KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN

advertisement
KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN
PENDERITA SINDROM RESPONS INFLAMASI SISTEMIK (SIRS) DI
RUANG PERAWATAN INTENSIF (INTENSIVE CARE UNIT /ICU)
RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT Dr. MINTOHARDJO PADA
TAHUN 2012 – 2013
Azizah Nurrakhmani, Maksum Radji, dan Siti Fauziyah
Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Depok, 16424
Email : [email protected]
Abstrak
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional dapat menyebabkan sulitnya penanganan penyakit infeksi karena
dengan meningkatnya penggunaan antibiotik yang tidak rasional, tingkat resistensi kuman terhadap antibiotik
akan terus meningkat. Salah satu penyakit infeksi yang mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia adalah SIRS,
yang mencakup sepertiga dari pasien yang dirawat di ICU. SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome)
merupakan respons klinis terhadap rangsangan spesifik dan nonspesifik, yang disebabkan oleh infeksi maupun
non-infeksi. SIRS yang terjadi akibat infeksi perlu diberikan terapi antibiotik empiris yang rasional. Penelitian
ini dilakukan untuk mengetahui pola penggunaan antibiotik pada pasien SIRS di Ruang ICU RSAL Dr.
Mintohardjo dan melakukan evaluasi kerasionalannya dilihat dari ketepatan pasien, ketepatan indikasi, ketepatan
obat, ketepatan dosis, dan tanpa interaksi obat. Penelitian merupakan studi survey yang dilakukan dengan cara
pengambilan data penggunaan antibiotik dari rekam medis pada periode 2012-2013 secara retrospektif dengan
desain cross-sectional dan pengambilan sampel dengan teknik total sampling. Populasi penelitian bejumlah 148
pasien dan 35 pasien diterima sebagai sampel penelitian dengan total administrasi antibiotik sebanyak 91 kali
dengan rincian sebagai berikut, antibiotik tunggal sebanyak 8 kali dan kombinasi 62 kali. Antibiotik yang paling
sering digunakan adalah meropenem, sedangkan antibiotik yang paling sering dikombinasi adalah
meropenem+metronidazol. Penggunaan antibiotik yang memenuhi kriteria tepat pasien sebanyak 100,00%, tepat
indikasi 22.86%, tepat obat 2.86%, tepat dosis 74.29% dan tanpa interaksi obat 31.43%. Maka hasil secara
keseluruhan pemberian antibiotik empiris pada pasien penderita SIRS dinilai tidak ada yang memenuhi kriteria
rasional
Kata Kunci
: SIRS; antibiotik; kerasionalan
RATIONALITY OF ANTIBIOTIC USAGE OF SYSTEMIC INFLAMMATORY
RESPONSE SYNDROME PATIENT IN INTENSIVE CARE UNIT NAVAL
HOSPITAL DR. MINTOHARDJO 2012-2013
Abstract
The irrationality of antibiotics usage can lead to difficulty in handling infectious diseases. This occurs due to the
increased of antibiotics usage that are not rational will rising the level of resistance of germs to antibiotics. One
of the diseases that have a high prevalence of infection in Indonesia is SIRS, which covers one-third of the
patients treated in the ICU. SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) is a clinical response to specific
and nonspecific insult, which are caused by infectious or non-infectious. SIRS caused by infection should be
given a rational empirical antibiotic therapy. This study was conducted to determine the pattern of antibiotic
usage in patients with SIRS in ICU Naval Hospital Dr. Mintohardjo and evaluation of the accuracy of precision
patient, an indication of accuracy, precision medicine, precision dosing, and no drug interactions. The study is a
survey study done by collecting data from medical records of antibiotic usage in 2012-2013 with a retrospective
methods, cross-sectional design and sampling with a total sampling technique. Population of study included 148
patients and 35 patients were accepted as samples of study. The study showed that the administration of
antibiotics were given 91 times with the following details, a single antibiotic were given 8 times and the
Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014
combination of antibiotic were given 62 times. The antibiotics most commonly used are meropenem, while most
antibiotics are often combined meropenem + metronidazole. Patientd that giben empirical antibitocs with
following criteria like right patients as much as 100.00%, 22.86% precise indications, 2.86% right drug, the right
dose 74.29% and 31.43% with no drug interactions. There is no rationality in empirical antibiotics usage for
patient with SIRS in Naval Hospital Dr. Mintohardjo.
Key Word
: SIRS; antibiotic; rational
Pendahuluan
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional akan dapat menyebabkan sulitnya
penanganan infeksi. Hal ini terjadi karena seiring dengan meningkatnya penggunaan
antibiotik yang tidak rasional maka tingkat resistensi kuman terhadap antibiotik akan
meningkat juga. salah satu jenis infeksi yang mendapat perhatian khusus dari WHO adalah
infeksi nosokomial yang menjangkiti pasien selama dirawat di rumah sakit atau menggunakan
fasilitas kesehatan lain karena infeksi ini tidak ditemukan saat pasien masuk rumah sakit.
Infeksi nosokomial mudah terjadi terutama di Ruang Intensive Care Unit (ICU), hal ini
dipengaruhi oleh kondisi imun pasien yang menurun akibat penyakit yang dideritanya,
penggunaan alat-alat invasif, malnutrisi, dan penggunaan ventilator. jumlah kejadian infeksi
nosokomial yang meningkat terutama di ruang ICU berkaitan juga dengan jumlah pasien yang
terkena SIRS. Infeksi seperti SIRS yang terjadi di ICU adalah penyebab utama kematian
pasien selain karena penyakit jantung (Harbart, S.J., Pittet, D. 2007). Prevalensi SIRS
(Systemic Inflammatory Response Syndrome) sangat tinggi, mencakup sepertiga dari total
pasien rawat inap dan >50% dari seluruh pasien ICU (intensive care unit). Prevalensi infeksi
meningkat seiring dengan jumlah kriteria SIRS yang dipenuhi dan dengan peningkatan derajat
keparahan gejala SIRS yang mengarah pada gejala sepsis. Sepertiga pasien SIRS mengalami
atau akan beralih ke sepsis (Leksana, 2013). Kejadian tersebut mendorong penulis untuk
melakukan penelitian di RSAL Dr. Mintohardjo guna mengetahui dan memperoleh
bagaimana pola penggunaan antibiotik pada pasien SIRS dan kerasionalan penggunaan
antibiotiknya serta untuk memperoleh data peta sensitivitas kuman yang terdapat di RSAL Dr.
Mintohardjo.
Tinjauan Teoritis
Antibiotik adalah senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme (bakteri, jamur) yang
mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu proses biokimia mikroorganisme lain
Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014
(Mims, 2004). Istilah ‘antibiotik’ sekarang meliputi senyawa sintetik seperti sulfonamid dan
kuinolon yang bukan merupakan produk mikroba (Wilianti, 2009). Penggunaan antibiotik
yang rasional didasarkan pada pemahaman dari banyak aspek penyakit infeksi. Faktor yang
berhubungan dengan pertahanan tubuh pasien, identitas, virulensi, dan kepekaan
mikroorganisme, farmakokinetika dan farmakodinamika dari antibiotik perlu diperhatikan
(Gould, et al. 2005). Pemakaian obat secara rasional berarti hanya menggunakan obat-obatan
yang telah terbukti keamanan dan efektifitasnya dengan uji klinis. Penggunaan antibiotik
dikatakan tepat bila efek terapinya mencapai maksimal sementara efek toksiknya minimal
atau berada pada batas wajar, serta perkembangan antibiotik resisten seminimal mungkin
(WHO, 2001). Suatu pengobatan dikatakan rasional apabila memenuhi beberapa kriteria
tertentu antara lain : tepat diagnosis; tepat indikasi penyakit; tepat pemilihan obat; tepat dosis;
tepat penilaian kondisi pasien; waspada terhadap efek samping; aman, efektif, mutu terjamin,
tersedia setiap saat, dan harga terjangkau; tepat tindak lanjut; tepat penyerahan obat; pasien
patuh terhadap perintah pengobatan yang diberikan (Direktorat Bina Penggunaan Obat
Rasional, 2008). Pengunaan antibiotik dengan rasional merupakan penggunaan yang
efektifitasnya terjamin dan telah dilakukan diagnosis akurat sehingga pemilihan dosis dan
peresepan antibiotik tepat. Pemberian antibiotik yang rasional dapat mencegah resistensi,
mengurangi lama perawatan, dan biaya pengobatan pasien.
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang berkenaan atau berasal dari rumah sakit,
digunakan untuk infeksi yang tidak ada atau tidak mengalami masa inkubasi sebelum dirawat
di rumah sakit, tetapi biasanya terjadi 72 jam setelah perawatan (Kamus Kedokteran Dorland,
2002).
Inflamasi adalah reaksi jaringan vaskuler terhadap semua bentuk jejas. Pada dasarnya
inflamasi adalah suatu reaksi pembuluh darah, syaraf, cairan, dan sel tubuh di tempat jejas.
Inflamasi akut merupakan respon langsung yang dini terhadap agen penyebab jejas dan
kejadian yang berhubungan dengan inflamasi akut sebagian besar disebabkan oleh produksi
dan pelepasan berbagai macam mediator kimia. Sedangkan infeksi adalah istilah untuk
menamakan adanya berbagai kuman yang masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman
berkembang biak dan menyebabkan kerusakan jaringan disebut penyakit infeksi. Pada
penyakit infeksi terjadi jejas sehingga timbulah reaksi inflamasi (Guntur, 2006). SIRS
(Systemic Inflammatory Response Syndrome) adalah respons klinis terhadap rangsangan
spesifik dan nonspesifik. Berdasarkan Bone et al, SIRS adalah pasien yang memiliki dua atau
lebih kriteria : (Guntur, 2006)
a. Suhu > 38o atau < 36o C
Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014
b. Denyut jantung > 90kali/menit
c. Laju respirasi > 20 kali/menit atau PaCO2 32 mmHg
d. Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau 10% sel imatur (band).
Penyebab respon sistemik dihipotesiskan sebagai infeksi lokal yang tidak terkontrol sehingga
menyebabkan bekteremia atau toksemia (endotoksin atau eksotoksin) yang menstimulasi
reaksi inflamasi di dalam pembuluh darah dan organ lain (Munford, 2005). The American
College of Chest Phisicians (ACCP) dan The Society for Critical Medicine (SCCM)
Consensus Conference on Standadized Definitions of Sepsis telah mempublikasikan suatu
konsensus dengan definisi baru dan kriteria diagnosis untuk SIRS dan keadaan-keadaan yang
berkaitan . Definisi ini juga menjelaskan perbedaan dan juga persamaan antara sepsis, suatu
respon inflamatori sistemik yang khusus terhadap infeksi, dan systemic inflammatory respons
syndrome (SIRS). SIRS mempunyai definisi yang lebih luas meliputi keadaan-keadaan yang
ditemukan sama seperti kriteria diagnosis sepsis tetapi termasuk keadaan klinik yang berat
namun tidak terbatas pada kondisi infeksi (Kasper, Braunwald, Fauci, Hauser, Longo, &
Jameson, 2005; Evans & Smithies, 1999; Moore, 1997). Batasan-batasan ini dan kaitannya
akan didefinisikan dalam Tabel 1. berikut (Moore, 1997) :
Tabel 1. Definisi untuk menguraikan keadaan pasien dengan SIRS
Nama Penyakit
Bakteremia
Definisi Keadaan
Adanya bakteri dalam darah yang dibuktikan
dengan kultur darah positif
Systemic
Dua atau lebih dari keadaan-keadaan berikut :
inflammatory
respons
(SIRS)
i. Suhu > 38o atau < 36o C
syndrome ii. Denyut jantung > 90kali/menit
iii. Laju respirasi > 20 kali/menit atau PaCO2 32
mmHg
iv. Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau 10% sel imatur
(band).
Dapat disebabkan oleh infeksi atau noninfeksi
Sepsis
SIRS yang dibuktikan atau diduga penyebabnya
kuman
Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014
Nama Penyakit
Definisi Keadaan
Sepsis berat (sepsis
Sepsis dengan satu atau lebih tanda-tanda disfungsi
syndrome)
organ (seperti asidosis metabolik, ensefalopati akut,
oligouria, hipoksemia) atau hipotensi)
Septic shock
Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah sistolik <
90mmHg atau berkurang 40mmHg dari tekanan
darah normal pasien) yang tidak respons dengan
resusitasi cairan bersama dengan disfungsi organ.
Sepsis kultur negatif
SIRS yang diberi pengobatan antibiotik yang secara
klinis diduga infeksi
Multiple-organ
Disfungsi satu organ atau lebih dan memerlukan
dysfunction
intervensi untuk mempertahankan homeostasis.
syndrome (MODS)
Penyebab jelas sindrom respon inflamasi sistemik belum dapat diketahui secara jelas. Hal ini
disebabkan karena penyebab SIRS itu nonspesifik dan terjadi pada pasien yang mengalami
kondisi seperti influenza sampai pasien yang mengalami gangguan kardiovaskular. Menurut
Rangel-Fausto et al, sebanyak 68% pasien yang mengalami kondisi kritis memenuhi kriteria
SIRS, dalam pemeriksaan lebih lanjut dengan pasien tersebut, sebanyak 26% terkena sepsis,
18% sepsis berat, dan 4% syok septic. Sedangkan menurut Pittet at al, kejadian SIRS di
rumah sakit adalah sebanyak 542 pasien dari 1000 pasien, sedangkan kejadian di ICU adalah
sebanyak 840 pasien dari 1000 pasien (Plevkova, 2011). Etiologi dari SIRS bermacammacam, termasuk kondisi infeksi maupun non-infeksi, kemudian tindakan operasi, trauma,
dan lain-lain. Faktor predisposisi SIRS dibagi menjadi tiga, yaitu :
a. infeksi: saluran napas, urogenital, kulit dan jaringan lunak, selanjutnya disebut sepsis,
b. Imunitas terganggu: keganasan, terapi radiasi, terapi hormonal,
c. Prosedur invasif: tindakan pembedahan, kateter urin, jalur intravena (IV).
Tindakan medis bagi pasien Sindrom Respons Inflamasi Sistemik harus dilakukan segera.
Tindakan yang dilakukan seharusnya difokuskan pada dugaan penyebab utama SIRS. Terapi
antibiotik seharusnya diberikan pada pasien yang diduga mengalami infeksi sebagai dugaan
utama penyebab SIRS. Data kultur juga harus dipertimbangkan dalam memilih terapi
antibiotik bagi pasien. Pemberian antibiotik empiris harus berdasarkan pedoman dan peta
resistensi kuman rumah sakit setempat beserta data pasien masing-masing. Seiring dengan
Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014
meningkatnya resistensi kuman terhadap antibiotik, maka pemberian antibiotik dengan
spektrum luas harus diberikan sebagai terapi empiris jika pasien diduga menderita SIRS
namun tanpa penyebab infeksi yang jelas. Antibiotik yang dapat digunakan bagi pasien SIRS
adalah vankomisin, cefepim, piperasilin-tazobactam, carbapenem, atau kuinolon. Pada Tabel
2. akan diuraikan mengenai pedoman penggunaan antibiotik empiris bagi pasien penderita
SIRS beserta dugaan sumber infeksinya.
Tabel 2. Sumber infeksi dan bakteri penyebab SIRS dengan terapi antibiotik empiris
menurut IDSA
Sumber Infeksi
Paru-paru
Bakteri Patogen
Antibiotik
Klebsiella pneumonia, Eschericia coli,
Florokuinolon atau makrolida
Streptococcus pnemoniae, Haemophillus
atau sefalosporin generasi
influenza, Moraxella catarrhalis,
ketiga atau keempat sebagai
Mycoplasma pneumonia, Chlanydia
monoterapi
pneumonias, Legionella sp, Legionella
kombinasi karbapenem atau
pneumophila, enterobacter, klebsiella sp.,
piperasilin-tazobaktam, atau
Staphylococcus aureus, Pseudomonas
levofloksasin atau
aeruginoas, Pseudomonas sp,
siprofloksasin dengan
Mycobacterium tuberculosis,
vankomisin
Acinetobacter sp, MRSA.
Intra-abdominal
Garam negatif enterik basil, Enterobacter
Karbapenem, Piperasilin-
sp., Eschericia coli, Klebsiella pneumonia,
tazobaktam, sefalosporin
Pseudomonas aeruginosa, Proteus sp,
generasi 3 atau 4,
MRSA
Florokuinolon, Metronidazol,
Aminoglikosida
Kulit dan
Eschericia coli, Streptococcus
Klindamisin, Sefazolin,
Jaringan Lunak
pneumoniae, Clostridium perfringens,
Vankomisin, Eritromisin,
Neisseria meningiditis, Ricketsia ricketsia,
Oksasilin
Haemophilus influenza, Staphylococcus
aureus, Streptococcus pyrogenes
IV Kateter
Staphylococcus aureus
Vankomisin Cefalosporin
Eschericia coli
generasi 3 atau 4,
Pseudomonas aeruginosa
karbapenem, piperasilin
tazobaktam, dengan atau
tanpa aminoglikosida
Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014
Sumber Infeksi
Saluran urin
Bakteri Patogen
Antibiotik
Eschericia coli, Pseudomonas aeruginosa,
Ciprofloksasin atau
Pseudomonas spp., Entercoccus spp.,
levofloksasin atau
Klebsiella pneumoniae, Proteus mirabilis
amoksisilin-klavulanat
Infeksi Luka
Staphylococcus aureus, Streptococcus
Karbapenem, Piperasilin-
Operasi
pyrogenes
tazobaktam, Cefalosporin
generasi 3, Aminoglikosida,
Metronidazol
Trauma/Cedera
kepala
-
Retak tulang
Streptococcus pneumonia, Streptococcus
Vankomisin + ceftrikason
tengkorak
hemolitikus
atau cefotaksim
Post op saraf/
Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus
Vankomisin + Cefepim,
VP Shunt
aureus, Staphylococcus epidermidis
Vankomisin + Ceftazidim,
(Cedera
Kepala Berat)
-
Vankomisin + Meropenem
Tidak jelas
Staphylococcus aureus, MRSA,
Karbapenem, Vankomisin
Streptococcus pneumoniae, Eschericia
coli, Klebsiellasp. Gram negatif bacteria
Proteus sp.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di di Ruang Administrasi Kamar ICU, Ruang Administrasi Medis
Sentral, dan Laboratorium Mikrobiologi RSAL Dr. Mintohardjo Bendungan Hilir, Jakarta
Pusat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga April 2014. Bahan penelitian yaitu
berupa rekam medik pasien yang dirawat di ruang ICU RSAL Dr. Mintohardjo, yang berisi
nomor rekam medik, data demografi pasien, diagnosis pasien, jenis obat, dan jenis antibiotik
yang diberikan, lama penggunaan, dan dosis obat. Penelitian ini merupakan studi survei atau
observasional dengan metode cross-sectional dan pengambilan data secara retrospektif yaitu
mengumpulkan data sekunder berupa data rekam medis pasien yang dirawat di ruang ICU
pada periode tahun 2012 - 2013. Analisa dilakukan secara deskriptif yaitu dengan
menggambarkan ketepatan pemilihan antibiotik pada pasien. Populasi penelitian adalah
pasien yang sudah dirawat selama lebih dari tiga hari di ruang ICU Rumah Sakit Dr.
Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014
Mintohardjo pada periode Januari sampai Desember 2013. Sampel adalah pasien yang
menderita SIRS dengan gejala seperti suhu tubuh > 38o atau < 36o C; denyut jantung >
90kali/menit; laju respirasi > 20 kali/menit atau PaCO2 32 mmHg; leukosit > 12.000/mm3 dan
memiliki kriteria berdasarkan inklusi. Pengambilan sampel digunakan teknik total sampling.
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah : pasien dewasa dari populasi penelitian yang
menjalani terapi antibiotik di RSAL Dr. Mintohardjo. Kriteria eksklusi pada penelitian ini
adalah :
1) pasien memiliki gangguan fungsi organ hati dan ginjal,
2) pasien dengan data rekam medis yang tidak lengkap, hilang, atau tidak terbaca dengan
jelas.
Dengan variabel bebas jenis bakteri yang terdapat di RSAL Dr. Mintohardjo berdasarkan
pemetaan resistensi kuman dari seluruh kultur, dan variable terikat yaitu 5 kriteria ketepatan,
yaitu tepat penderita, tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, dan tanpa interaksi obat.
Pada Gambar 1 dan 2. berikut akan dijelaskan mengenai kerangka teori dan kerangka konsep
dari penelitian.
Pasien dirawat lebih
dari 3 hari di ICU
Pasien mempunyai gejala SIRS
Terapi Antibiotik Empiris
Tepat
penderita
Tepat
indikasi
Rasional
Tepat obat
Tepat dosis
Tidak Rasional
Gambar 3.1. Kerangka Teori
Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014
Tanpa
Interaksi
Obat
Kerasionalan
antibiotik:
penggunaan
-­‐ Tepat penderita
-­‐ Tepat indikasi
-­‐ Tepat
obat
(dihubungkan
dengan peta sensitivitas kuman
-­‐ Tepat dosis obat
-­‐ Interaksi obat
Jenis
bakteri
penyebab infeksi
Gambar 3.2. Kerangka Konsep Penelitian
Hasil Penelitian
Demografi pasien meliputi jenis kelamin, usia, diagnosa penyakit, lama perawatan, dan status
pasien. Jumlah pasien yang dirawat di ruang ICU pada tahun 2012 adalah sebanyak 276
orang, dengan jumlah pasien yang dirawat di ICU selama lebih dari empat hari sebanyak 44
orang, kemudian pasien yang masuk dalam kriteria inklusi sebanyak 9 orang. Sedangkan pada
tahun 2013 jumlah pasien yang dirawat di ICU sebanyak 377 orang dengan jumlah pasien
yang dirawat di ICU selama lebih dari empat hari sebanyak 104 orang, kemudia pasien yang
masuk dalam kriteria inklusi sebanyak 26 orang. Sehingga total jumlah pasien yang masuk
dalam kriteria inklusi adalah sebanyak 35 orang. Pada tabel berikut akan disajikan hasil data
demografi pasien secara lebih rinci.
Tabel 3.
Demografi pasien sindrom respon inflamasi sistemik di ruang ICU RSAL
Mintohardjo tahun 2012 - 2013 berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total
Jumlah Pasien
18
17
35
Persentase (%)
51.42
48.58
100.00
Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014
Tabel 4. Demografi pasien pasien sindrom respon inflamasi sistemik di ruang ICU RSAL
Mintohardjo tahun 2012 - 2013 berdasarkan kelompok usia
Kelompok Usia (tahun)
17-25
26-35
36-45
46-55
56-65
65 ke atas
Total
Jumlah Pasien
3
2
4
1
9
16
35
Persentase (%)
8.57
5.71
11.43
2.86
25.71
45.72
100.00
Keterangan : Penggolongan usia pada tabel di atas, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di departemen
kesehatan pada tahun 2009
Tabel 5. Demografi pasien pasien sindrom respon inflamasi sistemik di ruang ICU RSAL
Mintohardjo tahun 2012 - 2013 berdasarkan diagnosis penyakit
Diagnosa Penyakit
Asma Bronkial
Pneumonia
Cedera Kepala Berat
Encephalopati
Stroke Hemoragic
Stroke Non Hemoragic
Stroke non Hemoragic +
DM
Stroke Hemoragic + DM
Peritonitis
Pascabedah Batu Empedu
Pascabedah Bilio Digestive
Pascabedah Colostomy
Pascabedah Craniotomy
Pascabedah Laparotomi
Pascabedah Hernia
Pascabedah Kanker Leher
Pascabedah VP Shunt
SH
+
Pascabedah
Craniotomy
Tumor Abdomen
Total
Jumlah Pasien
2
3
1
1
3
1
1
Persentase (%)
5.71
8.57
2.86
2.86
8.57
2.86
2.86
1
1
1
1
2
6
5
1
1
2
1
2.86
2.86
2.86
2.86
5.71
17.14
14.27
2.86
2.86
5.71
2.86
1
35
2.86
100.00
Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014
Tabel 6. Demografi pasien pasien sindrom respon inflamasi sistemik di ruang ICU RSAL
Mintohardjo tahun 2012 - 2013 berdasarkan lama perawatan
Lama Perawatan
(hari)
4-10
11-15
>15
Total
Jumlah Pasien
Persentase (%)
27
5
3
35
77.14
14.29
8.57
100.00
Tabel 7. Demografi pasien pasien sindrom respon inflamasi sistemik di ruang ICU RSAL
Mintohardjo tahun sindrom respon inflamasi sistemik 2012 - 2013 berdasarkan status pasien
Status Pasien
Pindah Ruangan
Meninggal
Total
Jumlah
19
16
35
Persentase (%)
54.28
45.72
100.00
Jenis antibiotik yang diberikan pada pasien yang mengalami sindrom respons inflamasi
sistemik sangat beragam dan yang paling sering diberikan adalah meropenem. Data
penggunaan antibiotik pada pasien dapat dilihat pada Tabel 8., Tabel 9., Tabel 10.
Tabel 8. Data jumlah jenis antibiotik yang diberikan pada 35 pasien sindrom repon inflamasi
sistemik tahun 2012- 2013
No
Jenis Antibiotik
1
2
3
4
5
6
7
8
Seftriakson
Meropenem
Levofloksasin
Sefotaksim
Gentamisin
Seftazidim
Siprofloksasin
PiperasilinTazobaktam
Amikasin
Sefoperazon
Sefepim
Fosfomisin
9
10
11
12
Jumlah penggunaan
antibiotik
20
23
9
6
6
1
2
5
Persentase penggunaan
antibiotik (%)
21.98
25.27
9.89
6.59
6.59
1.09
2.19
5.49
4
11
1
1
4.39
12.16
1.09
1.09
Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014
No
Jenis Antibiotik
13
14
Streptomisin
Vankomisin
Jumlah
Jumlah penggunaan
antibiotik
1
1
91
Persentase penggunaan
antibiotik (%)
1.09
1.09
100.00
Tabel 9. Data pola penggunaan antibiotik pada pasien sindrom respon inflamasi sistemik
tahun 2012 - 2013
Penggunaan Antibiotik
Frekuensi Pemberian
Antibiotik Tunggal
8
Antibiotik Kombinasi
22
Antibiotik dan Antiinfeksi
40
lain
Jumlah
70
%
11.43
31.43
57.14
100.00
Tabel 10. Data penggunaan antibiotik pada pasien sindrom repon inflamasi sistemik tahun
2012 - 2013
Penggunaan Antibiotik
Tunggal
Antibiotik+Antibiotik
Nama Obat
%
Seftriakson
Frekuensi
Pemberian
4
5.71
Meropenem
4
5.71
Seftriakson+Gentamisin
7
10.00
Seftrikason+Levofloksasin
1
1.43
Seftriakson+Meropenem
4
5.71
Gentamisin+Meropenem
3
4.29
Seftriakson+Cipofloksasin
1
1.43
Piperasilin-
3
4.29
Meropenem+Levofloksasin
1
1.43
Sefotaksim+Gentamisin
1
1.43
Sefotaksim+Meropenem
1
1.43
Meropenem+Metronidazol
11
15.70
Sefotaksim+Metronidazol
6
8.57
Gentamisin+Metronidazol
1
1.43
Seftriakson+Metronidazol
1
1.43
Levofloksasin+Flukonazol
3
4.29
Tazobaktam+Amikasin
Antibiotik+Antibiotik
Antibiotik+Antiinfeksi lain
Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014
Penggunaan Antibiotik
Nama Obat
Amikasin+Flukonazol
Piperasilin-
%
Frekuensi
Pemberian
3
4.29
5
7.14
Meropenem+Flukonazol
6
8.57
Sefepim+Flukonazol
1
1.43
Fosofomisin+Flukonazol
1
1.43
Streptomisin+Flukonazol
1
1.43
Vankomisin+Flukonazol
1
1.43
70
100.00
Tazobaktam+Flukonazol
Jumlah
Peta resistensi kuman di RSAL Dr. Mintohardjo pada tahun 2012 menunjukkan persentase
resistensi berbagai bakteri terhadap total 25 jenis antibiotik, sedangkan pada peta resistensi
kuman pada tahun 2013 menunjukkan persentase resistensi berbagai bakteri terhadap total 23
jenis antibiotik. Tidak semua antibiotik digunakan dalam uji resistensi masing-masing bakteri
sebab ada beberapa antibiotik yang hanya efektif terhadap bakteri gram negatif saja maupun
sebaliknya.
Tabel 11. Data jumlah kuman yang terlibat dalam pembuatan peta resistensi bakteri terhadap
antibiotik di RSAL Dr. Mintohardjo periode Januari-Desember 2012 - 2013
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Jenis Kuman
Acetobacter aerogenes
Aerobacter aerogenes
Alcaligenes faecalis
Candida sp.
Coliform
Escherichia coli
Enterobacter cloacae
Proteus sp.
Pseudomonas sp.
Salmonella typhii
Serratia sp.
Staphylococcus albus
Staphylococcus aureus
Staphylococcus pyrogenenes
Streptococcus haemolyticus
Streptococcus pneumoniae
Streptococcus viridians
g-Streptococcus
Jumlah
Jumlah
2
6
60
1
104
106
1
42
59
2
1
1
74
3
26
4
6
4
502
Persentase (%)
0,39
1,20
11,98
0,20
20,66
21,06
0,20
8,38
11,78
0,39
0,20
0,20
14,77
0,60
5,19
0,80
1,20
0,80
100.00
Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014
Evaluasi penilaian kerasionalan penggunaan antibiotik dinilai melalui lima aspek ketepatan,
yaitu tepat pasien, tepat tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, dan interaksi obat. Pasien
dikatakan sudah mendapatkan terapi antibiotik yang rasional jika kelima aspek tersebut
terpenuhi.
Tabel 12. Distribusi analisis ketepatan berdasarkan pemberian antibiotik pada pasien
No
Aspek ketepatan
1
Jumlah Pasien
%
Tepat
Tidak Tepat
Tepat
Tidak Tepat
Tepat Pasien
35
0
100.00 0.00
2
Tepat Indikasi
8
27
22.86
77.14
3
Tepat Obat
1
34
2.86
97.14
4
Tepat Dosis
26
9
74.29
25.71
5
Interaksi Obat
13
22
31.43
68.57
Pembahasan
Data persebaran pasien berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara jumlah pasien laki-laki dan perempuan. Sedangkan
berdasarkan diagnosa penyakit diperoleh bahwa penyakit yang paling banyak menimbulkan
sindrom respon inflamasi sistemik adalah pasien pascabedah craniotomy. Menurut Brown
CV, Weng J, Craniotomy adalah Operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala)
dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak. Pada pascabedah
craniotomy dapat timbul beberapa komplikasi, diantaranya adalah infeksi luka. Infeksi ini
merupakan salah satu penyebab terjadinya sindrom respon inflamasi sistemik. Data rentang
usia pasien menunjukkan bahwa pasien yang paling banyak terkena sindrom respon inflamasi
klinis adalah usia diatas 65 tahun. Hal ini dapat terjadi karena semakin lanjut usia seseorang
maka pertahanan tubuhnya semakin lemah sehingga kemungkinan untuk terkena sindrom
respon inflamasi klinis lebih besar. Data lama perawatan yang dijalani pasien sindrom
inflamasi sistemik menunjukkan bahwa pasien dengan lama perawatan selama 4-10 hari
paling banyak terkenan sindrom respon inflamasi sistemik. Dalam data status pasien,
perbedaan jumlah pasien yang meninggal dan pindah ruangan tidak terlalu signifikan.
Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014
Data pola penggunaan antibiotik menunjukkan bahwa meropenem merupakan jenis antibiotik
yang paling sering digunakan pada pasien yang mengalami sindrom respon inflamasi sistemik
di Ruang ICU RSAL Dr. Mintohardjo. Hal ini sesuai dengan pedoman menurut IDSA, bahwa
antibiotik yang digunakan sebagai terapi empiris bagi pasien dengan sindrom respon
inflamasi sistemik adalah antibiotik dengan spektrum luas, seperti golongan karbapenem,
kuinolon
atau
piperasilin-tazobaktam.
Meropenem
merupakan
antibiotik
golongan
karbapenem. Umumnya, penggunaan kombinasi antibiotik, dibagi menjadi dua, yaitu
kombinasi antibiotik dengan antibiotik dan kombinasi antibiotik dengan antiinfeksi lain.
Adanya pemisahan kombinasi antibiotik ini dikarenakan metronidazol dapat berperan sebagai
antibiotik maupun antiparasit/antijamur. Mekanisme metronidazol sebagai antiparasit sudah
jelas, yaitu dengan cara menyerang inti sel dari jamur/protozoa, sedangkan mekanisme
metronidazol sebagai antibiotik belum jelas walaupun banyak sumber mengatakan bahwa
metronidazol dapat dikatakan sebagai antibiotik. Namun, akhirnya peneliti memisahkan
metronidazol sebagai antiinfeksi lain karena mekanisme metronidazol sebagai antibiotik
kurang jelas. Jumlah penggunaan kombinasi antibiotik dengan antibiotik paling banyak
adalah seftriakson+gentamisin. Kombinasi ini dapat menghasilkan kerja sinergis antara
seftrikason yang merupakan golongan sefalosporin dan gentamisin sebagai golongan
aminoglikosida. Golongan sefalosporin mempunyai mekanisme kerja dengan cara
menghambat sintesis dinding sel kuman yang terdiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu
kompleks polimer mukopeptida (glikopeptida), dan menyebabkan lisis sel. Sedangkan
antibiotik golongan aminoglikosida bekerja dengan cara menghambat sintesis protein. Sel
bakteri mensistesis berbagai protein yang berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan
tRNA. Penghambatan terjadi melalui interaksi dengan ribosom bakteri. Hal ini dapat
menghambat pertumbuhan bakteri. Jadi dengan kombinasi dua golongan antibiotik ini, dapat
menghasilkan dua mekanisme kerja yang sinergis, yaitu seftriakson dapat melisiskan bakteri
(bersifat bakterisidal) dan gentamisin yang menghambat pertumbuhan bakteri (bersifat
bakteriostatik). Mekanisme kerja sinergis ini diharapkan dapat memastikan bakteri mati dan
tidak dapat berkembang biak. Namun, kombinasi antara golongan sefalosporin dan
aminoglikosida harus dipantau secara ketat sebab dapat meningkatkan efek terjadinya
nefrotoksik walaupun mekanismenya belum ditemukan secara pasti (Stockley, 2008). Jumlah
penggunaan kombinasi antibiotik dengan antiinfeksi lainnya yang paling banyak adalah
meropenem+metronidazol. Kombinasi ini bertujuan untuk memperluas spektrum kerja obat
dan banyak digunakan untuk infeksi-infeksi nosokomial (Di piro, 1999). Meropenem
merupakan golongan karbepenem yang memang banyak digunakan sebagai terapi empiris
Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014
pada pasien sindrom respon inflamasi sistemik, sedangkan penggunaan metronidazol sebagai
antiinfeksi adalah untuk mencegah adanya infeksi yang diakibatkan oleh jamur atau protozoa.
Bakteri yang paling banyak ditemukan dari hasil kultur spesimen pasien pada tahun 2012
maupun tahun 2013 adalah bakteri kelompok Coliform dan Escherichia coli. Kedua jenis
bakteri ini merupakan golongan bakteri intestinal (yang hidup di saluran pencernaan
manusia), selain itu kedua jenis bakteri ini pun merupakan indikator kualitas air, jika bakteri
ini banyak ditemukan dalam air maka kualitas air sudah buruk (Suriaman, 2008). Oleh karena
itu, dengan banyak ditemukannya kedua jenis bakteri ini dari hasil kultur yang dilakukan di
RSAL Dr. Mintohardjo maka kemungkinan kedua jenis bakteri ini berasal dari adanya
pencemaran aliran air.
Evaluasi penilaian kerasionalan penggunaan antibiotik dinilai melalui lima aspek ketepatan,
yaitu tepat pasien, tepat tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, dan interaksi obat. Pasien
dikatakan sudah mendapatkan terapi antibiotik yang rasional jika kelima aspek tersebut
terpenuhi. Aspek tepat pasien dinilai dengan melihat kondisi individual pasien. Dalam hal ini,
peneliti menilai dari hasil laboratorium tes ginjal dan hati pasien untuk mengetahui apakah
pasien mengalami gangguan ginjal dan atau hati. Jika pasien mengalami gangguan ginjal dan
atau hati, maka harus dilakukan penyesuaian dosis terhadap pasien. Namun karena peneliti
sudah mengeklusikan pasien dengan gangguan ginjal dan hati, maka untuk aspek tepat pasien
hasilnya 100 persen tepat. Aspek tepat indikasi dinilai dengan membandingkan diagnosis
pasien dengan pedoman penggunaan antibiotik pada pasien yang mengalami sindrom respon
inflamasi sitemik. Dalam hal ini, peneliti melihat diagnosis masing-masing pasien, kemudian
menyimpulkan sumber infeksi berdasarkan diagnosis yang telah dibuat dan melihat antibiotik
yang diberikan pada pasien. Setelah itu peneliti membandingkan antara sumber infeksi dan
antibiotik yang seharusnya diberikan berdasarkan pada pedoman. Jika antibiotik yang
diberikan pada pasien sesuai dengan diagnosis dan sumber infeksi yang disebutkan pada
pedoman, maka pasien telah memenuhi kriteria tepat indikasi. Dapat dilihat pada tabel 4.16
bahwa pasien yang memenuhi kriteria tepat indikasi hanya 8 orang (22.86%). Hal ini dapat
terjadi karena penggunaan antibiotik empiris yang diberikan pihak rumah sakit hanya
berdasarkan pengalaman karena RSAL Dr. Mintohardjo belum mempunyai pedoman khusus
untuk pemberian antibiotik empiris pada pasien yang mengalami sindrom respon inflamasi
sistemik. Aspek tepat obat dinilai dengan cara membandingkan pedoman atau guideline
dengan pemetaan kuman di RSAL Mintohardjo. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah
obat yang diterima oleh pasien masih mempunyai sensitivitas terhadap kuman-kuman yang
Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014
terdapat di RSAL Dr. Mintohardjo. Aspek tepat obat ini sebenarnya merupakan kelanjutan
dari aspek tepat indikasi, jika pasien sudah memenuhi kriteria tepat indikasi yang berarti
pasien menerima jenis antibiotik yang sesuai dengan diagnosisnya, maka jenis antibiotik
tersebut harus dikaji lebih lanjut untuk mengetahui apakah jenis antibiotik tersebut sensitif
terhadap kuman yang kemungkinan menginfeksi pasien, dan terdapat di RSAL Dr.
Mintohardjo. Jika antibiotik tersebut masih sensitif, maka pasien telah memenuhi kriteria
tepat obat. Jika melihat hasil data, didapatkan bahwa hanya ada satu pasien yang memenuhi
kriteria tepat obat, sebab jika dilihat dari pemetaan kuman baik pada tahun 2012 maupun
2013, kuman-kuman yang terdapat di RSAL Dr. Mintohardjo rata-rata sudah resisten terhadap
antibiotik yang diberikan kepada pasien yang dirawat. Terbukti, setelah peneliti melihat lalu
mengolah peta resistensi kuman, pada tahun 2012 bahwa Sreptococcus sp sudah mempunyai
tingkat resistensi sebesar 80.00% terhadap Seftriakson, Alkaligenes sp mencapai angka
resistensi sebesar 92.00% terhadap Sefoperazon, Sefotaksim, Seftazidim, dan ceftrikason.
Tahun 2013 kuman Alkaligenes faecalis memiliki tingkat resistensi terhadap antibiotik
Sefotaksim sebesar 85.00%, dan terhadap antibiotik gentamisin sebesar 88.00%. Kuman
Escherichia coli juga mempunyai tingkat resistensi yang tinggi, yaitu sebesar 78.00%
terhadap Seftriakson. Melihat data yang diperoleh peneliti, terdapat banyak pasien dengan
diagnosis pascabedah craniotomy yaitu sebanyak 6 orang dari 35 pasien. Menurut pedoman
yang digunakan, pasien dengan diagnosis pascabedah craniotomy, biasanya terimfeksi
kuman-kuman seperti Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis yang seharusnya diberikan terapi antibiotik empiris seperti kombinasi
Vankomisin + Sefepim, Vankomisin + Seftazidim, Vankomisin + Meropenem. Sedangkan
pasien di RSAL Dr. Mintohardjo dengan diagonis tersebut banyak diberi antibiotik kombinasi
Seftriakson-gentamisin atau meropenem secara tunggal. Menurut peta resistensi pada tahun
2012, Pseudomonas aeruginosa mempunyai tingkat resistensi terhadap Seftriakson sebesar
58.00%, gentamisin sebesar 33.00% dan meropenem sebesar 8.00%. Tahun 2013
Pseudomonas aeruginosa mempunyai tingkat resistensi terhadap Seftriakson sebesar 59.00%,
gentamisin sebesar 56.00% dan meropenem sebesar 52.00%. Tahun 2012, Staphylococcus
aureus mempunyai tingkat resistensi terhadap Seftriakson sebesar 42.00%, gentamisin
sebesar 38.00% dan meropenem sebesar 30.00%. Tahun 2013, Staphylococcus aureus
mempunyai tingkat resistensi terhadap Seftriakson sebesar 65.00%, gentamisin sebesar
59.00% dan meropenem sebesar 51.00%. Tingginya angka resistensi kuman terhadap
antibiotik ini disebabkan pemakaian antibiotik yang tidak sesuai dengan pedoman yang
digunakan penulis, yaitu pedoman dari IDSA (Infectious Disease Society of America). Aspek
Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014
tepat dosis dinilai dengan cara melihat dosis yang diberikan pada pasien, kemudian
dibandingkan dengan usual dose antibiotik tersebut. Selain itu, dilihat juga rute pemberian,
dan lama pemberiannya. Jika pasien menerima obat dengan dosis yang cukup, rute pemberian
tepat, dan pemberiannya tidak melebihi batas waktu maksimal, maka pasien telah memenuhi
kriteia tepat dosis. Interaksi obat merupakan aspek yang penting untuk dinilai dan diketahui,
sebab adanya interaksi obat dapat meningkatkan efek samping atau bahkan toksisitas dari
antibiotik. Setelah data ketepatan pasien, ketepatan indikasi, ketepatan obat, ketepatan dosis,
dan interaksi obat disesuaikan dengan panduan yang digunakan, kelima data tersebut
digabungkan untuk mengamati kerasionalan penggunaan antibiotik pada masing-masing
pasien. Data yang diperoleh pada tahun 2012 dan tahun 2013 menunjukkan bahwa sebanyak
35 pasien yang diambil sebagai sampel, seluruhnya (100%) menerima antibiotik yang tidak
rasional. Ketidakrasionalan penggunaan antibiotik paling banyak disebabkan oleh
ketidaktepatan obat, yaitu sebanyak 34 orang pasien (97.14%). Hal ini disebabkan kriteria
ketepatan obat berkaitan dengan peta resistensi kuman di RSAL Dr. Mintohardjo. Namun,
bagaimanapun kerasionalan penggunaan antibiotik di RSAL Dr. Mintohardjo tidak dapat
disimpulkan tidak rasional secara keseluruhan karena terdapat banyak hal yang memengaruhi
keputusan dokter untuk memberikan antibiotik terhadap pasien.
Kesimpulan
1. Data sampel yang diperoleh peneliti menunjukkan bahwa SIRS yang disebabkan oleh
infeksi lebih banyak timbul pada pasien dengan diagnosa pascabedah craniotomy yang
berjumlah 6 orang (17.14%) dari 35 orang yang dijadikan sampel.
2. Pasien penderita SIRS yang dirawat di ICU paling banyak diberikan kombinasi antibiotika
dengan antiinfeksi lain, yaitu kombinasi meropenem+metronidazol.
3. Secara keseluruhan, pemberian antibiotika empiris pada pasien penderita SIRS dinilai
tidak rasional.
Saran
1. Tim medis sebaiknya perlu menelaah dan bila mungkin membuat buku panduan mengenai
pemberian antibiotik empiris untuk penyakit sindrom respons inflamasi sistemik.
2. Sebaiknya pihak rumah sakit melakukan kultur bakteri pada seluruh pasien yang
mengalami gejala penyakit sindrom respons inflamasi sistemik.
Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014
3. Sebaiknya dilakukan evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien penyakit sindrom respons
inflamasi sistemik setelah hasil kultur bakteri diperoleh.
Daftar Referensi
Harbarth, S.J. Pittet, D. (2007). The Intensive Care Unit part a. HAI Epidemiology, Risk
Factors, Surveillance, Engineering, and Administrative Infetion Control Practices, and
Impact. In Bennet and Brachman’s Hospital Infection (5th ed.). Jarvir, W.R (Ed.).
Philadephia : Lippincott Williams and Wilkins.
Baxter, Karen. (2008). Stockley’s Drug Interaction. Chicago : Pharmaceutical Press.
Burke, J.P. (2003). Infection Control-new Problem for Patient Safety. New England Journal
of Medicine ;348;7.
Di Piro, T.J., Talbert, L.R., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posoy, L.M. (2008).
Pharmacotherapy, a Pathophysiologyc Approach, Seventh Edition. USA : Mc Graw
Hill Companies.
Guntur, A. (2006). SIRS & Sepsis : Imunologi, Diagnosis, Penatalaksanaan. Surakarta :
Sebelas Maret Press.
Kamus Kedokteran Dorland (ed 29). (2002). Jakarta : EGC.
Leksana, Ery. (2013). Systemic Inflammatory Response Syndrome. Semarang : Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.
Mims, et al. (2004). Medical Microbiology 3rd ed. London : Mosby.
Plevkova,
Jana.
(2011).
Systemic
Inflammatory
Response
Syndrome.
http://www.emedicine.medscope.com/article/168943-overview
Wattimena, J. R. , Sugiarso, N. C. , Widianto, M. B. , Sukandar, E.Y. , Soemardji, A. A. ,
Setiadi, A. R. (1991). Farmakodinamika Dan Terapi Antibiotik, 31- 32.Yogyakarta :
Gajah Mada University Press.
Wilianti, Novi Praktika. (2009). Rasionalitas Penggunaan Antibiotik pada Pasien Saluran
Kemih pada Bangsal Penyakit Dalam di RSUP Dr. Kariadi Semarang Tahun 2008.
Semarang : FK Universitas Diponegoro.
World Health Organization.(2001). WHO Global Strategy for Containment of Antimicrobial
Resistance. Switzerland: World Health Organization. Direktorat Bina Penggunaan Obat
Rasional. (2008). Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan
Memilih Obat bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014
Download