BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini penulis

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis mengemukakan latarbelakang serta urgensi penelitian
terhadap konflik yang terjadi di Desa Kalirejo. Dalam rentang waktu yang
diberi batasan oleh penulis terhadap dinamika konfliknya. Untuk melihat
orisinalitas dan keunikan dari penelitian ini penulis kemukakan beberapa
penelitian terdahulu yang membahas tentang konflik sumber daya alam, juga
yang pernah dilakukan di Desa Kalirejo pada tinjauan pustaka. Kerangka teori
yang digunakan menjadi pendukung untuk melihat dengan kaca mata dari
teorinya Coser, bahwa konflik sebagai bentuk positif bagi masyarakat serta
konsep Wehr digunakan penulis pada conflict mapping-nya. Pembahasan
untuk mengulas semua itu penulis tuangkan dengan metode penelitian
deskriptif analitik dengan menggunakan strategi studi kasus kolektif. Batasan
terhadap penelitian juga dikemukakan serta sistematika dari keseluruhan
penulisan pada bab ini.
1.1 Aktivitas Pertambangan yang Mengundang Konflik
Dewasa ini jika kita melihat perkembangan lingkungan di sekitar kita pastilah sangat
berbeda jauh dengan lingkungan ketika 20 tahun sebelumnya. Berkembangnya populasi yang
sangat cepat dan diberengi dengan pertumbuhan kebutuhan manusia membuat kapitalisme seolah
tidak hanya berjalan namun seperti berlari tanpa batasan kecepatan yang ditentukan. Cepatnya
pertumbuhan ini membuat kebutuhan seperti kebutuhan primer dan sekunder seolah menjadi
kebutuhan yang sulit untuk dibedakan.
Kesulitan dalam membedakan hal itu dikerenakan
kebutuhan sekunder yang bermetamorfosis menjadi kebutuhan primer. Perubahan kebutuhan
disebabkan dari dampak sistem kapitalisme yang seolah tidak disadari masyarakat. Alhasil
berbagai cara untuk memperoleh kebutuhan dilakukan masyarakat baik masyarakat tipologi
pedesaan maupun perkotaan.
Pemenuhan terhadap determinasi dari status sosial ini mengalami perkembangan yang
tidak terkira sebelumnya. Seperti perhiasan baik itu intan, mutiara, emas dan lain-lain menjadi
barang incaran yang tidak ada habisnya.
Melihat kenyataan itu membuat pemilik modal
berlomba-lomba untuk mendapatkan barang mentah sebagai dasar pembuatan perhiasan.
Pertambangan baik secara resmi dengan izin pemerintah maupun tidak resmi dalam artian
dilakukan tanpa izin mulai bermunculan. Sebagai contoh pertambangan emas salah satunya di
Pulau Papua oleh perusahaan Grasberg (Freeport) dan mengantongi izin resmi dari pemerintah
1
yang konon merupakan pertambangan emas terbesar di dunia. Seperti yang dilaporkan oleh
liputan6.com “Sebagian besar para ahli menganggap Freeport-McMoRan Copper & Gold
sebagai tambang terbesar di dunia. Tak hanya itu, tambang tembaganya pun menjadi nomor satu
di dunia.1
Selanjutnya pertambangan emas dilakukan secara tradisional dan tidak resmi atau tanpa
izin, salah satunya berada di Desa Kalirejo yang sudah berlangsung sejak tahun 1994.
Pertambangan Tanpa Izin (PETI) adalah usaha yang dilakukan oleh perseorangan sekelompok
orang atau perusahaan yayasan berbadan hukum yang dalam operasinya tidak memiliki izin dan
instansi pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. PETI diawali oleh
keberadaan para penambang tradisional, yang kemudian berkembang karena faktor kemiskinan,
keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan usaha serta keterlibatan pihak lain yang bertindak
sebagai cukong dan backing. Di sisi lain, kelemahan dalam penegakan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang menganaktirikan pertambangan (oleh) rakyat juga ikut menjadi
pendorong maraknya PETI.2
Terminologi PETI jika merujuk menurut Keputusan Bersama Menteri Pertambangan dan
Energi, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah yang
selanjutnya disebut PSK (Pertambangan Skala Kecil) adalah usaha pertambangan umum atas
galian golongan A, B dan C yang dilakukan oleh Koperasi atau Pengusaha Kecil setempat. 3
Secara positifnya PETI memberikan kontribusi kepada masyarakat setempat dalam mata
pencaharian, namun negatifnya dapat merusak lingkungan disekitar wilayah pertambangan.
Melihat kondisi ini pemerintah melalui perundangan-undangan barunya mencoba
mewadahi pertambangan tradisional dengan memberikan izin yang dituang dalam undangundang Nomor 4 Tahun 2009 pertambangan tradisional disebut dengan IPR (Izin Pertambangan
Rakyat). Namun bukan berarti dengan keluarnya undang-undang baru itu membuat semua
wilayah di Indonesia yang mempunyai kandungan sumber daya alam mendapatkan IPR. Seperti
1
Siska
Amelie
F
Deil,
Tambang
Emas
Terbesar
di
Dunia,
Liputan6,
diakses
dari,
http://bisnis.liputan6.com/read/642330/3-tambang-emas-terbesar-di-dunia di unduh pada tanggal 19 November
2014 pukul 09.23 Wib.
2
Pertambangan
Tanpa
Izin
(PETI)
dan
Karakteristiknya,
Karokab,
diakses
dari,
http://www.karokab.go.id/koperindag/index.php/5-pertambangan-tanpa-izin-peti-dan-karakteristiknya di unduh
pada tanggal 18 November 2014 pukul 09.05 Wib
3
Keputusan Bersama Menteri Pertambangan dan Energi, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Koperasi, Pengusaha
Kecil dan Menengah Nomor : 2002.K/20/MPE
/1998 – Nomor : 151A Tahun 1998 – Nomor : 23/SKB/M/XII/1998; tentang pembinaan dan pengembangan
Koperasi dan Pengusaha kecil melalui usaha usaha pertambangan kecil
2
yang terjadi di Desa Kalirejo, mulai diberlakukannya undang-undang tersebut oleh pemerintah
pusat namun dari pemerintah daerah belum juga memberikan IPR. Hasilnya membuat pekerja
di Desa setempat melakukan aktivitas pertambangan tanpa izin dan tanpa adanya pengelolaan
limbah serta keamanan yang memadai.
Pertambangan di Desa Kalirejo dilakukan secara berkelompok dalam mengeskploitasi
kandungan emas di Desa mereka, terlebih lagi dilakukan pada pekarangan rumah pribadi.
Aktivitas puncak pertambangan ini marak dilakukan oleh warga setempat dan pendatang sejak
tahun 1996 sampai awal tahun 2000. Masa jaya di tahun tersebut menjadikan penambangan
emas sebagai pendapatan utama masyarakat Desa Kalirejo yang sebelumnya mata pencaharian
utama mereka sebagai penderes.4 Bahkan tak jarang hampir di setiap pekarangan rumah warga
dijadikan lahan pertambangan bagi pemilik rumah dan dikerjakan oleh anggota keluarga sendiri.5
Kegiatan pertambangan yang dimulai dari tahun 1994 tersebut masih bertahan sampai sekarang
(2015) sehingga beberapa warga lokal dan pendatang menjadikannya sebagai mata pencaharian
utama.
Kekayaan alam yang dimiliki Desa Kalirejo membuat para penambang emas tradisional
dari luar daerah berdatangan. Masyarakat luar daerah Desa yang sudah terbiasa menjadikan
dunia pertambangan tradisional sebagai mata pencahariaan mereka juga ikut berperan serta,
dimana posisi mereka kebanyakan hanya sebagai buruh dari pemilik modal. Potensi kekayaan
alam Desa kalirejo dengan kandungan emasnya membuat aktivitas penambangan tradisional
menjadi pemandangan biasa. Bahkan suara-suara gemuruh mesin seolah menjadi alunan musik
bagi pekerjanya selama kegiatan penambangan berlangsung. Namun pemandangan aktivitas
eksploitasi sumber daya alam yang ada tentu saja tidak lepas dari adanya konflik.
Potensi konflik di Desa Kalirejo menjadi semakin kompleks ketika konflik lain terjadi
dalam tataran yang hirarki, dimana penambang dengan pemerintah kabupaten Kulon Progo
mempunyai perbedaan persepsi mengenai aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Hal tersebut terjadi dikarenakan kawasan Desa Kalirejo dengan statusnya yang belum
mendapatkan izin dari pemerintah pusat dan daerah atau disebut dengan Wilayah Penambangan
Rakyat (WPR). Dengan demikian secara administratif kegiatan yang dilakukan oleh warga
4
Data didapat dari hasil wawancara dengan kepala dusun Sangon II dan beberapa warga setempat. Penderes
merupakan suatu profesi mengolah gula jawa dengan bahan baku yang dikumpulkan dari pohon kelapa, dan
dilakukan dengan cara memanjat pohon kelapa tersebut lalu menaruh suatu barang yang bisa menampung cairan
atas pohon kelapa tersebut.
5
Hasil temuan lapangan yang dilakukan dengan wawancara dan observasi lapangan di Desa Kalirejo.
3
setempat sudah melanggar aturan dalam kegiatan eksploitasi sumber daya alam tak terbaharukan
itu.
Konflik antara pemerintah daerah dengan penduduk Desa Kalirejo pada tanggal 27
Oktober 2011, merupakan bukti terjadinya konflik secara vertikal walaupun tidak menimbulkan
kekerasan. Konflik tersebut terjadi ketika salah satu sumur penambangan emas di Desa Kalirejo
ditutup secara sepihak oleh pihak kepolisian setelah menangkap salah seorang penambang
tradisional yang secara administratif tidak memliki surat perizinan. Sebanyak 15 penambang
emas tradisional di Desa Kalirejo dan Hargorejo, Kecamatan Kokap berunjuk rasa, dan salah
seorang di antara mereka menjahit mulutnya di halaman kantor pemerintahan.6
Konflik vertikal antara pemerintah daerah dengan masyarakat Desa kalirejo merupakan
bentuk adanya dominasi pemerintah pusat terhadap masyarakat Desa Kalirejo. Bentuk dominasi
tersebut dapat dilihat dari belum dikeluarkannya keputusan apapun mengenai penambangan di
Desa Kalirejo. Apakah keputusan dengan memberikan izin atau keputusan melakukan
pelarangan terhadap aktivitas penambangan oleh warga setempat. Ketidakjelasan pemerintah
yang merupakan bentuk dari dominasi struktural membuat masyarakat sebagai bagian inferior
dari kekuatan superior didalam masyarakat.
Konflik tidak hanya terjadi secara vertikal namun juga secara horizontal. Pada
masyarakat Desa Kalirejo terjadi ketika beberapa ketegangan antara masyarakat penambang dan
masyarakat non penambang. Ketegangan itu dimulai ketika penambang yang menggunakan
bahan mercury sebagai pemisah kandungan emas tidak mengolah limbah tersebut secara baik.
Hasilnya pencemaran lingkungan dari pembuangan limbah penggunaan mercury disekitar
pertambangan terjadi.
Walaupun pencemaran tidak menghampiri keseluruh sumur warga,
namun setidaknya hal tersebut merupakan awal dari pencemaran yang berkelanjutan dan meluas
jika tidak dilakukan penanganan secara dini. Belum lagi hasil limbah lainnya yang ditangani
secara tidak serius dari hasil penambangan.
Pencemaran juga terjadi dikarenakan pengelolaan limbah sianida yang kurang terkontrol
mengalami kebocoran. Akibat pengaturan limbah yang dilakukan tanpa standar jelas membuat
ribuan ikan di kolam milik warga dan sepanjang aliran sungai dari Plampang II sampai dengan
Desa Hargomulyo mati dan mengambang. Warga menjadi tak berani mengonsumsi air dari
6
Penambang Emas Traditional Kulon Progo gelar aksi jahit mulut, Antara Yogya, diakses dari
http://antarayogya.com/print/289957/penambang-emas-tradisional-kulon-progo-gelar-aksi-jahit-mulut,
pada
tanggal 17 juni 2014 pukul 16.40 Wib
4
sumur mereka yang lokasinya berdekatan dengan tempat pengolahan limbah dan sungai. 7
Melihat dari pemberitaan ini maka tidak menutup terjadinya konflik horizontal antara
penambang dengan warga muncul kepermukaan.
Selain dari pengelolaan limbah yang dilakukan secara tidak serius oleh pihak penambang
juga kurangnya kepedulian lingkungan yang merupakan salah satu benih-benih konflik di Desa
Kalirejo.
Benih konflik lainnya juga terjadi pada proses penambangan yang menggangu
aktivitas warga sekitar.
Proses penambangan yang dilakukan pada dasarnya tidak selalu
memiliki keseragaman.
Perbedaan tersebut dilihat dari pengambilan bahan mentah oleh
penambang yang mengunakan mesin dengan yang tidak (manual). Penambangan manual secara
prosesnya tidak terlalu menganggu aktivitas warga, namun berbeda dengan penambang yang
menggunakan mesin. Penambang dengan menggunakan mesin untuk menghancurkan bahan
galian mengeluarkan suara cukup keras, sehingga membuat polusi suara yang cukup
mengganggu warga di sekitar area tambang.
Kondisi ini merupakan benih terjadinya konflik
secara horizontal jika tidak ditangani secara dini dan akan mengalami eskalasi konflik yang tidak
terduga di kemudian hari.
Berangkat dari berbagai permasalahan tersebut, penelitian ini telah berhasil membongkar
konflik-konflik apa saja yang sudah terjadi dan bagaimana resolusi dari konflik tersebut pada
pertambangan emas tanpa izin. Melihat umur aktivitas pertambangan yang sudah tergolong lama
ditambah dengan statusnya belum mendapatkan izin WPR dari pemerintah daerah selama kurang
lebih 2 dekade. Fenomena ini memungkinkan sebagai bentuk representasi dari daerah-daerah
yang memiliki SDA tertentu dan kemudian dilakukan kegiatan pertambangan secara tanpa izin
dari penduduk setempat atau dari pendatang yang mencari peruntungan seperti Desa Kalirejo.
Megingat bangsa ini kaya akan SDAnya sangat mungkin menjadi miniatur permasalahan
pertambangan tanpa izin di daerah-daerah Indonesia lainnya.
1.2 Rumusan Masalah
Banyaknya konflik yang terjadi di Desa Kalirejo Kecamatan Kokap selama kurang lebih
dari 2 dekade belakangan ini menjadi hal menarik jika dikaji secara lebih mendalam. Ditambah
dengan status pertambangan traditional yang belum mendapatkan izin secara resmi dari
7
Singgih Wahyu Nugraha, “Pengolahan limbah emas di kokap diduga cemari sumur warga,, Tribun News, diakses
dari http://jogja.tribunnews.com/2014/03/10/pengolahan-limbah-emas-di-kokap-diduga-cemari-sumur-warga/,
pada tanggal 19 November 2014 Pukul 18.47 wib
5
pemerintah daerah. Berangkat dari permasalahan ini maka peneliti mengelaborasikannya dalam
rumusan masalah sebagai berikut:

Bagaimana dinamika konflik vertikal yang terjadi pada pertambangan emas tanpa
izin di Desa Kalirejo dan proses resolusi konfliknya?

Bagaimana dinamika konflik Horizontal yang terjadi pada pertambangan emas
tanpa izin di Desa Kalirejo dan proses resolusi konfliknya?
1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi konflik-konflik yang terjadi dan mengetahui
bagaimana resolusi yang telah dilakukan di Desa Kalirejo selama 5 tahun terakhir. Mengingat
penambangan emas merupakan salah satu mata pencaharian terbesar bagi masyarakat setempat.
Kemudian apa saja usaha yang telah mereka lakukan dalam mencari jalan keluar dari konflik
tersebut. Apakah melalui jalan formal atau non formal yang menggunakan hukum adat sebagai
pengambil keputusan akhir dari pihak yang berkonflik. Penilaian secara personal dari informan
yang diwawancarai oleh penulis terhadap kepuasan resolusi konflik menjadi masukan bagi elit
lokal maupun daerah dalam mengambil keputusan kedepannya. Karena tidak menutup
kemungkinan resolusi yang dilakukan pada konflik horizontal diselesaikan dengan hukumhukum yang berlaku di Desa Kalirejo.
Selanjutnya dengan melihat dinamika konfliknya, penulis dapat menganalisis sistem
sosial apa saja yang sudah berubah dari estafet konflik 5 tahun lalu. Berangkat dari analisis
tersebut, penulis mampu melihat fungsi positif dari konflik yang terjadi dari kaca mata teori
Coser yang dibantu dengan konsep pemetaan konflik dari Paul Wehr. Dari rumusan masalah
yang dipaparkan diatas, maka kiranya dengan mengetahui estafet konflik dari tahun 2009 sampai
2014 bisa mendapatkan manfaat yang jelas dari penelitian ini.
Manfaat dari penelitian ini pun menjadi bagian dari pengabdian kepada masyarakat dan
sebagai bentuk rasa kepedulian kepada situasi sosial di Indonesia terutama pada daerah-daerah
yang memiliki sumber daya alam tak terbaharukan. Manfaat tersebut diantaranya adalah;

Memberikan sumbangan pada khasanah ilmu pengetahuan dan dapat menjadi
rujukan untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan pertambangan
6
emas di Desa Kalirejo Kecamatan Kokap, serta mampu untuk dijadikan tamplate
pada daerah-daerah lain di Indonesia dengan kawasan yang memiliki SDA.

Adanya penelitian ini setidaknya menjadi salah satu masukan kepada pemerintah
kabupaten Kulon Progo yang mempunyai wewenang dalam membuat kebijakan
terhadap daerahnya, terutama Desa Kalirejo. Kemudian memberikan masukan
kepada warga Desa Kalirejo dalam mengelola konflik baik yang laten maupun
yang terbuka untuk segera diselesaikan agar tidak saling merugikan satu sama
lain.
1.4 Tinjauan Pustaka
Penelitian konflik di kawasan pertambangan emas sudah banyak dilakukan oleh para
akademisi.
Beberapa penelitian yang membahas tentang pertambangan di Desa Kalirejo
Kecamatan Kokap sudah lumayan banyak. Penelitian yang sudah cukup lama dilakukan oleh
Adi Heru Husodo dkk pada tahun 2005 8 membahas tentang dampak pencemaran yang
ditimbulkan dari aktifitas pertambangan tradisional.
Terutama dampak yang dialami oleh
pekerja tambang akibat kontaminasi merkuri terhadap tubuh mereka.
Penelitian tersebut
berjudul “kontaminasi merkuri di kalangan pekerja yogyakarta, kasus pertambangan emas di
Kulon Progo”.
Penelitian ini melihat aktifitas pertambangan dengan dampak pencemaran lingkungan
sekitarnya serta dampak negatif terhadap kesehatan manusia yang dilakukan di Kulon Progo.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pencemaran yang terjadi dan seberapa
jauh pencemaran merkuri telah merugikan kesehatan manusia. Kesimpulan yang diambil pada
penelitian tersebut membuktikan adanya kontaminasi merkuri pada sedimen sungai dan biota
yang hidup di sungai yang melintasi Desa Kalirejo. Hasil kontaminasi membuktikan bahwa
penambang dan penduduk disekitar penambangan emas di Desa Kalirejo telah terkontaminasi
merkuri dalam darahnya.
Penambang emas tersebut juga mempunyai kemungkinan
terkontaminasi 1,5 kali lebih besar dibanding masyarakat disekitar penambangan emas.
8
Judul penelitian “Kontaminasi Merkuri di Kalangan Pekerja Yogyakarta Kasus Pertambangan Emas Di Kulon
Progo. Sumber dari Jurnal Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Gajah Mada, ISSN 1693-1033.
Desamber 2005
7
Selanjutnya Penelitian yang masih dalam lingkup Desa Kalirejo juga dilakukan oleh Umy
Nur Faddhila; Deo Fani nur Wijaya; Fatkhur Rahman (2008). 9 Mereka membahas tentang
proses pengolahan hasil tambang emas, kemudian dampak yang dilihat dari segi ekonomis dan
ekologinya dan cara menanggulangi dampak negatifnya. Penelitian ini menarik kesimpulan
pertama, penambangan dilakukan dengan cara menggali sesuai dengan jalur urat-urat kuarsa
yang mengandung emas, pengolahan emas dengan cara amalgamasi. Kedua, dampak ekonomis
tentu saja menambah penghasilan dan dampak ekologisnya mengalami pencemaran lingkungan
hidup akibat pengunaan merkuri dan kerusakan benteng alam akibat pembuatan lubang
penggalian oleh penambang. Penelitian ini juga memberikan solusi terhadap penanggulangan
dampak negatif dengan cara daur ulang air raksa, sistem buatan kolang penampungan tailing
yang memadai diikuti pembuatan terowongan penggalian dengan cara Desain cagak, juga
melakukan reklamasi serta melaukan penambangan yang berkala dan terencana serta pengubahan
kawasan menjadi suatu kawasan pariwisata pertambangan.
Penelitian yang dilakukan di Desa Kalirejo kecamatan Kokap sebagai objek penelitian
selama ini hanya memfokuskan pada pencemaran lingkungan dari dampak penambangan yang
ditemukan oleh penulis. Seperti selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Rininta Larasati,
dkk (2012)10 pada penelitian ini menjelaskan penggunaan merkuri (Hg) pada pertambangan emas
Rakyat di Kecamatan Kokap telah terbukti mencemari lingkungan. Hal tersebut diakibatkan
oleh pembuangan limbah tanpa melalui proses terlebih dahulu.
Alasannya adalah karena
instalasi pengolahan limbah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Penelitian ini
mengungkapkan bahwa terdapat 3 dari 5 usaha penambangan emas rakyat menggunakan alat
penangkap merkuri menjadi tidak layak. Peran pemerintah dalam menindak penambang emas
tanpa izin pelaku pencemaran juga terkesan lemah. Faktor penghambat penertiban penambangan
emas di Kokap lainnya adalah ditetapkannya status Kokap sebagai Wilayah Pertambangan
Rakyat (WPR).
9
Judul penelitian “Pertambangan emas rakyat di Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo, Propinsi D.I.Y ditinjau
dari aspek ekonmis dan ekologis serta alternative pemecahannya. Sumber dari Sagasitas; jurnal ilmiah. Diterbitkan
oleh Dinas Pendidikan Porpinsi Yogyakarta
10
Judul penelitian yang dilakukan oleh Rininta Larasati, Prabang Setyono, dan Kusno Adi Sambowo “valuasi
ekonomi eksternalitas penggunaan Merkuri pada pertambangan emas Rakyat dan peran pemerintah daerah
mengatasi pencemaran Mercuri”. Program Pascasarjana Ilmu LIngkungan-Universitas Sebelas Maret. Jurnal
EKOSAINS| Volume. IV| No.1|Maret 2012
8
Berangkat dari penelitian diatas dalam melihat konflik pertambangan dan kasus pada
pertambangan tradisional di Desa Kalirejo, posisi penelitian ini memiliki beberapa kesamaan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Mappatoba Andi. Namun perbedaan yang terlihat dari
objek yang dikajinya sudah memiliki izin oleh pemerintah, sedangkan dalam penelitian ini objek
yang dikaji belum memiliki izin dari pemerintah. Perbedaan lainnya terletak pada fokus kajian
yang dikaji pada penelitian ini melihat konflik dari 5 tahun terakhir, sedangkan penelitian dari
Mappatoba Andi tidak melihat historis konflik pada objeknya.
Berikutnya penelitian yang dilakukan di Desa Kalirejo dilakukan oleh Umy Nur
Faddhila; Deo Fani nur Wijaya; Fatkhur Rahman (2008) yang meneliti tentang proses
pengolahan hasil tambang emas, kemudian dampak yang dilihat dari segi ekonomis dan ekologi
serta cara menanggulangi dampak negatifnya. Sedangkan untuk aspek sosial terutama konflik di
Desa Kalirejo tidak dimasukkan dalam fokus kajian mereka. Selanjutnya penelitian dari Rininta
Larasati, dkk (2012) tentang pencemaran merkuri yang dilakukan oleh penambang tradisional
terhadap lingkungan disekitar penambangan. Penelitian dia tentang Desa Kalirejo juga tidak
membahas tentang konflik di tempat tersebut melainkan hanya fokus pada pencemaran dan kadar
pencemaran yang terjadi.
1.5 Kerangka Teori
1.5.1 Definisi konflik dari Perspektif Sosiologi
Berbagai teori dan definisi konflik pada dasarnya banyak ditemui di berbagai literatur
yang membahas tentang konflik. Bahkan menurut ilmu sosial sendiri sudah mengkategorikan
mahzab-mahzab utama dalam menganalisis konflik.11 Dalam definisi konflik, Otomar J. Bartos
dan Paul Wehr mengatakan (here as a situation in which actors use conflict behavior against
each other to attain incompatible goals and/or to express their hostility) “situasi dimana para
aktor menggunakan perilaku konflik untuk melawan satu sama lain dalam mencapai
ketidakcocokan tujuan dan sebagai bentuk mengkspresikan permusuhan mereka”.12
Definisi lain tentang konflik disampaikan oleh Himes, yang mengatakan bahwa konflik
adalah “(purposeful struggles between collective actors who use social power to defeat or
11
Novri Susan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sosiologi Konflik, membagi sosiologi konflik kontemporer
menjadi lima aliran, yaitu sosiologi konflik mazhab positivis, mazhab humanis, mahzab kritis, elektis dan
multidisipliner, (Novri Susan: 2014)
12
Otomar J. Bartos, Paul Wehr . Using Conflict Theory. New York: Cambridge University Press , 2002,. Page 13
9
remove opponents and to gain status, power, resources, and other scarce values) perjuangan
yang dilakukan diantara berbagai actor yang mengunanakan kekuatan sosialnya untuk
mengalahkan atau menghilangkan lawan dan untuk mendapatkan status, kekuasaan, sumber
daya, dan nilai-nilai langka lainnya.13
Kemudian Kriesberg berbeda dengan Himes dalam melihat konflik yang terjadi di
masyarakat.
Dia melihat (“conflict exists when two or more parties believe they have
incompatible objectives”) bahwa konflik akan terjadi ketika dua atau lebih orang maupun
kelompok meyakini mempunyai pertentangan secara objektif. Kemudian Pruitt and Rubin
melihat konflik sebagai (“perceived divergence of interests”) adanya perasaan perbedaan
terhadap kepentingan.14
Dari berbagai definisi konflik tersebut sosiologi secara spesifik memberikan definisinya
tentang konflik dari sudut pandang ilmu Sosiologi. Sosiologi pada dasarnya adalah sebuah ilmu
yang mempelajari tentang fenomena sosial jika dipandang secara sederhana. Dalam ilmu
sosiologi sendiri mempunyai beberapa fokus kajian masing-masing dan semuanya dipelopori
oleh beberapa tokoh ketika melihat suatu fenomena sosial. Fokus kajian tersebut menjadikannya
sebuah aliran-aliran dalam memandang fenomena sosial sebagai kaca matanya.
Seperti konflik sosial yang dalam perspektif sosiologi dipelopori oleh beberapa tokoh
sosiologi, diantaranya adalah Karl Marx pelopor dari aliran Marxian. Aliran Marxian sendiri
berlandaskan pada materialisme dan melihat posisi individu sebagai interaksi sosial budayanya.
Kemudian berlanjut dengan konflik antar kelasnya yaitu kaum borjuis dan kaum proletar yang
pertentangannya terjadi dilandaskan penerimaan upah buruh dari penguasa.
Marx adalah
penganut Materialisme historis yang menjelaskan proses dialektika sosial masyarakat,
penghancuran dan penguasaan secara bergilir kekuatan-kekuatan ekonomi, dari masyarakat
komunis primitif menuju feodalisme, berlanjut ke kapitalisme dan berakhir pada masyarakat
tanpa kelas (class less society).15
Teori konflik selanjutnya dikemukanan oleh Lewis A. Coser yang merupakan pelopor
sosiologi konflik struktural. Dimana dalam pemikirannya berangkat dari Simmel mengatakan;
13
Ibid,.
Ibid,.
15
Novri Susan. Pengantar Sosiologi Konflik, Kencana, Jakarta, 2014, hlm. 21-22
14
10
“konflik itu sesungguhnya menunjuk dirinya sebagai suatu faktor positif…bisa
disebutkan bahwa dalam banyak kasus sejarah sesungguhnya penyatuan (dari
sistem sosial) dipengaruhi oleh faktor positif konflik.” 16
Berangkat dari pemikiran itu, menurut Coser konflik tidak hanya berwajah negatif. Konflik
memiliki fungsi positif terhadap masyarakat melalui perubahan sosial yang diakibatkannya.
Untuk melihat fenomena sosial dalam Desa kalirejo khususnya konflik yang terjadi penulis
menggunakan teori fungsi konflik sosial dari sosiolog Jerman bernama Lewis A. Coser.
Berangkat dari rumusan masalah pada penelitian ini, penulis meminjam teorinya Coser
untuk melihat konflik di masyarakat bukan sebagai bentuk patologi.
Melainkan bagian dari
proses sosial yang mengartikan masyarakat tersebut tidak hanya berhenti pada realita yang ada
melainkan bergerak sesuai dengan perkembangan masyarakat lainnya.
Coser, “sangat
menentang pandangan bahwa tidak adanya konflik dapat dipakai sebagai indikator dari kekuatan
dan stabilitas suatu hubungan”.17
Coser yang melihat fungsi positif konflik pada masyarakat memberi perhatian adanya
konflik eksternal dan internal. Konflik eksternal (external conflict) mampu menciptakan dan
memperkuat identitas kelompok. Ia menyatakan
“…konflik membuat batasan-batasan diantara dua kelompok dalam sistem sosial
dengan memperkuat kesadaran dan kesadaran kembali atas perpisahan, sehingga
menciptakan kesadaran identitas kelompok dalam sistem.”18
Konflik eksternal group ini membuat anggota satu sama lain menjadi tambah kuat. Seperti data
yang didapat melalui media massa, dimana terjadi konflik pertambangan PETI di Desa Kalirejo
antara pemerintah dengan pelaku pertambangan membuat mereka bersatu untuk berani menuntut
aparat keamanan membebaskan rekannya yang telah ditangkap.
Selain konflik eksternal menurut Coser, konflik internal (internal conflict) juga memberi
fungsi positif terhadap kelompok identitas mengenai adanya kesalahan perilaku. Ada perilaku
anggota yang dianggap menyimpang dari teks norma kelompok, sehingga perlu dikoreksi oleh
kelompok itu.19 Konflik internal di Desa Kalirejo merupakan bentuk kesadaran sebagai sesama
penambang, yang tidak menutup kemungkinan membuat kelompok sebagai ikatan penambang
tradisional Desa Kalirejo. Dengan ikatan tersebut secara normatif mempunyai aturan maupun
16
Ibid,. hlm 46
Lihat dalam Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, Jakarta, CV Rajawali 1984, hlm 117
18
Novri Susan, op, cit. hlm 48
19
Ibid,..
17
11
norma-norma sebagai penambang, dimana aturan maupun norma yang dibuat bisa memunculkan
ketidakpuasan anggota terhadap aturan dan berujung pelanggaran. Berangkat dari pelanggaran
tersebut merupakan awal konflik internal atau konflik horizontal yang terjadi di Desa Kalirejo.
Strukturalisme konflik Coser juga menawarkan konsep penyeimbang dalam masyarakat
agar tidak terjadi konflik yang bersifat destruktif. Konsep tersebut dinamakan oleh Coser dengan
katup penyelamat (Savety Valve). Katup penyelamat ialah salah satu mekanisme khusus yang
dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup
penyelamat membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur,
konflik membantu membersihkan suasana dalam kelompok yang sedang kacau. Coser
mengatakan bahwa melihat katup penyelamat demikian berfungsi sebagai “jalan keluar yang
meredakan permusuhan” yang tanpa itu hubungan-hubungan diantara pihak-pihak yang
bertentangan akan semakin tajam.20
Melihat dari teori ini penulis membawa teori yang sudah disusun oleh Coser dengan
melihat konflik selama 5 tahun terakhir sebagai bagian dari masyarakat yang tidak dapat
terpisahkan. Apakah konflik di Desa Kalirejo bisa dibaca dengan teori tersebut atau seharusnya
mengalami modifikasi secara lebih lanjut dikarenakan ketidaksesusain teori terhadap fenomena
konflik sosial di Desa Kalirejo. Selanjutnya konflik di Desa Kalirejo yang berbasiskan sumber
daya alam bisa jadi merupakan miniatur bagi daerah-daerah di Indonesia dengan potensi SDA
melimpah.
Apakah SDA terbaharukan (renewable) atau SDA tidak terbaharukan (non-
renewable) yang dimiliki di daerah-daerah tersebut dapat membantu memberikan pengetahuan
maupun solusi ketika permasalahan sama terjadi di daerah lain.
1.5.2
Analisis Konflik Sumber Daya Alam
Konflik lingkungan pada dasarnya banyak terjadi di daerah-daerah Indonesia. Seperti
pada tulisan ini dimana penulis mengangkat konflik Sumber Daya Alam terutama pada
pertambangan tradisional di Desa Kalirejo. Fenomena yang bisa dibilang sangat memungkinkan
untuk terjadi di setiap daerah dengan SDAnya mengingat potensi alam pada bangsa ini.
Persoalan konflik sumber daya alam terutama berakar pada dua hal, yaitu: 1) kebijakan
eksploitasi sumber daya alam dikembangkan di atas dasar sistem mengutamakan konsep milik
Negara (state property) dan mengabaikan konsep milik pribadi (private property) dan milik
20
Margaret M Poloma, Op,cit,. hlm 109
12
komunal (communal property), dan 2) penempatan sumber daya alam sebagai aset ekonomi atau
faktor produksi secara berlebihan.21
Sedangkan kelangkaan dan kualitas terhadap sumber daya alam juga menjadi penyebab
dari terjadinya konflik antar individu maupun kelompok mengingat begitu pentingnya sumber
daya alam bagi kelangsungan hidup manusia. Sebagai mana dijelaskan oleh Homer-Dixon dan
kawan-kawan (1993), kegiatan manusia dapat menyebabkan kerusakan lingkungan atau
kelangkaan sumber daya dalam tiga cara. Pertama, penurunan jumlah dan kualitas sumber daya,
terutama jika sumber daya dieksploitasi dengan tingkat kecepatan yang melebihi daya pulihnya
(non-renewable). Kedua, penurunan atau kelangkaan sumber daya disebabkan oleh pertumbuhan
penduduk. Ketiga, akses terhadap lingkungan dan sumber daya alam yang tidak seimbang juga
akan menyebabkan banyak persoalan. 22 Tidak menutup kemungkinan dari ketiga penyebab
kelangkaan dan kerusakan sumber daya alam sudah mulai terjadi di Kabupaten Kulon Progo
secara umumnya dan di Desa Kalirejo secara khususnya.
Untuk melihat konflik yang terjadi di Desa Kalirejo secara sistematis dan runtut, penulis
meminjam konsep yang ditawarkan oleh Paul Wehr dan Bartos dalam memetakan konflik pada
objek penelitian penulis. The concept of “conflict mapping” helps one to clarify the conflictgenerated confusion (Wehr 1979). 23 Menurutnya, konsep dari pemetaan konflik membantu
memperjelas ketidakjelasan dari konflik yang menjadi kajian penulis. Penggunaan konsep itu
diantaranya adalah Specify the context, identify the parties, separate causes from consequences,
separate goals from interests, understand the dynamics, search for positive functions dan
understand the regulation potential. 24
1. Specify the context. Konsep pemetaan konflik yang pertama dilakukan penulis adalah
mengumpulkan informasi tentang sejarah konflik dan bentuk konflik yang terjadi di Desa
Kalirejo. Pembahasan pada bagian ini penulis buat dalam bentuk narasi konflik baik secara
vertikal maupun horizontal di lokasi penelitian. Pemfokusan konteks yang dikonflikkan
merupakan cara yang menurut penulis memudahkan proses pemetaan secara runtut maupun
21
Pidato pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada oleh Prof.Dr.
Sunyoto Usman, MA. Dengan judul Konflik dan Resolusi Konflik Sumber Daya Alam Perspektif Sosiologi. Di ucapkan
di depan Senat Terbuka pada 15 September 2001. 27 Halaman.
22
Bruce Mitchell, , B. Setiawan, Dwita H. Rahmi. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta, 2010. hlm 9-10.
23
Bartos, Otomar J. & Wehr, P.. Using Conflict Theory. Cambridge Pres. New York. 2002 hlm 67
24
Ibid, Hlm 67-69
13
sistematis. Bagian ini dibahas pada sub bab pertama 3 & 4, yang menarasikan runtutan
konfliknya dari awal mula terjadinya konflik sampai mengalami eskalasi.
2. Identify the parties, langkah selanjutnya adalah dengan mengidentifikasi aktor yang secara
langsung terlibat dalam konflik tersebut. Konflik utama dari konflik tersebut adalah pihak
yang melakukan tindakan-tindakan secara koersif atau memaksa dan mendapatkan
keuntungan dari konflik tersebut. Pihak kedua dari konflik tersebut biasanya yang mendapat
keutungan secara tidak langsung. Sedangkan pihak ketiga merupakan pihak yang berperan
sebagai mediator dari konflik tersebut juga sekaligus sebagai Peace-keeping. Bagian ini
memperlihatkan untuk konflik vertikal mediasi dilakukan secara bersama-sama, sedangkan
untuk konflik horizontal mediator diperankan oleh Polsek Kokap untuk memediasi konflik
yang telah terjadi.
3. Separate causes from consequences, langkah ini merupakan tugas peneliti untuk
memisahkan antara akar konflik dan konsekuensi lain dari konflik yang terjadi, terutama
pada konflik di Desa Kalirejo. Pemisahan ini tidak selalu mudah, dikarenakan konflik yang
mengemuka cenderung mengalami pencampuran antara sebab dan akibat dari konflik
tersebut. Seperti permusuhan yang mungkin hanya sebagai bentuk akibat dari konflik dan
salah satu tahapnya, sedangkan penyebabnya bisa
terlihat pada tahap selanjutnya.
Pembahasan pada bagian ini memetakan akar konflik yang terjadi antara konflik vertikal dan
horizontal. Penulis berhasil menganalisis akar konflik tersebut kedalam 2 poin, yang
kemudian dari dua poin itu juga terdapat kembangan dari akar konflik yang dibahas setelah
sub bagian akar konfliknya. Sub-bagian tersebut berujudul “faktor lain penyumbang eskalasi
konflik”.
4. Separate Goals From Interests, perbedaan yang sangat sulit dicapai dalam sebuah konflik
adalah between goals and interests. Perbedaan goals, dia merupakan tujuan atau sasaran
utama dari konflik yang terjadi. Sedangkan interest menyangkut kepentingan antara kedua
belah pihak yang berkonflik. Dari hal itu penulis memasukan isu-isu yang terjadi pada
konflik vertikal maupun horizontal di Desa Kalirejo dengan menunjukkan keterkaitan tujuan
yang tidak sejalan diantara kedua belah pihak. Sub-bagian ini penulis bahas dengan judul
isu-isu yang dikonflikkan oleh pihak yang berkonflik. Konflik vertikal melihat isu
Penangkapan penambang dilokasi pertambangan kemudian Pembukaan Kembali Lokasi
Penambangan sebagai Salah satu Tuntutan serta Penagihan janji kepada pemerintah
14
daerah perkara WPR dan IPR. Sedangkan konflik horizontal melihat isu Keluar Masuk
Penambang Pendatang Tanpa Izin Pedukuhan dan pencemaran air sungai dengan
mempunyai asumsi ganda yaitu Kecelakaan ataukah Sabotase?.
5.
Understand The Dynamics, menurut Wehr a conflict is constantly moving and changing.
Konflik yang selalu berubah bentuknya dari tahap satu ketahap yang lain membuat penulis
melihat tahapan maupun dinamika konflik pada lokasi penelitian penulis. Tahapan konflik
tersebut penulis menggunakan konsep Fisher yang melihat tahapan konflik berawal dari
“prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat dan pasca konflik”. 25
Dalam hal ini penulis
memberikan gambaran secara naratif dan visual dengan menggambarkan awal terjadinya
konflik. Kemudian bergerak menuju eskalasi sampai menemui titik resolusi yang
direpresentasikan dengan de-eskalasi konflik. Sub-bab ini penulis bahas pada bab 3 & 4
yang merupakan pembahasan utama tulisan, dimana terlihat dinamika konflik vertikal dan
horizontal dari tahun 2009 sampai dengan 2014.
6. Search For Positive Functions, fungsi positif dari konflik adalah masing-masing pihak
mencoba mencari bentuk-bentuk tingkah laku yang mengarah pada resolusi konflik tersebut.
Hal ini senada dengan teori sebelumnya pada kerangka teoritis yang dipakai untuk analsis
konflik di Desa Kalirejo tentang fungsi positif konflik dari Lewis Coser. Oleh karena itu
tugas penulis mencari dampak positif apa yang didapat dari konflik di Desa Kalirejo dengan
membuat refleksi teoritis pada pembahasan bab V. Dari refleksi teoritis tersebut terlihat
fungsi positif dari konflik vertikal dan horizontal di Desa Kalirejo yang berpatokan pada
pembahasan bab 3 dan bab 4 dengan tujuan memudahkan penulis member rekomendasi
kepada pemerintah daerah maupun pemerintah daerah.
7.
Understand The Regulation Potential, adanya pihak ketiga sangat berperan terhadap
terjadinya resolusi konflik. Intervensi tersebut dapat dilakukan oleh pihak ketiga dengan
beberpa faktor yang membatasi mereka (pihak yang berkonflik). Faktor-faktor tersebut bisa
berupa aturan yang mempunyai otoritas tertinggi, bisa berupa Perda untuk lokasi yang
dipilih oleh penulis. Walaupun selama dilapangan penulis menemukan bahwa perda yang
mengatur tentang pertambangan tradisional terutama PETI belum selesai dikerjakan oleh
DPRD Kulon Progo dengan pertimbangan-pertimbangannya.
25
Simon Fisher, dkk. Manajemen Konflik Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak, Jakarta, British Council, 2000,
hlm 19
15
Dari pendapat-pendapat yang dikemukanan oleh beberapa pakar diatas tentang konflik
sumber daya alam, maka pada kasus di Desa Kalirejo pemetaan konflik menjadi keharusan
dengan berdasarkan konsep Paul Wehr. Dinamika konflik yang dilakukan oleh penulis sejatinya
lebih memperkaya kajian konflik baik dari terlihatnya eskalasi maupun deeskalasi konflik
vertikal dan horizontal di Desa Kalirejo. Belum lagi jika melihat dari sudut kepemilikan lahan
dengan membangun usaha diatasnya dan masih dipertanyakan apakah bersifat personal, komunal
atau konstitusional.
Untuk mempermudah pembaca dalam melihat kerangka analisis konflik, penulis
merumuskan analisis konflik tersebut dalam kerangka pikiran pada bagan 1.1 tentang konsep
yang dipinjam dari Paul Wehr dan beberapa konsep lainnya dalam konsep tersebut.
Bagan 1.1
Framework Analisis Konflik
(Sumber: The Concept of Conflict Mapping Paul Wehr 1979)
16
1.5.3 Tipe dan jenis konflik
Setiap konflik yang terjadi baik pada arena industri pertambangan, perpolitikan dan arena
lainnya mempunyai jenis atau kategori konflik, baik itu secara vertikal maupun secara horizontal.
Begitu juga yang terjadi di Desa Kalirejo, dengan konflik vertikalnya untuk pemenuhan izin
pertambangan tradisioanal, dan konflik horizontalnya ketika pencemaran merkuri di sekitar
sumur warga. Jenis konflik terbagi ke dalam dua dimensi, pertama dimensi vertikal atau konflik
atas; yang dimaksud adalah konflik antara elite dan massa (rakyat). Elite disini bisa para
pengambil kebijakan di tingkat pusat, kelompok bisnis atau aparat militer.26 Melihat pada kasus
Desa Kalirejo dimana konflik yang terjadi antara penambang emas dengan aparat kepolisian
Kulon Progo, maka konflik ini menjadi jenis konflik pada dimensi vertikal.
Menurut Paul Conn, konflik vertikal terjadi karena struktur masyarakat yang terpolarisasi
menurut kepemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan. Sebagian masyarakat yang hanya
memiliki sedikit dari ketiga sumber, akan menemukan kepentingan yang bertentangan dengan
kelompok kecil masyarakat dilihat dari pengaruh dominasi sumber-sumber tersebut. Dengan
adanya distribusi kekayaan, pengetahuan dan kekuasaan yang timpang merupakan penyebab
utama terjadinya konflik tersebut.27
Edward Azar mengidentifikasi bahwa konflik banyak muncul pada masyarakat yang
lemah. Lemahnya masyarakat disebabkan karena kuatnya dominasi dari penguasa/pemerintah
dan tidak merespon kebutuhan dasar rakyat, sehingga melahirkan fragmentasi dan konflik sosial
yang berlarut-larut. 28 Kegagalan penguasa/pemerintah untuk menangani masalah kebutuhan
dasar manusia itu memperbesar peluang terjadinya dan berlarut-larutnya konflik sosial, terutama
yang bersifat vertikal.
Berangkat dari pendekatan Paul Conn dan Edward Azar, penulis mengkombinasikan
pendekatan itu dengan mengolahnya menjadi bagan yang ada pada Bagan 1.2 sebagai kerangka
pada konflik vertikal. Dari gambar tersebut secara konsep terlihat bagaimana konflik vertikal
bisa terjadi. Dominasi pemerintah dan sifat inferior masyarakat yang membuat konflik laten
secara perlahan mengalami eskalasi jika terjadi secara berlarut-larut.
26
Novri Susan, Pengantar Sosiologi KOnflik, Kencana. Jakarta. 2014. Hlm 85
Ramelan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana. 1999. Hlm 152
28
Edward Azar, The management of protracted Social conflict, (Aldershot: Darmouth,1999)
27
17
Bagan 1.2
Bentuk Dominasi Pemerintah
(Sumber : Kerangka pemikiran penulis)
Jenis konflik yang kedua adalah dimensi horizontal, yakni konflik yang terjadi di
kalangan massa (rakyat) sendiri. 29
Dimensi horizontal jika dilihat secara spesifik pada
pertambangan tradisional di Desa Kalirejo menjadi tidak terlalu terlihat jelas. Namun dimensi
konflik ini terlihat jika dikaji mendalam, pada arena mana konflik terbentuk dan tenggelam
dengan resolusi dari kedua belah pihak yang berkonflik. Seperti pada pencemaran mercuri di
salah satu sumur warga. Dimana warga juga merasa resah dengan aktivitas penambang emas
yang membuang limbah mercuri di sekitar penambangan.
Dalam konflik horizontal di Desa Kalirejo terlihat ketika dimasukan pada salah satu tipe
konflik dengan menggambar persoalan sikap, perilaku dan situasi yang ada. Tipe konflik sendiri
terdiri dari tanpa konflik, konflik laten, konflik terbuka, dan konflik permukaan.30 Berangkat
29
30
Ibid,.
Simon Fisher, dkk, Op. Cit, hlm 6
18
dari empat konsep itu, maka jika dikaji mendalam terlihat konflik horizontal terutama pada
konflik laten antara penambang dengan masyarakat non-penambang.
1.5.4 Alat bantu Analisis Resolusi konflik
1.5.4.1 The Triangle of Satisfaction
Selain klasifikasi resolusi dari Moore, penulis juga memasukkan alat bantu lain dalam
melihat penyebab konflik di Desa Kalirejo. Salah satunya digunakan oleh peneliti untuk melihat
kepuasan pada pihak yang berkonflik dari resolusi yang ditawarkan oleh Gary Furlong 31 .
Konsep ‘”the Triangle of Satisfaction” adalah konsep yang dipinjam oleh penulis untuk
mengukur kepuasan resolusi konflik yang dilakukan di Desa Kalirejo.
Konsep yang
menawarkan 3 aspek yang harus dilihat diantaranya “Substantif, Prosedural dan Psikologis.
Gambar 1.3
The Triangle of Satisfaction
(Sumber : CDR Associates, Boulder, Corolado dalam G.Furlong)
31
Furlong, Gary T. The Conflict Resoution Toolbox: Model & Maps For Analyzing, Diagnosing, and Revolving
Conflict. John Wiley & Sons Canada, Ltd. Hlm 61
19
Pertama meliputi aspek Substantif, bahwa pihak-pihak yang bersengketa memperoleh
kesepakatan sesuai yang diharapkan. Hal ini bisa dalam bentuk pemberian ganti rugi, pemulihan
lingkungan dan adanya komitmen pihak lain meningkatkan kinerja lingkungannya agar tidak
menimbulkan kerusakan dan pencemaran. Kepuasan selanjutnya merupakan kepuasan
Prosedural, artinya bahwa resolusi konflik dilakukan melalui prosedur yang mereka sepakati
bersama.
Dengan adanya transparansi dari cara maupun proses dengan pihak-pihak yang
bersengketa sepakat menyelesaikan konflik melalui perundingan, maka aturan perundingan
mekanisme dan prosedur yang lain dirumuskan bersama dan ditaati bersama.
Kepuasan yang terakhir adalah kepuasan Psikologis. Dimana masing-masing pihak
merasa menjadi bagian dari proses. Masing-masing tidak merasa di keluarkan dari proses yang
sedang berlangsung.
Dari jalan ini pihak yang berkonflik merasa puas dikarenakan buah
kesepakatan dari kerja keras bersama. Seperti pada gambar 1.3 diatas tentang segitiga kepuasan
yang penulis pinjam konsepnya dari CDR Associates, Boulder, Corolado dalam bukunya
Furlong yang berjudul The Conflict Resolution Toolbox.
1.5.3.2 Klasifikasi Resolusi Konflik
Untuk menambah analisis resolusi konflik agar lebih mendalam, penulis meminjam
konsep lain untuk melihat pada klasifikasi apa resolusi konflik di Desa Kalirejo. Apakah bentuk
struktural seperti konflik vertikal terjadi penyalahgunaan kekuasaan berupa dominasi dari
superior kepada inferior dalam resolusi konfliknya. Ataukah kekuasaan yang terlalu bersifat
mendominasi malah terjadi pada konflik horizontal antara warga yang merasa dirugikan denga
pihak yang mengambil keutungan dari konflik tersebut. Salah satunya yang dikemukakan oleh
Moore, penulis mengklasisifikasikan resolusi konflik pada gambar 1.1 yang dibuat oleh Moore
(1996) dalam Sudharto P. Hadi32 sebagai berikut:
32
Sudharto P. Hadi, Resolusi Konflik Lingkungan. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2006. Hlm 19
20
Gambar 1.4
Klasifikasi Resolusi Konflik
(Sumber : Moore (1996) dalam Sudharto P. Hadi)
Gambar 1.4 dengan dua gambar segitiga diatas menggunakan pola resolusi konflik yang
berbeda. Bisa menggunakan kekerasan (power) yang kalau dalam istilah Moore disebut sebagai
extra legal, kemudian right base (melalui pengadilan atau litigasi) dan dengan interest.
Pendekatan interest inilah yang masuk dalam klasifikasi perundingan.
Disebut sebagai
pendekatan interest karena ketika pihak-pihak yang bersengketa telah bersedia melakukan
perudingan maka diharapkan untuk mengembangkan kesepakatan yang didasarkan atas
kepentingan bersama terutama pada konteks Desa Kalirejo. Berangkat dari konsep Moore ini
setidaknya dapat terlihat pola resolusi seperti apa yang telah digunakan. Apakah pada segitiga
power yang mempunyai kekuasaan lebih dalam resolusi konflik dari konteks tersebut dan
digambarkan dengan segitiga terbalik atau malah sebaliknya.
Berdasarkan konsep dari segitiga kepuasan dan klasifikasi resolusi konflik diatas, maka
penulis membuat framework pada analisis ini dengan membuat bagan 1.5 berlandaskan 2 konsep
tersebut. Hal itu dilakukan agar memudahkan penulis untuk menuangkan ide dan temuan selama
dilapangan tersampaikan dengan baik kepada pembaca. Walaupun framework yang dibuat oleh
penulis masih terkesan kurang tertata secara runtut dan sistematis.
21
Bagan 1.5
Framework Analisis Resolusi Konflik
(Sumber : dibuat oleh penulis berdasarkan konsep dari CDR Associates dan Moore )
Berangkat dari teori dan alat bantu analisis diatas, penulis berusaha melihat konteks Desa
Kalirejo pada konflik yang terjadi. Baik konflik secara laten maupun terbuka yang berujung aksi
demonstrasi di depan balai kota Kabupaten Kulon Progo beberapa tahun lalu. Bahkan konflik
yang bersifat vertikal antara pemerintah dengan penambang dan horizontal antara penambang
lokal dan penambang pendatang maupun yang tidak melakukan aktifitas penambangan.
1.6 Metode penelitian
1.6.1 Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis pada penelitian ini adalah penelitan
kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitik. Menurut Agus Salim penelitian
merupakan suatu metode berganda dalam fokus, yang melibatkan pendekatan interpretatif dan
22
wajar terhadap setiap pokok persoalan yang dikajinya. 33 Artinya metode penelitian kualitatif
dilihat berdasarkan fenomena maupun keadaan sebenarnya yang kemudian ditafsirkan oleh
kebanyakan orang pada fenomena tersebut.
Sedangkan metode deskriptif analitik adalah menjelaskan fenomena sosial yang beredar
di masyarakat dan kemudian dari fenomena tersebut dicoba untuk dicari sebab akibat fenomena
sosial di masyarakat itu terjadi. Metode pada penelitian ini dilakukan dengan mendeskripsikan
hasil temuan di lapangan berupa fakta-fakta dan selanjutnya dari temuan tersebut dilakukan
analisis. Artinya dalam analisis di sini bukan berarti hanya semata-mata untuk mendeskrifsikan
temuan yang ada namun juga menafsirkan dari temuan tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan menyingkap sumber, konteks, pelaku, isu serta
perubahan konflik dari tahun 2009 sampai 2014 pada Desa Kalirejo selama pertambangan tanpa
izin dilakukan. Kemudian dari temuan tersebut dicari upaya apa saja yang telah dilakukan oleh
pemda dan masyarakat sekitar serta pihak lainnya yang terlibat dalam menyelesaikan konflik
yang ada selama ini. Apakah upaya tersebut dilakukan efektif ataukah upaya yang dilakukan
hanya bersifat tentative saja tanpa melihat effek kedepannya.
Untuk kepentingan pada penelitian ini, penulis menggunakan strategi studi kasus untuk
mengungkap permasalahan tersebut. Studi kasus menurut Robert K Yin adalah penyelidikan
empiris yang meneliti fenomena dalam konteks kehidupan nyata, dimana batas-batas antara
fenomena dan konteks tak nampak dengan tegas, dan dimana multi sumber digunakan. 34 Dilihat
berdasarkan objek penelitian, ada tiga macam bentuk studi kasus. Pertama, adalah studi kasus
intrinsik (intrinsic case study), jenis ini ditempuh oleh peneliti yang ingin lebih memahami
sebuah kasus tertentu, jenis ini ditempuh bukan karena suatu kasus mewakili kasus-kasus lain
atau karena menggambarkan sifat atau problem tertentu.
Kedua, adalah instrumental
(instrumental case study). Jenis ini digunakan untuk meneliti suatu kasus tertentu agar tersaji
sebuah perspektif tentang isu atau perbaikan suatu teori. Ketiga, adalah kasus kolektif (collective
case study), dimana peneliti dapat meneliti fenomena, populasi, atau kondisi umum juga sebagai
pengembangan dari studi instrumental ke dalam beberapa kasus.35 Dalam tipe ketiga ini juga
33
Agus Salim, Teori dan pradigma penelitian sosial, Tiara Wacana ,Yogyakarta, 2006, hlm 34
Robert K. Yin.. Studi Kasus dan Metode. Penerjemah M. Djauzi Muzakir, Raja Garafindo Persada. Jakarta 2006.
Hlm 18
35
Norman K. Denzin & Yvonna S. Lincoln, Handbook Of Qualitative Research, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009,
hlm 301-302
34
23
dilakukan untuk menarik kesimpulan atau menggeneralisasi atau juga fenomena dari kasus-kasus
tersebut.
Dari tiga jenis studi kasus diatas, peneliti menggunakan studi kasus tipe ketiga, yaitu
studi kasus kolektif. Alasan utama peneliti memilih jenis tersebut dikarenakan adanya keinginan
untuk memahami dan menyingkap dinamika konflik vertikal dan horizontal, dibalik aktivitas
pertambangan emas tanpa izin. Kemudian serta melihat karakteristik umum dan keberulangan
serta keberagaman masing-masing konflik yang memiliki pesan di Desa Kalirejo. Aktor-aktor
konflik juga penulis jabarkan untuk melihat siapa dengan siapa yang mempunyai kepentingan
dibalik semua itu.
1.6.2 Lokasi penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan tepatnya pada pertambangan emas tradisional di Desa
Kalirejo Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo (daerah istimewa Yogyakarta). Alasannya
adalah dikarenakan Desa Kalirejo merupakan tempat penambangan emas tradisional selama
puluhan tahun dan dirasa memiliki berbagai macam fenomena sosial untuk bisa dikaji secara
lebih mendalam. Seperti belum memilikinya izin usaha pertambangan sebagai tempat atau
wilayah pertambangan rakyat (WPR), sehingga terjadi konflik vertikal antar pemerintah dan
warga setempat yang melakukan usaha penambangan.
Kedua, penduduk yang menambang ternyata ada yang berasal dari luar daerah, yang tidak
menutup kemungkinan terjadi konflik horizontal sesama penambang atau konflik antara
penambang dengan warga disekitar area penambangan ditambah aliansi diantara penambang
pendatang dan penambang lokal yang membuat kaburnya antara pihak siapa dengan pihak mana
berkonflik. Ketiga, dari kasus pertambangan di Kulon Progo, kasus konflik pertambangan yang
paling terkenal selama ini hanyalah rencana pertambangan bijih besi yang dilakukan oleh PT
Jogja Magasa Mining (JMM)—perusahaan milik keluarga penguasa politik di Propinsi
Yogyakarta, yaitu Kasultanan dan Paku Alaman. Kasus rencana penambangan pasir besi secara
tidak langsung membuat kasus pertambangan lainnya di Kulon Progo tidak terendus oleh media,
atau bisa dikatakan tidak mempunyai nilai jual untuk menarik perhatian masyarakat diluar Desa
Kalirejo. Padahal pertambangan PETI di Desa ini cukup mengkhawatirkan jika tidak dilakukan
pembinaan terhadap limbah mercuri untuk lingkungan disekitar Desa maupun lingkungan yang
dialiri oleh sungai dari Desa Kalirejo
24
1.6.3 Unit Analisa
Pada penelitian ini unit analisa adalah masyarakat lokal Desa Kalirejo yang kemudian
berkonflik secara vertikal dengan aparat pemerintah, dan masyarakat pendatang yang
berkelompok untuk menambang di Desa Kalirejo dengan warga Lokal. Konflik yang terlihat
secara vertikal dimana warga penambang menuntut pemberian izin WPR yang selama bertahuntahun sudah dijanjikan oleh pemerintah Kabupaten sejak Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009
disahkan oleh Menteri Jero wacik pada saat beliau masih menjabat. Juga aksi demo yang pernah
dilakukan di halaman kantor pemerintahan. Kemudian konflik horizontal dimana sesama warga
penambang dan warga yang tidak melakukan kegiatan aktivitas pertambangan berkonflik.
Konflik yang memungkinkan terjadi dalam berbagai bentuk sebagai individu yang tinggal dalam
satu wilayah pemukiman. Namun pengkategorisasian siapa dengan siapa yang berkonflik sangat
sulit dilakukan oleh penulis dikala terjadi alienasi antara lapisan masyarakat di Desa. Oleh
karena itu hal ini masuk dalam sub bab batasan penelitian yang dikemukakan oleh penulis pada
bab ini.
1.6.4 Sumber data
Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Untuk
data primer di peroleh melalui informan dengan cara wawancara langsung dan mendalam
kemudian dillakukan pengamatan oleh penulis. Informan kunci merupakan individu yang dapat
memberikan gambaran secara tepat dan benar tentang gejala sosial yang terjadi. Penentuan
informan kunci ini dilakukan secara purposive dan snow-ball sehingga sampel tidak dapat
ditentukan terlebih dahulu. Kemudian untuk data sekunder yaitu berupa berbagai data tertulis
berupa dokumentasi kebijakan maupun perjanjian baik dengan pemerintah maunpun dengan
warga asli dan pendatang yang melakukan penambangan tradisional di Desa Kalirejo.
1.6.5 Teknik pengumpulan data
1.6.5.1 Wawancara Mendalam
Salah satu sumber informasi studi kasus yang sangat penting adalah wawancara. 36
Wawancara dilakukan secara mendalam kepada informan yang mempunyai peran dalam
36
Robert K. Yin, Op. Cit, hlm 108-109
25
masyarakat di Desa Kalirejo.
Teknik wawancara dilakukan dengan cara tidak terstruktur.
Artinya informasi yang didapat menjadi gambaran awal sebelum menemukan kunci dan juga
gambaran secara utuh dari informan dari konflik yang terjadi. Dari cara ini peneliti mendapatkan
jawaban yang lebih variatif.
Wawancara mendalam pertama dilakukan dengan cara menentukan informan yang dipilih
secara sengaja (purposive) dan memungkinkan mengetahui permasalahan pertambangan di Desa
Kalirejo. Kemudian berangkat dari penentuan informan oleh peneliti, selanjutnya peneliti dapat
meminta saran kepada informan yang diwawancarai (snow-ball), artinya jumlah informan
kemungkinan semakin bertambah sesuai dengan rekomendasi yang diberikan oleh informan
sebelumnya.
Melalui saran informan selanjutnya diharapkan peneliti dapat menemukan
informasi yang lebih dari informan sebelumnya. Untuk informan yang dianggap mempunyai
pengetahuan lebih dipilih oleh penulis pada tabel dibawah ini;
Nama
Tabel 1.1
Daftar informan pertama yang dipilih penulis
Profesi
Bapak Suyatno
Kepala Dukuh Sangon II
Bapak Jemangin
Sekretaris Desa Kalirejo
Bapak Lana
Kepala Desa Kalirejo
Agustinus Widya Ketua Perkumpulan Penambang
Setiawan
Desa Kalirejo, aktivis LSM
Gerbang Desa 88 dan Kader Partai PDIP Kulon Progo
(Sumber : hasil observasi penulis selama dilapangan)
Sedangkan untuk validasi data dari informan sebelumnya dapat dilakukan kepada
informan yang disarankan kepada peneliti (Snow Ball). Melalui informan yang berbeda dan
dengan pertanyaan sama merupakan cara peneliti untuk memvalidasi temuan lapangan
tersebut. Dilihat dari cara peneliti melakukan wawancara terkesan tidak formal, tetapi untuk
menjaga kevalidan data, peneliti memakai dua tipe wawancara yang umum dipakai dalam
wawancara studi kasus: wawancara betipe open-ended dan wawancara terfokus. 37 Dalam
wawancara open-ended, peneliti dapat bertanya langsung pada informan kunci tentang suatu
kejadian dan bertanya langsung tentang pendapat mereka terhadap peristiwa tersebut.
37
Ibid,. hlm 108-109
26
Pertanyaan bisa diberikan kepada konflik yang berhubungan dengan konflik horizontal
(kepada warga setempat) dan konflik vertikal (kepada perangkat pemerintah).
Sedangkan untuk wawancara terfokus dilakukan dalam waktu yang relatif pendek.
Wawancara tetap pada jalur open-ended, tetapi pertanyaan yang diajukan kepada informan
tidak diturunkan langsung dari protokol studi kasusnya. 38 Tujuan pokok yang dicari oleh
peneliti dapat mendukung data-data atau kejadian tertentu melalui teknik ini,
sehingga
kevalidan data dapat diperoleh. Dengan begitu dari data yang diperoleh memiliki validitas
data yang tidak diragukan lagi. Adapun informan yang menjadi sumber data penulis untuk
wawancara terfokus tersebut diantaranya:
Tabel 1.2
Daftar informan yang diperoleh dari informan sebelumnya
Nama
Profesi
“Sn”
Penambang
Didik Wijanarto
Mantan pegawai KLH Kulon Progo
Dirjo Wiyono
Petani
Mukhlasin
Penambang sekaligus pembeli emas warga di Desa,
“Sd”
Penambang
Sosro Sudharmo
Petani
Sujanto
PNS Kecamatan Kokap bagian Ekonomi dan Pembangunan
Suparyono
Pemilik CV Menoreh Politan
Widodo
PNS Dinas ESDM bidang pertambangan
(Sumber : wawancara penulis selama dilapangan)
1.6.5.2 Observasi langsung
Pada studi ini observasi yang digunakan dalam studi kasus adalah obervsi langsung ke
lapangan.39 Untuk melakuan itu, peneliti melakukan kunjungan langsung kelapangan berkaitan
dengan adanya informasi tentang konflik secara vertikal dan horizontal di Desa Kalirejo. Untuk
itu observasi dilakukan agar data terpenuhi, maka observasi langsung dilakukan secara formal
38
39
Ibid,. hlm 109
Ibid,.. hlm 112
27
dan tidak formal selama kurang lebih 1 bulan dilapangan dari tanggal 23-30 Desember 2014
sampai tanggal, kemudian dilanjutkan dari tanggal 16 Januari sampai 6 Februari 2015. Selama
kurang lebih satu bulan itu penulis tinggal di rumah bapak Suyatno sebagai kepala Dukuh
Sangon II guna memperoleh data yang sesuai dengan kebutuhan dari penulisan ini.
1.6.5.3 Dokumentasi
Penelitian ini menggunakan dokumentasi berupa yang resmi dari dokumen pemerintah
Desa dan kabupaten juga dokumen pribadi berupa catatan dari hasil wawancara dengan
informan. Dokumen resmi berupa berita-berita dari media cetak maupun digital, juga angkaangka yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten. Dokumen resmi tersebut penulis dapatkan
diantranya dari Dinas Perdagangan dan ESDM Kabupaten Kulon Progo berupa titik koordinat
rencana WPR di Desa Kalirejo, kepala Desa Kalirejo berupa file (Rencana Pembangunan Jangka
Menengah) RPJM Desa Kalirejo tahun 2014-2018.
Kemudian kepala Dukuh Sangon II berupa Arsip data kependudukan, seperti dari data
tingkat pendidikan warganya dan jumlah warganya secara keseluruhan maupun berdasarkan jenis
kelamin. Data selanjutnya diperoleh dari kepala Dukuh Plampang II yang kurang lebih data
diperlukan penulis seperti pada Dusun Sangon II. Pemilihan Dusun Sangon II dan Plampang II
merupakan bentuk dari pemfokusan penulis terhadap objek penelitian pada tempat yang dominan
dengan PETI atau pertambangan tradisionalnya. Sedangkan untuk dokumen dalam bentuk foto
memberikan informasi secara visual tentang keadaan selama di lapangan. Seperti aktivitas
pertambangan tradisional, diskusi warga dengan aparat pemerintah dan sebagainya. Dokumen
secara visual dapat memperkuat bukti dilapangan selain dokumen berupa surat-surat yang ada
pada arsip perangkat pemerintahan.
1.6.5. 5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Seperti biasaya penelitian kualitatif pada umunya, data-data yang diperoleh dari hasil
wawancara dan temuan-temuan dokumen dilapangan selanjutnya dianalisa. Menurut Robert ada
tiga teknik analisa data dalam studi kasus, yaitu perjodohan pola, pembuatan pola dan analisis
deret waktu. 40
40
Dari cara ini peneliti dapat mengolah data yang didapat dilapangan dengan
Ibid,. hlm 133
28
melihat pola dari konflik vertikal maupun horizontal. Dengan begitu peneliti dapat mengambil
kesimpulan dari konflik yang terjadi
Selain itu analisis data juga menggunakan tiga pola yang ditemukan Miles dan Huber,
yakni reduksi data, penyajian data serta penarikan kesimpulan dan verifikasi.41 Semua tahapan
ini dilakukan secara interaktif saling berhubungan selama pungumpulan dan sesudah
pengumpulan data dilapangan.
Berangkat dari sistematika penulisan tersebut penulis
mengharapkan adanya temuan lapangan yang sangat bernilai untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
1.7 Batasan penelitian
Penelitian ini mempunyai batasan dalam menjawab rumusan masalah yang telah
dikemukakan oleh penulis. Batasan-batasan tersebut dikarenakan penulis hanya memfokuskan
tulisannya hanya pada dinamika konflik yang terjadi di Desa Kalirejo selama kurun waktu 2009
sampai 2014. Batasan waktu tersebut dilakukan oleh penulis dikarenakan sulitnya melacak
kembali informan yang mempunyai keterlibatan pada konflik sebelum tahun 2009 dengan
melihat keterbatasan waktu penulis selama dilapangan. Pada dinamika konflik penulis
menarasikan bagaimana konflik baik vertikal maupun horizontal dapat terjadi dari intervarl
waktu yang telah ditentukan. Kemudian dari narasi tersebut penulis memvisualisasikan dinamika
konflik yang terjadi dan aktor-aktor yang terlibat.
Batasan tersebut juga penulis terapkan dalam rumusan masalah yang ada ketika
mempertanyakan resolusi konflik apa saja yang sudah dilakukan oleh warga Desa maupun elit
lokal. Resolusi konflik yang dideskripsikan oleh penulis juga dilakukan batasan dengan melihat
bagaimana resolusi yang dilakukan ketika konflik tersebut terjadi. Kemudian dengan melihat
jalannya resolusi yang ada, penulis melakukan penilaian terhadap kepuasan dari resolusi tersebut
dari sudut pandang penambang untuk konfik vertikal. Tetapi penulis juga menjabarkan dari sudut
pandang masyarakat Desa Kalirejo secara keseluruhan untuk konflik horizontal. Tidak hanya
melihat kepuasan dari resolusi yang dilakukan, tetapi penulis juga mengklasifikasikan resolusi
yang telah dilakukan baik vertikal maupun horizontal untuk melihat efektifitas resolusi
konfliknya.
41
Agus Salim,..Op. Cit hlm 22-33
29
1.8 Sistematika penulisan
Penulisan ini mensistematiskan tulisan dengan tujuan mempermudah apa saja yang
dibahas dalam setiap babnya. Pada bab I penulis mengemukakan latarbelakang dan rumusan
masalah penlitian, kerangka teori yang digunakan dalam melihat konflik sosial di Desa Kalirejo
dan juga metode penelitian yang digunakan penulis dalam mencari dan mengolah data. Bab dua
menjelaskan tentang keadaan Desa Kalirejo, sejarah awal mulanya pertambangan serta beberapa
data sekunder yang menjadi pendukung dalam menganalisis konfliknya.
Bab tiga mulai penulis kemukakan konflik vertikal dengan melihat awal mula terjadinya
konflik, pemetaan aktornya, isu-isu yang dikonflikan oleh penambang juga pemerintah
Kabupaten Kulon Progo. Kemudian dinamika konflik vertikal yang terjadi dengan visualisasi
dari penulis serta kepuasan dari resolusi konflik yang telah dijalankan oleh masing-masing pihak
berkonflik, dengan begitu akan mudah dilakukan klasifikasi dari resolusi yan telah dilakukan.
Bab empat tidak jauh berbeda dengan bab sebelumnya, yaitu pada bab tiga membahas konflik
vertikal sedangkan bab empat membahas konflik horizontal yang terjadi antara sesama warga
Desa non penambang dengan penambang juga dengan penambang pendatang. Sistematika yang
digunakan untuk mengupas konflik horizontal juga sama dengan sistematika dalam mengulas
konflik vertikal pada bab tiga.
Terakhir adalah bab lima yang merupakan bagian terkahir dari keseluruhan penulisan ini.
Bab lima memuat tentang kesimpulan dari tulisan yang telah dipaparkan pada satu sampai
dengan bab empat. Kemudian dari kesimpulan tersebut penulis memasukkan refleksi teoritis
yang digunakan dengan mengaca pada pembahasan konflik vertikal dan horizontal. Dari refleksi
teoritis yang ada penulis memberikan rekomendasi untuk akademik dengan saran untuk
penelitian lanjutan apa yang perlu dilakukan dan rekomendasi untuk kebijakan pemerintah
setempat.
30
Download