6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Anatomi dan

advertisement
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Kajian Teori
1. Anatomi dan Histologi Sistem Urinaria
Sistem urinaria terdiri atas dua ginjal dan dua ureter bermuara pada satu
vesika urinaria kemudian keluar dengan satu uretra. Organ ginjal berbentuk
seperti kacang letaknya retroperitoneal dinding posterior cavum abdomen. Di
atas setiap ginjal terdapat kelenjar adrenal yang terbenam dalam jaringan ikat.
Tepi medial ginjal yang cekung adalah hilus, terdapat arteri (renalis), vena
renalis dan pelvis renalis berbentuk corong. Irisan sagital ginjal, bagian luar
disebut korteks, bagian dalam disebut medula, medula terdiri atas piramid
renal berbentuk kerucut. Dasar setiap piramid menyatu dengan korteks, apeks
bulat setiap piramid disebut papila renalis, dikelilingi kaliks minor berbentuk
corong. Kaliks minor bergabung membentuk kaliks mayor, dan akhirnya
bergabung membentuk pelvis renalis. Setiap pelvis renalis keluar sebagai
ureter (Guyton dan Hall, 1995 ; Eroschenko, 2000).
Gambar 1. Anatomi ginjal (Eroschenko, 2000)
6
7
Nefron merupakan unit fungsional terkecil ginjal. Setiap ginjal
terdapat kurang lebih satu juta nefron (Guyton dan Hall, 1995; Eroschenko,
2000).
Tiap nefron terdiri dari :
a)
Korpuskula renal terdiri atas glomerolus merupakan anyaman kapiler
dan dibungkus oleh kapsul glomerular (Bowman)
b)
Tubuli renal terdiri atas : Tubulus kontortus proksimal, Ansa henle dan
Tubulus kontortus distal.
Glomerulus terletak di korteks kemudian menyambung tubulus
kontortus proksimal masih berada di korteks, selanjutnya menjadi ansa henle
terletak di medulla, menyambung tubulus kontortus distal terletak di korteks
kemudian menyambung ke tubulus koligens (Guyton dan Hall, 1995;
Eroschenko, 2000).
Gambar 2. Nefron (Eroschenko, 2000)
8
Bila glomerolus dipotong melintang akan terlihat gambaran endotel
pembuluh darah dengan Fenestrae sebagai lubang untuk filtrasi, sel
mesangial terletak di bagian sentral, sel visceral yang berbatasan langsung
dengan endotel dibatasi oleh membran basalis. Bagian tepi dari sel visceral
membentuk kaki podosit. Kaki podosit bersama sama dengan dinding endotel
membentuk Fenestrase. Sebelah luar dari sel visceral terdapat parietal.
Antara sel visceral dan sel parietal merupakan suatu ruangan untuk
memproses terjadinya urin yang akan bermuara pada lumen tubulus
proksimal (Robbins dan Cotran, 2005).
Gambar 3. Penampang Glomerolus (Robbins dan Cotran, 2005)
Gambaran histologi pada ginjal normal baik bagian korteks maupun
medula. Bagian korteks terdiri dari glomerolus, tubulus proksimal, tubulus
9
distal sedangkan bagian medula terdiri dari ansa henle dan tubulus koligens
yang akan bermuara ke dalam pelvis ginjal. Pembuluh darah yang masuk ke
dalam glomerolus disebut vasa aferen kemudian bercabang cabang
membentuk kapiler kemudian bersatu lagi membentuk vasa aferen akan
mengelilingi tubulus proksimal ansa Henle, tubulus distal (Guyton dan Hall,
1995; Eroschenko, 2000).
Gambar 4. Histologi Ginjal (Eroschenko, 2000)
2. Nefritis Lupus
Systemic lupus erythematosus adalah penyakit autoimun yang
heterogen,
mempengaruhi 1 dari 2.000 individu di Amerika Serikat
10
diantaranya 90% adalah kaum perempuan. Hal ini ditandai oleh produksi
autoantibodi terhadap antigen nukleus dan mempengaruhi beberapa organ
dan jaringan (Rahman dan Isenberg, 2008). Di Amerika, prevalensi SLE
adalah 1 kasus per 2.000 penduduk pada populasi umum. Karena kesulitan
diagnosis dan kemungkinan banyak kasus tidak terdeteksi, sebagian besar
peneliti menyarankan bahwa prevalensi mungkin lebih mendekati ke 1 kasus
per 500-1.000 populasi (Askanase dkk, 2012).Data prevalensi SLE di
Indonesia sampai saat ini belum ada. Jumlah penderita SLE di Indonesia
menurut Yayasan Lupus Indonesia (YLI) sampai dengan tahun 2005
diperkirakan mencapai 5.000 orang.
Nefritis lupus merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
pasien SLE. Berdasarkan konsensus secara umum 60% pasien SLE akan
berkembang menjadi nefritis lupus (Appel dkk.,2007). Nefritis lupus tampak
jelas secara histologis pada kebanyakan pasien dengan SLE, bahkan mereka
yang tidak menunjukkan manifestasi klinis penyakit ginjal. Sehingga
pengenalan dan terapi dengan segera penyakit ginjal sangat penting, karena
respon awal terapi berkaitan erat dengan outcome yang baik (Bertsias
dkk,2008).
a.
Patogenesis nefritis lupus
Nefritis lupus diprakarsai oleh deposisi kompleks imun di glomerulus
yang memicu kaskade kejadian inflamasi termasuk aktivasi reseptor Fc dan
komplemen, perekrutan sel inflamasi dan akhirnya terjadi fibrosis. Kompleks
imun juga mengaktifkan sel ginjal melalui Toll-like receptors (TLRs) untuk
menghasilkan mediator inflamasi. Kerusakan mikrovaskuler ginjal dan
trombosis juga terjadi, terutama pada pasien dengan antibodi anti-fosfolipid
(Schwartz,2007).
Beberapa jenis sel ginjal termasuk sel-sel endotel, podosit, sel
interstitial dan sel dendritik ginjal menjadi fokus kajian baru pada
nefritis(Gambar 5). Migrasi dari sel-sel inflamasi di ginjal membutuhkan
aktivasi sel endotel. Hipoksia, karena hilangnya glomerulus dan kapiler
11
peritubular berkontribusi terhadap stres sel dan kematian sel dan menginduksi
molekul yang selanjutnya mengaktifkan reseptor imun alamiah. Molekul
yang melindungi endotelium dari hipoksia, seperti sensor oksigen yang
mengatur kebocoran endotel dan pembentukan mikrotrombus dan reseptor
yang mengatur kelengketan endotel meningkat. Pasien dengan SLE aktif
meningkatkan kadar angiopoietin-2, antagonis dari reseptor Tie2, yang
mempertahankan integritas endotel dan mencegah perekrutan leukosit ke
ginjal, angiopoietin-2 mungkin menjadi penanda lebih spesifik keterlibatan
ginjal daripada vascular cell adhesion molecule-1 terlarut. Sinyal dikirim
melalui saraf vagus pada reseptor nicotinic acetylcholine mungkin
memberikan suatu efek renoprotektif dengan mengurangi kadar sitokin
inflamasi dan menjaga integritas endotel. Semua jalur ini merupakan target
terapi yang potensial untuk lupus nephritis. Selain itu, sel endotel sirkulasi
dan reseptor protein C endotel merupakan biomarker potensial untuk
disfungsi dan kerusakan endotel (Ferraccioli danRomano,2008; Izmirly
dkk,2009).
Peran podosit dalam peradangan ginjal semakin diakui, dan kehilangan
podosit pada penyakit kronis menyebabkan glomerulosklerosis. Podosit
membentuk penghalang penting untuk proteinuria dan melindungi
endotelium dengan cara memproduksi membran basal glomerulus dan faktor
pertumbuhan endotel vaskular. Aktivasi reseptor angiotensin pada podosit
menginduksi pelepasan mediator inflamasi dan kematian sel, blokade
reseptor angiotensin melindungi podosit dan mungkin bermanfaat bagi lupus
nephritis (Michaud dan Kennedy,2007). Infiltrasi sel interstitial, atrofi tubular
yang mengikuti vaskular, aktivasi sel miofibroblas otot polos dan fibrosis
interstisial semuanya merupakan prediktor prognosis yang buruk dan/atau
perkembangan untuk menuju stadium akhir penyakit ginjal pada lupus
nephritis (Faurschou dkk,2006).
Aktivasi intrinsik sel dendritik ginjal pada LES berhubungan dengan
peningkatan ekspresi sitokin inflamasi, proteolisis, dan caspase-1 dan
aktivitas upregulation molekul permukaan sel, termasuk CD11b (Schiffer
12
dkk,2008). Sehingga penelitian lebih lanjut tentang mekanisme yang terlibat
dalam aktivasi intrinsik sel ginjal, radang ginjal interstisial dan perekrutan
jalur fibrosis mengarah pada strategi-strategi baru untuk perlindungan ginjal
dari konsekuensi deposisi antibodi.
Nefritis lupus terjadi ketika antibodi (antinuclear antibody) dan
komplemen terbentuk di ginjal yang menyebabkan terjadinya proses
peradangan. Hal tersebut biasanya mengakibatkan terjadinya sindrom
nefrotik (eksresi protein yang besar) dan dapat progresi cepat menjadi gagal
ginjal. Produk nitrogen sisa terlepas kedalam aliran darah. LES menyerang
berbagai struktur internal dari ginjal, meliputi nefritis interstitial dan
glomerulonefritis menbranosa. Nefritis lupus mengenai 2 dari 10 ribu orang.
Pada anak dengan LES, sekitar setengahnya akan mengakibatkan terjadinya
progresifitas menjadi gagal ginjal. LES paling sering terjadi pada wanita usia
20-40 tahun (Lee dkk.,2010).
Gambar 5. Patogenesis nefritis lupus(Davidson dan Aranow,2010).
Deposisi autoantibodi di ginjal, paparan mediator inflamasi sirkulasi dan aktivasi
kaskade komplemen memulai program inflamasi yang melibatkan peningkatan
regulasi molekul adhesi pada sel endotel, aktivasi sel ginjal intrinsik, induksi
kemokin dan perekrutan sel inflamasi yang merilis sitokin dan molekul lain. Hasil
cedera podosit berupa proteinuria dan penurunan produksi membran basalis
13
glomerular, yang merusak pembuluh darah.Trombosis mikrovaskular dan kematian
sel endotel berkontribusi terhadap hipoksia ginjal, yang pada gilirannya
menyebabkan atrofi tubulus.Peradangan yang progresif semakin meningkatkan
beragam mediator inflamasi yang memperkuat cedera.Aktivasi sel endotel dan
aktivasi sel dendritik ginjal reversibel pada nefritis tahap awal, namun aktivasi jalur
fibrosis dan sel miofibroblas otot polos, dan hilangnya podosit yang progresif
akhirnya mengakibatkan kerusakan ginjal ireversibel.Jalur ini semua bisa untuk
intervensi terapeutik.
Gambaran klinik kerusakan glomerulus berhubungan dengan letak
lokasi terbentuknya deposit kompleks imun. Lokasi kompleks imun
ditentukan oleh spesifisitas, afinitas, dan aviditas antibodi yang terbentuk,
kelas dan subkelas, ukuran dan valensi kompleks. Deposit kompleks imun
dapat terletak pada mesangial, subendotel atau subepitel (terkadang pada
ketiga lokasi tersebut secara simultan). Deposit pada mesangial dan
subendotel terletak proksimal terhadap membran basalis glomerulus sehingga
mempunyai akses ke pembuluh darah. Deposit pada daerah ini akan
mengaktifkan komplemen, yang kemudian membentuk kemoatraktan C3a
dan C5a. Selanjutnya terjadi influks sel netrofil dan sel mononuklear. Deposit
pada mesangium dan subendotel secara histopatologis memberikan gambaran
mesangial, proliferatif fokal, dan proliferatif difus, secara klinis memberi
gambaran sedimen urin yang aktif (ditemukan eritrosit, lekosit, silinder sel
dan granuler), proteinuria, dan sering disertai penurunan fungsi ginjal.
Sedangkan deposit pada subepitelial tidak mempunyai hubungan dengan
pembuluh darah karena dipisahkan oleh membran basalis glomerulus
sehingga tidak terjadi influks netrofil dan sel mononuklear. Secara
histopatologis memberikan gambaran nefropati membranosa dan secara
klinis hanya memberi gambaran proteinuria (Dooley,2007; Rus dkk,2007).
b.
Terapi Nefritis Lupus
Prinsip dasar pengobatan adalah menekan reaksi inflamasi lupus,
memperbaiki fungsi ginjal atau setidaknya mempertahankan fungsi ginjal
agar tidak bertambah buruk. Pengobatan sebaiknya diberikan setelah
didapatkan hasil pemeriksaan histopatologi dari ginjal (Dooley, 2007).
14
Medikamentosa berupa kortikosteroid dan agen imunosupresif. Dialisis dapat
dilakukan untuk mengontrol gejala gagal ginjal. Transplantasi ginjal juga
direkomendasikan (pasien dengan lupus yang aktif tidak boleh dilakukan
transplantasi ginjal) (McPhee dan Papadakis, 2011).
Perjalanan penyakit nefritis lupus bervariasi antar pasien LES, bahkan
pada mereka yang memiliki tipe histologis yang sama. Agen imunosupresif
dapat menginduksi remisi pada sebagian besar pasien dengan nefritis lupus
proliferatif, tetapi sebagian proporsi dari mereka- berkisar antara 27-66%
pada berbagai studi-akan mengalami flare. Flare merupakan masalah karena
bahaya kerusakan kumulatif yang dapat menurunkan fungsi ginjal dan juga
toksisitas
akibat
imunosupresi
tambahan.
Terapi
rumatan
dengan
azathioprine, mycophenolate mofetil atau pulse siklofosfamid biasanya
direkomendasikan. Flare renal dapat dikategorikan sebagai nefritik atau
nefrotik dan bisa ringan atau berat. Mayoritas pasien yang mengalami flare
dapat pulih fungsi ginjalnya, bila didiagnosis dan diobati segera (McPhee dan
Papadakis, 2011).
3. N-Asetil Sistein
N-Asetil Sisteinbekerja sebagai direct antioxidant karena mempunyai
gugus thiol (SH) bebas yang dapat berinteraksi langsung dengan elektron dari
ROS. Interaksi N-Asetil Sisteindengan ROS menyebabkan pembentukan
radikal N-Asetil Sistein thiol dan N-Asetil Sistein disulfid sebagai produk
akhir utama. Selain itu N-Asetil Sistein juga berperan sebagai antioksidan
tidak langsung di mana N-Asetil Sistein akan dimetabolisme sebagai sistein
yang merupakan prekursor gluthatione intrasel sehingga akan meningkatkan
aktifitas enzim gluthatione S-transferase
gluthatione peroksidase (Marcelo dkk, 2010).
mensuplai gluthatione untuk
15
Sistein
N-Asetil Sistein (NAC)
Gambar 6. Struktur molekul N-Asetil Sistein (Heloisa dkk, 2005)
Antioksidan melindungi DNA didalam gen dari serangan radikal bebas.
Pertahanan antioksidan yang kuat dapat menghentikan radikal bebas sebelum
mereka dapat menyerang DNA (Hayakawa dkk, 2003).
Farmakodinamik N-Asetil Sistein:
1.
N-Asetil Sistein sebagai pre-cursor Glutation (GSH) atau indirect
antoxidant, direct antioxidant menetralisir oxidant (ROS dan RNS)
menghilangkan keadaan stress-oksidatif dan membaiki disfungsi sel
(Oikawa, 2005).
2
N-Asetil Sistein mengontrol pelepasan mediator pro-inflamasi sistemik
seperti kemokin, sitokin agar bekerja tidak berlebihan sehingga
menyebabkan inflamasi kronik (Borras dkk., 2004).
3.
N-Asetil Sistein bekerja sebagai immune-booster(meningkatkan sistem
imunitas) dengan meningkatkan aktivitas sel imunitas (T-limfosit,
makrofag, neutrofil) untuk memfagositosis dan melisis bakteri atau
benda asing sehingga memperbaiki daya tahan terhadap infeksi,
meningkatkan kemampuan antioksidan, mengembalikan keseimbangan
redox (reduced and oxidized) glutathione selular. Mengembalikan
keseimbangan redox ini sangat penting dalam mengatur respon
terhadap inflamasi (Hansen dkk, 2004).
4.
N-Asetil Sistein mencegah kerusakan membran sel dan lipid
peroksidasi sehingga tidak terjadi dampak berlebihan dari leukotrein
16
seperti vasokontriksi dan bronkokontriksi. Sebagai hasil akhir kerja NAsetil Sistein sebagai immune booster dapat mengurangi frekuensi dan
keparahan infeksi (Voghel dkk, 2008).
5.
N-Asetil Sistein memperbaiki struktur, bentuk dan fungsi sel darah
merah sebagai pembawa oksigen sehingga memperbaiki keadaan
hipoksemia (Voghel dkk., 2008).
6.
N-Asetil Sistein bekerja sebagai true-mucolytic pada bronkhitis dan
penyakit paru sudah banyak digunakan (Cuzzocrea dkk, 2001).
Gambar 7. Farmakodinamik N-Asetil Sistein (Nolin dkk, 2010)
Setelah pemberian N-Asetil Sistein perinjeksi, N-Asetil Sistein akan
akan diserap plasma dan konsentrasi plasma puncak 0.35-4 mg/ L dicapai
dalam 1-2 jam sedangkan distribusi volume mengikat protein plasma berkisar
0.33-0.47 L/ kg. N-Asetil Sisteinakan mencapai waktu paruh 4 jam setelah
injeksi intravena. Klirens ginjal 0.190-0.211 L/ h/ kg dan sekitar 70% dari
pembersihan tubuh total nonrenal (Nolin dkk, 2010).
4. Peran TGF-β1 pada nefritis lupus
Fibrosis ginjal ditandai dengan akumulasi fibroblas dan protein matriks
yang berlebihan bersama dengan hilangnya fungsi nefron merupakan ciri
patologis utama penyakit ginjal progresif. Banyak penelitian menunjukkan
17
bahwa fibrosis ginjal progresif dimediasi oleh beberapa mediator termasuk
faktor pertumbuhan, sitokin, toksin metabolisme, dan molekul stres melalui
beberapa mekanisme dan jalur. Di antara mereka, TGF-β1 telah diakui
sebagai mediator kunci dalam patogenesis fibrosis ginjal (Lan, 2011).
Pada penyakit glomerulus, seperti pada focal and segmental
glomerulosclerosis (FSGS), nefropati IgA, glomerulonephritis, lupus nefritis
dan nefropati diabetik, TGF-β1 merupakan molekul vital yang berkontribusi
untuk terjadinya glomerulosklerosis. Dalam penyakit tersebut, dicirikan oleh
akumulasi ECM yang berlebihan, secara bermakna terjadi peningkatan
ekspresi
TGF-β1
dan
reseptor
TGF-β1
pada
glomerulus
dan
tubulointerstitiil.Kadar TGF-β1 dalam urin meningkat pada pasien dengan
penyakit ginjal, seiring dengan meningkatnya derajat proteinuria, fibrosis
interstisiil dan matriks mesangial. TGF-β1 menginduksi penebalan membran
basal melalui stimulasi sel ginjal untuk menghasilkan lebih banyak ECM.
Induksi perubahan patofisiologi sel ginjal, seperti hipertrofi, apoptosis dan
kelainan Podosit, menyebabkan berkurangnya filtrasi glomerulus dan
hilangnya kapiler glomerulus dan interstitial, fibrosis tubulointerstitial dan
atrofi tubular, sehingga terjadi disfungsi ginjal permanen (Loeffler dan Wolf,
2013).
Transforming growth factor-Beta (TGF-β) adalah regulator multifungsi
yang memodulasi proliferasi sel, diferensiasi, apoptosis, adhesi dan migrasi
berbagai jenis sel dan menginduksi produksi protein ECM. TGF-β
superfamili, ditandai dengan 6 residu sistein, dikodekan oleh 42 kerangka
terbuka dan terdiri dari >30 anggota pada mamalia, termasuk 3 TGF-β, 4
activin dan lebih dari 20 bone morphogenetic protein (BMP). Tiga isoform
mamalia dari subfamili TGF-β (TGF-β1, TGF-β2, TGF-β3) disusun oleh 7082% asam amino homolog dan melakukan aktivitas kualitatif serupa dalam
sistem yang berbeda. Bentuk aktif dari sitokin TGF-β1 adalah dalam bentuk
dimer distabilkan oleh interaksi hidrofobik, yang diperkuat oleh jembatan
disulfida intersubunit. TGF-β1 adalah peptida dari 112 residu asam amino
yang diperoleh melalui pembelahan proteolitik dari C-terminal protein
18
prekursor. Protein ini berinteraksi dengan reseptor permukaan sel golongan
kinase
protein
serin/treonin,
dan
menghasilkan
sinyal
intraseluler
menggunakan Smads. Mereka memainkan peran penting dalam regulasi
proses biologis dasar seperti pertumbuhan, perkembangan, homeostasis
jaringan dan regulasi sistem imunitas tubuh (Loeffler dan Wolf, 2013).
TGF-β1 disintesis oleh berbagai sel, termasuk sel haematopoietik
imatur, sel T dan B aktif, makrofag, neutrofil dan sel dendrit, serta semua
jenis sel ginjal dan dikeluarkan sebagai kompleks prekursor laten (latent
TGF-β1) dengan latent TGF-β binding proteins (LTBP). TGF-β1 menjadi
aktif ketika TGF-β1 dibebaskan dari latency-associated peptide (LAP) dan
dipisahkan dari LTBP melalui pembelahan proteolitik oleh plasmin, ROS,
thrombospondin-1, dan asam. TGF-β1 aktif kemudian terikat pada
reseptornya dan berfungsi sebagai autokrin dan parakrin untuk mengerahkan
aktivitas biologis dan patologis melalui jalur sinyal yang tergantung dan tidak
tergantung Smad. Namun, mekanisme Smad-dependent dianggap sebagai
jalur utama dalam banyak proses patofisiologi penyakit ginjal (Lan, 2011;
Loeffler dan Wolf, 2013).
TGF-β1 memainkan peran penting dalam memodulasi respon inflamasi
dan proses biologis lainnya seperti remodelling jaringan dan perkembangan
kanker melalui pengaturan produksi MMP, yang produksinya diatur melalui
lintas jalur antara Smad dan Nf-B (Bambang, 2010; Lan, 2011).
19
Gambar 8. Mekanisme Fibrosis(Robbins dan Cotran, 2005)
Pengikatan TGF-β1 ke reseptor TGF-β tipe II (TβRII) dapat
mengaktifkan reseptor TGF-β tipe I (TβRI)-kinase, sehingga terjadi
fosforilasi Smad2 dan Smad3. Selanjutnya, Smad2 dan Smad3 yang
terfosforilasi berikatan dengan Smad4 dan membentuk kompleks Smad, yang
bertranslokasi ke inti untuk mengatur transkripsi gen sasaran, termasuk
Smad7 (Gambar 2.9). Smad7 adalah penghambat Smad sebagai regulator
negatif aktivasi dan fungsi Smad2 dan Smad3 dengan sasaran untuk degradasi
TβRI dan Smads melalui mekanisme degradasi proteasomeubiquitin (Lan,
2011).
Selain itu, angiotensin II juga merangsang penyerapan protein yang di
ultrafilter ke dalam sel tubular dan meningkatkan produksi sitokin proinflamasi
dalam sel. Terjadi migrasi makrofag dan sel inflamasi lainnya ke tubulo-interstitium.
Peningkatan sintesis dan penurunan protein matriks ekstraselular dalam sel-sel
tubular dan fibroblas interstisial berkontribusi pada fibrosis interstisial. Selain itu,
konsentrasi angiotensin II dan TGF-1 yang tinggi menyebabkan sel-sel tubular
20
dapat mengubah fenotipenya dan menjadi fibroblas melalui suatu proses yang
disebut EMT yang berkontribusi pada fibrosis interstitial dan atrofi tubular karena
sel-sel epitel menghilang (Ziyadeh dan Wolf, 2008).
Perkembangan penelitian terbaru, didapatkan bahwa bone morphogenic
protein-7 (BMP-7) yang diekspresikan pada sel-sel tubulus distal ginjal.
BMP-7 merupakan superfamili dari TGF-1, yang memiliki efek berlawanan
(antagonis). Dari hasil berbagai penelitian pemberian BMP-7 akan
mengurangi
aktivitas
TGF-1
sehingga
mencegah
terjadinya
glomerulosklerosis dan interstisial fibrosis (Motazed dkk, 2008; Zeisberg dan
Kalluri, 2008).
Gambar 9. Jalur crosstalk TGF-β/Smads pada fibrosis dan inflamasi
ginjal.
Setelah mengikat TβRII, TGF-β1 mengaktifkan TβRI-kinase yang memfosforilasi
Smad2 dan Smad3. Smad2 dan Smad3 yang terfosforilasi kemudian mengikat
21
Smad4 dan membentuk kompleks Smad, yang translokasi ke dalam inti dan
mengatur transkripsi gen sasaran, termasuk Smad7. Smad7 adalah penghambat
Smad yang berfungsi untuk memblokir aktivasi Smad 2/3 dengan mendegradasi
TβRI dan Smads dan menghambat respons inflamasi yang digerakkan NF-kB
dengan menginduksi IκBα (penghambat NF-kB).Perhatikan bahwa Ang II dan
AGEs dapat mengaktifkan Smads yang tidak tergantung TGF-β1 melalui jalur
crosstalk ERK/p38/MAPK. Garis biru (simbol) menunjukkan jalur regulasi negatif
atau pelindung, sedangkan panah merah (simbol) merupakan jalur regulasi positif
atau patogenik (Lan, 2011).
Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa TGF-β1 merupakan
mediator kunci dalam patogenesis fibrosis ginjal karena TGF-β1 sangat
ditingkatkan pada penyakit ginjal dengan fibrosis ginjal berat. TGF-β1
menjadi perantara fibrosis ginjal progresif dengan merangsang produksi
sekaligus menghambat degradasi ECM. Selain itu, TGF-β1 juga menjadi
perantara fibrosis ginjal dengan menginduksi transformasi sel epitel tubular
menjadi miofibroblas melalui EMT. Peran fungsional TGF-β1 dalam EMT
dan fibrosis ginjal ditunjukkan oleh kemampuan pemblokiran TGF-β1
dengan antibodi TGF-β1 untuk mencegah atau memperbaiki fibrosis ginjal
baik secara in vivo dan in vitro. Bukti langsung peran TGF-β1 pada fibrosis
ginjal berasal dari penelitian bahwa tikus yang mengekspresikan bentuk aktif
TGF-β1 dalam hati akan berkembang fibrosis hati dan ginjal yang progresif
(Huangdkk., 2008; Lan, 2011).
22
Gambar 10. Inflamasi dan TGF-β mendorong transisi mesensimal
Epithelial-mesenchymal transition (EMT) berlangsung selama perkembangan, dan
berperan dalam invasi kanker dan pembentukan miofibroblas yang berkontribusi
terhadap fibrosis. Sebagai respons terhadap cedera, sel-sel inflamasi dan fibroblas
aktif menghasilkan faktor pertumbuhan seperti TGF-β1 dan FGF-2, serta MMP dan
kemokin. TGF-β1 dan faktor-faktor lain memicu kaskade sinyal pada sel epitel yang
menyebabkan perubahan dari epitel ke fenotipe mesensimal (Lopez-Novoa dan
Nieto, 2009).
5. Mikroalbuminuria
Albuminuria merupakan petanda dini (marker) terjadinya disfungsi
endotel secara umum meliputi pembuluh darah renal, kardial, maupun
serebral. Adanya albuminuria yang secara mudah dapat diteksi lewat urin,
dapat menjadi marker disfungsi endotel pembuluh darah di seluruh tubuh.
Dengan mengetahui albuminuria yang dimulai dengan mikro-albuminuria,
kita menjadi lebih dini mengetahui disfungsi endotel tersebut sehingga
prognosisnya lebih baik karena disfungsi endotel tersebut masih reversibel
(Weir, 2007; Loscalzo, 2009).
Albuminuria sesuai dengan hukum homeostasis akan direabsorbsi oleh
sel-sel tubulus proksimal. Albuminuria yang terus menerus akan
menyebabkan sel-sel tubulus proksimal bekerja keras mereabsorbsi protein
tersebut akibatnya sel-sel tubulus proksimal mengalami stresor dan akan
mengeluarkan sitokin pro-inflamasi (TNF-α, IL-1β, IL-6 dan TGF-β1).
Sitokin-sitokin tersebut akan
merusak ginjal baik melalui mekanisme
fibrosis. apoptosis, onkosis, maupun nekrosis (Robbins dan Cotran, 2005; De
Zeeuw dkk, 2006; Loscalzo, 2009).
23
Struktur
Struktur Fenestra
Fenestra
Robbin, 2005
Gambar 11. Fenestra (Robbins dan Cotran, 2005).
Tabel 1. Klasifikasi Ekskresi Albumin Urin (Weir, 2007).
Normal
High Normal
Microalbuminuria
Macroalbuminuria
B.
Albuminuria
Albuminuria
24 jam
overnight
(mg/24 jam)
(mg/24 jam)
<15
<10
15 to <30
30 to <300
>300
10 to <20
20 to <200
>200
Spot Urine
Albumin/Creatinine Ratio
Albumin
<10
10 to <20
20 to <200
>200
Gender
mg/mmol
mg/g
M
<1.25
<10
F
<1.75
<15
M
1.25 to <2.5
10 to <20
F
1.75 to <3.5
15 to <30
M
2.5 to <25
20 to <200
F
3.5 to <35
30 to <300
M
>25
>200
F
>35
>300
Penelitian yang relevan
Transforming growth factor-beta1 (TGF-β1) memiliki peran besar
dalam pengendalian autoimunitas. Produksi TGF-β1 oleh limfosit berkurang
pada LES. Penurunan kadar TGF-β1 mungkin berkaitan dengan kerentanan
24
penyakit, aktivitas dan kerusakan organ pada LES. Jumlah total kadar TGFβ1 berkorelasi negatif dengan laju endap eritrosit dan berkorelasi positif
dengan trombosit darah. Total kadar TGF-β1 lebih rendah pada pasien LES
dengan aktivitas penyakit yang tinggi dan kerusakan organ yang parah.
Tingkat keparahan kerusakan ginjal dikaitkan dengan penurunan kadar TGFβ1 serum, hal ini menunjukkan bahwa TGF-β1 terlibat dalam pathogenesis
kerusakan ginjal yang disebabkan oleh lupus nephritis (Jin dkk., 2012).
Selain itu, hasil penelitian Hammad dkk, 2006 didapatkan kadar TGFβ1 serum pada anak dengan penyakit aktif secara signifikan lebih rendah
daripada kontrol. Kadar TGF-β1 serum berkorelasi negatif dengan Systemic
Lupus Erythematosus Disease Activity Index (SLEDAI). Sebaliknya, kadar
TGF-β1 urin pada anak dengan penyakit aktif secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan kontrol. Kadar TGF-β1 urin berkorelasi positif dengan titer
anti-ds DNA dan berkorelasi negatif dengan kadar C3 serum. Pasien nefritis
simptomatis secara signifikan kadar TGF-β1 urin lebih meningkat
dibandingkan dengan nefritis asimptomatis. Dari data ini kita menyimpulkan
bahwa penurunan kadar TGF-β1 menggambarkan disfungsi imunitas sistemik
pada anak dengan lupus aktif sementara peningkatan produksi TGF-β1 ginjal
tampaknya memiliki peran dalam presentasi klinis lupus nephritis (Hammad
dkk, 2006).
Hasil laporan kasus dan telaah pustaka dari Tewthanom dkk (2010),
memperlihatkan pemberian N-acetylcysteine (NAC) yang memiliki aktivitas
antioksi dan kuat dapat memberikan hasil yang memuaskan ketika
ditambahkan pada terapi standar. Dilaporkan kasus seorang pasien lupus
nefritis 46 tahun yang diberikan 1.800 mg NAC secara oral, menunjukkan
kadar glutation yang lebih tinggi, dan kadar malondialdehid yang normal.
Selain itu, kadar protein urin, jumlah sel darah lengkap dan pemeriksaan fisik
dari organ yang terkena menunjukkan perbaikan. Namun, masih perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengkonfirmasi nilai manfaat NAC
dosis tinggi pada pasien lupus nefritis (Tewthanom dkk., 2010).
C.
Kerangka konseptual
25
Pristan
TLR-4
APC
M
Fagositosis
IKK
NAS
NfB
Th2
Sel B
TGF-β
Kompleks antigenautoantibodi
Sel mesangial
LUPUS NEFRITIS
Epitel Viseral
Podosit
Sel endotel
Sel tubulus
proksimal
Fibroblas
ECM 
ECM 
Glomerulosklerosis
Fibrosis tubulointerstisiil
Mikroalbuminuria
Penyakit ginjal kronis
Gambar 12. Kerangka konseptual peran NAS pada penatalaksanaan lupus
nefritis induksi pristan
Keterangan:
: mengaktivasi
 : meningkatkan(Efek Pristan)
: menghambat
 : menurunkan(Efek NAS)
: nefritis lupus
: variabel yang diteliti
26
APC
: antigen presenting cell
AT1
: angiotensin-1
CRP
: C-reactive protein
ECM
: extracellular matrix
IKK
: inhibitor of κB kinase
IL-6
: interleukin-6
M
: makrofag
MHC
: major histocompatibility complex
NADPH
: nicotinamide adenine dinucleotide phosphate
NAS
: N-Asetilsistein
NF-κB
: nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of activated B cells
ROS
: reactive oxygen species
TGF-β1
: transforming growth factor Beta1
Th2
: T helper 2
TLR-4
: toll like receptor-4
TNF-α
: tumor necrosis factors-α
Penjelasan (Narasi) Kerangka Konseptual:
Pristan(2,6,10,14-Tetramethylpentadecane) adalah alkana isoprenoid
yang awalnya diisolasi dari minyak hati ikan hiu, kini sintesis pristine
diproduksi untuk menggantikannya dalam penelitian. Pristane digunakan
untuk menginduksi plasmasitoma pada mencit model multiple myeloma,
nefritis lupus, ataupun penyakit-penyakit autoimun (Reeves dkk.,2009), dan
rheumatoid arthritis (Hoffmann dkk.,2010). Untuk membuat mencit model
lupus, bisa digunakan dengan single injeksi 0,5 ml pristan intraperitoneal
(Chowdhary dkk.,2007). Injeksi pristan akan menginduksi terjadinya aktivasi
NFβ yang berada pada makrofag intraperitoneal untuk memproduksi sitokin
proinflamasi. Sitokin IL-6 akan menginduksi endotelin, endotelin akan
mengaktifkan NADPH dan terbentuklah ROS. Selain itu, TNF-α juga akan
mengaktifkan NADPH untuk membentuk ROS.
27
Aktivasi NFβjuga akan meningkatkan produksi faktor pertumbuhan
termasuk TGF-1. TGF-1 akan merangsang sel target, yaitu sel fibroblas,
sel mesangial, podosit, sel tibulus dan sel endotel. Aktivasi sel-sel target ini
akan memicu terbentuknya ECM. Sel fibroblas akan mengekspresikan
kolagen tipe-I dan akhirnya menyebabkan terjadinya fibrosis interstisial pada
ginjal. Sedangkan sel mesangial yang terletak pada glomerulus akan
mengekspresikan kolagen tipe-IV, selanjutnya akan menyebabkan terjadinya
glomerulosklerosis (Bambang, 2010; Loeffler dan Wolf, 2013). Aktivasi
TGF-1
pada sel podosit, menyebabkan produksi ECM, abnormalitas
prosesus podosit, apoptosis sel, dan transisi sel epitel menjadi mesensimal,
selanjutnya menyebabkan terjadinya glomerulosklerosis. TGF-1 juga akan
mengaktivasi sel endotel untuk memproduksi ECM, proliferasi sel, apoptosis
sel dan transisi sel endotel menjadi mesensimal, selanjutnya menyebabkan
terjadinya glomerulosklerosis dan fibrosis interstisial pada ginjal. Aktivasi
TGF-1 pada sel tubulus ginjal, menyebabkan produksi ECM, proliferasi sel,
apoptosis sel dan transisi sel epitel menjadi mesenkimal, selanjutnya
menyebabkan terjadinya fibrosis interstisial pada ginjal. Produksi TNF-α,
juga akan menyebabkan terjadinya apoptosis yang berlebihan dari sel
mesangial, podosit, sel tubulus dan sel endotel (Loeffler dan Wolf, 2013).
Injeksi pristan i.p. juga akan menyebabkan tersekresinya autoantibodi,
selanjutnya akan terbentuk kompleks antigen-autoantibodi. Kompleks
antigen-autoantibodi yang berada di sirkulasi akhirnya akan terdisposisi pada
sel target, termasuk sel mesangial, podosit, sel tibulus dan sel endotel di
glomerulus. Kompleks ini akan menyebabkan terjadinya glomerulosklerosis
dan fibrosis interstisial pada ginjal, selanjutnya menyebabkan kerusakan pada
ginjal dan terjadilah mikroalbuminuria. Disamping itu, terjadinya disfungsi
endotel pada pembuluh darah, juga akan terjadi disfungsi endotel kapiler
glomerulus yang akan mengurangi negatifitas sehingga terjadi albuminuria.
Reaksi inflamasi akibat bahan-bahan kimiawi (pristan) dan fragmentasi
sel ataupun molekul damage-associated molecular pattern (DAMP) akibat
proses apoptosis dapat menimbulkan aktivasi makrofag, selanjutnya NfB
28
menjadi lebih aktif sehingga akan mengekspresikan sitokin-sitokin proinflamasi antara lain TNF-, IL-1 maupun IL-6. Selain itu juga akan
mengekspresikan TGF-1. TNF- bersifat proteolitik, akan merusak
glikoprotein sehingga muatan negatip permukaan podosit menjadi berkurang.
Keadaan ini akan menyebabkan daya tolak-menolak antara podosit dan
albumin berkurang, akhirnya albumin mudah menembus membran filtrasi
dan akan terjadi mikroalbuminuria (Bambang, 2010).
D.
Hipotesis Penelitian
1
Ada pengaruh N-asetil sistein terhadap ekspresi TGF-β1 pada
mencit model nefritis lupus induksi pristan.
2
Ada pengaruh N-asetil sistein terhadap kadar mikroalbuminuria
pada mencit model nefritis lupus induksi pristan.
Download