PENGANTAR Latar Belakang Permasalahan Pola asuh menurut Shochib (1998) merupakan upaya orang tua dalam meletakkan dasar-dasar disiplin kepada anak, sehingga memiliki disiplin diri. Jersild (Gunarsa, 1982) mengatakan bahwa pendidikan dan pengasuhan merupakan usaha yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku sesuai dengan keinginan pendidik atau pengasuh. Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh merupakan bentuk komunikasi orang tua dengan anak dalam rangka mendidik dan mendisiplinkan anak dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua yang berperilaku otoriter dalam pengasuhhannya kepada anak atau remaja, sebagaimana diungkapkan oleh Widianti (http://www.tabloit_nakita.com/cetak/0703/27/06.htm 28/07/07) memposisikan diri sebagai komandan dan anak sebagai prajuritnya, dimana tidak ada kebebasan bagi anak untuk mengeluarkan pendapat, orang tua memilih dan terus-menerus mendikte semua hal yang berkaitan dengan anak, misalnya baju yang harus dipakai, menu makanan, atau mainan yang akan dibeli merupakan salah satu wujud dari pola asuh otoriter. Dalam penelitiannya Baldwin (Gerungan, 2004) mendefinisikan sikap-sikap otoriter orang tua ialah sebagai berikut: orang tua menberikan banyak larangan-larangan kepada anak tanpa merasa perlu menjelaskan apa guna dan alasan di balik aturan tersebut. Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoriter adalah gaya komunikasi orang tua untuk membentuk, mengontrol serta mendisiplinkan anak dengan 2 standar yang tinggi, dimana anak dipaksa untuk dapat melakukan segala kegiatan sesuai dengan parintah atau keinginannya. Orang tua cenderung mengekang dan tidak memberi kesempatan kepada anak untuk mengeluarkan pendapat. Berdasarkan wawancara dan observasi (190106) yang dilakukan peneliti memukan sikap orang tua yang memberi batasan sangat ketat dan kaku kepada anak, seperti: dilarang bermain di area sekitar lokalisasi, bahkan untuk melewati jalan di di daerah kawasan lokalisaja tidak boleh, walau jalur tersebut merupakan jalur terdekat menuju rumah mereka (terutama pada penduduk yang rumahnya terletak tepat di belakang lokalisasi); memilihkan teman bermain bagi anak; melarang anak bermain dengan orang yang tidak dikenal; selalu menanyakan setiap perilaku anak diluar rumah ”saat bermain”, seperti menanyakan kemana anak bermain, dengan siapa bermain, permainan apa yang mereka mainkan, dsb. Apabila anak pulang terlambat dari jam yang telah ditentukan, orang tua langsung memarahi anak tanpa menanyakan terlebih dahulu alasan anak terlambat pulang. Lingkungan sebagai suatu rangkaian sistem sosial mempunyai pengaruh langsung yang berperan dalam perkembangan anak, Bronfenbrenner (Agustiani, 2006). Pengaruh yang berperan langsung terhadap perkembangan anak adalah disebut system mikro, dapat berupa hubungan tatap muka seperti interaksi antara orang tua dengan anak atau interaksi guru dengan anak bahkan anak dengan lingkungan. Perkembangan manusia merupakan hasil interaksi antara manusia yang berkembang dengan lingkungannya. Lewin (Agustiani, 2006) lebih memfokuskan pada bagaimana cara 3 lingkungan itu diamati oleh orang tua yang berinteraksi di dalam dan dengan lingkungan tersebut. Sertain (Dalyono, 2001) menjelaskan bahwa lingkungan merupakan semua kondisi alam dunia ini yang dalam cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku, pertumbuhan dan perkembangan kita, tak terkecuali pada lingkungan tempat tinggal. Lingkungan tempat tinggal merupakan tempat dimana keluarga bertempat, berintraksi, dan bermasyarakat dengan individu atau keluarga lain secara intens dan dalam waktu yang relatif lama. Lingkungan tempat tinggal dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu lingkungan tempat tinggal yang baik dan lingkungan tempat tinggal yang tidak baik atau buruk. Lingkungan tempat tinggal yang tidak baik atau buruk menurut Thalib (http:www/kafemuslimah.com/120307), adalah lingkungan masyarakat yang mempunyai tradisi berjudi, membuka prakter pelacuran, gemar minum-minuman keras, dan melakukan kegiatan-kegiatan maksiat lainnya merupakan contoh lingkungan yang tidak baik, dan lingkungan semacam ini merugikan pembinaan akhlaq dan keagamaan masyarakat. Dalyono (2001) berpendapat bahwa lingkungan hidup seseorang yang jelek dan kurang bersih akan mengganggu kesehatan, lingkungan sosial yang kacau dan kurang toleran akan mengganggu ketenangan jiwa, lingkungan yang sibuk dan menentang aktifitas akan mengurangi istirahat. Lingkungan lain yang sifat dan kondisinya mempunyai potensi besar terhadap kejahatan, kriminal, gangguan kenyamanan, dan polusi antara lain pada daerah terminal, stasiun, pasar, tempat mangkalnya kendaraankendaraan umum dan lain-lain (Turan, 2001). 4 Dari penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa lingkungan tempat tinggal yang baik adalah lingkungan tempat tinggal yang mempunyai resiko gangguan kecil, baik dari gangguan bencana alam, gangguan kesehatan, gangguan orang jahat, gangguan keramaian (keadaan bising), gangguan sosial maupun gangguan yang bersifat psikologis (kejiwaan). Sedangkan untuk lingkungan tempat tinggal yang buruk atau tidak baik adalah lingkungan tempat tinggal yang mempunyai resiko gangguan relatif tinggi, resiko tersebut dapat mengganggu kesehatan fisik dan psikis, hubungan sosial, hubungan antar individu (termasuk hubungan keluarga) dan dapat mempengaruhi seluruh aspek dalam kehidupan manusia. Masyarakat umumnya beranggapan bahwa kualitas lingkungan dapat mencerminkan kualitas manusianya, lingkungan yang baik akan memberi pengaruh yang baik dan sebaliknya lingkungan yang buruk akan berpengaruh pada seseorang (Nuryoto dan Tjahjaningrum, 1994). Jiwa anak terutama remaja itu amat labil menurut Kartono (2003), dalam penjelasannya jika anak mendapatkan pengaruh buruk dari film biru, bacaan porno, bacaan immoral dan sadistis, banyak melihat perubahan dan perilaku anti-sosial yang dilakukan oleh orang dewasa, maka mereka dengan mudah akan terjangkit perilaku buruk tadi (dijadikan pola kebiasaan yang menetap). Dari hasil wawancara penulis (190106) dengan beberapa orang yang tinggal di daerah sekitar lokalisasi, mengaku cukup takut, resah akan lingkungan tempat tinggal mereka, terutama pada perilaku dan pergaulan orang-orang yang datang ke lokalisasi. Contoh perilaku atau kegiatan yang sering muncul di daerah lokalisasi (Penataran, April 2006) antara lain: mabuk-mabuka, pesta miras, banyak tindak kekerasan seperti memukul dan 5 meneror warga setempat di saat para pengunjung lokalisasi tersebut mabuk. Melihat keadaan ini tentu saja sangat kurang menguntungkan bagi penduduk baik-baik yang tempat tinggalnya berada di sekitar kompleks pelacuran, keadaan ini menimbulkan perasaan risih dan malu teruama pada orang tua yang memiliki anak-anak puber yang sangat perlu mendapatkan lingkungan sehat bagi pertumbuhan dan perkembangan keribadiaannya (Nuryoto dan Tjahjaningsih, 1994). Hubungan yang terjadi antara persepsi negatif pada lingkungan tempat tinggal dengan pola asuh otoriter seringkali terjadi pada daerah lokalisasi, seperti yang terjadi di Desa Ngujang, Kecamatan Ngantru Kabupaten Tulungagung. Asumsi peneliti terhadap fenomena ini adalah karena keadaan lingkungan yang “menyeramkan” dan mengingat lingkungan mempengaruhi perkembangan anak, maka diasumsikan orang tua akan menerapkan disiplin yang lebih ketat kepada anak. Penerapan disiplin orang tua dituangkan dalam bentuk pola asuh yang digunakan yaitu pola asuh otoriter kepada anak karena persepsi negatif orangtua pada lingkungan tempat tinggalnya. Semakin tinggi persepsi negatif orang tua pada lingkungan tempat tinggal, maka semakin otoriter pola asuh yang diterapkan orang tua. Keadaan ini sebenarnya kurang ideal apabila di tinjau dari pola asuh ideal yang seharusnya diterapkan oleh orang tua. Pola asuh ideal yang diyakini dapat menjadikan anak berkembang dengan baik dan bertanggung jawab adalah pola asuh demokratis. Fenomena di Desa Ngujang menimbulkan pertanyaan bahwa apakah ada hubungan antara persepsi negatif orang tua pada lingkungan tempat tinggal dengan pola asuh otoriter yang diterapkan pada anak-anak mereka? 6 METODE PENELITIAN Responden dalam penelitian ini adalah para orang tua yang tinggal di sekitar lokalisasi (Desa Ngujang) dan mempunyai anak antara usia 6 sampai 19 tahun (SD sampai SLTA) yang tinggal di lingkungan tersebut. Alasan dipilihnya orang tua yang memiliki anak pada usia tersebut adalah pada usia tersebut anak-anak masih dalam kendali orang tua atau masih dalam pengasuhan orang tua. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode skala. Skala yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam yautu (1) Skala Pola Asuh Otoriter dan (2) Skala Persepsi Negatif Orang Tua Pada Lingkungan Tempat Tinggal. Dalam penelitian ini penulis menggunakan Try out terpakai dimana alat ukur tersebut langsung dipakai dalam penelitian. Adapun alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Skala pola asuh otoriter Skala pola asuh otoriter ini mengacu pada aspek-aspek yang merupakan pengertian dan ciri-ciri dari pola asuh otoriter. Skala ini dibuat oleh penulis untuk mengukur seberapa besar tingkat pola asuh otoriter. Skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek pola asuh yang diungkapkan oleh Hurlock (1992) yang menguraikan pola asuh otriter. Aspek-aspek otoriter tersebut adalah: 7 a. Keras atau kaku Sikap, ucapan dan perilaku orang tua yang mengharuskan, memaksa, dan susah menerima pendapat dari oranglain b. Tidak memberi kepercayaan pada anak Tidak mendorong anak untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan tindakan atau keinginan anak sendiri. c. Pengontrolan terhadap tingkah-laku anak yang sangat ketat Anak dibatasi dalam tindakan mereka, dan keputusan diambil oleh orangtua (kekuasaan berada ditangan orangtua). d. Cenderung memberikan hukuman fisik kepada anak Bentuk pengendalian anak melalui perilaku orang tua yang cenderung menggunakan kekuatan eksternal dalam bentuk hukuman, terutama hukuman badan. e. Jarang memberikan pujian dan hadiah Tidak adanya penghargaan dari orang tua atas keberhasilan yang telah dicapai anak. 2. Skala Skala persepsi negatif pada lingkungan tempat tinggalnya Skala persepsi negatif pada lingkungan tempat tinggal dalam penelitian ini diungkap dengan menggunakan Skala persepsi negatif pada lingkungan tempat tinggal yang disusun sendiri oleh penulis. Skala ini dibuat oleh penulis untuk mengukur besar tingkat persepsi negatif pada lingkungan tempat tinggalnya. Skala tersebut di 8 susun berdasarkan indikator persepsi negatif pada lingkungan sekitar tempat tinggal berdasarkan perilaku negatif yang menjurus kearah kriminalitas dan merupakan perbuatan yang meresahkan sehingga dapat menimbulkan perusakan kepentingankepentingan umum. Aspek-aspek persepsi negatif pada lingkungan tempat tinggal yang akan diungkap dalam penelitian ini yaitu: a. Perbuatan-perbuatan atau tindakan yang terjadi dilingkungan anak yang melanggaran norma-norma yang berlaku. 1) Mengeluarkan kata-kata kotor atau mengumpat : Suatu cacian, makian, pujian, sesalan, perkataan yang keji (kotor) yang diucapkan karena marah, jengkel, kecewa, dsb kepada orang lain atau dalam situasi tertentu. 2) Jail : Suatu perbuatan suka mengganggu, menggoda, nakal kepada orang lain yang membuat kerusuhan. 3) Membuat Keributan atau berkelahi :Kegemparan, kerusuhan, kekaauan, yang terjadi di suatu tempat. 4) Bergunjing :Membicarakan kekurangan orang lain (memfitnah) b. Perbuatan atau tindakan seseorang yang dianggap sebagai kejahatan dan diancam dengan sanksi hukum dan sebagaimana yang tercantum dalam KUHP, misalnya: 1) Mabuk-mabukan (pasal 429 KUHP) : Perilaku membuat diri mabuk atau hilang kesadaran secara berlebihan karena terlalu banyak mengkonsumsi minuman keras 9 2) Pemalakan atau pemerasan (pasal 368 KUHP) :Perbuatan yang mengancam atau berbahaya bagi orang lain dengan tujuan untuk merampas milik orang lain (mengambil secara paksa) 3) Pencurian (pasal 362 KUHP) :Perbuatan yang dilakukan seseorang secara sembunyi-sembunyi untuk mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah 4) Pengeroyokan (pasal 358 KUHP) 5) A-Susila : Perilaku yang tidak sesuai dengan adat, sopan santun, norma dan tata krama c. Perbuatan atau tindakan yang bersifat kusus, baik yang menyangkut perbuata maupun akibat yang ditimbulkan dapat meresahkan masyarakat atau mengganggu kelancaran pembangunan nasional, misalnya: 1) Perkelahian : Pertengkaran yang disertai dengan adu kata-kata dan tenaga 2) Penyalahgunaan narkotika :Obat untuk menenangkan saraf, menghilangkan rasa sakit atau perangsang (seperti opium, ganja) 3) Pertengkaran :Perdebatan, perselisihan pendapat antara satu orang atau lebih. Metode analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian adalah teknik analisis adalah korelasi product moment. Perhitungan-perhitungan tersebut akan dilakukan dengan menggunakan bantuan komputer dengan program SPSS for windows versi 12.0. 10 HASIL PENELITIAN Berdasarkan analisis data yang dilakukan, maka diperoleh hasil sebagai berikut: Deskripsi Subjek Penelitian berdasarkan jenis Kelamin No. Jenis Kelamin Jumlah Prosentase 1. Laki-laki 28 33,73% 2. Perempuan 55 66,27% Jumlah 83 100% Deskripsi Data Penelitian Hipotetik Variabel Xmax Xmin Mean SD Persepsi Negatif Orangtua Pada Lingkungan Tempat Tinggal Pola Asuh Otoriter Empirik Xmax Xmin Mean SD 35 0 17,5 5,83 35 0 168 28 98 23,33 166 63 100,96 27,349 Kriteria Kategorisasi Pola Asuh Otoriter Kategori Norma Rentang skor 20,11 8,957 Jumlah Prosentase x > 121 33 39,754 % Tinggi ? + 1,8 ? < x Sedang ? - 0,6 ? ? x < ? + 1,8 ? 75 < x < 121 32 38,554 % Rendah x < ? - 1,8 ? x < 75 18 21,687 % 83 100 % Keterangan: s=sta nd a rd e fia si,µ =rera ta Kriteria Kategorisasi Persepsi Negatif Orang Tua Pada Lingkungan Tempat Tinggal Kategori Norma Rentang skor Jumlah Prosentase Tinggi ? + 1,8 ? < x x > 23 65 78,313 % 11 Sedang ? - 0,6 ? ? x < ? + 1,8 ? 12 < x < 23 11 13,253 % Rendah x < ? - 1,8 ? x < 12 7 8,434 % 100 % 1. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah sebaran skor pada variable penelitian mengikuti distribusi kurva normal atau tidak. Tehnik yang digunakan untuk uji normalitas adalah tehnik One Sample Kolmogorof-Smirnov Test. Sebaran skor suatu variable penelitian dikatakan normal jika harga p dari nilai K-S-Z lebih besar dari 0,05 (p>0,05). Hasil uji normalitas yang yang dilakukan pada variable persepsi negatif orang tua pada lingkungan tempat tinggal memiliki nilai K-S-Z sebesar 1,272 dengan p = 0,79 (p>0,05) sehingga menunjukkan distribusi yang normal. Distribusi variable pala asuh otoriter memiliki nilai K-S-Z sebesar 1,715 dengan p = 0,006 (p>0,05) sehingga menunjukkan distribusi yang tidak normal, sehingga dapat disimpulkan bahwa masingmasing variable memiliki sebaran data yang tidak normal. 2. Uji Linieritas Uji linieritas ini dilakukan untuk menguji apakah ada hubungan antara variable Persepsi Negatif Orang Tua Pada Lingkungan Tempat Tinggal dengan Pola Asuh Otoriter mengikuti garis linier (membentuk garis lurus) atau tidak. Linieritas terpenuhi jika harga p dari nilai F linierity lebih kecil dari 0,05 (p<0,05) dan harga p dari F deviation linierity lebih besar dari 0,05 (p>0,05). Hasil uji linieritas hubungan persepsi negatif orangtua pada lingkungan tempat tinggal dengan pola asuh otoriter diperoleh hasil F = 35,304 dengan p = 0,000 dan deviation of liniertity F = 0,998 dengan p = 12 0,480. Hasil tersebut menunjukkan bahwa variable persepsi negatif orang tua pada lingkungan tempat tinggal dengan pola asuh otoriter bersifat linier. 3. Uji Hipotesis Uji hipotesis dilakukan untuk mengetahui hubungan Persepsi Negatif Orang Tua Pada Lingkungan Tempat Tinggal Dengan Pola Asuh Otoriter. Adapun syarat dalam melakukan uji hipotesis, yaitu melalui uji asumsi yang terdiri dari uji normalitas (data tidak normal) dan linieritas (data linier) terpenuhi. dari hasil uji asumsi tampak bahwa terdapat salah satu data tidak terdistribusi secara normal, sehingga hipotesis dalam penelitian ini menggunakan tehnik uji Non Parametrik Corelation Sperman. Analisis statistiknya menggunakan bantuan program SPSS For Windows 12.0. Dari hasil analisis Sperman diketahui bahwa keterkaitan atau hubungan antara persepsi negatif orang tua pada lingkungan tempat tinggal dengan pola asuh otoriter menghasilkan nolai rho = 0,451 dengan signifikansi 0,000 (p<0,05). Hasil ini menunjukkan hipotesis diterima. Hasil Uji Hipotesis Persepsi Negatif Orang Tua Pada Lingkungan Tempat Tinggal Dengan Pola Asuh Otoriter. Pola Asuh Persepsi Negatif Orang Tua Terhadap Variabel Persepsi Negatif Orang Tua Terhadap Lingkungan Tempat Tinggal Pola Asuh Otoriter Otoriter Lingkungan Tempat Tinggal 1 0,451** 0,451** 1 13 PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi negatif orangtua pada lingkungan tempat tinggal dengan pola asuh otoriter. Hasil tersebut dapat diketahui dari hasil analisis Sperman dengan menggunakan fasilitas komputer SPSS 12.00 For Windows yang menunjukkan bahwa nilai rho sebesar 0,451 dengan signifikan 0,000 (p < 0,05). Dengan demikian diperoleh hasil bahwa semakin tinggi persepsi negatif orang tua pada lingkungan tempat tinggal maka semakin otoriter pola asuhnya. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Dariyo (2007), bahwa dalam mengasuh anak atau remaja orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungannya. Anak atau remaja akan mengamati, memahami, menilai, dan meniru nilai-nilai yang berlaku di dalam lingkungan sosial-budaya. Karena itu baik-buruknya struktur keluarga dan lingkungan masyarakat sekitar (lingkungan tempat tinggal) memberikan pengaruh baik dan buruk pada perkembangan anak atau remaja (Kartono, 2003). Lingkungan dalam penelitian ini memang dikenal tidak baik oleh warga setempat ataupun orang di luar wilayah Ngujang, karena kondisi lingkungan yang berdekatan dengan kompleks lokalisasi, dengan aktivitas yang bermacam-macam seperti pesta miras, mabuk-mabukan, perkelahian, pemalakan, dsb. Sesuai dengan pendapat Kartono (2003) bahwa lingkungan yang memiliki kelas ekonomi rendah dengan banyaknya kaum pekerja yang tidak terlatih, daerah kumuh, kawasan 14 perumahan baru yang transisional dengan banyak kasus defisiensi mental dan jasmaniah, alkoholisme, perkelahian, penodongan,dll dan daerah-daerah rawan sarang penjahat merupakan lingkungan yang tidak baik. Melihat perilaku-perilaku yang muncul diatas, mendorong orang tua untuk lebih ketat menjaga dan melindungi anak dari lingkungan tempat tinggalnya. Melihat kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan atau tidak baik membawa sikap dan perilaku orang tua untuk menjauhkan anak dengan lingkungannya yaitu dengan: membatasi ruang lingkup bermain anak, selalu bertanya dengan siapa, kemana anak pergi bermain, memilih dan menyeleksi siapa saja teman yang pantas bermain dengan anaknya, dsb. Perilaku ini muncul terkait dengan harapan-harapan orang tua, dimana mereka menginginkan anaknya dapat menjadi orang yang dewasa, mandiri, dan sukses, sehingga orang tua cenderung untuk bertindak otoriter dalam pengasuhannya. Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ancok (Agustiani, 2006) bahwa Sikap dan prilaku orang tua yang otoriter diakibatkan karena selalu kawatir bahkan kurang percaya pada anak dalam hubungan sosial, dimana orang tua menganggap bahwa anak akan lebih baik jika selalu mendengar pendapat-pendapat orang tua dan tidak sesuka hatinya. Berdasarkan hasil penelitian ini, tampak bahwa 33 orang memiliki pola asuh otoriter dengan prosentase 39,754%, yang artinya orang tua berkecenderungan kuat untuk berperilaku otoriter kepada anak. Hal ini tampak pada cara-cara orang tua dalam memperlakukan anaknya yaitu; membatasi tempat bermain dengan aturan yang tegas dan kaku; mengawasi setiap gerak-gerik anak diluar atau di dalam rumah, misalnya 15 anak pergi kemana, dengan siapa, jika sedang bermain permainan apa yang mereka mainkan; tak segan memilih atau menyeleksi teman bermain anak, misalnya dengan melarang anak bergaul dengan sembarangan anak yang tidak dikenal orang tua; bahkan orang tua sering memarahi dan memberi hukuman kepada anak untuk mematuhi dan melaksanakan segala aturan ataupun perintah tanpa komunikasi terlebih dahulu dengan anak. Sesuai dengan pendapat Hurlock (1992) bahwa Pola asuh otoriter ditandai dengan; Peraturan yang terlalu Keras atau kaku, Tidak memberi kepercayaan pada anak, Pengontrolan terhadap tingkah-laku anak yang sangat ketat, Cenderung memberikan hukuman fisik kepada anak, Jarang memberikan pujian dan hadiah atas keberhasilan yang telah dicapai anak. Tingginya nilai subjek pada skala pola asuh otoriter terkait dengan keinginan orang tua kepada anak atau remaja untuk tumbuh menjadi orang yang matang, mandiri, sukses, dan dewasa secara sosial (Astuti, 2002). Sehingga orang tua merasa bertanggung jawab terhadap perkembangan anak. Tanggung jawab tersebut diwujudkan dalam penataan perilaku anak atau remaja melalui pola asuh yaitu pola asuh otoriter. Pola asuh otoriter adalah gaya komunikasi orang tua dengan anak dalam bentuk kontrol dan disiplin dalam standar tinggi, anak dipaksa untuk dapat melakukan segala kegiatan sesuai dengan parintah atau keinginannya. Menurut pendapat Ancok (Agustiani, 2006) menyatakan bahwa sikap dan perilaku otoriter orang tua pada anak atau remaja disebabkan karena orang tua merasa kawatir bahkan kurang percaya kepada anak dalam hubungan social, dimana orang tua menganggap bahwa anak akan lebih baik jika selalu mendengar pendapat-pendapat orang tua dimana anak tidak berperilaku sesuka hatinya. 16 Berdasarkan skor kategori persepsi negatif orang tua pada lingkungan tempat tinggal tampak bahwa 65 orang memiliki persepsi negatif pada lingkungan tempat tinggal berada dalam kategori tinggi dengan prosentase sebesar 78,313 %, karena jumlah subjek yang berada pada rentang skor > 23 paling banyak dibandingkan dengan jumlah subjek pada rentang skor yang lain. Tingginya persepsi negatif orang tua pada lingkungan tempat tinggal terkait dengan perasaan was-was, takut, resah, dan tidak tenang berada di lingkungan tempat tinggal tersebut. Selain itu pada orang tua utamanya yang memiliki anak atau remaja merasa kawatir pada perilaku dan pergaulan di lingkungan tempat tinggalnya tersebut seperti mabuk-mabukan, pesta miras, perkelahian, pengeroyokkan, pemalakan, dsb. Turan (2001) menjelaskan bahwa bentuk stimulus yang mengganggu atau mengancam sehingga menyebabkan seseorang merasa tidak aman, terganggu, resah dalam lingkungan bermasyarakat antara lain adalah pencurian, penjambretan, penodongan, curanmor, perkelahian, tawuran, gangguan-gangguan lain seperti peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang (NARKOBA) serta kemungkinan adanya tempat-tempat persembunyian pelaku kejahatan. Pandangan masyarakat umum yang beranggapan bahwa kualitas lingkungan dapat mencerminkan kualitas manusianya, lingkungan yang baik akan memberi pengaruh yang baik dan sebaliknya lingkungan yang buruk akan berpengaruh pada seseorang (Nuryoto dan Tjahjaningrum, 1994). Sesuai dengan pendapat Kimbel (Nurdalena, 2004) bahwa ) bahwa seseorang dapat memaknai baik-buruknya suatu objek tertentu apabila telah memiliki pengetahuan sebelumnya tentang objek tersebut. Pengetahuan ini dapat 17 berupa pengetahuan kebudayaan yang diperoleh dari hasil belajar dari lingkungan sosial yang sifatnya menetap. Pengetahuan kebudayaan yang dimaksud adalah norma, nilai, aturan, kebiasaan, maupun pandangan umum yang berkembang di lingkungan tempat tinggal tersebut. Pengetahuan ini secara tidak langsung akan mempengaruhi interpretasi seseorang, hal ini terjadi karena yang bersangkutan seperti pada orang tua yang tingal di daerah sekitar lokalisasi Ngujang sudah berproses lama dengan lingkungan tempat tinggalnya. Sehingga orang tua yang tinggal di lingkungan daerah sekitar lokalisasi dapat dengan mudah untuk mempersepsi negatif pada lingkungannya karena merasa ada tidak kesesuaian dalam norma, aturan, nilai , ataupun kebiasaan yang berlaku di lingkungan tempat tinggal dengan kepribadian atau norma, aturan, nilai, ataupun kebiasaan dalam keluarganya. Dalam penelitian ini persepsi negatif orangtua pada lingkungan tempat tinggal diungkap melalui ciri-ciri; munculnya perilaku perkelahian, pencurian, mabuk-mabukkan, pemalakan, pertengkaran, perjudian, munculnya kata-kata kotor, bergunjing, pergaulan bebas, iseng, pengeroyokkan, dan narkotika yang tampak di lingkungan tersebut Berdasarkan hasil penelitian yang ada disertai pengkajian secara lebih mendalam mengenai penelitian ini, maka terdapat banyak kelemahan-kelemahan yang muncul antara lain pada subjek penelitian dan alat ukur yang digunakan. Dalam hal ini peneliti tidak menjelaskan secara lengkap dan terlampir, seperti pada penjelasan mengenai kriteria subjek penelitian sebagai orangtua, apakah itu sebagai orangtua kandung, orangtua wali ataupun orangtua angkat. Sehingga terjadi kerancuan pada penelitian karena ada salah satu subjek yang ikut dalam penelitian ini merupakan nenek yang 18 mengasuh cucunya dari kecil. Selain itu pada identitas subjek penelitian juga tidak terlampir secara lengkap dimana seharusnya data identitas pada skala alat ukur disertakan secara rinci guna keakuratan penelitian. Data tersebut antara lain; usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, jumlah anak yang dimiliki, usia anak yang diteliti, dsb. Selain itu pada alat ukur yang digunakan utamanya pada skala pola asuh otoriter, tidak terdapat kesesuaian subjek penelitian dimana pada penelitian ini skala pola asuh otoriter khususnya pada aitem-aitem yang digunakan lebih sesuai jika digunakan pada kriteria subjek yang memiliki anak pada usia Sekolah Dasar. Sedang pada penelitian ini digunakan pada segala usia, artinya digunakan pada anak-anak dan remaja ( SD–SMU ). 19 KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang sangat signifikan antara persepsi negatif orangtua pada lingkungan tempat tinggal dengan pola asuh otoriter pada warga Desa Ngujang Kecamatan Kedungwaru Kabupaten Tulungagung. Adanya hubungan antara kedua variable, ditunjukkan oleh Koefisien Korelasi sebesar 0,451 dengan signifikan 0,000 (p < 0,05). Hubungan kedua variable menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi negatif orang tua pada lingkungan tempat tinggal maka semakin tinggi pula perilaku otoriter orang tua kepada anak. Begitu pula sebaliknya semakin rendah persepsi negatif orang tua pada lingkungan tempat tinggal maka semakin rendah pula perilaku otoriter orang tua kepada anak. SARAN 1. Saran Bagi Subjek Penelitian Saran bagi subjek penelitian yang memiliki pola asuh otoriter tinggi hendaklah untuk sedapat mungkin berusaha mengurangi perilaku otoriter mereka. Mengingat banyaknya efek yang terjadi dari sikap orang tua yang berperilaku otoriter antara lain: kurangnya ketrampilan sosial pada anak, tingginya tingkat agresifitas, rendahnya kreativitas verbal anak, dsb. 2. Saran bagi PEMDA Daerah setempat 20 Saran bagi PEMDA setempat, berkaitan dengan pengurangan perilaku-perilaku kenakalan remaja ataupun perilaku-perilaku kejahatan antara lain: a. Dari pihak PEMDA setempat hendaklah membuat satuan tugas P4GN (Pencegahan Pemberantasan Penanggulanggan Peredaran Gelap Narkoba). Gerakan ini bukan hanya bergerak pada bidang NARKOBA saja melainkan juga pada peredaran minuman beralkohol dan sejenisnya. b. Memberikan stimulus kepada warga lingkungan setempat dengan sasaran utamanya adalah remaja dan anak-anak yang tinggal di lingkungan tersebut, yaitu dengan membuka lapangan kerja baru ataupun memberikan bekal ketrampilan pada anakanak atau remaja putus sekolah, membentuk kelompok kesenian dan kelompok olah raga yang berguna untuk menampung minat, bakat dan hoby warga lingkungan setempat, sehingga utamanya anak-anak dan remaja di daerah tersebut memiliki kegiatan yang terarah sehingga dapat mengurangi pengaruh dari lingkungan. 3. Saran Bagi Peneliti Berikutnya Saran untuk peneliti berikutnya, agar lebih memperhatikan variable yang digunakan, seperti usia, tingkat pendidikan orang tua, jumlah anak yang dimiliki ataupun status social ekonomi yang dapat mempengaruhi pola asuh otoriter. Dan lebih menggali informasi tentang pengetahuan subjek terkait dengan persepsi mengenai lingkungan khususnya pada lingkungan tempat tinggal. Hal ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bermanfaat bagi kehidupan sosial individu. 21 DAFTAR PUSTAKA Agustiani, Hendriati. D.R. 2006. Psikologi Perkembangan: pendekatan ekologi kaitannya dengan konsep diri dan penyesuaian diri pada remaja. Bandung: refika Aditama Gerungan, W.A., 2004. Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama Gunarsa, Y. S.D. 1982. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia Gibson, J.L., Ivanisevich, D. Jr., James, H. 1997. Organisasi dan Menejemen: Perilaku, struktur, proses, terjemahan Djoerban Wahid, SH., Jakarta: Erlangga Hurlock, E. B. 1978. Adolescent Development. Tokyo:MC Graw-Hill Kogakusha. Ltd. Kartono, Kartini. 1984. Patologi Sosial. Jakarta: CV Rajawali Maccoby, E. E. 1992. Social Development Psychologycal Growth And The Parenting Child Relation Ship. New York: Harcourt Brance javano. Vic. Inc Mar’at, S., 2005. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Mussen, P. H., Conger, J.J And Kagan, J. 1990. Child Development And Personality. New York: Harper And Raw Publisher Nurdahlena . 2004. Hubungan Antara Persepsi Remaja Awal Terhadap Pola Asuh Otoriter Dengan Motivasi Berprestasi. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Nuryoto, S. 1993. Teori Perkebangan Remaja. Yogyakarta: Psikologi Universitas Gajah Mada Nuryoto, Sartini dan Tjahjaningsih. 1994. Harga Diri Remaja Yang Bertempat Tinggal Di Dalam Lingkungan Kompleks Pelacuran dan Diluar Lingkungan Kompleks Pelacuran. Jurnal Psikologi No. 2, 9-16 Papalia, D. E., Olds, S. W., Feldman, R. D. 2002. A Child World: Infancy Throught Adolescsnce, Singapura: MC Grow Hill ____________ . 2004. Human development. Boston: McGraw-hill. Ridwan, DRS. 2002. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Bandung: Alfabet 22 Santrok, John. W. 1995. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga Shochib, Moh. 1998. Pola Asuh Orang Tua: Untuk membantu anak mengembangkan disiplin diri. Jakarta: Rineka Cipta Stewart and Koch. 1983. Children Development Trought Adolesence. Canada: John Wiley And Sons, Ink Sukmana, Oman. 2003. Dasar-dasar Psikologi Lingkungan. Malang: UMM Press Tarmudji, Tarsis. 2001. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Agresifitas Remaja. http//:www.depkes.go.id. 27/12/05 Turan, Achmad. 2001. Kiat-Kiat Mengembangkan Rasa Perduli Terhadap Kaemanan Diri Dan Lingkungan. Jakarta: Karya Jaya. Walgito, Bimo. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset ____________, 2000. Psokologi Sosial: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Andi Offset Widianti, Astri.S. 2006. Empat Tipe Pola Asuh Orang http://www.tabloit_nakita.com/cetak/0703/27/06.htm 28/07/07 Willis, Sofyan. 2005. Remaja Dan Masalahnya. Bandung: Alfabeta Tua.