BAB II LADASAN TEORI 1.1. Perilaku Agresif 1.1.1 Pengertian Perilaku Agresif Perilaku agresif adalah perilaku atau kecenderungan perilaku yang niatnya untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikologis (Buss & Perry, 1992). Karena dalam penelitian ini menggunakan skala perilaku agresif yang disusun oleh Buss & Perry 1992 yang mengacu pada teori belajar behavioral Thorndike dan Skinner (dalam Proborini,2012) Teori perilaku terbagi menjadi dua pendekatan yaitu pendekatan biologis dan pendekatan belajar. Perilaku agresif dalam pendekatan biologis adalah perilaku organisme yang bersifat bawaan yang mengutamakan konsep naluri (instinct). Selanjutnya pendekatan belajar yang sangat bertolak belakang dengan pendekatan biologi yang mengutamakan konsep bawaan. Pendekatan belajar adalah rangkuman dari beberapa teori yang bertolak belakang dari teoris pendekatan biologi yaitu para teoris dari kalangan behaviorisme. Perilaku agresif dalam pendekatan belajar yaitu sebagai perilaku yang dipelajari atau hasil belajar yang melibatkan faktor-faktor (stimuli) eksternal sebagai determinan pembentukan perilaku agresif. Teori pendekatan behavioral mendifinisikan belajar adalah suatu proses dimana perilaku berubah akibat adanya interaksi stimulus dengan respons, maka individu akan mendapatkan suatu pengalaman yang baru. Seseorang dikatakan belajar apabila orang tersebut menujukkan adanya perubahan dalam perilakunya. Input adalah stimulus dan outpun adalah respons yang penting dalam menujukkan seseorang itu 9 belajar. Dimana stimulus yang diberikan kepada peserta didik, sedangkan respons adalah reaksi atau tanggapan dari peserta didik terhadap stimulus yang diberikan. Pendekatan behavioral berorientasikan pada hasil yang dapat diukur dan diamati oleh Skiner (dalam Hergenhann & Olson, 2008). Hasil dari pendekatan belajar behavioral yaitu adanya suatu perilaku yang diinginkan oleh seseorang dimana pengulangan dan pelatihan. Perilaku yang diinginkan dapat menjadi suatu kebiasaan. Dimana perilaku yang diinginkan mendapat respons positif dan perilaku yang kurang susuai mendapatkan respons yang negatif. Dalam teori belajar behavioral menjelaskan tentang penyebab terjadinya perilaku agresif yang dilakukan oleh individu, dimana perilaku agresif seseorang kepada orang lain bukan bersifat instingtif (naluri/bawaan) melainkan hasil belajar yang melibatkan faktor-faktor eksternal sebagai determinan pembentukan perilaku agresif. Thorndike (dalam Koeswara, 1988) mengembangkan teori belajar koneksionisme. Dalam teori belajar koneksionisme, belajar merupakan proses pembentukan koneksi (hubungan/interaksi) antara stimulus dan respons. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respons adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Agar tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui percobaanpercobaan (trial) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Thorndike (dalam Hergenhahn, 2008) mengemukakan tiga hukum pokok dalam belajar: 1. Law of readiness (hukum kesiapan) 10 2. 3. Konsekuensi dari law of readiness adalah: a. Ketika seseorang siap untuk melakukan suatu tindakan, bila melakukannya akan memuaskan. b. Ketika seseorang siap untuk melakukan suatu tindakan, bila tidak melakukannya akan menjengkelkan. c. Ketika seseorang belum siap untuk melakukan suatu tindakan tetapi dipaksa melakukan maka melakukannya akan menjengkelkan. Law of exercise (hukum latihan) Hukum latihan terdiri dari dua bagian yaitu: a. Law of use (hukum penggunaan), yaitu semakin sering suatu koneksi (hubungan) stimulus dan respon dipraktekkan maka koneksi itu makin erat atau dengan kata lain koneksi antara stimulus dan respons akan menguat saat keduanya dipakai. b. Law of disuse (hukum ketidakgunaan), yaitu bila koneksi (hubungan) yang sudah terbentuk itu jarang atau tidak pernah lagi dipraktekkan, maka koneksi itu akan melemah dan akhirnya menghilang. Law of effect (hukum akibat) Law of effect (hukum akibat) adalah penguatan atau pelemahan dari suatu koneksi antara stimulus dan respons. Jika suatu respon diikuti dengan keadaan yang memuaskan (satisfying state of affairs), kekuatan koneksi itu menjadi lebih kuat. Jika respons diikuti dengan keadaan yang tidak memuaskan (annoying state of affairs), maka kekuatan koneksi itu menjadi menurun. Hadiah (reward) dan hukuman (punishment) memainkan peranan penting. Individu cenderung akan mengulang suatu perilaku apabila perilaku tersebut menimbulakan efek yang menyenangkan atau memuaskan, dan sebaliknya individu tidak akan mengulang suatu perilaku apabila perilaku tersebut menimbulkan efek yang tidak menyenangkan atau tidak memuaskan bagi dirinya. Penerapan teori belajar koneksionisme Thorndike menjelaskan perilaku agresif yaitu perilaku yang diperoleh dari hasil belajar dari proses pembentukan koneksi / hubungan antara stimulus dan respon. Dari tiga hukum pokok Thorndike dapat dijelaskan terbentuknya perilaku agresif yaitu: 1. Dari hukum kesiapan (law of readiness) menjelaskan pembentukan perilaku agresif, ketika individu siap melakukan perilaku agresif dan melakukan perilaku agresif maka individu akan merasa puas. Individu yang siap melakukan perilaku 11 agresif tetapi tidak melakukan perilaku agresif maka akan merasa menjengkelkan. Tetapi ketika individu belum siap melakukan perilaku agresif tetapi dipaksa melakukan perilaku agresif dan melakukannya akan merasa menjengkelkan. 2. Hukum latihan (law of exercise) menjelaskan perilaku agresif terjadi karena individu semakin sering berperilaku agresif maka perilaku agresif pada diri individu akan semakin kuat dan sebaliknya individu tidak pernah atau jarang lagi melakukan perilaku agresif maka perilaku agresif pada diri individu akan melemah dan lama kelamaan menghilang. 3. Hukum akibat (law of effect) menjelaskan perilaku agresif terjadi dan diulang oleh individu karena dengan perilaku agresif individu memperoleh hasil yang menyenangkan. Sedangkan perilaku agresif yang mendapatkan hasil yang tidak menyenangkan maka perilaku agresif itu tidak akan mengulang perilaku agresif. Skinner (dalam Hergehahn & Olson,2008) mengembangkan teori belajar berdasarkan prinsip yang disebut pengondisian operan (operant conditioning) atau disebut dengan belajar instrumental (instrumental learning). Operant conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku (reinforcement) baik penguatan positif atau penguatan negatif yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan. Menurut Skinner setiap suatu tindakan yang telah diperbuat ada konsekuensinya, dan konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (dalam Proborini,2012) Skinner (dalam Hergenhahn & Olson, 2008) operant conditioning terdiri dari dua konsep utama, yaitu : 12 1. Penguatan (reinforcement) Penguatan (reinforcement) adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. Penguatan boleh jadi kompleks. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua bagian: a. Penguatan positif adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung (rewarding). Bentuk-bentuk penguatan positif adalah berupa hadiah , perilaku (senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau penghargaan (Juara 1 dsb). b. Penguatan negatif, adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan atau tidak menyenangkan. Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa). 2. Hukuman (punishment) Hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku atau apa saja yang menyebabkan sesuatu respon atau perilaku menjadi berkurang atau bahkan langsung dihapuskan atau ditinggalkan. Dalam bahasa sehari-hari kita dapat mengatakan bahwa hukuman adalah mencegah pemberian sesuatu yang diharapkan, atau memberi sesuatu yang tidak diinginnya. Skinner (dalam Hergenhahn & Olson, 2008) menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya : a. Law of operant conditioning yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat. b. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah. Skinner dalam teori belajar operant conditioning menjelaskan terbentuknya perilaku agresif dimana perilaku agresif tersebut mendapatkan pengutan positif dan perilaku tersebut akan diulang oleh individu untuk memperoleh penguatan kembali. Sebaliknya perilaku agresif yang mendapatkan penguatan negatif maka perilaku agresif tersebut akan berkurang dan lama kelamaan akan menghilang. 13 Skinner 1938 (dalam Proborini, 2012) Perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Perilaku agresif merupakan hasrat atau keinginan yang selalu timbul berulang-ulang untuk menyakiti, merusak atau keinginan yang selalu timbul baik secara fisik maupun mental. Perilaku agresif yang memiliki kualifikasi diantaranya perilaku harus memiliki karakteristik diantaranya, perilaku agresif merupakan perilaku yang bersifat membahayakan, menyakiti, dan melukai orang lain. Selanjutnya perilaku agresif merupakan perilaku yang dilakukan seseorang dengan maksud untuk menyakiti dan melukai orang lain. Dan yang terakhir adalah perilaku yang dilakukan seseorang dengan maksud untuk melukai, menyakiti dan membahayakan orang lain dengan sengaja, namun apabila menyakiti orang lain karena unsur ketidak sengajaan maka tidak dapat dikatakan perilaku agresif. Sebaliknya niat menyakiti orang lain tetapi tidak berhasil maka dapat dikatakan sebagai perilaku agresif. Agresi tidak hanya dilakukan secara fisik tetapi juga secara psikis (psikologis) yaitu menghina atau menyalahkan. Menurut Buss & Perry 1992 (dalam Proborini,2012) Perilaku agresif dipelajari seperti perilaku instrumental lainnya melalui reward dan punishment. Perilaku agresif akan terbentuk dan diulang oleh individu karena dengan melakukan perilaku agresif individu memperoleh efek yang menyenangkan, dan sebaliknya individu tidak akan mengulang perilaku agresif apabila perilaku tersebut menimbulkan efek yang tidak menyenangkan bagi dirinya. Berdasarkan penjelasan di atas perilaku agresif bukan sesuatu yang tidak dapat dihindari, tetapi merupakan perilaku manusia yang bersifat potensial, yang 14 dapat dibangkitkan atau ditekan oleh pengalaman emosional yang timbul dari kejadian aversif. Buss & Perry (1992) ada empat aspek perilaku agresi, yaitu; 1. Physical Aggression (agresi fisik) Physical aggression merupakan agresi yang dapat diobservasi (terlihat). Physical anggression (PA) adalah kecenderungan individu untuk melakukan serangan secara fisik untuk mengekspresikan kemarahan atau agresi. Bentuk serangan fisik tersebut seperti memukul, mendorong, mencubit. 2. Verbal Aggression (agresif verbal) Verbal aggression merupakan perilaku agresi yang dapat dioservasi (didengar). Verbal Aggresion adalah kecenderungan untuk menyerang orang lain untuk memberikan stimulus yang merugikan dan menyakitkan kepada organisme lain secara verbal, yaitu melalui kata-kata atau penolakan. Bentuk serangan verbal tersebut seperti cacian, ancaman, mengumpat atau penolakan. 3. Anger (kemarahan) Anger adalah perasaan marah, kesal, sebal dan bagaimana cara mengontrol hal tersebut. Termasuk didalamnya adalah irritability, yaitu mengenai temperamental, kecenderungan untuk cepat marah, dan kesulitan ungtuk mengendalikan amarah. 4. Hostility (permusuhan) Hostility tergolong dalam agresi covert (tidak nampak). Hostility terdiri dari dua bagian yaitu Resentmen seperti cemburu dan iri hati terhadap orang lain, dan Suspicion seperti adanya ketidak kepercayaan, kekhawatiran, dan proyeksi dari rasa permusuhan terhadap orang lain. 15 1.1.2 Faktor yang mempengaruhi perilaku agresif Buss & Perry (dalam Anderson & Bushman, 2002) menyatakan bahwa secara umum perilaku agresif dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni faktor personal dan faktor situasional. 1. Faktor Personal a. Sifat Sifat dapat menyebabkan individu lebih agresif dari pada individu lain. Misalnya, individu yang memiliki sifat pencemburu akan lebih agresif. b. Jenis Kelamin Laki-laki dan perempuan memiliki perilaku agresif yang berbeda. Laki-laki terbukti lebih banyak terlibat tindakan agresif dibanding perempuan, dan pilihan agresif antara laki-laki dan perempuan berbeda karena kebanyakan laki-laki lebih banyak terlibat perilaku agresif fisik ketimbang perempuan. c. Keyakinan Individu yang memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu melakukan tindakan agresif lebih mungkin melakukan perilaku agresif ketimbang individu yang tidak yakin bahwa dirinya dapat melakukan perilaku agresif. d. Sikap Sikap adalah evaluasi umum seseorang terhadap diri mereka sendiri, orang lain, objek-objek ataupun isu-isu tertentu. Sikap positif terhadap perilaku agresif terbukti 16 mempersiapkan individu untuk melakukan tindakan agresif. Sebaliknya, sikap negatif terhadap perilaku agresif terbukti mencegah seseorang untuk melakukan tindakan agresif. e. Nilai Nilai adalah keyakinan mengenai apa yang harus dan sebaiknya dilakukan. Nilai yang dianut seseorang mempengaruhi keputusannya untuk melakukan perilaku agresif. Contohnya, orang yang menganut nilai bahwa kekerasan diperbolehkan untuk mengatasi konflik interpersonal lebih berperilaku agresif untuk menyelesaikan konflik yang dihadapinya. f. Tujuan Jangka Panjang Tujuan hidup jangka panjang juga mempengaruhi kesiapan individu untuk terlibat dalam perilaku agresif. Misalnya, tujuan beberapa anggota geng adalah untuk dihormati dan dihargai. Tujuan ini mewarnai persepsi, nilai-nilai, dan keyakinan anggota geng mengenai pantas tidaknya melakukan suatu tindakan tertentu, dan akhirnya mempengaruhi keputusan anggota geng untuk terlibat dalam perilaku agresif. 2. Situasional a. Isyarat untuk melakukan Tindakan Agresi (aggressive Cues) Aggressive Cues adalah obyek yang menimbulkan konsep-konsep yang berhubungan dengan agresi dalam memori. Contohnya ketika seseorang dihadapkan pada sebuah senjata, akan lebih agresif dibandingkan ketika dihadapkan dengan sebuah roket. Selain senjata, obyek lain termasuk dalam kategori ini adalah tanyangan bermuatan kekerasan ditelevisi, film dan video game. 17 b. Provokasi Provokasi mencakup hinaan, ejekan, sindiran kasar, agresif fisik, gangguan- gangguan yang menghambat pencapaian suatu tujuan dan sejenisnya. Karyawan yang mendapatkan provokasi untuk mempersepsikan bahwa ia mendapat perlakuan yang tidak adil terbukti lebih agresif ditempat kerjanya. c. Frustrasi Frustrasi terjadi ketika individu menemui hambatan untuk mencapai tujuan. Seseorang yang mengalami frustrasi terbukti lebih agresif terhadap agen yang menyebabkan terhalangnya pencapaian tujuan, ataupun pada pihak-pihak yang sebenarnya tidak bertanggungjawab atas gagalnya pencapaian tujuan. Selain itu, individu yang mengalami frustrasi juga terbukti melampiaskan rasa frustrasinya dengan menyerang benda-benda yang ada di sekitarnya. d. Rasa sakit dan ketidaknyamanan Kondisi-kondisi fisik lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan dapat meningkatkan agresifitas. Lingkungan yang bising, terlalu panas, ataupun berbau tidak sedap terbukti meningkatkan perilaku agresif. e. Obat-obatan Penggunaan obat-obatan atau zat-zat seperti kafein atau alcohol dapat meningkatkan perilaku agresif secara tidak langsung. Individu yang berada di bawah pengaruh alkohol ataupun zat psikotropika, lebih mudah terprovokasi, merasa frustasi, ataupun menangkap petujuk untuk melakukan kekerasan dibandingkan individu yang tidak menggunakan zat-zat tersebut. f. Intensif 18 Pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk selalu menginginkan lebih banyak hal. Maka dari itu, ada banyak objek yang dapat digunakan sebagai intensif yang diberikan pada seseorang untuk melakukan tindakan agresif. Perilaku agresif dapat dimediasi dengan memberikan imbalan berupa hal yang dianggap berharga oleh pelaku. Misal, penggunaan uang dapat memancing individu untuk melakukan tindakan kekerasan. 2.1.3 Mengukur Perilaku Agresif Mengukur perilaku agresif dapat dilakukan melalui dua pendekatan umum yaitu observasi dan bertanya Baron dan Richardson (dalam Krahe,2005). a. Observasi yaitu tindakan-tindakan observasional pencatatan perilaku agresif pada saat perilaku itu berlangsung dalam konteks alamiah. 1) Observasi alamiah yaitu salah satu tujuan observasi dalam konteks alamiah adalah untuk mendapatkan gambaran tentang bentuk-bentuk agresi dalam setting tertentu dan frekuensi kejadiannya. Pendekatan ini biasanya disebut sebagai observasi naturalistik. Humpert dan Dann (1988) mencatat interaksi yang berhubungan dengan agresi selama pelajaran sekolah dengan menggunakan sistem pengodean yang dikembangkan secara khusus, yang meliputi 10 kategori perilaku agresif. Dalam tipe penilaian ini, alur alamiah perilaku pertama-tama dicatat, kemudian dipecah menjadi unit-unit analisis yang lebih kecil, dan yang terakhir dimasukkan kedalam kategori-kategori yang telah ditetapkan sebelumnya. Pertanyaan tentang kapan dan dimana sampel perilaku itu diambil, 19 dan bagaiman cara menetapkan unit-unit analisi dasar, itu semua sangat penting dalam pendekatan metodologis. 2) Eksperimen lapangan penelitian yang diarahkan untuk mengekplorasi situasi sehari-hari dengan cara yang tidak mencolok, untuk melihat hubungan antara kondisi-kondisi anteseden tertentu dengan respon-respons agresif yang mengikutinya. Penelitian ini menggabungkan variasi sebuah variabel independen dan efeknya terhadap sebuah variabel dependen sehingga memenuhi kriteria eksperimen lapangan. Baron 1976 menggunakan situasi kemacetan lalu lintas biasa, reaksi agresif para pengemudi yang ditetapkan berdasarkan latensi dan durasi membunyikan klakson dikaji sebagai respons terhadap frustrasi karena seorang petugas eksperimen sengaja menghalangi mobilnya sehingga ia tidak mampu menjalankan mobilnya sehingga ia tidak mampu menjalankan mobilnya ketika lampu hijau menyala. 3) Eksperimen Laboratoris Beberapa contoh eksperimen laboratoris yang sangat menonjol dalam penelitian agresi dapat dilihat dari beberapa temuan seperti berikut: 1) Paradigma guru-murid Milgram (1974) menggunakan eksperimen belajar dengan cara menunjuk seorang untuk memainkan peran guru yang harus mempresentasikan tugas asosiasi kata kepada orang lain yang berperan sebagai murid. Untuk kesalahan yang dibuat oleh murid akan diberikan hukuman oleh guru dengan menerapkan stimulus advertif kepada murid. Penunjukan kedua peran ini dilakukan secara bergantian sehingga 20 setiap responden berkesempatan memainkan peran guru, yang pilihan intensitas hukumannya merupakan indeks kritis bagi perilaku agresifnya. 2) Paradigma evaluasi esai Pradigma ini diperkenalkan pertama kali oleh Berkowitz (1962). Paradigma ini digunakan untuk menginvestigasi perilaku agresif sebagai respons terhadap frustasi atau provokasi yang telah dialami sebelumnya. Subyek diminta menulis bagi sebuah tugas mengatasi masalah. Kemudian tugas tersebut akan dievaluasi yang akan diekspresikan dalam bentuk jumlah kejutan listrik. Tanpa memerdulikan kualitas solusi yang subjek tulis, masing – masing subjek akan menerima satu sampai tujuh kejutan listrik. Dalam fase kedua peran dibalik subjek mendapat kesempatan untuk mengevaluasi solusi yang dibut orang lain. Jumlah kejutan listrik yang diberilakan oleh subjek merupakan variabel dependen dan menunjukkan kekuatan respon agresif mereka. 3) Paradigma boneka Bobo Bandura, Ross, dan Ross (1963) dalam penelitiannya mengukur perilaku agresif dengan cara memperlihatkan seorang model yang bertindak agresif terhadap boneka Bobo. Selanjutnya perilaku anak terhadap boneka Bobo diobservasi dan diukur dalam bentuk frekuensi tindakan yang dilakukan. 4) Agresi verbal Baron dan Richardson (1994) pengukuran perilaku agresif dilakukan dengan cara subjek dihadapkan pada sejumlah manipulasi yang dirancang untuk memunculkan respon agresif. Setelah itu reaksi verbal mereka dicatat, baik secara respons bebas 21 yang nantinya akan dianalisis isi agresifnya maupun sebagai evaluasi terstandar dari orang yang memprovokasi reaksi agresif. b. Bertanya difokuskan tidak pada perilaku, tetapi pada variabel-variabel internal, seperti pikiran dan khayalan agresif, yang juga tidak dapat diobservasi. Pengumpulan data di lakukan menggunakan strategi-strategi dibawah ini; 1) Laporan diri tentang perilaku (behavioral self-report) Dalam metode ini, subjek diminta untuk memberikan keterangan verbal mengenai perilaku agresif mereka sendiri, baik dalam konteks survei berskala besar maupun sebagai bagian dari penelitian uji hipotesis. Berdasarkan tujuan pertanyaannya, subjek dapat diminta untuk melaporkan pola perilaku agresifnya secara umum, atau hanya tindakan khusus pada ranah tertentu. Ukuran perilaku agresif umum itu diukur, misalnya dengan skala agresi fisik dan verbal dari kuesioner agresi (aggression questionnaire) yang disusun oleh Buss dan Perry (1992). Laporan diri mengenai perilaku agresif dapat dikombinasikan dengan laporan lain, misalnya untuk mengukur korespondensi antara laporan diri dan laporan orang lain. Contoh skala yang dapat digunakan adalah skala taktik konflik (conflict tactics scale) yang dikembangkan oleh Straus (1979) untuk mengukur kekerasan rumah tangga 2) Nominasi orang lain/teman sebaya, masalah social-desirability agak kurang menojol bila orang-orang lain yang tahu banyak mengenai subyek diminta untuk menyumbangkan informasinya mengenai orang lain misalnya Guru, orang tua, dan teman sebaya. Yang memiliki pengetahuan mengenai perilaku agresif orang yang dimaksud. 22 3) Catatan arsip dari pada dengan cara menanyai individu mengenai perilakunya sendiri atau perilaku orang lain, peneliti bisa mendapatkan informasi mengenai perilaku agresif dari data arsip yang aslinya dikumpulkan untuk keperluan lain. 4) Di luar permintaan untuk melaporkan agresi pada tingkat perilaku, peneliti sering tertarik untuk meneliti kondisi kognitif dan afektif perilaku agresif serta mengidentifikasi perbedaan individual yang bersifat tetap dalam disposisi tindakan agresif. Untuk memenuhi tujuan ini, digunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama ada dalam pengembangan skala kepribadian terstandar dimana responden diminta untuk mendiskripsikan tentang keadaan yang ada dalam dirinya saat ini atau disposisi yang bersifat lebih menetap. Kuesioner agresi yang dikembangkan oleh Buss dan Perry (1992) berisi dua skala semacam itu, yaitu mengukur amarah dan permusuhan. Perbedaan antara keadaan saat ini dan ciri sifat yang stabil dicerminkan dalam state trait anger scale yang dikembangkan oleh Spielberger, Jacobs, Russel, dan Crane (1983). Pendekatan kedua untuk mengeksplorasi faktor pendukung intrapersonal perilaku agresif melibatkan teknik-teknik proyektif. Dalam metode ini subjek dihadapkan pada stimulus yang ambigu, seperti bercak-bercak tinta pada tes Rorschach atau picture frustration test (Rosenzweig, 1981). Berdasarkan keterangan cara pengukuran perilaku agresif diatas maka penelitian ini menggunakan kuisioner perilaku agresif yang dikembangkan oleh Buss & Perry (1992). Dengan menggunakan kuisioner perilaku agresif dapat diperoleh hasil tingkat perilaku agresif dari sangat tinggi sampai dengan sangat rendah sesuai dengan skor yang diperoleh. Dimana skor yang didapat tinggi maka tingkat perilaku 23 agresifnya sangat tinggi dan sebaliknya skor yang diperoleh rendah maka tingkat perilaku agresifnya juga smakain rendah. Kuisioner ini dikembangkan berdasarkan aspek perilaku agresif fisik, perilaku agresif verbal, kemarahan dan permusuhan. 1.1.3 Mengurangi Perilaku Agresif Perilaku agresif dilakukan oleh individu, dengan begitu sebagian besar upaya intervensi diarahkan pada pengurangan kemungkinan individu untuk memperlihatkan perilaku agresif (dalam Krahe,2005) yaitu : 1. Katarsis Ketika perilaku agresif sudah dilampiaskan, peluang agresif lanjutan mungkin berkurang. Freud menyebut proses ini sebagai catharsis (katarsis). Kita semua mengontrol perilaku agresif telah dilampiaskan, kita mungkin mengurangi penahanan diri untuk mengekspresikan perilaku agresif dimasa mendatang. Agar katarsisi dapat mengurangi agresif, urutan perilaku itu harus diinterupsi: harus ada pemutusan dalam tidakan perubahan dalam diri korban atau perubahan dalam cara agresif diekspresikan. 2. Hukuman Ketakutan akan hukuman akan mereduksi perilaku agresif. Orang mempertimbangkan konsekuensi hukuman ini dan karenanya mereka menghindari perilaku agresif (Stratus et al,1981). Namun ancaman dan hukuman dan balasan setimpal bukan cara sederhana untuk mereduksi agresif. Anak yang sering dihukum 24 karena berbuat agresif justru akan cenderung lebih agresif (Sears, Maccoby & Levin,1975). Hukuman atas agresifitas anak tidak selalu menghasilkan reduksi perilaku agresif. Problem kedua adalah ketakutan akan hukuman dan pembalasan tampaknya memicu aksi kontra-agresi. Orang yang diserang cederung membalas penyerangan, meski pembalasan itu akan menimbulkan serangan lagi (Dengerink,Schnedler,& Covey,1978). Bahkan apabila hukuman atau ancaman pembalasan biasanya efektif secara temporer dalam menekankan agresif langsung, namun teknik ini terlalu mahal untuk mengatasi masalah. Sulit untuk bergantung pada control eksternal guna meminimalkan kekerasan. 3. Mengelola kemarahan Fokus pendekatan mengelola kemarahan adalah menujukkan kepada individu agresif tentang model kemarahan yang bisa dimengerti dan hubungannya dengan kejadian, pikiran, serta perilaku kekerasan yang dipicu olehnya (Howell,1989). Pendekatan menejemen kemarahan banyak mendasarkan diri pada prinsip-prinsip terapi kognitif-perilaku, khususnya “stress inucolation training (latihan inokulasi stress) Meichenbaum (1975) yang diadaptasi untuk mengelola kemarahan oleh Novaco (1975). Howells (1989) mengemukakan metode manejemen kemarahan bisa berfungsi pada individu yang menyadari kenyataan bahwa perilaku agresif mereka adalah akibat kegagalan mengontrol implus agresif dan pada individuyang termotivasi untuk mengubah cara mereka yang tidak kuat dalam menangani implus. Selain itu, control terhadap kemarahan dapat ditingkatkan dengan melatih individu-individu ini agar 25 mampu menyadari tentang penyebab-penyebab potensial dan keadaan-keadaan yang dapat mengurangi perilaku orang lain yang negative dan menyebabkan frustasi. 4. Belajar melalui obsevasi Menyaksikan tokoh panutan nonagresif dimaksudkan untuk mendapatkan repertoar perilaku baru diman pola-pola respons agresif dapat digantikan untuk jangka waktu yang lebih lama. Mengamati orang-orang yang berperilaku nonagresif bisa mengurangi performa tindakan agresif pengamatannya (Baron&Richardson 1994) Cara yang lebih efektif untuk mencegah dan mengurangi agresif fisik dan kemarahan adalah dengan menghilangkan stressor yang diketahui meningkatkan kecederungan agresif fisik dan kemarahan melalui pencetusan afek negatif, misalnya suhu udara yang tinggi, kebisingan atau kondisi tempat tinggal. 2.2.1 Pengertian Harga Diri Harga diri yang mempunyai peran penting dan pengaruh besar terhadap sikap dan perilaku individu. Pengertian harga diri menurut Coopersmith, (1978) merupakan suatu proses penilaian yang dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri. Proses adalah serangkaian langkah sistematik atau tahapan yang jelas dan dapat ditempuh berulang kali. Sedangkan penilaian adalah suatu pertimbangan atau proses yang memungkinkan seseorang untuk membuat suatu pertimbangan mengenai nilai sesuatu. Harga diri merupakan serangkaian langkah sistematik yang dapat ditempuh secara berulangkali dalam membuat suatu pertimbangan mengenai nilai sesuatu, yaitu hasil yang dicapai individu dengan menganalisis seberapa jauh kesesuain perilaku 26 dengan ideal self. Karena penilaian berkaitan dengan diri sendiri, penilaian dapat mencerminkan penerimaan atau penolakan terhadap diri. Individu yang dapat menerima dirinya apa adanya dan menilai baik tentang dirinya, berarti individu tersebut mempunyai harga diri tinggi. Namun sebaliknya individu yang memiliki harga diri rendah akan memandang dirinya dari sudut kekurangannya dan mengharapkan seperti individu lain. Penerimaan diri berkaitan dengan konsep diri yang positif. Individu dengan konsep diri yang positif dapat memahami dan menerima fakta-fakta yang berbeda dengan dirinya, individu dapat menyesuaiakan diri dengan pengalaman mentalnya sehingga evaluasi dirinya juga positif. Jika membicarakan evaluasi diri berarti membicarakan self dari komponen efektif yaitu harga diri. Harga diri dikatakan sebagai evaluasi individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang mengekspresikan sikap setuju atau tidak setuju dan menujukkan tingkat individu menyakini dirinya sendiri. Harga diri individu dapat mengalami perubahan karena adanya interaksi antara individu dengan individu lain dan interaksi individu dengan lingkungannya. Individu yang memiliki harga diri tinggi biasanya akan memiliki hubungan antar pribadi yang lebih baik dan lebih sering terpilih pada posisi kepemimpinan, merasa diterima oleh orang lain dan dapat memberi pengaruh terhadap hubungan yang terjalin diantara individu. Individu yang merasa senang dengan dirinya tidak akan tergantung secara berlebihan terhadap orang lain agar memperoleh pengakuan, motivasi atau dorongan dan pengarahan. Individu akan berada dalam posisi lebih baik untuk bekerja sama dalam hubungan dengan orang lain. 27 Manusia hidup dan tumbuh dalam perkembangan berkelanjutan. Setiap orang memerlukan harga diri, berapapun usia, latar belakang budaya serta pekerjaan dalam hidupnya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup ini dibentuk oleh persepsi dan harga diri hamper mempengaruhi setiap segi kehidupan. Harga diri merupakan kondisi psikologis seseorang yang relative tetap, juga bukan merupakan sesuatu yang dibawa sejak lahir. Harga diri berhubungan dengan perkembangan, seirama dengan interaksi individu dengan individu laian dan lingkunganya. Oleh karena itu harga diri dapat diarahkan dan dikembangkan kearah yang positif. 2.2.2 Aspek- aspek Harga Diri Menurut Coopersmith (1978) Harga Diri mempunyai 4 aspek yaitu : 1. Penerimaan diri Penerimaan diri merupakan kunci yang direfleksikan individu dalam dirinya meliputi sikap, perhatian, dan ekspresi perasaan mereka terhadap diri individu. Ekspresi tersebut dikatakan sebagai penerimaan atau popularitas, kebalikannya disebut sebagai penolakan atau isolasi.Penerimaan ini dibentuk oleh kehangantan, tanggapan, perhatian serta menerima individu sebagaimana adanya. 2. Penerimaan sosial Proses indentifikasi anak dengan orang tua dalam pembentukan harga diri seseorang. Keluarga adalah lingkungan pertama yang ditemui oleh individu dan menjadi tempat penting dalam perkembangan hidup seseorang.Didalam keluarga seseorang dapat merasakan dirinya dicintai, diinginkan, diterima dan dihargai, pada akhirnya membantu individu untuk lebih dapat menghargai dirinya.Suka cita karena 28 dihargai, dapat di pelihara dengan ucapan pujian yang tulus dan diberikan dengan konsisten. 3. Interaksi sosial Interaksi sosial sebagai cara pandang dan evaluasi diri sendiri, harga diri merupakan cermin dan kriteria penialaian orang-orang penting dalam dunia sosial individu, individu menyesuaikan dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan menginternalisasikan ide dan sikap yang diekspresikan oleh figure kunci dalam kehidupannya. Individu cendrung memberi respons terhadap sikap diri yang sesuai dengan apa yang diekspresikan orang-orang penting dalam kehidupannya. 4. Penghargaan Individu yang menilai dirinya kurang menyenangkan dan mengagap dirinya kurang cakap dalam menghadapi lingkungan akan merasa dirinya kurang. Perasaan kurang atau rendah diri akan mempengaruhi usahanya untuk memperoleh status sosial yang sesuai dengan keinginannya. 2.2.3 Kategori Harga diri Menurut Coopersmith (1978) kategori Harga Diri terbagi menjadi 3 yaitu: 1. Harga diri tinggi Individu yang memiliki harga diri tinggi memiliki ciri : mandiri, kreatif, yakin akan gagasan-gagasannya, tingkat kecemasan rendah, mempunyai kenyakinan yang tinggi, melihat dirinya sebagai orang yang berguna dan mempunyai harapan-harapan yang tinggi, lebih berorientasi kepada kebutuhan, mempunyai pendapat sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain. 29 2. Harga diri Sedang Individu yang mempunyai harga diri sedang memiliki ciri: hamper sama dengan harga diri tinggi, namun disertai sifat-sifat memandang lebih baik dari kebanyakan orang dan kurang yakin terhadap dirinya dan selalu tergantung pada penilaian orang. 3. Harga diri rendah Individu yang mempunyai harga diri rendah memiliki ciri kurang mandiri, kurang kreatif, mempunyai rasa cemas yang tinggi, merasa dirinya kurang berguna bagi orang lain, kurang berorientasi kepada kebutuhan,harapan-harapan rendah, kurang percaya diri, malas menyatakan diri terutama jika mempunyai gagasangagasan baru. 2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri Faktor-faktor yang mempengaruhi Harga Diri menurut Coopersmith (1978) yaitu : 1. Faktor pengalaman Pengalaman dalam bentuk emosi, perasaan, tindakan dan kejadian yang pernah dialami individu yang dirasakan bermakna dan meninggalkan kesan dalam hidup individu.Pengalaman berhasil individu menyesuaikan diri dengan lingkungan serta mengatasi kekurangan diri menyebabkan timbulnya kepercayaan diri dan harga diri individu.. 2. Faktor pola asuh orang tua 30 Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anaknya yang meiliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupunhukuman, cara orang tua menujukkan orientasinya dan cara orang tua memberikan perhatiannya serta tanggapan terhadap anaknya. Orang tua permisif atau mengijinkan, sampai akhirnya orang tua menghukum anak dengan perlakukan kasar dan menghina serta tanpa menujukkan kasih sayang.Sebaliknya orang tua anak yang memiliki harga diri tinggi sangat memperhatikan tuntutan, ketentuan yang orang tua ciptakan untuk anakanak dan kepastian yang orang tua tuntut pada anak-anak.Dengan demikian orang tua memberikan kepada anak sesuatu struktur moral yang jelas sehingga anak-anak dapat menggunakannya dan mengendalikan perilakukanya. Pola asuh orang tua menurut Coopersmith(1976) dapat meningkatkan harga diri anak yang cenderung memiliki karakteristik sebagai berikut : a) Anak menerima kasih sayang dan terlibat. Dimana orang tua secara terbuka dan sering menampilkan kasih sayang kepada anak-anak mereka, menaruh minat dalam kegiatan anak-anak meraka dan berkenalan dengan teman-teman anakanak mereka. b) Orang tua yang ketat, yang tegas dan aturan ditegakkan secara konsisten dalam keluarga. Menegakakan disiplin dalam keluarga sangat penting agar anak terbiasa menaati peraturan yang ada, namun jangan sampai anak tertekan dengan aturan-aturan itu. Oleh karena itu orang tua harus berhati-hati dalam membuat peraturan dan konsisten. c) Anak akan menyukai orang tua yang menggunakan sedikit hukuman fisik atau ancaman untuk menarik cinta. Orang tua dari anak-anak dengan harga diri 31 sedang akan lebih cenderung menggunakan hukuman badan atau penarikan cinta. Kecenderungan ini bahkan lebih banyak dilakukan oleh orang tua yang memiliki anak-anak dengan harga diri rendah. d) Anak lebih menyukai suasana keluarga yang lebih demokratis.walaupun orang tua yang ketat dan tegas, tetapi terbukti bahwa anak dengan harga diri tinggi tidak menyukai orang tua dogmatis atau diktator. 3. Faktor lingkungan sosial Lingkungan memberikan dampak kepada remaja melalui hubungan yang baik antara remaja dengan orang tua, teman sebaya dan lingkungan sekitasrnya sehingga menumbuhkan rasa aman dan nyaman dalam penerimaan sosial serta harga dirinya. Kehilangan kasih sayang, penghinaan dan dijauhi teman sebaya akan menurunkan harga diri, sebaliknya keberhasilan bersahabat dan bermasyarakat akan meningkatkan harga diri. 4. Faktor sosial ekonomi Sosial ekonomi merupakan dasar perbuatan seseorang yang menimbulkan dorongan untuk memenuhi kebutuhan individu dalam hubungannya dengan lingkungan sosial yang memerlukan dukungan finansial dan berpengaruh pada kebutuhan hidup sehari-hari. Individu yang tingkat sosial ekonominya tinggi akan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya kepercayaan pada diri individu dan harga dirinya. 32 sehingga memperkuat 2.2.5 Peningkatan Harga Diri Meningkatkan Harga Diri Menurut Coopersmith (1978) yaitu: 1. Kekuatan (power) kekuatan disini berarti kemampuan individu untuk mempengaruhi orang lain, serta mengontrol atau mengendalikan orang lain, disamping mengendalikan dirinya sendiri. Apabila individu mampu mengontrol diri sendiri dan orang lain dengan baik maka hal tersebut akan mendorong terbentuknya harga diri yang positif atau tinggi, demikian juga sebaliknya. Kekuatan juga dikaitkan dengan inisiatif, pada individu yang memiliki kekuatan tinggi akan memiliki inisiatif yang tinggi. 2. Ketaatan individu dan kemampuan memberi contoh (virtue). Ketaatan individu terhadap aturan dalam masyarakat serta tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari norma dan ketentuan yang berlaku dimasyarakat akan membuat individu tersebut diterima dengan baik oleh masyarakat. Bila individu mampu memberikan contoh atau dapat menjadi panutan yang baik bagi lungkungannya, akan diterima secara baik oleh masyarakat. Jadi ketaatan individu terhadap aturan masyarakat dan kemampuan individu memberi contoh bagi masyarakat dapat menimbulkan penerimaan lingkungan yang tinggi terhadap individu. Penerimaan lingkungan yang tinggi mendorong terbentuknya harga diri tinggi, demikian pula sebaliknya. 3. Keberartian (significance) adanya kepedulian, penilaian dan efeksi yang diterima individu dari orang lain. Berhasil atau tidaknya individu memiliki keberartian diri dapat diukur melalui perhatian dan kasih sayang yang ditujukkan oleh lingkungan. 33 4. Kompetensi (competence) yaitu memiliki usaha yang tinggi untuk mendapatkan prestasi yang baik, sesuai dengan tahapan usianya. Apabila usaha individu sesuai dengan tuntutan dan harapan, berarti individu memiliki kompetensi yang dapat membantu membentuk harga diri yang tinggi. Sebaliknya apabila usaha individu sering mengalami kegagalan dalam meraih prestasi atau gagal memenuhi harapan dan tututan, individu tersebut merasa tidak kompeten dan dapat membuat individu mengembangkan harga diri yang rendah. 2.3 Kajian Yang relevan Penelitian sebelumnya yang meneliti hubungan antara harga diri dengan perilaku agresif pernah dilaksanakan oleh Trisna 2010 yang meneliti Hubungan antara self esteem dan perilaku agresif siswa SMA Yayasan Pendidikan Kotamadya Blitar. Penelitian ini menggunakan teknik penarikan sampel proportional random sampling dengan jumlah sampel 58 siswa. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner. Analisis data menggunakan dua cara, yaitu data dianalisis dengan teknik persentase dan uji korelasi product moment. Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut: (1) Sebanyak 56,90% siswa SMA Yayasan Pendidikan Kotamadya Blitar memiliki self esteem yang tinggi. (2) Sebanyak 56,90% siswa SMA Yayasan Pendidikan Kotamadya Blitar memiliki perilaku agresif yang rendah. (3) Ada hubungan negatif yang signifikan antara self esteem dan perilaku agresif siswa SMA Yayasan Pendidikan Kotamadya Blitar. 34 Nurdi dan suwarti (2001) melaksanakan penelitian untuk mengetahui hubungan antara harga diri dengan kecederungan perilaku agresif pada anggota satuan polisi pamong praja (SATPO PP) kabupaten banyumas. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan populasi penelitian adalah seluruh personil satuan polisi pamong praja kabupaten Banyumas. Hasil penelitian diperoleh rxy=0,476 dengan p<0,05 maka dapat disimpulkan terdapat hubungan negatif signifikan antara harga diri dengan kecenderungan perilaku agresif pada anggota SATPOL PP kabupaten Banyumas. Penelitian yang dilakukan Baumeister dan Bonden (dalam Krahe,2005) menyatakan bahwa individu dengan harga diri rendah lebih rentang terhadap perilaku agresif, terutama dalam menghadapi stimulus negatif yang dipersepsikan sebagai ancaman terhadap harga diri mereka yang tinggi. 2.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang dan teori-teori yang ada hipotesis yang akan diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Ada Hubungan signifikan antara Harga Diri Dengan Perilaku Agresif Fisik pada mahasiswa program studi bimbingan dan konseling UKSW Salatiga. 2. Ada Hubungan signifikan antara Harga Diri Dengan Perilaku Agresif Kemarahan pada mahasiswa program studi bimbingan dan konseling UKSW Salatiga. 35