MIKROBIOLOGI INDUSTRI PEMANFAATAN ENZIM PADA PEMBUATAN HIGH FRUCTOSE CORN SYRUP Disusun oleh: Alfonsina A. A. Torintubun 115061100111027 Ayu Indah Wibowo 115061101111011 Dewi Ariesi Rachmadianty 115061105111007 Ridhani Rida Ramadhan 115061100111009 PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2012 A. DEFINISI HIGH FRUCTOSE CORN SYRUP (HFCS) High Fructose Corn Syrup merupakan pemanis alternatif cairan sukrosa yang terbuat dari jagung, menggunakan bahan kimia (soda kaustik, asam klorida) dan enzim (α-amilase dan glukoamilase) untuk menghidrolisis pati jagung pada sirup jagung yang mengandung sebagian besar glukosa dan enzim ketiga yaitu (Glukosa isomerase) untuk isomerize glukosa dalam sirup jagung fruktosa untuk menghasilkan produk HFCS yang diklasifikasikan sesuai dengan konten fruktosa mereka: HFCS-90, HFCS-42, dan HFCS55. (Parker et al, 2010) HFCS telah menjadi pemanis utama dan aditif yang digunakan secara luas dalam berbagai makanan olahan dan minuman mulai dari minuman ringan dan buah untuk yogurt dan roti. HFCS memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan sukrosa yang membuatnya menarik bagi produsen makanan. Ini termasuk manisnya, kelarutan, keasaman dan murahnya relatif di Amerika Serikat (AS). Penggunaan HFCS dalam makanan dan industri minuman telah meningkat selama bertahun-tahun di AS. Peningkatan konsumsi di AS bertepatan dengan peningkatan kejadian obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular lainnya dan sindrom metabolik. (Parker et al, 2010) HFCS dibuat dengan bahan kimia dan hidrolisis enzimatik pati jagung yang mengandung amilosa dan amilopektin menjadi sirup jagung mengandung sebagian besar glukosa diikuti dengan isomerisasi glukosa dalam sirup jagung fruktosa untuk menghasilkan HFCS. Tiga kategori HFCS pada umumnya: HFCS-90 (fruktosa 90% dan glukosa 10%) yang digunakan dalam aplikasi khusus tetapi yang lebih penting adalah dicampur dengan sirup glukosa untuk menghasilkan HFCS-42 (42% fruktosa dan glukosa 58%) dan HFCS-55 (55% fruktosa dan 45% glukosa). (Parker et al, 2010) Makanan yang dihasilkan dari industri ditemukan mengandung HFCS sangat banyak. Ini termasuk kue panggang seperti biskuit, roti, kue, dan shortcakes, minuman ringan, minuman jus, minuman berkarbonasi, selai dan jeli, produk susu, termasuk es krim, susu rasa, eggnog, yogurt dan makanan penutup beku, kalengan untuk bahan makanan termasuk saus dan bumbu, sereal dan sereal bar, dan banyak makanan olahan lainnya. Mayoritas dari makanan olahan di AS mengandung HFCS untuk memenuhi sebagian fungsionalitas dalam makanan. (Parker et al, 2010) B. PROSES PEMBUATAN HIGH FRUCTOSE CORN SYRUP (HFCS) HFCS (High Fructose Corn Syrup) diproduksi dari jagung. Biji-bijian jagung mengalami beberapa unit proses, dimulai dengan seduhan untuk melunakkan kernel jagung yang keras diikuti dengan penggilingan basah dan pemisahan fisik menjadi pati jagung (dari endosperm); jagung hull (dedak) dan protein dan minyak (dari kuman). Jagung pati terdiri dari molekul glukosa panjang tak terbatas, terdiri dari amilosa dan amilopektin dan membutuhkan panas, kaustik soda dan / atau asam klorida ditambah aktivitas tiga enzim yang berbeda untuk memecahnya menjadi gula glukosa sederhana dan fruktosa yang ada di HFCS. (Parker et al, 2010) Proses produksi dapat dibagi ke dalam 18 tahap pemisahn di lima operasi tahapan utama. Tahapan tersebut termasuk produksi dekstrosa, pemurnian utama dan perlakuan kimia memproduksi bahan baku dekstrosa, isomerisasi bahan baku dekstrosa untuk memproduksi 42% fruktosa, permunian sekunder 42% fruktosa dan fraksionasi 42% fruktosa untuk memproduksi 55% fruktosa. Proses utama dari keseluruhan proses produksi ini adalah tahap isomerisasi enzimatik memanfaatkan glukosa isomerase yang imobilisasi. Kesuksesan reaksi isomerisasi tergantung dari produksi dan pengiriman bahan baku dekstrosa kualitas tinggi ke reaktor isomerisasi. (Yadav dan Rajiv, 2005) 1. Produksi Dekstrosa dari Pati Produksi bahan baku dekstrosa dari pati merupakan proses tahapan yang panjang melibatkan α-amilase dan glukoamilase tahan panas dalam tahap-tahap enzimatik yang sukses. Enzim-enzim katalis ini menghidrolisis pati jagung menjadi monomer dekstrosa. (Yadav dan Rajiv, 2005) Dalam tahap yang pertama, penggilingan bubur pati digelatinasi dengan memasak pada temperatur tinggi. Gelatinasi pati kemudian dilikuifikasi dan didekstrinasi dengan α-amilase tahan panas dalam dua tahapan reaksi yang kontinu. Produk dari reaksi ini hidrolisat dekstrin terlarut dengan D.E (dekstrosa ekuivalen) 10-15, cocok untuk mengikuti tahap sakarifikasi. (Yadav dan Rajiv, 2005) Selama reaksi likuifikasi-dekstrinasi, variabel proses utama dari kualitas dan konsentrasi pati, dosis α-amilase, temperatur, pH, aliran pati, dan waktu yang harus dipertahankan selama batasan yang sempit untuk memastikan bahwa pati dimasak dan didekstrinasi seluruhnya. (Yadav dan Rajiv, 2005) Untuk mengarah ke konversi murni dan masalah filtrasi, atau produksi sakarida tidak normal seperti maltulosa yang dapat mengarah ke masalah aroma di High Fructose Corn Syrup yang sudah selesai. (Yadav dan Rajiv, 2005) Level protein total dan terlarut di penggilingan bubur pati seharusnya dipertahankan di bawah sekitar 0,3% total protein dan 0,03% protein terlarut. Perlu dilakukan minimalisasi pembentukan warna seperti hasil dari reaksi Maillard antara asam amino dan gula dalam kondisi dari temperatur dan pH tinggi. Jika penggilingan bubur pati tinggi protein, sirup yang dihasilkan memiliki potensi yang lebih besar untuk mengembangkan warna melebihi kapasitas karbon dan sistem pemurnian pertukaran ion. (Yadav dan Rajiv, 2005) Berdasarkan likuifikasi-dekstrinasi, pH dan temperature hidrolisat D.E 10-15 disesuaikan untuk sakarifikasi. Selama sakarifikasi, hidrolisat dihidrolisis lebih jauh menjadi dekstrosa dengan aksi enzim glukoamilase. Meskipun sakarifikasi dapat dilakukan seperti reaksi batch, sakarifikasi kontinu dilakukan pada pabrik-pabrik modern. Dalam reaksi sakarifikasi kontinu, glukoamilase ditambahkan ke hidrolisat D.E 10-15 mengikuti penyesuaian pH dan temperaturnya. Cairan sakarifikasi kemudian dipompa melalui sejumlah reaktor besar yang seri. (Yadav dan Rajiv, 2005) Total waktu untuk sakarifikasi sensitif sekali untuk sejumlah glukoamilase. Biasanya, waktu reaksi 65-75 jam yang digunakan untuk mendapatkan hidrolisat yang mengandung 94-96% dekstrosa. (Yadav dan Rajiv, 2005) Selama sakarifikasi, variabel penting yang dimonitor adalah permulaan D.E., pH, temperatur, substansi kering, dosis glukoamilase, waktu konversi dan adanya pati yang tidak terkonversi dalam cairan selama reaksi ini. (Yadav dan Rajiv, 2005) Variabel-variabel tersebut harus dikontrol dengan batasan yang cukup sempit untuk memastikan bahwa minimal 94% level dekstrosa dicapai. Level minimum ini perlu untuk memenuhi spesifikasi untuk karbohidrat disesuaikan dengan batasan yang cukup sempit karena keperluan evaporasi dan operasi penyelesaian lainnya. (Yadav dan Rajiv, 2005) Dalam prakteknya, aliran tidak dapat diatur secara pasti pada setiap waktu untuk mendapatkan 42% fruktosa, tetapi hal tersebut dapat dengan mudah dicapai pada dasar rata-ratanya. (Yadav dan Rajiv, 2005) Sejumlah strategi proses kontrol yang penting dapat digunakan untuk mencapai operasi hampir steady state. Hal-hal tersebut termasuk variasi sederhana dalam kontrol temperatur operasi, konversi level, dan pH bahan baku. Keseragaman akhir dari kualitas produk dan level fruktosa biasanya dicapai dengan operasi otomatis back-blending dikontrol dengan polarimeter in-line. (Yadav dan Rajiv, 2005) Efek temperatur pada produktivitas keseluruhan dapat menjadi dramatis. Temperatur umpan 60˚C dianggap optimum. Temperatur yang lebih tinggi menghasilkan laju alir yang lebih cepat tetapi juga menyebabkan laju pembusukan dipercepat. Temperatur umpan rendah seperti 55˚C dapat digunakan untuk memperpanjang kehidupan enzim pada pengeluaran dari laju alir yang lebih lambat. Beberapa resiko dari kontaminasi mikroba ada pada temperatur operasi yang rendah. (Yadav dan Rajiv, 2005) Salah satu dari variabel operasi yang paling penting adalah isokolom pH internal. Operasi pH biasanya berhubungan dengan pH dari aktivitas maksimum, sekitar pH 8 dan pH dari stabilitas maksimum, pH 7-7,5. Hal tersebut rumit dengan fakta bahwa bahan baku dekstrosa tidak stabil untuk pH pada temperatur sekitar 60˚C.Beberapa dekomposisi untuk memproduksi asam dengan produk hasil dalam penurunan pH di isokolom selama operasi. (Yadav dan Rajiv, 2005) Karena sulit mengontrol pH secara langsung dalam kolom, penentuan pH dibuat ke bahan baku untuk menyesuaikan pH konstan dalam efluen kolom. (Yadav dan Rajiv, 2005) Stabilitas operasional dari sistem isomerase imobilisasi dapat dikarakteristikkan dengan paruh hidup, atau rentang waktu selama aktivitas enzim yang direduksi dengan satu-setengah. Khususnya, isokolom tunggal dioperasikan untuk periode paling tidak dua setengah kehidupan, setelah itu enzim dibuang dan diganti dengan yang segar. Operasi kehidupan kolom ditentukan oleh pertimbangan seperti jumlah isokolom di baterai, tingkat kerusakan rata-rata individu kolom, varian diijinkan maksirmun dalam individu isokolom aliran, aliran total minimum, dan total kapasitas produksi yang diperlukan. Enzim paruh hidup 70-120 hari umumnya menghasilkan pengganti kolom dari 1,5-2 kali per tahun. (Yadav dan Rajiv, 2005) Biaya enzim isomerisasi merupakan bagian signifikan dari total biaya operasi. Enzim dibeli secara komersial otau diproduksi oleh pengguna. Dalam kasus yang pertama, enzim yang paling diberikan pada jaminan kinerja dengan aktivitas kondisi minimal. Kualitas isomerase imobilisasi telah meningkat sehubungan dengan aktivitas awal lebih panjang setengah-hidup dan aktivitas awal lebih tinggi dengan jaringan produktivitas yang lebih tinggi. Secara umum, biaya isomerisasi telah menurun secara signifikan dari biaya asli yaitu dari 50 sampai 70 sen per cwt. HFCS basis kering. (Yadav dan Rajiv, 2005) Ekonomi proses keseluruhan ditingkatkan oleh setiap persen peningkatan produktivitas enzim. (Yadav dan Rajiv, 2005) 2. Pemurnian Sekunder dari Bahan Baku Isomerisasi Berdasarkan isomerisasi, proses produksi melibatkan pemurnian sekunder dari produk HFCS 42%. Beberapa warna tambahan diambil selama perlakuan kimia dan isomerisasi saat bahan baku tersebut berada pada pH dan temperatur yang lebih tinggi untuk jangka waktu tertentu. Produk ini juga berisi beberapa tambahan abu dari bahan kimia yang ditambahkan untuk isomerisasi. Warna dan abu ini dihilangkan dengan karbon sekunder dan sistem pertukaran ion. 42% HFCS murni kemudian diuapkan menjadi 71 % padatan untuk pengiriman. (Yadav dan Rajiv, 2005) 3. Produksi Produk Frukstosa yang Diperkaya Produk HFCS dari reaksi isomerisasi biasanya mengandung 42% fruktosa, dekstrosa yang tidak terkonversi 52%, dan sekitar 6% dari oligosakarida. Untuk alasan yang dibahas sebelumnya, produk ini merupakan praktek tingkat maksimum fruktosa yang dicapai. Untuk mendapatkan produk dengan kadar fruktosa yang tinggi, perlu untuk selektif mengonsentrasikan fruktosa tersebut. Banyak teknik pemisahan umum tidak berlaku untuk tujuan ini, karena mereka tidak mudah membedakan antara dua isomer dengan ukuran molekul yang sama. Namun, fruktosa secara istimewa membentuk kompleks dengan kation yang berbeda seperti kalsium. Perbedaan ini telah dimanfaatkan untuk mengembangkan proses komersial dengan mengambil keuntungan dari sifat fruktosa ini dan menggabungkannya dengan teknologi pemisahan lebih maju seperti pertukaran ion. (Yadav dan Rajiv, 2005) Pada dasarnya ada dua perbedaan proses komersial yang tersedia saat ini untuk pemurnian fruktosa skala besar. Dalam kedua kasus, resin dalam bentuk kationik digunakan dalam sistem bed. Salah satu proses menggunakan resin anorganik mengarah ke penyerapan molekul selektif fruktosa. (Yadav dan Rajiv, 2005) Fraksinasi kromotografi menggunakan resin organik adalah dasar untuk proses kedua pemisahan komersial. Ketika larutan dekstrosa dan fruktosa seperti HFCS 42% diumpankan ke kolom fraksionasi, fruktosa secara selektif dipegang oleh resin ke tingkat yang lebih besar dari dekstrosa. Air deionisasi dan deoksigenasi digunakan sebagai eluen. Biasanya, pemisahan dicapai dalam kolom dikemas dengan bed cross-linked polystyrene sulfonat resin penukar kation menggunakan kalsium sebagai bentuk garam yang lebih disukai. Fruktosa yang diperkaya mengandung sekitar 90% fruktosa disebut sebagai very enriched fructose corn syrup (VEFCS). Fraksi VEFCS ini dapat dicampur kembali dengan bahan umpan 42 HFCS untuk memperoleh produk yang memiliki kandungan fruktosa antara 42% dan 90%. Yang paling khas dari produk ini adalah 55% sirup jagung diperkaya fruktosa, yang disebut 55 EFCS. (Yadav dan Rajiv, 2005) Perlakuan terhadap aliran hasil yang dimurnikan lainnya dalam proses fraksinasi adalah suatu pertimbangan penting. Secara umum, aliran hasil yang dimurnikan kaya dekstrosa didaur ulang untuk umpan dekstrosa dari sistem isokolom untuk konversi lebih lanjut menjadi 42 HFCS. Aliran hasil yang dimurnikan mengandung dekstrosa dengan tingkat fruktosa tinggi daripada tingkat umpan yang umumnya didaur ulang melalui fraksionator untuk mempertahankan tingkat tinggi padatan dan mengurangi penggunaan air. Aliran hasil yang dimurnikan kaya oligosakarida didaur ulang kembali ke sistem sakarifikasi. (Yadav dan Rajiv, 2005) Karena air digunakan sebagai media elusi, hal tersebut memiliki dampak yang besar pada beban penguapan keseluruhan pada sistem. Konsentrasi padatan sangat rendah yang berkontribusi pada risiko masalah mikrobiologi dalam sistem. Dengan demikian, parameter desain yang paling penting mendikte ekonomi keseluruhan proses adalah memaksimalkan hasil padatan pada kemurnian yang diterima sekaligus mengurangi efek dilusi dari eluen untuk minimumnya. Efisiensi penggunaan umpan dan air harus dimaksimalkan untuk hasil yang optimal. Hasil ini penting untuk mengurangi biaya reisomerization dari setiap kilogram padatan serta untuk alasan yang jelas lainnya. (Yadav dan Rajiv, 2005) Prosedur yang tersedia untuk mencapai tujuan-tujuan ini meliputi teknik daur ulang, pemerataan yang lebih tinggi dari fase resin dengan redistribusi yang tepat dalam kolom dikemas, dan penambahan multiple entry / exit point dalam kolom. Pendekatan-pendekatan untuk meningkatkan kemurnian dan hasilnya kadang-kadang disebut sebagai pakan pengayaan. Sebuah kecil jelas peningkatan kemurnian umpan ke kolom, yaitu, tingkat fruktosa tinggi, menghasilkan keuntungan yang jauh lebih besar dalam produksi melalui peningkatan yield pada kemurnian produk yang diberikan. Dalam prakteknya, ini diterjemahkan menjadi maksimalisasi rasio volume gula makan per volume resin per siklus, minimalisasi rasio volume air yang diperlukan per volume resin per siklus, dan penyediaan untuk distribusi fluida hati untuk kolom. (Yadav dan Rajiv, 2005) C. ENZIM YANG DIGUNAKAN Kata enzim diperkenalkan oleh Kuhne pada tahun 1878 untuk suatu zat yang bekerja pada suatu substrat. Kata enzim berasal dari bahasa Yunani yang berarti di dalams sel. Kuhne menjelaskan bahwa enzim bukan suatu sel tetapi terdapat di dalam sel. Definisi yang dikemukakan adalah enzim merupakan protein yang mempunyai daya katalitik karena aktivitas spesifiknya (Dixon, 1979). Enzim secara biokimi merupakan suatu kelompok protein yang berperan sangat penting dalam proses aktivitas biologis. Tugasnya sebagai katalisator di dalam sel dan bersifat khas. Kerja enzim umumnya mempercepat reaksi dengan cara menurunkan energi aktivasi (Lehninger, 1993). Pada proses pembuatan High Fructose Corn Syrup (HFCS) memanfaatkan enzim berikut: 1. Enzim α-amilase Pati dapat dipecah menjadi unit-unit yang lebih kecil yaitu dengan memotong ikatan-ikatan glikosidiknya. Salah satu enzim yang dapat memotong ikatan tersebut adalah enzim α-amilase. Enzim α-amilase (α-1,4 glukanhidrolase atau EC 3.2.1.1) terdapat pada tanaman, jaringan mamalia, jaringan mikroba. α-amilase murni dapat diperoleh dari berbagai sumber, misalnya dari malt (barley), air berbagai sumber, misalnya dari malt (barley), air liur manusia dan pankreas. Dapat juga diisolasi dari Aspergillus oryzae dan Bacillus subtilis dan Bacillus licheniformis (Sudiro, 1994). α-amilase adalah endo enzim yang kerjanya memutus ikatan α-1,4 secara acak di bagian dalam molekul baik pada amilosa maupun pada amilopektin. Sifat dan mekanisme kerja enzim α-amilase tergantung pada sumbernya. Umumnya α-amilase memotong ikatan di bagian tengah rantai sehingga menurunkan kemampuan pati mengikat zat warna iodium. Hidrolisis dengan α-amilase menyebabkan amilosa terurai menjadi saltosa dan maltotriosa. Pada tahap selanjutnya maltotriosa terurai kembali menjadi maltosa dan glukosa (Sudiro, 1994). Cara kerja enzim α-amilase terjadi melalui dua tahap, yaitu : pertama, degradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi sangat cepat dan diikuti dengan menurunnya viskositas yang cepat pula. Kedua, relatif sangat lambat yaitu pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir dan caranya tidak acak. Keduanya merupakan kerja enzim α amilase pada molekul amilosa saja (Sudiro, 1994). Aktivitas optimal dari enzim dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor penting yang berpengaruh di antaranya adalah pH dan suhu. Kisaran pH optimum untuk enzim α-amilase berkisar antara 4,5 – 6,5 dan dengan kisaran suhu optimum 40 – 60 ̊C. Enzim yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus oryzae mempunyai aktivitas optimum pada pH 5,5 dan suhu 37 – 40 ̊C(Sudiro, 1994) 2. Enzim glukoamilase Glukoamilase (GA), enzim yang dapat menghidrolisis pati menjadi glukosa, merupakan enzim yang sangat penting diindustri pengolahan pati, terutama produksi kristal glukosa dan high fructose syrup (HFS). GA adalah enzim ekstraseluler komersial yang diperoleh dari beberapa kapang Aspergillus atau Rhizopus. Walaupun menunjukkan aktivitas transglukosidase, GA yang berasal dari Aspergillus bersifat lebih termostabil daripada GA yang berasal dari Rhizopus. Hal ini menyebabkan GA yang berasal dari Aspergillus dapat bekerja pada suhu yang cukup tinggi sehingga reaksi hidrolisis dapat berjalan dengan cepat. Menurut Balasubramaniem et al, dengan perbaikan galur secara tradisional dan optimasi proses fermentasi, Aspergillus niger dapat memproduksi glukoamilase dalam jumlah yang cukup tinggi (lebih dari 20 g GA/L). pH optimum dari glukoamilase pada Aspergillus niger yaitu 4,5 dan suhu optimumnya yaitu 65̊C. Enzim ini stabil pada pH 3 sampai 7 dan pada temperatur 50̊C. (Mahyudin, 2011) Kualitas dan kuantitas GA yang dihasilkan oleh kapang-kapang dipengaruhi oleh metode pembiakan. Alazard dan Raimbault, 1981 telah membandingkan aktivitas produksi GA oleh A. niger dengan metode fermentasi padat (solid-state fermentation-SSF) tiga kali lebih tinggi dibanding fermentasi terbenam (sub-merged fermentation-SmF). (Mahyudin, 2011) Jenis substrat padat pada SSF adalah bahan alam makromolekul lignosellulosa, lignin, sellulosa, pektin, pati, atau campurannya Dikarenakan bahan ini merupakan produk pertanian atau limbah agroindustri maka harganya relatif murah. Disamping itu pati lebih mudah diuraikan dan dikonsumsi oleh bermacam-macam mikroorganisme. Pati yang paling sering dipakai pada SSF adalah pati singkong (pati tapioka), beras, dan dedak gandum. (Mahyudin, 2011) Fermentasi media padat adalah fermentasi yang substratnya tidak larut dan tidak mengandung air bebas tetapi cukup mengandung air untuk keperluan mikroba. Disini media berfungsi sebagai sumber karbon, nitrogen maupun sunber energi. (Taufik, 1992) Fermentasi media padat memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan fermentasi media cair antara lain (1) menggunakan media alami yang sifatnya tunggal, (2) kontrol terhadap kontaminasi lebih mudah, (3) persiapan inokulum lebih sederhana, (4) kondisi inkubasi hampir menyerupai yang alami, (5) dapat menghasilkan produk dengan kepekatan yang lebih tinggi dan (6) aerasi optimum dari sistem lebih mudah karena banyak ruangan yang terdapat antara partikel dari media. (Taufik, 1992) Fermentasi media padat di dalam produksi enzim pada umumnya memberikan hasil yang lebih baik karena jumlah substrat yang tersediapun lebih banyak (20 - 50 % padatan). Selain lebih banyak enzim yang dihasilkan biasanya beragam. Cara fermentasi padat disukai untuk menghasilkan berbagai enzim ekstraseluler. (Taufik, 1992) Fermentasi submerged adalah budidaya mikroorganisme dalam kaldu nutrisi cair. Enzim industri dapat diproduksi dengan menggunakan proses ini. Ini melibatkan pertumbuha mikroorganisme terpilih (bakteri dan jamur) di pembuluh tertutup berisi kaldu yang kaya nutrisi (medium fermentasi) dan oksigen dengan konsentrasi tinggi. Sebagai mikroorganisme memecah nutrisi, mereka melepaskan enzim yang diinginkan ke dalam larutan. Karena perkembangan teknologi skala besar fermentasi, jumlah produksi enzim mikroba untuk proporsi yang signifikan dari bioteknologi industri adalah total output. Fermentasi berlangsung di fermentor dengan volume hingga 1.000 meter kubik. Nutrisi media fermentasi steril berdasarkan bahan baku terbarukan seperti jagung, gula dan kedelai. Enzim industri disekresikan oleh mikroorganisme ke dalam medium fermentasi untuk memecah karbon dan sumber nitrogen. Proses fermentasi fedbatch dan sinambung yang umum digunakan (Arunsasi, 2009). Dalam proses fed batch, nutrisi steril ditambahkan ke fermentor selama pertumbuhan biomassa. Dalam proses yang berkesinambungan, nutrisi cair steril dimasukkan ke fermentor pada laju aliran yang sama dengan kaldu fermentasi meninggalkan sistem. Ini akan mencapai produksi mapan. Parameter seperti temperatur, pH konsumsi, oksigen dan pembentukan karbon dioksida diukur dan dikendalikan untuk mengoptimalkan proses fermentasi. Pertama, dalam pemanenan enzim dari medium fermentasi seseorang harus menghapus produk larut, sel mikroba misalnya. Hal ini biasanya dilakukan dengan sentrifugasi. Seperti kebanyakan enzim industri yang ekstraseluler (disekresikan oleh sel-sel ke dalam lingkungan eksternal), mereka tetap dalam kaldu fermentasi setelah biomassa telah dihilangkan. Biomassa dapat didaur ulang sebagai pupuk, tapi pertama-tama harus diperlakukan dengan kapur untuk menonaktifkan mikroorganisme dan menstabilkan selama penyimpanan. Enzim-enzim dalam kaldu yang tersisa kemudian dipekatkan melalui penguapan filtrasi, membran atau kristalisasi tergantung pada aplikasi mereka dimaksudkan. Jika persiapan enzim murni diperlukan, mereka biasanya terisolasi oleh gel atau pertukaran ion kromatografi. Aplikasi tertentu memerlukan produk enzim yang solid, sehingga enzim bubuk mentah dibuat menjadi butiran untuk membuat mereka lebih nyaman untuk digunakan. Kadang-kadang formulasi cair lebih disukai karena mereka lebih mudah untuk menangani dan dosis bersama dengan bahan cair lainnya. Enzim yang digunakan dalam konversi pati untuk mengubah glukosa menjadi fruktosa adalah immobilised, biasanya pada permukaan butiran inert diadakan di kolom reaksi atau menara. Hal ini dilakukan untuk memperpanjang hidup mereka sebagai enzim ini biasanya bekerja selama lebih dari satu tahun (Arunsasi, 2009). 3. Enzim glukosa isomerase Pemanfaatan enzim glukosa isomerase untuk menghasilkan sirup fruktosa dilakukan dengan mengekstrak sel-sel mikroba karena enzim ini bersifat intraseluler. Pemanfaatan enzim ini juga dikembangkan dengan cara pengikatan enzim atau sel pada matriks yang tidak larut dalam air dan dikenal dengan enzim atau sel tak bebas. Penggunaan enzim atau sel tak bebas ini memberikan lebih banyak keuntungan di antaranya adalah dapat dipakai berulang-ulang dan secara terus menerus dengan aktivitas katalitik yang tetap, mengurangi biaya produksi dan melindungi enzim dari kondisi lingkungan ekstrim yang dapat merusak atau menginaktifkan enzim , dapat ditambahkan atau dihilangkan dengan mudah dari campuran reaksi , dan menghasilan produk yang lebih banyak (Sudiro, 1994) Enzim glukosa isomerase akan mengubah glukosa menjadi fruktosa melalui proses isomerisasi. Isomerisasi dengan enzim ini dapat menghasilkan 42% fruktosa dan bila telah mengalami pemakatan akan diperoleh fruktosa dengan kadar 55%. Fruktosa yang dihasilan dari proses ini dikenal dengan nama High Fructose Syrup (HFS) , yaitu cairan hasil isomerasi yang masih mengandung glukosa selain fruktosa. Hasil karakterisasi glukosa isomerase menunjukkan bahwa pH dan suhu optimum enzim adalah pH 7,5 dan 70 derajat celcius dengan waktu reaksi isomerisasi yang paling baik selama 30 menit. (Sudiro, 1994) Glukosa isomerase yang digunakan umumnya berbentuk imobil. Keuntungannya adalah lebih mudah dipisahkan dari sirup hasil isomerase dan dapat digunakan kembali dalam proses batch maupun sinambung, mudah dikontrol, tidak ada enzim yang tersisa dalam produk akhir, meningkatkan stabilitas enzim terhadap panas, dan tidak memerlukan pemurnian enzim (Sudiro, 1994). Secara konvensional, reaksi enzimatis berlangsung pada reaksi secara batch dengan menginkubasi campuran substrat dan enzim yang terlarut. Teknik tersebut memiliki kelemahan yaitu kesulitan untuk merecovery enzim aktif dari campuran enzim tersebut untuk digunakan kembali.Hal ini karena enzim terlarut dalam larutan sehingga sulit dipisahkan kembali. Selain karakterisasi enzim yang sangat dipengaruhi oleh pH dan suhu pemanasan, sehingga enzim bebas mudah terdenaturasi dan mengalami inaktifasi. Hal ini sangat tidak ekonomis, karena enzim aktif hilang begitu saja hanya dalam satu reaksi batch (Wibisono, 2010). Untuk mengeliminasi kelemahan-kelemahan tersebut maka dilakukan imobilisasi enzim bebas yang telah didapatkan. Dengan begitu enzim akan lebih stabil pada pengaruh suhu dan pH lingkungan, dan tentunya dapat digunakan lagi setelah mengkatalis suatu reaksi sintesis tertentu (Wibisono, 2010). Enzim terimobilisasi didefinisikan sebagai enzim yang secara spesifik ditempatkan dalam suatu ruang tertentu dengan tetap memiliki aktivitas katalitiknya dan dapat digunakan secara berulang atau secara terus-menerus Imobilisasi enzim adalah usaha untuk memisahkan antara enzim dengan produk selama reaksi dengan menggunakan sistem dua fase, satu fase mengandung enzim dan fase lainnya mengandung produk, sehingga tidak terjadi saling kontaminasi antara enzim dan produk (Wibisono, 2010). Imobilisasi merupakan suatu modifikasi untuk meniru keadaan asalnya di alam yang diyakini berada dalam keadaan terikat pada membran atau partikelpartikel dalam sel. Tujuan utama mengimobilisasi enzim adalah untuk mempekerjakan enzim yang dapat memberikan proses katalitik yang berkesinambungan (Wibisono, 2010). Metode Imobilisasi Enzim Metode imobilisasi enzim ada tiga macam, yaitu : 1. Metode carrier binding Metode ini didasarkan atas pengikatan enzim langsung pada zat pembawa yang tidak larut dalam air. Gambar 5. Metode carrier binding Metode ini carrier binding dapat dibedakan menjadi tiga yaitu : a. Metode adsorpsi fisik Berdasarkan pada adsorpsi fisika dari protein enzim pada permukaan pembawa yang tidak larut dalam air. Metode ini memiliki keburukan dimana enzim yang diserap dapat bocor dari pembawa selama pemanfaatan karena gaya ikat antara protein enzim dan pembawah lemah. b. Metode pengikatan ionik Berdasarkan pada pengikatan ionik dari protein enzim pada pembawa yang tidak larut dalam air yang mengandung residu penukar ion. Kebocoran enzim dari pembawa dapat terjadi dalam larutan substrat dengan kekuatan ionik yang tinggi atau pada variasi pH. c. Metode pengikatan kovalen Berdasarkan pada pengikatan enzim dan pembawa yang tidak larut dalam air dengan ikatan kovalen. Dalam metode ini diperlukan kondisi reaksi yang sulit dan biasanya tidak dalam keadaan kamar. Dan dalam beberapa keadaan,ikatan kovalen mengubah bentuk konformasi dan pusat aktif enzim yang mengakibatkan kehilangan aktivitas atau perubahan spesifitas aktivitas. 2. Metode Ikat Silang Metode ikatan silang berdasarkan pembentukan ikatan kimia, seperti dalam metode ikat kovalen, namun pembawa yang tidak larut dalam air tidak digunakan dalam metode ini. Imobilisasi enzim dilakukan dengan pembentukan ikatan silang intermolekular diantara molekul enzim dengan penambahan reagen bi- atau multifungsional. Gambar 6. Metode ikat silang 3. Metode penjebakan Metode penjebakan ini berdasarkan pada pengikatan enzim pada kisi-kisi matrik polimer atau menutupi enzim dengan membran semipermiabel dan dibagi menjadi tipe kisi dan tipe mikrokapsul. a. Tipe kisi ( lattice type ) Metode penjebakan tipe kisi meliputi penjebakan enzim dalam bidang batas (interstitial spaces) dari suatu ikat silang polimer yang tidak larut dalam air sebagai contoh diantara gel matrik. Gambar 7. Metode penjebakan tipe kisi b. Tipe mikrokapsul Tipe penjebakan mikrokapsul meliputi pelingkupan enzim dengan membran polimer semipermiabel. Enzim mikrokapsul secara umum mempunyai diameter 1-100 μm. Gambar 8. Metode penjebakan tipe mikrokapsul (Wibisono, 2010). DAFTAR PUSTAKA Lehninger AL. 1993. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Terjemah dari : The Foundation of Biochemistry. Parker, Kay, Michelle Salas dan Veronica C. Nwosu. 2010. High Fructose Corn Syrup: Production, Uses and Public Health Concerns. USA: Department of Biology, College of Science and Technology, North Carolina Central University. Sudiro, Ahmad. 1994. Pemanfaatan Onggok Untuk Produksi Enzym Glukosa Isomerase dari Streptomycess olivaceus. Bogor : IPB. Taufik, Erwina. 1992. Fermentasi Media Padat Kulit Buah Coklat oleh Aspergillus sp Untuk Produksi Pektinase. Bogor: Institut Teknologi Bandung. Wibisono, Eko. 2010. Imobilisasi Crude Enzim Papain yang Diisolasi dari Getah Buah Pepaya (Carica papaya L) dengan Menggunakan Kappa Karagenan dan Kitosan Serta Pengujian Aktivitas Dan Stabilitasnya. Medan: Universitas Sumatera Utara Yadav, P.R. dan Rajiv Tyagi. 2005. Industrial Biotechnology. New Delhi: Dicovery Publishing House. TANYA JAWAB: 1. Sharfina Widyaningrum Pertanyaan : a. Alat apa yang digunakan untuk filtrasi secara vakum? b. Apa fungsi dari immobilized enzym? Bagaimana cara membuat immobilized enzym sampai membentuk kapsul? Jawaba n : a. Rotary Vacuum Filter adalah sebuah filter yang bekerja secara berkelanjutan dimana bagian yang solid dari sebuah campuran dipisahkan oleh filter yang hanya dapat dilalui oleh liquid atau gas, dalam hal ini keadaan vakum diperlukan untuk mengakumulasi zat padat di permukaan. Prinsipnya tekanan di luar drum adalah tekanan atmosferik tetapi di dalam drum mendekati vakum. Drum dimasukkan ke dalam cairan yang mengandung suspensi padatan, lalu diputar dengan kecepatan rendah. Cairan tertarik melewati filter cloth karena tekanan vakum, sedangkan padatan tertinggal di permukaan luar drum membentuk cake. b. 2. Inggit Kresna Maharsih Pertanyaan : Kenapa harga fruktosa lebih mahal daripada harga glukosa padahal pembuatan glukosa lebih mudah dibanding dengan pembuatan HFCS? Jawaban : 3. Nanang Pertanyaan : Bagaimana penjelasan dari flowchart produksi High Fructose Corn Syrup? Jawaban : Bahan baku yang berupa pati jagung dimasukkan ke tangki di mana dalam tangki tersebut terjadi proses likuifikasi menggunakan enzim α-amilase dengan 2 tahapan yaitu pada suhu 104-107̊C dan 94-97̊C. Dari proses ini akan didapatkan hidrolisat dekstrin dengan nilai D.E (dekstrosa ekuivalen) 10-15. Selanjutnya hidrolisat dekstrin ini masuk ke tangki ke-2 yaitu untuk dilakukan proses sakarifikasi yaitu mengubah hidrolisat dekstrin menjadi glukosa yang dibantu oleh enzim glukoamilase pada temperature 60-62̊C. Glukosa yang dihasilkan kemudian dimurnikan yaitu melalui tahap filtrasi, pemurnian dengan karbon, pertukaran ion, dan evaporasi. Pemurnian tersebut bertujuan untuk menghilangkan protein, zat warna dan padatan-padatan lain yang terlarut dalam sirup. Setelah glukosa dimurnikan, lalu masuk ke tangki isomerisasi di mana pada tangki ini dilakukan penambahan enzim glukosa isomerase yang berfungsi untuk mengubah glukosa menjadi fruktosa. Fruktosa yang dihasilkan kemudian dimurnikan melalui tahap pemurnian dengan karbon, pertukaran ion dan evaporasi yang memiliki tujuan sama seperti pemurnian untuk glukosa. Dari hasil pemurnian tersebut akan didapatkan High Fructose Corn Syrup yang tinggi kadar fruktosanya. 4. Lilis Triyowati Andriani Pertanyaan : Kenapa medianya tetap padat saat dimasukkan enzim di proses sakarifikasi padahal suhu pada proses sebelumnya yaitu likuifikasi cukup tinggi? Jawaban : Pada proses likuifikasi pati dimasak pada suhu tinggi sampai suhu 107 ̊C sehingga akan didapatkan pati jagung yang lebih encer dari awal masuk. Kemudian cairan hasil likuifikasi yaitu hidrolisat dekstrin masuk ke proses sakarifikasi pada suhu yang lebih rendah sehingga cairannya menjadi agak lebih kental dari hasil likuifikasi. 5. Rizka Dwi Oktaria Pertanyaan : Apa perbedaan dari fermentasi padat dan fermentasi terbenam? Kenapa fermentasi padat lebih baik? Jawaban : Fermentasi media padat merupakan proses fermentasi yang berlangsung dalam substrat yang tidak larut, namun mengandung air yang cukup sekalipun tidak mengalir bebas. Solid State Fermentation mempunyai kandungan nutrisi per volum jauh lebih pekat sehingga hasil per volum dapat lebih besar. Submerged Fermentation adalah fermentasi yang melibatkan air sebagai fase kontinyu dari sistem pertumbuhan sel bersangkutan atau substrat, baik sumber karbon maupun mineral terlarut atau tersuspensi sebagai partikel-partikel dalam fase cair. Fermentasi padat lebih baik dari fermentasi submerged karena 6. Sisca Ameliawati Pertanyaan : Bagaimana cara mendapatkan HFCS-42, HFCS-55 dan HFCS-90? Jawaban : Untuk mendapatkan HFCS-42 dari proses normal produksi HFCS yaitu sampai tahap evaporasi saja. Dan untuk mendapatkan HFCS-55 atau HFCS-90 perlu dilakukan pemurnian lebih lanjut yaitu dengan dilakukannya tahap fraksionasi di mana proses ini lebih dimurnikan lagi kandungan fruktosa dalam sirup sehingga akan didapatkan kadar fruktosa dalam sirup yang lebih tinggi.