SUMBER PEMIKIRAN ISLAM POLITIK ISLAM Dalam pergulatan

advertisement
SUMBER PEMIKIRAN ISLAM POLITIK ISLAM
Dalam pergulatan pemikiran Islam, sumber yang menjadi perdebatan dengan sangat
sengit adalah tentang dominasi akal dan wahyu (aql dan naql). Perdebatan ini sangat sengit
di mana kemudian menjadikan dua kutub ini mengalami dinamika yang sangat kompleks. Dari
sifat yang saling menafikan, di mana wahyu lebih dominan dari akal, sampai akal lebih
dominan dari wahyu. Ataupun bentuk sintesanya, yang melahirkan bentuk harmoni akan
wahyu dan
akal.
Wacana Wahyu: Sumber Ambilan Pertama
terminologis
Wahyu
dalam
bahasan
(istilahan) merupakan cahaya, di mana akan memberikan sesuatu yang
sebelumnya belum pernah diketahui. Wahyu juga memberikan petunjuk dan arah kemana
sesuatu tersebut harus dijalankan. Hal ini setidaknya tercermin dalam QS. Asy-Syura: 52-53:
Demikianlah Kami wahyukan kepadamu suatu roh (Jibril Yang Membawa AlQur'an) dengan perintah Kami. Engkau belum tahu sebelumnya apa kitab itu dan
apa iman itu. Tapi Kami menjadikan cahaya, memberikan petunjuk kepada
siapa-siapa yang kami kehendaki dari hamba-hamba Kami.
Dalam pandangan ini, wahyu ditempatkan
sebagai sebuah kebenaran yang pasti
benar. Sebab ia berasal dari sumber kebenaran itu sendiri. Setidaknya ungkapan ini tercermin
dalam surah Ali Imran ayat 60: "Kebenaran itu dari Rabbmu, maka janganlah kamu termasuk
orang-orang yang bimbang." Dalam pandangan Ali Gharisah, wahyu tidak hanya sebatas ayatayat Al-Qur'an semata, akan tetapi
As-Sunnah juga merupakan bagian dari
wahyu,
sebagaimana yang tercantum dalam surah An-Najm 3-4: "Dan tiadalah ia (Muhammad)
berbicara menurut hawa nafsunya. Namun bicaranya itu tak lain dari wahyu yang diwahyukan
kepadanya".
Qaidah Sekitar Wahyu1:
1
Diadaptasi dari Ali Gharisah, ibid., hal. 26-52
1. Wahyu (Al-Qur'an) harus didahulukan dan tidak boleh ada yang mendahuluinya. Hal ini
setidaknya karena beberapa alasan:
a. Ia merupakan wahyu Alloh yang datangnya secara definitif (jelas), dan sampai kepada
kita
secara muttawatir (bersambung sampai sumbernya), yang tidak menimbulkan
prasangka
b. Ia merupakan kebenaran yang tidak akan pudar oleh waktu dan tempat. Hal mana tercermin
dalam jaminan Alloh terhadap wahyu
c. Ia merupakan pembawa hidayah (petunjuk), rahmat serta kabar gembira.
2. Wahyu tidak bisa dipecah dan dipisah-pisahkan satu sama lain. Sebab pembelahannya
merupakan fitnah, jahiliyyah, kekafiran sebagai maklumat perang kepada Alloh.2
a. Hendaklah kamu menggunakan hukum (wahyu) Alloh antara mereka dengan apa yang
diturunkan Alloh, dan janganlah kamu turut hawa nafsu mereka dan waspadalah terhadap
mereka, jangan sampai mereka memfitnah kamu dari sebagian yang diturunkan Alloh
kepadamu (Al-Maidah: 49)
b. Wahai orang yang beriman, takutlah kamu kepada Alloh dan tinggalkanlah sisa-sisa riba itu,
jika kamu benar-benar beriman. Kalau kamu tidak mematuhinya,ketahuilah dengan
maklumat perang dari Alloh dan Rasul-Nya terhadapmu. Dan jika kamu bertaubat, maka
untukmu pokok-pokok hartamu, kamu tidak menganiayadan tidak teraniaya. (Al-Baqarah:
278-279)
3. Wahyu sebagai pengarahan hukum.
Wahyu memberikan alternatif pengarahkan hukum menuju yang lebih baik , di mana hal
ini tercermin dalam contoh-contoh ayat-ayat berikut:
"Tetapi siapa yang memaafkan dan berdamai, maka pahalanya ada di sisi Alloh" (AsySyura: 40)
"Jika kamu memberikan maaf, maka hal itu lebih dekat kepada ketaqwaan" (Al-Baqarah;
237)
Qaidah Sekitar Sunnah3
2
3
Ibid.,
Ibid.,
a. Sunnah adalah saudara kandung Al-Qur'an
b. As-Sunnah adalah ucapan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah
c. Kafir yang menolak Sunnah dan Enggan Melakukannya
d. Hadits Ahad juga berlaku meskipun dalam bidang Aqidah
e. Perbuatan Rasul sebagai hakim dan Imam
Wacana Sirah: Sumber Ambilan Kedua
Sirah merupakan sebuah wacana pertumbuhan masyarakat pertama (salaf) di mana di
dalam terdapat ijtihad-ijtihad dari para sahabat dalam memutuskan sesuatu hal setelah Nabi
wafat. Kemampuan sirah terletak kepada kemampuan mengcover
segala
perilaku Nabi
yang tidak sempat terlesankan dan terperilakukan oleh Nabi sendiri atau sahabat lain. Sirah
juga merupakan sarana interprestasi lanjut dari sesuatu hal yang membutuhkan interprestasi
tertentu.
Dalam perkembangan lanjut, sirah lebih dimaknai dalam bentuk qiyas maupun ijtihad
yang dilakukan oleh para ulama atau jumhur ulama. Di mana dalam perkembangan lanjut
melahirkan tradisi atau mazhab dalam pemikiran Islam. Semisal mazhab Sunni, yang
kemudian terbagi ke dalam 4 mazhab fikih seperti Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafi'i.
Mazhab Syi'ah yang kemudian terbagi dalam Saba'iyyah, Ghurabiyyah, Zaidiyah, Itsna
Asy'ariyyah dan lain-lain. Ataupun dalam mazhab Khawarij.4
Tentang peranan sirah dalam sumber kebenaran seringkali masih diperdebatkan lebih
jauh. Dalam hal ini pemikiran Ali Abdul Raziq menolak secara tegas sejarah dan ijtihad dan
qiyas ulama dijadikan hukum.5
Wacana Akal: Sumber Ambilan Ketiga
Peranan akal merupakan dasar sentral
dari ditempatkannya manusia sebagai
khalifah di bumi. Kemampuan akal akan mampu membedakan mana yang benar dan yang
salah, yang lurus dengan yang bengkok dan seterusnya. Kemampuan klasifikasi, kategorisasi dan
4
5
Lihat dalam Abu Zahrah Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta, LOGOS, 1996
Lihat ulasan kritis dari pemikiran Ali Abdul Raziq dalam Taufiq Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, Jakarta,
Gema Insani Press, 1997
pemberian nama dan label tertentu menjadikan pemikiran manusia atas dasar akal berkembang
dengan pesat.
Dalam pandangan Ali Gharisah ada 3 hal yang membuat akal mempunyai makna yang
besar dalam penemuan kebenaran:
a. Berhasil
diungkapkannya hukum-hukum
alam
seperti gravitasi, peredaran bumi dan
sebagainya
b. Dicapainya hakikat ilmiah dengan pengindraan maupun melalui pengambilan keputusan
c. Dicapainya hakikat hipotesa atau teori yang memberikan sumbangan dalam pengembangan
ilmu Pengetahuan.6
Wacana Fiqh Ikhtilaf
Dari
ketiga
sumber
kebenaran
tersebut,
dalam operasionalisasinya
sering
diketemukan ketidaksesuaian satu sama lain. Hal mana menjadikan sebuah kebenaran dalam
perspektif tertentu kabur, atau bahkan terjadi sebuah silang pendapat dari sumber kebenaran
sendiri.
Hal inilah yang kemudian difahami bagi ulama sebagai sebuah ikhtilaf. Perselisihan
pendapat biasanya lebih kepada pemaknaan dari sumber, baik dari tingkat penafsiran maupun
kuat tidak sandaran (hujjah) dari sumber kebenaran. Sehingga kita mengenal konsep perbedaan
yang sifatnya furi'iyyah (cabang, bagian) maupun sifatnya pokok (aqidah). Wacana ini
kemudian menjadikan antar pemikiran dalam Islam terkotak-kotak sampai menjadikan umat
Islam pecah belah dalam merespon dinamika masyarakat.
Dalam
pandangan Yusuf Qardhawy, fiqh
Ikhtilaf dibedakan ke dalam dua hal:
pertama, ikhtilaf disebabkan karena faktor akhlaq dan kedua, ikhtilaf disebabkan karena faktor
pemikiran. Ikhtilaf karena faktor akhlaq, diposisikan sebagai sesuatu yang merusak di
mana dilandasi oleh sifat membanggakan diri, buruk sangka pada fihak lain, egoisme dan
menuruti hawa nafsu, fanatik kepada golongan atau mazhab, fanatik kepada negeri, daerah,
partai, jama'ah atau pemimpin.7
6
Gharishah, ibid., hal. 49
7
Lihat dalam Yusuf Qardhawy, Fiqhul Ikhtilaf (Terjemahan), Jakarta, Gema Insani Press, 1995
Sedangkan
ikhtilaf disebabkan faktor
pemikiran merupakan sebuah kemestian di
dalam Islam. Setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan seperti ini:
1. Tabiat Agama Islam
Hal ini setidaknya tercermin dalam hukum Islam yang mempunyai sifat manshuh 'alaih
(ditegaskan dengan eksplisit) dan ada pula yang Maskut'anhu (ditegaskan dengan implisit).
Juga diketemukan hukum atau ayat yang muhkamat (jelas, terperinci) ataupun yang
mutasyabihat (tersembunyi, dan perlu ta'wil lebih jauh). Ada juga yang mempunyai sifat
qath'iyyah (pasti) atau dhanniyat (belum pasti), ada yang sharih (jelas) ada juga yang
mu'awwal (memungkinkan penafsiran).
2. Tabiat Bahasa (Arab)
Tidak diragukan lagi yang menjadikan perbedaan pemikiran
adalah
sumber ambilan
utama di mana dihantarkan dalam bahasa Arab. Khususnya perbincangan dalam lafazh.
Ada kecenderungan lafazh yang mempunyai banyak arti (musytarak) dan ada yang
memiliki makna majas (kiasan). Ada juga lafazh yang mempunyai sifat khash (khusus)
adapula yang mempunyai sifat 'aam. Ada lafazh yang mempunyai sifat rajih (kuat) ada
yang kurang kuat (marjuhah).
3. Tabiat Manusia
Dalam mensikapi sebuah hukum yang cenderung variatif, kebanyakan manusia menuruti
kecenderungan yang selaras dengan kondisi yang melekat. Perbedaan sifat-sifat manusia
dan kecenderungan psikologisnya ini akan mengakibatkan perbedaan mereka dalam
menilai sesuatu, baik dalam sikap dan perbuatan. Perbedaan ini nampak dalam fiqh, politik,
perilaku sehari-hari dan lain sebagainya.
4. Tabiat Alam dan kehidupan
Tabiat alam yang ditempati manusia mempunyai corak topograsi, geografi, iklim dan
cuaca yang berbeda. Perbedaan lingkungan memberikan pengaruh yang cukup besar dalam
pemikiran seseorang, semisal orang yang tinggal di gurun pasir mungkin akan berbeda
dengan orang yang tinggal di desa yang subur. Mazhab fiqh seringkali berbeda tidak bisa
dilepaskan dari kondisi alam sekitar yang memang menghendaki pemikiran lebih lanjut
(kontekstual).
Download