MODUL PERKULIAHAN Pendidikan Agama Islam Islam di Indonesia Fakultas Program Studi Teknik Teknik Elektro Tatap Muka 05 Kode MK Disusun Oleh 90002 Ahmad Miftah Pauzi, S.H.I., M.A. Abstract Kompetensi Sejarah Islam di Indonesia memiliki keunikan tersendiri, Memahami pluralitas karena disamping menjadi salah satu faktor pemersatu bangsa keberagamaan di juga memberikan nuansa baru dalam keberislamannya di negara- Indonesia, terutama negara Islam lain, terutama di Timur Tengah. Islam di Indonesia ternyata mampu berinteraksi dengan budaya lokal, seperti bentuk masjid dan tata cara yang mengiringi ritual keagamaan. Masjid di Demak adalah perpaduan dari budaya lokal dengan masjid, begitu pula upacara sekatenan di Yogyakarta setiap bulan Maulud adalah bagian yang tidak terpisahkan dari budaya lokal yang terpadu dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW.Kalau diteliti lebih jauh banyak sekali keunikan dalam keberislaman di Indonesia. Oleh Azyumardi Azra fenomena tersebut dikatakan sebagai bentuk akomodasi Islam di Indonesia. Dia membagi Islam dalam konteks tradisi besar dan tradisi kecil.Tradisi besar adalah yang mengandung ajaran-ajaran pokok Islam, seperti syahadat, shalat, dan puasa.Disamping tradisi besar itu, terdapat tradisi kecil yang mengiringinya, seperti membawa obor ketika malam-malam ganjil setelah tanggal 20 Ramadhan untuk mencari Lailatul Qadar.Dinamika inilah yang terjadi di Indonesia, sehingga warna keislaman lebih bervariasi dibandingkan ditempat asalnya. Ketika Islam datang, sebenarnya kepulauan Nusantara sudah mempunyai peradaban yang bersumber kebudayaan asli pengaruh dari peradaban Hindu-Budaha dari India, yang penyebaran pengaruhnya tidak merata.Di Jawa telah mendalam, di Sumatera merupakan lapisan tipis, sedang dipulau-pulau lain belum terjadi.Walaupun demikikan, Islam dapat cepat menyebar. Hal itu disebabbkan Islam yang dibawa oleh kaum pedagang maupun para da’i dan ulama’, bagaimanapun keislaman para da’i dan ulama’ masa awal, mereka semua menyiarkan suatu rangkaian ajaran dan cara serta gaya hidup yang secara kualitatif lebih maju dari pada peradaban yang ada. Dalam bidang perenungan teologi monoteisme dibandingkan teologi politeisme, ‘16 2 Pendidikan Agama Islam Ahmad Miftah Pauzi, S.H.I., M.A. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id memahami perbedaan corak Islam di Indonesia, sehingga bias bersikap bijaksana dan toleransi satu sama lain kehidupan masyarakat tanpa kasta, juga dalam dalam sufisme Islam lebih maju dan lebih mendasar dari pada mistik pribumi yang dipengaruhi mistik Hindu-Budha.Demikian pula dalam pengembangan intelektual dan keseniaan. Masuknya islam di Indonesia berlangsung secara damai dan menyesuaikan dengan adat serta istiadat penduduk lokal. Ajaran islam yang tidak mengenal perbedaan kasta membuat ajaran ini sangat diterima penduduk lokal. Proses masuknya islam dilakukan melalui cara berikut ini. 1. Perdagangan Letak Indonesia yang sangat strategis di jalur perdagangan di masa itu membuat Indonesia banyak disinggahi para pedagang dunia termasuk pedagang muslim. Banyak dari mereka yang akhirnya tinggal dan membangun perkampungan muslim, tak jarang mereka juga sering mendatangkan para ulama dari negeri asal mereka untuk berdakwah. Hal inilah yang diduga memiliki peran penting dalam penyebaran ajaran Islam di nusantara. 2. Perkawinan Penduduk lokal beranggapan bahwa para pedagang muslim ini adalah kalangan yang terpandang, sehingga banyak penguasa pribumi yang menikahkan anak mereka dengan para pedagang muslim. Sebagai sayarat sang gadis harus memeluk islam terlebih dahilu, hal inilah yang diduga memperlancar penyebaran ajaran islam. 3. Pendidikan Setelah perkampungan islam terbentuk, mereka mulai mendirikan fasilitas pendidikan berupa pondok pesantren yang dipimpin langsung oleh guru agama dan para ulama. Para lulusan pesantren akan pulang ke kampung halaman dan menyebarkan ajaran islam di daerah masing-masing. 4. Kesenian Wayang merupakan warisan budaya yang masih terjagan hingga saat ini, dalam penyebaran ajaran islam wayang memiliki perang yang sangat konkrit. Contohnya sunan kalijaga yang merupakan ‘16 3 Pendidikan Agama Islam Ahmad Miftah Pauzi, S.H.I., M.A. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id salah satu tokoh Islam menggunakan pementasan wayang untuk berdakwah. PEMBAHASAN “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al- Hujurat ayat 13) Pluralitas budaya,tradisi dan agama adalah suatu keniscayaan hidup, sebab setiap orang atau komunitas pasti mempunyai perbedaan, sekaligus persamaan. Di sisi lain, pluralitas budaya, tradisi dan agama merupakan kekayaan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Namun jika tidak dipahami dengan sikap toleran dan saling menghormati, pluralitas budaya, agama atau tradisi cenderung akan memicu kekerasan (violence) atau konflik SARA. Oleh karena itu, memahami pluralitas secara dewasa dan arif merupakan keharusan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika tidak, perbedaan budaya, tradisi atau kultur seringkali menyebabkan ketegangan dan konflik sosial. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa perbedaan budaya atau tradisi dalam suatu komunitas tidak selamanya dapat berjalan secara harmonis. Terdapat sebuah asumsi bahwa konflik yang muncul akibat perbedaan budaya salah satunya disebabkan oleh “fanatisme sempit” dan kurangnya sikap tasamuh (toleran) di kalangan umat, atau lebih tepat lagi cenderung dikatakan sebagai sikap egois, merasa diri ‘16 4 Pendidikan Agama Islam Ahmad Miftah Pauzi, S.H.I., M.A. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id paling benar. Fanatisme dan intoleransi membutuhkan ongkos sosial yang mahal. Apalagi sekarang kondisi bangsa Indonesia sedang terancam persoalan disintegrasi. Tidak berlebihan jika diasumsikan bahwa pluralitas tradisi dan budaya dalam masyarakat ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi ia merupakan kekayaan masyarakat Indonesia, namun di sisi lain ia dapat menjadi faktor pemicu konflik horisontal. Persoalannya adalah bagaimana menjembatani posisi perbedaan tradisi dan budaya tersebut. Mampukah “Islam” sebagai agama yang memiliki pokok ajaran “rahmatan li al-‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) dan salih li kulli zamanin wa makanin (selaras dengan waktu dan tempat)” menjadi mediator bagi perbedaan – pebedaan budaya tersebut????. Bagaimana menampilkan Islam yang lebih bersifat akomodatif sekaligus reformatif, dan tidak hanya bersifat purifikatif terhadap budaya – budaya atau tradisi yang plural tersebut???? Islam adalah sistem total dalam tata kehidupan manusia, dan kehadirannya bersifat ganda. Ia berwajah eksklusif, partikularis, primordial, ilmiah, rasional, melepaskan penganutnya dari belenggu kepercayaan naturalis mistis, khurafat, dan sebagainya dan dipenuhi identitas inklusif, universalis, dan mengatasi (transcendent). Dengan demikian, dalam agama Islam mengenal dua pendekatan– pendekatan konflik atau purifikatif dan pendekatan akomodatif- reformatif, kondisional, dan apresiatif sesuai dengan keadaan yang dihadapi. Islam sebagai agama purifikatif membutuhkan dukungan cara berfikir rasional dan ilmiah. Tanpa itu, tauhid Islam bisa lumpuh terselubung dalam berbagai mitologi yang serba khurafat. Paham tauhid Islam yang jernih mutlak perlu dukungan cara berfikir rasional dan kritis serta pendekatan konflik. Pendekatan yang memisahkan secara tegas antara hak dan bathil, antara tauhid dengan segala bentuk ke-musyrikan. Oleh karena itu ajaran tauhid Islam menggariskan purifikasi atau pendekatan konflik, yakni membedakan secara tegas antara yang hak dan yang bathil. Pendekatan konflik adalah pengembangan cara berfikir rasional kritis dan ilmiah. Namun pada bidang yang menyangkut mu’amalah atau budaya tidak tepat menggunakan pendekatan ini. Pendekatan kedua bercorak akomodatif- responsif- akulturatif, suatu pendekatan yang lebih menangkap ideal moral Islam daripada aspek legal formalnya. Islam dipahami secara kontekstual, lentur, respektif dan apresiatif terhadap budaya- budaya lokal sehingga hegemoni teks yang sarat dengan hegemoni budaya Arab nyaris dapat dihindarkan. Model berfikir semacam ini antara lain diikuti oleh Muhammad Syahrur, Fazlur Rahman, dan pemikir- pemikir kontemporer lainnya. Dalam konteks keindonesiaan, pemahaman dan pelaksanaan ajaran Islam tidak harus sama persis dengan budaya Arab dimana Islam turun. Oleh karena itu, para ulama dituntut melakukan ijtihad. Pemikir Islam Indonesia Nurcholish ‘16 5 Pendidikan Agama Islam Ahmad Miftah Pauzi, S.H.I., M.A. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Madjid telah menulis buku khusus dalam tema ini “ Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan”. Perubahan dan dinamika budaya mau tidak mau menghadapkan masyarakat agama pada suatu kesadaran kolektif bahwa penyesuaian struktural dan kultural pemahaman agama adalah suatu keharusan. Hal ini tidak dilihat sebagai “menyeret- nyeret” agama untuk kemudian diletakkan pada posisi subordinat dalam hubungannya dengan dinamika perkembangan sosial budaya, bahkan politik dan ekonomi, melainkan antara pemahaman agama dan budaya mestinya dilihat sebagai suatu proses hubungan dialektik, dinamis,akomodatif dan proaktif. Islam lahir di Arab, jika ia masuk ke daerah lain maka akan terjadai penyesuaian, tarik menarik atau pergumulan. Sesungguhnya dimanapun Islam melakukan pergumulan dengan budaya lokal, akan ada proses adaptasi nilai- nilai universalitasnya pada situasi dan kondisi tertentu. Sifat inilah yang menjadikan Islam sebagai agama akomodatif. Islam tidak pernah mengikis habis ide- ide pra Islam, budaya dan tradisi yang hidup. Hal ini berlaku juga bagi penduduk indonesia. Ini merupakan ciri khas ajaran Islam, yakni bersifat akomodatif sekaligus reformatif terhadap budaya- budaya maupun tradisi yang ada. Aspek ‘urf (tradisi atau budaya) menjadi salah satu pertimbangan dalam menetapkan hukum. Banyak persoalan hukum terutama dalam mu’amalah, seperti jual- beli, hutang piutang, pembayaran mahar mitsil – pertimbangan hukum didasarkan pada aspek tradisi dan budaya yang berlaku di suatu daerah tertentu. Dari sini muncul suatu kaidah fiqh yang berbunyi : “al ‘adah muhakkamah”, artinya bahwa tradisi atau adat istiadat dapat menjadi pertimbangan untuk menetapkan hukum, selama tidak bertentangan dengan dalil pokok di dalam al- Qur’an dan Hadis, bahkan dalam buku Muhammad Arkoun, tradisi dalam arti sempit mempunyai hegemoni yang sangat kuat, sehingga setiap praktek atau pemikiran baru yang tidak didukung oleh tradisi harus ditolak dan dianggap sebagai bid’ah. Di dalam al- Qur’an sendiri dinyatakan bahwa tradisi orang- orang terdahulu seringkali menjadi pijakan bagi orang- orang atau generasi berikutnya. Hal ini sebagaimana tercantum dalam surat asy- Syu’ara ayat 137 yang berbunyi : Artinya:”apa yang kami lakukan ini tidak lain hanyalah adat atau kebiasaan orang– orang dahulu”. ‘16 6 Pendidikan Agama Islam Ahmad Miftah Pauzi, S.H.I., M.A. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Ayat tersebut tampaknya di satu sisi memberikan isyarat pentingnya tradisi, namun di sisi lain kita tidak boleh terjebak kepada sikap tradisionalisme, sebab paham tradisionalisme cenderung membuat masyarakat terkungkung di bawah bayang- bayang tradisi yang “mandeg” dan tidak dinamis. Padahal Islam jelas sangat menghargai kedinamisan termasuk dalam tradisi. Artinya tradisi yang ada tidak boleh dibiarkan statis harus mampu berkembang sesuai dengan tuntutan perubahan zaman. Hal ini sejalan dengan paradigma yang ditawarkan oleh Muhammad Syahrur, seorang pemikir kontemporer Islam dari Syiria, bahwa dalam memahami Islam termasuk tradisi- tradisinya harus didasarkan pada cara pandang dan pemikiran yang dinamis. Tradisi ini jangan dijadikan berhala pemikiran, melainkan tetap dikembangkan dan dimekarkan sesuai dengan perubahan ruang waktu. Ini juga sejalan dengan diktum bahwa Islam itu selaras dengan waktu dan keadaan apapun. Jika kita ingin melihat Islam sebagai agama universal dan bertahan sepanjang zaman, kita harus memandangnya secara akomodatif dari aspek tradisi- tradisi yang berkembang, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam yang tertuang di dalam al- Qur’an dan Hadis. Islam sangat menghargai tradisi (dalam bahasa Arabnya ‘urf), sehingga tradisi tersebut dapat dijadikan pertimbangan didalam menetapkan sebuah aturan hukum, karena Islam secara normatif juga melakukan reformasi terhadap tradisi- tradisi dan budaya yang tidak sejalan dengan prinsip tauhid dan nilai- nilai keislaman. Secara normatif Islam berdasarkan petunjuk al- Qur’an dan Hadis selalu mengajarkan kepada penganutnya untuk berperilaku baik. Baik dalam pengertian memiliki sikap toleransi dengan sesama, baik karena dapat menempatkan perbedaan pada posisi yang positif, dijadikan sebagai rahmat dalam menjalani aktifitas kehidupan bermasyarakat. Sehingga sejalan dengan firman Allah yang mengemukakan perihal hikmah penciptaan manusia berdasarkan sistem kesukuan dan kebangsaan, sebagaimana tergambar jelas pada firman Allah dalam surat “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ‘16 7 Pendidikan Agama Islam Ahmad Miftah Pauzi, S.H.I., M.A. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Hal ini berlaku pula pada sistem kehidupan beragama, dimana pluralitas keberagamaan merupakan dasar penting bagi pelaksanaan nilai- nilai akhlak yang mengedepankan pada pola kehidupan nyata, sehingga dapat menjadi wasilah atau perantara bagi terwujudnya pribadi muslim yang husnul khuluk (berakhlak baik), sejalan dengan pesan dan kepribadian nabi Muhammad SAW, yang membawa pesan sebagai suritauladan yang baik. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (al- Ahzab ayat 21) Keberagaman tradisi dan budaya di Indonesia, suatu kenyataan yang antara lain lahir dari kondisi geografis nusantara. Hal ini merupakan faktor utama bagi pembentukan karakter keberagamaan di Indonesia, yang dilatarbelakangi dengan keberagaman budaya Indonesia yang bermacam- macam, mempunyai latar belakang kesukuan yang berbeda, ada suku Jawa, Sunda, Batak dan yang lainnya. Sekalipun Islam telah tumbuh dan berkembang selama berabad- abad di negeri kepulauan ini, usaha untuk mengakrabkannya dengan tradisi- tradisi dan budaya lokal masih terhitung langka. Pemikiran dan perumusan kembali Islam yang bersesuaian dengan konteks- konteks sosio- kultural lokal, agar memiliki pijakan yang kukuh, harus berangkat dari akar spiritual Islam itu sendiri, yakni al- Qur’an. Tidak ada pemikiran apapun yang bisa diklaim sebagai pemikiran Islam jika tidak memiliki basis dalam akar spiritual tersebut. Eksploitasinya yang dilakukan secara serampangan, arbitrer atau dalam bentuk pemaksaan prakonsepsi, tentu tidak akan menghasilkan pemikiran sejati yang dapat berlaku adil kepadanya. Karena itu, suatu kerangka konseptual perenungan dan perumusan ulang Islam yang bisa berlaku adil kepada akar spiritualnya sekaligus dapat mengakomodir karakter budaya Indonesia yang pluralistik. ‘16 8 Pendidikan Agama Islam Ahmad Miftah Pauzi, S.H.I., M.A. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Kesulitan menterjemahkan hubungan dialektika dan persesuaian antara agama dan kebudayaan selalu menjadi bahan perdebatan yang menarik, sebenarnya kesulitan ini dapat diatasi lewat dua cara: Pertama, secara normatif- etis melalui penelusuran konsep “agama” yang terkandung dalam istilah “din(bahasa Arab)”, yang memiliki berbagai makna yang berbeda, namun saling berhubugan sehingga membuat suatu kesatuan dari keseluruhan makna, yakni Islam. Berdasarkan penelusuran makna harfiah “din” didapatkan sebuah pemahaman tentang hubungan antara agama dengan kebudayaan. Ada interdependensi antara agama (Islam) sebagai wahyu dengan kehidupan budaya manusia. Dengan demikian, menurut Islam, konsep kebudayaan merupakan derivasi dari konsep agama, karenanya, kebudayaan merupakan subordinat dari agama. Agama atau pemahaman ketuhanan, menurut Kuntowijoyo, harus dipandang sebagai frame of reference dari kebudayaan. Ada dua cara untuk memahami ketuhanan: 1. Ketuhanan dalam arti teoritik, pengetahuan tentang yang tertinggi yang menimbulkan persembahan. Dalam pemahaman ini tidak ditemukan persesuaian antara yang sakral dan profan. Ini banyak terjadi di dunia modern sekarang ini. 2. Pemahaman ketuhanan secara eksistensial. Tuhan dihayati sebagai tujuan akhir yang melahirkan aktualisasi, sehingga manusia senantiasa mengaktualisasikan kesadaranannya terhadap Tuhan dalam perilakunya, sehingga tidak ada dualisme antara yang sakral dengan yang profan. Di sini kita diingatkan oleh pesan Ali Syari’ati agar setiap bangsa, muslim pada khususnya, harus berupaya mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk mengeksplorasi dan memanfaatkan unsur kebudayaan, sehingga dapat berubah menjadi satu kekuatan moral dan spiritual yang mapan, sehingga mampu mendorong mobilitas pertumbuhan dan perbaikan kultur suatu bangsa ke arah yang positif. Kedua, secara historis melalui pemahaman tentang manifestasi agama dalam berbagai bentuk budaya lokal di Indonesia. Karena penduduk Indonesia mayoritas muslim, Clifford Geertz dan Van Der Kroef menyarankan agar dalam memahami kebudayaan nasional tidak dilepaskan dari Islam yang telah membentuk kebudayaan ideal dan tidak dapat mengabaikan peranan ulama dalam proses pembentukannya. Manifestasi Islam dalam budaya lokal dapat disaksikan pada beragam budaya lokal, di Aceh terkenal ungkapan adat “bak poteumeureuhom”, hukom bak syiah kuala, artinya, adat ada pada almarhum Iskandar Muda dan hukum ada pada Syiah Kuala atau Hamzah alFansuri. Di Minangkabau terkenal ungkapan “adat basendi syara, syara basendi kitabullah”. Kita juga mengenal konsep demokrasi dalam pemerintahan Minang yang terkenal dengan ‘16 9 Pendidikan Agama Islam Ahmad Miftah Pauzi, S.H.I., M.A. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id sebutan Tigo Tungku Sejarangan, terdiri dari Ninik Mamak, Ulama dan Cerdik Pandai. Ketiga komponen ini meletakkan prinsip- prinsip adat, adat adalah wujud ideal dari kebudayaan. Di Jawa, barangkali akan ditemukan banyak contoh semacam itu. Penyebaran Islam oleh para Ulama Jawa yang dikenal dalam serat- serat babad sebagai Walisongo yang telah melahirkan budaya sekatenan yang diselenggarakan dalam rangka memperingati Maulid Nabi. Sehingga kita dapat menemukan beragam bentuk ekspresi dan pola budaya yang berbeda- beda sesuai dengan kebaikan dan keburukan yang dimilikinya. Dalam kaitannya dengan hal itu, maka jelaslah bahwa adat kebiasaan dan budaya suatu daerah, berpengaruh kuat pada cara pandang masyarakat dalam menentukan sikap dan kebijaksanaan, baik yang sifatnya individu maupun kelompok, termasuk dalam pola pemikiran keagamaan yang menghasilkan pola beranekaragam. Keragaman budaya tentunya akan menghasilkan pola keberagamaan yang plural, mempunyai karakter yang berbeda antara suku bangsa yang satu dengan yang lainnya. Meskipun Islam datang dan berkembang di Indonesia lebih dari lima abad, pemahaman dan penghayatan keagamaan kita masih cenderung sinkretik, tarik menarik antara nilai- nilai luhur Islam dengan budaya lokal. Clifford Geertz dinilai berhasil mengkategorisasikan Islam di Indonesia dalam bukunya yang sering dirujuk para penulis sesudahya, yaitu The Religion of Java. Kategorisasinya yang banyak dikritik adalah konsep kategorisasi priyayi, santri dan abangan. Kategorisasi tersebut di pandang keliru karena patokan yang digunakan dinilai tidak konsisten. Priyayi tidaklah sama dengan kategori santri dan abangan. Priyayi adalah kelas sosial yang lawannya adalah wong cilik atau proletar. Oleh karena itu, baik dalam golongan santri maupun dalam golongan abangan terdapat priyayi (elite) maupun wong cilik. Kritik tersebut antara lain dikemukakan oleh Zaini Muchtarom dalam karyanya Santri dan Abangan di Jawa. Meskipun sekarang ini sedang memasuki zaman teknik (modern) dan bahkan takan memasuki periode millennium ketiga, keberagamaan kita tidak sepenuhnya dapat lepas dari pengaruh sinkretik yang diwariskan oleh para pendahulu kita. Secara kelembagaan, ‘16 10 Pendidikan Agama Islam Ahmad Miftah Pauzi, S.H.I., M.A. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Muhammadiyah dan Persis berusaha melakukan pembaruan dengan melepaskan umat dari pengaruh- pengaruh budaya dan tradisi lokal, namun gerakan ini mendapat tantangan dari kalangan Nahdliyyin (NU) yang cenderung mentolelir dan melestarikan kebiasaankebiasaan tersebut. Dalam merespons tradisi yang berkembang di masyarakat tersebut, secara umum, umat Islam dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, kaum tua, kedua, kaum muda. Kaum muda adalah ulama pendukung perubahan- perubahan radikal dalam pemikiran dan praktik keagamaan di Nusantara. Sedangkan kaum tua adalah ulama yang menentang perubahanperubahan yang dikembangkan oleh kaum muda, dan mempertahankan sistem keagamaan di Indonesia secara konstan. Kedua kelompok ini kemudian dikenal dengan istilah kaum tradisionalis bagi kaum tua, dan kaum moderenis untuk kaum muda. Kaum tua ataupun kaum muda, dalam konteks ini, pada dasarnya memiliki satu tujuan, yakni mempertahankan akidah Islamiyyah dimana ajaran- ajaran Islam harus dapat dilaksanakan dengan baik sebagai bukti pengabdian manusia kepada Allah Tuhan semesta alam. Yang seringkali menyebabkan terjadinya konflik adalah, bahwa kecenderungan manusia berprasangka negatif kepada orang lain lebih dominan dibandingkan kecenderungannya untuk menyikapi dirinya sendiri, lebih banyak menilai orang lain daripada diri sendiri, lebih mencari perbedaan dalam persoalan ijtihadiyyah daripada persamaan akidah islamiyyah. Jadi jangan dijadikan persoalan, apakah itu kelompok muda atau kelompok tua, cukup berpegang pada prinsip kebersamaan atau ukhuwah Islamiyyah, satu Tuhan (Allah SWT) satu Nabi (Muhammad SAW) satu ajaran (al- Qur’an). Negara Indonesia berbentuk kepulauan, yang jumlahnya ribuan pulau. Penduduknya beraneka ragam suku bangsa, bahasa, dan budaya. Namun demikian, tetap bersatu dalam satu ikatan “Bhinneka tunggal ika”. Sebagai elemen bangsa Indonesia yang mayoritas, umat Islam dapat dengan mudah dan bebas mengamalkan ajarannya secara tekun dengan tidak harus bersinggungan dengan kekhawatiran sebagaimana di negara lain yang rawan konflik. Dari sini, muncul kebebasan yang terkadang lepas kendali, oleh karenanya, masing- masing kelompok masyarakat membentuk gerakan- gerakan organisasi yang akan mengakomodir berbagai perbedaan diantara umat Islam di Indonesia, yang antara lain pergerakan Muhammadiyah, Nahdlatul ulama, Persatuan Islam Indonesia, dan banyak lagi yang lainnya. Gerakan- gerakan tersebut muncul tidak lain karena dilatar belakangi sistem kebudayaan dan cara pandang yang berbeda. Muhammadiyah misalnya, kelompok ini mengatasnamakan gerakannya dengan gerakan kaum moderenis, yang mengedepankan identitas keislaman secara moderat, berbeda dengan Nahdlatul ulama yang memiliki identitas tradisionalis. Hal ini tidak lepas dari kondisi pluralitas keberagamaan masyarkat Indonesia, yang sarat dipengaruhi kultur dan tradisi masyarakat sekitar, sehingga menimbulkan pergerakan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. ‘16 11 Pendidikan Agama Islam Ahmad Miftah Pauzi, S.H.I., M.A. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Kaum moderenis, seperti Muhammadiyah, Persis dan yang sejenisnya percaya bahwa keterbelakangan umat Islam lebih banyak disebabkan oleh kesalahan sikap mental, budaya atau teologi mereka yang bersifat fatalistik. Pandangan kaum moderenis merujuk pada pemikiran Mu’tazilah yang cenderung bersifat antroposentris, yang menilai bahwa manusia dapat menentukan perbuatannya sendiri. Di Indonesia, gerakan rasionalis semacam ini mempengaruhi pola fikir kaum Muhammadiyah sebelum perang dunia kedua. Agenda mereka menitikberatkan pada pemberantasan tahayul, bid’ah, dan khurafat. Sementara kaum tradisionalis memandang bahwa kemunduran umat Islam adalah karena ketentuan dan rencana Tuhan. Kemunduran dan keterbelakangan umat Islam dinilai sebagi ujian atas keimanan. Cara pandang semacam ini, tidak hanya bergulir di kalangan NU, akan tetapi banyak ditemukan di berbagai organisasi dan wilayah lain. Akar teologis pemikiran kaum tradisionalis bersandar pada aliran Ahlussunnah wal Jama’ah, terutama Asy’ariyah, yakni sesungguhnya manusia menerima ketentuan dan rencana Tuhan yang telah dibentuk sebelumnya, manusia tidak mempunyai free will untuk menciptakan sejarah mereka sendiri. Meskipun manusia didorong untuk berusaha, namun pada akhirnya Tuhan jualah yang menentukan. Namun demikian, apapun wadahnya, bagaimanapun pergerakannya, selama dalam koridor keislaman yang hakiki, maka patutlah dihargai, karena sejatinya yang namanya perbedaan adalah sebuah karunia yang amat berharga, jadi harus disikapi secara arif dan bijaksana. Munculnya gerakan organisasi keagamaan di Indonesia, pada dasarnya merupakan bentuk apresiasi atas pemahaman ajaran Islam secara universal, dimana Islam dinilai sebagai agama yang akomodatif, sesuai dengan situasi dan kondisi zaman, relevan dengan berbagai macam suku bangsa dan budaya, selaras dengan pola kehidupan manusia, baik yang tradisional maupun masyarakat modern. Islam mampu mengakomodasikan antara budaya dengan konteks dasar ajaran Islam, sehingga berjalan selaras dan akomodatif. Keragaman pemahaman ajaran Islam merupakan keutamaan yang Allah berikan bagi manusia, agar mau berusaha dan berupaya dalam mendialektikannya dengan kegiatan dan aktifitas kehidupan masyarakat setiap hari. Namun demikian, sesungguhnya perbedaan seperti ini tidak harus dijadikan sebagi alasan terciptanya konflik antar umat Islam di Indonesia, justru sebalikya, perbedaan tersebut merupakan rahmat, yang memberikan nuansa tersendiri bagi masyarakat Indonesia di dalam menjalankan ajaran agama Islam. Karena pada dasarnya perbedaan itu hanya berkisar pada masalah teknis furu’iyyah, dimana akidah dan syari’ahnya tetap satu yang bersumber pada rujukan pokok ajaran Islam yang termuat dalam al- Qur’an dan Hadis. ‘16 12 Pendidikan Agama Islam Ahmad Miftah Pauzi, S.H.I., M.A. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Oleh karena itu, amatlah tidak pantas manakala terjadi konflik antar umat Islam yang dipicu masalah yang bersifat furu’iyah, seperti perbedaan pelaksanaan shalat subuh, antara yang menggunakan do’a qunut (berdoa sebelum sujud pada rakaat yang kedua) dengan yang tidak menggunakannya, hakikatnya mau menggunakan do’a qunut ataupun tidak shalat akan tetap sah selama syarat dan rukunnya terpenuhi. Karena sebagaimana telah kita ketahui, hal- hal yang bersifat furu’iyyah sesungguhnya merupakan masalah ijtihadi, dimana peran akal sangat mendominasi dalam memahami dan mentafsiri teks- teks nash (al- Qur’an dan Hadis) yang penunjukan maknanya bersifat mujmal. Berbeda dengan teks- teks nash (al- Qur’an dan Hadis) yang penunjukan maknanya jelas, yang tidak memerlukan pemahaman dan penafsiran secara mendalam. Sehingga di sini sangat jelas, bahwasanya perbedaan pemahaman atas permasalahan yang sifatnya furu’iyyah adalah dinilai wajar, karena secara kodrati, manusia diciptakan berbeda antara satu dengan yang lainnya. ‘16 13 Pendidikan Agama Islam Ahmad Miftah Pauzi, S.H.I., M.A. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id