medical review Leptospira dan Penyakit Weil’s Sharifah Shakinah Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RSUD Dr. H. Soemarno Sosroatmodjo, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara ABSTRAK Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Leptospira yang memiliki penyebaran penyakit yang merata hampir di seluruh dunia. Di Indonesia, penyebaran leptospirosis ditemui di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali hingga Sulawesi. Tampilan leptospirosis bervariasi dari gejala klinis ringan yang menyerupai penyakit lain seperti influenza, hingga bentuk klinis yang parah yakni penyakit Weil’s. Bentuk berat dari leptospirosis, Penyakit Weil’s, muncul sebagai bentuk stadium ikterik dari leptospirosis dan memiliki tingkat mortalitas hingga 40%. Penegakkan diagnosis dilakukan dengan penemuan organisme, tes serologis, dan deteksi DNA spesifik. Prognosis ditentukan oleh usia dan keterlibatan kerusakan organ dalam tahapan penyakit. Kata kunci: leptospirosis, penyakit Weil’s, Leptospira. ABSTRACT Leptospirosis is an infectious disease caused by Leptospira that spread almost evenly across the globe. In Indonesia, leptospirosis spreads in Java, Sumatra, Borneo, Bali and Sulawesi. Leptospirosis’s clinical presentation range from mild clinical symptoms that mimic other diseases such as influenza, to severe clinical form, named Weil’s Disease. Severe forms of leptospirosis, Weil's disease, appears as a jaundice stage of leptospirosis and has a mortality rate of up to 40%. The definitive diagnosis depends on isolation of organism, serological test, or detection of specific DNA. Prognosis is determined by the age and the involvement of organ damage. Keywords: leptospirosis, Weil's disease, Leptospira. PENDAHULUAN ETIOLOGI Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh spiroketa dari genus Leptospira. Leptospirosis memiliki penyebaran yang merata hampir di seluruh dunia dan merupakan penyakit endemik pada negara dengan iklim tropis. Leptospirosis merupakan salah satu penyakit zoonosis yang paling sering terjadi. Penyakit ini menyebar melalui kontak, baik langsung ataupun tidak langsung, antara mukosa atau kulit manusia yang mengalami luka dengan hewan yang terinfeksi seperti tikus, anjing, kucing, dan hewan rumahan lain.1 Bentuk berat dari leptospirosis, Penyakit Weil’s, muncul sebagai bentuk stadium ikterik dari leptospirosis. Penyakit Weil’s merupakan suatu bentuk leptospirosis berat yang melibatkan kegagalan beberapa organ seperti hati dan ginjal.2 Leptospira adalah genus spiroketa berukuran 6–20 μm dengan karakteristik ujung yang berbentuk kait dengan motilitas yang tinggi. Genus Leptospira terdiri dari dua puluh jenis spesies, lima diantaranya termasuk spesies yang menyebabkan penyakit misalnya L. interrogans yang memiliki kurang lebih 250 serovar. Leptospira dideskripsikan dengan serovar untuk kepentingan klinis dan epidemiologi.1 Organisme Leptospira tidak dapat terlihat dengan menggunakan mikroskop cahaya biasa, namun dapat dilihat dalam kultur dan spesimen klinis dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap. Kebutuhan nutrisi Leptospira yang khas menyebabkan Leptospira tidak dapat tumbuh pada medium yang digunakan dalam proses kultur biasa. Leptospira secara khusus dapat dikultur pada media EMJH (Ellinghausen–McCullough–Johnson–Harris) yang Vol. 28, No. 2 | Edisi Desember 2015 MEDICINUS 49 Technology MEDICAL REVIEW ditambahkan 0,1% agar. Kultur dapat diperiksa dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap dalam interval mingguan.3 EPIDEMIOLOGI Leptospirosis merupakan penyakit zoonotik yang diduga paling luas penyebarannya di dunia.1 Penularan penyakit ini terjadi pada negara maju maupun negara berkembang dan terjadi baik di daerah urban maupun rural. Penularan terutama terjadi pada negara berkembang dengan iklim tropis dan kondisi sosial-ekonomi dan lingkungan mendukung.4 Di lndonesia leptospirosis tersebar antara lain di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.4,5 dengan kejadian penyakit Weil’s, yaitu suatu kondisi leptospirosis berat yang melibatkan kegagalan beberapa organ seperti hati dan ginjal yang ditandai dengan jaundice, gagal ginjal, syok dan perdarahan.2 Pada ginjal, kerusakan yang disebabkan oleh Leptospira dapat mengakibatkan kerusakan tubulus distal dan tubulus konvulus hingga menyebabkan gagal ginjal akut yang digambarkan dengan peningkatan kreatinin darah.6 Pada hati, Leptospira menyebabkan kerusakan ikatan antar sel hepatosit, penyumbatan pada kanalikuli hingga nekrosis fokal pada sel-sel periportal. Kerusakan intrahepatik ini dapat memberikan gambaran jaundice pada penderita. Pada paru, dapat terjadi perdarahan pulmonal yang diakibatkan lesi-lesi kapiler karena terjadinya aktivasi endotel yang diikuti dengan deposisi imunoglobulin dan deposisi komplemen serta adhesi platelet.3 GEJALA KLINIS Transmisi leptospirosis terjadi melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan binatang yang seringkali terinfeksi Leptospira, misalnya tikus, anjing, binatang ternak, atau babi.3 Beberapa faktor risiko disebutkan berhubungan dengan infeksi Leptospira, misalnya pekerjaan, higienitas, status ekonomi, tingkat pendidikan, faktor perilaku, faktor pelayanan kesehatan dan faktor demografi.4 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI Leptospira dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui kontak langsung ataupun tidak langsung antara kulit yang terluka atau mukosa tubuh seperti mukosa konjungtiva ataupun mukosa oral dengan binatang ataupun ekskreta binatang yang terinfeksi Leptospira. Leptospira dapat berproliferasi dan menyebar dalam aliran darah ke seluruh tubuh kemudian berproliferasi dalam organ-organ. Masa inkubasi bervariasi antara dua hingga tiga puluh hari dengan rata-rata lima hingga empat belas hari. Setelah antibodi terhadap Leptospira terbentuk, Leptopspira mulai menghilang dari darah namun tetap bertahan hidup pada berbagai organ seperti otak, hati, paru-paru, jantung, dan ginjal. Siklus hidup Leptospira telah lengkap ketika Leptospira mempenetrasi membran basalis dari tubulus ginjal proksimal dan berikatan dengan sel-sel tubulus dan kemudian diekskresikan bersama dengan urin.3 L. interrogans dengan serovar icterohaemorrhagie adalah salah satu serovar Leptospira yang berhubungan erat 50 MEDICINUS Gambaran klinis infeksi Leptospira bervariasi dari gejala klinis ringan yang menyerupai penyakit lain seperti influenza, hingga bentuk klinis yang parah yakni penyakit Weil’s. Pada fase leptospiremia, organisme Leptospira dapat dikultur dari darah dan memberikan gejala sistemik seperti demam, sakit kepala, mialgia. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya injeksi konjungtiva (dilatasi pembuluh darah konjungtiva tanpa adanya sekret), eritema faring, nyeri otot terutama nyeri pada otot gastrocnemius, ditemukannya rhonchi atau pekak pada pemeriksaan toraks apabila terjadi perdarahan pada paru-paru, jaundice, maupun hiporefleksia terutama pada kaki.3 Penyakit Weil’s ditandai dengan adanya kombinasi dari jaundice, gagal ginjal akut (acute kidney injury), hipotensi dan perdarahan (pada umumnya pada paru). Keterlibatan organ lain seperti adanya aseptik meningitis, uveitis, kolesistitis, pankreatitis, dan akut abdomen juga dapat terjadi meskipun jarang. Pada jantung, dapat ditemukan perubahan segmen ST maupun gelombang T serta right-bundle-branchblock (RBBB) yang menggambarkan terjadinya miokarditis. Kelainan kulit pada pasien Leptospira umumnya menggambarkan adanya kelainan di darah, seperti petechiae dan ekimosis. Pemeriksaan fisis pada abdomen dapat ditemukan adanya hepatomegali dan nyeri tekan akibat kolesistitis maupun hepatitis.3 Vol. 28, No. 2 | Edisi Desember 2015 Technology MEDICAL REVIEW Gambar 1. Masa inkubasi, keberadaan Leptospira serta pemeriksaan penunjang yang paling tepat dilakukan pada fase leptospirosis3 Gagal ginjal akut ditandai dengan adanya fase oliguria dengan gangguan kadar elektrolit darah yang menggambarkan disfungsi tubulus renal proksimal. Hipotensi berhubungan dengan nekrosis tubulus akut yang membutuhkan resusitasi cairan segera serta hemodialisa.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG Beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk mendukung penegakan diagnosis dan tingkat keterlibatan organ pada infeksi leptospirosis, diantaranya adalah:3,7 1. Pemeriksaan darah lengkap Pada pemeriksaan DL dapat ditemukan leukositosis dengan shift to the left serta peningkatan laju endap darah (LED). Adanya perdarahan pada paru atau organ lain dapat memberikan gambaran anemia. Trombositopenia adalah satu pemeriksaan yang umum ditemukan pada infeksi trombosit, walaupun adanya trombositopenia tidak berarti terjadi koagulasi intravaskular diseminata. Pada pasien dengan penyakit Weil’s dengan keterlibatan ginjal dapat ditemukan peningkatan kadar ureum serta kreatinin darah. Kadar bilirubin juga dapat meningkat sebagai akibat obstruksi pada level intrahepatik. Kadar alkalin fosfatase juga dapat meningkat hingga 10 kali lipat. 2.Urinalisis Pada urinalisa dapat ditemukan proteinuria. Pada pemeriksaan mikroskopis dapat ditemukan leukosit, eritrosit, serta sedimen hyaline maupun sedimen granular. 3.Pemeriksaan radiologis Foto thoraks dilakukan untuk melihat keterlibatan paru pada penyakit Weil’s. Ultrasonografi (USG) abdomen juga dapat dilakukan untuk melihat adanya kolesistitis. 4.Pemeriksaan serologis Antibodi antileptospira dapat dideteksi dengan menggunakan tes aglutinasi mikroskopik (MAT) meskipun ketersediaannya saat ini masih terbatas. Selain MAT, pemeriksaan serologis lain seperti Vol. 28, No. 2 | Edisi Desember 2015 MEDICINUS 51 Technology MEDICAL REVIEW ELISA IgM atau SAT juga dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Beberapa antibiotik memiliki aktivitas anti Leptospira seperti ditunjukan pada tabel 1. Durasi pengobatan 10-14 hari. Apabila pasien mengalami Leptospirosis sedang/berat dengan keterlibatan organ, misalnya ginjal, maka penatalaksanaan komplikasi harus dilakukan sesuai dengan organ yang terlibat, misalnya hemodialisa, transfusi darah, bahkan jika diperlukan perawatan di ruang rawat intensif (ICU).7 5.Mikroskop lapang gelap Ditemukannya spiroketa dengan mikroskop lapang gelap dapat membantu penegakan diagnosa leptospirosis. Meskipun pemeriksaan penunjang dapat membantu penegakan diagnosis leptospirosis, diagnosis definitif leptospirosis dilakukan dengan penemuan organisme dalam isolasi kultur dalam medium semisolid (misal; medium EMJH Fletcher) ataupun dengan pemeriksaan lapang gelap, tes serologis, dan deteksi DNA spesifik dengan PCR.3,7 PROGNOSIS Prognosis leptospirosis ditentukan dengan adanya keterlibatan kerusakan organ, misalnya gagal ginjal dan perdarahan pulmonal. Penyakit Weil’s memiliki tingkat mortalitas hingga 40%.7 Prognosis lebih buruk ditemukan pada penderita dengan usia lanjut, kadar kreatinin yang meningkat, oliguria dan trombositopenia. Leptospirosis umumnya tidak menimbulkan sequelae yang permanen, namun apabila terjadi gagal ginjal maka diperlukan monitor ketat untuk menilai fungsi ginjal setelah fase akut terlewati.3,7 DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding leptospirosis akut tergantung pada fase dalam perjalanan penyakitnya. Pada fase akut ketika gejala yang dominan adalah demam dan mialgia, diagnosis banding leptospirosis antara lain seperti influenza, malaria, infeksi virus seperti dengue atau chikungunya. Pada fase berat, penyakit Weil’s diagnosis banding dapat berkembang menjadi malaria, demam tifoid atau hepatitis viral dengan berbagai macam keterlibatan organ.7 PENCEGAHAN Tidak terdapat vaksin yang tersedia untuk mencegah infeksi leptospirosis. Salah satu langkah pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan antibiotik profilaksis dengan doksisiklin 200 mg per oral seminggu sekali.3 PENATALAKSANAAN daftar pustaka 1. 2. 3. 52 Shieh W-J, Edwards C, Levett PN, Zaki SR. Leptospirosis. In: Guerrant RL, Walker DH, Weller PF, editors. Tropical Infectious Disease: Principles, Pathogens, and Practice. 2 ed. Philadelphia: Elsevier; 2006. p. 511-6. McPhee SJ, Papadakis MA. Spirochetal Infection. In: McPhee SJ, Papadakis MA, editors. Current Medical Diagnosis and Treatment. 48 ed. San Fransisco: McGraw Hill; 2009. Vinetz JM. Leptospirosis. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J, editors. Harrison's Principle of Internal Medicine. 1. 18 ed. New York: McGraw Hill; 2012. p. 1392 - 6. MEDICINUS 4. 5. 6. 7. Supraptono B, Sumiarto B, Pramono D. Interaksi 13 Faktor Risiko Leptospirosis. Berita Kedokteran Masyarakat. 2011;27(2):55-65. Widarso H S HG, Wilfried Purba,, Tato Suharto BECS, Mulyani. PS. Pedoman PenanggulanganLeptospirosis Di Indonesia. In: Zoonosis SD, editor. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan; 2005. Amin I, Rusli B, Hardjoeno. Kadar Kreatinin dan bersihan Kreatinin Penderita Leptospirosis. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. 2007;13(2):53-5. TK D, M C. Leptospirosis - An Overview. JAPI. 2005;53:545-51. Vol. 28, No. 2 | Edisi Desember 2015