjutkan diskusi lagi dikemudian hari. Terimakasih kami juga tertuju kepada seluruh staf GTZ/PRODA-NT. Ibu Monika Ellinger sangat membantu missi kami dengan segala perhatian dan pemikiran yang kritis dalam memperdebatkan temuan-temuan dan interpretasi kami. Pak Pua M. Saleh sebagai Koordinator PNT-Waingapu beserta para motivatornya di lapangan terus menerus membantu observasi kami. Pak Djoko P. Sawolo, Pak Johnson Umbu Radda dan Pak Stepanus Makambombu juga selalu membantu kami, baik dalam masalah-masalah administratif maupun dalam memenuhi kebutuhan informasi tentang budaya Sumba. i Terakhir, kami juga sangat berterimakasih atas perhatian pimpinan BPS, Ibu Dr. Soedarti Surbakti, Bapak La Ode Syafiuddin, MSc, dan Bapak Wynandin Imawan, MSc. Kami melihat hasil observasi ini dapat menjadi paradigma baru bagi BPS, seperti ditunjukkan dalam keterbukaan dalam mendiskusikan kelemahan pengukuran-pengukuran yang sentralistik selama ini, dan secara demokratis bersedia melakukan perdebatan terhadap ide-ide baru, serta menunjukkan keinginan terhadap pengembangan informasi-informasi statistik yang khas-daerah dan sayang budaya pada tingkat kabupaten dan tingkat komunitas yang lebih kecil. Akhirnya, semua kesalahan yang terdapat dalam laporan ini adalah merupakan tanggung jawab penulis, dan oleh karena itu hasil telaah cepat ini tidak merefleksikan pandangan dari PRODA-NT dan BPS. Jakarta, 28 April 2002 Hamonangan Ritonga dan Friedhelm Betke ii ABSTRAK Laporan ini dibuat berdasarkan hasil telaah cepat terhadap applikasi ukuran kemiskinan yang selama ini dirancang secara sentralistik terhadap konteks sosial budaya dan sosial ekonomi yang unik di Kabupaten Sumba Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Telaah cepat ini dilakukan oleh dua staf Badan Pusat Statistik Indonesia dengan dukungan dari Lembaga Kerjasama Teknis Jerman/Proyek Dukungan Otonomi Daerah di Nusa Tenggara (GTZ/PRODA-NT). Berdasarkan temuan-temuan penulis, tidak satupun ukuran yang dibuat di pusat yang dapat memberikan hasil yang berarti dalam konteks yang khas SumbaTimur. Proses pertukaran secara barter dalam jaringan yang lebih luas, dimana sekarang ini juga berhubungan secara tidak langsung dengan intervensi dan investasi orang luar, dapat menimbulkan ketidakadilan dan kemiskinan bagi sebagian besar populasi. Sebagai konsekuensinya, penulis menyarankan perlunya reformasi yang radikal terhadap pengukuran kemiskinan yang sudah ada sekarang ini dengan pengukuran kemiskinan yang lebih merefleksikan informasi yang khas-daerah dan sensitif budaya. Ide ini didasar atas interpretasi menyeluruh dari sistem ekonomi politik masyarakat Sumba Timur, yang juga dapat secara potensial diapplikasikan di kabupaten lain di Indonesia. Laporan ini merupakan awal dari pemikiran baru tentang statistik kemiskinan dan kesejahteraan wilayah kecil sebagai bagian reformasi yang menyeluruh terhadap pelaksanaan pemerintahan kabupaten di Indonesia. iii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR……………………………………………………………….. ABSTRAK …………………………………………………………………………… DAFTAR ISI…………………………………………………………………………. I. PENDAHULUAN………………….……………………………………… A. Latar belakang masalah ………………..……………………….. B. Tujuan, metodologi, dan ruang lingkup laporan……………. II. III. IV. V. VI. VII. VIII. ALASAN APA YANG MENDASARI PENGGUNAAN PENGUKURAN KEMISKINAN NASIONAL DALAM KONTEKS SUMBA TIMUR ?………………………………………….. TANTANGAN YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM SISTEM INFORMASI DAN MONITORING YANG SAYANG BUDAYA TERHADAP KESEJAHTERAAN YANG KHASDAERAH …………………………………………………………………. A. Interpretasi model ekonomi politik masyarakat Sumba Timur 8 B. Konsep kemiskinan dan kesejahteraan serta pola pemukiman yang sentralistik C. Persepsi ekonomi tentang tingkat kemiskinan keluarga/ Rumahtangga serta kurangnya perhatian terhadap bentuk Dan struktur keluarga …………………………………………… PELUANG YANG PERLU DIPERTIMBANGKAN UNTUK MENGEMBANGKAN MONITORING PEMBANGUNAN SOSIAL DAN EKONOMI YANG KHAS SUMBA-TIMUR……. A. Mengembangkan konsepsualitas yang khas-lokal…………. B. Perspektif konteks tahapan hidup untuk kesejahteraan individu, sosial, ekonomi, dan budaya………………………… C. Peristiwa kehidupan sebagai landasan institusi sosial, ekonomi, dan budaya …………………………………………….. HAMBATAN-HAMBATAN DAN ASSESMEN YANG DIPERLUKAN DALAM PELAKSANAAN SISTIM INFORMASI EKONOMI EKONOMIK REGIONAL YANG SENSITIF BUDAYA. A. Persyaratan dana…………………………………………………… B. Perlunya koordinasi……………………………………………….. C. Perlunya menjamin integrasi dengan pengumpulan data dan sistim infomasi nasional …………………………………………. D. Kurangnya perhatian dalam menggunakan informasi yang cukup untuk perencanaan pembangunan ………………….. E. Terbatasnya keahlian teknis dan kapasitas diantara Pemimpin Lokal dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen…………………………………………………………. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan…………………………………………………………. B. Usulan intervensi jangka panjang…………………………….. C. Rekomendasi intervensi jangka pendek……………………… REFERENSI……………………………………………………………… LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………… iv i iii iv 1 1 4 5 8 18 19 20 20 20 21 22 22 22 22 23 23 23 23 24 25 27 28 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Pembangunan Indonesia selama ini memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan dan pemerataan pendapatan. Sampai dengan tahun 1999, perencanaan dan evaluasi pembangunan di Indonesia dilakukan secara sentralistik, dan menggunakan data dan informasi yang juga seragam untuk semua wilayah. Namun demikian, sejak diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah No. 42 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, perencanaan dan evaluasi pembangunan tidak lagi dilakukan secara sentralistik, tetapi oleh pemerintah daerah khususnya pada tingkat kabupaten/kota. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, BPS perlu mempersiapkan diri dengan suatu paradigma baru, yaitu berupaya melakukan pengembangan data dan informasi yang lebih relevan dan reaslistik menurut keadaan khas-daerah, khususnya daerah kabupaten/kota. Seperti diketahui, pengertian kemiskinan sering menjadi perdebatan diantara berbagai pihak, baik di tingkat nasional maupun di tingkat regional. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, para donor, dan peneliti lokal pada umumnya mempunyai perspektif dan pengertian yang berbeda tentang kriteria kemiskinan. Kendati demikian, pada umumnya semua sepakat terhadap keterbatasan dari pendekatan pengukuran yang ada sekarang ini, yaitu penghitungan jumlah penduduk miskin oleh BPS dan sistem pendataan keluarga miskin oleh BKKBN, yang pada dasarnya dirancang, dianalisa dan digunakan secara sentralistik. Secara metodologi, ada perbedaan mendasar antara ukuran kemiskinan kuantitatif yang dibuat BPS, yang seragam untuk tingkat nasional, propinsi, dan kabupaten, dengan ukuran kemiskinan kualitatif yang dibuat oleh BKKBN yang juga seragam sampai pada tingkat desa. Data dari kedua sumber ini sering tidak sesuai dan berlawanan. Pendekatan BPS dalam pengukuran kemiskinan memang telah mengikuti ketentuan-ketentuan pengukuran kemiskinan yang dilakukan secara luas di dunia lain, tetapi hanya berdasarkan pendekatan ekonomi modern, yaitu konsep daya beli melalui pengeluaran/konsumsi rumahtangga dalam rupiah, yang tidak sepenuhnya demikian untuk daerah kabupaten. Disamping itu, penghitungan kemiskinan yang dilakukan setiap 3 tahun sekali melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) modul konsumsi, hanya dimaksudkan untuk menghasilkan jumlah penduduk miskin aggregat pada tingkat nasional dan propinsi. BPS melalui SUSENAS kor, dengan sampel yang lebih besar (biasanya mencakup 600 rumahtangga per kabupaten/kota), memang telah 1 berusaha melakukan penghitungan penduduk miskin kabupaten/kota, tetapi masih dalam konstruksi garis kemiskinan kabupaten yang dikaitkan dengan pola konsumsi penduduk miskin propinsi yang didasarkan pada subsample SUSENAS yang lebih kecil (modul konsumsi) yang hanya mewakili tingkat propinsi. Budaya lokal dan faktor-faktor non-ekonomi lainnya hanya secara tidak langsung dalam pendekatan ini melalui penyeragaman pola konsumsi untuk tingkat propinsi. Oleh karena itu, alat pengukuran yang akurat, yang dapat merefleksikan hubungan sosial dan budaya dan yang menyebabkan kemiskinan pada level atau dibawah level kabupaten/kota tidak tersedia di Indonesia. Namun demikian, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 121 Tahun 2001 dijelaskan bahwa BPS, sebagai anggota dari Komite Pengentasan Kemiskinan (KPK) menjadi lembaga teknis yang menjadi koordinator dalam penyediaan dan analisis data dan informasi yang digunakan dalam tahap perencanaan dan evaluasi dari program penanggulangan kemiskinan di tingkat nasional. Upaya yang dilakukan oleh BPS saat ini adalah memperbaiki informasi kemiskinan di tingkat nasional maupun regional. Termasuk didalamnya adalah studi estimasi kemiskinan tingkat wilayah kecil dengan mengunakan hasil Sensus Penduduk tahun 2000. Studi ini dilakukan oleh Direktorat Metodologi Statistik. Disamping itu, Direktorat Analisis Statistik, BPS juga terlibat dalam kerjasama dengan Asian Development Bank (ADB) menyangkut studi pengembangan indikator (pendekatan) kemiskinan pada tingkat kabupaten/kota berdasarkan indeks yang dibangun dari data harga konsumen dan upah pada tingkat kabupaten. Selain itu, Direktorat Statistik Ketahanan Sosial, BPS yang baru dibentuk pada tahun 2001, juga sedang mengembangkan pendekatan yang khas lokal untuk mengukur kekuatan komunitas dalam mengambil tindakan preventif dan/atau penyesuaikan diri secara berkelanjutan terhadap integrasi yang berkelanjutan antara ekonomi tingkat komunitas, pengetahuan asli daerah, kehidupan sosial yang tradisional, serta menghubungkan karakteristik budaya lokal kedalam ekonomi dunia, jaringan kerja dan arus informasi global, serta tuntutan yang semakin meningkat akan keseragaman tingkah laku sosial budaya. Langkah pertama menuju pemberdayaan statistik di tingkat kabupaten adalah dengan pembuatan database yang “ khas kabupaten” dengan mendukung upaya yang sedang dilakukan oleh UNICEF untuk memperbaiki perencanaan pembangunan sosial di 41 kabupaten. Dalam jangka waktu menengah dan panjang, pendekatan statistik ketahanan sosial dimaksudkan untuk mengkombinasikan survei sosial-ekonomi rumahtangga yang berbasis komunitas kecil dengan laporan rutin masyarakat berdasarkan kondisi dari prasarana yang sudah ada di desa, pusat pelayanan dan institusi sosial budayanya. Yang disebut terakhir difokuskan pada penilaian sosial budaya secara khusus dan cepat yang diselenggarakan oleh 2 lembaga penelitian lokal. Skenario penilaian semacam ini telah pernah dikembangkan secara sentralistik melalui Survei Seratus Desa (SSD) sebagai media untuk memonitor perubahan sosial secara keseluruhan serta sebagai salah satu sumber utama dan pertama untuk pengukuran dampak sosial sehubungan dengan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. Berkaitan dengan perubahan yang cepat sehubungan dengan peningkatan otonomi daerah, BPS menyadari bahwa kebutuhan sistim pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, tetapi juga perlu dikembangkan kebutuhan komunitas dan kabupaten terhadap mekanisme pengumpulan data yang berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya diantara komunitas pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat. Mengganti perannya dari sistem pengumpulan dan diseminasi data yang selama ini sentralistik berdasarkan survei besar tetapi dengan penggunaan yang terbatas dalam perencanaan kabupaten, BPS perlu membuat penyesuaian besar dengan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) di tingkat kabupaten/kota, dimana terdapat kantor cabang BPS kabupaten/kota dan Mantri Statistik di tingkat kecamatan di seluruh Indonesia. Dengan melihat kebutuhan yang meningkat untuk kapasitas analisis data secara profesional di tingkat kabupaten dibawah skenario kebijakan otonomi, BPS juga perlu segera mengembangkan pendekatanpendekatan baru dalam memberdayakan staf BPS di tingkat kabupaten/kota. Merujuk pada pertimbangan-pertimbangan tersebut, BPS telah memutuskan untuk memfasilitasi kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Sumba Timur dan GTZ di Indonesia Timur (PRODA-NT) untuk mengevaluasi pilihan yang ada untuk pembuatan sistim monitoring kemiskinan yang bersifat lokal di Kabupaten Sumba Timur, mencakup dimensi ekonomi dan dimensi yang berhubungan dengan sosial, budaya, dan ekologi. Pada tahap awal, BPS melaksanakan telaah cepat sebagaimana dilaporkan disini. Aktifitas ini dilakukan dengan mengirimkan dua staf senior yang diharapkan dapat menggabungkan pandangan professional mereka sebagai ahli sosiologi dan ekonomi. Aktifitas ini dilakukan selama 10 hari kunjungan di Kabupaten Sumba Timur, yang bertujuan untuk mengetahui “Peluang, Perspektif dan Harapan, diantara partner-partner PRODA-NT dalam hal Pemantauan Kemiskinan -Sumba.” 3 B. Tujuan, metodologi, dan ruang lingkup laporan 1. Tujuan Tujuan dari telaah cepat ini adalah: a. Untuk mengetahui perspektif, harapan, dan keahlian dari pihak-pihak yang berbeda yang berpartisipasi dalam workshop-workshop “penanggulangan kemiskinan di Sumba Timur” terhadap pengertian dan pengetahuan dimensi-dimensi kemiskinan, pendekatan yang diinginkan untuk mengevaluasi kemiskinan, dan kebutuhan yang dirasakan dalam upaya-upaya monitoring. Pihak-pihak tersebut mencakup: • • • • Instansi-instansi pemerintah lokal Organisasi-organisasi non-pemerintah Institusi perguruan tinggi lokal/peneliti PNT/PRODA/SISKES-GTZ dan donor-donor lainnya yang berkaitan dengan proyek-proyek terkait kemiskinan di Sumba Timur; b. Untuk mengetahui kualitas dari laporan-laporan dan studi-studi yang ada, bersama kapasitas metodologi dari perguruan tinggi lokal yang ada dalam bidang telaah cepat tentang issu sosial budaya yang berhubungan dengan kemiskinan; c. Untuk memberi masukan kepada partner-partner kerja PRODA-NT dan PRODA-NT dalam pengembangan strategi menyangkut pembentukan secara partisipatori sistim monitoring kemiskinan yang -kabupaten dan sesuai untuk Sumba Timur. Hal ini diperlukan dalam penyiapan masukan untuk strategi pengentasan kemiskinan yang berdasarkan informasi, issuissu metodologi menyangkut monitoring kemiskinan yang kabupaten, dan penyiapan kegiatan workshop bersama yang efektif. 2. Metodologi Informasi dikumpulkan melalui observasi dan wawancara yang dilakukan dalam pertemuan dan diskusi dengan pihak-pihak yang terlibat politik penanggulangan kemiskinan, pengukuran, dan aktifitas-aktifitas penanggulangan kemiskinan. Pihak-pihak yang diwawancarai adalah Bupati Sumba Timur, Kepala Dinas/Kantor/Badan pemerintahan terkait, dan beberapa pimpinan lembaga nonpemerintah termasuk LSM (Lihat Lampiran 1). Disamping itu, juga dipelajari laporan-laporan penelitian, laporan dan statistik sektoral, serta dokumen lainnya yang relevan. Juga dilakukan kunjungan lapangan ke dua desa pemukiman dengan daerah yang sosio-ekologisnya berbeda, dimana wawancara dilakukan dengan laki-laki dan perempuan desa, termasuk kepala desa. Presentase hasil 4 sementara dan rekomendasi kepada berbagai pihak, yaitu pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Bupati dan Wakil Bupati, Pimpinan Dinas/Kantor/Badan pemerintahan terkait, pimpinan organisasi non-pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi setempat, dan masyarakat madani juga dilakukan (Lihat Lampiran 2) pada akhir assesmen. Reaksi terhadap presentasi ini menjadi masukan terhadap interpretasi akhir dari situasi di Sumba Timur dan kesimpulan-kesimpulan yang dipresentasikan dalam laporan ini. 3. Ruang lingkup laporan Laporan ini dimaksudkan untuk mengkomunikasikan hasil telaah cepat berikut rekomendasi terhadap pemerintah Indonesia, pimpinan BPS khususnya, dan stakeholder lokal yang tertarik dengan pengelolaan informasi yang berhubungan dengan kemiskinan di Kabupaten Sumba Timur. Laporan ini difokuskan pada implikasi teknis dari temuan-temuan dan implikasinya pada kerjasama antara pusat dan daerah. II. ALASAN APA YANG MENDASARI PENGGUNAAN PENGUKURAN KEMISKINAN NASIONAL DALAM KONTEKS SUMBA TIMUR ? Dari data kemiskinan di Kabupaten Sumba diketahui ada dua data kemiskinan yang sangat berbeda, yaitu persentase jumlah penduduk miskin oleh BPS (disebut data makro karena merupakan hasil estimasi dari sampel SUSENAS) dan persentase keluarga “prasejahtera” dan “sejahtera I” hasil pendataan keluarga oleh BKKBN (disebut data mikro karena hasil pendataan secara lengkap). Disatu pihak, berdasarkan data mikro BKKBN Kabupaten Sumba Timur pada tahun 1999 diketahui bahwa sebagian besar keluarga Sumba Timur, yaitu 84,3 persen, berstatus “prasejahtera” dan “sejahtera I”. Kedua status ini adalah dua status keluarga dengan kesejahteraan terendah atau keluarga miskin dari lima tahapan status kesejahteraan keluarga. Data keluarga-keluarga miskin ini digunakan sebagai target program untuk penyaluran berbagai program pengentasan kemiskinan dan Jaring Pengaman Sosial (JPS). Dilain pihak, berdasarkan data makro BPS Kabupaten Sumba Timur dari hasil SUSENAS pada tahun yang sama, tahun 1999, diketahui persentase penduduk miskin yang jauh lebih rendah, yaitu sebesar 27,2 % (BPS Sumba Timur, 2001a). Data makro ini biasanya digunakan sebagai dasar untuk pengalokasian berbagai dana bantuan untuk pengentasan kemiskinan. 5 Dengan dua data yang sangat berbeda ini, sudah barang tentu cukup menyulitkan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pengentasan kemiskinan, dan bahkan bisa menimbulkan kebijakan salah arah serta konflik di masyarakat. Disatu pihak, dengan jumlah penduduk miskin yang kecil dari BPS bisa mengakibatkan alokasi bantuan yang lebih kecil untuk pengentasan kemiskinan di Kabupaten Sumba Timur, tetapi dilain pihak angka kemiskinan mikro dari BKKBN dapat menimbulkan konflik dalam penyaluran program bantuan kemiskinan dan JPS karena jumlah keluarga miskin di Kabupaten Sumba Timur sangat besar. Secara metodologi, ada perbedaan mendasar antara ukuran kemiskinan makro dan kuantitatif yang dibuat oleh BPS untuk tingkat nasional, propinsi, dan kabupaten, dengan ukuran kemiskinan mikro dan kualitatif yang dibuat oleh BKKBN sampai pada tingkat desa. Tetapi berdasarkan penggunaannya, keduanya didesain secara terpusat dan menggunakan konsep yang seragam untuk seluruh wilayah di Indonesia. Pendekatan BPS dalam pengukuran kemiskinan memang telah mengikuti ketentuan-ketentuan pengukuran kemiskinan yang dilakukan secara luas di dunia lain, tetapi hanya berdasarkan pendekatan ekonomi modern, yaitu konsep daya beli melalui pengeluaran/konsumsi rumahtangga dalam rupiah, yang tidak sepenuhnya demikian untuk daerah kabupaten. Disamping itu, penghitungan kemiskinan yang dilakukan setiap 3 tahun sekali melalui SUSENAS modul konsumsi, hanya dimaksudkan untuk menghasilkan jumlah penduduk miskin aggregat pada tingkat nasional dan propinsi. BPS melalui SUSENAS kor, dengan sampel yang lebih besar (biasanya mencakup 600 rumahtangga per kabupaten/kota), memang telah berusaha melakukan penghitungan penduduk miskin kabupaten/kota, tetapi masih dalam konstruksi garis kemiskinan kabupaten yang dikaitkan dengan pola konsumsi penduduk miskin propinsi yang didasarkan pada subsample SUSENAS yang lebih kecil (modul konsumsi) yang hanya mewakili tingkat propinsi. Budaya lokal dan faktor-faktor non-ekonomi lainnya hanya secara tidak langsung dalam pendekatan ini melalui asi dalam preferensi konsumsi yang diaggregasi untuk tingkat propinsi. Pendekatan BKKBN dalam pengukuran kemiskinan didasarkan pada kriteria keluarga yang dibuat dalam 5 (lima) tahapan, yaitu “keluarga prasejahtera”, “ keluarga sejahtera tahap I”, “keluarga sejahtera tahap II”, “keluarga sejahtera tahap III”, dan “keluarga sejahtera tahap III plus”. Keluarga miskin adalah keluarga-keluarga yang pada pendataan keluarga secara lengkap (sensus) adalah “keluarga prasejahtera” dan “keluarga sejahtera tahap I”. Keluarga sejahtera tahap I adalah keluarga yang memenuhi lima indikator berikut: a. anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai agama yang dianut masing-masing; 6 b. c. d. e. seluruh anggota keluarga pada umumnya makan dua kali sehari atau lebih; seluruh anggota keluarga mempunyai pakaian yang berbeda dirumah, sekolah, bekerja, dan bepergian; bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah; dan bila anak sakit atau pasangan usia subur (PUS) ingin mengikuti keluarga berencana (KB) pergi ke sarana/petugas kesehatan serta diberi cara KB modern. Selanjutnya “keluarga prasejahtera” adalah keluarga yang tidak memenuhi salah satu kriteria tersebut. Konsep “keluarga prasejahtera” dan “keluarga sejahtera tahap I” tersebut sifatnya normatif dan lebih sesuai dengan keluarga kecil atau keluarga inti (nuclear family). Untuk kondisi budaya Sumba Timur, sebagian besar kriteria tersebut terlalu normatif dan kurang realistik. Sebagai contoh misalnya, sebagian besar keluarga Sumba Timur adalah keluarga besar, dan ada kalanya didalamnya terdapat stratifikasi anggota rumahtangga, dari yang berstatus Maramba, Kabihu, dan Ata. Pada kriteria diatas, bisa saja seorang yang berstatus Maramba atau Kabihu, mempunyai pakaian yang berbeda-beda dirumah, sekolah, bekerja, dan bepergian, tetapi tidak demikian hal nya untuk anggota keluarga yang berstatus Ata. Juga mengenai anak sakit, pada umumnya masyarakat Sumba mempunyai kebiasaan untuk membawanya terlebih dahulu ke dukun, bukan karena alasan biaya tetapi karena dukun masih dianggap sebagai penolong kesehatan yang baik dan bisa diharapkan setiap saat, sedangkan petugas kesehatan biasanya cukup jauh dari tempat tinggal. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau banyak keluarga yang tergolong kategori “keluarga prasejahtera” bahkan tidak dapat memenuhi kategori “keluarga sejahtera tahap I”. Berdasarkan pengamatan diatas dapat dikatakan bahwa kedua pengukuran tersebut tidak merefleksikan hubungan sosial dan budaya dan yang menyebabkan kemiskinan pada level atau dibawah level kabupaten/kota tidak tersedia di Indonesia. Oleh karena ukuran kemiskinan makro oleh BPS dan ukuran kemiskinan mikro oleh BKKBN tidak akurat untuk konteks Sumba Timur. 7 III. A. TANTANGAN YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM SISTEM INFORMASI DAN MONITORING YANG SAYANG BUDAYA TERHADAP KESEJAHTERAAN YANG -DAERAH Interpretasi model ekonomi politik masyarakat Sumba Timur Tidak seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, kehidupan sehari-hari di Sumba Timur, khususnya di daerah pedesaan pada umumnya masih mengikuti tradisi lama dan upacara-upacara kebudayaan yang bersifat “megalitik” yang sudah lama ditinggalkan di daerah lain di Indonesia. Lokasi yang terpencil dan relatif terbatasnya sumber daya alam dengan perilaku yang suka berperang dari penghuni pulau yang penuh dengan bukit-bukit ini telah menghambat kekuatan asing seperti kerajaan besar Majapahit, VOC Belanda, dan juga gereja-gereja untuk membuat usaha yang serius dan terus-menerus mempengaruhi kehidupan sosial, budaya, dan organisasi politik yang diinginkan oleh para penghuni pulau ini. Hanya regim orde baru pemerintah Indonesia yang secara efektif dapat melakukan penetrasi terhadap cara hidup masyarakat Sumba Timur melalui penerapan aturan administrasi dan politik yang membentuk kehidupan komunal dari masyarakat Indonesia jaman sekarang. Bersamaan dengan proses integrasi yang berkelanjutan terhadap sistim politik ekonomi yang lebih besar, ditambah dengan pembangunan jalan dan jembatan, pengenalan transportasi umum, penyediaan sarana pendidikan dasar dan pelayanan-pelayanan umum lainnya, pembangunan fasilitas komunikasi, serta penyuluhan pertanian dan pelayanan keuangan, telah membuat Sumba Timur sekarang ini menjadi bagian integral dari Indonesia yang modern seperti halnya kabupaten lainnya. Kenapa kemudian, pulau ini mencoba menarik perhatian para turis yang ingin mencari bagian dari dunia dimana orang-orang masih hidup menurut kebiasaan lama yang sudah berkurang, yang primordial dan masih melakukan praktekpraktek yang berbahaya dan buas, seperti acara-acara penguburan yang dihubungkan dengan penyembelihan binatang secara keji masih dapat dilihat ? Kenapa sebagian besar penduduk kawin pada usia muda ? (BPS Sumba Timur, 2001b), Kenapa poligami masih merupakan sesuatu yang diinginkan, baik oleh perempuan maupun laki-laki ? Kenapa kekayaan rumahtangga/keluarga lebih banyak dikeluarkan untuk perkawinan dan penguburan (menghormati yang sudah mati) daripada mecegah kematian seorang ibu dan anak ? Kenapa pendidikan dilihat sebagai sesuatu yang lebih baik dihindari daripada diperoleh ? Kenapa pengakuan hak atas penikahan dibatasi untuk sebagian besar penduduk dengan perlunya persetujuan lingkungan sosial dan ekonomi ? Kenapa, dilain pihak, perkawinan terselubung antara remaja dan orang dewasa (Hoskins, 2001) tidak mendapat tekanan dan sangsi seperti halnya masyarakat yang sama di Indonesia ? Kenapa kehamilan dan kelahiran anak diluar 8 perkawinan kelihatannya hampir tidak mempengaruhi nilai tukar (dalam hal mahar pengantin) dari seorang perempuan ? Kenapa ada manusia yang masih dapat menjadi bagian daripada mahar yang ditentukan melalui persetujuan pertukaran yang mengatur perkawinan formal ? Kenapa ada manusia yang masih dapat dipertukarkan dengan ternak ? Apa yang membuat sebagian besar masyarakat menolak perubahan di dalam pola yang begitu bertahan ? Organisasi sosial produksi di Sumba Timur Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan diatas hanya bisa didapatkan jika kita memperhatikan secara komprehensif dan sistemik keseluruhan organisasi ekonomi politik dari kehidupan di Sumba Timur. Sama seperti banyak masyarakat lokal lainnya di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTT, Irian Jaya, dan bahkan daerah-daerah di Jawa Barat, pertanian berpindah-pindah atau pertanian dengan cara tebas-bakar telah menghasilkan makanan pokok yang di produksi dan konsumsi keluarga-keluarga Sumba Timur. Jagung dan ketela pohon adalah tanaman untuk kebutuhan hidup. Penanaman padi sawah sangat terbatas akibat kondisi topografis dan kurangnya curah hujan. Sebagian besar keluarga membeli beras hanya untuk konsumsi pada saat kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan upacara-upacara adat atau saat kedatangan tamu. Kegiatan pemeliharaan ternak kecil, yang diintegrasikan dengan kegiatan pertanian keluarga, seperti: pemeliharaan kambing, babi dan ayam, adalah pekerjaan perempuan. Ternak kecil ini merupakan sumber protein hewani bagi keluarga, dan yang lebih penting lagi dapat menjadi sejenis tabungan kecil, yang sewaktu-waktu dapat dijual untuk keperluan komoditi rumahtangga, seperti: teh, garam, gula, dan sirih pinang yang diperlukan untuk menjamu tamu dan untuk dibawa ketika mengunjungi rumahtangga lain. Dilain pihak, pemeliharaan ternak besar, seperti: kuda dan kerbau adalah pekerjaan laki-laki dan dengan maksud untuk mendapatkan “cadangan alat pertukaran” yang digunakan dalam transaksi-transaksi pengantin perempuan dan mahar dalam perkawinan formal, serta korban dalam acara kematian. Sapi jantan dibesarkan dan digemukkan untuk mendapatkan uang yang lebih besar, yang digunakan untuk pembelian keperluan-keperluan rumahtangga, perabotan, atau biaya sekolah. Kebutuhan tenaga kerja yang melebihi jumlah anggota keluarga, dipenuhi dengan mekanisme timbal balik dari gotong royong yang biasanya tidak diikuti pembayaran uang atau natura. Keperluan tenaga kerja untuk padi sawah dipenuhi melalui tenaga kerja tidak dibayar atau tenaga kerja yang dikuasai oleh keluarga besar yang kaya. Tambahan tenaga kerja juga dapat diperoleh melalui bagi hasil dengan keluarga-keluarga tetangga. Tenaga kerja yang dikuasai tersebut juga digunakan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan keluarga, seperti pertanian untuk penyambung hidup, usaha ternak kecil, dan tugas-tugas perempuan dalam rumahtangga. 9 Pada waktu-waktu diluar puncak kegiatan padat kerja, pembuatan kain tenunan ikat yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan seremonial, juga merupakan kegiatan penting lainnya yang memakan waktu. Selain digunakan untuk persiapan perkawinan formal, tenun ikat yang berwarna-warni dan mempunyai arti simbolis, belakangan ini juga sudah menjadi sumber pendapatan. Dengan peningkatan (dan penyederhanaan proses) produk tekstil, laki-laki telah mulai memasuki industri tekstil, yang biasanya hanya dikerjakan perempuan, khususnya pada rumahtangga-rumahtangga kaya, walaupun proses tertentu (seperti mencelup khususnya) masih dikerjakan perempuan karena tabu bagi laki-laki. Berbeda dengan konsumsi barang-barang yang biasanya dibeli di pasar mingguan yang semi-permanen, tidak ada pasar formal untuk penjualan ternak. Transaksi ternak biasanya dilakukan berdasarkan proses tawar-menawar yang diatur seperti dalam budaya, melalui pertukaran untuk pengantin perempuan dan mahar yang sudah diatur, atau melalui individu kepada agen pedagang besar ternak atau pemilik modal besar dari kota, yang pada umumnya adalah etnik Tionghoa. Secara keseluruhan volume produksi dan pertukaran ternak telah meningkat pesat selama beberapa tahun tarakhir ini karena adanya komisi ternak yang dikomersilkan diantara pemilik-pemilik kecil oleh pedagang-pedagang besar seperti disebutkan diatas yang mulai pada tahun 80-an. Dari 10 (sepuluh) ternak yang dibesarkan secara berhasil, pemilik kecil biasanya memperoleh 3 (tiga) ekor ternak sebagai bagian dari tenaga yang diinvestasikan. Dalam pengaturan ini tidak ada transaksi uang. Salah satu yang menarik dalam kerjasama ini adalah: risiko hilang sepenuhnya ditanggung oleh pemilik kecil. Ini berarti bahwa bagian terbesar dari ternak besar tidak dimiliki penduduk setempat lagi. Mereka yang pada awalnya adalah pemilik ternak besar telah menjadi manajer-manajer yang mengorganisir input tenaga kerja murah dalam industri yang cukup menguntungkan pemilik modal besar dari kota ini, yang diperkirakan oleh penulis dapat mencapai untung diatas 40 persen. Secara kebetulan, daging ternak yang dihasilkan oleh tenaga kerja dewasa dan anak yang dikuasai ini juga dikonsumsi oleh sebagian orang cukup mampu di Pulau Jawa, seperti di kota Surabaya dan Jakarta. Organisasi sosial untuk partisipasi politik di Sumba Timur Unit organisasi kekuatan politik yang paling awal dalam masyarakat Sumba Timur adalah Paraingu, yang merupakan tempat pemukiman yang terorganisir menurut garis keturunan. Didirikan oleh nenek moyang pada masa lalu, sebuah paraingu dapat mencakup luas sekitar 50 km persegi dan tanah dalam area ini merupakan property dari keturunan pendiri, yang dikelola berdasarkan jaringan 10 keturunan, atau klan yang disebut kabihu. Dengan tidak adanya data statistik, karena orientasi pengumpulan data berdasarkan kategori administrative yang modern “desa atau kecamatan” , diperkirakan ada sebanyak 50 atau lebih paraingu di Kabupaten Sumba Timur. Sebagai unit pemukiman, paraingu lebih besar dari desa. Rata-rata satu paraingu terdiri tiga desa atau lebih. Total jumlah desa di Sumba Timur sekarang ini adalah 139 desa (Pemerintah Sumba Timur, 2001). Di masa lalu, sebagai pemukiman yang ideal, paraingu merupakan pusat berbagai kegiatan adat istiadat sebagaimana diatur dalam pedoman adat, yang disebut “nuku-hara huri-pangerangu”. Pedoman adat ini mengatur segala spek penting kehidupan masyarakat yang mencakup perkawinan, kematian, perumahan, dan pertanian. Aturan ini secara terus menerus disampaikan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pengetahuan secara tepat dari aturan ini biasanya dijalankan kekuatan oligopoly dari empat orang laki-laki, seperti dapat dilihat pada Gambar 1 berikut: Gambar 1: Pola kepemimpinan paraingu di Sumba Timur Uma (pusat komunitas dan acara keagamaan) Lokasi dari: Legitimasi spritual; Marapu (identitas korporasi) (Kantor pusat korporasi) Penentuan konsensus Oligopoli laki-laki; Ratu (Hubungan masyarakat) Ina Ama (Pimpinan Eksekutif), (manajemen eksekutif) Liki Uru, Makaborangu (Admin.) Menentukan aturan: •Adat perkawinan, •Tata cara penguburan, •Perumahan, •Pertanian, dan yang berhubungan dengan kewajiban spritual (Keamanan) Nuku-hara huri-pangerangu (pedoman adat) Laki-laki dewasa anggota kabihu (pemegang saham dan manejer tenaga kerja) Wanita dewasa anggota kabihu (tenaga kerja di rumah) Anak-anak Kabihu (cadangan tenaga kerja) Laki-laki, Wanita, Anak-anak hamba sahaya (tenaga kerja terikat) 11 Konfirmasi dan eksekusi dari aturan/hukum teristimewa buat laki-laki; Menunggu, Menerima, dan melaksanakan instruksi Dalam paraingu terdapat satu atau lebih kelompok kabihu (marga/klan), yang masing-masing mempunyai hubungan kekuasaan dikalangan tokoh-tokoh adat di lingkungannya. Kekuasaan di tingkat paraingu dipegang pemangku adat yang terdiri dari Ratu sebagai pemimpin dalam pemujaan terhadap roh-roh para leluhur, Ina Ama sebagai pemimpin eksekutif yang memimpin penyelenggaraan pemerintahan, Liku Uru sebagai pengatur kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat, dan Makaborangu sebagai panglima perang yang memimpin dan mengatur pertahanan terhadap musuh dari luar. Keempat pimpinan pemegang kekuasaan ini berinteraksi dalam rapat-rapat, dimana keputusankeputusan ditetapkan secara konsensus. Konsensus ini selanjutnya disampaikan kepada warga paraingu untuk dilaksanakan. Kekuasaan dalam paraingu terlihat seperti dalam manajemen perusahaan modern, dengan pimpinan eksekutif dan pimpinan-pimpinan divisi fungsional menurut keahlian (terdiri dari divisi hubungan masyarakat dan budaya organisasi, divisi administrasi/personalia , dan divisi keamanan). Kantor pusat usaha dalam hal ini disebut uma, rumah tradisional yang besar, yang dibangun dan dirawat dibawah pengaturan tenaga kerja tidak dibayar yang mencakup ratusan pekerja, dan perempuan secara volunteer menyiapkan makanan. Sebagaimana didalam perusahaan-perusahaan pada umumnya, keputusan Bisnis dibuat dan diimplementasikan secara top-down dengan sedikit dan bahkan tidak ada partisipasi staf. Lebih lanjut, kekuasaan komite eksekutif paraingu jauh lebih besar, yaitu merupakan kombinasi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan judikatif. Dalam standar modern dan prinsip-prinsip yang diatur dalam konstitusi Indonesia, hal ini tidak dapat dikatakan sebagai bentuk organisasi yang demokratis. Dalam hal efektifitas organisasi produksi, sistem paraingu kelihatannya sesuai persyaratan manajemen tenaga kerja dengan sistem pertanian lokal yang sifatnya hanya untuk kebutuhan hidup dan sistem peternakan yang luas. Pertanian yang berpindah-pindah secara khusus perlu untuk daerah yang luas agar interaksi yang berkelanjutan dengan ekosistem dapat dijaga. Seseorang mungkin ingin tahu apakah tanda-tanda yang terlihat dari degradasi tanah dan erosi yang ada sekarang ini merupakan akibat dari diperlemahnya organisasi politik produksi yang asli melalui pengenalan struktur desa-kecamatan yang seragam, yang tidak melekat (Polanyi, 1944) dengan peran pimpinan politik dalam fungsi-fungsi manajemen ekonomi. Sejalan (mungkin juga berhubungan) dengan proses ini, peningkatan populasi ternak melalui intervensi komersial dengan skala besar dari para pedagang-pedagang besar dari kota yang terjadi sekarang ini mungkin juga mempunyai kontribusi terhadap degradasi tanah. Ketika sampai sekarang tanah masih terus menjadi milik klan (kabihu) dalam satu paraingu, ternak dapat dimiliki oleh keluarga-keluarga dan individu (lakilaki). Hal ini telah memperbolehkan perkembangan perbedaan kekayaan yang 12 substansial diantara rumahtangga-rumahtangga atau antar rumahtanggarumahtangga dalam paraingu serta diantara seluruh keturunan dari nenek moyang (laki-laki) yang sama. Kehidupan sosial di Sumba Timur sekarang ini dapat dikelompokkan dengan jelas. Sebagian kecil kelas bangsawan (maramba) mengontrol penggunaan tanah, pemilikan ternak, organisasi tenaga kerja, dan mendominasi Ratu, Ina Ama, Liki Uru, dan Makaborangu, serta keseimbangan anggota klan laki-laki dan perempuan dalam hal ini orang merdeka (kabihu). Diperkirakan (berdasarkan perkiraan Hoskins, 2002-karena statistik tidak tersedia) lebih dari setengah dari penduduk tidak mempunyai hubungan kekeluargaan dengan klan. Mereka adalah turunan dari budak-budak, yang menjadi tawanan pada waktu berperang dengan paraingu yang lain (Ragu dan Djami, 1997). Turunan dari budak-budak ini dikatakan sebagai ata, yang hidup dan dimiliki oleh keluarga-keluarga tertentu dan klan dari generasi ke generasi. Pemilikan ata dapat ditransfer antara klan sebagai “pemberian orang” melalui pengaturan perkawinan formal (Hoskins, 2001) atau melalui pertukaran dengan ternak, apabila diperlukan tambahan tenaga kerja. Satu-satunya cara untuk keluar dari keterikatan sebagai ata adalah melalui pembayaran kembali sejumlah ternak yang disepakati kepada keluarga maramba. Ata yang melarikan diri biasanya dikembalikan oleh polisi kepada pemiliknya. Perempuan ata dapat keluar dari keterikatannya melalui perkawinan dengan orang-orang merdeka (anggota klan laki-laki atau orang asing) dengan pertukaran ternak yang harus dibayar kepada pemilik perempuan ata. Laki-laki merdeka yang tidak mempunyai ternak untuk membebaskan perempuan ata dapat menjadi ata dari klan pemilik perempuan ata sebagai pertukaran terhadap hak untuk mengawini perempuan ata. Sepanjang seorang ata terikat dengan klan tertentu, maka pada umumnya dia tidak mempunyai hak atas asset kecuali pakaian, makanan, atau pelayanan kesehatan darurat yang diberikan oleh keluarga maramba. Sampai sekarang, kelanjutan dari produksi pertanian padat karya di Sumba Timur masih tergantung pada tenaga kerja terikat ata. Organisasi sosial keagamaan di Sumba Timur Meskipun uma adalah pusat kehidupan politik dan pengambilan keputusan ekonomi, kelompok-kelompok masyarakat dari uma yang berbeda mempertahankan uma dalam unit pemukiman paraingu tertentu sebagai pusat spritual, dimana semua acara-acara ritual penting diadakan, dan tempat arwah para leluhur berdiam. Arwah para leluhur (Marapu) dipercaya sebagai media antara manusia dan alkhalik dalam menyampaikan segala perasaan dan permintaan saat melakukan doa, serta sebagai penjaga pintu antara keturunan mereka dengan akhirat. Dalam menyampaikan permohonan kepada arwah para leluhur, para kabihu harus ikut dalam kebaktian dengan membawa persembahan berupa sirih pinang, keratan mas-perak, beras dan korban hewan. Korban hewan 13 dilakukan sebagai kewajiban pada seluruh tahapan kehidupan individu, mulai dari kehamilan, kelahiran, pernikahan, kematian dan penguburan. Penguburan dan perkawinan merupakan tahapan kehidupan yang sangat penting, yang mengharuskan korban ternak yang banyak. Sanksi agama yang berhubungan dengan kedua tahapan kehidupan ini sangat berat, misalnya: seseorang yang tidak mempunyai anak dipandang tidak dapat meneruskan pemujaan kepada Marapu dan oleh karenanya tidak diberikan hak untuk memasuki kehidupan di akhirat sebagaimana mestinya; dan kalau tidak menghormati status dari orang yang sudah meninggal akan dihukum melalui bencana alam, banjir, kekeringan, hama, dan penyakit yang dapat mempengaruhi seluruh komunitas kabihu/paraingu. Sebagaimana di daerah lain di Indonesia dan di banyak negara lainnya, norma sosial yang kuat secara terus menerus dalam adat perkawinan dan hak-hak penguburan mempunyai banyak implikasi penting dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi di Sumba Timur. Secara bersama-sama kedua kebiasaan sosial ini menjadi kekuatan pendorong dari ekonomi barter, yang secara bersamaan terjadi dalam pertukaran ternak diantara keturunan klan dari nenek moyang yang berbeda. Gambar 2 berikut menunjukkan model sederhana dari hubungan pertukaran antara dua unit pemukiman paraingu: Gambar 2: Hubungan Pertukaran antar Paraingu pencurian/ perang Ternak kecil/ Tenun ikat Ternak besar/ Muti salak Pengantin/hamba Peternakan kabihu uma Paraingu A beras & Peternakan uma kabihu Acara penguburan = Pemberian ternak/ hamba Paraingu B Ternak besar/ Muti salak beras & Ternak kecil/ Tenun ikat pencurian/ perang pertanian berpindah pertanian berpindah 14 pengantin/hamba Dalam pekawinan dengan seorang perempuan yang mempunyai potensi reproduksi (mencakup seorang anak perempuan atau ibu yang belum kawin), kepada klan pengantin perempuan akan diberikan sejumlah ternak besar (kerbau atau kuda), sesuai negosiasi, ditambah kalung emas berbentuk mirip rahim wanita (muti salak). Sebagai balasannya, pengantin perempuan -ketika memasuki paraingu laki-laki dan menjadi anggota kabihu pengantin laki-lakimembawa bersamanya sejumlah ternak kecil (babi dan ayam) dan tenun ikat. Jika berasal dari keluarga/kabihu kaya, pengantin perempuan juga membawa bersamanya sejumlah ata yang harus disesuaikan dengan jumlah ata yang ditentukan untuk rumahtangga baru oleh kabihu penerima pengantin perempuan. Acara-acara dan keharusan dalam penguburan juga dihubungkan dalam mekanisme yang sama dari pertukaran ternak antara paraingu/kabihu. Pada akhirnya, jumlah ternak yang diterima oleh satu kabihu akan mengakibatkan peningkatan status sosial dari keluarga yang berduka dan perhatian terhadap seluruh garis keturunannya. Dalam perkawinan dan penguburan, satu keluarga yang tidak dapat memenuhi keharusan pertukaran dapat saja mengharapkan bantuan dari jaringan keluarga (dari garis keturunan ayah) yang lebih luas. Dilain pihak, suatu rumahtangga akan selalu merespon permintaan dari saudara lainnya. Akibatnya, semua anggota kabihu dewasa dan keluarga terkesan saling berhutang secara terus menerus satu sama lain. Dalam jaringan paraingu/kabihu yang sangat besar di Sumba Timur, pertukaran yang dilakukan secara terus menerus diantara semua unit pemukiman sudah seharusnya menghasilkan distribusi yang sama, baik dalam pemilikan ternak dan nilai pemilikan lainnya . Hal ini tentunya penting untuk menjaga stabilitas sistem sosial ekonomi secara keseluruhan, serta mengurangi keinginan untuk mencuri dan berperang. Tetapi, dengan tidak tersedianya statistik yang dapat menunjukkan volume dan nilai pertukaran tersebut, pernyataan ini belum dapat dibuktikan. Organisasi sosial reproduksi di Sumba Timur Sebagaimana di daerah lain, keluarga di Sumba Timur merupakan unit penting dalam kelanjutan keturunan. Namun demikian, keluarga di Sumba Timur ditekankan pada budaya yang “saling berhutang secara terus menerus” terhadap unit produksi dan konsumsi yang lebih besar, seperti kabihu dan paraingu. Dalam ekonomi yang padat karya dengan pertanian berpindah-pindah dan peternakan, tentunya akan menghadapi keterbatasan tenaga kerja produktif. Hal inilah kelihatannya yang menjadi alasan utama masyarakat Sumba Timur untuk mempertahankan keluarga besar, dimana tekanan sosial budaya cenderung menghambat pelarian awal dari tenaga kerja muda menjadi rumahtangga rumahtangga individu yang terpisah. Kondisi historis ini juga merupakan basis untuk menggunakan tenaga kerja terikat/ata. Tekanan untuk membantu secara produktif terhadap kebutuhan konsumsi dari jaringan keluarga yang lebih luas 15 juga terjadi pada anak-anak dan remaja yang menyumbangkan tenaga mereka secepat mungkin, serta masuk dalam perkawinan muda untuk meperoleh tenaga kerja tambahan. Perempuan usia reproduksi diharapkan menyeimbangkan tenaganya terutama dalam pekerjaan-pekerjaan di rumah dan pekerjaanpekerjaan utama lainnya diluar rumah, seperti memelihara babi dan ayam. Pada waktu yang sama, perempuan usia reproduksi diharapkan untuk melahirkan walaupun diluar perkawinan (tanpa ada sangsi) sebagai akibat tekanan agama yang kuat (melanjutkan keturunan leluhurnya). Ini membuat perempuan dan anak-anak pada risiko tinggi. Tingkat kematian bayi diantara kedua kelompok ini kelihatannya cukup tinggi. Namun demikian, tidak ada data yang tersedia untuk hal ini. Ata dari keluarga besar ada dalam risiko ganda. Sebagai tenaga kerja terikat tidak dibayar, laki-laki, perempuan, dan anak-anak ata sangat tergantung pada perhatian dan bantuan tuannya, apabila mereka memerlukan bantuan pengobatan atau ingin mendapatkan pendidikan dan pekerjaan umum diluar pertanian subsisten. Ata perempuan bisa diperlakukan secara tidak senonoh oleh anggota keluarga laki-laki, dan hasil dari hubungan tersebut menambah cadangan pekerja anak. Status legal dari anak yang lahir diluar perkawinan diakui di Indonesia, tetapi mereka menghadapi kesulitan untuk mendapatkan pengakuan legal tersebut. Gambar 3 : Model Keluarga Besar di Sumba Timur Mayat/ roh Maramba Lansia / Dewasa Hubungan Darah -Ibu (Pemberi Pengantin Perempuan) K a b i h u Wanita Usia Subur Anak / cucu A t a Dewasa Wanita Usia Subur Anak-anak 16 Hubungan Darah -Ayah (Penerima Pengantin Perempuan) Persepsi kemiskinan dan ketidakadilan di Sumba Timur Struktur feodal yang primordial, yang diteruskan melalui pemilikan ata ke rajaraja yang sangat kuat adalah merupakan topik yang sensitif dan mengakibatkan debat politik dan percakapan ideoologi diantara elit Sumba Timur sekarang ini. Salah satu alasan sensitifnya masalah ini adalah adanya fungsi ganda dari beberapa kelas maramba sebagai pengatur jaringan keluarga di satu pihak, dan sebagai birokrat modern dilain pihak. Karena pengetahuan yang konvensional atas komando terhadap tenaga kerja dan ternak sebagai dasar untuk memperoleh status dan kekuasaan yang tinggi, kelas maramba pada umumnya memperoleh secara alamiah kebanyakan posisi-posisi penting dalam pemerintah dan kehidupan masyarakat (termasuk gereja). Salah satu cara lain untuk mendapatkan hal ini adalah melalui akses ke pendidikan, yang masih sulit diperoleh sebagian besar penduduk, khususnya ata. Tetapi, walaupun turunan ata atau masyarakat biasa dapat memperoleh prestasi yang tinggi, mereka tidak akan didengar dalam arena politik di Sumba Timur. “Orang tidak peduli tentang apa yang didiskusikan, tetapi siapa yang bicara”, adalah opini orang-orang yang diinterview dalam telaah cepat ini. Oleh karena itu, dunia kehidupan masyarakat kelihatannya dikontrol secara ketat oleh maramba baru. Posisi penting dalam pemerintahan, legislatif, judikatif dan masyarakat madani, termasuk gereja diisi oleh bangsawan penghasil ternak dan pemilik ata. Kontrol ini (berdasarkan status yang diwarisi dan berasal secara tradisional) juga berlanjut ke seluruh kelompok masyarakat (termasuk kelompokkelompok petani, assosiasi kredit, KUD, dll) di Sumba Timur sekarang ini dan membuat kelas maramba modern untuk berpartisipasi dalam ekonomi moneter. Diluar kesadaran yang berkembang tentang situasi hak azasi yang disepakati diantara intelektual-intelektual lokal dari semua kelompok umur, anak mudaanak muda maramba, setelah mendapat pendidikan tinggi di Timor Barat, Bali, Jawa, atau bahkan di luar negeri, dan menemui hambatan terhadap posisi administratif, kelihatannya mulai menantang kekuatan ini. Pada saat yang sama, strategi pedagang besar yang meningkatkan ekonomi pertukaran ternak mungkin akan mulai meledak melaui partner bisnis mereka. Akses yang berlebihan dan penggunaan secara terus menerus ternak oleh maramba terkuat yang terpilih, mungkin menyumbang terhadap peningkatan ketidakmerataan antara sistem kabihu/paraingu. Ada tendensi bahwa tidak semua anggota maramba dan kabihu melihat diri mereka sebagai pemenang ekonomi lagi di Sumba Timur. Hal ini tentunya dapat berakibat kepada terjadinya tantangan yang tidak terpikirkan sebelumnya yang dihadapi pemimpin kekuasaan megalithics, sejalan dengan kehadiran masyarakat madani yang benar-benar baru. Untuk lebih jelasnya, hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 4 berikut: 17 Gambar 4: Transformasi input modal eksternal di Sumba Timur Orang Kaya Baru & Ketimpangan Pendapatan Gereja / Marapu Maramba Kekuasaan / Status Transfer: Uang/Pendidikan Benda/T. kerja Dominasi/ Prestise Donor, LSM, Gereja, Pemerintah Pusat. (Rp) (Rp) EkonomiBarter Adat Perkawinan Upacara Kematian Kondisi pertukaran Produksi ternak/tenun, Ikat tenun, Beras, Komoditi Dasar Pertanian subsistensi Pasar Pedagang Perantara, Domestik/ Ekspor, dan KUD (Rp) Tenaga kerja terikat laki-laki, wanita, anak-anak, hamba dan Reproduksi terkontrol B. Konsep kemiskinan dan kesejahteraan serta pola pemukiman yang sentralistik Setelah melihat secara mendalam proses sosial, politik, ekonomi, dan konteks budaya yang mungkin mendorong kemiskinan dan ketidakmerataan pada tingkat komunitas dan pada tingkat keluarga di Sumba Timur, jelas terlihat bahawa strategi-strategi pengukuran yang dirancang secara sentralistik sekarang ini tidak akan berhasil di daerah kabupaten seperti Sumba Timur dan mungkin juga di kabupaten lainnya di Indonesia. Indikator-indikator BKKBN yang mengobservasi karakteristik sosial ekonomi, seperti frekwensi makan anggota keluarga dalam sehari, pemilikan pakaian yang berbeda-beda tersedia untuk individu dalam setiap kegiatan yang berbeda (dirumah, bekerja, sekolah, dan bepergian), kondisi lantai rumah (tanah, kayu, semen), perilaku keluarga dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan, dan bahkan perilaku anggota keluarga melaksanakan aktifitas keagamaan sebagai prekondisi dari keinginan untuk memberikan harta seseorang untuk yang memerlukan semuanya didasarkan norma keluarga kecil (nuclear family) dan 18 sejahtera tanpa memperhatikan tekanan untuk saling membantu diantara jaringan keturunan dan tetangga. Di Sumba Timur, rata-rata tingkat kesejahteraan dari keluarga besar tidak menjelaskan adanya penekanan dan penderitaan perempuan, anak-anak, dan populasi ata. Karena perbedaan kelas tidak terlihat dalam keluarga/rumahtangga, klasifikasi BKKBN tidak menghasilkan kebenaran tentang ketidakadilan. Sensus Potensi Desa (PODES) yang dilakukan BPS sekitar tiga tahun sekali juga sama-sama didasari pemikiran yang normatif. Dengan mengasumsikan pola administrasi yang seragam di seluruh Indonesia, angka-angka dan informasi yang dihasilkan dari PODES tidak akan berguna bagi para pengambil keputusan yang benar-benar ada di paraingu. Informasi tentang fasilitas yang melayani unit organisasi dalam kehidupan pedesaan ini, oleh karena itu tidak ada. Bahkan jumlah yang tepat tentang banyaknya paraingu, pola penggunaan tanah, akses ke pelayanan dan input pertanian, kredit, kesehatan dan pendidikan dasar tidak diketahui. C. Persepsi ekonomi tingkat kemiskinan keluarga/rumahtangga serta kurangnya perhatian terhadap bentuk dan struktur keluarga Dikembangkan dalam konteks pertukaran barang dan jasa dalam ekonomi pasar yang formal dan berdasarkan alat tukar uang, SUSENAS modul konsumsi digunakan untuk mengukur kemiskinan berdasarkan asumsi bahwa pola konsumsi dapat distandarkan secara nasional, dengan paket komoditi dasar yang seragam. Disamping itu, asumsi rumahtangga pada SUSENAS juga mengikuti model rumahtangga/keluarga inti (nuclear family) sebagai pengambil keputusan dalam transaksi ekonomi. (sama seperti konsep keluarga sejahtera BKKBN). Kedua hal ini tidak berlaku di Sumba Timur, karena tidak sensitif dengan transfer dalam bentuk benda diluar pasar formal, pertukaran-pertukaran diantara individu yang saling tergantung, keluarga inti dan keluarga yang lebih luas, hubungan keluarga secara individu dan kelompok keluarga yang cukup banyak. Namun demikian statistik kesejahteraan yang ada, yang tidak mencakup bagian kehidupan penting masyarakat ini, tidak merefleksikan realitas di Sumba Timur. Oleh karena itu, data yang dihasilkan dengan konsep yang tidak sesuai bisa menjadi statistik yang tidak benar, dan jika tetap dilaporkan akan diketahui dikemudian hari. 19 IV. A. PELUANG YANG PERLU DIPERTIMBANGKAN UNTUK MENGEMBANGKAN MONITORING PEMBANGUNAN SOSIAL-EKONOMI YANG SUMBA TIMUR Mengembangkan konsepsualisasi yang -daerah Langkah penting dalam peningkatan kebenaran ukuran-ukuran kemiskinan dan kesejahteraan harus diawali dengan mempelajari pendapat orang yang dimonitor tentang bagaimana mereka merefleksikan dunia mereka dalam perkataan mereka. Oleh karena itu, terminologi hubungan keluarga dan kategori emic lainnya yang relevan, yang biasa digunakan dalam menjelaskan hubungan sosial dan status sosial di Sumba Timur harus dimengerti dan digunakan dalam setiap survei yang berusaha mengukur perbedaan kesejahteraan di daerah, didalam dan diantara unit-unit sosial reproduksi, produksi, dan konsumsi yang berbeda. Unit yang lebih luas tersebut harus jelas didefinisikan dan mengidentifikasi prinsip-prinsip pertukaran berdasarkan keharusan yang saling membutuhkan diantara mereka. Pada saat yang sama, pola pemukiman yang berarti secara sosialdan -lokal, seperti paraingu harus lebih jelas diidentifikasi dan dimengerti. B. Perspeftif konteks tahapan hidup untuk kesejahteraan individu, sosial, ekonomi, dan budaya. Klasifikasi diatas akan secara eventual memungkinkan assesmen yang tepat dari struktur rumahtangga dan akan memungkinkan analisis terhadap sub-kelompok yang relevan, seperti ata, perempuan, dan termasuk kelompok umur yang berbeda. Yang terakhir ini secara khusus penting, karena risiko kerugian, kematian, kesakitan, termasuk kemungkinan pengabaian hak azasi manusia yang mendasar, berbeda dan berakumulasi sepanjang tahap kehidupan individu (Betke, 2001). Oleh karena itu informasi yang mengikuti tahap kehidupan harus menjadi hal yang pokok dalam reformasi survei sosial ekonomi yang daerah. Dalam konteks Sumba Timur, tahapan kehidupan yang digunakan harus juga memperhatikan kepercayaan lokal terhadap kematian dan akhirat. Yang terakhir menyangkut kebiasaan menyimpan mayat dari anggota rumahtangga yang sudah meninggal di dalam rumah untuk jangka waktu yang lama dalam beberapa tahun (Makambombu, 2001). Sebagaimana dipercaya, roh dari yang meninggal berinteraksi dengan keluarga. Oleh karena itu hubungan secara terus menerus dengan roh ini dan pengeluaran-pengeluaran rumahtangga untuk itu harus dimasukkan dalam pengumpulan dan analisis data. 20 C. Peristiwa kehidupan sebagai landasan institusi sosial, ekonomi dan budaya Untuk pemantauan kesejahteraan daerah Sumba Timur yang -lokal dan sayang budaya perlu dilakukan beberapa kegiatan pengumpulan data dan studi yang mencakup peristiwa kehidupan, yang mencakup sistim kekerabatan, sistim ekonomi, pola pemukiman dan sifat kawasan. Secara teknis hal ini dapat dilakukan melalui empat kegiatan pengumpulan yang dilakukan secara rutin dan terus menerus, yaitu “Survei Nuku-Hara Huri Pangerangu, “Survei Pemberdayaan Paraingu”, dan “Survei Luri Manjaku Maringu”. Perubahan teknis tersebut perlu didasarkan klarifikasi ilmiah akan kategori dan interpretasi pola kehidupan sehari-hari yang dapat disepakati antara semua pihak. Dinamika kehidupan sosial perlu didokumentasikan melalui seri “Studi Luluku”. Survei Nuku-Hara Huri-Pangerangu adalah jenis survei sosial ekonomi dengan pendekatan rumahtangga. Survei ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat yang bermukim di paraingu, baik individu, keluarga, dan kabihu. Dalam survei ini ditanyakan data-data yang menyangkut kondisi sosial-ekonomi dari masing-masing anggota keluarga dan juga keluarga, seperti data pokok (core) hubungan keluarga, umur, status perkawinan, pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, perumahan, konsumsi/pengeluaran, kematian, dan sebagainya. Untuk memantau kesejahteraan individu, survei ini secara khusus perlu didasarkan pada tahapan hidup sejak adanya janin sampai penguburan akhir (taningu) dari seorang anggota rumahtangga. Secara khusus juga perlu dilakukan survei khusus (modul) pada peristiwa kehidupan sosial seperti perkawinan, kematian, perumahan, dan kegiatan pertanian rumahtangga/keluarga. Survei Pemberdayaan Paraingu adalah jenis sensus/survei untuk memantau perkembangan fasilitas dan aktifitas di unit pemukiman masyarakat yang berarti sosial. Survei ini dapat menggambarkan secara khusus adanya fasilitas dan keterjangkauan pelayanan sosial, kesehatan, ekonomi dan budaya; dapat mendukung upaya peramalan dan analisis timbulnya konflik dan kekurangamanan; serta dapat meramalkan sejak dini masalah dalam interaksi penduduk dengan ekosistem. Survei Luri Manjaku Maringu adalah sejenis survei ekonomi yang diperlukan untuk mengetahui perkembangan harga konsumen dan produsen secara rutin pada pasar lokal di tingkat kecamatan/desa; mengetahui tingkat penguasaan pasar dan jaringan pelakunya; mengetahui proses transisi makhluk, barang dan jasa; serta mengetahui sektor/produk unggulan menurut wilayah pemukiman. 21 Ketiga jenis pengumpulan data diatas perlu didukung dengan pembenaran kategori pengukuran statistik yang sesuai dengan arti sosial budaya Sumba melalui Studi Luluku. Studi ini juga diperlukan untuk melengkapi data kuantitatif dengan informasi lingkungan sosial, lingkungan ekonomi dan budaya serta lingkungan hidup secara kualitatif. V. HAMBATAN-HAMBATAN DAN ASSESMEN YANG DIPERLUKAN DALAM PELAKSANAAN SISTIM PENGELOLAAN INFORMASI SOSIAL-EKONOMI REGIONAL YANG SENSITIF BUDAYA A. Persyaratan dana Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, maka perlu ada komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dana ini diharapkan termasuk dalam dana Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD). Diperkirakan bahwa dana tersebut mencakup sekitar Rp. 250.000.000 atau sekitar 2 % dari APBD. Dengan dana sebesar itu diharapkan akan mengurangi pemborosan dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan dengan adanya kebijakan-kebijakan yang lebih tepat dalam pembangunan. Benefit yang diperoleh dari ketersedian informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya (cost) yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. B. Perlunya koordinasi Dalam program-program pengentasan kemiskinan di Sumba Timur perlu adanya koordinasi dan kerjasama antara stakeholder baik lokal maupun nasional/internasional agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih. C. Perlunya menjamin integrasi dengan pengumpulan data dan sistim infomasi nasional Sistem informasi yang dikumpulkan secara lokal perlu diintegrasikan dengan sistem informasi nasional sehingga keterbandingan antar wilayah, khususnya keterbandingan antar kabupaten dan propinsi tetap terjaga. 22 D. Kurangnya perhatian dalam menggunaan informasi yang cukup untuk perencanaan pembangunan Dalam perencanaan pembangunan sering sekali para pengambil keputusan tidak menggunakan informasi yang cukup dalam membuat kebijakan. Bahkan ada kalanya sama sekali tidak menggunakan informasi dalam pelaksanaan program pembangunan di bidang kerjanya. Ini seharusnya tidak perlu terjadi, karena program-program yang tidak didasari informasi akan mengarah kepada pelaksanaan program yang tidak efektif dan efisien. E. Terbatasnya keahlian teknis dan kapasitas dari sebagian pemimpin lokal dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan apabila pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna atau arti dari informasi itu. Hal ini bisa disebabkan kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin lokal dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen. VI. A. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Dari hasil telaah cepat ini dapat disimpulkan bahwa ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang secara sentralistik di pusat kurang memadai dan kurang realistik dalam memantau kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat Sumba Timur. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di daerah Sumba Timur. Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistik, yang dapat ‘diterjemahkan” kedalam berbagai kebijakan yang perlu diambil dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang lebih besar, dan wilayah. Tinjauan terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri perlu dilakukan. Indikator-indikator tersebut tentunya harus bersifat -lokal dan sayang budaya. Salah satu model kesejahteraan yang komprehensif dan mampu mengidentifikasi tingkat kesejahteraan individu, rumahtangga atau keluarga, unit-unit sosial, dan wilayah komunitas adalah “Model Ketahanan Sosial” seperti dikembangkan Betke (2002). 23 Dalam rangka mewujudkan pengukuran kesejahteraan rakyat yang -lokal dan sayang budaya, dan penggunaan ukuran-ukuran tersebut dalam pembuatan kebijakan dan pengembangan program di Sumba Timur, maka dalam laporan ini juga disampikan usulan-usulan, baik untuk intervensi jangka panjang maupun intervensi jangka pendek. B. Rekomendasi intervensi jangka panjang Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan Sumba Timur, beberapa usulan jangka panjang yang perlu dilakukan antara lain adalah: 1. Pemberdayaan pemda, instansi terkait, perguruan tinggi dan LSM dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik pemerintah daerah, dinas-dinas pemerintahan terkait, perguruan tinggi, dan para LSM dapat menggali informasi yang tepat serta menggunakannya secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai. 2. Pemberdayaan Pemda, instansi terkait, perguruan tinggi dan LSM dalam telaah sosial, budaya, ekonomi dan ekosistem untuk perencanaan yang tepat guna Kegiatan ini dilakukan agar para pimpinan pemda dan dinas-dinas terkait, perguruan tinggi, dan LSM dapat melakukan studi telaah cepat, khususnya menyangkut masalah sosial, ekonomi, dan ekosistem agar perencanaan pembangunan yang dilaksanakan tepat guna. 3. Upaya penyediaan anggaran untuk peningkatan ketersediaan dan kualitas informasi secara lestari Penyediaan anggaran secara kontinu untuk ketersediaan dan peningkatan kualitas informasi perlu dilakukan agar proses pembangunan dapat dilakukan dengan perencanaan yang tepat serta pemantauan hasil-hasil pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan. 4. Membangun sistem pengelolaan informasi untuk kebijakan kesejahteraan daerah Pemerintah daerah perlu membangun sistim pengelolaan informasi yang menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. 24 C. Rekomendasi intervensi jangka pendek Dalam jangka pendek, perlu segera dilakukan upaya upaya yang mendesak untuk dilakukan agar program pengentasan kemiskinan di Sumba Timur dapat dilakukan segera. Hal-hal yang mendesak untuk dilakukan antara lain adalah: 1. Pendugaan biaya-biaya untuk proses pengumpulan, pengolahan, analisis, penyajian dan disseminasi data Perlu dilakukan secepat mungkin pendugaan-pendugaan biaya yang diperlukan dalam rangka proses pengumpulan data, pengolahan, analisis, penyajian dan diseminasi data. Pendugaan ini mencakup penentuan jenis survei/sensus, metode pemilihan dan penentuan jumlah sampel yang representatif, serta periode pengumpulan data. Proses pendugaan biaya ini dapat dilakukan dengan bantuan dari ahli statistik dari BPS pusat. 2. Adanya koordinasi antara jaringan donor dan instansi terkait Dalam pelaksanaan program penangulangan kemiskinan di Sumba Timur, perlu segera dibentuk wadah yang mengkoordinasikan semua pihak, baik jaringan donor maupun instansi pemerintah terkait agar pelaksanaannya dapat dilakukan secara tepat dan transparan. 3. Pelaksanaan lokakarya dengan peserta dari pemerintah lokal dan pusat; peneliti lokal, nasional, dan internasional; serta masyarakat madani Perlu segera dilakukan lokakarya antara pemerintah Sumba Timur, pemerintah pusat, peneliti lokal, peneliti nasional dan internasional, serta masyarakat madani akar konsep-konsep serta variabel-variabel pengukuran kemiskinan yang -lokal dan sayang budaya dapat diwujudkan segera. Lokakarya ini perlu dilakukan dengan maksud mencapai hal-hal berikut: a. b. c. d. Menuju pengertian yang sama tentang hubungan keluarga dan pola pemukiman di Sumba Timur Menuju definisi yang sensitif budaya tentang indikator kesejahteraan individu dan sosial di Sumba Timur Menuju sistem pengumpulan data statistik wilayah kecil yang cukup memperhatihan budaya secara tahunan Menuju sistem pengelolaan informasi yang berfokus wilayah untuk kesejahteraan sosial, ekonomi dan budaya 25 4. Pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistim pengelolaan informasi yang Sumba Timur Pembentukan tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional agar secara kontinu dapat dikembangkan sistim pengelolaan informasi yang Sumba Timur. Tim ini diharapkan dipimpin oleh pihak yang paling berkompeten dalam perencanaan dan pemantauan hasil-hasil pembangunan, seperti Kepala Bappeda. 5. Mengembangkan dan melaksanakan kursus-kursus peningkatan keahlian Secara mendesak, perlu dilakukan kursus-kursus untuk peningkatan keahlian pimpinan daerah dan instansi terkait dalam hal pemanfaatan informasi statistik dan proses studi telaah cepat untuk mempelajari arah pergerakan pembangnan. Kursus-kursus tersebut mencakup antara lain: a. b. c. Aplikasi statistik untuk perencanaan pembangunan daerah; Pengukuran kesejahteraan hidup individu dan sosial berdasarkan tahapan hidup; Applikasi tehnik telaah cepat untuk memfasilitasi reorientasi dari pergerakan pembangunan. 26 VII. REFERENSI Badan Pusat Statistik (BPS) Sumba Timur, 2001a, Indikator Kesejahteraan Rakyat Sumba Timur 2000, Waingapu: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumba Timur Badan Pusat Statistik (BPS) Sumba Timur, 2001b, Karakteristik Penduduk Sumba Timur Hasil Sensus Penduduk 2000, Kupang: Badan Pusat Statistik Propinsi Nusa Tenggara Timur Betke, Friedhelm, 2001, The “Family-in-Focus” Approach: Developing PolicyOriented Monitoring and Analysis of Human Development in Indonesia, Florence: UNICEF Innocenti Research Centre. Betke, Friedhelm, 2002, Assesing Social Resielence Among Regencies and Communities in Indonesia. Makalah untuk Diskusi Statistik Ketahanan Sosial di BPS. Jakarta: BPS Hoskins, J, 2001, Slaves, Brides and Other “Gifts”: Resistance, Marriage and Rank in Eastern Indonesia. Revised paper prepared for the “International Conference on Slavery, Unfree Labor in Asia and the Indian Ocean Region”, October 4-6, 2001, Avignon. Hoskins, J., 2002, Predatory Voyeurs: Tourists and “Tribal Violence” in Remote Indonesia. Forthcoming, American Ethnologist 29 (November). Makambombu, S, 2001, Budaya menyimpan mayat: Suatu pemaknaan terhadapPerilaku masyarakat kotaku menyimpan mayat dalam waktu lama. Studi kasus di Desa Rindi, Kabupaten Sumba Timur. Program Pascasarjana, Universitas Kristen Satyawacana. Pemerintah Sumba Timur , 2001, Analisis Situasi Ibu Anak (ASIA) Kabupaten Sumba Timur. Waingapu: Jakarta. Polanyi, K, 1944, The Great Transformation: New York: Rinehart. Ragu, Ignatius dan Cristine Djami, 1997, Persepsi dan Konsepsi Masyarakat terhadap Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber daya Alam. Makalah untuk Semiloka Hasil-Hasil Penelitian Partisipasi Masyarakat dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Kawasan Konservasi Wanggameti. Waingapu:Sumba Timur. 27 VIII. LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1 Daftar nama Dinas/Institusi/Key Informan/ yang Diwawancarai Tanggal Pertemuan 7 April 2002 Nama Instansi/Jabatan Ir. Umbu Mehang Kunda Yakobus Ch. Leyloh Umbu Tamu Kalaway A.L. Dama Marthen Kilimandu Bupati Sekda BAPPEDA/Kepala BPS/Kepala BPM/Kepala TU 8 April 2002 BPS A.L Dama Rambu Anamila Kepala BPS Kepala Seksi Statistik Distribusi Kepala Seksi Statistik Sosial Kepada Seksi Statistik Produksi H.H. Helu Dundu Tay 8 April 2002 9 April 2002 9 April 2002 9 April 2002 9 April 2002 10 April 2002 BKKBN Bismer Tambunan Kepala Gidion Mbilijora Imanuel Soemadak Sam Pandarangga Umbu Hina Pari Umbu K. Rawambaku Siliwoloe Djoeroemana Maklon F. Kila R.L.K. Noegrohowardhani Semuel Takanjandji Elias Rawambani I Gede Suteja, Mustafa 10 April 2002 Markus Ratu Kore H. Ndamunamu Ruben NGG. Bidi Hunga Ch. Vera Supusepa 28 BAPPEDA Kabid Ekonomi Sekretaris Kabid PMD Kabid Litbang Kabid Sosbud STIE/Ketua Staff Puket I YKPS/Ketua Pendeta GKS Uma Mapu DINKES/Pjs. Ka.Seksi Gizi Staf Seksi Gizi Dinas Pendaftaran Penduduk Kadis Lama Kadis Baru Kasubdin Pencacatan Kasubag Program Tanggal Pertemuan 10 April 2002 11 April 2002 11 April 2002 Nama Instansi/Jabatan Ir. Siliwolu Kepala Dinas Peternakan DINAS PERTANIAN Yuliana Lilo Ata Silvester Djerabat Marthen Konda Meha Made Sujana Kabag Tata Usaha Kasubdin Produksi Kasie Rehabilitasi Kepala Lab PHP Yayasan Tananua Yulius Opang Sarlin Rihi Jhony Yos Supervisor Pengembangan Ekonomi Kelompok Kasir Seksi Pemetaan Amsal Ginting Yayasan WVI Kordinator 12 April 2002 DINAS PENDIDIKAN G.Y. Berry Wolter N. Nggili Kabag Tata Usaha Kasubag Program 29 Lampiran 2 DAFTAR PESERTA PRESENTASI TEMUAN AWAL TELAAH CEPAT DI KANTOR BUPATI SUMBA TIMUR TANGGAL 16 APRIL 2001 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 NAMA Ir Umbu Mehang Kunda Ir. Emmanuel B. Eha P. P. Ndima R. Ranggambani Ir. Umbu Manggana Stefanus Bria Seran Pdt. Elias Rawambani Umbu Tay Mina Benyamin Moekoe Sil Djerabat Amsal Ginting A.L. Dama Umbu Hina Pari Umbu K. Rawambaku Marthen Kilimandu Sukardi Ayub Pua M. Saleh Poedjihono Djoko S. Johnson U. Radda Stepanus Makambombu Monika Ellinger INSTANSI Bupati Wkl. Bupati DPRD DPRD Kimpraswil Kesehatan Tokoh Masyarakat Tokoh Masyarakat Kantor PDE Pertanian WVI BPS BAPPEDA BAPPEDA BPM Setda GTZ GTZ GTZ GTZ GTZ 22 23 24 25 26 27 28 29 30 R.L.K. Noegrohodhani Pdt. Yuliana Ata Ambu Umbu Hamakonda Richard Nawa Umbu Tr. Deddi Dominggus Bandi Samuel Takanjandji Rambu Piras Marthinus Umbu Tali STIE KRISWINA Tokoh Masyarakat Setda Setda Setda Setda Yay. KPS Tokoh Masyarakat Tokoh Masyarakat 30 JABATAN Bupati Wkl. Bupati Ketua Ketua Komisi A Kepala Dinas Kepala Dinas Pendeta Tim Konsultasi PRODA Kepala Kasubdin Produksi Direktur Kepala Kabid Litbang Kabid Sosbud Sekretaris Kabagbinsos DFC-PNT Koordinator PRODA-NT P.O. PRODA-NT P.O. PRODA-NT Project Advisor PRODA/PNT Dosen Tim Konsultasi PRODA Assisten II Sosbud Subag Pemberitaan Kasubag OTDA Direktur Tim Konsultasi PRODA Tim Konsultasi PRODA Lampiran 3 BAHAN PRESENTASE TEMUAN AWAL TELAAH CEPAT DI KANTOR BUPATI SUMBA TIMUR TANGGAL 16 APRIL 2002 Telaah cepat atas peluang, pandangan dan harapan masyarakat Sumba Timur tentang pendekatan yang sayang budaya dalam pemantauan kesejahteraan daerah Dr. Friedhelm Betke Dr. Hamonangan Ritonga BADAN PUSAT STATISTIK 1 Hasil Kerjasama GTZ PRODA-NT dengan BPS 31 16/04/2002 Apa artinya ukuran-ukuran kemiskinan nasional dalam konteks Sumba Timur? Menurut data registrasi keluarga BKKBN tahun 1999, sebanyak 84,3% dari keluarga di Sumba Timur dinyatakan berstatus „prasejahtera“ dan „sejahtera I“; Menurut hasil SUSENAS 1999 (BPS) persentase penduduk yang hidup dibawah „garis kemiskinan“ sebanyak 27,2%. 2 Hasil Kerjasama GTZ PRODA-NT dengan BPS 16/04/2002 Apa tujuan utama telaah cepat ini? Menemukan peluang, pandangan dan harapan akan pendekatan pemantauan kesejahteraan antara berbagai pihak di Sumba Timur; Memberikan rekomendasi terhadap PEMDA dan PRODA-NT tentang pengembangan pendekatan pemantauan kesejahteraan yang khas daerah dan sayang budaya Sumba Timur. 3 Hasil Kerjasama GTZ PRODA-NT dengan BPS 32 16/04/2002 Apa tantangan pemantauan kesejahteraan di Sumba Timur? Sistem registrasi keluarga sejahtera (BKKBN) dan Sensus Potensi desa (PODES, BPS): penerapan sudut pandang budaya Jawa akan kesejahteraan dan pola pemukiman; Estimasi kemiskinan melalui SUSENAS: pengukuran pengeluaran rumah tangga* yang diterapkan dalam ekonomi yang berorientasi subsistensi, berprinsip pertukaran dan berorganisasi kekrabatan; Statistik kesejahteraan: berdasarkan SUSENAS yang kurang respresentatif (sampel & konsep) dan dapat menimbulkan kebijakan salah arah; Laporan etnografis: informasi mengenai budaya masih belum „bersambung “ dengan kebutuhan kebijakan. 4 Hasil Kerjasama GTZ PRODA-NT dengan BPS 16/04/2002 Apa peluang pemantauan hasil pembangunan di Sumba Timur? Secara teknis sistem kekerabatan, pola pemukiman dan sifat kawasan dapat dicerminkan melalui „Survei Nuku-Hara Huri-Pangerangu“ dan „Survei Pemberdayaan Paraingu“ serta „Survei Luri Manjaku Maringu“; Perubahan teknis tersebut perlu didasarkan klarifikasi ilmiah akan kategori dan interpretasi pola kehidupan sehari-hari yang dapat disepakati antara semua pihak. Dinamika kehidupan sosial perlu didokumentasikan melalui seri „Studi Luluku“. 5 Hasil Kerjasama GTZ PRODA-NT dengan BPS 33 16/04/2002 Apa prinsip dan tujuan dari „Survei Nuku-Hara Huri-Pangerangu“ Dapat mewakili masyarakat yang bermukim di paraingu, baik di tingkat individu, keluarga, dan kabihu; Dapat menilai transaksi sosial-ekonomi dan sosial-budaya antara satuan yang berarti sosial; Perlu berfokus secara khusus pada peristiwa kehidupan sosial seperti perkawinan, kematian, perumahan, dan kegiatan pertanian rakyat; Perlu berdasarkan pada tahapan hidup sejak adanya janin sampai penguburan akhir (taningu). 6 Hasil Kerjasama GTZ PRODA-NT dengan BPS 16/04/2002 Apa prinsip dan tujuan Sensus/ Survei Pemberdayaan Paraingu Perlu mencerminkan daya membangun pada satuan pemukiman yang berarti sosial; Dapat menggambarkan secara khusus adanya fasilitas dan keterjangkauan pelayanan sosial, kesehatan, ekonomi dan budaya; Dapat mendukung upaya peramalan dan analisis timbulnya konflik dan kekurangamanan; Dapat meramalkan sejak dini masalah dalam interaksi penduduk dengan ekosistem. 7 Hasil Kerjasama GTZ PRODA-NT dengan BPS 34 16/04/2002 Apa prinsip dan tujuan Survei Luri Manjaku Maringu? Perlu mengikuti perkembangan harga konsumen dan produsen secara rutin pada tingkat pasar lokal dibawah kabupaten; Dapat mengukur tingkat penguasaan pasar lokal dan pihak pelakunya; Dapat memantau proses transisi dalam pertukaran mahluk, barang dan jasa*; Dapat mendukung identifikasi sektor/produk unggulan. 8 Hasil Kerjasama GTZ PRODA-NT dengan BPS 16/04/2002 Apa prinsip dan tujuan Kajian sosial budaya („Studi Luluku“)? Perlu membenarkan kategori pengukuran konsep statistik sesuai dengan arti sosial budaya; Perlu melengkapi data kuantitatif dengan informasi lingkungan sosial, lingkungan ekonomi dan budaya serta lingkungan hidup secara kualitatif. 9 Hasil Kerjasama GTZ PRODA-NT dengan BPS 35 16/04/2002 Apa hambatan pengembangan sistem informasi kesejahteraan daerah yang sayang budaya? Keterbatasan pendanaan, baik dalam sumber maupun kecukupan dana; Sulitnya koordinasi dan kerjasama antara stakeholder baik lokal maupun national/international; Perlunya menjamin integrasi dengan sistem informasi nasional; Upaya pengembangan strategi peningkatan kesejahteraan daerah tampaknya belum sepenuhnya berdasarkan pemanfaatan informasi yang akurat dan bermakna. 10 Hasil Kerjasama GTZ PRODA-NT dengan BPS 16/04/2002 Usulan rencana strategi jangka panjang: Pemberdayaan Pemda, instansi terkait, perguruan tinggi dan LSM dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program; Pemberdayaan Pemda, instansi terkait, perguruan tinggi dan LSM dalam telaah sosial, budaya, ekonomi dan ekosistem untuk perencanaan yang tepat guna; Upaya penyediaan anggaran untuk peningkatan ketersediaan dan kualitas informasi secara lestari; Membangun sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan kesejahteraan daerah. 11 Hasil Kerjasama GTZ PRODA-NT dengan BPS 36 16/04/2002 Usulan rencana strategi jangka pendek: Pendugaan biaya-biaya untuk proses dan pranata pengumpulan, pengolahan, analisis, penyajian dan penyaluran informasi; Pelaksanaan rapat koordinasi antara jaringan donor dan instansi terkait; Pelaksanaan lokakarya tentang hubungan antara budaya dengan unit observasi/analisis dan konsep statistik, tentang tahapan hidup dan indikatornya, serta penyesuaian metode sampling; Pembentukan tim pelaksana teknis/wadah pengelolaan informasi. 12 Hasil Kerjasama GTZ PRODA-NT dengan BPS 16/04/2002 Malawa nu nyuta katapakabutuhu kanguranya, katapakameli ana ranganyawa - na luri pekuhamu la matawai amahu – la pada njara hamu, kata marangga ngunu duanya nawai wolulangga – kata marangga nga duanya na ihi mehi mbaru! Dr. Friedhelm Betke Dr. Hamonangan Ritongga BADAN PUSAT STATISTIK 13 Hasil Kerjasama GTZ PRODA-NT dengan BPS 37 16/04/2002