Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 17, No.2, 2012, halaman 104-117 ISSN : 1410-0177 TINJAUAN PENGGUNAAN METFORMIN PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 RAWAT INAP DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD DR.ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI, INDONESIA. Hansen Nasif ¹, Yeni Efrina¹, Husni Muchtar¹ ¹Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Padang Indonesia E-mail : [email protected] ABSTRAK Metformin, adalah suatu obat yang direkomendasikan sebagai obat pilihan utama dan digunakan luas untuk pengobatan diabetes mellitus tipe 2. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari penggunaan metformin pada pasien rawat inap di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi, khususnya pada penggunaan yg dikategorikan kontraindikasi. Penelitian ini merupakan suatu studi prospektif follow up pasien dengan teknik pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling. Data diambil dari bulan April sampai Juni 2010 di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi, dengan dasar perubahan kondisi pasien selama dirawat. Hasil penelitian, didapatkan 28 pasien yang memenuhi kriteria dalam penelitian ini, dengan 11 pasien teridentifikasi menggunakan metformin pada keadaan kontraindikasi. Ditemukan penggunaannya pada 3 pasien dengan gagal jantung kongesti dan gagal ginjal, 3 pasien dengan gagal jantung, 2 pasien dengan gagal ginjal, 2 pasien dengan sirosis hepatik, dan 1 pasien dengan dehidrasi akut disertai hipoperfusi. Terdapat 2 dari 11 pasien tersebut meninggal dalam masa pengamatan, namun masih belum bisa dipastikan bahwa penyebab kematian tersebut adalah karena penggunaan metformin. Farmasis harus selalu memperhatikan perubahan kondisi pasien untuk meyakinkan bahwa penggunaan obat masih aman bagi seorang pasien. Keyword: Metformin, Penggunaan, RSUD Dr. Achmad Mochtar. PENDAHULUAN Metformin bekerja baik pada pasien dengan kondisi hiperglikemia yang cukup serius (John, 2007). Berdasarkan suatu penelitian prospektif diabetes (United Kingdom Prospektif Diabetes Study) dan penelitian- penelitian lainnya pada pasien diabetes tipe 2, dibuktikan bahwa metformin dapat mengurangi komplikasi makrofaskular pada pasien obesitas (Dipiro, 2005; Ilkka et al., 2002; Kasper, 2005; McEvoy, 2008). Metformin terbukti mengurangi secara signifikan semua penyebab kematian pada komplikasi diabetes, risiko stroke, dan gangguan myokardial dibandingkan bila menggunakan pengobatan intensif dengan sulfonilurea atau insulin. Risiko hipoglikemia dan hiperinsulinemia lebih kecil, efek pada lipid serum lebih 104 Hansen N., et al. baik dan dapat menurunkan berat badan (Kasper, 2005; McEvoy, 2008). United Kingdom Prospective Diabetes Study, mempertimbangkan obat ini sebagai lini pertama dalam pengobatan diabetes melitus tipe 2 dengan kondisi obesitas , jika toleran dan tidak kontraindikasi bagi pasien (Alawadhi, 2008; Dipiro, 2008; McEvoy, 2008; Rita et al., 2002; ). Berdasarkan data dari International Diabetes Center (IDC), metformin juga direkomendasikan sebagai pilihan obat utama manajemen terapi diabetes tipe 2 ,diberikan ketika kadar glukosa darah puasa (fasting plasma glucose/FPG) sekitar 150-200 mg/ml, dan kadar glukosa darah acak (random plasma glucose/RPG) antara 200-300 mg/ml. Pengobatan dilihat selama 3 bulan, jika pengobatan dengan metformin ini tidak toleran atau kontraindikasi dengan pasien, baru dilakukan terapi kombinasi dua obat (Kendal, 2009; Mogensen, 2007). Namun, secara klinis penggunaan metformin dibatasi oleh dua faktor, keduanya berkaitan dengan efek samping dari metformin itu sendiri. Faktor pertama adalah efek samping gastrointestinal. Tetapi, efek ini dapat diminimalkan dengan pemberian metformin bersama makanan dan diawali dengan dosis yang rendah. Faktor kedua jarang terjadi namun merupakan komplikasi dari penggunaan metformin yang paling serius yaitu laktat asidosis ( Alawadhi et al,, 2008; Khandwala, 2004). Insidennya diperhitungkan terjadi 0,03 kasus per 1000 pasien tiap tahunnya (Alawadhi et al., 2008; Dipiro, JT, 2005; McEvoy, 2008; Rita et al., 2002). Laktat asidosis tidak seutuhnya terjadi karena penggunaan metformin, namun kebanyakan semua kasus yang dilaporkan dari laktat asidosis berkaitan kontraindikasi dari penggunaan metformin (Alawadhi et J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012 al., 2008). Ada ketentuan khusus yang telah ditetapkan tentang kontraindikasi tersebut antara lain pada pasien gangguan ginjal (kreatini serum > 130μmol/l), gangguan hati, ataupun kondisi klinik yang berhubungan dengan hipoksemia, gagal jantung kongestif, dan penyakit obstruksi pulmonary kronik (Dipiro, 2005; ISFI, 2008; McEvoy, 2008; Rita et al., 2002). Penggunaan metformin pada pasien insufisiensi ginjal dengan kreatinin kliren 1,4 mg/dl pada wanita dan 1,5 mg/dl pada pria dinyatakan kontraindikasi, karena metformin di eliminasi di ginjal sebagai senyawa aktif ( Dipiro, 2005; Katzung, 1997; McEvoy, 2008; Rita et al., 2002). Oleh karena itu, manajemen terapi diabetes tipe 2 dengan metformin sebagai obat yang sangat efektif dan direkomendasikan secara internasional namun sangat berpotensi fatal terjadi efek yang lebih serius, haruslah dalam pengawasan yang ketat dan memperhatikan keadaan fisisologis dari masing- masing pasien. Penelitian mengenai kontraindikasi metformin pada pasien diabetes mellitus tipe 2 merupakan bagian yang penting dilakukan untuk mencegah penggunaan obat yang kurang tepat. Penggunaan metformin dalam kondisi kontraindikasi menjadi fokus utama dalam penelitian ini. METODOLOGI Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan di SMF Penyakit Dalam RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi. Jenis penelitian adalah penelitian observasi prospektif dengan teknik pengambilan sampel menggunakan metode porposive sampling. 105 Hansen N., et al. Pasien yang dipilih adalah pasien diabetes melitus rawat inap yang diberikan metformin sebagai terapi diabetes melitus tipe 2 di SMF Penyakit Dalam RSUD Dr. Achmad Muchtar Bukittinggi. Data yang diambil adalah data rekam medik serta kelengkapan data pasien (usia, pekerjaan, riwayat penyakit, komplikasi penyakit), anamnesa, pemeriksaan fisik serta data laboratorium pasien diabetes melitus rawat inap di RSUD Dr. Achmad Muchtar Bukittinggi. Data yang diambil dipindahkan ke lembaran pengumpulan data yang telah disiapkan. Sejak data awal diambil, pasien akan di follow up terus untuk melihat perkembangan kondisinya klinisnya. Data ditabulasikan berdasarkan pasien yang menjalani terapi diabetes melitus, namun kontraindikasi dengan penggunaan metformin. Penarikan kesimpulan dilakukan berdasarkan analisis kontraindikasi pada peggunaan metformin pada SMF Penyakit Dalam RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012 a. b. c. d. e. Gangguan fungsi ginjal (CrSr 2,1 mg/dl & 2,9 mg/dl): 2 orang Gangguan fungsi jantung (gagal jantung stage II-IV, dekompensasi kordis ): 3 orang Gangguan fungsi hati (sirosis hati dan insufisiensi fungsi hati): 2 orang Gangguang fungsi jantung dan ginjal (gagal jantung stage III, dekompensasi kordis, CrSr 2,5-5,7 mg/dl): 3 orang KI lain (dehidrasi akut dan hipoperfusi) : 1 orang 3. Delapan orang memiliki kondisi penyakit yang berat dengan parameter yang signifikan untuk dikategorikan kontraindikasi dengan terapi metformin, 2 orang dinyatakan meninggal dunia selama masa pengobatan di rumah sakit. HASIL 4. Tidak ada dilakukan pengukuran kadar laktat serum, anion gap, dan HCO3 sebagai indikator terjadinya laktat asidosis. Pengukuran pH darah juga jarang dilakukan. Dari penelitian yang telah dilakukan,, didapatkan hasil sebagai berikut : 5. Tidak ditemukan secara langsung terjadinya kasus laktat asidosis. 1. 2. Empat puluh dua orang pasien terdiagnosa menderita diabetes mellitus tipe 2 dan di rawat di SMF penyakit dalam selama masa penelitian ini. Pasien diabetes mellitus tipe 2 yang menggunakan metformin sebagai antidiabetik oral berjumlah 28 orang, 11 orang diantaranya terdidentifikasi kontraindikasi dengan metformin, terdiri dari : PEMBAHASAN Penelitian ini melibatkan pasien diabetes melitus tipe 2 yang dirawat inap di Rumah Sakit Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi. Pada umumnya, pasien diabetes mellitus tipe 2 menjalani rawat inap 5 hingga 10 hari. Beberapa pasien yang memerlukan perawatan intensif seperti kasus ganggren diabetik dan komplikasi serius menjalani masa perawatan yang lebih lama . Namun, beberapa pasien mengajukan untuk melakukan perawatan di rumah, dengan 106 Hansen N., et al. alasan biaya dan ketidaknyamanan di rumah sakit, walaupun kondisi pasien tersebut masih memerlukan perawatan intensif dan terapi lanjutan. Pasien ini dikategorikan sebagai pasien pulang paksa. Akibatnya, kondisi pasien menjadi tidak terkontrol dengan baik, data laboratorium lanjutan juga tidak dapat dilakukan dan terapi yang akan diberikan pun menjadi terhambat karena ketidaksediaan pasien untuk dilakukan terapi lebih lanjut. Begitu juga beberapa pasien yang masuk dalam kategori penelitian penulis, sebagian lebih memilih melakukan perawatan di rumah, sehingga perkembangan penyakit si pasien tidak dapat dipantau hingga kondisinya lebih baik. Dari 42 orang pasien yang terdiagnosa menderita diabetes melitus tipe 2, 28 orang menggunakan antidiabetik oral metformin. Diantara 28 orang pasien tersebut, 11 orang dikategorikan kontraindikasi dengan terapi metformin. Hasil ini ditinjau dari diagnose penyakit oleh dokter, riwayat penyakit pasien, data laboratorium, hasil rontgen, USG (ultrasonografi), gejala & keluhan dan obat yang diberikan. Namun, tidak semua pasien perkembangan penyakitnya dapat dipantau lebih lanjut. Kendala yang dihadapi antara lain, pasien pulang paksa sebelum data laboratorium dan terapi dilakukan secara sempurna, pengukuran data laboratorium pasien yang hanya dilakukan sekali. Keadaan ini menyebkan diagnosa penyakit pasien yang tidak kuat disertai parameter klinis yang kurang lengkap. Setelah dianalisa, dari 11 pasien tersebut, ada 8 orang memilki kondisi penyakit yang berat, dengan parameter klinis yang signifikan untuk dikategorikan kontraindikasi dengan terapi metformin. Pasien ini memiliki diagnosa, data laboratorium dan obat yang jelas, perkembangannya dapat diamati sehingga dapat dilakukan analisa lebih lanjut. Dua diantarnya dinyatakan meninggal dunia di J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012 rumah sakit. Data pasien dengan kontraindikasi metformin dapat dilihat pada tabel. Tabel I. Pasien yang Kontraindikasi dengan Metformin N o Nam a Pasi en Keadaan Kontraindikasi 1 Tn. BR Gangguan fungsi CrCl : 2,9 mg/dl ginjal 2 Ny. YS Gangguan fungsi CrCl : 2,1 mg/dl ginjal 3 Ny. NL Gangguan fungsi Gagal jantung jantung stg III-IV 4 Tn. MD Gangguan fungsi Gagal jantung jantung stg I-II 5 Tn. MS Gangguan fungsi Gagal jantung jantung stg II-III 6 Ny. SH Gangguan fungsi Sirosis hati hati 7 Ny. NM Gangguan fungsi Peningkatan kadar enzim hati hati (AST/ALT 2x normal) 8 Ny. CW Gangguan fungsi ginjal dan jantung 9 Ny. MI Gangguan fungsi CrCl : 5,5 ginjal dan mg/dl, jantung jantung kongestif 1 0 Ny. MY Gangguan fungsi CrCl : 2,5 ginjal dan mg/dl, gagal jantung jantung stg III. 1 1 Ny. NS Dehidrasi akut Keterangan CrCl :3,4 mg/dl, dekompensasi kordis Dari 8 orang pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan kondisi penyakit yang berat, 3 107 Hansen N., et al. orang memiliki 2 kontraindikasi ( gagal jantung dan ginjal), 3 orang dengan penyakit jantung, 1 orang mengalami dehidrasi akut, dan 1 orang lagi memilki riwayat sirosis hati. Dua orang lainnya memilki kadar CrSr (creatinin serum) 2,9 mg/dl dan 2,1 mg/dl, sementara satu orang pasien lagi mengalami gangguan fungsi hati dengan peningkatan enzim hati AST/ALT (Aspartate Aminotransferase/ Alanine Aminotransferase) dua kali normal. Tiga orang pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal, kadar kreatininnya terukur > 1,4 mg/dl. Pada kasus Ny. CW, Ny. MI, dan Ny. MY kreatininnya mencapai 2,5 hingga 5,7 mg/dl. Ny. CW (55 th) dengan kadar glukosa darah puasa 287 mg/dl, kreatinin 3,4 mg/dl diberikan terapi metformin 2x 500 mg/hari selama 4 hari, kadar kreatinin tetap tinggi hingga mencapai 5,4 hingga akhirnya meninggal dunia. Kondisi ini sebenarnya mengharuskan untuk menghentikan terapi metformin atau tidak menggunakannya karena sudah tergolong kontraindikasi. Kemampuan ginjal untuk mensekresikan asam-asam setiap hari menjadi berkurang. Fungsi ginjal yang parah dapat menyebabkan akumulasi metformin dan laktat didalam darah, pencetus terjadinya laktat asidosis (Chisholm et al.,2008; Kennedy & Herman, 2005). Pada kadar kreatinin yang tinggi > 1.4 mg/dl (wanita) dan >1,5 mg/dl (laki-laki), metformin tidak boleh diberikan karena berisiko laktat asidosis, strategi alternatif untuk menangani diabetes pada situasi ini adalah penggunaan insulin, thiazilidinedion dan sulfonylurea. (Dipiro, 2005; Nisbet et al, 2004; Sinclair & Finucane, 2001) Begitu juga yang terjadi pada Ny. MI (60 th) dan Ny. MY (61 th), selain mengalami penurunan fungsi ginjal (kreatinin 5,7 mg/dl dan 2,5 mg/dl) disertai udem juga J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012 terjadi gagal jantung stg III. Kadar Hb (haemoglobin) terukur sebesar 8,1 g/dl, pasien diagnosa mengalami anemia.Metformin diberikan 2x 500 mg/hari selama 3 hari. Pada kasus Ny. MI dengan GDP/2pp (glukosa darah puasa/ 2 jam post prandial) 178/197 mg/dl, diberikan terapi awal insulin selama 24 hari, kemudian di stop, dengan kadar gula darah terakhir 88 mg/145 (GDP/2pp) mg lalu diganti dengan metformin dan glibenklamid. pengukuran terhadap pH darah dilakukan satu kali setelah 15 hari dirawat, sebelum diberikan terapi metformin, ternyata nilai pH darah pasien ini sebesar 6,97, nilai yang sudah tergolong asam. Bila dilihat dari nilai pH yang rendah ini, pasien sudah dapat dikategorikan mengalami hiperasidemia. Berdasarkan standar pH darah normal (7,35-7,45), jika pH < dari 7,35 mengindikasikan asidemia. (Mogensen, 2007; Tiemey et al., 2007; Tim Bina Farkomik, 2007). Setelah konsul bedah ke bagian urologi, hasilnya ditemukan adanya batu ginjal. Kondisi ini mengharuskan tidak diberikannya terapi metformin, karena mengkontribusi berkembangnya laktat asidosis. Terapi insulin yang diberikan cukup efektif, kadar gula darah secara bertahap turun menjadi 88mg/145mg, artinya sudah berada dalam range normal, namun dilanjutkan dengan terapi metformin, dikombinasikan dengan glibenklamid. Kombinasi terapi ini kurang tepat, karena gula darah sudah kembali normal, tidak seharusnya diberikan dua kombinasi obat antidiabetik oral (ADO), kondisi ini dapat berisiko hipoglikemia bila obat tetap diberikan terus. Ditambah lagi pemberian metformin yang kontraindikasi dengan pasien. Namun setelah 3 hari terapi metfomin dan glibenklamid diberikan, pasien meminta untuk dirawat dirumah, dengan kadar kreatinin masih 5,7 mg/dl, sementara kadar kreatinin normal untuk 108 Hansen N., et al. wanita 0,6-1,1 mg/dl dan pria 0,7-1,3 mg/dl (Dipiro, 2005) Metformin dan glibenklamid tetap diresepkan untuk pengobatan dirumah. American Diabetic Association (ADA) menyatakan kombinasi metformin dengan sulfonylurea digunakan ketika terapi obat tunggal tidak memperlihatkan kontrol glukosa yang baik.(Kendal, 2009; Wells, 2006). Sementara pada pasien jantung, terdapat pasien dengan gagal jantung stg I-III, angina, pembesaran jantung dengan bendungan paru (Ny. NL, Ny. MI, Ny. MY, Tn. MS, dan Tn. MD). Pasien- pasien ini mendapatkan terapi diuretik furosemid (tablet furosemid, inj lasix ) dan spironolakton. Digoksin, ISDN (isosorbid dinitrat), asetosal, ramixal, dan valsatran diberikan untuk pengobatan jantung. Sama halnya dengan Ny. MI, Ny. MY dengan CHF (congestif heart failure) stg III, kadar gula darah 213 mg/dl juga mendapatkan terapi awal metformin selama 3 hari dari 5 hari masa perawatan. Namun hanya dilakukan satu kali pengukuran terhadap kadar kreatinin, hasil menunjukkan 2,5mg/dl, tetapi pasien ini juga pernah dirawat sebelumnya dengan kadar kreatinin mencapai 5,5 mg/dl. Nilai ini tergolong kontraindikasi dengan metformin. Namun pasien ini juga mengajukan untuk pulang, sehingga tidak dapat dipantau keadaan selanjutnya di rumah sakit. Pemberian metformin sebaiknya tidak diberikan karena selain pasien tergolong kontraindikasi, bagi pasien rawat jalan, kontrol terhadap kondisi klinisnya tidak begitu optimal, apalagi dengan gangguan ginjal stg III ini, dapat memperparah fungsi ginjal pasien, aliran darah ke ginjal semakin menurun, terjadinya udem, dan asidosis metabolik karena penumpukan asam - asam yang berisiko berkembangnya laktat asidosis bila tidak dilakukan pemantauan yang intensif. J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012 Pemberian metformin juga kontraindikasi pada Ny. NL (60 th), dengan gagal jantung stg III-IV disertai penurunan kesadaran, udem dan riwayat stroke. Metfomin diberikan ketika kadar gula darah puasa 155 mg/dl, pasien sudah mulai bisa diajak komunikasi, sesak nafas masih dirasakan tapi berkurang dengan bantuan oksigen. Metformin hanya diberikan selama 2 hari oleh seorang dokter, kemudian di stop oleh dokter lainnya. Selanjutnya tidak diberikan terapi diabetes mellitus tipe 2 lagi pada pasien, terapi lebih difokuskan pada kondisi gagal jantung dan udem yang masih berlanjut. Hingga akhir perawatan, kondisi pasien mulai membaik, sesak nafas mulai berkurang, pasien tidak lagi menggunakan bantuan oksigen, kadar gula darah puasa 184 mg/dl sedangkan kadar gula darah 2jam post prandial sudah berada dalam batas normal yakni 116 mg/dl. Penghentian terapi metformin diatas merupakan tindakan yang tepat, mengingat kondisi gagal jantung yang berada pada stadium lanjut, ditambah lagi sesak nafas dan penurunan kesadaran, Suplai darah dan oksigen ke sel- sel tidak cukup, kondisi yang mencetus terjadinya hipoksia dan hipoksemia jaringan dan sangat kontraindikasi dengan terapi metformin. Pada kasus Tn. MD (75 th) dengan gagal jantung stg I-II, kadar glukosa puasa awal 382 mg/dl, kreatinin 1,63 mg/dl, ureum 73 mg/dl. Menerima obat digoksin, ISDN, spironolakton, dipiridamol (vasotin®) yang diberikan selama 13 hari berturutturt. Terapi diabetes melitus diawali dengan inj insulin selama 6 hari, lalu diganti dengan antidiabetk oral metformin 2x500mg/hari dan glikuidon (mictonorom®) selama 3 hari ketika kadar glukosa darah 167/307 mg/dl (GDP/2pp), metformin dinaikkan menjadi 3x500mg/hari. Walaupun kondisi pasien ini tergolong kontraindikasi dengan metformin, pada akhir pengobatan kondisi 109 Hansen N., et al. pasien terlihat membaik, sesak nafas yang dirasakan mulai berkurang, kadar gula darah menjadi 124mg/dl/167mg/dl. Dari hasil ini, terlihat bahwa pemberian terapi metformin pada pasien gagal jantung tidak memperlihatkan efek samping yang serius. Pada suatu studi prospektif terhadap 71 (65 %) pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan 1 atau lebih kontraindikasi metformin, Alawadhi et al. mengobservasi bahwa dari 6 (5 % ) pasien gagal jantung yang di analisa tidak ditemukan terjadinya laktat asidosis maupun efek samping yang serius pada pasien gagal jantung yang menerima terapi metformin. Namun, karena keterbatasan jumlah pasien, hasil ini belum menjamin penggunaan metformin aman diberikan pada pasien gagal jantung.( Alawhadi, et al., 2008) Gagal jantung stage III juga di alami oleh Tn. MS (62 th). Setelah satu bulan sebelumnya di rawat di rumah sakit dengan diagnosa diabetes mellitus tipe 2 dan komplikasi gagal jantung stage III disertai pembesaran jantung dengan bendungan paru (dekompensasi kordis), Tn. MS kembali menjalani masa perawatan dengan diagnosa yang sama. Selama tiga kali masa perawatan dalam jangka waktu dua bulan, Tn. MS selalu mendapatkan terapi metformin 3x 500 mg dan akarbose (glukobay®) 1x 50 mg, sebagai agen hipoglikemia oral. Terapi metformin diberikan secara berkelanjutan selama dirawat di rumah sakit, lebih kurang 15 hari perawatan setiap periode. Penggunaan metformin tidak pernah dihentikan, walaupun pasien terdiagnosa gagal jantung stage III dan mendapatkan digoksin (1x ½) dan ISDN (3x5 mg) sebagai terapi gagal jantung. ISDN dan digoksin diberikan juga diberikan bersama-sama secara berkelanjutan dari awal hingga akhir perawatan. Dapat dikatakan, metformin, glukobay, ISDN dan digoksin adalah terapi utama yang diberikan dalam J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012 jangka waktu yang lama. Kadar glukosa darah puasa tertinggi sebesar 281 mg/dl. ISDN bekerja meningkatkan aliran darah, mengurangi kebutuhan oksigen miokardium dan meningkatkan suplai oksigen. Sementara digoksin membantu menguatkan jantung dan memperbaiki sirkulasi (Terry & Schwinghammer, 2005). Efek kedua obat ini memiliki pengaruh yang baik terhadap kondisi pasien. Keluhan sesak nafas yang dirasakan pada awal perawatan berangsur- angsur menurun. Begitu juga dengan terapi metformin yang diberikan, terlihat cukup efektif pada pasien ini, setelah lebih kurang dua minggu diberikan metformin, kada gula darah turun dibawah 200 mg/dl berkisar 163/214 mg/dl hingga 129/231 mg/dl. Bila dilihat dari tiga kali masa perwatan pasien, dapat dilihat sesak nafas karena penyakit gagal jantung yang diderita pasien berangsur pulih selama diberikan terapi digoksin dan ISDN. Keadaan ini berbarengan dengan penurunan kadar glukosa darah pasien hingga < 200 mg/dl selama penggunaan metformin (rata-rata 118/187 mg/dl hingga 163/214 mg/dl). Kadar kreatinin, bilirubin, kolesterol masih berada pada batas yang normal. Kondisi ini menggambarkan bahwa pemberian metformin pada pasien gagal jantung stage III yang dikategorikan kontraindikasi, ternyata tidak memperlihatkan efek samping yang serius, gejala timbulnya laktat asidosis pun tidak ditemukan, walaupun tidak dapat dipastikan secara langsung tanpa adanya pengukuran kadar laktat serum dan pH darah, namun pada akhir perawatan pasien secara umum kondisi pasien terlihat membaik. Hasil ini sama halnya dengan kasus yang terjadi pada Tn. MD di atas, tidak terjadi efek samping yang serius pada pasien gagal jantung yang diberikan terapi metformin. Walaupun begitu, secara garis besar ADA 110 Hansen N., et al. menyatakan penggunaan metformin kontraindikasi pada pasien gagal jantung (Maddalone, 2009) Lain halnya dengan yang dialami oleh Ny. NS, pasien mengalami dehidrasi akut karena disentri yang disebabkan oleh infeksi amubiasis. Selama awal perawatan hingga 7 hari dirawat di rumah sakit, mengalami mencret 5-9x /hari. Konsistensi feses cair, berlendir, bewarma kemerahan. Keadaan ini mengakibatkan dehidrasi akut, suatu kondisi yang tergolong berisiko kontraindikasi dengan penggunaan metformin karena dapat mengakibatkan perubahan fungsi ginjal dan terjadi shok hipovolemik yang dikaitkan dengan hipoperfusi jaringan (Nisbet, 2004; Sinclair & Finucane, 2001). Nilai Hb pada awal masuk rumah sakit cukup rendah sebesar 7,7 g/dl. Kadar kalium dan klorida serum masih berada pada nilai normal, hanya terjadi penurunan ion natrium 123,1 mmol/L. Ini mengindikasikan, sebelum masuk rumah sakit, pasien juga telah mengalami mencret yang berulang ulang di rumah. Pasien mengeluh lapar, pusing, tidak nafsu makan dan dan badan pusing, disertai batuk berdahak. Setelah dilakukan pengecekan terhadap kadar kreatinin, nilainya berada pada batas bawah yaitu 0,6 mmol/L. pada hari ke 7 pasien mengalami mencret 5x/hari, nafsu makan menurun dan mengalai sesak nafas, akhirnya pasien meninggal dunia. Terjadinya metabolis asidosis pada pasien ini memang tidak diketahui secara pasti, namun berdasarkan literatur menyatakan manifestasi klinis shock hipovolemik dapat mengakibatkan hipoperfusi arteri dan metabolism asidosis. Metabolisme asidosis sebagai akibat dari akumulasi asam laktat yang berasal dari hipoksia jaringan dan metabolism anaerob. Jika tekanan darah cukup rendah akan mencetus hipoperfusi yang yang parah dan disfungsi organ ( Chisholm et al., 2008). J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012 Sirosis hepatik terjadi pada Ny. SH (56 th), menjalani 5 hari perawatan di rumah sakit karena diabetes mellitus tipe 2 dan melena ec sirosis hepatik. Satu bulan yang lalu juga dirawat dengan keluhan dan diagnosa yang sama. Kadar glukoda darah pasien 301 mg/dl. Diberikan 2 kombinasi antidiabetik oral yaitu metformin dan glibenklamid, kadar glukosa darah turun menjadi 146/147 mg/dl sebagai antidiabetik oral. Gejala dan keluhan yang dirasakan pasien berupa sakit dibagian perut, badan lemah, BAB bewarna hitam dengan konsistensi cair. Kadar Hb terukur 8,1 g/dl Dari pemeriksaan klinik, ternyata HBsAg positif dan anti- HBsAg negatif. Dari data ini, dapat diberikan hipotesa bahwa pasien menderita hepatitis B kronik, kemudian berkembang menjadi sirosis hati. Pada penyakit hati yang sudah lanjut kadar AST, ALT dan bilirubin sering terlihat normal (Sinclair & Finunce, 2001; Tim Bina Farkomik, 2007 ). Selain itu juga dinyatakan kebanyakan pasien dengan sirosis hati tidak menampakkan gejala dan biasanya berupa dyspepsia dan nyeri epigastrik (Dipiro , 2005). Hal ini juga yang dialami oleh pasien SH, kadar AST, ALT, dan bilirubin masih normal, hanya albumin yang rendah (2,8 g/dl). Riwayat sirosis hepatik yang dialami Ny. SH tergolong kontraindikasi dengan penggunaan metformin. Namun, setelah 5 hari perawatan, kadar glukosa darah kembali turun, Hb kembali normal (11,1 g/dl), BAB juga bewarna kuning. Ini mengindikasikan pasien toleran dengan terapi metformin walaupun dengan komplikasi sirosis hati. walaupun begitu, keadaan ini belum tentu menjamin keamanan penggunaan metformin, karena seiring kerusakan hati yang progressif, dapat saja terjadi laktat asidosis, kondisi hati yang parah dapat menyebabkan terhambatnya uptake laktat oleh hati, dan 111 Hansen N., et al. menimbulkan akumulasi laktat didalam darah. Jadi, perlu monitoring dan evaluasi yang tepat pada kasus seperti ini. Sebagian besar pasien lainnya juga kontraindikasi dengan metformin, namun terkadang ada yang hanya dilakukan cek darah sekali, sehingga kita tidak dapat mengetahui perkembangan lebih lanjut. Seperti pada kasus Ny. NM (65 th), mengalami diabetes mellitus tipe 2 disertai gangguan fungsi hati yang terlihat dari nilai enzim hati AST/ALT dua kali normal.metformin diberikan 2x500 mg pada hari kedua ketika kadar AST 116,4 U/L dan ALT 134,5 U/L. Literature menyatakan bahwa metformin kontraindikasi pada pasien gangguan fungsi hati yang ditandai dengan kadar enzim hati 2-3 kali diatas normal (AST 040 U/L dan ALT 0-41 U/L) (Khandwala, 2004; Rita et al., 2002). Peningkatan enzim hati terjadi pada peradangan hati kronik seperti hepatitis C, tapi dapat normal pada peradangan yang sudah lama seperti hepatitis B. AST/ALT meningkat pada peradangan sel hepatic (hepatocelluler injur). AST/ALT merupakan indikator sensitif pada lesi nekrosis di hati. Pada keadaan nekrosis AST/ALT meningkat sedikitnya 2 kali normal. Gangguan fungsi hati dapat mengganggu kliren laktat di hati (Dipiro, 2005; Kasper, 2005; Sinclair & Finucane, 2001). Namun, pada kasus Ny. NM, pasien hanya dirawat selama 3 hari, kemudian memutuskan untuk pulang, sehingga hasil laboratoriumoratorim hanya dapat dilihat satu kali. Selain itu pasien dirawat dalam waktu yang singkat, ketika kadar gula darahnya normal dan kondisi fisik mulai membaik, pasien dibolehkan pulang, komplikasi yang dirasakan masih berada pada tingkatan yang ringan atau hanya berupa diagnosa sementara, obat metformin tetap J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012 diberikan tanpa adanya peninjauan lebih lanjut terhadap kadar laktat, dan pH darah. Sejauh ini pasien yang diberikan terapi metformin pulang dengan kondisi yang cukup baik dengan kadar gula yang mulai normal, walaupun pasien-pasien tersebut dinyatakan kontraindikasi. Tidak tertutup kemungkinan bisa terjadi laktat asidosis, bila menggunakan metformin dalam jangka waktu lama, dosis tinggi dengan kondisi klinis yang berat. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi diabetik dan analisa kasus diatas dengan multiple risiko laktat asidosis menunjukkan bahwa metformin menjadi pilihan utama sebagai antidiabetik oral pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dan juga masih diresepkan bagi pasien diabetes mellitus tipe 2 yang kontraindikasi dengan penggunannya. Kondisi klinis pasien dengan komplikasi diabetes yang berujung berkembangnya laktat asidosis seperti gagal jantung, penyakit jantung koroner, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, dan kondisi klinis berkaitan dengan hipoksemia seperti dehidrasi, obstruksi pulmonal, emboli paru dan lainnya, nampaknya tidak terlalu menjadi bahan pertimbangan utama dalam penggunaan terapi metformin. Metformin juga masih diberikan pada pasien, walaupun dengan lebih dari satu kontraindikasi. Analisa lainnya menunjukkan bahwa pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan kontraindikasi metformin ternyata selama masa pengobatan cukup toleran dengan terapi metformin. Tidak ditemukan efek langsung terjadinya laktat asidosis. Walaupun begitu, dari hasil penelitian ini tidak dapat dinyatakan secara langsung bahwa metformin aman digunakan pada pasien yang dikategorikan kontraindikasi dengan penggunaannya dan tidak dapat juga dismpulkan secara pasti terjadinya 112 Hansen N., et al. laktat asidosis karena keterbatasan jumlah pasien dan tidak dilakukannya pengukuran terhadap kadar laktat serum, pH darah, kadar bikarbonate sebagai indikator utama terjadinya laktat asidosis. Ini membuktikan bahwa perhatian terhadap kemungkinan timbulnya kasus laktat asidosis pada pasien diabetes mellitus tipe 2 yang kontraindikasi dengan metformin tidaklah besar. Tampaknya, yang menjadi poin utama penatalksanaan diabetes mellitus tipe 2 adalah efek yang dapat diamati secara pasti yaitu usaha menurunkan kadar gula darah sampai batas normal, dibandingkan kemungkinan kecil yang belum tentu terjadi, walaupun dapat berakibat fatal, seperti kasus laktat asidosis. Kasus-kasus yang ada pada penelitian ini juga ditemukan pada suatu penelitian prospektif Yoburn et al. terhadap 4 pasien dengan penyakit yang berat yang diberikan terapi metformin. Satu dari tiga pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, emboli paru dan penyakit paru obstruksi kronis meninggal dunia, dengan kadar laktat serum ditemukan 7,8 mmol/L (kadar normal 0,7-2,1 mmol/L), kreatinin 2,6 mg/d dan glukosa 340 mg/dl. Pasien lainnya dengan gangguan ginjal kronik (2,2 mg/dl),dehidrasi, gagal jantung, kadar digoksin 2,5 mg/dl. Anion gap 16mEq/L (kadar normal 7-16 mEq/L) dan ion HCO3 (bikarbonat) 22 mmol/L (kadar normal 2226 mmol/L), setelah 7 hari diberikan terapi metformin, kadar laktat serum menjadi 8,8 mmol/L, kreatinin 2,0 mg/dl, pH 7,25, anion gap 18 dan HCO3 13 mmol/L, dan pasien mngalami koma. Yoburn melihat insiden laktat asidosis yang meningkat pada pasien yang diberi metformin selama dua bulan. (Yoburn et al., 2005) Berkaitan pertimbangan risiko dan manfaat terapi metformin dengan kontraindikasi, beberapa penelitian klinis telah mengevaluasi keamanan penggunaan J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012 metformin pada pasien dengan kontraindikasi metformin. Alawadhi et al. menyatakan terdapat beberapa kasus hiperlaktatsemia tapi tidak ada kasus laktat asidosis dari analisa prospektif 106 pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan berbagai kondisi klinis yang kontraindikasi dengan penggunaan metformin. Sama halnya, pada analisa dari 194 penelitian, Salpeter dan rekan-rekannya tidak menemukan kasus laktat asidosis pada 36893 orang per tahun pada pasien yang diresepkan metformin. Pada 26 studi dimana kadar laktat diukur, tidak ada perbedan pada kadar laktat serum antara metformin dan non golongan non biguanida (Khandwala,2004). Studi pada 471 pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan berbagai kriteria kontraindikasi (CrSr 132-220 µmol/l, CHF NYHA (New York Heart Association) klass III-IV, fungsi hati abnormal dengan kadar plasma AST, ALT, GGT (Gamma Glutamyl Transferase) atau alkalin fosfat dua kali diatas normal, COPD (Congestif Obstructive Pulmonary Disease), dan sindrom koronari akut terhadap terapi metformin , tidak ditemukan adannya kasus laktat asidosis (Rachmani et al., 2002). Sedangakan Abbasi et al. menemukan kadar laktat yang tinggi dikaitkan dengan CHF dan COPD pada pasien yang menggunakan terapi metformin. (Alawadhi et al,2008). Terlepas dari keamanan yang relatif dari terapi metformin diatas, American Diabetic Association (ADA) dan United Kingdom Prospektif Studi (UKDSP) telah menyatakan metformin dapat digunakan pasien diabetes mellitus tipe 2 jika toleran dan tidak kontraindikasi (Dipiro, 2005; Champhel, 2000). Kontraindikasi tersebut meliputi gagal jantung, insufisiensi ginjal, sirosis hepatik, dan kondisi klinis yang berkaitan dengan hipoksia dan hipoksemia 113 Hansen N., et al. jaringan seperti sepsis, dehidrasi dan koma. New York Heart Association juga menyatakan gagal jantung stage II-IV pada klasifikasi NYHA merupakan kontraindikasi utama pada terapi metformin (2-39 % pasien, n >16,000) (Maddalone, 2009). Jadi ini adalah standar yang penting diperhatikan dalam penggunaan metformin pada penetalaksanaan terapi pasien diabetes mellitus tipe 2. Insiden terjadinya laktat asidosis yang dikaitkan dengan penggunaan metformin pada sejumlah pasien diabetes mellitus tipe 2 yang kontraindikasi dengan terapi ini memang secara pasti tidak diketahui dan tidak ditemukan selama penelitian. Namun, bukan berarti metformin dapat digunakan secara luas pada pasien diabetes mellitus tipe 2 yang kontraindikasi. Hasil ini sesuai dengan sejumlah besar penelitian yang menyatakan kasus laktat asidosis berkaitan dengan penggunaan metformin jarang terjadi, insidennya diperkirakan 0,03 kasus per 1000 pasien (DG, 2006; Kluwer 2009), studi populasi Saskatchewan yang menyebutkan insiden laktat asiosis karena penggunaan metformin 9 kasus per 100000 pasien tiap tahunnya (Linn, 2009). Namun, kemungkinan untuk bisa terjadi masih ada tergantung kondisi klinis pasien dan akumulasi metformin didalam darah. Untuk itulah diperlukan pengecekan yang akurat dan tepat terhadap kondisi pasien, terutama pasien dengan fungi ginjal menurun, gangguan jantung, hati dan hipoksia jaringan. Menurut suatu penelitian, laporan kasus terjadinya laktat asidosis berkaitan dengan pengunaan metformin lebih banyak disebabkan gabungan laktat asidosis tipe A dan tipe B (akumulasi metformin dan penyakit penyerta) oleh penyakit penyerta pada tingkat yang parah berkaitan seperti gagal jantung NYHA kelas II-IV, gagal J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012 ginjal dengan kreatinin serum > 1,4 dan > 1,5 mg/dl, sirosis hati dan sepsis serta kondisi hipoksia jaringan. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya metabolisme anaerob yang dapat berpotensi timbulnya laktat asidosis, di barengi juga dengan penggunaan metformin, akan semakin memperburuk keadaan. (Swellen, 2007). Metformin menurunkan ambilan laktat oleh hati, keadaan ini menyebabkan produksi laktat semakin meningkat sedangkan klirennya menurun karena perfusi ginjal yang rendah, kadar metformin juga tinggi karena sulit diekresikan, hati pun mengalami kegagalan dalam menyerap laktat yang berlebih, mengakibatkan akumulasi laktat tinggi didalam darah, pH darah menjadi lebih asam, akibatnya berujung pada kematian. (Wolters, 2009; Sheehan, 2003) Banyak faktor yang dapat mengkontribusi terjadinya laktat asidosis. Metformin adalah obat penting untuk terapi diabetes. kerjanya yang dapat mengurangi efek makrovaskular pada diabetes dan tidak mengakibatkan peningkatan berat badan (Champhel, 2000; Tandon, 2007)) seperti yang terlihat pada terapi lainnya, menjadikannya sebagai pilihan utama dalam penatalaksanaan diabetes mellitus tipe 2. Kontraindikasi terhadap terapi metformin umum terjadi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 tapi kebanyakan kondisi ini tidak terlalu diperhatikan. Hal yang sangat penting sekali untuk mencegah penggunaan metformin pada pasien dengan faktor risiko yang multiple berkembangnya laktat asidosis. Hasil dari berbagai penelitian yang dilakukan barubaru ini, merekomendasikan perlunya menganalisa lagi standar kontraindikasi metformin karena standar yang jelas dipelukan untuk peresepan metformin dengan kontraindikasi yang lebih spesifik. 114 Hansen N., et al. Kondisi pasien harus dievaluasi dan dipantau secara seksama sebelum terapi dimulai, dosis metformin harus disesuaikan berdasarkan adanya faktor risiko dari efek samping metformin. Edukasi dan pengenalan tentang peringatan dan kontraindikasi serta kehati-hatian dan ketepatan dalam penggunaan obat ini adalah kunci untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. KESIMPULAN & SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakuakan maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. 2. 3. Kontraindikasi terapi metformin umum terjadi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dan kebanyakan dari keadaan ini tidak terlalu menjadi perhatian klinisi. Tidak ditemukan bukti terjadinya laktat asidosis pada pasien selama penelitian, karena tidak dilakukan pemeriksaan terhadap kadar laktat serum, dan pH darah. Peran farmasis sebagai ahli obat sangat diperlukan sebagai pemberi rekomendasi terapi agar penggunaan metformin pada kondisi yang tepat sesuai perkembangan kondisi klinisnya. SARAN . Evaluasi kondisi pasien dan monitoring sistem organ secara periodik sangat diperlukan sebelum terapi metformin diberikan dan farmasis perlu melakukan perannya sebagai drug therapy advisor J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012 DAFTAR PUSTAKA Alawadhi, S.S., Clifford, R.M., Sunderland, V.B., Hackett, L.R.P., Farah, H., Shareef, T.M. (2008). Do contraindication to metformin therapy deprive type 2 diabetic patients of its benefits?. International Journal of Diabetes & Metabolism, 16, 81-84. Allen, L.V. (2003). Secundum Artem. Compounding for Diabetic Patient. Current & Practical Compounding Information for The Pharmacist., vol 9, no 3. Anonim. (2008). A national Clinical Guideline. Diagnosis and Management of Chronic Kidney Disease. Edinburg : Scottish Intercollegiate Guideline Network. Brenner, M. & Safani, M. (2005). Critical Care and Cardiac Medicine. USA : Current Clinical Strategies Publishing. Camphell, I.W. (2000). Metformin and The United Kingdom Prospective Diabetes Study : A Commentary. Arq Bras Endcrinol Metab, vol 22, no 1. Chisholm, M.A., et al. (2008). Pharmacotherapy Principles & Practice. US : McGraw-Hill. Curtis, R., Chong, Bruce, A., Chaner. (2009). Mysterious Metformin. The Oncologist, vol 14, no 12, 1178-1181. DG, V.Z. (2006). Optimal Glocose Control in Type 2 Diabetes Mellitus- A Guide for The Family Practitioner. SA Fam Pract, 48 (10), 22-29 Dipiro, J.T. (2005). Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach. (6thed.). US : McGraw-Hill. Direktorat Bina Farmasi Komunitas & Klinik. (2007). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hati. Jakarta : Depkes RI. 115 Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012 Direktorat Bina Farmasi Komunitas & Klinik. (2006). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Jantung Koroner. Jakarta : Depkes RI. Maddalone, T.M. (2009). Metformin Use in Patients With Diabetes and Heart Failure :Cause for Concern?. Diabetes Spectrum, vol 22, no 1. Direktorat Bina Farmasi Komunitas & Klinik. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta : Depkes RI. Matthaei, S.,Bierwirth, R., Fritsche, A., Gallwitz, B., Harring, H.U., Joost, H.G., Kellerer, M., Kloos, C.H., Kunt, T., nauck, M., Schernthaner, G., siegel, E., Thienel, F. (2008). Medical antihyperglycaemic Treatment of Doabetes mellitus Type 2. Evidence Based Guide of The German Diabetes Association (DDG) Edwards, C. & Waker, R. (2003). Clinical Pharmacy and Therapeutics. (3th ed). New York : Churchill Livingstone. Golay, A. (2008). Metformin and Body Weight. International Journal of Obesity, 32, 61-72. Ilkka k, Juha R, Kimmo M, Perttu A, Krista K. (2002). Effect of Metformin on Blood Pressure (A Study in Obese NonDiabetic Patient with Hypertension). Clin Drug Invest , 22, 347-354. John, M.G., Giurini, Emily, A.C., Jeremy, J.C. (2007) Diabetes : “The Latest Trends in Glycemic Control”. Clinics in Pediatric Medicine And Surgery , 24, 159-189. Kasper, Dennis, L. (2005). Harrison’s : Manual of Medicine. (16th ed). US : McGraw-Hill. Kendal, D.M., et all . (2009). Treatment of Type 2 Diabetes. European Journal of Internal Medicine, 20, 5329-5339. Kennedy, L & Herman, W.H. (2005). Renal Status Among Patients Using Metformin in A Primary Care Setting. Diabetes Care Article, vol 28, no 4. Khandwala, H.M. (2004). The Prevalence of Contraindications to The Use of Metformin. Canadian Journal of Diabetes, 28 (4), 380-384. Kluwer, W. (2009). Drug Fact and Comparisons. (Pocket Version 2009) Linn, W.D., Wofford, M.R., O’keefe, M.E., Posey, L.M. (2009). Pharmacotherapy in Primary Care. US: The McGraw-Hill. McEvoy, Gerald, K. (2008). AHFS Drug Information. Bethesda, MD : American Siciety of health-system Pharmacist. Mogensen, C.E. (2007). Pharmacotherapy of Diabetes : New Developments; Improving Life and Prognosis for Diabetic Patients. New York : Springer. Nisbet, J.C. (2004). Metformin and Serious Advers Effect. Editorials, vol 180. Noble, J., Baerlocher, M.O., Silverberg, J. (2005). Management of Type 2 Diabetes Mellitus : Role of Thiazolidinediones. Canadian Family Physician, vol 51, 683-687. Rita R., Inna S., Zohar L., Bat-Sheva Z., Yoav K., Mordchai R. (2002). Metformin in Patiens With Type 2 Diabetes Mellitus: Reconsideration of traditional Contraindications. European Journal of Internal Medicine , 13, 428-433. Saenz, A., Fernandez, E.I., Mataix, A., Ausejo, S.M., Roquei, F.M., Moher, D. ( 2009). Metformin Monotherapy for Type 2 Diabetes Mellitus. The Cochrane Collaboration, issue 1. Sheehan, M. T. (2003). Current Therapautic Option in Type 2 Diabetes Mellitus : A Practical Approach. Clinical Medicine & Research, vol 1, no 3, 189-200. 116 Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012 Sinclair, A. J. & Finucane, P. (2001). Diabetes in Old Age 2nd Ed. Jonh wiley & Sons ltd. Speicher, E.C. & Smith, J. W. (1994). Pemilihan Uji Laboratorium yang Efektif. Jakarta : EGC Suzuki, H. & Saruta, T. (2004). Kidney and Blood Pressure Regulation. Vol 143. Switzerland : Karger. Swellen, W. M. (2007). Contraindication to Metformin Therapy Among Patiens With Type 2 Diabetes Mellitus. Journal Pharmachy World & Science, vol 29, no 6. Tandon, V. R. (2007). Metformin Theraphy: Benefits Beyond Glicemic Control. International Journal of Diabetes, vol 27, issue 1, 1-4. Terry, L. & Schwinghammer. (2005). Instructor’s Guide to Accompany Pharmacotheraphy Casebook : A Patient- Focused Appoach. (6th ed). US : The McGraw-Hill Tiemey, L.M., McPhee, S.J., Papadakis, M.A. (2007). Current Medical Diagnosis & Treatment. (46th ed). US : The McGrawHill. Wells, B. G. (2006). Pharmacotheraphy Handbook. (6th ed). US: The McGrawHill. Yoburn, D. (2005). Lactate Acidosis Associated With Metformin Use in Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Geriatrics, 60, 36-41. 117