perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MEKANISME PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL
PADA SAAT KONFLIK ISRAEL-PALESTINA DI JALUR GAZA DITINJAU DARI
KONVENSI JENEWA IV/1949, PROTOKOL TAMBAHAN I/1977,
DAN STATUTA ROMA 1998
(STUDI KASUS OPERATION CAST LEAD 27 DESEMBER 2008-20 JANUARI 2009)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna
Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
Stefanus Donatumar
E0008240
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit2013
to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
MEKANISME PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL
PADA SAAT KONFLIK ISRAEL-PALESTINA DI JALUR GAZA DITINJAU DARI
KONVENSI JENEWA IV/1949, PROTOKOL TAMBAHAN I/1977,
DAN STATUTA ROMA 1998
(STUDI KASUS OPERATION CAST LEAD 27 DESEMBER 2008-20 JANUARI 2009)
Oleh :
Stefanus Donatumar
E0008240
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 15 Januari 2013
Pembimbing I
Pembimbing II
Erna Dyah Kusumawati,S.H.,M.Hum.,LL.M.
NIP. 19770330 2003122001
commit to user
ii
Ayub Torry Satriyo Kusumo,S.H.,M.H.
NIP. 19830716 2008011005
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
MEKANISME PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL PADA
SAAT KONFLIK ISRAEL-PALESTINA DI JALUR GAZA DITINJAU DARI KONVENSI JENEWA
IV/1949, PROTOKOL TAMBAHAN I/1977,
DAN STATUTA ROMA 1998
(STUDI KASUS OPERATION CAST LEAD 27 DESEMBER 2008-20 JANUARI 2009)
Stefanus Donatumar
NIM.E0008240
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari
: Rabu
Tanggal
: 23 Januari 2013
DEWAN PENGUJI
1. Sri Lestari Rahayu,S.H., M.Hum.
:.......................
NIP. 19591125 1986012001
Ketua
2. Ayub Torry Satriyo Kusumo,S.H.,M.H.
:
NIP. 19830716 2008011005
Sekretaris
3. Erna Dyah Kusumawati,S.H.,M.Hum.,LL.M. :
NIP. 19770330 2003122001
Anggota
Mengetahui
Dekan,
Prof.Dr. Hartiwiningsih,S,H.,H.Hum.
NIP. 19570203 1985032001
PERNYATAAN
commit
to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nama
: Stefanus Donatumar
NIM
: E0008240
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul
MEKANISME PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN
PENDUDUK SIPIL PADA SAAT KONFLIK ISRAEL-PALESTINA DI
JALUR
GAZA
DITINJAU
DARI
KONVENSI
JENEWA
IV/1949,
PROTOKOL TAMBAHAN I/1977, DAN STATUTA ROMA 1998 (STUDI
KASUS OPERATION CAST LEAD 27 DESEMBER 2008-20 JANUARI 2009)
adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan
hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila
di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima
sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya
peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 15 Januari 2013
yang membuat pernyataan
Stefanus Donatumar
NIM.E0008240
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Stefanus Donatumar, E.0008240. 2013. MEKANISME PENEGAKAN HUKUM
TERHADAP PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL PADA SAAT KONFLIK
ISRAEL-PALESTINA DI JALUR GAZA DITINJAU DARI KONVENSI
JENEWA IV/1949, PROTOKOL TAMBAHAN I/1977, DAN STATUTA
ROMA 1998 (STUDI KASUS OPERATION CAST LEAD 27 DESEMBER
2008-20 JANUARI 2009)
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan bentuk-bentuk
pelanggaran terhadap penduduk sipil dalam konflik Israel-Palestina di Jalur Gaza
pada Operation Cast Lead, mendiskripsikan mekanisme penegakan hukum terhadap
pelanggaran penduduk sipil menurut hukum humaniter internasional.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif
dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach). Sumber bahan
hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Teknik pengumpulan bahan hukum penelitian ini adalah studi kepustakaan dan studi
dokumen dengan teknik analisis bahan hukum berupa metode deduksi.
Hasil penelitian menunjukkan dalam hukum humaniter internasional
perlindungan terhadap penduduk sipil pada konflik bersenjata internasional diatur
dalam Konvensi Jenewa IV/1949 dan Protokol Tambahan I/1977. Agresi Israel ke
Palestina tanggal 27 Desember 2008-20 Januari 2009 atau yang dikenal dengan
Operation Cast Lead, terbukti terdapat beberapa pelanggaran HAM berat yang
dilakukan oleh Israel terhadap penduduk sipil Palestina yaitu kejahatan terhadap
kemanusiaan dan kejahatan perang. Terdapat tiga mekanisme untuk melakukan
penegakan hukum bagi perlindungan penduduk sipil terhadap pelanggaran HAM
berat. Pertama dengan menggunakan mekanisme nasional (exhaustion of local
remedies), kedua menggunakan Mahkamah Pidana Internasional (International
Criminal Court/ICC) berdasarkan Statuta Roma 1998, dan ketiga menggunakan
Mahkamah Ad Hoc. Dari ketiga mekanisme penegakan hukum bagi perlindungan
penduduk sipil
terhadap pelanggaran HAM berat tersebut yang paling
memungkinkan digunakan untuk mengadili Israel adalah dengan menggunakan
Mahkamah Ad Hoc dengan campur tangan dari Majelis Umum.
Kata Kunci : Operation Cast Lead, mekanisme penegakan hukum humaniter,
perlindungan penduduk sipil, pelanggaran HAM berat
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Stefanus Donatumar, E.0008240. 2013. LAW ENFORCEMENT MECHANISM
FOR THE PROTECTION OF CIVILIANS DURING ISRAEL-PALESTINA
CONFLICT IN GAZA BASE ON THE GENEVA CONVENTIONS IV/1949,
THE ADDITIONAL PROTOCOL I/1977, AND THE ROME STATUTE OF
THE INTERNATIONAL CRIMINAL COURT 1998 (STUDY
CASES
OPERATION OF CAST LEAD 27 DECEMBER 2008-20 JANUARY 2009)
The purpose of this research are: first to describe forms of violations against
the civilian population in Israel-Palestine conflict in Gaza during Operation of Cast
Lead. Second to describe mechanism to enforce offenses against civilians according
to humanitarian law.
This research is normative legal research that is prescriptive legal nature
using statute approach. The material sources used are primary law materials and
secondary law materials. Technique of collecting law material used is library
research and document research with deductive logic method as the technique of
analysis.
The result of research show that in the international humanitarian law, the
protection of civilians in international armed conflict regulated under The Geneva
Conventions IV/1949 and The Additional Protocol I/ 1977. Israel’s aggression to
Palestine on the 27th December 2008-20 January 2009 or known as Operation of
Cast Lead, proven there are several violations of human rights done by israel against
the Palestinian civilian population that can be categorized as crimes against humanity
and war crimes. There are three mechanism to enforcement offense against civilians
according to humanitarian law. First by using national mechanism (exhaustion of
local remedies), Second by Internasional International Criminal Court/ICC based on
Statute of Rome 1998, and Third by Ad Hoc Tribunal. Base of the three mechanisms
of enforcement offense against civilians according to humanitarian law the most
possible used to prosecute Israel is using the Ad Hoc Court with the intervention of
the General Assembly.
Keywords: Operation Cast Lead, mechanism to enforcement humanitarian law,
protection of the civilians, gross violation of human rights
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“The one thing I have never done and will never do in my life is give
up”. (Fernando Torres)
“Be the person you want to be not the person you have to be”.
(Jared Leto)
“Everyone have a story but isn’t same with us, don’t trust other
people but trust in yourself”.
(Stefanus Donatumar)
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kepada Yesus Kristus yang senantiasa mencurahkan berkatnya
sehingga Penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Penulisan Hukum yang
berjudul
“MEKANISME
PENEGAKAN
HUKUM
TERHADAP
PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL PADA SAAT KONFLIK ISRAELPALESTINA DI JALUR GAZA DITINJAU DARI KONVENSI JENEWA
IV/1949, PROTOKOL TAMBAHAN I/1977, DAN STATUTA ROMA 1998
(STUDI KASUS OPERATION CAST LEAD 27 DESEMBER 2008-20
JANUARI 2009)”. Penulisan Hukum atau Skripsi merupakan tugas wajib yang
harus diselesaikan oleh setiap mahasiswa untuk melengkapi syarat memperoleh gelar
sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Penulis berharap semoga Penulisan Hukum ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum. Penyelesaian Penulisan
Hukum ini tidak terlepas dari bantuan baik moril maupun materiil serta doa dan
dukungan berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
2.
Ibu Sri Lestari Rahayu, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum
Internasional yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
3.
Ibu Erna Dyah Kusumawati, S.H., LL.M., selaku Pembimbing I Penulisan
Hukum yang telah bersedia memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi
bagi Penulis untuk menyelesaikan Penulisan Hukum ini.
4.
Bapak Ayub Torry Satriyo Kusumo, S.H., M.H., selaku Pembimbing II
Penulisan Hukum yang telah bersedia memberikan bimbingan, saran, kritik,
dan motivasi bagi Penulis untuk menyelesaikan Penulisan Hukum ini.
5.
Ibu Maria Madalina, S.H., M.Hum., selaku pembimbing akademis, atas nasehat
yang berguna selama Penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum UNS.
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
6.
digilib.uns.ac.id
Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu
pengetahuan kepada Penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam Penulisan
Hukum ini.
7.
Ketua Bagian PPH Ibu Wida Astuti, S.H., M.H., Mas Wawan, dan Mas Joko
Susilo anggota PPH yang banyak membantu dalam Penulisan Hukum ini.
8.
Ayah, Ibu, Mbah Putri, Om, Tante dan semua keluarga besar Sutijan
Djoyodisastro atas cinta dan kasih sayang, doa, dukungan, semangat dan segala
yang telah diberikan yang tidak ternilai harganya sehingga Penulis dapat
menyelesaikan Penulisan Hukum ini.
9.
Teman-teman
Kos
Imanuel
yang
selalu
mendukung
Penulis
untuk
menyelesaikan penulisan Hukum ini.
10. Sahabat-sahabatku Haki, Komeng, Reza, Dika, Carok, Taktak, Jaber, Rusdi,
Itok, Jojo, Arfin, Albi, Dira, Uche, Panji, Insan, Adityo Bayu, Adityo Dani,
Ridho, Fikar, Gery, Simbah, Paksi, Pipit, Choy, Shelma, Hanafi, Lina, Vika
Desy Fluita dan semua teman-teman DPR (Dibawah Pohon Rindang) dan
Keluarga besar KMK FH yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang selalu
memberikan canda, tawa dan dukungan kepada penulis.
11. Teman-teman di BEM FH UNS, untuk setiap ilmu dan pengalaman untuk
bekal penulis.
12. Semua pihak yang telah membantu dalam Penulisan Hukum ini yang tidak bisa
Penulis sebutkan satu-persatu.
Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat kepada
semua pihak, baik untuk akademisi, praktisi maupun masyarakat umum.
Surakarta,
commit to user
ix
Januari 2013
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN.............................................................................
iv
ABSTRAK............................................................................................................
v
ABSTRACT.........................................................................................................
vi
MOTTO................................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR.........................................................................................
viii
DAFTAR ISI........................................................................................................
x
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................
1
B. Perumusan Masalah........................................................................
6
C. Tujuan Penelitian............................................................................
6
D. Manfaat Penelitian..........................................................................
7
E. Metode Penelitian...........................................................................
7
F. Sistematika Penulisan Hukum........................................................
11
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori…………………………………………………
1. Tinjauan Umum Tentang
Hukum
commit to
user Humaniter
x
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Internasional.................................................................................
13
a. Pengertian Hukum Humaniter Internasional (HHI).............
13
b. Sumber-Sumber Hukum Humaniter
Internasional (HHI)................................................................
c. Tujuan Hukum Humaniter Internasional (HHI)................
15
17
d. Asas dan Prinsip-Prinsip Dalam Hukum
Humaniter Internasional (HHI).............................................
18
2. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan
Penduduk Sipil.............................................................................
20
a. Pengertian Penduduk Sipil (Civilians)....................................
20
b. Perlindungan Penduduk Sipil..................................................
22
3. Tinjauan Umum tentang Combatant (Kombatan)
dan Hors de Combat....................................................................
27
a. Pengertian Combatant (Kombatan).........................................
27
b. Hors de Combat......................................................................
32
4. Tinjauan Umum Tentang Konflik antara Isael
dan Palestina................................................................................
34
5. Tinjauan Umum Tentang Konvensi Jenewa IV,Protokol
Tambahan 1977, dan Statuta Roma 1998.................................
38
a. Konvensi Jenewa 1949............................................................
38
b. Protokol Tambahan I dan II/1977...........................................
40
c. The Rome Statute of the International Criminal
Court 1998 (Statuta Roma 1998).............................................. 42
6. Kriteria Pelanggaran-Pelanggaran Terhadap
Penduduk Sipil.............................................................................
44
7. Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter
Internasional.................................................................................
56
B. Kerangka Pemikiran........................................................................ 70
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
commit to user
A. Hasil penelitian..............................................................................
xi
72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Konflik Israel-Palestina Di Jalur Gaza tanggal
27 Desember 2008-21 Januari 2009 (Operation Cast
Lead)...........................................................................................
72
a. Latar Belakang Operation Cast Lead....................................
74
b. Kronologis Operation Cast Lead...........................................
75
c. Ringkasan dari Operasi Cast Lead........................................
83
B. Pembahasan...................................................................................
88
1. Bentuk Pelanggaran Terhadap Penduduk Sipil Dalam
Konflik Israel-Palestina di Jalur Gaza Pada
Operation Cast Lead........................................................................ 88
2. Mekanisme Penegakan Hukum Terhadap Perlindungan
Penduduk Sipil Ditinjau Dari Konvensi Jenewa IV/1949,
Protokol Tambahan I/1977, dan Statuta Roma 1998 Dalam
konflik Israel-Palestina di jalur Gaza padaOperation Cast
Lead 27 Desember 2008-20 Januari 2009.................................
110
KESIMPULAN……………………………………………….........
131
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….
132
BAB IV
commit to user
xii
1
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sengketa merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari dalam hubungan
antar negara. Sengketa dapat dibagi menjadi sengketa bersenjata dan sengketa
tidak bersenjata. Sengketa bersenjata sendiri juga dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu international armed conflict atau konflik bersenjata internasional dan noninternational armed conflict atau konflik bersenjata yang tidak bersifat
internasional yang juga dapat disebut juga sebagai konflik internal. Perbedaan
utama antara non-international armed conflict dan international armed conflict
dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Status hukum para
pihak yang bersengketa dalam international armed conflict adalah kedua pihak
memiliki status hukum yang sama, karena keduanya adalah negara (sebagaimana
dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949) atau paling tidak,
salah satu pihak dalam konflik tersebut adalah suatu entitas yang dianggap setara
dengan negara sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4)
juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977. Salah satu penyebab
terjadinya international armed conflict adalah keinginan dari suatu negara untuk
menduduki (occupied) wilayah negara lainnya guna memperluas wilayahnya atau
untuk maksud mengeksploitasi kekayaan alam yang berada di wilayah negara lain
(KGPH Haryomataram, 1994:35). Akibat dari konflik antar negara ini dapat
menyebabkan terjadinya perang yang menyebabkan banyak korban baik itu
korban materiil maupun korban jiwa.
Salah satu contoh kasus international armed conflict adalah konflik
antara Israel dengan Palestina. Konflik ini telah terjadi sejak tahun 1948 ketika
Israel menyerang Mesir, Yordania, Syria dan berhasil merebut Sinai, Jalur Gaza,
dataran
tinggi
Golan
(Syria),
tepi
Barat
dan
Yerussalem
(Aryuni
Yuliantinigsih,2009:111). Sebelumnya Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour
tahun 1917 yang menjanjikan sebuah negara bagi bangsa Yahudi di Palestina,
user
dengan menghormati hak-hakcommit
umat to non-Yahudi
di Palestina (Jimmy
2
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Carter,2010:3). Sampai sekarangpun perdamaian antara kedua belah pihak masih
belum terwujud, ditambah lagi terjadi ketidaksepakatan tentang masa depan
Palestina dan hubungan yang tidak harmonis diantara faksi-faksi di Palestina
sendiri hingga jutaan dari warga Palestina terpaksa mengungsi ke Libanon,
Yordania, Syria, Mesir dan lain-lain.
Sejarah mengenai konflik Israel-Palestina dapat dilihat dari perspektif
teologis dan historis. Persoalan Palestina muncul sebagai isu internasional sejak
berakhirnya Perang Dunia Pertama sebagai akibat dari runtuhnya Ottoman Empire
Turkey. Palestina akhirnya berada diantara negara-negara Arab eks Ottoman
Turkey yang berada di bawah administrasi Inggris. Hal ini berdasarkan mandat
dari Liga Bangsa-Bangsa yang diadopsi dari Deklarasi Balfour tahun 1917 yang
isinya menyuarakan dukungan untuk mendirikan suatu negara di tanah air
Palestina untuk orang Yahudi. Israel selalu mengatakan posisi legal internasional
mereka atas Yerusalem berasal dari mandat Palestina (Palestine Mandate, 24 Juli
1922), akan tetapi Palestina juga menyatakan Yerusalem (al Quds) akan menjadi
ibu kota negara Palestina Merdeka di masa mendatang atas dasar klaim pada
agama, sejarah dan jumlah penduduk di kota itu. Pertikaian kedua belah pihak
pada akhirnya sulit dihindari, sebab klaim hak atas tanah Palestina bukan sekadar
menyangkut latar belakang sejarah dan wilayah politik, melainkan masalah simbol
spiritualitas besar bagi kedua pihak (Trias Kuncahyono,2008:256).
Kasus konflik antara Israel-Palestina sudah berlangsung semenjak tahun
1948 dan sampai sekarang konflik ini belum berakhir. Sudah puluhan ribu korban
jiwa berjatuhan dalam konflik yang berkepanjangan ini, setidaknya antara kurun
waktu tahun 2000-2007 saja ada sekitar 4.228 orang Palestina, 1.024 orang Israel,
dan
63
warga
negara
asing
yang
kehilangan
nyawanya
(UN.2008.http://unispal.un.org/UNISPAL.NSF/0/BE07C80CDA4579468525734
800500272, diakses tanggal 27 Juli 2012). Pelanggaran yang dilakukan oleh
tentara Israel kepada penduduk sipil Palestina semakin kerap terjadi pada
pertengahan tahun 2008, seperti peristiwa terbunuhnya tiga penduduk sipil
Palestina di sebuah rumah di Gaza Tengah, sesaat setelah pasukan HAMAS
commit to user
menembakan dua roket ke arah pemukiman
Israel (Trias Kuncahyono,2008:257).
3
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Contoh yang lain ada sekitar 30 penduduk sipil Palestina yang tewas dibunuh
ketika tentara Israel menembaki sebuah bangunan tempat berlindungnya 110
penduduk sipil Palestina di wilayah pemukiman Zeitoun di Gaza Tengah
(Amnesty International.2009.http://www.amnesty.org/en/ region/israel-occupiedpalestinian-territories/report-2011.html, diakses tanggal 17 Juli 2012).
Konflik yang baru-baru ini terjadi dan yang menyita perhatian dunia
adalah agresi Israel kepada Palestina di Jalur Gaza sejak tanggal 27 Desember
2008-20 Januari 2009 atau yang dikenal dengan sebutan Operation Cast Lead
(SecurityCouncil.2009.http://www.securitycouncilreport.org/chronology/israelepa
lestine.php?page=9, diakses tanggal 17 Agustus 2012). Dunia internasional
dikejutkan dengan adanya serangan melalui pemboman lewat udara maupun darat
yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina di Jalur Gaza. Serangan ini
sebenarnya
ditujukan
untuk
melumpuhkan
pejuang
Harakat
al
Muwaqawwamatul Islamiyah (HAMAS) atau secara harawiyah disebut sebagai
Gerakan Perlawanan Islam agar menghentikan serangan roketnya ke Israel serta
menghentikan suplai senjata HAMAS yang dikirim melalui terowonganterowongan
bawah
tanah.
HAMAS
dianggap
sebagai
organisasi
yang
mengganggu untuk merebut wilayah Palestina oleh Israel, Amerika Serikat dan
Uni Eropa. Namun oleh pendukungnya, organisasi itu dianggap sebagai kekuatan
perjuangan yang sah untuk membela Palestina dari pendudukan militer Yahudi.
Akibat serangan yang berlangsung pada tanggal 27 Desember 2008
sampai 20 Januari 2009, total 1.453 orang tewas. Agresi ini merupakan agresi
Israel ke Palestina yang memakan jumlah korban dari penduduk sipil terbesar dari
keseluruhan agresi yang pernah dilakukan Israel ke Palestina. Dari jumlah
tersebut, 1.440 orang Palestina, termasuk 431 anak dan 114 wanita. Sebanyak 13
orang Israel juga tewas dalam insiden tersebut, termasuk tiga warga sipil dan
enam pasukan Israel tewas oleh HAMAS. Empat pasukan Israel tewas dalam
sebuah insiden tembak-menembak antara pasukan Israel dengan HAMAS
(UN.2009.http://www.un.org/children/conflict/documents/A.HRC.10.22.pdf.diaks
es tanggal 17 Juli 2012). Selain 1.440 orang Palestina yang tewas, Departemen
userpenduduk Palestina yang terluka,
Kesehatan Palestina mencatat adacommit
5.380 to
daftar
perpustakaan.uns.ac.id
4
digilib.uns.ac.id
termasuk 1.872 anak-anak dan 800 wanita. Sedangkan ada sekitar 518 penduduk
Israel yang terluka, yang terdiri dari 182 penduduk sipil Israel dan 336 pasukan
bersenjata Israel (Btselem.2009.http://www.btselem.org/english/statistics/Casualties.asp>, diakses tanggal 21 Juli 2012). Kerugian lain yang diterima rakyat
Palestina antara lain adalah kerugian materiil berupa rusaknya rumah-rumah
mereka, sekitar 6000 rumah mengalami kerusakan ringan dan 10.000 rumah
mengalami kerusakan parah. Jika ditaksirkan kerugiannya dapat mencapai 2,2
miliar US dollar (KOMPAS, 18 Januari 2009:11). Penduduk Palestina juga
mengalami kesulitan untuk mengungsi dan mendapatkan bantuan kemanusiaan
dari luar karena adanya blokade di perbatasan Pelestina dan Mesir. Serangan
Israel juga telah menghancurkan rumah-rumah, tempat ibadah, dan kantor
lembaga bantuan PBB dan infrastruktur lainnya.
Sebagian besar negara diberbagai belahan dunia, terutama sebagian besar
negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam mengutuk agresi
Israel ke Palestina. Bahkan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) Hak Asasi
Manusia di Israel juga mengecam tindakan tersebut. Para pembela hak-hak asasi
manusia internasional dengan tegas menyatakan bahwa agresi ini merupakan
kejahatan perang. Selain itu di dalam serangannya ke Palestina, Israel juga telah
mengakui menggunakan bom fosfor putih yang sangat berbahaya jika digunakan
dan sebenanya juga telah dilarang pengunaannya di dalam konvensi Den Haag
1899 karena akan merugikan penduduk sipil. Hal ini terlihat dari bangunanbangunan yang hancur dan luka bakar yang sangat parah dari para korban
(Anonim.2011.http://www.voiceofpalestine.com//inter-Penyakit-Kanker-WargaGaza-Meningkat30%-Akibat-Bom-Fosfor-Putih-Israel.htm,diakses
tanggal
11
april 2009).
Selama konflik antara Israel-Palestina, kehidupan di Palestina menjadi
kacau, penduduk sipil dibayang-bayangi oleh rasa ketakutan. Korban dari kedua
pihak sangatlah banyak, terutama dari penduduk sipil Palestina (KGPH
Haryomataram, 1994:93). Berdasarkan Konvensi Jenewa IV/1949 dan Protokol
Tambahan I/1977, penduduk sipil merupakan pihak yang harus dilindungi dan
commit
to userdalam Pasal 4 Konvensi Jenewa
tidak boleh diserang. Seperti yang
tercantum
perpustakaan.uns.ac.id
5
digilib.uns.ac.id
IV/1949 “Persons protected by the Convention are those who, at a given moment
and in any manner whatsoever, find themselves, in case of a conflict or
occupation, in the hands of a Party to the conflict or Occupying Power of which
they are not nationals”. Maksud dari Pasal 4 Konvensi Jenewa IV/1949 adalah
bahwa orang-orang yang dilindungi dalam konvensi adalah mereka yang pada saat
dan karena peristiwa, menemukan dirinya dalam kasus pertikaian atau
kependudukan, berada di tangan pihak yang bertikai atau negara yang menduduki
yang bukan negaranya. Selanjutnya Pasal 13 Konvensi Jenewa IV/1949
menyatakan bahwa “The provisions Art 4 the whole of the populations of the
countries in conflict, without any adverse distinction based, in particular, on race,
nationality, religion or political opinion, and are intended to alleviate the
sufferings caused by war”. Maksud dari pasal tersebut adalah bahwa perlindungan
penduduk sipil meliputi seluruh penduduk dari negara-negara yang bersengketa,
tanpa perbedaan yang merugikan apapun yang didasarkan atas suku,
kewarganegaraan, agama atau keadaan politik dan dimaksudkan untuk
meringankan penderitaan-penderitaan yang disebabkan oleh perang.
Tetapi pada kenyatannya hampir sebagian besar korban yang jatuh dalam
konflik ini berasal dari pihak sipil terutama adalah penduduk sipil Palestina. Tentu
saja hal ini sangatlah bertentangan dengan isi dari Konvensi Jenewa IV/1949 dan
Protokol Tambahan I/1977. Semakin panasnya situasi di Timur Tengah yang
sampai saat ini masih berlangsung sepertinya belum ada titik terang untuk
menghentikan konflik antara kedua belah pihak. Sebenarnya sudah ada aturanaturan internasional yang melindungi penduduk sipil dalam konflik bersenjata
seperti Konvensi Jenewa IV/1949 maupun Protokol Tambahan I/1977, tetapi
sampai sekarang aturan-aturan tersebut belum mampu memberikan keadilan bagi
penduduk Palestina.
Berdasarkan uraian-uraian diatas maka penulis membuat penulisan
hukum dalam bentuk skripsi dengan judul: “MEKANISME PENEGAKAN
HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL PADA SAAT
KONFLIK ISRAEL-PALESTINA DI JALUR GAZA DITINJAU DARI
commit
to user
KONVENSI JENEWA IV/1949,
PROTOKOL
TAMBAHAN I/1977, DAN
6
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
STATUTA ROMA 1998 (STUDI KASUS OPERATION CAST LEAD 27
DESEMBER 2008-20 JANUARI 2009)”.
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting di dalam
penyusunan suatu penulisan hukum. Perumusan masalah di dalam suatu penelitian
dimaksudkan untuk menegaskan masalah yang akan diteliti, sehingga tujuan yang
akan dicapai menjadi lebih jelas dan sistematis. Dengan demikian akan diperoleh
hasil yang diharapkan.
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya,
masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana bentuk pelanggaran terhadap penduduk sipil dalam konflik IsraelPalestina di jalur Gaza pada Operation Cast Lead 27 Desember 2008-20
Januari 2009?
2. Bagaimana mekanisme penegakan hukum terhadap perlindungan penduduk
sipil ditinjau dari Konvensi Jenewa IV/1949, Protokol Tambahan I/1977, dan
Statuta Roma 1998 dalam konflik Israel-Palestina di jalur Gaza pada Operation
Cast Lead 27 Desember 2008-20 Januari 2009?
C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian pasti memiliki tujuan tertentu. Hal ini dimaksudkan
untuk memberikan arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian.
Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis, yaitu :
1. Untuk mendiskripsikan bentuk-bentuk pelanggaran terhadap penduduk sipil
dalam konflik Israel-Palestina di Jalur Gaza pada Operation Cast Lead 27
Desember 2008-20 Januari 2009.
2. Untuk mendiskripsikan mekanisme penegakan hukum terhadap perlindungan
penduduk sipil ditinjau dari Konvensi Jenewa IV/1949, Protokol Tambahan
commit to user
7
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
I/1977, dan Statuta Roma 1998 dalam konflik Israel-Palestina di jalur Gaza
pada Operation Cast Lead 27 Desember 2008-20 Januari 2009.
D. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian diharapkan dapat memberi manfaat bagi ilmu
pengetahuan dibidang ilmu pengetahuan itu sendiri ataupun ilmu pengetahuan
lainnya. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain :
1. Manfaat teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada ilmu
pengetahuan di bidang hukum secara umum dan hukum internasional secara
khusus.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi para peneliti-peneliti yang akan datang untuk ketersediaan data awal.
c. Untuk mendalami teori-teori yang telah penulis peroleh selama menjalani
kuliah strata satu (S1) di Fakultas Hukum Sebelas Maret Surakarta dan
memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
a. Guna memberi jawaban atas permasalahan yang akan diteliti.
b. Untuk mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir serta
mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
c. Hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan kepada para akademisi
yang membutuhkan pengetahuan terkait dengan masalah yang diteliti.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum dimulai dengan melakukan penelusuran bahan hukum
sebagai dasar untuk membuat keputusan hukum tehadap kasus-kasus hukum yang
konkret. Pada sisi lain, penelitian hukum juga merupakan kegiatan ilmiah untuk
memberikan refleksi dan penilaian terhadap keputusan-keputusan hukum yang
commit
to user
telah dibuat terhadap kasus-kasus
hukum
yang pernah terjadi atau yang akan
perpustakaan.uns.ac.id
8
digilib.uns.ac.id
terjadi (Johny Ibrahim, 2006:290). Metode penelitian yang digunakan adalah
sebagai berikut :
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Jenis penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif. Metode penelitian
hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum berdasarkan sisi normatifnya.
Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan
disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu hukum yang
objeknya hukum itu sendiri (Johny Ibrahim, 2006:57). Sisi normatif di dalam
penulisan hukum ini adalah untuk menentukan hasil analisis mengenai normanorma yang ada dalam hukum humaniter internasional mengenai pelindungan
terhadap penduduk sipil dalam konflik bersenjata beserta mekanisme
penegakan hukum terhadap perlindungan penduduk sipil, khususnya dalam
konflik bersenjata yang bersifat internasional (international armed conflict) .
2. Sifat Penelitian
Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat
preskriptif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki, 2009:22). Ilmu hukum yang
bersifat perskriptif berarti ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai
keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma
hukum. Sebagai ilmu terapan, rambu-rambu dalam aturan hukum. Sifat
preskriptif dalam penelitian ini yaitu hukum humaniter internasional tentang
perlindungan penduduk sipil dalam konflik bersenjata internasional tidak dapat
ditegakan dalam konflik Israel-Palestina ini, padahal sudah ada aturan-aturan
yang mengaturnya. Penulis akan mempelajari tentang macam-macam
perlindungan terhadap penduduk sipil berdasarkan Konvensi Jenewa IV/1949
dan Protokol Tambahan I/1977, kemudian menelaah mekanisme penegakan
hukum humaniter yang dapat diberlakukan untuk menyelesaikan kasus ini
commit
user Roma 1998 .
menurut Konvensi Jenewa IV/1949
dantoStatuta
perpustakaan.uns.ac.id
9
digilib.uns.ac.id
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum
ada lima pendekatan, yaitu: pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).
Dari beberapa pendekatan tersebut penulis akan menggunakan
pendekatan undang-undang (statute approach). Pendekatan undang-undang
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud
Marzuki, 2009:93). Pada penelitian ini penulis akan menelaah tentang
Konvensi Jenewa IV/1949 dan Protokol Tambahan I /1977 sebagai aturan
dasar yang mengatur tentang perlindungan penduduk sipil dalam sengketa
bersenjata internasional, beserta Statuta Roma 1998 sebagai aturan dasar yang
mengatur tentang Makamah Pidana Internasional sebagai salah satu mekanisme
penegakan hukum terhadap perlindungan penduduk sipil.
4. Sumber penelitian Hukum
Penelitian hukum ini akan menggunakan dua sumber hukum yang
terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer adalah
bahan hukum yang mempunyai otoritas, yang terdiri dari perundang-undangan,
catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan
putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum
yang berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumendokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki,2006:141).
Bahan hukum yang digunakan didalam penelitian ini adalah :
a. Bahan hukum primer yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah hasil
Konvensi Jenewa IV/1949 dan Protokol Tambahan I/1977 sebagai
instrumen internasional yang mengatur mengenai perlindungan orang-orang
commitStatuta
to userRoma 1998 sebagai aturan dasar
sipil pada waktu perang. Beserta
perpustakaan.uns.ac.id
10
digilib.uns.ac.id
yang mengatur tentang Makamah Pidana Internasional sebagai salah satu
mekanisme penegakan hukum terhadap perlindungan penduduk sipil.
b. Bahan hukum sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
buku-buku, jurnal-jurnal diantaranya adalah Harvard National Security
Journal / Vol. 2,2011 yang ditulis oleh Michael N. Schmitt dan Jurnal
Dinamika Hukum, Vol 9 No. 2, Mei 2009 yang ditulis oleh Aryuni
Yuliantinigsih, pendapat para sarjana yang berkaitan dengan perlindungan
orang-orang sipil pada waktu perang.
5. Teknik pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum penelitian ini adalah studi
kepustakaan. Peneliti akan mengkaji dan mempelajari hasil Konvensi Jenewa
IV/1949, Protokol Tambahan I/1977, dan Statuta Roma 1998 sebagai bahan
primer dan bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku, jurnal-jurnal,
pendapat para sarjana yang berkaitan dengan perlindungan orang-orang sipil
pada waktu perang.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah dengan menggunakan metode deduksi. Penggunakan metode
deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor yakni aturan-aturan hukum
yang kemudian diajukan premis minor yakni fakta-fakta hukum, yang
kemudian ditarik suatu kesimpulan (Peter Mahmud Marzuki,2006:47). Peneliti
mengkaji mengenai isi dari Konvensi Jenewa IV/1949 dan Protokol Tambahan
I/1977 sebagai instrumen internasional yang mengatur mengenai perlindungan
orang-orang sipil pada waktu perang, beserta Statuta Roma 1998 sebagai
aturan dasar yang mengatur tentang Makamah Pidana Internasional sebagai
salah satu mekanisme penegakan hukum terhadap perlindungan penduduk sipil
yang kemudian dihubungkan dengan fakta-fakta yang ada dalam konflik antara
Israel dengan Palestina di Jalur Gaza dalam Operation Cast Lead.
commit to user
11
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
F. Sistematika Penelitian Hukum
Penulis hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu pendahuluan,
tinjauan pustaka, pembahasan, dan penutup serta dilengkapi dengan daftar
pustaka. Adapun sistematika penulisan hukum sebagai berikut :
BAB I
: PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi
penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menjelaskan segi-segi teoritis dari permasalahan
yang akan diteliti, yaitu tinjauan umum tentang HHI,
tinjauan umum tentang perlindungan penduduk sipil,
combatant dan hors de combat, tinjauan umum tentang
konflik antara Isael dan Palestina, tinjauan umum tentang
Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan 1977, dan
Statuta Roma 1998, tinjauan umum tentang kriteria
pelanggaran-pelangaran terhadap penduduk sipil, dan
tinjuan umum tentang mekanisme penegakan HHI.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini menjelaskan tentang hasil penelitian yang
menghubungkan aturan-aturan hukum dengan data-data
yang telah diperoleh dari hasil penelitian, yaitu: bentukbentuk pelanggaran terhadap penduduk sipil dalam konflik
Israel-Palestina di Jalur Gaza pada Operation Cast Lead
dan yang terakhir adalah mekanisme penegakan hukum
terhadap
perlindungan penduduk sipil ditinjau dari
commitIV/1949,
to user Protokol Tambahan I/1977, dan
Konvensi Jenewa
12
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Statuta Roma 1998 dalam konflik Israel-Palestina di jalur
Gaza pada Operation Cast Lead 27 Desember 2008-20
Januari 2009.
BAB IV
: PENUTUP
Bab ini menjelaskan tentang simpulan
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
13
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1.
Tinjauan Mengenai Hukum Humaniter Internasional (HHI)
a. Pengertian Hukum Humaniter Internasional (HHI)
Begitu banyak definisi HHI yang dikemukakan oleh para ahli,
oleh karenanya, penulis akan menyajikan beberapa pendapat untuk
menunjukkan esensi dari definisi-definisi tersebut, yaitu:
1) Mochtar Kusumaatmadja (Mochtar Kusumaatmadja, 1979:7)
Mochtar
Kusumaatmadja
tidak
memberikan
definisi,
hanya
memberikan pembagian hukum perang, yakni:
a)
Jus ad Bellum (hukum tentang perang);
Mengatur dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan
kekerasan senjata.
b) Jus In Bello (hukum yang berlaku dalam perang):
Hukum ini dibagi menjadi dua lagi, yaitu:
(1) Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (Conduct of
War). Bagian ini lazimnya disebut “Hague Laws”.
(2) Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang
menjadi korban perang, ini lazimnya disebut “Geneva Laws”.
2) Menurut pendapat dari Esbjorn Rosenbland yang dikutip oleh Arlina
Permanasari dkk (Arlina Permanasari dkk,1999:9)
Esbjorn
Rosenbland
merumuskan
HHI
dengan
mengadakan
pembedaan antara:
a)
The law of armed conflict, berhubungan dengan permulaan dan
berakhirnya pertikaian, pendudukan di wilayah lawan, hubungan
pihak bertikai dengan negara netral.
b) law of warfare antara lain mencakup: metode dan sarana
berperang, status kombatan, perlindungan yang sakit, kombatan
dan orang sipil. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
14
digilib.uns.ac.id
3) F. Sugeng Istanto (F. Sugeng Istanto,1997:1)
HHI ialah keseluruhan ketentuan hukum yang merupakan bagian dari
hukum internasional publik yang mengatur tingkah laku manusia
dalam pertikaian bersenjata yang didasarkan pada pertimbangan
kemanusiaan dengan tujuan untuk melindungi manusia.
4) Panitia Tetap (Pantap) Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan
Perundang-Undangan (Arlina Permanasari dkk, 1999:10)
HHI sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional
baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan
hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap
harkat dan martabat seseorang.
5) Menurut pendapat dari Geza Herzegh yang dikutip oleh Michael N.
Schmitt (Michael N. Schmitt,2011:25) merumuskan hukum humaniter
internasional sebagai berikut:
“Part of the rules of public international law which serve as the
protection of individuals in time of armed conflict. Its place is
beside the norm of warfare it is closely related to them but must
be clearly distinguished from these its purpose and spirit being
different”.
Maksud dari pendapat Geza Herzegh adalah HHI merupakan bagian
dari aturan-aturan hukum internasional publik yang berfungsi sebagai
perlindungan terhadap individu dalam masa konflik bersenjata.
Posisinya adalah disamping norma peperangan itu erat terkait dengan
mereka, tetapi harus jelas membedakan dari tujuan dan semangat yang
berbeda.
6) Menurut pendapat dari Jean Pictet yang dikutip oleh Moaz Zatari and
Jonathan Molony (oleh Moaz Zatari and Jonathan Molony,2010:11)
“International humanitarian law in the wide sense is constitusional
legal provision, whether written or customary, ensuring respect and
individual and his well being”. Maksud dari pendapat Jean Pictet
adalah HHI dalam arti luas adalah provisi hukum konstitusional, baik
commit to user
15
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tertulis maupun adat, menjamin penghormatan individu dan
kesejahteraannya.
Dari beberapa istilah yang diungkapkan oleh para pakar di atas
dapat disimpulkan, bahwa HHI adalah sebagai keseluruhan asas, kaidah
dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang
mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bersumber pada hukum
internasional dan hukum kebiasaan internasional yang bertujuan untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kemanusiaan yang
muncul secara langsung sebagai akibat dari konflik bersenjata, baik yang
bersifat internasional maupun non-internasional.
b. Sumber-Sumber Hukum Humaniter Internasional (HHI)
Hukum perang merupakan bagian dari hukum internasional.
Sehingga
sumber
hukum
perang
sama
dengan
sumber
hukum
internasional. J.G. Starke menguraikan bahwa sumber-sumber meteriil
hukum internasional dapat didefinisikan sebagai bahan-bahan aktual yang
digunakan oleh para ahli hukum internasional untuk menetapkan hukum
yang berlaku bagi suatu peristiwa atau situasi tertentu. Secara garis besar,
bahan-bahan
hukum
internasional
dapat
dikategikan dalam
lima
bentuk,yaitu (J.G. Starke,2000:679):
1) Hukum Kebiasaan Internasional;
2) Traktat;
3) Keputusan Pengadilan atau Badan-Badan Arbritasi;
4) Karya-karya hukum;
5) Keputusan atau Ketetapan organ-organ atau lembaga internasional.
Menurut Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional (Article 38 of
the Statute of the International Court of Justice) sumber hukum
internasional adalah:
1) Perjanjian internasional (international convention);
2) Hukum Kebiasaan internasional (international customary law);
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
16
digilib.uns.ac.id
3) Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa yang beradab
(general principles of law recognized by civilized nations);
4) Keputusan pengadilan (judicial decisions);
5) Ajaran sarjana (the teachings of the most highly qualified publicists of
the various nations).
Berdasarkan pada sumber hukum internasional dalam Pasal 38
Statuta Mahkamah Internasional (Article 38 of the Statute of the
International Court of Justice) di atas, terdapat tiga sumber utama hukum
humaniter internasional, yaitu (ICRC, 2004:4) :
1) Konvensi Den Haag (Hague Convention) yang terdiri dari :
a)
Konvensi Den Haag Tahun 1899 (Hague Convention of 1899);
b) Konvensi Den Haag Tahun 1907 (Hague Convention of 1907).
2) Konvensi Jenewa I-IV Tahun 1949 (Final Record Of The Diplomatic
Conference Of Geneva Of 1949)
a)
Protokol Tambahan I Tahun 1977 (Protocol Additional I to the
Geneva Conventions 1977);
b) Protokol Tambahan II Tahun 1977 (Protocol Additional II to the
Geneva Conventions 1977).
3) Sumber-sumber hukum lainnya, terdiri dari:
a)
Deklarasi Paris (16 April 1856);
b) Deklarasi St. Petersburg (29 November 1868-11 Desember 1868);
c)
Rencana Peraturan Den Haag tentang Perang di Udara Tahun
1923;
d) Protokol Jenewa (17 Juni 1925) tentang Pelarangan Penggunaan
Gas Cekik dan Macam-Macam Gas Lain Dalam Peperangan;
e)
Protokol London (6 November 1936) tentang Peraturan
Penggunaan Kapal Selam Dalam Pertempuran;
f)
Konvensi Den Haag 1954 tentang Perlindungan Benda-Benda
Budaya pada Waktu Pertikaian Bersenjata;
g) Konvensi Senjata Konvensional Tertentu (10 Oktober 1980)
commit
tentang Larangan
atauto user
Pembatasan Penggunaan Senjata
17
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Konvensional Tertentu yang mengakibatkan Penderitaan yang
Berlebihan.
Dikatakan bahwa hanya ada tiga sumber utama HHI karena
didalam perjanjian internasional sebagian besar di dalamnya berisikan
tentang hasil kodifikasi dari sumber hukum internasional lainnya menurut
Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional seperti kebiasaan internasional,
keputusan pengadilan, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
bangsa yang beradab.
c. Tujuan Hukum Humaniter Internasional (HHI)
Perang adalah suatu kejadian yang tidak diinginkan oleh umat
manusia, karena peperangan menimbulkan kesengsaraan dan kerugian
yang tak ternilai harganya. Setiap kali perang terjadi selalu diwarnai
dengan perbuatan-perbuatan yang sangat kejam dan bertentangan dengan
perikemanusiaan. Perang tidak dan belum dapat dicegah,
sehingga
diharapkan HHI dapat memanusiakan perang. Mohammed Bedjaoui
menyatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiakan
perang (Mohammed Bedjaoui,1991:12).
Adapun
tujuan
hukum
perang
adalah
sebagai
berikut
(Haryomataram, 1994:8-9) :
1) Melindungi, baik kombatan maupun non-kombatan, dari penderitaan
yang tidak perlu;
2) Menjamin hak-hak asasi manusia yang fundamental bagi mereka yang
jatuh dalam tangan musuh;
3) Mencegah dilakukan perang secara kejam tanpa mengenal batas.
Beberapa tujuan dari Hukum Humaniter Internasional yaitu
(Syahmin. AK,1985:7-8 ) :
1) Melindungi baik kombatan maupun non-kombatan dari penderitaan
yang tidak perlu;
2) Menjamin hak-hak asasi tertentu dari orang yang jatuh ke tangan
commit to user
musuh;
18
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Memungkinkan dikembalikannya perdamaian;
4) Membatasi kekuasaan pihak berperang.
Dapat disimpulkan, bahwa tujuan dari hukum humaniter adalah
untuk melindungi korban perang baik kombatan maupun non-kombatan,
juga melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) yang selalu dilanggar pada
saat berlangsung konflik dan mencegah perilaku yang kejam dan tanpa
belas kasihan dalam perang.
d. Asas dan Prinsip-Prinsip Dalam Hukum Humaniter Internasional
(HHI)
Dalam hukum humaniter dikenal beberapa prinsip-prinsip, yaitu
(Pietro Verri, 1992:90):
1) Prinsip kepentingan militer (military necessity)
Berdasarkan prinsip ini pihak yang bersengketa dibenarkan
menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya
tujuan dan keberhasilan perang.
Dalam prakteknya, untuk menerapkan asas kepentingan
militer dalam rangka penggunaan kekerasan terhadap pihak lawan,
suatu serangan harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
a)
Prinsip proporsionalitas (proportionality principle), yaitu:
prinsip yang diterapkan untuk membatasi kerusakan yang
disebabkan oleh operasi militer dengan mensyaratkan bahwa
akibat dari sarana dan metode berperang yang digunakan tidak
boleh tidak proporsional (harus proporsional) dengan keuntungan
militer yang diharapkan.
b) Prinsip pembatasan (limitation principle), yaitu prinsip yang
membatasi penggunaan alat-alat dan cara-cara berperang yang
dapat menimbulkan akibat yang luar biasa kepada pihak musuh.
2) Prinsip Perikemanusiaan (humanity)
Berdasarkan prinsip ini maka pihak yang bersengketa
commit to userperikemanusiaan, dimana mereka
diharuskan untuk memperhatikan
19
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka
yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu. Oleh karena itu
prinsip ini sering juga disebut dengan unnecessary suffering principle.
3) Prinsip Kesatriaan (chivalry)
Prinsip ini mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran
harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat,
perbuatan curang dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.
4) Prinsip pembedaan (distinction principle)
Berdasarkan prinsip ini pada waktu terjadi perang/konflik
persenjata harus dilakukan pembedaan antara penduduk sipil (civilian)
di satu pihak dengan combatant serta antara objek sipil di satu pihak
dengan objek militer di lain pihak. Berdasarkan prinsip ini hanya
kombatan dan objek militer yang boleh terlibat dalam perang dan
dijadikan sasaran. Banyak ahli yang berpendapat bahwa prinsip
pembedaan ini adalah yang paling penting dalam prinsip-prinsip HHI.
H. A. Mansyur Effendi menyusun pengelompokan tentang prinsipprinsip dalam dalam hukum humaniter, yakni: (H. A. Mansyur Effendi,
1985:52-53)
1) Pada prinsipnya hak asasi manusia tidak dapat diganggu gugat, dalam
arti tiap-tiap individu mempunyai atau memiliki hak hidup, hak atas
fisik dan moral dan kepribadian. Ada prinsip yang terkandung dalam
pengertian tidak dapat diganggu gugat yaitu:
a)
Seorang yang tertangkap dalam peperangan tidak dapat diganggu
atau dilanggar haknya (hak hidupnya tak boleh dihilangkan);
b) Penyiksaan dilarang;
c)
Setiap orang berhak atas pengajuan yang sama di depan hukum;
d) Setiap orang berhak untuk memperoleh penghormatan, berhak
menganut keyakinannya dan melaksanakan kegemarannya;
e)
Setiap orang yang menderita akan mendapatkan perlindungan dan
menerima perawatan secukupnya;
commit to user
20
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
f)
Tidak seorangpun dapat dikurangi hak miliknya dengan semenamena.
2) Prinsip tidak membeda-bedakan sesama manusia, baik dari segi
agama, jenis kelamin, kebangsaan, bahasa, dan kedudukan sosial,
kekayaan, politik, suku, pandangan hidup.
3) Prinsip keamanan :
a)
Tak seorangpun dipertanggung jawabkan terhadap perbuatan
yang tak dilakukan olehnya;
b) Dilarang
adanya
pembalasan,
hukum
kolektif,
penyanderaan/pengusiran terhadap seseorang;
c)
Tiap orang mendapatkan hak untuk mendapatkan keuntungan atas
jaminan hukum yang ada;
d) Tak seorangpun dapat dihapus hak yang telah diberikan oleh
konvensi-konvensi humaniter kepadanya.
Dari prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas, jelaslah bahwa
HHI mencoba untuk memberikan penghormatan terhadap pribadi korban
dalam sengketa bersenjata tanpa adanya pembedaan, juga memberikan
jaminan atas keselamatan korban dalam sengketa bersenjata.
2.
Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Penduduk Sipil
a. Pengertian Penduduk Sipil (Civilians)
Protokol Tambahan I/1977 mengatur definisi orang sipil (civilian).
Hal ini dirumuskan dalam Pasal 50 ayat (1) yang berbunyi:
“civilians is someone who does not belong to one category or the
categories mentioned in Article 4 a (1) (2) (3) and (6) of the Third
Convention and Article 43 of this Protocol. If there is any doubt
whether a person is classified as a civilian, that person will be
considered as civilians.”
Dengan demikian yang dimaksud orang sipil menurut Protokol Tambahan
I/1977 Pasal 50 ayat (1) adalah seseorang yang tidak termasuk salah satu
kategori/golongan yang disebut dalam pasal 4 A (1),(2),(3) dan (6) dari
Konvensi Jenewa III/1949 dan Pasal 43 Protokol Tambahan I/1977.
commit to user
Apabila ada keragu-raguan apakah sesorang tergolong orang sipil, maka
perpustakaan.uns.ac.id
21
digilib.uns.ac.id
orang tersebut dianggap sebagai orang sipil. Selanjutnya dalam ayat (2)
dinyatakan bahwa penduduk sipil (civilian population) terdiri dari orangorang sipil.
Pengaturan tentang penduduk sipil dirumuskan secara terbalik
oleh konvensi ini bahwa orang sipil adalah orang-orang yang tidak
termasuk di dalam salah satu golongan berikut, yaitu:
1) Anggota angkatan perang dari pihak yang bertikai;
2) Anggota-anggota milisi serta anggota sukarekawan, termasuk
anggota-angggota gerakan perlawanan yang diorganisir;
3) Anggota-anggota angkatan perang tetap yang menyatakan kesetiaan
pada suatu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui oleh negara
penahan;
4) Penduduk wilayah yang belum diduduki.
Selain itu, Pasal 43 ayat (1) dan (2) Protokol Tambahan I/1977
mengatur bahwa angkatan perang yang terdiri dari semua angkatan,
kelompok-kelompok dan satuan-satuan bersenjata yang diorganisir yang
berada dibawah suatu komando yang bertanggung jawab kepada pihak
dibawahannya, dan kombatan yaitu mereka yang mempunyai hak untuk
turut serta secara langsung dalam permusuhan, tidak dapat dikategorikan
pula sebagai orang sipil.
Dengan demikian maka Pasal 50 ayat (1), tidak secara langsung
merumuskan definisi tentang orang sipil. Pasal 50 ayat (1) hanya
menyebut bahwa anggota angkatan bersenjata dan kombatan seperti yang
dimaksudkan dalam Pasal 43 Protokol I juga tidak termasuk kedalam
golongan orang sipil (KGPH Haryomataram, 1994:104).
Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 juga memuat ketentuan yang
dapat dijadikan acuan paling pokok untuk perlindungan penduduk sipil
yaitu Pasal 27, yang merumuskan bahwa orang-orang yang dilindungi
berhak akan penghornatan atas diri pribadi, kehornatan hak-hak keluarga,
keyakinan, dan praktek keagamaan, serta adat istiadat dan kebiasaan
commit
to user dengan perikemanusiaan, dan
mereka. Mereka selalu harus
diperlakukan
22
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
harus dilindungi terhadap segala tindakan kekerasan dan penghinaan.
Selain mengatur tentang penghormatan atas orang-orang sipil, Pasal 27
Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 juga mengatur tentang perlindungan
terhadap kaum wanita. Pada pasal ini diatur macam-macam perlindungan
terhadap wanita seperti perlindungan terhadap setiap serangan atas
kehormatannya,
khususnya
terhadap
perkosaan,
pelacuran
yang
dipaksakan, atau setiap bentuk serangan yang melanggar kesusilaan.
Perlindungan terhadap kaum wanita juga harus dilakukan secara adil,
tanpa membedakan pada ras, agama, atau pendapat politik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pasal 27 Konvensi
Jenewa IV tahun 1949 merumuskan bahwa wanita juga dapat
dikategorikan sebagai penduduk sipil dan mendapatkan perlindungan yang
sama dengan penduduk sipil pada umumnya. Orang-orang yang tergabung
dalam suatu organisasi sosial yang melaksanakan tugas-tugas yang bersifat
sosial untuk membantu penduduk sipil lainnya pada waktu sengketa
bersenjata juga dapat dikategorikan sebagai penduduk sipil yang tidak
bileh diserang dalam sengketa bersenjata. Contohnya penduduk sipil yang
menjadi anggota perhimpunan palang merah nasional atau perhimpuan
penolong sipil lainnya (Agustinus Supriyanto, 2006: 66).
b. Perlindungan Penduduk Sipil
HHI mewajibkan pihak-pihak yang bersengketa melindungi
penduduk sipil dan membedakan antara penduduk sipil dengan kombatan.
Pasal 48 Protokol Tambahan I tahun 1977 mengatur:
Agar dapat dijamin penghormatan dan perlindungan terhadap
penduduk sipil dan obyek sipil, pihak-pihak dalam sengketa setiap
saat harus membedakan penduduk sipil dari kombatan dan antara
obyek sipil dan sasaran militer dan karenanya harus mengarahkan
operasinya hanya terhadap sasaran-sasaran militer saja.
Istilah penduduk sipil mencakup semua orang yang berstatus sipil
(tidak ikut berperang). Oleh karena itu istilah penduduk sipil mencakup
commit to di
user
orang-orang sipil yang berdomisili
daerah-daerah yang sedang terjadi
perpustakaan.uns.ac.id
23
digilib.uns.ac.id
konflik peperangan, atau penduduk sipil yang berdomisili di daerah-daerah
pendudukan. Pasal 50 Protokol Tambahan I tahun 1977 mengatur “If
there is any doubt whether a person is classified as a civilian, that person
will be considered as civilians” (Bila ada keraguan apakah seseorang itu
seorang sipil atau kombatan, maka ia harus dianggap sebagai orang sipil).
Perlindungan penduduk sipil ini juga mencakup orang-orang yang bekerja
sebagai penolong, wartawan dan personel organisasi pertahanan sipil
(Pasal 63 ayat (1) dan Pasal 79 ayat (1) Protokol Tambahan I tahun 1977).
Pasal 63 ayat (1) Protokol Tambahan I/1977 mengatur tentang :
Di wilayah-wilayah pendudukan, organisasi pertahanan sipil akan
menerima fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menjalankan
tugas-tugas mereka. Dalam keadaan apapun, personil mereka tidak
dapat dipaksakan menjalankan kegiatan yang akan mengganggu
pelaksanaan tugas-tugas tersebut secara benar. Penguasa
Pendudukan tidak akan merubah struktur atau personil dan
organisasi-organisasi tersebut sedemikian yang dapat mengganggu
pelaksanaan misi mereka secara efisiensi. Organisasi-organisasi itu
tidak akan diharuskan memberikan prioritas kepada warganegara
atau kepentingan-kepentingan dari Penguasa tersebut.
Pasal 79 ayat (1) Protokol Tambahan I/1977 mengatur tentang: Wartawanwartawan yang melakukan tugas-tugas pekerjaanya yang berbahaya di
daerah-daerah sengketa bersenjata harus dianggap sebagai orang sipil di
dalam pengertian Pasal 50 ayat (1).
Menurut pengaturan HHI, perlindungan manusia dalam pertikaian
bersenjata didasarkan pada prinsip pembedaan. Berdasarkan prinsip
pembedaan itu pengaturan orang yang dilindungi HHI dapat dibedakan
menjadi tiga kelompok, yakni (Fadilah Agus, 1997:42):
1) Kombatan;
2) Orang sipil;
3) Penolong korban perang, yang dapat dibedakan: penolong militer dan
penolong sipil.
Seperti yang tercantum dalam Pasal 49 dan 51 Protokol Tambahan
I Tahun 1977, perlindungan penduduk sipil sama kuatnya dengan
perlindungan terhadap kombatan
dan mereka yang telah berhenti
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
24
digilib.uns.ac.id
berperang (hors de combat) artinya terhadap penduduk sipil tidak
dijadikan obyek serangan.
Perlindungan yang harus diberikan oleh pihak-pihak yang
berperang terhadap penduduk sipil adalah:
1) Orang-orang sipil harus diperlakukan dengan perlakuan yang
manusiawi tanpa suatu pembedaan diskriminatif yang didasarkan atas
jenis kelamin, warna kulit, ras, agama atau kepercayaan, pandangan
politik atau pandangan-pandangan lainnya, asal kebangsaan dan
sosial, kekayaan, keturunan, dan standar-standar pembedaan serupa
lainnya (Pasal 27 Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 dan Pasal 75 ayat
(1) Protokol Tambahan I tahun 1977);
2) Orang-orang sipil harus menerima perlindungan berkaitan dengan
kehormatan, kemuliaan, hak-hak keluarga, ideologi dan pelaksanaan
ritual keagamaan serta adat-istiadat dan tradisi. Kapan dan dalam
kondisi apapun mereka harus diperlakukan dengan perlakuan yang
manusiawi;
3) Tidak boleh melakukan aksi-aksi perampokan, pencurian, atau
penyiksaan terhadap mereka dan harta benda milik mereka (Pasal 33
Konvensi Jenewa IV tahun 1949).
Beberapa Konvensi yang mengatur tentang perlindungan bagi
penduduk sipil antara lain adalah sebagai berikut (Muhammad Sayyid
Thanthawi,2008:53):
1) Konvensi Jenewa IV 1949
Dalam konvensi ini perlindungan bagi penduduk sipil dibagi menjadi
dua, yaitu:
a)
Perlindungan Umum
Diberikan kepada penduduk sipil dan tidak boleh dilakukan
secara diskriminatif. Dalam segala keadaan, penduduk sipil
berhak atas penghormatan pribadi, hak kekeluargaan, kekayaan
dan praktek ajaran agamanya. Terhadap mereka tidak boleh
commit
userdigolongkan kedalam bunyi Pasal
dilakukan tindakan
yang to
dapat
25
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
27-34 Konvensi Jenewa IV tahun 1949 yaitu tentang: pemaksaan
jasmani,
tindakan
yang
menimbulkan
penderitaan,
intimidasi/terorisme.
b)
Perlindungan Khusus
Perlindungan khusus diberikan kepada penduduk sipil yang
tergabung dalam suatu organisasi sosial yang melaksanakan
tugas-tugas yang bersifat sosial untuk membantu penduduk sipil
lainnya pada waktu sengketa bersenjata, yaitu penduduk sipil
yang menjadi anggota perhimpunan palang merah nasional atau
perhimpuan penolong sipil lainnya, termasuk anggota pertahanan
sipil.
2) Protokol Tambahan I dan II tahun 1977
Secara eksplisit menetapkan batasan pengertian orang sipil. Orang
sipil adalah setiap orang yang bukan anggota angkatan bersenjata
pihak yang bertikai. Anggota angkatan bersenjata adalah kombatan,
yaitu mereka yang berhak ikut serta dalam permusuhan. Bentuk
Perlindungannya Protokol Tambahan I Tahun 1977 :
a)
Larangan menyerang orang sipil;
b) Keharusan dilakukannya penghati-hatian dalam melakukan
perbuatan perang demi untuk melindungi orang sipil;
c)
Larangan dilakukannya kekerasan kepada orang sipil;
d) Larangan pemindahan paksa orang sipil;
e)
Jaminan mendapatkan bantuan;
f)
Kesempatan memberi bantuan korban pertikaian bersenjata.
3) Konvensi Den Haag Tahun 1899 & 1907
Konvensi Den Haag tidak menetapkan batasan orang sipil. Namun
dalam Konvensi Den Haag terdapat ketentuan yang mengatur orangorang yang tidak tergolong belligerent, yaitu orang yang tidak turut
serta dalam permusuhan, mereka adalah orang sipil. Garis besar
perlindungan yang ditetapkan antara lain:
commit to user
26
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a)
Larangan pemaksaan orang sipil memberikan info tentang
angkatan
bersenjata
pihak
lawan
bertikai
atau
tentang
perlengkapan pertahanannya;
b) Larangan meminta orang sipil untuk setia pada penguasa
pendudukan;
c)
Penghormatan hak-hak pribadi dan harta orang sipil;
d) Larangan menjarah penduduk sipil;
e)
Larangan pemungutan pajak dan pungutan lain yang sewenangwenang;
f)
Larangan penghukuman kolektif orang sipil;
g) Larangan pencabutan hak milik orang sipil secara sewenangwenang.
4) Deklarasi St. Petersburg Tahun 1868
Deklarasi ini secara implisit menetapkan perlindungan bagi orang
sipil. Perlindungan itu ditetapkan dengan dicantumkannya asas
pembedaan antara orang sipil dan kombatan di dalam konsiderannya.
Konsideran itu menetapkan bahwa satu-satunya sasaran sah yang
dapat dituju dalam perang adalah melemahkan angkatan bersenjata
musuh.
5) Instruksi Lieber Tahun 1863
Instruksi ini membedakan penduduk sipil menjadi tiga kelompok:
a)
Orang sipil yang inoffensive
Mereka
mendapat
perlindungan
pribadi,
harta
dan
kehormatannya. Mereka tidak boleh dibunuh, dijadikan budak,
dipaksa bekerja pada pihak yang menang.
b) Orang sipil yang terkait pelaksanaan tugas angkatan bersenjata
Apabila mereka tertangkap musuh, maka berhak mendapat status
sebagai tahanan perang.
c)
Orang sipil yang ikut serta langsung dalam permusuhan
Mereka diberi kedudukan sebagai belligerent.
commit to user
27
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hukum Humaniter Internasional memberikan perlindungan ekstra
bagi para wanita dan anak-anak di tengah-tengah konflik bersenjata. Hal
tersebut telah ditegaskan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial Hukum
Humaniter Internasional yang telah meminta kepada Majelis Umum
Persatuan
Bangsa-Bangsa
(PBB)
untuk
menjajaki
kemungkinan
dideklarasikannya perlindungan untuk wanita dan anak-anak pada saat
darurat atau terjadinya perang. Berdasarkan usulan tersebut, Majelis
Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mendeklarasikan hal
tersebut
pada
tanggal
14
Desember
1974
(Muhammad
Sayyid
Thanthawi,2008:55).
Hukum Humaniter Internasional juga memberikan jaminan
perlindungan bagi warga negara asing yang tengah berada di wilayah salah
satu pihak yang sedang bertikai. Warga negara asing tersebut diberi hak
meninggalkan negara yang sedang terjadi konflik ketika peperangan mulai
berkecamuk, atau di tengah-tengah terjadinya peperangan. Pemulangan
mereka harus disertai keterangan tentang status mereka sebagai warga sipil
yang harus dilindungi dan dalam situasi yang kondusif dari aspek
keamanan, kesehatan dan ketersediaan pangan (Muhammad Sayyid
Thanthawi,2008:55).
3.
Tinjauan Umum Tentang Combatant (Kombatan) dan Hors de Combat
a. Pengertian Combatant (Kombatan)
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa di dalam prinsip
pembedaan (distinction principle) membagi penduduk suatu negara yang
sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata ke dalam
dua golongan, yakni peserta tempur dan penduduk sipil. Pasal 43 Protokol
Tambahan I/1977 secara tegas menentukan bahwa mereka yang dapat
digolongkan sebagai kombatan adalah mereka yang termasuk ke dalam
angkatan perang/angkatan bersenjata (armed forces) suatu negara, yang
dikategorikan ke dalam pengertian angkatan bersenjata adalah mereka
commitberperan-serta
to user
yang memiliki hak untuk
secara langsung dalam
28
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
permusuhan. Angkatan bersenjata (armed forces) dapat dibagi menjadi
dua:
1) Organized Armed Forces (Angkatan bersenjata yang terorganisir)
Ada
beberapa
definisi
tentang
angkatan
bersenjata
terorganisir. Oleh karenanya, penulis akan menyajikan beberapa
pengaturan untuk menunjukan esensi dari definisi-definisi tersebut.
a) Konvensi Jenewa IV/1949
Dalam Konvensi Jenewa 1949 (I,II,III,IV) tidak menyebut
masalah angkatan bersenjata, melainkan hanya menentukan yang
berhak mendapatkan perlindungan (Pasal 13 Konvensi I dan II);
yang berhak mendapatkan perlakuan tawanan perang jika jatuh ke
tangan musuh (Pasal 4 Konvensi III). Meskipun ketentuan dalam
Pasal 13 Konvensi I dan II serta Pasal 4 Konvensi IV tidak
dengan tegas disebutkan adanya penggolongan kombatan dan
penduduk sipil, namun ketentuan dalam pasal-pasal tersebut pada
dasarnya dimaksudkan untuk diberlakukan bagi kombatan
(Haryomataram,1994:60). Menurut Pasal 13 ayat (2) Konvensi
Jenewa I/1949, mereka yang dapat dimasukkan dalam kategori
kombatan adalah:
(1) Mereka yang memiliki pemimpin yang bertanggung jawab
atas bawahannya;
(2) Mereka yang mengenakan tanda-tanda tertentu yang dapat
dikenal dari jarak jauh;
(3) Mereka yang membawa senjata secara terbuka;
(4) Melakukan operasi-operasi mereka sesuai dengan hukumhukum dan kebiasaan-kebiasaan perang.
b) Pasal 1-3 Konvensi Den Hag 1907
Angkatan bersenjata yang terorganisir adalah orang-orang yang
berhak ikut serta secara langsung dalam pertempuran atau medan
peperangan. Pihak-pihak yang dapat digolongkan sebagai
kombatan adalah:commit to user
29
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(1) Angkatan Bersenjata resmi (reguler) dari suatu negara,
(2) Milisi dan Korps Sukarela,
(3) Levee en masse, (Penduduk wilayah yang belum diduduki
yang pada saat musuh mendekat, atas kemauan sendiri
dengan serentak mengangkat senjata untuk melawan pasukan
yang yang menyerbu, tanpa mempunyai waktu untuk
membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata yang teratur, asal
saja mereka memikul senjata secara terang-terangan dan
menghormati
hukum-hukum
dan
kebiasaan-kebiasaan
perang)
(4) Gerakan perlawanan yang terorganisir (Organize Resistance
Movement) seperti yang dikenal dengan sebutan : partisans,
freedom fighters, insurgent, mujahideen, dan sebagainya.
c) Pasal 43 Protokol Tambahan I/1977
Angkatan bersenjata yang terorganisir adalah mereka yang
termasuk
ke
dalam
pengertian
angkatan
perang/angkatan
bersenjata (armed forces) suatu negara. Yang dikategorikan ke
dalam pengertian angkatan bersenjata adalah mereka yang
memiliki hak untuk berperan-serta secara langsung dalam
permusuhan.
Selain pengaturan yang telah penulis jelaskan diatas ada juga
pendapat dari Haryomataram yang dapat menunjukan esensi definisi
Organized Armed Forces (Angkatan bersenjata yang terorganisir)
adalah suatu golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam
permusuhan (hostilities) (Haryomataram,1994:63).
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
angkatan bersenjata yang terorganisir adalah orang-orang yang
berhak ikut serta secara langsung dalam pertempuran yang termasuk
ke dalam pengertian angkatan perang/angkatan bersenjata (armed
forces) suatu negara, apabila tertangkap pihak musuh, akan dianggap
commit (prisoner
to user of war) dan berhak untuk
sebagai tawanan perang
30
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diperlakukan sesuai dengan ketentuan Konvensi Jenewa III tahun
1949.
2) Belligerent (Orang sipil yang ikut serta langsung dalam permusuhan)
Belligerent adalah para pihak yang bersengketa dalam
sebuah pertikaian bersenjata, dalam hal ini pihak yang bersengketa
bisa siapa saja termasuk pemberontak (rebells). Pemberontak
merupakan sekelompok orang yang melakukan pemberontakan
(rebellion), diakui ada dan memperoleh legal personality, mereka
melakukan peperangan internal dengan pihak pemerintah berkuasa
yang
sah.
Pemberontak
tersebut
dalam
menjalankan
pemberontakannya memiliki wilayah serta organisasi pemerintah
yang teratur sebagai tandingan terhadap pemerintahan yang sah dan
kemudian mendapatkan pengakuan secara de jure dari negara
lain/negara netral, maka pengakuan tersebutlah yang dinamakan
sebagai
recognition
of
belligerency.
Dengan
adanya
legal
personality maka belligerent dapat tampil sebagai subjek hukum
internasional
dan
kombatan
yang
sah
(Agustinus
Supriyanto.2006:62).
Secara implisit, ketentuan mengenai belligerent terdapat
dalam Pasal 1 Konvensi den Haag IV (Konvensi mengenai Hukum
dan Kebiasaan Perang di Darat), khususnya mengenai lampiran
annex nya yang berjudul Hague Regulations Respecting Laws and
Custom of War atau yang dikenal dengan Hague Regulations (HR).
“Article 1. Law, rights, and duties of war apply not only to
armies, but also to militia and volunteer corps fulfilling the
following conditions:
1. To be commanded by a person responsible for his
subordinates;
2. To have a fixed distinctive emblem recognizable at a
distance;
3. To carry arms openly, and
4. To conduct their operations in accordance with the laws
and customs of war.
commit to user
31
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
In countries where militia or volunteer corps constitute the
army, or form part of it, denomination they belong to the
army”
Kalau ketentuan di atas diperhatikan, yang diatur di dalamnya adalah
penegasan bahwa hukum, hak, dan kewajiban perang bukan hanya
berlaku bagi tentara saja (army), melainkan juga bagi milisi dan
korps sukarela, sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) sampai (4) Regulasi Den Haag.
Alinea selanjutnya menegaskan bahwa di negara-negara dimana
milisi dan korps sukarelawan merupakan tentara atau merupakan
bagian dari tentara, maka milisi dan korps sukarela itu juga dapat
disebut juga sebagai tentara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
itu. Dengan kata lain, bagi milisi dan korp sukarelawan ini, maka
hukum, hak, dan kewajibannya tidak ada bedanya dengan hukum,
hak, dan kewajiban tentara. Mereka-mereka inilah yang berhak
untuk maju ke medan pertempuran.
Ketentuan mengenai Belligerent juga diatur dalam Pasal 2
Konvensi Den Haag ini, yang berbunyi :
“The inhabitants of a territory which has not been occupied,
who, on the approach the enemy, spontaneously take up
arms to resist the invading troops without having had time
to organize themselves in accordance with Article 1, shall
be regarded as belligerents if they carry arms openly and if
they respect the laws and customs of war“.
Berdasarkan Pasal 2 Regulasi Den Haag di atas, levee en masse
dapat dimasukkan ke dalam kategori belligerents, ciri-ciri yang dapat
dikategorikan sebagai levee en masse adalah sebagai berikut:
a) Mereka merupakan penduduk dari wilayah yang belum diduduki;
b) Mereka secara spontan mengangkat senjata atau melakukan
perlawanan terhadap musuh yang akan memasuki tempat tinggal
mereka; dan oleh karena itu;
c) Mereka tidak memiliki waktu untuk mengatur (mengorganisir)
diri sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1 Regulasi Den Haag;
commit to user
32
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d) Mereka menghormati (mentaati) hukum dan kebiasaan perang;
serta
e) Mereka membawa senjata secara terang-terangan.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
Belligerent adalah para pihak yang bersengketa dalam sebuah
pertikaian bersenjata, dalam hal ini pihak yang bersengketa adalah
pemberontak
(rebells)
dan
memperoleh
pengakuan
(legal
personality) dari negara lain/negara netral.
b. Hors de Combat
Dalam Hukum Perang, sering terdengar istilah “hors de combat“.
Istilah tersebut merupakan istilah dari bahasa Prancis yang ditujukan
terhadap kombatan yang luka-luka, sakit, korban karam, atau yang
menyerah dan tidak mempunyai daya atau kemampuan lagi untuk
memberikan perlawanan kepada musuhnya, maka disebut sebagai “hors de
combat” (“out of combat“). Apabila terdapat seorang kombatan yang
berada dalam keadaan „hors de combat‟, dan jatuh ke tangan pihak musuh,
maka ia harus dikumpulkan dan dirawat, dan mendapatkan status sebagai
tawanan perang (prisoner of war) (Arlina Permatasari,1999;81).
Seseorang hors de combat adalah orang yang tidak lagi
berpartisipasi dalam permusuhan, karena pilihan atau keadaan. Menurut
hukum kebiasaan internasional, seseorang dapat dikategorikan sebagai
hors de combat apabila mengalami keadaan atau situasi sebagai berikut
(ICRC.2012.http://www.icrc.org/customary-hl/eng/docs/v1_rul_rule47,
diakses tanggal 16 September 2012):
1)
Setiap orang yang berada dalam kekuasaan pihak yang merugikan
Tidak dapat disangkal bahwa orang yang berada dalam
kekuasaan pihak yang merugikan adalah hors de combat. Aturan ini
ditetapkan dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa I yang mengatur tentang
orang-orang yang tidak turut serta aktif dalam sengketa seperti
commit to
usertelah meletakkan senjata-senjata
anggota angkatan perang
yang
33
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, harus
diperlakukan secara manusiawi, tanpa adanya pembedaan satu
dengan yang lainnya.
Hal ini telah dikonfirmasi dalam hukum humaniter
internasional. Menghormati dan melindungi orang-orang yang
berada dalam kekuatan pihak yang merugikan adalah landasan
hukum humaniter internasional sebagaimana tercermin dalam
beberapa ketentuan Konvensi-Konvensi Jenewa dan Protokol
Tambahan.
2)
Setiap orang yang membela diri karena pingsan, kapal karam, luka
atau sakit.
Kategori ini didasarkan Pasal 3 Konvensi Jenewa I, yang
melarang serangan terhadap orang-orang tak berdaya. Hal ini
terkandung dalam undang-undang banyak negara. Hal ini juga
didukung oleh kasus hukum, pernyataan resmi dan praktek lainnya,
seperti instruksi kepada angkatan bersenjata. Selain itu, menghormati
dan perlindungan yang terluka, sakit dan terdampar adalah landasan
hukum humaniter internasional yang berlaku di kedua konflik
bersenjata
internasional
dan
non-internasional
sebagaimana
tercermin dalam beberapa ketentuan Konvensi-Konvensi Jenewa dan
Protokol Tambahan mereka.
3)
Setiap orang yang dengan jelas menunjukkan niat untuk menyerah
Setiap orang yang dengan jelas menunjukkan niat untuk
menyerah. Kategori ini didasarkan Pasal 3 Konvensi Jenewa I. Hal
ini terkandung dalam manual militer. Hal ini termasuk dalam
perundang-undangan nasional banyak negara. Hal ini juga didukung
oleh pernyataan resmi dan praktek lainnya, seperti instruksi kepada
angkatan bersenjata. Prinsip umum yang muncul dari praktek ini
adalah bahwa indikasi yang jelas dari menyerah tanpa syarat
meyiapkan orang hors de combat. Dalam perang darat, tujuan yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
34
digilib.uns.ac.id
jelas untuk menyerah umumnya ditunjukkan dengan meletakkan
senjata seseorang dan mengangkat satu tangan.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hors de
combat adalah orang yang tidak lagi berpartisipasi dalam permusuhan,
termasuk anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan tangan
mereka dan mereka yang ditempatkan sebagai hors de combat karena
sakit, luka, penahanan, atau penyebab lainnya, harus semua dalam keadaan
diperlakukan secara manusiawi.
4.
Tinjauan Umum Tentang Konflik Israel-Palestina
Konflik antara Israel dengan Palestina sudah terjadi sangat lama,
bahkan dimulai setelah berakhirnya Perang Dunia I. Persoalan Palestina
mencuat pertama kali mejadi isu internasional sejak runtuhnya Ottoman
Empire Turkey. Akibatnya Palestina dan negara-negara eks Ottoman
Empire Turkey lainnya berada di bawah kekuasaan Inggris. Berdasarkan
isi mandat Liga Bangsa-Bangsa yang diadopsi dari Deklarasi Balfour
tahun 1917 di dalamnya menyatakan dukungan untuk pendirian suatu
negara di tanah air Palestina untuk orang Yahudi (Orang Yahudi adalah
bangsa dan kelompok etnoreligius, berasal di Israel atau Ibrani dari
Timur). Berangkat dari semangat Deklarasi Balfour ini komunitas Yahudi
yang menyebar keseluruh dunia bertekat untuk mendirikan negara di tanah
Palestina.
Secara teologis, zionis (bentuk nasionalisme dari Yahudi dan
budaya Yahudi yang mendukung negara bangsa Yahudi di wilayah yang
didefinisikan sebagai Tanah Israel) menganggap bahwa Palestina sebagai
tanah mereka dalam perjanjian lama yang dinyatakan kawasan itu sebagai
“tanah yang dijanjikan Tuhan” (promised land) untuk bangsa Israel,
sebaliknya secara historis, rakyat Palestina menyatakan kami bangsa
Palestina berada di negeri kami ini sejak jaman Umar Bin Khatab (Unahar
Ilyas, Arab harus bersatu Hadapi Israel, Suara merdeka, 11 Januari 2009).
commit to user
35
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sekitar 100.000 orang pindah ke Palestina antara 1920-1929,
ketika waktu itu ada 750.000 orang penduduk Palestina. Disamping itu
peristiwa haloucoust pembantaian Yahudi oleh NAZI (The National
Socialist German Workers Party, adalah sebuah partai politik yang
berkuasa di Jerman antara 1920 dan 1945) membuat semua komunitas
Yahudi lari dari daratan Eropa. Zionis memegang kendali penuh atas
perpindahan ini. Orang-orang Yahudi yang menginjakan kaki di Palestina
ditemui oleh kelompok Zionis yang menentukan dimana mereka akan
tinggal
dan
pekerjaan
apa
yang
akan
mereka
dapat
(Aryuni
Yuliantiningsih,2009: 111).
Selama konflik antara Israel dan Palestina yang muncul pada
tahun 1948, Israel sudah menduduki 77,4% dari wilayah Palestina dan
memaksa 800 ribu penduduk Palestina untuk bermigrasi keluar dari
wilayah Palestina (UN.2008. http://unispal.un.org UNISPAL.NSF/525734
/ 800500272, diakses tanggal 27 Juli 2012). Mereka jauh mengungsi ke
daerah lain di Palestina seperti Tepi Barat dan Jalur Gaza atau ke negaranegara Arab yang berdekatan dengan Palestina seperti Yordania, Suriah,
Lebanon, Mesir, dan Irak. Kemudian, dengan pecahnya perang antara
Arab dan Israel tahun 1967, pemerintah Zionis berhasil menduduki Tepi
Barat dan Jalur Gaza sehingga memaksa sejumlah besar warga Palestina
yang tinggal di Tepi Barat dan Jalur Gaza berangkat ke Yordania. Israel
pada tahun 1948 menetapkan suatu kebijakan dengan jalan mengusir
orang-orang Arab yang berada di Palestina. Setiap desa atau pemukiman
Arab yang tidak menyerahkan kepada kekuatan Yahudi akan dihancurkan
dan orang-orangnya diusir. Dengan cara ini 400 desa Palestina terhapus
dari peta selama 1948-1949. Hak milik yang ditingalkan oleh orang
Palestina dikuasai oleh orang-orang Yahudi atas dasar hukum hak milik
yang ditempati. Organisasi Zionis menggunakan tekanan dan kekuatan
untuk megusir orang-orang Palestina dari tanahnya yang telah mereka
tempati selama berabad-abad, sehingga sekarang orang-orang Palestina
commit to user
36
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hanya
diberi
tempat
di
jalur
Gaza
(Arzu
Merali
and
Javad
Sharbaf,2009:64).
Jalur Gaza adalah wilayah berbentuk persegi panjang sepanjang
pantai Mediterania antara Israel dan Mesir. Mayoritasnya sekitar 1,4 juta
penduduk pengungsi Palestina, banyak dari mereka telah tinggal di kampkamp pengungsi selama puluhan tahun; 80 persen hidup dalam kemiskinan
pada
pertengahan
2007
(Anonim.2010.http://topics.nytimes.com/
top/news/international/countriesandterritories/gaza_strip/index.html, diakses tanggal 17 Juli 2012).
Sejak saat itu muncullah beberapa kali perperangan antara Israel
dan Palestina. Sejak dahulu sebenarnya sudah ada perundingan tetapi
selalu dilanggar oleh Israel. Palestina sendiri mencatat munculnya Yasser
Arafat dan PLO (Palestine Liberation Organitation adalah organisasi
politik dan paramiliter yang diciptakan pada tahun 1964 ini diakui sebagai
wakil sah satu-satunya rakyat Palestina oleh PBB dan lebih dari 100
negara), serta Fatah (partai politik utama di Palestina dan faksi terbesar
dari
Organisasi
dilakukan
sampai
Pembebasan
muncul
Palestina).
perundingan
Perundingan-perundingan
Oslo
yang
menjanjikan
kemerdekaan bagi Palestina, namun lagi-lagi Israel tidak menepati janji.
Karena selalu tidak ditepati maka rakyat Palestina melawan dengan
intifadah (melempar batu).
Para pejuang intifadah ini kemudian bergabung dalam Harakat al
Muwaqawwamatul Islamiyah (HAMAS) atau Gerakan Perlawanan Islam.
Akibat dari setiap perjanjian yang dibuat antara kedua belah pihak selalu
tidak ada gunanya dan resolusi PBB tidak bisa dijalankan atau jika Israel
melanggar perjanjian tersebut tidak muncul sanksi dari PBB, maka
HAMAS bertekat merebut Palestina dengan berperang.
Sampai sekarang ada dua faksi yang memegang peranan penting
di Palestina yaitu HAMAS dan Fatah. Pada saat terjadi perbedaan
pendapat antara HAMAS dan Fatah, ketika Yasser Arafat masih hidup,
to user
perbedaan tidak sampaicommit
menimbulkan
sengketa karena HAMAS
perpustakaan.uns.ac.id
37
digilib.uns.ac.id
menghormati pemimpin Palestine Liberation Organitation (PLO) itu.
Namun begitu Yasser Arafat meninggal dan digantikan oleh Mahmod
Abbas sengketa tak terdamaikan, bahkan Abbas dikudeta di daerah Gaza.
Gaza kemudian dibagi menjadi dua tepi yaitu Tepi Barat (Fatah) dan Jalur
Gaza (HAMAS).
Pada bulan Januari 2006 dilakukan pemilu demokratis pertama di
Palestina yang dimenangkan oleh HAMAS, akan tetapi Amerika, Eropa
dan sekutu tidak mengakui hasil pemilu. HAMAS diboikot dengan tujuan
agar rakyat menderita dan meminta agar Mahmud Abbas menjadi
pemimpin, namun rakyat Palestina pro HAMAS bersedia menderita karena
melihat bahwa HAMAS lebih tulus dan Islami daripada Fatah yang
sekuler. Sekarang Israel berencana untuk menghancurkan HAMAS dan
ingin menundukan Fatah. Dalam protokoler Israel hanya ada dua cara
untuk menghadapi musuh yaitu didominasi dan dihancurkan. Fatah
cenderung bisa didominasi sedangkan HAMAS hanya hilang jika
dihancurkan(Anonim.2010.http://topics.nytimes.com/top/news/internation
al/countriesandterritories/gaza_strip/index.html, dikses tanggal 17 Juli
2012).
Sampai saat ini dominasi Israel terhadap Palestina masih saja terus
berlangsung. Hal ini terlihat dari dilakukannya Operasi Cast Lead, yaitu
serangan 22 hari di Gaza pada 27 Desember 2008- 20 Januari 2009 yang
dilakukan oleh Israel terhadap Palestina, hampir 1.400 warga Palestina
menjadi korban, termasuk lebih dari 300 anak tewas. Israel juga
melakukan blokade di Jalur Gaza yang mengakibatkan sekitar 1,5 juta
penduduk Palestina tidak bisa keluar dari Jalur Gaza sehingga mereka
hanya mengandalkan bantuan-bantuan internasional saja untuk bertahan
hidup. Pada bulan Mei 2009, pasukan Israel menewaskan sembilan orang
di atas kapal sebuah armada bantuan di perairan internasional yang
bertujuan untuk melanggar blokade dengan maksud untuk memberikan
bantuan terhadap masyarakat Palestina di Jalur Gaza. Laporan penyiksaan
commit
to user
dan perlakuan buruk lainnya
sering
dilakukan, tetapi hampir tidak ada
38
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penyelidikan yang dilakukan. Sekitar 6.000 warga Palestina tetap tinggal
di penjara-penjara Israel dan diperlakukan dengan tidak adil (Amnesty
International.2009.http://www.amnesty.org/en/region/israel-occupiedpalestinian-territories/report-2011.html, diakses tanggal 17 Juli 2012).
5.
Tinjauan Umun tentang Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan
1977, dan Statuta Roma 1998
a. Konvensi Jenewa 1949
Sumber hukum humaniter terdiri dari konvensi Den Haag 1899
dan 1907 beserta Konvensi Jenewa 1949. Konvensi Den Haag mengatur
mengenai cara dan alat perang. Konvensi Jenewa mengatur mengenai
perlindungan korban perang. Konvensi Jenewa terdiri atas beberapa
perjanjian pokok, yaitu (Arlina Permanasari dkk, 1999:32):
1)
Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the
Wounded and Sick in Armed Forces in the Field; (Konvensi Jenewa
yang mengatur tentang perlindungan tentara yang sakit atau terluka
di medan darat)
2)
Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the
Wounded, Sick and Shipwrecked of Armed Forces at Sea; (Konvensi
Jenewa yang mengatur tentang perlindungan tentara yang sakit atau
terluka di medan laut)
3)
Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War;
(Konvensi Jenewa yang mengatur tentang perlakuan terhadap
tawanan perang)
4)
Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in
Time
of
War.
(Konvensi
Jenewa
yang
mengatur
tentang
perlindungan terhadap penduduk sipil).
Hukum Jenewa pada dasarnya merupakan lanjutan serta
menambah/melengkapi ketentuan-ketentuan yang dimuat di dalam hukum
Den Haag (Masyur Effendi, 1994:34). Konvensi Jenewa tahun 1949 terdiri
commit
to user
dari empat konvensi seperti
yang
sudah dijelaskan diatas. Walaupun
perpustakaan.uns.ac.id
39
digilib.uns.ac.id
demikian secara ekspisit Konvensi Jenewa I, II, III dan tahun 1949 itu
tidak menetapkan batasan pengertian belligerent, kombatan, ataupun
anggota angkatan perang, Konvensi Jenewa IV tahun 1949 juga tidak
menetapkan batasan pengertian orang sipil. Tetapi dalam konvensikonvensi ini menetapkan orang yang dilindungi dalam masing-masing
konvensi tersebut.
Orang-orang yang dilindungi dalam Konvensi Jenewa I, II dan III
tahun 1949 terdiri dari enam kelompok orang yang sama, yakni:
1)
Anggota angkatan perang dari pihak yang terkait;
2)
Anggota milisi, anggota barisan sukarelawan, anggota gerakan
perlawanan dari pihak yang bertikai yang memenuhi persyaratan
tertentu;
3)
Anggota angkatan perang dari penguasa yang tidak diakui negara
penahan;
4)
Anggota yang menyertai angkatan perang tanpa menjadi anggotanya;
5)
Anggota awak kapal sipil atau pesawat terbang sipil dari pihak yang
bertikai;
6)
Peserta levee an masse. (Penduduk wilayah belum diduduki, yang
saat musuh mendekat atas kemauan sendiri dengan serentak
mengangkat senjata untuk melawan pasukan yang yang menyerbu,
tanpa mempunyai waktu untuk membentuk kesatuan-kesatuan
bersenjata yang teratur, asal mereka memikul senjata secara terangterangan dan menghormati hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan
perang).
Orang sipil yang dilindungi Konvensi Jenewa IV tahun 1949
tidaklah mencakup seluruh orang sipil. Orang sipil yang dilindungi
Konvensi ini pada umumnya hanyalah orang sipil yang berada di tangan
musuh, baik di wilayah musuh, di wilayah yang diduduki musuh,
walaupun wilayah pertempuran. Adapun pelindungan yang ditetapkan bagi
mereka itu diantaranya adalah (Fadilah Agus , 1997:46):
commit to user
40
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1)
Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang musuh yang
menguasainya di wilayah pihak yang bertikai, di wilayah
pendudukan, di interniran;
2)
Bantuan kantor penerangan;
3)
Penghormatan pribadi manusia;
4)
Penghormatan hak-hak dasar pribadi manusia pria maupun wanita;
5)
Larangan penghukuman kolektif, penyanderaan, penghinaan;
6)
Kesempatan meninggalkan wilayah musuh;
7)
Jaminan
mendapatkan
makan
dan
obat-obatan
di
wilayah
pendudukan.
Konvensi Jenewa IV tahun 1949 juga mengatur perlindungan
orang sipil yang lebih luas. Hal itu disebabkan karena perlindungan itu
mencangkup pada orang sipil warga negara musuh, warga negara netral,
warga negara sekutu yang tidak memiliki hubungan diplomatik normal
dengan negara yang menguasainya dan mereka yang tidak mempunyai
kewarganegaraan.
Walaupun bukan merupakan sumber pertama dari HHI, KonvensiKonvensi Jenewa 1949 sering dikatakan sebagai sumber utama dari HHI
modern (Rina Rusman, 2005:1).
b. Protokol Tambahan I dan II/1977
Protokol Tambahan 1977 yang resminya disebut : Protokol
Additional to the Genewa Convention of 12 August 1949 disahkan pada
tanggal 10 Juni 1977. Pada saat itu para wakil yang menghadiri konverensi
diplomatik menandatangani sebuah final act dan dokumen resmi
diserahkan kepada pemerintah negara Federasi Switserland sebagai
depositor. Sampai pertengahan tahun 1993 Protokol I sudah diratifikasi
oleh 120 negara, sedagkan Protokol II oleh 110 negara (GPH
Haryomataram,1994:99).
Sedangkan
menurut
data
dari
ICRC
(International Red Cross Comitte) sejauh ini Protokol Tambahan II sendiri
commit to user
41
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sudah
diratifikasi
sebanyak
166
negara
(ICRC,2012.http://www.icrc.org/Protokol-Additional-to-the-GenewaConvention,diakses tanggal 1 Juli 2012). Perbedaan angka ini disebabkan
karena suatu negara yang hendak meratifikasi protokol tersebut tidak
diharuskan meratifikasi sekaligus dua protokol tersebut, tetapi suatu
negara dapat memilih salah satu protokol saja untuk diratifikasi.
Protokol Tambahan I mengatur baik perlindungan terhadap yang
luka-luka, sakit, korban karam, orang sipil (civilians) maupun alat dan cara
berperang (means and methods of warfare). Protokol Tambahan I Tahun
1977 menetapkan antara lain :
1)
Larangan menyerang orang sipil;
2)
Keharusan melakukan perbuatan perang secara hati-hati demi untuk
melindungi orang sipil;
3)
Larangan melakukannya kekerasan terhadap orang sipil;
4)
Larangan pemindahan paksa orang sipil;
5)
Jaminan untuk mendapatkan bantuan;
6)
Kesempatan memberikan bantuan korban pertikaian bersenjata.
Sesuai dengan namanya maka Protokol Tambahan 1977 ini
menambah dan menyempurnakan isi dari Konvensi Jenewa 1949. Jadi,
protokol ini tidak menghapus atau meniadaan Konvensi jenewa 1949.
Protokol ini terdiri dari 2 bagian, yaitu : Protokol I yang mengatur Konflik
Bersenjata yang bersifat Internasional (International Armed Conflict).
Protokol tambahan ini memuat banyak ketentuan baru dan terutama
memberi definisi dari beberapa pengertian penting seperti : kombatan,
sasaran/objek militer, civil defence, dan sebagainya (Michael N. Schmitt,
2011:40) .
Pengertian mengenai objek atau sasaran militer diatur dalam Pasal
52 ayat (2) Protokol I tahun 1977 sebagai berikut:
“military objectives are limited to those objects which by their
nature, location, purpose or use make an effective contribution to
military action and whose total or partial destruction, capture or
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
42
digilib.uns.ac.id
neutralization, in the circumstances ruling at the time, offers a
definite military advantage.”
Dengan demikian yang dimaksud objek militer adalah objek-objek yang
karena sifat, lokasi, tujuan atau penggunaannya memberikan kontribusi
yang efektif kepada suatu aksi militer dan yang penghancurannya atau
penetralannya pada situasi dan saat tertentu memberikan suatu keuntungan
militer yang nyata. Berarti suatu objek sipil, misalnya rumah sakit atau
rumah ibadah, apabila penggunaannya memberikan suatu kontribusi
militer yang efektif kepada suatu operasi militer maka ia pada saat itu ia
menjadi objek militer. Apabila tidak digunakan untuk tujuan militer lagi
maka objek tersebut tidak lagi merupakan objek militer.
Salah satu ketentuan baru yang terdapat dalam Protokol Tambahan
I/1977 adalah mengenai suatu organisasi baru yang diperkenalkan dalam
lingkup hukum humaniter. Organisasi itu disebut dengan Perlindungan
Masyarakat (Civil Defence). Organisasi ini adalah organisasi yang
bertugas untuk melindungi penduduk sipil terhadap akibat bencana alam
mapun akibat peperangan (Fadillah Agus.2010.http://pusham.uii.ac.idham
15Chapter9.pdf , diakses tanggal 17 Juli 2012).
Selain Protokol Tambahan I, ada pula Protokol Tambahan II.
Protokol Tambahan II ini mengembangkan dan menambah Pasal 3
Konvensi Jenewa 1949, yang mengatur tentang konflik bersenjata yang
tidak bersifat Internasional (Non-Internasional Armed Conflict). Protokol
ini menekankan pada perlakuan manusiawi terhadap mereka yang lukaluka, sakit, korban karam, serta juga orang-orang sipil, yang menjadi
korban dalam konflik bersenjata yang tidak bersifat Internasional (GPH
Haryomataram, 1994:103).
a. The Rome Statute of the International Criminal Court 1998 (Statuta
Roma 1998)
Statuta Roma adalah perjanjian yang membentuk Pengadilan
Kriminal Internasional (International Criminal Court), yurisdiksi dan
commit to user
fungsi Pengadilan Kriminan Internasional diatur dengan ketentuan-
perpustakaan.uns.ac.id
43
digilib.uns.ac.id
ketentuan dalam Statuta ini. Statuta ini diadopsi pada konferensi
diplomatik di Roma pada tanggal 17 Juli 1998 dan mulai berlaku pada
tanggal 1 Juli 2002. Setelah melakukan perundingan selama bertahuntahun yang bertujuan untuk mendirikan pengadilan internasional yang
permanen untuk menghukum orang yang melakukan pelanggaran HAM
berat, PBB mengadakan sidang umum selama lima minggu di Roma pada
bulan Juni 1998. Dari sidang tersebut berhasil membuat suatu kesepakatan
untuk mendirian suatu pengadilan pidana internasional yang bersifat
permanen. Pada tanggal 17 Juli 1998, Statuta Roma diadopsi oleh 120
suara, dengan 21 negara abstain. Tujuh negara yang memberikan suara
menentang perjanjian itu Irak, Israel, Libya, RRC, Qatar, Amerika Serikat,
dan Yaman.
Dalam Pasal 5 Statuta Roma 1998, membatasi yurisdiksi ICC
terbatas pada kejahatan yang oleh seluruh masyarakat internasional
dianggap paling serius yaitu:
1)
Kejahatan genosida;
2)
Kejahatan terhadap kemanusiaan;
3)
Kejahatan perang;
4)
Agresi
Yurisdiksi temporis ICC juga diatur dalam Pasal 11 Statura Roma
1998 yaitu pengadilan mempunyai yurisdiksi hanya berkaitan dengan
kejahatan-kejahatan yang dilakukan setelah diberlakukannya statuta ini,
dan apabila suatu negara menjadi pihak pada statuta ini setelah tanggal
mulai diberlakukan, maka ICC hanya dapat melaksanakan yurisdiksi
berkaitan dengan pelanggaran HAM berat yang dilakukan setelah
diberlakukannya statuta ini di negara yang bersangkutan.
Negara yang menjadi pihak pada Statuta Roma 1998 dapat dikenai
yurisdiksi ICC berkaitan dengan kejahatan-kejahatan serius seperti yang
dijelaskan pada Pasal 5 Statuta Roma 1998. Namun ICC juga dapat
menjalankan fungsi dan kewenangannya di negara yang bukan pihak,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
44
digilib.uns.ac.id
asalkan dibuat suatu perjanjian seperti yang dijelaskan dalam Pasal 12
Statuta Roma 1998.
ICC memiliki tiga bentuk kewenangan untuk memeriksa suatu
sengketa (Pasal 13 Statuta Roma 1998).
1) Atas permintaan negara peserta dimana terjadi pelanggaran HAM.
ICC dapat melaksanakan yurisdiksi dengan menggunakan permintaan
negara peserta apabila salah satu negara merupakan pihak pada statuta
ini atau telah menerima yurisdiksi ICC yang berupa:
a) Negara di wilayah yang pelanggaran terjadi atau apabila kejahatan
dilakukan di atas sebuah kapal atau pesawat, negara yang
mencatatkan kapal atau pesawat itu;
b) Negara dimana orang yang didakwa melakukan kejahatan sebagai
kebangsaannya.
2) Referensi dari Dewan Keamanan PBB (DK PBB) berdasarkan
kewenangan Bab VII Piagam PBB.
ICC dapat melaksanakan yurisdiksi dengan menggunakan Referensi
dari Dewan Keamanan PBB (DK PBB) tidak memandang locus
delicti, maksudnya ICC dapat menerapkan yurisdiksinya di wilayah
negara yang bukan anggota Statuta Roma 1998.
3) inisiatif dari jaksa ICC (in propio motu)
Seperti halnya penggunaan permintaan negara peserta, ICC hanya
dapat melaksanakan yurisdiksi dengan menggunakan permintaan
negara peserta apabila salah satu negara merupakan pihak pada
statuta.
6.
Kriteria Pelanggaran-Pelanggaran Terhadap Penduduk Sipil
Masyarakat di beberapa negara maju telah dapat membedakan
antara Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ringan atau yang dapat
disebut Human Rights Violation dengan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) berat atau yang dapat disebut Gross Violation of Human Right.
commit to user
45
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kasus-kasus yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM ringan
juga diatur secara eksplisit di dalam Protokol Tambahan I/1977 yaitu:
1)
Pembunuhan;
2)
Penyiksaan;
3)
Perlakuan buruk atau deportasi penduduk sipil;
4)
Pembunuhan atau perlakuan buruk terhadap tawanan perang;
5)
Perampokan harta benda milik pribadi atau negara;
6)
Penghancuran semena-mena kota atau desa atau perusakan yang
tidak terkait dengan keperluan militer.
Istilah kejahatan serius terhadap HAM biasanya ditujukan
terhadap kejahatan genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan
(crimes againts humanaity), dan kejahatan perang (war crimes). Ketiga
kejahatan tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Dalam suatu konflik tidak semua pelanggaran penduduk sipil merupakan
kejahatan genosida tapi mungkin juga berbentuk kejahatan terhadap
kemanusiaan
dan
kejahatan
perang.
Kejahatan-kejahatan
tersebut
dikualifikasikan sebagai delicta jure gentium (hukum bangsa-bangsa) dan
merupakan pengingkaran terhadap jus cogens (hukum pemaksa yang harus
ditaati oleh bangsa-bangsa di dunia) (Eddy.O.S. Hiariej,2010:2). Berikut
ini penulis akan menjelaskan ketiga jenis pelanggaran HAM berat menurut
Statuta Roma 1988:
1)
Genocide atau Kejahatan Genosida
Berdasarkan Pasal 6 Statuta Roma: “any of the following
acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a national,
ethnical, racial or religious group”, maksudnya adalah setiap
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan
atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a)
Membunuh anggota kelompok;
commit to user
46
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b)
Mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat
terhadap anggota-anggota kelompok;
c)
Menciptakan
kondisi
kehidupan
kelompok
yang
akan
mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau
sebagiannya;
d)
Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah
kelahiran di dalam kelompok; atau
e)
Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu
ke kelompok lain.
Unsur-unsur genosida menurut pendapat dari Raphael
Lemkin yang dikutip oleh Rudi M. Rizki antara lain adalah (Rudi
M. Rizki,2005:3):
a)
Pemusnahan kelompok etnis;
b)
Tidak harus berarti pemusnahan segera suatu bangsa;
c)
Adanya unsur niat yg sudah direncanakan;
d)
Ditujukan untuk menghancurkan fondasi utama bangsa;
e)
Dengan cara memecah belah institusi politik, sosial, budaya,
bahasa, perasaan kebangsaan, dll;
f)
Pemusnahan
kesehatan,
terhadap
martabat
keamanan
bahkan
pribadi,
kehidupan
kemerdekaan,
individu
suatu
kelompok;
g)
fisik dan mental yang serius terhadap satu orang atau lebih.
Raphael Lemkin, seorang Yahudi kelahiran Polandia,
mengemukakan pendapatnya tentang istilah genosida, yaitu :
“A coordinated strategy to destroy a group of people, a
process that could be accomplished through total annihilation
as well as strategies that eliminates key element of the group’s
basic existance, including language, culture, and economic
infrastructuere”.
Pendapat dari Raphael Lemkin dapat diartikan sebagai berikut, suatu
strategi yang bertujuan untuk menghancurkan suatu kelompok orang,
suatu proses yang dapat diselesaikan pemusnahan total dan strategi
commit to user
yang mengeliminasi elemen-elemen penting dalam kebutuhan dasar
47
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kelompok, termasuk bahasa, budaya, dan infrastruktur ekonomi
(Arie Siswanto, 2005:50).
Pendapat lain dikemukakan oleh Yoran Dienstein, yang
menyatakan bahwa esensi dari genosida bukanlah pemusnahan
kelompok target
secara aktual, melainkan
kehendak
untuk
memusnahkan kelompok tersebut (intent to destroy instead of actual
destruction)
(Yoram
Dienstein,1975:5).
Yoran
Dienstein
berpendapat bahwa esensi dari definisi ini membawa dua macam
konsekuensi logis. Pertama, ketika suatu kelompok dimusnahkan
tanpa si pelaku memiliki kehendak untuk menimbulkan akibat
tersebut, genosida tidak dianggap ada. Kedua, pembunuhan terhadap
seorang individu bisa saja dikategorikan sebagai genosida manakala
pembunuhan itu merupakan serangkaian dari tindakan yang
dimaksudkan untuk memusnahkan kelompok tempat individu itu
menjadi bagiannya (Yoram Dienstein,1975:5) .
Secara umum terdapat tiga hal penting yang menjadi unsur
utama dari kejahatan genosida, yaitu:
a)
Act (dalam hal ini adalah menghancurkan atau memusnahkan
seluruh atau sebagian);
b)
Intent (niat atau dengan maksud);
c)
Victim Group (korban atau kelompok yang dilindungi).
Tiga elemen ini merupakan unsur pembentuk suatu tindakan
dikategorikan sebagai genosida atau bukan (Mahrus Ali,2011:123).
Berdasarkan beberapa pengertian tentang genosida di atas
dapat disipulkan bahwa genosida adalah tindakan yang terencana
yang ditunjukan untuk menghancurkan eksensi dasar dari sebuah
bangsa atau suatu kelompok entitas,yang diarahkan kepada individuindividu yang menjadi anggota kelompok yang bersangkutan. Pada
11 Desember 1946 dimana Majelis Umum PBB dengan suara bulat
mengeluarkan Resolusi Majelis Umum PBB nomor 96 tentang The
user
Crime Of genocidecommit
yang tomenyatakan
bahwa genosida adalah
48
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penyangkalan atas eksistensi kelompok manusia secara keseluruhan
yang mengguncang nurani manusia.
2)
Crimes Against Humanity atau Kejahatan Terhadap Kemanusiaan.
Berdasarkan Pasal 7 Statuta Roma: “Crime Against Humanity
means any of the following acts when committed as part of a
widespread or systematic attack directed against any civilian
population, with knowledge of the attack”, maksudnya adalah salah
satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Berdasarkan
Pasal 7 ayat (2) Statuta Roma, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
terdiri dari:
a)
Serangan yang ditujukan kepada penduduk sipil, diartikan
sebagai perbuatan yang terdiri dari serangkaian tindakan
seperti (murder,extermination, enslavement, dan sebagainya),
yang berkaitan dengan atau merupakan tindak lanjut dari
kebijakan suatu negara atau kebijakan organisasional untuk
melakukan tindakan-tindakan;
b)
Pemusnahan, diartikan sebagai tindakan yang meliputi juga
penerapan
kondisi
tertentu
yang
bersifat
mengancam
kehidupan secara sengaja, antara lain hambatan akses terhadap
makanan dan obat-obatan yang diperkirakan bisa membawa
kehancuran bagi sebagian penduduk;
c)
Perbudakan, dimaknai sebagai segala bentuk pelaksanaan hak
milik terhadap objek yang berupa orang, termasuk tindakan
mengangkut objek tersebut,khususnya perempuan dan anakanak;
d)
Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, diartikan
sebagai tindakan merelokasi penduduk melalui pengusiran atau
cara kekerasan lain dari tempat dimana penduduk itu berada
commit to user
49
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
secara sah, tanpa dasar yang bisa dibenarkan oleh hukum
internasional;
e)
Penyiksaan, yaitu pengenaan rasa sakit atau penderitaan fisik
maupun mental secara sengaja atas seseorang yang ditahan
atau dibawah kekuasaan pelaku. Meski demikian, rasa sakit
atau penderitaan yang bersifat inherent, insidental atau sematamata muncul dari pengenaan sanksi yang sah tidak dapat
dikategorikan sebagai “penyiksaan”;
f)
Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara
paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
g)
Penindasan, dimaknai sebagai penyangkalan keras secara
sengaja terhadap hak-hak dasar manusia dengan cara yang
bertentangan
dengan
hukum
internasionaldengan
dasar
identitas kelompok atau identitas kolektif;
h)
Kejahatan apartheid (perbuatan yang tidak manusiawi yang
sama dengan sifat-sifat genosida yang dilakukan dalam
konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan
dominasi oleh suatu kelompok rasialatau suatu kelompok atau
kelompok-kelopok ras lain dan dilakukan dengan maksud
untuk mempertahankan rezim itu).
i)
Penghilangan
paksa,
diartikan
sebagai
penangkapan,
penahanan, atau penculikan terhadap seseorang atas dasar
wewenang, dukungan atau persetujuan suatu negara ataupun
organisasi politik, yang kemudian diikuti penolakan (dari
pelaku) untuk perampasan kemerdekaan atau untuk memberi
keterangan keberadaan orang yang ditangkap, dengan maksud
untuk
menjauhkan
orang-orang
yang
dirampas
kemerdekaannya dari perlindungan hukum dalam waktu yang
lama.
commit to user
50
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Arie Siswanto ada dua ciri penting suatu kejahatan
dapat diklasifikasikan ke dalam kejahatan kemanusiaan,yaitu (Arie
Siswanto, 2005:59):
a)
Dilakukan dalam konflik bersenjata (armed conflict) yang
bersifat interasional maupun yang bersifat internal,
b)
Ditujukan kepada penduduk sipil (directed againts civilian
population)
Menurut
Bassiouni,
kualifikasi
kejahatan
terhadap
kemanusiaan terdiri dari lima, unsur yaitu (Cherrif M. Bassiouni,
1992:248):
a)
Kejahatan khusus yang dilakukan sebagai bagian dari
kebijakan negara;
b)
Tindakan yang didasarkan kepada penekanan dan diskriminasi
terhadap suatu grup yang personalitasnya dapat diidentifikasi;
c)
Tindakan-tindakan tersebut dilakukan sebagai kejahatan dalam
hukum pidana nasional suatu negara;
d)
Hal itu dilakukan oleh petugas atau pejabat negara atau
agenda-agenda terkait dalam pelaksanaan kebijakan;
e)
Kejahatan khusus tersebut dapat diakitkan kepada perang
diatas hukum.
Terdapat dua kategori kejahatan terhadap kemanusiaan
dalam pengadilan Nuremberg, yaitu: (Mahrus Ali,2011:137):
a)
Pembunuhan, pemusnahan, deportasi, dan tindakan tidak
manusiawi lainnya yang diarahkan ke penduduk sipil sebelum
atau selama perang;
b)
Persekusi atas dasar politik atau ras keagamaan.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa crimes against
humanity atau kejahatan terhadap kemanusiaan adalah pelanggaran
terhadap
hukum
atau
kebiasaan-kebiasaan
perang,
seperti
pembunuhan (murder), perlakuan kejam terhadap penduduk sipil
commit
to user
dengan mengasingkan
mereka,
mengerjakan mereka secara paksa,
51
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
atau di wilayah pendudukan memperlakukan tawanan-tawanan
perang dengan kejam, membunuh mereka, atau memperlakukan
orang di laut secara demikian; merampas milik negara atau milik
perseorangan, menghancurkan kota atau desa dengan secara
berkelebihan, atau membinasakannya tanpa adanya alasan keperluan
militer. Pemimpin atau orang yang mengorganisir, menghasut dan
membantu mereka yang turut serta dalam membentuk atau
melaksanakan rencana bersama komplotan untuk melakukan
kejahatan-kejahatan tersebut bertanggungjawab atas perbuatan
orang-orang yang melakukan rencana tersebut.
3)
War Crimes atau Kejahatan Perang
Pasal 8 Statuta Roma 1998 menyatakan definisi tentang
kejahatan perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan
hukum internasional terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa
orang baik itu militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang ini
disebut penjahat perang. Setiap pelanggaran hukum perang pada
konflik antar bangsa dan juga Pelanggaran yang terjadi pada konflik
internal
merupakan
kejahatan
perang
(Geiffrey
Ribertson
QC.2002:409).
Tindakan-tindakan yang termasuk kedalam kejahatan perang
atau war crimes berdasarkan Pasal 8 Statuta Roma 1998 adalah:
a)
Pembunuhan sengaja;
b)
Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi,
termasuk
percobaan-percobaan biologi;
c)
Perbuatan yang dikendaki untuk menimbulkan penderitaan
yang dalam, atau luka badan maupun kesehatan yang serius;
d)
Perusakan secara luas dan perampasan terhadap milik
seseorang, tidak berdasarkan keperluan militer dan dilakukan
secara melawan hukum dan serampangan;
commit to user
52
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e)
Pemaksaan terhadap tawanan perang atau orang yang
dilindungi lainnya untuk melayani dalam ancaman kekuasaan
musuh;
f)
Upaya untuk menghalang-halangi yang dilakukan dengan
sengaja terhadap tawanan perang atau orang yang dilindungi
yang mana mereka memiliki hak untuk mendapatkan
Mahkamah secara adil dan sewajarnya;
g)
Deportasi secara melawan hukum atau pemindahan atau
penahanan secara melawan hukum;
h)
Penyanderaan.
Tindakan yang termasuk kedalam kejahatan perang atau
War Crimes berdasarkan Pasal 3 Statuta ICTY
(International
Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia) adalah:
a)
Mempergunkan senjata-senjata beracun atau senjata lain yang
dapat menyebabkan penderitaan yang tidak perlu;
b)
Penghancuran kota atau pedesaan yang tidak dikarenakan
tujuan militer;
c)
Penghancuran
atau
pembombardiran
objek
sipil
yang
dipertahankan seperti kota, desa, tempat tinggal dan gedunggedung;
d)
Menghancurkan bangunan-bangunan penting dan bersejarah;
e)
Mengambil alih fasilitas publik atau fasilitas pribadi.
Tindakan yang termasuk kedalam kejahatan perang 1949
atau War Crimes berdasarkan Pasal 3 Konvensi Jenewa I/1949
Meliputi beberapa tindakan seperti :
a)
Membahayakan nyawa seseorang, melakukan pembunuhan
termasuk dengan semua cara, mutilasi, penyiksaan dan
perawatan yang semena-mena;
b)
Melakukan tindakan yang menjatuhkan kehormatan dan harga
c)
diri seseorang termasuk tindakan mempermalukan seseorang;
commit to user
Mengambil sandera;
53
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d)
Melakukan eksekusi tanpa pengadilan yang layak.
Tindakan yang termasuk kedalam kelompok kejahatan
perang atau War Crimes berdasarkan Pasal 8 Statuta Roma 1998
adalah :
a)
Pelanggaran-pelanggaran berat (grave breaches) terhadap
Konvensi-Konvensi Jenewa 1949, yang mencakup tindakantindakan seperti: pembunuhan disengaja, penyiksaan atau
perlakuan yang tidak manusiawi, sengaja menyebabkan
penderitaan yang berat, perampasan barang-barang tanpa
pertimbangan keperluan militer, deportasi, penyanderaan.
b)
Pelangaran-pelanggaran serius lain terhadap hukum dan
kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata, seperti :
sengaja mengarahkan serangan ke penduduk sipil, sengaja
mengarahkan serangan pada sasaran sipil, sengaja menyerang
organisasi bantuan kemanusiaan, sengaja menyerang kotakota, pemukiman-pemukiman yang bukan merupakan sasaran
militerm menyerang kombatan, menyalahgunakan gencatan
senjata, menyerang bangunan-bangunan seperti tempat ibadah
dan situs bersejarah, menyatakan pengamunan tidak diberikan,
penghapusan hak-hak warga negara musuh, mengunakan
senjata yang dilarang seperi gas beracun dan peluru yang
mudah menyebar, pemerkosaan, perbudakan seksual,prostitusi
paksa, pemandulan paksa, mendaftarkan anak-anak usia 15
tahun kebawah kedalam angkatan bersenjata nasional.
c)
Pelanggaran-pelanggaran terhadap Pasal 3 yang secara sama
didapati di dalam bab keempat Konvensi Jenewa 1949
(common article 3 to the four Genewa Convention of 1949),
dalam hal terjadi konflik bersenjata yang tidak bersifat
internasional.
commit to user
54
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d)
Pelanggaran-pelanggaran serius lain terhadap hukum dan
kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata noninternasional, sesuai dengan kerangka hukum internasional.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa unsur esensial dari
War Crimes atau Kejahatan Perang yaitu adanya pengetahuan dari
pelaku bahwa kejahatan yang dilakukan merupakan bagian dari
kebijakan penguasa atau organisasi.
Pasal 6 Piagam Nuremberg menegaskan, para pemimpin,
organisator, instigator (agitator) dan mereka yang membantu berperanserta
untuk merencanakan atau melaksanakan atau berkonspirasi untuk
melakukan kejahatan tersebut di atas tetap bertanggungjawab atas tindak
pidana yang dilakukan oleh setiap orang yang melaksanakan rencana
tersebut (Eddy Djunaedi Karnasudirdja,2003:12)
Jenis-jenis pelanggaran terhadap penduduk sipil yang diatur dalam
Konvensi Jenewa 1949 adalah sebagai berikut (Mohamad Rangga
Rambe.2009:25):
1)
Konvensi Jenewa I, II, III, IV Tahun 1949
a)
Pembunuhan disengaja;
b)
Penganiayaan dan perlakuan yang tidak manusiawi (termasuk
percobaan biologis);
c)
Menyebabkan dengan sengaja penderitaan besar atau luka
berat atas badan dan kesehatan.
2)
Konvensi Jenewa I, II, III Tahun 1949
Pengerusakan dan tindakan pemilikan atas harta benda yang tidak
dibenarkan oleh kepentingan militer dan yang dilaksanakan secara
luas, dengan melawan hukum dan sewenang-wenang.
3)
Konvensi Jenewa III, IV Tahun 1949
a)
Memaksa seorang tawanan perang atau orang yang dilindungi
oleh Konvensi Jenewa untuk berdinas dalam ketentaraan
negara musuh.
commit to user
55
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b)
Merampas dengan sengaja hak-hak tawanan perang atau orang
yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa atas peradilan yang adil
dan wajar yang ditentukan dalam konvensi.
Jenis-jenis kejahatan perang terhadap penduduk sipil berdasarkan
hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata internasional
(ICRC,2003.http://www.icrc.org/ihl.nsf/WebART/58508?OpenDocument,
diakses tanggal 17 Juli 2012):
1)
Dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap penduduk sipil atau
terhadap warga sipil individu tidak mengambil bagian langsung
dalam permusuhan;
2)
Dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap objek sipil, yaitu,
objek yang bukan sasaran militer;
3)
Sengaja mengarahkan serangan terhadap personil, instalasi, bahan,
unit atau kendaraan yang terlibat dalam bantuan kemanusiaan atau
misi perdamaian sesuai dengan Piagam PBB, selama mereka berhak
atas perlindungan yang diberikan kepada warga sipil atau objek sipil
di bawah hukum internasional dari konflik bersenjata;
4)
Sengaja melakukan serangan dalam pengetahuan bahwa serangan
tersebut akan menyebabkan kerugian insidental nyawa atau luka
kepada warga sipil atau kerusakan objek sipil atau kerusakan meluas,
jangka panjang dan parah pada lingkungan alam;
5)
Menyerang atau membombardir, dengan cara apapun, kota, desa,
tempat tinggal atau bangunan yang dipertahankan dan tempat yang
bukan sasaran militer;
6)
Membunuh atau melukai kombatan yang sudah menyerah (hors de
combat);
7)
Penyalahgunaan bendera gencatan senjata, bendera atau lambang
militer dan seragam musuh atau Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta
lambang-lambang khas dari Konvensi Jenewa, yang mengakibatkan
kematian atau cedera serius pribadi;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
8)
56
digilib.uns.ac.id
Dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap bangunan yang
didedikasikan untuk agama, pendidikan, seni, ilmu pengetahuan atau
tujuan amal, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat-tempat
yang sakit dan terluka dikumpulkan, asalkan mereka bukan sasaran
militer;
9)
Melakukan penjarah terhadap harta milik penduduk sipil;
10)
Menggunakan racun atau senjata beracun, gas beracun atau lainnya
11)
Menggunakan senjata, proyektil dan bahan dan metode peperangan
yang alam untuk menyebabkan luka berlebihan atau penderitaan
yang tidak perlu;
12)
Melakukan pemerkosaan, perbudakan seksual, prostitusi paksa,
kehamilan paksa;
13)
Sengaja menggunakan kelaparan warga sipil sebagai metode perang
dengan mencabut pasokan bantuan bagi mereka dari objek sangat
diperlukan untuk kelangsungan hidup;
14)
Merekrut atau mendaftarkan anak di bawah usia 15 tahun ke dalam
angkatan bersenjata nasional atau menggunakan mereka untuk
berpartisipasi secara aktif dalam permusuhan.
Dari beberapa jenis-jenis pelanggaran terhadap penduduk sipil
yang telah diungkapkan diatas dapat disimpulkan, bahwa kriteria
pelanggaran terhadap penduduk sipil dapat dibedakan menjadi dua yaitu
pelangaran HAM ringan dan pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM
berat tidak bisa disamakan begitu saja dengan pelanggaran HAM ringan.
Karena walaupun hanya berbeda satu kata “berat”, sebenarnya
perbedaannya sangat luar biasa dan mendasar, baik mengenai tipologi
perbuatannya maupun sanksi hukumnya.
7.
Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter
Sebelum Perang Dunia pertama, kewenangan untuk menghukum
warga negara mereka sendiri atau musuh yang tertangkap tentara karena
user
melakukan pelanggaran commit
terhadapto hukum
dan kebiasaan perang pada
57
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
umumnya diserahkan kepada negara (Michael N. Schmitt, 2011:35).
Seiring berjalannya waktu, sekarang ini apabila terjadi pelanggaran
terhadap hukum humaniter khususnya terhadap pelanggaran HAM berat
sudah terdapat beberapa alternatif mekanisme penegakan yang dapat
ditempuh, untuk dapat menghukum para pelaku kejahatan perang itu,
yaitu:
1)
Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977
Dapat menggunakan National Court atau Mekanisme
Nasional atau bisa juga disebut dengan prinsip exhaustion of local
remedies. Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 1 Konvensi Jenewa I
memberikan
kewajiban
bagi
Pihak
Peserta
Agung
untuk
menghormati dan menjamin penghormatan (to respect and to ensure
the respect) terhadap Konvensi. Ketentuan ini kemudian diperkuat
dengan pasal yang mengatur tentang penghukuman bagi mereka
yang melakukan pelanggaran berat hukum humaniter, yaitu Pasalpasal yang terdapat pada Pasal 49 ayat (1) Konvensi I, Pasal 50 (1)
Konvensi II, Pasal 129 (1) Konvensi III dan Pasal 146 (1) Konvensi
IV, yang merupakan ketentuan yang bersamaan.
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas maka
negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk
menerbitkan suatu undang-undang nasional yang memberikan sanksi
pidana
efektif
kepada
setiap
orang
yang
melakukan
atau
memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap
konvensi.
Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu
mekanisme dimana penegakan hukum humaniter yang dilaksanakan
berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, apabila terjadi
kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelaku akan dituntut
dan dihukum berdasarkan peraturan perundangan nasional dan
dengan
menggunakan mekanisme peradilan nasional
commit toPerdana
user Wiratraman,2007:11).
bersangkutan (R.Herlambang
yang
58
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2)
Melalui mahkamah Ad Hoc kejahatan perang
Dalam hukum pidana terdapat prinsip yang dianggap
fundamental yaitu asas legalitas yang tertuang dalam adagium
“nullum delictus nulla poena sine praevia lege poenali”.
Berdasarkan prinsip ini seseorang tidak dapat dianggap melakukan
tindak pidana dan dijatuhi pidana apabila sebelumnya tidak ada
kriminalisasi formal terhadap tindakan yang dilakukan. Dengan kata
lain, seseorang tidak dapat dituntut atau dihukum apabila pada waktu
melakukan belum dinyatakan sebagai tindak pidana.
Pasal 11 Statuta Roma 1998 juga mencerminkan hal yang
sama mengenai asas legalitas ini. Dalam pasal ini menegaskan
bahwa yurisdiksi ICC hanya mencakup kejahatan yang dilakukan
setelah Statuta Roma 1998 mulai berlaku yaitu tanggal 1 Juli 2002,
jadi berdasarkan Pasal 11 Statuta Roma ini ICC tidak memiliki
kewenangan untuk mengadili kejahatan yang dilakukan sebelum
tanggal 1 Juli 2002. Ketentuan lain juga terapat dalam Pasal 23
Statuta Roma 1998 yang berbunyi “a person convicted by the court
may be punishment only accordance with the statute”. Sementara
itu, Pasal 24 ayat (1) Statuta Roma mengatur bahwa tidak
seorangpun dapat dimintai pertanggung jawaban pidana berdasarkan
ketentuan statuta atas perbuatan yang dilakukan sebelum berlakunya
statuta.
Sehingga untuk mengadili suatu pelanggaran HAM berat,
termasuk pelanggaran berat hukum perang yang terjadi sebelum
Statuta Roma mulai berlaku merupakan yurisdiksi dari pengadilan
ad hoc. Di bawah ini akan dibahas beberapa mahkamah ad hoc yang
berwenang mengadili kejahatan perang yaitu:
commit to user
a) Mahkamah Nuremberg
59
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Mahkamah Nuremberg dibentuk untuk menadili penjahat
perang
Nazi,
Jerman.
Mahkamah
Nuremberg
dibentuk
berdasarkan Piagam Nuremberg (Nuremberg Charter) atau bisa
juga disebut dengan Piagam London (London Charter). Sejak
terbentuknya Mahkamah ini menjatuhkan hukuman ke 24
tersangka (Mohamad Rangga Rambe.2009:77).
Adapun tiga bentuk pelanggaran atau kejahatan yang
menjadi yurisdiksi dari Mahkamah Nuremberg menurut Pasal 6
Piagam Nuremberg adalah:
(1) Kejahatan
Terhadap
Perdamaian
(crimes
againts
peace),seperti perencanaan, persiapan, inisiasi, pelaksaan
perang agresi atau perang yang melanggar perjanjian.
(2) Kejahatan
Perang (Crimes
War),pelangaran
terhadap
hukum-hukum atau kebiasaan perang. Pelanggaran itu
termasuk tetapi tidak terbatas dapa pembunuhan, perlakuan
buruk, deportasi ntuk dijadikan budak, pembunuhan
sandera, perampasan barang-barang publik.
(3) Kejahatan
Terhadap
Kemanusiaan
(crimes
againts
humanity), seperti pembunuhan, pemusnahan, deportasi,
penganiyayaan atas dasar politik, rasial atau keagamaan dan
tindakan lain yang tidak manusiawi yang dilakukan
terhadap populasi sipil sebelum atau selama perang
berlangsung.
Berdasarkan Pasal 6 Piagam Nuremberg ditegaskan pula
tanggung jawab individual dari pelaku kejahatan-kejahatan yang
dimaksud. Berarti para pelaku kejahatan tersebut tidak dapat
berdalih bahwa perbuatannya tersebut untuk kepentingan atau
berdasarkan perintah dari negara. Pasal 7 Piagam Nuremberg
secara tegas menyatakan “The official position of defendants,
whether as heads of State or responsible officials in Goverment
commit
Departemens, shall
not to
beuser
considered as freeing them from
60
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
responbility
or
mitigating
punishment”.
Pasal
8
Piagam
Nuremberg secara eksplisit menyebutkan “The fact that the
defendant acted pursuant to order of his Goverment of a superior
shall not free from him responsibility, but maybe considered in
mitigation of punishment if the Tribunal determines that justice so
requires”. Berdasarkan kedua pasal tersebut terlihat jelas bahwa
kedudukan resmi pelaku tidak dapat dijadikan alasan untuk
menghindarkan diri dari tanggung jawab. Kejahatan yang
dilakukan atas perintah pemerintah atau atasan, tidak dapat
membebaskan pelaku dari tanggung jawab dan dijadikan dasar
untuk mengurangi hukuman (Eddy.O.S.Hiariej,2010:51).
Mahkamah Nuremberg terdiri dari empat orang hakim
ditambah dengan empat orang hakim pengganti yang berasal dari
keempat negara yang menandatangi statuta yaitu Amerika, Inggris,
Perancis, dan Soviet.
b) Mahkamah Tokyo (International Military Tribunal for the Far
East)
Mahkamah Tokyo mengadili para penjahat perang Jepang.
Mahkamah Tokyo dibentuk pada 19 Januari 1946. Berbeda
dengan Piagam Nuremberg, yang disusun oleh beberapa negara
yang memenangi Perang Dunia II, Piagam Tokyo dibentuk
berdasarkan pernyataan atau proklamasi Komandan Pasukan
Tertinggi Sekutu di Timur Jauh, Jendral Douglas McArthur.
Mahkamah Tokyo terdiri dari 11 hakim yang semuanya ditunjuk
oleh Jendral Douglas Mac Arthur (ICRC,2004:77).
Jurisdiksi Mahkamah Tokyo yang diatur dalam Pasal 5
Piagam Mahkamah Tokyo hampir sama dengan jurisdiksi
Mahkamah Nuremberg yaitu ada tiga jurisdiksi, masing-masing
kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan
terhadap kemanusiaan yang rumusannya secara substansi sama.
commit to user
61
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Mahkamah Tokyo mengatakan bahwa alasan tindakan
negara (Act of State) dan perintah atasan tidak dapat dijadikan
dasar untuk membebaskan tanggung jawab si pelaku, tetapi hal
ini dapat dijadikan dasar untuk mengurangi hukumannya. Hal
yang sama juga diterapkan jika sang pelaku melakukan tindakan
tersebut
dalam
kapasitasnya
sebagi
pejabat
resmi
(Eddy.O.S.Hiariej,2010:69).
Selain kedua mahkamah
tersebut, ada beberapa bentuk
mahkamah Ad Hoc yang dibuat untuk mengadili kejahatan
pelanggaran berat HAM yang terjadi sebelum dibentuknya Statuta
Roma 1998, antara lain:
a) Mahkamah Kriminal Internasional untuk bekas Yugoslavia
(International
Criminal
Tribunal
for
the
Former
Yugoslavia/ICTY) untuk menyelesaikan kejahatan-kejahatan
serius humaniter yang terjadi di Yugoslavia;
b) Mahkamah Rwanda (International Criminal Tribunal for
Rwanda/ICTR) untuk menyelesaikan masalah genosida di
Rwanda.
c) Pengadilan Khusus yang dibuat untuk Sierra Leone, untuk
menyelesaikan konflik internal yang terjadi di Sierra Leone
semenjak tahun 1991.
d) Majelis Luar Biasa untuk Kamboja, untuk menyelesaikan kasus
killing field di Kamboja.
Perlu diketahui bahwa pembentukan mahkamah-mahkamah
semacam ini bersifat Ad Hoc atau khusus/sementara, yang berarti
mahkamah tersebut dibentuk hanya untuk mengadili kejahatan
khusus yang terjadi di negara yang bersangkutan dan hanya dibentuk
dalam jangka waktu tertentu saja. Untuk Mahkamah Nuremberg dan
Tokyo dibentuk oleh pihak yang menang perang, sedangkan untuk
commit
to user dibentuk oleh PBB. Berikut ini
mahkamah Yugoslavia
dan Rwanda
62
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
adalah beberapa penjelasan mengenai mahkamah kriminal untuk
bekas Yugoslavia (ICTY) dan Mahkamah Rwanda (ICTR):
a) Mahkamah Kriminal Internasional untuk bekas Yugoslavia
(International
Criminal
Tribunal
for
the
Former
Yugoslavia/ICTY)
Mahkamah
Kriminal
Internasional
untuk
bekas
Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former
Yugoslavia/ICTY) dibentuk berdasar Resolusi DK PBB No. 808
(22 Febuari 1993) dan No. 827 (25 Mei 1993). Tujuan dari
dibentuknya Mahkamah Kriminal Internasional untuk bekas
Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former
Yugoslavia/ICTY) adalah:
(1) Membawa
ke
pengadilan
orang-orang
yang
diduga
bertanggung jawab terhadap kejahatan-kejahatan serius
humaniter,
(2) Memberikan keadilan kepada para korban,
(3) Menghalangi kejahatan-kejahatan lebih lanjut,
(4) Memberikan kontribusi terhadap pemulihan perdamaian
dengan meminta pertanggungjawaban dari orang-orang
yang bertanggungjawab atas kejahatan-kejahatan serius
hukum humaniter internasional.
Yurisdiksi dari ICTY adalah pelanggaran berat terhadap
Konvensi Jenewa 1949, kejahatan terhadap hukum-hukum atau
kebiasaan-kebiasaan perang, genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Tidak seperti Mahkamah Nuremberg, ICTY tidak dapat
memeriksa perkara secara in absentia. Jika pengadilan tidak
mampu
menghadirkan
terdakwa
maka
penuntut
dapat
mempresentasikan kasusnya ke majelis pemeriksa. Berdasarkan
bukti yang ada, selanjutnya majelis akan menentukan apakah
user mempercayai bahwa terdakwa
ada dasar yangcommit
rasionalto untuk
63
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melakukan
kejahatan
dan
dapat
mengeluarkan
jaminan
penahanan internasional yang diberikan kepada semua negara.
Prosedur ini dapat dipandang sebagai quasi in-absentia.
Rumusan kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICTY
lebih rinci bila dibandingkan dengan London Charter yang
melahirkan Nuremberg Trial. Yurisdiksi ICTY meliputi
kejahatan baik yang termasuk International armed conflict
maupun non international armed conflict dan kejahatan terhadap
kemanusiaan yang termasuk dalam Statuta ICTY hanya apabila
dilakukan dalam suatu konflik bersenjata.
ICTY dapat dikatakan sebagai direct enforcement system,
artinya upaya melaksanakan pembentukan suatu mahkamah
internasional, mengajukan tuntutan dan peradilan terhadap
pelaku kejahatan internasional secara langsung tanpa melalui
hukum nasional negara tersebut (Eddy.O.S.Hiariej,2010:145).
b) Mahkamah Rwanda (International Criminal Tribunal for
Rwanda/ICTR)
Mahkamah Rwanda (International Criminal Tribunal for
Rwanda) dibentuk berdasarkan Resolusi DK PBB No. 955
Tanggal 8 November 1994. Pada tanggal 25 Februari 1995
berdasarkan resolusi 977, Dewan Keamanan PBB memutuskan
lokasi ICTR berada di Arusha, Tanzania. Tujuan dari
dibentuknya mahkamah ini adalah untuk mengadili orang-orang
yang melakukan genosida di Rwanda dan pelanggaran serupa
lainnya yang dilakukan di wilayah negara tetangga dan di
Rwanda antara tanggal 1 Januari 1994 sampai dengan 31
Desember 1994 (Arlina Permatasari,1999;181). Genosida yang
dilakukan di Rwanda dilakukan oleh suku Hutu yang melakukan
pembantaian terhadap suku minoritas, yaitu suku Tutsi.
Yurisdiksi dari International Criminal Tribunal for
commit to user
Rwanda/ICTR menyangkut
tiga hal, yaitu:
64
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(1) Ratione matriae, meliputu genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, pelaranggaran terhadap Pasal 3 Konvensi
Jenewa dan Protokol Tambahan II.
(2) Ratione temporis, kejahatan yang dilakukan antara 1 Januari
1994-31 Desember 1994.
(3) Ratione personae et ratione loci, kejahatan yang dilakukan
oleh orang Rwanda dan non warga Rwanda di wilayah
teritorial Rwanda dan negara tetangganya.
Struktur ICTR terdiri dari tiga trial chamber dan satu
appeals chamber. Para hakim dipilih oleh Majelis Umum PBB
dar daftar yang diusulkan oleh Dewan Keamanan. Hakim-hakim
ICTR terpilih dari berbagai macam sistem hukum di dunia yang
mewakili negara anggota PBB. Mereka dipilih untuk masa
jabatan empat tahun dan kemudian padat dipilih kembali. Trial
dan appeals chamber beranggotakan 16 hakim dan tidak boleh
dari mereka berasal dari negara yang sama. Masing-masing
chamber terdiri dari tiga hakim, sedangkan untuk appeals
chamber terdiri dari lima hakim.
ICTR memiliki concurrent jurisdiction yaitu prinsip yang
digunakan dalam memperluas yurisdiksi territorial yaitu antara
negara tempat terjadinya suatu tindak pidana dengan negara
yang menerima akibatnya ataupun dengan negara tempat
pelakunya berada atau melarikan diri dan sekaligus primary
jurisdiction
yaitu
kekuasaan
mengadili/lingkup
kuasa
kehakiman terhadap pengadilan nasional baik itu di Rwanda
maupun di negara lainnya. Pengadilan secara in absentia
dilarang, sedangkan asas pertanggungjawaban yang berlaku
adalah tanggungjawab individu (individual responsibility).
ICTR juga memberlakukan asas nebis in idem, kecuali apabila
karakter perbuatan yang diadili oleh pengadilan nasional tidak
commit
to user
berkaitan dengan
karakter
Statuta Tribunal atau bilamana tidak
65
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ada jaminan terhadap sikap tidak memihak (impartiality),
kebebasan (independence) atau peradilan yang efektif dalam
pengadilan nasional (Eddy.O.S.Hiariej,2010:175).
3)
Melalui Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal
Court/ICC)
ICC didirikan berdasarkan Statuta Roma 1998 tanggal 17
Juni 1998 yang dihadiri oleh 162. Mahkamah ini bersifat sangat
permanen untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang sangat serius
(the most serious crimes). ICC bekerja apabila pengadilan nasional
tidak mau (Unwilling) dan tidak mampu (unable). Menurut Pasal 58 Statuta Roma 1998, ICC berwenang untuk mengadili atas empat
macam kejahatan yaitu:
a)
Tindak pidana Genosida
b)
Tindak pidana terhadap kemanusiaan
c)
Tindak pidana perang/kejahatan-kejahatan perang
d)
Kejahatan agresi
Menurut Arie Siswanto, tindak pidana yang termasuk
kedalam yurisdiksi ICC adalah, yaitu (Arie Siswanto, 2005;45) :
a)
Genocide (Kejahatan Genosida),
b)
Crimes
Againts
Humanity
(Kejahatan
Terhadap
Kemanusiaan),
c)
Crimes of War (Kejahatan Perang), dan
d)
Crimes of Agression (Kejahatan Terhadap Agresi) .
Di dalam Pasal 1 Statuta Roma menyatakan, bahwa
International Criminal Court established under statute shall be
complementary to national criminal jurisdiction (Mahkamah
Pidana Internasional yang dibentuk di bawah Statuta Roma akan
merupakan pelengkap dari jurisdiksi pidana nasional), artinya
jurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional baru akan dilaksanakan
commit
to user
jika proses peradilan
yang
efektif melalui tindakan hukum di
66
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tingkat
nasional
tidak
dapat
dilaksanakan.
Prinsip
Komplementaritas mengarisbawahi bahwa Mahkamah Pidana
Internasional tidak dimaksudkan untuk mengantikan sistem
peradilan yang masih berfungsi, melainkan untuk menyediakan
sebuah alternatif untuk mencegah impunity yang disebabkan
karena sistem peradilan yang independen dan efektif tidak tersedia.
Jika suatu negara tidak mau (unwilling) atau tidak manpu
(unable) mengadili pelaku kejahatan perang maka ICC baru dapat
melaksanakan yurisdiksinya. Apabila terjadi suatu kejahatan yang
termasuk dalam yurisdiksi ICC, maka si pelaku harus diadili
dahulu oleh mahkamah nasionalnya. Apabila mahkamah nasional
tidak mau dan/atau tidak mampu mengadili si pelaku, maka ICC
akan menjalankan fungsinya untuk mengadili si pelaku kejahatan
yang bersangkutan (Mohamad Rangga Rambe,2008:409). Dengan
demikian Mahkamah Pidana Internasional tidak memiliki jurisdiksi
secara langsung terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang
berat.
Negara-negara anggota PBB tidak secara otomatis terikat
oleh jurisdiksi ICC, tetapi melalui suatu pernyataan untuk
mengikatkan diri dan menjadi sepihak dengan Statuta Roma 1998.
ICC mulai berlaku secara efektif sejak tahun 2002 ketika sudah
mencapai 60 negara yang mertifikasi (Boer Mauna, 2005;263).
Sampai saat ini Amerika dan Israel belum meratifikasi Statuta
Roma 1998. Walaupun Amerika dan Israel belum meratifikasi
Statuta Roma 1998 bukan berarti negara ini tidak bisa dibawa ke
ICC. Secara umum Statuta Roma 1998 menegaskan bahwa ICC
bisa menjalankan fungsi dan kewenangannya di wilayah negara
pihak dalam Statuta Roma 1998, tetapi dalam Pasal 4 ayat (2)
Statuta Roma 1998 mengatakan bahwa ICC pun dapat menjalankan
fungsi dan kewenangannya di dalam wilayah negara bukan pihak,
commitkhusus.
to user
selama dibuat perjanjian
67
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasal 12 ayat (2) Statuta Roma 1998 juga mengatur bahwa
yurisdiksi teritorial ICC tergantung pada inisiatif pengajuan kasus
ke ICC. Apabila suatu kasus kejahatan internasional dirujuk ke
penuntut umum ICC oleh negara pihak dalam Statuta Roma 1998
atau diselidiki oleh inisiatif penuntut umum sendiri, maka Statuta
Roma 1998 mensyaratkan agar negara dimana pelanggaran terjadi
(locus delicti) atau negara tempat kewarganegaraan pelaku
haruslah negara pihak dalam Statuta Roma. Tetapi apabila suatu
kasus dirujuk ke penuntut umum oleh Dewan Keamanan PBB
maka Statuta Roma 1998 tidak menegaskan tentang aspek
teritorialitas tempat terjadinya pelanggaran (locus delicti) maupun
aspek nasionalisme pelakunya. Dengan demikian dapat ditafsirkan
bahwa dalam hal inisiatif, apabila suatu perkara datang dari DK
PBB, ICC dapat menerapkan yurisdiksinya di wilayah negara yang
bukan pihak atas kejahatan yang dicakup oleh ICC yang pelakunya
bukan warga negara dari negara pihak dalam Statuta Roma 1998.
Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3) Statuta Roma 1998 juga menyiratkan
bahwa negara yang bukan merupakan negara pihak dalam Statuta
Roma 1998 juga dapat memiliki posisi yang sama seperti negara
pihak, sepenjang negara itu membuat deklarasi untuk menerima
yurisdiksi ICC.
Terdapat 18 orang hakim yang bertugas selama 9 tahun
tanpa dapat dipilih kembali dalam ICC. Para hakim dipilih
berdasarkan dua per tiga suara Majelis Negara Pihak, yang terdiri
dari negara-negara yang telah meratifikasi statuta ini. Jaksa akan
bertindak atas penyerahan dari Negara Pihak atau Dewan
Keamanan, dan dapat juga berinisiatif melakukan penyelidikan atas
kehendak sendiri (propio motu).
Kasus-kasus yang tidak dapat diterima oleh Mahkamah
Pidana Internasional berdasarkan Pasal 17 Statuta Roma adalah:
commit to user
68
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a)
Kasus yang sedang diselidiki atau dituntut oleh suatu negara
yang mempunyai yurisdiksi atas kasus tersebut, kecuali jika
negara tersebut tidak bersedia atau benar-benar tidak dapat
melakukan penyidikan atau penuntutan.
b)
Kasus yang telah diselidiki oleh suatu negara yang
mempunyai yurisdiksi atas kasus tersebut dan negara itu telah
memutuskan untuk tidak menuntut orang yang bersangkutan,
kecuali jika keputusan itu timbul dari ketidaksediaan atau
ketidakmampuan negara untuk benar-benar melakukan
penuntutan.
c)
Orang yang bersangkutan telah diadili atas perbuatan yang
merupakan pokok pengaduan itu (asas ne bis in idem).
d)
Kasus yang tidak cukup memadai sebagai pembenaran
tindakan Mahkamah selanjutnya.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa Mahkamah
Pidana Internasional tidak mengakui prinsip Nebis in idem, namun
ada pengecualian jika proses perkara dalam pengadilan lain itu
bertujuan untuk (Mahrus ali,2011:57):
a)
Bertujuan untuk melindungi orang yang bersangkutan dari
tanggung jawab pidana untuk kejahatan yang berada dibawah
yurisdiksi mahkamah;
b)
Tidak dilakukan secara mandiri atau tidak memihak sesuai
dengan norma-norma mengenai proses yang diakui oleh
hukum internasional dan dilakukan dengan cara yang, dalam
keadaan ini, idak sesuai dengan maksud untuk membawa
orang yang bersangkutan ke pengadilan.
Berdasarkan jenis-jenis mekanisme penegakan hukum humaniter
yang telah dijelaskan diatas,dapat disimpulkan bahwa mekanisme
penegakan hukum humaniter dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
commit to user
69
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1)
Mekanisme Nasional Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol
Tambahan 1977 yaitu suatu mekanisme di mana penegakan hukum
humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan
nasional.
2)
Mekanisme Internasional yang mencakup :
a) Mahkamah Internasional Ad Hoc Tentang Kejahatan Perang
yang digunakan untuk mengadili kejahatan perang sebelum
Statuta Roma berlaku.
b) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court
/ICC) yang digunakan untuk mengadili kejahatan perang
setelah Statuta Roma berlaku.
commit to user
70
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
A. Kerangka Pemikiran
Proses pelaksanaan penelitian dan penulisan hukum ini merupakan suatu
rangkaian pemikiran yang diarahkan secara sistematis sesuai dengan tujuan yang
hendak dicapai. Kerangka pemikiran dalam penulisan hukum ini dapat dilihat
pada bagan berikut ini :
Konvensi Jenewa IV
Tahun 1949
Protokol Tambahan
I Tahun 1977
Perlindungan Terhadap
Penduduk Sipil
Konflik antara Israel
dengan Palestina
Konflik di Jalur Gaza
26 Desember 2008-20
Januari 2009
Pelanggaran
Mekanisme Penegakan Hukum
terhadap Perlindungan Penduduk Sipil
Konvensi Jenewa
I-IV/1949
Statuta
Roma 1998
DK PBB
Exhaustion of
Local
Remedies
ICC
Ad Hoc
commit to user
Terjadi Banyak
Pelanggaran Terhadap
Penduduk Sipil
71
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keterangan Bagan :
Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan sering dikatakan sebagai
sumber utama dari HHI modern, karena didalamnya mengatur tata cara dan
perlindungan terhadap pihak-pihak apabila terjadi sengketa. Dalam Konvensi
Jenewa IV dan Protokol Tambahan I dijelaskan tentang perlindungan bagi
penduduk sipil pada saat terjadi konflik yang meliputi siapa-siapa saja yang boleh
dan tidak boleh diserang dalam konflik bersenjata internasional dan perlindungan
bagi penduduk sipil.
Salah satu contoh kasus konflik bersenjata internasional adalah konflik
antara Israel dengan Palestina. Konflik antara Israel-Palestina ini telah terjadi
kurang lebih selama 44 tahun sejak tahun. Serangan Israel ke Palestina yang barubaru ini terjadi adalah serangan ke Jalur Gaza pada tanggal 26 Desember 2008-20
Januari 2009, yang mana serangan itu banyak memakan korban dari pihak sipil,
anak-anak,maupun perempuan. Padahal dalam Konvensi Jenewa IV dan Protokol
Tambahan I/1977 sudah diatur secara tegas mengenai perlindungan terhadap
penduduk sipil dalam konflik bersenjata internasional.
Berdasarkan fakta-fakta pelanggaran yang terjadi dalam Operation Cast
Lead maka dapat digunakan mekanisme penegakan hukum terhadap pelanggaran
pendudu sipil untuk menyelesaikan konflik antara Israel-Palestina ini. Adapun
alternatif mekanisme penegakan hukum terhadap pelanggaran pendudu sipil yang
daat digunakan adalah berdasarkan Konvensi Jenewa I-IV/1949 dapat
menggunakan mekanisme nasional (Exhaustion of Local Remedies), melalui
Statuta Roma 1998 dapat menggunakan Mahkamah Pidana Internasional (ICC)
dan melalui Persetujuan dari DK PBB dapat menggunakan Mahkamah Ad Hoc.
commit to user
72
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
1. Konflik Israel-Palestina Di Jalur Gaza tangal 27 Desember 2008-20 Januari
2009 (Operation Cast Lead)
Konflik antara Israel dengan Palestina sudah terjadi sangat lama, bahkan
sejak tahun 1948 Israel telah menduduki wilayah Palestina. Sudah bukan merupakan
suatu rahasia lagi apabila faktor utama yang menyebabkan konflik ini adalah masalah
perebutan wilayah antara bangsa Israel dan rakyat Palestina seperti yang sudah
penulis jelaskan pada bab sebelumnya. Akibat keinginan Israel untuk menduduki
wilayah Palestina, Israel menggunakan angkatan bersenjatanya untuk menyerang
Palestina, pasukan Israel melakukan pengusiran, perampokan, dan pembantaian
terhadap penduduk Palestina sehingga mengakibatkan menyusutnya wilayah
Palestina
sebagaimana
ditunjukkan
peta
berikut
(ArlinaPermanasari.2009.
http://arlina100.wordpress.com/2009/01/04/israel-dan-pendudukan-asing-ataspalestina-konflik-bersenjata-yang-harus-diakhiri/,diakses
tanggal
23
Desember
2012):
Berdasarkan Gambar 1,commit
terlihat
bahwa wilayah Palestina mengalami
to user
penyusutan sejak dari tahun 1946. Kawasan yang dimiliki oleh warga Palestina
73
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
semakin mengecil, sehingga menyebabkan penduduk lokal mengalami kesulitan
dalam mobilitas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akibat pendudukan Israel
terhadap wilayah Palestina, hak warga Palestina untuk hidup secara layak dan hidup
sebagai bangsa yang merdeka untuk memenuhi kebutuhannya sebagai manusia
meliputi hak untuk pendidikan, pekerjaan, serta hidup dalam lingkungan yang aman
dan damai sebagaimana warga negara di negara-negara pada umumnya dirampas
oleh pendudukan Israel.
Isu Palestina mengandung sejarah panjang terkait konflik bersenjata yang
tiada henti memakan korban jiwa. Berikut data-data yang dikumpulkan seputar
konflik peperangan di Jalur Gaza yang dikumpulkan dari lembaga-lembaga
kemanusiaan internasional yang digunakan dalam studi maupun laporan seputar
konflik Palestina-Israel, hingga tahun 2009, yang dirangkum oleh Oxford Research
(Justin Alexander. 2009: 115), antara lain :
Tabel 1. Perbedaan Tindak Kekerasan yang dilakukan Oleh Pihak
Palestina dan Israel
Kekerasan yang dilakukan oleh
Kekeasan yang dilakukan oleh
Palestina (HAMAS)
Pasukan Israel (IDF)
Tujuan
pertempuran
dalam Tujuan
serangan
untuk
menanggapi penyerangan IDF ke menguasai/menduduki jalur Gaza
jalur Gaza
Dalam serangan menggunakan Serangan
Mortir dan roket
udara
pesawat,dan
tujuannya
helikopter
untuk
pembunuhan
musuh
menggunakan
baik
(HAMAS)
yang
melakukan
itu
kepada
ataupun
penduduk sipil
Dengan
menggunakan
bom Dengan menembakan artileri
bunuh diri
Dengan menanam bahan peledak Menggunakan penembak jitu dari
di terowongan di bawah tanah perbatasan benteng
commit to user
atau di bangunan
74
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Serangan dengan menggunakan Serangan-serangan
bom mobil, di perbatasan
menggunakan
kapal
dengan
laut
dan
menembaki ke arah jalur Gaza
menyerangan pasukan israel di Pemusnahan rumah dan tanah
dalam terowongan
dengan menggunakan buldoser
Kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang
menggunakan kekuatan militer tersebut menyebabkan kerugian yang sangat besar di
kalangan penduduk sipil, sehingga menyebabkan pelanggaran hak-hak warga negara
yang berada dalam kondisi perang. Serangan bom, penembakan, penyerangan kapal
dan penggusuran rumah dan lahan merupakan bentuk-bentuk tindakan yang
menyebabkan pelanggaran hak-hak penduduk sipil, khususnya di kalangan pihak
Palestina. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa kekerasan yang dilakukan pihak
Israel bersifat lebih agresif bila dibandingkan dengan serangan yang dilakukan oleh
pihak HAMAS dan korban yang dapat ditimbulkan akibat serangan pasukan Israel
inipun lebih massive dibandingkan dengan serangan kekerasan dari pihak HAMAS.
Sampai sekarang perdamaian antara kedua belah pihak masih belum
terwujud, baru-baru ini konflik antara Israel dengan Palestina kembali terjadi.
Konflik ini terjadi dalam kurun waktu sekitar dua minggu, dimulai sekitar tanggal 27
Desember 2008-20Januari 2009 yang dikenal dengan nama Operation Cast Lead 20
Januari2009(UN.2009.http://unispal.un.org/unispal.nsf/9a798adbf322aff38525617b0
06d88d7/c9af039f6045bd0c85257876006ecaf7?OpenDocument&Highlight=0,operat
ion,lead,cast, diakses tanggal 2 November 2012).
a. Latar Belakang Operation Cast Lead
Operation Cast Lead dilakukan antara 27 Desember 2008 - 20 Januari 2009
oleh pasukan Israel untuk menghentikan serangan roket dan mortir dari HAMAS
yang ditujukan ke wilayah Israel. Dari 4 November - 18 Desember 2008, HAMAS
menembakkan sekitar 213 roket dan 126 mortir ke Israel. Lebih dari 20 Qassam
roket ditembakkan ke Israel selatan dari Gaza pada Rabu 17 Desember 2008. Sebagai
tanggapan, pasukan Israel melakukan empat serangan udara terhadap sasaran
commit to user
HAMAS di Jalur Gaza pada Rabu 17 Desember 2008. Tanggal 18 Desember 2008
75
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
HAMAS mengumumkan dengan pasti bahwa tidak akan memperpanjang gencatan
senjata dengan Israel, HAMAS hanya akan memperbaharui gencatan senjata jika
Israel keluar dari Tepi Barat, dimana Israel masih melakukan kampanye
penangkapan, serta mengakhiri blokade bantuan dan perdagangan melalui
persimpangan Erez di Gaza (SecurityCouncil.2009.http://www.securitycouncilreport
.org/chronology/israelpalestine.php?page=9, diakses tanggal 17 Agustus 2012).
Hal inilah yang membuat marah para pemimpin Israel, sehingga pada hari
Kamis 25 Desember 2008 Perdana Menteri Israel Ehud Olmert mengeluarkan "menit
terakhir" menarik diri bagi warga Palestina di Gaza untuk menghentikan serangan
roket ke Israel. Tetapi tidak ada tanda-tanda pelunakan dari sikap HAMAS di Jalur
Gaza (SecurityCouncil.2009.http://www.securitycouncilreport.org/chronology/israel
palestine.php?page=9, diakses tanggal 17 Agustus 2012).
b. Kronologis Operation Cast Lead
Berikut ini merupakan kronologis serangan Israel ke Palestina semenjak
tanggal 27 Desember 2008 sampai 20 Januari 2009 (Operation Cast Lead)
(SecurityCouncil.2009.http://www.securitycouncilreport.org/chronology/israelepales
tine.php?page=9, diakses tanggal 17 Agustus 2012).
1) 27 Desember 2008 - (Cast Lead Day 1) Pada pukul 11:33, jet Israel
menghantam HAMAS, upacara wisuda di akademi polisi HAMAS dibom,
sehingga menewaskan 200 korban. Israel melancarkan serangan udara ke
Gaza untuk menjawab serangan roket dan mortir HAMAS, menewaskan
setidaknya 229 warga sipil Palestina.
2) 28 Desember 2008 - (Cast Lead Day 2) Kampanye udara Israel terus
berlangsung, mengakibatkan 280 warga Palestina tewas. Target udara
Israel adalah kantor polisi, terowongan penyelundupan senjata, dan rumah
komandan HAMAS. Serangan udara Israel mengenai Universitas Islam
dan
membidik
terowongan
penyelundupan
di
Jalur
Gaza
yang
menghubungkan Gaza ke dunia luar. Pesawat tempur Israel menyerang
Kota Gaza, kota-kota Utara Jabalia, Beit Hanoun dan Beit Lahia, kota
Rafah di Gaza Selatan dan Ben Yunis, dan camp-camp pengungsi di Gaza
commit to user
tengah, Pesawat tempur Israel juga berhasil memukul pemerintahan
perpustakaan.uns.ac.id
76
digilib.uns.ac.id
HAMAS dan kantor-kantor keamanan, masjid dan TV stasiun. Warga
sipil, termasuk personil HAMAS diperingatkan melalui telepon maupun
oleh selebaran sebelum rumah mereka diserang. HAMAS menembakkan
roket dan mortir ke Israel Selatan sekitar 60 per hari. Beberapa roket
mendarat di dekat Ashdod, 38-40 km (23 mil) dari Jalur Gaza, dan satu di
Ashkelon.
3) 29 Desember 2008 - (Cast Lead Day 3) militan Gaza menembakkan lebih
dari 50 roket dan mortir ke Israel, menewaskan dua orang, seorang di kota
Ashkelon dan lain Israel di sebuah peternakan komunal, Nahal Oz, dekat
Gaza.
Pasukan Israel menghancurkan Kementerian Dalam Negeri Palestina di
Gaza dan membuat setidaknya lima serangan terhadap Universitas Islam di
Jalur Gaza, yang diduga digunakan untuk merancang dan memproduksi
roket oleh HAMAS. Israel mengumumkan wilayah-wilayah seputar Jalur
Gaza sebagai zona militer tertutup. Angkatan Udara Israel menghancurkan
40 terowongan sepanjang rute Philadelphi, dekat perbatasan Israel-Mesir,
yang digunakan untuk menyelundupkan senjata ke HAMAS. Pada agresi
tanggal 29 Desember 2008 Jalur Gaza berhasil dikuasai oleh Israel.
Angkatan Udara Israel juga menghancurkan sebuah pusat senjata di Gaza
yang digunakan untuk mengembangkan dan memproduksi roket-roket
Qassam. Pada sekitar pukul 18:00 Senin malam, pasukan Israel
menembaki sebuah kendaraan HAMAS sarat dengan puluhan rudal jenis
Grad di daerah Jabaliya, di Jalur Gaza. Menurut penilaian pasukan Israel,
rudal sedang dipindahkan oleh HAMAS ke lokasi persembunyian baru,
karena HAMAS takut bahwa lokasi sebelumnya menjadi sasaran oleh
pasukan Israel.
4) 30 Desember 2008 - (Cast Lead Day 4) Pasukan Israel menyerang kantor
Perdana Menteri HAMAS Ismail Haniyeh yang terletak di Kota Gaza
sepanjang Senin malam atau Selasa pagi. Kantor Haniyeh adalah pusat
untuk dukungan, perencanaan dan pendanaan kegiatan perlawanan
terhadap Israel. Selain itu, kantor menteri HAMAS lainnya di wilayah
commit to user
yang sama diserang. Dalam serangan menjelang fajar, pesawat tempur
77
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Israel menembakkan rudal ke Kota Gaza. Selama serangan udara, 37
bangunan bertingkat yang merupakan inti dari kompleks pemerintah
HAMAS
yang
menjadi
sasaran.
Bangunan-bangunan
termasuk
Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, Tenaga Kerja dan
Departemen Konstruksi dan Perumahan. Pasukan Israel menyerang 35
target tambahan, termasuk: terowongan di daerah perbatasan Rafah,
fasilitas penyimpanan senjata, pos-pos HAMAS, dan tempat peluncur
roket. Angkatan laut Israel juga menyerang sejumlah target di Jalur Gaza,
termasuk pos-pos HAMAS, camp-camp pelatihan. Akibat serangan ini
sekitar 363 warga Palestina dilaporkan telah tewas, 1.700 orang
mengalami luka-luka.
5) 31 Desember 2008 - (Cast Lead Day 5) Roket HAMAS mencapai
Beersheva untuk pertama kalinya, 43 km dari Gaza. Pasukan Israel dan
Angkatan Laut Israel menyerang sekitar 20 target milik HAMAS lainnya
sebagai kelanjutan dari Operation Cast Lead, diantaranya adalah bangunan
perumahan Kementerian HAMAS yang terletak di kompleks El-Hawwa.
Beberapa terowongan penyelundupan di sepanjang Rute Philadelphi yang
digunakan oleh HAMAS untuk mengangkut senjata dan sebagai akses
pasukan HAMAS masuk dan keluar dari Gaza terkena serangan Israel.
Sebuah manufaktur persenjataan dan fasilitas penyimpanan di pusat Gaza
juga terkena serangan Israel. Sebuah pusat komando kepolisian HAMAS
di Rafah, serta pos otoritas HAMAS di pesisir pantai yang berdekatan
dengan Kota Gaza menjadi sasaran. Selain itu, Angkatan Laut Israel
menargetkan sejumlah pos-pos HAMAS dan tempat peluncuran roket.
Presiden Mesir Hosni Mubarak mengatakan Mesir tidak akan sepenuhnya
membuka perbatasan ke Gaza, kecuali Presiden Palestina Mahmoud Abbas
memegang kendali di sana. Mesir telah membuka penyeberangan untuk
memungkinkan warga Palestina terluka masuk untuk perawatan medis,
dan pemerintah Mesir juga memungkinkan adanya bahan makanan dan
obat-obatan yang akan dikirimkan ke Gaza.
6) 1 Januari 2009 - (Cast Lead Day 6) Pasukan Israel berhasil menewaskan
commit to user
Nizar Rayyan beserta keluarganya, pemimpin garis keras HAMAS yang
perpustakaan.uns.ac.id
78
digilib.uns.ac.id
telah mengumumkan bahwa HAMAS tidak akan membuat perdamaian
dengan Israel. Kabarnya, pasukan Israel menembakkan rudal peringatan di
atap rumahnya, supaya ia pergi, tapi ia dan keluarganya memutuskan
untuk tetap berada di dalam rumah.
Pasukan Israel juga menyerang rumah Nabil Amrin, seorang pemimpin
senior HAMAS di Jalur Gaza. Amrin adalah komandan Batalyon untuk
cabang militer HAMAS. Rumah Amrin digunakan untuk menyimpan
senjata dan amunisi. Pada saat yang sama para pejuang Palestina
menembakkan roket-roketnya semakin gencar ke wilayah Utara Israel.
Pejabat kesehatan Palestina mengatakan korban tewas dalam serangan
udara enam hari diluncurkan di Gaza oleh Israel pada hari Sabtu
meningkat menjadi 403 orang Palestina, dan lebih dari 2.000 orang
terluka. Dewan Keamanan PBB telah bertemu untuk membahas masalah
kekerasan di Gaza, namun gagal menyepakati resolusi gencatan senjata.
Negara-negara Arab untuk mendorong resolusi untuk menuntut segera
gencatan senjata. Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon menuduh Israel
menggunakan kekuatan yang tidak proporsional terhadap warga Palestina
dan menyerukan gencatan senjata segera. Delegasi dari negara-negara
Arab menyerukan resolusi mengutuk tindakan Israel di Gaza dan meminta
agar menghentikan semua aksi militer.
7) 2 Januari 2009 - (Cast Lead Day 7) Pasukan Israel menyerang Mamduq
Jammal. Jammal adalah komandan batalyon HAMAS yang juga terlibat
dalam peluncuran roket dan bertanggung jawab dalam regu yang
meluncurkan roket di daerah Kota Gaza. Target Israel lainnya dintaranya
adalah:
a) Sebuah bangunan perguruan tinggi di El-Atatra yang diduga digunakan
oleh HAMAS untuk menembakkan roket ke Israel dan juga digunakan
sebagai tempat persembunyian dan ruang perakitan senjata oleh
HAMAS.
b) Rumah Ismail Renam yaitu pemimpin operasi di Bet-Lehiya, terletak
di utara Jalur Gaza, yang berfungsi sebagai fasilitas penyimpanan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
79
digilib.uns.ac.id
senjata, khusus untuk peralatan meluncurkan roket. Renam memiliki
peran sentral dalam peluncuran roket jenis Grad melawan Israel.
c) Rumah Azadin Hadad, yang digunakan untuk mengatur kegiatan
HAMAS dan sebagai tempat pertemuan bagi HAMAS. Hadad adalah
kepala kelompok militer HAMAS di bagian Timur Kota Gaza.
d) Sebuah kendaraan HAMAS yang memuat senjata ke tempat
penyimpanan di Nuseirat beserta 64 truk bantuan kemanusiaan ke
Gaza. Serangan roket ke Israel terus berlangsung, HAMAS
meluncurkan sekitar 30 proyektil ke Israel (atau 60 menurut laporan
lain, dengan roket mencapai sejauh Asdod dan Beersheva). Pemimpin
HAMAS, Khaled Meshaal, menegaskan bahwa jika Israel melancarkan
serangan darat di Gaza, HAMAS akan menculik tentara Israel.
8) 3 Januari 2009 - (Cast Lead Day 8) Israel menolak usulan gencatan senjata
dalam jangka waktu 48 jam dengan Menteri Luar Negeri Prancis Sarkozy
dan Israel siap untuk serangan darat. Pasukan cadangan Israel (sekitar dua
brigade) berkumpul di luar Jalur Gaza. Mereka melakukan persiapan untuk
melakukan serangan ke Palestina. Israel menembakkan banyak peluru
pada apa yang tampak di Gaza tidak peduli itu objek sipil maupun bukan
dan mengirimkan tank-tank dan infantri untuk berperang dengan HAMAS.
Israel menewaskan Abu Zakaria al-Jamal, seorang komandan bersenjata
HAMAS. Menjelang malam, pasukan darat Israel mulai memasuki Gaza.
Pesawat milik pasukan Israel menghantam kendaraan yang mengangkut
komandan senior HAMAS Mohammed Ma'aruf. Ma'aruf adalah bagian
dari militer HAMAS dan menjabat sebagai seorang perwira HAMAS.
9) 4 Januari 2009 - (Cast Lead Day 9) Pasukan Israel melaporkan membunuh
puluhan pasukan HAMAS. Pasukan Senior HAMAS, Hussam Hamdan,
yang bertanggung jawab atas peluncuran roket jenis Grad ke Bersyeba
dan Ofakim, juga tewas dalam serangan pasukan Israel di Khan Yunis pada
Minggu sore, bersama dengan Muhammad Hilo, yang juga tewas dalam
serangan udara yang sama. Hilo bertanggung jawab atas terbunuhnya StafSersan. Dvir Emmanueloff, dari unit pengintai Golani di Khan Yunis. Stafcommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
80
digilib.uns.ac.id
Sersan Dvir Emmanueloff dibunuh oleh pecahan peluru mortir shell dalam
bentrokan dengan HAMAS dekat Jabalya.
10) 5 Januari 2009 - (Cast Lead Day 10) Tiga tentara Israel tewas, satu terluka
parah, dan 20 tentara terluka ringan akibat serangan roket HAMAS.
Pasukan Israel menyerang puluhan terowongan penyelundupan yang
digunakan oleh HAMAS di sepanjang perbatasan Rafah. Selama operasi
ini pasukan Israel menghantam puluhan tempat persembunyian HAMAS.
Pasukan udara dan artileri juga membantu pasukan darat dengan
menyerang orang bersenjata yang mendekati mereka dan daerah tempat
HAMAS menembakkan roket ke pasukan Israel. Pasukan Israel
menyerang lebih dari 40 target tambahan termasuk sejumlah fasilitas
penyimpanan senjata. Pasukan Israel juga menyerang sebuah.
11) 6 Januari 2009 - (Cast Lead Day 11) – Pasukan Israel di Gaza Utara
menembak seorang calon pembom bunuh diri , menyebabkan dia meledak.
Rumah Imam Siam di camp pengungsi Jabaliya diserang oleh pasukan
Israel dan mengakibatkan Siam dibunuh. Dia adalah salah satu militan
senior HAMAS di Jalur Gaza yang mendirikan program organisasi
pelucuran roket, dan juga kepala program artileri HAMAS di seluruh Jalur
Gaza.
Pasukan Israel menyerang sekitar 50 sasaran di Gaza, termasuk:
a) Sekitar 10 tempat penyimpanan senjata HAMAS, beberapa di
antaranya berada di rumah anggota senior organisasi: Mahmad Shatiwi
seorang komandan batalyon HAMAS, Osama Tabesh seorang
komandan HAMAS, Abu Bassel Wadi seorang komandan HAMAS,
Ashraff Jouda seorang komandan senior HAMAS.
b) Tempat pertemuan bagi para anggota senior HAMAS.
c) Dua markas polisi HAMAS.
d) Terowongan tempat menyelundupkan senjata.
Menurut satu sumber, pesawat Israel menyerang sebuah sekolah UNRWA
di Beit Hanoun setelah sekolah berulang kali menjadi sumber roket dan
mortir terhadap Israel. Menurut sumber lain sekolah putri di camp
commit to user
pengungsi Jabalya terkena mortir pasukan Israel. Warga sipil Palestina
perpustakaan.uns.ac.id
81
digilib.uns.ac.id
ditampung di sekolah tersebut. PBB marah dan bersikeras bahwa pasukan
Israel telah menembaki sekolah milik UNRWA, menewaskan lebih dari 40
orang tak berdosa.
12) 7 Januari 2009 - (Cast Lead Day 12) – Lebih dari 20 roket diluncurkan
dari Jalur Gaza ke Israel, melukai dua penduduk Israel. Pesawat Israel
menyerang lebih dari 40 target sepanjang hari, termasuk sejumlah
terowongan penyelundupan di Selatan Gaza, 14 lokasi peluncuran roket,
sebuah pos HAMAS, 9 terowongan digali di bawah rumah, dan fasilitas
penyimpanan senjata dan melukai sekitar 20 penduduk sipil Palestina.
13) 8 Januari 2009 - (Cast Lead Day 13) – Dewan Keamanan PBB lewat
Resolusi 1.860 menyerukan gencatan senjata segera. 14 negara memilih
untuk itu, Amerika Serikat abstains. Baik Israel dan HAMAS
mengabaikan resolusi itu.
Israel memulai tiga jam serangan setiap sore pukul 01:00-04:00. Empat
roket Grad dan dua roket Qassam diluncurkan selama jeda tersebut, 14
roket dan mortir diluncurkan lainnya sepanjang hari. 223 warga negara
asing yang diizinkan masuk ke Israel menyusul permintaan dari
pemerintah masing-masing.
Pasukan infanteri menemukan sebuah terowongan yang berisi berbagai
senjata termasuk rudal RPG, AK-47 senapan serbu, detonator untuk bahan
peledak, granat, dan pisau. Dua perwira pasukan bersenjata Israel dan satu
tentara tewas selama operasi.
PBB mengklaim pasukan Israel telah menabrak truk dengan seorang
pekerja bantuan, dan PBB mengutuk Israel.
14) 9 Januari 2009 (Cast Lead Day 14) - Pasukan Israel menyerang sekitar 70
target, termasuk 15 daerah peluncurkan roket, terowongan, rumah personil
HAMAS, fasilitas penyimpanan senjata. Sekitar 500.000 penduduk sipil
Palestina dideportasi keluar dari wilayah Palestina dengan maksud agar
Israel bisa memperluas wilayahnya sampai ke Palestina. Sekitar 216 rumah
hancur, 107 di Tepi Barat dan 109 di Gaza. Juga 680 rumah rusak parah.
Sebelum merusak dan menghancurkan rumah-rumah penduduk Palestina,
commit to user
pasukan Israel juga menjarah harta benda yang dimiliki oleh penduduk
perpustakaan.uns.ac.id
82
digilib.uns.ac.id
Pelestina yang dianggap berharga. Sedangkan yang tidak dianggap
berharga turut dihanguskan bersamaan dengan rumah mereka.
15) 10 Januari 2009 (Cast Lead Day 15) - Amir Mansi, komandan program
pelucuran roket HAMAS di wilayah Kota Gaza, dibunuh oleh tembakan
pasukan bersenjata Israel. Mansi yang juga otoritas terkemuka HAMAS
yang berkaitan dengan program peluncuran rudal Grad. Mansi juga aktif
dalam menembakkan puluhan roket ke Israel, menewaskan dan melukai
warga sipil Israel. Serangan pasukan Israel mencapai sekitar 60 target
termasuk situs peluncurkan roket, terowongan, pabrik senjata, peluncur
rudal anti-pesawat dan seorang pembom bunuh diri akan meledak sendiri.
16) 11 Januari 2009 (Cast Timbal Day 16) - Pasukan Israel menyerang sekitar
60 target yang berbeda, termasuk terowongan penyelundupan, situs
meluncurkan roket, dan sel-sel HAMAS. Sekitar 20 roket dan mortir
diluncurkan ke Israel, termasuk rudal Grad yang mengenai taman kanakkanak di Ashdod.
17) 12 Januari 2009 (Cast Timbal Day 17) - Sebuah serangan dari pasukan
wanita HAMAS yang mencoba melakukan bom bunuh diri digagalkan.
Dalam satu insiden, pasukan Israel menembaki warga sipil Palestina yang
sedang berada di sebuah masjid. Sekitar 20 roket dan mortir yang
diluncurkan oleh HAMAS terhadap Israel.
18) 13 Januari 2009 (Cast Lead Day 18) - Pasukan Israel menemukan sebuah
terowongan sepanjang Jalur Gaza sampai ke Israel yang memungkinkan
untuk serangan HAMAS berskala besar di dekat Nahal Oz. HAMAS
menembakkan total 18 roket dan mortir ke Israel.
19) 14 Januari 2009 (Cast Lead Day 19) - Pasukan Israel menyerang dan
menewaskan dua komandan HAMAS Walid Za'abud dan Muhamad Dash
keduanya terlibat dalam peluncuran roket, serta pembuatan 15 terowongan
penyelundupan. HAMAS menembakkan total 14 roket dan mortir ke
Israel.
20) 15 Januari 2009 (Cast Lead Day 20) - Pasukan Israel membunuh menteri
dalam negeri HAMAS, Said Siam, saudaranya Ia'ad dan Salah Abucommit to user
Sharah, kepala dinas keamanan HAMAS. Pasukan Israel menyerang 70
perpustakaan.uns.ac.id
83
digilib.uns.ac.id
sasaran, termasuk sebuah masjid Rafah dan lima fasilitas penyimpanan
senjata. Lebih dari 25 roket dan mortir yang diluncurkan oleh HAMAS ke
Israel.
21) 16 Januari 2009 (Cast Lead Day 21) - Pasukan Israel sudah menyerang
sekitar 50 target, termasuk situs peluncurkan roket dan terowongan
penyelundupan. Lebih dari 20 roket dan mortir ditembakkan dari Jalur
Gaza menghantam Israel di antara kota-kota Ashdod dan Gat Qiryat. Lima
warga sipil dilaporkan terluka.
22) 17 Januari 2009 (Cast Lead Day 22) - Pasukan Israel menghancurkan lebih
dari seratus terowongan, 10 situs peluncurkan roket. Sekitar 20 roket dan
mortir ditembakkan ke Israel oleh HAMAS.
23) 18 Januari 2009 (Cast Lead Day 23) - gencatan senjata Israel dimulai pada
2:00. HAMAS terus menembakkan roket tetapi mengumumkan gencatan
senjata pada pukul 4:00.
24) 21 Januari 2009 - Para tentara Israel meninggalkan Palestina.
c. Ringkasan dari Operasi Cast Lead
Dalam 22 hari pertempuran sekitar 1.400 warga Palestina tewas diklaim oleh
laporan dari pihak Palestina, sementara Pasukan Israel memperkirakan 1.100 - 1.200
korban yang meninggal. Dari jumlah tersebut, pasukan Israel memperkirakan bahwa
setidaknya 700-750 adalah pejuang HAMAS. Palestina mengklaim bahwa 400 anakanak dan setidaknya 700 adalah penduduk sipil. HAMAS menembakkan sekitar 600
proyektil ke Israel termasuk roket Grad dimodifikasi yang melanda sejauh 43
kilometer jauhnya (UN.2009.http://unispal.un.org/UNISPAL.NSF/0/BE07C80CD
A4579468525734800500272, diakses tanggal 27 Juli 2012).
Selain menewaskan banyak penduduk sipil, konflik antara Israel-Palestina
juga menyebabkan tewasnya anak-anak dibawah umur. Menurut PCHR (Palestinian
Center for Human Rights) yaitu suatu badan hukum independen yang didedikasikan
untuk perlindungan hak asasi manusia dan penegakan prinsip-prinsip demokrasi di
wilayah pendudukan, dalam laporannya yang berjudul “War Crimes Againts
Children: A PCHR Investigation into Palestinian Children Killed by Israeli Forces
commit to user
in Gaza Strip 27 December 2008 – 18 Januari 2009” jumlah korban dari pihak anak-
84
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
anak di bawah umur yang menjadi korban dari konflik Israel-Palestina dalam
Operasi Cast Lead adalah:
Tabel. 2. Jumlah Korban Usia Anak-Anak Pada Konflik di Jalur Gaza 27
Desember 2008-18 Januari 2009
Jumlah Korban
Anak-Anak
Jenis Kelamin
Usia
Laki-Laki
Perempuan
30
20
10
≤6
29
14
15
6 s.d. 11
83
65
18
12 s.d. 17
Menurut sumber-sumber Israel, 3 warga sipil Israel dan 10 tentara tewas oleh
tindakan musuh. Salah seorang tentara Israel terkena roket atau mortir di Negev
Barat, tiga orang tewas dalam insiden tembak dan satu tewas ketika sebuah peluru
Israel meledak. HAMAS mengklaim telah menewaskan 49 warga Israel, sementara
yang mengalami luka-luka hanya 48 orang. Pada akhir operasi, Israel secara sepihak
mengumumkan gencatan senjata dengan HAMAS dan HAMAS pun menyetujuinya.
Israel memperoleh beberapa janji bahwa penyelundupan senjata oleh HAMAS di
Jalur Gaza akan dihentikan (OHCRH.2010.http://www2.ohchr.org/english/bodies/hr
council/docs/12session/UN-HumanRightsCouncilReport-of-the-Fact-FindingMission -of- the -Gaza-Conflict, diakses tanggal 15 Agustus 2012).
Operasi itu menyebabkan sejumlah infrastruktur dan properti sipil di Gaza
mengalami kerusakan besar serta banyak korban sipil. Barbara Lubin seorang aktivis
LSM HAM di Palestina memberikan kesaksian bahwa ada seorang ibu yang sedang
berada di dalam rumahnya di sekitar jalur Gaza dengan sepuluh anaknya ketika
tentara Israel memasuki rumahnya. Para prajurit Israel itu kemudian membawa
kelima anak dari ibu itu untuk dijadikan “hadiah kepada Israel” dan membunuh
kelima anak yang lainnya. PBB juga bersikeras bahwa Israel telah menembaki
commit toJabalya,
user menewaskan 43 pengungsi yang
sebuah sekolah putri di kamp pengungsi
berlindung di sekolah. Penyelidikan selanjutnya menunjukkan bahwa mortir Israel
perpustakaan.uns.ac.id
85
digilib.uns.ac.id
ditembakkan pada area luar sekolah (RajiSourani.2012.http://www.aljazeera.com
indepth/opinion/2012/11//20121117115136211403.html, diakses tanggal
20 juli
2012).
Perwakilan PBB dan beberapa organisasi internasional membuat tuduhan
bahwa Israel telah melakukan kejahatan perang berdasarkan adanya bukti-bukti.
Termasuk tuduhan bahwa Israel telah menggunakan fosfor putih sebagai senjata di
Gaza, tuduhan bahwa Israel telah menggunakan uranium, dan tuduhan bahwa
serangan di Gaza adalah mirip dengan serangan Nazi di Ghetto,Warsawa
(Anonim.2011.http://www.voiceofpalestine.com//inter-Penyakit-Kanker-Warga-Ga
za-Meningkat30%-Akibat-Bom-Fosfor-Putih-Israel.htm, diakses tanggal 11 april
2009).
Korban dan kerusakan yang terjadi dalam Opertion Cast Lead disebabkan oleh
sejumlah faktor:
1) Pasukan Israel menggunakan penduduk sipil dan anak-anak sebagai
perisai.
2) Pasukan Israel dalam serangannya juga menyerang masjid, sekolah-sekolah
dan rumah-rumah yang diduga sebagai tempat penyimpanan senjata dan
tempat meluncurkan roket.
3) Pasukan Israel juga menyerang penduduk sipil yang tidak secara langsung
terlibat dalam konflik, atau setidaknya siapa saja yang bukan merupakan
anggota penuh dari salah satu kelompok perlawanan. Seperti kepolisian
Gaza, anak-anak dari berbagai usia yang, dan para anggota organisasi
bantuan.
Kasus antara Israel dengan Palestina ini bisa dikatakan rumit karena tidak
seperti kasus-kasus international armed conflict atau konflik bersenjata internasional
seperti biasanya yang subjek-subjeknya adalah negara. Dalam kasus ini kedudukan
Palestina belum jelas karena Palestina belum diakui oleh PBB sebagai suatu negara.
Padahal kedudukan hukum negara-negara yang bersengketa ini penting di dalam
menentukan hukum yang akan digunakan untuk mengatur suatu konflik bersenjata.
Walaupun dalam kasus ini Palestina belum tercatat sebagai anggota resmi PBB, tetapi
PBB melalui resolusi Majelis Umum PBB No. 3237 tanggal 22 November 1974, PLO
commit to user
(Palestine Liberation Organization) diberi status sebagai peninjau tetap pada PBB.
perpustakaan.uns.ac.id
86
digilib.uns.ac.id
Selain itu beberapa negara-negara di dunia juga telah memberikan pengakuan
diplomatik penuh kepada PLO, seperti PM Austria, Bruno Kreisky pada tanggal 13
Maret 1980, India pada tanggal 26 Maret 1980 juga telah memberikan pengakuannya
terhadap PLO. Pada Oktober 1981 pemerintah Uni Soviyet juga telah memberikan
pengakuan diplomatik terhadap PLO. Indonesia bahkan juga telah meresmikan
pembukaan kedubes Palestina di Jakarta tanggal 19 Oktober 1989 (Boer
Mauna,2005:81). Dalam perkembangannya sekarang, sejak sidang Majelis Umum PBB
yang diadakan tanggal 30 November 2012 PBB telah mengakui peningkatan status
Palestina sebagai negara pemantau non anggota dari status sebelumnya peninjau pada
PBB yang diwakili PLO (UN.2012. http://www.un.org/News/Press/docs/2012/ga11317.
doc.htm,diakses tanggal 3 desember 2012).
Mengenai klasifikasi konflik antara Israel-Palestina, Advisory opinion ICJ tahun
2004 tentang Legal Consequences Construction Wall Palestinian Territory menjelaskan
bahwa konflik antara Israel-Palestina adalah konflik internasional. Di dalam paragraf
ke-4 Advisory opinion ICJ tahun 2004 menjelaskan bahwa:
“Applicable law.
United Nations Charter-General Assembly resolution 2625 (XXV)Illegality of any territorial acquisition resulting from the threat or use of forceRight of peoples to self determination.
International humanitarian law-Regulations annexed to the Fourth
Hague Convention of 1907-Fourth Geneva Convention of 1949-Applicability of
Fourth Geneva Convention in the Occupied Palestinian Territory-Human rights
law-International Covenant on Civil and Political Rights-International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights-Convention on the Rights of
the Child -Relationship between international humanitarian law and human
rights law- Applicability of human rights instruments outside national territoryApplicability of those instruments in the Occupied Palestinian Territory.”
Berdasarkan isi paragraf-4 Advisory opinion ICJ tahun 20042004 tentang Legal
Consequences Construction Wall Palestinian Territory terlihat bahwa PBB dalam
menentukan hukum yang berlaku juga mengacu terhadap aturan-aturan Konvensi
Jenewa IV/1949 secara keseluruhan, tidak hanya Pasal 3 Konvensi Jenewa IV/1949,
sehingga dapat disimpulkan bahwa PBB dalam hal ini menganggap bahwa situasi
pendudukan oleh Israel terhadap Palestina, hukum yang diberlakukan adalah hukum
yang berlaku untuk situasi konflik bersenjata internasional, sehingga konflik antara
commit tosebagai
user suatu konflik internasional (Moaz
Israel dengan Palestina dapat dikategorikan
Zatari and Jonathan Molony,2010:24).
87
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sebenarnya, terlepas dari situasi konflik bersenjata tersebut diatas, sedikitdikitnya ada 4 situasi yang dianggap sama (dari segi pemberlakuan HHI) dengan
konflik bersenjata internasional, yaitu:
a. Perang yang diumumkan yang terjadi antara 2 negara atau lebih, (Pasal 2
paragraf 1dari Konvensi-Konvensi Jenewa 1949)
b. Setiap bentuk sengketa bersenjata yang timbul antara 2 negara atau lebih
walaupun salah satu pihak tidak mengakui keadaan perang (Pasal 2 paragraf 1
dari Konvensi-Konvensi Jenewa 1949)
c. Semua kasus pendudukan sebagian atau seluruh wilayah suatu negara, bahkan
jika pendudukan tersebut tidak mendapatkan perlawanan bersenjata (Pasal 2
paragraf 2 dari Konvensi-Konvensi Jenewa 1949).
d. Sengketa bersenjata antara bangsa yang bertempur melawan dominasi
kolonial dan pendudukan asing serta melawan rejim rasis dalam
melaksanakan hak mereka untuk menentukan nasibnya, sebagaimana
dinyatakan dalam Piagam PBB dan Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum
Internasional tentang Hubungan Baik dan Kerjasama antar Negara sesuai
Piagam PBB; setelah perwakilan bangsa tersebut menyatakan dan
mendaftarkan kemampuannya untuk menerapkan HHI.
Penting dipahami bahwa kemampuan dan kenyataan ketaatan suatu pihak yang
berperang (khususnya kelompok bersenjata non negara) dalam melaksanakan HHI
bukan secara otomatis menyebabkan pihak yang berperang tersebut memperoleh
kedudukan atau status hukum sebagai negara (Rina Rusman,2012).
Berdasarkan fakta-fakta tersebut jelas sekali tampak bahwa walaupun Palestina
belum diakui sebagai suatu negara, PLO atau gerakan pembesasan nasional Palestina
telah diakui sebagai suatu organisasi yang kedudukannya setara dengan negara,
sehingga konflik antara Israel dengan Palestina ini dapat dikatakan sebagai suatu
konflik bersenjata internasional. Karena konflik ini dikatakan sebagai konflik bersenjata
internasional maka dapat diberlakukan Konvensi Jenewa IV/1949 dan Protokol
Tambahan I/1977 sebagai aturan hukum internasional yang akan digunakan untuk
mengatur konflik bersenjata antara Israel dengan Palestina.
commit to user
88
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. PEMBAHASAN
1. Bentuk Pelanggaran Terhadap Penduduk Sipil Dalam Konflik Israel-Palestina
di Jalur Gaza Pada Tahun 2008-2009
Sejarah peradaban manusia telah membuktikan bahwa perang merupakan
bagian dari peradaban manusia. Akan tetapi manusia seakan tidak pernah belajar dan
selalu mengulanginya. Padahal terbukti bahwa perang hanya menghasilkan korban
nyawa, kekerasan serta dendam.
Sejak 27 Desember 2008, Israel melakukan serbuan ke wilayah Gaza. Tindakan
itu mendapat kecaman dan kutukan dari masyarakat internasional. Meskipun demikian
Israel tetap melancarkan aksinya hingga secara sepihak menghentikan serangan setelah
22 hari lamanya. Beragam alasan diucapkan oleh otoritas Israel atas serbuan mereka ke
Gaza. Alasan utama yang dikemukakan Israel adalah aksi mereka merupakan bagian
dari bela-diri (self defence) dan hal tersebut dibenarkan menurut ketentuan Pasal 51
Piagam PBB yang berbunyi: “Nothing in the present charter shall impair the inherent
rights of individual or collective set defence if an armed attack occurs against a
member of the united nations, until the security council has taken measures necessary to
maintain international peace and security”. Inti bunyi Pasal 51 Piagam itu menyatakan
anggota PBB memang diperbolehkan mempertahankan diri bila ada serangan bersenjata
terhadap wilayahnya. Namun, upaya mempertahankan diri itu harus dilakukan melalui
cara-cara yang diatur lewat piagam ini dan dilaporkan ke Dewan Keamanan PBB.
Tindakan bela-diri tersebut memang diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB. Bela
diri merupakan sebuah hak yang dimiliki oleh setiap negara untuk melindungi diri dan
kepentingannya. Penggunaan kekerasan bersenjata (armed forces) pada dasarnya
memang dilarang berdasarkan hukum internasional. Hal ini dapat dibuktikan dengan
banyaknya instrumen hukum yang melarang penggunaan kekerasan bersenjata, akan
tetapi Pasal 51 Piagam PBB merupakan pengecualian dari prinsip tersebut.
Berbeda dengan tindakan bela-diri (self defence) yang dibenarkan menurut
ketentuan Pasal 51 Piagam PBB, tindakan agresi merupakan suatu yang dilarang.
Ketentuan ini disepakati setelah perang dunia kedua berakhir. Dalam Piagam
Nuremburg bagian annex, Pasal 6 (a) dinyatakan bahwa:
commit to user
“ planning, preparation, initiatiaon or waging of a war of aggression, or a war
in violation of international treaties, agreements or assurances, or participation
89
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
in a common plan, or conspiracy for the accomplishment of any of the foregoing
are crimes against peace entailing individually responsibility. Leaders,
organizers, instigators and accomplices participating in the formulation or
execution of the common plan or conspiracy are responsible for all acts
performed by any person in execution of such plan.”
Ketentuan tersebut dengan jelas menyatakan bahwa agresi merupakan bagian dari
kejahatan perdamaian (crimes against peace) yang mensyaratkan pertanggungjawaban
individual. Piagam tersebut menyatakan bahwa larangan atas perang sebagai kebijakan
luar negeri yang diambil oleh tiap negara.
Akan tetapi definisi dan ciri dari agresi belum mendapat kesepakatan
masyarakat internasional. Kesepakatan definisi tersebut baru lahir pada tahun 1974,
melalui resolusi Majelis Umum No. 3314 (XXIX), tentang Definition of Aggression.
Pasal 1 resolusi tersebut menjelaskan agresi sebagai:“…is the use of armed force by a
state against the sovereignty, territorial integrity or political independence of another
state, or in any other manner inconsistent with the charter of the united nations, as set
out in this definition”. Definisi agresi tersebut merupakan pengulangan apa yang telah
diatur dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB bahwa “All members shall refrain in their
international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or
political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the
purpose of the United Nation”. Maksud dalam pasal ini adalah bahwa setiap negara
harus menahan diri dalam hubungan internasional mereka dari ancaman atau
penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara
manapun atau dengan kata lain setiap negara dilarang untuk menggunakan kekerasan
bersenjata dalam hubungan internasionalnya.
Resolusi Majelis Umum membagi agresi menjadi dua. Pertama, A war of
aggression (perang agresi) yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap perdamaian.
Kedua,
Aggression
(agresi)
yang menimbulkan
tanggungjawab
internasional.
Konsekuensi dari pembedaan tersebut adalah jika sebuah negara melakukaan A war of
aggression (perang agresi) maka tanggungjawab dijatuhkan pada pribadi sebagai
pelanggaran pidana internasional, namun jika sebuah negara hanya melakukan
Aggression (agresi) maka tanggungjawabnya dibebankan kepada negara dengan
melakukan reparasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
90
digilib.uns.ac.id
Apabila melihat ketentuan di atas, maka dapat dikategorikan bahwa tindakan
Israel ke Gaza memenuhi unsur definisi agresi dan bukan merupakan suatu tindakan
bela diri. Serangan yang dilakukan oleh Israel telah melanggar wilayah kedaulatan
Palestina. Tujuan Israel yang ingin menjatuhkan HAMAS, juga telah melanggar
kemerdekaan politik di Palestina karena telah diketahui bersama bahwa HAMAS
merupakan kekuatan politik yang sah di Palestina (Gaza) setelah mereka memenangkan
pemilu pada Juni 2007.
Pasal 51 menyatakan bahwa bela diri merupakan hak yang dimiliki oleh setiap
negara. Hak tersebut timbul apabila negara tesebut telah diserang oleh negara lain (if
armed attack occurs). Ketentuan telah terjadinya serangan bersenjata menurut Louis
Henkin adalah terbatas atas apa yang telah dinyatakan dalam piagam. Ada dua pendapat
yang mengemuka. Pertama, adalah serangan bersenjata telah terjadi jika telah terjadi
pengiriman tentara ke wilayah negara lain. Pendapat ini dikuatkan dengan pendapat
mahkamah internasional dalam kasus Nikaragua. Kedua, adalah serangan bersenjata
telah terjadi jika telah terjadi tembakan pertama. Akan tetapi pembuktian untuk
menyatakan siapa yang telah melakukan tembakan pertama sangatlah sulit. Dalam
pelaksanaan hak bela diri, hukum internasional juga mengatur bahwa tindakan tersebut
tidak boleh berlebihan. Hak tersebut dilaksanakan hanya untuk memulihkan keadaan
seperti semula (Entebee Case) (Musthafa Abd Rahman,2002:24).
Kasus agresi Israel ke Gaza yang dianggap sebagai tindakan bela diri oleh Israel
tidaklah tepat. Pertama, harus dibuktikan terlebih dahulu apakah serangan roket yang
dilakukan oleh HAMAS merupakan opening shot yang memberikan hak kepada Israel
untuk melakukan tindakan bela diri. Untuk membuktikan apakah HAMAS memang
benar telah melakukan opening shoot terhadap Israel perlu dilakukan oleh penyelidikan
oleh tim khusus oleh PBB. Kedua, agresi yang dilakukan oleh Israel tidak memenuhi
prinsip-prinsip dalam tindakan bela diri. Agresi tersebut terlalu eksesif dan tidak
membedakan antara objek sipil dan militer yang sebagimana diatur dalam hukum
humaniter internasional. Dengan demikian maka tindakan yang dilakukan oleh Israel
dapat dikategorikan sebagai perang agresi sehingga dapat dianggap sebagai kejahatan
terhadap perdamaian. Agresi tersebut juga dapat dikategorikan sebagai sebuah
kejahatan perang (war crime) dan masuk dalam cakupan yurisdiksi International
commit to user
91
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Criminal Court (ICC) yang diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 8 Statuta Roma
1998.
Kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel ini tentu saja harus ada yang
bertanggung jawab (penjahat perang). Berdasarkan ketentuan hukum internasional
(Definition of Agsression, 1974) maka pihak yang telah merencanakan dan
melaksanakan serangan tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi.
Dalam hal ini, maka pemimpin Israel (presiden, perdana menteri dan pejabat militer)
dapat dimintai pertanggungjawaban di ICC. Adanya beban pertanggungjawaban
terhadap pimpinan suatu negara dalam kasus pidana internasional pun telah terjadi pada
kasus pembantaian warga Bosnia-Herzegovina dimana Slobodan Milosevic yang pada
waktu itu menjabat sebagai Presiden Serbia dan Radovan Karadjic sebagai panglima
militer Serbia, kemudian keduanya diadili sebagai pelaku pelanggaran HAM berat.
Perlindungan penduduk sipil dalam hukum internasional terdiri dari
perlindungan pada masa perang dan damai. Dalam masa perang, terangkum dalam
Hukum Humaniter Internasional sedangkan dalam masa damai terdapat dalam Hukum
Hak Asasi Manusia.
Perlindungan terhadap penduduk sipil dalam hukum humaniner Internasional
terdapat dalam Konvensi Jenewa ke IV tahun 1949 dan dalam Protokol Tambahan I
tahun 1977. Istilah orang yang dilindungi pertama-tama merujuk pada orang-orang yang
tergabung dalam peperangan atau pertikaian bersenjata yang telah menjadi korban
perang. Dalam arti yang lebih luas orang-orang yang dilindungi meliputi penduduk sipil
yang jatuh ke tangan musuh sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 dan 13 Konvensi
Jenewa IV/1949.
Article 4
“Persons protected by the Convention are those who, at a given moment and in
any manner whatsoever, find themselves, in case of a conflict or occupation, in
the hands of a Party to the conflict or Occupying Power of which they are not
nationals. Nationals of a State which is not bound by the Convention are not
protected by it. Nationals of a neutral State who find themselves in the territory
of a belligerent State, and nationals of a co-belligerent State, shall not be
regarded as protected persons while the State of which they are nationals has
normal diplomatic representation in the State in whose hands they are.”
Berikut ini adalah bentuk pelanggaran terhadap penduduk sipil yang dilakukan
commit to user
oleh pasukan Israel dalam konflik Israel-Palestina di jalur Gaza pada Operation Cast
92
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Lead terhadap Konvensi Jenewa IV/1949. Pelanggran yang dilakukan oleh pasukan
Israel dapat kategori menjadi 2 jenis kejahatan internasional yang termasuk dalam
kriteria pelanggaran HAM berat yaitu:
a. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pasukan Israel yang termasuk
kedalam kategori Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (crimes against
humanity) adalah sebagai berikut :
1) Pendudukan Wilayah
Selama Opertion Cast Lead setidaknya pasukan Israel telah melakukan
beberapa pelanggaran terhadap bunyi Pasal 47 Konvensi Jenewa IV/1949
mengatur tentang Pendudukan Wilayah. Dalam bunyi Pasal 47 disebutkan
bahwa orang-orang yang dilindungi yang ada di wilayah yang diduduki,
bagaimanapun dan dalam keadaan apapun tidak akan kehilangan manfaat
dari Konvensi Jenewa IV/1947 karena perubahan yang diadakan dalam
lembaga-lembaga atau pemerintahan suatu wilayah sebagai akibat dari
pendudukan wilyah. Tetapi pada kenyataannya tidak terdapat perlindugan
bagi warga sipil Palestina di dalam masa perdudukan wilayah oleh Israel.
Berdasarkan data yang dihimpun Pusat HAM Palestina, dalam agresi Israel
ke jalur Gaza pada akhir Desember 2008 sampai awal Januari 2009 saja
sekitar 1.400 warga Palestina yang terdiri dari 400 anak-anak dan
setidaknya 700 adalah warga sipil selebihnya adalah pasukan HAMAS
(UN.2008.http://unispal.un.org/UNISPAL.NSF/0/BE07C80CDA45794685
25734800500272, diakses tanggal 27 Juli 2012). Dari fakta-fakta jumlah
korban yang jatuh diatas tampak jelas bahwa Israel dalam agresinya ke
Jalur Gaza telah melanggar Konvensi Jenewa IV 1949 khususnya Pasal 47
yang seharusnya dalam melakukan perang harus dapat membedakan mana
yang merupakan objek perang maupun warga sipil dan juga memberikan
suatu perlindungan bagi warga sipil di daerah konflik.
2) Penangkapan dan Penghapusan Kebebasan terhadap Penduduk Sipil
Israel juga melakukan beberapa pelanggaran terhadap Pasal Pasal 31
Konvensi
Jenewa
IV/1949 mengatur tentang Penangkapan dan
commit to user
Penghapusan Kebebasan terhadap Penduduk Sipil Opertion Cast Lead.
93
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasal 31 memberikan perlindungan bagi penduduk sipil bahwa mereka
tidak
diperkenankan
mendapatkan
tindakan
apapun
yang
dapat
menimbulkan penderitaan jasmani ataupun pemusnahan orang-orang yang
dilindungi oleh konvensi. Tetapi pada kenyataannya dalam Opertion Cast
Lead tentara-tentara Israel sering melakukan penangkapan kepada
penduduk-penduduk sipil tanpa adanya alasan yang jelas, tercatat jumlah
tawanan mencapai 7.200 orang dan 5.866 diantaranya terdaftar dalam data
departemen tawanan Palestina, mereka tersebar dalam 25 penjara Israel,
diantaranya ada 103 orang wanita, 465 orang diantaranya adalah anakanak. Sedangkan jumlah tawanan yang menderita penyakit kronis 834
orang yang tidak mendapatkan perawatan apapun di dalam penjara
(UN.2008.http://unispal.un.org/UNISPAL.NSF/0/BE07C80CDA45794685
25734800500272, diakses tanggal 27 Juli 2012). Dari fakta-fakta diatas
sangat jelas bahwa Israel mengesampingkan bunyi Pasal 31 Konvensi
Jenewa IV/1949 karena mereka telah melakukan penghapusan kebebasan
terhadap warga sipil yang seharusnya dilindungi dalam konvensi dan tidak
ikut di dalam pertikaian, terlebih lagi anak-anak yang seharusnya dapat
mengecap pendidikan tetapi malah dimasukan kedalam penjara.
3) Penyiksaan terhadap Penduduk Sipil di dalam tahanan
Dalam Opertion Cast Lead prosedur standar hukuman teringan yang ada di
penjara Israel adalah ditutup matanya selama berhari-hari dan diikat
disuatu tempat yang tidak terlindung dari sinar matahari. Hukuman
tambahan yang diberikan adalah dengan memberi pukulan dan mencabut
kuku para penghuni penjara dan mematahkan jari-jari mereka, para
tahanan digunakan sebagai alat latihan tembak bagi tentara Israel,
menuangkan air keras kebadan tawanan. Didalam penjara Israel juga tidak
ada
perawatan
bagi
orang
yang
sakit
(OHCRH.2010.http://www2.ohchr.org/english/bodies/hrcouncil/docs/12se
ssion/UN-HumanRightsCouncilReport-of-the-Fact-Finding-Mission-ofthe-Gaza-Conflict, diakses tanggal 15 Agustus 2012). Hal ini sangat
commit to user
bertentangan dengan bunyi Pasal 31 dan 37 Konvensi Jenewa IV/1949
94
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengatur tentang Penyiksaan terhadap Penduduk Sipil di dalam Tahanan.
Sudah dijelaskan diatas bahwa dalam Pasal 31 dinyatakan bahwa
penduduk sipil tidak diperkenankan mendapatkan tindakan apapun yang
dapat menimbulkan penderitaan jasmani, sehingga kekerasan yang
dilakukan oleh pasukan Israel di dalam penjara bisa dikategorikan
melanggar pasal ini. Selain Pasal 31, Pasal 37 juga mengatur perlindungan
penduduk sipil bahwa penduduk sipil yang berada dalam kurungan akan
diperlakukan secara manusiawi. Hal ini sangat kontras dengan apa yang
dilakukan oleh pasukan Israel.
4) Deportasi dan Penggusuran terhadap Penduduk Sipil
Selama Opertion Cast Lead setidaknya pasukan Israel telah melakukan
beberapa pelanggaran terhadap bunyi Pasal 49 tentang Deportasi dan
Penggusuran terhadap Penduduk Sipil. Sekitar 500.000 penduduk sipil
Palestina dideportasi keluar dari wilayah Palestina dengan maksud agar
Israel
bisa
memperluas
wilayahnya
sampai
ke
Palestina
(AmnestyInternasional.2009.http://www.amnesty.org/en/news-and-updates
/report/impunity-war-crimes-gaza-southern-israel-recipe-further-civiliansuffering-20090702, diakses tanggal 20 Juli 2012). Selain melakukan
pendeportasian maka juga berlangsung proses pembumihangusan dan
penghancuran rumah-rumah penduduk baik di desa maupun kota. Hal ini
bertentangan dengan bunyi Pasal 49 yang melarang pemindahan paksa
baik secara individu ataupun secara masal demikian pula deportasi
penduduk sipil ke wilayah negara lain apapun alasannya. Israel telah
merampas hak-hak warga Palestina untuk hidup dan tinggal di tanah yang
sebenarnya merupakan milik mereka.
5) Pelanggaran Hak Anak-anak
Pelanggaran lain yang dilakukan oleh Israel selama Opertion Cast Lead
adalah pelanggaran terhadap Pasal Pasal 24 dan Pasal 50 Konvensi Jenewa
IV/1949 tentang Perlindungan Hak-hak anak. Sebuah laporan lembaga
commit to user
kemanusiaan resmi Amerika Serikat, mencatat krisis kesehatan melanda
perpustakaan.uns.ac.id
95
digilib.uns.ac.id
anak-anak Palestina akibat 22 hari agresi Israel ke Palestina, sekitar 22,5%
dari anak-anak Palestina mengalami kekurangan gizi. Pasukan Bersenjata
Israel membunuh 108 anak, 99 di Gaza selama Opertion Cast Lead.
Tanggal 28 Desember 2008, sebuah pesawat Israel menembakkan dua
rudal di sejumlah warga sipil Palestina berkumpul di dekat Masjid alIhsan. Sembilan kematian mengakibatkan, termasuk enam anak, dan 12
lainnya luka-luka (UN.2009.http://www.un.org/children/conflict/documents/A.HRC.10.22.pdf, diakses tanggal 17 Juli 2012). Berdasarkan fakta
diatas tampak jelas bahwa seakan Israel tidak menghiraukan bunyi pasal
24 dan 50 Konvensi Jenewa IV/1949. Dalam pasal-pasal tersebut sudah
dengan jelas disebutkan bahwa pihak dalam pertikaian harus mengambil
tindakan yang perlu untuk menjamin bahwa anak-anak dibawah lima belas
tahun, yatim piatu, atau yang terpisah dari keluarga sebagai akibat perang
tidak terlantar dan juga kekuatan pendudukan wajib, berkerjasama dengan
pemerintah lokal untuk memfasilitasi kerja yang tepat dari semua lembaga
yang ditujukan untuk perawatan dan pendidikan anak-anak. Tetapi
faktanya di lapangan serangan yang dilakukan oleh pasukan Israel tidak
pandang bulu, bahkan korban yang jatuh paling banyak adalah anak-anak.
6) Pembatasan persediaan makan dan kesehatan bagi penduduk korban
konflik
Menurut laporan Palang Merah Internasional (ICRC) menyebutkan bahwa
selama Opertion Cast Lead pasukan Israel menangkap sejumlah warga
Palestina dan ditahan untuk diintrogasi dalam kondisi yang tragis tanpa
diberi makan, minum dan fasilitas kesehatan. ICRC menyebut israel telah
menggelar kejahatan terhadap kemanusiaan (ICRC.2012.http://www.icrc.
org/customaryhl/eng/docs/v1_rul_rule47, diakses tanggal 16 September
2012). Dikatakan sebagai pelanggaran kejahatan terhadap kemanusiaan
kerena seperti yang telah diatur dalam Pasal 55 Konvensi Jenewa IV/1949
tentang pembatasan persediaan makan dan kesehatan bagi penduduk
korban konflik bahwa pihak yang melakukan pendudukan dalam hal ini
commit to user
Israel memiliki tugas memastikan pasokan makanan dan medis bagi
perpustakaan.uns.ac.id
96
digilib.uns.ac.id
penduduk agar tidak terjadi kesengsaraan bagi penduduk yang wilayahnya
diduduki jika sumber daya wilayah yang diduduki tidak memadai. Tetapi
kenyataannya Israel malah membuat tembok pembatas di sekelilig
Palestina yaitu di jalur Gaza dan tepi Barat sehingga organisasi bantuan
tidak bisa masuk ke wilayah Palestina untuk memberikan bantuan.
b. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pasukan Israel yang termasuk
kedalam kategori Kejahatan Perang (war crimes) adalah sebagai berikut :
1) Larangan pembentukan kawasan rumah sakit di wilayah perang
Sepanjang Operasi Cast Lead, ratusan warga Gaza tidak diberi akses ke
rumah sakit Israel maupun di Tepi Barat, termasuk di Yerusalem.
Akibatnya, 29 warga sipil meninggal termasuk 17 perempuan dan 10 anakanak. (ICRC.2012.http://www.icrc.org/customaryhl/eng/docs/v1_rul_rule
47, diakses tanggal 16 September 2012). Padahal dalam Pasal 14 Konvensi
Jenewa IV/1949 di dalamnya telah diatur bahwa pembentukan kawasankawasan rumah sakit dan daerah-daerah keselamatan dengan persetujuan
bersama antara pihak-pihak yang bersangkutan, tujuan pembentukan
kawasan ini adalah untuk memberikan perlindungan kepada penduduk
sipil yang rentan terhadap akibat peperangan. Tetapi dalam kenyataannya
pelaksanaan dari bunyi pasal ini tidak ada, Israel malah tidak memberi
akses bagi ratusan warga Gaza untuk menuju rumah sakit yang
mengakibatkan banyak dari mereka yang akhirnya meninggal dunia.
Jangankan membuat suatu rumah sakit yang ditujukan bagi penduduk sipil
korban konflik di Palestina, yang ada Israel malah membuat suatu tembok
yang mengelilingi Palestina sehingga Palestina seakan terpisah dari dunia
luar (Legal Consequences Construction Wall Palestinian Territory).
2) Penghancuran Ekonomi
Sepanjang Opertion Cast Lead, pasukan bersenjata Israel di Jalur Gaza
terus membatasi setiap bantuan yang diberikan oleh dunia luar terhadap
rakyat Palestina dalam bentuk yang bermacam-macam, seperti akses
commit to user
makanan, obat-obatan, bahan bakar, listrik, dan kebutuhan lainnya ditolak
97
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sehingga jumlah persediaan kebutuhan pokok yang mereka miliki
menyedihkan dan terbatas. Tidak jarang para pasukan Israel juga
merampas secara paksa harta-harta yang dimiliki oleh penduduk Palestina.
Akibat
dari
perbuatan
pasukan
Israel
ini
adalah
telah
terjadi
bencanakemanusiaan,meliputi(UN.2009.http://www.unocha.org/cap/appea
ls/mid-year-review-consolidated-appeal-occupied-palestinian-territory200980%, diakses tanggal 15 agustus 2012)
a)
warga Gaza menderita kemiskinan;
b) Pengangguran melebihi 55%;
c) Warga Negara palestina tidak diberi izin untuk bepergian, baik untuk
bekerja maupun belajar di luar negeri;
d) Terjadi kemunduran dalam bidang industri, pertanian, konstruksi,
transportasi karena tidak terdapatnya bahan bakar dan listrik, dan
dasar kebutuhan bahan baku yang mencukupi.
Pasal 53 Konvensi Jenewa IV/1949 menyatakan bahwa melarang setiap
pengerusakan oleh kekuasaan pendudukan dari pada harta benda yang
bergerak, maupun tidak bergerak milik orang sipil perseorangan atau
kolektif maupun milik organisasai sosial badan umum kecuali diperlukan
untuk kepentingan militer. Dari fakta yang sudah dijelaskan diatas dapat
dikatakan bahwa memang Israel telah melanggar isi dari Konvensi Jenewa
IV/1949 khususnya bunyi Pasal 53. Berdasarkan fakta diatas pembatasan
dan penjarahan yan dilakukan oleh pasukan Israel terhadap penduduk
Palestina sama sekali tidak ada hubungannya untuk kepentingan militer
Israel. Sehingga menurut Pasal 53 hal tersebut bisa digolongkan menjadi
suatu pelanggaran.
3) Pelanggaran Terhadap Organisasi Bantuan Kemanusiaan
Bunyi Pasal 30 Jenewa IV/1949 yang menyatakan apabila pekerja bantuan
kemanusiaan haruslah dilindungi didalam melaksanakan tugas-tugasnya di
daerah sengketa. Sedangkan Pasal 63 Konvensi Jenewa IV/1949
menyatakan bahwa kekuasaan pendudukan mengakui Palang Merah
commit to user
(Bulan Sabit Merah) sebagai organisasi kemanusiaan yang memberikan
98
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bantuan terhadap korban konflik. Masyarakat bantuan lain akan diizinkan
untuk melanjutkan kegiatan kemanusiaan mereka di bawah kondisi yang
sama. Dalam Pasal 30 dan 63 Konvensi Jenewa IV/1949 sudah jelas diatur
didalamnya mengenai perlindungan terhadap organisasi bantuan, tetapi
Israel tetap saja melanggar kedua bunyi pasal tersebut. Dalam Opertion
Cast Lead tanggal 8 Januari 2009 (Cast Lead Day 12), Israel telah
menabrak truk dengan seorang pekerja bantuan kemanusiaan didalamnya
sehingga mengakibatkan pekerja kemanusiaan tersebut mengalami lukaluka. Pesawat Israel juga menyerang sebuah sekolah UNRWA di Beit
Hanoun pada tanggal 6 Januari 2009 - (Cast Lead Day 10). Akibatnya 40
orang warga sipil Palestina yang ditampung di sekolah tersebut tewas dan
beberapa sukarelawan yang kebetulan ada ditempat itu juga mengalami
luka-luka
akibat
serangan
udara
Isael
(SecurityCouncil.2009.
http://www.securitycouncilreportorg/chronology/israelpalestine.php?page=
9, diakses tanggal 17 Agustus 2012). Hal ini memperlihatkan bahwa
pelindungan bagi organisasi bantuan dalam konflik Israel-Palestina ini
masih sangat rendah karena banyaknya sukarelawan yang malah menjadi
korban.
4) Penjarahan harta benda milik penduduk sipil oleh tentara Israel
Pasal 33 Konvensi Jenewa IV/1949 mengatur tentang segala bentuk
penjarahan itu dilarang, dan konvensi ini selain melindungi terhadap orang
dan tetapi juga memberikan perlindungan terhadap harta benda mereka
dari perampasan. Selama Opertion Cast Lead 216 rumah hancur, 107 di
Tepi Barat dan 109 di Gaza. Juga 680 rumah rusak parah. Sebelum
merusak dan menghancurkan rumah-rumah penduduk Palestina, pasukan
Israel juga menjarah harta benda yang dimiliki oleh penduduk Pelestina
yang dianggap berharga. Sedangkan yang tidak dianggap berharga turut
dihanguskan bersamaan dengan rumah mereka (SecurityCouncil.2009.
http://www.securitycouncilreportorg/chronology/israelpalestine.php?page=
9, diakses tanggal 17 Agustus 2012). Hal ini dianggap melanggar bunyi
commit to user
Pasal 33 karena seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Pasal 33
perpustakaan.uns.ac.id
99
digilib.uns.ac.id
menyebutkan segala bentuk penjarahan itu dilarang sehingga walaupun
dengan alasan apapun penjarahan yang dilakukan oleh pasukan Israel tidak
dapat dibenarkan apalagi menjarah barang milik penduduk sipil yang
sudah menderita akibat konflik.
5) Sandera
Pasal 34 Konvensi Jenewa IV/1949 mengatur tentang pengambilan
sandera dilarang. Tetapi dalam kenyataanya, pasukan Israel selama
Opertion Cast Lead telah menggunakan warga sipil Palestina sebagai
“tameng manusia” (human shield) termasuk dari kalangan anak-anak di
bawah umur dan wanita. Pasukan Israel memaksa mereka memeriksa
rumah-rumah anggota HAMAS atau yang dicurigai sebagai anggota
HAMAS dengan ditodongkan senjata. Sehingga apabila terjadi serangan
dari HAMAS warga sipil itu lah yang akan terkena serangan pertama kali
(R.AdeMuhammad,M.Han.2010.http://luar- negeri.kompasiana.com/2010
/11/17/strategi-perisai-manusia-hamas, diakases tanggal 2 November
2012). Dalam Pasal 34 sudah diatur secara tegas mengenai pelarangan
pengambilan sandra, tetapi pasukan Israel tetap menggunakan praktek
kotor ini dalam memburu pejuang Palestina. Mereka tak sungkan-sungkan
menjadikan rakyat sipil sebagai tameng. Sehingga Pasukan Israel dapat
dikatakan telah melanggar Pasal 34.
6) Pelarangan untuk meninggalkan daerah konflik bagi penduduk sipil
Palestina
Seperti yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa latar belakang
dari konflik antara Israel dengan Palestina ini adalah mengenai masalah
perebutan tanah. Israel menganggap bahwa tanah Palestina merupakan
suatu tanah promise land yang dijanjikan oleh Tuhan kepada Israel, tetapi
warga Palestina menganggap bahwa tanah Palestina adalah tanah milik
mereka yang sah akibat dari adanya Deklarasi Balfour. Berdasarka fakta
sejaah tersebut pasukan Israel dari awal terjadinya konflik ini sampai
commit to user
dengan Opertion Cast Lead memiliki tujuan yang sama yaitu merebut
100
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tanah Palestina untuk dijadikan wilayah Israel, oleh karena itu mereka
berusaha agar warga Palaestina segera meninggalkan wilayah Palestina.
Usaha untuk mengusir warga Palestina yang dilakukan pasukan bersenjata
Israel menggunakan kekerasan yang berlebihan dan tidak proporsional,
yaitu melalui pemboman, pembunuhan yang ditargetkan, serangan, dan
serangan oleh pemukim Israel. Dalam lima hari pertama Opertion Cast
Lead, Israel menggunakan udara besar-besaran, tanah, dan kekuatan laut
terhadap penduduk sipil tak berdaya terjebak di dalam Gaza dikepung.
Pasukan Israel juga malakukan pembatasan gerakan bagi warga Palestina
yang ketat di Jalur Gaza dengan memberlakukan ratusan pos pemeriksaan
dan tembok pemisahan dibangun di atas tanah Palestina sehingga Palestina
tidak dapat berkomunaksi dengan dunia luar. Penyeberangan perbatasan
Gaza telah ditutup selama lebih dari dua tahun di bawah kebijakan hukum
Israel (AmnestyInternasional.2009.http:// www.amnesty.org/en/news-andupdates/report/impunity-war-crimes-gaza-southern-israel-recipe-furthercivilian-suffering-20090702, diakses tanggal 20 Juli 2012). Perlakuan
Israel terhadap warga sipil Palestina ini melanggar Pasal Pasal 35
Konvensi
Jemewa
IV/1949
yang
mengatur
tentang
hak
untuk
meninggalkan daerah konflik bagi penduduk sipil. Inti dari pasal itu
menyebutkan bahwa semua orang yang dilindungi yang mungkin memiliki
keinginan untuk meninggalkan wilayah konflik, selama terjadi konflik,
berhak untuk melakukannya, kecuali keberangkatan mereka bertentangan
dengan kepentingan nasional negara yang bersangkutan. Warga sipil
Palestina memiliki hak untuk meninggalkan wilayah Palestina yang saat
itu terjadi konflik menurut Pasal 35 karena kondisi Palestina tidak aman
dan dapat membahayakan nyawa mereka, tetapi kenyataannya Pasukan
Israel menutup semua akses keluar bagi warga Palestina sehingga mereka
ikut menderita akibat dampak dari serangan Israel.
Selain Konvensi Jenewa IV/1949 perlindungan penduduk sipil juga diatur
dalam Protokol Tambahan I/1977, Berikut ini adalah bentuk Pelanggaran Terhadap
commit to user
Penduduk Sipil yang dilakukan oleh pasukan Israel Dalam Konflik Israel-Palestina di
101
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jalur Gaza Pada Tahun 2009 Terhadap Protokol Tambahan I/1977. Sama seperi
pembahasan sebelumnya pelanggaran yang dilakukan oleh Pasukan Israel juga dapat
kategori menjadi 2 jenis kejahatan Internasional yang termasuk dalam kriteria
Pelanggaran HAM Berat yaitu:
a. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pasukan Israel yang termasuk
kedalam kategori Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (crimes against
humanity) adalah sebagai berikut :
1) Pelanggaran terhadap perlindungan orang-orang sipil
Pasal 11 Protokol Tambahan I/1977 sudah mengatur secara tegas tentang
perlidungan penduduk sipil dalam suatu konflik bersenjata, tetapi masih
saja Israel melakukan pelanggaran terhadap aturan ini. Pada tanggal 16
Januari 2009 (Cast Lead Day 20) pasukan bersenjata Israel menyerang
sekitar 50 target HAMAS di kota Ashdod dan Gat Qiryat yang
menyebabkan 5 warga sipil terluka akibat serangan tersebut. Pasukan
Israel juga menggelar aksi pembantaian massal terhadap warga sipil
Palestina di lapangan selama agresi yang berlangsung 23 hari itu.
Sejumlah kesaksian warga yang selamat menyebutkan bahwa Israel
membantai sejumlah keluarga, seperti yang terjadi dengan keluarga
Samuni di kampung Zaitun (Selatan kota Gaza). Nail Samuni warga
Palestina yang selamat dari pembantaian itu menegaskan, dirinya
menyaksikan pembunuhan Hamdi Samuni dengan mata kepalanya sendiri
dimana pasukan Israel memburunya sambil ditembaki kemudian dibawa
bersama sejumlah korban lain dengan buldoser dan dimutilasi. Ia juga
menyaksikan bagaimana pasukan israel membunuh dan mengejar keluarga
Samuni yang terdiri dari Walid Samuni, ibunya, orang tuanya, dan empat
saudaranya dengan ditembaki secara keroyokan oleh pasukan Israel.
Padahal jelas sekali tercantum dalam Pasal 11 Protokol Tambahan I/1977
bahwa penduduk sipil tidak boleh dibahayakan jiwanya dan haruslah
dilindungi
pada
saat
terjadi
konflik
bersenjata
(SecurityCouncil.2009.http://www.securitycouncilreport.org/chronology/is
raelpalestine.php?page=9,diakses tanggal 17 Agustus 2012). Berdasarkan
commit to user
fakta diatas jelas sekali apabila pasukan Israel dapat dikatakan melanggar
102
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bunyi Pasal 11 Protokol Tambahan I/1977, karena dalam ayat (1)
dikatakan bahwa penduduk sipil dalam hal ini warga Palestina harus
diberikan perlindungan terhadap kesehatan dan keutuhan jasmani atau
rohani. Selain itu penduduk sipil juga tidak boleh dibahayakan jiwanya
oleh suatu tindakan yang sengaja maupun yang tidak sengaja. Ayat (2)
dijelaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang dilrang contohnya mutilasi,
penggunakan tubuh manusia sebagai bahan percobaan ilmiah, dan
pencangkokan. Seharusnya walaupun dalam kondisi konflik, para pihak
yang bersengketa tetap harus menjunjung tinggi adanya perlindungan
HAM bagi warga sipil tidak boleh melegalkan segala macam cara untuk
mencapai kemenangan.
2) Pelanggaran terhadap prinsip pembedaan (distincion principle)
Selama periode Opertion Cast Lead, pasukan bersenjata Israel membunuh
sekitar 1417 warga Palestina. Dari jumlah tersebut, 926 adalah warga sipil,
termasuk 313 anak-anak dan 116 perempuan. Jumlah terluka berjumlah
4336, sebagian besar laki-laki menjadi sipil, wanita, dan anak-anak.
(UN.2008.http://unispal.un.org/UNISPAL.NSF/0/BE07C80CDA45794685
25734800500272, diakses tanggal 27 Juli 2012). Seharusnya didalam suatu
konflik baik itu yang bersifat internastional armed conflict maupun noninternational armed conflict harus ada pembedaan antara kombatan
maupun non-kombatan (penduduk sipil), dimana hal itu berpengaruh
terhadap pihak-pihak yang boleh diserang didalam suatu konflik. Hal ini
juga diatur dalam Pasal 48 Protokol Tambahan I/1977 yang intinya dalam
konflik bersenjata harus ada pembedaan terhadap penduduk sipil dan
kombatan, sehingga seragan harus diarahkan hanya terhadap sasaransasaran militer saja. Tetapi dalam kenyataannya di lapangan pasukan Israel
lebih cenderung untuk mengabaikan peraturan tersebut. Mereka melakuan
serangan tanpa membedakan kombatan maupun bukan akibatnya banyak
korban dari warga sipil.
commit to user
103
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Pelanggaran terhadap perlindungan bagi penduduk sipil
Sejumlah kantor berita dan UNISPAL menyatakan bahwa pasukan Israel
selama Opertion Cast Lead menangkap sekitar 300 warga Palestina dan
membantai sebagian mereka secara brutal dan kejam di lapangan.
UNISPAL mengatakan bahwa pasukan Israel membantai sejumlah
tawanan baik satu-satu atau masal. Mereka juga membunuh anak-anak dan
wanita dengan cara disuruh keluar satu-satu dari rumah dan dibunuh.
Terkadang pasukan israel menyuruh beberapa warga masuk rumah dan
diberondong dengan peluru bersama-sama. Pasukan Bersenjata Israel juga
melakukan pembunuhan yang disengaja dan pelanggaran terhadap hak
untuk hidup bagi warga Palestina, sejumlah serangan udara dan serangan
darat memang disengaja ditargetkan ke warga sipil di Gaza. 926 warga
sipil meninggal, termasuk 313 anak-anak dan 116 perempuan meningggal
akibat serangan pasukan Israel (UN.2008. http://unispal.un.org/ UNISPAL.
NSF/0/BE07C80CDA4579468525734800500272, diakses tanggal 27 Juli
2012). Hal ini bertentangan dengan bunyi Pasal 51 Protokol Tambahan
I/1977, dalam pasal tersebut dikatakan mengenai penduduk sipil harus
mendapatkan perlindungan umum terhadap bahaya-bahaya yang timbul
dari operasi-operasi militer, tidak boleh menjadi sasaran serangan.
Tindakan-tindakan
atau
ancaman-ancaman
kekerasan
yang tujuan
utamanya adalah menyebarkan teror bagi penduduk sipil dilarang.
Perbuatan pasukan bersenjata Israel ini tidak hanya menyebarkan teror ke
penduduk sipil Palestina tetapi juga sudah menjadikan warga Palestina
menjadi sasaran dari serangan mereka. Apapun bentuk serangannya,
walaupun serangan yang ditujukan ke penduduk sipil itu tidak disengaja
tetap tidak bisa dibenarkan, terlebih apabila serangan itu memang
ditujukan ke penduduk sipil dengan tujuan untuk melumpuhkan HAMAS,
hal ini sangat tidak bisa dibenarkan sebab penduduk sipil yang mayoritas
adalah anak-anak dan perempuan bukannya objek sasaran serangan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
104
digilib.uns.ac.id
4) Pelanggaran terhadap pertolongan bagi kepentingan penduduk sipil
Dalam Pasal 69 Protokol Tambahan I/1977 dijelasakan bahwa para
pasukan militer berkewajiban untuk memberikan persediaan bahan
makanan dan kesehatan, sejauh kemampuan yang ada padanya dan tanpa
pembedaan yang merugikan, dan juga harus menjamin penyediaan
pakaian, perlengkapan tidur, alat-alat perlengkapan tempat berlindung,
perbekalan-perbekalan lainnya yang sangat penting bagi kelangsungan
hidup penduduk sipil di wilayah pendudukan dan obyek-obyek yang
diperlukan bagi pelaksanaan kegiatan keagamaan. Israel tampaknya
mengabaikan bunyi Pasal 69 dalam Opertion Cast Lead, jangankan
memberikan kesempatan untuk penduduk Palestina untuk melaksanakan
ritual keagamaan, dalam beberapa serangannya ke Jalur Gaza, masjidmasjid di Palestina menjadi sasaran serangan pasukan bersenjata Israel
seperti yang terjadi dalam serangan pasukan bersenjata Israel pada tanggal
15 Januari 2009 (Cast Lead Day 19). Selain itu laporan ICRC
menyebutkan bahwa pasukan Israel menangkap sejumlah warga Palestina
dan ditahan untuk diintrogasi dalam kondisi yang tragis tanpa diberi
makan, minum dan fasilitas kesehatan (ICRC,2003. http://www.icrc.org/ihl
.nsf/WebART/58508?OpenDocument, diakses tanggal 17 Juli 2012). Israel
telah melanggar hak asasi warga Palestina untuk mendapatkan kebebasan
dan juga hak mereka untuk memperoleh kehidupan yang layak, hal ini
sangat memperihatinkan karena bukan hanya terjadi kali ini saja tetapi
sudah terjadi bertahun-tahun mulai dari konflik antara Israel-Palestina
mulai berlangsung.
5) Pelanggaran terhadap perlindungan bagi wanita dan anak-anak
Menurut PBB dalam Opertion Cast Lead menyebutkan bahwa pasukan
Israel menggunakan warga sipil Palestina sebagai “tameng manusia”
termasuk dari kalangan anak-anak di bawah umur dan wanita selama
perang berlangsung. Dalam serangannya ke Jalur Gaza pada tanggal 11
commit to user
Januari 2009 (Cast Timbal Day 15), pasukan Israel taman kanak-kanak di
perpustakaan.uns.ac.id
105
digilib.uns.ac.id
Ashdod yan menyebabkan korban sebagian besar adalah anak-anak dan
perempuan. Sebanyak 19 anak-anak dan tiga perempuan meninggal akibat
serangan pasukan Israel ke Ashdod ini (UN.2009.http://www.un.org/childr
en/conflict/documents/A.HRC.10.22.pdf, diakses tanggal 17 Juli 2012).
Tindakan Israel dengan menyerang anak-anak dan perempuan sudah
melanggar ketentuan dalam HHI, dalam HHI penduduk sipil saja diberikan
perlindungan secara ketat dalam konflik bersenjata, terlebih lagi anak-anak
dan perempuan yang juga termasuk kedalam golongan penduduk sipil.
Perlindungan terhadap perempuan diatur dalam Pasal 76 Protokol
Tambahan I/1977, sedangkan perlindungan terhadap anak-anak diatur
dalam Pasal 77 Protokol Tambahan I/1977. Dalam kedua pasal tersebut
dijelaskan bahwa baik perempuan maupun anak-anak sama-sama harus
mendapatkan penghormatan khusus dan harus dilindungi, dan hukuman
mati tdak boleh dilaksanakan terhadap perempuan maupun anak-anak.
Pengaturan perlindungan perempuan dan anak-anak dalam kedua pasal
tersebut sudah jelas, tetapi lagi-lagi Israel tidak mematuhi bunyi pasal
tersebut dengan menjadikan perempuan dan anak-anak sebagai sasaran
serangan.
b. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pasukan Israel yang termasuk
kedalam kategori Kejahatan Perang (war crimes) adalah sebagai berikut :
1) Pelanggaran terhadap perlindungan dan perawatan
Sepanjang Operasi Cast Lead, ratusan warga Gaza tidak diberi akses ke
rumah sakit Israel maupun di Tepi Barat, termasuk di Yerusalem.
Akibatnya, 29 warga sipil meninggal termasuk 17 perempuan dan 10 anakanak. Sedangkan jumlah tawanan Israel yang menderita penyakit kronis
yaitu sebanyak 834 orang yang tidak mendapatkan perawatan apapun di
dalam penjara (ICRC.2012.http://www.icrc.org/customaryhl/eng/docs/v1
rul_rule47,diakses tanggal 16 September 2012). Berdasarkan fakta diatas,
dapat dikatakan bahwa pasukan berenjata Israeltelah melanggar bunyi
Pasal 10 Protokol Tambahan I/1977. Pasal tersebut mengatur bahwa semua
commit to user
yang luka atau sakit dari pihak manapun mereka harus dihormati dan
perpustakaan.uns.ac.id
106
digilib.uns.ac.id
dilindungi, dalam segala keadaan mereka itu harus diperlakukan secara
perikemanusiaan dan tidak boleh ada perbedaan diantara mereka. Dalam
kenyataannya Israel kurang memperhatikan perlindungan dan perawatan
bagi penduduk Gaza. Selain tidak diberikan akses menuju ke rumah sakit,
di Gaza sendiri juga hanya terdapat beberapa rumah sakit yang tidak
sebanding dengan jumlah korban yang berjatuhan akibat serangan Israel.
Selain itu juga terdapat perbedaan apabila yang menjadi korban adalah
warga Israel maka prosedur perawatannya akan lebih jika dibandingkan
dengan warga gaza.
2) Pelanggaran terhadap perlindungan satuan kesehatan
Pasukan Bersenjata Israel berulang kali menyerang ambulan dan pekerja
medis. PCHR mencatat tiga pembunuhan satuan kesehatan dalam Opertion
Cast Lead. Banyak lainnya terluka, beberapa serius. Serangan yang
dilakukan pasukan Israel ketika para satuan kesehatan sedang melakukan
misi kemanusiaan untuk membantu mereka yang terluka dan sekarat
(ICRC.2012.http://www.icrc.org/customaryhl/eng/docs/v1_rul_rul
e47,
dia- kses tanggal 16 September 2012). Seperti yang terjadi dalam serangan
pasukan Israel ke jalur Gaza tanggal 8 Januari 2009 (Cast Lead Day 12),
PBB mengklaim pasukan Israel telah menabrak truk yang mengangkut
bantuan bagi penduduk Palestina, yang menyebabkan seorang anggota
satuan kesehatan tewas (SecurityCouncil.2009. http://www.securitycouncil
report.org/chronology/israelpalestine.php?page=9,diakses
tanggal
17
Agustus 2012). Tindakan Israel itu tidak dapat dibenarkan karena dalam
HHI, satuan kesehatan itu memiliki imunitas artinya tidak dapat dijadikan
objek serangan. Hal ini juga telah diatur dalam Pasal 12 Protokol
Tambahan I/1977 yang menyebutkan bahwa satuan kesehatan harus
dihormati dan dilindungi dan tidak boleh menjadi sasaran serangan.
Apabila mungkin Pihak-Pihak dalam sengketa harus menjamin satuan
kesehatan ditempatkan pada obyek-obyek militer tidak membahayakan
keselamatan mereka. Jadi yang seharusnya dilakukan oleh pasukan
commit to user
bersenjata Israel terhadap para satuan keamanan adalah memberikan suatu
107
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
jaminan perlindungan bagi mereka agar selamat dalam menjalankan
tugasnya bukan dijadikan sebagai salah satu objek serangan seperti yang
dilakukan saat ini.
3) Pelanggaran terhadap penggunaan senjata-senjata dalam konflik bersenjata
Dalam konflik antara Israel dengan Palestina sudah terjadi sangat lama,
bahkan dimulai setelah berakhirnya Perang Dunia I, terjadi perbedaan
tindak kekerasan yang dilakukan oleh Palestina maupun Israel seperti yang
sudah dijelaskan dalam tabel 1 diatas. Walaupun kekerasan yang dilakukan
oleh masing- masing pihak menggunakan kekuatan militer menyebabkan
kerugian yang sangat besar di kalangan warga sipil dari kedua belah pihak,
tetapi PBB menegaskan bahwa reaksi Israel atas serangan roket
perlawanan Palestina tidak sepadan. Zionis Israel juga dinilai tidak
mengambil langkah memadai untuk menghindari jumlah korban sipil
akibat serangan bom. Bahkan PBB mengeluar laporan bahwa Israel
menggunakan
bom
fosfor
putih
di
wilayah
padat
penduduk
(Anonim.2011.http://www.voiceofpalestine.com//inter-Penyakit-KankerWarga-Gaza-Meningkat30%-Akibat-Bom-Fosfor-Putih-Israel.htm, diakses
tanggal 11 april 2009). Peraturan mengenai penggunaan senjata-senjata
dalam konflik bersenjata sebenarnya sudah diatur didalam Pasal 35
Potokol Tambahan I/1977, dalam Pasal 35 sudah dibatasi mengenai
penggunakan senjata dalam konflik bersenjata, bahwa senjata-senjata yang
boleh digunakan hanyalah senjata-senjata yang tidak mengakibatkan
kerusakan yang hebat, meluas dan berjangka waktu lama terhadap keadaan
lingkungan alam. Selain itu juga dilarang menggunakan senjata-senjata,
projektil-projektil dan bahan-bahan dan cara-cara peperangan yang bersifat
mengakibatkan luka (injury) yang berlebihan atau penderitaan yang tidak
perlu. Dalam Opertion Cast Lead terbukti bahwa Israel menggunakan bom
fosfor putih di wilayah padat penduduk. Bom fosfor ini menimbulkan luka
yang berlebihan bagi penduduk sipil. Bom fosfor putih mengakibatkan
luka bakar yang parah sampai menembus tulang manusia. Bom fosfor
commit to user
108
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
putih merupakan senjata yang telah dilarang digunakan dalam perang
(Aryuni Yuliantiningsih, 2009:115).
4) Pelanggaran terhadap cara-cara dalam berperang
Pada tanggal 3 Januari 2009 (Cast Lead Day 7) pasukan bersenjata Israel
melakukan operasi tiga hari di Nablus dan kamp-kamp pengungsi
tetangga, melukai 38 warga Palestina dan menangkap 31 lainnya. Mereka
menembak tanpa pandang bulu terhadap “apa saja yang bergerak,"
termasuk
kru
medis,
ambulans,
dan
rumah
sakit.
(Security
Council.2009.http://www.securitycouncilreport.org/chronology/israelpales
tine.php?page=9, diakses tanggal 17 Agustus 2012). Dalam Pasal 40
Protokol Tambahan I/1977 dikatakan bahwa dilarang memerintahkan
bahwa tidak boleh ada seorangpun dibiarkan hidup. Tetapi dalam
serangannya ke Palestina tanggal 3 Januari 2009, Perdana Menteri Israel,
Ehud Olmert, memerintahkan untuk menembakan terhadap apa saja yang
bergerak yang jelas-jelas melanggar bunyi Pasal 40.
5) Pelanggaran terhadap perlindungan objek-objek sipil
Pada tanggal 29 Desember 2008 (Cast Lead Day 3), pasukan bersenjata
Israel menghancurkan Kementerian Dalam Negeri Palestina di Gaza dan
membuat setidaknya lima serangan terhadap Universitas Islam di Jalur
Gaza. Berdasarkan laporan PBB, kerusakan total terjadi pada 3530 rumah
di Jalur Gaza dan lebih dari 2850 rumah lainnya rusak parah, sementara
52.900 rumah lainnya rusak ringan (SecurityCouncil.2009.http://www. sec
uritycouncilreport.org/chronology/israelpalestine.php?page=9,diakses tang
gal 17 Agustus 2012). Ini menunjukkan bahwa rumah, sekolah, dan objek
sipil lainnya menjadi target penuh selama agresi Israel di Jalur Gaza
Palestina. Hal tersebut sangat bertentangan dengan bunyi Pasal 52 ayat (1)
yang menyatakan objek sipil tidak boleh dijadikan sasaran serangan.
Serangan-serangan harus dibatasi hanya pada sasaran-sasaran militer.
Sasaran militer dibatasi pada obyek-obyek yang oleh sifatnya, letak
commit to user
tempatnya, tujuannya atau kegunaannya memberikan sumbangan yang
perpustakaan.uns.ac.id
109
digilib.uns.ac.id
efektif bagi aksi militer. Rumah warga Palestina, Kementerian dalam
Negeri Palestina dan Universitas Islam di Jalur Gaza dalam kondisi ini
adalah objek sipil yang harusnya tidak boleh diserang oleh pasukan
bersenjata Israel. Dikatakan sebagai objek sipil karena objek-objek
tersebut tidak memiliki sumbangan yang efektif bagi aksi militer. Objek
tersebut hanya digunakan untuk keperluan warga sipil saja.
6) Pelanggaran terhadap penyerangan tempat-tempat ibadah di Palestina
Selain merusak objek-objek sipil, pasukan bersenjata Israel juga
melakukan penyerangan yang mengakibatkan rusaknya tempat ibadah di
Palestina. Selama agresi, pesawat tempur Israel dan roket-roketnya
menggempur habis puluhan masjid di Jalur Gaza. Israel menghancurkan
45 masjid dan lebih dari 165 masjid rusak ringan. Pada tanggal 13 Januari
2009 atau Cast Lead Day 17 Pasukan Bersenjata Israel melakukan
penyerangan ke salah satu Masjid di Palestina yang dianggap oleh Pasukan
Israel menjadi tempat persembunyian para anggota HAMAS. Tanggal 15
Januari (Cast Lead Day 19) Pasukan Bersenjata Israel juga menyerang
sebuah masjid Rafah. Ini menunjukkan bahwa masjid dan tempat ibadah
itu menjadi target penuh selama agresi Israel di Jalur Gaza Palestina
(SecurityCouncil.2009.http://www.securitycouncilreport.org/chronology/is
raelpalestine.php?page=9, diakses tanggal 17 Agustus 2012). Dalam HHI,
setiap angkatan bersenjata selain dilarang untuk menyerang objek-objek
sipil juga dilarang untuk menyerang tempat-tempat ibadah dan juga tempat
bersejarah yang diatur dalam Pasal 53 Protokol Tambahan I/1977. Tetapi
dalam kenyataannya tempat ibadah menjadi target sasaran utama pasukan
bersenjata Israel dalam agresinya. Hal ini sangat tidak dibenarkan dan
Israel jelas-jelas telah melakukan suatu kejahatan perang (war crimes).
7) Pelanggaran Terhadap Wartawan
Selama Opertion Cast Lead, pasukan bersenjata Israel juga melakukan
penyerangan terhadap beberapa wartawan. Mereka sengaja ditargetkan
commit to user
untuk mencegah meluasnya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id
110
digilib.uns.ac.id
oleh pasukan bersenjata Israel terhadap warga sipil Palestina. Pelanggaran
yang dilakukan berupa pembunuhan, penolakan akses ke daerah-daerah
tertentu, penahanan, penyitaan, perusakan harta milik wartawan,
pemukulan, pelecehan, dan intimidasi. Selama Opertion Cast Lead
seorang wartawan tewas dan 28 luka-luka lain Israel (UN.2008.
http://unispal.un.org/UNISPAL.NSF/0/BE07C80CDA4579468525734800
500272, diakses tanggal 27 Juli 2012). Pasal 79 Protokol Tambahan I/1977
telah mengatur secara tegas tentang kedudukan wartawan dalam konflik
bersenjata. Dikatakan bahwa wartawan-wartawan yang melakukan tugastugas pekerjaanya yang berbahaya di daerah-daerah sengketa bersenjata
harus dianggap sebagai orang sipil, artinya setiap wartawan yang sedang
melakukan tugasnya baik itu berasal dari wilayah kedua pihak yang sedang
bersengketa maupun dari negara lain memiliki hak untuk mendapatkan
perlindungan yang sama seperti perlindungan terhadap penduduk sipil.
Jadi intinya tindakan pasukan bersenjata Israel terhadap para wartawan
yang sedang pertugas di Jalur Gaza yang dengan sengaja menjadikannya
sebagai objek serangan sangat tidak dibenarkan. Seharusnya para
wartawan tersebut dilindungi dalam menjalankan tugasnya bukan
dijadikan objek serangan dengan alasan apapun.
Konflik antara Israel-Palestina dapat dikategorikan sebagai perang karena perlu
diketahui sebelumnya apabila salah satu syarat dari perang adalah tidak perlu disetujui
oleh seluruh pihak yang turut serta dalam peperangan. Jadi apabila salah satu pihak saja
menyetujui suatu perang maka hal tersebut sudah dapat dikatakan sebagai perang.
2. Mekanisme Penegakan Hukum Terhadap Perlindungan Penduduk Sipil
Ditinjau Dari Konvensi Jenewa IV/1949, Protokol Tambahan I/1977, dan
Statuta Roma 1998 Dalam konflik Israel-Palestina di jalur Gaza pada Operation
Cast Lead 27 Desember 2008-20 Januari 2009
Reaksi masyarakat Internasional terhadap agresi Israel ke Palestina cukup
keras. Masyarakat Internasional telah menuduh Israel melakukan kejahatan perang
seperti yang sudah penulis bahas dalam rumusan masalah pertama dan ingin menuntut
commit to user
Israel ke Mahkamah Internasional. Tim pencari fakta PBB telah menyelidiki dan
perpustakaan.uns.ac.id
111
digilib.uns.ac.id
terbukti Israel memang telah melakukan kejahatan perang. Wacana untuk membawa
Pemerintah Israel dan pejabatnya ke Pengadilan Internasional sudah menjadi perhatian
masyarakat internasional sejak perang Arab tahun 1948. Kemudian pasca serangan
Israel ke Jalur Gaza tanggal 27 Desember 2008 sampai 18 Januari 2009 (Operation
Cast Lead), wacana tersebut kembali mengemuka.
Dalam HHI apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum humaniter ada tiga
alternatif mekanisme penegakan hukum terhadap perlindungan penduduk sipil yang
dapat ditempuh untuk menghukum para pelaku kejahatan perang tersebut seperti yang
sudah penulis jabarkan dalam bab sebelumnya. Pada bab ini penulis akan menjabarkan
satu per satu alternatif mekanisme penegakan hukum terhadap perlindungan penduduk
sipil yang kemungkinan dapat ditempuh untuk mengadili Israel yang telah melanggar
ketentuan-ketentuan mengenai perlidungan terhadap penduduk sipil yang diatur dalam
Konvesi Jenewa IV/1949, Protokol Tambahan I/1977, dan Statuta Roma 1998. Ketiga
mekanisme tersebut adalah:
a. Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977
Mekanisme yang pertama adalah dengan menggunakan menggunakan
National Court atau Mekanisme Nasional. Berdasarkan Pasal 49 ayat (1)
Konvensi Jenewa I, Pasal 50 (1) Konvensi Jenewa II, Pasal 129 (1) Konvensi
Jenewa III dan Pasal 146 (1) Konvensi Jenewa IV, yang merupakan ketentuan
yang bersamaan. Maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa
diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang nasional yang memberikan
sanksi pidana efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan
untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi.
Pasal 17 Statuta Roma 1998 mengatur bahwa satu kejahatan itu pasti
terjadi di wilayah nasional suatu negara maka harus ada jaminan adanya
penuntutan yang efektif dengan mengambil tindakan hukum ditingkat nasional,
maka didasarkan asas kedaulatan negara tindakan hukum ditingkat nasional
haruslah dilakukan lebih dahulu, namun jika proses peradilan yang efektif
melalui tindakan hukum ditingkat nasional tidak dapat berjalan barulah ICC
dapat melaksanakan yurisdiksinya. Mekanisme penyelesaian kasus-kasus
pelanggaran HAM yang mengacu kepada proses pengadilan nasional ini disebut
commit to user
sebagai prinsip exhaustion of local remedies.
112
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Mekanisme penegakan hukum terhadap perlindungan penduduk sipil
melalui hukum nasional (exhaustion of local remedies) tidak dapat dilaksanakan
karena adanya hal-hal sebagai berikut:
1) Negara tersebut sungguh-sungguh “Unwilling” (ketidaksediaan) atau
“Unable” (tidak mampu);
2) Negara telah mengambil keputusan tidak menuntut seseorang itu karena
“Unwillingnes” (keengganan) atau “Inability” (Ketidakmampuan).
Pasal 17 ayat 2b dan c Statuta Roma 1998 mengatur yang dimaksud dengan
“Unwillingness” adalah:
a) Proses
pemeriksaan
yang
bertujuan
melindungi
orang
yang
bertanggungjawab tersebut dari tindak pidana;
b) Penundaan dalam proses pemeriksaan;
c) Proses pemeriksaan tidak independen atau memihak.
Sedangkan yang dimaksud dengan “inability” dalam Pasal 17 ayat (3)
Statuta Roma 1998 ialah ketidakmampuan sesuai dengan kondisi yang
obyektif karena kehancuran secara total atau substansial atau tidak
tersediannya sistem peradilan nasionalnya, negara tidak dapat menangkap
tersangka atau mendapatkan bukti dan saksi yang diperlukan atau
sebaliknya tidak mamapu melakukan proses pemeriksaan.
Jadi yang dimaksud dengan peradilan nasioanal tidak dapat berjalan
dengan efektif adalah jika terdapat “Unwilling”, ”Unable”, ”Unwillingness”,
“Inability”. Apabila negara nasional telah mengambil keputusan untuk mengadili
seseorang tetapi berdasarkan “Unwillingness” (keengganan) dalam arti untuk
melindungi terdakwa atau pemeriksaan dilakukan tidak independen atau
memihak, maka perkara yang sudah diadili oleh pengdilan nasional tersebut
dapat diadili lagi oleh ICC sehingga dengan mengesampingkan asas Ne bis in
idem.
Prinsip-prinsip yurisdiksi yang berkaitan dengan exhaustion of local
remedies yaitu (R.Herlambang Perdana Wiratraman,2007:11 ):
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
113
digilib.uns.ac.id
1) Prinsip Yurisdiksi Teritorial
Prinsip yurisdiksi territorial (territorial jurisdiction principle) adalah
kewenangan suatu negara untuk menerapkan ketentuan hukumnya terhadap
peristiwa pidana (internasional) yang terjadi di wilayah negaranya;
2) Prinsip yurisdiksi personal
Prinsip yurisdiksi personal (personal/nationalitet jurisdiction principle)
adalah kewenangan suatu negara untuk menerapkan ketentuan hukum
pidana nasionalnya terhadap peristiwa pidana (internasional) yang dilakukan
oleh atau korbannya warga negaranya, dimanapun peristiwa pidana itu
terjadi;
Prinsip ini dibagi dua yaitu prinsip yurisdiksi personal aktif dan prinsip
yurisdiksi personal pasip.
a) Prinsip yurisdiksi personal aktip adalah kewenangan suatu negara untuk
menerapkan ketentuan hukum pidana nasionalnya terhadap peristiwa
pidana (internasional) yang dilakukan oleh warga negaranya, dimanapun
peristiwa pidana itu terjadi.
b) Prinsip yurisdiksi personal pasif adalah kewenangan suatu negara untuk
menerapkan ketentuan hukum pidana nasionalnya terhadap peristiwa
pidana (internasional) dimana korbannya adalah warga negaranya,
dimanapun peristiwa pidana itu terjadi;
3) Prinsip yurisdiksi protektif
Prinsip yurisdiksi atas dasar perlindungan (protective jurisdiction principle)
adalah kewenangan suatu negara untuk menerapkan ketentuan hukumnya
terhadap peristiwa pidana yang terjadi di luar wilayah negaranya dan
dilakukan oleh atau korbannya bukan warga negaranya, tetapi peristiwa
pidana (internasional) tersebut membahayakan kepentingan keamanan,
politik dan ekonomi negaranya.
4) Prinsip yurisdiksi universal
Prinsip yurisdiksi universal (univesal jurisdiction principle) adalah
kewenangan suatu negara untuk menerapkan ketentuan hukumnya terhadap
peristiwa pidana, yang terjadi di luar wilayahnya dan dilakukan oleh serta
commit to user
korbannya bukan warga negaranya, tetapi peristiwa pidana itu merupakan
114
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
peristiwa pidana internasional (delicto ius gentium atau international crimes
ataupun crimes under international law).
Mekanisme pertama yang menyebutkan bahwa negara peratifikasi
konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 harus menerbitkan undangundang nasional yang memberikan sanksi yang efektif bagi pelaku kejahatan.
Seperti yang terjadi di beberapa negara seperti Belgia, Kanada, Belanda, Inggris
dan Spanyol yang dalam perundangan nasionalnya menerapkan berlakunya
yurisdiksi internasional untuk pelaku kejahatan internasional. Meskipun belum
tentu efektif namun dapat dijadikan alternatif untuk menyeret dan mengadili
para petinggi-petinggi Israel. Akan tetapi mekanisme ini akan sangat sulit
ditempuh karena sampai saat ini Israel belum meratifikasi konvensi Jenewa
1949 dan tidak mungkin akan menghukum pelaku dengan hukum nasionalnya
karena Israel ingin melindungi pelaku kejahatan yang dilakukan oleh warga
negaranya sendiri. Sebenarnya Israel mampu saja untuk mengadili para warga
negaranya yang telah melakukan pelanggran HAM berat di Palestina karena
Israel sudah memiliki sistem peradilan nasional dan dapat dengan mudah
menangkap para tersangka atau mendapatkan bukti dan saksi yang diperlukan ,
tetapi Israel tidak bersedia untuk melakukannya “Unwilling” karena sudah pasti
apabila Israel akan bertujuan untuk melindungi warga negaranya secara habishabisan dari tanggungjawab pidana di dalam pengadilan. Maka sangat tidak
mungkin untuk mengandalkan mekanisme penegakan hukum terhadap
perlindungan penduduk sipil ini untuk mengadili Israel atas kejahatan perang
yang sudah dilakukan.
Walaupun dengan menggunakan sistem pengadilan nasional (exhaustion
of local remedies) tidak dapat diadili, tetapi apabila negara nasional telah
mengambil
keputusan
untuk
mengadili
seseorang
tetapi
berdasarkan
“Unwillingness” (keengganan) dalam arti untuk melindungi terdakwa atau
pemeriksaan dilakukan tidak independen atau memihak, maka perkara yang
sudah diadili oleh pengdilan nasional tersebut dapat diadili lagi oleh ICC
sehingga dengan mengesampingkan azas Ne bis in idem.
commit to user
115
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Melalui Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC)
Pengadilan pidana inernasional atau dalam bahasa Inggris di sebut
Internasional Criminal Court (ICC) merupakan lembaga hukum independen
dan permanen yang dibentuk oleh negara-negara internasional untuk mengadili
kejahatan-kejahatan yang sangat serius (the most serious crimes).
Prinsip
kerjanya adalah melengkapi hukum nasional suatu negara, ICC bekerja apabila
Mahkamah Nasional tidak mau (Unwilling) dan tidak mampu (unable) (Arie
Siswanto, 2005;45).
ICC memiliki beberapa yurisdiksi yang menyangkut tentang pihakpihak dan peristiwa-peristiwa yang dapat diadili di dalam ICC, yaitu (Arie
Siswanto,2005:39):
1) Yurisdiksi personal
Meliputi warga negara pihak, warga negara bukan negara pihak yang
mengakui yurisdiksi Mahkamah dan warga negara bukan negara pihak,
namun kasusnya diajukan ke Mahkamah berdasarkan resolusi Dewan
Keamanan PBB. Hal tersebut berlaku untuk setiap individu baik pejabat
diplomatik maupun pemerintahan dan berlaku untuk para komandan atau
para pejabat sipil lainnya, kecuali mereka yang berumur dibawah 18 tahun.
2) Yurisdiksi teritorial
Berlaku atas kejahatan pelanggaran HAM berat adalah di wilayah negara
peserta Statuta Roma 1998, negara yang mengakui yurisdiksi atas dasar ad
hoc declaration dan perluasan yurisdiksi terhadap kapal dan pesawat udara
yang terdaftar di negara pihak.
3) Yurisdikasi temporis
ICC menganut prinsip asas legalitas, maksudnya adalah seseorang tidak
dapat dianggap melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana apabila
sebelumnya tidak ada kriminalisasi formal terhadap tindakan yang
dilakukan itu. Hal ini diatur dalam Pasal 11 Statuta Roma 1998 yang
menyatakan bahwa ICC tidak memiliki kewenangan untuk menanngani
kejahatan-kejahatan yang dilakukan sebelum tanggal 1 Juli 2002.
commit to user
116
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Yurisdiksi Ratione personae
ICC memiliki yurisdikasi atas orang (natural person), dengan demikian ICC
tidak berwenang mengadili legal person, termasuk negara dan organisasi
internasional. Oleh karena itu dalam ICC dikenal prinsip pertanggung
jawaban individu (individual responsibility). Prinsip pertanggung jawaban
individu dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 25 Statuta Roma 1998
dimana
dikatakan
bahwa
posisi
pelaku
tidak
menghapus
pertanggungjawaban pidana atapun mengurangi hukumannya.
5) Yurisdiksi Ratione materiae
Jenis-jenis kejahatan yang dapat dicakup oleh yurisdiksi ICC berdasarkan
Pasal 5-8 Statuta Roma 1998 adalah genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.
Mekanisme kedua adalah dengan menggunakan Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court/ICC). Kejahatan perang yang
dilakukan oleh Israel sebenarnya termasuk salah satu kewenangan Mahkamah
Pidana Internasional (ICC) sebagai pengadilan tetap yang mulai berlaku efektif
semenjak tahun 2002. Israel, selama berkonflik dengan Palestina dituduh telah
melakukan berbagai kejahatan berat dalam lingkup hukum internasional. Dengan
berbagai bukti banyaknya korban jiwa dan serangan-serangan dari Israel
terhadap penduduk sipil Palestina yang selalu disiarkan ke publik, hal ini
menjadikan keyakinan bahwa memang Israel telah melakukan suatu tindakan
sistematis dan terencana untuk melenyapkan penduduk Palestina. Pelaku yang
dianggap paling bertanggung jawab atas tindakan pembantaian dan pengusiran
massal rakyat Palestina dari tanah kelahirannya adalah para pemimpin yang
memerintahkan tindakan tersebut. Pemimpin-pemimpin Israel sebagai pihak
yang paling bertanggung jawab dalam keluarnya perintah keji terhadap
penindasan rakyat Palestina, adalah merupakan suatu kejahatan perang dan
kemanusiaan yang melanggar hak asasi manusia dan sangat berat hukumannya.
Tindakan yang dilakukan oleh para pemimpin Israel itu bisa diproses di ICC,
karena sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma, bahwa yurisdiksi ICC
adalah terbatas pada kejahatan internasional yang paling serius.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
117
digilib.uns.ac.id
Terlepas dari kemampuan ICC untuk menghukum para penjahat perang
Israel tersebut, sebagai salah satu metode menghentikan konflik berkepanjangan
Israel-Palestina, ada hal prinsipil yang menyebabkan tidak bisanya ICC
mengambil alih permasalahan itu, yaitu masalah keterikatan dan eksistensi
yurisdiksi ICC. Negara-negara anggota PBB tidak secara otomatis terikat oleh
yurisdiksi ICC tersebut, tetapi melalui suatu pernyataan mengikatkan diri dan
menjadi pihak pada Statuta Roma 1998 (Boer Mauna, 2003: 263). Kemudian,
syarat utama bagi eksisnya yurisdiksi itu oleh Pasal 12 ayat (2) Statuta Roma
1998 dinyatakan dalam hal:
1) kejahatan yang dilakukan terjadi di dalam wilayah negara peserta; atau
2) kewarganegaraan dari si pelaku adalah negara yang menjadi negara peserta
atas Statuta.
Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 12 ayat (2) Statuta Roma 1998
bahwa ICC hanya berlaku bagi negara yang telah meratifikasi Statuta Roma
1998, sedangkan Israel belum meratifikasi Statuta Roma 1998. Oleh karena
Israel tidak mengikatkan diri atau menjadi negara peserta pada Statuta ICC
(Statuta Roma), maka ICC tentunya tidak akan bisa memproses kasus penjahat
perang bagi para pemimpin Israel. Para pemimpin Israel yang seharusnya dapat
diadili sebagai penjahat perang, namun terbentur dengan syarat formal pada
Statuta Roma 1998. Maka, usaha untuk menghentikan konflik Israel-Palestina
melalui ICC menjadi tak berarti. Namun demikian dalam Pasal 12 ayat (3)
menyatakan bahwa ICC memiliki kewenangan untuk mengadili negara nonperatifikasi Statuta Roma 1998 dengan syarat negara tersebut haruslah membuat
suatu pernyataan penerimaan yurisdiksi ICC atau perjanjian khusus yang isinya
negara tersebut harus menundukan diri dan menerima yurisdiksi ICC. Sehingga
menurut pendapat penulis, Israel dapat dituntut ke mahkamah internasional atas
kejahatan kemanusiannya terhadap penduduk sipil Palestina berdasarkan Pasal
12 ayat (3) juncto Pasal 4 ayat (2).
Pasal 13 Statuta Roma 1998 menyatakan bahwa ICC memiliki tiga
kewenangan untuk memeriksa kejahatan internasional, jika terdapat suatu
kenyakinan bahwa salah satu/seluruh pihak melakukan kejahatan internasional
commit to user
sesuai yang disebutkan dalam Pasal 5 Statuta Roma 1998 telah terjadi:
perpustakaan.uns.ac.id
118
digilib.uns.ac.id
1) Atas permintaan negara peserta di mana terjadi pelanggaran HAM.
2) Referensi dari Dewan Keamanan PBB (DK PBB) berdasarkan kewenangan
Bab VII Piagam PBB.
3) Inisiatif dari jaksa ICC.
Kewenangan pertama rasanya sangat susah untuk dilaksanakan karena
salah satu pihak yang bersengketa yaitu Israel tidak akan mau apabila sampai
membawa masalah ini sampai ke ICC karena pasti mereka akan melindungi
warga negaranya dari tuduhan telah melakukan pelanggaran HAM. Selain itu
Palestina sendiri belum meratifikasi Statuta Roma 1998 sehingga tidak dapat
dikategorikan sebagai negara peserta.
Kewenangan kedua dengan menggunakan Referensi dari Dewan
Keamanan PBB (DK PBB). Yurisdiksi teritorial ICC mengatakan bahwa apabila
suatu kasus dirujuk ke penuntut umum oleh Dewan Keamanan PBB (DK PBB)
berdasarkan kewenangan Bab VII Piagam PBB, Statuta Roma 1998 tidak
menegaskan tentang aspek teritorialitas tempat kejadian pelanggran (locus
delicti) maupun aspek nasionalitas pelakunya. Dengan kata lain apabila suatu
perkara datang dari referensi dari Dewan Keamanan PBB, ICC dapat
menerapkan yurisdiksinya di wilayah negara yang bukan pihak dalam Statuta
Roma 1998. Jadi cara untuk membawa Israel ke ICC adalah dengan
menggunakan referensi dari Dewan Keamanan PBB. Tetapi dalam prakteknya
tidak semudah itu untuk menggunakan referensi Dewan Keamanan PBB untuk
membawa Israel ke ICC. Dewan Keamanan PBB (DK PBB) tidak akan pernah
memberikan referensi terhadap masalah ini untuk diselesaikan ke ICC karena
adanya faktor hak veto dari Amerika Serikat yang merupakan sekutu dari Israel.
Masyarakat internasional sebenarnya dapat terus mendesak Dewan Keamanan
PBB untuk mengadili Israel di ICC, namun kendalanya resolusi ini harus
didukung dengan suara bulat dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB,
yaitu: Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Republik Rakyat Cina, dan Perancis.
Amerika Serikat sebagai sekutu Israel,dan memiliki kedudukan sebagai anggota
tetap Dewan Keamanan (DK) PBB memiliki hak veto yang pasti akan digunakan
pada saat usul pemberian referensi terhadap masalah Israel-Palestina untuk
commit to user
diselesaikan ke ICC, sesuai dengan isi dari doktrin Negroponte yang dikeluarkan
119
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Amerika sejak 26 Juli 2002 dimana menyatakan bahwa Amerika Serikat akan
selalu siap menentang setiap resolusi Dewan Keamanan PBB yang berusaha
untuk menghukum Israel. Hal itu tentu saja akan membatalkan keputusan DK
PBB untuk menyelesaikan kasus Israel-Palestina melalui ICC. Inilah salah satu
kesalahan fatal dari penyalahgunaan sistem hak veto (Pan Mohamad
Faiz,2006;1).
PBB
melalui
Dewan
Keamanan
(DK)
sudah
beberapa
kali
mengeluarkan Resolusi untuk meminimalisir konflik di negara yang bertikai
tersebut, tetapi Israel tidak pernah mematuhinya. Sebulan sejak dikeluarkannya
Resolusi DK PBB No. 1850 tanggal 16 Desember 2008 yang berisi meminta
kepada Israel dan Palestina untuk menahan diri dan melanjutkan upaya-upaya
perundingan dan penyelesaian sengketa secara damai. Israel malahan
menggempur habis wilayah Palestina dengan Opertion Cast Lead. Lebih ironis
lagi, pertemuan darurat DK PBB gagal menghasilkan Resolusi baru yang lebih
tegas untuk memaksa Israel menghentikan serangannya dan membuka blokade
jalur Gaza. Sebelumnya sudah ada Resolusi No. 242, 338, 1397 dan 1515,
namun kesemuanya itu tidak berarti apa-apa bagi Israel. Bahkan Israel terangterangan melecehkan semua Resolusi ini dengan membangun tembok-tembok
yang menutup dan memblokade Gaza. Puncaknya, Israel bahkan mengabaikan
Advisory Opinion atas permintaan Majelis Umum PBB yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Internasional di tahun 2004 dengan tetap meneruskan pembangunan
tembok-tembok tersebut.
Berdasarkan berbagai pelanggaran terhadap hukum internasional diatas,
setidaknya terdapat dua kewenangan yang dimiliki DK PBB untuk
menghentikan kejahatan perang dan kemanusiaan oleh Israel. Pertama, DK PBB
harus berani menggunakan kewenangannya berdasarkan Pasal 13 (b) Statuta
Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk mengadili pelaku
kejahatan perang dan kemanusiaan. Komandan pasukan Israel bahkan sampai
dengan Kepala Negara Israel harus dihadapkan ke persidangan pidana atas
jatuhnya korban dan harta benda penduduk sipil di Gaza. Kedua, untuk
mencegah jatuhnya korban yang lebih banyak lagi, DK PBB harus berani
commit to user
menggunakan kewenangannya untuk memberikan sanksi tegas terhadap Israel.
120
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Supaya efektif, sanksi ini dapat berupa embargo perdagangan sementara atau
dalam kurun waktu tertentu sampai dengan Israel bersedia mematuhi ketentuan
hukum internasional. Bahkan bila langkah ini masih dianggap kurang, DK PBB
harus berani menggunakan kekuatan bersenjata sebagaimana yang dimandatkan
oleh Pasal 42 Piagam PBB. Masalahnya, penggunaan kewenangan oleh DK PBB
hanya bisa terwujud bila kelima negara pemegang hak veto setuju secara bulat
untuk mengeluarkan Resolusi berisi dua hal diatas. Salah satu saja tidak setuju,
maka sulit untuk dapat menghentikan kejahatan Israel.
Reformasi dalam tubuh DK PBB adalah suatu hal yang mutlak untuk
dilakukan
segera.
Sejak
pertengahan
90-an,
beberapa
negara
telah
berunglangkali menegaskan ketidaksetujuannya terhadap penggunaan hak veto,
sebab hal itu sama saja memberikan jaminan atas ekslusifitas dan dominasi
peran negara angota tetap Dewan Keamanan. Walaupun anggota tetap mengakui
bahwa hak veto seharusnya merupakan upaya terakhir, tetapi faktanya mereka
menggunakan hak veto secara berulang kali. Penyalahgunaan hak istimewa
tersebut pada akhirnya justru menimbulkan kekacauan sistem di dalam tubuh
Dewan Keamanan, membuat semakin tidak demokratis, jauh dari sebuah arti
legitimasi, dan seringkali dirasakan sangat
tidak efektif. Oleh karenanya,
diperlukan adanya reformasi di dalam tubuh Dewan Keamanan PBB yaitu upaya
untuk menghilangkan pemberian hak veto yang dianggap sebagai akar
permasalahan utama dari ketidakefektifan Dewan Keamanan selama ini. Namun
hambatan utamanya adalah dapat dipastikan bahwa negara anggota tetap akan
senantiasa melakukan penolakan setiap adanya keinginan reformasi dari sistem
pengambilan suara yang telah ada, sebab memenuhi tuntutan reformasi tersebut
sama saja melempar posisi mereka jauh menjadi tidak diperhitungkan lagi dalam
politik global. Sepanjang reformasi ini masih belum terjadi Israel akan terus
mendapatkan
perlindungan
dari
sekutunya
yang
memiliki
hak
veto.
Ketidakadilan masih akan terus berlanjut dan rakyat sipil akan terus menjadi
korbannya (Pan Mohamad Faiz,2006:1).
Dalam penggunaan inisiatif jaksa ICC (in propio motu) sebenarnya ICC
dapat melaksanakan yurisdiksinya apabila negara tempat pelanggaran terjadi
commit to user
(locus delicti) atau negara tempat kewarganegaraan pelaku haruslah negara
perpustakaan.uns.ac.id
121
digilib.uns.ac.id
pihak atau negara yang telah menerima yurisdiksi ICC dalam statuta Roma 1998
seperti bunyi Pasal 12 ayat (2) Statuta Roma 1998. Tetapi dalam bunyi Pasal 12
ayat (3) Statuta Roma 1998 menyatakan bahwa ICC bisa menjalankan fungsi
dan kewenangannya di negara yang bukan pihak, asalkan membuat suatu
deklarasi atau pernyataan yang didaftarkan yang isinya negara tersebut telah
menundukan diri, menerima berlakunya yurisdiksi mahkamah yang berkaitan
dengan kasus tersebut, dan negara harus bekerjasama dengan mahkamah untuk
dapat menyelesaikan kasus tersebut. Penggunaan in propio motu bisa saja
dilakukan dalam kasus ini asalkan salah satu pihak baik itu Israel maupun
Palestina membuat suatu perjanjian khusus seperti yang disebutkan dalam Pasal
12 ayat (3) Statuta Roma 1998. Selain itu, penggunaan inisiatif jaksa ICC (in
propio motu) sudah pernah dilakukan terhadap Presiden Sudan Umar Hasan
Ahad al-Bashir. Meskipun Sudan bukan negara peserta ICC, namun karena
dianggap telah melakukan pelanggaran HAM berat (kejahatan kemanusiaan)
maka Umar Hasan Ahad al-Bashir diajukan oleh jaksa ICC untuk diadili di ICC.
Hal ini juga sama seperti kasus konflik antara Israel-Palestina, walaupun Israel
belum meratifikasi Statuta Roma 1998 yang menjadi dasar dari ICC tetapi Israel
telah dianggap melakukan pelanggaran HAM berat (Eka an Aqimuddin,2010;1).
Hal ini bisa saja terjadi karena seperti yang sudah penulis jelaskan di bab
sebelumnya bahwa salah satu sumber dari hukum internasional adalah hukum
kebiasaan internasional, maka keputusan hakim terdahulu juga dapat digunakan
sebagai sumber hukum internasional.
Ada beberapa pertimbangan-pertimbangan yang dapat menguatkan
pendapat penulis apabila Israel memang dapat diadili di Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court/ICC), yaitu:
(a) H. Donnedieu de Vabres menyatakan memidana dengan melanggar asas
legalitas memang tidak adil, tetapi tidak menghukum orang yang bersalah
karena kejahatan yang dilakukannya jauh lebih tidak adil.
(b) “Strong Radbruch argument of the superior and compelling needs of
justice”. Artinya, kendatipun perbuatan terdakwa adalah legal, namun
perbuatan tersebut sedemikian tercelanya sehingga keadilan membenarkan
commit to user
untuk menghukum perbuatan tersebut sekarang. Oleh karena itu,
122
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penghukuman yang diberikan saat ini adalah retroaktif, namun ini adalah
contoh dimana penghukuman yang bersifat retroaktif dibenarkan karena
prinsip-prinsip keadilan yang lebih tinggi derajadnyamengalahkan prinsip
non-retroaktif.
(c) Knowledge of Guitl and/or Knowedge that the Action Could be Subject to
letter Punishment. Argumen tersebut mengandung arti meskipun perbuatan
itu legal dilakukan pada saat itu, si pelaku sesungguhnya mengetahui (a)
bahwa dalam beberapa pertimbangan penting perbuatan itu salah, dan/atau
(b) bahwa perbuatan tersebut dapat dihukum yang dijatuhkan kemudian
hari.
(d) General Principles of Justice Override Existing Domestic Law. Prinsip ini
menyatakan, “ bahwa jikalau pun perbuatan ini secara formal sah menurut
rezim hukum sebelumnya, perbuatan tersebut sedemikian tercelanya
sehingga sesungguhnya menurut rezim hukum sebelumnya pun perbuatan
itu tidak sungguh-sungguh legal karena perbuatan itu telah melanggar
prinsip-prinsip umum keadilan yang mengesampingkan hukum positif yang
berlaku saat itu.
(e) Non-retroactive through Re-interpretation of the prior law. Artinya,
perbuatan
tersebut
sedemikian
tercelanya
sehingga
sesungguhnya
berdasarkan hukum yang berlaku sebelumnya pun tidak benar-benar legal
secara
formal.
Jika
hukum
nasional
yang
berlaku
sebelumnya
diinterprestasikan dengan tepat, meskipun didasarkan atas hukum yang
berlaku pada saat itu pun perbuatan tersebut seharusnya telah dihukum,
namun hukuman itu telah diinterprestasikan sedemikian rupa sehingga tidak
menghukum perbuatan tersebut.
(f) Clear Violation of Prior Law. Maksudnya, perbuatan tersebut sedemikian
tercelanya sehingga perbuatan tersebut bahkan tidak benar-benar legal
secara formal berdasarkan hukum yang berlaku sebelumnya; hukum
tersebut, melalui setiap interprestasi yang masuk akal, menghukum
perbuatan itu pada saat dilakukan.
(g) Kendati Israel belum meratifikasi Konvensi Jenewa IV/1949 tentang
commit to user
perlindungan penduduk sipil dan Protokol Tambahan I/1977 tentang
perpustakaan.uns.ac.id
123
digilib.uns.ac.id
perlindungan korban pertikaian dalam konflik internasional, tetapi konvensi
tersebut sudah merupakan hukum kebiasaan internasional yang harus ditaati
oleh bangsa-bangsa beradab di dunia. Begitu pula yang tercantum di dalam
Mahkamah Tokyo pada saat mengadili kejahatan-kejahatan perang yang
dilakukan oleh Jepang yang pada saat itu belum meratifikasi konvensi Den
Haag.
Perlu diketahui lebih lanjut bahwa didalam Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court/ICC) dikenal dengan adanya asas
tanggung jawab individu. Artinya bahwa kedudukan resmi pelaku tidak dapat
dijadikan alasan untuk mengindarkan diri dari tanggung jawab pidana.
Kejahatan yang dilakukan atas perintah atasan atau pemerintah, tidak dapat
membebaskan pelaku dari tanggung jawab dan dijadikan dasar untuk
mengurangi hukuman. Adanya asas tanggung jawab individu semakin
menguatkan kembali pendapat penulis bahwa Israel dapat dituntut ke mahkamah
internasional. Jaksa Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal
Court/ICC) dapat menuntut para petinggi pemerintahan Israel yang menjadi otak
serangan Israel ke Palestina. Para petinggi pemerintahan Israel tidak dapat
mengelak terhadap tuduhan pelanggaran hukum humaniter yang mereka lakukan
berdasarkan perintah negara, sehingga secara individu mereka tidak dapat
dimintai pertanggung jawaban.
Jalan keluar terakhir yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan konflik
yang berkepanjangan antara Israel-Palestina adalah dengan penjatuhan sanksi
hukum internasional yang luas. Ini bisa dilakukan melalui sebuah kebijakan
embargo bagi Israel. Selain itu, kebijakan mengasingkan Israel dari pergaulan
internasional pun patut diterapkan. Dengan embargo ekonomi, Israel secara
otomatis akan merasakan akibatnya. Pendapatan menjadi semakin terkikis dan
bukan tidak mungkin Israel tidak akan bisa lagi menghimpun kekuatannya untuk
menggempur Palestina, karena bagian vital suatu negara, yaitu ekonomi telah
diserang melalui kebijakan embargo.
Pengasingan Israel dari pergaulan internasional dengan cara pemutusan
hubungan diplomatik, harus dilakukan. Melalui mekanisme tersebut, Israel tidak
commit to user
akan mendapat sokongan bantuan baik materiil maupun immateriil, sehingga
perpustakaan.uns.ac.id
124
digilib.uns.ac.id
bisa dipastikan kekuatan Israel dalam segala hal akan tumpul. Maka, dengan
kondisi yang lemah, Israel akan sulit untuk terus melancarkan serangan ke
Palestina. Selain itu, tanpa didukung oleh negara lain, Israel nantinya diharapkan
akan menjadi sadar dan tidak egois terhadap segala bentuk usaha penyelesaian
konflik dengan Palestina.
Namun, usaha embargo dan pemutusan hubungan diplomatik maupun
pengasingan akan terwujud apabila mendapat dukungan dari seluruh masyarakat
internasional. Harus ada political will dari setiap negara untuk menyelesaikan
dan mengakhiri konflik Israel-Palestina ini. Diperlukan kerja sama yang solid
demi terciptanya kehidupan dunia internasional yang rukun dan damai.
c. Melalui Mahkamah Ad Hoc
Dalam Pasal 11 Statua Roma 1998 menyatakan bahwa yurisdiksi ICC
hanya mencangkup kejahatan yang dilakukan setelah Statuta Roma 1998 mulai
berlaku yaitu tanggal 1 Juli 2002. Dengan kata lain setiap kejahatan yang
dilakukan setelah berlakunya Statuta Roma menjadi yurisdiksi ICC untuk
mengadilinya. Tetapi tidak semua negara di dunia menjadi anggota ICC
sehingga tidak semua pelanggaran berat bisa dibawa ke ICC. Dalam Pasal 12
ayat (3) Statuta Roma 1998 menyatakan bahwa ICC dapat menjalankan fungsi
dan kewenangannya di wilayah yang bukan merupakan negara pihak apabila
terdapat perjanjian khusus. Penulis rasa pasal ini kurang efektif, karena apabila
suatu negara non pihak tidak membuat suatu perjanjian khusus yang
mengikatkan diri terhadap Statuta Roma 1998, maka yurisdiksi ICC tidak dapat
digunakan. Padahal tujuan dari ICC adalah untuk untuk mengakhiri impunity
bagi yang melakukan kejahatan dan mengupayakan pencegahan terjadinya
kejahatan, tentu saja hal ini sangat bertentangan dari tujuan utama dibuatnya
ICC. Dalam Statuta Roma 1998, penyelesaian untuk negara non anggota juga
masih minim pengaturannya, hanya Pasal 13 ayat (2) yang mengatur
penggunaan referensi Dewan Keamanan PBB untuk penyelesaian untuk negara
non anggota, selebihnya tentang pengaturan penyelesaian negara non anggota
tidak dijelaskan lebih lanjut. Bunyi Pasal 13 ayat (2) menurut penulis sangat
commit to user
tidak efektif apabila digunakan untuk menyelesaikan kasus kejahatan yang salah
perpustakaan.uns.ac.id
125
digilib.uns.ac.id
satu negara yang menjadi korban belum terdaftar sebagai anggota PBB seperti
kasus Israel-Palestina. Apalagi kita tahu apabila Israel memiliki dukungan dari
sekutunya yaitu Amerika Serikat yang menjadi salah satu anggota DK PBB,
yang pastinya akan mengeluarkan hak veto apabila DK PBB mengeluarkan
referensinya untuk membawa kasus Israel-Palestina ke ICC.
Dari hasil penjabaran penulis diatas, dapat disimpulkan apabila ICC
kurang memberikan perlindungan terhadap negara-negara yang belum menjadi
anggota. Disinilah menurut penulis peran dari Mahkamah Ad Hoc berada. Di
dalam Statuta Roma 1998 memang tidak ada pasal yang mengatur secara tegas
tentang kedudukan Mahkamah Ad Hoc ketika ICC telah dibentuk, tetapi
berdasarkan pembukaan Statuta Roma 1998 yang menyatakan bahwa kejahatan
yang paling serius menurut masyarakat internasional tidak dapat dibiarkan tanpa
adanya ganjaran dan untuk mengakhiri impunity bagi yang melakukan kejahatan
tidak menutup kemungkinan dapat dibentuknya suatu mahkamah Ad Hoc. Selain
itu, tujuan pokok dari HHI adalah untuk menjamin hak-hak asasi manusia yang
fundamental dari berbagai jenis pelanggaran tanpa adanya diskriminasi, hal ini
semakin memperkuat alasan untuk dibentuknya, mahkamah Ad Hoc apabila
memang terdapat alasan yang mendesak yaitu ICC tidak dapat mengadili suatu
kasus.
Perlu diingat apabila pembentukan mahkamah Ad Hoc ini haruslah
dengan persetujuan dari Dewan Keamanan PBB. Masyarakat internasional bisa
saja terus mendesak Dewan Keamanan PBB untuk membentuk pengadilan Ad
Hoc untuk Israel, namun kendalanya resolusi ini haruslah mendapat dukungan
penuh dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB yaitu Amerika Serikat,
Rusia, Inggris, Republik Rakyat Cina, dan Prancis. Maksudnya dari kelima
anggota Dewan Keamanan PBB itu harus mendukung untuk dibentuknya
pengadilan Ad Hoc tersebut. Apabila ada satu saja negara angota tetap Dewan
Keamanan PBB yang melakukan hak veto, maka akan menggagalkan
pembentukan pengadilan Ad Hoc untuk Israel. Sebenarnya Pembentukan
pengadilan Ad Hoc ini sarat dengan nuansa politik yang tinggi, Amerika Serikat
yang dikenal sebagai sekutu Israel pasti akan mengeluarkan hak veto-nya untuk
commit to user
menggagalkan pembentukan pengadilan Ad Hoc untuk Israel. Sehingga sudah
perpustakaan.uns.ac.id
126
digilib.uns.ac.id
pasti pembentukan pengadilan Ad Hoc ini akan gagal apabila hanya dengan
menggunakan persetujuan dari Dewan Keamanan PBB saja.
Sebenarnya ada jalan keluar lain yang dapat memungkinkan untuk
dibentunya pengadilan Ad Hoc untuk menyelesaikan kasus Israel-Palestina tanpa
menggunakan persetujuan dari Dewan Keamanan PBB. Memang secara
prosedural pembentukan suatu pengadilan Ad Hoc haruslah berdasarkan pada
persetujuan dari Dewan Kemanan PBB seperti pembentukan ICTY dan ICTR,
tetapi tidak menutup kemungkinan apabila Majelis Umum PBB mengambil alih
peran yang seharusnya dimiliki oleh Dewan Keamanan ini. Boer Mauna dalam
bukunya mengatakan bahwa kemacetan yang terjadi dalam Dewan Keamanan
PBB akhirnya menyebabkan Majelis Umum dalam prakteknya memainkan
peranan yang cukup penting. Pasal 10 Piagam PBB menyatakan bahwa:
Majelis Umum dapat membahas semua persoalan atau hal-hal yang
termasuk kedalam kerangka Piagam atau yang berhubungan dengan
kekuasaan dan fungsi salah satu organ yang tercantum dalam Piagam
dan membuat rekomendasi-rekomendasi kepada anggota-anggota
PBB atau ke Dewan Keamanan.
Mengenai masalah pemeliharaan perdamaian, Pasal 11 ayat 2 Piagam PBB
menyatakan bahwa:
Majelis dapat membahas dan membuat rekomendasi-rekomendasi
mengenai semua persoalan yang berhubungan dengan pemeliharaan
keamanan internasional yang diajukan oleh salah satu anggota PBB
atau Dewan Keamanan PBB atau oleh negara bukan anggota PBB.
Jadi Majelis Umum memiliki kewenangan atas berbagai persoalan apakah
persoalan itu merupakan suatu sengketa atau keadaan. Mengenai keadaan,
Majelis Umum memiliki suatu intervensi langsung dalam dua hal. Pertama
menurut Pasal 11 ayat (3), Majelis dapat menarik perhatian Dewan Keamanan
PBB terhadap semua keadaan yang dapat membahayakan perdamaian dan
keamanan internasional. Selanjutnya menurut Pasal 14, Majelis Umum dapat
mengusulkan tindakan-tindakan untuk penyelesaian sengketa secara damai
semua keadaan, tanpa memandang asal-usul, yang mungkin mengganggu
kesejahteraan umum atau membahayakan hubungan baik antar bangsa. Istilah
penyelesaian sengketa secara damai ini mempunyai arti yang sangat luas. Hal ini
juga memungkinkan untuk merubah suatu keadaan tertentu yang ada tetapi tidak
commit to user
127
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sesuai dengan suasana dan yang dapat menimbulkan kekacauan internasional
(Boer Mauna,2008:220).
Fungsi dan kekuasaan Majelis Umum Menurut Bab IV Pasal 10-17
Piagam PBB, Majelis Umum dapat:
1) Mempertimbangkan dan membuat rekomendasi mengenai prinsip-prinsip
umum kerja sama untuk memelihara perdamaian dan keamanan
internasional, termasuk perlucutan senjata;
2) Mendiskusikan pertanyaan yang berkaitan dengan perdamaian dan
keamanan internasional dan, kecuali sengketa atau situasi saat ini sedang
dibahas oleh Dewan Keamanan, membuat rekomendasi di atasnya;
3) Mendiskusikan,
dengan
pengecualian
yang
sama,
dan
membuat
rekomendasi pada setiap pertanyaan dalam lingkup Piagam atau
mempengaruhi kewenangan dan fungsi dari setiap organ Perserikatan
Bangsa-Bangsa;
4) Memulai penelitian dan membuat rekomendasi untuk meningkatkan
kerjasama politik internasional, pengembangan dan kodifikasi hukum
internasional, realisasi hak asasi manusia dan kebebasan dasar, dan
kerjasama internasional di bidang ekonomi, sosial, kemanusiaan, bidang
budaya, pendidikan dan kesehatan;
5) Membuat rekomendasi untuk penyelesaian damai dari setiap situasi yang
bisa merusak hubungan persahabatan antara negara-negara;
6) Menerima dan mempertimbangkan laporan dari Dewan Keamanan dan
badan-badan PBB;
7) Mempertimbangkan dan menyetujui anggaran PBB dan menetapkan
penilaian keuangan dari negara-negara Anggota;
8) Memilih non-anggota tetap Dewan Keamanan dan anggota lain dewan
Bangsa Bangsa dan organ dan, atas rekomendasi dari Dewan Keamanan,
menunjuk Sekretaris Jenderal.
Berdasarkan resolusi PBB No. 377 (V) tentang "Uniting for Peace"
yang dikeluarkan pada November 1950, Majelis Umum juga dapat mengambil
tindakan jika Dewan Keamanan gagal untuk bertindak, karena suara yang
commit to user
negatif dari anggota Dewan Keamanan permanen, dalam kasus di mana
128
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tampaknya menjadi ancaman bagi pelanggaran, ketenangan perdamaian atau
tindakan agresi. Majelis Umum dapat mempertimbangkan hal tersebut segera
dengan maksud untuk membuat rekomendasi kepada anggota untuk langkahlangkah kolektif untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan
internasional (UN.2012.http://www.un.org/en/ga/about/background.shtml, diakses tanggal8 November 2012).
Penggunaan kewenangan Majelis Umum apabila terjadi kemacetan
dalam Dewan Keamanan PBB sudah pernah digunakan didalam penyelesaian
masalah di Sierra Leone dan Invasi Korea Utara ke Korea Selatan tahun 19501953. Pada kasus di Sierra Leone, pengadilan khusus yang dibuat untuk Sierra
Leone berbeda dari pengadilan kejahatan perang untuk bekas Yugoslavia
(ICTY) dan Rwanda (ICTR). ICTY dan ICTR didirikan oleh Resolusi Bab VII
Dewan Keamanan, Sedangkan Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone dibentuk
berdasarkan perjanjian yang dibentuk oleh persetujuan yang dibuat antara PBB
dan Sierra Leone. Persetujuan yang dikeluarkan oleh PBB lewat Dewan
Keamanannya untuk membentuk suatu lembaga pengadilan di Sierra leone ini
berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 1315 pada tanggal 14 Agustus 2000
yang telah diadopsi oleh dewan keamanan PBB. Dengan kata lain pembentukan
pengadilan Ad Hoc di Sierra Leone ini terwujud berkat rekomendasi dari Majelis
Umum. Lembaga Pengadilan Ad Hoc di Sierra Leone ini menggunakan sistem
pengadilan baru yaitu Pengadilan campuran atau Hybrid Court atau
Internationalised Domestic Criminal Tribunals . Maksud dari campuran disini
adalah, bahwa peradilan pidana internasional diselenggarakan atas kerjasama
internasional dan negara yang bersangkutan yang akan menyidangkan perkara
pidana internasional. Campuran disini juga dapat diartikan adanya bantuan
pendanaan
dalam
mempersiapkan
diselenggarakannya
peradilan
pidana
internasional tersebut dari masyarakat internasional. PBB beranggapan, bahwa
PBB memiliki tanggungjawab untuk pendanaaan, sumberdaya manusia,
menyediakan hakim-hakim, penuntut umum melalui sumbangan-sumbangan
atau kontribusi dari Negara lainnya (Ilias Bantekas dan Susan Nash, 2003: 397).
Sedangkan peran Majelis Umum PBB dalam kasus invasi Korea Utara
commit to user
ke Korea Selatan tahun 1950-1953 adalah Majelis umum mengambil tindakan
perpustakaan.uns.ac.id
129
digilib.uns.ac.id
karena Dewan Keamanan dirasakan gagal untuk bertindak, karena adanya suara
yang negatif untuk menyelesaikan kasus ini dari anggota Dewan Keamanan
permanen. Perang Korea dari 25 Juni 1950 sampai 27 Juli 1953 sebenarnya
adalah sebuah konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan, tetapi perang ini
juga disebut "perang yang dimandatkan" (proxy war) antara Amerika Serikat dan
sekutunya dengan komunis Republik Rakyat Cina dan Uni Soviet yang
kesemuanya adalah anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Disebut sebagai
"perang yang dimandatkan" (proxy war) karena sarat dengan nuansa politis
sebab sekutu utama Korea Selatan adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia,
dan Britania Raya sedangkan sekutu utama Korea Selatan adalah RRC dan
Rusia. Sehingga setiap akan dibuat suatu lembaga pengadilan Ad Hoc untuk
menyelesaikan kasus ini pasti selalu mendapatkan veto dari masing-masing
negara anggota tetap Dewan Keamanan yang tidak lain adalah sekutu dari kedua
negara yang berkonflik. Negara-negara sekutu pasti tidak rela apabila dibuat
suatu lembaga pengadilan Ad Hoc untuk kasus Perang Korea karena akan
merugikan mereka. Disinilah diperlukan campur tangan dari Majelis Umum
ketika dirasa terdapat “Dead Lock” dalam Dewan Keamanan PBB. Majelis
Umum memberikan suatu rekomendasi untuk mengakhiri sengketa antara pihakpihak yang terkait dengan menggunakan jalan damai yang kemudian dilakukan
oleh Dewan Keamanan PBB. Perang ini berakhir pada 27 Juli 1953 saat
Amerika Serikat, Republik Rakyat Cina, dan Korea Utara menandatangani
persetujuan gencatan senjata. Presiden Korea Selatan, Seungman Rhee, menolak
menandatanganinya namun berjanji menghormati kesepakatan gencatan senjata
tersebut.
Berdasarkan kedua contoh campur tangan dari Majelis Umum ini
sesungguhnya dalam kasus Israel-Palestina, Majelis Umum juga dapat
mengambil alih kasus tersebut sebab Dewan Keamanan PBB dirasa sudah tidak
dapat lagi untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan hak veto yang terus
dikeluarkan oleh Amerika Serikat apabila ingin mencapai kesepakatan tentang
pembentukan pengadilan Ad Hoc untuk Israel. Hal ini bisa saja terjadi karena
seperti yang sudah penulis jelaskan di bab sebelumnya bahwa salah satu sumber
commit to user
130
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dari hukum internasional adalah hukum kebiasaan internasional, maka keputusan
pengadilan terdahulu juga dapat digunakan sebagai sumber hukum internasional.
Majelis
umum
bisa
merekomendasikan
untuk
membuat
suatu
pengadilan Ad Hoc dengan sistem campuran atau Hybrid Court seperti yang
terjadi di Sierra Leone atau dengan metode penyelesaian secara damai lewat
penandatanganan persetujuan gencatan senjata dengan syarat kedua negara harus
menghormati adanya perjanjian itu. Keugulan dengan menggunakan sistem
pengadilan Hybrid Court adalah sistem pengadilan ini menggunakan dua sistem
yaitu sistem nasional dan sistem internasional. Dengan menggunakan sistem
nasional, penuntutan kejahatan dapat dilakukan terhadap peristiwa pidana
(internasional) dimana korbannya adalah warga negaranya, dimanapun peristiwa
pidana itu terjadi sehingga bisa dilakukan penuntutan secara efektif (prinsip
yurisdiksi personal pasif), sedangkan dengan menggunakan sistem internasional
dalam hal ini PBB dapat melengkapi apabila hukum domestik terdapat masalahmasalah hambatan dari sistem hukum domestik seperti amnesti, imunitas, tidak
memadainya kapasitas atau sumber daya pada level nasional, ketidakjelasan atau
tidak memadai kemandirian dari sistem hukum domestik dengan memberi
bantuan seperti pendanaaan, sumber daya manusia, menyediakan hakim-hakim,
penuntut umum melalui sumbangan-sumbangan atau kontribusi dari negara
lainnya(HighonetEthel.2010.http://digitalcommons.law.yale.edu/cgi/viewcontent
.cgi?article=1005&context=student_papers&seiredir=1#search=%22restructurin
g%20hybrid%20court%22, diakses tanggal 2 November 2012). Diharapkan
dengan menggunakan sistem peradilan yang seperti ini masalah pelanggaran
HAM Israel terhadap Palestina yang sudah berlangsung dalam kurun waktu yang
lama bisa segera terselesaikan sehingga tidak menjadi berlarut-larut dan
ditakutkan dapat mengganggu keamanan di dunia.
commit to user
131
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV
KESIMPULAN
Dari perumusan masalah yang penulis kemukakan serta pembahasannya maka
penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Bentuk-bentuk pelanggaran terhadap penduduk sipil yang dilakukan oleh Israel
terhadap Palestina di Jalur Gaza Pada Operation Cast Lead 27 Desember 2008-20
Januari 2009 dapat dikategorikan menjadi dua jenis kategori kejahatan yaitu
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (crimes against humanity)
dan
kategori
Kejahatan Perang (war crimes).
2. Mekanisme penegakan hukum terhadap perlindungan penduduk sipil ditinjau dari
Konvensi Jenewa IV/1949, Protokol Tambahan I/1977, dan Statuta Roma 1998
dalam konflik Israel-Palestina di jalur Gaza pada Operation Cast Lead 27 Desember
2008-20 Januari 2009
a. Dengan menggunakan ICC
Mekanisme penegakan hukum terhadap perlindungan penduduk sipil
melalui ICC dapat diselesaikan melalui referensi Dewan Keamanan PBB tetapi
dengan syarat harus ada reformasi dalam tubuh PBB dahulu sebelumnya untuk
menghilangkan hak veto yang selalu menghalangi penyelesaikan konflik ini.
Selain itu juga dapat menggunakan inisiatif jaksa ICC (in propio motu) seperti
yang pernah dilakukan terhadap presiden Sudan Umar Hasan Ahad al-Bashir.
b. Dengan menggunakan pengadilan Ad hoc
Memang secara prosedural pembentukan pengadilan Ad Hoc itu harus
berdasarkan persetujuan Dewan Keamanan
PBB tetapi tidak menutup
kemungkinan apabila Majelis Umum mengambil alih peran Dewan Keamanan
dengan
membuat suatu rekomendasi yang kemudian dipatuhi oleh Dewan
Keamanan apabila terjadi dead lock dalam Dewan Keamanan PBB. Hal ini juga
pernah digunakan untu menyelesaikan kasus di Sierra Leone dan invasi Korea
Utara ke Korea Selatan 1950-1953.
commit to user
Download