POLA ANGGARAN DALAM ERA DESENTRALISASI

advertisement
ANGGARAN BKKBN DALAM ERA DESENTRALISASI
Oleh:
Djoko Hidayanto, SE, MM
Sekretaris Direktorat Jenderal PKPD
Pendahuluan
•
Dengan telah dilaksanakannya otonomi secara utuh sejak tahun 2001, maka
berdasarkan UU 22 Tahun 1999 kepada Daerah diberikan keleluasaan untuk
menyelenggarakan
pemerintahan
yang
mencakup
seluruh
bidang
pemerintahan, kecuali bidang-bidang yang berdasar UU telah ditetapkan
sebagai kewenangan Pusat. Keleluasaan otonomi ini mencakup pula
kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan pemerintahan,
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan
evaluasi.
•
Pembagian kewenangan diatur dalam UU 22/1999, di mana pada dasarnya
seluruh kewenangan ada di Daerah, kecuali kewenangan di bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan bidang lain. Secara rinci pembagian kewenangan antara Pusat
dan
Provinsi
diatur
dalam
PP
25/2000,
sedangkan
kewenangan
Kabupaten/Kota adalah seluruh kewenangan di luar yang telah menjadi
kewenangan Pusat dan Provinsi. Kewenangan Pusat di luar 5 kewenangan
yang tidak diserahkan adalah kewenangan yang bersifat perencanaan makro,
penetapan pedoman, norma, kriteria, dan standar. Sementara kewenangan
Provinsi adalah yang bersifat lintas Kabupaten/Kota dalam Provinsi yang
bersangkutan.
•
Dengan desentralisasi ini, maka secara umum hal-hal yang berkait dengan
stabilisasi dan distribusi dilakukan oleh Pemerintah yang tingkatannya lebih
tinggi (Pemerintah Pusat), sementara fungsi alokasi akan lebih banyak
dilaksanakan oleh Daerah, karena Daerah lebih dekat kepada masyarakat
sehingga dapat diketahui prioritas dan kebutuhan masyarakat setempat.
•
Terkait dengan penyelenggaraan keluarga berencana nasional, maka
berdasarkan PP 25 Tahun 2000, pemerintah pusat mempunyai kewenangan
untuk melakukan penetapan kebijakan pengendalian angka kelahiran dan
penurunan angka kematian ibu, bayi, dan anak, serta kewenangan untuk
menetapkan pedoman pengembangan kualitas keluarga. Terlihat jelas di sini
bahwa yang masih termasuk sebagai kewenangan Pusat (yang akan
dilaksanakan oleh BKKBN secara langsung) adalah kewenangan yang sifatnya
makro seperti perencanaan, penetapan kebijakan nasional, dan pedoman.
Sementara
kewenangan
selain
yang
diatur
PP
25/2000
merupakan
kewenangan Daerah. Namun demikian, sebagaimana diketahui bahwa
berdasarkan Keppres 103 Tahun 2001, kewenangan yang ada di BKKBN
sampai saat ini masih dipegang oleh Pusat (belum diserahkan kepada
Daerah). Kewenangan di lingkup BKKBN harus diserahkan kepada Daerah
selambat-lambatnya Desember Tahun 2003.
•
Pertanyaan yang mungkin akan timbul dalam kaitannya dengan proses
penyerahan kewenangan ini, antara lain “Bagaimanakah kaitan antara
decentralization of authority (khususnya di lingkungan BKKBN) ini dengan
fiscal decentralization?”, atau juga pertanyaan selanjutnya “Bagaimanakah
pola pembiayaan ke depan setelah dilakukannya penyerahan kewenangan?
Kaitan Desentralisasi Kewenangan dengan Desentralisasi Fiskal
•
Prinsip utama yang menghubungkan antara Desentralisasi kewenangan
dengan pembiayaan desentralisasi adalah konsep “Money followss function”,
yang berarti bahwa
kewenangan yang diserahkan kepada Daerah harus
diikuti dengan pembiayaan yang sesuai dengan besarnya beban kewenangan
tersebut. Dalam hal ini, maka sumber-sumber penerimaan negara yang
sebelumnya ada di Pusat juga harus sebagian diturunkan ke Daerah. Hal
inilah
yang
selanjutnya
decentralization).
disebut
sebagai
desentralisasi
fiskal
(fiscal
•
Secara konseptual, penerapan konsep “Money followss function” menurut UU
25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah tidaklah dilakukan secara langsung (penyerahan kewenangan
langsung
diikuti
dengan
penyerahan
sumber
dana
sesuai
beban
kewenangan). Hal tersebut karena sampai saat ini tidak ada ukuran baku
yang dapat menghubungkan antara beban kewenangan dengan beban
pembiayaan. Konsep “Money follows function” hanya dapat diperkirakan
secara agregat berdasarkan pendekatan kualitatif dan sedikit pendekatan
kuantitatif. Konsep ini belum dapat diterapkan sampai pada tingkat yang lebih
detail.
•
Implementasi konsepsi “Money follows function” berdasarkan UU 25/1999
dilakukan dengan memberikan sumber-sumber pembiayaan yang (jauh) lebih
besar kepada Daerah. Berdasarkan UU di bidang otonomi Daerah, secara
utuh desentralisasi fiskal mengandung pengertian bahwa kepada Daerah
diberikan
(1)
kewenangan
untuk
memanfaatkan,
memobilisasi,
dan
mengelola sumber keuangan sendiri, dan didukung dengan (2) perimbangan
keuangan antara Pusat dan Daerah. Kewenangan untuk mengoptimalkan
sumber keuangan Daerah sendiri dilakukan melalui peningkatan kapasitas
PAD, sedangkan perimbangan keuangan dilakukan melalui pengalokasian
Dana Perimbangan.
•
Sebagai
konsekuensi
dari
pengejawantahan
makna
otonomi,
maka
pergeseran sumber dana yang cukup besar kepada Daerah tadi juga
dibarengi dengan kenyataan bahwa Daerah akan mempunyai fleksibilitas
yang cukup tinggi, atau bahkan diskresi penuh dalam pemanfaatan sumbersumber utama pembiayaan tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa dana
yang disalurkan melalui Dana Perimbangan, yaitu Bagi Hasil dan Dana Alokasi
Umum bersifat block grants, sehingga Daerah mempunyai keleluasaan untuk
memanfaatkan seoptimal mungkin sesuai dengan prioritas kebutuhan
mereka. Demikian juga dengan PAD yang tentu saja merupakan kewenangan
penuh bagi Daerah untuk mengalokasikannya.
•
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat kita lihat bahwa sebenarnya
pengalihan beban sebagai konsekuensi dari penyerahan kewenangan tidaklah
sepenuhnya in line dengan penyerahan pembiayaannya. Penyerahan personil,
peralatan, dan dokumen “mungkin” peruntukannya cukup jelas karena
pengalihannya dilaksanakan sesuai dengan fungsi dan satuan kerjanya
(personil/asset/dokumen
di
lingkungan
BKKBN
menjadi
personil/asset/dokumen Dinas/Unit Pelaksana di Daerah yang menangani
keluarga berencana). Sebaliknya, pengalihan pembiayaan dilakukan dengan
memberikan pot sumber dana baru, seperti ekspansi sumber Bagi Hasil dan
pemberian Dana Alokasi Umum (DAU) yang jumlahnya jauh lebih besar dari
pot sumber dana yang ada sebelumnya (melalui DRD/DPD dan Bagi Hasil).
Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan secara langsung antara
beban yang diserahkan kepada Daerah dengan besaran sumber dana yang
juga diserahkan kepada Daerah atau dengan kata lain tidak ada one to one
relation antara beban kerja dengan sumber dana.
•
Secara umum, besar kemungkinan hal tersebut akan menyebabkan
ketidakselarasan antara beban kerja yang diserahkan dengan sumber
pembiayaannya (financing sourcse mismatch). Akan terjadi suatu keadaan
(hal ini telah terbukti pada tahun 2001), bahwa suatu Daerah akan menerima
sumber dana yang luar biasa besar (baik dari Bagi Hasil maupun DAU)
sehingga jauh melebihi besaran beban yang diserahkan kepadanya. Atau
keadaan lain yang juga terjadi adalah suatu Daerah menerima beban kerja
yang melebihi atau bahkan jauh melebihi sumber dana yang diserahkan
kepadanya.
•
Pada tahun 2001, hal ini diselesaikan dengan memberikan dana kontinjensi
kepada Daerah. Tentu saja hal ini tidak dapat dijadikan sebagai acuan,
karena pada dasarnya dana kontinjensi ini bersifat temporer (hanya diberikan
pada tahun 2001 saja). Bahkan secara jujur seharusnya diakui bahwa
pemberian
dana
kontinjensi
ini
menunjukkan
lemahnya
mekanisme
perencanaan pada saat terjadinya proses pengalihan P3D dari Pusat ke
Daerah.
•
Mengingat hal tersebut, maka seyogyanya dalam proses pengalihan P3D ke
depan harus dilakukan secara hati-hati dan cermat, serta terpola dengan
baik. Hal ini dimaksudkan agar pengalihan beban (minimal beban personil)
dapat terukur dengan baik untuk setiap Daerah. Apabila pengalihan beban
personil (gaji) dapat terukur secara baik untuk setiap Daerah, maka data
beban personil tadi dapat secara cermat dimasukkan dalam variabel
penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU). Meskipun demikian, harus disadari
bahwa sebenarnya tidak ada one to one relation antara gaji PNS dengan
DAU, namun dalam masa transisi otonomi ini hal tersebut sedikit banyak
masih
diperhitungkan.
Hal
ini
diharapkan
dapat
menjadi
alternatif
penyelesaian dalam proses pengalihan P3D.
Pola Pembiayaan ke Depan
•
Dengan diberlakukannya UU di bidang otonomi Daerah, maka pada dasarnya
pola pembiayaan di Daerah pada dasarnya terbagi ke dalam 3 (tiga) scheme,
yaitu:
a. Pola Pembiayaan Desentralisasi;
b. Pola Pembiayaan Dekonsentrasi; dan
c. Pola Pembiayaan Tugas Pembantuan.
•
Secara konseptual, benang merah ataupun dasar pelaksanaan ketiga pola
pembiayaan tersebut diatas adalah sebagai berikut:
a. Desentralisasi Æ kewenangan telah diserahkan sepenuhnya menjadi
kewenangan Daerah dan pembiayaannya diambilkan dari sumber-sumber
penerimaan Daerah yang ada. Sumber-sumber penerimaan Daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi telah diatur secara tegas dalam UU
25/1999, yaitu PAD, Dana Perimbangan (Bagi Hasil, DAU, dan DAK),
Pinjaman Daerah, dan Lain-lain Penerimaan Yang Sah. Dengan demikian
untuk pembahasan mengenai desentralisasi ini akan lebih banyak
berbicara
tentang
apa
dan
bagaimana
Daerah
melaksanakan
kewenangan-kewenangan yang ada padanya.
b. Dekonsentrasi dan atau Tugas Pembantuan Æ kewenangan adalah
kewenangan Pusat yang selanjutnya dilaksanakan oleh Daerah dengan
pembiayaan tetap dari Pusat (APBN). Dengan demikian pembahasan
mengenai dekonsentrasi dan tugas pembantuan akan didominasi oleh apa
dan bagaimana Pusat mengelola kewenangan yang ada padanya untuk
dilaksanakan oleh Daerah sesuai kemampuan dan kebutuhan serta
kepentingan dari Pusat dan Daerah.
•
Dengan mekanisme pembiayaan dekonsentrasi dan atau tugas pembantuan
ini, Pemerintah Pusat dapat meminta Daerah untuk melaksanakannya dengan
pembiayaan/pendanaan, perencanaan, pengawasan, dan pengendalian dari
Pusat. Hal ini dilakukan karena biasanya Pemerintah Pusat tidak punya cukup
orang untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut dan selain itu kegiatan
tersebut juga berkaitan dengan kepentingan Daerah.
•
Sumber pembiayaan bagi pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan
adalah menjadi beban APBN. Dalam hal ini, anggaran tersebut akan terlihat
pada anggaran dari masing-masing Departemen dan LPND. Dekonsentrasi
dan Tugas Pembantuan merupakan pengejawantahan dari kewenangan dan
kepentingan Pusat yang ingin dilaksanakan di Daerah, namun karena
terbatasnya sumber daya maka dilaksanakan oleh Daerah.
•
Dalam UU 25/1999 disebutkan bahwa terdapat suatu masa transisi selama 2
tahun untuk pembiayaan langsung dari APBN bagi proyek-proyek yang
seharusnya didesentralisasikan. Setelah lewat masa 2 (dua) tahun masa
transisi tersebut maka untuk selanjutnya (dimulai tahun 2003) berarti proyekproyek tersebut harus didesentralisasikan apabila menyangkut kewenangan
Daerah sedangkan apabila merupakan kewenangan Pusat digunakan
mekanisme Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Karena alasan masa
transisi inilah maka sampai saat ini anggaran pembangunan dalam APBN
2001 maupun 2002 masih sangat besar.
•
Ke depan, seiring dengan semakin mantapnya pelaksanaan desentralisasi,
maka “seharusnya” anggaran yang termuat dalam Anggaran Pembangunan di
APBN harus semakin berkurang dan memberikan porsi yang lebih besar
kepada anggaran yang didaerahkan melalui Dana Perimbangan. Harus diakui
bahwa kondisi semacam itu pasti akan banyak menimbulkan resistensi,
terutama dari Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang
membidangi hal-hal teknis. Oleh karena itulah diperlukan strategi-strategi
khusus
guna
menyiasati
kemungkinan
macetnya
penyelenggaraan
pembangunan karena permasalahan ini.
•
Strategi inilah yang sampai saat ini masih dibahas secara intensif oleh
Departemen
Keuangan.
Diharapkan
dengan
strategi
ini
proses
penyelenggaraan pembangunan di Daerah dapat berjalan dengan baik, yaitu
dimana
untuk
hal-hal
yang
menyangkut
kepentingan
nasional
dan
penjaminan kualitas pelayanan masyarakat yang setara bagi seluruh warga
negara, maka Pemerintah Pusat (melalui Departemen Teknis) masih
mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan kewenangan dengan pola
pembiayaan Dekonsentrasi dan atau Tugas Pembantuan.
•
Guna menjamin kualitas pelayanan umum yang setara bagi seluruh warga
negara, maka perlu diidentifikasi jenis pelayanan umum apa yang paling
krusial bagi Daerah dan apa yang paling diperlukan untuk menjamin
kesetaraan kualitasnya. Perlu dilakukan identifikasi Daerah-Daerah mana
yang mengalami keadaan kemampuan keuangan yang tidak memadai,
sehingga Daerah-daerah inilah yang seharusnya mendapatkan dukungan dari
Pusat melalui pembiayaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Penutup
•
Pada dasarnya otonomi Daerah akan memberikan konsekuensi kepada
penyerahan kewenangan dari Pusat ke Daerah, dan sebagai konsekuensinya
sumber dana juga banyak bergeser ke Daerah. Namun demikian, pola
pengalihan dari Pusat ke Daerah yang terjadi di Indonesia mempunyai
potensi permasalahan, terutama ketidaksesuaian antara beban yang dialihkan
dengan besaran dana yang dialihkan.
•
Seyogyanya dalam proses pengalihan P3D ke depan pengalihan beban
(minimal beban personil) dapat terukur dengan baik untuk setiap Daerah.
Apabila pengalihan beban personil (gaji) dapat terukur secara baik untuk
setiap Daerah, maka data beban personil tadi dapat secara cermat
dimasukkan dalam variabel penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU).
•
Dengan telah diserahkannya kewenangan dan sumber-sumber pembiayaan
(melalui pola desentralisasi), maka “seharusnya” anggaran yang termuat
dalam Anggaran anggaran yang dikelola oleh Departemen teknis dalam APBN
harus semakin berkurang dan memberikan porsi yang lebih besar kepada
anggaran yang didaerahkan melalui Dana Perimbangan.
•
Namun demikian, dalam masa transisi dimana Daerah sendiri masih banyak
mempunyai permasalahan, dan selain itu Pusat sendiri belum “sepenuhnya”
menyerahkan sepenuhnya kewenangan yang seharusnya telah diserahkan,
maka diperlukan rencana/strategi pembiayaan. Diharapkan dengan strategi
ini proses penyelenggaraan pembangunan di Daerah dapat berjalan dengan
baik, yaitu dimana untuk hal-hal yang menyangkut kepentingan nasional dan
penjaminan kualitas pelayanan masyarakat yang setara bagi seluruh warga
negara, Pemerintah Pusat (melalui Departemen Teknis) masih mempunyai
kewajiban untuk menyelenggarakan kewenangan dengan pola pembiayaan
Dekonsentrasi dan atau Tugas Pembantuan.
Download