BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan

advertisement
67
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan
Pemberian vitamin D (1,25(OH)2D3) terbukti dapat mencegah terjadinya
fibrosis ginjal pada mencit jantan dengan Unilateral Ureteral Obstruction (UUO),
dilihat dari hal-hal berikut :
5.
Kadar Transforming Growth Factors Beta-1 (TGF-β1) pada ginjal mencit
jantan dengan UUO yang diberi vitamin D lebih rendah dibandingkan dengan
mencit jantan yang tidak diberi vitamin D.
6.
Fraksi area kolagen pada ginjal mencit jantan dengan UUO yang diberi
vitamin D lebih
rendah dibandingkan mencit jantan yang tidak diberi
vitamin D.
7.
Fraksi area miofibroblast pada ginjal mencit jantan yang diberi vitamin D
lebih rendah dibandingkan mencit jantan yang tidak diberi vitamin D.
8.
Terdapat korelasi positif antara kadar TGF-β1, fraksi area kolagen dan fraksi
area miofibroblast
pada ginjal mencit jantan dengan UUO yang diberi
vitamin D.
V.2. Saran
Pada penelitian ini, peran vitamin D dilihat pada fibrosis di ruang
interstisial ginjal. Pada penelitian selanjutnya dapat dilihat bagaimana peran
vitamin D terhadap perbaikan kerusakan tubulus ginjal pada model obstruksi
ureter, kaitannya dengan peran vitamin D terhadap regangan dan proliferasi epitel
tubulus ginjal. Selain itu, dapat juga dilakukan pemeriksaan terhadap ekspresi
68
reseptor vitamin D di epitel tubulus renalis sehingga akan lebih diketahui
mekanisme aksi vitamin D dalam mencegah fibrosis ginjal. Vitamin D juga
diduga berperan dalam mencegah timbulnya glomerulosklerosis. Oleh karena itu,
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui mekanisme aksi vitamin D
dalam mencegah glomerulosklerosis.
V.3. Ringkasan
V.3.1. Latar Belakang
Fibrosis ginjal merupakan tahapan yang dialami oleh penderita gagal
ginjal kronis yang tidak tertangani dengan baik, yang berdampak pada terjadinya
penyakit ginjal terminal (End Stage Renal Disease/ESRD). Selain dapat
disebabkan oleh peradangan akut dan obstruksi traktus urinarius kronis, fibrosis
ginjal juga dapat disebabkan oleh kegagalan penyembuhan penyakit yang
mendahuluinya (Liu, 2006).
Fibrosis ginjal mengakibatkan terganggunya fungsi ginjal yang vital bagi
tubuh, diantaranya dalam menghasilkan urin, memelihara keseimbangan cairan
dan asam basa tubuh, metabolisme vitamin D dan menghasilkan eritropoietin.
Akibatnya, terjadi gangguan homeostasis tubuh yang dapat mengenai seluruh
sistem organ (Schnaper, 2005). Proses fibrosis ginjal meliputi 2 bentuk, yaitu
glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstisial. Dari dua proses tersebut,
fibrosis tubulointerstisial paling banyak berkembang menjadi ESRD (Nangaku,
2004). Terjadinya fibrosis ditandai dengan peningkatan level marker fibrosis, satu
diantaranya adalah transforming growth factor beta-1 (TGF-β1).
69
TGF-β1
merupakan
salah
satu
sitokin
yang
berperan
dalam
patomekanisme biomolekuler yang mendasari progresifitas penyakit ginjal
(Border dan Noble, 1994). TGF-β1 bekerja sebagai stimulator pembentukan
ECM, melalui 4 proses, yaitu 1) stimulasi sintesis komponen ECM, 2) stimulasi
sintesis integrin, yaitu reseptor membran yang memungkinkan sel mengenali
molekul ECM tertentu pada membran basalis maupun sel lain, 3) menghambat
sintesis protease inhibitor yang berfungsi memecah ECM, dan 4) mengurangi
sintesis enzim ECM-degrading protease yang memecah ECM. Disamping itu,
TGF-β1 juga menstimulasi produksi beberapa faktor pertumbuhan (growth factor)
seperti basis fibroblast growth factors (bFGF) dan platelet derived growth factors
(PDGF) yang juga menstimulasi pembentukan protein matriks ekstraseluler
(Trihono, 2011).
Unilateral Ureteral Obstruction (UUO) merupakan model fibrosis
tubulointerstisial ginjal yang telah banyak dikerjakan. Fibrosis interstisial pada
UUO diawali dengan adanya infiltrasi sel-sel inflamasi, yang kemudian
memproduksi sitokin-sitokin yang bertanggung jawab terhadap apoptosis tubulus,
proliferasi dan aktivasi fibroblast menjadi miofibroblast. Miofibroblast bersifat
kontraktil dan mampu menghasilkan ECM dalam jumlah besar (Chevalier et al.,
2009). Kelebihan UUO sebagai model fibrosis tubulointerstisial ginjal meliputi
tidak adanya toksin eksogen, lingkungan ‗uremik‘ yang dapat diminimalisir, serta
dapat dimanfaatkannya ginjal kontralateral sebagai kontrol (Chevalier, 2009).
Selain itu, waktu yang diperlukan untuk menimbulkan fibrosis juga lebih singkat,
yaitu berkisar antara 7-14 hari.
70
Vitamin D, selain dikenal memiliki peran penting dalam metabolisme
mineral tulang, juga berperan dalam berbagai fungsi biologis tubuh yang lain,
diantaranya dalam sistem imun, sistem kardiovaskular, sistem reproduksi dan
resistensi insulin. Vitamin D juga diketahui memiliki efek renoprotektif. Vitamin
D mensupresi fibrosis ginjal dengan menghambat transduksi sinyal Smad-TGF-β
melalui interaksi langsung dengan Smad3 (Ito et al., 2013). Penelitian pada sel
mesenkim multipoten menunjukkan bahwa vitamin D mampu menurunkan
ekspresi kolagen tipe I dan III, serta faktor profibrotik TGF-β1. Namun
sebaliknya, vitamin D mampu meningkatkan ekspresi antagonis TGF-β1 (BMP-7)
dan MMP8 yang merupakan faktor pemicu pemecahan kolagen (Artaza dan
Norris, 2009). Vitamin D juga diduga mencegah pembentukan miofibroblast
ginjal dengan menginduksi pembentukan Hepatocyte Growth Factors (HGF) oleh
hepar (Li et al., 2005).
Beberapa mekanisme sasaran aksi vitamin D dalam mencegah fibrosis
telah diteliti (Li et al., 2005; Ito et al., 2013), namun diperlukan penelitian lebih
lanjut untuk mengklarifikasi mekanisme aksi tersebut. Berdasarkan uraian di atas,
penulis meneliti pengaruh pemberian vitamin D terhadap pencegahan fibrosis
ginjal dilihat dari parameter TGF-β1, fraksi area kolagen dan fraksi area
miofibroblast di ginjal.
V.3.2. Tinjauan Pustaka
Fibrosis ginjal ditandai oleh akumulasi dari fibroblast dan matriks
ekstraseluler yang berlebihan dan infiltrasi sel-sel inflamasi di ruang interstisial
71
ginjal. Selain itu, pada fibrosis ginjal juga terjadi apoptosis epitel tubulus dan
degenerasi fungsi tubulus, sehingga akan mengakibatkan gangguan fungsi nefron
baik filtrasi, reabsorpsi maupun sekresi, sehingga mengakibatkan perubahan
jumlah dan komposisi urin yang dihasilkan.
Fibrosis tubulointerstisial ginjal dianggap merupakan penanda dari
penyakit ginjal progresif, yang akan berakibat terjadinya gagal ginjal kronis
(Kuncio et al., 1991; Struz dan Zeisberg, 2006). Gambaran histopatologis pada
fibrosis tubulointerstisial yaitu adanya penimbunan matriks di ruang intestisial
yang berhubungan dengan sel-sel inflamasi, hilangnya epitel tubulus, akumulasi
fibroblast dan penipisan pembuluh darah peritubuler. Semua faktor tersebut
berperan dalam progresifitas fibrosis ginjal, meskipun masih belum terungkap
dengan pasti faktor mana yang paling berpengaruh dan bagaimana hubungan antar
faktor-faktor tersebut dalam berkontribusi terhadap fibrogenesis (Bohle et al.,
1979).
Pada fibrosis, terjadi peningkatan kadar TGF-β1 yang kemudian
mengawali munculnya sel-sel inflamasi dan fibroblast menuju lokasi cedera yang
kemudian menstimulasi sel tersebut untuk menghasilkan sitokin dan matriks
ekstraseluler. Selain itu, TGF-β1 juga meningkatkan sekresi inhibitor protease
yang merupakan stimulator poten bagi akumulasi matriks ekstraseluler (Roberts
dan Sporn 1996).
Komponen matriks ekstraseluler pada fibrosis tubulointerstisial didominasi
oleh kolagen, terutama kolagen tipe I, II dan IV. Peningkatan sintesis kolagen
dimediasi oleh TGF-β1, melalui peningkatan ekspresi gen kolagen serta melalui
72
aktivasi dan proliferasi fibroblast menjadi miofibroblast. Aktivasi fibroblast
menjadi miofibroblast ditandai dengan adanya ekspresi α-smooth muscle actin (αSMA). Pada kultur, adanya ekspresi α-SMA menyebabkan miofibroblast memiliki
kekuatan kontraksi dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan fibroblast yang
tidak memiliki ekspresi α-SMA (Hinz et al., 2001).
Unilateral Ureteral Obstruction (UUO) merupakan tindakan operatif yang
dianggap representatif sebagai model fibrosis ginjal. UUO dilakukan dengan cara
melakukan ligasi dan pemotongan ureter pada salah satu sisi (kanan/kiri)
(Chevalier et al., 2009). Ligasi pada ureter mengakibatkan terjadinya stasis urin,
yang diikuti dengan adanya peningkatan tekanan di dalam tubulus renalis.
Regangan pada epitel tubulus renalis akan memicu terjadinya inflamasi serta
pelepasan berbagai mediator dan sitokin (Liu, 2011), yang jika terus berlanjut
akan mengakibatkan proliferasi fibroblast menjadi miofibroblast (Nagle et al.,
1973). Proliferasi fibroblast menyebabkan peningkatan peningkatan sintesis dan
akumulasi kolagen di ruang interstisial ginjal (Sharma et al., 1993). Pada UUO,
fibrosis interstisial terjadi sejak hari ke-5 sampai hari ke-12, dan semakin berat
pada hari ke-19 (Cachat et al., 2003).
Vitamin D merupakan senyawa yang larut dalam lipid. Setelah disintesis
di kulit, Vitamin D3 ditransport di dalam darah oleh vitamin D binding protein.
Konsentrasi vitamin D dalam darah meningkat dalam 24 jam setelah paparan UV,
dan kembali ke konsentrasi semula setelah 7 hari. Fungsi utama dari bentuk aktif
vitamin D 1,25(OH)2D3 adalah memelihara homeostasis ion kalsium dan fosfat
(Gilaberte et al., 2011). Dalam memelihara keseimbangan ion kalsium dan fosfat,
73
1,25(OH)2D3 di traktus gastrointestinal kemudian masuk ke dalam sel usus dan
berikatan dengan reseptor vitamin D (vitamin D receptor/VDR), dan membentuk
struktur heterodimer dengan kompleks asam retinoat dan reseptornya. Kompleks
ini kemudian masuk ke nukleus dan berikatan dengan area spesifik pada DNA,
yang disebut VDR-element (VDRE). VDRE berhubungan dengan transkripsi
ratusan gen pada manusia yang diperantarai vitamin D, yang berhubungan dengan
absorpsi kalsium dan fosfat usus dan remodeling tulang dalam rangka memelihara
homeostasis kalsium dalam tubuh (Uitterlinden et al., 2004). Mekanisme ini
disebut sebagai respon klasik atau respon genomik vitamin D.
Vitamin D juga dapat bekerja melalui jalur non-klasik atau jalur nongenomik (respon cepat). Mekanisme ini berlangsung ketika vitamin D terikat
dengan VDR yang terhubung dengan kaveola membran plasma, yang kemudian
akan mengaktivasi transduksi sinyal meliputi protein kinase C, fosfolipase A2,
fosfolipase C, dan mitogen-activated protein kinase (MAPK) (Huktakangans et
al., 2004).
Selain di usus, VDR diekspresikan di berbagai tempat, misalnya tulang,
kulit, sel-sel sistem imun, pankreas dan pembuluh darah. Oleh karena itu, vitamin
juga berperan dalam memodulasi sistem imun, pemeliharaan kepadatan tulang,
sekresi insulin dan hormon paratiroid, serta dalam sistem kardiovaskuler (Lips,
2006).
Berdasarkan penelitian terdahulu, diketahui bahwa vitamin D memiliki
efek renoprotektif. Mekanisme potensial vitamin D dalam proteksi ginjal yang
pertama adalah efek anti-inflamasi. Vitamin D mampu menurunkan infiltrasi sel-
74
sel inflamasi di glomerolus maupun ruang interstisial akibat berbagai macam
cedera (Griffin et al., 2001). Mekanisme kedua adalah kemampuan vitamin D
dalam menghambat ekspresi gen renin. Penelitian Li et al. (2002) menunjukkan
bahwa gen renin dikontrol secara negatif oleh reseptor vitamin D (VDR).
Penelitian in-vitro yang dilakukan oleh Li et al. (2005) memperlihatkan
bahwa pada fibrosis interstisial, pemberian vitamin D aktif dapat menghambat
aktivasi miofibroblast, dengan menginduksi ekspresi hepatocyte growth factors
(HGF), melalui interaksi VDR dan VDRE dengan region promoter HGF. HGF
merupakan suatu glikoprotein dapat ditemukan pada sel mesangial, fibroblast
interstisial dan sel endotel. Induksi HGF menurunkan ekspresi α-SMA, marker
adanya miofibroblast.
Transforming Growth Factor Beta-1 (TGF-β1), sebagaimana telah
dijabarkan di atas, merupakan mediator penting dalam proses fibrogenesis di
ginjal. Peningkatan sintesis dan aktivitas TGF-β1 yang diperantarai oleh
fosforilasi smad2/3 kemudian memicu proliferasi fibroblast dan peningkatkan
transkripsi gen kolagen (Col1a1) sehingga berujung pada peningkatan akumulasi
kolagen di ruang interstisial ginjal. Penelitian Ito et al. (2013) menyebutkan
bahwa vitamin D mampu mencegah terjadinya fibrosis ginjal dengan cara
menghambat transduksi sinyal TGF-β-Smad melalui interaksi langsung dengan
Smad3. Vitamin D tidak mencegah fosforilasi Smad2 dan Smad3 (pSmad), akan
tetapi menghalangi pengikatan pSmad ke region promoter pada target gen TGF-β1
yang berhubungan dengan fibrogenesis yaitu Serpine1 dan Acta2. Hal ini
mengakibatkan terhambatnya proses fibrogenesis yang dimediasi oleh TGF-β1.
75
V.3.3. Jalannya Penelitian
Mencit jantan background Swiss Webster sebanyak 25 ekor usia 6-8
minggu dengan berat badan 30-50 gram diambil dari Unit Pemeliharaan Hewan
Percobaan (UPHP) LPPT UGM. Mencit dipelihara di kandang milik
Laboratorium Anatomi dan Embriologi FK UGM, diberi pakan AD2 dan air
minum dari kran secara ad libitum. Kandang ditempatkan dalam suhu ruangan
dengan siklus gelap terang 12 jam. Setelah di adaptasi selam 7 hari, mencit
dikelompokkan menjadi 5 kelompok:
Kelompok SO
: mencit dengan sham-UUO, mendapatkan vehicle (etanol
0,2%) i.p selama 14 hari.
Kelompok UUO : mencit dengan UUO, mendapatkan vehicle (etanol 0,2%)i.p
selama 14 hari.
Kelompok UD1
: mencit dengan UUO, mendapatkan vitamin D dosis 0,125
μg/kg/hari i.p selama 14 hari
Kelompok UD2
: mencit dengan UUO, mendapatkan vitamin D dosis 0,25
μg/kg/hari i.p selama 14 hari.
Kelompok UD3
: mencit dengan UUO, mendapatkan vitamin D dosis 0,5
μg/kg/hari i.p selama 14 hari.
Tindakan UUO dilakukan dengan cara melakukan insisi pada region flank
sebelah kanan, kemudian ureter proksimal dan distal diikat, kemudian dipotong
diantaranya, setelah itu luka ditutup kembali. Prosedur yang sama dilakukan untuk
sham-UUO, kecuali tidak dilakukan pengikatan dan pemotongan ureter. Setelah
14 hari perlakuan, mencit dieutanasia, organ ginjal diambil untuk dilakukan
76
analisis terhadap kadar TGF-β1, fraksi area kolagen dan fraksi area miofibroblast.
Kadar TGF-β1 diperiksa dengan metode sandwich ELISA. Fraksi area kolagen
ditentukan dengan menghitung luas jaringan kolagen di ruang interstisial ginjal
yang tampak berwarna merah dengan pengecatan picrosirius red dibandingkan
dengan luas area keseluruhan dalam satu lapang pandang menggunakan software
ImageJ, yang diukur dalam 15 lapang pandang. Fraksi area miofibroblast
ditentukan dengan menghitung luas jaringan miofibroblast di ruang interstisial
tubulus ginjal yang berwarna coklat dengan pengecatan imunohistokimiawi
menggunakan antibodi α-SMA (Sigma®) dibandingkan dengan luas area
keseluruhan lapang pandang menggunakan software ImageJ, yang diukur dalam
15 lapang pandang.
V.3.4. Hasil dan Pembahasan
Pada penelitian ini diperoleh data bahwa Pada kelompok sham-UUO, nilai
median (min-maks) kadar TGF-β1 di jaringan ginjal adalah 5,72(4,93-6,93)pg/ml,
lebih rendah dibandingkan dengan kelompok UUO 76,07(46,71-113,23)pg/ml,
dengan perbedaan yang signifikan (p=0,009). Peran TGF-β1 dalam fibrogenesis
ginjal salah satunya telah diteliti oleh Wang et al. (2005) yang menyatakan bahwa
pada mencit dengan UUO, kelompok wild type menunjukkan gambaran fibrosis
ginjal, sementara pada kelompok mencit transgenik TGF-β1 memperlihatkan
jaringan ginjal yang normal.
Pada kelompok sham-UUO, rerata±SEM fraksi area kolagen di ruang
interstisial tubulus ginjal adalah (4,64±0,49)%, lebih rendah dibandingkan
kelompok UUO 14 hari (19,97±1,82)%, dengan nilai p<0,001. Timbulnya fibrosis
77
di tubulointerstisial ginjal dapat ditandai dengan adanya miofibroblast, yang
dalam keadaan normal tidak terdapat di ruang interstisial tubulus ginjal. Setelah
14 hari UUO, jaringan miofibroblast tampak terlihat berwarna coklat dengan
pewarnaan imunohistokimiawi menggunakan antibodi primer α-SMA, dengan
median 21,17(17,30-25,99)%, sedangkan pada kelompok sham-UUO hanya
sebesar 0,66(0,29-7,49)%. Uji Mann Whitney menunjukkan perbedaan yang
bermakna dengan nilai p=0,009.
Adanya perbedaan indikator fibrosis yang signifikan antara kelompok
UUO 14 hari dengan kelompok sham-UUO menunjukkan bahwa kedua kelompok
ini dapat dijadikan sebagai kontrol positif dan kontrol negatif dari fibrosis ginjal.
Obstruksi ureter selama 14 hari mengakibatkan terjadinya fibrosis ginjal.
Sementara itu, sham-UUO memperlihatkan kondisi ginjal yang normal, baik
dilihat dari fraksi area kolagen, miofibroblast dan kadar TGF-β1. Beberapa
penelitian telah menyatakan bahwa UUO merupakan model yang representatif
untuk fibrosis interstisial ginjal. Penelitian Haralambous et al. (1993)
menunjukkan bahwa UUO kronis pada tikus neonatus memperlihatkan adanya
peningkatan deposisi kolagen tipe I, III dan V di ruang interstisial ginjal.
Miyajima et al. (2003) juga menyebutkan bahwa pada UUO kronis terdapat
apoptosis tubulus renalis dan fibrosis interstisial. Setahun berikutnya, Misseri et
al.(2004) menyatakan bahwa setelah UUO, terjadi apoptosis epitel tubulus renalis
yang diakibatkan oleh aktivasi TNF-α yang merupakan mediator apoptosis.
Mekanisme UUO dalam mengakibatkan fibrosis interstisial ginjal telah
banyak diteliti. UUO mengakibatkan infiltrasi makrofag di ruang interstisial
78
ginjal (Tashiro et al., 2003). Makrofag kemudian memproduksi sitokin-sitokin
yang berperan dalam apoptosis tubulus serta aktivasi dan proliferasi fibroblast.
Salah satu sitokin pro-fibrotik yang bertanggung jawab dalam fibrogenesis adalah
TGF-β1. Pada penelitian ini, terjadi peningkatan kadar TGF-β1 di jaringan ginjal
setelah UUO 14 hari. Hasil ini sesuai dengan penelitian Ito et al.(2013) bahwa
pada ginjal dengan UUO, terjadi peningkatan mRNA TGF-β1 sampai 15 kali lipat
dibandingkan dengan kelompok sham-UUO Setelah teraktivasi dari bentuk
latennya, TGF-β1 berikatan dengan reseptor TGF-β1 di membran, kemudian
mengakibatkan fosforilasi protein turunannya yaitu Smad2 dan Smad3. Fosforilasi
Smad2/3
(pSmad)
tersebut
mengaktivasi
transkripsi
gen,
yang
dapat
mengakibatkan aktivasi dan proliferasi fibroblast menjadi miofibroblast dan
aktivasi sel epitel tubulus untuk membentuk matriks ekstraseluler , menurunkan
degradasi matriks ekstraseluler dan memicu apoptosis (Hovatar dan Sanders,
2012). Proliferasi fibroblast menjadi miofibroblast ditandai dengan adanya
ekspresi α-SMA, suatu protein yang mengakibatkan miofibroblast kemampuan
berkontraksi. Miofibroblast menghasilkan kolagen dalam jumlah yang lebih besar
dibandingkan fibroblast (Liu, 2011). Selain akibat aktivasi dan proliferasi
fibroblast, akumulasi matriks ekstraseluler yang didominasi oleh kolagen timbul
akibat transkripsi gen Col1a1 yang meningkat akibat peningkatan kadar TGF-β1
(Ito et al., 2013). Pemberian vitamin D diharapkan dapat mencegah ataupun
menghambat proses fibrogenesis di ruang interstisial tubulus ginjal. Pada
penelitian ini, nilai rerata kadar TGF-β1 pada kelompok yang diberi vitamin D
lebih rendah dibanding kelompok UUO 14 hari (p=0,009). Fraksi area kolagen
79
pada kelompok yang diberi vitamin D juga lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok UUO 14 hari (p<0,001). Hasil ini sesuai dengan penelitian Zhang et al.,
(2010) bahwa mencit wild type dengan UUO 7 hari memperlihatkan fibrosis yang
lebih ringan dibandingkan dengan mencit yang tidak memiliki reseptor vitamin D
(VDR). Keparahan fibrosis pada penelitian tersebut dilihat dari banyaknya
deposisi kolagen dan fibronektin di ruang interstisial ginjal. Vitamin D juga
mampu mengurangi ekspresi kolagen dan faktor profibrotik lain pada sel
mesenkim multipoten (Artaza dan Norris, 2008).
Fraksi area miofibroblast yang terbentuk di ruang interstisial tubulus ginjal
pada kelompok UUO lebih tinggi dibandingkan dengan rerata kelompok yang
mendapatkan injeksi vitamin D (p=0,009). Hasil ini sesuai dengan penelitian Li et
al. (2005) yang menyebutkan bahwa pemberian 1,25-dihydroxyvitamin D3 pada
konsentrasi 10-6 mol/L dapat menghambat ekspresi α-SMA yang diinduksi oleh
TGF-β1. Penelitian Tan et al.(2006) juga menyebutkan bahwa pemberian
paricalcitol, suatu analog vitamin D, dapat menghambat aktivasi α-SMA pada
ginjal obstruktif. Menurut penelitian tersebut, pemberian TGF-β1 secara langsung
dapat menginduksi ekspresi α-SMA pada fibroblast interstisial ginjal tikus normal.
Ito et al.(2013) juga menyatakan hasil yang serupa yaitu bahwa pemberian
1,25(OH)2D3 menurunkan ekspresi α-SMA. Ekspresi α-SMA diketahui menjadi
marker terbentuknya miofibroblast di jaringan interstisial ginjal, dan merupakan
salah satu proses penting dalam patogenesis penyakit ginjal kronis.
Terbentuknya jaringan kolagen dan aktivasi miofibroblast di ruang
interstisial ginjal dapat dijadikan sebagai petunjuk adanya fibrosis. Rendahnya
80
persentase pembentukan kolagen dan miofibroblast pada kelompok vitamin D
dibandingkan kelompok UUO menunjukkan bahwa vitamin D mampu
menghambat proses fibrogenesis ginjal.
Mekanisme kerja vitamin D dalam
menghambat pembentukan miofibroblast salah satu diantaranya adalah bahwa
vitamin D dapat menginduksi ekspresi gen Hepatocyte Growth Factors (HGF),
suatu glikoprotein yang dalam ginjal normal terdapat pada sel mesangial,
fobroblast interstisial dan sel endotel (Li et al., 2005), melalui interaksi antara
reseptor vitamin D dan VDRE dengan region promoter HGF. HGF diketahui
mampu mensupresi aktivasi miofibroblast, dan menghambat perubahan epitel
tubulus menjadi sel mesenkim. Akan tetapi, netralisasi aktivasi HGF ternyata
tidak sepenuhnya menghilangkan efek antifibrotik dari vitamin D (Li et al., 2005),
sehingga diduga terdapat mekanisme lain mengenai kerja vitamin D dalam
mencegah fibrosis ginjal.
Mekanisme lain yang mendasari kerja vitamin D dalam mencegah fibrosis
ginjal dapat ditelusuri dari TGF-β1. Pada penelitian ini, kadar TGF-β1 pada
kelompok vitamin D lebih rendah dibandingkan dengan kelompok UUO 14 hari
(p=0,009). Vitamin D dapat menghambat pembentukan TGF-β1 dan mengurangi
ekspresi reseptornya (Tan et al., 2006). Penelitian Ito et al. (2013) menyebutkan
bahwa vitamin D mencegah fibrosis ginjal dengan cara menghambat transduksi
sinyal TGF-β-Smad. Menurut penelitian tersebut, vitamin D menghambat
transduksi sinyal TGF-β-Smad dengan cara menghambat rekrutmen pSmad3 ke
area promoter pada target gen TGF-β yaitu Serpine1 (mengkode plasminogen
81
activator inhibitor-1), acta2 (mengkode α-sma) dan Col1a1 (mengkode kolagen
tipe I).
Peran vitamin D dalam mencegah fibrosis ginjal juga terlihat jika
membandingkan kelompok yang mendapatkan vitamin D dengan kelompok shamUUO. Rerata kadar TGF-β1 pada kelompok yang mendapat vitamin D lebih
rendah dibanding dengan kelompok sham-UUO, namun hasil ini tidak bermakna
secara signifikan (p>0,05). Perbedaan kadar TGF-β1 pada kelompok vitamin D
dengan kelompok sham-UUO dimungkinkan terjadi akibat cara dan waktu
pemberian perlakuan, serta respon biologis dari hewan coba. Selain itu, dapat juga
akibat bervariasnya jalur kaskade fibrogenesis yang tidak semuanya dapat
dihambat oleh vitamin D.
Sejalan dengan kadar TGF-β1, jaringan kolagen yang terbentuk di ruang
interstisial ginjal pada kelompok sham-UUO lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok-kelompok yang mendapatkan vitamin D dan bermakna secara statistik,
dengan nilai p < 0,05. Pemberian vitamin D mampu mengurangi pembentukan
jaringan kolagen, namun tidak menghambat sepenuhnya.
Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh dosis terhadap respon yang
ditimbulkan, pada penelitian ini vitamin D diberikan dalam 3 dosis, yaitu
UD1(0,125µg/kgBB); UD2(0,25µg/kgBB) dan UD3(0,5µg/kgBB). Nilai median
(min-maks) kadar TGF-β1 pada masing-masing kelompok tidak jauh berbeda,
yaitu UD1 5,39(4,93-6,05)pg/mL, UD2 4,93(4,20-6,05)pg/mL, dan UD3
4,77(3,92-9,07)pg/mL.
Perbedaan
dosis
pemberian
ini
ternyata
tidak
82
menunjukkan perbedaan bermakna. Hal ini dapat dilihat dari nilai p kadar TGFβ1, dimana antara kelompok UD1 dengan UD2 memiliki nilai p=0,338, kelompok
UD1 dengan UD3 dengan nilai p=0,600, dan antara kelompok UD2 dengan UD3
memiliki nilai p=1,000.
Hasil yang serupa juga terlihat pada fraksi area kolagen di ruang
interstisial tubulus ginjal. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan tidak ada
perbedaan bermakna, dilihat dari nilai p antara kelompok UD1 dengan UD2
(p=0,948), kelompok UD1 dengan UD3 (p=0,289), dan kelompok UD2 dengan
UD3 (p=0,262).
Aktivasi miofibroblast pada ketiga kelompok yang mendapatkan vitamin
D juga tidak memperlihatkan perbedaan yang bermakna, dimana kelompok UD1
dengan UD2 memiliki nilai p=0,465, kelompok UD1 dengan UD3 dengan
p=0,251, dan kelompok UD2 dengan UD3 juga dengan nilai p>0,05 yaitu
p=0,602.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Tan et al. (2006)
membandingkan dua dosis pemberian analog vitamin D (paricalcitol) dosis 0,1µg
dan 0,3µg pada model UUO 7 hari terhadap deposisi kolagen di ruang interstisial
ginjal dan kerusakan tubulus renalis. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan antara dua dosis tersebut, dimana deposisi
kolagen dan kerusakan tubulus pada dosis 0,3µg lebih sedikit dibandingkan dosis
0,1µg.
83
Hasil penelitian ini juga berbeda dengan penelitian Ito et al. (2013) yang
menyatakan bahwa efek pemberian 1,25(OH)2D3 dalam menurunkan ekspresi αsma dan fibroblast-specific-protein-1(FSP-1) dipengaruhi oleh dosis. Dosis yang
lebih besar menghasilkan ekspresi α-SMA dan FSP-1 yang lebih rendah. Pada
penelitian ini, 1,25(OH)2D3 diberikan selama 7 hari dosis 0,3µg dan 0,6µg melalui
injeksi subkutan.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan hasil tersebut
diantaranya adalah lamanya waktu pemberian vitamin D, cara pemberian dan jenis
vitamin D yang diberikan. Pada dua penelitian di atas, perlakuan berlangsung
selama 7 hari UUO, sementara pada penelitian ini berlangsung selama 14 hari.
Selain itu, cara pemberian vitamin D yang dilakukan juga berbeda, dimana pada
penelitian Tan et al. (2006) dan Ito et al. (2013) dilakukan secara injeksi
subkutan, sedangkan pada penelitian ini dilakukan secara injeksi intra peritoneal.
Pemberian injeksi intraperitoneal lebih cepat diabsorpsi ke dalam pembuluh darah
dibandingkan dengan pemberian melalui subkutan. Jenis vitamin D yang
diberikan kemungkinan juga dapat mempengaruhi perbedaan hasil yang ada.
Paricalcitol diketahui merupakan analog vitamin D yang tidak mengakibatkan
efek hiperkalsemia (Teng et al., 2003), sehingga dapat menghambat mekanisme
feedback negative sebagai efek dari tingginya kadar kalsium dalam darah yang
turut diperankan oleh hormon paratiroid (Henry, 2011). Pada penelitian ini,
walaupun tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik, namun
didapatkan bahwa pemberian vitamin D dosis yang lebih tinggi menunjukkan
penurunan fraksi area kolagen dan fraksi area miofibroblast.
84
V.3.5. Kesimpulan
Pemberian vitamin D terbukti dapat mencegah terjadinya fibrosis ginjal pada
mencit jantan dengan Unilateral Ureteral Obstruction (UUO), dilihat dari hal-hal
berikut:
1.
Kadar TGF-β1 pada ginjal mencit jantan dengan UUO yang diberi vitamin D
lebih rendah dibandingkan dengan mencit jantan yang tidak diberi vitamin D.
2.
Fraksi area kolagen pada ginjal mencit jantan dengan UUO yang diberi
vitamin D lebih
rendah dibandingkan mencit jantan yang tidak diberi
vitamin D.
3.
Fraksi area miofibroblast pada ginjal mencit jantan yang diberi vitamin D
lebih rendah dibandingkan mencit jantan yang tidak diberi vitamin D.
4.
Terdapat korelasi positif antara kadar TGF-β1, fraksi area kolagen dan fraksi
area miofibroblast pada ginjal mencit jantan dengan UUO yang diberi vitamin
D.
V.3.6. Saran
Pada penelitian ini, peran vitamin D baru dilihat pada fibrosis di ruang
interstisial ginjal. Pada penelitian selanjutnya dapat dilihat bagaimana peran
vitamin D terhadap perbaikan kerusakan tubulus ginjal pada model obstruksi
ureter, kaitannya dengan peran vitamin D terhadap regangan dan proliferasi epitel
tubulus ginjal. Selain itu, dapat juga dilakukan pemeriksaan terhadap ekspresi
reseptor vitamin D di epitel tubulus renalis sehingga akan lebih diketahui lokasi
kerja vitamin D dalam mencegah fibrosis ginjal. Vitamin D juga diduga berperan
85
dalam mencegah timbulnya glomerulosklerosis. Oleh karena itu, diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui mekanisme aksi vitamin D dalam
mencegah glomerulosklerosis.
Download