BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini penulis mengemukakan latarbelakang serta urgensi penelitian terhadap konflik yang terjadi di Desa Kalirejo. Dalam rentang waktu yang diberi batasan oleh penulis terhadap dinamika konfliknya. Untuk melihat orisinalitas dan keunikan dari penelitian ini penulis kemukakan beberapa penelitian terdahulu yang membahas tentang konflik sumber daya alam, juga yang pernah dilakukan di Desa Kalirejo pada tinjauan pustaka. Kerangka teori yang digunakan menjadi pendukung untuk melihat dengan kaca mata dari teorinya Coser, bahwa konflik sebagai bentuk positif bagi masyarakat serta konsep Wehr digunakan penulis pada conflict mapping-nya. Pembahasan untuk mengulas semua itu penulis tuangkan dengan metode penelitian deskriptif analitik dengan menggunakan strategi studi kasus kolektif. Batasan terhadap penelitian juga dikemukakan serta sistematika dari keseluruhan penulisan pada bab ini. 1.1 Aktivitas Pertambangan yang Mengundang Konflik Dewasa ini jika kita melihat perkembangan lingkungan di sekitar kita pastilah sangat berbeda jauh dengan lingkungan ketika 20 tahun sebelumnya. Berkembangnya populasi yang sangat cepat dan diberengi dengan pertumbuhan kebutuhan manusia membuat kapitalisme seolah tidak hanya berjalan namun seperti berlari tanpa batasan kecepatan yang ditentukan. Cepatnya pertumbuhan ini membuat kebutuhan seperti kebutuhan primer dan sekunder seolah menjadi kebutuhan yang sulit untuk dibedakan. Kesulitan dalam membedakan hal itu dikerenakan kebutuhan sekunder yang bermetamorfosis menjadi kebutuhan primer. Perubahan kebutuhan disebabkan dari dampak sistem kapitalisme yang seolah tidak disadari masyarakat. Alhasil berbagai cara untuk memperoleh kebutuhan dilakukan masyarakat baik masyarakat tipologi pedesaan maupun perkotaan. Pemenuhan terhadap determinasi dari status sosial ini mengalami perkembangan yang tidak terkira sebelumnya. Seperti perhiasan baik itu intan, mutiara, emas dan lain-lain menjadi barang incaran yang tidak ada habisnya. Melihat kenyataan itu membuat pemilik modal berlomba-lomba untuk mendapatkan barang mentah sebagai dasar pembuatan perhiasan. Pertambangan baik secara resmi dengan izin pemerintah maupun tidak resmi dalam artian dilakukan tanpa izin mulai bermunculan. Sebagai contoh pertambangan emas salah satunya di Pulau Papua oleh perusahaan Grasberg (Freeport) dan mengantongi izin resmi dari pemerintah 1 yang konon merupakan pertambangan emas terbesar di dunia. Seperti yang dilaporkan oleh liputan6.com “Sebagian besar para ahli menganggap Freeport-McMoRan Copper & Gold sebagai tambang terbesar di dunia. Tak hanya itu, tambang tembaganya pun menjadi nomor satu di dunia.1 Selanjutnya pertambangan emas dilakukan secara tradisional dan tidak resmi atau tanpa izin, salah satunya berada di Desa Kalirejo yang sudah berlangsung sejak tahun 1994. Pertambangan Tanpa Izin (PETI) adalah usaha yang dilakukan oleh perseorangan sekelompok orang atau perusahaan yayasan berbadan hukum yang dalam operasinya tidak memiliki izin dan instansi pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. PETI diawali oleh keberadaan para penambang tradisional, yang kemudian berkembang karena faktor kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan usaha serta keterlibatan pihak lain yang bertindak sebagai cukong dan backing. Di sisi lain, kelemahan dalam penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan yang menganaktirikan pertambangan (oleh) rakyat juga ikut menjadi pendorong maraknya PETI.2 Terminologi PETI jika merujuk menurut Keputusan Bersama Menteri Pertambangan dan Energi, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah yang selanjutnya disebut PSK (Pertambangan Skala Kecil) adalah usaha pertambangan umum atas galian golongan A, B dan C yang dilakukan oleh Koperasi atau Pengusaha Kecil setempat. 3 Secara positifnya PETI memberikan kontribusi kepada masyarakat setempat dalam mata pencaharian, namun negatifnya dapat merusak lingkungan disekitar wilayah pertambangan. Melihat kondisi ini pemerintah melalui perundangan-undangan barunya mencoba mewadahi pertambangan tradisional dengan memberikan izin yang dituang dalam undangundang Nomor 4 Tahun 2009 pertambangan tradisional disebut dengan IPR (Izin Pertambangan Rakyat). Namun bukan berarti dengan keluarnya undang-undang baru itu membuat semua wilayah di Indonesia yang mempunyai kandungan sumber daya alam mendapatkan IPR. Seperti 1 Siska Amelie F Deil, Tambang Emas Terbesar di Dunia, Liputan6, diakses dari, http://bisnis.liputan6.com/read/642330/3-tambang-emas-terbesar-di-dunia di unduh pada tanggal 19 November 2014 pukul 09.23 Wib. 2 Pertambangan Tanpa Izin (PETI) dan Karakteristiknya, Karokab, diakses dari, http://www.karokab.go.id/koperindag/index.php/5-pertambangan-tanpa-izin-peti-dan-karakteristiknya di unduh pada tanggal 18 November 2014 pukul 09.05 Wib 3 Keputusan Bersama Menteri Pertambangan dan Energi, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Nomor : 2002.K/20/MPE /1998 – Nomor : 151A Tahun 1998 – Nomor : 23/SKB/M/XII/1998; tentang pembinaan dan pengembangan Koperasi dan Pengusaha kecil melalui usaha usaha pertambangan kecil 2 yang terjadi di Desa Kalirejo, mulai diberlakukannya undang-undang tersebut oleh pemerintah pusat namun dari pemerintah daerah belum juga memberikan IPR. Hasilnya membuat pekerja di Desa setempat melakukan aktivitas pertambangan tanpa izin dan tanpa adanya pengelolaan limbah serta keamanan yang memadai. Pertambangan di Desa Kalirejo dilakukan secara berkelompok dalam mengeskploitasi kandungan emas di Desa mereka, terlebih lagi dilakukan pada pekarangan rumah pribadi. Aktivitas puncak pertambangan ini marak dilakukan oleh warga setempat dan pendatang sejak tahun 1996 sampai awal tahun 2000. Masa jaya di tahun tersebut menjadikan penambangan emas sebagai pendapatan utama masyarakat Desa Kalirejo yang sebelumnya mata pencaharian utama mereka sebagai penderes.4 Bahkan tak jarang hampir di setiap pekarangan rumah warga dijadikan lahan pertambangan bagi pemilik rumah dan dikerjakan oleh anggota keluarga sendiri.5 Kegiatan pertambangan yang dimulai dari tahun 1994 tersebut masih bertahan sampai sekarang (2015) sehingga beberapa warga lokal dan pendatang menjadikannya sebagai mata pencaharian utama. Kekayaan alam yang dimiliki Desa Kalirejo membuat para penambang emas tradisional dari luar daerah berdatangan. Masyarakat luar daerah Desa yang sudah terbiasa menjadikan dunia pertambangan tradisional sebagai mata pencahariaan mereka juga ikut berperan serta, dimana posisi mereka kebanyakan hanya sebagai buruh dari pemilik modal. Potensi kekayaan alam Desa kalirejo dengan kandungan emasnya membuat aktivitas penambangan tradisional menjadi pemandangan biasa. Bahkan suara-suara gemuruh mesin seolah menjadi alunan musik bagi pekerjanya selama kegiatan penambangan berlangsung. Namun pemandangan aktivitas eksploitasi sumber daya alam yang ada tentu saja tidak lepas dari adanya konflik. Potensi konflik di Desa Kalirejo menjadi semakin kompleks ketika konflik lain terjadi dalam tataran yang hirarki, dimana penambang dengan pemerintah kabupaten Kulon Progo mempunyai perbedaan persepsi mengenai aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Hal tersebut terjadi dikarenakan kawasan Desa Kalirejo dengan statusnya yang belum mendapatkan izin dari pemerintah pusat dan daerah atau disebut dengan Wilayah Penambangan Rakyat (WPR). Dengan demikian secara administratif kegiatan yang dilakukan oleh warga 4 Data didapat dari hasil wawancara dengan kepala dusun Sangon II dan beberapa warga setempat. Penderes merupakan suatu profesi mengolah gula jawa dengan bahan baku yang dikumpulkan dari pohon kelapa, dan dilakukan dengan cara memanjat pohon kelapa tersebut lalu menaruh suatu barang yang bisa menampung cairan atas pohon kelapa tersebut. 5 Hasil temuan lapangan yang dilakukan dengan wawancara dan observasi lapangan di Desa Kalirejo. 3 setempat sudah melanggar aturan dalam kegiatan eksploitasi sumber daya alam tak terbaharukan itu. Konflik antara pemerintah daerah dengan penduduk Desa Kalirejo pada tanggal 27 Oktober 2011, merupakan bukti terjadinya konflik secara vertikal walaupun tidak menimbulkan kekerasan. Konflik tersebut terjadi ketika salah satu sumur penambangan emas di Desa Kalirejo ditutup secara sepihak oleh pihak kepolisian setelah menangkap salah seorang penambang tradisional yang secara administratif tidak memliki surat perizinan. Sebanyak 15 penambang emas tradisional di Desa Kalirejo dan Hargorejo, Kecamatan Kokap berunjuk rasa, dan salah seorang di antara mereka menjahit mulutnya di halaman kantor pemerintahan.6 Konflik vertikal antara pemerintah daerah dengan masyarakat Desa kalirejo merupakan bentuk adanya dominasi pemerintah pusat terhadap masyarakat Desa Kalirejo. Bentuk dominasi tersebut dapat dilihat dari belum dikeluarkannya keputusan apapun mengenai penambangan di Desa Kalirejo. Apakah keputusan dengan memberikan izin atau keputusan melakukan pelarangan terhadap aktivitas penambangan oleh warga setempat. Ketidakjelasan pemerintah yang merupakan bentuk dari dominasi struktural membuat masyarakat sebagai bagian inferior dari kekuatan superior didalam masyarakat. Konflik tidak hanya terjadi secara vertikal namun juga secara horizontal. Pada masyarakat Desa Kalirejo terjadi ketika beberapa ketegangan antara masyarakat penambang dan masyarakat non penambang. Ketegangan itu dimulai ketika penambang yang menggunakan bahan mercury sebagai pemisah kandungan emas tidak mengolah limbah tersebut secara baik. Hasilnya pencemaran lingkungan dari pembuangan limbah penggunaan mercury disekitar pertambangan terjadi. Walaupun pencemaran tidak menghampiri keseluruh sumur warga, namun setidaknya hal tersebut merupakan awal dari pencemaran yang berkelanjutan dan meluas jika tidak dilakukan penanganan secara dini. Belum lagi hasil limbah lainnya yang ditangani secara tidak serius dari hasil penambangan. Pencemaran juga terjadi dikarenakan pengelolaan limbah sianida yang kurang terkontrol mengalami kebocoran. Akibat pengaturan limbah yang dilakukan tanpa standar jelas membuat ribuan ikan di kolam milik warga dan sepanjang aliran sungai dari Plampang II sampai dengan Desa Hargomulyo mati dan mengambang. Warga menjadi tak berani mengonsumsi air dari 6 Penambang Emas Traditional Kulon Progo gelar aksi jahit mulut, Antara Yogya, diakses dari http://antarayogya.com/print/289957/penambang-emas-tradisional-kulon-progo-gelar-aksi-jahit-mulut, pada tanggal 17 juni 2014 pukul 16.40 Wib 4 sumur mereka yang lokasinya berdekatan dengan tempat pengolahan limbah dan sungai. 7 Melihat dari pemberitaan ini maka tidak menutup terjadinya konflik horizontal antara penambang dengan warga muncul kepermukaan. Selain dari pengelolaan limbah yang dilakukan secara tidak serius oleh pihak penambang juga kurangnya kepedulian lingkungan yang merupakan salah satu benih-benih konflik di Desa Kalirejo. Benih konflik lainnya juga terjadi pada proses penambangan yang menggangu aktivitas warga sekitar. Proses penambangan yang dilakukan pada dasarnya tidak selalu memiliki keseragaman. Perbedaan tersebut dilihat dari pengambilan bahan mentah oleh penambang yang mengunakan mesin dengan yang tidak (manual). Penambangan manual secara prosesnya tidak terlalu menganggu aktivitas warga, namun berbeda dengan penambang yang menggunakan mesin. Penambang dengan menggunakan mesin untuk menghancurkan bahan galian mengeluarkan suara cukup keras, sehingga membuat polusi suara yang cukup mengganggu warga di sekitar area tambang. Kondisi ini merupakan benih terjadinya konflik secara horizontal jika tidak ditangani secara dini dan akan mengalami eskalasi konflik yang tidak terduga di kemudian hari. Berangkat dari berbagai permasalahan tersebut, penelitian ini telah berhasil membongkar konflik-konflik apa saja yang sudah terjadi dan bagaimana resolusi dari konflik tersebut pada pertambangan emas tanpa izin. Melihat umur aktivitas pertambangan yang sudah tergolong lama ditambah dengan statusnya belum mendapatkan izin WPR dari pemerintah daerah selama kurang lebih 2 dekade. Fenomena ini memungkinkan sebagai bentuk representasi dari daerah-daerah yang memiliki SDA tertentu dan kemudian dilakukan kegiatan pertambangan secara tanpa izin dari penduduk setempat atau dari pendatang yang mencari peruntungan seperti Desa Kalirejo. Megingat bangsa ini kaya akan SDAnya sangat mungkin menjadi miniatur permasalahan pertambangan tanpa izin di daerah-daerah Indonesia lainnya. 1.2 Rumusan Masalah Banyaknya konflik yang terjadi di Desa Kalirejo Kecamatan Kokap selama kurang lebih dari 2 dekade belakangan ini menjadi hal menarik jika dikaji secara lebih mendalam. Ditambah dengan status pertambangan traditional yang belum mendapatkan izin secara resmi dari 7 Singgih Wahyu Nugraha, “Pengolahan limbah emas di kokap diduga cemari sumur warga,, Tribun News, diakses dari http://jogja.tribunnews.com/2014/03/10/pengolahan-limbah-emas-di-kokap-diduga-cemari-sumur-warga/, pada tanggal 19 November 2014 Pukul 18.47 wib 5 pemerintah daerah. Berangkat dari permasalahan ini maka peneliti mengelaborasikannya dalam rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana dinamika konflik vertikal yang terjadi pada pertambangan emas tanpa izin di Desa Kalirejo dan proses resolusi konfliknya? Bagaimana dinamika konflik Horizontal yang terjadi pada pertambangan emas tanpa izin di Desa Kalirejo dan proses resolusi konfliknya? 1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi konflik-konflik yang terjadi dan mengetahui bagaimana resolusi yang telah dilakukan di Desa Kalirejo selama 5 tahun terakhir. Mengingat penambangan emas merupakan salah satu mata pencaharian terbesar bagi masyarakat setempat. Kemudian apa saja usaha yang telah mereka lakukan dalam mencari jalan keluar dari konflik tersebut. Apakah melalui jalan formal atau non formal yang menggunakan hukum adat sebagai pengambil keputusan akhir dari pihak yang berkonflik. Penilaian secara personal dari informan yang diwawancarai oleh penulis terhadap kepuasan resolusi konflik menjadi masukan bagi elit lokal maupun daerah dalam mengambil keputusan kedepannya. Karena tidak menutup kemungkinan resolusi yang dilakukan pada konflik horizontal diselesaikan dengan hukumhukum yang berlaku di Desa Kalirejo. Selanjutnya dengan melihat dinamika konfliknya, penulis dapat menganalisis sistem sosial apa saja yang sudah berubah dari estafet konflik 5 tahun lalu. Berangkat dari analisis tersebut, penulis mampu melihat fungsi positif dari konflik yang terjadi dari kaca mata teori Coser yang dibantu dengan konsep pemetaan konflik dari Paul Wehr. Dari rumusan masalah yang dipaparkan diatas, maka kiranya dengan mengetahui estafet konflik dari tahun 2009 sampai 2014 bisa mendapatkan manfaat yang jelas dari penelitian ini. Manfaat dari penelitian ini pun menjadi bagian dari pengabdian kepada masyarakat dan sebagai bentuk rasa kepedulian kepada situasi sosial di Indonesia terutama pada daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam tak terbaharukan. Manfaat tersebut diantaranya adalah; Memberikan sumbangan pada khasanah ilmu pengetahuan dan dapat menjadi rujukan untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan pertambangan 6 emas di Desa Kalirejo Kecamatan Kokap, serta mampu untuk dijadikan tamplate pada daerah-daerah lain di Indonesia dengan kawasan yang memiliki SDA. Adanya penelitian ini setidaknya menjadi salah satu masukan kepada pemerintah kabupaten Kulon Progo yang mempunyai wewenang dalam membuat kebijakan terhadap daerahnya, terutama Desa Kalirejo. Kemudian memberikan masukan kepada warga Desa Kalirejo dalam mengelola konflik baik yang laten maupun yang terbuka untuk segera diselesaikan agar tidak saling merugikan satu sama lain. 1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian konflik di kawasan pertambangan emas sudah banyak dilakukan oleh para akademisi. Beberapa penelitian yang membahas tentang pertambangan di Desa Kalirejo Kecamatan Kokap sudah lumayan banyak. Penelitian yang sudah cukup lama dilakukan oleh Adi Heru Husodo dkk pada tahun 2005 8 membahas tentang dampak pencemaran yang ditimbulkan dari aktifitas pertambangan tradisional. Terutama dampak yang dialami oleh pekerja tambang akibat kontaminasi merkuri terhadap tubuh mereka. Penelitian tersebut berjudul “kontaminasi merkuri di kalangan pekerja yogyakarta, kasus pertambangan emas di Kulon Progo”. Penelitian ini melihat aktifitas pertambangan dengan dampak pencemaran lingkungan sekitarnya serta dampak negatif terhadap kesehatan manusia yang dilakukan di Kulon Progo. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pencemaran yang terjadi dan seberapa jauh pencemaran merkuri telah merugikan kesehatan manusia. Kesimpulan yang diambil pada penelitian tersebut membuktikan adanya kontaminasi merkuri pada sedimen sungai dan biota yang hidup di sungai yang melintasi Desa Kalirejo. Hasil kontaminasi membuktikan bahwa penambang dan penduduk disekitar penambangan emas di Desa Kalirejo telah terkontaminasi merkuri dalam darahnya. Penambang emas tersebut juga mempunyai kemungkinan terkontaminasi 1,5 kali lebih besar dibanding masyarakat disekitar penambangan emas. 8 Judul penelitian “Kontaminasi Merkuri di Kalangan Pekerja Yogyakarta Kasus Pertambangan Emas Di Kulon Progo. Sumber dari Jurnal Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Gajah Mada, ISSN 1693-1033. Desamber 2005 7 Selanjutnya Penelitian yang masih dalam lingkup Desa Kalirejo juga dilakukan oleh Umy Nur Faddhila; Deo Fani nur Wijaya; Fatkhur Rahman (2008). 9 Mereka membahas tentang proses pengolahan hasil tambang emas, kemudian dampak yang dilihat dari segi ekonomis dan ekologinya dan cara menanggulangi dampak negatifnya. Penelitian ini menarik kesimpulan pertama, penambangan dilakukan dengan cara menggali sesuai dengan jalur urat-urat kuarsa yang mengandung emas, pengolahan emas dengan cara amalgamasi. Kedua, dampak ekonomis tentu saja menambah penghasilan dan dampak ekologisnya mengalami pencemaran lingkungan hidup akibat pengunaan merkuri dan kerusakan benteng alam akibat pembuatan lubang penggalian oleh penambang. Penelitian ini juga memberikan solusi terhadap penanggulangan dampak negatif dengan cara daur ulang air raksa, sistem buatan kolang penampungan tailing yang memadai diikuti pembuatan terowongan penggalian dengan cara Desain cagak, juga melakukan reklamasi serta melaukan penambangan yang berkala dan terencana serta pengubahan kawasan menjadi suatu kawasan pariwisata pertambangan. Penelitian yang dilakukan di Desa Kalirejo kecamatan Kokap sebagai objek penelitian selama ini hanya memfokuskan pada pencemaran lingkungan dari dampak penambangan yang ditemukan oleh penulis. Seperti selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Rininta Larasati, dkk (2012)10 pada penelitian ini menjelaskan penggunaan merkuri (Hg) pada pertambangan emas Rakyat di Kecamatan Kokap telah terbukti mencemari lingkungan. Hal tersebut diakibatkan oleh pembuangan limbah tanpa melalui proses terlebih dahulu. Alasannya adalah karena instalasi pengolahan limbah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Penelitian ini mengungkapkan bahwa terdapat 3 dari 5 usaha penambangan emas rakyat menggunakan alat penangkap merkuri menjadi tidak layak. Peran pemerintah dalam menindak penambang emas tanpa izin pelaku pencemaran juga terkesan lemah. Faktor penghambat penertiban penambangan emas di Kokap lainnya adalah ditetapkannya status Kokap sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). 9 Judul penelitian “Pertambangan emas rakyat di Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo, Propinsi D.I.Y ditinjau dari aspek ekonmis dan ekologis serta alternative pemecahannya. Sumber dari Sagasitas; jurnal ilmiah. Diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Porpinsi Yogyakarta 10 Judul penelitian yang dilakukan oleh Rininta Larasati, Prabang Setyono, dan Kusno Adi Sambowo “valuasi ekonomi eksternalitas penggunaan Merkuri pada pertambangan emas Rakyat dan peran pemerintah daerah mengatasi pencemaran Mercuri”. Program Pascasarjana Ilmu LIngkungan-Universitas Sebelas Maret. Jurnal EKOSAINS| Volume. IV| No.1|Maret 2012 8 Berangkat dari penelitian diatas dalam melihat konflik pertambangan dan kasus pada pertambangan tradisional di Desa Kalirejo, posisi penelitian ini memiliki beberapa kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mappatoba Andi. Namun perbedaan yang terlihat dari objek yang dikajinya sudah memiliki izin oleh pemerintah, sedangkan dalam penelitian ini objek yang dikaji belum memiliki izin dari pemerintah. Perbedaan lainnya terletak pada fokus kajian yang dikaji pada penelitian ini melihat konflik dari 5 tahun terakhir, sedangkan penelitian dari Mappatoba Andi tidak melihat historis konflik pada objeknya. Berikutnya penelitian yang dilakukan di Desa Kalirejo dilakukan oleh Umy Nur Faddhila; Deo Fani nur Wijaya; Fatkhur Rahman (2008) yang meneliti tentang proses pengolahan hasil tambang emas, kemudian dampak yang dilihat dari segi ekonomis dan ekologi serta cara menanggulangi dampak negatifnya. Sedangkan untuk aspek sosial terutama konflik di Desa Kalirejo tidak dimasukkan dalam fokus kajian mereka. Selanjutnya penelitian dari Rininta Larasati, dkk (2012) tentang pencemaran merkuri yang dilakukan oleh penambang tradisional terhadap lingkungan disekitar penambangan. Penelitian dia tentang Desa Kalirejo juga tidak membahas tentang konflik di tempat tersebut melainkan hanya fokus pada pencemaran dan kadar pencemaran yang terjadi. 1.5 Kerangka Teori 1.5.1 Definisi konflik dari Perspektif Sosiologi Berbagai teori dan definisi konflik pada dasarnya banyak ditemui di berbagai literatur yang membahas tentang konflik. Bahkan menurut ilmu sosial sendiri sudah mengkategorikan mahzab-mahzab utama dalam menganalisis konflik.11 Dalam definisi konflik, Otomar J. Bartos dan Paul Wehr mengatakan (here as a situation in which actors use conflict behavior against each other to attain incompatible goals and/or to express their hostility) “situasi dimana para aktor menggunakan perilaku konflik untuk melawan satu sama lain dalam mencapai ketidakcocokan tujuan dan sebagai bentuk mengkspresikan permusuhan mereka”.12 Definisi lain tentang konflik disampaikan oleh Himes, yang mengatakan bahwa konflik adalah “(purposeful struggles between collective actors who use social power to defeat or 11 Novri Susan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sosiologi Konflik, membagi sosiologi konflik kontemporer menjadi lima aliran, yaitu sosiologi konflik mazhab positivis, mazhab humanis, mahzab kritis, elektis dan multidisipliner, (Novri Susan: 2014) 12 Otomar J. Bartos, Paul Wehr . Using Conflict Theory. New York: Cambridge University Press , 2002,. Page 13 9 remove opponents and to gain status, power, resources, and other scarce values) perjuangan yang dilakukan diantara berbagai actor yang mengunanakan kekuatan sosialnya untuk mengalahkan atau menghilangkan lawan dan untuk mendapatkan status, kekuasaan, sumber daya, dan nilai-nilai langka lainnya.13 Kemudian Kriesberg berbeda dengan Himes dalam melihat konflik yang terjadi di masyarakat. Dia melihat (“conflict exists when two or more parties believe they have incompatible objectives”) bahwa konflik akan terjadi ketika dua atau lebih orang maupun kelompok meyakini mempunyai pertentangan secara objektif. Kemudian Pruitt and Rubin melihat konflik sebagai (“perceived divergence of interests”) adanya perasaan perbedaan terhadap kepentingan.14 Dari berbagai definisi konflik tersebut sosiologi secara spesifik memberikan definisinya tentang konflik dari sudut pandang ilmu Sosiologi. Sosiologi pada dasarnya adalah sebuah ilmu yang mempelajari tentang fenomena sosial jika dipandang secara sederhana. Dalam ilmu sosiologi sendiri mempunyai beberapa fokus kajian masing-masing dan semuanya dipelopori oleh beberapa tokoh ketika melihat suatu fenomena sosial. Fokus kajian tersebut menjadikannya sebuah aliran-aliran dalam memandang fenomena sosial sebagai kaca matanya. Seperti konflik sosial yang dalam perspektif sosiologi dipelopori oleh beberapa tokoh sosiologi, diantaranya adalah Karl Marx pelopor dari aliran Marxian. Aliran Marxian sendiri berlandaskan pada materialisme dan melihat posisi individu sebagai interaksi sosial budayanya. Kemudian berlanjut dengan konflik antar kelasnya yaitu kaum borjuis dan kaum proletar yang pertentangannya terjadi dilandaskan penerimaan upah buruh dari penguasa. Marx adalah penganut Materialisme historis yang menjelaskan proses dialektika sosial masyarakat, penghancuran dan penguasaan secara bergilir kekuatan-kekuatan ekonomi, dari masyarakat komunis primitif menuju feodalisme, berlanjut ke kapitalisme dan berakhir pada masyarakat tanpa kelas (class less society).15 Teori konflik selanjutnya dikemukanan oleh Lewis A. Coser yang merupakan pelopor sosiologi konflik struktural. Dimana dalam pemikirannya berangkat dari Simmel mengatakan; 13 Ibid,. Ibid,. 15 Novri Susan. Pengantar Sosiologi Konflik, Kencana, Jakarta, 2014, hlm. 21-22 14 10 “konflik itu sesungguhnya menunjuk dirinya sebagai suatu faktor positif…bisa disebutkan bahwa dalam banyak kasus sejarah sesungguhnya penyatuan (dari sistem sosial) dipengaruhi oleh faktor positif konflik.” 16 Berangkat dari pemikiran itu, menurut Coser konflik tidak hanya berwajah negatif. Konflik memiliki fungsi positif terhadap masyarakat melalui perubahan sosial yang diakibatkannya. Untuk melihat fenomena sosial dalam Desa kalirejo khususnya konflik yang terjadi penulis menggunakan teori fungsi konflik sosial dari sosiolog Jerman bernama Lewis A. Coser. Berangkat dari rumusan masalah pada penelitian ini, penulis meminjam teorinya Coser untuk melihat konflik di masyarakat bukan sebagai bentuk patologi. Melainkan bagian dari proses sosial yang mengartikan masyarakat tersebut tidak hanya berhenti pada realita yang ada melainkan bergerak sesuai dengan perkembangan masyarakat lainnya. Coser, “sangat menentang pandangan bahwa tidak adanya konflik dapat dipakai sebagai indikator dari kekuatan dan stabilitas suatu hubungan”.17 Coser yang melihat fungsi positif konflik pada masyarakat memberi perhatian adanya konflik eksternal dan internal. Konflik eksternal (external conflict) mampu menciptakan dan memperkuat identitas kelompok. Ia menyatakan “…konflik membuat batasan-batasan diantara dua kelompok dalam sistem sosial dengan memperkuat kesadaran dan kesadaran kembali atas perpisahan, sehingga menciptakan kesadaran identitas kelompok dalam sistem.”18 Konflik eksternal group ini membuat anggota satu sama lain menjadi tambah kuat. Seperti data yang didapat melalui media massa, dimana terjadi konflik pertambangan PETI di Desa Kalirejo antara pemerintah dengan pelaku pertambangan membuat mereka bersatu untuk berani menuntut aparat keamanan membebaskan rekannya yang telah ditangkap. Selain konflik eksternal menurut Coser, konflik internal (internal conflict) juga memberi fungsi positif terhadap kelompok identitas mengenai adanya kesalahan perilaku. Ada perilaku anggota yang dianggap menyimpang dari teks norma kelompok, sehingga perlu dikoreksi oleh kelompok itu.19 Konflik internal di Desa Kalirejo merupakan bentuk kesadaran sebagai sesama penambang, yang tidak menutup kemungkinan membuat kelompok sebagai ikatan penambang tradisional Desa Kalirejo. Dengan ikatan tersebut secara normatif mempunyai aturan maupun 16 Ibid,. hlm 46 Lihat dalam Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, Jakarta, CV Rajawali 1984, hlm 117 18 Novri Susan, op, cit. hlm 48 19 Ibid,.. 17 11 norma-norma sebagai penambang, dimana aturan maupun norma yang dibuat bisa memunculkan ketidakpuasan anggota terhadap aturan dan berujung pelanggaran. Berangkat dari pelanggaran tersebut merupakan awal konflik internal atau konflik horizontal yang terjadi di Desa Kalirejo. Strukturalisme konflik Coser juga menawarkan konsep penyeimbang dalam masyarakat agar tidak terjadi konflik yang bersifat destruktif. Konsep tersebut dinamakan oleh Coser dengan katup penyelamat (Savety Valve). Katup penyelamat ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur, konflik membantu membersihkan suasana dalam kelompok yang sedang kacau. Coser mengatakan bahwa melihat katup penyelamat demikian berfungsi sebagai “jalan keluar yang meredakan permusuhan” yang tanpa itu hubungan-hubungan diantara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin tajam.20 Melihat dari teori ini penulis membawa teori yang sudah disusun oleh Coser dengan melihat konflik selama 5 tahun terakhir sebagai bagian dari masyarakat yang tidak dapat terpisahkan. Apakah konflik di Desa Kalirejo bisa dibaca dengan teori tersebut atau seharusnya mengalami modifikasi secara lebih lanjut dikarenakan ketidaksesusain teori terhadap fenomena konflik sosial di Desa Kalirejo. Selanjutnya konflik di Desa Kalirejo yang berbasiskan sumber daya alam bisa jadi merupakan miniatur bagi daerah-daerah di Indonesia dengan potensi SDA melimpah. Apakah SDA terbaharukan (renewable) atau SDA tidak terbaharukan (non- renewable) yang dimiliki di daerah-daerah tersebut dapat membantu memberikan pengetahuan maupun solusi ketika permasalahan sama terjadi di daerah lain. 1.5.2 Analisis Konflik Sumber Daya Alam Konflik lingkungan pada dasarnya banyak terjadi di daerah-daerah Indonesia. Seperti pada tulisan ini dimana penulis mengangkat konflik Sumber Daya Alam terutama pada pertambangan tradisional di Desa Kalirejo. Fenomena yang bisa dibilang sangat memungkinkan untuk terjadi di setiap daerah dengan SDAnya mengingat potensi alam pada bangsa ini. Persoalan konflik sumber daya alam terutama berakar pada dua hal, yaitu: 1) kebijakan eksploitasi sumber daya alam dikembangkan di atas dasar sistem mengutamakan konsep milik Negara (state property) dan mengabaikan konsep milik pribadi (private property) dan milik 20 Margaret M Poloma, Op,cit,. hlm 109 12 komunal (communal property), dan 2) penempatan sumber daya alam sebagai aset ekonomi atau faktor produksi secara berlebihan.21 Sedangkan kelangkaan dan kualitas terhadap sumber daya alam juga menjadi penyebab dari terjadinya konflik antar individu maupun kelompok mengingat begitu pentingnya sumber daya alam bagi kelangsungan hidup manusia. Sebagai mana dijelaskan oleh Homer-Dixon dan kawan-kawan (1993), kegiatan manusia dapat menyebabkan kerusakan lingkungan atau kelangkaan sumber daya dalam tiga cara. Pertama, penurunan jumlah dan kualitas sumber daya, terutama jika sumber daya dieksploitasi dengan tingkat kecepatan yang melebihi daya pulihnya (non-renewable). Kedua, penurunan atau kelangkaan sumber daya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk. Ketiga, akses terhadap lingkungan dan sumber daya alam yang tidak seimbang juga akan menyebabkan banyak persoalan. 22 Tidak menutup kemungkinan dari ketiga penyebab kelangkaan dan kerusakan sumber daya alam sudah mulai terjadi di Kabupaten Kulon Progo secara umumnya dan di Desa Kalirejo secara khususnya. Untuk melihat konflik yang terjadi di Desa Kalirejo secara sistematis dan runtut, penulis meminjam konsep yang ditawarkan oleh Paul Wehr dan Bartos dalam memetakan konflik pada objek penelitian penulis. The concept of “conflict mapping” helps one to clarify the conflictgenerated confusion (Wehr 1979). 23 Menurutnya, konsep dari pemetaan konflik membantu memperjelas ketidakjelasan dari konflik yang menjadi kajian penulis. Penggunaan konsep itu diantaranya adalah Specify the context, identify the parties, separate causes from consequences, separate goals from interests, understand the dynamics, search for positive functions dan understand the regulation potential. 24 1. Specify the context. Konsep pemetaan konflik yang pertama dilakukan penulis adalah mengumpulkan informasi tentang sejarah konflik dan bentuk konflik yang terjadi di Desa Kalirejo. Pembahasan pada bagian ini penulis buat dalam bentuk narasi konflik baik secara vertikal maupun horizontal di lokasi penelitian. Pemfokusan konteks yang dikonflikkan merupakan cara yang menurut penulis memudahkan proses pemetaan secara runtut maupun 21 Pidato pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada oleh Prof.Dr. Sunyoto Usman, MA. Dengan judul Konflik dan Resolusi Konflik Sumber Daya Alam Perspektif Sosiologi. Di ucapkan di depan Senat Terbuka pada 15 September 2001. 27 Halaman. 22 Bruce Mitchell, , B. Setiawan, Dwita H. Rahmi. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta, 2010. hlm 9-10. 23 Bartos, Otomar J. & Wehr, P.. Using Conflict Theory. Cambridge Pres. New York. 2002 hlm 67 24 Ibid, Hlm 67-69 13 sistematis. Bagian ini dibahas pada sub bab pertama 3 & 4, yang menarasikan runtutan konfliknya dari awal mula terjadinya konflik sampai mengalami eskalasi. 2. Identify the parties, langkah selanjutnya adalah dengan mengidentifikasi aktor yang secara langsung terlibat dalam konflik tersebut. Konflik utama dari konflik tersebut adalah pihak yang melakukan tindakan-tindakan secara koersif atau memaksa dan mendapatkan keuntungan dari konflik tersebut. Pihak kedua dari konflik tersebut biasanya yang mendapat keutungan secara tidak langsung. Sedangkan pihak ketiga merupakan pihak yang berperan sebagai mediator dari konflik tersebut juga sekaligus sebagai Peace-keeping. Bagian ini memperlihatkan untuk konflik vertikal mediasi dilakukan secara bersama-sama, sedangkan untuk konflik horizontal mediator diperankan oleh Polsek Kokap untuk memediasi konflik yang telah terjadi. 3. Separate causes from consequences, langkah ini merupakan tugas peneliti untuk memisahkan antara akar konflik dan konsekuensi lain dari konflik yang terjadi, terutama pada konflik di Desa Kalirejo. Pemisahan ini tidak selalu mudah, dikarenakan konflik yang mengemuka cenderung mengalami pencampuran antara sebab dan akibat dari konflik tersebut. Seperti permusuhan yang mungkin hanya sebagai bentuk akibat dari konflik dan salah satu tahapnya, sedangkan penyebabnya bisa terlihat pada tahap selanjutnya. Pembahasan pada bagian ini memetakan akar konflik yang terjadi antara konflik vertikal dan horizontal. Penulis berhasil menganalisis akar konflik tersebut kedalam 2 poin, yang kemudian dari dua poin itu juga terdapat kembangan dari akar konflik yang dibahas setelah sub bagian akar konfliknya. Sub-bagian tersebut berujudul “faktor lain penyumbang eskalasi konflik”. 4. Separate Goals From Interests, perbedaan yang sangat sulit dicapai dalam sebuah konflik adalah between goals and interests. Perbedaan goals, dia merupakan tujuan atau sasaran utama dari konflik yang terjadi. Sedangkan interest menyangkut kepentingan antara kedua belah pihak yang berkonflik. Dari hal itu penulis memasukan isu-isu yang terjadi pada konflik vertikal maupun horizontal di Desa Kalirejo dengan menunjukkan keterkaitan tujuan yang tidak sejalan diantara kedua belah pihak. Sub-bagian ini penulis bahas dengan judul isu-isu yang dikonflikkan oleh pihak yang berkonflik. Konflik vertikal melihat isu Penangkapan penambang dilokasi pertambangan kemudian Pembukaan Kembali Lokasi Penambangan sebagai Salah satu Tuntutan serta Penagihan janji kepada pemerintah 14 daerah perkara WPR dan IPR. Sedangkan konflik horizontal melihat isu Keluar Masuk Penambang Pendatang Tanpa Izin Pedukuhan dan pencemaran air sungai dengan mempunyai asumsi ganda yaitu Kecelakaan ataukah Sabotase?. 5. Understand The Dynamics, menurut Wehr a conflict is constantly moving and changing. Konflik yang selalu berubah bentuknya dari tahap satu ketahap yang lain membuat penulis melihat tahapan maupun dinamika konflik pada lokasi penelitian penulis. Tahapan konflik tersebut penulis menggunakan konsep Fisher yang melihat tahapan konflik berawal dari “prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat dan pasca konflik”. 25 Dalam hal ini penulis memberikan gambaran secara naratif dan visual dengan menggambarkan awal terjadinya konflik. Kemudian bergerak menuju eskalasi sampai menemui titik resolusi yang direpresentasikan dengan de-eskalasi konflik. Sub-bab ini penulis bahas pada bab 3 & 4 yang merupakan pembahasan utama tulisan, dimana terlihat dinamika konflik vertikal dan horizontal dari tahun 2009 sampai dengan 2014. 6. Search For Positive Functions, fungsi positif dari konflik adalah masing-masing pihak mencoba mencari bentuk-bentuk tingkah laku yang mengarah pada resolusi konflik tersebut. Hal ini senada dengan teori sebelumnya pada kerangka teoritis yang dipakai untuk analsis konflik di Desa Kalirejo tentang fungsi positif konflik dari Lewis Coser. Oleh karena itu tugas penulis mencari dampak positif apa yang didapat dari konflik di Desa Kalirejo dengan membuat refleksi teoritis pada pembahasan bab V. Dari refleksi teoritis tersebut terlihat fungsi positif dari konflik vertikal dan horizontal di Desa Kalirejo yang berpatokan pada pembahasan bab 3 dan bab 4 dengan tujuan memudahkan penulis member rekomendasi kepada pemerintah daerah maupun pemerintah daerah. 7. Understand The Regulation Potential, adanya pihak ketiga sangat berperan terhadap terjadinya resolusi konflik. Intervensi tersebut dapat dilakukan oleh pihak ketiga dengan beberpa faktor yang membatasi mereka (pihak yang berkonflik). Faktor-faktor tersebut bisa berupa aturan yang mempunyai otoritas tertinggi, bisa berupa Perda untuk lokasi yang dipilih oleh penulis. Walaupun selama dilapangan penulis menemukan bahwa perda yang mengatur tentang pertambangan tradisional terutama PETI belum selesai dikerjakan oleh DPRD Kulon Progo dengan pertimbangan-pertimbangannya. 25 Simon Fisher, dkk. Manajemen Konflik Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak, Jakarta, British Council, 2000, hlm 19 15 Dari pendapat-pendapat yang dikemukanan oleh beberapa pakar diatas tentang konflik sumber daya alam, maka pada kasus di Desa Kalirejo pemetaan konflik menjadi keharusan dengan berdasarkan konsep Paul Wehr. Dinamika konflik yang dilakukan oleh penulis sejatinya lebih memperkaya kajian konflik baik dari terlihatnya eskalasi maupun deeskalasi konflik vertikal dan horizontal di Desa Kalirejo. Belum lagi jika melihat dari sudut kepemilikan lahan dengan membangun usaha diatasnya dan masih dipertanyakan apakah bersifat personal, komunal atau konstitusional. Untuk mempermudah pembaca dalam melihat kerangka analisis konflik, penulis merumuskan analisis konflik tersebut dalam kerangka pikiran pada bagan 1.1 tentang konsep yang dipinjam dari Paul Wehr dan beberapa konsep lainnya dalam konsep tersebut. Bagan 1.1 Framework Analisis Konflik (Sumber: The Concept of Conflict Mapping Paul Wehr 1979) 16 1.5.3 Tipe dan jenis konflik Setiap konflik yang terjadi baik pada arena industri pertambangan, perpolitikan dan arena lainnya mempunyai jenis atau kategori konflik, baik itu secara vertikal maupun secara horizontal. Begitu juga yang terjadi di Desa Kalirejo, dengan konflik vertikalnya untuk pemenuhan izin pertambangan tradisioanal, dan konflik horizontalnya ketika pencemaran merkuri di sekitar sumur warga. Jenis konflik terbagi ke dalam dua dimensi, pertama dimensi vertikal atau konflik atas; yang dimaksud adalah konflik antara elite dan massa (rakyat). Elite disini bisa para pengambil kebijakan di tingkat pusat, kelompok bisnis atau aparat militer.26 Melihat pada kasus Desa Kalirejo dimana konflik yang terjadi antara penambang emas dengan aparat kepolisian Kulon Progo, maka konflik ini menjadi jenis konflik pada dimensi vertikal. Menurut Paul Conn, konflik vertikal terjadi karena struktur masyarakat yang terpolarisasi menurut kepemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan. Sebagian masyarakat yang hanya memiliki sedikit dari ketiga sumber, akan menemukan kepentingan yang bertentangan dengan kelompok kecil masyarakat dilihat dari pengaruh dominasi sumber-sumber tersebut. Dengan adanya distribusi kekayaan, pengetahuan dan kekuasaan yang timpang merupakan penyebab utama terjadinya konflik tersebut.27 Edward Azar mengidentifikasi bahwa konflik banyak muncul pada masyarakat yang lemah. Lemahnya masyarakat disebabkan karena kuatnya dominasi dari penguasa/pemerintah dan tidak merespon kebutuhan dasar rakyat, sehingga melahirkan fragmentasi dan konflik sosial yang berlarut-larut. 28 Kegagalan penguasa/pemerintah untuk menangani masalah kebutuhan dasar manusia itu memperbesar peluang terjadinya dan berlarut-larutnya konflik sosial, terutama yang bersifat vertikal. Berangkat dari pendekatan Paul Conn dan Edward Azar, penulis mengkombinasikan pendekatan itu dengan mengolahnya menjadi bagan yang ada pada Bagan 1.2 sebagai kerangka pada konflik vertikal. Dari gambar tersebut secara konsep terlihat bagaimana konflik vertikal bisa terjadi. Dominasi pemerintah dan sifat inferior masyarakat yang membuat konflik laten secara perlahan mengalami eskalasi jika terjadi secara berlarut-larut. 26 Novri Susan, Pengantar Sosiologi KOnflik, Kencana. Jakarta. 2014. Hlm 85 Ramelan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana. 1999. Hlm 152 28 Edward Azar, The management of protracted Social conflict, (Aldershot: Darmouth,1999) 27 17 Bagan 1.2 Bentuk Dominasi Pemerintah (Sumber : Kerangka pemikiran penulis) Jenis konflik yang kedua adalah dimensi horizontal, yakni konflik yang terjadi di kalangan massa (rakyat) sendiri. 29 Dimensi horizontal jika dilihat secara spesifik pada pertambangan tradisional di Desa Kalirejo menjadi tidak terlalu terlihat jelas. Namun dimensi konflik ini terlihat jika dikaji mendalam, pada arena mana konflik terbentuk dan tenggelam dengan resolusi dari kedua belah pihak yang berkonflik. Seperti pada pencemaran mercuri di salah satu sumur warga. Dimana warga juga merasa resah dengan aktivitas penambang emas yang membuang limbah mercuri di sekitar penambangan. Dalam konflik horizontal di Desa Kalirejo terlihat ketika dimasukan pada salah satu tipe konflik dengan menggambar persoalan sikap, perilaku dan situasi yang ada. Tipe konflik sendiri terdiri dari tanpa konflik, konflik laten, konflik terbuka, dan konflik permukaan.30 Berangkat 29 30 Ibid,. Simon Fisher, dkk, Op. Cit, hlm 6 18 dari empat konsep itu, maka jika dikaji mendalam terlihat konflik horizontal terutama pada konflik laten antara penambang dengan masyarakat non-penambang. 1.5.4 Alat bantu Analisis Resolusi konflik 1.5.4.1 The Triangle of Satisfaction Selain klasifikasi resolusi dari Moore, penulis juga memasukkan alat bantu lain dalam melihat penyebab konflik di Desa Kalirejo. Salah satunya digunakan oleh peneliti untuk melihat kepuasan pada pihak yang berkonflik dari resolusi yang ditawarkan oleh Gary Furlong 31 . Konsep ‘”the Triangle of Satisfaction” adalah konsep yang dipinjam oleh penulis untuk mengukur kepuasan resolusi konflik yang dilakukan di Desa Kalirejo. Konsep yang menawarkan 3 aspek yang harus dilihat diantaranya “Substantif, Prosedural dan Psikologis. Gambar 1.3 The Triangle of Satisfaction (Sumber : CDR Associates, Boulder, Corolado dalam G.Furlong) 31 Furlong, Gary T. The Conflict Resoution Toolbox: Model & Maps For Analyzing, Diagnosing, and Revolving Conflict. John Wiley & Sons Canada, Ltd. Hlm 61 19 Pertama meliputi aspek Substantif, bahwa pihak-pihak yang bersengketa memperoleh kesepakatan sesuai yang diharapkan. Hal ini bisa dalam bentuk pemberian ganti rugi, pemulihan lingkungan dan adanya komitmen pihak lain meningkatkan kinerja lingkungannya agar tidak menimbulkan kerusakan dan pencemaran. Kepuasan selanjutnya merupakan kepuasan Prosedural, artinya bahwa resolusi konflik dilakukan melalui prosedur yang mereka sepakati bersama. Dengan adanya transparansi dari cara maupun proses dengan pihak-pihak yang bersengketa sepakat menyelesaikan konflik melalui perundingan, maka aturan perundingan mekanisme dan prosedur yang lain dirumuskan bersama dan ditaati bersama. Kepuasan yang terakhir adalah kepuasan Psikologis. Dimana masing-masing pihak merasa menjadi bagian dari proses. Masing-masing tidak merasa di keluarkan dari proses yang sedang berlangsung. Dari jalan ini pihak yang berkonflik merasa puas dikarenakan buah kesepakatan dari kerja keras bersama. Seperti pada gambar 1.3 diatas tentang segitiga kepuasan yang penulis pinjam konsepnya dari CDR Associates, Boulder, Corolado dalam bukunya Furlong yang berjudul The Conflict Resolution Toolbox. 1.5.3.2 Klasifikasi Resolusi Konflik Untuk menambah analisis resolusi konflik agar lebih mendalam, penulis meminjam konsep lain untuk melihat pada klasifikasi apa resolusi konflik di Desa Kalirejo. Apakah bentuk struktural seperti konflik vertikal terjadi penyalahgunaan kekuasaan berupa dominasi dari superior kepada inferior dalam resolusi konfliknya. Ataukah kekuasaan yang terlalu bersifat mendominasi malah terjadi pada konflik horizontal antara warga yang merasa dirugikan denga pihak yang mengambil keutungan dari konflik tersebut. Salah satunya yang dikemukakan oleh Moore, penulis mengklasisifikasikan resolusi konflik pada gambar 1.1 yang dibuat oleh Moore (1996) dalam Sudharto P. Hadi32 sebagai berikut: 32 Sudharto P. Hadi, Resolusi Konflik Lingkungan. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2006. Hlm 19 20 Gambar 1.4 Klasifikasi Resolusi Konflik (Sumber : Moore (1996) dalam Sudharto P. Hadi) Gambar 1.4 dengan dua gambar segitiga diatas menggunakan pola resolusi konflik yang berbeda. Bisa menggunakan kekerasan (power) yang kalau dalam istilah Moore disebut sebagai extra legal, kemudian right base (melalui pengadilan atau litigasi) dan dengan interest. Pendekatan interest inilah yang masuk dalam klasifikasi perundingan. Disebut sebagai pendekatan interest karena ketika pihak-pihak yang bersengketa telah bersedia melakukan perudingan maka diharapkan untuk mengembangkan kesepakatan yang didasarkan atas kepentingan bersama terutama pada konteks Desa Kalirejo. Berangkat dari konsep Moore ini setidaknya dapat terlihat pola resolusi seperti apa yang telah digunakan. Apakah pada segitiga power yang mempunyai kekuasaan lebih dalam resolusi konflik dari konteks tersebut dan digambarkan dengan segitiga terbalik atau malah sebaliknya. Berdasarkan konsep dari segitiga kepuasan dan klasifikasi resolusi konflik diatas, maka penulis membuat framework pada analisis ini dengan membuat bagan 1.5 berlandaskan 2 konsep tersebut. Hal itu dilakukan agar memudahkan penulis untuk menuangkan ide dan temuan selama dilapangan tersampaikan dengan baik kepada pembaca. Walaupun framework yang dibuat oleh penulis masih terkesan kurang tertata secara runtut dan sistematis. 21 Bagan 1.5 Framework Analisis Resolusi Konflik (Sumber : dibuat oleh penulis berdasarkan konsep dari CDR Associates dan Moore ) Berangkat dari teori dan alat bantu analisis diatas, penulis berusaha melihat konteks Desa Kalirejo pada konflik yang terjadi. Baik konflik secara laten maupun terbuka yang berujung aksi demonstrasi di depan balai kota Kabupaten Kulon Progo beberapa tahun lalu. Bahkan konflik yang bersifat vertikal antara pemerintah dengan penambang dan horizontal antara penambang lokal dan penambang pendatang maupun yang tidak melakukan aktifitas penambangan. 1.6 Metode penelitian 1.6.1 Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis pada penelitian ini adalah penelitan kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitik. Menurut Agus Salim penelitian merupakan suatu metode berganda dalam fokus, yang melibatkan pendekatan interpretatif dan 22 wajar terhadap setiap pokok persoalan yang dikajinya. 33 Artinya metode penelitian kualitatif dilihat berdasarkan fenomena maupun keadaan sebenarnya yang kemudian ditafsirkan oleh kebanyakan orang pada fenomena tersebut. Sedangkan metode deskriptif analitik adalah menjelaskan fenomena sosial yang beredar di masyarakat dan kemudian dari fenomena tersebut dicoba untuk dicari sebab akibat fenomena sosial di masyarakat itu terjadi. Metode pada penelitian ini dilakukan dengan mendeskripsikan hasil temuan di lapangan berupa fakta-fakta dan selanjutnya dari temuan tersebut dilakukan analisis. Artinya dalam analisis di sini bukan berarti hanya semata-mata untuk mendeskrifsikan temuan yang ada namun juga menafsirkan dari temuan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menyingkap sumber, konteks, pelaku, isu serta perubahan konflik dari tahun 2009 sampai 2014 pada Desa Kalirejo selama pertambangan tanpa izin dilakukan. Kemudian dari temuan tersebut dicari upaya apa saja yang telah dilakukan oleh pemda dan masyarakat sekitar serta pihak lainnya yang terlibat dalam menyelesaikan konflik yang ada selama ini. Apakah upaya tersebut dilakukan efektif ataukah upaya yang dilakukan hanya bersifat tentative saja tanpa melihat effek kedepannya. Untuk kepentingan pada penelitian ini, penulis menggunakan strategi studi kasus untuk mengungkap permasalahan tersebut. Studi kasus menurut Robert K Yin adalah penyelidikan empiris yang meneliti fenomena dalam konteks kehidupan nyata, dimana batas-batas antara fenomena dan konteks tak nampak dengan tegas, dan dimana multi sumber digunakan. 34 Dilihat berdasarkan objek penelitian, ada tiga macam bentuk studi kasus. Pertama, adalah studi kasus intrinsik (intrinsic case study), jenis ini ditempuh oleh peneliti yang ingin lebih memahami sebuah kasus tertentu, jenis ini ditempuh bukan karena suatu kasus mewakili kasus-kasus lain atau karena menggambarkan sifat atau problem tertentu. Kedua, adalah instrumental (instrumental case study). Jenis ini digunakan untuk meneliti suatu kasus tertentu agar tersaji sebuah perspektif tentang isu atau perbaikan suatu teori. Ketiga, adalah kasus kolektif (collective case study), dimana peneliti dapat meneliti fenomena, populasi, atau kondisi umum juga sebagai pengembangan dari studi instrumental ke dalam beberapa kasus.35 Dalam tipe ketiga ini juga 33 Agus Salim, Teori dan pradigma penelitian sosial, Tiara Wacana ,Yogyakarta, 2006, hlm 34 Robert K. Yin.. Studi Kasus dan Metode. Penerjemah M. Djauzi Muzakir, Raja Garafindo Persada. Jakarta 2006. Hlm 18 35 Norman K. Denzin & Yvonna S. Lincoln, Handbook Of Qualitative Research, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hlm 301-302 34 23 dilakukan untuk menarik kesimpulan atau menggeneralisasi atau juga fenomena dari kasus-kasus tersebut. Dari tiga jenis studi kasus diatas, peneliti menggunakan studi kasus tipe ketiga, yaitu studi kasus kolektif. Alasan utama peneliti memilih jenis tersebut dikarenakan adanya keinginan untuk memahami dan menyingkap dinamika konflik vertikal dan horizontal, dibalik aktivitas pertambangan emas tanpa izin. Kemudian serta melihat karakteristik umum dan keberulangan serta keberagaman masing-masing konflik yang memiliki pesan di Desa Kalirejo. Aktor-aktor konflik juga penulis jabarkan untuk melihat siapa dengan siapa yang mempunyai kepentingan dibalik semua itu. 1.6.2 Lokasi penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan tepatnya pada pertambangan emas tradisional di Desa Kalirejo Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo (daerah istimewa Yogyakarta). Alasannya adalah dikarenakan Desa Kalirejo merupakan tempat penambangan emas tradisional selama puluhan tahun dan dirasa memiliki berbagai macam fenomena sosial untuk bisa dikaji secara lebih mendalam. Seperti belum memilikinya izin usaha pertambangan sebagai tempat atau wilayah pertambangan rakyat (WPR), sehingga terjadi konflik vertikal antar pemerintah dan warga setempat yang melakukan usaha penambangan. Kedua, penduduk yang menambang ternyata ada yang berasal dari luar daerah, yang tidak menutup kemungkinan terjadi konflik horizontal sesama penambang atau konflik antara penambang dengan warga disekitar area penambangan ditambah aliansi diantara penambang pendatang dan penambang lokal yang membuat kaburnya antara pihak siapa dengan pihak mana berkonflik. Ketiga, dari kasus pertambangan di Kulon Progo, kasus konflik pertambangan yang paling terkenal selama ini hanyalah rencana pertambangan bijih besi yang dilakukan oleh PT Jogja Magasa Mining (JMM)—perusahaan milik keluarga penguasa politik di Propinsi Yogyakarta, yaitu Kasultanan dan Paku Alaman. Kasus rencana penambangan pasir besi secara tidak langsung membuat kasus pertambangan lainnya di Kulon Progo tidak terendus oleh media, atau bisa dikatakan tidak mempunyai nilai jual untuk menarik perhatian masyarakat diluar Desa Kalirejo. Padahal pertambangan PETI di Desa ini cukup mengkhawatirkan jika tidak dilakukan pembinaan terhadap limbah mercuri untuk lingkungan disekitar Desa maupun lingkungan yang dialiri oleh sungai dari Desa Kalirejo 24 1.6.3 Unit Analisa Pada penelitian ini unit analisa adalah masyarakat lokal Desa Kalirejo yang kemudian berkonflik secara vertikal dengan aparat pemerintah, dan masyarakat pendatang yang berkelompok untuk menambang di Desa Kalirejo dengan warga Lokal. Konflik yang terlihat secara vertikal dimana warga penambang menuntut pemberian izin WPR yang selama bertahuntahun sudah dijanjikan oleh pemerintah Kabupaten sejak Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 disahkan oleh Menteri Jero wacik pada saat beliau masih menjabat. Juga aksi demo yang pernah dilakukan di halaman kantor pemerintahan. Kemudian konflik horizontal dimana sesama warga penambang dan warga yang tidak melakukan kegiatan aktivitas pertambangan berkonflik. Konflik yang memungkinkan terjadi dalam berbagai bentuk sebagai individu yang tinggal dalam satu wilayah pemukiman. Namun pengkategorisasian siapa dengan siapa yang berkonflik sangat sulit dilakukan oleh penulis dikala terjadi alienasi antara lapisan masyarakat di Desa. Oleh karena itu hal ini masuk dalam sub bab batasan penelitian yang dikemukakan oleh penulis pada bab ini. 1.6.4 Sumber data Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Untuk data primer di peroleh melalui informan dengan cara wawancara langsung dan mendalam kemudian dillakukan pengamatan oleh penulis. Informan kunci merupakan individu yang dapat memberikan gambaran secara tepat dan benar tentang gejala sosial yang terjadi. Penentuan informan kunci ini dilakukan secara purposive dan snow-ball sehingga sampel tidak dapat ditentukan terlebih dahulu. Kemudian untuk data sekunder yaitu berupa berbagai data tertulis berupa dokumentasi kebijakan maupun perjanjian baik dengan pemerintah maunpun dengan warga asli dan pendatang yang melakukan penambangan tradisional di Desa Kalirejo. 1.6.5 Teknik pengumpulan data 1.6.5.1 Wawancara Mendalam Salah satu sumber informasi studi kasus yang sangat penting adalah wawancara. 36 Wawancara dilakukan secara mendalam kepada informan yang mempunyai peran dalam 36 Robert K. Yin, Op. Cit, hlm 108-109 25 masyarakat di Desa Kalirejo. Teknik wawancara dilakukan dengan cara tidak terstruktur. Artinya informasi yang didapat menjadi gambaran awal sebelum menemukan kunci dan juga gambaran secara utuh dari informan dari konflik yang terjadi. Dari cara ini peneliti mendapatkan jawaban yang lebih variatif. Wawancara mendalam pertama dilakukan dengan cara menentukan informan yang dipilih secara sengaja (purposive) dan memungkinkan mengetahui permasalahan pertambangan di Desa Kalirejo. Kemudian berangkat dari penentuan informan oleh peneliti, selanjutnya peneliti dapat meminta saran kepada informan yang diwawancarai (snow-ball), artinya jumlah informan kemungkinan semakin bertambah sesuai dengan rekomendasi yang diberikan oleh informan sebelumnya. Melalui saran informan selanjutnya diharapkan peneliti dapat menemukan informasi yang lebih dari informan sebelumnya. Untuk informan yang dianggap mempunyai pengetahuan lebih dipilih oleh penulis pada tabel dibawah ini; Nama Tabel 1.1 Daftar informan pertama yang dipilih penulis Profesi Bapak Suyatno Kepala Dukuh Sangon II Bapak Jemangin Sekretaris Desa Kalirejo Bapak Lana Kepala Desa Kalirejo Agustinus Widya Ketua Perkumpulan Penambang Setiawan Desa Kalirejo, aktivis LSM Gerbang Desa 88 dan Kader Partai PDIP Kulon Progo (Sumber : hasil observasi penulis selama dilapangan) Sedangkan untuk validasi data dari informan sebelumnya dapat dilakukan kepada informan yang disarankan kepada peneliti (Snow Ball). Melalui informan yang berbeda dan dengan pertanyaan sama merupakan cara peneliti untuk memvalidasi temuan lapangan tersebut. Dilihat dari cara peneliti melakukan wawancara terkesan tidak formal, tetapi untuk menjaga kevalidan data, peneliti memakai dua tipe wawancara yang umum dipakai dalam wawancara studi kasus: wawancara betipe open-ended dan wawancara terfokus. 37 Dalam wawancara open-ended, peneliti dapat bertanya langsung pada informan kunci tentang suatu kejadian dan bertanya langsung tentang pendapat mereka terhadap peristiwa tersebut. 37 Ibid,. hlm 108-109 26 Pertanyaan bisa diberikan kepada konflik yang berhubungan dengan konflik horizontal (kepada warga setempat) dan konflik vertikal (kepada perangkat pemerintah). Sedangkan untuk wawancara terfokus dilakukan dalam waktu yang relatif pendek. Wawancara tetap pada jalur open-ended, tetapi pertanyaan yang diajukan kepada informan tidak diturunkan langsung dari protokol studi kasusnya. 38 Tujuan pokok yang dicari oleh peneliti dapat mendukung data-data atau kejadian tertentu melalui teknik ini, sehingga kevalidan data dapat diperoleh. Dengan begitu dari data yang diperoleh memiliki validitas data yang tidak diragukan lagi. Adapun informan yang menjadi sumber data penulis untuk wawancara terfokus tersebut diantaranya: Tabel 1.2 Daftar informan yang diperoleh dari informan sebelumnya Nama Profesi “Sn” Penambang Didik Wijanarto Mantan pegawai KLH Kulon Progo Dirjo Wiyono Petani Mukhlasin Penambang sekaligus pembeli emas warga di Desa, “Sd” Penambang Sosro Sudharmo Petani Sujanto PNS Kecamatan Kokap bagian Ekonomi dan Pembangunan Suparyono Pemilik CV Menoreh Politan Widodo PNS Dinas ESDM bidang pertambangan (Sumber : wawancara penulis selama dilapangan) 1.6.5.2 Observasi langsung Pada studi ini observasi yang digunakan dalam studi kasus adalah obervsi langsung ke lapangan.39 Untuk melakuan itu, peneliti melakukan kunjungan langsung kelapangan berkaitan dengan adanya informasi tentang konflik secara vertikal dan horizontal di Desa Kalirejo. Untuk itu observasi dilakukan agar data terpenuhi, maka observasi langsung dilakukan secara formal 38 39 Ibid,. hlm 109 Ibid,.. hlm 112 27 dan tidak formal selama kurang lebih 1 bulan dilapangan dari tanggal 23-30 Desember 2014 sampai tanggal, kemudian dilanjutkan dari tanggal 16 Januari sampai 6 Februari 2015. Selama kurang lebih satu bulan itu penulis tinggal di rumah bapak Suyatno sebagai kepala Dukuh Sangon II guna memperoleh data yang sesuai dengan kebutuhan dari penulisan ini. 1.6.5.3 Dokumentasi Penelitian ini menggunakan dokumentasi berupa yang resmi dari dokumen pemerintah Desa dan kabupaten juga dokumen pribadi berupa catatan dari hasil wawancara dengan informan. Dokumen resmi berupa berita-berita dari media cetak maupun digital, juga angkaangka yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten. Dokumen resmi tersebut penulis dapatkan diantranya dari Dinas Perdagangan dan ESDM Kabupaten Kulon Progo berupa titik koordinat rencana WPR di Desa Kalirejo, kepala Desa Kalirejo berupa file (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) RPJM Desa Kalirejo tahun 2014-2018. Kemudian kepala Dukuh Sangon II berupa Arsip data kependudukan, seperti dari data tingkat pendidikan warganya dan jumlah warganya secara keseluruhan maupun berdasarkan jenis kelamin. Data selanjutnya diperoleh dari kepala Dukuh Plampang II yang kurang lebih data diperlukan penulis seperti pada Dusun Sangon II. Pemilihan Dusun Sangon II dan Plampang II merupakan bentuk dari pemfokusan penulis terhadap objek penelitian pada tempat yang dominan dengan PETI atau pertambangan tradisionalnya. Sedangkan untuk dokumen dalam bentuk foto memberikan informasi secara visual tentang keadaan selama di lapangan. Seperti aktivitas pertambangan tradisional, diskusi warga dengan aparat pemerintah dan sebagainya. Dokumen secara visual dapat memperkuat bukti dilapangan selain dokumen berupa surat-surat yang ada pada arsip perangkat pemerintahan. 1.6.5. 5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Seperti biasaya penelitian kualitatif pada umunya, data-data yang diperoleh dari hasil wawancara dan temuan-temuan dokumen dilapangan selanjutnya dianalisa. Menurut Robert ada tiga teknik analisa data dalam studi kasus, yaitu perjodohan pola, pembuatan pola dan analisis deret waktu. 40 40 Dari cara ini peneliti dapat mengolah data yang didapat dilapangan dengan Ibid,. hlm 133 28 melihat pola dari konflik vertikal maupun horizontal. Dengan begitu peneliti dapat mengambil kesimpulan dari konflik yang terjadi Selain itu analisis data juga menggunakan tiga pola yang ditemukan Miles dan Huber, yakni reduksi data, penyajian data serta penarikan kesimpulan dan verifikasi.41 Semua tahapan ini dilakukan secara interaktif saling berhubungan selama pungumpulan dan sesudah pengumpulan data dilapangan. Berangkat dari sistematika penulisan tersebut penulis mengharapkan adanya temuan lapangan yang sangat bernilai untuk kemajuan ilmu pengetahuan. 1.7 Batasan penelitian Penelitian ini mempunyai batasan dalam menjawab rumusan masalah yang telah dikemukakan oleh penulis. Batasan-batasan tersebut dikarenakan penulis hanya memfokuskan tulisannya hanya pada dinamika konflik yang terjadi di Desa Kalirejo selama kurun waktu 2009 sampai 2014. Batasan waktu tersebut dilakukan oleh penulis dikarenakan sulitnya melacak kembali informan yang mempunyai keterlibatan pada konflik sebelum tahun 2009 dengan melihat keterbatasan waktu penulis selama dilapangan. Pada dinamika konflik penulis menarasikan bagaimana konflik baik vertikal maupun horizontal dapat terjadi dari intervarl waktu yang telah ditentukan. Kemudian dari narasi tersebut penulis memvisualisasikan dinamika konflik yang terjadi dan aktor-aktor yang terlibat. Batasan tersebut juga penulis terapkan dalam rumusan masalah yang ada ketika mempertanyakan resolusi konflik apa saja yang sudah dilakukan oleh warga Desa maupun elit lokal. Resolusi konflik yang dideskripsikan oleh penulis juga dilakukan batasan dengan melihat bagaimana resolusi yang dilakukan ketika konflik tersebut terjadi. Kemudian dengan melihat jalannya resolusi yang ada, penulis melakukan penilaian terhadap kepuasan dari resolusi tersebut dari sudut pandang penambang untuk konfik vertikal. Tetapi penulis juga menjabarkan dari sudut pandang masyarakat Desa Kalirejo secara keseluruhan untuk konflik horizontal. Tidak hanya melihat kepuasan dari resolusi yang dilakukan, tetapi penulis juga mengklasifikasikan resolusi yang telah dilakukan baik vertikal maupun horizontal untuk melihat efektifitas resolusi konfliknya. 41 Agus Salim,..Op. Cit hlm 22-33 29 1.8 Sistematika penulisan Penulisan ini mensistematiskan tulisan dengan tujuan mempermudah apa saja yang dibahas dalam setiap babnya. Pada bab I penulis mengemukakan latarbelakang dan rumusan masalah penlitian, kerangka teori yang digunakan dalam melihat konflik sosial di Desa Kalirejo dan juga metode penelitian yang digunakan penulis dalam mencari dan mengolah data. Bab dua menjelaskan tentang keadaan Desa Kalirejo, sejarah awal mulanya pertambangan serta beberapa data sekunder yang menjadi pendukung dalam menganalisis konfliknya. Bab tiga mulai penulis kemukakan konflik vertikal dengan melihat awal mula terjadinya konflik, pemetaan aktornya, isu-isu yang dikonflikan oleh penambang juga pemerintah Kabupaten Kulon Progo. Kemudian dinamika konflik vertikal yang terjadi dengan visualisasi dari penulis serta kepuasan dari resolusi konflik yang telah dijalankan oleh masing-masing pihak berkonflik, dengan begitu akan mudah dilakukan klasifikasi dari resolusi yan telah dilakukan. Bab empat tidak jauh berbeda dengan bab sebelumnya, yaitu pada bab tiga membahas konflik vertikal sedangkan bab empat membahas konflik horizontal yang terjadi antara sesama warga Desa non penambang dengan penambang juga dengan penambang pendatang. Sistematika yang digunakan untuk mengupas konflik horizontal juga sama dengan sistematika dalam mengulas konflik vertikal pada bab tiga. Terakhir adalah bab lima yang merupakan bagian terkahir dari keseluruhan penulisan ini. Bab lima memuat tentang kesimpulan dari tulisan yang telah dipaparkan pada satu sampai dengan bab empat. Kemudian dari kesimpulan tersebut penulis memasukkan refleksi teoritis yang digunakan dengan mengaca pada pembahasan konflik vertikal dan horizontal. Dari refleksi teoritis yang ada penulis memberikan rekomendasi untuk akademik dengan saran untuk penelitian lanjutan apa yang perlu dilakukan dan rekomendasi untuk kebijakan pemerintah setempat. 30