Menanti Peran Pemerintah KOMPAS, Kamis, 3 Juni 2010 | 03:01

advertisement
Menanti Peran Pemerintah
KOMPAS, Kamis, 3 Juni 2010 | 03:01 WIB
Oleh PM Erza Killian
Serangan terhadap misi kemanusiaan Free Gaza Movement yang dilakukan Angkatan Laut
Israel pada 31 Mei lalu bukan saja dituding sebagai tindakan yang bertentangan dengan
hukum internasional, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap standar internasional
mengenai hak-hak asasi manusia.
Dua versi pembelaan muncul terkait tragedi ini: dari sisi para aktivis yang menyatakan
bahwa mereka diserang terlebih dahulu oleh pihak militer Israel dan dari pihak Israel yang
mengaku bahwa para aktivis kemanusiaan itu sejatinya telah disusupi teroris dan tindakan
mereka merupakan upaya pembelaan diri.
Pihak PBB sendiri secara resmi telah mengecam tindakan Israel dan menyatakan bahwa
perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai konflik ini.
Bagaimanapun juga, hal menarik yang perlu dicermati dari kejadian ini adalah bagaimana
masyarakat sipil kali ini menjadi ujung tombak utama konfrontasi langsung Israel dengan
dunia internasional terkait blokade Jalur Gaza.
Masyarakat sipil global
Penggunaan istilah masyarakat sipil global sendiri kerap memunculkan perdebatan
dikarenakan kebelumjelasan batasan yang dimaksud. Scholte (2000) mendefinisikan
masyarakat sipil global sebagai organisasi masyarakat sipil yang melakukan tindakan yang
terkait dengan isu-isu dunia, menggunakan komunikasi lintas negara, memiliki struktur
organisasi global, dan didasarkan pada prinsip solidaritas lintas negara.
Masyarakat sipil global dapat memiliki empat karakteristik itu sekaligus, dapat pula hanya
memiliki satu atau dua dari ciri di atas. Dari definisi di atas, kelompok yang dapat
dikategorikan sebagai masyarakat sipil global dapat berupa organisasi keagamaan ataupun
lintas agama, organisasi lingkungan, hingga organisasi kemanusiaan yang memiliki
kepedulian yang sama.
Masyarakat sipil global sendiri mulai mendapatkan posisi penting dalam studi hubungan
internasional disebabkan semakin aktifnya pergerakan mereka serta menguatnya posisi
mereka dalam proses formulasi dan implementasi kebijakan, baik di tingkat nasional
maupun internasional.
Konflik antara organisasi kemanusiaan yang bertujuan membawa bahan bantuan ke Jalur
Gaza dengan pihak militer Israel seharusnya dilihat sebagai bentuk protes tertinggi dari
masyarakat sipil global terhadap kebijakan Israel terkait blokade Jalur Gaza.
Blokade Jalur Gaza sendiri, yang dilakukan Israel dengan dalih menekan kelompok Hamas
dan menghentikan pasokan senjata bagi kelompok ini, ternyata justru menjadi hukuman
bersama bagi seluruh warga Gaza yang sebagian besar justru warga sipil. Data PBB
menunjukkan bahwa sekitar 75 persen warga Gaza saat ini hidup dari pasokan makanan
bantuan dan sekitar 60 persen tidak memiliki akses terhadap air (The Guardian, 2010).
Negara-negara lain, bahkan PBB sendiri, hingga saat ini belum mengambil tindakan tegas
atas kebijakan Israel ini kendati telah dengan pasti menyatakan bahwa tindakan ini
melanggar hukum internasional. Ironisnya, bantuan terbesar bagi pasokan barang untuk
warga Gaza justru berasal dari masyarakat sipil global. Rombongan kapal Mavi Marmara
merupakan pemberangkatan keenam yang dilakukan oleh kelompok koalisi pro-Palestina,
Free Gaza Movement, setelah mengirimkan beberapa rombongan kapal guna memasok
obat-obatan dan bahan makanan bagi warga Gaza.
Kemunculan masyarakat sipil global sebagai pengisi peran negara dalam konflik Gaza
seharusnya merupakan sindiran keras bagi aktor negara. Ketika negara dan organisasi
internasional dirasa tak lagi mampu menyediakan atau memberikan solusi terbaik bagi
konflik internasional, masyarakat sipil global memilih masuk dan ikut berperan dengan
menggunakan cara sendiri.
Itu sebabnya tragedi di kapal Mavi Marmara seharusnya tidak hanya dilihat sebagai
kesalahan atau tindakan inkonstitusional Israel semata, tetapi juga sebagai refleksi bagi
seluruh negara di dunia untuk mulai mengembalikan peran mereka sebagai aktor sentral
pada sistem internasional dan tidak membiarkan masyarakat sipil kembali menjadi tameng
bagi inkompetensi mereka menghadapi Israel.
Peran negara
Pentingnya peran negara dalam sistem internasional telah digambarkan dengan sangat jelas
oleh arus utama hubungan internasional: para pemikir realis yang berasumsi bahwa
negaralah unit paling utama dalam sistem internasional dan pemegang kuasa tertinggi di
aras global. Kendati mengakui adanya aktor nirnegara semisal organisasi nonpemerintah
atau organisasi internasional, kaum realis melihat bahwa pengaruh terbesar dalam tatanan
global masih dipegang oleh negara.
Ironisnya, dalam konflik Gaza, masyarakat sipil globallah yang terpaksa harus
berkonfrontasi langsung dengan militer Israel, sedangkan negara-negara hanya mengutuk
dan menyayangkan tindakan ini.
Indonesia sendiri tampaknya harus mulai memperhitungkan kerja sama dengan masyarakat
sipil—baik lokal maupun global—mengingat dalam serangan kemarin, 12 orang WNI
dikabarkan turut menjadi sandera. Dengan posisi Indonesia yang sangat tegas mendukung
kemerdekaan penuh Palestina, perlu dilakukan upaya bersama antara pemerintah dan
masyarakat sipil agar tidak ada lagi insiden yang akan membahayakan warga sipil
Indonesia.
Mengingat kita adalah negara dengan warga Muslim terbesar di dunia, peluang bagi
munculnya masyarakat sipil lain yang akan bergerak mendukung perjuangan Palestina
pascatragedi Mavi Marmara sangatlah besar. Dengan berbagai protes dan demonstrasi antiIsrael yang tengah terjadi saat ini, kita tinggal menunggu waktu kapan sukarelawan
Indonesia kembali mengirimkan rombongan ke Palestina untuk alasan solidaritas dan ini
tentu akan menjadi pekerjaan rumah baru bagi Pemerintah Indonesia.
Kerja sama antara negara dan masyarakat sipil (global) seharusnya menjadi agenda
pemerintah Indonesia dalam menghadapi konflik Gaza di samping upaya lain melalui jalur
resmi seperti diplomasi dan negosiasi. Akan lebih mudah bagi pemerintah untuk bekerja
sama dan mencari titik temu sejak awal dengan masyarakat sipil dibandingkan dengan
harus ”menyelamatkan” WNI ketika terjadi konfrontasi langsung.
Manfaat lain tentu adalah metode yang akan lebih efektif karena menggabungkan dua
kekuatan sekaligus. Semoga saja pada masa mendatang kita bisa melihat kerja sama yang
apik antara pemerintah dan masyarakat sipil global sehingga tragedi—yang terjadi oleh
munculnya masyarakat sipil sebagai perisai—tak terulang kembali.
PM Erza Killian Dosen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Brawijaya
Download