6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Trembesi Tanaman trembesi (Samanea saman (Jacq.) Merr.) merupakan tanaman asli Amerika Selatan bagian utara yang merupakan daerah tropis dan sekarang dibudidayakan secara luas di daerah tropis, seperti Asia Tenggara. Tanaman trembesi mempunyai batang yang besar, bulat dan tinggi antara 10-20 meter. Permukaan batangnya beralur, kasar, dan berwarna coklat kehitam-hitaman dengan bentuk pohon seperti kanopi. Trembesi memiliki daun majemuk dengan panjang tangkai sekitar 7-15 cm dan menyirip ganda. Tiap helai daun berbentuk bulat memanjang dengan panjang antara 2-6 cm dan lebar antara 1-4 cm dengan tepi daun rata (Staples and Elevitch, 2006). Warna daun hijau dengan permukaan daun bagian bawah memiliki beludru. Tanaman trembesi juga merupakan tanaman berbunga dan berbuah musiman yang umumnya berlangsung pada bulan Mei dan Juni. Bunga trembesi berwarna putih gradasi merah muda pada bagian ujung atasnya dengan panjang mencapai 10 cm dari pangkal bunga hingga ujung bulu bunga. Tabung mahkota berukuran 3,7 cm dan memiliki kurang lebih 20-30 benang sari dengan panjang 35 cm. Buah trembesi berbentuk polong coklat kehitaman dengan panjang 10-20 cm, mempunyai lebar 1,5-2 cm, dan tebal sekitar 0,6 cm. Buah yang berbentuk polong mengandung sekitar 5-25 biji dengan panjang 1,3 cm. Karakteristik tanaman trembesi seperti terlihat pada Gambar 2.1. 6 7 (b) (a) (c) (d) Gambar 2.1 Karakteristik Bagian Tanaman Trembesi (a) pohon, (b) bunga, (c) daun, (d) buah berbentuk polong (Staples and Elevitch, 2006) Ciri-ciri daun trembesi dengan bentuk tulang daun menyirip menunjukkan bahwa trembesi termasuk ke dalam keluarga tanaman polong-polongan (Fabaceae atau Leguminosae) dengan klasifikasi berikut (Staples and Elevitch, 2006). Kerajaan : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Fabales Famili : Fabaceae Subfamili : Mimosoideae Genus : Samanea Spesies : Samanea saman; Nama binomial: Samanea saman (Jacq.) Merr. 8 Tanaman dari keluarga Leguminosae telah diketahui mengandung berbagai senyawa aktif yang secara farmakologi memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi, antirematik, antidiare, antimikroba, dan antimuntah (Trease and Evans, 1987 dalam Ferdous et al., 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ferdous et al. (2010), fraksi karbon tetraklorida dari ekstrak metanol trembesi diketahui memiliki beberapa aktivitas diantaranya antimikroba terhadap beberapa jenis bakteri gram negatif dan gram positif, serta jamur. Aktivitas antibakteri dan antijamur dari fraksi karbon tetraklorida tersebut memiliki daya hambat sedang terhadap E. coli dan S. aureus dengan zona penghambatan masingmasing 7 mm dan 8 mm pada konsentrasi 1,5%. Sebagai antijamur, fraksi karbon tetraklorida pada konsentrasi yang sama yaitu 1,5% menghasilkan zona hambat 7 mm pada C. albicans Kumar et al. (2013) telah melakukan skrining fitokimia terhadap ekstrak etanol daun trembesi dengan hasil positif terhadap alkaloid, flavonoid, karbohidrat, glikosida, dan tanin. Prasad et al. (2008) juga telah melakukan skrining fitokimia dan uji aktivitas antimikroba terhadap bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus serta jamur Candida albicans dari ekstrak air daun trembesi. Skrining fitokimia menunjukkan adanya tanin, flavonoid, saponin, steroid, glikosida kardiak, dan terpenoid dalam ekstrak air daun trembesi. Hasil terhadap uji antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak air daun trembesi dapat menghambat pertumbuhan semua bakteri uji. Daya hambat terhadap pertumbuhan E.coli dapat terjadi pada konsentrasi minimal 5 mg/mL namun daya hambat 9 terhadap S. aureus and C. albicans dapat terjadi pada konsentrasi minimal 10 mg/mL. Raghavendra et al. (2008) melaporkan bahwa ekstrak air daun trembesi dapat menghambat bakteri patogen tanaman (Xanthomonas pathovars, Xanthomonas axonopodis pv. malvacearum, dan Xanthomonas campestris pv. vesicatoria) dan 14 bakteri patogen pada manusia. Thippeswamy et al. (2011) melaporkan aktivitas antibakteri dari enam ekstrak daun trembesi dengan pelarut yang berbeda terhadap 21 mikroorganisme, dengan hasil menunjukkan ekstrak metanol memiliki aktivitas antibakteri dengan zona inhibisi mulai dari 11 mm hingga 3.5 mm pada konsentrasi 1 mg/mL. Ekstrak etanol memberikan hasil maksimal untuk uji antijamur dengan persentase penghambatan mulai dari 20,4% hingga 81,6% pada konsentrasi 1 mg/mL Aktivitas trembesi sebagai antibakteri juga telah dilaporkan oleh Arulpriya dan Hemalatha (2010), trembesi yang diekstrak dengan pelarut petroleum eter, etil asetat, kloroform, dan larutan HCl difraksinasi menggunakan asam klorida, diklorometana, heksana, dan aseton. Keempat fraksi yang diperoleh tersebut diujikan pada bakteri E.coli dan S. aureus, serta jamur Aspergillus flavus dan Candida albicans. Fraksi diklorometana menunjukkan aktivitas antimikroba terbaik terhadap E. coli dan S. aureus. Sedangkan fraksi kloroform dan fraksi diklorometana menunjukkan aktivitas yang baik terhadap Aspergillus niger. Sebaliknya semua fraksi ini menunjukkan aktivitas baik terhadap Candida albicans. 10 2.2 Kandungan Kimia Tumbuhan Senyawa kimia yang terkandung dalam tumbuhan merupakan hasil metabolisme dari tumbuhan itu sendiri. Senyawa kimia yang dihasilkan tersebut secara umum disebut sebagai metabolit primer dan metabolit sekunder (Sitorus, 2010). Senyawa metabolit sekunder lebih dikenal bermanfaat dalam bioaktivitas tumbuhan dan merupakan hasil metabolisme yang tidak merupakan kebutuhan pokok untuk hidup dan tumbuh Metabolit sekunder berfungsi sebagai nutrien darurat untuk mempertahankan eksistensi tumbuhan dalam berinteraksi dengan ekosistem (Sitorus, 2010). Secara khusus, senyawa metabolit sekunder mempunyai fungsi sebagai alat pengikat (attractant) bagi serangga atau hewan lainnya sehingga dapat membantu penyerbukan, sebagai alat penolak (repellant) terhadap gangguan hama atau hewan pemangsanya, dan sebagai alat pelindung (protectant) terhadap kondisi lingkungan fisik yang ekstrim (Cowan, 1999). Penelitian mengenai senyawa metabolit sekunder yang bertanggungjawab sebagai antibakteri telah banyak dilaporkan. Nadhila (2014) melaporkan bahwa senyawa yang bertanggungjawab pada madu sebagai antibakteri Staphylococcus aureus adalah flavonoid. Kurniawan dan Aryana (2015) melaporkan daun binahong (Cassia alata L) memiliki kandungan flavanoid, saponin, terpenoid, dan alkaloid yang berperan sebagai antibakteri. 2.2.1 Alkaloid Alkaloid merupakan senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen dan bersifat optis aktif (Sitorus, 2010). Alkaloid umumnya 11 diisolasi dalam bentuk padatan kristal yang amorf yang memiliki titik didih berkisar 87-238oC dan rasa pahit. Beberapa alkaloid juga berbentuk cairan, contohnya adalah nikotin dan konini (Harborne, 1987). Sebagian besar alkaloid tidak berwarna namun beberapa senyawa alkaloid berupa senyawa kompleks aromatik berwarna. Pada umumnya alkaloid larut dalam pelarut organik namun ada beberapa yang larut dalam air seperti pseudoalkaloid dan protoalkaloid, bahkan garam alkaloid dan alkaloid kuartener sangat larut dalam air (Sitorus, 2010). Terkait dengan adanya aktivitas antibakteri pada alkaloid, mekanisme alkaloid sebagai antibakteri diduga terjadi melalui perusakan ikatan silang komponen penyusun peptidoglikan pada dinding sel bakteri sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan sel bakteri lisis dan mati. Selain itu, mekanisme alkaloid sebagai antibakteri terjadi melalui penghambatan enzim topoisomerase yang mempunyai peran sangat penting dalam proses replikasi, transkripsi, dan rekombinasi DNA dengan cara memotong dan menyambungkan untai tunggal atau untai ganda DNA (Campbell, 2010 dalam Taufiq dkk., 2015 dan Cowan, 1999). Alkaloid dapat dideteksi salah satunya dengan metode Culvenor Fitsgerald menggunakan pereaksi Mayer, Dragendorf, dan Bouchardat (Harborne, 1987). Pada penambahan Mayer, hasil positif ditandai dengan terbentuknya endapan berwarna putih atau kuning. Hasil positif Dragendorff ditunjukkan dengan terbentuknya endapan berwarna merah bata. Penambahan memberikan hasil positif jika terbentuk endapan coklat sampai hitam. Bouchardat 12 2.2.2 Terpenoid dan steroid Terpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya tersusun dari penyambungan dua atau lebih isoprena (CH2=C-(CH3)-CH-CH2) (Harborne, 1987). Senyawa ini dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan jumlah satuan isoprena yang terdapat dalam senyawa tersebut yaitu monoterpenoid (C10), seskuiterpenoid (C15), diterpenoid (C20), triterpenoid (C25), tetraterpenoid (C30), dan poliisoprena (Cn). Terpenoid memiliki sifat larut dalam lemak (Harborne, 1987) Steroid adalah terpenoid yang kerangka dasarnya berupa sistem cincin siklopentana perhidrofenantren dengan 17 atom karbon membentuk tiga cincin sikloheksana dan satu cincin siklopentana (Sitorus, 2010). Steroid merupakan golongan senyawa metabolit sekunder yang banyak dimanfaatkan sebagai obat serta lebih dikenal berfungsi sebagai hormon. Hormon steroid pada umumnya diperoleh dari senyawa-senyawa steroid alam terutama dalam tumbuhan (Sitorus, 2010). Terpenoid dan steroid dapat dideteksi salah satunya dengan cara pengendapan menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard (asam asetat anhidrida dan H2SO4 pekat dalam kloroform) (Harborne, 1987). Perubahan warna menjadi kemerahan atau merah muda serta violet menunjukkan bahwa suatu tumbuhan mengandung terpenoid. Apabila perubahan warna menjadi biru kehijauan maka tumbuhan positif mengandung steroid. Mekanisme terpenoid sebagai antibakteri adalah bereaksi dengan protein transmembran atau porin pada membran luar dinding sel bakteri, membentuk 13 ikatan polimer yang kuat (Cowan, 1999). Adanya reaksi polimerisasi tersebut mengakibatkan rusaknya porin. Rusaknya porin menyebabkan fungsi dinding sel sebagai pintu keluar masuk senyawa mengalami gangguan akibat berkurangnya permeabilitas dinding sel. Mekanisme tersebut mengakibatkan sel bakteri kekurangan nutrisi, sehingga pertumbuhan bakteri terhambat atau mati (Cowan, 1999). Selain itu, menurut laporan Daisy et al. (2008), aktivitas yang dapat terjadi adalah penghambatan aktivitas enzim autolisin pada S. aureus dengan membentuk interaksi yang kuat pada sisi aktif residu enzim. Enzim autolisin merupakan enzim yang terdapat pada peptidoglikan dinding sel bakteri yang berperan dalam proses pertumbuhan sel, peremajaan dinding sel, pembentukan peptidoglikan, dan pembelahan sel. Penghambatan aktivitas autolisin dapat mengurangi permeabilitas dinding sel bakteri yang merupakan pintu keluar masuknya senyawa sehingga sel bakteri kekurangan nutrisi, pertumbuhannya terhambat, dan mati. 2.2.3 Senyawa fenolik Senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mengandung satu atau lebih gugus hidroksil yang terikat pada cincin aromatik. Zat ini berperan dalam memberi warna pada tumbuhan. Senyawa fenol cenderung larut dalam air karena umumnya berikatan dengan gula sebagai glikosida dan biasanya terdapat pada vakuola sel (Sitorus, 2010). Uji kualitatif senyawa fenol dapat dilakukan dengan menggunakan pereaksi FeCl3 (Harborne, 1987 dan Sitorus, 2010). Bila terbentuk warna biru ungu kehitaman maka uji positif terhadap senyawa fenolik. 14 2.2.4 Flavonoid Flavonoid merupakan suatu senyawa terbesar di alam dan merupakan kelompok senyawa fenol. Senyawa ini memiliki kerangka dasar yang terdiri atas 15 atom karbon. Markham (1988) menyatakan bahwa golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai deretan senyawa C6-C3-C6 yang berarti bahwa kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6 (cincin benzena tersubtitusi) disambungkan oleh rantai alifatik tiga-karbon (rantai propana). Flavonoid yang terdapat di alam dapat berupa flavonoid glikosida dan aglikon, namun sebagian besar ditemukan dalam bentuk glikosida. Flavonoid aglikon merupakan flavonoid yang tidak mengikat gula dan bersifat kurang polar sehingga lebih mudah larut dalam pelarut eter atau kloroform. Sedangkan flavonoid glikosida pada umumnya mudah larut dalam air atau campuran pelarut yang polar karena adanya pengaruh gula yang terikat pada inti flavonoid. Ikatan glikosida dapat terbentuk apabila gugus hidroksil dari alkohol diadisi oleh gugus karbonil dari gula (Harborne, 1987). Flavonoid memiliki mekanisme kerja hampir sama dengan senyawa fenolik lain seperti tanin dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Mekanisme yang dilakukan yaitu dengan cara inaktivasi protein (enzim) pada membran sel bakteri (Cowan, 1999). Adanya inaktivasi ini mengakibatkan struktur protein menjadi rusak sehingga dinding sel dan membran sitoplasma tidak stabil. Ketidakstabilan tersebut menyebabkan fungsi permeabilitas selektif, fungsi pengangkutan aktif, pengendalian susunan protein dari sel bakteri menjadi 15 terganggu, yang berakibat pada hilangnya makromolekul dan ion dari sel, sehingga sel bakteri menjadi kehilangan bentuk dan terjadi lisis (Cowan, 1999). Uji fitokimia flavonoid dilakukan dengan test Wilstatter, Bate SmithMetcalfe, dan reaksi menggunakan NaOH 0,1M (Harborne, 1987). Test Wilstatter dapat dilakukan dengan penambahan HCl pekat dan 2-3 potong kecil logam Mg atau serbuk Mg, Reaksi positif apabila memberikan warna orange-merah. Test Bate Smith-Metcalfe dilakukan dengan penambahan HCl pekat dan pemanasan selama 15 menit diatas penangas air. Reaksi positif ditunjukkan oleh terbentuknya warna merah. Pengujian dengan NaOH 0,1 M, memberikan hasil positif yang ditandai dengan perubahan warna menjadi kuning. 2.2.5 Saponin Saponin merupakan glikosida dari steroid, steroid alkaloid, atau steroid dengan suatu fungsi nitrogen maupun triterpenoid yang ditemukan pada tanaman. Saponin tersebar luas diantara tanaman tinggi yang memberikan rasa pahit menusuk, menyebabkan bersin dan sering mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir (Sitorus, 2010). Senyawa saponin melakukan mekanisme penghambatan dengan cara membentuk senyawa kompleks dengan membran sel melalui ikatan hidrogen, sehingga dapat menghancurkan sifat permeabilitas dinding sel dan akhirnya dapat menimbulkan kematian sel (Cowan, 1999). Selain itu, Zahro dan Agustini (2013) melaporkan bahwa saponin mampu menurunkan tegangan permukaan dinding sel bakteri karena saponin memiliki sifat sama seperti surfaktan yang dapat menarik air dan melarutkan lemak pada dinding sel (Zahro dan Agustini, 2013). Apabila 16 tegangan permukaan dinding sel bakteri menurun, maka saponin membentuk kompleks dengan sterol menghasilkan single ion channel. Adanya single ion channel menyebabkan ketidakstabilan membran sel sehingga menghambat aktivitas enzim, terutama enzim-enzim yang berperan dalam transpor ion yang sangat berperan dalam kehidupan bakteri. Selain itu, penurunan tegangan permukaan juga menyebabkan hancurnya protein dinding sel sehingga bakteri mengalami lisis dan kematian (Zahro dan Agustini, 2013). Keberadaan saponin dapat dideteksi berdasarkan kemampuanya membentuk busa atau uji busa. Suatu sampel ekstrak tumbuhan dapat dinyatakan positif saponin apabila sampel yang dilarutkan dalam air menimbulkan buih yang stabil ketika dikocok (Harbone, 1987). 2.3 Bakteri Bakteri adalah mikroorganisme uniseluler yang tidak memiliki klorofil, sel bakteri mirip dengan sel tumbuhan atau hewan terdiri atas sitoplasma dan dinding sel (Pratiwi, 2008). Bakteri berkembang biak dengan cara pembelahan diri yang hanya dapat dilihat menggunakan mikroskop. Berdasarkan pewarnaan Gram, bakteri dibedakan menjadi bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Prosedur pewarnaan Gram ditemukan oleh ilmuwan Denmark bernama Christian Gram dan merupakan prosedur penting dalam klasifikasi bakteri. (Jawetz et al., 1995). Bakteri Gram positif adalah bakteri yang mempertahankan zat warna kristal violet pada proses pewarnaan gram sehingga berwarna ungu di bawah mikroskop. Sedangkan bakteri Gram negatif merupakan bakteri yang tidak 17 mampu mempertahankan warna kristal violet pada dinding selnya saat perwarnaan gram dilakukan (Jawetz et al., 1995). Perbedaan bakteri Gram positif dan negatif didasarkan pada perbedaan struktur dinding. Secara umum perbedaan bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif dapat dilihat dari beberapa karakteristik dan sifat seperti yang tersedia pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Perbedaan Bakteri Gram Negatif dan Bakteri Gram Positif Sifat Dinding sel : Lapisan Peptidoglikan Kadar Lipid Toksin yang dibentuk Sifat tahan asam Sensitifitas terhadap antibiotik Sensitifitas terhadap senyawa alkali Kelarutannya oleh 1% KOH Bakteri Gram Positif Bakteri Gram Negatif Lebih tebal 1 – 4% Eksotoksin Ada yang tahan asam Lebih tipis 11 – 22% Endotoksin Tidak tahan asam Sensitif terhadap streptomisin Sensitif terhadap alkali Larut oleh 1% KOH Sensitif terhadap penisilin Resisten terhadap senyawa alkali Tidak larut oleh 1% KOH Sumber: Pelczar dan Chan, 2010 Selain itu, penggolongan kedua jenis bakteri ini dapat dijelaskan dengan menggunakan dua teori yaitu Teori Salton dan Teori Permeabilitas Sel (Pelczar dan Chan, 2010). a) Teori Salton Teori ini menjelaskan perbedaan bakteri Gram positif dan Gram negatif berdasarkan kadar lipid yang terkandung dalam dinding sel nya. Pada bakteri gram negatif dinding sel tersusun oleh kandungan lipid tinggi (20%). Zat lipid ini 18 larut selama pencucian dengan alkohol. Pori–pori pada dinding sel membesar, sehingga zat warna yang sudah diserap mudah dilepaskan dan bakteri menjadi tidak berwarna. Bakteri Gram positif mengalami denaturasi protein pada dinding selnya oleh pencucian dengan alkohol. Protein menjadi keras dan beku serta poripori mengecil sehingga kompleks ungu kristal iodium dipertahankan dan sel bakteri tetap berwarna ungu. Bila dinding sel dilarutkan dengan lisosim maka terbentuklah protoplasma. Sel melepaskan kompleks ungu kristal iodium setelah dicuci dengan alkohol. Jadi dinding sel menahan keluarnya zat warna ungu. Teori inilah yang dapat menjelaskan alasan bakteri Gram positif dapat mempertahankan warna ungu dengan uji menggunakan iodium (Pelczar dan Chan, 2010). b) Permeabilitas dinding sel Teori ini menjelaskan perbedaan kedua jenis bakteri menjadi Gram positif dan Gram negatif berdasarkan tebal tipisnya lapisan peptidoglikan dalam dinding sel. Bakteri Gram positif mempunyai susunan dinding sel yang kompak dengan lapisan peptidoglikan yang terdiri dari 30 lapisan. Peptidoglikan adalah komponen utama dinding sel bakteri yang bersifat kaku dan bertanggungjawab untuk menjaga integritas sel serta menentukan bentuknya. Tebalnya lapisan peptidoglikan tersebut menyebabkan permeabilitas kurang dan komplek ungu kristal iodium tidak dapat keluar sel. Bakteri gram negatif mempunyai lapisan peptidoglikan yang tipis, hanya 1-2 lapisan dan susunan dinding sel tidak kompak. Tipisnya lapisan tersebut menyebabkan permeabilitas dinding sel lebih besar, sehingga masih memungkinkan terlepasnya kompleks ungu kristal iodium (Pelczar dan Chan, 2010). 19 2.4 Bakteri Escherichia coli Escherichia coli (E. coli) merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang pendek yang memiliki panjang sekitar 2 µm; diameter 0,7 µm; lebar 0,40,7 µm, bersifat anaerob fakultatif. E. coli membentuk koloni yang bundar, cembung, dan halus dengan tepi yang nyata (Jawetz et al., 1995). E. coli merupakan bakteri heterotrof yang memperoleh makanan berupa zat organik dari lingkungannya karena tidak dapat menyusun sendiri zat organik yang dibutuhkana sehingga diperoleh dari sisa organisme lain. Bentuk mikroskopis E. coli dapat dilihat pada Gambar 2.2 dengan klasifikasi berikut. Kingdom : Eubacteria Divisi : Proteobacteria Class : Gamma Proteobacteria Ordo : Enterobacteriales Famili : Enterobacteriaceae Genus : Escherichia Species : Escherichia coli (Todar, 2008) Escherichia coli merupakan flora normal usus yang berperan penting dalam sintesis vitamin K, konversi pigmen-pigmen empedu, asam-asam empedu, dan penyerapan zat-zat makanan (Haribi dan Yusron, 2010). Apabila jumlahnya meningkat, maka E. coli akan menjadi patogen sehingga dapat menimbulkan penyakit. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh terlalu banyaknya jumlah E. coli dalam tubuh yaitu infeksi saluran kemih, diare atau gangguan pencernaan 20 lainnya, sepsis, meningitis (E. coli dan S. aureus adalah penyebab utama meningitis pada bayi) (Jawetz et al., 1995). Gambar 2.2 Bentuk Mikroskopis Koloni E. coli (Sciencedaily, 2009) Peningkatan jumlah E. coli dapat terjadi melalui air yang terkontaminasi kotoran manusia yang terinfeksi. Selain itu penularan juga dapat terjadi melalui kontak dari pekerja yang terinfeksi selama proses pembuatan makanan sehingga E. coli dapat menjadi salah satu penyebab penularan penyakit melalui makanan (Foodborne disease) (Sanjaya dan Apriliana, 2009). 2.5 Bakteri Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif yang tersusun dalam rangkaian seperti anggur yang tidak beraturan dengan diameter 0,7-1,2 µm, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25ºC) (Paryati, 2002 dalam Dewi, 2013). Bentuk mikroskopis S. aureus dapat dilihat pada Gambar 2.3, dengan klasifikasi sebagai berikut. 21 Kingdom : Bacteria Divisi : Firmicutes Class : Bacili Ordo : Bacillales Famili : Staphylococcaceae Genus : Staphylococcus Species : Staphylococcus Aureus (Seubert, 2008) Gambar 2.3 Bentuk Mikroskopis Koloni S. aureus (Afshinnekoo et al., 2015) Staphylococcus aureus dapat memproduksi toksin dan dapat mengkontaminasi dan meracuni makanan dan merupakan merupakan flora normal pada lapisan mukosa kulit dan selaput mukosa manusia. Apabila jumlahnya terlalu banyak dan terjadi luka maka dapat menyebabkan penanahan dan abses (Jawetz et al., 1995). S. aureus yang patogen bersifat invasif, menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan manitol sehingga menyebabkan infeksi (Elliot et al., 2013). Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai abses bernanah seperti pada penyakit infeksi ringan yaitu jerawat dan bisul. S. aureus bahkan dapat menyebabkan infeksi berat 22 seperti osteomielitis, endokarditis, dan furunkulosis. S. aureus juga merupakan penyebab utama infeksi nosokomial pada luka pasca operasi (Jawetz et al., 1995). 2.6 Zat Antibakteri Zat antibakteri adalah zat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan dapat digunakan untuk kepentingan pengobatan infeksi pada manusia, hewan, dan tumbuhan (Schunack 1990 dalam Aulya, 2012). Aktivitas antibakteri ditentukan oleh interaksi zat tersebut dengan bakteri sehingga kualitas zat antibakteri dapat ditentukan berdasarkan afinitas obat terhadap reseptor yang terdapat dalam sel bakteri (Martina et al., 2012). Aktivitas antibakteri yang dihasilkan oleh suatu senyawa dapat terjadi karena adanya beberapa mekanisme antara zat antibakteri tersebut dengan bakteri. Secara umum, aktivitas dari zat antibakteri terjadi melalui beberapa mekanisme (Chusni & Lamb, 2005) yaitu: a) Mengganggu proses sintesis dinding sel Zat antibakteri dapat mengganggu sintesis dinding sel bakteri dengan cara merusak lapisan peptidoglikan. Perusakan terjadi melalui pencegahan ikatan silang peptidoglikan pada tahap akhir sintesis dinding sel dengan cara menghambat protein pengikat penisilin (penicillin binding protein). Protein ini merupakan enzim dalam membran plasma bakteri yang secara normal terlibat dalam penambahan asam amino yang berikatan silang dengan peptidoglikan dinding sel bakteri. Rusaknya lapisan penyusun ini menyebabkan dinding sel yang terbentuk menjadi kurang sempurna dan tidak tahan terhadap tekanan osmosis, 23 sehingga menyebabkan mudah pecahnya sel atau lisis (de Kruijff et al., 2008; Yount and Yeaman, 2013 dalam Guilhelmelli et al., 2013). b) Merusak membran plasma Zat antibakteri bekerja langsung pada membran plasma mikroorganisme, meningkatkan permeabilitas dan menyebabkan kebocoran sel intraselular. Membran plasma bersifat semipermiabel dan mengendalikan transport berbagai metabolit ke dalam dan luar sel. Adanya kerusakan struktur pada membran plasma sebagai penghalang osmosis dan mengganggu sejumlah proses biosintesis yang diperlukan dalam membran (Chusni & Lamb, 2005). c) Mengganggu sintesis protein sel Enzim dan struktur selular bakteri tersusun dari protein. Sintesis protein adalah proses penting yang diperlukan untuk multiplikasi dan kelangsungan hidup semua sel bakteri. Beberapa jenis zat antibakteri menargetkan sintesis protein bakteri dengan mengikat baik subunit 30S atau 50S dari ribosom intraseluler. Mekanisme ini mengakibatkan terganggunya sintesis asam-asam amino dan menghasilkan protein yang inaktif yang selanjutnya mengganggu metabolisme sel normal bakteri, dan menyebabkan kematian organisme atau penghambatan pertumbuhan dan multiplikasi (Pratiwi, 2008). d) Mengganggu sintesis asam nukleat Deoxyribonucleic acid (DNA) dan Ribonucleic acid (RNA) adalah kunci untuk replikasi semua bentuk hidup, termasuk bakteri. Beberapa zat antibakteri bekerja dengan mengikat komponen yang terlibat dalam proses sintesis DNA atau 24 RNA, yang menyebabkan gangguan proses sel normal yang pada akhirnya akan mengganggu multiplikasi bakteri dan kelangsungan hidup (Pratiwi, 2008). e) Antimetabolit Antimetabolit merupakan substansi yang secara kompetitif menghambat metabolit mikroorganisme, karena memiliki struktur yang mirip dengan substrat normal untuk proses metabolisme sehingga proses metabolisme terhenti (Chusni & Lamb, 2005). 2.7 Uji Aktivitas Antibakteri Menurut Pratiwi (2008) pengujian aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan dua metode yaitu dilusi dan difusi agar. 2.7.1. Metode dilusi a) Dilusi cair (broth dilution test) Dilusi cair dilakukan dengan mencampurkan zat antibakteri pada media cair dengan pH 7-7,4 kemudian diencerkan dengan menggunakan beberapa tabung reaksi. Campuran dimasukkan pada suspensi bakteri yang mengandung bakteri uji yang telah disuspensikan dengan NaCl steril atau dengan TSB, yang tiap milimeternya mengandung kurang lebih 105-106 bakteri (Pratiwi 2008). Suspensi tersebut kemudian diinkubasikan pada suhu 37oC selama 18-24 jam dan diamati pertumbuhan bakterinya berdasarkan pada kekeruhan suspensi. Tabung yang keruh menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri, sedangkan tabung yang lebih bening menunjukkan bahwa zat antibakteri dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang diuji (Jawetz et al., 1995). 25 b) Dilusi padat (solid dilution test) Zat antibakteri dicampur sampai homogen pada agar steril yang masih cair dengan suhu serendah mungkin pada berbagai konsentrasi. Larutan tersebut kemudian dituangkan ke dalam cawan petri steril dan setelah memadat dioleskan bakteri uji pada permukaannya. Pertumbuhan bakteri ditandai oleh adanya kekeruhan setelah 18-24 jam diinkubasi. Apabila media semakin bening artinya zat antibakteri tersebut semakin efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri (Pratiwi 2008). 2.7.2 Difusi agar Metode difusi agar dapat dilakukan melalui beberapa teknik (Pratiwi, 2008) berikut. a) Cakram kertas Teknik cakram kertas dilakukan pada medium agar dalam cawan petri yang diinokulasi dengan bakteri uji. Zat antibakteri yang akan diuji ditambahkan pada cakram kertas dan didiamkan hingga mengering, kemudian cakram-cakram tersebut diletakkan pada permukaan media agar dan diinkubasi 18-24 jam. Selama inkubasi maka zat uji yang ditambahkan dalam cakram berdifusi ke dalam agar. Apabila terdapat aktivitas antibakteri zat uji, maka akan terlihat zona inhibisi (zona bening) di sekeliling kertas cakram. Diameter zona inhibisi ini sebanding dengan konsentrasi, kelarutan, koefisien difusi, dan efektivitas antibakteri zat uji (Pelczar dan Chan, 2011). 26 b) Silinder Teknik ini dilakukan dengan meletakkan silinder pada permukaan agar padat yang telah diinokulasi bakteri. Zat uji dimasukkan ke dalam silinder, kemudian diinkubasi. Aktivitas antibakteri terlihat sebagai zona inhibisi atau zona bening di sekeliling silinder (Pratiwi, 2008). c) Teknik perforasi Teknik perforasi menggunakan perforator untuk membuat lubang-lubang pada agar padat yang telah diinokulasi dengan bakteri uji, lalu zat uji dimasukkan ke dalam lubang-lubang tersebut. Aktivitas antibakteri dapat terlihat sebagai daerah inhibisi atau zona bening yang terbentuk di sekeliling lubang (Pratiwi, 2008). 2.8 Media Uji Antibakteri Media adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan untuk menumbuhkan dan mengembangbiakkan mikroba. Media yang digunakan harus dalam keadaan steril dengan tujuan agar tidak ada mikroba lain yang tidak diharapkan tumbuh sebelum media tersebut ditumbuhi mikroba yang akan diujikan. Sterilisasi media di laboratorium memanfaatkan tekanan yang disebabkan uap air pada suhu mencapai 121oC. Sterilisasi dapat terlaksana bila mencapai tekanan 15 psi dengan suhu 121oC selama 15 menit. Media biakan yang telah disterilkan harus diberi penutup agar tidak dicemari oleh mikroorganisme yang terdapat disekelilingnya (Pratiwi, 2008). 27 Media dibedakan menjadi tiga jenis yaitu sebagai berikut : a) Media cair, yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan termasuk membiakkan dan menumbuhkan mikroba misalnya Laktosa Broth, Nutrient Broth dan lain sebagainya b) Media padat, yang dapat digunakan untuk menumbuhkan mikroba pada permukaannya sehingga membentuk koloni yang dapat dilihat, dihitung atau diisolasi misalnya Nutrient Agar, Mueller Hinton Agar, dan lain-lain. c) Media Setengah Padat, yang mempunyai kosistensi diantara media cair dan media padat 2.9 Konsentrasi Hambat Minimum Konsentrasi hambat minimum (KHM) adalah konsentrasi terkecil suatu zat atau obat yang masih dapat menghambat pertumbuhan bakteri (Mahon dan Manuselis, 1995 dalam Efendi dan Hertiani, 2013). KHM sangat penting ditentukan untuk mengetahui dosis efektif terkecil dari obat dan memberikan indek perbandingan dengan obat yang lain. Menurut Mahon dan Manuselis (1995) dalam Efendi dan Hertiani (2013), aktivitas antibakteri tertentu dapat ditingkatkan dari bakteriostatik menjadi bakteriosida apabila kadar antibakteri ditingkatkan melebihi harga KHM. Respon hambat pertumbuhan dari zat antibakteri dapat digolongkan seperti pada Tabel 2.2. 28 Tabel 2.2 Klasifikasi Respon Hambatan Pertumbuhan Mikroba Diameter Zona Bening < 5 mm 5 – 10 mm >10 – 20 mm > 20 mm Respon Hambatan Pertumbuhan Lemah Sedang Kuat Sangat kuat Sumber: Ardiansyah (2005) 2.10 Toksisitas Akut Toksisitas adalah efek merugikan yang timbul setelah pemberian suatu bahan sebagai dosis tunggal yang diberikan dalam 24 jam (Ngatidjan, 2006). Toksisitas akut ditentukan dengan melakukan penelitian pada hewan percobaan untuk evaluasi keamanan dari kandungan kimia bahan uji. Evaluasi keamanan melalui uji toksisitas akut dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi tentang rentang dosis yang mematikan hewan uji (Lethal dose atau LD) (Ngatidjan, 2006). Hewan uji yang dapat digunakan adalah mencit, tikus, dan anjing yang sehat dan berasal dari satu galur yang jelas. Menurut Weil dalam Ngatidjan (2006), untuk uji toksisitas minimal digunakan empat peringkat dosis, yang mana untuk tiap peringkat dosis minimal terdiri dari empat ekor hewan uji. Jumlah kematian hewan uji dipakai sebagai ukuran untuk efek toksik suatu bahan pada sekelompok hewan uji. Jika hewan uji merupakan subjek maka respon berupa kematian merupakan suatu respon diskretik yang berarti hanya ada dua macam respon yaitu ada atau tidak ada kematian (Ngatidjan, 2006). Pemberian bahan yang diteliti harus disesuaikan pemberiannya pada manusia, sehingga dapat 29 mempermudah dalam melakukan ekstrapolasi dari hewan ke manusia (Ngatidjan, 2006). Sediaan yang akan diuji dipersiapkan menurut cara yang sesuai dengan karakteristik bahan kimia tersebut, dan tidak diperbolehkan adanya perubahan selama waktu pemberian. Untuk pemberian per oral ditentukan standar volume maksimal yang sesuai dengan hewan uji seperti Tabel 2.3. Selanjutnya, penentuan LD50 dilakukan dengan cara menghitung jumlah kematian hewan uji yang terjadi dalam 24 jam pertama sesudah pemberian dosis tunggal bahan. Namun demikian, kematian dapat terjadi sesudah 24 jam pertama karena proses keracunan dapat berjalan lambat. Gejala keracunan yang muncul sesudah 24 jam menunjukkan bahwa bahan obat mempunyai titik tangkap kerja pada tingkat yang lebih bawah sehingga gejala keracunan dan kematian seolah-olah tertunda (delayed toxicity). Oleh karena itu banyak ahli berpendapat bahwa gejala keracunan perlu diamati sampai 7 hari (Ngatidjan, 2006). Tabel 2.3 Daftar Volume Maksimal Bahan Uji pada Pemberian Secara Oral Jenis Hewan Berat Rerata Volume Maksimal Mencit Tikus putih Hamster Marmot Kelinci Kucing Anjing 20-30 g 100 g 50g 250 g 2500 g 3000 g 5000 g 1 mL 5 mL 2,5 mL 10 mL 20 mL 50 mL 100 mL Sumber : Ngatidjan, 2006 30 2.11 Metode Pengujian Toksisitas Akut Pengujian toksisitas akut LD50 dapat dilakukan salah satunya dengan metode C.S Weil (1952). Ketepatan dengan taraf kepercayaan tertentu dapat tercapai dengan memanfaatkan tabel yang dibuat oleh Thompson dan Weil (1952). Pada penggunaan tabel itu, percobaan harus memenuhi beberapa syarat berikut. 1. Jumlah hewan uji tiap kelompok peringkat dosis sama. 2. Interval merupakan kelipatan (d) atau faktor geometrik (R) tetap. 3. Jumlah kelompok paling tidak 4 peringkat dosis. LD50 dapat dihitung dengan rumus : Log (LD50 ) = log D + d (f+1) D = dosis terendah d = logaritma kelipatan dosis f = faktor yang diperoleh dari tabel Thompson dan Weil (dilihat dari nilai r yaitu banyaknya hewan coba yang mati tiap perlakuan) Harga LD50 menunjukkan nilai ketoksikan suatu bahan yang ditunjukkan pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Klasifikasi Zat Kimia Sesuai dengan Toksisitas Relatifnya Kategori Supertoksik Amat sangat toksik Sangat toksik Toksik sedang Toksik ringan Praktis tidak toksik LD50 < 5 mg/kgBB 5 - 50 mg/kg BB 50-500 mg/kg BB 0,5 -5 g/kgBB 5 - 15 g/kgBB >15 g/kg BB Sumber : Canadian Centre for Occupational Health & Safety, 2016 31 2.12 Ekstraksi Ekstraksi adalah teknik pemisahan suatu campuran beberapa komponen menjadi komponen yang terpisah (Wonorahardjo, 2013). Pada umumnya senyawa aktif pada tanaman diperoleh dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut. Pada proses ekstraksi, senyawa metabolit sekunder dapat tertarik ke luar dari dalam tumbuhan oleh pelarut karena terjadi pembengkakan dinding sel dan pelonggaran kerangka selulosa dinding sel sehingga pori-pori dinding sel menjadi melebar. Pelebaran dinding sel menyebabkan pelarut dapat dengan leluasa masuk ke dalam sel. Bahan isi sel, yang mana di dalamnya terdapat senyawa-senyawa metabolit sekunder yang memiliki bioaktivitas tertentu kemudian terlarut dalam pelarut sesuai dengan tingkat kelarutannya lalu berdifusi keluar akibat adanya gaya yang ditimbulkan perbedaan konsentrasi bahan terlarut yang terdapat di dalam dan di luar sel (Pambayun dkk., 2007). Perbedaan struktur kimia akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat, dan derajat keasaman. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan organik, senyawa yang ingin diisolasi, dan daya penyesuaian dengan tiga macam metode ekstraksi yaitu metode maserasi, sokhletasi, dan perkolasi. Maserasi merupakan metode yang paling banyak dipergunakan karena relatif sederhana, dan tidak membutuhkan pemanasan sehingga aman untuk komponen yang tidak stabil pada pemanasan. Metode ini digunakan dengan cara merendam sampel dengan pelarut yang sesuai, baik murni maupun campuran dan 32 terlindung dari cahaya langsung sehingga mencegah reaksi yang dikatalisis cahaya atau perubahan warna (Harborne, 1987). Setiap waktu tertentu, misalnya 24 jam filtrat diambil dan residu sampel ditambahi pelarut baru. Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel karena hampir semua metabolit yang diperkirakan ada dalam sampel terekstrak. Proses tersebut umumnya ditandai dengan warna filtrat yang lebih bening. Hasil dari proses ekstraksi dikumpulkan untuk penelitian tahap selanjutnya. Metode sokhletasi digunakan untuk mengekstrak komponen kimia dengan menggunakan serangkaian alat sokhlet. Penggunaan sokhlet dapat menghemat pelarut yang digunakan, umumnya digunakan untuk mengekstrak komponen yang jumlahnya sedikit, namun komponen yang akan diekstrak harus relatif tahan terhadap panas (Harborne, 1987). Pada metode sokhlet, pelarut (dalam labu yang direndam penangas air pada suhu tertentu) dipanaskan, kemudian uap pelarut akan naik ke bagian atas sokhlet dan didinginkan oleh air dingin yang mengalir secara terus menerus pada kondensor. Uap pelarut akan mengembun kembali dan mengalir ke bawah membasahi atau merendam sampel. Sampel akan terendam secara kontinyu dalam pelarut yang selalu dalam keadaan bersih. Metode perkolasi dilakukan dengan cara melewatkan pelarut yang tidak mudah menguap tetes demi tetes pada sampel yang diekstrak. Prosesnya dilakukan secara terus menerus hingga filtrat yang dihasilkan bening. Metode perkolasi jarang digunakan dalam ekstraksi karena membutuhkan pelarut yang lebih banyak. 33 Persiapan yang umumnya dilakukan sebelum ekstraksi adalah dengan melakukan proses pengeringan tanpa adanya peran sinar matahari yang dapat menimbulkan reaksi yang merusak senyawa aktif dalam sampel. Setelah kering, dilakukan penghalusan atau penghancuran dengan derajat kehalusan tertentu, kemudian diekstraksi dengan salah satu metode ekstraksi serta pelarut yang telah ditentukan. Hasil ekstraksi dari ketiga metode berupa filtrat. Untuk mendapatkan larutan ekstrak yang pekat dari filtrat maka pelarut dari ekstrak dapat diuapkan dengan menggunakan alat rotary evaporator (Harborne, 1987). Pada umumnya ekstrak yang dihasilkan dari ekstraksi awal disebut ekstrak kasar (crude extract) yang mengandung campuran senyawa-senyawa metabolit sekunder dari sampel uji. Pemilihan pelarut sangat penting untuk mengekstraksi senyawa aktif yang bermanfaat sebagai antibakteri. Menurut Cowan (1999), senyawa polifenol yang terdapat pada tumbuhan dan banyak dilaporkan berfungsi sebagai antibakteri umumnya diekstrak dengan metanol dan etanol. Sementara itu, penelitian yang dilakukan Thippeswamy (2011) mengenai aktivitas antibakteri daun trembesi menggunakan beberapa pelarut yaitu air, petroleum eter, kloroform, metanol, dan etanol, memberikan hasil bahwa pelarut etanol dan metanol merupakan pelarut yang dapat memberikan aktivitas antibakteri yang lebih baik terhadap beberapa jenis bakteri serta mampu mengekstraksi senyawa golongan polifenol, khususnya flavonoid Senyawa aktif antibakteri yang sebagian besar berupa polifenol memiliki spektrum luas dengan sifat kelarutan pada suatu pelarut yang berbeda-beda. Hal 34 ini disebabkan oleh gugus hidroksil yang dimiliki oleh senyawa tersebut berbeda jumlah dan posisinya. Dengan demikian, ekstraksi menggunakan berbagai pelarut akan menghasilkan komponen polifenol dan keaktifan yang berbeda (Pambayun dkk., 2007).