6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Trembesi Tanaman

advertisement
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Trembesi
Tanaman trembesi (Samanea saman (Jacq.) Merr.) merupakan tanaman
asli Amerika Selatan bagian utara yang merupakan daerah tropis dan sekarang
dibudidayakan secara luas di daerah tropis, seperti Asia Tenggara. Tanaman
trembesi mempunyai batang yang besar, bulat dan tinggi antara 10-20 meter.
Permukaan batangnya beralur, kasar, dan berwarna coklat kehitam-hitaman
dengan bentuk pohon seperti kanopi. Trembesi memiliki daun majemuk dengan
panjang tangkai sekitar 7-15 cm dan menyirip ganda. Tiap helai daun berbentuk
bulat memanjang dengan panjang antara 2-6 cm dan lebar antara 1-4 cm dengan
tepi daun rata (Staples and Elevitch, 2006). Warna daun hijau dengan permukaan
daun bagian bawah memiliki beludru.
Tanaman trembesi juga merupakan tanaman berbunga dan berbuah
musiman yang umumnya berlangsung pada bulan Mei dan Juni. Bunga trembesi
berwarna putih gradasi merah muda pada bagian ujung atasnya dengan panjang
mencapai 10 cm dari pangkal bunga hingga ujung bulu bunga. Tabung mahkota
berukuran 3,7 cm dan memiliki kurang lebih 20-30 benang sari dengan panjang 35 cm. Buah trembesi berbentuk polong coklat kehitaman dengan panjang 10-20
cm, mempunyai lebar 1,5-2 cm, dan tebal sekitar 0,6 cm. Buah yang berbentuk
polong mengandung sekitar 5-25 biji dengan panjang 1,3 cm. Karakteristik
tanaman trembesi seperti terlihat pada Gambar 2.1.
6
7
(b)
(a)
(c)
(d)
Gambar 2.1
Karakteristik Bagian Tanaman Trembesi (a) pohon, (b) bunga, (c) daun, (d) buah
berbentuk polong (Staples and Elevitch, 2006)
Ciri-ciri daun trembesi dengan bentuk tulang daun menyirip menunjukkan
bahwa trembesi termasuk ke dalam keluarga tanaman polong-polongan (Fabaceae
atau Leguminosae) dengan klasifikasi berikut (Staples and Elevitch, 2006).
Kerajaan : Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Fabales
Famili
: Fabaceae
Subfamili : Mimosoideae
Genus
: Samanea
Spesies
: Samanea saman; Nama binomial: Samanea saman (Jacq.) Merr.
8
Tanaman dari keluarga Leguminosae telah diketahui mengandung
berbagai senyawa aktif yang secara farmakologi memiliki aktivitas sebagai
antiinflamasi, antirematik, antidiare, antimikroba, dan antimuntah (Trease and
Evans, 1987 dalam Ferdous et al., 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Ferdous et al. (2010), fraksi karbon tetraklorida dari ekstrak metanol
trembesi diketahui memiliki beberapa aktivitas diantaranya antimikroba terhadap
beberapa jenis bakteri gram negatif dan gram positif, serta jamur. Aktivitas
antibakteri dan antijamur dari fraksi karbon tetraklorida tersebut memiliki daya
hambat sedang terhadap E. coli dan S. aureus dengan zona penghambatan masingmasing 7 mm dan 8 mm pada konsentrasi 1,5%. Sebagai antijamur, fraksi karbon
tetraklorida pada konsentrasi yang sama yaitu 1,5% menghasilkan zona hambat 7
mm pada C. albicans
Kumar et al. (2013) telah melakukan skrining fitokimia terhadap ekstrak
etanol daun trembesi dengan hasil positif terhadap alkaloid, flavonoid,
karbohidrat, glikosida, dan tanin. Prasad et al. (2008) juga telah melakukan
skrining fitokimia dan uji aktivitas antimikroba terhadap bakteri Escherichia coli
dan Staphylococcus aureus serta jamur Candida albicans dari ekstrak air daun
trembesi. Skrining fitokimia menunjukkan adanya tanin, flavonoid, saponin,
steroid, glikosida kardiak, dan terpenoid dalam ekstrak air daun trembesi. Hasil
terhadap uji antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak air daun trembesi dapat
menghambat pertumbuhan semua bakteri uji. Daya hambat terhadap pertumbuhan
E.coli dapat terjadi pada konsentrasi minimal 5 mg/mL namun daya hambat
9
terhadap S. aureus and C. albicans dapat terjadi pada konsentrasi minimal 10
mg/mL.
Raghavendra et al. (2008) melaporkan bahwa ekstrak air daun trembesi
dapat
menghambat
bakteri
patogen
tanaman
(Xanthomonas
pathovars,
Xanthomonas axonopodis pv. malvacearum, dan Xanthomonas campestris pv.
vesicatoria) dan 14 bakteri patogen pada manusia. Thippeswamy et al. (2011)
melaporkan aktivitas antibakteri dari enam ekstrak daun trembesi dengan pelarut
yang berbeda terhadap 21 mikroorganisme, dengan hasil menunjukkan ekstrak
metanol memiliki aktivitas antibakteri dengan zona inhibisi mulai dari 11 mm
hingga 3.5 mm pada konsentrasi 1 mg/mL. Ekstrak etanol memberikan hasil
maksimal untuk uji antijamur dengan persentase penghambatan mulai dari 20,4%
hingga 81,6% pada konsentrasi 1 mg/mL
Aktivitas trembesi sebagai antibakteri juga telah dilaporkan oleh Arulpriya
dan Hemalatha (2010), trembesi yang diekstrak dengan pelarut petroleum eter, etil
asetat, kloroform, dan larutan HCl difraksinasi menggunakan asam klorida,
diklorometana, heksana, dan aseton. Keempat fraksi yang diperoleh tersebut
diujikan pada bakteri E.coli dan S. aureus, serta jamur Aspergillus flavus dan
Candida albicans. Fraksi diklorometana menunjukkan aktivitas antimikroba
terbaik terhadap E. coli dan S. aureus. Sedangkan fraksi kloroform dan fraksi
diklorometana menunjukkan aktivitas yang baik terhadap Aspergillus niger.
Sebaliknya semua fraksi ini menunjukkan aktivitas baik terhadap Candida
albicans.
10
2.2 Kandungan Kimia Tumbuhan
Senyawa kimia yang terkandung dalam tumbuhan merupakan hasil
metabolisme dari tumbuhan itu sendiri. Senyawa kimia yang dihasilkan tersebut
secara umum disebut sebagai metabolit primer dan metabolit sekunder (Sitorus,
2010). Senyawa metabolit sekunder lebih dikenal bermanfaat dalam bioaktivitas
tumbuhan dan merupakan hasil metabolisme yang tidak merupakan kebutuhan
pokok untuk hidup dan tumbuh
Metabolit
sekunder
berfungsi
sebagai
nutrien
darurat
untuk
mempertahankan eksistensi tumbuhan dalam berinteraksi dengan ekosistem
(Sitorus, 2010). Secara khusus, senyawa metabolit sekunder mempunyai fungsi
sebagai alat pengikat (attractant) bagi serangga atau hewan lainnya sehingga
dapat membantu penyerbukan, sebagai alat penolak (repellant) terhadap gangguan
hama atau hewan pemangsanya, dan sebagai alat pelindung (protectant) terhadap
kondisi lingkungan fisik yang ekstrim (Cowan, 1999).
Penelitian mengenai senyawa metabolit sekunder yang bertanggungjawab
sebagai antibakteri telah banyak dilaporkan. Nadhila (2014) melaporkan bahwa
senyawa yang bertanggungjawab pada madu sebagai antibakteri Staphylococcus
aureus adalah flavonoid. Kurniawan dan Aryana (2015) melaporkan daun
binahong (Cassia alata L) memiliki kandungan flavanoid, saponin, terpenoid, dan
alkaloid yang berperan sebagai antibakteri.
2.2.1 Alkaloid
Alkaloid merupakan senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau
lebih atom nitrogen dan bersifat optis aktif (Sitorus, 2010). Alkaloid umumnya
11
diisolasi dalam bentuk padatan kristal yang amorf yang memiliki titik didih
berkisar 87-238oC dan rasa pahit. Beberapa alkaloid juga berbentuk cairan,
contohnya adalah nikotin dan konini (Harborne, 1987). Sebagian besar alkaloid
tidak berwarna namun beberapa senyawa alkaloid berupa senyawa kompleks
aromatik berwarna. Pada umumnya alkaloid larut dalam pelarut organik namun
ada beberapa yang larut dalam air seperti pseudoalkaloid dan protoalkaloid,
bahkan garam alkaloid dan alkaloid kuartener sangat larut dalam air (Sitorus,
2010).
Terkait dengan adanya aktivitas antibakteri pada alkaloid, mekanisme
alkaloid sebagai antibakteri diduga terjadi melalui perusakan ikatan silang
komponen penyusun peptidoglikan pada dinding sel bakteri sehingga lapisan
dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan sel bakteri lisis dan
mati. Selain itu, mekanisme alkaloid sebagai antibakteri terjadi melalui
penghambatan enzim topoisomerase yang mempunyai peran sangat penting dalam
proses replikasi, transkripsi, dan rekombinasi DNA dengan cara memotong
dan menyambungkan untai tunggal atau untai ganda DNA (Campbell, 2010 dalam
Taufiq dkk., 2015 dan Cowan, 1999).
Alkaloid dapat dideteksi salah satunya dengan metode Culvenor Fitsgerald
menggunakan pereaksi Mayer, Dragendorf, dan Bouchardat (Harborne, 1987).
Pada penambahan Mayer, hasil positif ditandai dengan terbentuknya endapan
berwarna putih atau kuning. Hasil positif Dragendorff ditunjukkan dengan
terbentuknya
endapan
berwarna
merah
bata.
Penambahan
memberikan hasil positif jika terbentuk endapan coklat sampai hitam.
Bouchardat
12
2.2.2 Terpenoid dan steroid
Terpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya tersusun dari
penyambungan dua atau lebih isoprena (CH2=C-(CH3)-CH-CH2) (Harborne,
1987). Senyawa ini dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan jumlah satuan
isoprena yang terdapat dalam senyawa tersebut yaitu monoterpenoid (C10),
seskuiterpenoid (C15), diterpenoid (C20), triterpenoid (C25), tetraterpenoid (C30),
dan poliisoprena (Cn). Terpenoid memiliki sifat larut dalam lemak (Harborne,
1987)
Steroid adalah terpenoid yang kerangka dasarnya berupa sistem cincin
siklopentana perhidrofenantren dengan 17 atom karbon membentuk tiga cincin
sikloheksana dan satu cincin siklopentana (Sitorus, 2010). Steroid merupakan
golongan senyawa metabolit sekunder yang banyak dimanfaatkan sebagai obat
serta lebih dikenal berfungsi sebagai hormon. Hormon steroid pada umumnya
diperoleh dari senyawa-senyawa steroid alam terutama dalam tumbuhan (Sitorus,
2010).
Terpenoid dan steroid dapat dideteksi salah satunya dengan cara
pengendapan menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard (asam asetat anhidrida
dan H2SO4 pekat dalam kloroform) (Harborne, 1987). Perubahan warna menjadi
kemerahan atau merah muda serta violet menunjukkan bahwa suatu tumbuhan
mengandung terpenoid. Apabila perubahan warna menjadi biru kehijauan maka
tumbuhan positif mengandung steroid.
Mekanisme terpenoid sebagai antibakteri adalah bereaksi dengan protein
transmembran atau porin pada membran luar dinding sel bakteri, membentuk
13
ikatan polimer yang kuat (Cowan, 1999). Adanya reaksi polimerisasi tersebut
mengakibatkan rusaknya porin. Rusaknya porin menyebabkan fungsi dinding sel
sebagai pintu keluar masuk senyawa mengalami gangguan akibat berkurangnya
permeabilitas dinding sel. Mekanisme tersebut mengakibatkan sel bakteri
kekurangan nutrisi, sehingga pertumbuhan bakteri terhambat atau mati (Cowan,
1999). Selain itu, menurut laporan Daisy et al. (2008), aktivitas yang dapat terjadi
adalah penghambatan aktivitas enzim autolisin pada S. aureus dengan membentuk
interaksi yang kuat pada sisi aktif residu enzim. Enzim autolisin merupakan enzim
yang terdapat pada peptidoglikan dinding sel bakteri yang berperan dalam proses
pertumbuhan sel, peremajaan dinding sel, pembentukan peptidoglikan, dan
pembelahan sel. Penghambatan aktivitas autolisin dapat mengurangi permeabilitas
dinding sel bakteri yang merupakan pintu keluar masuknya senyawa sehingga sel
bakteri kekurangan nutrisi, pertumbuhannya terhambat, dan mati.
2.2.3 Senyawa fenolik
Senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari
tumbuhan, yang mengandung satu atau lebih gugus hidroksil yang terikat pada
cincin aromatik. Zat ini berperan dalam memberi warna pada tumbuhan. Senyawa
fenol cenderung larut dalam air karena umumnya berikatan dengan gula sebagai
glikosida dan biasanya terdapat pada vakuola sel (Sitorus, 2010).
Uji kualitatif senyawa fenol dapat dilakukan dengan menggunakan pereaksi
FeCl3 (Harborne, 1987 dan Sitorus, 2010). Bila terbentuk warna biru ungu
kehitaman maka uji positif terhadap senyawa fenolik.
14
2.2.4 Flavonoid
Flavonoid merupakan suatu senyawa terbesar di alam dan merupakan
kelompok senyawa fenol. Senyawa ini memiliki kerangka dasar yang terdiri atas
15 atom karbon. Markham (1988) menyatakan bahwa golongan flavonoid dapat
digambarkan sebagai deretan senyawa C6-C3-C6 yang berarti bahwa kerangka
karbonnya terdiri atas dua gugus C6 (cincin benzena tersubtitusi) disambungkan
oleh rantai alifatik tiga-karbon (rantai propana).
Flavonoid yang terdapat di alam dapat berupa flavonoid glikosida dan
aglikon, namun sebagian besar ditemukan dalam bentuk glikosida. Flavonoid
aglikon merupakan flavonoid yang tidak mengikat gula dan bersifat kurang polar
sehingga lebih mudah larut dalam pelarut eter atau kloroform. Sedangkan
flavonoid glikosida pada umumnya mudah larut dalam air atau campuran pelarut
yang polar karena adanya pengaruh gula yang terikat pada inti flavonoid. Ikatan
glikosida dapat terbentuk apabila gugus hidroksil dari alkohol diadisi oleh gugus
karbonil dari gula (Harborne, 1987).
Flavonoid memiliki mekanisme kerja hampir sama dengan senyawa
fenolik lain seperti tanin dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Mekanisme
yang dilakukan yaitu dengan cara inaktivasi protein (enzim) pada membran sel
bakteri (Cowan, 1999). Adanya inaktivasi ini mengakibatkan struktur protein
menjadi rusak sehingga dinding sel dan membran sitoplasma tidak stabil.
Ketidakstabilan tersebut menyebabkan fungsi permeabilitas selektif, fungsi
pengangkutan aktif, pengendalian susunan protein dari sel bakteri menjadi
15
terganggu, yang berakibat pada hilangnya makromolekul dan ion dari sel,
sehingga sel bakteri menjadi kehilangan bentuk dan terjadi lisis (Cowan, 1999).
Uji fitokimia flavonoid dilakukan dengan test Wilstatter, Bate SmithMetcalfe, dan reaksi menggunakan NaOH 0,1M (Harborne, 1987). Test Wilstatter
dapat dilakukan dengan penambahan HCl pekat dan 2-3 potong kecil logam Mg
atau serbuk Mg, Reaksi positif apabila memberikan warna orange-merah. Test
Bate Smith-Metcalfe dilakukan dengan penambahan HCl pekat dan pemanasan
selama 15 menit diatas penangas air. Reaksi positif ditunjukkan oleh terbentuknya
warna merah. Pengujian dengan NaOH 0,1 M, memberikan hasil positif yang
ditandai dengan perubahan warna menjadi kuning.
2.2.5 Saponin
Saponin merupakan glikosida dari steroid, steroid alkaloid, atau steroid
dengan suatu fungsi nitrogen maupun triterpenoid yang ditemukan pada tanaman.
Saponin tersebar luas diantara tanaman tinggi yang memberikan rasa pahit
menusuk, menyebabkan bersin dan sering mengakibatkan iritasi terhadap selaput
lendir (Sitorus, 2010).
Senyawa saponin melakukan mekanisme penghambatan dengan cara
membentuk senyawa kompleks dengan membran sel melalui ikatan hidrogen,
sehingga dapat menghancurkan sifat permeabilitas dinding sel dan akhirnya dapat
menimbulkan kematian sel (Cowan, 1999). Selain itu, Zahro dan Agustini (2013)
melaporkan bahwa saponin mampu menurunkan tegangan permukaan dinding sel
bakteri karena saponin memiliki sifat sama seperti surfaktan yang dapat menarik
air dan melarutkan lemak pada dinding sel (Zahro dan Agustini, 2013). Apabila
16
tegangan permukaan dinding sel bakteri menurun, maka saponin membentuk
kompleks dengan sterol menghasilkan single ion channel. Adanya single ion
channel menyebabkan ketidakstabilan membran sel sehingga menghambat
aktivitas enzim, terutama enzim-enzim yang berperan dalam transpor ion yang
sangat berperan dalam kehidupan bakteri. Selain itu, penurunan tegangan
permukaan juga menyebabkan hancurnya protein dinding sel sehingga bakteri
mengalami lisis dan kematian (Zahro dan Agustini, 2013).
Keberadaan
saponin
dapat
dideteksi
berdasarkan
kemampuanya
membentuk busa atau uji busa. Suatu sampel ekstrak tumbuhan dapat dinyatakan
positif saponin apabila sampel yang dilarutkan dalam air menimbulkan buih yang
stabil ketika dikocok (Harbone, 1987).
2.3 Bakteri
Bakteri adalah mikroorganisme uniseluler yang tidak memiliki klorofil, sel
bakteri mirip dengan sel tumbuhan atau hewan terdiri atas sitoplasma dan dinding
sel (Pratiwi, 2008). Bakteri berkembang biak dengan cara pembelahan diri yang
hanya dapat dilihat menggunakan mikroskop. Berdasarkan pewarnaan Gram,
bakteri dibedakan menjadi bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif.
Prosedur pewarnaan Gram ditemukan oleh ilmuwan Denmark bernama Christian
Gram dan merupakan prosedur penting dalam klasifikasi bakteri. (Jawetz et al.,
1995). Bakteri Gram positif adalah bakteri yang mempertahankan zat warna
kristal violet pada proses pewarnaan gram sehingga berwarna ungu di bawah
mikroskop. Sedangkan bakteri Gram negatif merupakan bakteri yang tidak
17
mampu mempertahankan warna kristal violet pada dinding selnya saat
perwarnaan gram dilakukan (Jawetz et al., 1995).
Perbedaan bakteri Gram positif dan negatif didasarkan pada perbedaan
struktur dinding. Secara umum perbedaan bakteri Gram positif dan bakteri Gram
negatif dapat dilihat dari beberapa karakteristik dan sifat seperti yang tersedia
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Perbedaan Bakteri Gram Negatif dan Bakteri Gram Positif
Sifat
Dinding sel :
Lapisan Peptidoglikan
Kadar Lipid
Toksin yang dibentuk
Sifat tahan asam
Sensitifitas terhadap antibiotik
Sensitifitas terhadap senyawa
alkali
Kelarutannya oleh 1% KOH
Bakteri Gram
Positif
Bakteri Gram
Negatif
Lebih tebal
1 – 4%
Eksotoksin
Ada yang tahan asam
Lebih tipis
11 – 22%
Endotoksin
Tidak tahan
asam
Sensitif terhadap
streptomisin
Sensitif terhadap
alkali
Larut oleh 1% KOH
Sensitif terhadap
penisilin
Resisten terhadap
senyawa alkali
Tidak larut oleh 1%
KOH
Sumber: Pelczar dan Chan, 2010
Selain itu, penggolongan kedua jenis bakteri ini dapat dijelaskan dengan
menggunakan dua teori yaitu Teori Salton dan Teori Permeabilitas Sel (Pelczar
dan Chan, 2010).
a) Teori Salton
Teori ini menjelaskan perbedaan bakteri Gram positif dan Gram negatif
berdasarkan kadar lipid yang terkandung dalam dinding sel nya. Pada bakteri
gram negatif dinding sel tersusun oleh kandungan lipid tinggi (20%). Zat lipid ini
18
larut selama pencucian dengan alkohol. Pori–pori pada dinding sel membesar,
sehingga zat warna yang sudah diserap mudah dilepaskan dan bakteri menjadi
tidak berwarna. Bakteri Gram positif mengalami denaturasi protein pada dinding
selnya oleh pencucian dengan alkohol. Protein menjadi keras dan beku serta poripori mengecil sehingga kompleks ungu kristal iodium dipertahankan dan sel
bakteri tetap berwarna ungu. Bila dinding sel dilarutkan dengan lisosim maka
terbentuklah protoplasma. Sel melepaskan kompleks ungu kristal iodium setelah
dicuci dengan alkohol. Jadi dinding sel menahan keluarnya zat warna ungu. Teori
inilah yang dapat menjelaskan alasan bakteri Gram positif dapat mempertahankan
warna ungu dengan uji menggunakan iodium (Pelczar dan Chan, 2010).
b) Permeabilitas dinding sel
Teori ini menjelaskan perbedaan kedua jenis bakteri menjadi Gram positif
dan Gram negatif berdasarkan tebal tipisnya lapisan peptidoglikan dalam dinding
sel. Bakteri Gram positif mempunyai susunan dinding sel yang kompak dengan
lapisan peptidoglikan yang terdiri dari 30 lapisan. Peptidoglikan adalah komponen
utama dinding sel bakteri yang bersifat kaku dan bertanggungjawab untuk
menjaga
integritas
sel
serta
menentukan
bentuknya.
Tebalnya
lapisan
peptidoglikan tersebut menyebabkan permeabilitas kurang dan komplek ungu
kristal iodium tidak dapat keluar sel. Bakteri gram negatif mempunyai lapisan
peptidoglikan yang tipis, hanya 1-2 lapisan dan susunan dinding sel tidak kompak.
Tipisnya lapisan tersebut menyebabkan permeabilitas dinding sel lebih besar,
sehingga masih memungkinkan terlepasnya kompleks ungu kristal iodium
(Pelczar dan Chan, 2010).
19
2.4
Bakteri Escherichia coli
Escherichia coli (E. coli) merupakan bakteri Gram negatif berbentuk
batang pendek yang memiliki panjang sekitar 2 µm; diameter 0,7 µm; lebar 0,40,7 µm, bersifat anaerob fakultatif. E. coli membentuk koloni yang bundar,
cembung, dan halus dengan tepi yang nyata (Jawetz et al., 1995). E. coli
merupakan bakteri heterotrof yang memperoleh makanan berupa zat organik dari
lingkungannya karena tidak dapat menyusun sendiri zat organik yang dibutuhkana
sehingga diperoleh dari sisa organisme lain.
Bentuk mikroskopis E. coli dapat dilihat pada Gambar 2.2 dengan
klasifikasi berikut.
Kingdom : Eubacteria
Divisi
: Proteobacteria
Class
: Gamma Proteobacteria
Ordo
: Enterobacteriales
Famili
: Enterobacteriaceae
Genus
: Escherichia
Species
: Escherichia coli (Todar, 2008)
Escherichia coli merupakan flora normal usus yang berperan penting
dalam sintesis vitamin K, konversi pigmen-pigmen empedu, asam-asam empedu,
dan penyerapan zat-zat makanan (Haribi dan Yusron, 2010). Apabila jumlahnya
meningkat, maka E. coli akan menjadi patogen sehingga dapat menimbulkan
penyakit. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh terlalu banyaknya jumlah E.
coli dalam tubuh yaitu infeksi saluran kemih, diare atau gangguan pencernaan
20
lainnya, sepsis, meningitis (E. coli dan S. aureus adalah penyebab utama
meningitis pada bayi) (Jawetz et al., 1995).
Gambar 2.2
Bentuk Mikroskopis Koloni E. coli (Sciencedaily, 2009)
Peningkatan jumlah E. coli dapat terjadi melalui air yang terkontaminasi
kotoran manusia yang terinfeksi. Selain itu penularan juga dapat terjadi melalui
kontak dari pekerja yang terinfeksi selama proses pembuatan makanan sehingga
E. coli dapat menjadi salah satu penyebab penularan penyakit melalui makanan
(Foodborne disease) (Sanjaya dan Apriliana, 2009).
2.5 Bakteri Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif yang tersusun
dalam rangkaian seperti anggur yang tidak beraturan dengan diameter 0,7-1,2 µm,
fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh
pada suhu optimum 37ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar
(20-25ºC) (Paryati, 2002 dalam Dewi, 2013).
Bentuk mikroskopis S. aureus dapat dilihat pada Gambar 2.3, dengan
klasifikasi sebagai berikut.
21
Kingdom : Bacteria
Divisi
: Firmicutes
Class
: Bacili
Ordo
: Bacillales
Famili
: Staphylococcaceae
Genus
: Staphylococcus
Species
: Staphylococcus Aureus (Seubert, 2008)
Gambar 2.3
Bentuk Mikroskopis Koloni S. aureus (Afshinnekoo et al., 2015)
Staphylococcus
aureus
dapat
memproduksi
toksin
dan
dapat
mengkontaminasi dan meracuni makanan dan merupakan merupakan flora normal
pada lapisan mukosa kulit dan selaput mukosa manusia. Apabila jumlahnya
terlalu banyak dan terjadi luka maka dapat menyebabkan penanahan dan abses
(Jawetz et al., 1995). S. aureus yang patogen bersifat invasif, menyebabkan
hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan manitol sehingga
menyebabkan infeksi (Elliot et al., 2013). Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan
kerusakan jaringan yang disertai abses bernanah seperti pada penyakit infeksi
ringan yaitu jerawat dan bisul. S. aureus bahkan dapat menyebabkan infeksi berat
22
seperti osteomielitis, endokarditis, dan furunkulosis. S. aureus juga merupakan
penyebab utama infeksi nosokomial pada luka pasca operasi (Jawetz et al., 1995).
2.6
Zat Antibakteri
Zat antibakteri adalah zat yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
dan dapat digunakan untuk kepentingan pengobatan infeksi pada manusia, hewan,
dan tumbuhan (Schunack 1990 dalam Aulya, 2012). Aktivitas antibakteri
ditentukan oleh interaksi zat tersebut dengan bakteri sehingga kualitas zat
antibakteri dapat ditentukan berdasarkan afinitas obat terhadap reseptor yang
terdapat dalam sel bakteri (Martina et al., 2012).
Aktivitas antibakteri yang dihasilkan oleh suatu senyawa dapat terjadi
karena adanya beberapa mekanisme antara zat antibakteri tersebut dengan bakteri.
Secara umum, aktivitas dari zat antibakteri terjadi melalui beberapa mekanisme
(Chusni & Lamb, 2005) yaitu:
a) Mengganggu proses sintesis dinding sel
Zat antibakteri dapat mengganggu sintesis dinding sel bakteri dengan cara
merusak lapisan peptidoglikan. Perusakan terjadi melalui pencegahan ikatan
silang peptidoglikan pada tahap akhir sintesis dinding sel dengan cara
menghambat protein pengikat penisilin (penicillin binding protein). Protein ini
merupakan enzim dalam membran plasma bakteri yang secara normal terlibat
dalam penambahan asam amino yang berikatan silang dengan peptidoglikan
dinding sel bakteri. Rusaknya lapisan penyusun ini menyebabkan dinding sel yang
terbentuk menjadi kurang sempurna dan tidak tahan terhadap tekanan osmosis,
23
sehingga menyebabkan mudah pecahnya sel atau lisis (de Kruijff et al., 2008;
Yount and Yeaman, 2013 dalam Guilhelmelli et al., 2013).
b) Merusak membran plasma
Zat antibakteri bekerja langsung pada membran plasma mikroorganisme,
meningkatkan permeabilitas dan menyebabkan kebocoran sel intraselular.
Membran plasma bersifat semipermiabel dan mengendalikan transport berbagai
metabolit ke dalam dan luar sel. Adanya kerusakan struktur pada membran plasma
sebagai penghalang osmosis dan mengganggu sejumlah proses biosintesis yang
diperlukan dalam membran (Chusni & Lamb, 2005).
c) Mengganggu sintesis protein sel
Enzim dan struktur selular bakteri tersusun dari protein. Sintesis protein
adalah proses penting yang diperlukan untuk multiplikasi dan kelangsungan hidup
semua sel bakteri. Beberapa jenis zat antibakteri menargetkan sintesis protein
bakteri dengan mengikat baik subunit 30S atau 50S dari ribosom intraseluler.
Mekanisme ini mengakibatkan terganggunya sintesis asam-asam amino dan
menghasilkan protein yang inaktif yang selanjutnya mengganggu metabolisme sel
normal bakteri, dan menyebabkan kematian organisme atau penghambatan
pertumbuhan dan multiplikasi (Pratiwi, 2008).
d) Mengganggu sintesis asam nukleat
Deoxyribonucleic acid (DNA) dan Ribonucleic acid (RNA) adalah kunci
untuk replikasi semua bentuk hidup, termasuk bakteri. Beberapa zat antibakteri
bekerja dengan mengikat komponen yang terlibat dalam proses sintesis DNA atau
24
RNA, yang menyebabkan gangguan proses sel normal yang pada akhirnya akan
mengganggu multiplikasi bakteri dan kelangsungan hidup (Pratiwi, 2008).
e) Antimetabolit
Antimetabolit merupakan substansi yang secara kompetitif menghambat
metabolit mikroorganisme, karena memiliki struktur yang mirip dengan substrat
normal untuk proses metabolisme sehingga proses metabolisme terhenti (Chusni
& Lamb, 2005).
2.7 Uji Aktivitas Antibakteri
Menurut Pratiwi (2008) pengujian aktivitas antibakteri dapat dilakukan
dengan dua metode yaitu dilusi dan difusi agar.
2.7.1. Metode dilusi
a) Dilusi cair (broth dilution test)
Dilusi cair dilakukan dengan mencampurkan zat antibakteri pada media
cair dengan pH 7-7,4 kemudian diencerkan dengan menggunakan beberapa
tabung reaksi. Campuran dimasukkan pada suspensi bakteri yang mengandung
bakteri uji yang telah disuspensikan dengan NaCl steril atau dengan TSB, yang
tiap milimeternya mengandung kurang lebih 105-106 bakteri (Pratiwi 2008).
Suspensi tersebut kemudian diinkubasikan pada suhu 37oC selama 18-24
jam dan diamati pertumbuhan bakterinya berdasarkan pada kekeruhan suspensi.
Tabung yang keruh menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri, sedangkan tabung
yang lebih bening menunjukkan bahwa zat antibakteri dapat menghambat
pertumbuhan bakteri yang diuji (Jawetz et al., 1995).
25
b) Dilusi padat (solid dilution test)
Zat antibakteri dicampur sampai homogen pada agar steril yang masih cair
dengan suhu serendah mungkin pada berbagai konsentrasi. Larutan tersebut
kemudian dituangkan ke dalam cawan petri steril dan setelah memadat dioleskan
bakteri uji pada permukaannya. Pertumbuhan bakteri ditandai oleh adanya
kekeruhan setelah 18-24 jam diinkubasi. Apabila media semakin bening artinya
zat antibakteri tersebut semakin efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri
(Pratiwi 2008).
2.7.2 Difusi agar
Metode difusi agar dapat dilakukan melalui beberapa teknik (Pratiwi,
2008) berikut.
a) Cakram kertas
Teknik cakram kertas dilakukan pada medium agar dalam cawan petri
yang diinokulasi dengan bakteri uji. Zat antibakteri yang akan diuji ditambahkan
pada cakram kertas dan didiamkan hingga mengering, kemudian cakram-cakram
tersebut diletakkan pada permukaan media agar dan diinkubasi 18-24 jam. Selama
inkubasi maka zat uji yang ditambahkan dalam cakram berdifusi ke dalam agar.
Apabila terdapat aktivitas antibakteri zat uji, maka akan terlihat zona inhibisi
(zona bening) di sekeliling kertas cakram. Diameter zona inhibisi ini sebanding
dengan konsentrasi, kelarutan, koefisien difusi, dan efektivitas antibakteri zat uji
(Pelczar dan Chan, 2011).
26
b) Silinder
Teknik ini dilakukan dengan meletakkan silinder pada permukaan agar
padat yang telah diinokulasi bakteri. Zat uji dimasukkan ke dalam silinder,
kemudian diinkubasi. Aktivitas antibakteri terlihat sebagai zona inhibisi atau zona
bening di sekeliling silinder (Pratiwi, 2008).
c) Teknik perforasi
Teknik perforasi menggunakan perforator untuk membuat lubang-lubang
pada agar padat yang telah diinokulasi dengan bakteri uji, lalu zat uji dimasukkan
ke dalam lubang-lubang tersebut. Aktivitas antibakteri dapat terlihat sebagai
daerah inhibisi atau zona bening yang terbentuk di sekeliling lubang (Pratiwi,
2008).
2.8 Media Uji Antibakteri
Media adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan untuk
menumbuhkan dan mengembangbiakkan mikroba. Media yang digunakan harus
dalam keadaan steril dengan tujuan agar tidak ada mikroba lain yang tidak
diharapkan tumbuh sebelum media tersebut ditumbuhi mikroba yang akan
diujikan. Sterilisasi media di laboratorium memanfaatkan tekanan yang
disebabkan uap air pada suhu mencapai 121oC. Sterilisasi dapat terlaksana bila
mencapai tekanan 15 psi dengan suhu 121oC selama 15 menit. Media biakan yang
telah disterilkan harus diberi penutup agar tidak dicemari oleh mikroorganisme
yang terdapat disekelilingnya (Pratiwi, 2008).
27
Media dibedakan menjadi tiga jenis yaitu sebagai berikut :
a) Media cair, yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan termasuk
membiakkan dan menumbuhkan mikroba misalnya Laktosa Broth, Nutrient
Broth dan lain sebagainya
b) Media padat, yang dapat digunakan untuk menumbuhkan mikroba pada
permukaannya sehingga membentuk koloni yang dapat dilihat, dihitung atau
diisolasi misalnya Nutrient Agar, Mueller Hinton Agar, dan lain-lain.
c) Media Setengah Padat, yang mempunyai kosistensi diantara media cair dan
media padat
2.9 Konsentrasi Hambat Minimum
Konsentrasi hambat minimum (KHM) adalah konsentrasi terkecil suatu zat
atau obat yang masih dapat menghambat pertumbuhan bakteri (Mahon dan
Manuselis, 1995 dalam Efendi dan Hertiani, 2013). KHM sangat penting
ditentukan untuk mengetahui dosis efektif terkecil dari obat dan memberikan
indek perbandingan dengan obat yang lain.
Menurut Mahon dan Manuselis (1995) dalam Efendi dan Hertiani (2013),
aktivitas antibakteri tertentu dapat ditingkatkan dari bakteriostatik menjadi
bakteriosida apabila kadar antibakteri ditingkatkan melebihi harga KHM. Respon
hambat pertumbuhan dari zat antibakteri dapat digolongkan seperti pada Tabel
2.2.
28
Tabel 2.2
Klasifikasi Respon Hambatan Pertumbuhan Mikroba
Diameter Zona
Bening
< 5 mm
5 – 10 mm
>10 – 20 mm
> 20 mm
Respon Hambatan
Pertumbuhan
Lemah
Sedang
Kuat
Sangat kuat
Sumber: Ardiansyah (2005)
2.10 Toksisitas Akut
Toksisitas adalah efek merugikan yang timbul setelah pemberian suatu
bahan sebagai dosis tunggal yang diberikan dalam 24 jam (Ngatidjan, 2006).
Toksisitas akut ditentukan dengan melakukan penelitian pada hewan percobaan
untuk evaluasi keamanan dari kandungan kimia bahan uji. Evaluasi keamanan
melalui uji toksisitas akut dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi
tentang rentang dosis yang mematikan hewan uji (Lethal dose atau LD)
(Ngatidjan, 2006).
Hewan uji yang dapat digunakan adalah mencit, tikus, dan anjing yang
sehat dan berasal dari satu galur yang jelas. Menurut Weil dalam Ngatidjan
(2006), untuk uji toksisitas minimal digunakan empat peringkat dosis, yang mana
untuk tiap peringkat dosis minimal terdiri dari empat ekor hewan uji. Jumlah
kematian hewan uji dipakai sebagai ukuran untuk efek toksik suatu bahan pada
sekelompok hewan uji. Jika hewan uji merupakan subjek maka respon berupa
kematian merupakan suatu respon diskretik yang berarti hanya ada dua macam
respon yaitu ada atau tidak ada kematian (Ngatidjan, 2006). Pemberian bahan
yang diteliti harus disesuaikan pemberiannya pada manusia, sehingga dapat
29
mempermudah dalam melakukan ekstrapolasi dari hewan ke manusia (Ngatidjan,
2006).
Sediaan yang akan diuji dipersiapkan menurut cara yang sesuai dengan
karakteristik bahan kimia tersebut, dan tidak diperbolehkan adanya perubahan
selama waktu pemberian. Untuk pemberian per oral ditentukan standar volume
maksimal yang sesuai dengan hewan uji seperti Tabel 2.3. Selanjutnya, penentuan
LD50 dilakukan dengan cara menghitung jumlah kematian hewan uji yang terjadi
dalam 24 jam pertama sesudah pemberian dosis tunggal bahan. Namun demikian,
kematian dapat terjadi sesudah 24 jam pertama karena proses keracunan dapat
berjalan lambat. Gejala keracunan yang muncul sesudah 24 jam menunjukkan
bahwa bahan obat mempunyai titik tangkap kerja pada tingkat yang lebih bawah
sehingga gejala keracunan dan kematian seolah-olah tertunda (delayed toxicity).
Oleh karena itu banyak ahli berpendapat bahwa gejala keracunan perlu diamati
sampai 7 hari (Ngatidjan, 2006).
Tabel 2.3
Daftar Volume Maksimal Bahan Uji pada Pemberian Secara Oral
Jenis Hewan
Berat Rerata
Volume Maksimal
Mencit
Tikus putih
Hamster
Marmot
Kelinci
Kucing
Anjing
20-30 g
100 g
50g
250 g
2500 g
3000 g
5000 g
1 mL
5 mL
2,5 mL
10 mL
20 mL
50 mL
100 mL
Sumber : Ngatidjan, 2006
30
2.11 Metode Pengujian Toksisitas Akut
Pengujian toksisitas akut LD50 dapat dilakukan salah satunya dengan metode
C.S Weil (1952). Ketepatan dengan taraf kepercayaan tertentu dapat tercapai
dengan memanfaatkan tabel yang dibuat oleh Thompson dan Weil (1952). Pada
penggunaan tabel itu, percobaan harus memenuhi beberapa syarat berikut.
1. Jumlah hewan uji tiap kelompok peringkat dosis sama.
2.
Interval merupakan kelipatan (d) atau faktor geometrik (R) tetap.
3. Jumlah kelompok paling tidak 4 peringkat dosis.
LD50 dapat dihitung dengan rumus :
Log (LD50 ) = log D + d (f+1)
D = dosis terendah
d = logaritma kelipatan dosis
f = faktor yang diperoleh dari tabel Thompson dan Weil (dilihat dari nilai r
yaitu banyaknya hewan coba yang mati tiap perlakuan)
Harga LD50 menunjukkan nilai ketoksikan suatu bahan yang ditunjukkan
pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4
Klasifikasi Zat Kimia Sesuai dengan Toksisitas Relatifnya
Kategori
Supertoksik
Amat sangat toksik
Sangat toksik
Toksik sedang
Toksik ringan
Praktis tidak toksik
LD50
< 5 mg/kgBB
5 - 50 mg/kg BB
50-500 mg/kg BB
0,5 -5 g/kgBB
5 - 15 g/kgBB
>15 g/kg BB
Sumber : Canadian Centre for Occupational Health & Safety, 2016
31
2.12 Ekstraksi
Ekstraksi adalah teknik pemisahan suatu campuran beberapa komponen
menjadi komponen yang terpisah (Wonorahardjo, 2013). Pada umumnya senyawa
aktif pada tanaman diperoleh dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut. Pada
proses ekstraksi, senyawa metabolit sekunder dapat tertarik ke luar dari dalam
tumbuhan oleh pelarut karena terjadi pembengkakan dinding sel dan pelonggaran
kerangka selulosa dinding sel sehingga pori-pori dinding sel menjadi melebar.
Pelebaran dinding sel menyebabkan pelarut dapat dengan leluasa masuk
ke dalam sel. Bahan isi sel, yang mana di dalamnya terdapat senyawa-senyawa
metabolit sekunder yang memiliki bioaktivitas tertentu kemudian terlarut dalam
pelarut sesuai dengan tingkat kelarutannya lalu berdifusi keluar akibat adanya
gaya yang ditimbulkan perbedaan konsentrasi bahan terlarut yang terdapat di
dalam dan di luar sel (Pambayun dkk., 2007).
Perbedaan struktur kimia akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas
senyawa-senyawa tersebut terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat, dan
derajat keasaman. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti
sifat dari bahan organik, senyawa yang ingin diisolasi, dan daya penyesuaian
dengan tiga macam metode ekstraksi yaitu metode maserasi, sokhletasi, dan
perkolasi.
Maserasi merupakan metode yang paling banyak dipergunakan karena
relatif sederhana, dan tidak membutuhkan pemanasan sehingga aman untuk
komponen yang tidak stabil pada pemanasan. Metode ini digunakan dengan cara
merendam sampel dengan pelarut yang sesuai, baik murni maupun campuran dan
32
terlindung dari cahaya langsung sehingga mencegah reaksi yang dikatalisis
cahaya atau perubahan warna (Harborne, 1987). Setiap waktu tertentu, misalnya
24 jam filtrat diambil dan residu sampel ditambahi pelarut baru. Peristiwa tersebut
berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di
dalam sel karena hampir semua metabolit yang diperkirakan ada dalam sampel
terekstrak. Proses tersebut umumnya ditandai dengan warna filtrat yang lebih
bening. Hasil dari proses ekstraksi dikumpulkan untuk penelitian tahap
selanjutnya.
Metode sokhletasi digunakan untuk mengekstrak komponen kimia dengan
menggunakan serangkaian alat sokhlet. Penggunaan sokhlet dapat menghemat
pelarut yang digunakan, umumnya digunakan untuk mengekstrak komponen yang
jumlahnya sedikit, namun komponen yang akan diekstrak harus relatif tahan
terhadap panas (Harborne, 1987). Pada metode sokhlet, pelarut (dalam labu yang
direndam penangas air pada suhu tertentu) dipanaskan, kemudian uap pelarut
akan naik ke bagian atas sokhlet dan didinginkan oleh air dingin yang mengalir
secara terus menerus pada kondensor. Uap pelarut akan mengembun kembali
dan mengalir ke bawah membasahi atau merendam sampel. Sampel akan
terendam secara kontinyu dalam pelarut yang selalu dalam keadaan bersih.
Metode perkolasi dilakukan dengan cara melewatkan pelarut yang tidak
mudah menguap tetes demi tetes pada sampel yang diekstrak. Prosesnya
dilakukan secara terus menerus hingga filtrat yang dihasilkan bening. Metode
perkolasi jarang digunakan dalam ekstraksi karena membutuhkan pelarut yang
lebih banyak.
33
Persiapan yang umumnya dilakukan sebelum ekstraksi adalah dengan
melakukan proses pengeringan tanpa adanya peran sinar matahari yang dapat
menimbulkan reaksi yang merusak senyawa aktif dalam sampel. Setelah kering,
dilakukan penghalusan atau penghancuran dengan derajat kehalusan tertentu,
kemudian diekstraksi dengan salah satu metode ekstraksi serta pelarut yang telah
ditentukan. Hasil ekstraksi dari ketiga metode berupa filtrat. Untuk mendapatkan
larutan ekstrak yang pekat dari filtrat maka pelarut dari ekstrak dapat diuapkan
dengan menggunakan alat rotary evaporator (Harborne, 1987). Pada umumnya
ekstrak yang dihasilkan dari ekstraksi awal disebut ekstrak kasar (crude extract)
yang mengandung campuran senyawa-senyawa metabolit sekunder dari sampel
uji.
Pemilihan pelarut sangat penting untuk mengekstraksi senyawa aktif yang
bermanfaat sebagai antibakteri. Menurut Cowan (1999), senyawa polifenol yang
terdapat pada tumbuhan dan banyak dilaporkan berfungsi sebagai antibakteri
umumnya diekstrak dengan metanol dan etanol. Sementara itu, penelitian yang
dilakukan Thippeswamy (2011) mengenai aktivitas antibakteri daun trembesi
menggunakan beberapa pelarut yaitu air, petroleum eter, kloroform, metanol, dan
etanol, memberikan hasil bahwa pelarut etanol dan metanol merupakan pelarut
yang dapat memberikan aktivitas antibakteri yang lebih baik terhadap beberapa
jenis bakteri serta mampu mengekstraksi senyawa golongan polifenol, khususnya
flavonoid
Senyawa aktif antibakteri yang sebagian besar berupa polifenol memiliki
spektrum luas dengan sifat kelarutan pada suatu pelarut yang berbeda-beda. Hal
34
ini disebabkan oleh gugus hidroksil yang dimiliki oleh senyawa tersebut berbeda
jumlah dan posisinya. Dengan demikian, ekstraksi menggunakan berbagai pelarut
akan menghasilkan komponen polifenol dan keaktifan yang berbeda (Pambayun
dkk., 2007).
Download