kitab REPUBLIKA ● AHAD, 6 MARET 2011 B9 As-Sirah an-Nabawiyyah; Durus wa’Ibar Belajar dari SirahRasulullah SEKALIPUN DITULIS DALAM KONDISI SAKIT PARAH, HAL TERSEBUT TIDAK MENGURANGI KUALITAS KARYA YANG DIPERSEMBAHKAN AS-SIBA’I. Oleh Nashih Nashrullah ada 1978, seorang tokoh keturunan Yahudi menulis sebuah buku fenomenal. Fenomenal lantaran kehadiran karya tersebut mengundang perbincangan dari berbagai kalangan, terutama kriteria penulisan yang diterapkan dalam karyanya tersebut. Adalah Michael H Hart dengan bukunya yang bertajuk The 100. Buku itu memuat 100 tokoh yang memiliki pengaruh terkuat dalam sejarah manusia. Hart tidak menyoal tokohtokoh orang terbesar, tetapi yang menjadi perhatian dan fokus Hart adalah mereka yang berpengaruh besar terhadap masyarakat dunia. Dan, Muhammad SAW menduduki peringkat pertama dalam daftar urutan tokoh yang disebutkannya. Bagi Hart, sosok Muhammad adalah penyebar agama yang kini dipeluk oleh hampir separuh penduduk dunia. Karier politik dan keagamaan yang luar biasa dari figur Muhammad menjadi satu dari sekian daya magnet yang menyedot perhatian umat manusia. Terlebih, kedua peran tersebut dijalankannya secara seimbang dan serasi tanpa harus mengorbankan salah satu atau bahkan keduanya. “Muhammad memiliki banyak pengikut dan menjadi panutan masyarakat dunia saat ini,” tulis Hart dalam buku yang sempat dicetak ulang pada 1992. Apa yang dilakukan oleh Hart pada dasarnya hanya sebagian kecil karya yang mencoba mengupas sisi-sisi menarik dari kehidupan Rasulullah, terutama keagungan dan sisi keteladanan yang dicontohkannya, meskipun dalam tradisi keilmuan dan sejarah Islam sendiri tak terhitung karya yang menyinggung secara total dan komprehensif berbagai sisi riwayat Rasulullah. Ragam dan kategori karya tentang biografi Rasulullah pun beragam, mulai dari syamail (biografi ringkas), madaih (syair dan pujian), hingga dalam bentuk sirah yang ditulis berjilidjilid. Terdapat kitab tentang sejarah Rasulullah yang ditulis secara komprehensif, misalnya, kitab Dalail an-Nubuwwah yang ditulis oleh Ismail Asbahani, al-Baihaqi, serta al-Faryabi. Kitab Uyun al-Atsar karangan Muhammad bin Abdullah bin Yahya atau dikenal Ibnu Sayyid an-Nass, mencoba merangkum mulai dari seni perang hingga sirah Rasulullah. Karya monumental lainnya di bidang sirah Rasulullah pernah disumbangkan masing-masing oleh Ibnu Katsir dan Ibnu Hisyam lewat As-Sirah an-Nabawiyyah. Dan, dalam kitab P Oleh Heri Ruslan etelah memaparkan beberapa peristiwa penting sejak ke Madinah hingga stabil di kawasan tersebut, as-Siba’i mengutarakan beberapa pelajaran dan intisari berharga, terutama bagi para dai yang meneguhkan komitmen berjuang dan berdakwah di jalan Allah. Intisari penting yang ada dalam periode tersebut antara lain, pertama, seorang Mukmin selama meyakini apa yang dijalani dan diikutinya benar, mestinya tidak perlu takut dan menyembunyikan komitmennya itu. Keteguhan itu bisa tergambar jelas dari sikap Umar bin Khattab RA. Tatkala penganiayaan terhadap umat Islam semakin memburuk di Mekkah, Rasulullah menyerukan mereka agar segera berhijrah S Belajar dari MASA MADINAH bertajuk Jawam’ as-Sirah, Ibnu Hazm mencoba berkonstribusi dalam penulisan sirah Rasulullah. Begitu halnya dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dengan karyanya Zaad al-Ma’aad. As-Syuthi pun tak mau ketinggalan dengan mengarang kitab berjudul As-Syamail as-Syarifah. Berbagai karya yang ditulis oleh kalangan salaf (zaman lama) itu pun lantas dikembangkan oleh para penulis kontemporer. Namun, apa yang disumbangkan para penulis kontemporer, pada prinsipnya merupakan ikhtiar melengkapi dan mengkorelasikan nilai-nilai penting dari sirah ke dalam konteks kekinian. Kekosongan inilah yang tampaknya coba ditutupi oleh Syekh Musthafa Husni as-Siba’i, seorang ulama terkemuka asal Hamash, Suriah, lewat buku yang diberi judul As Sirah an-Nabawiyyah; Durus wa Ibar. Mahakarya seorang tokoh yang tutup usia pada 1964 itu mencoba mengungkap intisari dan pelajaran berharga di balik setiap peristiwa yang pernah dilalui Rasulullah dan diabadikan sejarah. As-Siba’i tidak menguraikan tiap kejadian yang dialami oleh Rasulullah. Fokusnya tertuju pada fakta-fakta penting sejarah, mulai dari sebelum risalah kenabian diturunkan hingga momen haji wada. As-Siba’i setidaknya telah berupaya mengaktualisasikan nilai di balik sirah dan keteladanan Rasulullah. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS al-Ahzab [33]: 21). Keistimewaan sirah Nabi Mengawali pembahasan karyanya, as-Siba’i menegaskan tentang sejumlah keistimewaan yang terdapat dalam sirah Rasulullah. Sekalipun ditulis dalam kondisi terburu-buru dan suasana yang kurang mendukung akibat sakit parah, hal tersebut tidak mengurangi kualitas karya yang dipersembahkannya. Uraian paling mendasar yang dibahas as-Siba’i tentang berbagai argumen yang menjawab pertanyaan, mengapa sirah Rasulullah pantas dikaji? Bagi as-Siba’i, ada beberapa keistimewan sirah Rasulullah sehingga menjadi layak dan patut dikaji. Selain memang memberikan kepuasaan secara spiritual, kajian terhadap sirah Rasulullah turut menguji kemampuan dalam melakukan olah logika serta mengandalkan validitas data sejarah. Di antara beberapa keistimewaan yang terkandung dalam sirah Rasulullah itu, pertama, istimewa. Karena jika dibandingkan dengan riwayat nabi lainnya, validitas riwayat sirah Rasulullah paling bisa dipertanggungjawabkan. Dengan kisah Nabi Musa, misalnya, sedikit data autentik yang menguatkan berbagai riwayat perihal kisah perjalanannya. Bahkan, banyak terdapat riwayat hipokrit yang disisipkan oleh kaum Yahudi. Tidak hanya soal autentitas datanya yang dipertanyakan, tetapi kredibilitas para penulis sejarah juga masih dipersoalkan. Hal yang sama menimpa pula kisah Nabi Isa AS. Polemik tentang keabsahan Injil dengan ratusan versi, setidaknya masih menyisakan berbagai pertanyaan. Ragam pertanyaan tersebut banyak yang belum bisa terpecahkan hingga detik ini. Bandingkan dengan sirah Rasulullah. Bukti sejarah yang kuat dan autentik dipaparkan dengan baik melalui Alquran, hadis, dan bahkan rententan syair Arab kontemporer semasa risalah. Kedua, rangkaian riwayat hidup Rasulullah bisa diketahui secara pasti. Sejak kedua orang tuanya, Abdullah dan Aminah, menikah sampai Muhammad meninggal dunia. Tiap penggal perjalanan Rasulullah terekam dengan jelas, mulai dari masa kelahiran, usia muda, hingga diutus menjadi seorang nabi dan rasul. Bandingkan sekali lagi dengan deretan nama nabi atau rasul lainnya. Kembali ke Nabi Musa, tidak diketahui sama sekali tentang masa kecil dan mudanya, serta bagaimana kisah hidupnya sebelum kenabian. Riwayat yang diceritakan hanya seputar kehidupannya pascakenabian. Pun demikian dengan kisah Nabi Isa. Hanya satu penggal kisah semasa kecilnya yang diketahui. Namun, itu pun merupakan kisah yang disepakati oleh Injil versi modern. Kisah yang dimaksud tak lain adalah Isa semasa kecilnya pernah memasuki haekal atau sinagog kaum Yahudi dan berdiskusi perihal kitab suci mereka. Ketiga, lanjut as-Siba’i, sirah Rasulullah mencakup tiap aspek dan lini kehidupan manusia. Berbicara riwayat Rasulullah, secara gamblang menggambarkan kepada umat manusia tentang karakter seorang yang amanah sebelum risalah diturunkan sekalipun. Sosok Rasulullah mengajarkan pula tentang bagaimana menggunakan media dakwah secara efektif dan efesien guna mengajak umat manusia untuk beriman dan taat kepada Allah. Dalam sisi kehidupan keluarga, sosok Muhammad adalah sosok yang telah berhasil mengaplikasikan hak dan kewajiban tiap anggota keluarga. Riwayat hidup Rasulullah mengisyaratkan pula tentang pola hidup sosial, bermasyarakat, dan bernegara. Karenanya, keluhuran sirah Rasulullah itu pulalah yang memberikan bukti kuat tentang kebenaran risalah yang dibawanya. Dakwah yang disampaikan tidak hanya bertumpu pada mukjizat fisik yang diberikan, tapi kepribadian luhur itulah yang juga mampu mengetuk tiap pintu hati umat manusia. “Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman”. (QS al-An’am [6]: 125). ■ ed: heri ruslan ke Madinah. Mereka pun lantas hijrah ke Madinah secara sembunyi-sembunyi. Tetapi, hal serupa tidak dilakukan Umar. Justru sebaliknya, dengan lantang Umar memaklumatkan rencananya berhijrah kepada kaum Musyrik Quraisy. Sembari berkata, “Barang siapa yang ingin ibunya bersedih karenanya (mati—Red), temuilah aku besok di lembah ini.” Dan, tak ada satu pun yang berani menanggapi tantangan itu. Pelajaran penting kedua, dalam dokumentasi perjanjian yang disepakati di hadapan Rasulullah baik menyangkut persaudaraan antar-Muhajirin dan Anshar, maupun konsep kerja sama serta hubungan antarsesama Muslim dan non-Muslim. Pola interaksi yang dibangun antara Muslim dan non-Muslim di Madinah dibangun atas prinsip keadilan sosial. Prinsip kebenaran, keadilan, dan saling tolong-menolong diupayakan untuk mewujudkan kebaikan bagi seluruh masyarakat, termasuk menghilangkan bahaya dan keburukan dari masyarakat. Prinsip ini pulalah yang merupakan modal utama bagi negara Islam versi Madinah. Selama prinsip-prinsip tersebut bisa dijaga dan dipertahankan, sekuat itu pulalah negara Islam. Penting di catat, Islam melarang menyakiti non-Muslim di negara Islam, apalagi mengusik akidah mereka. Ketakutan dan kekhawatiran, apalagi yang sengaja dimunculkan dengan upaya melaksanakan syariat Islam? Padahal sejatinya, pelaksanaan hukum syariah tak lain adalah aktualisasi nilai kebenaran, keadilan, persaudaraan, dan solidaritas sosial, yang kesemuanya itu dirajut di atas semangat dan rasa saling cinta-mencintai satu sama lain. ■