Bab 2 Landasan Teori Pada bab sebelumnya telah dikemukakan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui atau menjelaskan hal-hal yang mempengaruhi perceraian usia lanjut di Jepang berdasarkan kasus-kasus yang ada. Oleh karena itu, dalam bab ini akan diuraikan teori, pendapat dan hasil penelitian yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. 2.1. Konsep Keluarga di Jepang Istilah yang banyak digunakan untuk mencerminkan sebuah konsep keluarga yang terdapat di Jepang adalah Ie ( 家 ), kazoku ( 家族 ), dan setai ( 世帯 ). Jika kita lihat arti kata-kata tersebut di dalam kamus Jepang, ketiga kata tersebut mewakili kata yang sama yaitu ”rumah tangga” atau ”keluarga”. Dimana Ie merupakan konsep keluarga yang sering digunakan untuk mencerminkan suatu keadaan keluarga tradisional di Jepang. Konsep Ie berkembang di Jepang selama jaman Edo (1600-1868). Sedangkan bentuk kazoku dan setai baru berkembang pada masa Meiji (1868-1912) hingga sekarang. Pada keluarga yang menganut sistem tradisional di Jepang, Ie adalah dasar dari sistem keluarga. Bentuk Ie seringkali digunakan dalam literatur sebagai sebuah kesamaan dari keluarga, tetapi Ie bukanlah merupakan pengertian keluarga secara umum karena diperbolehkannya anggota yang tidak punya hubungan pertalian keluarga memasuki sistem tersebut. Menurut Torigoe dalam Nasution (2003: 37), Ie adalah: Kutipan: 家は日本に特殊な慣行であり、通文化的意味の家族とちがう……。 家は家産や家業の運営の集団であって、この意味で社会における生活の 単位存在していたから、それは成員の生死を越えて、連続することを目 標とした。 Terjemahan : Ie adalah adat kebiasaan yang khas di Jepang, berbeda dengan pengertian kazoku (keluarga) secara umum... . Ie adalah kelompok yang menjalankan usaha kekayaan keluarga, dalam pengertian di sini karena keberadaannya sebagai kesatuan kehidupan di masyarakat, keanggotaannya melampaui anggota yang hidup dan mati, sebagai sasaran kesinambungan. Sistem Ie diberlakukan sejak masa pemerintahan Tokugawa sampai akhir Perang Dunia II. Alasan utama untuk membentuk sistem ini adalah memelihara sistem keluarga patriarkal yang memainkan bagian penting pada kebijakan pemerintah yang memfokuskan pada promosi pertanian dan industri yang membangun wajib militer pada waktu itu (Nasution, 2003: 43). Pada sistem Ie, kelangsungan hidup sebuah keluarga dipertahankan oleh seluruh anggota keluarga di bawah tanggung jawab seorang kepala keluarga yang disebut kachou ( 課長 ). Yang menjadi kepala keluarga atau kachou adalah ayah, dan jika ayah mati maka seluruh kekuasaan dan harta keluarga diserahkan kepada anak laki – laki pertama (Madubrangti, 2008: 10). Pada tahun 1947, pemerintah Jepang memberikan hak – hak yang sama pada harta ayah dan semua anak laki – laki dan perempuan. Hal ini menandakan upaya penghentian sistem tradisional Ie. Konsep Ie dalam struktur rumah tangga diganti dengan konsep kazoku atau family ( keluarga ) seperti di Barat (Nasution, 2003: 45). Pengertian mengenai kazoku, Torigoe dalam Nasution (2003: 47) mengungkapkan: Kutipan: (家族は) 夫婦、親子というがごとき特殊の関係にある者を中秋的成員と する、少数の近親者の緊密なる感情融合に元ずく小集団である。 Terjemahan: Keluarga adalah kelompok kecil yang terbentuk berdasarkan ikatan batin yang kuat di antara sejumlah kecil kerabat dekat, yang beranggota inti orang – orang yang mempunyai hubungan khusus seperti suami istri, orang tua dan anak. Sedangkan yang dimaksud dengan setai adalah semua orang atau suatu kelompok yang tinggal di tempat tinggal yang sama atau suatu keluarga ( household ) termasuk anggota yang lainnya yang tidak mempunyai hubungan darah (Nasution, 2003: 49). 2.1.1 Pola Hubungan Suami Istri Menurut Ishikawa (1990: 208), hubungan keluarga Jepang modern digambarkan dalam empat pola hubungan suami-istri masyarakat Jepang yaitu: Kutipan : I. 父祖付随型、父親は一家の新人地して威厳を持ち、母親は父親を守りた てて、心からつしている。 II. 夫婦自立型、父親も母親を、自分の仕事や趣味を持っていて、それぞれ 熱心に打ち込んでいる。 III. 役割分担型、父親は仕事に略を次、母親は負かされた家庭をしっかり守 っている。 IV. 家庭中心型、父親は何くれと家庭の事に木を使い、母親も温かい家庭作 りに専念している。 Terjemahan : I. Pola suami memimpin, istri mengikuti atau ayah memerintah sebagai tuan dari rumah, ibu berada di belakang mendukung dan melayani sepenuh hati ( the husband lead wife follow pattern ). II. Pola pasangan independen atau ayah dan ibu secara antusias ditarik dalam pekerjaan dan kepentingan mereka sendiri ( the independent-partner pattern ). III. Pola bagian sebelah luar dan sebelah dalam yaitu ayah melimpahkan energinya dalam pekerjaan, ibu mendedikasikan dirinya untuk tugas-tugas rumah tangga ( the outer/inner allotment pattern ). IV. Pola home-centered yaitu ayah selalu memperhatikan keluarga dan ibu diharapkan membuat sebuah rumah yang bahagia ( the home centered pattern ). Menurut Mita (1992: 121) tipe rumah tangga model I mendapat perhatian orang Jepang pada masa sebelum Perang Dunia II sampai tahun 1973-an, imejnya dibentuk oleh sistem Ie yaitu ayah menentukan/memutuskan, ibu mengikuti (the husband lead wife follow). Pada tahun 1973, setelah diadakan survey yang diberikan pada masyarakat Jepang ternyata prototipe pola III (outer/inner allotment) adalah pola paling baik dan ideal dalam masyarakat. Jadi diharapkan bahwa ayah pada pekerjaan (mencari uang) dan ibu bekerja di dalam rumah (sektor domestik) untuk mengurus rumah dan keperluan anakanak. Pada kenyataannya ibu yang bekerja di luar rumah yang memiliki sedikit waktu untuk rumah tangga, jika ia masih berorientasi pada pemikiran pola ke-3 adalah pola terbaik, maka dengan kesadaran sendiri ia juga harus bekerja di dalam rumah agar imej terhadapnya tidak berubah menjadi buruk. Tetapi pada usia paling muda yaitu usia belasan (16-20 tahun) rumah tangga paling ideal menurut mereka adalah “ayah juga membayar perhatian untuk keluarga, dan ibu mencurahkan perhatiannya untuk membuat rumah bahagia ( the home centered )”. Pada saat itu dipertanyakan mengapa anak-anak di usia belasan memilih tipe ini sebagai tipe ideal. Ada dua interpretasi yang menanggapi mengenai masalah tersebut. Pertama, hal ini bisa disebabkan oleh sikap anak - anak yang secara emosional masih terikat, dan kedua, hal ini disebabkan karena pengungkapan sebuah nilai-nilai pertukaran generasi (Mita, 1992: 122). Selanjutnya pada survey tahun 1988, pola outer/inner yang telah dibuat oleh masyarakat Jepang sebagai tipe ideal rumah tangga, ternyata hanya diminati oleh mereka yang berusia 45 tahun ke atas. Pada usia belasan sampai 40-an, tipe home centered adalah tipe yang paling banyak dipilih pada usia tersebut. Tipe ini menjadi ideal pada tahun 1990-an. Menurut Nasution (2003: 59), imej keluarga ideal terus mengalami pergeseran, bergerak secara signifikan. Dari outer/inner menuju ke konsep mutual independent sebagai rumah tangga yang cukup tepat untuk keluarga baru (new family). Rumah tangga model ini adalah dimana ayah dan ibu secara antusias tercurah perhatiannya pada pekerjaan mereka sendiri dan kepentingan mereka sendiri. Pada pola ini, istri biasanya bekerja untuk membantu atau bahkan memenuhi kebutuhan keluarga. 2.1.2 Faktor – faktor Penyebab Terjadinya Perceraian Menurut laporan statistik perceraian yang dikeluarkan oleh Kōseishō ( 厚生省 ) atau Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan yang dikutip oleh Atsumi dalam Nasution (2003: 59), alasan-alasan terjadinya perceraian dari pihak suami adalah; ketidakrukunan keluarga (31,2%), perselingkuhan (27,5%), dan masalah keuangan (14,2%). Dan sebaliknya bagi pihak istri alasan – alasan mereka untuk mengajukan perceraian adalah; masalah keuangan (26,4%), ketidakrukunan keluarga (25,1%), dan perselingkuhan (19,5%). 2.1.2.1 Perselingkuhan Ada beberapa istilah dalam referensi yang digunakan untuk menyebut perselingkuhan dalam pernikahan. Antara lain infidelity, affair, adultery, dan extramarital sex. Manurut Rathus, Nevid dan Fichner-Rathus (1993: 426), hubungan seksual ekstramarital adalah relasi seksual antara orang yang menikah dengan seseorang yang bukan istri atau suami mereka. Menurut Vaughan (2003: 157) definisi affair adalah: “...sexual involvement with someone other than primary partner”.Artinya adalah: “...keterlibatan seksual dengan seseorang yang lain dari pada partner utamanya” Vaughan (2003: 157) juga mengatakan kunci untuk menentukan apakah suatu perilaku dapat dikatakan affair atau tidak adalah ada atau tidaknya unsur kerahasiaan di sana. Jadi dapat disimpulkan, bahwa perselingkuhan adalah perilaku ketidaksetiaan seseorang yang telah menikah berupa hubungan seksual antara dirinya dengan orang lain yang bukan pasangan sahnya. Hubungan tersebut dilakukan secara sukarela dan tanpa sepengetahuan suami atau istri yang bersangkutan (Vaughan, 2003: 158). Menurut Goode dalam Hasyim (1991: 196), data dari berbagai survey mengungkapkan bahwa wanita lebih banyak mengeluh mengenai perkawinannya daripada pria. Sebabnya, mungkin terletak pada arti perkawinan yang lebih besar bagi wanita, ketergantungan mereka dan kepuasan untuk penyesuaian diri terhadap kehidupan itu sendiri. Kebanyakan tenaga, perhatian dan urusan suami, terpusat pada hal-hal yang terjadi di luar rumah. Suami dapat saja terlibat dalam tingkah laku yang mungkin dianggap kurang wajar atau tak berdosa jika diumpamakan apa yang dilakukan oleh istrinya. Suami boleh, tanpa celaan, mengadakan lebih banyak persahabatan dengan lawan jenisnya. Akibatnya, suami kurang merasa terikat kepada rumahnya sebagaimana halnya istrinya, sehingga istrinya lebih banyak kemungkinan untuk memperoleh kegembiraan, hiburan, dan juga kesibukan di luar rumah. Hal seperti itulah yang mungkin menyebabkan terjadinya perselingkuhan yang berakibat perceraian. Karena perselingkuhan melibatkan hubungan seksual, orang sering berpikir bahwa penyebab perselingkuhan adalah masalah seksual juga. Hal ini tidak selalu benar, malah seringkali salah ( Subotnik dan Harris, 1999: 108). Vaughan (2003: 207) mengatakan bahwa sebagian besar ketertarikan orang untuk berselingkuh adalah karena perselingkuhan membuat mereka menjadi orang yang menarik dan dapat mengekspresikan dirinya secara independen. Bila saja seseorang dapat mengekspresikan aspek individunya dalam pernikahan, perselingkuhan tidak perlu terjadi. Bila dirinci, Vaughan (2003: 207) mengatakan bahwa ada dua faktor utama yang membuat orang berselingkuh : A. Faktor internal yaitu faktor yang mendorong orang untuk berselingkuh. Hasrat untuk melarikan diri atau mencari pelepasan dari pernikahan yang menyakitkan, rasa bosan, hasrat untuk mengisi kekosongan yang ada pada pernikahannya yang sekarang, hasrat untuk menghukum pasangannya, kebutuhan akan attractiveness dan penghargaan diri, mengharapkan perhatian lebih, dan kebutuhan tak terpenuhi lainnya. B. Faktor eksternal. Faktor eksternal terbagi menjadi dua faktor, yaitu : a) Faktor yang menarik orang kepada perselingkuhan Ketertarikan (seks, companionship, admiration, kekuasaan); kesenangan baru, excitement, resiko dan tantangan, rasa ingin tahu, meningkatkan selfimage, jatuh cinta. b) Faktor-faktor sosial Affair berkesan glamor karena sering ditemui di film, sinetron, dan novelnovel percintaan dan berbagai tayangan TV. Peyingkapan affair dilakukan publik figur menjadi headline media massa karena masyarakat sangat tertarik akan masalah ini. 2.1.2.2 Stress Menurut Chaplin (2001: 98), “stress adalah suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis”. Dan menurut Rice (1999: 108), ketika orang berbicara tentang stress, biasanya dikaitkan dengan tekanan yang mereka rasakan dari kejadian di sekitar mereka atau terhadap mereka. Menurut Holmes dan Ella dalam Olsong ( 2006: 395 ), dalam suatu penelitian tentang stress dalam keluarga, perceraian merupakan stressor atau penyebab stress nomor dua paling tinggi setelah kematian dari salah satu pasangan suami – istri Untuk mengetahui apa yang menyebabkan stress terjadi, kita bisa lihat dari gejala – gejala stress yang ada, berikut akan diberikan penjelasan mengenai gejala stress yang terjadi. Menurut Vilisides, Eddy, dan Mozie dalam Rice ( 1999: 121 ), gejala – gejala stress penting diutarakan untuk menganalisis gejala – gejala stress apa saja yang dialami oleh subyek. Secara umum, gejala stress dibagi menjadi empat tipe: behavioral, emotive, cognitive, dan physical. 1. Behavioral symptoms: pola perubahan perilaku Di antara sekian banyak behavioral signs atau indikasi perubahan perilaku dari stress terdapat perilaku procrastination atau penundaan dan avoidance atau menghindar, seperti penarikan diri dari keluarga dan teman, kehilangan nafsu makan dan energi, emotional outbrust ( ledakan emosi ) dan agresi, awal atau peningkatan secara drastis dari penggunaan obat – obatan, perubahan pola tidur ( terutama tidur yang gelisah dan terganggu ), pengabaian tanggung jawab, produktivitas yang rendah, absen dari kelas atau pekerjaan, dan cenderung mudah mendapat atau mengalami kecelakaan. Behavioral symptoms lainnya termasuk menangis, pacing dan agitation (gelisah), dan menggigit kuku secara berlebihan. 2. Emotive symptoms: perasaan yang mudah berubah – ubah atau perasaan depresi. Emotive symptoms yang paling umum dari stress adalah anxiety (kecemasan), dread (kengerian), lekas marah, dan depresi. Gejala lain termasuk denial (penyangkalan), fear (rasa takut), rasa frustasi, rasa ketidakpastian, dan rasa kehilangan kontrol. 3. Cognitive symptoms: mind’s miscalculation (kesalahan dalam berfikir) bisa disebut juga sebagai mental symptoms. Di antara mental symptoms yang umum dari stress terdapat gejala hilangnya motivasi dan konsentrasi. Terlihat bahwa seseorang menjadi kehilangan kemampuan untuk fokus terhadap tugas – tugas yang dibutuhkan dan kehilangan kemampuan untuk mengarahkan tugas ke penyelesaian yang sukses. Secara tipikal, hal ini disebabkan pikiran menggunakan terlalu banyak sumber untuk berurusan dengan situasi stress dan tidak memiliki sisa sumber yang cukup untuk mengurusi aktivitas sehari – hari. Gejala mental lainnya termasuk kuatir berlebihan, hilangnya kemampuan untuk mengingat, mispersepsi, kebingungan, berkurangnya kemampuan untuk memutuskan suatu keputusan, kapasitas penyelesaian masalah yang payah terutama saat krisis, mengasihani diri sendiri, dan kehilangan harapan. 4. Physical symptoms: the body language of stress Di antara physical symptoms yang paling umum terdapat fatigue dan physical weakness (kelemahan fisik), migren, dan ketegangan yang membuat sakit kepala, sakit punggung khususnya di bagian bawah (lower back pain), ketegangan otot yang dapat mengakibatkan tremor dan bahkan kejang. Pada sistem kardiovaskular, stress direfleksikan dengan meningkatnya denyut jantung dan hipertensi. Sebagai tambahan terhadap gejala – gejala tadi, beberapa gejala juga dicatat berkorelasi dengan stress. Gejala – gejala tersebut adalah bruxism (keretakan gigi), sindrom sistem pencernaan yang sensitif, dan sindrom kelelahan (fatigue) yang kronis. Kerusakan serius lainnya juga terjadi seperti luka pada pencernaan, kanker, cardiac arrhythmias (denyut jantung yang tidak normal), dan masalah jantung yang bahkan mengarah pada kematian. 2.2. Feminisme Feminisme merupakan salah satu bentuk perjuangan wanita dalam mencari sebuah emansipasi. Emansipasi wanita terjadi oleh karena selama ini wanita merasa tidak dihargai hak – haknya dan merasa didiskriminasi oleh para pria (Matlin, 2004: 104). Feminisme adalah suatu sistem kepercayaan dimana hal – hal yang berkenaan dengan perempuan, pengalaman – pengalaman serta ide – ide perempuan dihargai, yaitu bahwa laki – laki dan perempuan harus setara secara sosial, ekonomi dan hukum Feminisme dibagi menjadi beberapa paham, yaitu feminisme liberal, kultural dan radikal (Matlin, 2004: 124). Feminisme liberal adalah sebuah gerakan feminis yang memfokuskan diri pada tujuan utama feminisme, yaitu kesetaraan jender dan memperjuangkan hak perempuan untuk mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki – laki (Morgan, 1996: 370). Sebagai contoh adalah kesempatan untuk mendapat kesamaan hak secara hukum dan sosial dengan laki – laki di dalam masyarakat. Seorang feminis liberal juga adalah seseorang yang ingin mengubah hukum, adat kebiasaan, dan nilai – nilai demi tercapainya kesetaraan tersebut. Yang salah satunya mendapat kesamaan dalam kesempatan bekerja dan mengajukan perceraian (Crawford, 2001: 130). Feminisme kultural adalah gerakan yang menekankan pada ‘kelebihan’ perempuan di atas laki – laki, contohnya adalah kemampuan perempuan untuk melahirkan dan mengasuh anak (Matlin 2004: 106). Menurut paham ini, masalah feminitas ada pada rendahnya penilaian terhadap sifat – sifat feminim yang dimiliki oleh perempuan. Sedangkan pada feminisme radikal, paham ini lebih memperdebatkan pada penyebab utama rendahnya penilaian terhadap kaum perempuan yang hanya terletak pada permasalahan jenis kelamin (sex) dan jender, bukan pada hukum atau aturan yang dibuat oleh manusia. Selain tiga paham di atas, Tong (1998: 97) mengajukan aliran feminisme lainnya, yaitu feminisme marxis dan feminisme postmodern Menurutnya aliran feminisme marxis percaya bahwa tekanan terhadap perempuan bukanlah hasil dari tindakan individu, melainkan produk struktur politik, sosial, dan ekonomis tempat seorang hidup (Tong, 1998: 97). Feminisme marxis menawarkan kemandirian ekonomi perempuan, yaitu dengan reikonstruksi kiprah perempuan di sektor publik. Dengan demikian, perempuan dapat memperoleh posisi yang sejajar dengan laki – laki. Meskipun hal sering diserang oleh masyarakat karena dianggap ingin menghancurkan keluarga, feminisme marxis beranggapan bahwa mereka hanya ingin menghancurkan keluarga sebagai ‘properties’ atau barang kepunyaan laki – laki, sementara laki – laki dianggap sebagai ‘propertied’ atau pemilik, dan bukan sebagai ikatan emosi (Tong, 1998: 98). Feminisme postmodern mengakui bahwa perempuan dan laki – laki berbeda. Paham ini juga menyebutkan bahwa perempuan tidak menginginkan hak untuk menjadi sama dengan laki – laki karena perempuan hanya menginginkan hak untuk bebas mengkonstruksi diri sendiri seperti yang dimiliki laki – laki. Feminisme postmodern menyebutkan bahwa subjektivitas dan identitas adalah bentuk yang ‘cair’ dimana perempuan berhak mempertanyakan dan mengkonstruksikan identitas dirinya sebagai manusia yang bebas. Paham ini menegaskan bahwa tidak ada kelompok yang menentukan identitas bagi yang lain, atau perempuan tidak didefinisikan oleh laki – laki sehingga mereka bebas mendefinisikan dirinya sendiri. ( Tong, 1998: 99 )