1.1. Latar Belakang Kebutuhan dunia terhadap lionsumsi minyak

advertisement
1
.
I . PENDAHULUAN
-v;
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan dunia terhadap lionsumsi minyak dan lemak nabati terus
mengalami peningkatan setiap tahun. Produksi minyak dan lemak nabati dunia pada
2006/2007 telah mencapai 123 juta ton. Dari produksi ini sebesar 45,5 juta ton
berasal dari minyak sawit dan sebesar 22,3 juta ton atau sekitar 46% berasal dari
Indonesia (Goei, 2008). Pada tahun 2008, Indonesia merupakan produsen minyak
sawit terbesar dunia dengan luas areal perkebunan sawit mencapai 7,1 juta hektar dan
produksi sebesar 19,2 juta ton. Sekarang pemerintah berkonsentrasi meningkatkan
produktivitas tanaman sawit untuk meraih produksi 40 juta ton CPO di tahun 2020
(Ditjenbun, 2009).
Menurut standar WHO {World Health Organization), konsumsi per kapita
minyak dan lemak pangan minimal 12 kg per tahun dan kebutuhan konsumsi
Indonesia adalah sebesar 13 kg per tahun di tahun 2006 dan meningkat sebesar 1%
setiap tahunnya (Goei. 2008). Peningkatan konsumsi dan produksi ini perlu didukung
oleh pengolahan minyak sawit untuk menghasilkan komoditas sawit yang beraneka
ragam seperti minyak makan.
Sebagai bahan baku utama minyak makan, minyak sawit memiliki banyak
keunggulan dibandingkan dengan bahan baku lairmya. Keunggulan utama dari
minyak sawit adalah kandungan mikronutriennya yang tinggi sehingga memiliki
potensi untuk dikembangkan menjadi healthy oil. Healthy oil merupakan minyak
yang diproses dan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga kandungan nutrisi yang
ada di dalamnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesehatan.
Semenjak
tahun 2000, Riau merupakan provinsi yang memiliki luas
perkebunan dan produksi kelapa sawit yang terbesar di Indonesia. Tercatat sampai
tahun 2008, provinsi Riau sudah memproduksi 5.072,8 ribu ton CPO (Crude Palm
Oil) dengan total luas lahan 1.623,5 ribu ha yang terdiri dari perkebunan rakyat,
perkebuanan besar swasta dan perkebunan besar nasional, menggungguli provinsi
lainnya (BPS, 2009).
Minyak kelapa sawit sendiri sudah lama dikenal sebagai
tamanan multiguna, yang dapat dikembangkan menjadi produk pangan maupun non
pangan (oleochemical). Salah satu keunggulan yang dimiliki oleh minyak kelapa
2
sawit sebagai bahan makanan adalah kandungan y-p-karoten yang tinggi (500-1500
ppm), paling tinggi dibandingkan dengan sumber minyak nabati lain di dunia. CPO
dengan kandungan (3-Karoten tinggi atau yang dikenal sebagai minyak sawit merah
saat ini sudah menjadi komponen penting dalam mengatasi masalah defisiensi
vitamin A bagi berjuta-juta anak di negara berkembang selain perbaikan sarana
kesehatan lainnya (Mayamol et al, 2007).
Kebijakan
FHO
{Food
Health
Organization)
untuk
meningkatkan
ketersediaan vitamin A pada makanan sehari-hari guna mengurangi defisiensi
vitamin A pada balita dan anak-anak akan meningkatkan nilai bisnis dari produksi
minyak sawit merah. Warga Amerika mencampurkan minyak sawit merah dengan
minyak Canola sebagai minyak salad dengan kandungan provitamin-A tinggi
(Arghainc, 2008).
'
'
' ^
' '
'
Minyak sawit merah atau red palm oil (RPO) adalah minyak sawit yang
diperoleh tanpa melalui proses pemucatan dengan tujuan mempertahankan kadar
karotenoid yang terkandung dalam minyak sawit merah. Minyak sawit merah hasil
destilasi molekuler mengandung (3-Karoten lebih besar dari 500 ppm, dan tokol 600
ppm yang berfungsi sebagai vitamin E dan antioksidan (Ooi et al,
1996). Dalam
bidang kesehatan, P-Karoten berguna untuk menanggulangi penyakit kardiovaskuler,
kanker, diabetes, katarak, penuaan dini, dan Iain-lain (Bonnie and Coo, 2000;
Medina-Juarez et al, 2000). Kandungan P-Karoten yang tinggi pada minyak sawit
merah dapat digunakan sebagai bahan tambahan ke dalam beberapa produk makanan
melalui proses fortifikasi terutama pada makanan anak-anak.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan penduduknya
yang mempunyai angka kelahiran tinggi, sekitar 1,35% per tahun, sehingga setiap
tahun jumlah balita yang ada bertambah secara cepat (BPS, 2001). Beberapa
permasalahan
yang biasanya
timbul di negara berkembang akibat tingginya
pertumbuhan penduduk adalah menyangkut masalah sosial, ekonomi, pendidikan dan
kesehatan.
Masalah kesehatan ini mempunyai jangkauan yang luas, karena tidak hanya
pada orang dewasa saja, tetapi juga pada anak-anak dan balita. Tahun 2004, pada
pertemuan Program Advokasi Perbaikan Gizi menuju Keluarga Sadar Gizi, Azwar
mengemukakan bahwa balita merupakan golongan yang rawan terkena gangguan
3
kesehatan, baik karena masalah gizi dan penyakit (patologi). Salah satu permasalahan
gizi yang sering terjadi pada balita adalah defisiensi vitamin A (You et al, 2002).
Masalah pangan dalam negeri tidak terlepas dari persoalan beras dan terigu.
Ketergantungan terhadap impor tepung terigu yang sangat tinggi, tercatat sampai
tahun 2007, impor tepung terigu Indonesia sudah mencapai 582.217,608 ton dengan
nilai US$ 180.857.615 (BPS, 2007), mengharuskan perlunya dilakukan substitusi
bahan makanan yang memiliki karakteristik yang hampir sama dengan tepung terigu.
Meskipun di beberapa wilayah, penduduk masih mengkonsumsi pangan altematif
seperti gaplek, beras jagung, sagu ataupun ubi jalar, tetapi fakta menunjukkan bahwa
terigu lebih adaptif dan adoptif dari pada pangan domestik tersebut (Sadjad, 2000).
Dewasa ini roti merupakan produk pangan yang cukup populer di Indonesia.
Beberapa keunggulan produk roti sebagai makanan siap santap dibandingkan dengan
yang lain adalah langsung bisa dikonsumsi, tersedia dengan berbagai variasi dari
tawar sampai manis, mudah untuk bekal ketika sibuk, baik imtuk anak sampai orang
dewasa, mudah dikonsumsi kapan saja dan dimana saja, lebih bergizi dan mudah
diperkaya dengan gizi lainnya, dan lebih elit (Gandamana, 2005 dalam Sarono, dkk.,
2008). Kandungan gizi produk olahan dari tepung ini unggul dibandingkan dengan
nasi dan mi. Bahkan ada jenis roti, yang selain kaya serat, juga mengandung omega-3
yang berfungsi sebagai penangkal berbagai penyakit degeneratif (Anonim, 2008).
Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai bahan dasar roti adalah sukun.
Sukun merupakan salah satu jenis buah-buahan yang potensial dikembangkan
sebagai sumber karbohidrat (Heyne, 1987 dalam Novianto, 2010). Sukun tumbuh
menyebar di tepian hutan dan sungai serta ditanam tanpa ada tujuan komersil di
dalam kebun atau pekarangan rumah padahal kondisi iklim Indonesia maupun tempat
tumbuh tergolong cocok untuk membudidayakan sukun secara intensif (Hendalastuti
dan Rojidin, 2005).
Substitusi tepung terigu dengan tepung sukun sebesar 0-25% pada pembuatan
roti sudah dilakukan oleh Giami dan Amasisi (2004). Hasil penelitian tersebut
mendapatkan bahwa penambahan
tepung sukun sebesar 5-10%, menghasilkan
kualitas peningkatan adonan, extensibility, dan deformasi (perubahan bentuk) yang
sama dengan adonan tepung terigu. Sehingga tepung sukun dapat digunakan sebagai
4
bahan baku dalam pembuatan roti manis dengan konsentrasi substitusi tepung sukun
yang mencapai 10%.
»'
;,
Beberapa penelitian penggunaan minyak sawit merah untuk memperkaya
kandungan beta karoten pada beberapa produk makanan anak-anak sudah banyak
dilakukan. Zeba et al., (2006) melakukan kajian penggunaan minyak sawit merah
sebagai nutrifikan pangan dalam sajian makan siang bagi anak-anak usia sekolah dan
memberikan respon positif dalam mengatasi defisiensi vitamin A. Beberapa hasil
penelitian epidemiologis menunjukkan manfaat beta karoten dalam tubuh. Bersama
dengan alfa karoten dan likopen, P-Karoten dapat bertindak sebagai singlet oxygen
quencher yang efisien (Dimascio et al, 1989 dalam Novianto, 2010). Disamping itu
beta karoten juga memiliki potensi sebagai anti kanker (Ziegler et al, 1989 dalam
Novianto, 2010), dan memiliki sifat antiaterosklerotik dengan mereduksi plak
aterosklerotik pada pembuluh darah arteri (Kritchevsky et al, 2002).
Nugraha (2008) telah melakukan substitusi tepung tempe, tepung udang
rebon, dan minyak sawit merah dalam pembuatan kukis. Kukis tersebut mampu
meningkatkan nilai gizi yang dihasilkan, terutama kandungan protein. Susi et al,
(1994) juga telah melakukan penelitian penggunaan minyak sawit kasar dalam
pembuatan kukis, dimana terdapat retensi beta karoten berkisar 55,02-76,87% dan
perbedaan tingkat substitusi minyak memberikan hasil berbeda sangat nyata terhadap
kandungan P-Karoten.
Dengan melihat keunggulan minyak sawit merah dan potensi yang dimiliki
oleh tepung sukun, memungkinkan kedua bahan tersebut dapat digunakan dalam
pembuatan roti manis kaya P-Karoten. Penggunaan minyak sawit merah dalam
pembuatan roti terutama sebagai sumber karotenoid dan vitamin E yang berguna bagi
tubuh manusia, selain juga sebagai shortening. Sementara itu, penggunaan tepung
sukun pada roti selain sebagai upaya substitusi tepung terigu, juga berfiingsi untuk
meningkatkan kandungan karbohidrat, kalsium dan fosfor..
Bertitik tolak dari permasalahan di atas maka penulis tertarik melakukan
penelitian tentang Formulasi, Kandungan Gizi dan Evaluasi Sensori Roti Manis Kaya
P-Karoten Berbahan Dasar Tepung Terigu dan Tepung Sukun dengan Penambahan
Minyak Sawit Merah.
5
1.2. Tujuan Penelitian
'
i
,
.
i
*
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh formulasi penambahan
minyak sawit merah terhadap kandungan gizi dan mutu organoleptik roti manis
berbahan dasar tepung terigu dan tepung sukun.
Download