KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PENDERITA SINDROM RESPONS INFLAMASI SISTEMIK (SIRS) DI RUANG PERAWATAN INTENSIF (INTENSIVE CARE UNIT /ICU) RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT Dr. MINTOHARDJO PADA TAHUN 2012 – 2013 Azizah Nurrakhmani, Maksum Radji, dan Siti Fauziyah Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Depok, 16424 Email : [email protected] Abstrak Penggunaan antibiotik yang tidak rasional dapat menyebabkan sulitnya penanganan penyakit infeksi karena dengan meningkatnya penggunaan antibiotik yang tidak rasional, tingkat resistensi kuman terhadap antibiotik akan terus meningkat. Salah satu penyakit infeksi yang mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia adalah SIRS, yang mencakup sepertiga dari pasien yang dirawat di ICU. SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) merupakan respons klinis terhadap rangsangan spesifik dan nonspesifik, yang disebabkan oleh infeksi maupun non-infeksi. SIRS yang terjadi akibat infeksi perlu diberikan terapi antibiotik empiris yang rasional. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola penggunaan antibiotik pada pasien SIRS di Ruang ICU RSAL Dr. Mintohardjo dan melakukan evaluasi kerasionalannya dilihat dari ketepatan pasien, ketepatan indikasi, ketepatan obat, ketepatan dosis, dan tanpa interaksi obat. Penelitian merupakan studi survey yang dilakukan dengan cara pengambilan data penggunaan antibiotik dari rekam medis pada periode 2012-2013 secara retrospektif dengan desain cross-sectional dan pengambilan sampel dengan teknik total sampling. Populasi penelitian bejumlah 148 pasien dan 35 pasien diterima sebagai sampel penelitian dengan total administrasi antibiotik sebanyak 91 kali dengan rincian sebagai berikut, antibiotik tunggal sebanyak 8 kali dan kombinasi 62 kali. Antibiotik yang paling sering digunakan adalah meropenem, sedangkan antibiotik yang paling sering dikombinasi adalah meropenem+metronidazol. Penggunaan antibiotik yang memenuhi kriteria tepat pasien sebanyak 100,00%, tepat indikasi 22.86%, tepat obat 2.86%, tepat dosis 74.29% dan tanpa interaksi obat 31.43%. Maka hasil secara keseluruhan pemberian antibiotik empiris pada pasien penderita SIRS dinilai tidak ada yang memenuhi kriteria rasional Kata Kunci : SIRS; antibiotik; kerasionalan RATIONALITY OF ANTIBIOTIC USAGE OF SYSTEMIC INFLAMMATORY RESPONSE SYNDROME PATIENT IN INTENSIVE CARE UNIT NAVAL HOSPITAL DR. MINTOHARDJO 2012-2013 Abstract The irrationality of antibiotics usage can lead to difficulty in handling infectious diseases. This occurs due to the increased of antibiotics usage that are not rational will rising the level of resistance of germs to antibiotics. One of the diseases that have a high prevalence of infection in Indonesia is SIRS, which covers one-third of the patients treated in the ICU. SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) is a clinical response to specific and nonspecific insult, which are caused by infectious or non-infectious. SIRS caused by infection should be given a rational empirical antibiotic therapy. This study was conducted to determine the pattern of antibiotic usage in patients with SIRS in ICU Naval Hospital Dr. Mintohardjo and evaluation of the accuracy of precision patient, an indication of accuracy, precision medicine, precision dosing, and no drug interactions. The study is a survey study done by collecting data from medical records of antibiotic usage in 2012-2013 with a retrospective methods, cross-sectional design and sampling with a total sampling technique. Population of study included 148 patients and 35 patients were accepted as samples of study. The study showed that the administration of antibiotics were given 91 times with the following details, a single antibiotic were given 8 times and the Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014 combination of antibiotic were given 62 times. The antibiotics most commonly used are meropenem, while most antibiotics are often combined meropenem + metronidazole. Patientd that giben empirical antibitocs with following criteria like right patients as much as 100.00%, 22.86% precise indications, 2.86% right drug, the right dose 74.29% and 31.43% with no drug interactions. There is no rationality in empirical antibiotics usage for patient with SIRS in Naval Hospital Dr. Mintohardjo. Key Word : SIRS; antibiotic; rational Pendahuluan Penggunaan antibiotik yang tidak rasional akan dapat menyebabkan sulitnya penanganan infeksi. Hal ini terjadi karena seiring dengan meningkatnya penggunaan antibiotik yang tidak rasional maka tingkat resistensi kuman terhadap antibiotik akan meningkat juga. salah satu jenis infeksi yang mendapat perhatian khusus dari WHO adalah infeksi nosokomial yang menjangkiti pasien selama dirawat di rumah sakit atau menggunakan fasilitas kesehatan lain karena infeksi ini tidak ditemukan saat pasien masuk rumah sakit. Infeksi nosokomial mudah terjadi terutama di Ruang Intensive Care Unit (ICU), hal ini dipengaruhi oleh kondisi imun pasien yang menurun akibat penyakit yang dideritanya, penggunaan alat-alat invasif, malnutrisi, dan penggunaan ventilator. jumlah kejadian infeksi nosokomial yang meningkat terutama di ruang ICU berkaitan juga dengan jumlah pasien yang terkena SIRS. Infeksi seperti SIRS yang terjadi di ICU adalah penyebab utama kematian pasien selain karena penyakit jantung (Harbart, S.J., Pittet, D. 2007). Prevalensi SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) sangat tinggi, mencakup sepertiga dari total pasien rawat inap dan >50% dari seluruh pasien ICU (intensive care unit). Prevalensi infeksi meningkat seiring dengan jumlah kriteria SIRS yang dipenuhi dan dengan peningkatan derajat keparahan gejala SIRS yang mengarah pada gejala sepsis. Sepertiga pasien SIRS mengalami atau akan beralih ke sepsis (Leksana, 2013). Kejadian tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian di RSAL Dr. Mintohardjo guna mengetahui dan memperoleh bagaimana pola penggunaan antibiotik pada pasien SIRS dan kerasionalan penggunaan antibiotiknya serta untuk memperoleh data peta sensitivitas kuman yang terdapat di RSAL Dr. Mintohardjo. Tinjauan Teoritis Antibiotik adalah senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu proses biokimia mikroorganisme lain Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014 (Mims, 2004). Istilah ‘antibiotik’ sekarang meliputi senyawa sintetik seperti sulfonamid dan kuinolon yang bukan merupakan produk mikroba (Wilianti, 2009). Penggunaan antibiotik yang rasional didasarkan pada pemahaman dari banyak aspek penyakit infeksi. Faktor yang berhubungan dengan pertahanan tubuh pasien, identitas, virulensi, dan kepekaan mikroorganisme, farmakokinetika dan farmakodinamika dari antibiotik perlu diperhatikan (Gould, et al. 2005). Pemakaian obat secara rasional berarti hanya menggunakan obat-obatan yang telah terbukti keamanan dan efektifitasnya dengan uji klinis. Penggunaan antibiotik dikatakan tepat bila efek terapinya mencapai maksimal sementara efek toksiknya minimal atau berada pada batas wajar, serta perkembangan antibiotik resisten seminimal mungkin (WHO, 2001). Suatu pengobatan dikatakan rasional apabila memenuhi beberapa kriteria tertentu antara lain : tepat diagnosis; tepat indikasi penyakit; tepat pemilihan obat; tepat dosis; tepat penilaian kondisi pasien; waspada terhadap efek samping; aman, efektif, mutu terjamin, tersedia setiap saat, dan harga terjangkau; tepat tindak lanjut; tepat penyerahan obat; pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang diberikan (Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional, 2008). Pengunaan antibiotik dengan rasional merupakan penggunaan yang efektifitasnya terjamin dan telah dilakukan diagnosis akurat sehingga pemilihan dosis dan peresepan antibiotik tepat. Pemberian antibiotik yang rasional dapat mencegah resistensi, mengurangi lama perawatan, dan biaya pengobatan pasien. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang berkenaan atau berasal dari rumah sakit, digunakan untuk infeksi yang tidak ada atau tidak mengalami masa inkubasi sebelum dirawat di rumah sakit, tetapi biasanya terjadi 72 jam setelah perawatan (Kamus Kedokteran Dorland, 2002). Inflamasi adalah reaksi jaringan vaskuler terhadap semua bentuk jejas. Pada dasarnya inflamasi adalah suatu reaksi pembuluh darah, syaraf, cairan, dan sel tubuh di tempat jejas. Inflamasi akut merupakan respon langsung yang dini terhadap agen penyebab jejas dan kejadian yang berhubungan dengan inflamasi akut sebagian besar disebabkan oleh produksi dan pelepasan berbagai macam mediator kimia. Sedangkan infeksi adalah istilah untuk menamakan adanya berbagai kuman yang masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan jaringan disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas sehingga timbulah reaksi inflamasi (Guntur, 2006). SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) adalah respons klinis terhadap rangsangan spesifik dan nonspesifik. Berdasarkan Bone et al, SIRS adalah pasien yang memiliki dua atau lebih kriteria : (Guntur, 2006) a. Suhu > 38o atau < 36o C Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014 b. Denyut jantung > 90kali/menit c. Laju respirasi > 20 kali/menit atau PaCO2 32 mmHg d. Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau 10% sel imatur (band). Penyebab respon sistemik dihipotesiskan sebagai infeksi lokal yang tidak terkontrol sehingga menyebabkan bekteremia atau toksemia (endotoksin atau eksotoksin) yang menstimulasi reaksi inflamasi di dalam pembuluh darah dan organ lain (Munford, 2005). The American College of Chest Phisicians (ACCP) dan The Society for Critical Medicine (SCCM) Consensus Conference on Standadized Definitions of Sepsis telah mempublikasikan suatu konsensus dengan definisi baru dan kriteria diagnosis untuk SIRS dan keadaan-keadaan yang berkaitan . Definisi ini juga menjelaskan perbedaan dan juga persamaan antara sepsis, suatu respon inflamatori sistemik yang khusus terhadap infeksi, dan systemic inflammatory respons syndrome (SIRS). SIRS mempunyai definisi yang lebih luas meliputi keadaan-keadaan yang ditemukan sama seperti kriteria diagnosis sepsis tetapi termasuk keadaan klinik yang berat namun tidak terbatas pada kondisi infeksi (Kasper, Braunwald, Fauci, Hauser, Longo, & Jameson, 2005; Evans & Smithies, 1999; Moore, 1997). Batasan-batasan ini dan kaitannya akan didefinisikan dalam Tabel 1. berikut (Moore, 1997) : Tabel 1. Definisi untuk menguraikan keadaan pasien dengan SIRS Nama Penyakit Bakteremia Definisi Keadaan Adanya bakteri dalam darah yang dibuktikan dengan kultur darah positif Systemic Dua atau lebih dari keadaan-keadaan berikut : inflammatory respons (SIRS) i. Suhu > 38o atau < 36o C syndrome ii. Denyut jantung > 90kali/menit iii. Laju respirasi > 20 kali/menit atau PaCO2 32 mmHg iv. Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau 10% sel imatur (band). Dapat disebabkan oleh infeksi atau noninfeksi Sepsis SIRS yang dibuktikan atau diduga penyebabnya kuman Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014 Nama Penyakit Definisi Keadaan Sepsis berat (sepsis Sepsis dengan satu atau lebih tanda-tanda disfungsi syndrome) organ (seperti asidosis metabolik, ensefalopati akut, oligouria, hipoksemia) atau hipotensi) Septic shock Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah sistolik < 90mmHg atau berkurang 40mmHg dari tekanan darah normal pasien) yang tidak respons dengan resusitasi cairan bersama dengan disfungsi organ. Sepsis kultur negatif SIRS yang diberi pengobatan antibiotik yang secara klinis diduga infeksi Multiple-organ Disfungsi satu organ atau lebih dan memerlukan dysfunction intervensi untuk mempertahankan homeostasis. syndrome (MODS) Penyebab jelas sindrom respon inflamasi sistemik belum dapat diketahui secara jelas. Hal ini disebabkan karena penyebab SIRS itu nonspesifik dan terjadi pada pasien yang mengalami kondisi seperti influenza sampai pasien yang mengalami gangguan kardiovaskular. Menurut Rangel-Fausto et al, sebanyak 68% pasien yang mengalami kondisi kritis memenuhi kriteria SIRS, dalam pemeriksaan lebih lanjut dengan pasien tersebut, sebanyak 26% terkena sepsis, 18% sepsis berat, dan 4% syok septic. Sedangkan menurut Pittet at al, kejadian SIRS di rumah sakit adalah sebanyak 542 pasien dari 1000 pasien, sedangkan kejadian di ICU adalah sebanyak 840 pasien dari 1000 pasien (Plevkova, 2011). Etiologi dari SIRS bermacammacam, termasuk kondisi infeksi maupun non-infeksi, kemudian tindakan operasi, trauma, dan lain-lain. Faktor predisposisi SIRS dibagi menjadi tiga, yaitu : a. infeksi: saluran napas, urogenital, kulit dan jaringan lunak, selanjutnya disebut sepsis, b. Imunitas terganggu: keganasan, terapi radiasi, terapi hormonal, c. Prosedur invasif: tindakan pembedahan, kateter urin, jalur intravena (IV). Tindakan medis bagi pasien Sindrom Respons Inflamasi Sistemik harus dilakukan segera. Tindakan yang dilakukan seharusnya difokuskan pada dugaan penyebab utama SIRS. Terapi antibiotik seharusnya diberikan pada pasien yang diduga mengalami infeksi sebagai dugaan utama penyebab SIRS. Data kultur juga harus dipertimbangkan dalam memilih terapi antibiotik bagi pasien. Pemberian antibiotik empiris harus berdasarkan pedoman dan peta resistensi kuman rumah sakit setempat beserta data pasien masing-masing. Seiring dengan Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014 meningkatnya resistensi kuman terhadap antibiotik, maka pemberian antibiotik dengan spektrum luas harus diberikan sebagai terapi empiris jika pasien diduga menderita SIRS namun tanpa penyebab infeksi yang jelas. Antibiotik yang dapat digunakan bagi pasien SIRS adalah vankomisin, cefepim, piperasilin-tazobactam, carbapenem, atau kuinolon. Pada Tabel 2. akan diuraikan mengenai pedoman penggunaan antibiotik empiris bagi pasien penderita SIRS beserta dugaan sumber infeksinya. Tabel 2. Sumber infeksi dan bakteri penyebab SIRS dengan terapi antibiotik empiris menurut IDSA Sumber Infeksi Paru-paru Bakteri Patogen Antibiotik Klebsiella pneumonia, Eschericia coli, Florokuinolon atau makrolida Streptococcus pnemoniae, Haemophillus atau sefalosporin generasi influenza, Moraxella catarrhalis, ketiga atau keempat sebagai Mycoplasma pneumonia, Chlanydia monoterapi pneumonias, Legionella sp, Legionella kombinasi karbapenem atau pneumophila, enterobacter, klebsiella sp., piperasilin-tazobaktam, atau Staphylococcus aureus, Pseudomonas levofloksasin atau aeruginoas, Pseudomonas sp, siprofloksasin dengan Mycobacterium tuberculosis, vankomisin Acinetobacter sp, MRSA. Intra-abdominal Garam negatif enterik basil, Enterobacter Karbapenem, Piperasilin- sp., Eschericia coli, Klebsiella pneumonia, tazobaktam, sefalosporin Pseudomonas aeruginosa, Proteus sp, generasi 3 atau 4, MRSA Florokuinolon, Metronidazol, Aminoglikosida Kulit dan Eschericia coli, Streptococcus Klindamisin, Sefazolin, Jaringan Lunak pneumoniae, Clostridium perfringens, Vankomisin, Eritromisin, Neisseria meningiditis, Ricketsia ricketsia, Oksasilin Haemophilus influenza, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyrogenes IV Kateter Staphylococcus aureus Vankomisin Cefalosporin Eschericia coli generasi 3 atau 4, Pseudomonas aeruginosa karbapenem, piperasilin tazobaktam, dengan atau tanpa aminoglikosida Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014 Sumber Infeksi Saluran urin Bakteri Patogen Antibiotik Eschericia coli, Pseudomonas aeruginosa, Ciprofloksasin atau Pseudomonas spp., Entercoccus spp., levofloksasin atau Klebsiella pneumoniae, Proteus mirabilis amoksisilin-klavulanat Infeksi Luka Staphylococcus aureus, Streptococcus Karbapenem, Piperasilin- Operasi pyrogenes tazobaktam, Cefalosporin generasi 3, Aminoglikosida, Metronidazol Trauma/Cedera kepala - Retak tulang Streptococcus pneumonia, Streptococcus Vankomisin + ceftrikason tengkorak hemolitikus atau cefotaksim Post op saraf/ Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus Vankomisin + Cefepim, VP Shunt aureus, Staphylococcus epidermidis Vankomisin + Ceftazidim, (Cedera Kepala Berat) - Vankomisin + Meropenem Tidak jelas Staphylococcus aureus, MRSA, Karbapenem, Vankomisin Streptococcus pneumoniae, Eschericia coli, Klebsiellasp. Gram negatif bacteria Proteus sp. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di di Ruang Administrasi Kamar ICU, Ruang Administrasi Medis Sentral, dan Laboratorium Mikrobiologi RSAL Dr. Mintohardjo Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga April 2014. Bahan penelitian yaitu berupa rekam medik pasien yang dirawat di ruang ICU RSAL Dr. Mintohardjo, yang berisi nomor rekam medik, data demografi pasien, diagnosis pasien, jenis obat, dan jenis antibiotik yang diberikan, lama penggunaan, dan dosis obat. Penelitian ini merupakan studi survei atau observasional dengan metode cross-sectional dan pengambilan data secara retrospektif yaitu mengumpulkan data sekunder berupa data rekam medis pasien yang dirawat di ruang ICU pada periode tahun 2012 - 2013. Analisa dilakukan secara deskriptif yaitu dengan menggambarkan ketepatan pemilihan antibiotik pada pasien. Populasi penelitian adalah pasien yang sudah dirawat selama lebih dari tiga hari di ruang ICU Rumah Sakit Dr. Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014 Mintohardjo pada periode Januari sampai Desember 2013. Sampel adalah pasien yang menderita SIRS dengan gejala seperti suhu tubuh > 38o atau < 36o C; denyut jantung > 90kali/menit; laju respirasi > 20 kali/menit atau PaCO2 32 mmHg; leukosit > 12.000/mm3 dan memiliki kriteria berdasarkan inklusi. Pengambilan sampel digunakan teknik total sampling. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah : pasien dewasa dari populasi penelitian yang menjalani terapi antibiotik di RSAL Dr. Mintohardjo. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah : 1) pasien memiliki gangguan fungsi organ hati dan ginjal, 2) pasien dengan data rekam medis yang tidak lengkap, hilang, atau tidak terbaca dengan jelas. Dengan variabel bebas jenis bakteri yang terdapat di RSAL Dr. Mintohardjo berdasarkan pemetaan resistensi kuman dari seluruh kultur, dan variable terikat yaitu 5 kriteria ketepatan, yaitu tepat penderita, tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, dan tanpa interaksi obat. Pada Gambar 1 dan 2. berikut akan dijelaskan mengenai kerangka teori dan kerangka konsep dari penelitian. Pasien dirawat lebih dari 3 hari di ICU Pasien mempunyai gejala SIRS Terapi Antibiotik Empiris Tepat penderita Tepat indikasi Rasional Tepat obat Tepat dosis Tidak Rasional Gambar 3.1. Kerangka Teori Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014 Tanpa Interaksi Obat Kerasionalan antibiotik: penggunaan -­‐ Tepat penderita -­‐ Tepat indikasi -­‐ Tepat obat (dihubungkan dengan peta sensitivitas kuman -­‐ Tepat dosis obat -­‐ Interaksi obat Jenis bakteri penyebab infeksi Gambar 3.2. Kerangka Konsep Penelitian Hasil Penelitian Demografi pasien meliputi jenis kelamin, usia, diagnosa penyakit, lama perawatan, dan status pasien. Jumlah pasien yang dirawat di ruang ICU pada tahun 2012 adalah sebanyak 276 orang, dengan jumlah pasien yang dirawat di ICU selama lebih dari empat hari sebanyak 44 orang, kemudian pasien yang masuk dalam kriteria inklusi sebanyak 9 orang. Sedangkan pada tahun 2013 jumlah pasien yang dirawat di ICU sebanyak 377 orang dengan jumlah pasien yang dirawat di ICU selama lebih dari empat hari sebanyak 104 orang, kemudia pasien yang masuk dalam kriteria inklusi sebanyak 26 orang. Sehingga total jumlah pasien yang masuk dalam kriteria inklusi adalah sebanyak 35 orang. Pada tabel berikut akan disajikan hasil data demografi pasien secara lebih rinci. Tabel 3. Demografi pasien sindrom respon inflamasi sistemik di ruang ICU RSAL Mintohardjo tahun 2012 - 2013 berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total Jumlah Pasien 18 17 35 Persentase (%) 51.42 48.58 100.00 Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014 Tabel 4. Demografi pasien pasien sindrom respon inflamasi sistemik di ruang ICU RSAL Mintohardjo tahun 2012 - 2013 berdasarkan kelompok usia Kelompok Usia (tahun) 17-25 26-35 36-45 46-55 56-65 65 ke atas Total Jumlah Pasien 3 2 4 1 9 16 35 Persentase (%) 8.57 5.71 11.43 2.86 25.71 45.72 100.00 Keterangan : Penggolongan usia pada tabel di atas, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di departemen kesehatan pada tahun 2009 Tabel 5. Demografi pasien pasien sindrom respon inflamasi sistemik di ruang ICU RSAL Mintohardjo tahun 2012 - 2013 berdasarkan diagnosis penyakit Diagnosa Penyakit Asma Bronkial Pneumonia Cedera Kepala Berat Encephalopati Stroke Hemoragic Stroke Non Hemoragic Stroke non Hemoragic + DM Stroke Hemoragic + DM Peritonitis Pascabedah Batu Empedu Pascabedah Bilio Digestive Pascabedah Colostomy Pascabedah Craniotomy Pascabedah Laparotomi Pascabedah Hernia Pascabedah Kanker Leher Pascabedah VP Shunt SH + Pascabedah Craniotomy Tumor Abdomen Total Jumlah Pasien 2 3 1 1 3 1 1 Persentase (%) 5.71 8.57 2.86 2.86 8.57 2.86 2.86 1 1 1 1 2 6 5 1 1 2 1 2.86 2.86 2.86 2.86 5.71 17.14 14.27 2.86 2.86 5.71 2.86 1 35 2.86 100.00 Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014 Tabel 6. Demografi pasien pasien sindrom respon inflamasi sistemik di ruang ICU RSAL Mintohardjo tahun 2012 - 2013 berdasarkan lama perawatan Lama Perawatan (hari) 4-10 11-15 >15 Total Jumlah Pasien Persentase (%) 27 5 3 35 77.14 14.29 8.57 100.00 Tabel 7. Demografi pasien pasien sindrom respon inflamasi sistemik di ruang ICU RSAL Mintohardjo tahun sindrom respon inflamasi sistemik 2012 - 2013 berdasarkan status pasien Status Pasien Pindah Ruangan Meninggal Total Jumlah 19 16 35 Persentase (%) 54.28 45.72 100.00 Jenis antibiotik yang diberikan pada pasien yang mengalami sindrom respons inflamasi sistemik sangat beragam dan yang paling sering diberikan adalah meropenem. Data penggunaan antibiotik pada pasien dapat dilihat pada Tabel 8., Tabel 9., Tabel 10. Tabel 8. Data jumlah jenis antibiotik yang diberikan pada 35 pasien sindrom repon inflamasi sistemik tahun 2012- 2013 No Jenis Antibiotik 1 2 3 4 5 6 7 8 Seftriakson Meropenem Levofloksasin Sefotaksim Gentamisin Seftazidim Siprofloksasin PiperasilinTazobaktam Amikasin Sefoperazon Sefepim Fosfomisin 9 10 11 12 Jumlah penggunaan antibiotik 20 23 9 6 6 1 2 5 Persentase penggunaan antibiotik (%) 21.98 25.27 9.89 6.59 6.59 1.09 2.19 5.49 4 11 1 1 4.39 12.16 1.09 1.09 Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014 No Jenis Antibiotik 13 14 Streptomisin Vankomisin Jumlah Jumlah penggunaan antibiotik 1 1 91 Persentase penggunaan antibiotik (%) 1.09 1.09 100.00 Tabel 9. Data pola penggunaan antibiotik pada pasien sindrom respon inflamasi sistemik tahun 2012 - 2013 Penggunaan Antibiotik Frekuensi Pemberian Antibiotik Tunggal 8 Antibiotik Kombinasi 22 Antibiotik dan Antiinfeksi 40 lain Jumlah 70 % 11.43 31.43 57.14 100.00 Tabel 10. Data penggunaan antibiotik pada pasien sindrom repon inflamasi sistemik tahun 2012 - 2013 Penggunaan Antibiotik Tunggal Antibiotik+Antibiotik Nama Obat % Seftriakson Frekuensi Pemberian 4 5.71 Meropenem 4 5.71 Seftriakson+Gentamisin 7 10.00 Seftrikason+Levofloksasin 1 1.43 Seftriakson+Meropenem 4 5.71 Gentamisin+Meropenem 3 4.29 Seftriakson+Cipofloksasin 1 1.43 Piperasilin- 3 4.29 Meropenem+Levofloksasin 1 1.43 Sefotaksim+Gentamisin 1 1.43 Sefotaksim+Meropenem 1 1.43 Meropenem+Metronidazol 11 15.70 Sefotaksim+Metronidazol 6 8.57 Gentamisin+Metronidazol 1 1.43 Seftriakson+Metronidazol 1 1.43 Levofloksasin+Flukonazol 3 4.29 Tazobaktam+Amikasin Antibiotik+Antibiotik Antibiotik+Antiinfeksi lain Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014 Penggunaan Antibiotik Nama Obat Amikasin+Flukonazol Piperasilin- % Frekuensi Pemberian 3 4.29 5 7.14 Meropenem+Flukonazol 6 8.57 Sefepim+Flukonazol 1 1.43 Fosofomisin+Flukonazol 1 1.43 Streptomisin+Flukonazol 1 1.43 Vankomisin+Flukonazol 1 1.43 70 100.00 Tazobaktam+Flukonazol Jumlah Peta resistensi kuman di RSAL Dr. Mintohardjo pada tahun 2012 menunjukkan persentase resistensi berbagai bakteri terhadap total 25 jenis antibiotik, sedangkan pada peta resistensi kuman pada tahun 2013 menunjukkan persentase resistensi berbagai bakteri terhadap total 23 jenis antibiotik. Tidak semua antibiotik digunakan dalam uji resistensi masing-masing bakteri sebab ada beberapa antibiotik yang hanya efektif terhadap bakteri gram negatif saja maupun sebaliknya. Tabel 11. Data jumlah kuman yang terlibat dalam pembuatan peta resistensi bakteri terhadap antibiotik di RSAL Dr. Mintohardjo periode Januari-Desember 2012 - 2013 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Jenis Kuman Acetobacter aerogenes Aerobacter aerogenes Alcaligenes faecalis Candida sp. Coliform Escherichia coli Enterobacter cloacae Proteus sp. Pseudomonas sp. Salmonella typhii Serratia sp. Staphylococcus albus Staphylococcus aureus Staphylococcus pyrogenenes Streptococcus haemolyticus Streptococcus pneumoniae Streptococcus viridians g-Streptococcus Jumlah Jumlah 2 6 60 1 104 106 1 42 59 2 1 1 74 3 26 4 6 4 502 Persentase (%) 0,39 1,20 11,98 0,20 20,66 21,06 0,20 8,38 11,78 0,39 0,20 0,20 14,77 0,60 5,19 0,80 1,20 0,80 100.00 Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014 Evaluasi penilaian kerasionalan penggunaan antibiotik dinilai melalui lima aspek ketepatan, yaitu tepat pasien, tepat tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, dan interaksi obat. Pasien dikatakan sudah mendapatkan terapi antibiotik yang rasional jika kelima aspek tersebut terpenuhi. Tabel 12. Distribusi analisis ketepatan berdasarkan pemberian antibiotik pada pasien No Aspek ketepatan 1 Jumlah Pasien % Tepat Tidak Tepat Tepat Tidak Tepat Tepat Pasien 35 0 100.00 0.00 2 Tepat Indikasi 8 27 22.86 77.14 3 Tepat Obat 1 34 2.86 97.14 4 Tepat Dosis 26 9 74.29 25.71 5 Interaksi Obat 13 22 31.43 68.57 Pembahasan Data persebaran pasien berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah pasien laki-laki dan perempuan. Sedangkan berdasarkan diagnosa penyakit diperoleh bahwa penyakit yang paling banyak menimbulkan sindrom respon inflamasi sistemik adalah pasien pascabedah craniotomy. Menurut Brown CV, Weng J, Craniotomy adalah Operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak. Pada pascabedah craniotomy dapat timbul beberapa komplikasi, diantaranya adalah infeksi luka. Infeksi ini merupakan salah satu penyebab terjadinya sindrom respon inflamasi sistemik. Data rentang usia pasien menunjukkan bahwa pasien yang paling banyak terkena sindrom respon inflamasi klinis adalah usia diatas 65 tahun. Hal ini dapat terjadi karena semakin lanjut usia seseorang maka pertahanan tubuhnya semakin lemah sehingga kemungkinan untuk terkena sindrom respon inflamasi klinis lebih besar. Data lama perawatan yang dijalani pasien sindrom inflamasi sistemik menunjukkan bahwa pasien dengan lama perawatan selama 4-10 hari paling banyak terkenan sindrom respon inflamasi sistemik. Dalam data status pasien, perbedaan jumlah pasien yang meninggal dan pindah ruangan tidak terlalu signifikan. Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014 Data pola penggunaan antibiotik menunjukkan bahwa meropenem merupakan jenis antibiotik yang paling sering digunakan pada pasien yang mengalami sindrom respon inflamasi sistemik di Ruang ICU RSAL Dr. Mintohardjo. Hal ini sesuai dengan pedoman menurut IDSA, bahwa antibiotik yang digunakan sebagai terapi empiris bagi pasien dengan sindrom respon inflamasi sistemik adalah antibiotik dengan spektrum luas, seperti golongan karbapenem, kuinolon atau piperasilin-tazobaktam. Meropenem merupakan antibiotik golongan karbapenem. Umumnya, penggunaan kombinasi antibiotik, dibagi menjadi dua, yaitu kombinasi antibiotik dengan antibiotik dan kombinasi antibiotik dengan antiinfeksi lain. Adanya pemisahan kombinasi antibiotik ini dikarenakan metronidazol dapat berperan sebagai antibiotik maupun antiparasit/antijamur. Mekanisme metronidazol sebagai antiparasit sudah jelas, yaitu dengan cara menyerang inti sel dari jamur/protozoa, sedangkan mekanisme metronidazol sebagai antibiotik belum jelas walaupun banyak sumber mengatakan bahwa metronidazol dapat dikatakan sebagai antibiotik. Namun, akhirnya peneliti memisahkan metronidazol sebagai antiinfeksi lain karena mekanisme metronidazol sebagai antibiotik kurang jelas. Jumlah penggunaan kombinasi antibiotik dengan antibiotik paling banyak adalah seftriakson+gentamisin. Kombinasi ini dapat menghasilkan kerja sinergis antara seftrikason yang merupakan golongan sefalosporin dan gentamisin sebagai golongan aminoglikosida. Golongan sefalosporin mempunyai mekanisme kerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel kuman yang terdiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu kompleks polimer mukopeptida (glikopeptida), dan menyebabkan lisis sel. Sedangkan antibiotik golongan aminoglikosida bekerja dengan cara menghambat sintesis protein. Sel bakteri mensistesis berbagai protein yang berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA. Penghambatan terjadi melalui interaksi dengan ribosom bakteri. Hal ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Jadi dengan kombinasi dua golongan antibiotik ini, dapat menghasilkan dua mekanisme kerja yang sinergis, yaitu seftriakson dapat melisiskan bakteri (bersifat bakterisidal) dan gentamisin yang menghambat pertumbuhan bakteri (bersifat bakteriostatik). Mekanisme kerja sinergis ini diharapkan dapat memastikan bakteri mati dan tidak dapat berkembang biak. Namun, kombinasi antara golongan sefalosporin dan aminoglikosida harus dipantau secara ketat sebab dapat meningkatkan efek terjadinya nefrotoksik walaupun mekanismenya belum ditemukan secara pasti (Stockley, 2008). Jumlah penggunaan kombinasi antibiotik dengan antiinfeksi lainnya yang paling banyak adalah meropenem+metronidazol. Kombinasi ini bertujuan untuk memperluas spektrum kerja obat dan banyak digunakan untuk infeksi-infeksi nosokomial (Di piro, 1999). Meropenem merupakan golongan karbepenem yang memang banyak digunakan sebagai terapi empiris Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014 pada pasien sindrom respon inflamasi sistemik, sedangkan penggunaan metronidazol sebagai antiinfeksi adalah untuk mencegah adanya infeksi yang diakibatkan oleh jamur atau protozoa. Bakteri yang paling banyak ditemukan dari hasil kultur spesimen pasien pada tahun 2012 maupun tahun 2013 adalah bakteri kelompok Coliform dan Escherichia coli. Kedua jenis bakteri ini merupakan golongan bakteri intestinal (yang hidup di saluran pencernaan manusia), selain itu kedua jenis bakteri ini pun merupakan indikator kualitas air, jika bakteri ini banyak ditemukan dalam air maka kualitas air sudah buruk (Suriaman, 2008). Oleh karena itu, dengan banyak ditemukannya kedua jenis bakteri ini dari hasil kultur yang dilakukan di RSAL Dr. Mintohardjo maka kemungkinan kedua jenis bakteri ini berasal dari adanya pencemaran aliran air. Evaluasi penilaian kerasionalan penggunaan antibiotik dinilai melalui lima aspek ketepatan, yaitu tepat pasien, tepat tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, dan interaksi obat. Pasien dikatakan sudah mendapatkan terapi antibiotik yang rasional jika kelima aspek tersebut terpenuhi. Aspek tepat pasien dinilai dengan melihat kondisi individual pasien. Dalam hal ini, peneliti menilai dari hasil laboratorium tes ginjal dan hati pasien untuk mengetahui apakah pasien mengalami gangguan ginjal dan atau hati. Jika pasien mengalami gangguan ginjal dan atau hati, maka harus dilakukan penyesuaian dosis terhadap pasien. Namun karena peneliti sudah mengeklusikan pasien dengan gangguan ginjal dan hati, maka untuk aspek tepat pasien hasilnya 100 persen tepat. Aspek tepat indikasi dinilai dengan membandingkan diagnosis pasien dengan pedoman penggunaan antibiotik pada pasien yang mengalami sindrom respon inflamasi sitemik. Dalam hal ini, peneliti melihat diagnosis masing-masing pasien, kemudian menyimpulkan sumber infeksi berdasarkan diagnosis yang telah dibuat dan melihat antibiotik yang diberikan pada pasien. Setelah itu peneliti membandingkan antara sumber infeksi dan antibiotik yang seharusnya diberikan berdasarkan pada pedoman. Jika antibiotik yang diberikan pada pasien sesuai dengan diagnosis dan sumber infeksi yang disebutkan pada pedoman, maka pasien telah memenuhi kriteria tepat indikasi. Dapat dilihat pada tabel 4.16 bahwa pasien yang memenuhi kriteria tepat indikasi hanya 8 orang (22.86%). Hal ini dapat terjadi karena penggunaan antibiotik empiris yang diberikan pihak rumah sakit hanya berdasarkan pengalaman karena RSAL Dr. Mintohardjo belum mempunyai pedoman khusus untuk pemberian antibiotik empiris pada pasien yang mengalami sindrom respon inflamasi sistemik. Aspek tepat obat dinilai dengan cara membandingkan pedoman atau guideline dengan pemetaan kuman di RSAL Mintohardjo. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah obat yang diterima oleh pasien masih mempunyai sensitivitas terhadap kuman-kuman yang Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014 terdapat di RSAL Dr. Mintohardjo. Aspek tepat obat ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari aspek tepat indikasi, jika pasien sudah memenuhi kriteria tepat indikasi yang berarti pasien menerima jenis antibiotik yang sesuai dengan diagnosisnya, maka jenis antibiotik tersebut harus dikaji lebih lanjut untuk mengetahui apakah jenis antibiotik tersebut sensitif terhadap kuman yang kemungkinan menginfeksi pasien, dan terdapat di RSAL Dr. Mintohardjo. Jika antibiotik tersebut masih sensitif, maka pasien telah memenuhi kriteria tepat obat. Jika melihat hasil data, didapatkan bahwa hanya ada satu pasien yang memenuhi kriteria tepat obat, sebab jika dilihat dari pemetaan kuman baik pada tahun 2012 maupun 2013, kuman-kuman yang terdapat di RSAL Dr. Mintohardjo rata-rata sudah resisten terhadap antibiotik yang diberikan kepada pasien yang dirawat. Terbukti, setelah peneliti melihat lalu mengolah peta resistensi kuman, pada tahun 2012 bahwa Sreptococcus sp sudah mempunyai tingkat resistensi sebesar 80.00% terhadap Seftriakson, Alkaligenes sp mencapai angka resistensi sebesar 92.00% terhadap Sefoperazon, Sefotaksim, Seftazidim, dan ceftrikason. Tahun 2013 kuman Alkaligenes faecalis memiliki tingkat resistensi terhadap antibiotik Sefotaksim sebesar 85.00%, dan terhadap antibiotik gentamisin sebesar 88.00%. Kuman Escherichia coli juga mempunyai tingkat resistensi yang tinggi, yaitu sebesar 78.00% terhadap Seftriakson. Melihat data yang diperoleh peneliti, terdapat banyak pasien dengan diagnosis pascabedah craniotomy yaitu sebanyak 6 orang dari 35 pasien. Menurut pedoman yang digunakan, pasien dengan diagnosis pascabedah craniotomy, biasanya terimfeksi kuman-kuman seperti Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis yang seharusnya diberikan terapi antibiotik empiris seperti kombinasi Vankomisin + Sefepim, Vankomisin + Seftazidim, Vankomisin + Meropenem. Sedangkan pasien di RSAL Dr. Mintohardjo dengan diagonis tersebut banyak diberi antibiotik kombinasi Seftriakson-gentamisin atau meropenem secara tunggal. Menurut peta resistensi pada tahun 2012, Pseudomonas aeruginosa mempunyai tingkat resistensi terhadap Seftriakson sebesar 58.00%, gentamisin sebesar 33.00% dan meropenem sebesar 8.00%. Tahun 2013 Pseudomonas aeruginosa mempunyai tingkat resistensi terhadap Seftriakson sebesar 59.00%, gentamisin sebesar 56.00% dan meropenem sebesar 52.00%. Tahun 2012, Staphylococcus aureus mempunyai tingkat resistensi terhadap Seftriakson sebesar 42.00%, gentamisin sebesar 38.00% dan meropenem sebesar 30.00%. Tahun 2013, Staphylococcus aureus mempunyai tingkat resistensi terhadap Seftriakson sebesar 65.00%, gentamisin sebesar 59.00% dan meropenem sebesar 51.00%. Tingginya angka resistensi kuman terhadap antibiotik ini disebabkan pemakaian antibiotik yang tidak sesuai dengan pedoman yang digunakan penulis, yaitu pedoman dari IDSA (Infectious Disease Society of America). Aspek Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014 tepat dosis dinilai dengan cara melihat dosis yang diberikan pada pasien, kemudian dibandingkan dengan usual dose antibiotik tersebut. Selain itu, dilihat juga rute pemberian, dan lama pemberiannya. Jika pasien menerima obat dengan dosis yang cukup, rute pemberian tepat, dan pemberiannya tidak melebihi batas waktu maksimal, maka pasien telah memenuhi kriteia tepat dosis. Interaksi obat merupakan aspek yang penting untuk dinilai dan diketahui, sebab adanya interaksi obat dapat meningkatkan efek samping atau bahkan toksisitas dari antibiotik. Setelah data ketepatan pasien, ketepatan indikasi, ketepatan obat, ketepatan dosis, dan interaksi obat disesuaikan dengan panduan yang digunakan, kelima data tersebut digabungkan untuk mengamati kerasionalan penggunaan antibiotik pada masing-masing pasien. Data yang diperoleh pada tahun 2012 dan tahun 2013 menunjukkan bahwa sebanyak 35 pasien yang diambil sebagai sampel, seluruhnya (100%) menerima antibiotik yang tidak rasional. Ketidakrasionalan penggunaan antibiotik paling banyak disebabkan oleh ketidaktepatan obat, yaitu sebanyak 34 orang pasien (97.14%). Hal ini disebabkan kriteria ketepatan obat berkaitan dengan peta resistensi kuman di RSAL Dr. Mintohardjo. Namun, bagaimanapun kerasionalan penggunaan antibiotik di RSAL Dr. Mintohardjo tidak dapat disimpulkan tidak rasional secara keseluruhan karena terdapat banyak hal yang memengaruhi keputusan dokter untuk memberikan antibiotik terhadap pasien. Kesimpulan 1. Data sampel yang diperoleh peneliti menunjukkan bahwa SIRS yang disebabkan oleh infeksi lebih banyak timbul pada pasien dengan diagnosa pascabedah craniotomy yang berjumlah 6 orang (17.14%) dari 35 orang yang dijadikan sampel. 2. Pasien penderita SIRS yang dirawat di ICU paling banyak diberikan kombinasi antibiotika dengan antiinfeksi lain, yaitu kombinasi meropenem+metronidazol. 3. Secara keseluruhan, pemberian antibiotika empiris pada pasien penderita SIRS dinilai tidak rasional. Saran 1. Tim medis sebaiknya perlu menelaah dan bila mungkin membuat buku panduan mengenai pemberian antibiotik empiris untuk penyakit sindrom respons inflamasi sistemik. 2. Sebaiknya pihak rumah sakit melakukan kultur bakteri pada seluruh pasien yang mengalami gejala penyakit sindrom respons inflamasi sistemik. Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014 3. Sebaiknya dilakukan evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien penyakit sindrom respons inflamasi sistemik setelah hasil kultur bakteri diperoleh. Daftar Referensi Harbarth, S.J. Pittet, D. (2007). The Intensive Care Unit part a. HAI Epidemiology, Risk Factors, Surveillance, Engineering, and Administrative Infetion Control Practices, and Impact. In Bennet and Brachman’s Hospital Infection (5th ed.). Jarvir, W.R (Ed.). Philadephia : Lippincott Williams and Wilkins. Baxter, Karen. (2008). Stockley’s Drug Interaction. Chicago : Pharmaceutical Press. Burke, J.P. (2003). Infection Control-new Problem for Patient Safety. New England Journal of Medicine ;348;7. Di Piro, T.J., Talbert, L.R., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posoy, L.M. (2008). Pharmacotherapy, a Pathophysiologyc Approach, Seventh Edition. USA : Mc Graw Hill Companies. Guntur, A. (2006). SIRS & Sepsis : Imunologi, Diagnosis, Penatalaksanaan. Surakarta : Sebelas Maret Press. Kamus Kedokteran Dorland (ed 29). (2002). Jakarta : EGC. Leksana, Ery. (2013). Systemic Inflammatory Response Syndrome. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Mims, et al. (2004). Medical Microbiology 3rd ed. London : Mosby. Plevkova, Jana. (2011). Systemic Inflammatory Response Syndrome. http://www.emedicine.medscope.com/article/168943-overview Wattimena, J. R. , Sugiarso, N. C. , Widianto, M. B. , Sukandar, E.Y. , Soemardji, A. A. , Setiadi, A. R. (1991). Farmakodinamika Dan Terapi Antibiotik, 31- 32.Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Wilianti, Novi Praktika. (2009). Rasionalitas Penggunaan Antibiotik pada Pasien Saluran Kemih pada Bangsal Penyakit Dalam di RSUP Dr. Kariadi Semarang Tahun 2008. Semarang : FK Universitas Diponegoro. World Health Organization.(2001). WHO Global Strategy for Containment of Antimicrobial Resistance. Switzerland: World Health Organization. Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional. (2008). Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Kerasionalan penggunaan…, Azizah Nurrakhmani, FF UI, 2014