Penyakit Tropik Tugas 1 — Kelompok 01, Epid 16

advertisement
TUGAS 1
MATA KULIAH ANALISIS EPIDEMIOLOGI
KELOMPOK 1:
LISANTI
25010113120034
NUR FITRIAH
25010113120037
JIHAN ANNISA
25010113130262
RUSLIANA APRILIASARI
25010113130307
ZIYAAN AZDZAHIY BEBE
25010113140277
DWI SARASWATI
25010113140329
NOVIA TRI ASTUTI
25010115183008
KELAS:
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI DAN PENYAKIT TROPIK 2016
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2016
1. Pengertian Patogenesis dan patofisiologis
Patogenesis penyakit adalah mekanisme penyebab penyakit. Istilah ini juga dapat
digunakan untuk menggambarkan asal-usul dan perkembangan penyakit dan apakah akut, kronis
atau berulang. Kata ini berasal dari bahasa Yunan “pathos” (penyakit) dan “genesis”
(penciptaan). Patogenesis merupakan rangkaian kejadian (proses) perkembangan penyakit dari
permulaan yang paling awal serta faktor yang mempengaruhi.
Jenis patogenesis termasuk
infeksi mikroba,
peradangan,
keganasan
dan
kerusakan jaringan. Kebanyakan penyakit yang disebabkan oleh beberapa proses patogenesis
bersama-sama.
Patofisiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perubahan fisiologik akibat
penyakit. Patofisiologi merupakan integratif ilmu anatomi, fisiologi, biologi sel dan
molekuler,genetika, farmakologi dan patologi. Patofisiologi terfokus pada mekanisme penyakit,
atau proses dinamik yang menampakantanda (sign) dan gejala (symptom). (Prince Wilson, 2005)
Patofisiologi adalah ilmu yang mempelajari perubahan fisiologis yang diakibatkan oleh
presos patologis. ( Jan Tambayong, 2000)
Patofisiologi menjelaskan mekanisme dari kerusakan fungsi pada tubuh untuk
memberikan gambaran klinis dan komplikasi yang mungkin terjadi pada tubuh manusia. (Lan
Silbernag, 2000)
2. Mengapa perlu mengerti patogenesis dan patofisiologi untuk pengendalian penyakit?
a. Penyakit Menular
Patofisiologi adalah ilmu yang mempelajari perubahan fisiologis yang diakibatkan
oleh proses patologis (Tambayong, 2010). Sedangkan Patogenesis adalah asal mula dan
perkembangan keadaan patologis atau penyakit. Patogenesis ini mencakup etiologi, proses
masuknya penyakit ke dalam tubuh, perkembangan penyakit, hingga manifestasi klinis yang
ditunjukkan. (Asmadi, 2008) Penyakit Menular adalah penyakit yang dapat menular ke
manusia yang disebabkan oleh agen biologi, antara lain virus, bakteri, jamur, dan parasit
(Kemenkes, 2014). Perlunya mengerti patofisiologi dan patogenesis dalam pengendalian
penyakit menular adalah agar dapat segera dilakukan tindakan ketika terjadi perubahan tubuh
atau terjadi gejala-gejala yang mengindikasikan pada penyakit menular tertentu. Dengan
mengetahui patogenesis suatu penyakit menular tertentu,kita dapat mengetahui proses
perjalanan penyakit tersebut mulai memasuki tubuh. Fase-fase patogenesis penyakit tersebut
terbagi menjadi lima, yaitu prapatogenesis, inkubasi, penyakit dini, penyakit lanju, dan akhir
penyakit. Apabila patogenesis dan patofisiologi suatu penyakit menular dapat diketahui maka
kita dapat mengendalikan penularannya dengan cara memutus rantai penularan penyakit baik
yang ditularkan oleh virus, bakteri, jamur, maupun parasit. Dengan mengetahui patogenesis
dan
patofisiologi
suatu
penyakit
menular,
diharapkan
dapat
dilakukan
tindakan
penanggulangan penyakit menular sedini mungkin sehingga tidak menimbulkan kesakitan
yang lebih serius dan dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat penyakit
menular tersebut.
b. Penyakit Tidak Menular
Dengan mempelajari patofisilogis kita dapat paham dan mengerti bagaimana
gangguan fungsi pada organisme yang sakit meliputi asal penyakit ,permulaan perjalanan dan
akibatnya terjadi pada satu penyakit. Penyakit merupakan suatu kondisi abnormal yang
menyebabkan hilangnya kondisi normal yang sehat. Ditandai oleh tanda dan gejala,
perubahan secara spesifik oleh gambaran yang jelas morfologi dan fungsi dan sebaginya.
sedangkan dengan kita mempelajari patogenesisi mengerti dari suatu penyakit kita dapat
paham dan mengerti bagaimana perkembangan atau suatu evoulusi penyakit yang
menunjukan mekanisme dengan jalan mana penyakit terjadi pada seseorang. contohnya
makanana yang masuk ke dalam sallura pencernan dan menimbulkan infeksi karena personal
hygiene, hygiene sanitasi lingkungan dan hygiene makanan buruk. Dengan begitu kita dapat
melakukan pengendalian suatu penyakit khususnya penyakit tidak menular. Dimana Penyakit
tidak menular ini merupakan kondisi medis atau penyakit yang tidak menular atau nonmenular. dapat merujuk pada penyakit kronis yang berlangsung selama jangka waktu yang
lama dan kemajuan lambat. penyakit tidak menular mengakibatkan kematian yang cepat
seperti terlihat pada penyakit tertentu seperti penyakit autoimun, penyakit jantung, stroke,
kanker, diabetes, penyakit ginjal kronis, osteoporosis, penyakit Alzheimer, katarak, dan lainlain. Penyakit tidak menular
Dari kita paham dan mengerti akan patogenesis dan patofisiologis suatu penyakit dan
dengan jalan mana yang mengakibatkan suatu penyakit tidak menular terjadi , bagaimana
tanda dan gejala penyakit tidak menular. Sehingga kita dapat memutus rantai suatu penyakit
pada titik tertentu. Hal ini ini dikarenakan suatu penyakit tidak menular baru akan terlihat
dalam waktu yang lama. Selain itu kita bisa membuat artau mempengaruhi berbagai program
dan kebijakan kesehatan untuk mencegah dan menghindarinya suatu penyakit tidak menular
3. Pathogenesis dan Patofisiologis Leptospirosis
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme
spirochaeta, genus leptospira. Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies
yaitu Leptospira interrogans yang patogen dan Leptospira biflexa yang non-patogen atau
saprofit. Namun, dalam klinis dan epidemiologi, L.interrogans dibagi menjadi beberapa sero
grup
berdasarkan
perbedaan
haemorrhagica, L.canicola,
serologis.
Berdasarkan
dan L.pomona merupakan
beberapa
penelitian, L.ictero
serovar L.interrogns tersering
yang
menginfeksi manusia.
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia ,kecuali benua Antartika, dengan kejadian
terbanyak di daerah tropis. Daerah tropis mendukung pertumbuhan leptospira dengan
memberikan lingkungan optimal berupa suhu hangat dan lembab, serta pH tanah dan air yang
netral. Menurut International Leptospirosis Society, Indonesia menduduki peringkat ketiga di
dunia untuk mortalitas. Leptospirosis dapat dijumpai di Lampung, Riau, Bengkulu, Sumatera
Utara, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, NTB, Bali,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.
Manusia dapat terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah, dan lumpur yang
telah terkontaminasi urin binatang reservoir seperti tikus, anjing, sapi, babi, lembu, kuda, kucing,
marmot, dan binatang lainnya.Selain itu, dapat pula melalui kontak langsung dengan urin
binatang terinfeksi (atau cairan tubuh lainnya, kecuali saliva), meminum air terkontaminasi
leptospira, inhalasi aerosol cairan tubuh, dan transplasental. Transmisi dari manusia ke
manusia jarang terjadi.
Tikus merupakan vektor (reservoir) utama L. icterohaemorrhagica yang menginfeksi
manusia. Dalam tubuh tikus, leptospira berkoloni dan berkembang biak di dalam epitel tubulus
ginjal tikus dan mengalir di dalam filtrat urin. Pada musim hujan, terdapat genangan air yang
terkontaminasi urin. Kulit utuh yang terekspos dengan genangan air tersebut dalam waktu
lama atau kulit yang luka, serta gigitan binatang infeksius dapat menyebabkan leptospirosis.
Selain kulit, leptospira juga dapat menembus membran mukosa mata, hidung, dan mulut. Orang
yang berisiko tinggi terhadap leptospirosis adalah petani, penambang, pekerja di rumah potong
hewan, nelayan, peternak, dokter hewan, dan anggota militer yang bertugas di hutan.
Transmisi infeksi leptospira ke manusia dapat melalui berbagai cara, yang tersering
adalah melalui kontak dengan air atau tanah yang tercemar bakteri leptospira. Bakteri masuk ke
tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau luka dan mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan
bahwa penularan penyakit ini dapat melalui kontak dengan kulit sehat (intak) terutama bila
kontak lama dengan air.
Selain melalui kulit atau mukosa, infeksi leptospira bisa juga masuk melalui
konjungtiva. Bakteri leptospira yang berhasil masuk ke dalam tubuh tidak menimbulkan lesi
pada tempat masuk bakteri. Hialuronidase dan atau gerak yang menggangsir (burrowing motility)
telah diajukan sebagai mekanisme masuknya leptospira ke dalam tubuh.
Selanjutnya bakteri leptospira virulen akan mengalami multiplikasi di darah dan
jaringan. Sementara leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh
sistem kekebalan tubuh setelah 1 atau 2 hari infeksi. Leptospira virulen mempunyai kemampuan
motilitas yang tinggi, lesi primer adalah kerusakan dinding endotel pembuluh darah dan
menimbulkan vaskulitis serta merusak organ. Vaskulitis yang timbul dapat disertai dengan
kebocoran dan ekstravasasi sel.
Patogenitas leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan
toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada bakteri leptospira mempunyai aktivitas
endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu
stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit
disertai trombositopenia. Bakteri leptospira mempunyai fosfolipase yaitu suatu hemolisis yang
mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung fosfolipid.
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal
bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium tubulus ginjal dan lumen tubulus. Pada leptospirosis
berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler,
sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan
perubahan permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal ginjal. Pada gagal ginjal tampak
pembesaran ginjal disertai edema dan perdarahan subkapsular, serta nekrosis tubulus renal.
Sementara perubahan yang terjadi pada hati bisa tidak tampak secara nyata. Secara mikroskopik
tampak perubahan patologi berupa nekrosis sentrolobuler disertai hipertrofi dan hiperplasia sel
Kupffer.
Langkah awal yang akan dilakukan oleh bakteri leptospira adalah menginvasi epitel,
yang kemudian dilanjutkan dengan berproliferasi dan menyebar ke organ sasaran. Setiap organ
penting dapat terkena dan antigen leptospira dapat dideteksi pada jaringan yang terkena. Pada
fase awal, gejala ditimbulkan kerena kerusakan jaringan akibat bakteri leptospira, namun pada
fase kedua, gejala timbul akibat respon imun penjamu. Mediator yang dirangsang oleh leptospira
ini diduga menyebabkan manifestasi klinis yang beragam, meskipun secara pasti masih belum
jelas. Gejala patologis yang selalu ditemukan adalah vaskulitis pada pembuluh darah kapiler
berupa edem pada endotel, nekrosis, disertai invasi limfosit. Keadaan ini dapat ditemukan pada
semua organ yang terkena. Akibat yang dapat ditimbulkan oleh vaskulitis ini, antara lain petekie,
perdarahan intraparenkim, serta perdarahan pada lapisan mukosa dan serosa. Pada beberapa
kasus dapat ditemukan trombositopenia namun tidak terjadi DIC (Disseminated Intravascular
Coagulation). Masa pada protombin kadang-kadang memanjang dan tidak dapat diperbaiki
dengan pemberian vitamin K.
Leptospirosis juga akan mengakibatkan kerusakan hati. Dimana kerusakan hati ini akan
mengakibatkan timbulnya ikterus, meskipun terdapat beberapa ahli yang mengemukakan ikterus
antara lain disebabkan oleh hemolisis dan obstruksi bilier. Edem intraalveolar dan intersisial
dapat terlihat pada jaringan paru. Pada vaskulitis berat dapat terjadi perdarahan paru.
Keterlibatan ginjal menyebabkan nekrosis tubuler dan nefritis intersisialis, sehingga terjadi gagal
ginjal akut yang memerlukan dialysis. Pada jantung dapat ditemukan petekie pada endokardium,
edem intersisial miokard, dan arteritis koroner. Perdarahan, nekrosis fokal dan reaksi inflamasi
dapat ditemukan pada kelenjar adrenal, sehingga dapat memperberat kolaps vascular yang
berkaitdan dengan kejadian leptospirosis yang fatal.
Daftar Pustaka
Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC
Center
for
Disease
Control
and
Prevention
(CDC).
Leptospirosis.
Diunduh
dari http://www.cdc.gov/ leptospirosis/. Diakses pada 12 Maret 2016, pk. 17.45 WIB.
Dr.
Suparyanto,
M.Kes,
Pengantar
Patofisiologi,
2010,
id.scribd.com/doc/237222628/PENGANTAR-PATOFISIOLOGI#scribd,
diakses
tanggal 12 maret 2016, pukul : 01:16.
Gueirreiro H et.al. Leptospiral proteins recognized during the humoral immune response to
leptospirosis in humans. American Society for Microbiology. 2001. 69: 4958–4968.
Jan, Tambayong. 2000. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: EGC
Jawetz, Melnick, Adelberg. Spirochetes and other spiral microorganisms. In Jawetz, Melnick, &
Adelberg’s Medical Microbiology. 24th ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2007,
chapter 25.
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82
Tahun 2014 Tentang Penanggulangan Penyakit Menular.
Lang, Silbernag. 2000. Color Atlas of Pathophysiology. New York : Georg Thieme Verlag
Medscape.
Leptospirosis.
Diunduh
dari http://emedicine.medscape.com/article/220563-
overview# showall. Diakses pada 12 Maret 2016, pk.19.00 WIB.
Price, Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC.
Setiadi, Bobby dkk. 2001. Leptospirosis. Jurnal Sari Pediatri, Vol. 3, No.3 : 163 – 167. [Online].
Tersedia : http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/3-3-10.pdf. (12 Maret 2016, 09:41)
Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC
The
Leptospirosis
Information
Center.
Leptospirosis.
Diunduh
dari http://www.leptospirosis. org/ topic. php?t=37. Diakses pada 12 Maret 2016, pk.
18.00 WIB.
Zein U. Leptospirosis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna
Publishing; 2010, hal.2807-11.
Download