FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN YANG BERPENGARUH

advertisement
0
TESIS
FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN YANG BERPENGARUH
TERHADAP KEJADIAN LEPTOSPIROSIS BERAT
(Studi Kasus di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang)
Untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai sarjana S-2
Magister Epidemiologi
Dwi Sarwani Sri Rejeki
NIM. E4D003051
PROGRAM STUDI EPIDEMIOLOGI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2005
1
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil pekerjaan saya
sendiri dan didalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya.
Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun yang belum/tidak
diterbitkan, sumbernya dijelaskan di dalam tulisan dan daftar pustaka.
Semarang, Nopember 2005
2
TESIS
FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN YANG BERPENGARUH TERHADAP
KEJADIAN LEPTOSPIROSIS BERAT
(Studi Kasus di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang)
Telah dipertahankan di depan tim penguji pada tanggal 28 Nopember 2005
Dinyatakan memenuhi syarat untuk diterima
Menyetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. dr. Suharyo Hadisaputro, Sp.PD
Penguji I
dr. Sakundarno Adi, MSc
Penguji II
Drg. Henry Setyawan, MSc
dr. Hussein Gasem, Sp. PD, PhD
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Epidemiologi
Prof. Dr. dr. Suharyo Hadisaputro, Sp.PD
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
Rahmat dan Hidayat-Nya sehingga tesis dengan judul “ Faktor Risiko Lingkungan
Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis Berat (Studi Kasus di Rumah
Sakit Dr. Kariadi Semarang)” dapat diselesaikan.
Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas akhir untuk
menyelesaikan studi pada Program Magister Epidemiologi Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro Semarang.
Terima kasih sebesar-besarnya dan penghargaan yang tinggi penulis
sampaikan kepada Prof. Dr. dr. Suharyo Hadisaputro, Sp.PD (KTI) dan dr. M.
Sakundarno Adi, MSc, selaku pembimbing utama dan pembimbing anggota, yang
telah meluangkan waktu membimbing kami dengan penuh perhatian dan kesabaran.
Dalam kesempatan ini pula, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. dr. Suharyo Hadisaputro, Sp.PD (KTI), selaku Direktur Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro dan Ketua Program Studi Magister
Epidemiologi Universitas Diponegoro Semarang.
2. Dr. M Hussein Gasem, Sp. PD, PhD dan Drg. Henry Setiawan MSc selaku
narasumber dan penguji yang telah memberikan masukan demi perbaikan tesis
ini.
3. Direktur RS Dr. Kariadi Semarang, yang telah memberikan ijin kepada penulis
untuk melakukan pengambilan data di bagian rekam medik.
4
4. Kepala bagian rekam medik dan staf, yang telah membantu penulis dalam
pengambilan data di bagian rekam medik
5. Suami tercinta Kabul Raharjo dan anakku tersayang Rafi yang telah banyak
memberikan
dukungan
dan
pengertiannya
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan studi
6. Orang tua yang selalu mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan
studi
7. Teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Epidemiologi Undip, yang
telah membantu sumbangan pikiran, serta lainnya yang tidak bisa kami sebut
satu per satu.
Kami menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik
kami harapkan demi kesempurnaan karya-karya kami di masa mendatang. Akhirnya
harapan kami semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.
Semarang,
Nopember 2005
5
Program Studi Magister Epidemiologi
Program Pasca Sarjana Undip
2005
ABSTRAK
Dwi Sarwani Sri Rejeki
Faktor Risiko Lingkungan Yang Berpengaruh
Terhadap Kejadian Leptospirosis Berat
(Studi Kasus di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang)
xiii + 115 halaman + 20 tabel + 4 grafik + 5 bagan + 6 lampiran
Latar belakang: Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang
manusia maupun hewan (zoonosis). Di Indonesia Leptospirosis tersebar di beberapa
propinsi dan ada beberapa daerah endemis. Angka kematian leptospirosis di
Indonesai cukup tinggi. Kota Semarang daerah endemis leptospirosis dengan insiden
1,2/100.000 dan mortalitas 16,7%. Ada keterkaitan antara faktor lingkungan dengan
kejadian leptospirosis.
Tujuan: Penelitian ini untuk mengetahui faktor risiko lingkungan yang terdiri dari
lingkungan fisik, biologik, kimia, sosial, ekonomi dan budaya yang mempengaruhi
kejadian leptospirosis berat.
Metode: Jenis penelitian adalah observasional dengan rancangan kasus kontrol.
Jumlah sampel 63 kasus dan 63 kontrol. Kasus adalah pasien yang ditemukan di RS
Dr. Kariadi Semarang yang didiagnosis secara klinis dan konfirmasi laboratorik
menderita leptospirosis berat. Kontrol adalah pasien yang ditemukan di RS Dr.
Kariadi Semarang yang didiagnosis secara klinis tidak menderita laptopirosis berat.
Kontrol tidak menderita penyakit infeksi dan masuk pada hari yang sama dengan
kasus. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dan analisis multvariat
dengan metode regresi logistik.
Hasil: Beberapa faktor lingkungan fisik yang merupakan faktor risiko kejadian
leptospirosis berat adalah adanya sampah di dalam rumah OR = 5,1 95% CI 1,8-14,7;
curah hujan >= 177,5 mm OR=5,7; 95% CI 1,9-17,3; jarak rumah dengan selokan <
2,0 meter OR=5,3; 95% CI 1,8-15,7. Faktor lingkungan biologik yang merupakan
faktor risiko kejadian leptospirosis berat adalah adanya tikus di dalam dan sekitar
OR=3,7; 95% CI 7,7 –194,4.
Saran: Upaya yang perlu dilakukan untuk mengurangi penularan leptospirosis antara
lain penanganan sampah di rumah secara benar, menjaga kebersihan rumah dan
lingkungan, memberantas tikus dan saat musim hujan agar menghindari terkena air
tergenang apalagi kalau punya luka terbuka.
Kata Kunci : leptospirosis berat, faktor risiko lingkungan, analisis multivariat
Kepustakaan : 48 (1987 – 2004)
Master's Degree of Epidemiology
6
Postgraduate Program
Diponegoro University
2005
ABSTRACT
Dwi Sarwani Sri Rejeki
Influencing Environmental Risk Factors to the Occurrence of Severe Leptospirosis
(Case Study in Dr. Kariadi Hospital in Semarang)
xiii + 115 pages + 20 tables + 4 graphics + 5 schemas + 6 enclosures
Background: Leptospirosis is an acute febrile illness infecting human and animal
(zoonosis). In Indonesia, leptospirosis spreads in several provinces and in other
endemic places. Case Fatality Rate of leptospirosis is very high. Semarang city is an
endemic area for leptospirosis with incidence rate 1,2/100.000 and mortality rate of
16,7%.
Objective: To know the environmental risk factors including physical environment,
biological environment, chemical environment, social environment, economic
environment, and cultural environment that influence an occurrence of severe
leptospirosis.
Method: Observational research using case control approach. Number of samples are
63 cases and 63 controls. Cases are severe leptospirosis patients who were admitted
to Dr. Kariadi Hospital, diagnosed clinically, and confirmed by laboratory. Controls
are patients who were admitted to Dr. Kariadi Hospital and diagnosed clinically did
not suffer from severe leptospirosis. Controls did not suffer an infection disease and
admitted on the same day as cases. Data analyzing was performed using univariate,
bivariate, and multivariate logistic regression method.
Result: Physical environment that influenced the occurrence of severe leptospirosis
were an availability of garbage inside a house (OR = 5,1; 95%CI: 1,8-14,7); rainfall ≥
177,5 mm (OR = 5,7; 95%CI: 1,9-17,3); and a distance from a house to a sewer < 2,0
m (OR = 5,3; 95%CI: 1,8-15,7). The biological environmental risk factor that
influenced the occurrence of severe leptospirosis was an availability of rats inside and
outside of the house (OR = 38,7; 95%CI: 7,7-194,4).
Suggestion: In order to reduce a transmission of leptospirosis, it needs to manage
garbage at a house well, to keep clean at a house, to eliminate a rat, and while rainy
season people should avoid contact with stagnant water.
Key Words
: Severe Leptospirosis, Environmental Risk Factors, Multivariate
Analysis
Bibliography : 48 (1987-2004)
7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia
maupun hewan (zoonosis). Penyakit ini disebabkan oleh leptospira bakteri aerob
(termasuk golongan spirochaeta) yang berbentuk spiral dan bergerak aktif
1)
.
Leptospirosis merupakan zoonosis yang paling tersebar luas di dunia. Penyakit ini
pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan gejala panas
tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit
dengan gejala tersebut diatas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai “Weil’s
Disease”. Pada tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa Weil’s Disease
disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. Sejak itu beberapa jenis
leptospira dapat diisolasi dengan baik dari manusia maupun hewan. 2,3)
Spesies Leptospira interogans sendiri terdiri dari 23 serogroups dan 240
serotypes (serovars).4) Yang paling sering menimbulkan penyakit berat dan fatal
adalah serotype icterohemorrahgiae. Leptospira bisa terdapat pada binatang
peliharaan seperti anjing, sapi, babi, kerbau, maupun binatang liar seperti tikus,
musang, tupai dll. Di dalam tubuh hewan-hewan ini (juga berlaku sebagai
penjamu reservoar) leptospira hidup di ginjal dan air kemihnya.5) Manusia bisa
terinfeksi bakteri leptospira karena kontak dengan air atau tanah yang
8
terkontaminasi oleh urin atau cairan tubuh lainnya dari hewan yang terinfeksi
bakteri leptospira. Leptospira masuk lewat kulit yang luka atau
membran
mukosa.6,7)
Di negara subtropik infeksi leptospira jarang ditemukan. Iklim yang cocok
untuk perkembangan leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang
lembab/basah dan pH alkalis. Keadaan yang demikian dapat dijumpai di negara
tropik sepanjang tahun. 8) Di negara beriklim tropik, kejadian leptospirosis lebih
banyak 1000 kali dibandingkan dengan negara subtropik dengan risiko penyakit
lebih berat.
9)
Angka insiden leptospirosis di negara tropik basah 5-20/100.000
per tahun.10)
Leptospirosis tersebar baik di Indonesia maupun luar Indonesia. Angka
insidens leptospirosis di New Zaeland antara tahun 1990 sampai 1998 sebesar 44
per 100.000. Angka insiden tertinggi terjadi pada pekerja yang berhubungan
dengan daging (163,5/100.000), peternak (91,7/100.000) dan pekerja yang
berhubungan dengan hutan sebesar 24,1 per 100.000.11) Di Brazil, kira-kira
10.000 kasus dilaporkan tiap tahun dari semua kota besar.12)
Di Indonesia dilaporkan di dalam risalah Partoatmodjo (1964) bahwa sejak
1936 telah diisolasi berbagai serovar leptospira, baik dari hewan liar maupun
hewan peliharaan. Di Indonesia leptospirosis tersebar antara lain di Propinsi Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu,
9
Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. 2)
Angka kematian leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, bisa mencapai
2,5-16,45%. Pada usia lebih 50 tahun kematian bisa sampai 56%. Penderita
Leptospirosis yang disertai selaput mata berwarna kuning (kerusakan jaringan
hati), risiko kematian akan lebih tinggi. 2) Di beberapa publikasi angka kematian
dilaporkan antara 3%-54% tergantung sistem organ yang terinfeksi.13)
Hasil spot survei yang dilakukan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia pada tahun 1994/1995 memeriksa spesimen dengan menggunakan
Leptotek di 5 propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Bali dan NTB
melaporkan bahwa 81,67%% positif leptospira. Spot survei tahun 1995/1996
melaporkan 1,81% positif leptospira di 5 propinsi yaitu Sumatra Utara, Sumatra
Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan . Sedangkan tahun
2002 di DKI Jakarta dan Bekasi melaporkan dari 150 spesimen yang diperiksa 73
(48,67%) positif leptospira. 2)
Penyakit secara epidemiologik dipengaruhi oleh 3 faktor pokok yaitu
faktor agent penyakit yang berkaitan dengan penyebab termasuk jumlah,
virulensi, patogenitas bakteri leptospira, faktor kedua yang berkaitan dengan
faktor host (pejamu/tuan rumah/penderita) termasuk di dalamnya keadaan
kebersihan perorangan, keadaan gizi, usia, taraf pendidikan, faktor ketiga yaitu
10
lingkungan, yang termasuk lingkungan fisik, biologik, sosio-ekonomi, budaya.
Pada kejadian leptospirosis ini faktor lingkungan sangat berpengaruh seperti
adanya genangan air dan sanitasi lingkungan yang buruk.
Leptospirosis umumnya menyerang para petani, pekerja perkebunan,
pekerja tambang/selokan, pekerja Rumah Potong Hewan dan militer. Ancaman ini
berlaku pula bagi mereka yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau
atau di sungai seperti berenang.7, 12,) Urmimala Sarkar (2002) mendapatkan bahwa
jenis pekerjaan tukang selokan air mempunyai risiko 2 kali lebih tinggi terkena
leptospirosis (OR=2,25 CI 1,89-7,04). Tempat tinggal yang dekat dengan selokan
air mempunyai risiko 5 kali lebih tinggi terkena leptospirosis (OR=5,15 CI 1,8014,74). Adanya tikus di dalam rumah mempunyai risiko 4 kali lebih tinggi terkena
leptospirosis (OR=4,49 CI 1,57-12,83). Leptospirosis juga dapat menyerang
manusia akibat kondisi seperti banjir, air bah atau saat air konsumsi tercemar oleh
urin hewan. Kontak dengan air selokan mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi
terkena leptospirosis (OR=3,36 CI 1,69-7,25); kontak dengan air banjir
mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi terkena leptospirosis (OR=3,03 CI 1,446,39); kontak dengan
lumpur mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi terkena
leptospirosis (OR=3,08 CI 1,32-5,87).12)
Patogenesis leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Bakteri leptospira
masuk ke dalam tubuh melalui luka di kulit, kunjungtiva dan selaput mukosa yang
11
utuh. Setelah itu bakteri akan bermultiplikasi dan menyebar melalui aliran darah.
Bakteri leptospira akan merusak dinding pembuluh darah kecil sehingga
menimbulkan ekstravasasi sel dan perdarahan.3)
Soeharyo (1996) melakukan studi di Semarang tentang faktor-faktor yang
berkaitan dengan kejadian leptospirosis. Hasil analisis multivariat menunjukkkan
bahwa faktor risiko kejadian leptospirosis yaitu higiene perorangan (kebiasaan
mandi OR=2,48, riwayat adanya luka OR=5,71, perawatan luka OR=2,68),
keadaan sanitasi lingkungan (adanya sistem pembuangan air limbah OR= 2,30
dan aliran air selokan yang tidak baik OR= 3,00). 14) Sedangkan dari hasil analisis
multivariat oleh
Didik Wiharyadi (2004) studi
tentang faktor-faktor risiko
leptospirosis berat di Kota Semarang menunjukkan bahwa faktor risiko riwayat
adanya luka mempunyai risiko 44 kali lebih tinggi untuk terkena leptospirosis,
aktivitas di tempat berair mempunyai risiko 18 kali lebih tinggi untuk terkena
leptospirosis, adanya genangan air mempunyai risiko 13 kali lebih tinggi untuk
terkena leptospirosis dan higiene perorangan jelek mempunyai risiko 11 kali lebih
besar untuk terkena leptospirosis.15)
Kota
Semarang
adalah
daerah
endemis
leptospirosis.
Tampak
kecenderungan penyebaran lokasi penderita dari satu-dua kecamatan menjadi ke
seluruh wilayah Kota Semarang. 16) Kota Semarang adalah satu-satunya daerah di
Indonesia yang melaporkan adanya kasus leptospirosis. Insiden leptospirosis di
12
Kota Semarang 1,2/100.000 dan mortalitasnya 16,7%.17) Bersumber dari
Kelompok Kajian Penyakit Tropik Fakultas Kedokteran Undip-RS Dr. Kariadi
Semarang selama bulan Januari sampai Maret 2004 di Kota Semarang terdapat 26
kasus leptospirosis. Kasus tersebut tersebar secara sporadis, tidak mengelompok
di satu tempat.18) Kota Semarang adalah kota yang sering mengalami banjir saat
musim penghujan, sehingga ada banyak genangan air di beberapa tempat. Ada
juga daerah yang mempunyai kondisi pemukiman yang kumuh, sungai dan
selokan mengenang, sampah menumpuk. Sampah yang menumpuk menjadi
tempat berkembangbiak tikus. Jumlah kasus leptospirosis dari tahun ke tahun di
kota Semarang cenderung meningkat, belum dilakukannya intervensi faktor
lingkungan dalam usaha pemberatasan penyakit leptospirosis dan sistem
surveilans epidemiologi juga belum dilaksanakan maka diperlukan suatu studi
untuk mengetahui apakah faktor risiko lingkungan berpengaruh pada kejadian
leptospirosis berat.
Secara ringkas dari latar belakang di atas dapat diidentifikasi beberapa masalah :
1. Di Indonesia leptospirosis tersebar di beberapa propinsi dan ada beberapa
daerah endemis
2. Angka kematian (mortalitas) leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi 2,516,45%
3. Faktor lingkungan seperti genangan air dan sanitasi lingkungan yang buruk
berpengaruh pada kejadian leptospirosis
13
4. Kota Semarang daerah endemis leptospirosis dengan insiden 1,2/100.000 dan
mortalitas 16,7%.
5. Kondisi kota Semarang yang sering mengalami banjir saat musim penghujan,
sehingga ada banyak genangan air di beberapa tempat. Ada juga daerah yang
mempunyai kondisi pemukiman yang kumuh, sungai dan selokan mengenang,
sampah
menumpuk.
Sampah
yang
menumpuk
menjadi
tempat
berkembangbiak tikus. Adanya jumlah kasus leptopsirosis yang cenderung
meningkat dari tahun ke tahun, juga belum dilakukannya intervensi faktor
lingkungan dalam upaya pemberantasan penyakit leptospirosis dan sistem
surveilans epidemiologi juga belum dilaksanakan maka perlu studi untuk
mengetahui apakah faktor risiko lingkungan berpengaruh pada kejadian
leptospirosis berat.
Berdasarkan pada uraian di atas, maka rumusan masalah umum dalam
penelitian ini adalah “ apakah faktor risiko lingkungan yang terdiri dari
lingkungan fisik, biologik, kimia, sosial, ekonomi dan budaya berpengaruh
terhadap kejadian leptospirosis berat?”. Bila dirinci rumusan masalah adalah
sebagai berikut:
1. Apakah faktor risiko lingkungan fisik seperti kondisi selokan, karakteristik
genangan air, keberadaan sampah, kondisi jalan sekitar rumah, curah hujan,
jarak rumah dengan selokan, kondisi tempat pengumpulan sampah, topografi
mempengaruhi kejadian leptospirosis berat ?
14
2. Apakah faktor risiko lingkungan biologik seperti keberadaan tikus di dalam
dan sekitar rumah, kepemilikan hewan piaraan sebagai hospes perantara
mempengaruhi kejadian leptospirosis berat ?
3. Apakah faktor risiko lingkungan kimia seperti pH tanah mempengaruhi
kejadian leptospirosis berat ?
4. Apakah faktor risiko lingkungan sosial seperti riwayat peran serta dalam
kegiatan sosial yang berisiko terhadap leptospirosis,
penggunaan alat
pelindung diri mempengaruhi kejadian leptospirosis berat ?
5. Apakah faktor risiko lingkungan ekonomi seperti jumlah pendapatan,
pekerjaan mempengaruhi kejadian leptospirosis berat ?
6. Apakah faktor risiko lingkungan budaya seperti tidak memakai alas kaki di
rumah, mencuci/mandi di sungai mempengaruhi kejadian leptospirosis berat?
B. Tujuan Penelitian
Umum
:
Mengetahui faktor risiko lingkungan yang terdiri dari lingkungan
fisik,
biologik,
kimia,
sosial,
ekonomi
dan
budaya
yang
mempengaruhi kejadian leptospirosis berat.
Khusus
:
1. Mengetahui pengaruh faktor risiko lingkungan fisik seperti kondisi selokan,
karakteristik genangan air, keberadaan sampah, kondisi jalan sekitar rumah,
curah hujan, jarak rumah dengan selokan, kondisi tempat pengumpulan
sampah, topografi terhadap kejadian leptospirosis berat.
15
2. Mengetahui pengaruh faktor risiko lingkungan biologik seperti keberadaan
populasi tikus di alam dan sekitar rumah, kepemilikan hewan piaraan sebagai
hospes perantara terhadap kejadian leptospirosis berat
3. Mengetahui pengaruh faktor risiko lingkungan kimia seperti pH tanah
terhadap kejadian leptospirosis berat
4. Mengetahui pengaruh faktor risiko lingkungan sosial seperti riwayat peran
serta dalam kegiatan sosial yang berisiko terhadap leptospirosis, penggunaan
alat pelindung terhadap kejadian leptospirosis berat
5. Mengetahui pengaruh faktor risiko lingkungan ekonomi seperti jumlah
pendapatan, pekerjaan terhadap kejadian leptospirosis berat
6. Mengetahui pengaruh faktor risiko lingkungan budaya seperti tidak memakai
alas kaki di rumah, mencuci/mandi di sungai terhadap kejadian leptospirosis
berat
C. Keaslian Penelitian
Penelitian yang pernah dilakukan yang berhubungan dengan faktor risiko
leptospirosis seperti pada tabel 1.1.
16
Tabel 1.1 Beberapa Penelitian yang Berhubungan dengan Faktor Risiko
Leptospirosis
Nama
Judul
Variabel yang diteliti
Urmimala
Sarkar et.al
(2000)
PopulationBased
Case
Control
Investigation
of Risk Factors
for
Leptospirosis
during
an
Urban
Epidemic
- Kondisi
sanitasi
tempat tinggal
- Paparan
sumber
kontaminan
- Reservoir
- Aktivitas
yang
berhubungan dengan
pekerjaan
- Penggunaan
sarung
tangan saat bekerja
- Jenis pekerjaan
Kasus
kontrol
David
A
Ashford
(1995)
Asymtomatic
Infection and
Risk Factors
for
Leptospirosis
in Nicaragua
- Sanitasi rumah
- Sumber air
- Jenis
binatang
peliharaan
- Paparan tikus
- Aktivitas pribadi
Cross
sectional
El
Sauce
Nicar
agua
Soeharyo
Hadisaputro
(1997)
Faktor-faktor
Risiko
Leptospirosis
-
Kasus
kontrol
Sema
rang
-
-
Usia penderita
Jenis kelamin
Jenis pekerjaan
Taraf pendidikan
Masalah
hygiene
perorangan
Kadar pH air minum
Letak
geografis
tempat
tinggal
penderita
Keberadaan populasi
tikus
Kebersihan selokan
sekitar rumah
Desain
Temp
at
Salva
dor,
Brazil
Hasil
Hasil
analisis
multivariat :
- Tempat
tinggal dekat
saluran
air
yang
kotor
OR=5,15
- Melihat tikus
di
rumah
OR=4,49
- Melihat
5
atau
lebih
kelompok
tikus
OR=3,90
- Adanya
paparan
kontaminan di
tempat kerja
OR=3,71
Hasil
analisis
multivariat :
- Bertempat
tinggal
di
pedesaan
OR=2,61
- Mengumpulk
an
kayu
OR=2,08
Hasil
analisis
multivariat :
- Kebiasaan
mandi
OR=2,48
- Riwayat
adanya luka
OR=5,71
- Peawatan
luka OR=2,69
- Adanya
selokan
OR=2,30
- Aliran
air
selokan buruk
OR=3,00
17
Nama
Judul
Variabel yang diteliti
Soeharyo
Hadisaputro
(1996)
Faktor-faktor
yang Berkaitan
dengan
Kejadian
Mortalitas
Leptospirosis
- Identitas
penderita
(jenis
kelamin,
pekerjaan,
tempat
tinggal, waktu masuk
rumah sakit)
- Manifestasi klinik
- Hasil
pemeriksaan
laboratorium
Kasus
kontrol
Temp
at
Sema
rang
Didik
Wiharyadi
(2004)
Faktor-faktor
Risiko
Leptospirosis
Berat di Kota
Semarang
-
Kasus
kontrol
Sema
rang
-
Pekerjaan
Sosial ekonomi
Higiene perorangan
Genangan air
Banjir
Sanitasi lingkungan
Aktivitas di tempat
berair
Berjalan
melewati
daerah banjir
Berjalan
melewati
genangan air
Adanya luka
Populasi tikus
pH tanah
Desain
Hasil
Hasil
analisis
diskriminan
- Komplikasi
(+) p=0,0002
- Albumin < 3
gr% p=0,0002
- Bilirubin total
>25mg%
p=0,0003
- Keadaan
anemia
p=0,0005
- Trombositope
nia p=0,0006
- Produksi urin
rendah
p=0,0006
- Kenaikan titer
(+) p=0,0006
- Umur
p=0,0008
Hasil
analisis
mutivariat :
- Riwayat
adanya luka
OR= 44,38
- Aktivitas di
tempat berair
OR=18,1
- Adanya
genangan air
OR=12,93
- Higiene
peroarangan
jelek
OR=11,37
Walaupun ada beberapa variabel yang hampir sama dari penelitian terdahulu,
pada penelitian ini lebih menekankan faktor risiko lingkungan yang lebih
mendalam. Variabel yang berbeda dengan penelitian terdahulu yaitu kondisi
selokan, keberadaan sampah, kondisi jalan sekitar rumah, jarak rumah dengan
selokan, kondisi tempat pengumpulan sampah, riwayat peran serta dalam kegiatan
18
sosial yang berisiko terhadap leptospirosis, penggunaan alat pelindung dan
aktivitas tidak memakai alas kaki di rumah. Maka perlu dilakukan penelitian di
Semarang tentang apakah faktor risiko lingkungan berpengaruh terhadap kejadian
leptospirosis berat.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Dinas Kesehatan dan pemerintah Kota Semarang
Sebagai bahan informasi yang berkaitan dengan faktor risiko lingkungan yang
berpengaruh pada kejadian leptospirosis berat sehingga dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pertimbangan untuk menetapkan kebijakan dan perencanaan
dalam rangka program pencegahan dan pemberantasan leptospirosis
2. Penulis
Sebagai pengalaman dalam menyusun rencana, melaksanakan dan menulis
hasil penelitian dalam bentuk tulisan ilmiah
3. Peneliti lain
Dapat digunakan sebagai bahan informasi bila ingin melakukan penelitian
lebih luas dan dalam.
19
E. Ruang Lingkup Penelitian
1. Ruang lingkup masalah
Permasalahan hanya dibatasi pada faktor risiko lingkungan yang berpengaruh
terhadap kejadian leptospirosis berat
2. Lingkup keilmuan
Penelitian ini termasuk dalam bidang ilmu kesehatan masyarakat khususnya
dalam bidang epidemiologi dan kesehatan lingkungan
3. Lingkup lokasi
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Gambaran Umum Penyakit Leptospirosis
1. Pengertian
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan bakteri
leptospira. Gejala leptospirosis mirip dengan penyakit infeksi lainnya seperti
influenza, meningitis, hepatitis, demam dengue, demam berdarah dengue dan
demam virus lainnya.18) Penyakit ini mempunyai spektrum manifestasi klinik
yang lebar, bervariasi dari infeksi yang tidak jelas menjadi berbahaya bahkan
mematikan.19,20) Diperkirakan insiden leptospirosis berkisar antara 0,1-1 per
100.000 per tahun di daerah iklim sedang, 10-100 per 100.000 di daerah
tropik (lembab). Selama outbreak dan pada kelompok risiko tinggi insiden
bisa mencapai lebih dari 100 per 100.000.21)
2. Epidemiologi
Leptospirosis umumnya menyerang para petani padi, petani pisang,
petani tebu, pekerja selokan, tentara, pembersih septic tank, peternak, pekerja
RPH, pekerja bendungan dan pekerjaan yang melakukan kontak dengan
binatang.3) Di negara tropik kejadian leptospirosis lebih tinggi dibanding
dengan subtropik karena bakteri leptospira cocok dengan udara yang hangat,
tanah yang lembab dan pH alkalis yang keadaan ini hanya terdapat di negaranegara tropik.8) Kejadian leptospirosis berhubungan dengan musim hujan,
21
dengan meningkatnya kasus dimulai bulan Agustus, dan puncaknya bulan
Oktober.
a. Penyebab penyakit
Bakteri leptospira sebagai penyebab leptospirosis berbentuk spiral
termasuk dalam Ordo Spirochaetales dalam famili Leptospiraceae, genus
Leptospira. Lebih dari 170 serotypes dari leptospira yang patogen telah
diidentifikasi dan hampir setengahnya terdapat di Indonesia. Bentuk spiral
dengan pilinan yang rapat dan ujung-ujungnya yang bengkok seperti kait
dari bakteri leptospira menyebabkan gerakan leptospira sangat aktif, baik
gerakan
berputar
sepanjang
sumbunya,
maju
mundur,
maupun
melengkung karena ukurannya yang sangat kecil. Bentuk yang berpilin
seperti spiral, tipis, lentur dengan panjang 10-20 mikron dan tebal 0,1
mikron serta memiliki 2 lapis membran. Leptospira hanya dapat dilihat
dengan mikroskop medan gelap atau mikroskop phase kontras. Leptospira
peka terhadap asam dan dapat hidup dalam air tawar selama ± 1 bulan,
tetapi dalam air laut, air selokan dan air kemih yang tidak diencerkan
akan cepat mati .2,16,20,21,22)
b. Reservoir/vektor
Hewan - hewan yang menjadi sumber penularan leptospirosis ialah rodent
( tikus ), babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga,
burung, insektivora ( landak, kelelawar, tupai ), sedangkan rubah dapat
22
sebagai karrier dari leptospira.2) Dilaporkan pada anjing bahwa case
fatality rate-nya antara 10-20%.22)
Ada beberapa serovar (serotipe) leptospira adalah sebagai berikut : L.
ichterohaemorrhagiae, L. bulgarica, L. paidjan, , L. pyrogenes, L.
pomona, L. hardjo, L. grippotyphosa, L. bataviae, L. kremastos, L.
mwogolo.3)
c. Masa inkubasi
Masa inkubasi dari leptospirosis 4-19 hari, rata-rata 10 hari.2, 4,17,24,25)
d. Cara penularan
Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah (lumpur),
tanaman yang telah dikotori oleh air seni dari hewan - hewan penderita
leptospirosis. Bakteri leptospira masuk kedalam tubuh melalui selaput
lendir ( mukosa ) mata, hidung atau kulit yang lecet dan kadang-kadang
melalui saluran cerna dari makanan yang terkontaminasi oleh urin tikus
yang terinfeksi leptospira. Masuknya bakteri leptospira pada hospes secara
kualitatif berkembang bersamaan dengan proses infeksi pada semua
serovar leptospira. Namun masuknya bakteri secara kuantitatif berbeda
bergantung : agent, induk semang, dan lingkungan. Melalui cara lain
dapat saja terjadi yaitu melalui permukaan mukosa misalnya melalui luka
abrasi, mukosa ( cavitas buccae / buccal cavity ), saluran hidung atau
konjungtiva. Bakteri leptospira akan masuk dalam peredaran darah yang
ditandai dengan adanya demam dan berkembang pada target organ serta
23
akan menunjukan gejala infeksi pada organ tersebut. Gambaran klinik
akan bervariasi bergantung dari kondisi manusianya, spesies hewan dan
umurnya. 2)
Dapat dikelompokkan bahwa penularan leptospirosis dapat secara
langsung dan tidak langsung. 17)
Penularan langsung terjadi :
-
Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung bakteri
leptospira masuk ke dalam tubuh pejamu
-
Dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan, terjadi
pada orang yang merawat hewan atau menangani tubuh hewan
misalnya pekerja potong hewan, atau seseorang yang tertular dari
hewan peliharaan
-
Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui
hubungan seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita
leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu
Penularan tidak langsung terjadi melalui genangan air, sungai, danau,
selokan air dan lumpur yang tercemar urin hewan.
Bakteri ini beberapa hari akan tinggal pada organ seperti hati, limfa, ginjal
dengan ditandai perubahan patologis. Mekanisme sistem imunitas tubuh
akan aktif apabila bakteri menjalar ke jaringan hati dan ginjal
berada di tubular ginjal.
serta
24
e. Gejala klinis
Gambaran klinis leptospirosis atas 3 fase yaitu fase pertama : fase
leptospiremia, fase kedua: fase imun dan fase ketiga : fase
penyembuhan.2, 26)
1) Fase Leptospiremia
Demam mendadak tinggi sampai menggigil disertai sakit kepala,
nyeri otot, hiperaestesia pada kulit, mual muntah, diare, bradikardi
relatif, ikterus, injeksi silier mata. Fase ini berlangsung 4-9 hari dan
berakhir dengan menghilangnya gejala klinis untuk sementara.
2) Fase Imun
Dengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi darah, sehingga gambaran
klinis bervariasi dari demam tidak terlalu tinggi, gangguan fungsi
ginjal dan hati, serta gangguan hemostatis dengan manifestasi
perdarahan spontan.
3) Fase Penyembuhan
Fase ini terjadi pada minggu ke 2 - 4 dengan patogenesis yang belum
jelas. Gejala klinis pada penelitian ditemukan berupa demam dengan
atau tanpa muntah, nyeri otot, ikterik, sakit kepala, batuk,
hepatomegali, perdarahan dan menggigil serta splenomegali.
25
Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat,
tetapi untuk pendekatan diagnosis klinis dan penanganannya, para ahli
lebih senang membagi penyakit ini menjadi leptospirosis anikterik (non ikterik) dan leptospirosis ikterik. 2, 3)
1. Leptospirosis anikterik
Sebagian
besar
manifestasi
klinik
leptospirosis
adalah
anikterik, dan ini diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus
leptospirosis di masyarakat. Karena itu jika ditemukan satu kasus
leptospirosis berat maka diperkirakan sedikitnya ada 10 kasus
leptospirosis anikterik atau ringan.
1)
Onset leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan demam
ringan atau tinggi yang umumnya bersifat remiten, nyeri kepala dan
menggigil serta mialgia. Nyeri kepala bisa berat, mirip yang terjadi
pada infeksi dengue, disertai nyeri retro-orbital dan photopobia.
Nyeri otot terutama di daerah betis, punggung dan paha. Nyeri ini
diduga akibat kerusakan otot sehingga creatinin phosphokinase pada
sebagian besar kasus akan meningkat, dan pemeriksaan cretinin
phosphokinase
ini
dapat
untuk
membantu
diagnosis
klinis
leptospirosis. Akibat nyeri betis yang menyolok ini, pasien kadangkadang mengeluh sukar berjalan. Mual, muntah dan anoreksia
dilaporkan oleh sebagian besar pasien. Pemeriksaan fisik yang khas
adalah conjunctival suffusion dan nyeri tekan di daerah betis.
26
Limpadenopati, splenomegali, hepatomegali dan rash macupapular
bisa ditemukan, meskipun jarang. Kelainan mata berupa uveitis dan
iridosiklis dapat dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun
ikterik. Gambaran klinik terpenting leptospirosis anikterik adalah
meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering terlewatkan
diagnosisnya. Dalam fase leptospiremia, bakteri leptospira bisa
ditemukan di dalam cairan serebrospinal, tetapi dalam minggu kedua
bakteri ini menghilang setelah munculnya antibodi ( fase imun ). 1)
Pasien dengan Leptospirosis anikterik pada umumnya tidak
berobat karena
keluhannya bisa sangat ringan. Pada sebagian
pasien, penyakit ini dapat sembuh sendiri ( self - limited ) dan biasanya
gejala kliniknya akan menghilang dalam waktu 2-3 minggu. Karena
gambaran kliniknya mirip penyakit-penyakit demam akut lain, maka
pada setiap kasus dengan keluhan demam, leptospirosis anikterik
harus dipikirkan sebagai salah satu diagnosis bandingnya, apalagi
yang di daerah endemik. Leptospirosis anikterik merupakan penyebab
utama Fever of unknown origin di beberapa negara Asia seperti
Thailand dan Malaysia. Diagnosis banding leptospirosis anikterik
harus mencakup penyakit-penyakit infeksi virus seperti influenza, HIV
seroconversion, infeksi dengue, infeksi hantavirus, hepatitis virus,
infeksi mononukleosis dan juga infeksi bakterial atau parasitik seperti
demam tifoid, bruselosis, riketsiosis dan malaria.1,17)
27
2. Leptospirosis ikterik
Ikterus
umumnya
dianggap
sebagai
indikator
utama
leptospirosis berat. Gagal ginjal akut, ikterus dan manifestasi
perdarahan merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil. Pada
leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase imun
menjadi
tidak
jelas
atau
nampak
overlapping
dengan
fase
leptospiremia. Ada tidaknya fase imun juga dipengaruhi oleh jenis
serovar dan jumlah bakteri leptospira yang menginfeksi, status
imunologik dan nutrisi penderita serta kecepatan memperoleh terapi
yang tepat. Leptospirosis adalah penyebab tersering gagal ginjal akut.
1,17)
Tabel 2.1 : Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik
Sindroma, fase
Gambaran Klinik
Spesimen
Laboratorium
Leptospirosis anikterik
Fase Leptospiremia
(3 -7 hari )
Fase Imun (3-30 hari)
Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, Darah, LCS
nyeri perut, mual, muntah, conjunctiva
suffusion
Demam ringan, nyeri kepala, muntah,
UrIn
Leptospirosis ikterik
Fase Leptospiremia dan
fase Imun ( sering menjadi
satu atau overlapping )
Demam, nyeri kepala, mialgia, ikterik, Darah, LCS x
gagal ginjal, hipotensi, manifestasi minggu I
pendarahan, pneumonitis, pneumonitis Urin x minggu II
hemorhagik, leukositosis
* antara fase Leptospiremia dengan fase imun terdapat periode asimptomatik ( 1 - 3 hari )
28
Dalam periode 1979 - 1982, penyebab kematian leptospirosis
berat di RSUP Dr. Kariadi adalah koma uremikum, syok septik, gagal
kardiorespirasi dan syok
hemorhagik. Angka kematian pasien
leptospirosis ikterik ini adalah 5-15%, sedang di RSUP Dr Kariadi
Semarang antara 30-50% meskipun telah mendapatkan terapi. Faktorfaktor prognostik yang berhubungan dengan kematian pada pasien
leptospirosis adalah oliguria (terutama renal), hiperkalemia, hipotensi,
ronkhi basah paru, dispnea, lekositosis > 12.900 / mm3 dan kelainan
EKG
(repolarisasi) serta adanya infiltrat pada foto radiologik dada.
Pasien leptospirosis berat (ikterik, gagal ginjal dan manifestasi
perdarahan
serta
gangguan
kesadaran
akibat
uremia)
dapat
menunjukan gambaran klinik yang mirip dengan malaria falciparum
berat (demam, ikterik, gagal ginjal dan manifestasi perdarahan serta
kesadaran menurun akibat malaria serebral), haemorrhagic fever with
renal syndrome atau HFRS yang disebabkan oleh infeksi hantavirus
tipe
Dobrava
(demam,
gagal
ginjal
manifestasi
perdarahan,
subconjunctival injection dan kadang-kadang ikterik serta peningkatan
transaminase)
(sindrom
dan demam tifoid berat dengan komplikasi ganda
sepsis,
soporocomateus).1,3,16)
ikterik,
azotemia,
bleeding
tendency,
29
3. Patogenesis
Patogenesis leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Bakteri
leptospira masuk ke dalam tubuh pejamu melalui luka iris/luka abrasi pada
kulit, kunjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus,
bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan
minum air yang terkontaminasi. Meski jarang, pernah dilaporkan penetrasi
bakteri leptospira melalui kulit utuh yang lama terendam air, saat banjir.
Bakteri leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan
oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah 1 atau 2 hari infeksi.
Organisme virulen mengalami multiplikasi di darah dan jaringan, dan
bakteri leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan serebrospinal pada
hari ke-4 sampai 10 perjalanan penyakit. Bakteri leptospira merusak dinding
pembuluh darah kecil, sehingga menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran
dan ekstravasasi sel. Patogenitas bakteri yang penting adalah perlekatannya
pada permukaan sel dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada
bakteri leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan
endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi
perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi
trombosit
disertai
trombositopenia.
Bakteri
leptospira
mempunyai
fosfolipase yaitu suatu hemolisis yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan
membran sel lain yang mengandung fosfolipid. Beberapa strain serovar
Pomona dan Copenhageni mengeluarkan protein sitotosin. In vivo, toksin
30
ini mengakibatkan perubahan histopatologik berupa infiltrasi makrofag dan
sel polimorfonuklear. Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah
ginjal dan hati. Di dalam ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium,
tubulus ginjal dan lumen tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan
menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler,
sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Hipovolemia
akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah satu penyebab
gagal ginjal. Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel-sel hati yang ringan,
pelepasan bilirubin dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular,
kolestasis intrahepatik sampai berkurangnya sekresi bilirubin. Conjungtival
suffusion khususnya perikorneal terjadi karena dilatasi pembuluh darah,
kelainan ini sering dijumpai dan patognomik pada stadium dini. Komplikasi
lain berupa uveitis, iritis, iridoksiklitis yang sering disertai kekeruhan
vitreus dan lentikular. Keberadaan bakteri leptospira di aqueous humor
kadang menimbulkan uveitis kronik berulang. Bakteri leptospira difagosit
oleh sel-sel retikuloendotelial serta mekanisme pertahanan tubuh. Jumlah
organisme semakin berkurang dengan meningkatnya kadar antibodi spesifik
dalam darah. Bakteri leptospira akan dieliminasi dari semua organ kecuali
mata, tubulus proksimal ginjal dan mungkin otak, dimana bakteri leptospira
dapat menetap beberapa minggu atau bulan. Untuk lebih jelasnya
patogenesis leptospirosis dapat dilihat pada bagan berikut ini.
31
Masuk melalui luka di kulit,
kunjungtiva, selaput mukosa utuh
Multiplikasi bakteri dan
menyebar melalui aliran darah
Kerusakan endotel pembuluh
darah kecil : ekstravasasi sel dan
perdarahan
Perubahan patologi di organ dan jaringan
- Ginjal
: nefritis interstisial sampai tubulus, perdarahan
- Hati
: gambaran non spesifik sampai nekrosis
sentrilobular disertai hipertropi dan hiperplasia
sel Kupffer
- Paru : inflamasi interstisial sampai
perdarahan paru
Sumber : Gasem M H., 2003 yang dikutip dari Faine
Bagan 2.1 Patogenesis Leptospirosis
4. Diagnosis klinis dan diagnosis banding
Langkah untuk menegakkan diagnosis dilakukan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pola klinis leptospirosis di
berbagai rumah sakit tidak sama, tergantung dari : jenis bakteri
leptospirosis, kekebalan seseorang, kondisi lingkungan dan lain-lain.17, 27, 28,
29, 30)
32
a. Anamnesis
Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan data
epidemiologis penderita harus jelas karena berhubungan dengan
lingkungan pasien. Identitas pasien ditanyakan : nama, umur, jenis
kelamin, tempat tinggal, jenis pekerjaan dan jangan lupa menanyakan
hewan peliharaan maupun hewan liar dilingkungannya, karena
berhubungan dengan leptospirosis. Keluhan-keluahan khas yang dapat
ditemukan yaitu : demam mendadak, keadaan umum lemah tidak
berdaya, mual, muntah, nafsu makan menurun dan merasa mata semakin
lama semakin bertambah kuning dan sakit otot hebat terutama daerah
betis dan paha. Untuk memudahkan anamnesis dan pencatatan data untuk
surveilan dapat digunakan daftar tilik sebagai berikut.
33
Tabel 2.2 Daftar Tilik untuk Anamnesis
Manifestasi Klinis
Pekerjaan
Kontak dengan air
Kontak dengan hewan
Conjungtival
Petani
Olahraga air
suffusion
(padi/tebu/kelapa
o Berenang
sawit)
o kano/perahu
Sakit kepala
o arum jeram
Peternak
Mialgia (paha dan
Memancing air
betis)
Pekerja lapangan
tawar
o Dengan hewan
Demam
o Tambak ikan
Kontaminasi lain
Anoreksia
o Rumah potong
Malaise
hewan
Muntah
o
Tukang
Diare
daging
Gejala
mirip
Kontak dengan air
influenza
dalam
3 minggu
Abnormalitas
terakhir
fungsi hati
Dokter hewan
Ikterik
Tenaga medis
Hemolisis
Prajurit
Gagal hati
Pemulung
Gagal ginjal
Lainnya (jelaskan)
Meningitis
Ruam kulit
Tanpa gejala
Meninggal
Diare
Lain-lain
(jelaskan)
Sumber dimodifikasi dari : WHO dan Levett, 2003
Kontak langsung:
o Sapi
o Babi
o Domba
o Bebek
o Anjing
o Kucing
o Tikus
o Cecurut
Kontak
tidak
langsung
o Lingkungan
tercemar
urin
hewan
b. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis menonjol yaitu : ikterik,demam, mialgia, nyeri sendi serta
conjungtival suffusion. Conjungtival suffusion dan mialgia merupakan
gejala klinik yang sering ditemukan. Kelainan fisik lain yang ditemukan
yaitu : hepatomegali, splenomegali, kaku kuduk, rangsa meningeal,
hipotensi, ronki paru dan adanya diatesisi hemoragi.
34
c.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk leptospirosis dilakukan juga :
1. Pemeriksaan laboratorium umum
2. Pemeriksaan laboratorium khusus
a.d. 1. Pemeriksaan laboratorium umum
Pemeriksaan laboratorium umum ini tidak terlalu spesifik untuk
menentukan diagnosis leptospirosis.
Termasuk pemeriksaan laboratorium umum yaitu :
a) Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai leukosit, normal atau
menurun, hitung jenis leukosit, terdapat peningkatan jumlah netrofil.
Leukosit dapat mencapai 26.000/mm3 pada keadaan anikterik dan
mencapai 10.000/mm3 sampai 50.000/mm3 pada keadaan ikterik.
Faktor pembekuan darah normal.
b) Pemeriksaan fungsi ginjal
Pada pemeriksaan urin, terdapat albuminuria dan peningkatan
silinder pada fase dini kemudian menghilang dengan cepat. Pada
keadaan berat terdapat pula bilirubinuria, yang dapat mencapai 1
g/hari dengan disertai piuria dan hematuria. Gagal ginjal
kemungkinan besar dialami semua pasien ikterik.
35
c) Pemeriksaan fungsi hati
Pada umumnya fungsi hati normal jika pasien tidak ada gejala
ikterik. Ikterik disebabkan karena bilirubin direk meningkat.
Gangguan fungsi hati ditunjukkan dengan meningkatnya serum
transaminase (serum glutamic oxoloacetic transaminase= SGOT dan
serum glutamic pyruvate transminase = SGPT). Peningkatannya
tidak pasti, dapat tetap normal ataupun meningkat 2-3 kali nilai
normal.
a.d. 2. Pemeriksaan laboratorium khusus
Pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendeteksi keberadaan
bakteri leptospira dapat secara langsung dengan mencari bakteri
leptospira atau antigennya dan secara tidak langsung melalui
pemeriksaan antibodi terhadap bakteri leptospira dengan uji
serologis. Pemeriksaan langsung meliputi kultur, mikroskopis,
inokulasi hewan, (immuno) staining dan reaksi polimerase berantai.
Pemeriksaan langsung dengan isolasi bakteri leptospira patogen
merupakan diagnosis pasti leptospirosis. Sedangkan interpretasi
pemeriksaan tidak langsung harus dikorelasikan dengan gejala klinis
dan data epidemiologis seperti riwayat pajanan dan faktor risiko lain.
36
a) Pemeriksaan Langsung
1) Pemeriksaan mikroskopik dan immunostaining
Pemeriksaan langsung dapat mendeteksi bakteri leptospira dalam
darah, cairan peritoneal dan eksudat pleura, dalam minggu
pertama sakit, khususnya antara hari ke-3-7 dan di dalam urin
pada minggu kedua, untuk didiagnosis definitif leptospirosis.
Bakteri leptospira dapat dilihat dengan mikroskop lapang gelap.
2) Pemeriksaan molekuler
Pemeriksaan molekuler dengan reaksi PCR (Polymerase Chain
Reaction) untuk mendeteksi DNA bakteri leptospira spesifik
dapat dilakukan dengan memakai primer khusus untuk
memperkuat semua strain patogen. Data terbaru pengujian
spesimen manusia menunjukkan bahwa DNA bakteri leptospira
dapat dideteksi pada stadium dini (hari ke-2), dan maksimal 40
hari. Reaksi PCR lebih cepat, sensitif dan spesifik serta lebih
baik dibanding uji serologi dan bakteriologi.
3) Biakan
Spesimen diambil sebelum pemberian antibiotik. Hasil optimal
bila darah, cairan serebrospinal, urin dan jaringan postmertem
segera ditanam ke media, kemudian dikirim ke laboratorium
pada suhu kamar.
37
4) Inokulasi hewan percobaan
Bakteri leptospira virulen dapat menginfeksi hewan percobaan,
oleh karena itu hewan yang dapat dipakai untuk isolasi primer
bakteri leptospira. Umumnya dipakai golden hamsters (umur 4-6
minggu) dan marmut muda (150-175g) yang bukan karier bakteri
leptospira. Isolasi bakteri leptospira dilakukan dengan cara
biakan darah atau cairan peritoneal.
b) Pemeriksaan tidak langsung/serologi
Spesimen untuk pemeriksaan serologi adalah 2 ml serum. Spesimen
serum disimpan dan dikirim dalam keadaan beku dengan dry ice,
(karena pada suhu 20-250 C spesimen hanya tahan beku selama 1-2
hari). Berbagai jenis uji serologi dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 2.3 Jenis Uji Serologi
Microscopic Agglutination Test
(MAT)
Uji carik celup :
- LEPTO Dipstick
- LeptoTek Lateral Flow
Aglutinasi lateks kering (LeptoTek
Dri-Dot)
Indirect Fluorescent Antibody Test
(IFAT)
Indirect haemagglutination test
(IHA)
Uji Aglutinasi lateks
Complement Fixation Test (CFT)
Sumber : WHO, 2003
Macroscopic Slide Agglutination
Test (MSAT)
Enzyme Linked Immunosorbent
Assay (ELISA)
Microcapsule agglutination test
Patoc-Slide Agglutination Test
(PSAT)
Sensitized erythrocyte lysis test
(SEL)
Counter immune electrophoresis
(CIE)
38
1) Microscopic Agglutination Test (MAT)
MAT adalah pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik untuk
mendeteksi titer antibodi aglutinasi, yang terdiri dari IgM atau IgG.
MAT
merupakan
baku
emas
pemeriksaan
serologi
kuman
leptospirosis dan sampai saat ini belum ada uji lain yang lebih spesifik.
Uji MAT bertujuan untuk mengidentifikasi jenis serovar pada manusia
dan hewan, diperlukan panel suspensi bakteri leptospira hidup yang
mencakup semua jenis serovar. Kelemahan MAT karena memerlukan
fasilitas biakan untuk memelihara bakteri leptospira, sedangkan teknik
pemeriksaannya sulit dan lama. Antibodi tidak dapat dideteksi bila
panel bakteri leptospira tidak lengkap dan ada kemungkinan
munculnya serovar baru yang belum diketahui..
2) Macroscopic Slide Agglutination Test (MSAT)
Prinsip uji MSAT sama dengan MAT, namun secara makroskopis, di
atas kaca obyek. Hasil reaksi dinilai secara semi kuantitatif dengan
mata telanjang. Interpretasi hasil sama dengan MAT. Uji MSAT
kurang spesifik dibanding MAT.
3) Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Uji ELISA sering dipakai dan dapat dilakukan dengan reagen
komersial maupun antigen yang dibuat sendiri. Uji ini memakai suatu
antigen yang bersifat spesifik pada genus, dapat mendeteksi antibodi
di kelas IgM dan IgG. Keuntungan uji ELISA untuk mengetahui jenis
39
antibodi, apakah IgM dan IgG. Antibodi IgM merupakan prediksi
leptospirosis sebagai infeksi akut, dan IgG untuk infeksi terdahulu.
Meskipun demikian perlu diingat bahwa antibodi IgM kadang dapat
menetap selama beberapa tahun. Kelemahan tes ELISA kurang
spesifik dibanding MAT :
- Dapat terjadi reaksi silang pada penyakit lain
- Tidak menentukan jenis serovar, sehingga harus dikonfirmasikan
dengan MAT.
4) Uji Serologi Penyaring
Uji serologi penyaring yang praktis, cepat dan sering dipakai sebagai
tes leptospirosis di Indonesia, antara lain :
a) Lepto Dipstick Assay
Lepto Dipstick Assay dapat mendeteksi kuman leptospira-spesifik
IgM dalam serum. Metode ini sederhana, relaitf praktis dan cepat
karena hanya memerlukan waktu antra 2,5 sampai 3 jam.
Pemeriksaan ini menggunakan antigen bakteri leptospira yang
telah difiksasi dan dilekatkan pada pita celup. Sensitifitas
pemeriksaan ini adalah 84,5% dan 92,1% pada serum yang
dikumpulkan dalam periode 1-10 hari dan > 10 hari perjalanan
penyakit. Spesifitas adalah 87,5% dan 94,4% pada serum yang
diambil dalam periode 1-10 hari dan > 10 hari sakit.
40
b) LeptoTek Dri Dot
LeptoTek Dri Dot berdasarkan aglutinasi partikel lateks, harganya
lebih murah, praktis dan cepat karena hasil dapat dilihat dalam 30
detik. Penelitian pada serum-serum pasien yang dikumpulkan
dalam 10 hari pertama sejak sakit, menunjukkan nilai sensitifitas
72,3% dan spesifitas 93,9% tetapi pada serum yang dikumpulkan
setelah 10 hari perjalanan penyakit, sensitifitas 88,2% dan
spesifitas 89,8%. Interpretasi disesuaikan dengan gejala klinis dan
dikonfirmasikan dengan MAT.
c) Leptotek Lateral Flow
Prinsip pemeriksaan sama dengan ELISA, yaitu deteksi leptospira
–specific imunoglobulin M dengan sistem lateral flow. Evaluasi
Leptotek Lateral Flow menunjukkan nilai diagnostik yang baik
dengan sensitivitas 85,8% dan spesifitas 93,6%.
5. Pengobatan penderita/tersangka
Pengobatan terhadap penderita leptospirosis dapat dilakukan dengan
pemberian antibiotik seperti penisilin, streptomisin, tetrasiklin atau
erithromisin. Bermacam-macam antibiotik yang tersebut di atas, menurut
Turner, pemberian penisilin atau tetrasiklin dosis tinggi dapat memberikan
hasil yang sangat baik.
2)
Pemberian doksisiklin 200 mg perminggu dapat
juga melindungi terjadinya leptospirosis.15)
41
6. Pengendalian leptospirosis di masyarakat
Pengendalian leptospirosis di masyarakat sangat terkait dengan
hasil studi faktor - faktor risiko terjadinya leptospirosis. Oleh karena itu
pengendalian leptospirosis terdiri dari pencegahan primer dan pencegahan
sekunder.
Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai
sasaran dapat terhindar dari leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat
promotif, termasuk di sini proteksi spesifik dengan cara vaksinasi.
Sedangkan pencegahan sekunder yang sasarannya adalah orang yang sudah
sakit leptospirosis, dicegah agar orang tersebut terhindar dari komplikasi
yang nantinya akan menyebabkan kematian.15)
Prinsip
mengendalikan
kerja
dan
langkah
pencegahan
primer
adalah
agar tidak terjadi kontak leptospira pada manusia
yang meliputi :
1. Pencegahan hubungan dengan air / tanah yang terkontaminasi.
Pada pekerja yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi leptospira,
misalnya pada pekerja irigasi, petani tebu, pekerja laboratorium,
dokter hewan, pekerja pemotongan hewan, petugas survei di hutan,
pekerja tambang, harus memakai pakaian khusus yang dapat melindungi
kontak dengan bahan yang telah terkontaminasi, misal : sepatu bot,
masker dan sarung tangan. Dianjurkan setelah bekerja, terutama pekerja
laboratorium daan pemotongan hewan untuk mencuci alat - alat kerja
42
dengan sodium hipokhlorit pengenceran 1 : 4000 atau dengan
deterjen.
2. Melindungi sanitasi air minum penduduk.
Dalam hal ini dilakukan pengelolaan air minum yang baik, filtrasi dan
dekhlorinasi untuk mencegah invasi leptospira. pH air sawah diturunkan
menjadi asam dengan pemakaian pupuk / bahan - bahan kimia, sehingga
jumlah dan virulensi leptospira berkurang.
3. Pemberian Vaksinasi.
Vaksinasi diberikan sesuai dengan leptospira di tempat tersebut,
akan memberikan manfaat cukup poten dan aman sebagai pencegahan
bagi pekerja risiko tinggi. Pencegahan dengan serum imun spesifik telah
terbukti melindungi pekerja laboratorium. Vaksinasi terhadap hewan
piaraan efektif untuk mencegah leptospirosis.
4. Pencegahan dengan antibiotik.
Pemberian penisilin 2 juta unit per hari selama 5 hari secara
intramuskuler dianggap dapat melindungi orang-orang dianggap telah
terkontaminasi oleh strain leptospira yang
virulensinya
tinggi.
Doksisiklin dapat juga digunakan untuk pencegahan.
5. Pengendalian hospes perantara leptospira
Rodent yang diduga paling poten sebagai karier leptospira adala tikus.
Untuk itu dapat dilakukan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus,
pemasangan jebakan, penggunaan bahan Rodentisida dan penggunaan
43
predator rodent. Untuk mengatasi agar tikus tidak masuk ke dalam
rumah, sebaiknya dibuat kedap tikus dan bahan-bahan makanan yang
mudah busuk dibuang.
6. Usaha promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara
edukasi, dimana antara daerah satu dengan daerah lain mempunyai
serovar dan epidemi leptospirosis yang berbeda. Seperti diketahui bahwa
leptospirosis merupakan zoonosis klasik pada binatang yang merupakan
sumber infeksi utama, oleh karena itu setiap program edukasi haruslah
melibatkan profesi kesehatan / kedokteran, dokter hewan dan kelompok
lembaga sosial masyarakat yang terlibat.
Pokok-pokok cara pengendalian leptospirosis juga memperhatikan
hasil studi faktor risiko terjadinya leptospirosis, antara lain higiene
perorangan
seperti
kebiasaan
mandi,
riwayat
adanya
luka,
keadaan lingkungan yang tidak bersih, disamping pekerjaan, sosial
ekonomi, populasi tikus dan lain-lain.
B.
Faktor Risiko Lingkungan kejadian leptospirosis
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia.
Lingkungan di sekitar manusia dapat dikategorikan menjadi lingkungan fisik,
biologi, kimia, sosial budaya. Jadi lingkungan adalah kumpulan dari semua
kondisi dari luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan dari
organisme hidup manusia. Definisi kesehatan lingkungan adalah keseimbangan
44
ekologis yang harus ada antara manusia dan lingkungannya agar dapat terjamin
keadaan sehat bagi manusia ( UU No.23 tahun 1992). Lingkungan dan manusia
harus ada keseimbangan, apabila terjadi ketidakseimbangan lingkungan maka
akan menimbulkan berbagai macam penyakit.
Menurut John Gordon triangulasi epidemiologi penyebaran penyakit
keseimbangannya tergantung adanya interaksi tiga faktor dasar epidemiologi
yaitu agent (penyebab penyakit), host (manusia dan karakteristiknya) dan
environment
(lingkungan).
Ketiga
faktor
tersebut
membentuk
model
leptospirosisangle sebagai berikut :
Agent
Host
Lingkungan
Bagan 2.2
Model Triangle Epidemiologi
Jika dalam keadaan seimbang antara ketiga faktor tersebut maka akan
tercipta kondisi sehat pada seseorang/masyarakat. Perubahan pada satu
komponen akan mengubah keseimbangan, sehingga akan mengakibatkan
menaikkan atau menurunkan kejadian penyakit.
45
Perubahan komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya
kesehatan masyarakat pada kejadian leptospirosis ini meliputi :
lingkungan
fisik seperti kondisi selokan, karakteristik genangan air, keberadaan sampah ,
curah hujan, kondisi jalan sekitar rumah saat musim penghujan, jarak rumah
dengan selokan, kondisi tempat pengumpulan sampah, topografi; lingkungan
biologik seperti populasi tikus di dalam dan sekitar rumah, keberadaan hewan
piaraan sebagai hospes perantara; lingkungan kimia seperti pH tanah;
lingkungan sosial seperti riwayat peran serta dalam kegiatan sosial yang
berisiko leptospirosis dan penggunaan alat pelindung diri; lingkungan ekonomi
seperti jumlah pendapatan dan pekerjaan;
lingkungan budaya seperti tidak
memakai alas kaki di rumah dan mencuci/mandi di sungai.
a.
Lingkungan Fisik
1) Karakteristik genangan air
Biasanya yang mudah terjangkit penyakit leptospirosis adalah usia
produktif dengan karakteristik tempat tinggal : merupakan daerah yang
padat penduduknya, banyak pejamu reservoar, lingkungan yang sering
tergenang air maupun lingkungan kumum. 17) Tikus biasanya kencing di
genangan air. Lewat genangan air inilah bakteri leptospira akan masuk
ke tubuh manusia.
2) Sampah
Adanya kumpulan sampah di rumah dan sekitarnya akan menjadi tempat
yang disenangi tikus. Kondisi sanitasi yang jelek seperti adanya
46
kumpulan sampah dan kehadiran tikus merupakan variabel determinan
kasus leptospirosis. Adanya kumpulan sampah dijadikan indikator dari
kehadiran tikus.31)
3) Curah hujan
Leptospirosis menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di
daerah beriklim tropis dan subtropis, dengan curah hujan dan
kelembapan tinggi.17) Leptospirosis berhubungan dengan musim hujan,
dengan meningkatnya kasus dimulai pada Bulan Agustus dan turun
pada Bulan November, puncaknya kasus terjadi pada Bulan Oktober.32)
4) Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah
Tikus senang berkeliaran di tempat sampah untuk mencari makanan.
Jarak rumah yang dekat dengan tempat pengumpulan sampah
mengakibatkan tikus dapat masuk ke rumah dan kencing di sembarang
tempat. Jarak rumah yang kurang dari 500 m dari tempat pengumpulan
sampah menunjukkan kasus leptospirosis lebih besar dibanding yang
lebih dari 500 m.31)
b.
Lingkungan Biologik
1) Populasi tikus di dalam dan sekitar rumah
Bakteri leptospira khususnya spesies L. ichterrohaemorrhagiae banyak
menyerang tikus besar seperti tikus wirok (Rattus norvegicus dan tikus
rumah (Rattus diardii).20, 33) Sedangkan L.ballum menyerang tikus kecil
47
(mus musculus). Tikus yang diduga mempunyai peranan penting pada
waktu terjadi Kejadian Luar Biasa di DKI Jakarta dan Bekasi adalah :
R.norvegicus, R.diardii, Suncus murinus dan R.exulat.2)
2) Keberadaan hewan piaraan sebagai hospes perantara
Tikus (terutama Rattus norvegicus) dan anjing merupakan reservoir
penting dalam leptospirosis.27,33) Di sebagian besar negara tropis
termasuk negara berkembang kemungkinan paparan leptospirosis
terbesar pada manusia karena terinfeksi dari binatang ternak, binatang
rumah maupun binatang liar.3)
c.
Lingkungan kimia
1) pH tanah
Leptospira dapat hidup berbulan-bulan dalam lingkungan yang hangat
(220 C) dan pH relatif netral (pH 6,2-8)19) Bila di air dan lumpur yang
paling cocok untuk bakteri leptospira adalah dengan pH antara 7,0-7,4
dan temperatur antara 28oC-30oC. Bakteri ini dapat hidup dalam air
yang menggenang. Karakteristik air pada sawah yang cocok untuk
bakteri leptospira adalah air yang menggenang dengan ketinggian 5-10
cm dan pH antara 6,7-8,5.34) Menurunkan pH air sawah menjadi asam
yaitu dengan pemakaian pupuk/bahan-bahan kimia menyebabkan
jumlah dan virulensi bakteri leptospira berkurang.17)
48
d.
Lingkungan Ekonomi
1) Pekerjaan
Jenis pekerjaan merupakan faktor risiko penting dalam kejadian
penyakit leptospirosis.19) Jenis pekerjaan yang beresiko terjangkit
leptospirosis antara lain : petani, dokter hewan, pekerja pemotong
hewan, pekerja pengontrol tikus, tukang sampah, pekerja selokan, buruh
tambang, tentara, pembersih septic tank dan pekerjaan yang selalu
kontak dengan binatang. Faktor risiko leptospirosis akibat pekerjaan
yang ditemukan pertama kali adalah buruh tambang.3, 7)
Dari beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa pekerjaan sangat
berpengaruh pada kejadian leptospirosis.
e.
Lingkungan Budaya
1) Tidak memakai alas kaki di rumah
Dengan tidak memakai alas kaki akan mengakibatkan kemungkinan
masuknya bakteri leptospira ke dalam tubuh akan semakin besar.
Bakteri leptospira masuk tubuh melalui pori-pori tubuh terutama kulit
kaki dan tangan. Oleh karena itu dianjurkan bagi para pekerja yang
selalu kontak dengan air kotor atau lumpur supaya memakai alas kaki
seperti sepatu bot.35) Banyak infeksi leptospirosis terjadi karena berjalan
di air dan kebun tanpa alas kaki.3)
49
2) Mencuci/mandi di sungai
Penularan bakteri leptospira pada manusia adalah kontak langsung
dengan bakteri leptospira melalui pori-pori kulit yang menjadi lunak
karena terkena air, selaput lendir, kulit kaki, tangan dan tubuh yang
lecet. Kegiatan mencuci dan mandi di sungai atau danau akan beresiko
terpapar bakteri leptospira karena kemungkinan terjadi kontak dengan
urin binatang yang mengandung leptospira akan lebih besar.36)
C. Kerangka Teori
Menurut John Gordon penyebaran penyakit tergantung adanya interaksi 3
faktor dasar epidemiologi yaitu agent, host, dan environment. Begitu pula untuk
penyakit leptospirosis.
Faktor agent antara lain : jumlah bakteri leptospira,
virulensi dan patogenitas bakteri leptospira. Agent akan masuk ke dalam tubuh
manusia melalui luka, mukosa, konjungtiva atau kulit utuh yang lama terendam
air. Faktor host antara lain : usia, status gizi, kebersihan perorangan dan daya
tahan tubuh. Sedangkan environment meliputi : lingkungan fisik, lingkungan
biologik, lingkungan kimia, lingkungan sosial, lingkungan ekonomi dan
lingkungan budaya. Lingkungan berperan penting pada kejadian leptospirosis
walaupun tidak secara langsung. Dengan adanya bakteri leptospira dan didukung
lingkungan yang tidak baik maka akan terjadi penyakit leptospirosis. Lingkungan
fisik terdiri dari kondisi selokan, karakteristik genangan air, keberadaan sampah,
curah hujan, kondisi jalan sekitar rumah, jarak rumah dengan selokan, kondisi
50
tempat pengumpulan sampah, topografi. Lingkungan biologik terdiri dari adanya
populasi tikus di dalam dan sekitar rumah, adanya hewan piaraan sebagai hospes
perantara. Lingkungan kimia terdiri dari pH tanah dan pH air. Lingkungan sosial
terdiri dari riwayat peran serta dalam kegiatan sosial yang berisiko terhadap
leptospirosis dan pemakaian alat pelindung diri. Lingkungan ekonomi terdiri dari
jumlah pendapatan dan pekerjaan. Lingkungan budaya terdiri dari tidak memakai
alas kaki di rumah, mencuci/mandi di sungai. Kerangka teori kejadian
leptospirosis dapat dilihat pada bagan 2.3 berikut ini :
51
52
D. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teoritis di atas, untuk penelitian ini dibuat kerangka
konsep penelitian yang dibatasi hanya faktor risiko lingkungan untuk terjadi
leptospirosis. Jadi tidak semua faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian
leptospirosis akan diteliti sebagaimana tampak pada kerangka teori, mengingat
keterbatasan penelitian baik biaya, waktu dan tenaga.
Variabel yang diteliti pada penelitian ini hanya faktor risiko lingkungan
yang meliputi lingkungan fisik, biologik, kimia, sosial, ekonomi dan budaya.
Lingkungan fisik terdiri dari kondisi selokan, karakteristik genangan air,
keberadaan sampah ,curah hujan, kondisi jalan sekitar rumah, jarak rumah dengan
selokan, kondisi tempat pengumpulan sampah, topografi. Lingkungan tidak bisa
berhubungan langsung dengan kejadian leptospirosis tetapi adanya lingkungan
yang buruk dan adanya bakteri leptospirosis maka akan terjadi penyakit
leptospirosis. Lingkungan biologik terdiri dari populasi tikus di dalam dan sekitar
rumah, keberadaan hewan piaraan sebagai hospes perantara. Lingkungan kimia
terdiri dari pH tanah. Lingkungan sosial terdiri dari riwayat peran serta dalam
kegiatan sosial yang berisiko terhadap leptospirosis dan penggunaan alat
pelindung. Lingkungan ekonomi terdiri dari jumlah pendapatan dan pekerjaan.
Lingkungan budaya terdiri dari aktivitas tidak memakai alas kaki di rumah,
mencuci/mandi di sungai.
Kerangka konsep faktor risiko lingkungan yang berpengaruh terhadap
kejadian leptospirosis dapat dilihat pada bagan 2.4 berikut ini.
53
54
E. Hipotesis
Hipotesis Mayor :
-
Lingkungan fisik, lingkungan biologik, lingkungan kimia, lingkungan sosial,
lingkungan ekonomi dan lingkungan budaya secara sendiri-sendiri atau
bersama-sama merupakan faktor risiko lingkungan yang berpengaruh terhadap
kejadian leptospirosis berat.
Hipotesis Minor :
a. Kondisi selokan yang jelek merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis
berat
b. Genangan air merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat
c. Sampah merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat
d. Kondisi jalan yang menggenang saat musim hujan merupakan faktor risiko
kejadian leptospirosis berat
e. Curah hujan yang tinggi merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat
f. Jarak rumah yang dekat dengan selokan merupakan faktor risiko kejadian
leptospirosis berat
g. Kondisi tempat pengumpulan sampah yang buruk merupakan faktor risiko
kejadian leptospirosis berat
h. Topografi merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat
i. Keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah merupakan faktor risiko
kejadian leptospirosis berat
55
j.
Kepemilikan hewan piaraan merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis
berat
k. PH tanah yang netral merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat
l. Riwayat peran serta dalam kegiatan sosial yang beresiko terhadap
leptospirosis merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat
m. Tidak menggunaan alat pelindung merupakan faktor risiko kejadian
leptospirosis berat
n. Jumlah pendapatan yang rendah merupakan faktor risiko kejadian
leptospirosis berat
o. Jenis pekerjaan tertentu merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat
p. Kebiasaan tidak memakai alaskaki merupakan faktor risiko kejadian
leptospirosis berat
q. Beraktivitas mencuci/mandi di sungai merupakan faktor risiko kejadian
leptospirosis berat
56
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Jenis dan rancangan penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional dengan
rancangan kasus kontrol, yaitu suatu rancangan studi epidemiologi dimulai
dengan seleksi individu-individu yang dimasukkan dalam kelompok sakit
(kelompok kasus) dan kelompok tidak sakit (kelompok kontrol) yang
penyebabnya sedang diteliti. Kemudian kelompok-kelompok itu diperbandingkan
dalam hal adanya penyebab atau pengalaman masa lalu yang mungkin relevan
dengan penyebab penyakit.
Studi kasus kontrol ini menawarkan sejumlah keuntungan untuk menilai
hubungan antara paparan dan penyakit. Studi ini relatif sangat efisien waktu dan
biaya untuk kasus leptospirosis karena leptospirosis termasuk penyakit yang
jarang terjadi. 37)
Rancangan penelitian kasus kontrol dapat dilihat pada bagan 3.1
berikut:38)
57
Waktu
----------------------------Æ
Arah penelitian
Å----------------------------
Faktor risiko (+)
Pasien
leptospirosis
Faktor risiko (-)
Faktor risiko (+)
Pasien bukan
leptospirosis
Faktor risiko (-)
Bagan 3.1
Skema Rancangan Penelitian Kasus Kontrol
B.
Variabel Penelitian
1. Variabel terikat : kejadian leptospirosis berat
2. Variabel bebas :
a. Kondisi selokan
b. Karakteristik genangan air
c. Keberadaan sampah
d. Kondisi jalan sekitar rumah
e. Curah hujan
f. Jarak rumah dengan selokan
58
g. Kondisi tempat pengumpulan sampah
h. Topografi
i. Keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah
j. Kepemilikan hewan piaraan
k. pH tanah
l. Riwayat peran serta dalam kegiatan sosial yang berisiko terhadap
leptospirosis
m. Penggunaan alat pelindung
n. Jumlah pendapatan
o. Jenis pekerjaan
p. Kebiasaan tidak memakai alaskaki
q. Mencuci/mandi di sungai
C.
Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional, Cara Pengukuran dan Skala Variabel
Variabel
Kejadian
leptospirosis
Definisi Operasional
Penderita yang dirawat di rumah sakit yang
didiagnosis menderita leptospirosis berat oleh
dokter melalui pemeriksaan klinis dan
konfirmasi laboratorik (MAT)
Cara Pengukuran
dan Kriteria
Data dari medical
record rumah sakit
Kriteria :
1 : sakit, bila uji
laboratorik dengan
MAT positif ditandai
dengan peningkatan
titer 4 kali atau lebih,
untuk selanjutnya
disebut kasus
2 : tidak sakit, bila
secara klinis tdk
menderita penyakit
leptospirosis
Skala
Nominal
59
Variabel
Definisi Operasional
Kondisi selokan
Suatu keadaan selokan di depan dan sekitar
rumah 3 minggu sebelum dirawat di RS, baik
bila aliran selokan lancar/tidak menggenang,
tidak meluap saat ada hujan, tidak dilewati
tikus dan selokan lebih tinggi dari rumah;
buruk jika aliran selokan berhenti/tidak
lancar/menggenang, meluap saat ada hujan,
dilewati tikus , selokan lebih rendah dari
rumah atau terdapat diantara salah satunya
Ada tidaknya genangan air di sekitar rumah
3 minggu sebelum dirawat di RS. Yang
dimaksud genangan adalah air di atas
permukaan tanah yang tidak mengalir.
Karakteristik
genangan air
Keberadaan
Sampah
Ada tidaknya sampah yang bisa menjadi
indikator keberadaan tikus di dalam dan
sekitar rumah 3 minggu sebelum dirawat di
RS
Kondisi jalan
sekitar rumah
Keadaan jalan sekitar rumah, baik bila jalan
tidak pernah tergenang air (banjir), tidak ada
lobang jalan yang tergenang air; buruk bila
jalan tergenang air (banjir), ada lobang jalan
yang tergenang air atau terdapat diantara salah
satunya
Jumlah curah hujan 1 bulan sebelum dirawat
di rumah sakit diukur dengan satuan mm
Curah hujan
Jarak rumah
dengan selokan
Jarak letak rumah dengan selokan yang diukur
dengan satuan meter
Kondisi tempat
pengumpulan
sampah
Keadaan tempat pengumpulan sampah , baik
bila jarak letak rumah dengan tempat
pengumpulan sampah >500 m, tidak
tergenang jika ada hujan, luapan air tidak
menuju rumah; buruk jika jarak letak rumah
dengan tempat pengumpulan sampah < 500 m,
tergenang jika ada hujan, luapan air menuju
rumah atau terdapat diantara salah satunya
Ketinggian rumah dari permukaan air laut
yang diukur dengan satuan meter
Topografi
Cara Pengukuran
dan Kriteria
Skala
Wawancara dengan
responden
Kriteria :
1 : buruk
2 : baik
Nominal
Wawancara dengan
responden
Kriteria :
1 : ada genangan
2: tidak ada genangan
Wawancara dengan
responden dan
observasi
Kriteria :
1 : ada
2 : tidak ada
Wawancara dengan
responden
Kriteria :
1 : buruk
2 : baik
Nominal
Data sekunder dari
Badan Meteorologi
dan Geofisika (BMG)
Semarang
Wawancara dengan
responden dan
observasi pengukuran
langsung
Wawancara dengan
responden dan
observasi pengukuran
langsung
Kriteria :
1 : buruk
2 : baik
Rasio
Data sekunder dari
Badan Meteorologi
dan Geofisika (BMG)
Semarang
Rasio
Nominal
Nominal
Rasio
Nominal
60
Variabel
Definisi Operasional
Keberadaan
tikus di dalam
dan sekitar
rumah
Ada tidaknya tikus di dalam dan sekitar rumah
ditandai dengan ada tidaknya lubang tikus
atau kotoran tikus
Kepemilikan
hewan piaraan
Ada tidaknya hewan piaraan seperti anjing,
lembu, babi, kerbau, kambing, domba, kucing,
burung maupun binatang liar seperti musang
dan tupai dll di rumah yang bisa menjadi
sumber penularan leptospirosis
pH tanah di rumah atau sekitar rumah yang
diukur dengan alat pH meter
pH tanah
Cara Pengukuran
dan Kriteria
Skala
Wawancara dengan
responden dan
observasi
Kriteria :
1 : ada
2 : tidak ada
Wawancara dengan
responden
Kriteria :
1 : ada
2 : tidak ada
Pengukuran langsung
di lapangan dengan
alat pH meter
Wawancara dengan
responden
Kriteria :
1 : ya, ikut dalam
kegiatan sosial
2 : tidak
Wawancara dengan
responden
Kriteria :
1 : tidak digunakan
alat pelindung
2 : digunakan alat
pelindung
Wawancara dengan
responden
Nominal
Nominal
Rasio
Riwayat peran
serta dalam
kegiatan sosial
yg beresiko
terhadap
leptospirosis
Penggunaan alat
pelindung
Keikutsertaan responden dalam kegiatan
sosial kemasyarakatan yang beresiko terkena
leptospirosis misalnya kerjabakti
membersihkan selokan atau genangan air 3
minggu sebelum dirawat di RS
Jumlah
pendapatan
Banyaknya penghasilan yang diukur dengan
satuan rupiah dalam waktu satu bulan
Pekerjaan
Kegiatan yang dilakukan responden untuk
memperoleh pendapatan/penghasilan (lebih
mengarah pada pekerjaan yang beresiko
terkena leptospirosis seperti petani, dokter
hewan, pekerja pemotong hewan, tukang
sampah, pekerja pengontrol tikus, pekerja
selokan, buruh tambang, tentara dll)
Aktivitas sehari-hari menggunakan alas kaki
atau tidak 3 minggu sebelum dirawat di rumah
sakit (bekerja, di rumah dll)
Wawancara dengan
responden
Nominal
Wawancara dengan
responden
Kriteria :
1 : tidak memakai
2 : memakai
Nominal
Kebiasaan mandi, mencuci, bermain di sungai
yang merupakan kegiatan yang beresiko
terkena leptospirosis
Wawancara dengan
responden
Kriteria :
1 : ya
2 : tidak
Nominal
Kebiasaan tidak
memakai alas
kaki
Mandi/mencuci
di sungai
Digunakan atau tidaknya alat pelindung diri 3
minggu sebelum dirawat di RS berupa sepatu
bot dan sarung tangan saat melakukan
aktivitas yang beresiko untuk terkena
leptospirosis, antara lain membersihkan
selokan, membersihkan genangan air dll
Nominal
Nominal
Rasio
61
D.
Tempat dan Waktu Penelitian
-
Tempat penelitian :
Kota Semarang
-
Waktu penelitian
Mei 2005
:
E. Populasi penelitian
Populasi penelitian terdiri dari populasi kasus dan populasi kontrol yang
selanjutnya diambil sampel.
1. Populasi kasus, terdiri dari :
a. Populasi referen
: semua penderita leptospirosis berat yang dirawat di
rumah sakit-rumah sakit di Kota semarang
b. Populasi studi
: semua pasien yang ditemukan di rumah sakit Dr.
Kariadi Semarang yang didiagnosis secara klinis
dan konfirmasi laboratorik menderita leptospirosis
berat dan tercatat dalam medical record
c. Kriteria inklusi kasus :
-
Menderita leptospirosis berat secara klinis dan konfirmasi laboratorik
-
Semua golongan umur dan jenis kelamin
-
Bertempat tinggal di Kota Semarang
-
Bersedia menjadi peserta penelitian
d. Kriteria eksklusi kasus :
-
Telah pindah rumah di luar Kota Semarang
-
Sudah 3 kali didatangi untuk diwawancarai tetapi tidak ada
62
2. Populasi kontrol, terdiri dari :
a. Populasi referen
: semua pasien yang tidak menderita leptospirosis
yang ditemukan di rumah sakit di Kota semarang
b. Populasi studi
: semua pasien yang ditemukan di rumah sakit Dr.
Kariadi Semarang yang didiagnosis secara klinis
tidak menderita leptospirosis dan tercatat dalam
medical record pada hari yang sama dengan kasus
c. Kriteria inklusi kontrol :
-
Tidak menderita leptospirosis
-
Masuk rumah sakit Dr. Kariadi pada hari yang sama dengan kasus
-
Tidak menderita penyakit infeksi berdasarkan diagnosis yang ada di
medical record
-
Bertempat tinggal di Kota Semarang
-
Bersedia menjadi peserta penelitian
d. Kriteria eksklusi kontrol :
-
Telah pindah rumah/meninggal
-
Sudah 3 kali didatangi untuk diwawancarai tetapi tidak ada
3. Sampel
a. Besar Sampel
Besar sampel untuk penelitian kasus kontrol menurut Lemeshow (1990)
adalah 39)
63
{Z 1-α √ [2P2 * ( 1-P2* )] + Z 1-β √ [P1 * ( 1-P1* ) + P2 * ( 1-P2 *)]}2
n = ______________________________________________________
( P1 * - P2*)2
P1 * = __ (OR) P2*_____
(OR) P2 * + (1-P2*)
Keterangan :
n : Jumlah sampel
P1* : Proporsi pemaparan pada kelompok kasus
P2* : Proporsi pemaparan pada kelompok kontrol
Jumlah sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan uji hipotesis satu
arah. Pada penelitian ini menggunakan tingkat kemaknaan (Z
1-α )
5% dan
kekuataan (Z 1-β ) sebesar 80% dengan OR antara 2,25 – 7,10 dan proporsi
terpapar pada kelompok kontrol adalah 0,2 (dari hasil penelitian terdahulu
oleh Urmimala Sarkar )
Tabel 3.2 Hasil Perhitungan Besar Sampel pada Beberapa Faktor Risiko
Faktor Risiko
OR
n
Pekerjaan
2,25
57
Tempat tinggal dekat selokan
5,15
11
Kontak dengan air selokan
3,36
22
Adanya tikus dalam rumah
4,49
14
Kontak dengan air banjir
3,03
28
Ada genangan air di sekitar rumah saat musim
2,54
41
Melihat 5 kelompok tikus atau lebih di rumah
5,00
11
Mandi di sungai
2,50
41
Bekerja di sawah tanpa sepatu
7,10
8
Berjalan di air
4,80
12
hujan
64
Variabel lain misalnya keberadaan sampah, jarak rumah dengan tempat
pengumpulan sampah, pH tanah, topografi, riwayat peran serta dalam
kegiatan sosial yang beresiko leptospirosis dan penggunaan alat pelindung
sampai saat ini belum didapat referensi besarnya OR, sehingga diprediksi OR
minimal yaitu 2,0 sehingga diperoleh sampel sebesar 62,7 dibulatkan 63.
Penelitian ini menggunakan perbandingan kasus dan kontrol 1:1, maka jumlah
kasus dan kontrol secara keseluruhan berjumlah 126 sampel.
b. Sampel kasus
: pasien yang memenuhi kriteria eksklusi dan inklusi
kasus dan terpilih untuk diteliti.
c. Cara pengambilan sampel kasus : dari data rekam medik mengambil
sebanyak 63 pasien terbaru yang terdekat tanggal dirawat dengan tanggal
dimulai penelitian yaitu mulai tanggal 7 Januari 2000 sampai 30 April
2005.
d. Sampel kontrol :
pasien yang memenuhi kriteria eksklusi dan inklusi
kontrol dan terpilih untuk diteliti.
e. Teknik pengambilan sampel pada kontrol dengan sistematik random
sampling terhadap pasien yang memenuhi kriteria eksklusi dan inklusi
kontrol berdasarkan data komputerisasi pendaftaran penderita rawat inap
di RS Dr. Kariadi Semarang.
65
F. Pengumpulan Data
1. Data primer
Diperoleh dengan cara wawancara, observasi dan pengukuran langsung di
lapangan.
2. Data sekunder
Data yang diperoleh dari berbagai sumber yaitu dari Dinas Kesehatan, rumah
sakit, Badan Meteorologi dan Geofisika dan sumber lain.
G. Pengolahan Data
Tahap pengolahan data :
1. Cleaning
Data yang telah dikumpulkan kemudian dilaksanakan cleaning data
(pembersihan data) yang berarti sebelum data dilakukan pengolahan, data
dicek terlebih dahulu agar tidak terdapat data yang tidak perlu.
2. Editing
Setelah data dikumpulkan kemudian dilakukan editing untuk mengecek
kelengkapan data, kesinambungan dan keseragaman data sehingga validitas
data dapat terjamin.
3. Coding
Dilakukan untuk memudahkan dalam pengolahan termasuk pemberian skor.
4. Entry data
Memasukkan data dalam program komputer untuk proses analisis data.
66
H. Analisis Data
Data dianalisis dan diinterpretasikan dengan menguji hipotesis menggunakan
program komputer SPSS for Windows Release 10.0 dengan tahapan analisis
sebagai berikut :
1. Analisis univariat
Dilakukan pada masing-masing variabel untuk mengetahui proporsi dari
masing-masing kasus dan kontrol, ada/tidaknya perbedaan antara kedua
kelompok penelitian
2. Analisis bivariat
Untuk mengetahui hubungan 2 variabel dan menghitung odds ratio (OR)
berdasarkan tabel 2 x 2 pada tingkat kepercayaan 0,05 dan confidence interval
95% (α = 0,05)
3. Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk melihat hubungan variabel-variabel
bebas dengan variabel terikat dan variabel bebas mana yang paling besar
hubungannya terhadap variabel terikat. Analisis multivariat dilakukan dengan
cara menghubungkan beberapa variabel bebas dengan satu variabel terikat
secara bersamaan.
Analisis regresi logistik untuk menjelaskan hubungan variabel bebas dengan
variabel terikat, prosedur yang dilakukan terhadap uji regresi logistik dan
apabila masing-masing variabel bebas dengan hasil menunjukkan nilai p <
67
0,25 maka variabel tersebut dapat dilanjutkan dalam model multivariat.
Analisis multivariat dilakukan untuk mendapatkan model yang terbaik. Semua
variabel kandidat dimasukkan bersama-sama untuk dipertimbangkan menjadi
model dengan hasil menunjukkan nilai (p < 0,05). Variabel terpilih
dimasukkan ke dalam model dan nilai p yang tidak signifikan dikeluarkan dari
model, berurutan dari nilai p tertinggi. Adapun rumus regresi logistik sebagai
berikut : 40)
p =
1
-------------------------------1 + e –(a + b1x1 + b2x2 + …..+ bkxk)
I. Prosedur Penelitian
1. Tahap persiapan, meliputi :
1) Pelatihan cara pelaksanaan pengukuran baik dengan wawancara maupun
dengan alat ukur
2) Uji coba alat ukur (kuesioner, pH meter, meteran)
2. Tahap pelaksanaan, meliputi :
1) Pemilihan subyek penelitian kelompok kasus dan kontrol yang memenuhi
kriteria di medical record rumah sakit Dr. Kariadi Semarang
2) Subyek penelitian yang terpilih kemudian dilakukan kunjungan rumah
untuk mendapatkan data penelitian
68
3) Mencari data sekunder di Badan Meteorologi dan Geofisika Kota
Semarang
3. Tahap penulisan dilaksanakan setelah data terkumpul kemudian dilakukan
analisis data sacara univariat, bivariat maupun multivariat berdasar pengaruh
variabel-variabel yang diteliti.
69
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
1. Letak dan Luas
Kota Semarang secara geografis terletak antara garis 6o50’ – 7o10’
Lintang Selatan dan garis 109o35’ – 110o50’ Bujur Timur. Dibatasi sebelah
Barat oleh Kabupaten Kendal, sebelah Timur oleh Kabupaten Demak,
sebelah Selatan oleh Kabupaten Semarang, dan sebelah Utara dibatasi Laut
Jawa dengan panjang garis pantai meliputi 13,6 Km. Ketinggian Kota
Semarang terletak antara 0,75 sampai dengan 348,00 di atas garis pantai.
Luas wilayah Kota Semarang adalah 373,70 Km2, terbagi dalam 16
kecamatan dan 177 kelurahan. Kecamatan yang memiliki wilayah paling
luas yaitu Kecamatan Mijen (57,55 Km2) sedangkan kecamatan dengan luas
terkecil adalah Kecamatan Semarang Selatan (5,93 Km2).
2. Keadaan Iklim
Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika Balai Wilayah II Stasiun
Klimatologi Semarang, suhu rata-rata di Kota Semarang pada tahun 2003
berkisar 25-30
o
C. Kelembapan udara berkisar 62-84%. Letak Kota
Semarang hampir berada di tengah bentangan panjang kepulauan Indonesia
dari arah Barat ke Timur. Akibat posisi letak geografi tersebut, Kota
70
Semarang termasuk beriklim tropis dengan 2 musim yang silih berganti
sepanjang tahun.
3. Jumlah penduduk, Kelahiran dan Kematian
Jumlah penduduk Kota Semarang menurut registrasi sampai dengan
akhir Desember 2003 sebesar : 1.378.193 jiwa, terdiri dari 684.705 jiwa
penduduk laki-laki dan 693.488 jiwa penduduk perempuan.
Selama periode 6 tahun perkembangan kelahiran dan kematian di Kota
Semarang cukup berfluktuatif, selengkapnya dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 4.1. Perkembangan Kelahiran dan Kematian Penduduk Kota
Semarang Periode 1998-2003
Tahun
Jml Penduduk
1998
1.274.248
CBR
(/1000 pddk)
10,92
CDR
(/1000 pddk)
5,15
1999
1.286.840
11,10
5,06
2000
1.298.228
12,26
5,22
2001
1.320.802
11,94
5,06
2002
1.350.005
12,22
5,29
2003
1.378.193
12,86
5,09
Sumber : Profil Kesehatan Kota Semarang th. 2003
4.
Pendidikan
Tingkat pendidikan penduduk Kota Semarang paling banyak adalah
SD (26,23%) dilanjutkan SLTA (24,23%) dan hanya 6,21% dengan
pendidikan diploma III/IV/S1/ S2. Selengkapnya tabel 4.2
71
Tabel 4.2 Tingkat Pendidikan di Kota Semarang tahun 2003
Laki-laki
No.
Perempuan
Tingkat Pendidikan
Jumlah
%
Jumlah
%
1.
Tdk/blm pernah sekolah
17.392
2,54
39.529
5,7
2.
Tidak/blm tamat SD
68.197
9,96
89.391
12,89
3.
SD
167.205
24,42
181.902
26,23
4.
SLTP
140.023
20,45
136.618
19,7
5.
SLTA
172.615
25,21
167.478
24,15
6.
SMK
57.858
8,45
32.664
4,71
7.
Dipl. I / II
3.492
0,51
2.497
0,36
8.
Dipl. III / Sarmud
20.131
2,94
15.604
2,25
9.
Dipl. IV/ S1 & S2
37.728
5,51
27.463
3,96
684.641
99,99
693.143
99,99
Jumlah
Sumber : Profil Kesehatan Kota Semarang th. 2003
5. Sosial Ekonomi
Tingkat sosial ekonomi sebagian besar penduduk Kota Semarang
tahun
2003
dengan
mata
pencaharian
buruh
baik
buruh
tani/industri/bangunan (40,5%), petani sendiri (2,83%) dan nelayan
(0,26%). Selengkapnya tabel 4.3.
72
Tabel 4.3 Persentase Jenis Mata Pencaharian Penduduk
Kota Semarang Tahun 2003
No.
Jenis Mata Pencaharian
Persentase (%)
1.
Petani sendiri
2,83
2.
Buruh tani
2,49
3.
Buruh industri
22,03
4.
Buruh bangunan
15,98
5.
Nelayan
0,26
6.
Pengusaha
2,17
7.
Pedagang
8,79
8.
Angkutan
3,24
9.
PNS/TNI/POLRI
10,64
10.
Lain-lain
27,34
Jumlah:
100,00
Sumber : Profil Kesehatan Kota Semarang th. 2003
B.
SUBYEK PENELITIAN
Jumlah responden dalam penelitian ini sesuai dengan jumlah sampel
minimal yaitu 126 orang, yang terdiri 63 kasus dan 63 kontrol. Data nama dan
alamat kasus dan kontrol bersumber dari rekam medik di RS Dr Kariadi
Semarang mulai dari tanggal 7 Januari 2000 sampai dengan 30 April 2005.
Jumlah kasus terbanyak terdapat di Kecamatan Semarang Utara, kemudian
disusul Kecamatan Semarang Barat dan yang paling sedikit adalah Kecamatan
Genuk dan Gunungpati. Selengkapnya pada tabel 4.4.
73
Tabel 4.4. Jumlah Kasus Leptospirosis Berat per Kecamatan di Semarang
No.
Kecamatan
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Jumlah
1.
Semarang Utara
3
2
1
2
3
6
17
2.
Semarang Barat
3
0
4
1
0
1
9
3.
Semarang Tengah
2
0
0
0
2
1
5
4.
Pedurungan
1
0
1
1
0
0
3
5.
Semarang Selatan
1
0
3
0
0
1
5
6.
Candisari
0
1
2
1
1
0
5
7.
Gajahmungkur
3
0
0
0
0
0
3
8.
Gayamsari
0
2
0
0
0
1
3
9.
Banyumanik
0
0
0
1
2
0
3
10.
Ngaliyan
0
0
1
1
0
0
2
11.
Tugu
0
0
1
1
0
0
2
12.
Mijen
0
0
0
0
1
0
1
13.
Semarang Timur
1
1
0
0
0
0
2
14.
Tembalang
0
0
0
0
0
3
3
15.
Genuk
0
0
0
0
0
0
0
16.
Gunungpati
0
0
0
0
0
0
0
Jumlah
14
6
13
8
9
13
63
Peta penyebaran kasus leptospirosis berat yang dirawat di RS Dr. Kariadi
Semarang dari tanggal 7 Januari 2000- 30 April 2005 adalah sebagai berikut.
74
Penyebaran kasus leptospirosis berat di Kota Semarang
(Dirawat di RS Dr. Kariadi)
Tahun 2000-2005
Peta di atas menunjukkan bahwa kasus leptospirosis berat tidak
mengelompok di satu kecamatan saja di Kota Semarang tetapi tersebar hampir
di seluruh kecamatan di Kota Semarang. Kasus terbanyak di Kecamatan
Semarang Utara (17 kasus), Kecamatan Semarang Barat (9 kasus) dan
kecamatan lain antara 1-5 kasus kecuali Kecamatan Gunungpati dan Genuk.
Peta kasus leptospirosis berat di Kota Semarang yang dirawat di RS Dr.
Kariadi tiap tahun dari tahun 2000 sampai 2005 terdapat di lampiran 2.
75
1. Analisis Univariat
a. Distribusi Responden Berdasarkan Umur
Rerata umur responden adalah 43,7 ± 3,6 tahun pada kelompok
kasus, sedangkan pada kelompok kontrol rerata umur responden adalah
46,4 ± 2,9 tahun. Rata-rata umur antara kelompok kasus dan kelompok
kontrol adalah sama (p=0,628).
Kasus leptospirosis berat terbanyak ditemukan pada rentang umur
40 – 49 tahun. Grafik memperlihatkan distribusi responden berdasarkan
kelompok umur baik pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol
distribusi responden paling banyak pada kelompok umur 40 – 49 tahun.
Sedangkan distribusi paling kecil baik pada kelompok kasus maupun
kontrol juga pada kelompok yang sama yaitu >= 70 tahun. Selengkapnya
Frekuensi
pada grafik 4.1.
16
14
12
10
8
6
4
2
0
kasus
kontrol
< 30 30- 40- 50- 60- >=
th 39 th 49 th 59 th 69 th 70 th
Klp. Umur
Grafik 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur
76
b. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan
Pendidikan responden pada kelompok kasus terbanyak tamat SMA
(39,7%) dan tamat SD (34,9%) sedangkan kelompok kontrol terbanyak
juga tamat SMA (46,0%) dan tamat SD (23,8%). Selengkapnya pada
Tamat
D3/PT
Tamat SMA
Tamat SMP
kasus
kontrol
Tamat SD
35
30
25
20
15
10
5
0
Tdk
sekolah/Tdk
tamat SD
frekuensi
grafik 4.2.
pendidikan
Grafik 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan
c. Distribusi Jenis Kelamin Responden
Karakteristik jenis kelamin responden pada kelompok kasus
sebagian besar adalah laki-laki (76,2%), sedangkan pada kelompok
kontrol hampir sama antara laki-laki dan perempuan. Selengkapnya pada
grafik 4.3.
77
60
frekuensi
50
40
laki-laki
30
perempuan
20
10
0
kasus
kontrol
status pasien
Grafik 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dimaksudkan untuk mengetahui gambaran kasar
hubungan variabel independen dan variabel dependen. Analisis bivariat ini
juga merupakan salahsatu langkah untuk seleksi variabel yang masuk dalam
analisis multivariat. Adanya hubungan antara faktor risiko dengan kejadian
leptospirosis berat ditunjukkan dengan nilai p < 0,05; nilai OR > 1 dan nilai
95% CI tidak mencakup 1.
Faktor-faktor lingkungan yang akan dianalisis yaitu lingkungan fisik,
lingkungan biologik, lingkungan kimia, lingkungan sosial, lingkungan
ekonomi dan lingkungan budaya.
a. Faktor risiko lingkungan fisik dengan kejadian leptospirosis berat
Faktor lingkungan fisik yang diteliti adalah kondisi selokan,
karakteristik genangan air, keberadaan sampah, kondisi jalan sekitar
78
rumah, curah hujan, jarak rumah dengan selokan, kondisi tempat
pengumpulan sampah dan topografi.
Pada variabel kondisi selokan dikatagorikan buruk dan baik.
Kondisi selokan buruk jika aliran selokan berhenti/menggenang/tidak
lancar, meluap saat musim hujan, dilewati tikus, selokan lebih tinggi
dari rumah terdapat diantara salah satunya. Kondisi selokan baik bila
aliran selokan lancar/tidak menggenang, tidak meluap saat musim hujan,
tidak dilewati tikus dan tidak lebih tinggi dari rumah. Proporsi
responden dengan kondisi selokan buruk pada kelompok kasus (69,8%)
2 kali lebih besar dibandingkan kelompok kontrol (31,7%). Hasil
analisis bivariat menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara
kondisi selokan dengan kejadian leptospirosis berat (p<0,0001). Kondisi
selokan yang buruk mempunyai risiko 5,0 kali lebih besar untuk
terjadinya kejadian leptospirosis berat dibandingkan kondisi selokan
baik ( OR=5,0 ; 95% CI= 2,3 – 10,6). (tabel 4.5)
Pada variabel karakteristik genangan air dikategorikan ada
genangan dan tidak ada genangan. Proporsi responden yang ada
genangan air pada kelompok kasus 2 kali lebih besar (52,4%)
dibandingkan kelompok kontrol (22,2%). Hasil analisis bivariat
menunjukkan ada hubungan bermakna antara karakteristik genangan air
dengan kejadian leptospirosis berat (p<0,0001). Adanya genangan air di
sekitar rumah mempunyai risiko 3,8 kali lebih besar untuk terjadinya
79
leptospirosis berat dibandingkan tidak ada genangan air (OR=3,8 ; 95%
CI=1,8 – 8,3). (tabel 4.5)
Pada variabel keberadaan sampah dikatagorikan ada sampah dan
tidak ada sampah. Adanya sampah menjadi indikator keberadaan tikus
di rumah. Proporsi responden yang ada sampah di rumah pada kelompok
kasus hampir 3 kali lebih besar (61,9%)
dibandingkan kelompok
kontrol (28,6%). Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan
bermakna antara keberadaan sampah dengan kejadian leptospirosis berat
(p<0,0001). Adanya sampah di rumah mempunyai risiko 4,1 kali lebih
besar untuk terjadinya leptospirosis berat dibandingkan tidak ada
sampah di rumah (OR=4,1 ; 95% CI=1,9 – 8,6). (tabel 4.5)
Pada variabel kondisi jalan sekitar rumah dikategorikan buruk
dan baik. Kondisi jalan sekitar rumah buruk jika jalan tergenang
air/banjir, ada lobang jalan yang tergenang air atau salah satu
diantaranya. Kondisi jalan sekitar rumah baik jika jalan tidak tergenang
air/banjir dan tidak ada lobang jalan yang tergenang air. Proporsi
responden dengan kondisi jalan yang buruk pada kelompok kasus
(27,0%) lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol (30,2%). Hasil
analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara
kondisi jalan sekitar rumah dengan kejadian leptospirosis berat
(p=0,422) dan kondisi jalan sekitar rumah bukan merupakan
faktor
80
risiko terjadi leptospirosis berat (OR=0,9 ; 95% CI=0,4 – 1,9). (tabel
4.5)
Pada variabel curah hujan yaitu curah hujan dalam 1 bulan
sebelum sakit dikategorikan ≥ 177,5 mm dan < 177,5 mm. Proporsi
curah hujan ≥ 177,5 mm pada kelompok kasus hampir 2 kali lebih besar
(84,1%)
dibandingkan kelompok kontrol (58,7%). Hasil analisis
bivariat menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara curah hujan
dengan kejadian leptospirosis berat (p=0,001). Curah hujan ≥ 177,5
mm mempunyai risiko 3,7 lebih besar untuk terjadinya leptospirosis
berat dibandingkan curah hujan < 177,5 mm ( OR=3,7 ; 95% CI= 1,6 –
8,6). (tabel 4.5)
Pada variabel kondisi jarak rumah dengan selokan dikategorikan
< 2,0 meter dan ≥ 2,0 meter. Proporsi responden dengan jarak rumah
dengan selokan < 2,0 meter pada kelompok kasus (57,1%) lebih besar
dibandingkan kelompok kontrol (31,7%). Hasil analisis bivariat
menunjukkan ada hubungan bermakna antara jarak rumah dengan
selokan dengan kejadian leptospirosis berat (p=0,003). Jarak rumah
dengan selokan < 2,0 meter mempunyai risiko 2,9 kali lebih besar
untuk terjadinya leptospirosis berat dibandingkan dengan jarak rumah
dengan selokan ≥ 2,0 meter (OR=2,9 ; 95% CI=1,4 – 6,0). (tabel 4.5)
81
Pada
variabel
kondisi
tempat
pengumpulan
sampah
dikategorikan buruk dan baik. Kondisi tempat pengumpulan sampah
buruk jika jarak rumah dengan TPS < 500 m, tergenang jika hujan,
luapan air menuju rumah atau terdapat salahsatu diantaranya. Kondisi
TPS baik jika jarak rumah dengan TPS ≥ 500 m, tidak tergenang jika
hujan dan luapan tidak menuju rumah. Proporsi responden dengan
kondisi tempat pengumpulan sampah buruk pada kelompok kasus
(41,3%) lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol (54,0%). Hasil
analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara
kondisi tempat pengumpulan sampah dengan kejadian leptospirosis
berat (p=0,350) dan kondisi tempat pengumpulan sampah bukan
merupakan
faktor risiko terjadi leptospirosis berat (OR=0,60 ; 95%
CI=0,30 – 1,21). (tabel 4.5)
Pada variabel topografi dikategorikan < 3,5 meter dan >= 3,5
meter. Proporsi responden dengan topografi < 3,5 meter pada kelompok
kasus 2 kali
lebih besar (39,7%) dibandingkan kelompok kontrol
(20,6%). Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan bermakna
antara topografi dengan kejadian leptospirosis berat (p=0,016) dan
topografi < 3,5 meter mempunyai risiko 2,5 kali lebih besar untuk
terjadinya leptospirosis berat dibandingkan dengan topografi
≥ 3,5
82
meter (OR=2,5 ; 95% CI=1,2 – 5,6). Selengkapnya dapat dilihat pada
tabel 4.5.
Tabel 4.5 Distribusi kasus dan kontrol serta besarnya risiko berdasarkan
jenis lingkungan fisik
Kasus
Lingkungan
Kontrol
OR
fisik
n
%
n
%
¾ Buruk
44
69,8
20
31,7
¾ Baik
18
30,2
43
68,3
Karakteristik genangan
air
¾ Ada genangan
33
52,4
14
22,2
¾ Tidak ada genangan
30
47,6
49
77,8
¾ Ada sampah
39
61,9
18
28,6
¾ Tidak ada sampah
24
38,1
45
71,4
¾ Buruk
17
27,0
19
30,2
¾ Baik
46
73,0
44
69,8
¾ ≥ 177,5 mm
58
92,1
32
50,8
¾ < 177,5 mm
5
7,9
31
49,2
¾ < 2,0 m
36
57,1
20
31,7
¾ ≥ 2,0 m
27
42,9
43
68,3
¾ Buruk
21
33,3
18
28,6
¾ Baik
42
66,7
45
71,4
95% CI
p
Kondisi selokan
5,0
2,3 – 10,6
<0,0001
3,8
1,9 - 8,3
<0,0001
4,1
1,9 – 8,6
<0,0001
0,9
0,4 – 1,9
0,422
3,7
1,6 – 8,6
0,001
2,9
1,4 – 6,0
0,003
1,2
0,6 – 2,7
0,350
Keberadaan sampah
Kondisi jalan sekitar
rmh
Curah hujan
Jarak rmh dgn selokan
Kondisi tempat
pengumpulan sampah
83
Kasus
Lingkungan
Fisik
n
Kontrol
%
n
%
OR
95% CI
p
Topografi
¾
< 3,5 meter
25
39,7
13
20,6
¾
≥ 3,5 meter
38
60,3
50
79,4
2,5
1,2 – 5,6
0,016
b. Faktor risiko lingkungan biologik dengan kejadian leptospirosis berat
Faktor lingkungan biologik yang diteliti adalah keberadaan tikus di
dalam dan sekitar rumah dan kepemilikan hewan piaraan.
Pada variabel keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah
dikategorikan ada tikus dan tidak ada tikus. Proporsi responden yang ada
tikus pada kelompok kasus 2 kali lebih besar (96,8%) dibandingkan
kelompok kontrol (44,4%). Hasil analisis bivariat menunjukkan ada
hubungan bermakna antara keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah
dengan kejadian leptospirosis berat (p<0,0001) dan adanya tikus di
dalam dan sekitar rumah mempunyai risiko 38,1 kali lebih besar untuk
terjadinya leptospirosis berat dibandingkan tidak ada tikus di dalam dan
sekitar rumah (OR=38,1 ; 95% CI=8,6 - 169,8). (tabel 4.6)
Bakteri leptospira khususnya spesies L. ichterrohaemorrhagiae
banyak menyerang tikus besar seperti tikus wirok (Rattus norvegicus
dan tikus rumah (Rattus diardii). Sedangkan L.ballum menyerang tikus
84
kecil (mus musculus). Tikus yang diduga mempunyai peranan penting
pada kejadian leptospirosis adalah : R.norvegicus, R.diardii, Suncus
murinus dan R.exulat.
Pada variabel kepemilikan hewan piaraan dikategorikan punya
hewan piaraan yang bisa menjadi sumber penularan leptospirosis seperti
kucing, anjing, kambing, sapi, kerbau, kuda, babi, burung, landak,
kelelawar, tupai dan tidak punya hewan piaraan. Proporsi responden
yang mempunyai hewan piaraan pada kelompok kasus (25,4%) lebih
besar dibandingkan kelompok kontrol (20,6%). Hasil analisis bivariat
menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara kepemilikan hewan
piaraan dengan kejadian leptospirosis berat (p=0,336) dan kepemilikan
hewan piaraan bukan merupakan faktor risiko terjadi leptospirosis berat
(OR=1,3 ; 95% CI=0,6 – 3,0). Selengkapnya pada tabel 4.6.
Tabel 4.6 Distribusi kasus dan kontrol serta besarnya risiko berdasarkan
jenis lingkungan biologik
Kasus
Lingkungan
Kontrol
OR
Biologik
n
%
n
%
95% CI
p
Keberadaan tikus di
dlm dan sekitar rmh
¾
Ada tikus
61
96,8
28
44,4
¾
Tidak ada
2
3,2
35
55,6
tikus
38,1
8,6 – 169,8
<0,0001
85
Kasus
Lingkungan
Fisik
Kontrol
OR
n
%
n
95%CI
p
%
Kepemilikan hewan
piaraan
¾
Punya hewan
16
25,4
13
20,6
47
74,6
50
79,4
1,3
0,6 – 3,0
0,336
piaraan
¾
Tidak punya
hewan piaraan
c. Faktor risiko lingkungan kimia dengan kejadian leptospirosis berat
Faktor lingkungan kimia yang diteliti hanya pH tanah. Pada
variabel pH tanah dikategorikan asam, netral dan basa. Asam jika pH
tanah < 7,0; netral jika pH tanah antara 7,0 – 7,9 dan basa jika pH tanah
≥ 8,0. Proporsi pH tanah yang netral pada kelompok kasus (50,8%) lebih
kecil dibandingkan kelompok kontrol (55,6%). Proporsi pH tanah asam
pada kelompok kasus (30,2%) lebih kecil dibandingkan kelompok
kontrol (36,5%) tetapi proporsi pH tanah basa pada kelompok kasus
(19,0%) lebih besar dibandingkan kelompok kontrol (7,9%). Hasil
analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara pH
tanah baik asam maupun netral dengan kejadian leptospirosis berat dan
pH tanah bukan merupakan
Selengkapnya pada tabel 4.7.
faktor risiko terjadi leptospirosis berat.
86
Tabel 4.7 Distribusi kasus dan kontrol serta besarnya risiko berdasarkan
lingkungan kimia
Kasus
Lingkungan
Kontrol
OR
95% CI
p
kimia
n
%
n
%
¾
Asam
19
30,2
23
36,5
0,3
0,1 – 1,1
0,361
¾
Netral
32
50,8
35
55,6
0,4
0,1 – 1,2
0,078
¾
Basa
32
19,0
5
7,9
Rujukan
pH tanah
d. Faktor risiko lingkungan sosial dengan kejadian leptospirosis berat
Faktor risiko lingkungan sosial yang diteliti adalah riwayat peran
serta dalam kegiatan sosial yang berisiko terhadap leptospirosis dan
penggunaan alat pelindung diri saat melakukan kegiatan sosial seperti
kerjabakti.
Pada variabel riwayat peran serta dalam kegiatan sosial yang
berisiko terhadap leptospirosis dikategorikan ada riwayat peran serta
dalam kegiatan sosial seperti kerjabakti dalam waktu 3 minggu sebelum
sakit dan tidak ada riwayat. Proporsi responden yang ada riwayat peran
serta dalam kegiatan sosial
yang berisiko terhadap leptospirosis 3
minggu sebelum sakit pada kelompok kasus (81,0%) lebih besar
dibandingkan kelompok kontrol (65,1%). Hasil analisis bivariat
menunjukkan ada hubungan bermakna antara riwayat peran serta dalam
kegiatan sosial yang berisiko terhadap leptospirosis dengan kejadian
leptospirosis berat (p=0,035) dan adanya riwayat peran serta dalam
87
kegiatan sosial yang berisiko terhadap leptospirosis 3 minggu sebelum
sakit mempunyai risiko 2,3 kali lebih besar terjadi leptospirosis berat
dibandingkan tidak ada riwayat peran serta dalam kegiatan sosial
(OR=2,3; 95% CI=1.0 – 5,1). (tabel 4.8)
Pada variabel penggunaan alat pelindung diri selama melakukan
kegiatan sosial seperti kerjabakti dikategorikan tidak menggunakan alat
pelindung diri dan menggunakan alat pelindung diri. Alat pelindung diri
yang digunakan seperti sarung tangan dan sepatu bot. Proporsi
responden yang tidak menggunakan alat pelindung diri pada kelompok
kasus (68,6%) lebih besar dibandingkan pada kelompok kontrol
(61,0%). Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan
bermakna antara penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian
leptospirosis berat (p=0,292) dan penggunaan alat pelindung diri bukan
merupakan faktor risiko terjadi leptospirosis berat (OR=0,7; 95% CI=0,3
– 1,7). Selengkapnya pada tabel 4.8.
Tabel 4.8 Distribusi kasus dan kontrol serta besarnya risiko berdasarkan
lingkungan sosial
Kasus
Lingkungan
Kontrol
OR
sosial
n
%
n
%
¾ Ada riwayat
51
81,0
41
65,1
¾ Tidak ada riwayat
12
19,0
22
34,9
95% CI
p
Riwayat peran serta dlm
keg.sosial yang berisiko
leptospirosis
2,3
1.0 – 5,1
0,035
88
Lingkungan
Kasus
sosial
n
Kontrol
%
n
OR
95% CI
p
%
Penggunaan alat
pelindung diri
¾ Tidak menggunakan
35
68,6
25
61,0
¾ Menggunakan
16
31,4
16
39,0
0,7
0,3 – 1,7
0,292
e. Faktor risiko lingkungan ekonomi dengan kejadian leptospirosis berat
Faktor risiko lingkungan ekonomi yang diteliti adalah pendapatan
dan pekerjaan.
Pada variabel pendapatan dikategorikan < Rp. 486.000 (UMR
Kota Semarang) dan ≥Rp. 486.000. Proporsi pendapatan dalam 1 bulan
< Rp. 486.000 pada kelompok kasus (34,9%) lebih besar dibandingkan
pada kelompok kontrol (28,6%). Hasil analisis bivariat menunjukkan
tidak ada hubungan bermakna antara pendapatan dengan kejadian
leptospirosis berat (p=0,283) dan pendapatan bukan merupakan faktor
risiko terjadi leptospirosis berat (OR=1,3; 95% CI=0,6 – 2,8). (tabel 4.9)
Pada variabel pekerjaan dikategorikan pekerjaan berisiko dan
pekerjaan tidak berisiko. Pekerjaan yang berisiko untuk terkena penyakit
leptospirosis antara lain petani, nelayan, peternak, pekerja kebun,
pekerja tambang, pekerja kebersihan, pekerja rumah potong hewan,
mantri/dokter hewan, tentara, pekerjaan yang selalu berhubungan
dengan binatang. Proporsi pekerjaan responden yang berisiko pada
kelompok kasus (4,8%) lebih besar dibandingkan kelompok kontrol
89
(3,2%). Proporsi pekerjaan responden yang tidak berisiko pada
kelompok kasus (95,2%) lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol
(96,8%). Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak
ada hubungan
bermakna antara pekerjaan dengan kejadian leptospirosis berat
(p=0,500) dan pekerjaan bukan merupakan faktor risiko leptospirosis
berat (OR=1,5; 95% CI=0,2 – 9,4). Selengkapnya pada tabel 4.9.
Tabel 4.9 Distribusi kasus dan kontrol serta besarnya risiko berdasarkan
lingkungan ekonomi
Kasus
Lingkungan
Kontrol
OR
ekonomi
n
%
n
%
22
34,9
18
28,6
41
65,1
45
71,4
¾ Pekerjaan berisiko
3
4,8
2
3,2
¾ Pekerjaan tidak
60
95,2
61
96,8
95% CI
p
Pendapatan
¾ < Rp. 486.000
1,3
0,6 – 2,8
0,283
1,5
0,2 – 9,4
0,500
(UMR)
¾ ≥ Rp. 486.000
Pekerjaan
berisiko
f. Faktor risiko lingkungan budaya dengan kejadian leptospirosis berat
Faktor risiko lingkungan budaya yang diteliti adalah kebiasaan
penggunaan alaskaki dan mandi /mencuci di sungai 3 minggu sebelum
sakit.
Pada variabel kebiasaan penggunaan alaskaki dikategorikan tidak
digunakan alaskaki dan digunakan alaskaki saat melakukan aktivitas
90
sehari-hari. Proporsi responden yang tidak menggunakan alaskaki saat
beraktivitas sehari hari pada kelompok kasus (23,8%) lebih besar
dibandingkan kelompok kontrol (14,9%). Hasil analisis bivariat
menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara kebiasaan pengunaan
alaskaki dengan kejadian leptospirosis berat (p=0,128) dan kebiasaan
penggunaan alaskaki bukan merupakan faktor risiko terjadi leptospirosis
berat (OR=1,9; 95% CI=0,7 – 4,7). (tabel 4.10)
Pada variabel mencuci/mandi di sungai dikategorikan melakukan
kegiatan mandi/mencuci di sungai 3 minggu sebelum sakit dan tidak
mandi/mencuci di singai 3 minggu sebelum sakit. Proporsi responden
yang melakukan mandi/mencuci di sungai 3 minggu sebelum sakit pada
kelompok kasus (3,2%) lebih besar dibandingkan pada kelompok
kontrol (1,6%). Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan
bermakna antara mencuci/mandi di sungai dengan kejadian leptospirosis
berat (p=0,500) dan mencuci/mandi di sungai bukan merupakan faktor
risiko terjadi leptospirosis berat (OR=2,0; 95% CI=0,2 – 23,0).
Selengkapnya pada tabel 4.10.
91
Tabel 4.10 Distribusi kasus dan kontrol serta besarnya risiko berdasarkan
lingkungan budaya
Kasus
Lingkungan
Kontrol
OR
budaya
n
%
n
%
15
23,8
9
14,9
48
76,2
54
85,7
2
3,2
1
1,6
61
96,8
61
98,4
95% CI
p
Kebiasaan penggunaan
alaskaki
¾ Tidak digunakan
1,9
0,7 – 4,7
0,128
2,0
0,2 – 23,0
0,500
alaskaki
¾ Digunakan alaskaki
Mencuci/mandi di
sungai
¾ Ya, mandi/mencuci
di sungai
¾ Tidak
mandi/mencuci di
sungai
3. Rangkuman analisis bivariat
Hasil analisis bivariat variabel independen dan variabel dependen yang
bermakna dapat dirangkum seperti tabel 4.11 dan yang tidak bermakna tabel
4.12. Hasil analisis bivariat yang bermakna yang akan dimasukkan ke dalam
regresi logistik ada 9 variabel. Selengkapnya tabel 4.11.
Tabel 4.11 Rangkuman Hasil Analisis Bivariat yang Bermakna
No.
Variabel Lingkungan
OR
95% CI
p
Lingkungan Fisik
1.
Kondisi selokan buruk
5,08
2,3 – 10,6
<0,0001
2.
Ada genangan air
3,8
1,8 - 8,3
<0,0001
92
No.
Variabel Lingkungan
OR
95% CI
p
3
Adanya sampah dlm rumah
4,1
1,9 – 8,6
<0,0001
4.
Curah hujan ≥ 177,5 mm
3,7
1,6 – 8,6
0,001
5.
Jarak rumah dengan selokan
2,9
1,4 – 6,0
0,003
2,5
1,2 – 5,6
0,016
38,1
8,6 - 169,8
<0,0001
2,3
1,0 – 5,1
0,035
1,9
0,7 – 4,7
0,128
< 2,0 meter
6.
Topografi (ketinggian rmh <
3,5 meter di atas permukaan
air laut)
Lingkungan Biologik
7.
Adanya tikus di dalam dan
sekitar rmh
Lingkungan Sosial
8.
Adanya riwayat peran serta
dlm keg. Sosial
Lingkungan Budaya
9.
Tdk digunakan alaskaki
Berikut ini merupakan tabel rangkuman hasil analisis bivariat yang tidak
bermakna ada 8 variabel. Selengkapnya pada table 4.12.
Tabel 4.12 Rangkuman Hasil Analisis Bivariat yang Tidak Bermakna
No.
Variabel Lingkungan
OR
95% CI
p
Lingkungan Fisik
1.
Kondisi jalan sekitar rmh
0,9
0,4 – 1,9
0,422
Kondisi tempat pengumpulan 1,2
0,6 – 2,7
0,350
buruk
2.
sampah buruk
93
No.
Variabel Lingkungan
OR
95% CI
p
Lingkungan Biologik
3.
Mempunyai hewan piaraan
1,3
0,6 – 3,0
0,336
0,3
0,1 – 1,1
0,4
0,1 – 1,2
Rujukan
0,361
0,078
0,7
0,3 – 1,7
0,292
1,3
0,6 – 2,9
0,283
1,5
0,2 – 9,4
0,500
2,0
0,2 – 23,0
0,500
Lingkungan Kimia
4.
pH tanah
Asam
Netral
Basa
Lingkungan Sosial
5.
Penggunaan alat pelindung
diri
Lingkungan Ekonomi
6.
Jumlah pendapatan < Rp.
486.000 per bulan
7.
Pekerjaan berisiko
Lingkungan Budaya
8.
Mandi/mencuci di sungai
4. Analisis Multivariat
Analisis multivariat dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar
sumbangan secara bersama-sama seluruh fakor risiko terhadap kejadian
leptospirosis berat. Analisis ini menggunakan uji regresi logistik ganda dengan
metode backward, pada tingkat kemaknaan 95%, menggunakan perangkat
software SPSS for Window 10.00. Alasan penggunaan uji ini, agar dapat dipilih
variabel independen yang paling berpengaruh, jika diuji bersama-sama dengan
variabel independen yang lain terhadap kejadian leptospirosis berat. Variabel
independen yang tidak berpengaruh secara otomatis akan dikeluarkan dari
94
perhitungan. Variabel independen yang dijadikan kandidat dalam uji regresi
logistik ini adalah variabel yang dalam analisis bivariat mempunyai nilai p < 0,25
berjumlah 9 variabel yaitu variabel kondisi selokan, karakteristik genangan air,
keberadaan sampah, curah hujan, jarak rumah dengan selokan, topografi,
keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah, riwayat peran serta dalam kegiatan
sosial yang berisiko terhadap leptospirosis dan tidak memakai alaskaki di rumah.
Hasil analisis multivariat menunjukkan ada 4 variabel independen yang
patut dipertahankan secara statistik yaitu keberadaan sampah di dalam rumah,
curah hujan ≥ 177,5 mm, jarak rumah dengan selokan < 2 meter, keberadaan tikus
di dalam dan sekitar rumah. Hasil selengkapnya pada tabel 4.13.
Tabel 4.13 Hasil Analisis Regresi Logistik
No.
1.
2.
3.
4.
Faktor Risiko
B
Keberadaan
sampah
(adanya sampah di dalam
rumah)
Curah hujan (curah hujan
≥ 177,5 mm
Jarak rumah dgn selokan
(< 2,0 meter)
Keberadaan tikus di dalam
dan sekitar rumah (adanya
tikus di dalam dan sekitar
rumah)
1,637
OR
95% CI
p
5,1
1,8 – 14,7
0,002
1,738
5,7
1,9 – 17,3
0,002
1,670
5,3
1,8 – 15,8
0,003
3,657
38,7
7,7 – 194,4
<0,0001
adjusted
95
Bila digambarkan dengan grafik maka hasil analisis multivariat terhadap
faktor risiko lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis berat
adalah seperti grafik 4.4 berikut.
250
O R ( 95 % C I)
200
194,4
150
100
50
38,7
17,3
5,1
5,7
5,3
1,8
ah
um
R
1,9
m
m
55
7,
7
1
>=
an
uj
H
1,8
m
>2
0
h
pa
am
S
14,7
am
al
D
ah
ur
C
15,8
k
ra
Ja
an
ok
el
S
ah
um
R
s
ku
Ti
7,7
ah
m
u
rR
ta
ki
e
S
&
am
al
D
Faktor Risiko
Grafik 4.4. Hasil Analisis Multivariat Faktor risiko Lingkungan
yang Berpengaruh terhadap Kejadian Leptospirosis Berat
96
Hasil analisis multivariat menghasilkan model persamaan regresi sebagai
berikut :
1
Y = ___________________
1 + e – ( β0 + ∑ βn Xn )
1
Y = ___________________
1 + e – ( Constans + B adanya sampah +B curah hujan >= 177,5 mm + B jarak rumah dgn selokan <
1,25 meter + B adanya tikus di dalam dan sekitar rumah )
1
Y = ___________________
1 + e – ( - 5, 607
+ 1,637 + 1,738 + 1,670 + 3,657 )
Y = 0,906 (91 %)
Hal ini berarti bahwa jika ada seseorang dengan kondisi lingkungan fisik
yaitu adanya sampah di dalam rumah yang bisa menjadi tempat tikus, curah hujan
≥ 177,5 mm, jarak rumah dengan selokan < 2,0 meter dan dengan kondisi
lingkungan biologik yaitu adanya tikus di dalam dan sekitar rumah memiliki
probabilitas atau risiko terkena leptospirosis berat sebesar 91%.
97
Berikut ini penghitungan probabilitas untuk terkena leptospirosis berat dari
beberapa kombinasi faktor risiko.
Tabel 4.14 Penghitungan Probabilitas untuk Terkena Leptospirosis Berat dari
Beberapa Kombinasi Faktor risiko.
Faktor
risiko 1
+
+
+
+
+
+
+
+
Faktor
risiko 2
+
+
+
+
+
+
+
+
Faktor
risiko 3
+
+
+
+
+
+
+
+
Faktor
risiko 4
+
+
+
+
+
+
+
+
Keterangan :
Faktor risiko 1 : Sampah di dalam rumah
Faktor risiko 2 : Curah hujan ≥ 177,5 mm
Faktor risiko 3 : Jarak rumah dengan selokan < 2,0 m
Faktor risiko 4 : Tikus di dalam dan sekitar rumah
Probabilitas untuk
terkena
leptospirosis berat
1,85%
2,00%
1,90%
12,45%
9,70%
9,10%
42,20%
9,98%
44,70%
43,00%
36,30%
80,60%
81,10%
79,53%
90,60%
98
BAB V
PEMBAHASAN
A. Pembahasan Umum
Tabel 4.4 tentang data kasus leptospirosis berat per kecamatan
menunjukkan bahwa dari tahun 2000 sampai 2005 kasus leptospirosis berat di
kota Semarang tidak mengelompok di satu tempat tetapi tersebar sporadis hampir
di semua kecamatan di Semarang. Jumlah kasus terbanyak di Kecamatan
Semarang Utara (17 kasus) disusul Kecamatan Semarang Barat (9 kasus). Jumlah
kasus leptospirosis berat yang dirawat di RS Dr. Kariadi per tahun 10 – 20 kasus.
Selama tahun 2000 kasus leptospirosis berat hanya sekitar Kecamatan Semarang
Utara (3 kasus), Semarang Barat (3 kasus), Semarang Tengah (2 kasus),
Semarang Selatan, Gajahmungkur dan Semarang Timur masing-masing satu
kasus. Tahun 2001 sudah meluas ke Kecamatan Candisari. Jumlah kasus
leptospirosis berat tahun 2001 hanya enam kasus dan terbanyak di Kecamatan
Semarang Utara (2 kasus). Tahun 2002 ada 13 kasus dan terbanyak di Kecamatan
Semarang Barat (4 kasus). Tahun 2003 sudah tambah meluas lagi ke Kecamatan
Ngaliyan dan Tugu. Jumlah kasus leptospirosis berat tahun 2003 ada 8 kasus dan
terbanyak di Kecamatan Semarang Utara (2 kasus). Tahun 2004-2005 lebih
meluas lagi ke Kecamatan Banyumanik dan Tembalang. Jumlah kasus terbanyak
juga di Kecamatan Semarang Utara. Untuk Kecamatan Gunungpati dan Genuk
mungkin juga ada kasusnya, hanya tidak dirawat di RS Dr. Kariadi. Kemungkinan
99
untuk Kecamatan Gunungpati kasus leptospirosis berat dirawat di RS Ungaran
dan Kecamatan Genuk dirawat di RS Panti Wilasa maupun RS Sultan Agung
karena lokasi yang lebih dekat.
Keadaan secara umum lokasi kasus merupakan daerah yang agak kumuh,
padat penduduknya dan kondisi sanitasi lingkungan yang buruk. Sebagian besar
kasus terdapat di Kecamatan Semarang Utara (17 kasus) kemudian disusul
Kecamatan Semarang Barat (9 kasus) dan kecamatan lain 1-5 kasus kecuali
Kecamatan Gunungpati dan Genuk.
B. Pembahasan Khusus Hasil Penelitian
Hasil uji analisis multivariat menunjukkan bahwa faktor lingkungan yang
terbukti berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis berat yaitu lingkungan fisik
dan lingkungan biologik. Lingkungan fisik terdiri dari adanya sampah di dalam
rumah, curah hujan >= 177,5 mm dan jarak rumah dengan selokan < 2,0 m.
Sedangkan lingkungan biologik yaitu adanya tikus di dalam dan sekitar rumah.
Faktor lingkungan yang tidak terbukti berpengaruh terhadap kejadian
leptospirosis berat secara statistik yaitu : 1) Faktor lingkungan fisik : kondisi
selokan, karakteristik genangan air, kondisi jalan sekitar rumah, kondisi tempat
pengumpulan sampah dan topografi; 2) Faktor lingkungan biologik : kepemilikan
hewan piaraan sebagai hospes perantara; 3) Faktor lingkungan kimia : pH tanah;
4) Faktor lingkungan sosial : riwayat peran serta dlm kegiatan sosial yang
berisiko terhadap leptospirosis dan penggunaan alat pelindung diri; 5) Faktor
100
lingkungan ekonomi : pendapatan dan pekerjaan; 6) Faktor lingkungan budaya :
tidak memakai alaskaki di rumah dan mencuci/mandi di sungai.
1. Faktor risiko lingkungan yang terbukti berpengaruh dengan kejadian leptospirosis
berat adalah faktor risiko lingkungan fisik yaitu sampah di dalam rumah, curah
hujan ≥ 177,5 mm, jarak rumah dengan selokan < 2,0 meter dan faktor risiko
lingkungan biologik yaitu adanya tikus di dalam dan sekitar rumah.
a. Faktor risiko lingkungan fisik
1) Sampah di dalam rumah
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa sampah di dalam
rumah mempunyai risiko 5,1 kali lebih besar untuk terjadi leptospirosis
berat dibandingkan dengan tidak ada sampah di dalam rumah (95% CI 1,8
– 14,7).
Kondisi sanitasi yang jelek seperti adanya kumpulan sampah dan
kehadiran tikus merupakan variabel determinan kasus leptospirosis.
Adanya kumpulan sampah dijadikan indikator dari kehadiran tikus.31)
Hasil analisis bivariat variabel keberadaan sampah di dalam rumah
dengan adanya tikus di dalam dan sekitar rumah menunjukkan bahwa
proporsi responden yang mempunyai sampah di dalam rumah dan
menjumpai tikus di dalam dan sekitar rumah sebanyak 82,5%; dan
proporsi responden yang mempunyai sampah tetapi tidak menjumpai tikus
101
di dalam dan sekitar rumah hanya 17,5%. Secara statistik menunjukkan
adanya hubungan keberadaan sampah di dalam rumah dengan adanya
tikus di dalam dan sekitar rumah (p=0,015).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
oleh
Barcellos
dipengaruhi
(1996)
yang
menyimpulkan
bahwa
leptospirosis
oleh adanya sampah, kehadiran tikus dan faktor bakteri
leptospira.30) Juga penelitian oleh Sarkar (2000) di Salvador Brazil
menyebutkan bahwa kondisi sanitasi tempat tinggal yang buruk yaitu
adanya
kumpulan
leptospirosis.12)
sampah
merupakan
faktor
risiko
kejadian
Penelitian di Seychelles juga menyebutkan bahwa
sampah yang tidak dikumpulkan oleh tukang sampah mempunyai risiko 4
kali lebih besar untuk terkena leptospirosis.41)
2) Curah hujan ≥ 177,5 mm
Curah hujan yang tinggi akan meningkatkan paparan bakteri
leptospira pada manusia lewat air, tanah yang terkontaminasi.42)
Leptospirosis biasanya mempunyai distribusi musiman, meningkat dengan
tingginya curah hujan dan tingginya temperatur.21) Pada penelitian ini
curah hujan dikelompokkan menjadi ≥ 177,5 mm dan < 177,5 mm, yaitu
curah hujan 1 bulan sebelum dirawat di rumah sakit. Curah hujan ≥ 177,5
mm mempunyai risiko 5,7 kali lebih besar untuk terjadi leptospirosis
dibanding curah hujan < 177,5 mm (95% CI 1,9 – 17,3).
102
Leptosprirosis berhubungan dengan musim. Menurut data dari
Internal Medicine di Victoria Hospital Karibia terdapat 2.244 pasien
dirawat karena leptospirosis pada musim hujan yang berkepanjangan di
negara itu. Begitu pula di Thailand pada saat musim hujan terdapat
sebanyak 312 kasus leptospirosis. Sedangkan di DKI Jakarta pada bulan
pebruari sampai dengan April setelah pasca banjir tercatat 103 penderita
leptospirosis, data tersebut terus meningkat sampai dengan bulan Juni
menjadi 144 kasus leptospirosis.43) Penelitian di Seychelles menyimpulkan
bahwa insiden leptospirosis berhubungan dengan curah hujan. Analisis
yang mendetail dengan menggunakan microclimate menunjukkan
hubungan yang kuat kelangsungan hidup bakteri leptospira di lingkungan
yang basah.41)
Hasil tabulasi silang variabel curah hujan dengan genangan air
menunjukkan proporsi curah hujan ≥ 177,5 mm dan ada genangan air
(70,2%) hampir sama dengan proporsi curah hujan ≥ 177,5 mm tetapi
tidak ada genangan (72,2). Secara statistik tidak ada hubungan curah hujan
dengan genangan air (p=0,977). Begitu pula variabel curah hujan dengan
lingkungan banjir secara statistik tidak ada hubungan (p=0,747).
3) Jarak rumah dengan selokan < 2,0 meter
Jarak rumah dengan selokan dikategorikan <2,0 meter dan ≥ 2,0
meter. Semakin dekat jarak rumah dengan selokan semakin besar
103
kemungkinan
terpapar
sumber
kontaminan.
Hasil
penelitian
ini
menyebutkan bahwa jarak rumah dengan selokan < 2,0 meter mempunyai
risiko 5,3 kali lebih besar untuk terjadi leptospirosis dibanding jarak
rumah dengan selokan ≥ 2,0 meter (95% CI 1,8 – 15,7).
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sarkar
(2000) yang menyebutkan jarak rumah yang dekat dengan selokan
mempunyai risiko 5,1 kali lebih besar untuk terjadi leptospirosis (95% CI
1,8 – 14,7).12)
Hasil analisis bivariat variabel jarak rumah dengan selokan dan
kondisi selokan menunjukkan bahwa proporsi responden yang jarak
rumah dengan selokan < 2,0 m dan mempunyai kondisi selokan buruk
(69,6%) hampir 2 kali dibandingkan
proporsi responden yang jarak
rumah dengan selokan < 2,0 m dan kondisi selokannya baik (35,7%).
Secara statistik menunjukkan adanya hubungan jarak selokan dengan
rumah dengan kondisi selokan (p<0,0001).
b. Faktor risiko lingkungan biologik
-) Tikus di dalam dan sekitar rumah
Tikus mempunyai peranan penting pada saat terjadi KLB
leptospirosis di DKI Jakarta dan di Bekasi. Tikus terutama Rattus
norvegicus merupakan reservoir penting dalam leptospirosis. Hasil
104
analisis statistik menunjukkan bahwa adanya tikus di dalam dan sekitar
rumah mempunyai risiko 38,7 kali lebih besar terhadap kejadian
leptospirosis berat (95% CI 7,7 – 194,4).
Hasil penelitian ini mendukung penelitian terdahulu yaitu
penelitian oleh Sarkar (2000) yang menyebutkan melihat tikus di dalam
rumah mempunyai risiko 4,5 kali lebih besar untuk terjadi leptospirosis12)
dan oleh Bovet dkk (1998) di Seychelles dengan risiko 2,0 dengan adanya
tikus di dalam rumah.9) Penelitian oleh Murtiningsih (2003) di Yogyakarta
dan sekitarnya menyimpulkan bahwa dijumpainya tikus di dalam rumah
meningkatkan risiko 7,4 kejadian leptospirosis. 44)
Infeksi bakteri leptospira terjadi karena kondisi lingkungan
perumahan yang banyak dijumpai tikus sehingga bila terjadi kontaminasi
oleh urin tikus yang mengandung bakteri dapat dengan mudah terjangkit
penyakit leptospirosis. Bakteri leptospira banyak menyerang tikus besar
seperti tikus wirok Rattus norvegicus dan tikus rumah (Rattus diardii).
2. Faktor risiko lingkungan yang tidak terbukti berpengaruh dengan kejadian
leptospirosis berat adalah faktor risiko lingkungan fisik yaitu kondisi selokan,
karakteristik genangan air, kondisi jalan sekitar rumah, kondisi tempat
pengumpulan sampah dan topografi; faktor risiko lingkungan biologik yaitu
kepemilikan hewan piaraan; faktor risiko lingkungan kimia yaitu pH tanah; faktor
risiko lingkungan sosial yaitu riwayat peran serta dalam kegiatan sosial yang
105
berisiko terhadap leptospirosis dan penggunaan alat pelindung; faktor risiko
lingkungan ekonomi yaitu pendapatan dan pekerjaan; faktor risiko lingkungan
budaya yaitu tidak memakai alaskaki dan mencuci/mandi di sungai.
a. Faktor risiko lingkungan fisik
1) Kondisi selokan
Analisis bivariat menunjukkan kondisi selokan yang buruk
memiliki risiko 4,98 lebih besar dibandingkan dengan kondisi selokan
yang baik. (OR=5,0; 95% CI 2,3 – 10,6; p<0,0001). Sedangkan dengan
analisis multivariat variabel ini tidak berpengaruh. Sehingga hipotesis
tentang kondisi selokan yang buruk merupakan faktor risiko kejadian
leptospirosis berat tidak terbukti.
Hasil penelitian ini sesuai dengan Wiharyadi (2004).15) Tetapi
penelitian oleh Hadisaputro (1997) menyebutkan sebaliknya bahwa aliran
selokan yang buruk mempunyai risiko 3 kali lebih besar terjadi
leptospirosis.14)
Tidak adanya pengaruh yang bermakna disebabkan adanya
pengaruh variabel lain yang lebih kuat mengingat variabel yang
berpengaruh dianalisis sekaligus sehingga kemungkinan dikontrol variabel
yang lebih besar.
2) Karakteristik genangan air
Analisis secara bivariat menunjukkan adanya genangan air di
sekitar rumah memiliki risiko 3,8 lebih besar dibandingkan dengan tidak
106
ada genangan air. (OR=3,8; 95% CI 1,8 – 8,3; p<0,0001). Sedangkan
dengan analisis multivariat variabel ini tidak berpengaruh. Sehingga
hipotesis tentang adanya genangan air merupakan faktor risiko kejadian
leptospirosis berat tidak terbukti.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan Wiharyadi (2004) yang
menyatakan bahwa adanya genangan air di sekitar rumah mempunyai
risiko 12,9 kali lebih besar untuk terjadi leptospirosis berat dibandingkan
tidak ada genangan air.15)
Tidak adanya pengaruh yang bermakna disebabkan proporsi
paparan pada kelompok kasus dan kontrol hampir sama. Proporsi yang
hampir sama ini mungkin disebabkan adanya pengaruh variabel lain yang
lebih kuat mengingat variabel yang berpengaruh dianalisis sekaligus
sehingga kemungkinan dikontrol variabel yang lebih besar.
Juga
dikarenakan jika ada genangan air tetapi genangan air itu tidak
terkontaminasi urin tikus terinfeksi maka tidak akan berpengaruh terhadap
kejadian leptospirosis.
Penelitian oleh Tangkanakul dkk (1998) menyatakan bahwa
berjalan di genangan air mempunyai risiko 4,8 kali lebih besar untuk
terkena leptospirosis.33)
3) Kondisi jalan sekitar rumah
Kondisi jalan sekitar rumah yang buruk yaitu adanya genangan air
(banjir) dan adanya lobang jalan yang tergenang air akan mempercepat
107
penyebaran penyakit leptospirosis, hal ini diakibatkan urin hewan yang
terinfeksi bakteri leptospira akan terbawa oleh genangan air dan
mencemari lingkungan sekitar rumah pada tempat-tempat becek dan
berair, sehingga akan mudah masuk ke dalam tubuh manusia.
Hasil analisis statistik baik secara bivariat maupun multivariat
menunjukkan tidak ada pengaruh antara kondisi jalan sekitar rumah
dengan kejadian leptospirosis berat. Menurut penelitian sebelumnya oleh
Sarkar (2000) juga menyebutkan bahwa jalan yang banjir selama musim
hujan juga tidak berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis.12) Tidak ada
pengaruh antara kondisi jalan sekitar rumah dengan kejadian leptospirosis
berat pada penelitian ini disebabkan adanya kesetaraan proporsi antara
kelompok kasus dan kelompok kontrol. Kesetaraan proporsi ini
kemungkinan disebabkan sebagian besar baik kasus maupun kontrol
mempunyai kondisi jalan yang baik yaitu tidak ada banjir dan tidak ada
lobang jalan yang tergenang air sehingga tidak terjadi penularan
leptospirosis.
4) Kondisi tempat pengumpulan sampah
Hasil analisis statistik baik secara bivariat maupun multivariat
menunjukkan tidak ada pengaruh antara kondisi tempat pengumpulan
sampah dengan kejadian leptospirosis berat. Hasil ini tidak mendukung
hipotesis yang menyatakan bahwa kondisi tempat pengumpulan sampah
yang buruk merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat. Menurut
108
penelitian sebelumnya di Rio de Janeiro oleh Barcellos (1996) menunjukkan
bahwa jarak rumah yang dekat dengan tempat pengumpulan sampah
menunjukkan insiden leptospirosis yang lebih tinggi.30)
Tidak adanya pengaruh antara kondisi tempat pengumpulan sampah
dengan
kejadian
leptospirosis
berat
mungkin
disebabkan
definisi
operasional variabel yang berbeda dengan penelitian terdahulu. Definisi
operasional variabel kondisi tempat pengumpulan sampah pada penelitian
ini lebih mendalam sehingga proporsi kelompok kasus dan kontrol hampir
sama. Definisi operasional tempat pengumpulan sampah yang buruk jika
jarak letak rumah dengan tempat pengumpulan sampah < 500 m, tergenang
air, luapan air menuju ke rumah atau terdapat salah satu diantaranya.
5) Topografi
Topografi dalam penelitian ini didefinisikan ketinggian rumah dari
permukaan air laut. Semakin dekat dengan permukaan air laut kemungkinan
terjadi genangan air akan lebih besar. Lewat genangan ini biasanya bakteri
leptospira masuk ke tubuh manusia.
Hasil analisis statistik secara mandiri menunjukkan ada pengaruh
antara topografi dengan kejadian leptospirosis berat (OR=2,5 95% CI 1,2 –
5,6; p=0,016). Tetapi setelah dianalisis secara multivariat menunjukkan
bahwa variabel ini tidak berpengaruh. Tidak ada pengaruh setelah dianalisis
secara multivariat disebabkan karena pengaruh variabel lain yang lebih kuat,
mengingat variabel yang berpengaruh dianalisis sekaligus sehingga
109
kemungkinan dikontrol variabel yang lebih besar. Juga disebabkan variabel
topografi ini pengukurannya berasal dari data sekunder (data BMG).
Dimana pengukuran topografi ini hanya ada 8 titik pengukuran di Semarang
sehingga belum mewakili keadaan Kota Semarang secara keseluruhan.
Secara topografi keadaan Kota Semarang adalah perbukitan sehingga
pengukuran 8 titik ini kurang mewakili.
b. Faktor lingkungan biologik
-) Keberadaan hewan piaraan sebagai hospes perantara
Di negara tropis kemungkinan paparan leptospirosis terbesar pada
manusia karena terinfeksi dari binatang ternak, binatang rumah maupun
binatang liar. Penelitian oleh Richardson (2003) dari 31 tikus yang diteliti
36% mengandung bakteri leptospira spesies L. icterohemorrhagiae.45)
Hasil analisis statistik baik secara bivariat maupun multivariat
menunjukkan bahwa keberadaan hewan piaraan tidak berpengaruh dengan
kejadian leptospirosis berat, sehingga hipotesis kepemilikan hewan
piaraan merupakan faktor risiko leptospirosis berat tidak terbukti. Hal ini
dapat dijelaskan karena sebagian besar baik kasus maupun kontrol tidak
mempunyai hewan piaraan, hanya sebagian kecil saja yang punya yaitu
ayam dan burung. Hewan piaraan yang bisa menjadi sumber penularan
leptospirosis
antara lain sapi, babi, anjing, kucing, kambing, domba,
kerbau dan kuda.
110
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hernowo di DKI
Jakarta (2002) 43), Murtiningsih di Yogyakarta (2003)
44)
dan Wiharyadi
di Semarang (2004) 15) yang sama-sama menyatakan tidak ada pengaruh
kepemilikan hewan piaraan dengan kejadian leptospirosis.
c. Faktor lingkungan kimia
-) pH tanah
Menurut Suroso (2002) tinggginya kasus leptospirosis pasca banjir
di Jakarta disebabkan masih banyaknya genangan air banjir dan bakteri
leptospira tergolong mahkluk hidup yang kuat karena mampu bertahan
hidup pada suhu 7 0 C – 36 0 C dan pada pH 7 (netral).
Hasil analisis statistik baik secara bivariat maupun multivariat
menunjukkan tidak ada pengaruh antara pH tanah dengan kejadian
leptospirosis berat. Hal ini mungkin dikarenakan jumlah kasus terbesar ada
di Kecamatan Semarang Utara. Kecamatan Semarang Utara adalah daerah
dengan ketinggian hanya sekitar 1 meter di atas permukaan air laut,
sehingga kemungkinan masuknya air laut ke darat sangat besar akibatnya
pH tanah di daerah dekat laut menjadi basa..
Hal ini sejalan dengan penelitian Wiharyadi (2004) yang
menyatakan tidak ada hubungan bermakna antara pH tanah dengan kejadian
leptospirosis berat.15)
111
d. Faktor lingkungan sosial
1) Riwayat peran serta dalam kegiatan sosial yang berisiko leptospirosis
Keikutsertaan dalam kegiatan sosial misalnya kerjabakti merupakan
salahsatu aktivitas yang berisiko terkena leptospirosis. Pada penelitian ini
menunjukkan bahwa riwayat peran serta dalam kegiatan sosial tidak
berpengaruh dengan kejadian leptospirosis berat, sehingga hipotesis tidak
terbukti. Hal ini disebabkan sebagian besar kasus dan kontrol menjawab
mengiyakan saja bahwa mereka punya riwayat peran serta dalam kegiatan
sosial yaitu berupa kerjabakti 3 minggu sebelum sakit. Kerjabakti yang
dilakukan antara lain kerjabakti membersihkan selokan, membersihkan
sungai, menghilangkan genangan air dan membersihkan sampah.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian oleh Wiharyadi
(2004) yang menyatakan beraktivitas di tempat berair merupakan faktor
risiko leptospirosis berat.15)
2) Penggunaan alat pelindung
Penggunaan alat pelindung saat melakukan aktivitas yang berisiko
terkena bakteri leptospira sangat penting. Dalam hal ini saat melakukan
kerjabakti, karena saat kerjabakti kemungkinan terpapar bakteri leptospira
sangat besar. Alat pelindung diri yang digunakan saat kerja bakti yaitu
berupa sepatu bot dan sarung tangan.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
bermakna antara penggunaan alat pelindung dengan leptospirosis berat. Hal
112
ini disebabkan hanya hanya sebagian kecil yang yang menggunakan alat
pelindung baik pada kasus maupun kontrol. Hasil penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian oleh Phraisuwan dkk (1999)31) dan Tangkanakul
(1998)32) yang menyatakan sepatu bot dan sarung tangan tidak berhubungan
dengan kejadian leptospirosis. Penelitian oleh Sarkar (2000) juga
menyatakan bahwa penggunaan sarung tangan saat bekerja bukan
merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis.12)
Hasil ini bertentangan dengan penelitian oleh Hernowo (2002) yang
menyatakan penggunaan dan sepatu bots merupakan faktor risiko kejadian
leptospirosis di Jakarta.42) Yang membedakan penelitian ini dengan
penelitian Hernowo yaitu penelitian oleh Hernowo dilakukan hanya pada
saat terjadi KLB leptospirosis di Jakarta.
e. Faktor lingkungan ekonomi
1) Pendapatan
Faktor ekonomi keluarga atau pendapatan merupakan faktor
mendasar yang akan mempengaruhi segala aspek kehidupan termasuk
kesehatan.
Krisis ekonomi yang melanda negara Indonesia berdampak pada
meningkatnya penduduk miskin disertai dengan menurunnya kemampuan
membuat lingkungan pemukiman yang sehat, mendorong jumlah orang
113
yang rentan terhadap serangan berbagai penyakit semakin banyak termasuk
penyakit leptopirosis.
Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada pengaruh antara
pendapatan dengan kejadian leptospirosis berat. Hal ini mungkin disebabkan
walaupun pendapatan rendah kalau dia tidak ada kontak dengan sumber
kontaminan maka tidak akan terkena leptospirosis. Hal ini sejalan dengan
penelitian Wiharyadi (2004) yang menyatakan tidak ada hubungan
bermakna antara status ekonomi dengan kejadian leptospirosis berat.
2) Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang berisiko terjangkit leptospirosis antara lain:
petani, dokter hewan, pekerja pemotong hewan, pekerja pengontrol tikus,
tukang sampah, pekerja selokan, buruh tambang, tentara dan pekerjaaan
yang
selalu
kontak
dengan
binatang.7)
Hasil
penelitian
oleh
Natarajaseenivasan dkk di India Selatan (2000) menyebutkan leptospirosis
merupakan masalah kesehatan
penting yang berbahaya bagi pekerja
penanam padi di sawah.46) Sedangkan di Israel leptospirosis berhubungan
dengan pekerjaan pertanian dan perkebunan.47)
Pekerjaan
dikategorikan
pekerjaan
yang
berisiko
terkena
leptospirosis dan pekerjaan yang tidak berisiko. Hasil analisis statistik baik
secara bivariat maupun multivariat menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh
antara pekerjaan dengan kejadian leptospirosis berat. Hal ini disebabkan
hanya sebagian kecil pada kasus dan kontrol yang merupakan pekerjaan
114
berisiko terkena leptospirosis yaitu hanya ada 3 orang pada kasus yang jenis
pekerjaanya sebagai petani dan 2 orang pada kontrol yang jenis
pekerjaannya petani. Sebagian besar kasus dan kontrol dengan pekerjaan
buruh industri, karyawan swasta, pedagang, pensiunan dan ibu rumah
tangga.
Hasil analisis bivariat variabel pekerjaan dengan alat pelindung diri
menunjukkan dari 4 orang dengan pekerjaan berisiko terkena leptospirosis,
3 diantaranya menggunakan alat pelindung diri dan hanya 1 orang yang
tidak menggunakan alat pelindung diri.
Tetapi dari hasil wawancara tentang kegiatan sambilan yang
dilakukan 3 minggu sebelum sakit, banyak menunjukkan kegiatan yang
berisiko terkena leptospirosis antara lain membersihkan genangan air
kakinya
terkena
paku,
kerjabakti
bersih-bersih
lingkungan
seperti
membersihkan selokan, menjemur pakaian di tempat becek, berjualan di
tempat becek, mencangkul di sawah, main bola di tempat berair, berjalan
melewati
banjir,
bersih-bersih
rumah
dan
halaman,
membantu
membersihkan rumput di sawah, bersih-bersih kebun dan lain-lain.
Hasil ini sejalan dengan penelitian oleh Sarkar (2000), Hernowo
(2002) dan Wiharyadi (2004) yang menyatakan bahwa pekerjaan bukan
merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis.
115
f. Faktor lingkungan budaya
1) Tidak memakai alaskaki di rumah
Bakteri leptospira bisa masuk ke tubuh lewat pori-pori kaki dan
tangan yang lama terendam air. Oleh sebab itu penggunaan alaskaki sangat
penting untuk menghindari masuknya bakteri leptospira ke dalam tubuh.
Hasil analisis statistik baik secara bivariat maupun multivariat
menunjukkan tidak adanya pengaruh antara aktivitas tidak memakai
alaskaki di rumah atau di tempat kerja dengan kejadian leptospirosis. Hal ini
disebabkan sebagian besar responden selalu menggunakan alaskaki saat di
rumah maupun bekerja sehingga proporsi paparan antara kasus dan kontrol
hampir sama..
2) Mandi/mencuci di sungai
Kegiatan mencuci dan mandi di sungai dan danau akan berisiko
terpapar bakteri leptospira karena kemungkinan terjadi kontak dengan urin
yang terkontaminasi bakteri leptospira akan lebih besar. Kontak dengan
bakteri leptospira melalui pori-pori kulit yang lunak, selaput lendir, kulit
kaki, tangan dan tubuh yang lecet.35)
Selain faktor pekerjaan, aktivitas rekreasi juga berpengaruh termasuk
kontak dengan air seperti berenang, berkano dan aktivitas di sungai menjadi
lebih signifikan.48)
Hasil analisis statistik baik secara bivariat maupun multivariat
menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh antara kegiatan mandi/mencuci di
116
sungai dengan leptospirosis berat. Hal ini karena hanya ada 2 orang kasus
dan 1 orang kontrol yang pernah mandi/mencuci di sungai. Disebabkan
kondisi sungai-sungai di Semarang yang banyak tidak memenuhi syarat
kesehatan sehingga mereka tidak menggunakan sungai untuk kebutuhan
sehari-hari.
Hasil ini sejalan dengan penelitian oleh Ashford dkk (1995)6),
Johnson dkk (2001)32) dan Murtiningsih (2003)44) yang menyatakan tidak
ada hubungan mandi/berenang dan mencuci baju di sungai dengan kejadian
leptospirosis.
B. Keterbatasan Penelitian
Pada studi kasus kontrol bermacam-macam bias dapat terjadi, diantaranya adalah:
1. Bias Seleksi
Pada penelitian ini ada 2 macam bias yang termasuk dalam bias seleksi yaitu
bias deteksi (detection bias) dan bias addmision (berkson).
a. Bias deteksi
Pada kontrol tidak dilakukan konfirmasi laboratorik sehingga ada
kemungkinan terjadi bias deteksi (detection bias). Untuk mengurangi bias
deteksi kontrol diambil dari pasien yang tidak menderita penyakit infeksi
dan juga tidak ada riwayat yang mengarah pada gejala-gejala penyakit
leptospirosis.
117
b. Bias Berkson
Probabilitas masuk rumah sakit antara kelompok kasus dan kontrol
berbeda, perbedaan itu berhubungan dengan status paparan. Perbedaan
masuk rumah sakit antara penyakit leptospirosis berat dan penyakit lain
disebabkan banyak hal, misalnya : perbedaan beratnya penyakit, akses
pelayanan medik, popularitas penyakit atau popularitas rumah sakit.
2. Bias informasi
Pada penelitian ini ada 3 macam bias yang termasuk dalam bias informasi
yaitu recall bias, bias interview dan bias non-respons.
a. Recall bias
Kelemahan pada penelitian kasus kontrol ini karena bersifat retrospektif
sehingga recall bias tidak dapat dihindari. Upaya untuk meminimalkan
recall bias yang dilakukan peneliti adalah melakukan uji coba observasi
dan kuesioner di lapangan, pewawancara dibekali pelatihan yang berkaitan
dengan pelaksanaan wawancara dan peneliti telah berupaya untuk
membuat dan menyusun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan menjadi
kalimat yang sederhana, mudah dimengerti, mudah dipahami baik oleh
responden maupun pewawancara sendiri.
b. Bias Interview
Kesalahan pada saat melakukan wawancara. Kesalahan ini terjadi bila
pewawancara kurang jelas memberikan pertanyaan sehingga responden
118
salah menafsirkannya. Cara untuk mengatasinya dengan melakukan
pelatihan pada pewawancara .
c. Bias non-respons
Bias yang disebabkan penolakan responden untuk berpartisipasi, sehingga
mempengaruhi tingkat partisipasi kasus dan kontrol, terpapar dan tidak
terpapar. Cara untuk mengatasinya dengan menyediakan kasus maupun
kontrol cadangan dan berusaha membujuk responden agar mau
berpartisipasi.
3. Nilai Confidence Interval yang lebar
Hasil analisis ditemukan ada variabel yang memiliki nilai confidence interval
yang sangat lebar, sehingga presisi penaksiran parameter menjadi kurang baik.
4. Untuk data sekunder topografi/ketinggian dan curah hujan hanya ada beberapa
titik pengukuran saja, jadi kurang mewakili keseluruhan.
119
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Setelah dilakukan penelitian tentang faktor risiko lingkungan yang berpengaruh
terhadap kejadian leptospirosis berat studi kasus di rumah sakit Dr. Kariadi
Semarang dapat disimpulkan bahwa :
1. Faktor risiko lingkungan yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian
leptospirosis berat adalah :
a. Faktor risiko lingkungan fisik yang terdiri dari :
-
Sampah di dalam rumah (OR=5,1; 95% CI 1,8-14,7)
-
Curah hujan ≥ 177,5 mm (OR=5,7; 95% CI 1,9-17,3)
-
Jarak rumah dengan selokan < 2,0 meter (OR=5,3; 95% CI 1,8-15,7)
b. Faktor risiko lingkungan biologik yaitu tikus di dalam dan sekitar rumah
(OR=38,7; 95% CI 7,7 –194,4)
2. Faktor risiko lingkungan yang tidak terbukti berpengaruh terhadap kejadian
leptospiropsis berat adalah :
a. Faktor risiko lingkungan fisik yaitu kondisi selokan, karakteristik
genangan air, kondisi jalan sekitar rumah, kondisi tempat pengumpulan
sampah dan topografi
b. Faktor risiko lingkungan biologik yaitu kepemilikan hewan piaraan.
c.
Faktor risiko lingkungan kimia yaitu pH tanah netral
120
d. Faktor risiko lingkungan sosial yaitu riwayat peran serta dalam kegiatan
sosial yang berisiko terhadap leptospirosis dan penggunaan alat pelindung
e. Faktor risiko lingkungan ekonomi yaitu pendapatan dan pekerjaan.
f. Faktor risiko lingkungan budaya yaitu tidak memakai alaskaki dan
mencuci/mandi di sungai.
B. SARAN
Berdasarkan simpulan tersebut maka disarankan :
a. Bagi Masyarakat
1. Perlu penanganan sampah di rumah secara benar yaitu jangan sampai
menginapkan sampah di dalam rumah dan tempat sampah tertutup rapat
sehingga tidak menjadi sumber makanan tikus.
2. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan sekitar supaya tidak menjadi
sarang tikus.
3. Tikus diusahakan diberantas bisa dengan cara diracuni tetapi dianjurkan
dengan mouse trap yang tidak mencemari lingkungan.
4. Pada waktu hujan penghuni rumah agar menghindari terkena air
becek/tergenang apalagi kalau mempunyai luka terbuka.
5. Selokan selalu dijaga kebersihannya dan aliran mengalir dengan lancar.
121
b. Bagi Dinas Kesehatan
1. Lebih aktif dalam melakukan pengendalian faktor risiko lingkungan dan
perilaku terhadap semua penyakit terutama penyakit leptospirosis di
daerah rawan.
2. Pada waktu menjelang musim hujan merupakan saat yang tepat bagi dinas
kesehatan untuk mengingatkan masyarakat tentang bahaya leptospirosis.
122
DAFTAR PUSTAKA
1.
Gasem M. H., Gambaran Klinik dan Diagnosis Leptospirosis pada Manusia,
Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 2002.
2.
Widarso HS dan Wilfried P., Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam
Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia, Kumpulan Makalah Simposium
Leptospirosis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002
3.
Levett , Leptospirosis, Clinical Microbiology Reviews, 2001, pp: 296-326.
4.
Sanford J.P., Leptospirosis, Harrison’s Principles of Internal Medicine, edisi 13,
Mc Graw-Hill, New York, 1994, pp: 740-743.
5.
Halo Internis, Ulah Leptospirosis, tahun I edisi ke-2/April –Juni 2004.
6.
Ashford D. A. et.al., Asymtomatic Infection and Risk Factors for Leptospirosis
in Nicaragua, American Journal Tropical Medicine and Hygiene, 2000, pp:
249-254.
7.
Anonymous, Leptospirosis,
Harrison’s Manual of Medicine International
edition, Mc Graw-Hill, New York, 2002, 463-464.
8.
Everard, C., Bennett, S., Edward, C., An Investigation of Some Risk Factor for
Severe Leptospirosis on Bardabos, American Journal Tropical Medicine and
Hygiene , 1992, pp: 13-22.
9.
Bovet. P., Yersin et al.,
Factor Assosiated with Clinical Leptospirosis, A
Population Based-Control Study in Seychelles, American Journal Tropical
Medicine and Hygiene, 1999, pp :583-590.
123
10.
Hatta M. dkk. Detection of IgM to Leptospira Agent with ELISA ang
Leptodipstick Method, Ebers Papyrus, Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Fakultas Kedoktera Universitas Tarumanegara, Vol 1 Maret 2002.
11.
Thornley, C.N et al., Changing Epidemiology of Human Leptospirosis in New
Zealand, Epidemiology Inect, 2002.
12.
Sarkar Urmimala et al., Population-Based Case-Control Invertigation of Risk
Factors for Leptospirosis during an Urban Epidemic,
American Journal
Tropical Medicine and Hygiene, 2002, pp: 605-610.
13.
Esen Saban et al., Impact of Clinical and Laboratory Findings on Prognosis in
Leptospirosis, Swiss Medical Weekly, 2004, pp: 347-352.
14.
Hadisaputro S., Faktor-faktor Risiko Leptospirosis, Kumpulan Makalah
Simposium Leptospirosis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002.
15.
Wiharyadi D., Faktor-faktor Risiko Leptospirosis Berat di Kota Semarang,
Tesis, Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Undip
Semarang, 2004.
16.
Riyanto, B., Manajemen Leptospirosis, Kumpulan Makalah Simposium
Leptospirosis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002.
17.
Depkes RI, Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium
Leptospirosis di Rumah Sakit, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta, 2003.
124
18.
Anonymous, Laporan Peningkatan Kasus Leptospirosis di Kota Semarang
tahun 2004, Seksi Penanggulangan KLB dan Wabah Sub Din Kes P2M
Propinsi Jawa Tengah, 2004.
19.
Speelman P., Leptospirosis, Harrison’s Principles of Internal Medicine, edisi
14, Mc Graw-Hill, New York, 1998, pp: 1036-1038.
20.
Watt G., Leptospirosis, Hunter’s Tropical Medicine, edisi 7,W.B. Sounders
Company, Philadelphia, 1998, pp: 317-323.
21.
Anonymous, Human Leptospirosis : Guidance for Diagnosis, Surveillance and
Control, International Leptospirosis Society, World Health Organization, 2003.
22.
Jawetz,
Melnick,
and
Adelberg’s,
Spirochetes
and
Other
Spiral
Microorganisms, Medical Microbiology, edisi 20, Prentice-Hall International
Inc, 1995, pp: 279-281.
23.
Ward M.P., Environmental Risk Factors for Clustering of Leptospirosis in Pet
Dog Population, Pre Conference Draft, GISVET, 2004.
24.
Wilcocks & Manson-Bahr, Other Spirochaetal Infection, Manson’s Tropical
Diseases, Bailliere Tindall London, 1972, pp: 597-602.
25.
Meites Elissa et al., Reemerging Leptospirosis California, Emerging Infectious
Disease Vol 10 No.3 March 2004, pp : 406-411.
26.
Lestariningsih, Gagal Ginjal Akut pada Leptospirosis, Kumpulan Makalah
Simposium Leptospirosis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002.
125
27.
Smits H.L., et al., Lateral-Flow Assay for Rapid Serodiagnosis og Human
Leptospirosis, Clinical and Diagnostic Laboratory Immunology, 2001, pp : 166169.
28.
Smits H.L., et al., Latex Based, Rapid and Easy Assay for Human Leptospirosis
in a Single Test Format, Tropical Medicine and International Health, 2001, pp :
114-118.
29.
Smits H.L., et al., International Multicenter Evaluation of the Clinical Utility of
a Dipstick Assay for Detection of Leptospira-Specific Immunoglobulin M
Antibodies in Human Serum Specimens, Journal of Clinical Microbiology,
1999, pp : 2904-2909.
30.
Laras, Kanti et al., The Importance of Leptospirosis in Southeast Asia,
American Journal of Tropical and Hygiene, 2002.
31.
Barcellos C and Sabroza P.C., The Place Behind the Case : Leptospirosi Risks
and Associated Environment Conditions in a Flood-related Outbreak in Rio de
Jenero, San Saude Publica, Brazil, 2001, pp : 59-67.
32.
Phraisuwan P. et al., Leptospirosis : Skin Wounds and Control Strategies
Thailand, 1999, Emerging Infectious Disease Vol 8, No.12 Desember 2002, pp:
1455-1459.
33.
Johnson
M. A. et al., Environmental Exposure and Leptospirosis, Peru.
Emerging Infectious Disease Vol 10 No.6 Juni 2004, pp : 1016-1022.
126
34.
Tangkanakul W. et .al., Risk Factor Associated with Leptospirosis in
Northeastern Thailand 1998, Amerika Journal Tropical Medicine, 2000,
pp.204-208.
35.
Faisal Y, Leptospirosis di Indonesia, Majalah Kesehatan Masyarakat No. 6
tahun 1998, Jakarta.
36.
Sejvar J. et al., Leptospirosis in “Eco-Challenge” Attheles Malaysian Borneo
2000, Emerging Infectious Disease Vol 9 No.6 Juni 2003, pp :702-707.
37.
Hennekens, C.H., Buring, J.E., Case Control Studies, Epidemiology In
Medicine, Little, Brown and Company Boston/Toronto, 1987, pp: 132-150.
38.
Beaglehole, R., Bonita, R., Kjellstrom, T., Jenis-Jenis Penelitian, Dasar-Dasar
Epidemiologi (terjemahan), Gadjah Mada University Press, 1997, pp: 53-92.
39.
Lemeshow et al. Simple Size for Case Control Studies, Adequancy of Sample
Size in Health Studies, Publised on behalf on the WHO by John Wiley & Sons,
1990, England, pp: 16-20.
40.
Murti B, Analisis Regresi Ganda Logistik, Prinsip dan Metode Riset
Epidemiologi, Gadjah Mada University Pres, 1997, Yogyakarta, pp: 367-388.
41.
Anonymous, Leptospirosis in Seychelles, Epidemiological Bulletin, Ministry of
Health Seychelles, September 2003.
42.
Anonymous, Leptospirosis, Infection Disease Epidemiology Section Office of
Public Health, Louisiana Dept of Health & Hospital, 2004.
127
43.
Hernowo, Tri, Hubungan Kebersihan Perorangan dengan Kejadian Sakit
Leptospirosis pada Kejadian Luar Biasa (KLB) Leptospirosis di Jakarta, Tesis,
Universitas Indonesia, 2002.
44.
Murtiningsih B., Faktor Risiko Kejadian Leptospirosis di Provinsi DIY dan
Sekitarnya, Tesis, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2003.
45.
Richardson D. J. and Gauthier J. L., A Serosurvey of Leptospirosis in
Cannecticut Peridomestic Wildlife, Vector-Borne and Zoonotic Disease Volume
3 Number 4 tahun 2003.
46.
Natarajaseenivasan K., et al, Human Leptospirosis in Erode, South India :
Serology, Isolation, and Characterization of the Isolates by Randomly Amplified
Polymorphic DNA (RAPD) Fingerprinting, Japan Journal Infection Disease,
2004, pp:193-197.
47.
Kariv R. et al., LTHe Changing Epidemiology og Leptospirosis in Israel,
Emerging Infectious Disease Vol 7 No.6 Nov-Des 2001, pp :990-992.
48.
Sekhar WY. et al, Leptospirosis in Kuala Lumpur and the Comparative
Evaluation of Two Rapid Commercial Diagnostic Kits Against the MAT Test for
the Detection of Antibodies to Leptospira Interrogans, Singapura Medical
Journal, Vol. 4, 2000, pp : 370-375.
128
Download